PERKEMBANGAN UJI TANAH DAN STRATEGI PROGRAM UJI TANAH MASA DEPAN DI INDONESIA M. Al-Jabri Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 ABSTRAK Pelaksanaan uji tanah dengan single-nutrient soil analysis di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Namun karena keterbatasan dana, uji tanah belum dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan serta rekomendasi pemupukan spesifik lokasi berdasarkan famili tanah juga belum dimantapkan. Di luar negeri, uji tanah telah menggunakan multi-nutrient soil analysis. Untuk mempercepat pelaksanaan program uji tanah, pengambil kebijakan perlu menyusun strategi program uji tanah dengan melakukan percobaan pemupukan di lapang untuk memverifikasi rekomendasi pemupukan hasil penelitian kalibrasi dari luar negeri agar sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di Indonesia. Rekomendasi pemupukan hasil verifikasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk setiap kelompok tani dengan luas lahan maksimum 25 ha, dan ditetapkan setiap 3−4 tahun sekali. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana, penelitian uji tanah perlu dilakukan secara bersama antara Departemen Pertanian dengan Pemerintah Daerah dalam upaya mendapatkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi. Rekomendasi pemupukan yang ditetapkan berdasarkan pelarut asam keras HCl 25%, yang dituangkan dalam bentuk peta status hara P dan K tanah sawah, perlu dikaji ulang karena belum ada publikasi yang menginformasikan konsentrasi unsur Fe, Si, Ca, Mg, dan asam-asam organik dalam filtrat yang diperbolehkan yang tidak mengganggu pengukuran P. Kata kunci: Uji tanah, analisis tanah tunggal, analisis tanah ganda, rekomendasi pemupukan, Indonesia ABSTRACT Soil testing development and future soil testing program strategy in Indonesia Soil testing using single-nutrient soil analysis in Indonesia has been developing since 1970. However, due to the limiting research fund, soil testing has not been programmed continuously and recommendation of location specific fertilization based on soil family has also not yet been established. In addition, soil testing in abroad has been developed quickly using multi-nutrient soil analysis. To boost the implementation of soil testing program, the policy makers should arrange the strategy of soil testing by conducting field fertilization experiments to verificate calibration experiment results from abroad to be suitable with soil and climate conditions in Indonesia. The verified fertilizer recommendation is then used for location specific fertilization recommendation for each farmer group with a maximum area of 25 ha, then the fertilization recommendation will be determined each 3−4 year. For increasing the research fund efficiency, it will be reasonable to make a research fund sharing between the Ministry of Agriculture and province authority for establishing a national program on fertilization recommendation. Fertilizer recommendation determined using strong solvent HCl 25%, which is presented in the form of P and K status map, should be revised because there were not publications which inform about Fe, Si, Ca, Mg, organic acid in the filtrate which permitted not interfere P measurement. Keywords: Soil testing, single-nutrient soil analysis, multi-nutrient soil analysis fertilization recomendation, Indonesia U ji tanah dalam kaitannya dengan rekomendasi pemupukan di Indonesia masih menggunakan pelarut singlenutrient soil analysis (SNSA). Penggunaan cara analisis tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1970-an, tetapi karena keterbatasan dana penelitian, pelaksanaan uji tanah belum terprogram secara berkelanjutan dan rekomendasi pemupukan 54 spesifik lokasi untuk berbagai komoditas tanaman belum terealisasi. Di luar negeri, uji tanah untuk menentukan rekomendasi pemupukan telah menggunakan multi-nutrient soil analysis (MNSA) (Jones dan Wolf 1984), yaitu satu macam pengekstrak dapat digunakan untuk menganalisis lebih dari satu unsur hara. MNSA menggunakan larutan peng- ekstrak Morgan 1 N sodium asetat pH 4,80 dengan asam asetat. Analisis tersebut memberikan beberapa keuntungan, antara lain: 1) dapat digunakan untuk mengekstrak unsur hara makro P, K, Ca, Mg, NH4, NO3, SO4, serta unsur hara mikro B, Cu, Fe, Mn, Zn, dan Al, 2) sangat sesuai untuk tanah dengan kisaran pH masam sampai netral dengan kapasitas tukar Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 kation (KTK) 2−35 meq/100 g dengan tekstur pasir sampai lempung berliat, dan 3) sesuai untuk tanah moderat alkalin (Jones 1984). Kelemahannya, MNSA tidak sesuai untuk tanah berkapur dan gypsiferous. Namun, uji tanah dengan MNSA sulit diterapkan di Indonesia karena membutuhkan dana yang besar. Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman pangan, sayuran, dan perkebunan belum dimantapkan, padahal pemberian pupuk yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif seperti kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan. Untuk memfasilitasi pelaksanaan uji tanah, Badan Litbang Pertanian membangun laboratorium uji tanah di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang ada di provinsi. Dengan adanya laboratorium tersebut, diharapkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi dapat ditetapkan. Namun, sampai tahun 1995 laboratorium tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya akibat keterbatasan dana. Rekomendasi pemupukan N, P, K untuk padi sawah spesifik lokasi saat ini diatur melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/1/2006, tanggal 3 Januari 2006 berdasarkan Peta Status Hara P dan K Tanah Sawah skala 1:50.000 untuk setiap kabupaten. Bagi pemerintah daerah yang belum mempunyai peta tersebut, rekomendasi pemupukan P dan K untuk padi sawah dapat menggunakan perangkat uji tanah sawah (PUTS). PUTS dapat mengukur kadar hara P dan K serta pH tanah secara langsung di lapangan dengan cepat, mudah, dan cukup akurat selama pengambilan contoh tanah dilakukan dengan benar. Namun takaran pupuk P dan K yang diberikan belum mempertimbangkan tekstur tanah. Tanah sawah yang bertekstur kasar dan halus dengan status hara P dan K yang dinilai rendah akan memperoleh takaran pupuk yang sama. Program uji tanah bertujuan untuk menetapkan rekomendasi pemupukan. Tahapan uji tanah meliputi: 1) pengambilan contoh tanah komposit, 2) analisis contoh tanah yang mewakili luasan tertentu dengan status hara rendah, sedang, dan tinggi untuk penelitian di laboratorium, rumah kaca, dan lapang, 3) pemilihan metode ekstraksi hara dengan uji korelasi, 4) percobaan kalibrasi untuk menentukan kelas ketersediaan hara, 5) interpretasi hasil uji, dan 6) penetapan rekomendasi pemupukan. Keberhasilan uji tanah Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 ditentukan oleh jumlah dan kualitas data untuk kalibrasi dan interpretasi hasil pengujian. Uji tanah merupakan alat penting yang akurat untuk menilai status kesuburan dan produktivitas tanah. Akurasi data sangat ditentukan oleh teknik pengambilan contoh tanah, prosedur analisis, dan metodologi. Oleh karena itu, agar program uji tanah dapat dipercaya diperlukan penelitian pemilihan metode ekstraksi untuk menentukan jenis pengekstrak yang paling sesuai untuk mengukur hara total dan hara tersedia pada suatu areal pertanaman. Selanjutnya dilakukan penelitian kapasitas produktivitas relatif tanah untuk berbagai jenis tanaman, dan perbedaan respons tanaman terhadap berbagai tingkat dan cara pemberian pupuk. Makalah ini mengulas perkembangan uji tanah di Indonesia serta strategi program uji tanah ke depan. PERKEMBANGAN UJI TANAH DI INDONESIA lokasi berdasarkan famili tanah dengan status hara rendah. Selanjutnya dilakukan pembuatan status hara rendah, sedang, dan tinggi. Setelah pembuatan status hara, tanah dibiarkan selama satu musim tanam. Pada musim tanam kedua, percobaan kalibrasi dilakukan dengan perlakuan maksimum lima tingkat hara pada petakan yang sudah mengandung residu hara dan diasumsikan telah terjadi reaksi keseimbangan. Setelah pertanaman pertama dipanen, diambil contoh tanah komposit dari setiap petak yang berbeda status haranya untuk dikorelasikan dengan persen hasil pertanaman kedua. Pengekstrak yang memberikan koefisien korelasi tertinggi antara hara yang terekstrak dari suatu larutan pengekstrak dengan persen hasil selanjutnya ditetapkan sebagai pengekstrak terbaik. Berdasarkan kurva hubungan antara perlakuan dan hasil selanjutnya ditentukan rekomendasi pemupukan. Uji Tanah dengan SNSA Ekstraksi P dengan Pelarut SNSA, Kelas Ketersediaan Hara P, dan Kalibrasi P Definisi uji tanah secara umum adalah pengukuran sifat kimia atau fisik tanah, sedangkan definisi uji tanah secara terbatas adalah analisis kimia secara cepat untuk menilai status ketersediaan hara, salinitas, dan keracunan unsur dari tanah. Program uji tanah adalah melakukan interpretasi, evaluasi, serta rekomendasi pemupukan dan perubahannya berdasarkan analisis kimia (Westerman 1990). Program uji tanah di Indonesia menggunakan SNSA, namun tanpa didukung penelitian yang memadai sehingga rekomendasi pemupukan belum dimantapkan, kecuali untuk padi yaitu dengan menggunakan Peta Status Hara P dan K Tanah Sawah skala 1:250.000. Meskipun penelitian tentang pemilihan metode ekstraksi untuk penetapan indeks kesuburan tanah dan interpretasi hasil analisis sudah banyak dilakukan untuk tanaman pangan, hingga kini program uji tanah di Indonesia belum sampai pada tahap akhir yaitu rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah. Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dimulai dengan pemilihan lokasi dengan status hara rendah, sedang, dan tinggi. Jika itu sulit dilakukan maka percobaan kalibrasi dilakukan dengan pendekatan lokasi tunggal atau spesifik Metode ekstraksi P yang sering digunakan di Indonesia adalah larutan asam keras HCl 25% (nisbah 1:5), Bray 1 (HCl 0,025 N + NH4F 0,03 N; nisbah 1: 10), Bray 2 (HCl 0,10 N + NH4F 0,03 N; nisbah 1:17), Truog [H2SO4 0,002 N + (NH4)2SO4; pH 3; nisbah 1:100] untuk tanah masam, serta Olsen (NaHCO3 0,50 N; pH 8,50; nisbah 1:20) dan Colwell untuk tanah alkalin. Beberapa hasil penelitian uji tanah tentang metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi P dalam beberapa dekade terakhir disajikan pada Tabel 1. Larutan HCl 25% untuk mengukur P potensial sudah lama digunakan. P-HCl 25% berkorelasi dengan pertumbuhan padi gogo pada tanah Ultisols dengan batas kritis 27 mg P2O5/100 g tanah (Tabel 1; Al-Jabri et al. 1984a). P-HCl 25% juga berkorelasi dengan pertumbuhan jagung pada tanah Oxisols dengan batas kritis 30 mg P2O5/100 g tanah (Tabel 1; Kasno et al. (2001). Batas kritis P-HCl 25% untuk tanaman padi gogo adalah 27 mg P2O5/ 100 g di rumah kaca pada kondisi tanah kering, lebih tinggi dibandingkan dengan batas kritis pada tanah sawah yaitu 20 P2O5/100 g. Batas kritis P di rumah kaca berbeda dengan batas kritis P pada kondisi lapang, sehingga batas kritis pada kondisi di rumah kaca tidak dapat di55 Tabel 1. Hasil penelitian uji tanah tentang pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi P dalam beberapa dekade terakhir. Metode ekstraksi Jenis tanah Tanaman uji HCl 25% Tanah sawah Padi HCl 25% Ultisols Padi gogo varietas IR361 HCl 25% Aluvial HCl 25% Kelas ketersediaan hara P Batas kritis P Sumber 20 mg P2O5/ 100 g − Tim Pembina Uji Tanah (1973) 27 mg P2O5/ 100 g − Al-Jabri et al. (1984a) Padi sawah − < 30 mg P2O5 (R) 30−60 mg P2O5 (S) > 60 mg/100 g P2O5 (T) Nursyamsi et al. (1993) Oxisols Jagung2 30 mg P2O5/ 100 g − Kasno et al. (2001) Bray 1 Hydric Dystrandept Kentang 2 20 pm P < 15 ppm P (R) 15–30 ppm P (S) > 30 ppm P (T) Widjaja-Adhi dan Widjik (1984) Bray 1 Aluvial Padi sawah2 < 6 ppm P2O5 (R) 6−18 ppm P2O5 (S) > 18 ppm P2O5 (T) Nursyamsi et al. (1993) Bray 1 Grumusol Padi sawah2 < 18 ppm P2O5 (S) > 18 ppm P2O5 (T) Bray 2 Ultisols Padi gogo varietas IR361 Bray 2 Oxic Dystru depts Jagung2 Truog Ultisols Padi gogo varietas IR361 Truog Aluvial Truog Nyata 0,82 6,50 ppm P − Al-Jabri et al. (1984a) − < 5 ppm P (R) 5−12 ppm P (S) > 12 ppm P (T) Purnomo dan Nursyamsi (2000) 21 ppm P < 7,50 ppm P (R) 7,50–15 ppm P (S) > 15 ppm P (T) Al-Jabri et al. (1984a); Widjaja-Adhi (1986) Padi sawah2 < 8 ppm P2O5 (R) 8−22 ppm P2O5 (S) > 22 ppm P2O5 (T) Nursyamsi et al. (1993) Grumusol Padi sawah2 < 170 (S) > 170 ppm P 2O5 (T) Colwell Oxic Dystru depts Jagung2 Olsen Ultisols Padi gogo varietas IR361 Olsen Grumusol Padi sawah2 Olsen Oxisols Jagung2 Olsen Aluvial Padi sawah 1 Nyata Sangat nyata Nyata − < 18 ppm P (R) 18−34 ppm P (S) > 34 ppm P (T) Purnomo dan Nursyamsi (2000) 5 ppm P < 5,30 ppm P (R) > 5,30 ppm P (S) Al-Jabri et al. (1984a); Widjaja-Adhi (1986) < 34 ppm P2O5 (S) > 34 ppm P2O5 (T) 8 ppm P2O5 Kasno et al. (2001) < 16 ppm P2O5 (R) 16−24 ppm P2O5 (S) > 24 ppm P2O5 (T) 2 Nursyamsi et al. (1993) Percobaan rumah kaca; 2Percobaan lapang; R = rendah; S = sedang; T = tinggi. ekstrapolasi ke lapang. Batas kritis P-HCl 25% untuk tanah sawah adalah 20 mg P2O5/100 g (Kasno dan Nurjaya 1996). Pada kondisi tanah sawah, ketersediaan P meningkat (De Geus 1973), sehingga penggenangan meningkatkan 56 R2 ketersediaan P serta P yang diserap tanaman karena ferric phosphate [Fe2 (H2PO4)3] direduksi menjadi ferrous phosphate [FeH2PO4]. Hal itu berarti padi yang ditanam pada kondisi tergenang kurang respons terhadap pupuk P selama status P awal yang ditentukan dengan HCl 25% (P potensial) pada nilai batas kritisnya lebih besar 20 P2O5/100 g. Sebaliknya pada kondisi lahan kering dengan P awal pada nilai batas kritisnya lebih kecil 20 P2O5/ 100 g, tanaman respons terhadap pupuk Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 P, karena ketersediaan P pada tanah kering rebih rendah. Batas kritis P tersebut ditetapkan berdasarkan metode Cate dan Nelson (1965) sehingga status hara P terdiri atas dua kelas. Bila nilai uji tanah lebih besar dari nilai batas kritisnya maka pupuk P tidak harus diberikan, dan sebaliknya. Namun jika status hara P bervariasi (rendah, sedang, tinggi), maka kurva kalibrasi terdiri atas tiga kelas ketersediaan hara yaitu rendah, sedang, dan tinggi (Nelson dan Anderson 1977). Oleh karena itu, percobaan kalibrasi sangat dianjurkan untuk dilakukan pada beberapa lokasi minimal dengan status hara rendah, sedang, tinggi, karena jika ditempatkan pada lokasi dengan status hara sedang dan tinggi saja maka kurva kalibrasinya hanya menghasilkan dua kelas ketersediaan hara yaitu sedang dan tinggi. Hal ini diperlihatkan oleh tanaman yang tidak respons terhadap suatu unsur hara karena tanah sudah jenuh unsur hara tersebut. Dengan menggunakan pengekstrak HCl 25%, diperoleh tiga kelas ketersediaan hara P untuk tanaman padi pada tanah Aluvial, yaitu < 30 mg P2O5/100 g (rendah), 30−60 mg P2O5/100 g (sedang), dan > 60 mg P2O5/100 g (tinggi) (Nursyamsi et al. 1993; Tabel 1), sedangkan untuk tanaman jagung pada tanah Oxisols Kendari (Sulawesi Tenggara) adalah < 25 mg P2O5/ 100 g (rendah), 25−37 mg P2O5/100 g (sedang), dan > 37 mg P2O5/100 g (tinggi). Kebutuhan pupuk P pada kelas hara P rendah, sedang, dan tinggi masing-masing adalah 50−80 kg, 20−50 kg, dan < 20 kg P/ ha (Kasno et al. 2001), di mana batas kritis P-HCl 25% untuk tanaman jagung adalah 30 mg P2O5/100 g. Kelas ketersediaan hara P menurut Nursyamsi et al. (1993) lebih tinggi dari kelas ketersediaan hara P-HCl 25% hasil penelitian terdahulu, yaitu < 20 mg P2O5/ 100 g (rendah), 20−40 mg P2O5/100 g (sedang), dan > 40 mg P2O5/100 g (tinggi). Kelas ketersediaan hara P sebagaimana dilaporkan Moersidi et al. (1989) dan Soepartini et al. (1990), yaitu < 20 mg P2O5/ 100 g (rendah), 20−40 mg P2O5/100 g (sedang), dan > 40 mg P2O5/100 g (tinggi), telah dijadikan pertimbangan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/ SR. 130/1/2006. Berdasarkan Permentan tersebut, rekomendasi pemupukan P adalah 100 kg SP-36/ha untuk kelas ketersediaan hara P < 20 mg P2O5/100 g (rendah), 75 kg SP-36/ha untuk hara P 20− 40 mg P2O5/100 g (sedang), dan 50 kg SPJurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 36/ha untuk hara P > 40 mg P2O5/100 g (tinggi). Meskipun demikian, rekomendasi pemupukan berdasarkan Permentan tersebut masih dapat direvisi karena belum mempertimbangkan tekstur tanah, misalnya liat dan pasir. Berdasarkan hasil penelitian, takaran pupuk P pada tanah yang bertekstur pasir lebih tinggi daripada tanah bertekstur liat, karena daya sangga tanah bertekstur pasir lebih rendah daripada tanah bertekstur liat. Hubungan antara P yang ditambahkan dan P larutan melalui pendekatan persamaan Langmuir membuktikan bahwa P yang diadsorpsi menunjukkan jumlah P yang diberikan. Hubungan antara c:x/m pada sumbu y terhadap c pada sumbu x memungkinkan pendekatan teori yang dipercaya terhadap masalah retensi P dalam tanah (Olsen dan Watanabe 1957). P maksimum yang diadsorpsi sangat ditentukan oleh kapasitas tanah mengadsorpsi P. Menurut Woodruff dan Kamprath (1965), tanah dengan kapasitas adsorpsi P rendah memerlukan konsentrasi P larutan lebih tinggi untuk menghasilkan pertumbuhan tanaman yang maksimum. Jadi konsentrasi P pada tanah bertekstur kasar lebih tinggi daripada tanah bertekstur halus, jika tidak maka difusi P pada tanah bertekstur pasir menjadi faktor pembatas dalam serapan hara P (Olsen dan Watanabe 1963). Takaran pupuk K untuk jagung pada tanah bertekstur halus adalah 150 kg K/ha dan tanah bertekstur kasar 270 kg K/ha (Anonymous 1985). Meskipun pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi sudah dilakukan, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi berdasarkan famili tanah belum dimantapkan. Akhirnya rekomendasi pemupukan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/ SR.130/1/2006. Namun demikian, sosialisasi rekomendasi pemupukan tersebut perlu dikawal. Di masa mendatang, rekomendasi pemupukan berimbang tidak hanya didasarkan pada Peta Status Hara P dan K Tanah Sawah skala 1:50.000 dan dengan larutan pengekstrak HCl 25%, tetapi juga melalui pendekatan kurva erapan P (Fox dan Kamprath 1970). Meskipun biaya analisisnya lebih mahal dan perlu waktu 6 hari, P eksternal (P larutan) yang diekstrak dengan larutan 0,01 M CaCl2 lebih mencerminkan kondisi tanah di sekitar akar tanaman padi. Indeks ketersediaan P melalui pendekatan kurva erapan P di daerah tropika menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pengelolaan tanah. Mulyani et al. (1993) melaporkan, penambahan P dalam jumlah yang sama menghasilkan konsentrasi P yang berbeda dalam larutan tanah. Daya erap P tanah Lombok relatif rendah dan pupuk P yang dibutuhkan sekitar 27 kg P/ha, sebaliknya daya erap P tanah Sulawesi Selatan relatif tinggi dan pupuk P yang dibutuhkan sekitar 115 kg P/ha untuk mencapai P eksternal 0,02 ppm P. Larutan pengekstrak HCl 25% mempunyai pH 2, di mana ion H+ pada nilai pH tersebut dapat melarutkan senyawasenyawa P dalam urutan Ca-P > Al-P > FeP. Hara P yang diukur dengan HCl 25% sering bias, karena prosedur analisisnya tanpa memperhatikan jenis tanah serta kandungan Fe2O3 bebas dan karbonat. Pengukuran P yang bias disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) setelah waktu pengocokan selesai tidak cepat disaring sehingga hara P diadsorpsi lagi oleh Fe dan Al dalam fase padat sehingga hara P yang lolos melalui kertas saring berkurang, apalagi ion Cl- dari HCl tidak dapat mencegah readsorpsi P (Thomas dan Peaslee 1973), dan 2) konsentrasi Fe, Ca, Mg, Si, dan asam-asam organik dalam filtrat hasil saringan yang sudah diencerkan sampai 20 kali kemungkinan masih lebih tinggi dari batas toleransinya, sehingga P yang terukur tidak menggambarkan jumlah P yang sebenarnya. Batas toleransi konsentrasi Fe dalam filtrat maksimum 20 ppm dan untuk Si maksimum 50 ppm karena akan mempengaruhi pengukuran P (Fogg dan Wilkinson 1982). AlJabri dan Dwiningsih (1999, tidak dipublikasikan) melaporkan, meskipun PHCl 25% memberikan pengukuran yang relatif baik pada semua pengenceran filtrat dan semua nisbah tanah dan larutan, tetapi untuk mempertajam interpretasi hasil pengukuran, metode ekstraksi P-HCl 25% untuk analisis tanah mineral masam dan basa serta tanah gambut perlu dibedakan. Cajuste dan Kussow (1974) melaporkan bahwa P terekstrak berkorelasi nyata dengan pertumbuhan tanaman selama nisbah tanah dan pengekstrak diperbesar. Jika nisbah tanah dan pengekstrak kecil, untuk tanah-tanah dengan kandungan Fe2O3 bebas tinggi seperti Oxisols dan Ultisols, maka larutan pengekstrak masam akan dinetralkan sehingga P yang terukur lebih rendah dan bias. Jika konsentrasi Si dan P dapat larut dalam filtrat relatif tinggi maka kedua unsur tersebut bereaksi dengan asam molibdat dalam P reagen masing-masing memben57 tuk asam siliko-molibdat dan asam fosfomolibdat pada pH 1,20 dan 2. Namun karena Si dan P mempunyai spektrum warna yang sama maka P yang terukur menjadi bias. Oleh karena itu, konsep rekomendasi pemupukan P menggunakan ekstraksi HCl 25% tidak selalu tepat. Percobaan kalibrasi P di Sumatera Selatan membuktikan, meskipun status hara P-HCl 25% dinilai rendah (< 20 mg P2O5/100 g), tanaman padi tidak respons terhadap P (Tabel 2; Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993). Fosfat yang ditetapkan dengan larutan HCl 25% hanya memperhatikan faktor kuantitas, padahal ketersediaan P sangat ditentukan oleh jenis mineral liat (tipe 1:1 atau 2:1) yang berpengaruh terhadap sifatsifat fisik dan kimia tanah. Menurut AlJabri (2002), Mg-, K-, dan Al-dapat ditukar, serta derajat kristalinitas mineral Fe dan Al merupakan sifat-sifat kimia tanah yang sangat berpengaruh terhadap nilai P-HCl 25%. Koefisien regresi derajat kristalinitas mineral Fe dan Al bernilai negatif, sehingga penurunan derajat kristalinitas mineral Fe dan Al pada kondisi peubah bebas lainnya tetap akan meningkatkan P-HCl 25%. Koefisien regresi Mg-dapat ditukar (dd) bernilai positif, sehingga peningkatan Mgdd 1 cmol/kg sebesar 1% pada kondisi peubah bebas lainnya tetap akan meningkatkan P-HCl 25%. Jadi, pengukuran P-HCl 25% bersifat kondisional, baik pada tanah mineral masam maupun basa yang bertekstur pasir atau liat. Oleh karena itu, batas kritis P-HCl 25% sebesar 20 mg P2O5/ 100 g tidak berlaku umum untuk semua jenis tanah, serta terlalu riskan jika P potensial digunakan sebagai indeks ketersediaan hara P. Selain faktor tersebut di atas, kemampuan daya sangga tanah dengan pH tanah < 5,50 (sangat masam sampai mendekati netral) ditentukan oleh jumlah dan derajat kristalinitas Fe dan Al oksida terhidrasi. Sebaliknya, kemampuan daya sangga tanah pada tanah berkapur dengan pH tanah > 6 (di atas netral) ditentukan oleh jumlah Ca dapat ditukar dan CaCO3 (Kamprath dan Watson 1980). Di samping itu, ion P bersifat tidak mobil sehingga gerakan ion H2PO4-, HPO42-, dan PO43melalui selaput air di sekitar partikel pasir bergantung pada pH tanah (Woodruff dan Kamprath 1965; Baldovinos dan Thomas 1967). Oleh karena itu, jika status P-HCl 25% pada tanah bertekstur pasir atau liat dinilai sama tingginya dengan rekomendasi pupuk masing-masing 100 kg SP-36/ ha untuk status P rendah, 75 kg SP-36/ha untuk status P sedang, dan 50 kg SP-36/ ha untuk status P tinggi, maka secara ilmiah perlu dikoreksi karena seharusnya takaran pupuk P tidak sama banyaknya. Batas kritis unsur P larutan atau P eksternal untuk tanah sawah bertekstur kasar lebih tinggi daripada yang bertekstur liat. Pada kondisi lapang, jika status P-HCl 25% lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai batas kritisnya dan tanaman padi tidak respons terhadap P maka kurva erapan P dapat digunakan untuk menduga kebutuhan pupuk P. Fakta di lapang menunjukkan bahwa tanaman padi tidak respons terhadap P padahal status hara P tanah rendah (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993). Demikian juga, jika tanaman padi tidak respons terhadap P karena status hara P-HCl 25% sudah tinggi, jika dipastikan nilai P–0,01 M CaCl2 > 0,01 ppm P, maka pupuk P tidak harus diberikan (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1993). Keunggulan pengukuran P-Bray 1 dibandingkan P-HCl 25% adalah larutan PBray 1 merupakan larutan pengekstrak asam lemah dari campuran HCl 0,025 N dan NH4F 0,03 N (Fitts 1956). Ion F– dari senyawa NH 4 F berfungsi sebagai ion pengompleks sehingga readsorpsi P diperkecil. Selanjutnya ion Al3+ dari tanah dan F– dari senyawa NH4F membentuk senyawa kompleks sehingga P yang terukur nilainya tinggi (Nelson et al. 1953; Chang dan Jackson 1957). Kombinasi HCl dan NH4F dapat mengekstrak P dari senyawa Ca-P yang mudah larut dalam jumlah banyak, dan bentuk Al-P dan Fe-P dalam jumlah sedikit. Namun, indeks ketersediaan P yang ditetapkan dengan larutan pengekstrak asam lemah tersebut sangat bervariasi, karena kandungan Al dan Fe sangat heterogen sehingga jumlah P yang terukur ditentukan oleh jenis mineral dalam hubungannya dengan kandungan Al dan Fe. Hal ini karena tanah didominasi mineral 1:1, 2:1 atau campuran dari keduanya serta proporsinya. Pengekstrak Bray 1 merupakan metode ekstraksi P terbaik dibanding Bray 2, Double Acid, Truog, air, dan 0,01 M CaCl2 untuk hubungan kuadratik antara hasil kentang dan P terekstrak dengan koefisien korelasi terbesar (r = 0,82) dan batas kritis P sebesar 20 ppm P pada tanah Hydric Dystrandepts. Kurva kalibrasi menunjukkan tiga kelas ketersediaan dari residu hara P dengan pengekstrak Bray 1 untuk tanaman kentang, yaitu < 15 ppm P (kelas rendah), 15–30 ppm P (kelas sedang), dan > 30 ppm P (kelas tinggi) (Widjaja-Adhi dan Widjik 1984). Jika ketersediaan hara P diperoleh tiga kelas berarti percobaan kalibrasi P dilakukan di lokasi dengan tiga status hara P, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Namun, jika percobaan dilakukan pada lahan dengan status hara P sedang dan tinggi akan diperoleh dua kelas ketersediaan hara P, seperti pada tanah Grumusol dengan menggunakan pengekstrak Bray 1 yang menghasilkan dua kelas, yaitu < 18 ppm P2O5 (sedang) dan > 18 ppm P2O5 (tinggi) dengan padi sebagai Tabel 2. Hubungan P-HCl 25% dan tanggap tanaman padi sawah terhadap pupuk P. Fosfat Lokasi Sidorahayu, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan Pemetung Besuki (OKU)-Sumatera Selatan Tanjungsari, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan Triyoso, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan Tegalrejo, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan Ordo tanah Alfisols Inceptisols Inceptisols Inceptisols Ultisols P-HCl 25% (mg P 2O5/100 g) P-Bray1 (ppm P 2O 5 ) 18 15 12 10 24 5,80 31,30 29 38,70 3,20 Hasil gabah kering (t/ha) pada berbagai takaran P (kg TSP/ha) 0 50 100 150 200 0,72 6,16 5,02 7,61 4,02 7,13 6,15 5,18 7,16 3,89 7,08 6,59 5,10 7,15 4,14 − 6,40 5,25 7,34 − 6,92 6,11 5,30 7,66 3,90 Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993). 58 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 tanaman uji. Oleh karena itu, tanaman untuk percobaan kalibrasi P pada lokasi dengan status P sebelum percobaan sedang dan tinggi tidak respons terhadap P. P-Bray 2 berkorelasi terhadap pertumbuhan padi gogo pada tanah Ultisols dengan batas kritis yang ditetapkan dengan metode Cate dan Nelson (1965) 6,50 ppm P (Tabel 1; Al-Jabri et al. 1984a). Pengekstrak P-Bray 2 dapat digunakan untuk menduga kelas ketersediaan hara P tanah dan kebutuhan pupuk P untuk tanaman jagung pada Oxic Dystrudepts, dengan kelas ketersediaan hara P < 5 ppm P (rendah), 5−12 ppm P (sedang), dan > 12 ppm P (tinggi) (Purnomo dan Nursyamsi 2000). Batas kritis P-Truog untuk tanaman padi gogo adalah 21 ppm P di rumah kaca (Al-Jabri et al. 1984a), yang ditetapkan dengan metode Cate dan Nelson (1965). Metode ekstraksi P-Truog modifikasi merupakan metode ekstraksi P terbaik (AlJabri et al. 1984a). Metode ekstraksi PTruog modifikasi tersebut selanjutnya dimodifikasi lagi dengan nisbah tanah dan pengekstrak dan waktu kocok yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan, nisbah tanah dan pengekstrak yang terbaik adalah 1:80 dan 1:100 dengan koefisien korelasi sangat nyata, yaitu r = 0,87** terhadap P diserap tanaman dan r = 0,79** terhadap persentase bobot kering. Pada nisbah tanah dan pengekstrak 1:80, waktu kocok yang terbaik adalah 30 menit (Widjik 1984). Dengan demikian, perubahan nisbah tanah dan pengekstrak dari 1:100 menjadi 1:80 akan mengefisienkan penggunaan larutan. Widjaja-Adhi (1986) menginterpretasi ulang data analisis P-Truog untuk menentukan kelas ketersediaan hara berdasarkan metode analisis keragaman yang dimodifikasi (Nelson dan Anderson 1977). Hasil analisis menunjukkan bahwa PTruog untuk padi gogo terbagi dalam tiga kelas, yaitu < 7,50 ppm P (rendah), 7,50– 15 ppm P (sedang), dan > 15 ppm P (tinggi). Kelas ketersediaan hara P rendah, sedang, dan tinggi berhubungan erat dengan takaran pupuk P yang harus diberikan serta uji korelasi dari metode ekstraksi yang terbaik dan kalibrasi. Makin tinggi kelas ketersediaan hara, makin rendah pupuk P yang diberikan. Kelas ketersediaan hara P untuk tanaman padi pada tanah Aluvial dengan menggunakan pengekstrak Truog adalah < 8 ppm P2O5 (rendah), 8−22 ppm P2O5 (sedang), > 22 ppm P2O5 (tinggi) (NurJurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 syamsi et al. 1993). Pada tanah Grumusol, diperoleh dua kelas ketersediaan hara P, yaitu < 170 ppm P2O5 (sedang) dan > 170 ppm P 2O 5 (tinggi), karena percobaan kalibrasi P dilakukan di lokasi dengan status hara P sedang dan tinggi, sehingga tanaman padi tidak respons terhadap P. P-Truog modifikasi sesuai digunakan untuk tanaman jagung pada lahan kering dan padi pada lahan sawah. Sholeh et al. (1996) melaporkan bahwa P-Truog modifikasi merupakan metode uji P yang paling sesuai untuk padi sawah pada tanah Typic Ochraqualfs Sumatera Selatan dan Typic Hapludults Sumatera Barat. Batas kritis P-Olsen untuk tanaman padi gogo adalah 5 ppm P di rumah kaca (Al-Jabri et al. 1984a) yang ditetapkan dengan metode Cate dan Nelson (1965), kemudian diinterpretasi ulang oleh Widjaja-Adhi (1986) untuk menentukan kelas ketersediaan hara berdasarkan metode analisis keragaman yang dimodifikasi (Nelson dan Anderson 1977). Hasil uji korelasi dan kalibrasi menunjukkan bahwa P-Olsen untuk tanaman padi gogo dibagi ke dalam dua kelas, yaitu < 5,30 ppm P (rendah) dan > 5,30 ppm P (sedang). Batas kritis P-Olsen 5,30 ppm P tersebut lebih rendah dari batas kritis P untuk tanaman gandum yaitu 10 ppm P (Kamprath dan Watson 1980). Perbedaan batas kritis tersebut disebabkan adanya perbedaan jenis tanah, tanaman, dan iklim. Tiga kelas ketersediaan hara P untuk tanaman padi pada tanah Aluvial menggunakan pengekstrak Olsen adalah < 16 ppm P 2O 5 (rendah), 16−24 ppm P 2O 5 (sedang), dan > 24 ppm P2O5 (tinggi) (Nursyamsi et al. 1993), sedangkan pada tanah Grumusol adalah < 34 ppm P2O5 (sedang) dan > 34 ppm P2O5 (tinggi). Diperolehnya dua kelas ketersediaan hara P-Olsen pada tanah Grumusol karena percobaan kalibrasi P dilakukan di lokasi dengan status hara P sedang dan tinggi, sehingga tanaman padi tidak respons terhadap P. Batas kritis P-Olsen untuk tanaman jagung pada tanah Oxisols Kendari (Sulawesi Tenggara) adalah 8 ppm P2O5 (Kasno et al. 2001). Kebutuhan P-eksternal untuk jagung pada tanah tersebut adalah 0,0086 mg P/g, lebih rendah dari hasil penelitian sebelumnya (Widjaja-Adhi dan Silva 1986). Pengekstrak P-Colwell dapat digunakan untuk menduga ketersediaan hara P tanah dan kebutuhan pupuk P untuk tanaman jagung pada Oxic Dystrudepts. Tiga kelas ketersediaan hara P-Colwell adalah < 18 ppm P (rendah), 18−34 ppm P (sedang), dan > 34 ppm P (tinggi) (Purnomo dan Nursyamsi 2000). Ekstraksi K dengan Pelarut SNSA, Kelas Ketersediaan Hara K, dan Kalibrasi K Metode penetapan K terbaik diperlukan untuk mengukur ketersediaan K tanah dalam kaitannya dengan takaran pupuk yang harus diberikan. Pemilihan metode K telah dilakukan selama hampir tiga dekade yang lalu, namun uji korelasi antara K terekstrak dan hasil tidak selalu nyata. Larutan 1 N K-HNO3 pH 7 merupakan pengekstrak terbaik dibanding pengekstrak lainnya (HCl 25%, asam sitrat, Bray 1, Olsen, Morgan Venema, 1 N NH4-asetat pH 7), karena berkorelasi sangan nyata dengan bobot kering tanaman (r = 0,81) dari 20 contoh tanah sawah, sedangkan metode ekstraksi asam sitrat 2% dan K dapat ditukar (K-dd) 1 N NH4-asetat hanya berkorelasi nyata (Tabel 3; Purwanto dan Adiningsih 1980). Beberapa hasil penelitian uji tanah yang berkaitan dengan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi K dalam beberapa dekade terakhir disajikan pada Tabel 3. Larutan 0,03 N NH4F + 0,10 N HCl (Bray 2) merupakan pengekstrak terbaik dengan koefisien korelasi tertinggi dan batas kritis K sekitar 106 ppm K (0,27 cmol K/kg) dibanding pengekstrak lainnya (7,70 N HCl; 0,50 M NaHCO3, Olsen; 0,03 N NH4F + 0,025 N HCl (Bray 1), 1 N NH4asetat pH 7) dari 25 contoh tanah sawah (Tabel 3; Adiningsih dan Sudjadi 1983). Batas kritis K untuk 7,70 N HCl adalah 416 ppm K (51 mg K2O/100 g), 0,50 M NaHCO3 120 ppm K (0,31 cmol K/kg), 0,03 N NH4F + 0,025 N HCl 100 ppm K (0,26 cmol K/kg), dan 1 N NH4-asetat 156 ppm K (0,40 cmol K/kg). Perbedaan nilai batas kritis K untuk semua pengekstrak (kecuali 7,70 N HCl) sekitar 0,26−0,40 cmol K/kg disebabkan oleh perbedaan daya ekstraknya. Jika Kdd tanah < 0,26 cmol K/kg berarti pupuk K harus diberikan, terutama pada tanah Oxisols bermuatan positif yang didominasi mineral liat 1:1 dan tanah Ultisols bertekstur pasir karena K mudah tercuci. Batas kritis K untuk pengekstrak 7,70 N HCl atau HCl 25% (416 ppm K = 51 mg K2O/100 g) lebih tinggi dari kelas status hara K tanah sawah yang dinilai tinggi (> 20 mg K2O/100 g). 59 Tabel 3. Hasil penelitian uji tanah tentang pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi K dalam beberapa dekade terakhir. Metode ekstraksi Jenis tanah Tanaman uji R2 Morgan Venema Asam sitrat 2% 1 N K-HNO3, pH 7 Olsen HCl 25% K-dd Bray 2 7,70 N HCl Bray 1 1 N NH 4-asetat (K-dd) Olsen 5 metode ekstraksi K 1 N NH4OAc Tanah sawah Padi-IR36 1 Padi-IR36 1 Padi-IR36 1 Padi-IR36 1 Padi-IR36 1 Padi-IR36 1 Padi1 Padi1 Padi1 Padi1 Padi1 Padi Padi SN SN N N N N SN TN SN SN SN N 1 Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah Tanah sawah sawah sawah sawah sawah sawah sawah sawah sawah Latosol Grumusol − − − − − − 106 416 100 156 120 − 156 Kelas ketersediaan hara K Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat dibuat Sumber Purwanto dan Adiningsih (1980) Purwanto dan Adiningsih (1980) Purwanto dan Adiningsih (1980) Purwanto dan Adiningsih (1980) Purwanto dan Adiningsih (1980) Purwanto dan Adiningsih (1980) Adiningsih dan Sudjadi (1983) Adiningsih dan Sudjadi (1983) Adiningsih dan Sudjadi (1983) Adiningsih dan Sudjadi (1983) Adiningsih dan Sudjadi (1983) Supardi dan Adiningsih (1982) Tim Pembina Uji Tanah (1973) Percobaan rumah kaca; SN = sangat nyata; N = nyata; TN = tidak nyata; R = rendah; S = sedang; T = tinggi. Batas kritis K-dd berkisar antara 0,20− 0,40 cmol K/kg, bergantung pada jenis tanaman, tanah, dan lingkungannya. Tanaman sangat respons terhadap pupuk K jika nilai K-dd < 0,20 cmol K/kg, agak respons jika nilai K-dd antara 0,20−0,40 cmol K/kg, dan tidak respons jika nilai Kdd > 0,40 cmol K/kg. Supardi dan Adiningsih (1982) melaporkan bahwa kelima metode ekstraksi K yang digunakan berkorelasi nyata dengan K yang diserap tanaman. Oleh karena itu, salah satu dari lima metode tersebut dapat digunakan sebagai penduga jumlah K tersedia dalam tanah. Gill dan Adiningsih (1986) melaporkan bahwa pupuk K berpengaruh nyata terhadap tanaman padi dan kedelai apabila sisa tanaman setelah panen tidak dikembalikan ke tanah. Pemberian sisa tanaman meningkatkan hasil secara nyata pada takaran K rendah dan mengurangi respons tanaman terhadap pupuk K. Pengekstrak Olsen modifikasi untuk penetapan kadar K memberikan korelasi yang lebih baik antara K dan hasil tanaman daripada pengekstrak 1 N NH4OAc atau Mechlich 1. Percobaan kalibrasi K di 153 lokasi menunjukkan, padi yang ditanam di 31 lokasi (Serang, Subang, Cirebon, Demak, Grobogan, Karanganyar, Madiun, Ngawi) memberikan respons terhadap pupuk K, dan di beberapa lokasi responsnya nyata. Uji korelasi K terekstrak terhadap persen hasil menunjukkan bahwa ekstraksi Olsen dan K-dd 1 N NH4OAc memberi harapan yang baik. Batas kritis K-dd secara tentatif 60 Batas kritis K (ppm) untuk padi sawah dengan metode Cate dan Nelson (1965) berkisar antara 0,30− 0,50 cmol/kg (rata-rata 0,40 cmol/kg atau 156 ppm K) (Tim Pembina Uji Tanah 1973; Adiningsih 1988). K-dd untuk tanah mineral masam tropis kurang dianjurkan untuk digunakan sebagai indeks ketersediaan hara karena terdapat banyak penyimpangan (Middelburg 1955; Soepartini 1988). Oleh karena itu, kebutuhan K pada tanah tropis diduga dari K- HCl 25% (larutan asam keras) dan asam sitrat 2%, sebaliknya penetapan Kdd untuk tanah dengan pH > 7 dianjurkan menggunakan larutan 1 N NH4-asetat pH 7. Penetapan K-dd dengan 1 N NH4-asetat pH 7 mungkin tidak sesuai untuk tanahtanah mineral masam, karena reaksi antara bentuk K tidak dapat ditukar (K-tdd) dengan K-dd berlangsung tidak seimbang, akibat K-tdd sangat lambat diubah menjadi K-dd. Karena indeks ketersediaan K dalam bentuk K-dd yang ditetapkan dengan larutan 1 N NH4-asetat pH 7 untuk tanahtanah dengan K-dd rendah, baik pada kondisi bentuk K-tdd yang diukur dengan HCl 25% rendah atau tinggi, maka metode ekstraksi K-dd dengan 1 N NH4-asetat dimodifikasi dengan mengatur pH larutan (pH 5; 5,50; 6; dan 7). Bertsch dan Thomas (1985) melaporkan bahwa hubungan antara mineral tanah dan ketersediaan K+ dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pelapukan K-mineral, pola tanam, sejarah pemupukan, dan interaksi faktor-faktor tersebut. Keseimbangan yang sangat kompleks antara mineral tanah, daerah pertukaran, dan larutan mengakibatkan penilaian ketersediaan K+ sangat sulit. De Datta dan Mikkelsen (1985) melaporkan, ketersediaan K+ dalam tanah di daerah tropis lebih rendah daripada di daerah subhumid tropis, karena proses pelapukan di daerah tropis berlangsung intensif dan K+ terus hilang tercuci. Tingkat K+-dd dan K + larutan tanah pada tanah berpasir dan tanah yang didominasi liat kaolinit tergolong sangat rendah sampai sedang, karena daya sangga K sangat rendah, sehingga pemberian pupuk K perlu dilakukan. Sebaliknya, tanah bertekstur berat yang didominasi liat illite dan montmorillonite umumnya mempunyai Kdd relatif tinggi dan daya sangga K sangat baik, tetapi konsentrasi K+ dalam larutan rendah karena disuplai dari K-tdd (Kemmler 1980). Jumlah K yang disuplai dari tanah yang didominasi tipe liat illite dan montmorillonite bergantung pada jumlah K yang diadsorpsi. Rochayati et al. (1990) melaporkan, padi sawah umumnya tidak respons terhadap pemupukan K baik pada tanah dengan status K rendah, sedang maupun tinggi, karena pupuk KCl mudah larut dan tercuci dan ion K+ dijerap dalam kisi-kisi mineral liat illite dan montmorillonite. Sholeh et al. (1997) melaporkan, umumnya beberapa metode uji tanah K tidak berkorelasi dengan hasil padi sawah pada tanah Ochraaqualfs dan Tropaquepts, karena kalibrasi K dilakukan pada lokasi dengan status K tanah sedang sampai Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 tinggi, sehingga status K tanah tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelas ketersediaan hara uji tanah. Meskipun demikian, penetapan K dengan ekstraksi Morgan Vinema dan Truog modifikasi memberi harapan yang baik untuk tanah Typic Hapludults Sumatera Barat. Karena interpretasi ketersediaan K+ sangat sulit maka ke depan perlu dilakukan penelitian yang lebih intensif untuk mengungkap hubungan kuantitas dan intensitas K (quantity and intensity = Q/ I) untuk menduga kemampuan tanah dalam penyediaan hara K. Daya dan kapasitas erapan K tanah menentukan status K tanah, efektivitas pupuk, dan tingkat pencucian. Sulaeman et al. (2001a) melaporkan, daya serap K tanah Ultisols Lampung dan Oxisols Sitiung masing-masing sebesar 19,91 dan 10,60 x 105 M, dengan kapasitas serap K 0,80 dan 3,77 cmol/kg. Daya erap K tanah Ultisols Lampung yang lebih tinggi dari tanah Oxisols Sitiung mengakibatkan efektivitas pupuk K pada tanah Ultisols Lampung (23%) lebih rendah daripada Oxisols Sitiung (42%). Penentuan status K tanah dan K tersedia (nisbah aktivitas) perlu dikombinasikan dengan K-labil (K-dd). Intensitas K (K tersedia) pada pemupukan K optimum untuk jagung sebesar 0,0048 M dengan K-dd yang terbentuk pada kondisi itu sebesar 0,41 cmol/kg untuk Ultisols Lampung dan 0,72 cmol/kg untuk Oxisols Sitiung. Rendahnya efektivitas pupuk K pada tanah Ultisols Lampung dan Oxisols Sitiung disebabkan hara K tercuci. Pada pemupukan K optimum, K yang tercuci oleh 1.000 mm air untuk tanah Ultisols Lampung sebanyak 105 ppm K (210 kg K/ ha) dan untuk tanah Oxisols Sitiung 109 ppm K (218 kg K/ha). Neraca hara K tanah Ultisols Lampung dan Oxisols Sitiung pada status K optimum dan pencucian 1.000 mm air menurun masing-masing 50 dan 75 ppm K (100 dan 150 kg K/ha). Untuk mempertahankan status K tanah maka penurunan K harus dikompensasi. Neraca hara tersebut belum memperhitungkan pengembalian sisa panen dan masukan K dari air irigasi. Ekstraksi S dengan Pelarut SNSA, Kelas Ketersediaan Hara S, dan Kalibrasi S menduga ketersediaan hara S dari 15 contoh tanah sawah di rumah kaca (Sulaeman et al. 1984). Kadar hara S tersedia pada tanah sawah berkorelasi positif sangat nyata dengan persentase bobot kering dan unsur hara yang diserap tanaman, dengan koefisien korelasi masing-masing 0,682 dan 0,7523 dan batas kritis 120 ppm SO42- atau 40 ppm S. Hal itu berarti jika kandungan S tanah sawah < 40 ppm maka hara S dalam bentuk pupuk (NH4)2SO4 perlu diberikan. Kelas ketersediaan S tanah-tanah sawah di Jawa belum dikelompokkan ke dalam tiga kelas percobaan kalibrasi. Namun, penyebaran status S pada tanahtanah sawah di Jawa dengan kriteria S terekstrak larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500 ppm P dengan nilai S < 10 ppm, 10−30 ppm, dan > 30 ppm masing-masing dapat dinyatakan rendah, sedang, dan tinggi (Purnomo et al. 1989). Meskipun status S tanah dapat dikelompokkan menjadi rendah, sedang, dan tinggi, kelas ketersediaan hara belum dapat dikelompokkan karena kalibrasi S dilakukan pada 26 lokasi dengan status S tinggi, 31 lokasi dengan status S sedang, dan hanya satu lokasi yang berstatus S rendah (Santoso et al. 1990). Percobaan kalibrasi S untuk penetapan rekomendasi pemupukan belum dimantapkan. Namun jika hasil analisis S dengan larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500 ppm P jauh di bawah 10 ppm S (10 kg S/ha) maka hara S dari pupuk ZA perlu diberikan dikombinasikan dengan pupuk urea di mana jumlah N dari kedua sumber pupuk tersebut adalah 120 kg N/ha (Tabel 4). Jika hasil analisis tanah menunjukkan pupuk S belum perlu diberikan karena S dapat disuplai oleh air hujan dan air irigasi, maka tanaman padi tidak respons terhadap S. Oleh karena itu, indeks ketersediaan S didekati melalui analisis jaringan kemudian nisbah N/S daun dihitung. Al-Jabri et al. (1984c) melaporkan, nisbah N/S = 16/1 merupakan batas kritis untuk tanaman padi; artinya jika nisbah N/S > 16/1 maka tanaman padi kahat S dengan konsentrasi S < 0,11%. Hasil penelitian tentang kahat S telah terdokumentasikan (Ismunadji et al. 1983), namun penelitian masih diperlukan agar kebutuhan hara S tanah sawah dapat dipetakan. Tabel 4. Rekomendasi hara S-(NH4 )2SO 4 dalam hubungannya dengan kombinasi pupuk N- urea dan N-(NH4 )2SO4 . N urea (kg/ha) Kontribusi N (kg/ha) dari (NH4)2SO4 Kandungan S tanah awal (kg S/ha) Hara S yang ditambahkan (kg S/ha)1 Takaran pupuk (NH4)2SO4 (24% S) (kg S/ha) Takaran urea (45% N) yang ditambahkan (kg N/ha) 102,57 103,41 104,25 105,09 105,93 106,77 107,82 108,66 109,50 110,34 111,18 112,02 113,07 113,91 114,75 115,59 116,43 117,27 118,32 119,16 120 17,43 16,59 15,75 14,91 14,07 13,23 12,18 11,34 10,50 9,66 8,82 7,98 6,93 6,09 5,25 4,41 3,57 2,73 1,68 0,84 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 83 79 75 71 67 63 58 54 50 46 42 38 33 29 25 21 17 13 8 4 0 228 230 232 234 235 237 240 241 243 245 247 249 251 253 255 257 259 261 263 265 267 Dihitung dengan rumus: 20 - kandungan S awal. Sumber: Al-Jabri (2006). 1 Larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500 ppm P merupakan pengekstrak terbaik untuk Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 61 Ekstraksi Zn dengan Pelarut SNSA, Kelas Ketersediaan Hara Zn, dan Kalibrasi Zn Intensifikasi pertanian yang telah berlangsung cukup lama menyebabkan timbulnya faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Pemupukan P pada tanah sawah selama bertahun-tahun telah menimbulkan gejala kahat unsur mikro, antara lain Zn. Kahat Zn dapat terjadi pada tanah berpasir yang mengalami pencucian lanjut, tanah berkadar bahan organik tinggi, tanah bereaksi alkalin, tanah berdrainase buruk dan selalu tergenang, serta tanah yang terus-menerus ditanami padi dengan pemupukan takaran tinggi (Soepardi 1982). Di Indonesia, kahat Zn pada tanah sawah dijumpai antara lain pada tanah Grumusol di Ngale Jawa Timur (Yoshida et al. 1973), tanah organik Delta Upang dan Latosol Bogor (Mat Akhir 1976), tanah Regosol dan Grumusol yang disawahkan di Lombok (Abubakar 1987), serta tanah sawah di Bali (Subadiyasa 1988). Tanah sawah di Jawa yang berkadar Zn-DTPA < 1 ppm meliputi 880.394 ha atau 26% dari luas sawah total, di Lombok 53.750 ha atau 44%, dan di Sulawesi Selatan 368.500 ha (Al-Jabri et al. 1990). Percobaan kalibrasi Zn di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lombok, dan Sulawesi Selatan pada tanah Regosol, Grumusol, dan Aluvial yang tidak dipupuk P menunjukkan kenaikan hasil gabah (Al-Jabri et al. 1990). Pengaruh pemupukan Zn pada beberapa tingkat pupuk P bersifat sangat spesifik lokasi, berjarak 1−3 km, pada tiap jenis tanah (Regosol, Grumusol, dan Aluvial), sehingga takaran Zn tidak mungkin berlaku umum di semua tempat. Pemupukan 56 kg ZnSO4 + 100 kg TSP/ha merupakan perlakuan terbaik untuk tanah Regosol, dan perendaman bibit padi dalam larutan 0,05% ZnSO4 sekitar 5 menit + 100 kg TSP/ha merupakan perlakuan terbaik untuk tanah Grumusol dan Aluvial. Padi yang ditanam pada tanah Grumusol dan Aluvial kurang respons terhadap Zn pada perlakuan 100 dan 200 kg TSP/ha karena Zn langsung diikat P, sedangkan bila tanpa perlakuan P, Zn langsung diserap akar tanaman meskipun ketersediaan Zn tanah melebihi nilai batas kritisnya. Penelitian pemilihan metode analisis Zn pada tanah sawah Jawa Barat dan Jawa Timur menunjukkan bahwa metode ekstraksi DTPA-TEA memberikan korelasi yang lebih dapat dipercaya dengan batas kritis 1 ppm Zn, dibandingkan dengan 0,10 N HCl, EDTA-(NH4)2CO3, dan ammonium acetate dithizone (Al-Jabri et al. 1984b). Secara tentatif, batas kritis Zn pada tanaman padi sawah adalah < 26 ppm Zn. Meskipun pH tanah dan ketersediaan Zn tidak selalu berkorelasi negatif, pH tanah dan serapan Zn berkorelasi negatif. Ketersediaan Zn dan serapan Zn berkorelasi positif untuk tanah-tanah sawah Jawa Barat, sebaliknya untuk tanah-tanah sawah Jawa Timur berkorelasi negatif. Untuk kasus di Jawa Timur, hal itu berarti meskipun ketersediaan Zn berdasarkan hasil ekstraksi > 1 ppm Zn, tetapi akar tanaman tidak dapat menyerap Zn karena aktivitas Zn sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Berdasarkan uji korelasi antara Zn total (HNO3+HClO4) dengan Zn tersedia (0,05 N HCl, DTPA-TEA, ammonium acetate dithizone), Zn yang diekstrak 0,05 N HCl dan ammonium acetate dithizone sesuai untuk mengukur ketersediaan Zn pada tanah Podsolik Merah Kuning Jawa Barat, sedangkan Zn yang diekstrak dengan DTPA-TEA sesuai untuk tanah Grumusol Jawa Timur (Suryadi 1982). Hasil analisis kelas ketersediaan Zn dengan lima macam pengekstrak disajikan pada Tabel 5 (Nelson dan Anderson 1977; Al-Jabri et al. 1990) . Rekomendasi pemupukan Zn belum dapat dimantapkan, karena respons tanaman padi sawah terhadap Zn bersifat spesifik lokasi dan sangat bergantung pada sifat tanah. Karena pada keadaan tertentu pemupukan P dan Zn berkorelasi negatif maka bibit padi perlu dicelupkan ke dalam larutan Zn 0,05% selama 5−10 menit (Al-Jabri dan Soepartini 1995). Tabel 5. Kelas ketersediaan Zn (ppm) dalam tanah sawah untuk tanaman padi pada tiga tingkat takaran pemberian P. Tanah/ pengekstrak 0 kg P/ha Rendah Regosol DTPA HCl 0,05 N HCl 0,10 N (NH4)2SO4 Baker − − − − − Grumusol DTPA HCl 0,05 N HCl 0,10 N (NH4)2SO4 Baker − − − < 0,18 − Aluvial DTPA HCl 0,05 N HCl 0,10 N (NH4)2SO4 Baker − − − − − 20 kg P/ha 40 kg P/ha Sedang Tinggi Rendah Sedang < < < < < > 2,50 >4 >5 < 0,23 > 1,30 − − − < 0,20 − < 2,50 < 3,75 < 6,10 0,20−0,36 < 1,30 > > > > > 2,50 3,75 6,10 0,36 1,30 > > > > > 3,91 0,12 6,48 0,07 2,13 − < 0,12 < 0,18 − − < 5,02 0,12−2,22 0,18−5,50 < 0,07 < 1,72 > > > > > > > > > > 4,10 2,74 5,40 3,30 2,37 − − − − < 0,80 < 4,30 < 3,58 < 7,52 < 0,08 0,80−2,09 > > > > > 2,50 4 5 0,23 1,30 < 3,91 < 0,12 0,18−6,48 < 0,07 < 2,13 < < < < < 4,10 2,74 5,40 3,30 2,37 Tinggi Rendah Sedang Tinggi − − − − − < < < < < 1,80 2,75 6,10 0,22 1,96 > > > > > 1,80 2,75 6,10 0,22 1,96 5,02 2,22 5,50 0,07 1,72 − − − − − < < < < < 1,63 0,28 2,86 0,03 2,57 > > > > > 1,63 0,28 2,86 0,03 2,57 4,30 3,58 7,52 0,08 2,09 − − − − − < < < < < 3,25 4,53 6,37 1,02 2,09 > > > > > 3,25 4,53 6,37 1,02 2,09 Sumber: Al-Jabri et al. (1990). 62 Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 Ketersediaan Zn pada tanah Regosol, Grumusol, dan Aluvial untuk tanaman padi sawah pada perlakuan 0, 20, dan 40 kg P/ha hanya dapat dikelompokkan ke dalam kelas sedang dan tinggi (Al-Jabri et al. (1990). Pengekstrak (NH4)2SO4 menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara Zn terekstrak dengan kenaikan hasil gabah pada tanah Regosol, dengan batas kelas sedang dan tinggi pada perlakuan 0, 20, dan 40 kg P/ha masingmasing 0,23 ppm, 0,20 ppm, dan 0,22 ppm. Pengekstrak Baker juga menghasilkan hubungan sangat nyata antara Zn terekstrak dengan kenaikan hasil gabah pada tanah Regosol dengan perlakuan 0 dan 20 kg P/ha dan tanah Grumusol dengan perlakuan 0, 20, dan 40 kg P/ha masingmasing 2,13 ppm, 1,72 ppm, dan 2,57 ppm Zn. Pengekstrak DTPA menghasilkan hubungan nyata antara Zn terekstrak dengan kenaikan hasil gabah pada tanah Regosol tanpa perlakuan P dengan batas kritis 2,50 ppm. Pengekstrak 0,05 N HCl dan 0,10 N HCl menunjukkan hubungan sangat nyata dengan kenaikan hasil gabah pada tanah Aluvial tanpa perlakuan P, dengan batas kritis 2,74 dan 5,40 ppm. Uji Tanah dengan MultiNutrient Soil Analysis Uji tanah dengan pengekstrak Morgan (Wolf) yang dimodifikasi untuk menentukan rekomendasi pemupukan telah diadopsi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BB SDLP) mulai tahun 2001, namun masih terbatas untuk pengujian di rumah kaca. Uji tanah MNSA yang digunakan di luar negeri telah dikorelasikan dengan SNSA yang biasa digunakan di Indonesia. Pengekstrak yang dikorelasikan adalah Bray 1, Olsen, HCl 25% untuk unsur P dan K, NH4OAc pH 7 untuk kation-kation dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) dan KTK, DPTA untuk unsur mikro, serta asam nitrat dan perklorat untuk C dan N total. Hasil penelitian menunjukkan, pengekstrak Morgan (Wolf) memperlihatkan korelasi yang baik dengan yang digunakan di BB SDLP, kecuali untuk unsur mikro Cu, Zn, Fe, dan Mn (Sholeh et al. 2001). Takaran pemupukan N (urea) dan K (KCl) (Sulaeman et al. 2001a) serta P (SP36) (Sulaeman et al. 2001b) yang direkomendasikan berdasarkan uji tanah Jones dan Wolf dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari takaran optimum pada saat Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 dilakukan uji verifikasi. Oleh karena itu, sebelum memiliki metode uji tanah sendiri, uji tanah Jones dan Wolf yang telah disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia sangat berguna untuk memformulasikan rekomendasi pemupukan yang efisien dan aman. HASIL UJI TANAH YANG SUDAH DICAPAI Uji tanah hara P dengan menggunakan SNSA telah menghasilkan batas kritis PHCl 25% yaitu 20−30 mg P2O5/100 g, PBray 1 sekitar 6,50−30 ppm P, P-Bray 2 sekitar 5−12 ppm P2O5, P-Truog 5−22 ppm P2O5, P-Colwell 18−34 ppm P, dan P-Olsen 16−24 ppm P2O5. Kelas ketersediaan hara P dengan analisis keragaman yang dimodifikasi disajikan pada Tabel 6. Untuk uji tanah hara K, antara lain telah diperoleh batas kritis K-HCl 25% yaitu 416 ppm K, K-Bray 1 100 ppm K, KBray 2 106 ppm K, K-Olsen 120 ppm K, dan K NH4OAc 156 ppm K. Kelas ketersediaan hara K belum dapat dikelompokkan karena umumnya percobaan kalibrasi K dilakukan pada lokasi dengan status K tinggi. Untuk hara S, meskipun status S tanah sawah di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam rendah, sedang, dan tinggi, kelas ketersediaan hara S belum dapat dikelompokkan karena percobaan kalibrasi S dilakukan pada lokasi dengan status S tinggi. Indeks ketersediaan S dapat didekati melalui analisis jaringan, dengan batas kritis nisbah N/S daun = 16/ 1. Jika nisbah N/S tanaman >16/1 dengan konsentrasi S < 0,11% maka tanaman padi kahat S. Rekomendasi pemupukan Zn belum dapat dimantapkan karena respons padi sawah terhadap Zn bersifat spesifik lokasi dan bergantung pada sifat tanah. Jika pemupukan P dan Zn berkorelasi negatif maka masalah tersebut diatasi dengan mencelupkan bibit padi ke dalam larutan 0,05% ZnSO4 selama 5−10 menit. PROGRAM UJI TANAH MASA DEPAN DI INDONESIA Penentuan rekomendasi pemupukan cukup mahal dan prosesnya memerlukan waktu lama. Di luar negeri, uji tanah berkembang cepat dan telah menggunakan pelarut MNSA. Sementara di Indonesia, rekomendasi pemupukan masih menggunakan SNSA dan belum tuntas antara lain karena keterbatasan dana. Program uji tanah masa depan di Indonesia dapat mengadopsi uji dengan pelarut MNSA dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu. Jones dan Wolf (1984) telah menentukan rekomendasi pemupukan hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S, dan hara mikro Cu, Zn, Fe, Mn, B untuk 143 jenis tanaman. Takaran pupuk yang direkomendasikan bergantung pada tekstur tanah, kandungan hara tanah, dan kebutuhan tanaman. Ada lima klasifikasi tekstur tanah yang diusulkan, yaitu sands (S), sandy and gravely loams (SL), loam Tabel 6. Kelas ketersediaan hara P dengan analisis keragaman yang dimodifikasi. Metode P-HCl 25% P-Bray 1 P-Bray 2 P-Truog P-Colwell P-Olsen P-Bray 1 P-Bray 1 P-Truog P-Truog P-Olsen P-Olsen 1 Jenis tanah Aluvial Aluvial Oxic Dystrudepts Aluvial Oxic Dystrudepts Grumusol Hydric Dystrandepts Grumusol Ultisols Grumusol Ultisols Aluvial Tanaman Padi Padi sawah Jagung Padi sawah Jagung Padi sawah Kentang Padi sawah Padi gogo Padi sawah Padi gogo Padi sawah Kelas ketersediaan P (ppm P)1 Rendah Sedang Tinggi < < < < < − < − < − − < 30−60 2,60–8 5–12 3,50–10 18–34 < 15 15–30 <8 7,50–15 < 74 < 5,30 7–15 > > > > > > > > > > > > 30 2,60 5 3,50 18 15 7,50 7 60 8 12 10 34 15 30 8 15 74 5,30 15 Untuk P-HCl 25% dalam mg P2O5/100 g. 63 (L), silt and clay loams (SiCl), dan organic soils (O). Takaran pupuk hasil uji verifikasi dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari hasil penelitian di luar negeri. Selanjutnya, hasil uji verifikasi tersebut digunakan untuk rekomendasi pemupukan spesifik lokasi dengan tekstur tanah yang sama pada luasan 10−25 ha dan ditetapkan setiap 3−4 tahun sekali. Prosedur analisis tanah baru untuk penetapan P-HCl 25% sebagai pelarut SNSA (Sulaeman et al. 2005) tidak melakukan penambahan 0,50 ml HCl 37% pada tanah dengan kandungan berkarbonat > 1% untuk setiap kenaikan 0,50% kandungan CaCO3, sebagaimana yang dilakukan pada prosedur analisis tanah lama (Sudjadi et al. 1971). Oleh karena itu, prosedur penetapan P-HCl 25% perlu dimodifikasi jika P potensial yang ditetapkan HCl 25% masih diperlukan untuk pembuatan peta status hara P tanah sawah dengan membe- dakan nisbah tanah dan pengekstrak, waktu kocok, dan pengenceran filtrat. Namun peta status hara P tanah sawah tersebut bukan digunakan untuk menentukan rekomendasi pemupukan, tetapi untuk realokasi kebutuhan pupuk pada setiap provinsi atau kabupaten. KESIMPULAN DAN SARAN Uji tanah dengan SNSA sudah dikembangkan di Indonesia lebih dari tiga dekade (1970−2006), namun rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi belum spesifik lokasi berdasarkan famili tanah. Uji tanah MNSA yang digunakan di luar negeri telah dikorelasikan dengan SNSA. Pengekstrak Morgan (Wolf) menunjukkan korelasi yang baik sebagaimana uji tanah SNSA untuk unsur P-Bray 1, P-Olsen, Ca-, Mg-, K-, Na-NH4OAc pH 7, C- dan N- total, kecuali untuk unsur mikro (Cu, Zn, Fe, Mn). Takaran pupuk N, P, dan K yang direkomendasikan berdasarkan uji tanah Jones dan Wolf untuk kondisi tanah dan iklim di Indonesia dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari takaran optimum pada saat dilakukan uji verifikasi. Untuk program uji tanah masa depan di Indonesia disarankan melakukan uji verifikasi terhadap rekomendasi pemupukan hasil kalibrasi di luar negeri yang telah menggunakan pelarut MNSA sesuai dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia. Hasil verifikasi selanjutnya digunakan untuk menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk kelompok tani dengan luasan maksimum 25 ha dan ditetapkan setiap 3−4 tahun sekali. Pelaksanaan program rekomendasi pemupukan tersebut memerlukan penelitian kemitraan antara lembaga penelitian dan pemerintah daerah. DAFTAR PUSTAKA Abubakar, B. 1987. Evaluasi Pendugaan Status Ketersediaan dan Pemberian Seng pada Regosol dan Grumosol Lombok yang Disawahkan terhadap Produksi Padi dan Kedelai. Tesis Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1983. Penilaian beberapa cara ekstraksi kalium tersedia pada tanah sawah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (1): 5−10. Adiningsih, J.S. 1988. Tinjauan hasil percobaan pemupukan kalium. hlm. 31−42. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Al-Jabri, M., I M. Widjik, A. Hamid, Soeharto, dan M. Soepartini. 1984a. Pemilihan metode uji P tanah-tanah masam dari Lampung dan Sitiung untuk padi gogo. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (3): 47−52. Al-Jabri, M., M. Soepartini, dan M.E. Suryadi. 1984b. Pemilihan metode uji Zn dan Cu pada tanah-tanah sawah dari Jawa Barat dan Jawa Timur dengan padi sebagai tanaman indikator. Prosiding No. 4/Penelitian Tanah. 271−290. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Al-Jabri, M., Sulaeman, M. Soepartini, dan J.S. Adiningsih. 1984c. Kadar sulfur dan perbandingan kadar nitrogen terhadap kadar sulfur tanaman padi sebagai penduga kebutuhan sulfur. Prosiding No. 4/Penelitian Tanah. Cipayung 21−23 Februari. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. hlm. 291−309. Al-Jabri, M., M. Soepartini, dan D. Ardi S. 1990. Status hara Zn dan pemupukannya di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efi- 64 siensi Penggunaan Pupuk V: 427−464. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Al-Jabri, M. dan M. Soepartini. 1995. Teknik pemupukan hara Zn pada tanah sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat (2): 1−6. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Al-Jabri, M. 2002. Penetapan kebutuhan kapur dan pupuk fosfat untuk tanaman padi (Oryza sativa L.) pada tanah sulfat masam aktual Belawang-Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. response data. Intl. Soil Testing. North Caroline State University, Raleigh. Tech. Bull. No. 1. Chang, S. and M.L. Jackson. 1957. Fractionation of soil phosphorus. Soil Sci. 84: 133−144. De Datta, S.K. and D.S. Mikkelsen. 1985. Potassium nutrition of rice. p. 665−699. In Munson (Ed.). Potassium in Agriculture. Am. Soc. Agron. Crop Sci. Soc. Am. Madison, Wisconsin, USA. De Geus, J.G. 1973. Fertilizer Guide for the Tropics and Subtropics. Centre d’Etude de l’Azote, Zurich. Second Edition. 774 pp. Al-Jabri, M. 2006. Penetapan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan analisis tanah untuk padi sawah. Jurnal Sumberdaya Lahan. 1(2): 25−35. Fitts, J.W. 1956. Soil tests compared with field, greenhouse, and laboratory results. N.C. Agric. Exp. Stn. Tech. Bull. 121. Anonymous. 1985. Cornell Recommends for Field Crops. New York State Coop. Ext. Serv. Fogg, D.N. and N.T. Wilkinson. 1982. The colorimetric determination of phosphorus. Analyst (London) 83: 406−414. Baldovinos, F. and G.W. Thomas. 1967. The effect of soil clay on phosphorus uptake. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 31: 680−682. Bertsch, P.M. and G.W. Thomas. 1985. Potassium status of temperate region soils. p. 131−162. In Munson (Ed.) Potassium in Agriculture. Am. Soc. Agron. Crop Sci. Soc. Am. Madison, Wisconsin, USA. Cajuste, L.S. and W.R. Kussow. 1974. Use and limitations of the North Caroline method to predict available phosphorus in some Oxisols. Trop. Agric. (Trinidad) 51: 246− 252. Cate, R.B. and A. Nelson. 1965. A rapid method for correlation of soil test analysis with plant Fox, R.L. and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate sorption isotherms for evaluating the phosphate requirements of soils. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 34: 902−907. Gill, D.W. and J.S. Adiningsih. 1986. Response of upland rice and soybeans to potassium fertilization, residue management and green manuring in Sitiung, West Sumatra. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (6): 26−32. Ismunadji, M., G.J. Blair, E. Momuat, and M. Sudjadi. 1983. Sulfur in the agriculture of Indonesia. p.16−179. In G.J. Blair and A.R. Till (Eds.). Sulfur in South-East Asian and South Pacific Agriculture. Research for Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 Development Seminar, Ciawi Indonesia, 23− 27 May 1983, sponsored by the Australian Development Assistance Bureau (ADAB). The Sulphur Institute. Jones, J.B. Jr. and B. Wolf. 1984. Soil testing procedure using modified (Wolf) Morgan extracting reagent. Benton Laboratories, Inc. Athens, Georgia. 62 p. Kamprath, E.J. and M.E. Watson. 1980. Conventional soil and tissue test for assessing the phosphorus status of soil. p. 433−469. In F.E. Khasawneh, E.C. Sample, and E.J. Kamprath (Eds.). The Role of Phosphorus in Agriculture. Soil Sci. Soc. Am. Madison, Wisconsin, USA. Kasno, A. dan Nurjaya. 1996. Tanggap tanaman padi terhadap pemupukan P dan K di lahan sawah Sumatera Selatan. hlm. 21−39. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan Tanah dan Produktivitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kasno, A., J.S. Adiningsih, Sulaeman, Nurjaya, dan Asmin. 2001. Kalibrasi uji tanah hara P tanah Oxisols, Sulawesi Tenggara untuk tanaman jagung. hlm. 397−417. Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kemmler, G. 1980. Potassium deficiency in soils of the tropics as a constraint to food production. p. 253−275. In Priorities for Alleviating Soil-Related Constraints to Food Production in the Tropics. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. Mat Akhir, A. 1976. Pengaruh pemberian tembaga atau seng dan tahun pengusahaan terhadap pertumbuhan, produksi dan penyerapan hara padi varietas Pelita I/1 dalam keadaan tergenang dan jenuh air pada tanah organic Delta Upang dan Latosol Darmaga. Tesis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Middelburg, H.A. 1955. Potassium in tropical soils: Indonesia Archipelago. p. 221−257. In Potassium Symposium. Intl. Potash Inst., Bern, Switzerland. Mulyani, N.S., I P.G. Widjaja-Adhi, M. Soepartini, dan Sutisni. 1993. Kebutuhan dan daya erap P tanah-tanah sawah di Lombok dan Sulawesi Selatan. hlm. 203−216. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah, Bogor, 18−21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Moersidi, S., D. Santoso, M. Soepartini, M. AlJabri, J.S. Adiningsih, dan M. Sudjadi. 1989 Peta keperluan fosfat tanah sawah di Jawa dan Madura. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 8: 13−25. Nelson, W.L., A. Mehlich, and E. Winters. 1953. The development, evaluation and use of soil tests for phosphorus availability. In W.H. Pierre and A.G. Norman (Ed.). Soil and Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007 Fertilizer Phosphorus. Agronomy 4: 153− 158. Buku III. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Nelson, L.A. and R.L. Anderson. 1977. Partitioning of soil test-crop response probability. p. 19−38. In T.R. Peck, J.T. Cope Jr., and D.A. Witney (Eds.). Soil Testing: Correlating and interpreting the analytical results. ASA Special Publ. No. 29. ASA-CSSA-SSSA, Madison, Wisconsin, USA. Sholeh, M. Al-Jabri, I G.M. Subiksa, I P.G. Widjaja-Adhi, dan J.S. Adiningsih. 1997. Uji tanah K untuk padi sawah pada beberapa tipe tanah. Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12−15 Desember 1995. Penatagunaan Tanah sebagai Perangkat Penataan Ruang dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Buku I: hlm. 625−636. Nursyamsi, D., D. Setyorini, dan I P.G. WidjajaAdhi. 1993. Penentuan kelas hara P terekstrak dengan metode analisis keragaman yang dimodifikasi. hlm. 217−235. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan Tanah dan Produktivitas Tanah, Bogor, 18−21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Olsen, S. and F.S. Watanabe. 1957. A method to determine a phosphorus absorption maximum of soils as measured by the Langmuir Isotherm. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 21: 144− 149. Olsen, S. and F.S. Watanabe. 1963. Diffusion of phosphorus as related to soil texture and plant uptake. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27: 648 −653. Purnomo, D., D. Santoso, dan Heryadi. 1989. Status belerang tanah sawah di Jawa. Pusat Penelitian Tanah (in press). Purnomo, J. dan D. Nursyamsi. 2000. Uji korelasi dan kalibrasi hara P untuk tanaman jagung pada Oxic Dystrudepts di Jambi. hlm. 381− 395. Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Purwanto, S. dan J.S. Adiningsih. 1980. Hubungan penyediaan kalium pada tanah sawah dengan produksi bahan kering dan serapan K. Prosiding No. 1/Penelitian Tanah: 137−147. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993. Penelitian status P dan K serta respon padi terhadap penggunaan pupuk P dan K. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rochayati, S., Mulyadi, dan J.S. Adiningsih. 1990. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua, 12− 13 November 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 107−143. Santoso, D., Heryadi, Sukristyonubowo, dan D. Purnomo. 1990. Pemupukan belerang di lahan sawah. hlm. 241−252. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sholeh, M. Al-Jabri, I G.M. Subiksa, I P.G. Widjaja-Adhi, dan J.S. Adiningsih. 1996. Penelitian uji P tanah untuk padi sawah pada beberapa tipe tanah. hlm. 25−38. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat: Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Sholeh, A. Hamid, dan Sulaeman. 2001. Korelasi Uji Tanah Morgan (Wolf) Dimodifikasi dengan Pengekstrak-pengekstrak Lain. Laporan Akhir. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Soepardi, G. 1982. The zinc status in Indonesia agriculture. Contributions Central Research Institute for Food Crops 68: 10−31. Soepartini, M. 1988. Penilaian ekstraksi kalium tanah. hlm. 83−88. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Soepartini, M., D. Ardi, S., T. Prihatini, W. Hartatik, dan D. Setyorini. 1990. Status kalium tanah sawah dan respon padi sawah terhadap pemupukan kalium. hlm. 187−207. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12−13 November 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Subadiyasa, I.N.N. 1988. Evaluasi ketersediaan dan pengaruh pemberian seng terhadap produksi padi dan kacang tanah pada tanah sawah di Bali. Tesis, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sudjadi, M., I M. Widjik, dan M. Soleh. 1971. Penuntun Analisa Tanah. Publikasi No. 10/ 71. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. 166 hlm. Sulaeman, M. Soepartini, dan M. Sudjadi. 1984. Hubungan antara kadar belerang tersedia dalam tanah dengan respon tanaman padi sawah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (3): 20−26. Sulaeman, N.S. Mulyani, dan Eviati. 2001a. Keterkaitan hubungan kuantitas dan intensitas kalium dengan rekomendasi kalium berdasarkan uji tanah Jones dan Wolf. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sulaeman, A. Hamid, dan Eviati. 2001b. Hubungan bentuk-bentuk fosfat dalam tanah dengan ketersediaan fosfat menurut uji tanah Jones dan Wolf. Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agro-klimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, dan Air. Balai Penelitian Tanah, Bogor. 136 hlm. 65 Supardi, S. dan J.S. Adiningsih. 1982. Korelasi antara kalium terekstrak dengan bahan kering dan kalium diserap tanaman. Prosiding No. 3/Penelitian Tanah: 171–178. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Suryadi, M.E. 1982. Perbandingan beberapa metode penetapan Zn dalam tanah Grumusol dan Podsolik Merah Kuning. Prosiding No. 3/Penelitian Tanah: 195−201. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Madiun dan Ngawi. Laporan Penelitian No. 7/1973. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. tox. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (6): 32−39. Westerman, R.L. 1990. Soil Testing and Plant Analysis. Third Edition. Soil Sci. Soc. Am. Inc. Madison, Wisconsin, USA. 784 pp. Widjik, I M. 1984. Perbandingan tanah dengan pengekstrak dan waktu kocok untuk penetapan P tersedia dengan metode Truog dimodifikasi. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (3): 52−56. Widjaja-Adhi, I P.G. dan I M. Widjik. 1984. Pemilihan dan kalibrasi uji tanah hara P untuk tanaman kentang pada tanah Hydric Dystrandepts. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (3): 42−46. Thomas, G.W. and D.E. Peaslee. 1973. Testing soils for phosphorus. In L.M. Walsh and J.D. Beaton (Eds.). Soil Testing and Plant Analysis. Revised. Soil Sci. Soc. Am., Madison, Wisconsin, USA. Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Penentuan kelas ketersediaan hara dengan metode analisa keragaman yang dimodifikasi. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (5): 23−28. Tim Pembina Uji Tanah. 1973. Penilaian Fuji Hira Kogyo Soil Test Kit untuk Daerah Widjaja-Adhi, I P.G. and J.A. Silva. 1986. Calibration of soil phosphorus tests for maize on Typic Paleudults and Tropeptic Eutros- 66 Woodruff, J.R. and E.J. Kamprath. 1965. Phosphorus absorption maximum as measured by the Langmuir isotherm and its relationship to phosphorus availability. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 29: 148−150. Yoshida, S., J.S. Ahn, and D.A. Forno. 1973. Occurrence, diagnosis, and correction of zinc deficiency of lowland rice. Soil Sci. Plant Nutr. 19(2): 83−93. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007