perkembangan uji tanah dan strategi program uji tanah masa depan

advertisement
PERKEMBANGAN UJI TANAH DAN STRATEGI
PROGRAM UJI TANAH MASA DEPAN
DI INDONESIA
M. Al-Jabri
Balai Penelitian Tanah, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK
Pelaksanaan uji tanah dengan single-nutrient soil analysis di Indonesia sudah berlangsung sejak tahun 1970-an.
Namun karena keterbatasan dana, uji tanah belum dilakukan secara terprogram dan berkelanjutan serta rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi berdasarkan famili tanah juga belum dimantapkan. Di luar negeri, uji tanah telah
menggunakan multi-nutrient soil analysis. Untuk mempercepat pelaksanaan program uji tanah, pengambil kebijakan
perlu menyusun strategi program uji tanah dengan melakukan percobaan pemupukan di lapang untuk memverifikasi
rekomendasi pemupukan hasil penelitian kalibrasi dari luar negeri agar sesuai dengan kondisi tanah dan iklim di
Indonesia. Rekomendasi pemupukan hasil verifikasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi untuk setiap kelompok tani dengan luas lahan maksimum 25 ha, dan ditetapkan setiap
3−4 tahun sekali. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana, penelitian uji tanah perlu dilakukan secara
bersama antara Departemen Pertanian dengan Pemerintah Daerah dalam upaya mendapatkan rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi. Rekomendasi pemupukan yang ditetapkan berdasarkan pelarut asam keras HCl 25%,
yang dituangkan dalam bentuk peta status hara P dan K tanah sawah, perlu dikaji ulang karena belum ada publikasi
yang menginformasikan konsentrasi unsur Fe, Si, Ca, Mg, dan asam-asam organik dalam filtrat yang diperbolehkan
yang tidak mengganggu pengukuran P.
Kata kunci: Uji tanah, analisis tanah tunggal, analisis tanah ganda, rekomendasi pemupukan, Indonesia
ABSTRACT
Soil testing development and future soil testing program strategy in Indonesia
Soil testing using single-nutrient soil analysis in Indonesia has been developing since 1970. However, due to the
limiting research fund, soil testing has not been programmed continuously and recommendation of location
specific fertilization based on soil family has also not yet been established. In addition, soil testing in abroad has
been developed quickly using multi-nutrient soil analysis. To boost the implementation of soil testing program, the
policy makers should arrange the strategy of soil testing by conducting field fertilization experiments to verificate
calibration experiment results from abroad to be suitable with soil and climate conditions in Indonesia. The verified
fertilizer recommendation is then used for location specific fertilization recommendation for each farmer group
with a maximum area of 25 ha, then the fertilization recommendation will be determined each 3−4 year. For
increasing the research fund efficiency, it will be reasonable to make a research fund sharing between the Ministry
of Agriculture and province authority for establishing a national program on fertilization recommendation.
Fertilizer recommendation determined using strong solvent HCl 25%, which is presented in the form of P and K
status map, should be revised because there were not publications which inform about Fe, Si, Ca, Mg, organic acid
in the filtrate which permitted not interfere P measurement.
Keywords: Soil testing, single-nutrient soil analysis, multi-nutrient soil analysis fertilization recomendation,
Indonesia
U
ji tanah dalam kaitannya dengan
rekomendasi pemupukan di Indonesia masih menggunakan pelarut singlenutrient soil analysis (SNSA). Penggunaan cara analisis tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1970-an, tetapi karena
keterbatasan dana penelitian, pelaksanaan
uji tanah belum terprogram secara berkelanjutan dan rekomendasi pemupukan
54
spesifik lokasi untuk berbagai komoditas
tanaman belum terealisasi.
Di luar negeri, uji tanah untuk menentukan rekomendasi pemupukan telah
menggunakan multi-nutrient soil analysis
(MNSA) (Jones dan Wolf 1984), yaitu satu
macam pengekstrak dapat digunakan
untuk menganalisis lebih dari satu unsur
hara. MNSA menggunakan larutan peng-
ekstrak Morgan 1 N sodium asetat pH 4,80
dengan asam asetat. Analisis tersebut
memberikan beberapa keuntungan, antara
lain: 1) dapat digunakan untuk mengekstrak unsur hara makro P, K, Ca, Mg,
NH4, NO3, SO4, serta unsur hara mikro B,
Cu, Fe, Mn, Zn, dan Al, 2) sangat sesuai
untuk tanah dengan kisaran pH masam
sampai netral dengan kapasitas tukar
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
kation (KTK) 2−35 meq/100 g dengan
tekstur pasir sampai lempung berliat, dan
3) sesuai untuk tanah moderat alkalin
(Jones 1984). Kelemahannya, MNSA tidak
sesuai untuk tanah berkapur dan
gypsiferous. Namun, uji tanah dengan
MNSA sulit diterapkan di Indonesia karena
membutuhkan dana yang besar.
Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah untuk tanaman pangan,
sayuran, dan perkebunan belum dimantapkan, padahal pemberian pupuk yang
berlebihan dapat menimbulkan dampak
negatif seperti kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan. Untuk memfasilitasi
pelaksanaan uji tanah, Badan Litbang
Pertanian membangun laboratorium uji
tanah di Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) yang ada di provinsi.
Dengan adanya laboratorium tersebut,
diharapkan rekomendasi pemupukan
spesifik lokasi dapat ditetapkan. Namun,
sampai tahun 1995 laboratorium tersebut
belum dapat berfungsi sebagaimana
mestinya akibat keterbatasan dana.
Rekomendasi pemupukan N, P, K
untuk padi sawah spesifik lokasi saat ini
diatur melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/1/2006, tanggal
3 Januari 2006 berdasarkan Peta Status
Hara P dan K Tanah Sawah skala 1:50.000
untuk setiap kabupaten. Bagi pemerintah
daerah yang belum mempunyai peta tersebut, rekomendasi pemupukan P dan K
untuk padi sawah dapat menggunakan
perangkat uji tanah sawah (PUTS). PUTS
dapat mengukur kadar hara P dan K serta
pH tanah secara langsung di lapangan
dengan cepat, mudah, dan cukup akurat
selama pengambilan contoh tanah dilakukan dengan benar. Namun takaran pupuk
P dan K yang diberikan belum mempertimbangkan tekstur tanah. Tanah sawah
yang bertekstur kasar dan halus dengan
status hara P dan K yang dinilai rendah
akan memperoleh takaran pupuk yang
sama.
Program uji tanah bertujuan untuk
menetapkan rekomendasi pemupukan.
Tahapan uji tanah meliputi: 1) pengambilan contoh tanah komposit, 2) analisis
contoh tanah yang mewakili luasan tertentu dengan status hara rendah, sedang,
dan tinggi untuk penelitian di laboratorium, rumah kaca, dan lapang, 3) pemilihan
metode ekstraksi hara dengan uji korelasi,
4) percobaan kalibrasi untuk menentukan
kelas ketersediaan hara, 5) interpretasi
hasil uji, dan 6) penetapan rekomendasi
pemupukan. Keberhasilan uji tanah
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
ditentukan oleh jumlah dan kualitas data
untuk kalibrasi dan interpretasi hasil
pengujian.
Uji tanah merupakan alat penting
yang akurat untuk menilai status kesuburan dan produktivitas tanah. Akurasi
data sangat ditentukan oleh teknik pengambilan contoh tanah, prosedur analisis,
dan metodologi. Oleh karena itu, agar
program uji tanah dapat dipercaya diperlukan penelitian pemilihan metode ekstraksi
untuk menentukan jenis pengekstrak yang
paling sesuai untuk mengukur hara total
dan hara tersedia pada suatu areal pertanaman. Selanjutnya dilakukan penelitian
kapasitas produktivitas relatif tanah untuk
berbagai jenis tanaman, dan perbedaan
respons tanaman terhadap berbagai tingkat dan cara pemberian pupuk. Makalah
ini mengulas perkembangan uji tanah di
Indonesia serta strategi program uji tanah
ke depan.
PERKEMBANGAN UJI
TANAH DI INDONESIA
lokasi berdasarkan famili tanah dengan
status hara rendah. Selanjutnya dilakukan
pembuatan status hara rendah, sedang,
dan tinggi. Setelah pembuatan status
hara, tanah dibiarkan selama satu musim
tanam. Pada musim tanam kedua, percobaan kalibrasi dilakukan dengan perlakuan maksimum lima tingkat hara pada
petakan yang sudah mengandung residu
hara dan diasumsikan telah terjadi reaksi
keseimbangan. Setelah pertanaman pertama dipanen, diambil contoh tanah
komposit dari setiap petak yang berbeda
status haranya untuk dikorelasikan
dengan persen hasil pertanaman kedua.
Pengekstrak yang memberikan koefisien
korelasi tertinggi antara hara yang terekstrak dari suatu larutan pengekstrak
dengan persen hasil selanjutnya ditetapkan sebagai pengekstrak terbaik. Berdasarkan kurva hubungan antara perlakuan dan hasil selanjutnya ditentukan
rekomendasi pemupukan.
Uji Tanah dengan SNSA
Ekstraksi P dengan Pelarut
SNSA, Kelas Ketersediaan
Hara P, dan Kalibrasi P
Definisi uji tanah secara umum adalah
pengukuran sifat kimia atau fisik tanah,
sedangkan definisi uji tanah secara terbatas adalah analisis kimia secara cepat
untuk menilai status ketersediaan hara,
salinitas, dan keracunan unsur dari tanah.
Program uji tanah adalah melakukan
interpretasi, evaluasi, serta rekomendasi
pemupukan dan perubahannya berdasarkan analisis kimia (Westerman 1990).
Program uji tanah di Indonesia
menggunakan SNSA, namun tanpa
didukung penelitian yang memadai
sehingga rekomendasi pemupukan belum
dimantapkan, kecuali untuk padi yaitu
dengan menggunakan Peta Status Hara P
dan K Tanah Sawah skala 1:250.000.
Meskipun penelitian tentang pemilihan
metode ekstraksi untuk penetapan indeks
kesuburan tanah dan interpretasi hasil
analisis sudah banyak dilakukan untuk
tanaman pangan, hingga kini program uji
tanah di Indonesia belum sampai pada
tahap akhir yaitu rekomendasi pemupukan
berdasarkan uji tanah.
Rekomendasi pemupukan berdasarkan uji tanah dimulai dengan pemilihan
lokasi dengan status hara rendah, sedang,
dan tinggi. Jika itu sulit dilakukan maka
percobaan kalibrasi dilakukan dengan
pendekatan lokasi tunggal atau spesifik
Metode ekstraksi P yang sering digunakan
di Indonesia adalah larutan asam keras HCl
25% (nisbah 1:5), Bray 1 (HCl 0,025 N +
NH4F 0,03 N; nisbah 1: 10), Bray 2 (HCl
0,10 N + NH4F 0,03 N; nisbah 1:17), Truog
[H2SO4 0,002 N + (NH4)2SO4; pH 3; nisbah
1:100] untuk tanah masam, serta Olsen
(NaHCO3 0,50 N; pH 8,50; nisbah 1:20) dan
Colwell untuk tanah alkalin. Beberapa hasil
penelitian uji tanah tentang metode
ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan
kalibrasi P dalam beberapa dekade terakhir
disajikan pada Tabel 1.
Larutan HCl 25% untuk mengukur P
potensial sudah lama digunakan. P-HCl
25% berkorelasi dengan pertumbuhan
padi gogo pada tanah Ultisols dengan
batas kritis 27 mg P2O5/100 g tanah (Tabel
1; Al-Jabri et al. 1984a). P-HCl 25% juga
berkorelasi dengan pertumbuhan jagung
pada tanah Oxisols dengan batas kritis 30
mg P2O5/100 g tanah (Tabel 1; Kasno et
al. (2001). Batas kritis P-HCl 25% untuk
tanaman padi gogo adalah 27 mg P2O5/
100 g di rumah kaca pada kondisi tanah
kering, lebih tinggi dibandingkan dengan
batas kritis pada tanah sawah yaitu 20
P2O5/100 g. Batas kritis P di rumah kaca
berbeda dengan batas kritis P pada
kondisi lapang, sehingga batas kritis pada
kondisi di rumah kaca tidak dapat di55
Tabel 1. Hasil penelitian uji tanah tentang pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi P dalam
beberapa dekade terakhir.
Metode
ekstraksi
Jenis tanah
Tanaman uji
HCl 25%
Tanah sawah
Padi
HCl 25%
Ultisols
Padi gogo
varietas IR361
HCl 25%
Aluvial
HCl 25%
Kelas ketersediaan
hara P
Batas kritis P
Sumber
20 mg P2O5/
100 g
−
Tim Pembina
Uji Tanah (1973)
27 mg P2O5/
100 g
−
Al-Jabri et al. (1984a)
Padi sawah
−
< 30 mg P2O5 (R)
30−60 mg P2O5 (S)
> 60 mg/100 g P2O5 (T)
Nursyamsi et al. (1993)
Oxisols
Jagung2
30 mg P2O5/
100 g
−
Kasno et al. (2001)
Bray 1
Hydric
Dystrandept
Kentang 2
20 pm P
< 15 ppm P (R)
15–30 ppm P (S)
> 30 ppm P (T)
Widjaja-Adhi dan
Widjik (1984)
Bray 1
Aluvial
Padi sawah2
< 6 ppm P2O5 (R)
6−18 ppm P2O5 (S)
> 18 ppm P2O5 (T)
Nursyamsi et al. (1993)
Bray 1
Grumusol
Padi sawah2
< 18 ppm P2O5 (S)
> 18 ppm P2O5 (T)
Bray 2
Ultisols
Padi gogo
varietas IR361
Bray 2
Oxic Dystru
depts
Jagung2
Truog
Ultisols
Padi gogo
varietas IR361
Truog
Aluvial
Truog
Nyata
0,82
6,50 ppm P
−
Al-Jabri et al. (1984a)
−
< 5 ppm P (R)
5−12 ppm P (S)
> 12 ppm P (T)
Purnomo dan
Nursyamsi (2000)
21 ppm P
< 7,50 ppm P (R)
7,50–15 ppm P (S)
> 15 ppm P (T)
Al-Jabri et al. (1984a);
Widjaja-Adhi (1986)
Padi sawah2
< 8 ppm P2O5 (R)
8−22 ppm P2O5 (S)
> 22 ppm P2O5 (T)
Nursyamsi et al. (1993)
Grumusol
Padi sawah2
< 170 (S)
> 170 ppm P 2O5 (T)
Colwell
Oxic Dystru
depts
Jagung2
Olsen
Ultisols
Padi gogo
varietas IR361
Olsen
Grumusol
Padi sawah2
Olsen
Oxisols
Jagung2
Olsen
Aluvial
Padi sawah
1
Nyata
Sangat
nyata
Nyata
−
< 18 ppm P (R)
18−34 ppm P (S)
> 34 ppm P (T)
Purnomo dan Nursyamsi
(2000)
5 ppm P
< 5,30 ppm P (R)
> 5,30 ppm P (S)
Al-Jabri et al. (1984a);
Widjaja-Adhi (1986)
< 34 ppm P2O5 (S)
> 34 ppm P2O5 (T)
8 ppm P2O5
Kasno et al. (2001)
< 16 ppm P2O5 (R)
16−24 ppm P2O5 (S)
> 24 ppm P2O5 (T)
2
Nursyamsi et al. (1993)
Percobaan rumah kaca; 2Percobaan lapang; R = rendah; S = sedang; T = tinggi.
ekstrapolasi ke lapang. Batas kritis P-HCl
25% untuk tanah sawah adalah 20 mg
P2O5/100 g (Kasno dan Nurjaya 1996).
Pada kondisi tanah sawah, ketersediaan P meningkat (De Geus 1973), sehingga penggenangan meningkatkan
56
R2
ketersediaan P serta P yang diserap tanaman karena ferric phosphate [Fe2 (H2PO4)3]
direduksi menjadi ferrous phosphate
[FeH2PO4]. Hal itu berarti padi yang ditanam pada kondisi tergenang kurang
respons terhadap pupuk P selama status
P awal yang ditentukan dengan HCl 25%
(P potensial) pada nilai batas kritisnya lebih
besar 20 P2O5/100 g. Sebaliknya pada
kondisi lahan kering dengan P awal pada
nilai batas kritisnya lebih kecil 20 P2O5/
100 g, tanaman respons terhadap pupuk
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
P, karena ketersediaan P pada tanah kering
rebih rendah. Batas kritis P tersebut
ditetapkan berdasarkan metode Cate dan
Nelson (1965) sehingga status hara P
terdiri atas dua kelas. Bila nilai uji tanah
lebih besar dari nilai batas kritisnya maka
pupuk P tidak harus diberikan, dan
sebaliknya. Namun jika status hara P
bervariasi (rendah, sedang, tinggi), maka
kurva kalibrasi terdiri atas tiga kelas
ketersediaan hara yaitu rendah, sedang,
dan tinggi (Nelson dan Anderson 1977).
Oleh karena itu, percobaan kalibrasi
sangat dianjurkan untuk dilakukan pada
beberapa lokasi minimal dengan status
hara rendah, sedang, tinggi, karena jika
ditempatkan pada lokasi dengan status
hara sedang dan tinggi saja maka kurva
kalibrasinya hanya menghasilkan dua
kelas ketersediaan hara yaitu sedang dan
tinggi. Hal ini diperlihatkan oleh tanaman
yang tidak respons terhadap suatu unsur
hara karena tanah sudah jenuh unsur hara
tersebut.
Dengan menggunakan pengekstrak
HCl 25%, diperoleh tiga kelas ketersediaan hara P untuk tanaman padi pada tanah
Aluvial, yaitu < 30 mg P2O5/100 g (rendah),
30−60 mg P2O5/100 g (sedang), dan > 60
mg P2O5/100 g (tinggi) (Nursyamsi et al.
1993; Tabel 1), sedangkan untuk tanaman
jagung pada tanah Oxisols Kendari
(Sulawesi Tenggara) adalah < 25 mg P2O5/
100 g (rendah), 25−37 mg P2O5/100 g
(sedang), dan > 37 mg P2O5/100 g (tinggi).
Kebutuhan pupuk P pada kelas hara P
rendah, sedang, dan tinggi masing-masing
adalah 50−80 kg, 20−50 kg, dan < 20 kg P/
ha (Kasno et al. 2001), di mana batas kritis
P-HCl 25% untuk tanaman jagung adalah
30 mg P2O5/100 g.
Kelas ketersediaan hara P menurut
Nursyamsi et al. (1993) lebih tinggi dari
kelas ketersediaan hara P-HCl 25% hasil
penelitian terdahulu, yaitu < 20 mg P2O5/
100 g (rendah), 20−40 mg P2O5/100 g
(sedang), dan > 40 mg P2O5/100 g (tinggi).
Kelas ketersediaan hara P sebagaimana
dilaporkan Moersidi et al. (1989) dan
Soepartini et al. (1990), yaitu < 20 mg P2O5/
100 g (rendah), 20−40 mg P2O5/100 g
(sedang), dan > 40 mg P2O5/100 g (tinggi),
telah dijadikan pertimbangan terbitnya
Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/
SR. 130/1/2006. Berdasarkan Permentan
tersebut, rekomendasi pemupukan P
adalah 100 kg SP-36/ha untuk kelas
ketersediaan hara P < 20 mg P2O5/100 g
(rendah), 75 kg SP-36/ha untuk hara P 20−
40 mg P2O5/100 g (sedang), dan 50 kg SPJurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
36/ha untuk hara P > 40 mg P2O5/100 g
(tinggi). Meskipun demikian, rekomendasi
pemupukan berdasarkan Permentan tersebut masih dapat direvisi karena belum
mempertimbangkan tekstur tanah, misalnya liat dan pasir. Berdasarkan hasil
penelitian, takaran pupuk P pada tanah
yang bertekstur pasir lebih tinggi daripada
tanah bertekstur liat, karena daya sangga
tanah bertekstur pasir lebih rendah
daripada tanah bertekstur liat.
Hubungan antara P yang ditambahkan dan P larutan melalui pendekatan
persamaan Langmuir membuktikan bahwa
P yang diadsorpsi menunjukkan jumlah P
yang diberikan. Hubungan antara c:x/m
pada sumbu y terhadap c pada sumbu x
memungkinkan pendekatan teori yang
dipercaya terhadap masalah retensi P
dalam tanah (Olsen dan Watanabe 1957).
P maksimum yang diadsorpsi sangat
ditentukan oleh kapasitas tanah mengadsorpsi P. Menurut Woodruff dan
Kamprath (1965), tanah dengan kapasitas
adsorpsi P rendah memerlukan konsentrasi
P larutan lebih tinggi untuk menghasilkan
pertumbuhan tanaman yang maksimum.
Jadi konsentrasi P pada tanah bertekstur
kasar lebih tinggi daripada tanah bertekstur halus, jika tidak maka difusi P pada
tanah bertekstur pasir menjadi faktor
pembatas dalam serapan hara P (Olsen
dan Watanabe 1963). Takaran pupuk K
untuk jagung pada tanah bertekstur halus
adalah 150 kg K/ha dan tanah bertekstur
kasar 270 kg K/ha (Anonymous 1985).
Meskipun pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi
sudah dilakukan, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi berdasarkan famili tanah
belum dimantapkan. Akhirnya rekomendasi pemupukan ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian No. 01/Kpts/
SR.130/1/2006. Namun demikian, sosialisasi rekomendasi pemupukan tersebut
perlu dikawal. Di masa mendatang,
rekomendasi pemupukan berimbang tidak
hanya didasarkan pada Peta Status Hara
P dan K Tanah Sawah skala 1:50.000 dan
dengan larutan pengekstrak HCl 25%,
tetapi juga melalui pendekatan kurva
erapan P (Fox dan Kamprath 1970).
Meskipun biaya analisisnya lebih mahal
dan perlu waktu 6 hari, P eksternal (P
larutan) yang diekstrak dengan larutan
0,01 M CaCl2 lebih mencerminkan kondisi
tanah di sekitar akar tanaman padi.
Indeks ketersediaan P melalui pendekatan kurva erapan P di daerah tropika
menjadi salah satu pertimbangan utama
dalam pengelolaan tanah. Mulyani et al.
(1993) melaporkan, penambahan P dalam
jumlah yang sama menghasilkan konsentrasi P yang berbeda dalam larutan
tanah. Daya erap P tanah Lombok relatif
rendah dan pupuk P yang dibutuhkan
sekitar 27 kg P/ha, sebaliknya daya erap P
tanah Sulawesi Selatan relatif tinggi dan
pupuk P yang dibutuhkan sekitar 115 kg
P/ha untuk mencapai P eksternal 0,02 ppm
P. Larutan pengekstrak HCl 25% mempunyai pH 2, di mana ion H+ pada nilai pH
tersebut dapat melarutkan senyawasenyawa P dalam urutan Ca-P > Al-P > FeP. Hara P yang diukur dengan HCl 25%
sering bias, karena prosedur analisisnya
tanpa memperhatikan jenis tanah serta
kandungan Fe2O3 bebas dan karbonat.
Pengukuran P yang bias disebabkan
oleh beberapa faktor, antara lain: 1) setelah
waktu pengocokan selesai tidak cepat
disaring sehingga hara P diadsorpsi lagi
oleh Fe dan Al dalam fase padat sehingga
hara P yang lolos melalui kertas saring
berkurang, apalagi ion Cl- dari HCl tidak
dapat mencegah readsorpsi P (Thomas
dan Peaslee 1973), dan 2) konsentrasi Fe,
Ca, Mg, Si, dan asam-asam organik dalam
filtrat hasil saringan yang sudah diencerkan sampai 20 kali kemungkinan masih
lebih tinggi dari batas toleransinya, sehingga P yang terukur tidak menggambarkan jumlah P yang sebenarnya. Batas
toleransi konsentrasi Fe dalam filtrat
maksimum 20 ppm dan untuk Si maksimum
50 ppm karena akan mempengaruhi pengukuran P (Fogg dan Wilkinson 1982). AlJabri dan Dwiningsih (1999, tidak dipublikasikan) melaporkan, meskipun PHCl 25% memberikan pengukuran yang
relatif baik pada semua pengenceran filtrat
dan semua nisbah tanah dan larutan,
tetapi untuk mempertajam interpretasi hasil
pengukuran, metode ekstraksi P-HCl 25%
untuk analisis tanah mineral masam dan
basa serta tanah gambut perlu dibedakan.
Cajuste dan Kussow (1974) melaporkan
bahwa P terekstrak berkorelasi nyata
dengan pertumbuhan tanaman selama
nisbah tanah dan pengekstrak diperbesar.
Jika nisbah tanah dan pengekstrak kecil,
untuk tanah-tanah dengan kandungan
Fe2O3 bebas tinggi seperti Oxisols dan
Ultisols, maka larutan pengekstrak masam
akan dinetralkan sehingga P yang terukur
lebih rendah dan bias.
Jika konsentrasi Si dan P dapat larut
dalam filtrat relatif tinggi maka kedua unsur
tersebut bereaksi dengan asam molibdat
dalam P reagen masing-masing memben57
tuk asam siliko-molibdat dan asam fosfomolibdat pada pH 1,20 dan 2. Namun
karena Si dan P mempunyai spektrum
warna yang sama maka P yang terukur
menjadi bias. Oleh karena itu, konsep
rekomendasi pemupukan P menggunakan
ekstraksi HCl 25% tidak selalu tepat.
Percobaan kalibrasi P di Sumatera Selatan
membuktikan, meskipun status hara P-HCl
25% dinilai rendah (< 20 mg P2O5/100 g),
tanaman padi tidak respons terhadap P
(Tabel 2; Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat 1993).
Fosfat yang ditetapkan dengan larutan HCl 25% hanya memperhatikan faktor
kuantitas, padahal ketersediaan P sangat
ditentukan oleh jenis mineral liat (tipe 1:1
atau 2:1) yang berpengaruh terhadap sifatsifat fisik dan kimia tanah. Menurut AlJabri (2002), Mg-, K-, dan Al-dapat ditukar,
serta derajat kristalinitas mineral Fe dan
Al merupakan sifat-sifat kimia tanah yang
sangat berpengaruh terhadap nilai P-HCl
25%. Koefisien regresi derajat kristalinitas
mineral Fe dan Al bernilai negatif, sehingga
penurunan derajat kristalinitas mineral Fe
dan Al pada kondisi peubah bebas lainnya
tetap akan meningkatkan P-HCl 25%.
Koefisien regresi Mg-dapat ditukar (dd)
bernilai positif, sehingga peningkatan Mgdd 1 cmol/kg sebesar 1% pada kondisi
peubah bebas lainnya tetap akan meningkatkan P-HCl 25%. Jadi, pengukuran
P-HCl 25% bersifat kondisional, baik pada
tanah mineral masam maupun basa yang
bertekstur pasir atau liat. Oleh karena itu,
batas kritis P-HCl 25% sebesar 20 mg P2O5/
100 g tidak berlaku umum untuk semua
jenis tanah, serta terlalu riskan jika P
potensial digunakan sebagai indeks
ketersediaan hara P.
Selain faktor tersebut di atas, kemampuan daya sangga tanah dengan pH
tanah < 5,50 (sangat masam sampai
mendekati netral) ditentukan oleh jumlah
dan derajat kristalinitas Fe dan Al oksida
terhidrasi. Sebaliknya, kemampuan daya
sangga tanah pada tanah berkapur dengan
pH tanah > 6 (di atas netral) ditentukan
oleh jumlah Ca dapat ditukar dan CaCO3
(Kamprath dan Watson 1980). Di samping
itu, ion P bersifat tidak mobil sehingga
gerakan ion H2PO4-, HPO42-, dan PO43melalui selaput air di sekitar partikel pasir
bergantung pada pH tanah (Woodruff dan
Kamprath 1965; Baldovinos dan Thomas
1967). Oleh karena itu, jika status P-HCl
25% pada tanah bertekstur pasir atau liat
dinilai sama tingginya dengan rekomendasi pupuk masing-masing 100 kg SP-36/
ha untuk status P rendah, 75 kg SP-36/ha
untuk status P sedang, dan 50 kg SP-36/
ha untuk status P tinggi, maka secara
ilmiah perlu dikoreksi karena seharusnya
takaran pupuk P tidak sama banyaknya.
Batas kritis unsur P larutan atau P
eksternal untuk tanah sawah bertekstur
kasar lebih tinggi daripada yang bertekstur
liat. Pada kondisi lapang, jika status P-HCl
25% lebih rendah atau lebih tinggi dari
nilai batas kritisnya dan tanaman padi tidak
respons terhadap P maka kurva erapan P
dapat digunakan untuk menduga kebutuhan pupuk P. Fakta di lapang menunjukkan bahwa tanaman padi tidak
respons terhadap P padahal status hara P
tanah rendah (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat 1993). Demikian juga, jika
tanaman padi tidak respons terhadap P
karena status hara P-HCl 25% sudah
tinggi, jika dipastikan nilai P–0,01 M CaCl2
> 0,01 ppm P, maka pupuk P tidak harus
diberikan (Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat 1993).
Keunggulan pengukuran P-Bray 1 dibandingkan P-HCl 25% adalah larutan PBray 1 merupakan larutan pengekstrak
asam lemah dari campuran HCl 0,025 N dan
NH4F 0,03 N (Fitts 1956). Ion F– dari senyawa NH 4 F berfungsi sebagai ion
pengompleks sehingga readsorpsi P diperkecil. Selanjutnya ion Al3+ dari tanah
dan F– dari senyawa NH4F membentuk senyawa kompleks sehingga P yang terukur
nilainya tinggi (Nelson et al. 1953; Chang
dan Jackson 1957). Kombinasi HCl dan
NH4F dapat mengekstrak P dari senyawa
Ca-P yang mudah larut dalam jumlah
banyak, dan bentuk Al-P dan Fe-P dalam
jumlah sedikit. Namun, indeks ketersediaan P yang ditetapkan dengan
larutan pengekstrak asam lemah tersebut
sangat bervariasi, karena kandungan Al
dan Fe sangat heterogen sehingga jumlah
P yang terukur ditentukan oleh jenis
mineral dalam hubungannya dengan
kandungan Al dan Fe. Hal ini karena tanah
didominasi mineral 1:1, 2:1 atau campuran
dari keduanya serta proporsinya.
Pengekstrak Bray 1 merupakan metode ekstraksi P terbaik dibanding Bray 2,
Double Acid, Truog, air, dan 0,01 M CaCl2
untuk hubungan kuadratik antara hasil
kentang dan P terekstrak dengan koefisien
korelasi terbesar (r = 0,82) dan batas kritis
P sebesar 20 ppm P pada tanah Hydric
Dystrandepts. Kurva kalibrasi menunjukkan tiga kelas ketersediaan dari residu hara
P dengan pengekstrak Bray 1 untuk
tanaman kentang, yaitu < 15 ppm P (kelas
rendah), 15–30 ppm P (kelas sedang), dan
> 30 ppm P (kelas tinggi) (Widjaja-Adhi
dan Widjik 1984).
Jika ketersediaan hara P diperoleh
tiga kelas berarti percobaan kalibrasi P
dilakukan di lokasi dengan tiga status hara
P, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
Namun, jika percobaan dilakukan pada
lahan dengan status hara P sedang dan
tinggi akan diperoleh dua kelas ketersediaan hara P, seperti pada tanah
Grumusol dengan menggunakan pengekstrak Bray 1 yang menghasilkan dua
kelas, yaitu < 18 ppm P2O5 (sedang) dan >
18 ppm P2O5 (tinggi) dengan padi sebagai
Tabel 2. Hubungan P-HCl 25% dan tanggap tanaman padi sawah terhadap pupuk P.
Fosfat
Lokasi
Sidorahayu, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan
Pemetung Besuki (OKU)-Sumatera Selatan
Tanjungsari, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan
Triyoso, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan
Tegalrejo, Belitang (OKU)-Sumatera Selatan
Ordo tanah
Alfisols
Inceptisols
Inceptisols
Inceptisols
Ultisols
P-HCl 25%
(mg P 2O5/100 g)
P-Bray1
(ppm P 2O 5 )
18
15
12
10
24
5,80
31,30
29
38,70
3,20
Hasil gabah kering (t/ha) pada berbagai
takaran P (kg TSP/ha)
0
50
100
150
200
0,72
6,16
5,02
7,61
4,02
7,13
6,15
5,18
7,16
3,89
7,08
6,59
5,10
7,15
4,14
−
6,40
5,25
7,34
−
6,92
6,11
5,30
7,66
3,90
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993).
58
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
tanaman uji. Oleh karena itu, tanaman
untuk percobaan kalibrasi P pada lokasi
dengan status P sebelum percobaan sedang dan tinggi tidak respons terhadap P.
P-Bray 2 berkorelasi terhadap pertumbuhan padi gogo pada tanah Ultisols
dengan batas kritis yang ditetapkan
dengan metode Cate dan Nelson (1965)
6,50 ppm P (Tabel 1; Al-Jabri et al. 1984a).
Pengekstrak P-Bray 2 dapat digunakan
untuk menduga kelas ketersediaan hara P
tanah dan kebutuhan pupuk P untuk
tanaman jagung pada Oxic Dystrudepts,
dengan kelas ketersediaan hara P < 5 ppm
P (rendah), 5−12 ppm P (sedang), dan > 12
ppm P (tinggi) (Purnomo dan Nursyamsi
2000).
Batas kritis P-Truog untuk tanaman
padi gogo adalah 21 ppm P di rumah kaca
(Al-Jabri et al. 1984a), yang ditetapkan
dengan metode Cate dan Nelson (1965).
Metode ekstraksi P-Truog modifikasi
merupakan metode ekstraksi P terbaik (AlJabri et al. 1984a). Metode ekstraksi PTruog modifikasi tersebut selanjutnya
dimodifikasi lagi dengan nisbah tanah dan
pengekstrak dan waktu kocok yang
berbeda. Hasil penelitian menunjukkan,
nisbah tanah dan pengekstrak yang
terbaik adalah 1:80 dan 1:100 dengan
koefisien korelasi sangat nyata, yaitu r =
0,87** terhadap P diserap tanaman dan r
= 0,79** terhadap persentase bobot
kering. Pada nisbah tanah dan pengekstrak 1:80, waktu kocok yang terbaik
adalah 30 menit (Widjik 1984). Dengan
demikian, perubahan nisbah tanah dan
pengekstrak dari 1:100 menjadi 1:80 akan
mengefisienkan penggunaan larutan.
Widjaja-Adhi (1986) menginterpretasi ulang data analisis P-Truog untuk
menentukan kelas ketersediaan hara berdasarkan metode analisis keragaman yang
dimodifikasi (Nelson dan Anderson 1977).
Hasil analisis menunjukkan bahwa PTruog untuk padi gogo terbagi dalam tiga
kelas, yaitu < 7,50 ppm P (rendah), 7,50–
15 ppm P (sedang), dan > 15 ppm P (tinggi).
Kelas ketersediaan hara P rendah, sedang,
dan tinggi berhubungan erat dengan
takaran pupuk P yang harus diberikan
serta uji korelasi dari metode ekstraksi
yang terbaik dan kalibrasi. Makin tinggi
kelas ketersediaan hara, makin rendah
pupuk P yang diberikan.
Kelas ketersediaan hara P untuk
tanaman padi pada tanah Aluvial dengan
menggunakan pengekstrak Truog adalah
< 8 ppm P2O5 (rendah), 8−22 ppm P2O5
(sedang), > 22 ppm P2O5 (tinggi) (NurJurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
syamsi et al. 1993). Pada tanah Grumusol,
diperoleh dua kelas ketersediaan hara P,
yaitu < 170 ppm P2O5 (sedang) dan > 170
ppm P 2O 5 (tinggi), karena percobaan
kalibrasi P dilakukan di lokasi dengan
status hara P sedang dan tinggi, sehingga
tanaman padi tidak respons terhadap P.
P-Truog modifikasi sesuai digunakan
untuk tanaman jagung pada lahan kering
dan padi pada lahan sawah. Sholeh et al.
(1996) melaporkan bahwa P-Truog modifikasi merupakan metode uji P yang paling
sesuai untuk padi sawah pada tanah Typic
Ochraqualfs Sumatera Selatan dan Typic
Hapludults Sumatera Barat.
Batas kritis P-Olsen untuk tanaman
padi gogo adalah 5 ppm P di rumah kaca
(Al-Jabri et al. 1984a) yang ditetapkan
dengan metode Cate dan Nelson (1965),
kemudian diinterpretasi ulang oleh
Widjaja-Adhi (1986) untuk menentukan
kelas ketersediaan hara berdasarkan
metode analisis keragaman yang dimodifikasi (Nelson dan Anderson 1977).
Hasil uji korelasi dan kalibrasi menunjukkan bahwa P-Olsen untuk tanaman padi
gogo dibagi ke dalam dua kelas, yaitu <
5,30 ppm P (rendah) dan > 5,30 ppm P
(sedang). Batas kritis P-Olsen 5,30 ppm P
tersebut lebih rendah dari batas kritis P
untuk tanaman gandum yaitu 10 ppm P
(Kamprath dan Watson 1980). Perbedaan
batas kritis tersebut disebabkan adanya
perbedaan jenis tanah, tanaman, dan iklim.
Tiga kelas ketersediaan hara P untuk
tanaman padi pada tanah Aluvial menggunakan pengekstrak Olsen adalah < 16
ppm P 2O 5 (rendah), 16−24 ppm P 2O 5
(sedang), dan > 24 ppm P2O5 (tinggi)
(Nursyamsi et al. 1993), sedangkan pada
tanah Grumusol adalah < 34 ppm P2O5
(sedang) dan > 34 ppm P2O5 (tinggi). Diperolehnya dua kelas ketersediaan hara
P-Olsen pada tanah Grumusol karena
percobaan kalibrasi P dilakukan di lokasi
dengan status hara P sedang dan tinggi,
sehingga tanaman padi tidak respons
terhadap P.
Batas kritis P-Olsen untuk tanaman
jagung pada tanah Oxisols Kendari (Sulawesi Tenggara) adalah 8 ppm P2O5 (Kasno
et al. 2001). Kebutuhan P-eksternal untuk
jagung pada tanah tersebut adalah 0,0086
mg P/g, lebih rendah dari hasil penelitian
sebelumnya (Widjaja-Adhi dan Silva 1986).
Pengekstrak P-Colwell dapat digunakan untuk menduga ketersediaan hara P
tanah dan kebutuhan pupuk P untuk
tanaman jagung pada Oxic Dystrudepts.
Tiga kelas ketersediaan hara P-Colwell
adalah < 18 ppm P (rendah), 18−34 ppm P
(sedang), dan > 34 ppm P (tinggi)
(Purnomo dan Nursyamsi 2000).
Ekstraksi K dengan Pelarut
SNSA, Kelas Ketersediaan
Hara K, dan Kalibrasi K
Metode penetapan K terbaik diperlukan
untuk mengukur ketersediaan K tanah
dalam kaitannya dengan takaran pupuk
yang harus diberikan. Pemilihan metode
K telah dilakukan selama hampir tiga
dekade yang lalu, namun uji korelasi
antara K terekstrak dan hasil tidak selalu
nyata. Larutan 1 N K-HNO3 pH 7 merupakan pengekstrak terbaik dibanding pengekstrak lainnya (HCl 25%, asam sitrat, Bray
1, Olsen, Morgan Venema, 1 N NH4-asetat
pH 7), karena berkorelasi sangan nyata
dengan bobot kering tanaman (r = 0,81)
dari 20 contoh tanah sawah, sedangkan
metode ekstraksi asam sitrat 2% dan K
dapat ditukar (K-dd) 1 N NH4-asetat hanya
berkorelasi nyata (Tabel 3; Purwanto dan
Adiningsih 1980). Beberapa hasil penelitian uji tanah yang berkaitan dengan metode
ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan
kalibrasi K dalam beberapa dekade terakhir
disajikan pada Tabel 3.
Larutan 0,03 N NH4F + 0,10 N HCl
(Bray 2) merupakan pengekstrak terbaik
dengan koefisien korelasi tertinggi dan
batas kritis K sekitar 106 ppm K (0,27 cmol
K/kg) dibanding pengekstrak lainnya (7,70
N HCl; 0,50 M NaHCO3, Olsen; 0,03 N
NH4F + 0,025 N HCl (Bray 1), 1 N NH4asetat pH 7) dari 25 contoh tanah sawah
(Tabel 3; Adiningsih dan Sudjadi 1983).
Batas kritis K untuk 7,70 N HCl adalah 416
ppm K (51 mg K2O/100 g), 0,50 M NaHCO3
120 ppm K (0,31 cmol K/kg), 0,03 N NH4F
+ 0,025 N HCl 100 ppm K (0,26 cmol K/kg),
dan 1 N NH4-asetat 156 ppm K (0,40 cmol
K/kg). Perbedaan nilai batas kritis K untuk
semua pengekstrak (kecuali 7,70 N HCl)
sekitar 0,26−0,40 cmol K/kg disebabkan
oleh perbedaan daya ekstraknya. Jika Kdd tanah < 0,26 cmol K/kg berarti pupuk K
harus diberikan, terutama pada tanah
Oxisols bermuatan positif yang didominasi mineral liat 1:1 dan tanah Ultisols bertekstur pasir karena K mudah tercuci.
Batas kritis K untuk pengekstrak 7,70 N
HCl atau HCl 25% (416 ppm K = 51 mg
K2O/100 g) lebih tinggi dari kelas status
hara K tanah sawah yang dinilai tinggi (>
20 mg K2O/100 g).
59
Tabel 3. Hasil penelitian uji tanah tentang pemilihan metode ekstraksi, kelas ketersediaan hara, dan kalibrasi K dalam
beberapa dekade terakhir.
Metode ekstraksi
Jenis tanah
Tanaman uji
R2
Morgan Venema
Asam sitrat 2%
1 N K-HNO3, pH 7
Olsen
HCl 25%
K-dd
Bray 2
7,70 N HCl
Bray 1
1 N NH 4-asetat (K-dd)
Olsen
5 metode ekstraksi K
1 N NH4OAc
Tanah sawah
Padi-IR36 1
Padi-IR36 1
Padi-IR36 1
Padi-IR36 1
Padi-IR36 1
Padi-IR36 1
Padi1
Padi1
Padi1
Padi1
Padi1
Padi
Padi
SN
SN
N
N
N
N
SN
TN
SN
SN
SN
N
1
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
Tanah
sawah
sawah
sawah
sawah
sawah
sawah
sawah
sawah
sawah
Latosol
Grumusol
−
−
−
−
−
−
106
416
100
156
120
−
156
Kelas ketersediaan
hara K
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
dibuat
Sumber
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Purwanto dan Adiningsih (1980)
Adiningsih dan Sudjadi (1983)
Adiningsih dan Sudjadi (1983)
Adiningsih dan Sudjadi (1983)
Adiningsih dan Sudjadi (1983)
Adiningsih dan Sudjadi (1983)
Supardi dan Adiningsih (1982)
Tim Pembina Uji Tanah (1973)
Percobaan rumah kaca; SN = sangat nyata; N = nyata; TN = tidak nyata; R = rendah; S = sedang; T = tinggi.
Batas kritis K-dd berkisar antara 0,20−
0,40 cmol K/kg, bergantung pada jenis
tanaman, tanah, dan lingkungannya.
Tanaman sangat respons terhadap pupuk
K jika nilai K-dd < 0,20 cmol K/kg, agak
respons jika nilai K-dd antara 0,20−0,40
cmol K/kg, dan tidak respons jika nilai Kdd > 0,40 cmol K/kg. Supardi dan
Adiningsih (1982) melaporkan bahwa
kelima metode ekstraksi K yang digunakan
berkorelasi nyata dengan K yang diserap
tanaman. Oleh karena itu, salah satu dari
lima metode tersebut dapat digunakan
sebagai penduga jumlah K tersedia dalam
tanah.
Gill dan Adiningsih (1986) melaporkan
bahwa pupuk K berpengaruh nyata terhadap tanaman padi dan kedelai apabila
sisa tanaman setelah panen tidak dikembalikan ke tanah. Pemberian sisa tanaman
meningkatkan hasil secara nyata pada takaran K rendah dan mengurangi respons
tanaman terhadap pupuk K. Pengekstrak
Olsen modifikasi untuk penetapan kadar
K memberikan korelasi yang lebih baik
antara K dan hasil tanaman daripada
pengekstrak 1 N NH4OAc atau Mechlich
1. Percobaan kalibrasi K di 153 lokasi menunjukkan, padi yang ditanam di 31 lokasi
(Serang, Subang, Cirebon, Demak, Grobogan, Karanganyar, Madiun, Ngawi)
memberikan respons terhadap pupuk K,
dan di beberapa lokasi responsnya nyata.
Uji korelasi K terekstrak terhadap persen
hasil menunjukkan bahwa ekstraksi Olsen
dan K-dd 1 N NH4OAc memberi harapan
yang baik. Batas kritis K-dd secara tentatif
60
Batas kritis K
(ppm)
untuk padi sawah dengan metode Cate
dan Nelson (1965) berkisar antara 0,30−
0,50 cmol/kg (rata-rata 0,40 cmol/kg atau
156 ppm K) (Tim Pembina Uji Tanah 1973;
Adiningsih 1988).
K-dd untuk tanah mineral masam
tropis kurang dianjurkan untuk digunakan
sebagai indeks ketersediaan hara karena
terdapat banyak penyimpangan (Middelburg 1955; Soepartini 1988). Oleh karena
itu, kebutuhan K pada tanah tropis diduga
dari K- HCl 25% (larutan asam keras) dan
asam sitrat 2%, sebaliknya penetapan Kdd untuk tanah dengan pH > 7 dianjurkan
menggunakan larutan 1 N NH4-asetat pH
7. Penetapan K-dd dengan 1 N NH4-asetat
pH 7 mungkin tidak sesuai untuk tanahtanah mineral masam, karena reaksi antara
bentuk K tidak dapat ditukar (K-tdd) dengan K-dd berlangsung tidak seimbang,
akibat K-tdd sangat lambat diubah menjadi
K-dd. Karena indeks ketersediaan K dalam
bentuk K-dd yang ditetapkan dengan
larutan 1 N NH4-asetat pH 7 untuk tanahtanah dengan K-dd rendah, baik pada
kondisi bentuk K-tdd yang diukur dengan
HCl 25% rendah atau tinggi, maka metode
ekstraksi K-dd dengan 1 N NH4-asetat
dimodifikasi dengan mengatur pH larutan
(pH 5; 5,50; 6; dan 7).
Bertsch dan Thomas (1985) melaporkan bahwa hubungan antara mineral tanah
dan ketersediaan K+ dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pelapukan
K-mineral, pola tanam, sejarah pemupukan,
dan interaksi faktor-faktor tersebut. Keseimbangan yang sangat kompleks antara
mineral tanah, daerah pertukaran, dan
larutan mengakibatkan penilaian ketersediaan K+ sangat sulit. De Datta dan
Mikkelsen (1985) melaporkan, ketersediaan K+ dalam tanah di daerah tropis lebih
rendah daripada di daerah subhumid
tropis, karena proses pelapukan di daerah
tropis berlangsung intensif dan K+ terus
hilang tercuci. Tingkat K+-dd dan K +
larutan tanah pada tanah berpasir dan
tanah yang didominasi liat kaolinit
tergolong sangat rendah sampai sedang,
karena daya sangga K sangat rendah,
sehingga pemberian pupuk K perlu dilakukan. Sebaliknya, tanah bertekstur
berat yang didominasi liat illite dan
montmorillonite umumnya mempunyai Kdd relatif tinggi dan daya sangga K sangat
baik, tetapi konsentrasi K+ dalam larutan
rendah karena disuplai dari K-tdd
(Kemmler 1980). Jumlah K yang disuplai
dari tanah yang didominasi tipe liat illite
dan montmorillonite bergantung pada
jumlah K yang diadsorpsi.
Rochayati et al. (1990) melaporkan,
padi sawah umumnya tidak respons
terhadap pemupukan K baik pada tanah
dengan status K rendah, sedang maupun
tinggi, karena pupuk KCl mudah larut dan
tercuci dan ion K+ dijerap dalam kisi-kisi
mineral liat illite dan montmorillonite.
Sholeh et al. (1997) melaporkan, umumnya
beberapa metode uji tanah K tidak berkorelasi dengan hasil padi sawah pada
tanah Ochraaqualfs dan Tropaquepts,
karena kalibrasi K dilakukan pada lokasi
dengan status K tanah sedang sampai
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
tinggi, sehingga status K tanah tidak
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelas
ketersediaan hara uji tanah. Meskipun
demikian, penetapan K dengan ekstraksi
Morgan Vinema dan Truog modifikasi
memberi harapan yang baik untuk tanah
Typic Hapludults Sumatera Barat.
Karena interpretasi ketersediaan K+
sangat sulit maka ke depan perlu dilakukan
penelitian yang lebih intensif untuk
mengungkap hubungan kuantitas dan
intensitas K (quantity and intensity = Q/
I) untuk menduga kemampuan tanah dalam
penyediaan hara K. Daya dan kapasitas
erapan K tanah menentukan status K
tanah, efektivitas pupuk, dan tingkat pencucian. Sulaeman et al. (2001a) melaporkan, daya serap K tanah Ultisols Lampung
dan Oxisols Sitiung masing-masing
sebesar 19,91 dan 10,60 x 105 M, dengan
kapasitas serap K 0,80 dan 3,77 cmol/kg.
Daya erap K tanah Ultisols Lampung yang
lebih tinggi dari tanah Oxisols Sitiung
mengakibatkan efektivitas pupuk K pada
tanah Ultisols Lampung (23%) lebih
rendah daripada Oxisols Sitiung (42%).
Penentuan status K tanah dan K tersedia (nisbah aktivitas) perlu dikombinasikan dengan K-labil (K-dd). Intensitas K
(K tersedia) pada pemupukan K optimum
untuk jagung sebesar 0,0048 M dengan
K-dd yang terbentuk pada kondisi itu sebesar 0,41 cmol/kg untuk Ultisols Lampung
dan 0,72 cmol/kg untuk Oxisols Sitiung.
Rendahnya efektivitas pupuk K pada
tanah Ultisols Lampung dan Oxisols
Sitiung disebabkan hara K tercuci. Pada
pemupukan K optimum, K yang tercuci
oleh 1.000 mm air untuk tanah Ultisols
Lampung sebanyak 105 ppm K (210 kg K/
ha) dan untuk tanah Oxisols Sitiung 109
ppm K (218 kg K/ha). Neraca hara K tanah
Ultisols Lampung dan Oxisols Sitiung
pada status K optimum dan pencucian
1.000 mm air menurun masing-masing 50
dan 75 ppm K (100 dan 150 kg K/ha). Untuk
mempertahankan status K tanah maka penurunan K harus dikompensasi. Neraca
hara tersebut belum memperhitungkan
pengembalian sisa panen dan masukan K
dari air irigasi.
Ekstraksi S dengan Pelarut
SNSA, Kelas Ketersediaan
Hara S, dan Kalibrasi S
menduga ketersediaan hara S dari 15 contoh tanah sawah di rumah kaca (Sulaeman
et al. 1984). Kadar hara S tersedia pada
tanah sawah berkorelasi positif sangat
nyata dengan persentase bobot kering
dan unsur hara yang diserap tanaman,
dengan koefisien korelasi masing-masing
0,682 dan 0,7523 dan batas kritis 120 ppm
SO42- atau 40 ppm S. Hal itu berarti jika
kandungan S tanah sawah < 40 ppm maka
hara S dalam bentuk pupuk (NH4)2SO4
perlu diberikan.
Kelas ketersediaan S tanah-tanah
sawah di Jawa belum dikelompokkan ke
dalam tiga kelas percobaan kalibrasi.
Namun, penyebaran status S pada tanahtanah sawah di Jawa dengan kriteria S
terekstrak larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500
ppm P dengan nilai S < 10 ppm, 10−30 ppm,
dan > 30 ppm masing-masing dapat dinyatakan rendah, sedang, dan tinggi
(Purnomo et al. 1989). Meskipun status S
tanah dapat dikelompokkan menjadi rendah, sedang, dan tinggi, kelas ketersediaan
hara belum dapat dikelompokkan karena
kalibrasi S dilakukan pada 26 lokasi dengan status S tinggi, 31 lokasi dengan status
S sedang, dan hanya satu lokasi yang
berstatus S rendah (Santoso et al. 1990).
Percobaan kalibrasi S untuk penetapan rekomendasi pemupukan belum
dimantapkan. Namun jika hasil analisis S
dengan larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500
ppm P jauh di bawah 10 ppm S (10 kg S/ha)
maka hara S dari pupuk ZA perlu diberikan dikombinasikan dengan pupuk urea
di mana jumlah N dari kedua sumber pupuk
tersebut adalah 120 kg N/ha (Tabel 4).
Jika hasil analisis tanah menunjukkan
pupuk S belum perlu diberikan karena S
dapat disuplai oleh air hujan dan air irigasi,
maka tanaman padi tidak respons terhadap
S. Oleh karena itu, indeks ketersediaan S
didekati melalui analisis jaringan kemudian
nisbah N/S daun dihitung. Al-Jabri et al.
(1984c) melaporkan, nisbah N/S = 16/1
merupakan batas kritis untuk tanaman
padi; artinya jika nisbah N/S > 16/1 maka
tanaman padi kahat S dengan konsentrasi
S < 0,11%. Hasil penelitian tentang kahat
S telah terdokumentasikan (Ismunadji et
al. 1983), namun penelitian masih
diperlukan agar kebutuhan hara S tanah
sawah dapat dipetakan.
Tabel 4. Rekomendasi hara S-(NH4 )2SO 4 dalam hubungannya dengan
kombinasi pupuk N- urea dan N-(NH4 )2SO4 .
N urea
(kg/ha)
Kontribusi N
(kg/ha) dari
(NH4)2SO4
Kandungan
S tanah awal
(kg S/ha)
Hara S yang
ditambahkan
(kg S/ha)1
Takaran pupuk
(NH4)2SO4
(24% S)
(kg S/ha)
Takaran urea
(45% N) yang
ditambahkan
(kg N/ha)
102,57
103,41
104,25
105,09
105,93
106,77
107,82
108,66
109,50
110,34
111,18
112,02
113,07
113,91
114,75
115,59
116,43
117,27
118,32
119,16
120
17,43
16,59
15,75
14,91
14,07
13,23
12,18
11,34
10,50
9,66
8,82
7,98
6,93
6,09
5,25
4,41
3,57
2,73
1,68
0,84
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
20
19
18
17
16
15
14
13
12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
83
79
75
71
67
63
58
54
50
46
42
38
33
29
25
21
17
13
8
4
0
228
230
232
234
235
237
240
241
243
245
247
249
251
253
255
257
259
261
263
265
267
Dihitung dengan rumus: 20 - kandungan S awal.
Sumber: Al-Jabri (2006).
1
Larutan Ca(H2PO4)2 berkadar 500 ppm P
merupakan pengekstrak terbaik untuk
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
61
Ekstraksi Zn dengan Pelarut
SNSA, Kelas Ketersediaan
Hara Zn, dan Kalibrasi Zn
Intensifikasi pertanian yang telah berlangsung cukup lama menyebabkan
timbulnya faktor-faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Pemupukan P pada tanah
sawah selama bertahun-tahun telah menimbulkan gejala kahat unsur mikro,
antara lain Zn. Kahat Zn dapat terjadi pada
tanah berpasir yang mengalami pencucian
lanjut, tanah berkadar bahan organik
tinggi, tanah bereaksi alkalin, tanah
berdrainase buruk dan selalu tergenang,
serta tanah yang terus-menerus ditanami
padi dengan pemupukan takaran tinggi
(Soepardi 1982).
Di Indonesia, kahat Zn pada tanah
sawah dijumpai antara lain pada tanah
Grumusol di Ngale Jawa Timur (Yoshida
et al. 1973), tanah organik Delta Upang
dan Latosol Bogor (Mat Akhir 1976), tanah
Regosol dan Grumusol yang disawahkan
di Lombok (Abubakar 1987), serta tanah
sawah di Bali (Subadiyasa 1988). Tanah
sawah di Jawa yang berkadar Zn-DTPA <
1 ppm meliputi 880.394 ha atau 26% dari
luas sawah total, di Lombok 53.750 ha atau
44%, dan di Sulawesi Selatan 368.500 ha
(Al-Jabri et al. 1990). Percobaan kalibrasi
Zn di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lombok, dan Sulawesi Selatan pada
tanah Regosol, Grumusol, dan Aluvial
yang tidak dipupuk P menunjukkan
kenaikan hasil gabah (Al-Jabri et al. 1990).
Pengaruh pemupukan Zn pada beberapa tingkat pupuk P bersifat sangat
spesifik lokasi, berjarak 1−3 km, pada tiap
jenis tanah (Regosol, Grumusol, dan
Aluvial), sehingga takaran Zn tidak mungkin berlaku umum di semua tempat.
Pemupukan 56 kg ZnSO4 + 100 kg TSP/ha
merupakan perlakuan terbaik untuk tanah
Regosol, dan perendaman bibit padi dalam
larutan 0,05% ZnSO4 sekitar 5 menit + 100
kg TSP/ha merupakan perlakuan terbaik
untuk tanah Grumusol dan Aluvial. Padi
yang ditanam pada tanah Grumusol dan
Aluvial kurang respons terhadap Zn pada
perlakuan 100 dan 200 kg TSP/ha karena
Zn langsung diikat P, sedangkan bila
tanpa perlakuan P, Zn langsung diserap
akar tanaman meskipun ketersediaan Zn
tanah melebihi nilai batas kritisnya.
Penelitian pemilihan metode analisis
Zn pada tanah sawah Jawa Barat dan Jawa
Timur menunjukkan bahwa metode ekstraksi DTPA-TEA memberikan korelasi
yang lebih dapat dipercaya dengan batas
kritis 1 ppm Zn, dibandingkan dengan 0,10
N HCl, EDTA-(NH4)2CO3, dan ammonium
acetate dithizone (Al-Jabri et al. 1984b).
Secara tentatif, batas kritis Zn pada tanaman padi sawah adalah < 26 ppm Zn. Meskipun pH tanah dan ketersediaan Zn tidak
selalu berkorelasi negatif, pH tanah dan
serapan Zn berkorelasi negatif. Ketersediaan Zn dan serapan Zn berkorelasi
positif untuk tanah-tanah sawah Jawa
Barat, sebaliknya untuk tanah-tanah
sawah Jawa Timur berkorelasi negatif.
Untuk kasus di Jawa Timur, hal itu berarti
meskipun ketersediaan Zn berdasarkan
hasil ekstraksi > 1 ppm Zn, tetapi akar
tanaman tidak dapat menyerap Zn karena
aktivitas Zn sangat dipengaruhi oleh pH
tanah.
Berdasarkan uji korelasi antara Zn
total (HNO3+HClO4) dengan Zn tersedia
(0,05 N HCl, DTPA-TEA, ammonium
acetate dithizone), Zn yang diekstrak 0,05
N HCl dan ammonium acetate dithizone
sesuai untuk mengukur ketersediaan Zn
pada tanah Podsolik Merah Kuning Jawa
Barat, sedangkan Zn yang diekstrak
dengan DTPA-TEA sesuai untuk tanah
Grumusol Jawa Timur (Suryadi 1982). Hasil
analisis kelas ketersediaan Zn dengan lima
macam pengekstrak disajikan pada Tabel
5 (Nelson dan Anderson 1977; Al-Jabri et
al. 1990) .
Rekomendasi pemupukan Zn belum
dapat dimantapkan, karena respons
tanaman padi sawah terhadap Zn bersifat
spesifik lokasi dan sangat bergantung
pada sifat tanah. Karena pada keadaan
tertentu pemupukan P dan Zn berkorelasi
negatif maka bibit padi perlu dicelupkan
ke dalam larutan Zn 0,05% selama 5−10
menit (Al-Jabri dan Soepartini 1995).
Tabel 5. Kelas ketersediaan Zn (ppm) dalam tanah sawah untuk tanaman padi pada tiga tingkat takaran pemberian P.
Tanah/
pengekstrak
0 kg P/ha
Rendah
Regosol
DTPA
HCl 0,05 N
HCl 0,10 N
(NH4)2SO4
Baker
−
−
−
−
−
Grumusol
DTPA
HCl 0,05 N
HCl 0,10 N
(NH4)2SO4
Baker
−
−
−
< 0,18
−
Aluvial
DTPA
HCl 0,05 N
HCl 0,10 N
(NH4)2SO4
Baker
−
−
−
−
−
20 kg P/ha
40 kg P/ha
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
<
<
<
<
<
> 2,50
>4
>5
< 0,23
> 1,30
−
−
−
< 0,20
−
< 2,50
< 3,75
< 6,10
0,20−0,36
< 1,30
>
>
>
>
>
2,50
3,75
6,10
0,36
1,30
>
>
>
>
>
3,91
0,12
6,48
0,07
2,13
−
< 0,12
< 0,18
−
−
< 5,02
0,12−2,22
0,18−5,50
< 0,07
< 1,72
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
4,10
2,74
5,40
3,30
2,37
−
−
−
−
< 0,80
< 4,30
< 3,58
< 7,52
< 0,08
0,80−2,09
>
>
>
>
>
2,50
4
5
0,23
1,30
< 3,91
< 0,12
0,18−6,48
< 0,07
< 2,13
<
<
<
<
<
4,10
2,74
5,40
3,30
2,37
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
−
−
−
−
−
<
<
<
<
<
1,80
2,75
6,10
0,22
1,96
>
>
>
>
>
1,80
2,75
6,10
0,22
1,96
5,02
2,22
5,50
0,07
1,72
−
−
−
−
−
<
<
<
<
<
1,63
0,28
2,86
0,03
2,57
>
>
>
>
>
1,63
0,28
2,86
0,03
2,57
4,30
3,58
7,52
0,08
2,09
−
−
−
−
−
<
<
<
<
<
3,25
4,53
6,37
1,02
2,09
>
>
>
>
>
3,25
4,53
6,37
1,02
2,09
Sumber: Al-Jabri et al. (1990).
62
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Ketersediaan Zn pada tanah Regosol, Grumusol, dan Aluvial untuk tanaman
padi sawah pada perlakuan 0, 20, dan 40
kg P/ha hanya dapat dikelompokkan ke
dalam kelas sedang dan tinggi (Al-Jabri et
al. (1990). Pengekstrak (NH4)2SO4 menunjukkan hubungan yang sangat nyata
antara Zn terekstrak dengan kenaikan
hasil gabah pada tanah Regosol, dengan
batas kelas sedang dan tinggi pada perlakuan 0, 20, dan 40 kg P/ha masingmasing 0,23 ppm, 0,20 ppm, dan 0,22 ppm.
Pengekstrak Baker juga menghasilkan
hubungan sangat nyata antara Zn terekstrak dengan kenaikan hasil gabah pada
tanah Regosol dengan perlakuan 0 dan 20
kg P/ha dan tanah Grumusol dengan
perlakuan 0, 20, dan 40 kg P/ha masingmasing 2,13 ppm, 1,72 ppm, dan 2,57 ppm
Zn. Pengekstrak DTPA menghasilkan
hubungan nyata antara Zn terekstrak
dengan kenaikan hasil gabah pada tanah
Regosol tanpa perlakuan P dengan batas
kritis 2,50 ppm. Pengekstrak 0,05 N HCl
dan 0,10 N HCl menunjukkan hubungan
sangat nyata dengan kenaikan hasil gabah
pada tanah Aluvial tanpa perlakuan P,
dengan batas kritis 2,74 dan 5,40 ppm.
Uji Tanah dengan MultiNutrient Soil Analysis
Uji tanah dengan pengekstrak Morgan
(Wolf) yang dimodifikasi untuk menentukan rekomendasi pemupukan telah diadopsi di Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BB SDLP) mulai tahun 2001, namun
masih terbatas untuk pengujian di rumah
kaca. Uji tanah MNSA yang digunakan di
luar negeri telah dikorelasikan dengan
SNSA yang biasa digunakan di Indonesia.
Pengekstrak yang dikorelasikan adalah
Bray 1, Olsen, HCl 25% untuk unsur P dan
K, NH4OAc pH 7 untuk kation-kation
dapat ditukar (Ca, Mg, K, Na) dan KTK,
DPTA untuk unsur mikro, serta asam nitrat
dan perklorat untuk C dan N total. Hasil
penelitian menunjukkan, pengekstrak
Morgan (Wolf) memperlihatkan korelasi
yang baik dengan yang digunakan di BB
SDLP, kecuali untuk unsur mikro Cu, Zn,
Fe, dan Mn (Sholeh et al. 2001).
Takaran pemupukan N (urea) dan K
(KCl) (Sulaeman et al. 2001a) serta P (SP36) (Sulaeman et al. 2001b) yang direkomendasikan berdasarkan uji tanah Jones
dan Wolf dapat lebih tinggi atau lebih
rendah dari takaran optimum pada saat
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
dilakukan uji verifikasi. Oleh karena itu,
sebelum memiliki metode uji tanah sendiri,
uji tanah Jones dan Wolf yang telah disesuaikan dengan kondisi tanah dan iklim
Indonesia sangat berguna untuk memformulasikan rekomendasi pemupukan
yang efisien dan aman.
HASIL UJI TANAH YANG
SUDAH DICAPAI
Uji tanah hara P dengan menggunakan
SNSA telah menghasilkan batas kritis PHCl 25% yaitu 20−30 mg P2O5/100 g, PBray 1 sekitar 6,50−30 ppm P, P-Bray 2
sekitar 5−12 ppm P2O5, P-Truog 5−22 ppm
P2O5, P-Colwell 18−34 ppm P, dan P-Olsen
16−24 ppm P2O5. Kelas ketersediaan hara
P dengan analisis keragaman yang dimodifikasi disajikan pada Tabel 6.
Untuk uji tanah hara K, antara lain
telah diperoleh batas kritis K-HCl 25%
yaitu 416 ppm K, K-Bray 1 100 ppm K, KBray 2 106 ppm K, K-Olsen 120 ppm K,
dan K NH4OAc 156 ppm K. Kelas ketersediaan hara K belum dapat dikelompokkan karena umumnya percobaan kalibrasi
K dilakukan pada lokasi dengan status K
tinggi.
Untuk hara S, meskipun status S
tanah sawah di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam rendah, sedang, dan
tinggi, kelas ketersediaan hara S belum
dapat dikelompokkan karena percobaan
kalibrasi S dilakukan pada lokasi dengan
status S tinggi. Indeks ketersediaan S
dapat didekati melalui analisis jaringan,
dengan batas kritis nisbah N/S daun = 16/
1. Jika nisbah N/S tanaman >16/1 dengan
konsentrasi S < 0,11% maka tanaman padi
kahat S.
Rekomendasi pemupukan Zn belum
dapat dimantapkan karena respons padi
sawah terhadap Zn bersifat spesifik lokasi
dan bergantung pada sifat tanah. Jika
pemupukan P dan Zn berkorelasi negatif
maka masalah tersebut diatasi dengan
mencelupkan bibit padi ke dalam larutan
0,05% ZnSO4 selama 5−10 menit.
PROGRAM UJI TANAH
MASA DEPAN DI INDONESIA
Penentuan rekomendasi pemupukan
cukup mahal dan prosesnya memerlukan
waktu lama. Di luar negeri, uji tanah berkembang cepat dan telah menggunakan
pelarut MNSA. Sementara di Indonesia,
rekomendasi pemupukan masih menggunakan SNSA dan belum tuntas antara
lain karena keterbatasan dana.
Program uji tanah masa depan di
Indonesia dapat mengadopsi uji dengan
pelarut MNSA dengan melakukan verifikasi terlebih dahulu. Jones dan Wolf (1984)
telah menentukan rekomendasi pemupukan hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan S, dan
hara mikro Cu, Zn, Fe, Mn, B untuk 143
jenis tanaman. Takaran pupuk yang
direkomendasikan bergantung pada
tekstur tanah, kandungan hara tanah, dan
kebutuhan tanaman. Ada lima klasifikasi
tekstur tanah yang diusulkan, yaitu sands
(S), sandy and gravely loams (SL), loam
Tabel 6. Kelas ketersediaan hara P dengan analisis keragaman yang
dimodifikasi.
Metode
P-HCl 25%
P-Bray 1
P-Bray 2
P-Truog
P-Colwell
P-Olsen
P-Bray 1
P-Bray 1
P-Truog
P-Truog
P-Olsen
P-Olsen
1
Jenis tanah
Aluvial
Aluvial
Oxic Dystrudepts
Aluvial
Oxic Dystrudepts
Grumusol
Hydric Dystrandepts
Grumusol
Ultisols
Grumusol
Ultisols
Aluvial
Tanaman
Padi
Padi sawah
Jagung
Padi sawah
Jagung
Padi sawah
Kentang
Padi sawah
Padi gogo
Padi sawah
Padi gogo
Padi sawah
Kelas ketersediaan P (ppm P)1
Rendah
Sedang
Tinggi
<
<
<
<
<
−
<
−
<
−
−
<
30−60
2,60–8
5–12
3,50–10
18–34
< 15
15–30
<8
7,50–15
< 74
< 5,30
7–15
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
30
2,60
5
3,50
18
15
7,50
7
60
8
12
10
34
15
30
8
15
74
5,30
15
Untuk P-HCl 25% dalam mg P2O5/100 g.
63
(L), silt and clay loams (SiCl), dan organic
soils (O).
Takaran pupuk hasil uji verifikasi
dapat lebih rendah atau lebih tinggi dari
hasil penelitian di luar negeri. Selanjutnya,
hasil uji verifikasi tersebut digunakan
untuk rekomendasi pemupukan spesifik
lokasi dengan tekstur tanah yang sama
pada luasan 10−25 ha dan ditetapkan
setiap 3−4 tahun sekali.
Prosedur analisis tanah baru untuk
penetapan P-HCl 25% sebagai pelarut
SNSA (Sulaeman et al. 2005) tidak melakukan penambahan 0,50 ml HCl 37% pada
tanah dengan kandungan berkarbonat >
1% untuk setiap kenaikan 0,50% kandungan CaCO3, sebagaimana yang dilakukan
pada prosedur analisis tanah lama (Sudjadi
et al. 1971). Oleh karena itu, prosedur
penetapan P-HCl 25% perlu dimodifikasi
jika P potensial yang ditetapkan HCl 25%
masih diperlukan untuk pembuatan peta
status hara P tanah sawah dengan membe-
dakan nisbah tanah dan pengekstrak,
waktu kocok, dan pengenceran filtrat.
Namun peta status hara P tanah sawah
tersebut bukan digunakan untuk menentukan rekomendasi pemupukan, tetapi untuk
realokasi kebutuhan pupuk pada setiap
provinsi atau kabupaten.
KESIMPULAN DAN SARAN
Uji tanah dengan SNSA sudah dikembangkan di Indonesia lebih dari tiga
dekade (1970−2006), namun rekomendasi
pemupukan untuk tanaman padi belum
spesifik lokasi berdasarkan famili tanah.
Uji tanah MNSA yang digunakan di luar
negeri telah dikorelasikan dengan SNSA.
Pengekstrak Morgan (Wolf) menunjukkan
korelasi yang baik sebagaimana uji tanah
SNSA untuk unsur P-Bray 1, P-Olsen,
Ca-, Mg-, K-, Na-NH4OAc pH 7, C- dan N-
total, kecuali untuk unsur mikro (Cu, Zn,
Fe, Mn). Takaran pupuk N, P, dan K yang
direkomendasikan berdasarkan uji tanah
Jones dan Wolf untuk kondisi tanah dan
iklim di Indonesia dapat lebih tinggi atau
lebih rendah dari takaran optimum pada
saat dilakukan uji verifikasi.
Untuk program uji tanah masa depan
di Indonesia disarankan melakukan uji
verifikasi terhadap rekomendasi pemupukan hasil kalibrasi di luar negeri yang
telah menggunakan pelarut MNSA sesuai
dengan kondisi tanah dan iklim Indonesia.
Hasil verifikasi selanjutnya digunakan
untuk menentukan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk kelompok
tani dengan luasan maksimum 25 ha dan
ditetapkan setiap 3−4 tahun sekali. Pelaksanaan program rekomendasi pemupukan tersebut memerlukan penelitian
kemitraan antara lembaga penelitian dan
pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, B. 1987. Evaluasi Pendugaan Status
Ketersediaan dan Pemberian Seng pada
Regosol dan Grumosol Lombok yang
Disawahkan terhadap Produksi Padi dan
Kedelai. Tesis Fakultas Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1983. Penilaian
beberapa cara ekstraksi kalium tersedia pada
tanah sawah. Pemberitaan Penelitian Tanah
dan Pupuk (1): 5−10.
Adiningsih, J.S. 1988. Tinjauan hasil percobaan
pemupukan kalium. hlm. 31−42. Risalah
Seminar Hasil Penelitian Tanah. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor.
Al-Jabri, M., I M. Widjik, A. Hamid, Soeharto,
dan M. Soepartini. 1984a. Pemilihan metode
uji P tanah-tanah masam dari Lampung dan
Sitiung untuk padi gogo. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (3): 47−52.
Al-Jabri, M., M. Soepartini, dan M.E. Suryadi.
1984b. Pemilihan metode uji Zn dan Cu pada
tanah-tanah sawah dari Jawa Barat dan Jawa
Timur dengan padi sebagai tanaman indikator. Prosiding No. 4/Penelitian Tanah.
271−290. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Al-Jabri, M., Sulaeman, M. Soepartini, dan J.S.
Adiningsih. 1984c. Kadar sulfur dan perbandingan kadar nitrogen terhadap kadar
sulfur tanaman padi sebagai penduga
kebutuhan sulfur. Prosiding No. 4/Penelitian
Tanah. Cipayung 21−23 Februari. Pusat
Penelitian Tanah, Bogor. hlm. 291−309.
Al-Jabri, M., M. Soepartini, dan D. Ardi S. 1990.
Status hara Zn dan pemupukannya di lahan
sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efi-
64
siensi Penggunaan Pupuk V: 427−464. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Al-Jabri, M. dan M. Soepartini. 1995. Teknik
pemupukan hara Zn pada tanah sawah.
Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat (2): 1−6. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Al-Jabri, M. 2002. Penetapan kebutuhan kapur
dan pupuk fosfat untuk tanaman padi (Oryza
sativa L.) pada tanah sulfat masam aktual
Belawang-Kalimantan Selatan. Disertasi.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
response data. Intl. Soil Testing. North
Caroline State University, Raleigh. Tech.
Bull. No. 1.
Chang, S. and M.L. Jackson. 1957. Fractionation
of soil phosphorus. Soil Sci. 84: 133−144.
De Datta, S.K. and D.S. Mikkelsen. 1985.
Potassium nutrition of rice. p. 665−699. In
Munson (Ed.). Potassium in Agriculture. Am.
Soc. Agron. Crop Sci. Soc. Am. Madison,
Wisconsin, USA.
De Geus, J.G. 1973. Fertilizer Guide for the
Tropics and Subtropics. Centre d’Etude de
l’Azote, Zurich. Second Edition. 774 pp.
Al-Jabri, M. 2006. Penetapan rekomendasi
pemupukan berimbang berdasarkan analisis
tanah untuk padi sawah. Jurnal Sumberdaya
Lahan. 1(2): 25−35.
Fitts, J.W. 1956. Soil tests compared with field,
greenhouse, and laboratory results. N.C.
Agric. Exp. Stn. Tech. Bull. 121.
Anonymous. 1985. Cornell Recommends for
Field Crops. New York State Coop. Ext. Serv.
Fogg, D.N. and N.T. Wilkinson. 1982. The
colorimetric determination of phosphorus.
Analyst (London) 83: 406−414.
Baldovinos, F. and G.W. Thomas. 1967. The
effect of soil clay on phosphorus uptake.
Soil Sci. Soc. Am. Proc. 31: 680−682.
Bertsch, P.M. and G.W. Thomas. 1985.
Potassium status of temperate region soils.
p. 131−162. In Munson (Ed.) Potassium in
Agriculture. Am. Soc. Agron. Crop Sci. Soc.
Am. Madison, Wisconsin, USA.
Cajuste, L.S. and W.R. Kussow. 1974. Use and
limitations of the North Caroline method
to predict available phosphorus in some
Oxisols. Trop. Agric. (Trinidad) 51: 246−
252.
Cate, R.B. and A. Nelson. 1965. A rapid method
for correlation of soil test analysis with plant
Fox, R.L. and E.J. Kamprath. 1970. Phosphate
sorption isotherms for evaluating the
phosphate requirements of soils. Soil Sci.
Soc. Am. Proc. 34: 902−907.
Gill, D.W. and J.S. Adiningsih. 1986. Response
of upland rice and soybeans to potassium
fertilization, residue management and green
manuring in Sitiung, West Sumatra.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk
(6): 26−32.
Ismunadji, M., G.J. Blair, E. Momuat, and M.
Sudjadi. 1983. Sulfur in the agriculture of
Indonesia. p.16−179. In G.J. Blair and A.R.
Till (Eds.). Sulfur in South-East Asian and
South Pacific Agriculture. Research for
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Development Seminar, Ciawi Indonesia, 23−
27 May 1983, sponsored by the Australian
Development Assistance Bureau (ADAB).
The Sulphur Institute.
Jones, J.B. Jr. and B. Wolf. 1984. Soil testing
procedure using modified (Wolf) Morgan
extracting reagent. Benton Laboratories, Inc.
Athens, Georgia. 62 p.
Kamprath, E.J. and M.E. Watson. 1980. Conventional soil and tissue test for assessing
the phosphorus status of soil. p. 433−469.
In F.E. Khasawneh, E.C. Sample, and E.J.
Kamprath (Eds.). The Role of Phosphorus
in Agriculture. Soil Sci. Soc. Am. Madison,
Wisconsin, USA.
Kasno, A. dan Nurjaya. 1996. Tanggap tanaman
padi terhadap pemupukan P dan K di lahan
sawah Sumatera Selatan. hlm. 21−39.
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat: Bidang Kesuburan Tanah dan
Produktivitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Kasno, A., J.S. Adiningsih, Sulaeman, Nurjaya,
dan Asmin. 2001. Kalibrasi uji tanah hara P
tanah Oxisols, Sulawesi Tenggara untuk
tanaman jagung. hlm. 397−417. Prosiding
Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk.
Buku I. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Kemmler, G. 1980. Potassium deficiency in soils
of the tropics as a constraint to food
production. p. 253−275. In Priorities for
Alleviating Soil-Related Constraints to Food
Production in the Tropics. International Rice
Research Institute, Los Banos, Philippines.
Mat Akhir, A. 1976. Pengaruh pemberian
tembaga atau seng dan tahun pengusahaan
terhadap pertumbuhan, produksi dan penyerapan hara padi varietas Pelita I/1 dalam
keadaan tergenang dan jenuh air pada tanah
organic Delta Upang dan Latosol Darmaga.
Tesis Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Middelburg, H.A. 1955. Potassium in tropical
soils: Indonesia Archipelago. p. 221−257.
In Potassium Symposium. Intl. Potash Inst.,
Bern, Switzerland.
Mulyani, N.S., I P.G. Widjaja-Adhi, M. Soepartini,
dan Sutisni. 1993. Kebutuhan dan daya erap
P tanah-tanah sawah di Lombok dan Sulawesi
Selatan. hlm. 203−216. Prosiding Pertemuan
Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat:
Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah,
Bogor, 18−21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Moersidi, S., D. Santoso, M. Soepartini, M. AlJabri, J.S. Adiningsih, dan M. Sudjadi. 1989
Peta keperluan fosfat tanah sawah di Jawa
dan Madura. Pemberitaan Penelitian Tanah
dan Pupuk 8: 13−25.
Nelson, W.L., A. Mehlich, and E. Winters. 1953.
The development, evaluation and use of soil
tests for phosphorus availability. In W.H.
Pierre and A.G. Norman (Ed.). Soil and
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Fertilizer Phosphorus. Agronomy 4: 153−
158.
Buku III. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Nelson, L.A. and R.L. Anderson. 1977. Partitioning of soil test-crop response probability.
p. 19−38. In T.R. Peck, J.T. Cope Jr., and
D.A. Witney (Eds.). Soil Testing: Correlating
and interpreting the analytical results. ASA
Special Publ. No. 29. ASA-CSSA-SSSA,
Madison, Wisconsin, USA.
Sholeh, M. Al-Jabri, I G.M. Subiksa, I P.G.
Widjaja-Adhi, dan J.S. Adiningsih. 1997. Uji
tanah K untuk padi sawah pada beberapa tipe
tanah. Prosiding Kongres Nasional VI HITI,
Jakarta, 12−15 Desember 1995. Penatagunaan Tanah sebagai Perangkat Penataan Ruang
dalam rangka Meningkatkan Kesejahteraan
Rakyat. Buku I: hlm. 625−636.
Nursyamsi, D., D. Setyorini, dan I P.G. WidjajaAdhi. 1993. Penentuan kelas hara P terekstrak dengan metode analisis keragaman
yang dimodifikasi. hlm. 217−235. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan
Agroklimat: Bidang Kesuburan Tanah dan
Produktivitas Tanah, Bogor, 18−21 Februari
1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Olsen, S. and F.S. Watanabe. 1957. A method to
determine a phosphorus absorption maximum
of soils as measured by the Langmuir
Isotherm. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 21: 144−
149.
Olsen, S. and F.S. Watanabe. 1963. Diffusion of
phosphorus as related to soil texture and
plant uptake. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 27:
648 −653.
Purnomo, D., D. Santoso, dan Heryadi. 1989.
Status belerang tanah sawah di Jawa. Pusat
Penelitian Tanah (in press).
Purnomo, J. dan D. Nursyamsi. 2000. Uji korelasi
dan kalibrasi hara P untuk tanaman jagung
pada Oxic Dystrudepts di Jambi. hlm. 381−
395. Prosiding Seminar Nasional Reorientasi
Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim,
dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Purwanto, S. dan J.S. Adiningsih. 1980. Hubungan
penyediaan kalium pada tanah sawah dengan
produksi bahan kering dan serapan K.
Prosiding No. 1/Penelitian Tanah: 137−147.
Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1993.
Penelitian status P dan K serta respon padi
terhadap penggunaan pupuk P dan K.
Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Rochayati, S., Mulyadi, dan J.S. Adiningsih. 1990.
Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di
lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional
Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua, 12−
13 November 1990. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat, Bogor. hlm. 107−143.
Santoso, D., Heryadi, Sukristyonubowo, dan D.
Purnomo. 1990. Pemupukan belerang di
lahan sawah. hlm. 241−252. Prosiding
Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan
Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Sholeh, M. Al-Jabri, I G.M. Subiksa, I P.G.
Widjaja-Adhi, dan J.S. Adiningsih. 1996.
Penelitian uji P tanah untuk padi sawah pada
beberapa tipe tanah. hlm. 25−38. Prosiding
Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi
Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat:
Bidang Kesuburan dan Produktivitas Tanah.
Sholeh, A. Hamid, dan Sulaeman. 2001. Korelasi
Uji Tanah Morgan (Wolf) Dimodifikasi dengan Pengekstrak-pengekstrak Lain. Laporan
Akhir. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya
Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Soepardi, G. 1982. The zinc status in Indonesia
agriculture. Contributions Central Research
Institute for Food Crops 68: 10−31.
Soepartini, M. 1988. Penilaian ekstraksi kalium
tanah. hlm. 83−88. Risalah Seminar Hasil
Penelitian Tanah. Pusat Penelitian Tanah,
Bogor.
Soepartini, M., D. Ardi, S., T. Prihatini, W.
Hartatik, dan D. Setyorini. 1990. Status
kalium tanah sawah dan respon padi sawah
terhadap pemupukan kalium. hlm. 187−207.
Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi
Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12−13
November 1990. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Subadiyasa, I.N.N. 1988. Evaluasi ketersediaan
dan pengaruh pemberian seng terhadap
produksi padi dan kacang tanah pada tanah
sawah di Bali. Tesis, Fakultas Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Sudjadi, M., I M. Widjik, dan M. Soleh. 1971.
Penuntun Analisa Tanah. Publikasi No. 10/
71. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. 166
hlm.
Sulaeman, M. Soepartini, dan M. Sudjadi. 1984.
Hubungan antara kadar belerang tersedia
dalam tanah dengan respon tanaman padi
sawah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk (3): 20−26.
Sulaeman, N.S. Mulyani, dan Eviati. 2001a.
Keterkaitan hubungan kuantitas dan intensitas kalium dengan rekomendasi kalium
berdasarkan uji tanah Jones dan Wolf.
Laporan Akhir Bagian Proyek Penelitian
Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan
Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
Partisipatif. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Sulaeman, A. Hamid, dan Eviati. 2001b.
Hubungan bentuk-bentuk fosfat dalam
tanah dengan ketersediaan fosfat menurut
uji tanah Jones dan Wolf. Laporan Akhir
Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan
dan Agro-klimat dan Proyek Pengkajian
Teknologi Pertanian Partisipatif. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Analisis
Kimia Tanah, Tanaman, dan Air. Balai
Penelitian Tanah, Bogor. 136 hlm.
65
Supardi, S. dan J.S. Adiningsih. 1982. Korelasi
antara kalium terekstrak dengan bahan kering
dan kalium diserap tanaman. Prosiding No.
3/Penelitian Tanah: 171–178. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Suryadi, M.E. 1982. Perbandingan beberapa
metode penetapan Zn dalam tanah Grumusol
dan Podsolik Merah Kuning. Prosiding No.
3/Penelitian Tanah: 195−201. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Madiun dan Ngawi. Laporan Penelitian No.
7/1973. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor.
tox. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk (6): 32−39.
Westerman, R.L. 1990. Soil Testing and Plant
Analysis. Third Edition. Soil Sci. Soc. Am.
Inc. Madison, Wisconsin, USA. 784 pp.
Widjik, I M. 1984. Perbandingan tanah dengan
pengekstrak dan waktu kocok untuk
penetapan P tersedia dengan metode Truog
dimodifikasi. Pemberitaan Penelitian Tanah
dan Pupuk (3): 52−56.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan I M. Widjik. 1984.
Pemilihan dan kalibrasi uji tanah hara P
untuk tanaman kentang pada tanah Hydric
Dystrandepts. Pemberitaan Penelitian Tanah
dan Pupuk (3): 42−46.
Thomas, G.W. and D.E. Peaslee. 1973. Testing
soils for phosphorus. In L.M. Walsh and J.D.
Beaton (Eds.). Soil Testing and Plant
Analysis. Revised. Soil Sci. Soc. Am.,
Madison, Wisconsin, USA.
Widjaja-Adhi, I P.G. 1986. Penentuan kelas
ketersediaan hara dengan metode analisa
keragaman yang dimodifikasi. Pemberitaan
Penelitian Tanah dan Pupuk (5): 23−28.
Tim Pembina Uji Tanah. 1973. Penilaian Fuji
Hira Kogyo Soil Test Kit untuk Daerah
Widjaja-Adhi, I P.G. and J.A. Silva. 1986.
Calibration of soil phosphorus tests for maize
on Typic Paleudults and Tropeptic Eutros-
66
Woodruff, J.R. and E.J. Kamprath. 1965. Phosphorus absorption maximum as measured by
the Langmuir isotherm and its relationship
to phosphorus availability. Soil Sci. Soc. Am.
Proc. 29: 148−150.
Yoshida, S., J.S. Ahn, and D.A. Forno. 1973.
Occurrence, diagnosis, and correction of zinc
deficiency of lowland rice. Soil Sci. Plant
Nutr. 19(2): 83−93.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Download