BIDANG PERTANIAN

advertisement
PAKET INFORMASI TERSELEKSI
BIDANG PERTANIAN
Seri: Budidaya Kedelai
Paket Informasi Teknologi adalah salah satu
layananan yang disediakan oleh PDII-LIPI bagi
peminat informasi bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) mengenai topik tertentu. Paket
Informasi Teknologi tentang “Perubahan Iklim”
merupakan kumpulan informasi dari berbagai
sumber, antara lain laporan penelitian, artikel
makalah/jurnal ilmiah, makalah seminar/konferensi,
paten dan dilengkapi pula dengan saran literatur
yang dapat dipesan melalui PDII-LIPI apabila
berminat memperoleh artikel lengkapnya. Berbagai
informasi dalam paket ini diharapkan dapat
membantu masyarakat untuk mempelajari terumbu
karang. Paket ini telah tersedia dalam bentuk digital
atau CD ROM.
Selain paket informasi, PDII-LIPI juga menyediakan
jasa dokumentasi dan informasi lain, yaitu:
(1) Penelusuran informasi dalam dan luar negeri,
(2) Penyusunan indeks, abstrak dan tinjauan
literatur, (3) Penggandaan dokumen, (4) Konsultasi
bidang dokumentasi dan informasi, dan
(5) Reprografi.
DAFTAR ISI
ANALISIS DAYA SAINGUASAHATANI
KEDELAI DI DAS BRANTAS
Siregar, Masdjidin; Sumaryanto
Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 23, No.1, 2005:50-71
Abstrak:
Tujuan utama makalah ini adalah untuk
menganalisis daya saing komoditas kedelai
di Daerah Aliran Sungai (OAS) Brantas, yang
merupakan daerah utama penghasil kedelai di
Indonesia.Hasil analisis memperlihatkan bahwa
penerimaan bersih untuk pengelola (returns to
management) adalah negatif.Ini berarti bahwa
komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan
kompetitIf yang dipertegas lagi oleh nilai PCR
sekitar satu.Nilai ORC yang berada disekitar satu
juga menunjukkan bahwa komoditas kedelai
memiliki keunggulan komparatif yanglemah.
Dari analisis titik impas diperoleh kesimpulan
bahwa komoditas kedelai akan mempunyai
daya saing finansial jika harga kedelai dunia naik
paling sedikit 8,5 persen, atau nilai tukar dolar
terhadap rupiah paling sedikit turun 9,2 persen
atau produktivitas kedelai naik paling sedikit 27,4
persen, ceteris paribus. Dengan perkataan lain
harus ada upaya peningkatan efisiensi tanaman
kedelai melalui peningkatan produktivitas
dengan penggunaan benih bermutu serta pupuk
berimbang. Oisamping itu, dukungan terhadap
penelitian pengembangan varietas kedelai juga
harus diutamakan mulai sekarang. Kebijakan
fiskal dan moneter tidak banyak yang dapat
dilakukan dalam era perdagangan internasional
yang semakin liberal ke depan.
i
Pilih/klik judul
untuk melihat full text
BUDIDAYA VARIETIES KEDELAI HASIL
LITBANG BATAN
Harry Is M;Harry Is M.; Marapada Hasibuan;
Marapada Hasibuan; Agustiar;Agustiar
Jurnal Teknoekonomi, Vol. 3, No. 1, 2008:149-156
Abstrak:
Kedelai merupakan salah satu tanaman multi
guna yang digunakan sebagai pangan, pakan
ternak, dan bahan baku indnstri manufaktur
dan olahan. Faktor utama yang berpengaruh
dalam keberhasilan usaha tani adalah benih
yang bermutu yaitu benih murni dan berdaya
tumbuh baik, dalam pelaksanaan diatur dalam
undang-undang budi daya tentang produksi,
sertifikasi, dan peredaran benih.Tujuan kegiatan
usaha tani kedelai adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan petani, membangun model budi
daya kedelai insentif dan mengaplikasikan
teknologi hasil Litbang Departemen Pertanian,
Batan, dan Agro Teknologi Park Kemitraan.Riset
yang telah dilakukan di Wilayah Jonggol dan Cariu
Kabupaten Bogor yang mempunyai lahan cukup
luas dan potensial, dengan suhu udara berkisar
20-53 derajat C dengan ketinggian 200 pdl dan
curah hujan 1500-3500 mm/tahun sangat cocok
untuk tanaman kedelai. Hasil pertanian di bidang
pangan umumnya dan khususnya di Indonesia
produksinya tergolong rendah, hal ini dikarenakan
petani belum menggunakan teknologi budi
daya. Untuk mencapai swasembada kedelai
perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini:
penggunaan varietes unggul, pemberian pupuk
sesuai kebutuhan, pengendalian hama yang
baik, mekanikasi pertanian, pengelolaan pasca
yang baik, infrastruktur dan sarana jalan dan
transportasi masih kurang, teknologi belum
tersebar dengan baik. Melalui budi daya variesitas
kedelai hasil Litbang Batan dapat meningkatkan
produksi kedelai Indonesia, setelah dilakukan
studi analisis teknoekonomi budi daya kedelai
terhadap 4 ha lahan yang menghasilkan panen 8
ton/panen menggunakan benih 50 kg/ha dengan
perkiraan harga Rp6.000/kg.Disimpulkan bahwa
budi daya kedelai varietes Batan ini cukup baik
dan layak untuk dikembangkan.
DAFTAR ISI
EFEK MULSA ALANG-ALANG,
PUPUKDAN PENGOLAHAN TANAH
PADA TANAMAN KEDELAl DAN
GULMA
Yernelis Syawal
J. Agrivigor, Vol. 6, No. 2, 2007:161-168
Abstract:
An experimentto study the effect onof speargrass mulch, P fertilizer and soil tillage on.soybean
plant and weeds wasconducted at Experimental
Rim in Tanjung Seteko Indralaya of Ogan llii in
South Sumatera from Januari to May 2005. It
was arranged in a split-split plot (2x3x3) design.
Main plot was soil tillage, consisted-ofwithout-,
in row and conventionai tillage. Subplot was P
fertilizer, consisted of 0, 100 and 200 kg P2O5 ha1
. Sub-subplot was spear-grass mulch application,
consisted of 0 and 10 t ha-1.Results showed that
highest dry weights were on 4 and6th week.
Highest pod number and yield were reached by
combination of in-row tillage, 200 kg P2O5 ha-1and
10t mulch ha-1, namely 1.20 t ha-1. Highest rootnodule number was reached by combination of
in-row tillage P2O5 ha-1 and no-mulch, namely 5.75
stem-1. On combination of 200 kg P2O5 ha-1.10t
mulch ha-1 and conventional tillage shifted weed
composition before and afterexperiment. Highest
SDR value was on no-tillage Digitaria sanguinalis
(11.10%), in-row tillage in Ageratum conyzoides
(16.05%), and conventional tillage in Ageratum
conyzoides (25.90%).
HUBUNGAN KOMPONEN HASIL
DENGAN HASIL KEDELAI [GLYCINE
MAX (L.) MERR] YANG DITANAM PADA
LAHAN DIOLAH BERBEDA SISTEM DAN
BERASOSIASI DENGAN GULMA
Manurung, Janes P
Jurnal Argivigor, Vol. 3, No. 2, 2003:179-188
Abstract:
Tillage especially deep tillage, increases weed
seed population by bringing buried weed seed to
the surface soil. To achieve the objective of the
study, one field experiment were carried out from
March 1999 to July 1999. The treatments were
factorially experimenttwo factor was arranged
in a randomized complete block design with
three replication. Two factor that is three kinds
of tillage system consist of no-tillage, minimum
tillage, and conventional tillage. Four levels of
duration crop-weed association. The levels of
duration crop-weed association application were
2 week after planting (WAP), 4 WAP, 6 WAP, and
8 WAP. Results of the experiments that no-tillage
showed soybean yield higher average compare
of conventional and minimum tillage system
on duration crop-weed association. The yield
soybean were 3.71,3.09,2.66 and 2.58 t ha-1 for
duration weed-crop association 2,4 ,6 and 8 WAP
respectively for notillage while yield soybean on
conventional tillage were 3.1,3.32, 3.17 and 2.74
t ha-1 for duration weed-crop association 2,4,6
and 8 WAP respectively and that minimum tillage
soybean yield were 3.33,2.35,1.43 nd 1.20 t ha-1
for duration weed-crop association 2,4,6 and 8
WAP respectively.
DAFTAR ISI
IDENTIFIKASI KETAHANAN SUMBER
DAYA GENETIK KEDELAI TERHADAP
HAMA PENGISAP POLONG
Asadi
Buletin Plasma Nutfah, Vol. 15, No. 1, 2009:27-31
Abstrak:
Hama pengisap polong merupakan hama penting
yang dapat mengakibatkan penurunan hasil kedelai
secara signifikan. Ada tiga jenis hama pengisap
polong yang sering ditemukan menyerang
pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F),
Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus.
Hama tersebut menyerang pertanaman kedelai
selama stadia pengisian biji hingga menjelang
polong masak. Serangan hama pengisap polong
dapat menurunkan hasil kedelai hingga 79%.
Sumber daya genetik (plasma nufah) kedelai tahan
hama pengisap polong sangat diperlukan sebagai
bahan dasar pemuliaan. Sebanyak 100 aksesi
plasma nutfah kedelai telah diuji ketahanannya
di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, pada
MH 2003. Setiap aksesi ditanam pada petakan
berukuran 2 m x 3 m dengan jarak 40 cm x 15
cm. Mulai dari stadia pembungaan hingga polong
masak tidak dilakukan penyemprotan hama.
IDENTIFIKASI VARIETAS KEDELAI
TOLERAN TERHADAP GENANGAN
Ai Komariah
J. Agrivigor, Vol. 8, No. 1, 2008:93-102
Abstract:
The experiment to identification of soybean
tolerance variety to flooding condition with
indicator character alcohol dehydrogenase (ADH)
activity, malate dehydrogenated (MDH) activity,
shoot-root ratio and weight of seed per plant was
conducted at agriculture experiment station of
Faculty of Agriculture, Winaya Mukti University
Tanjungsari, Sumedang, from May 2006 until
August 2006. The altitude of experimental field
was 824 meter above sea level. The experiment
was arranged in two sets, normal planting and
planting in flooding condition. Randomized Block
Design was used as experimental design with 8
genotype as experimental treatment replicated
4 times. Result of the experiment showed that
Anjasmoro varieties were tolerance to flooding
condition with indicator selection characters ADH
activity, MDH activity, shoot-root ratio ang weight
of seed per plant.
DAFTAR ISI
KESESUAIAN GENOTIPE KEDELAI
UNTUK TANAMAN SELA DI BAWAH
TEGAKAN POHON KARET
Titik Sundari, Purwantoro
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 33,
No. 1 2014:44-53
Abstrak:
Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi
genotipe kedelai toleran naungan yang sesuai
untuk tanaman sela di bawah tegakan tanaman
karet. Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi
perkebunan karet rakyat, dengan umur karet 3-4
tahun, yaitu di Desa Gunungsari dan Gunungadi,
Kecamatan Gunung Sugih, Kabupaten Lampung
Tengah, serta Desa Tulangbalak, Kecamatan
Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur,
pada MK I 2011. Bahan yang digunakan adalah 30
genotipe kedelai yang terdiri atas 23 galur kedelai
toleran naungan dan tujuh varietas pembanding
(Pangrango, Burangrang, Malabar, Argomulyo,
Grobogan, Ijen, dan Tanggamus). Setiap genotipe
ditanam pada plot berukuran 4 m x 2,2 m, jarak
tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun.
Rancangan percobaan di masing-masing lokasi
adalah acak kelompok, diulang empat kali.
Sebelum tanam diaplikasikan dolomit sebanyak
1,5 t/ha. Pemupukan dilakukan pada saat tanam
dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/
ha.Pengamatan dilakukan terhadap karakter
umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman
pada saat panen, jumlah cabang, jumlah buku
subur, jumlah polong isi, bobot biji/tanaman,
dan hasil biji. Intensitas cahaya di bawah kanopi
tanaman karet diamati sejak tanaman kedelai
berumur 30 hari setelah tanam (HST), dilakukan
antara jam 11.00 hingga 12.00, dengan interval
satu minggu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat naungan di tiga lokasi menunjukkan
perbedaan, di Tulangbalak dan Gunungsari
berkisar antara 20-40%, di Gunungadi 40-60%.
Genotipe IBM22- 861-2-22-3-1 dan AI26-11148-28-1-2 konsisten toleran naungan di tiga lokasi
masing-masing dengan produktivitas 1,40 t/ha
dan 1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,19 t/ha dan 1,18
t/ha di Gunungsari, dan 0,81 t/ha dan 0,78 t/ha di
Gunungadi. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26- 1114-
8-28-1-2 mempunyai hasil tertinggi, rata-rata
1,13 t/ha. IBM22- 861-2-22-3-1 dan AI26-1114-828-1-2 merupakan genotipe yang sesuai sebagai
tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet
umur 3-4 tahun.
KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS
KEDELAI TERHADAP SSV
(SOYBEANSTUNT VIRUS
Hasriadi Mat kin, Maimun Barmawi
Jurnal Agrotropika, Vol. 10, No. 1, 2005:15–19
Abstract:
The objective of this research was to compare
the resistance of several soybean varieties to SSV
(soybean stunt virus) and effects of SSV infection
on soybean growth and yield. This experiment was
conducted in a green house at Lampung University
during August-December 2004. The experiment
was arranged in a split plot design. The main
plots were SSV inoculation (i.e. inoculated and
uninoculatedplants) and the subplots were seven
soybean varieties (i.e. Taichung, Yellow Bean,
Orba, Wilis, Slamet, B 3570, and Mlg2521). The
results showed that based on disesase incubation
period and severily, Taichung was more resistantto
SSV compared to other varieties. SSV infection
significantly reduced soybean growth indicated
by reduction ofplant heigth 5.86% and numbers
of n+1 steams 16,63%. SSV Infection also reduced
soybean yield, soybean pods 19,75% and seeds
12,11%.
DAFTAR ISI
KORELASI PEMUPUKAN FOSFAT
DENGAN PERTUMBUHAN TANAMAN,
BINTIL AKAR DAN HASIL DUA
VARIETAS KEDELAI (GLYCINE MAX L.)
Amin Zuchri
Embryo : Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian, Vol. 4, No. 1,
2007:11-15
Abstract:
The research to analyze the correlation of
phosphate fertilizer dosage with plant growth
parameters,nodule characteristics and yield of
soybean was carried out. The research consisted
two factors was arranged in a complete randomized
design with three replications. The first factor
was soybean variety consisted of Galunggung
and Lokon, which all were determinate type. The
second factor was dosage of phosphate fertilizer,
consisted of five levels which were 0, 2455 , 490,9
, 736,4 and 981,8 mg/container. The research
revealed that there were significantly positive
correlative between Phosphate fertilizer and (1)
dry weight of aerial part of Galunggung and dry
weight of of Lokon; (2) nodule number and dry
weight/plant, nodule fresh weight/nodule of
both Galunggung and Lokon (except nodule fresh
weight/nodule of Lokon). The nodule proportion of
Galunggung was higher than that of Lokon, (3) dry
weight and seed number/plant,the percentage
of full pods and fertile nodes on Galunggung.
While significantly negative correlation seemed
to happen on dry weight and plant seed number/
plant,the percentage of full pods and fertile
nodes, seed weight/seed of Lokon.
KUALITAS BENIH KEDELAI (GLYCINE
MAX (L.) MERILL.) PADA BERBAGAI
UMUR PANEN SETELAH PENYIMPANAN
Amelia S. Sarungallo
Jurnal Agrotek, Vol. 1, No. 9, 2010:33-38
Abstract:
The aim of this research was to identify the quality
of soybean seed from a variety ofharvesting time
after 5 months of storage duration. Randomized
block design was used in five harvesting time
(calculated from days after flowering, DAF) as a
treatment, namely 34, 38, 42, 46, and 50 DAF. The
result showed that 50 DAF treatment produced
the highest quality seed which was indicated by
germination energy, germination simultaneity,
germination speed, cell membrane damaged
(DHL), P-total level, and N-total ofwater soaked
seed.
PEMBERIAN CENDAWAN MIKORIZA
ARBUSKULAR (CMA) PADA TANAH
PODZOLIK MERAH KUNING (PMK)
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI KEDELA
Elza Zuhry;Fifi Puspita
Sagu : Agricultural Science And Technology
Journal, Vol. 7, No. 2, 2008:25-29
Abstract:
The objective of this research was to achieve
the best CMA dosage for soybean growth and
production in red yellow podzolie soil. This research
was carried out experimentally by Completely
Randomized Design (CRD) which consisted of 5
treatments (0g CMA/plant, 10g CMA/plant, 20g
CMA/plant, 30g CMA/plant, and 40g CMA/plant)
and 4 replications. Parameters observed were
CMA infection percentage (%), the age of flower
bloom (day), the age of harvesting time (day),
amount of pods (pods), and seed dry weight (g).
The analysis of Variance was followed by Duncans
New Multiple Range Test at 5% level. The result of
this research concluded that application of 40 g
CMA/plant in red yellow podzolic soil will increase
soybean growth and production.
DAFTAR ISI
PENAMPILAN KEDELAI YANG
MENGALAMI CEKAMAN AIR SETELAH
DIINOKULASI CENDAWAN MIRORIZA
ARBUSKULA DAN RHIZOBIUM
Suryaman, Maman
Eugenia : Media Ilmu Pertanian, Vol. 9, No. 2,
2003:65-73
Abstract:
Pot experiment was conducted to study the effect
of water stress during pod filling period on yield
of soybean inoculated by arbuscular mycorrhizal
fungi and rhizobium. Experiment was carried out
using a split-split plot design with water stress
as main plot consisted of 3 levels (without water
stress, moderate water stress. and severe water
stress), arbuscular mycorrhizal fungi as sub plot
consisted of 4 levels (0,15,30, and 45 g pot-1 ),
and rhizobium as sub-sub plot (0,10,20, and 30 g
kg-1 seed) with two replicates. The results showed
that the decrease of seed yield could be reduced
by inoculating arbuscular mycorrhizal fungi and
rhizobium 28.7 g pot-1 and 26.1 g kg-1 seed under
moderate water stress condition, and 25.9 g pot1
and 22 3 g kg-1 seed under severe water stress
condition.
i
Pilih/klik judul
untuk melihat full text
PENCIRI SIFAT AGRONOMIK KEDELAI
YANG DAPAT BERADAPTASI DI LAHAN
BASAH
Nurlianti, Wahju Qamara Mugnisjah, Muhammad
Hasjim Bintoro Djoefrie, Endang Sjamsudin
Bul. Agron, Vol. 31, No. 2, 2003:47 - 56
Abstract:
Arable land-use conversion into activities of nonagriculturalproduction may encourage the use of
wet region for soybean production. In this respect,
a research on the adaptability of 25 soybean
varieties to saturatedsoil has been conducted in
the field. A randomized complete block design
with 3 replicates was used in this experiment.
Results of the experiment showed the adaptability
differences among the 25 soybean varieties
tested. Based on their yield, soybean adaptability
to saturated soil condition was not related to
plant growth type, but could be influenced by
plant age. With an exception for Tidar (a high
yielding variety belonging to the intermediate
age), the late varieties produced higher yield than
that of the intermediate ones. It was concluded
that the varieties belonging to high yielding ones
were characterized by the existence ofpositive
correlation ofpod number with nodule number
and relative growth rate and of nodule number
with relative growth rate and leaves area index.
DAFTAR ISI
PENGARUH FOSFAT ALAM DAN
KOMBINASI BAKTERI PELARUT
FOSFAT I DEUGAN PUPUK KANDANG
TERHADAP P TERSEDIA DAN
PERTUMBUHAN KEDELAI PADA
ULTISOL
Aidi Noor
Bul. Agron, Vol. 31, No. 3, 2003:100-106
Abstract:
The aims of this experiment were to evaluate
the effect of rock phosphate application and
combination phosphatesolubilizing bacteria and
farm yard manure on soil available P and growth of
soybean on Ultisol from Kentrong village, Banten
province. Factorial experiment design with two
factors was used in randomized complete block
design with three replications. The first factor was
rockphosphate ie. : 0, 30, 60, and 90 kg P/ha, and
the secondfactor was combination of phosphate
solubilizing bacteria (PSB) and farm yard manure
(FYW) i.e.: without PSB and FYM (control), PSB
(Pseudomonas fluorescens), FYM 10 t/ha, and
PSB+FYM. Results indicated that significant positive
effect of rock phosphate and combination of PSB
and FYM application occurred on soil available P,
number and dry weight of nodule, dry weight of
root and shoot. Rock phosphate application with
rates of 30, 60, 90 kg P/ha increased soil available
P 247%, 356% and 592% respectively compared
to without P. Phosphate-solubilizing bacteria,
farm yard manure and PSB+FYM increased 27%.
30% dan 48% respectively compared to control.
Phosphate-solubilizing bacteria and farm yard
manure combination with phosphate rock 30 kg
P/ha dosage increased dry weight of soybean
shoot 29% compared to control.
PENGARUH PENGAPURAN DAN PUPUK
FOSFAT P ADA GAMBUT TERHADAP
PRODUKSI KEDELAI (Glycine max
Merr)
Ratna Shanti
Magrobis Journal, Vol.9, No. 1, 2009:8-15
Abstract:
The purpose of this experiment to find out the
effict of liming and phosphate fertilizers on peat
to the soybean production (Glycine max merr).
The experiment was conducted on November
2007 until February 2007 at sheed house behind
of Agriculture Faculty. The design of this research
in completely randomized design consisted
two treasments, first factor liming consist of
four levels, namely: L0; L1; L2 ; and L3 (0, 1000,
2000 and 4000 kg line perhectar). Second factor
phosphate fertilizers consist offour levels, namely
P0, P1, P2, and P3 (0, 45, 90, and 180 kg P2O5
perhectar). The results of the experiment shown
liming was highly significant difference to the
pH, number of pod per plant and production.
Phosphorus fertilizers was significant difference
to the high of plant. Number of pod per plant and
production of soybean. Intruaction between living
and Phosphat fertilizers was significant difference
to the production. Living at 1000 kg perhectar
and Phosphat fertilizers at 45 kg P2O5 perhectar
shown the best dosage end will be increased the
production of soybean respectively until 42,5 and
38,5 persen.
DAFTAR ISI
PENGARUH TAKARAN OPTIMAL
PUPUK NPKS, DOLOMIT, DAN PUPUK
KANDANG TERHADAP HASIL KEDELAI
DI LAHAN PASANG SURUT
Abdullah Taufiq;Andy Wijanarko;Suyamto
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,
Vol.30, No. 1, 2011:52-57
iklim, musuh alami, tanaman inang, dan tanggap
varietas), komponen pengendalian (sanitasi,
tanam serempak, pergiliran tanaman, pola tanam,
tanaman perangkap, pestisida nabati, varietas
tahan, biologi, dan kimia), serta rekomendasi
pengendalian penggerek polong secara terpadu
(PHT).
Abstrak: -
PENGGEREK POLONG KEDELAI, ETIELLA
ZINCKENELLA TREITSCHKE
(LEPIDOPTERA: PYRALIDAE), DAN
STRATEGI PENGENDALIANNYA DI
INDONESIA
Yuliantoro Baliadi;W. Tengkano;Marwoto
Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian,
Vol. 27, No. 4, 2008:113-123
Abstrak:
Penggerek
polong
kedelai
(Etiella
zinckenella Treitschke) merupakan hama penting
dan dilaporkan terdapat pada semua sentra
pertanaman kedelai di Indonesia. Selain E.
zinckenella, ada empat spesies penggerek polong
lain yang diidentifikasi di Indonesia, yaitu E.
hubsoni Butler, E. chrysoporella Meyrick, E. grisea
drososcia Meyrick Stat.n., dan E. behrii Zeller. E.
zinckenella merupakan spesies yang paling
dominan dan mengakibatkan kehilangan hasil
panen kedelai hingga 80%.Kehilangan hasil
tersebut merupakan dampak dari gerekan larva
pada polong dan biji.Bintik coklat pada polong
yang tertutupi oleh benang pintal merupakan
jalan masuknya larva dan lubang besar pada
polong sebagai jalan keluar larva dewasa untuk
melanjutkan stadium pupa di dalam tanah. Polong
yang terserang juga ditandai oleh butiran-butiran
kotoran yang terikat satu sama lain oleh benang
pintal berwarna coklat kekuningan dan adanya
gerakan pada biji. Makalah ini menelaah kemajuan
penelitian penggerek polong kedelai di Indonesia,
meliputi bioekologi E. zinckenella (biologi,
fluktuasi populasi, pola pembentukan polong,
PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK
(COMPOST MILLENNIUM) PADA DUA
VARIATES KEDELAI YANG DITANAM
SETELAH PADI SAWAH
M.P.Sirappa;M.Azis Bilang
Jurnal Agrivigor, Vol. 3, No. 1, 2003:31-38
Abstract:
The research was conducted on wetland rice
irrigation at the village of Kajaolaliddong, Bone
District, PS. 2002. The research location was 40 ha
and the number farmers involved in the research
was 63. Planting of soybean was done after
wetland rice with tillage. Organic fertilizer used
in this research was Compost Millennium. Two
varieties of soybean namely Agromulio and Orba
were used as indicator plant. Data analysis was
carried out descriptively. The aim of this research
was to understand the effect of organic fertilizer on
growth and yield of two varieties soybean planted
after wetland rice. The result showed that the use
of compost millennium on soybean after wetland
rice gave the highest growth and yield of soybean
compared to control. The means of growth and
yield of Agromulio variety was better than that of
Orba’s. Plant height branch number weight of 100
seeds and yield of Agromulio and Orba varieties
with organic fertilizer were 48.61 and 40.30 cm;
4.92 and 5.22 branches; 12.5 and 10.3 g; and 2.08
and 1.62 t ha-1 respectively. Meanwhile the similar
values of varieties without organic fertilizer were
35.99 and 27.04 cm; 4.29 and 3.90 branches; 9.7
and 8.0 g; and 0.77 and 1.20 t ha-1 respectively.
DAFTAR ISI
PERBAIKAN BUDI DAYA KEDELAI DI
LAHAN KERING MASAM LAMPUNG
Taufiq, Marwoto; Heriyanto, Darman; M. Arsyad;
Sri Hardaningsih
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,Vol. 26,
No. 1, 2007:38-45
Abstrak:
Lahan kering masam di Lampung potensial untuk
pengembangan kedelai, meskipun secara umum
mempunyai tingkat kemasaman yang tinggi dan
tingkat kesuburan tanah yang rendah.Dengan
pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budi
daya yang tepat, hasil kedelai di lahan kering
masam dapat ditingkatkan.Penelitian budi daya
kedelai dilaksanakan pada lahan kering masam
Lampung, di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec.
Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah pada MH I
2005/06 dan MH II 2006.Tujuan penelitian adalah
untuk verifikasi teknik budi daya kedelai pada
lahan kering masam.Paket teknologi budi daya
kedelai yang diuji terutama adalah pemupukan
(75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) dan
ameliorasi kemasaman tanah dengan 500 kg CaO/
ha yang berasal dari dolomit (1.500 kg/ha dolomit).
Varietas kedelai yang digunakan adalah Sinabung,
Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Pada MH II
tahun 2006 dilakukan percobaan superimpose
untuk menguji pengaruh sisa dolomit, peningkatan
takaran SP36 dan KCl. Hasil kedelai dengan teknik
budi daya yang dianjurkan cukup tinggi, baik pada
MH I (1,76-2,02 t/ha) maupun MH II (1,59-2,08
t/ha). Teknik budi daya tersebut memberikan
keuntungan yang cukup tinggi berkisar antara
Rp 2,1-3 juta/ha. Jika dolomit 1.500 kg/ha telah
diberikan pada MH I maka tanaman kedelai pada
MH II tidak perlu diberi dolomit. Peningkatan
takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha
meningkatkan hasil kedelai 12% (dari 2,14 t
menjadi 2,39 t/ ha), dan pendapatan meningkat
Rp 750.000/ha. Peningkatan takaran KCl dari 100
kg menjadi 150 kg/ha tidak meningkatkan hasil.
PERTUMBUHAN DAN HASIL KEDELAI
YANG DIASOSIASIKAN DENGAN
RHIZOBIUM PADA ZONA IKLIM KERING
E (KLASIFIKASI OLDEMAN)
Chairani Hanum
Bionatura : Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati Dan Fisik, Vol.
12, No. 3, 2010:170-176
Abstrak: -
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI
KEDELEI PADA BERBAGAI
KONSENTRASI DAN WAKTU
PEMBERIAN ETHREL
Nurman; Badron Zakarial; Rusni
J. Agrivigor, Vol. 7, No. 2, 2008:149-157
Abstract:
One of many efforts to increase soybean yield is
by applying synthetic hormone of plant growth
regulator namely ethrel. Objective of this research
was to study effect of concentration and time
of application on growth and yield of soybean.
Therefore, a field experiment was undertaken on
dryland in Maroangin-Maiwa 300111 as1 with C2
climate iype (OldemanJ on alluvial soil type, in
Enrekang South Sulawesi from December 2003 to
March 2004. It was arranged in a split-plot design
with three replications. Main plot was ethrel
concentration, consisted of 75, 150 and 300ppm.
Subplot was ethrel application time, consisted of
25 and 30 days after planting (dap). Result showed
that ethrel concentration of 75ppm tended to give
best effect on all observed growth components,
namely plant height (92.67cm), number of leaf
(35.77 leaves), number of pod (35.53 pods),
pod dry-weight (2.98g), seed dry-weight per
plant (8.53g), and seed dry-weight per hectare
(1.40t). Ethrel applied at 30 dap significantly gave
better effect on all observed growth components
compared to those applied at 25 dap. Seed dryweight obtained at 30 dap was 1.42 t ha-1. There
was no interaction observed between ethrel
concentration and its application time.
DAFTAR ISI
PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN
MUTU BENIH KEDELAI DENGAN
SIMULASI DERAAN CURAH HUJAN
PADA FASE REPRODUKTIF
Syatrianty A. Syaiful; Jannes P. Manurung; Akmal
J. Agrivigor, Vol. 7, No. 3, 2008:206-213
Abstract:
This research aimed to study growth, production
and seed quality of soybean under rainfall
simulation during reproductive stage, as well as
to determine tolerance level of different soybean
varieties to rainfall impact It was arranged in
2-factor randomized complete block design.
First factor was soybean variety, namely Wilis
and Tampomas. The second one was duration of
rainfall simulation, which consisted of seven levels,
i.e. no simulation, and starting at 10. 20,30,40,50
and 60 days toward harvest, respectively. Results
showed, that reproductive stage of soybean was a
crirical period that was very susceptible to rainfall
impact. Wilis variety was more resistant to rainfall
impact during reproductive stage compared to
Tampomas. Moreover, it was found, that rainfall
simulation during reproductive stage delayed
pollination and subsequently pod-filling and seed
maturity.
i
Pilih/klik judul
untuk melihat full text
POLA PEWARISAN ADAPTASI KEDELAI
(GLICINE MAX L. MERRILL) TERHADAP
CEKAMAN NAUNGAN BERDASARKAN
KARAKTER MORFO-FISIOLOGI DAUN
Kisman; Trikoesoemaningtyas; Sobir; Nurul
Khumaida; Didy Sopandie
Buletin Agronomi, Vol. 36, No. 1, 2008:1-7
Abstract:
The objective of this study was to analyze the
inheritance pattern of soybean adaption to
shade stress based on leaf morpho-physiological
characters. Genetic materials used in this study
consisted of 22 plants of low irradiance (LI)-tolerant
genotype (Ceneng) and 22 plants of LI-sensitive
genotype (Godek); 21 plants of F1 (Ceneng x
Godek); and 114 plants of F2 populations(derived
from F1). These populations were planted under
shading of paranet 50 percent. The population
was arranged in a Randomized Complete Block
Design with two replicates. Analysis of inheritance
of soybean adaption involved estimation of
heritability (broad sense) and gene action. Results
of this study showed that: adaption of soybean to
low light stress based on characters of yield per
plant was highly hertable (68 percent of broad
sense) with partial dominant mode of action.
Characters of leaf area and specific leaf weight
were highly (68 percent of broad sense) and
moderately (48 percent of broad sense) heritable,
respectively, with additive mode of action.
Soybean adaption based on leaf physicological
characters (chlorophyll contents) was highly
heritable (70 percent-86 percent of broad sense)
in epistatic mode of action.
DAFTAR ISI
POLA PEWARISAN KARAKTER BENTUK
DAUN TANAMAN KEDELAI
Gatut Wahyu Anggoro Susanto; M. Muchlish Adie
J. Agrivigor, Vol. 8, No. 1, 2008:10-14
Abstract:
The leaf is the main organ for producing
photosynthate. Leaf shape in soybean plant varies
from lanceolate to ovoid, and has an important
role in determining crop metabolism processes.
The genetics of leaf shape need to be studied so
that modification of inherited leaf shape can be
done more efficiently. The aim of this research is
to study the inheritance of leaf shape in soybean
plant. The experiment was done in greenhouse
of the ILETRI in Malang during May-August 2004,
using P1( GT-P-U-1 with lanceolate shape), p2
( Kaba with ovoid shape), F1, reciprocal and F2
populations. Observation of every plant from P1,
p2, F1, F1 reciprocal and F2 generatiom was based
on leaf shape 35 days after planting. Plants were
divided into two classes according to leaf shape,
that is ovoid and lanceolate. This segregation
was analyzed using the Chi-square test. All F1
and reciprocal populations had ovoid leaf shape.
Inheritance of leaf shape in soybean had no
maternal effect. The ovoid leaf shape character
was controlled by a single dominant gene since
there was a 3 : 1 Mendel segregation in the
F2generation.
REGENERASI KEDELAI MELALUI
KULTUR EPIKOTIL DAN TEKNIK
AKLIMATISASI
Slamet;Saptowo J. Pardal;M. Herman;Wartono
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol.
30, No. 1, 2011:38-42
Abstrak: -
RESPON BEBERAPA GENOTIPE KEDELAI
TERHADAP INFEKSI CPMMV (COWPEA
MILD MOTTLE VIRUS)
Hasriadi Mat Akin
J. Hama Dan Penyakit Tumbuhan Tropika, Vol. 3,
No. 2:x-x, 2003:40-42
Abstrak: -
RESPON PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PADA
SISTEM OLAH TANAH YANG BERBEDA
Zainuddin Ohorella
J. Agronomika, Vol. 1, No.2, 2011: 92-98
Abstrak:
Salah satu kegiatan budidaya penting dalam
intensifikasi pertanian untuk meningkatkan
produksi pangan termasuk tanaman kedelai
adalah pengolahan tanah.Sistem olah tanah
yang sering digunakan oleh petani adalah
olah tanah intensif, olah tanah minimum,
dan tanpa olah tanah.Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh sistem olah tanah
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman
kedelai. Penelitian menggunakan Rancangan Acak
Kelompok dengan perlakuan sistem olah tanah
yang terdiri dari 3 taraf yaitu olah tanah satu
kali, olah tanah dua kali, dan olah tanah tiga kali,
dan diulangan sebanyak 5 kali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sistem olah tanah sebanyak 3
kali merupakan yang terbaik dalam meningkatkan
tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang
produktif, jumlah polong, bobot 100 biji kering
dan berat segar brangkasan tanaman kedelai.
DAFTAR ISI
STABILITAS HASIL GALUR KEDELAI
TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN
Suhartina; Purwantoro; Novita Nugrahaeni;
Abdullah Taufiq
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 33,
No. 1 2014:54-60
Abstrak:
Kedelai umumnya ditanam di lahan sawah pada
musim kemarau dalam pola tanam padi-padikedelai atau padi-kedelai-kedelai.Dengan pola
tanam tersebut, tanaman kedelai tercekam
kekeringan pada sebagian atau selama fase
generatif yang menyebabkan rendahnya hasil.Salah
satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut
adalah menanam varietas toleran kekeringan.
Tujuan penelitian adalah menilai keragaan dan
stabilitas hasil galur harapan kedelai toleran
cekaman kekeringan selama fase reproduktif.Dua
belas galur harapan kedelai toleran kekeringan
selama fase reproduktif dan dua varietas
pembanding toleran kekeringan (Wilis dan Tidar)
diuji di delapan lokasi selama dua musim tanam
pada MK 2009-2010.Rancangan percobaan adalah
acak kelompok, diulang empat kali. Lokasi pengujian
adalah Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, dan
Jombang (Jawa Timur), Bantul dan Sleman (DI
Yogyakarta), Mataram dan Lombok Barat (NTB).
Selama fase reproduktif (fase pembentukan
polong hingga masak fisiologis), tanaman tidak
diairi. Kandungan lengas tanah pada lapisan 0-20
cm pada fase reproduktif setara dengan pF 3,04,2. Hasil analisis gabungan menunjukkan interaksi
genotipe dengan lingkungan. Di antara galur yang
diuji hanya DV/2984-330 yang stabil dan sekaligus
berdaya hasil tinggi (rata-rata 1,95 t/ha dan potensi
hasil 2,83 t/ha). Hal ini menunjukkan galur tersebut
mampu beradaptasi dengan baik pada semua
lingkungan pada kondisi kekeringan selama fase
reproduktif dengan kisaran air tersedia 20-30% dari
kapasitas lapang.Galur tersebut mempunyai ratarata hasil 14% lebih tinggi dibanding varietas Tidar
dan 16% lebih tinggi dibanding varietas Wilis.Galur
DV/2984-330 prospektif sebagai varietas unggul
kedelai toleran kekeringan selama fase reproduktif.
UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN
DAN VARIETAS UNGGUL BARU
KEDELAI DI KAB. GOWA SULAWESI
SELATAN.
Suriany
Jurnal Agrivigor, Vol. 3, No.3, 2003:195-203
Abstract:
Adaptation trial on prospect lines and on new
superior soybean cultivars was conducted at
Gowa Regency South Sulawesi, since April to
October 2002. Randomized Block Design with
three replications is used as a research design
method. The trial was using 8 lines and 6 cultivars
soybean. Research plot was 4,5 m x 2,4 m with
spacing of plants 40 cm x 15 cm. Fertilizers such
as Urea, SP36 and KC1 were given 15 days after
planted with dose for each fertilizers is 50 kg ha1
, 100 kg ha-1 and 75 kg ha-1, respectively. Among
8 lines and 6 cultivars that were used in this
research, only 1 cultivars and 4 lines show good
performance on their growth and production.
Kaba variety production is 1,3 tons ha-1, higher
than Willis (variety that act as control), which is
only 1,1 t ha-1 The other four are lines number
03578-4, MSC9502-IV-16-3, 03465-42-1 dan
TGX1448 with their yield production are 1,1 t ha-1,
0,9 t ha-1, 0,9 t ha-1 dan 0,9 t ha-1 respectively. The
lines and cultivar profitable is Rp. 1.667.500 to Rp.
2.267.500 with R C-1 ratio 2,0-2,4.
DAFTAR ISI
UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR
HARAPAN KEDELAI DI SULAWESI
SELATAN
Abdul Fattah, Amin Nur, Darman M. Arsyad
J. Agrivigor, Vol. 5, No. 1, 2005: 85-91
Abstract:
Soybean (Glycine max(L.) Merrill) is very important
in human life as source of vegetable protein and
can be consumed in various processed products.
In Indonesia, there are lots of industrial activies
using soybean as main raw material. Unfortunately,
soybean is still imported to meet this demand. In
soybean farming system, variety is one of key factor
to achieve high yield. Therefore, a research was
conducted in Towalidah and Bontonompo districs
in Gowa, South Sulawesi from May to December
2004, aiming to gain potential line with high yield.
The experiment was arranged in randomized
complete block design with 10 genotypes as
treatments and three replications. Results showed
that SEM-02-01 lines reached highest yield of 1.882.00 t ha-1, followed by SEM-02-02 lines with 1.421.80 t ha-1 and SEM-02-03 lines with 1.60-1.75 t ha1. On the other hand, lowest yield was reached by
SLT-03 lines with yield of 0.98-1.30 t ha-1, followed
by SEM-02-4 lines with 0.37-1.47 t ha-1 and willis
with 0.71-1.40 t ha-1.
i
Pilih/klik judul
untuk melihat full text
Identifikasi Ketahanan Sumber Daya Genetik Kedelai terhadap
Hama Pengisap Polong
Asadi
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
ABSTRACT
Pod sucking bugs are the main insects pest that affect both
yield quality and quantity of soybean seriously. There are three
kinds of insect pest ie: Riptortus linearis (F), Nezara viridula
(L), and Piezodorus rubrofasciatus. The soybean plants were
mainly attacked by insects during seed and pod development
decreased yield up to 79%. To identify soybean germplasm
resistant to pod sucking bugs for breeding base material, 100
accessions of soybean germplasm were tested in Bogor
Experimental Station during the wet season 2003. Each
accession was planted in 2 m x 3 m plot with 40 cm x 15 cm
plant spacing. There was no pest control during flowering
stage until pod maturing stage. Data collected were population
of each pod suckers bugs, percentage of seed and pods
damage. The accessions with 0-20% of seed damage (score 1)
were selected as the resistant genotypes. The result showed
that among three kinds pod suckers, population of Riptortus
linearis was higher then others. It was found nearly in each
plot with different insect incident (score 1-4). Based on seeds
and pods damage symptom, there were identified 17
accessions resistant to pod suckers. The lowest seed and pod
damage caused by the insect were found in TGM 131-1-1-1B
and GM425 Si accessions. The selected accessions were
suggested to be used as parent materials for future breeding
program.
Key words: Germplasm, soybean, pod sucking bugs.
ABSTRAK
Hama pengisap polong merupakan hama penting yang dapat
mengakibatkan penurunan hasil kedelai secara signifikan. Ada
tiga jenis hama pengisap polong yang sering ditemukan
menyerang pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F),
Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus. Hama tersebut menyerang pertanaman kedelai selama stadia pengisian
biji hingga menjelang polong masak. Serangan hama pengisap
polong dapat menurunkan hasil kedelai hingga 79%. Sumber
daya genetik (plasma nufah) kedelai tahan hama pengisap polong sangat diperlukan sebagai bahan dasar pemuliaan. Sebanyak 100 aksesi plasma nutfah kedelai telah diuji ketahanannya di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, pada MH 2003.
Setiap aksesi ditanam pada petakan berukuran 2 m x 3 m dengan jarak 40 cm x 15 cm. Mulai dari stadia pembungaan
hingga polong masak tidak dilakukan penyemprotan hama.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
Pengamatan dilakukan terhadap populasi ketiga jenis hama
pengisap polong, skor ketahanan/persentase biji, dan polong
terserang. Aksesi dengan persentase biji terserang (skor 1) digolongkan pada aksesi tahan. Hasil penelitian menunjukkan,
dari ketiga jenis hama pengisap polong, R. linearis ditemukan
paling banyak, hampir pada setiap petak pengujian dengan
tingkat serangan yang berbeda. Berdasarkan skor gejala
kerusakan pada biji dan polong telah diidentifikasi 17 aksesi
plasma nutfah kedelai yang tergolong tahan terhadap hama
pengisap polong. Persentase biji dan polong rusak terendah ditemukan pada aksesi TGM 131-1-1-1B dan GM425Si. Kedua
aksesi tersebut dapat digunakan sebagai sumber tetua persilangan dalam program pemuliaan untuk ketahanan terhadap
hama pengisap polong.
Kata kunci: Plasma nutfah, kedelai, hama pengisap polong.
PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas pangan penting yang mendapat prioritas untuk dikembangkan
setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai setiap
tahun terus meningkat, tetapi produksi nasional masih rendah, bahkan cenderung turun. Produksi kedelai nasional rata-rata 800.000 t/tahun, dengan produktivitas 1,4 t/ha. Sementara itu permintaan telah
mencapai 2,5 juta t/tahun, sehingga diperlukan
impor rata-rata 1,5 juta t/tahun (Manurung 1999,
Sumarno 1999, Deptan 2004).
Produktivitas kedelai yang masih rendah dan
beragam di antaranya disebabkan oleh masih tingginya serangan hama dan penyakit. Hama pengisap
polong tergolong hama utama kedelai. Ada tiga spesies hama pengisap polong yang sering menyerang
pertanaman kedelai, yaitu Riptortus linearis (F),
Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus.
Di antara ketiga jenis hama tersebut, R. linearis
mempunyai daerah penyebaran dan serangan yang
paling luas. Hama ini menyerang pertanaman kedelai mulai saat pengisian polong sampai biji mulai
masak (Naito 2008, Tengkano et al. 2003 dalam
27
Yusmani dan Suharsono 2005). Tanda serangan
ketiga jenis pengisap polong sulit dibedakan. Imago
datang ke pertanaman sejak pembungaan untuk meletakkan telur. Baik nimfa maupun imago merusak
polong dan biji sejak pembentukan polong hingga
kulit polong (Tengkano et al. 1988).
Ketiga jenis serangga pengisap polong tersebut memiliki tipe mulut menusuk dan mengisap.
Tanda serangan dapat dilihat dari bekas tusukan
mulut pada kulit polong dan biji. Jika serangan terjadi pada saat polong masih dalam proses pengisian
penuh, maka polong menjadi kempes dan mengering. Pada saat menyerang, mulutnya (stilet) ditusukkan ke permukaan polong sampai menembus ke
dalam biji dan mengisap cairan biji. Serangan
secara langsung menurunkan kualitas dan hasil biji
(Tengkano et al. 1988, Tod 1982, Koswanudin dan
Djuwarso 1997, Marwoto dan Hardaningsih 2007).
Kehilangan hasil akibat serangan R. linearis
mencapai 79% (Tengkano et al. 1988).
Upaya pengendalian hama pengisap polong
umumnya masih mengandalkan insektisida kimia.
Penggunaan insektisida yang kurang bijaksana dapat menimbulkan resistensi, resurjensi, musnahnya
serangga berguna, serta pencemaran terhadap kesehatan dan lingkungan. Penggunaan varietas tahan
merupakan salah satu pengendalian yang ramah
lingkungan. Dari 55 varietas unggul kedelai yang
telah dilepas dalam kurun waktu 1918-2002 belum
ada yang tahan terhadap hama pengisap polong.
Oleh sebab itu, perbaikan varietas untuk ketahanan
terhadap hama pengisap polong perlu dilakukan.
Untuk mendukung program pemuliaan untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong, ketersediaan
sumber gen tahan sangat diperlukan. Sumber gen
tahan diperoleh dengan cara mengevaluasi dan
mengidentifikasi sejumlah plasma nutfah kedelai
yang tersedia. Dari hasil evaluasi diharapkan akan
teridentifikasi sumber gen tahan yang dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk program pemuliaan
kedelai terhadap ketahanan hama pengisap polong.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketahanan plasma nutfah kedelai terhadap hama pengisap polong.
28
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan
Cikeumeuh, Bogor, musim hujan 2003. Berdasarkan informasi dan pengalaman sebelumnya di lokasi ini, populasi hama pengisap polong tergolong
tinggi hingga sangat tinggi, apalagi pada musim
hujan, sehingga infestasi hama ini tidak diperlukan.
Bahan yang digunakan adalah 100 aksesi plasma
nutfah kedelai. Setiap aksesi ditanam dalam petakan
berukuran 2 m x 3 m pada jarak 40 cm x 15 cm.
Penyemprotan hama tidak dilakukan. Pengamatan
populasi dan jenis hama pengisap dilakukan empat
kali, pada umur 9, 10, 11, dan 12 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan terhadap tingkat serangan
hama pengisap polong terhadap biji dan polong dilakukan setelah panen. Sebanyak 300 polong dari
10 sampel tanaman/aksesi diamati persentase polong dan biji terserang. Persentase biji terserang dikelompokkan ke dalam lima kategori (skor), skor 1
(tingkat serangan 0-20%) = tahan, skor 2 (serangan
21-40%) = agak tahan, skor 3 (serangan 41-60%) =
agak rentan, skor 4 (serangan 61-80%) = rentan,
dan skor 5 (serangan >80%) = sangat rentan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Hama Pengisap Polong
Pada umur 9 MST telah ditemukan hama
pengisap polong di pertanaman, yaitu R. linearis
(F), N. viridula (L), dan P. rubrofasciatus, namun
populasinya masih rendah dan belum merata pada
setiap petak pengujian. Dari ketiga jenis hama
pengisap polong tersebut, R. linearis paling banyak
ditemukan, kemudiaan diikuti oleh N. viridula.
Pada 10, 11, dan 12 MST terjadi peningkatan populasi hama. Populasi tertinggi ketiga hama pengisap
polong ditemukan pada saat tanaman berumur 10
minggu (195 ekor imago) (Gambar 1). Pada 10, 11,
dan 12 MST tanaman telah memasuki stadium
pengisian polong hingga pengisian polong penuh
(stadium R5, R6). Stadium R5 dan R6 merupakan
stadium yang sangat disukai oleh hama pengisap
polong, karena polong masih hijau dan lunak, kandungan selulosa kulit polong umumnya masih rendah, sehingga mudah untuk ditusuk oleh mulut haBuletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
ma pengisap. Di samping itu, biji juga masih lunak
dan memudahkan bagi serangga untuk menusuk dan
mengisap. Penyebaran serangga pengisap pada saat
tanaman berumur 10 MST mulai merata, yakni
hampir ditemui di setiap petak pengujian. Hal ini
didukung oleh pengamatan terhadap tingkat kerusakan polong dan biji yang terserang. Semua aksesi
terserang oleh hama pengisap polong, namun dengan tingkat serangan yang beragam, sesuai dengan
tingkat ketahanan masing-masing aksesi (Gambar
2).
terserang cukup tinggi, berkisar antara 19-73% untuk polong dan 11-56% untuk biji. Dari 100 genotipe kedelai yang diuji telah diidentifikasi sebanyak
17 genotipe yang bereaksi tahan (skor 1), tiga di
antaranya (B3570, TGM 13-1-1-1B, dan GM425
S1) dengan tingkat serangan paling rendah, berturut-turut 14, 14, dan 11%, dengan persentase polong terserang yang juga rendah masing-masing 29,
20, dan 19% (skor 1) (Tabel 1 dan Gambar 2). Dibandingkan dengan polong yang terserang, biji terserang secara langsung lebih berpengaruh terhadap
hasil, baik kualitas maupun kuantitas. Sebagaimana
ditemukan pada penelitian ini kendati polong terserang pada 17 genotipe terpilih adalah 23-33%
(skor 2), namun biji terserang lebih rendah rata-rata
20% (skor 1).
Untuk mendapatkan hasil yang konsisten, ke17 aksesi ini perlu diuji kembali ketahanannya ter-
Evaluasi Ketahanan
Gejala serangan ketiga jenis hama pengisap,
baik pada polong maupun biji, sulit dibedakan, sehingga pengamatan gejala serangan tidak dibedakan
menurut jenis serangga. Keragaman polong dan biji
N. viridula
Populasi hama
160
140
120
100
80
60
40
20
0
R. linearis
P. hybneri
134
141
106
57
55
36
8
9
9
17
14
12
4
10
11
Umur tanaman kedelai (minggu)
12
Gambar 1. Populasi hama pengisap polong pada umur 9, 10, 11, dan 12 MST.
80
Persentase biji terserang
Persentase polong terserang
70
Persentase
60
50
40
30
20
10
0
2
8
13
18
23
28
33
38
45
50 55
Aksesi
61
67
72
77
82
88 93
98
Gambar 2. Persentase polong dan biji terserang pada 100 aksesi plasma nutfah kedelai.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
29
Tabel 1. Genotipe kedelai yang teridentifikasi tahan hama pengisap polong (skor 1).
Genotipe
Otau
B3576
B3570
B467
B3462
Bima Kuning
Mlg2996
B1350
B4203
Gm609
TGM 131-1-1-1B
Mlg3015
Genjah Slawi
B3836
B3468
GM425 Si
Tanggamus
Polong terserang
(%)
Skor
Biji terserang
(%)
Skor*
Populasi hama pengisap
(ekor)**
33
29
28
30
33
31
23
25
33
24
20
31
30
28
32
19
27
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
2
2
1
2
20
19
14
20
20
17
13
14
16
18
14
20
17
17
20
11
19
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
0
8
8
11
1
7
4
5
10
0
1
4
7
11
10
9
*
Skor 1 (tingkat serangan 0-20%) = tahan, 2 (serangan 21-40%) = agak tahan, 3 (serangan 41-60%) = agak
rentan, 4 (serangan 61-80%) = rentan, 5 (serangan >80%) = sangat rentan, **total ketiga jenis hama pengisap
pada umur 9, 10, 11, dan 12 MST.
hadap hama pengisap polong. Dari hasil uji konfirmasi ini diharapkan akan diperoleh genotipe tahan
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber gen dalam
program pemuliaan kedelai untuk ketahanan terhadap hama pengisap polong. Di samping itu, juga
perlu dipelajari mekanisme ketahanannya. Ada tiga
mekanisme ketahanan terhadap hama menurut
Smith (1989): (a) antixenosis, yaitu ketahanan yang
berhubungan dengan kelakuan/tabiat serangga yang
disebabkan oleh bentuk morfologi tanaman (panjang dan kerapatan bulu, lapisan lilin pada permukaan daun/tanaman, ketipisan jaringan tanaman) bahan kimia yang dikeluarkan tanaman (bau) yang
mengakibatkan serangga tidak mau mendekat atau
hinggap (repellent); (b) antibiosis, yaitu bentuk ketahanan yang berhubungan dengan biologi serangga, bahan kimia pada tanaman yang bersifat racun
atau mengganggu pertumbuhan serangga yang memakannya; (c) toleran, yaitu ketahanan yang disebabkan oleh karakteristik pertumbuhan tanaman seperti bentuk perakaran yang lebat dan panjang pada
genotipe tahan, kemampuan genotipe untuk sembuh
kembali setelah terserang hama.
Untuk mengetahui mekanisme ketahanan
aksesi tahan seperti TGM 13-1-1-1B dan GM425 Si
perlu telaah lebih jauh. Jika mengacu kepada bentuk
serangannya pada biji, ketiga hama pengisap polong
30
tampaknya tidak menghindar untuk hinggap dan
makan, tetapi serangga hinggap, menusuk polong,
dan meghisap cairan biji. Namun serangan hama
pengisap berdasarkan tingkat kerusakan polong dan
biji pada semua aksesi yang diuji cukup tinggi
(Gambar 2), dan jumlah serangga pengisap pada
masing-masing aksesi juga cukup beragam. Pengamatan pada petak aksesi B3570 dan TGM131-1-11B tidak ditemui ketiga hama pengisap pada 9, 10,
11, dan 12 MST, namun biji terserang pada kedua
aksesi tersebut ditemui meskipun tergolong rendah
(skor 1 atau tahan). Kemungkinan pada saat pengamatan, serangga pengisap sudah terbang atau mati.
Hal ini mengindikasikan adanya faktor ketahanan
morfologis, seperti panjang dan kerapatan bulu, ketebalan kulit polong, atau kandungan selulosa kulit
polong.
Ketahanan yang disebabkan oleh bentuk morfologi tanaman perlu dipelajari lebih jauh. Bila tidak ditemukan ketahanan morfologis (non preferensi) maka kemungkinan bentuk ketahanan disebabkan oleh faktor antibiosis, atau repellent. Pada aksesi GM425 Si, ketiga hama pengisap ditemukan cukup banyak (10 ekor), tetapi kerusakan biji dan polong paling rendah (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa ketahanan aksesi GM425 Si kemungkinan bukan disebabkan oleh faktor antibiosis atau
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
repellent. Ada indikasi ketahanan aksesi tersebut disebabkan oleh faktor morfologi (panjang dan kerapan bulu, kandungan lignin kulit polong). Penelaahan
lebih jauh tentang mekanisme ketahanan kedelai
terhadap hama pengisap polong perlu dilakukan,
untuk menentukan strategi pemuliaan tanaman.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pengamatan pada umur 9, 10,
11, dan 12 MST terdapat tiga jenis populasi hama
pengisap polong, yaitu R. linearis (F), N. viridula
(L), dan P. rubrofasciatus. R. linearis paling banyak ditemukan, kemudian diikuti oleh N. viridula
(L).
Dari 100 genotipe kedelai yang diuji, terdapat
17 genotipe yang bereaksi tahan (skor 1), dua di
antaranya (GM425 Si dan TGM 13-1-1-1B) memiliki persentase biji terserang paling rendah (11%
dan 14%) dengan persentase polong terserang yang
juga rendah (11 dan 20%).
Aksesi-aksesi pilihan dapat digunakan sebagai calon sumber gen (tetua) tahan pengisap polong
dalam program pemuliaan kedelai.
Studi mekanisme bentuk ketahanan aksesi pilihan (tahan) secara khusus perlu dilakukan. Dengan mengetahui bentuk ketahanan terhadap hama
pengisap polong, pemulia akan terbantu dalam menentukan metode pemuliaan yang akan dilakukan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Saudara Rachmat, Yusup, dan Jenab, teknisi hama
tanaman yang telah membantu pengamatan hama
pengisap polong, baik di lapang maupun laboratorium dan Bapak Ir. Harnoto, MS atas masukan yang
telah diberikan untuk perbaikan.
Buletin Plasma Nutfah Vol.15 No.1 Th.2009
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertanian. 2004. Statistik Pertanian 2004.
Pusat Data dan Informasi Pertanian. Departemen
Pertanian.
Koswanudin, D. dan T. Djuwarso. 1997. Perkembangan
pengisap polong kedelai Riptortus linearis pada beberapa jenis tanaman inang. Prosiding Seminar
Nasional PEI. Tantangan Entomologi pada Abad
XXI.
Manurung, R.H. 1999. Program pencapaian swasembada
kedelai 2001 (Gema Palagung). Strategi Pengembangan Produksi Kedelai. Prosiding Lokakarya
Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Bogor,
16 Maret 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan.
Marwoto dan S. Hardaningsih. 2007. Pengendalian hama
terpadu pada tanaman kedelai. Kedelai, Teknik
Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. hlm. 296-318.
Naito, A. 2008. Low cost technology for controlling soybean insect pest in Indonesia. Food and Fertilizer
Technology Center for the Asian and Pacific Region. http//www.agnet.org./library/eb/468/.
Smith, C.M. 1989. Plant Resistance to Insect. A fundamental Approach. A Wiley-Interscience Publication.
John Wiley and Sons. New York. 286 p.
Sumarno. 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai
nasional mendukung Gema Palagung 2001. Strategi
Pengembangan Produksi Kedelai. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional.
Bogor, 16 Maret 1989. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Tod, J.W. 1982. Effect of stink bug damage on soybean
quality in soybean seed quality and stand establishment. Insoy Series 22:46-51.
Tengkano, W., Sugito, A.M. Tohir, dan T. Okada. 1988.
Pengujian ketahanan varietas kedelai terhadap serangan pengisap polong (Riptortus linearis (F),
Nezara viridula (L), dan Piezodorus rubrofasciatus
(F). Seminar Balittan Bogor, 6 Desember 1988.
Yusmani, P. dan Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama pengisap polong kedelai (Riptortus linearis) dengan cendawan entomopatogen. Verticillium
lecanni. Jurnal Litbang Pertanian 24(4):123-130.
31
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Kesesuaian Genotipe Kedelai untuk Tanaman Sela
di Bawah Tegakan Pohon Karet
Titik Sundari dan Purwantoro
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Jl. Raya Kendalpayak Km 8, Kotak Pos 66, Malang 65101
Email: [email protected]
Naskah diterima 21 Desember 2012 dan disetujui diterbitkan 18 Februari 2014
ABSTRACT. Suitability of Soybean (Glycine max Meer)
Genotypes for Planting under the Rubber Tree Plantation.
This research was aimed to identify shade-tolerant soybean
genotypes that was suitable for planting under rubber tree
plantation. The research was conducted at three locations of rubber
tree plantation in Central and East Lampung where the rubber tree
were at age of 3 to 4 years, during dry season of 2011. The materials
consisted of 30 soybean genotypes, where 23 lines were shadetolerant, and seven were as check varieties (Pangrango,
Burangrang, Malabar, Argomulyo, Grobogan, Ijen, and
Tanggamus). Each genotype was planted in plot of 4 m x 2.2 m,
plant spacing was 40 cm x 15 cm, two plants /hill. The experiment
used a randomized block design, repeated four times. Before
planting, dolomite of 1.5 t/ha was applied, and 75 kg Urea / ha +
100 SP36 kg/ha + 100 kg KCl /ha was applied at planting time.
Observations were done on flowering date, harvesting date, plant
height, number of branches, number of reproductive nodes, number
of pods, seed weight per plant and grain yield. The light intensity
under the rubber tree canopy was observed every week after the
soybean age was 30 days (DAP), at 11:00 to 12:00 pm. The levels
of shade made by the rubber tree canopy at three locations were
different; at Tulangbalak (East Lampung) and Gunungsari (Central
Lampung) ranged between 20% to 40%, at Gunungadi (Central
Lampung) between 40% to 60%. Genotypes IBM22-861-2-22-3-1
and AI26-1114-8-28-1-2 yielded consistently well in two locations,
in East Lampung (1.40 t/ha and 1.43 t/ha), in Central Lampung
(1.19 t/ha and 1.18 t/ha). Genotype IBM22-861-2-22-3-1 and AI261114-8-28-1-2 produced the highest average yield out of the three
locations, i.e 1.13 t/ha. Genotype IBM22-861-2-22-3-1 and AI261114-8-28-1-2 were considered as suitable genotypes for planting
under the rubber tree of 3 to 4 years of age.
Keywords: Soybean, genotype, shade, rubber.
ABSTRAK. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi genotipe
kedelai toleran naungan yang sesuai untuk tanaman sela di bawah
tegakan tanaman karet. Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi
perkebunan karet rakyat, dengan umur karet 3-4 tahun, yaitu di
Desa Gunungsari dan Gunungadi, Kecamatan Gunung Sugih,
Kabupaten Lampung Tengah, serta Desa Tulangbalak, Kecamatan
Batanghari Nuban, Kabupaten Lampung Timur, pada MK I 2011.
Bahan yang digunakan adalah 30 genotipe kedelai yang terdiri atas
23 galur kedelai toleran naungan dan tujuh varietas pembanding
(Pangrango, Burangrang, Malabar, Argomulyo, Grobogan, Ijen, dan
Tanggamus). Setiap genotipe ditanam pada plot berukuran 4 m x
2,2 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/rumpun. Rancangan
percobaan di masing-masing lokasi adalah acak kelompok, diulang
empat kali. Sebelum tanam diaplikasikan dolomit sebanyak 1,5 t/ha.
Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan 75 kg urea + 100 kg
SP36 + 100 kg KCl/ha. Pengamatan dilakukan terhadap karakter
umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman pada saat panen, jumlah
cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji/tanaman,
44
dan hasil biji. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet
diamati sejak tanaman kedelai berumur 30 hari setelah tanam (HST),
dilakukan antara jam 11.00 hingga 12.00, dengan interval satu
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat naungan di
tiga lokasi menunjukkan perbedaan, di Tulangbalak dan Gunungsari
berkisar antara 20-40%, di Gunungadi 40-60%. Genotipe IBM22861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 konsisten toleran naungan
di tiga lokasi masing-masing dengan produktivitas 1,40 t/ha dan
1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,19 t/ha dan 1,18 t/ha di Gunungsari, dan
0,81 t/ha dan 0,78 t/ha di Gunungadi. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI261114-8-28-1-2 mempunyai hasil tertinggi, rata-rata 1,13 t/ha. IBM22861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2 merupakan genotipe yang
sesuai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet
umur 3-4 tahun.
Kata kunci: Kedelai, genotipe, tanaman sela, karet.
P
eluang pengembangan kedelai di bawah tegakan
tanaman karet muda cukup besar. Pada tahun
pertama penanaman karet, 70% dari luas area
adalah dapat ditanami dengan tanaman penutup tanah
atau tanaman pangan. Sejalan dengan bertambahnya
penutupan tanah oleh tajuk, area tersebut berkurang
hingga 50% pada tahun ketiga. Hal ini berarti sampai
tahun ketiga, 50-70% dari luas area tanaman karet yang
diremajakan dapat ditanami dengan tanaman pangan
(Gunawan 2005).
Pada area perkebunan karet rakyat biasanya tidak
menggunakan legume cover crop (LCC) sebagai penutup
tanah karena manfaatnya tidak dapat langsung
dirasakan dan membutuhkan biaya investasi yang
cukup tinggi. Oleh karena itu, area di antara tanaman
karet ditumbuhi gulma. Upaya peningkatan
produktivitas lahan perkebunan karet perlu terus
digalakkan. Pengusahaan tanaman pangan, di antara
tanaman karet dapat memberikan manfaat ganda, yaitu
sebagai pengganti tanaman penutup tanah dan
memberi hasil langsung kepada petani (Karyudi dan
Siagian 2005).
Pengusahaan tanaman sela dapat memberikan
dampak positif maupun negatif, bergantung pada cara
pengelolaannya. Penanaman tanaman seladi antara
tanaman karet melalui pengelolaan ekologi yang tepat
dengan mengoptimalkan pemanfaatan cahaya, hara,
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
dan air maka kompetisi dan adaptasi akan memberikan
hasil optimum dan mencegah terjadinya dampak negatif.
Pada kondisi demikian, penanaman kedelai toleran
naungan sebagai tanaman sela merupakan salah satu
upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
produktivitas lahan dan memberikan hasil langsung
kepada petani berupa hasil kedelai. Selain memberikan
manfaat dalam peningkatan produktivitas lahan dan
hasil langsung ke petani, penanaman kedelai sebagai
tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet secara
tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan
produksi kedelai nasional melalui perluasan area tanam.
Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di
bawah tegakan tanaman perkebunan, lingkungan
agroforestri, atau tumpangsari dengan tanaman pangan
lain merupakan salah satu alternatif budi daya untuk
meningkatkan produksi nasional. Namun dijumpai
beberapa masalah dalam penanaman kedelai sebagai
tanaman sela (Sopandie et al. 2007), diantaranya
persaingan dalam mendapatkan hara, air, dan cahaya.
Di antara ketiga masalah tersebut, rendahnya intensitas
cahaya akibat naungan merupakan masalah utama.
Intensitas cahaya di bawah tegakan tanaman karet umur
2-3 tahun rata-rata berkurang 25-50% (Chozin et al.
1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
pengurangan intensitas cahaya di bawah naungan
tanaman karet dapat mencapai 86% (Camargo et al.
2009). Perbedaan tingkat naungan mempengaruhi
intensitas cahaya, suhu, dan kelembaban udara di
lingkungan tanaman, sehingga intensitas cahaya yang
diterima tanaman berbeda. Perbedaan ini
mempengaruhi ketersediaan energi cahaya yang akan
diubah menjadi energi panas dan energi kimia (Pantilu
et al. 2012). Untuk mengatasi permasalahan tersebut
diperlukan genotipe kedelai yang toleran terhadap
intensitas cahaya rendah.
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
(Balitkabi) telah menghasilkan beberapa galur kedelai
generasi lanjut yang teridentifikasi adaptif terhadap
naungan, sebagai salah satu upaya pemecahan masalah
rendahnya penerimaan cahaya akibat ternaungi oleh
kanopi tanaman utama. Setiap galur kedelai mempunyai
respons yang berbeda terhadap lingkungan naungan
di bawah tegakan tanaman karet (Fikriati et al. 2009).
Genotipe-genotipe tersebut perlu diuji lebih lanjut
kesesuaiannya sebagai tanaman sela pada perkebunan
karet.
Hasil penelitian Kisman (2008) menunjukkan bahwa
pertumbuhan awal kedelai pada kondisi cahaya penuh
mengikuti pola fotomorfogenesis dengan kandungan
klorofil a dan b yang lebih tinggi, kotiledon dan hipokotil
berwana hijau, bulu akar yang lebih banyak, hipokotil
lebih pendek dan kuat, posisi kotiledon tegak dan
berkembang dengan baik dan terbuka. Sebaliknya,
perkembangan kecambah kedelai pada kondisi gelap
total mengikuti pola skotomorfogenesis dengan ciri-ciri
kandungan klorofil a dan b rendah, kotiledon dan
hipokotil berwana pucat, bulu akar, tidak tumbuh,
hipokotil lebih panjang dan ramping, posisi kotiledon
merunduk dan tidak berkembang dengan baik.
Pengaruh lain dari naungan terhadap morfologi
tanaman adalah peningkatan luas daun (Tankou et al.
1990, Djukri dan Purwoko 2003, Kisman et al. 2007a).
Peningkatan luas daun bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi penyerapan cahaya, sehingga proses
fotosintesis dapat berjalan normal (Djukri dan Purwoko
2003, Kisman et al. 2007b). Pada fase reproduktif
beberapa varietas kedelai, cekaman naungan
menyebabkan umur berbunga dan umur masak lebih
pendek dibandingkan dengan lingkungan tidak
ternaungi (Zaman 2003). Hasil penelitian Susanto dan
Sundari (2011) juga menyatakan bahwa perlakuan
naungan 50% mempercepat umur masak,
meningkatkan tinggi tanaman, dan mengurangi jumlah
polong isi dan bobot biji dibandingkan dengan
perlakuan tanpa naungan. Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Kurosaki dan Yumoto (2003), Kakiuchi
dan Kobata (2004 dan 2006), bahwa naungan
menyebabkan pengurangan jumlah polong per
tanaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
genotipe kedelai toleran naungan yang sesuai untuk
tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi perkebunan karet
rakyat, yaitu di Desa Gunungsari (karet umur >4 tahun)
dan Gunungadi (karet umur 3 tahun), Kecamatan
Gunung Sugih, Lampung Tengah, serta Desa Tulangbalak
(karet umur > 4 tahun), Kecamatan Batanghari Nuban,
Lampung Timur, pada MK I (Februari-Mei 2011). Bahan
yang digunakan adalah 30 genotipe kedelai, yang terdiri
atas 23 galur kedelai toleran naungan, dan tujuh varietas
pembanding, yaitu Pangrango (varietas toleran
naungan), Burangrang (tetua dengan karakter biji
besar), Malabar, Argomulyo, dan Grobogan (tetua
dengan karakter biji besar dan umur genjah), Ijen (tetua
ukuran biji sedang), dan Tanggamus (tetua toleran lahan
masam). Setiap galur ditanam pada plot yang berukuran
4 m x 2,2 m, jarak tanam 40 cm x 15 cm dan dua tanaman/
rumpun.
Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok, diulang empat kali. Sebelum tanam, diambil
contoh tanah untuk mengetahui tingkat kesuburannya,
45
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
kemudian diaplikasikan dolomit sebanyak 1,5 t/ha
dengan cara ditaburkan merata di atas permukaan
tanah. Pemupukan dilakukan pada saat tanam dengan
75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha + 100 kg KCl/ha.
Pengamatan dilakukan terhadap umur berbunga, umur
masak, tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang,
jumlah buku subur, jumlah polong isi, bobot biji/
tanaman, dan hasil biji.
Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet
mulai diamati pada saat tanaman kedelai berumur 30
hari setelah tanam (HST), dilakukan antara jam 11.00
hingga 12.00 dengan interval satu minggu. Pengamatan
intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan dua
alat Lux meter, satu Lux meter ditempatkan di atas kanopi
tanaman kedelai dan di bawah naungan kanopi
tanaman karet, dan yang lainnya ditempatkan di bawah
intensitas cahaya penuh (tanpa naungan). Pengukuran
intensitas cahaya didasarkan pada periode kritis
tanaman kedelai terhadap cekaman naungan, yaitu pada
fase generatif.
Hasil analisis contoh tanah percobaan disajikan pada
Tabel 1. Di Tulangbalak tanah bereaksi agak masam,
Gunungsari dan di Gunungadi bereaksi sangat masam,
kandungan C organik Tulangbalak tergolong rendah (12%), di Gunungsari dan Gunungadi sangat rendah (<
1%), demikian juga kandungan N totalnya (Taufiq dan
Sundari 2012). C/N rasio di tiga lokasi tergolong rendah
(5-10), kandungan P di tiga lokasi sangat rendah (< 10
ppm), kandungan K sangat rendah (< 0,1/100 g).
Kandungan Na tergolong rendah (0,1-0,3 me/100 g),
kandungan Ca di Tulangbalak tergolong rendah (2-5 me/
100 g), sedangkan di Gunungsari dan Gunungadi sangat
rendah. Kandungan Mg di Tulangbalak dan Gunungadi
tergolong rendah, dan di Gunungsari sangat rendah.
Kandungan Al.dd di Gunungadi tergolong tinggi (0,30
me Al/100 g), sedangkan di Tulangbalak dan Gunungsari
sangat rendah. Secara keseluruhan, tingkat kesuburan
lahan di tiga lokasi pengujian tergolong sangat miskin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas cahaya yang sampai di bawah kanopi tanaman
karet di tiga lokasi menunjukkan perbedaan (Gambar
1). Penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai di masingmasing lokasi berbeda, di Gunungsari lebih tinggi
dibandingkan dengan Gunungadi dan Tulangbalak.
Intensitas cahaya di bawah naungan tanaman karet
umur 4 tahun di Tulangbalak dan Gunungsari berkisar
antara 20-40%, sedangkan di bawah naungan karet umur
3 tahun di Gunungadi berkisar antara 40-60%. Perbedaan
intensitas cahaya di masing-masing lokasi disebabkan
oleh perbedaan umur tanaman dan tingkat
pertumbuhan tanaman karet di masing-masing lokasi.
Tanaman karet yang tumbuh subur mempunyai kanopi
yang lebar dan rapat, sehingga cahaya yang diterima
tanaman kedelai yang berada di bawahnya menjadi
berkurang.
Hasil analisis ragam gabungan tiga lokasi
menunjukkan pengaruh interaksi antara genotipe
dengan lokasi nyata untuk semua karakter yang diamati,
seperti umur berbunga, umur masak, tinggi tanaman,
jumlah cabang, jumlah buku subur, jumlah polong isi,
bobot biji per tanaman, dan hasil biji per satuan luas
(Tabel 2).
Umur berbunga dan umur masak genotipe kedelai
yang diuji beragam antarlokasi. Secara umum, galur-
Tabel 1. Hasil analisis tanah di tiga lokasi percobaan, Lampung,
2011.
Variabel
pH H2O (KCl 1 N)
C.organik (%)
N total (%)
C/N
Bahan organik (%)
P2O5 Bray 1 (ppm)
K (me/100 g)
Na (me/100 g)
Ca (me/100 g)
Mg (me/100 g)
H.dd
Al.dd (me Al/100 g)
Kriteria
46
Tulangbalak
Gunungsari
Gunungadi
5,7 (4,8)
1,12
0,13
9
1,94
2,67
0,18
3,12
0,42
1,25
-
3,9 (3,7)
0,73
0,07
10
1,26
0,52
0,17
0,40
0,20
6,54
-
4,2 (3,6)
0,61
0,08
7
1,05
0,52
0,01
0,16
0,51
0,41
8,32
0,30
Sangat
miskin
Sangat
miskin
Sangat
miskin
Gambar 1. Intensitas cahaya di bawah kanopi tanaman karet di
masing-masing lokasi percobaan. Lampung, 2011. (ITB:
intensitas cahaya di Tulangbalak, IGA: di Gunungadi,
IGS: di Gunungsari, NTB: di Tulangbalak, NGA: di
Gunungadi, NGS: di Gunungsari).
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Tabel 2. Hasil analisis ragam gabungan tiga lokasi beberapa
karakter kuantitatif galur-galur kedelai toleran naungan,
2011.
Karakter
Kuadrat tengah
Lokasi (L)
Umur berbunga
100,858**
Umur masak
476,478**
Tinggi tanaman
4777,953**
Jumlah cabang
75,658**
Jumlah buku
359,703**
Jumlah polong isi
6231,158**
Jumlah polong hampa 106,386**
Bobot biji/tanaman
60,301**
Hasil biji/ha
3,781**
Galur(G)
LxG
Tabel 3. Umur berbunga 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung,
2011.
Genotipe
Galat
32,134**
18,160** 0,790
131,511**
86,584** 2,191
951,075** 143,134** 8,059
2,905**
1,670** 0,123
15,625**
8,599** 0,784
137,753**
77,161** 3,401
2,028**
2,067** 0,061
1,880**
2,309** 0,037
0,117**
0,144** 0,002
galur yang diuji di Tulangbalak mempunyai umur
berbunga lebih lambat dibandingkan dengan di
Gunungsari maupun Gunungadi (Tabel 3). Hal ini
dikarenakan adanya pengurangan intensitas cahaya
yang diterima tanaman kedelai akibat naungan kanopi
tanaman karet. Intensitas cahaya matahari
mempengaruhi kelembaban. Cahaya matahari juga
menyebabkan peningkatan suhu atau temperatur
udara. Dengan demikian, pengurangan intensitas
cahaya berdampak pada pengurangan suhu dan
kehilangan air, sehingga suhu menjadi lebih rendah dan
kelembaban tinggi (Pezzopane et al. 2011). Di satu sisi,
pembungaan dirangsang oleh suhu tinggi, kelembaban
rendah, dan intensitas sinar matahari yang diterima
tanaman lebih banyak (Irawan 2006). Oleh karenanya,
pembungaan kedelai di lokasi Tulangbalak dan
Gunungsari lebih lambat dibandingkan dengan di
Gunungadi. Intensitas cahaya, panjang hari, dan suhu
merupakan faktor lingkungan yang membatasi
pertumbuhan dan waktu berbunga tanaman. Kondisi
pertumbuhan yang suboptimal juga dapat menunda
pembungaan dan memperpanjang fase vegetatif (Atwell
et al. 1999).
Galur MI21-845-2-1-3-3 cepat berbunga di
Tulangbalak (36 HST). Varietas Grobogan lebih cepat
berbunga di Gunungsari (28 HST) dan Gunungadi (30
HST) (Tabel 3). Umur tergenjah di Tulangbalak dicapai
oleh galur IBM22-873-1-13-1-3 (80 HST), sementara di
Gunungsari dan Gunungadi dicapai oleh varietas
Grobogan (70 HST) (Tabel 4).
Tinggi tanaman masing-masing genotipe
menunjukkan keragaman di masing-masing lokasi
(Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa respons masingmasing genotipe terhadap naungan tanaman karet
berbeda. Tanaman kedelai tertinggi di Tulangbalak
dicapai oleh galur IAC100/Burangrang, varietas
Grobogan, dan Ijen masing-masing 48 cm, di
Umur berbunga (HST)
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
40
41
40
41
42
39
36
39
38
42
41
41
39
38
40
40
41
40
38
37
40
41
39
40
40
43
38
39
38
40
40
40
41
38
40
38
40
39
39
41
40
38
39
41
40
40
41
40
39
40
40
35
37
36
35
34
42
28
38
44
35
38
36
36
40
41
37
36
36
38
41
41
40
37
39
37
38
37
38
36
38
39
41
40
34
36
38
30
40
43
38
39
39
38
40
39
38
38
37
40
40
40
40
39
39
39
40
39
38
38
39
40
39
39
36
37
39
32
38
42
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
40
39
2,30
1,23
38
39
Gunungsari dan Gunungadi dicapai galur varietas
Pangrango, masing-masing 95 cm dan 74 cm. Tanaman
kedelai di Gunungsari dan Gunungadi rata-rata lebih
tinggi dibandingkan dengan di Tulangbalak.
Perbedaan tinggi tanaman disebabkan oleh
perbedaan tingkat naungan di masing-masing lokasi.
Semakin tinggi tingkat naungan dari kanopi tanaman
karet semakin rendah tingkat penerimaan cahaya oleh
tanaman kedelai. Hal ini memacu terjadinya dominasi
apikal, yang menyebabkan pemanjangan ruas dan
memperkecil diameter batang. Selain itu, kekurangan
cahaya saat perkembangan tanaman akan
menimbulkan gejala etiolasi, yang disebabkan oleh
kekurangan cahaya yang dapat memacu difusi auksin
ke bagian tanaman yang tidak terkena cahaya. Hal serupa
dilaporkan oleh Bakhshy et al. (2013) dan Haque et al.
(2009), yang menyatakan bahwa tingkat pemanjangan
47
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Tabel 4. Umur masak 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung,
2011.
Genotipe
Umur masak (HST)
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
Tabel 5. Tinggi tanaman 30 genotipe kedelai di tiga lokasi, Lampung,
2011.
Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
BK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
84
89
91
83
83
86
84
90
84
85
90
84
94
93
95
85
90
85
83
80
95
94
94
93
85
86
86
88
95
93
82
92
82
92
88
94
89
90
87
87
92
94
93
89
88
86
84
84
82
83
90
72
87
89
88
79
92
70
83
93
87
84
85
87
88
88
82
83
83
82
91
90
88
84
83
86
86
88
81
87
86
80
85
82
75
77
87
70
84
88
84
88
86
87
86
89
85
88
84
85
91
89
92
88
88
86
86
86
82
83
90
82
89
86
83
81
88
78
87
91
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
33
31
28
27
40
30
31
30
46
29
45
39
36
30
31
32
31
32
30
34
42
47
48
37
32
38
36
48
48
44
40
40
38
40
49
43
36
40
37
42
54
38
47
43
39
43
43
45
47
43
53
63
54
95
59
60
46
55
62
52
34
35
34
38
48
42
32
37
34
37
58
39
45
34
38
34
40
34
37
43
57
60
61
74
51
56
53
58
58
52
36
35
33
35
45
38
33
36
39
36
52
39
43
36
36
36
38
37
38
40
51
57
54
69
47
52
45
54
56
50
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
88
87
1,72
2,05
84
86
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
36
48
6,59
3,93
45
43
ruas batang pada PAR 50% lebih tinggi dibandingkan
dengan di bawah sinar matahari penuh.
Jumlah cabang genotipe yang diuji beragam
antarlokasi (Tabel 6). Jumlah cabang di Tulangbalak
berkisar antara 1-2 cabang/tanaman, di Gunungsari 1-4
cabang/tanaman, dan di Gunungadi 2-5 cabang/
tanaman (Tabel 6). Naungan menyebabkan
berkurangnya jumlah cabang yang terbentuk, berkaitan
dengan berkurangnya fotosintat yang dialokasikan
untuk pembentukan cabang akibat berkurangnya
intensitas cahaya yang diterima tanaman. Cahaya
merupakan sumber energi utama proses fotosintesis.
Hal yang sama juga dilaporkan oleh Zhang et al. (2011)
dan Sundari et al. (2010).
Jumlah buku subur/tanaman beragam di setiap
lokasi, terbanyak di Tulangbalak dicapai oleh varietas
Ijen dan genotipe IM20-824-19-17-2-2 (10 buku subur/
48
tanaman), di Gunungsari diberikan oleh varietas
Tanggamus (13 buku subur/tanaman), dan di
Gunungadi oleh varietas Pangrango (16 buku subur/
tanaman) (Tabel 7).
Berdasarkan hasil analisis korelasi diketahui bahwa
jumlah buku subur berhubungan erat dengan tinggi
tanaman (Tabel 8). Artinya, peningkatan jumlah buku
subur berdampak terhadap peningkatan tinggi
tanaman. Berdasarkan deskripsinya, ketiga varietas
tersebut tergolong tanaman yang tinggi, > 50 cm.
Ada kemungkinan respons morfologi galur-galur
kedelai terhadap naungan dibatasi oleh berkurangnya
fotosintat akibat rendahnya intensitas cahaya yang
diterima tanaman kedelai di bawah naungan kanopi
karet.
Jumlah polong isi genotipe kedelai juga beragam di
masing-masing lokasi (Tabel 9). Jumlah polong isi
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Tabel 6. Jumlah cabang 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung,
2011.
Genotipe
Jumlah cabang/tanaman
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
Tabel 7. Jumlah buku subur 30 genotipe kedelai di tiga lokasi.
Lampung, 2011.
Genotipe
Jumlah buku subur/tanaman
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
2
2
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
1
1
1
1
2
2
2
1
1
1
2
1
1
1
2
1
2
2
4
3
4
4
2
3
3
3
3
3
3
2
2
3
3
3
2
3
3
1
2
3
3
4
2
2
3
2
3
4
4
3
2
3
3
2
3
3
3
4
2
3
2
2
5
2
2
3
3
2
2
4
4
5
3
3
2
2
3
2
3,3
2,9
2,7
2,8
1,9
1,8
2,4
2,4
2,8
2,4
1,9
2,3
1,6
1,8
2,8
2,2
1,9
2,4
2,8
1,4
1,5
2,5
2,7
3,3
2,2
1,9
2,0
1,9
2,7
2,6
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
8
9
8
7
8
8
7
6
9
6
7
9
10
7
7
7
8
7
7
8
8
8
9
8
7
6
8
8
10
8
10
12
10
10
8
10
9
10
10
7
7
9
10
10
10
10
8
7
9
6
8
7
10
9
9
6
8
7
9
13
12
11
8
11
10
9
11
11
12
12
10
11
9
9
14
7
11
10
13
10
9
13
15
16
14
10
11
11
12
14
10,2
10,6
8,7
9,3
8,6
9,0
8,9
8,8
10,3
8,5
8,0
9,5
9,8
8,5
10,4
7,8
8,8
7,8
9,5
8,0
8,1
9,3
11,1
11,0
9,8
7,1
8,7
8,3
10,5
11,8
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
1
3
15,13
0,49
3
2,3
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
8
9
9,64
1,23
11
9,2
terbanyak di Tulangbalak terdapat pada genotipe KIB6189-2-7-3-1 (44 polong isi/tanaman), di Gunungsari
diberikan oleh genotipe IBK5-147-2-11-2-2 (26 polong
isi/tanaman), dan di Gunungadi oleh varietas Pangrango
(27 polong/tanaman). Jumlah polong isi di Tulangbalak
setara dengan naungan buatan 50%, sedangkan di
Gunungsari dan Gunungadi setara dengan tumpangsari
jagung-kedelai dan ubikayu-kedelai (Sundari et al. 2012).
Menurut Polthanee et al. (2011), penurunan jumlah
polong dipengaruhi oleh jenis kultivar dan naungan
pada musim hujan maupun musim kering. Naungan
30% dan 50% menyebabkan pengurangan jumlah
polong masing-masing 32% dan 14% pada musim hujan,
21% dan 17% pada musim kering. Pengurangan jumlah
polong terjadi karena meningkatnya jumlah polong yang
rontok, yang dipacu oleh kurangnya pasokan asimilat
yang dialokasikan untuk perkembangan organ
reproduktif seperti polong, sebagai akibat berkurangnya
aktivitas fotosintesis di bawah naungan (Liu et al. 2010).
Bobot biji dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe
dan lokasi. Adanya interaksi menunjukkan bahwa
respons masing-masing genotipe terhadap lingkungan
beragam di masing-masing lokasi. Bobot biji tertinggi di
Tulangbalak dicapai oleh varietas Malabar (6,28 g/
tanaman) dan terendah pada genotipe MI21-845-2-1-33 (3,34 g/tanaman). Di Gunungsari, bobot biji tertinggi
(5,45 g/tanaman) dicapai oleh varietas Pangrango, dan
terendah (2,31 g/tanaman) pada genotipe IBK5-173-537-1-2. Di Gunungadi, bobot biji tertinggi dicapai oleh
varietas Tanggamus (4,72 g/tanaman) dan terendah 1,8
pada genotipe IBM22-873-1-13-1-3 (Tabel 10).
Hasil biji kedelai beragam di setiap lokasi. Hasil biji
tertinggi di Tulangbalak dicapai oleh varietas Malabar
49
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Tabel 8. Koefisien korelasi (r) antarkarakter kuantitatif.
Karakter
Tinggi tanaman
Jumlah cabang/tan
Jumlah buku subur
Jumlah polong isi
Umur berbunga
Umur masak
Bobot biji/tan
Hasil biji/ha
Tinggi
tanaman
Jumlah
cabang/tan
Jumlah
buku subur
Jumlah
polong isi
Umur
berbunga
Umur
masak
Bobot
biji/tan
Hasil
biji/ha
1
0,29**
0,28*
-0,33**
-0,16
-0,14
-0,08
-0,07
1
0,62**
-0,2
-0,1
-0,16
-0,28*
-0,26*
1
0,05
-0,04
-0,09
-0,33**
-0,32**
1
0,19
0,06
0,07
0,06
1
0,55**
0,14
0,12
1
0,15
0,13
1
0,99**
1
* dan **: masing-masing menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5% dan 1%
Tabel 9. Jumlah polong isi 30 genotipe kedelai di tiga lokasi.
Lampung, 2011.
Genotipe
Jumlah polong isi/tanaman
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
29
38
32
44
40
21
22
25
36
23
24
25
23
14
22
27
33
20
31
30
32
19
27
29
15
23
26
21
25
32
16
26
16
15
13
11
13
13
15
9
13
10
12
15
15
13
10
11
11
8
11
12
13
14
11
8
11
9
10
16
21
21
13
20
18
16
21
23
19
24
15
19
18
14
21
12
22
18
19
16
16
20
22
27
20
14
23
17
21
24
22,2
28,3
20,3
26,4
23,6
15,9
18,7
20,4
23,5
18,6
17,4
17,9
17,9
14,2
19,0
17,3
21,4
16,3
20,4
17,9
19,5
16,9
20,3
23,0
15,2
15,0
20,0
15,6
19,0
23,9
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
27
13
9,46
2,56
19
19,5
(1,58 t/ha), di Gunungsari pada varietas Pangrango (1,36
t/ha) dan di Gunungadi pada varietas Tanggamus (1,18
t/ha) (Tabel 11). Terpilih dua genotipe berdasarkan
50
kriteria hasil biji yang sama/lebih tinggi dari rata-rata hasil
biji seluruh genotipe di tiga lokasi, yaitu IBM22-861-2-223-1 dan AI26-1114-8-28-1-2, masing-masing 1,40 t/ha di
Tulangbalak, 1,19 t/ha di Gunungsari, dan 0,81 t/ha di
Gunungadi untuk IBM22-861-2-22-3-1, dan untuk AI261114-8-28-1-2 adalah 1,43 t/ha di Tulangbalak, 1,18 t/ha
di Gunungsari, dan 0,78 t/ha di Gunungadi. Dengan
demikian, IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2
merupakan genotipe yang sesuai untuk tanaman sela
di bawah tegakan tanaman karet umur 3-4 tahun di
Lampung. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-11148-28-1-2 memiliki rata-rata hasil tertinggi di tiga lokasi,
yaitu 1,13 t/ha.
Secara keseluruhan, hasil biji tertinggi dicapai di
Tulangbalak (1,13 t/ha), diikuti oleh Gunungsari (0,97 t/
ha), dan Gunungadi (0,78 t/ha) (Tabel 11). Perbedaan
hasil ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan, baik
lingkungan di atas tanah (intensitas cahaya), maupun
di dalam tanah (kesuburan tanah) antarlokasi.
Berdasarkan pengukuran cahaya di masing-masing
lokasi diketahui bahwa intensitas cahaya yang diterima
di Tulangbalak lebih rendah dibandingkan dengan di
Gunungsari maupun Gunungadi. Rendahnya intensitas
cahaya di Tulangbalak tidak menghambat tanaman
untuk berproduksi lebih baik dibandingkan dengan di
Gunungsari dan Gunungadi yang penerimaan
cahayanya lebih tinggi.
Produksi biji tanaman dipengaruhi oleh faktor
genetik, lingkungan, dan agronomis, serta interaksi di
antara faktor tersebut. Lingkungan tidak hanya
lingkungan di atas tanah (cahaya), tetapi juga lingkungan
di dalam tanah (kesuburan tanah). Kondisi kesuburan
tanah di tiga lokasi tergolong sangat miskin (Tabel 1).
Namun, kesuburan tanah di Tulangbalak relatif lebih baik
dibandingkan dengan di Gunungsari dan Gunungadi.
Perbedaan lingkungan tersebut tidak saja
mempengaruhi bobot biji, tetapi juga komponen hasil
lainnya.
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Tabel 10. Bobot biji 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung,
2011.
Genotipe
Bobot biji (g/tanaman)
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Tabel 11. Hasil biji 30 genotipe kedelai di tiga lokasi. Lampung, 2011.
Genotipe
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
3,63
3,92
3,69
4,29
4,06
4,80
3,45
5,57
4,63
4,96
4,84
3,66
4,06
5,16
5,67
4,11
4,92
4,84
3,75
3,95
4,52
5,71
4,04
3,23
6,20
6,28
4,99
5,10
3,87
3,84
4,72
3,90
2,84
4,09
3,15
3,07
4,10
4,76
4,58
4,24
3,52
3,34
4,07
3,32
3,64
2,31
4,54
3,16
3,59
3,50
3,57
4,72
3,58
5,45
3,63
3,41
4,38
4,71
4,28
3,51
3,67
4,54
3,68
4,05
2,95
3,33
2,99
3,23
3,09
2,47
3,42
2,16
2,67
3,17
3,84
3,87
2,12
2,82
2,61
1,80
2,90
3,10
3,18
2,97
2,36
2,41
3,47
3,30
2,32
4,72
4,0
4,1
3,4
4,1
3,4
3,7
3,5
4,5
4,1
3,9
3,9
3,1
3,6
3,9
4,4
3,4
3,9
3,6
3,3
3,1
3,7
4,5
3,6
3,9
4,1
4,0
4,3
4,4
3,5
4,0
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
4,52
3,85
5,03
0,08
3,11
3,8
Hasil analisis korelasi antarkarakter (Tabel 8)
menunjukkan bahwa tinggi tanaman berkorelasi nyata
positif dengan jumlah cabang (r = 0,29**) dan buku
subur (r = 0,28**), tetapi berkorelasi nyata negatif
dengan polong isi (r = -0,33**). Artinya, peningkatan
tinggi tanaman berhubungan dengan peningkatan
jumlah cabang dan buku subur, tetapi mengurangi
jumlah polong isi. Peningkatan tinggi tanaman terjadi
karena tanaman mengalami etiolasi atau pemanjangan
batang. Etiolasi merupakan mekanisme yang
dikembangkan oleh tanaman untuk mencari cahaya
pada kondisi tercekam naungan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pertumbuhan tanaman di Tulangbalak lebih baik
dibandingkan dengan di Gunungsari dan Gunungadi.
Hal ini dibuktikan oleh pertumbuhan tanaman (tinggi
Hasil biji (t/ha)
Tulangbalak
Gunung- Gunungadi
sari
Ratarata
IBK5-143-3-7-2-1
IBK5-147-2-11-2-2
IBK5-173-5-37-1-1
KIB6-189-2-7-3-1
IIj9-299-1-4-1-1
IT15-582-1-17-3-3
MI21-845-2-1-3-3
IBM22-861-2-22-3-1
IBM22-862-4-1-1-3
IBM22-867-4-7-2-1
IA27-1048-13-20-2-3
IK3-45-5-5-1-2
IM20-824-19-17-2-2
IBK5-172-4-36-2-1
IBK5-172-4-36-3-1
IBK5-173-5-37-1-2
MI21-848-3-4-3-1
IBM22-861-2-22-3-2
IBM22-862-4-1-1-1
IBM22-873-1-13-1-3
IBIj11-431-2-20-3-1
AI26-1114-8-28-1-2
IAC100/Burangrang
Pangrango
Burangrang
Malabar
Argomulyo
Grobogan
Ijen
Tanggamus
0,91
0,98
0,93
1,08
1,02
1,20
0,86
1,40
1,16
1,24
1,21
0,92
1,02
1,29
1,42
1,03
1,23
1,21
0,94
0,99
1,13
1,43
1,01
0,81
1,55
1,58
1,25
1,28
0,97
0,96
1,18
0,98
0,71
1,02
0,79
0,77
1,03
1,19
1,15
1,06
0,88
0,84
1,02
0,83
0,91
0,58
1,14
0,79
0,90
0,88
0,89
1,18
0,90
1,36
0,91
0,86
1,10
1,18
1,07
0,88
0,92
1,14
0,92
1,01
0,74
0,83
0,75
0,81
0,77
0,62
0,86
0,54
0,67
0,80
0,96
0,97
0,53
0,71
0,65
0,45
0,73
0,78
0,80
0,74
0,59
0,60
0,87
0,83
0,58
1,18
1,0
1,0
0,9
1,0
0,9
0,9
0,9
1,1
1,0
1,0
1,0
0,8
0,9
1,0
1,1
0,9
1,0
0,9
0,8
0,8
0,9
1,1
0,9
1,0
1,0
1,0
1,1
1,1
0,9
1,0
Rata-rata
Koef. Keragaman (%)
LSD 5%
1,13
0,97
5,03
0,06
0,78
1,0
tanaman) di Tulangbalak yang normal (Tabel 5), tidak
mengalami etiolasi seperti yang terjadi di Gunungsari
maupun Gunungadi, umur masak normal (Tabel 4),
jumlah polong lebih banyak (Tabel 9), dan bobot biji/
tanaman yang lebih tinggi (Tabel 10). Bobot biji/tanaman
berkorelasi nyata positif dengan hasil biji (r=0,99**),
tetapi berkoreasi nyata negatif dengan jumlah cabang (r
=-0,26*) dan jumlah buku subur (r = -0,32**). Artinya,
peningkatan jumlah cabang dan jumlah buku subur
berhubungan erat dengan penurunan hasil biji, dan
peningkatan bobot biji per tanaman berhubungan erat
dengan peningkatan hasil biji. Peningkatan jumlah
cabang pada kondisi tercekam naungan akan
berdampak pada berkurangnya alokasi fotosintat ke
organ penyimpanan (biji), karena sebagian besar
fotosintat dialokasikan untuk pembentukan cabang.
51
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
KESIMPULAN
1. Toleransi genotipe kedelai yang diteliti terhadap
naungan beragam dan memungkinkan untuk
memilih genotipe yang relatif lebih toleran
dibandingkan genotipe lain.
2. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-281-2 konsisten terpilih di tiga lokasi, baik di
Tulangbalak (1,40 t/ha dan 1,43 t/ha), dan
Gunungsari (1,19 t/ha dan 1,18 t/ha) maupun
Gunungadi (0,81 t/ha dan 0,78 t/ha).
3. Genotipe IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-281-2 memberikan hasil tertinggi di tiga lokasi
pengujian, rata-rata 1,13 t/ha.
4. IBM22-861-2-22-3-1 dan AI26-1114-8-28-1-2
merupakan genotipe yang sesuai dikembangkan
sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman
karet umur 3-4 tahun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Asian Food and
Agriculture Cooperation Initative (AFACI) dan Badan
Litbang Pertanian yang telah memberikan dana untuk
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atwell, B.J., P.E. Kriedemann, G.N., and C.G.N. Turnbull. 1999.
Plants in action. adaptation in nature, performance in
cultivation. Macmillan Education Australia Pty Ltd, Melbourne,
Australia. http://plantsinaction.science.uq.edu.au/edition1/
?q=content/8-3-1-time-flower Diakses 10 Juli 2013.
Bakhshy, J., K. Ghassemi-Golezani, S. Zehtab-Salmasi, and M.
Moghaddam. 2013. Effects of water deficit and shading on
morphology and grain yield of soybean (Glycine max L.).
Tech. J. Engin. & App. Sci. 3(1):39-43. http://tjeas.com/wpcontent/uploads/2013/01/39-43.pdf. Diakses tanggal 31 Juli
2013.
Camargo, M.B.P., G.S. Rolim, P. Souza, and P.B. Gallo. 2009. Air
temperature in Coffea arabica microclimate arborized with
dwarf coconut palm and rubber tree in Mococa, SP, Brazil.
Artigo em Hypertexto. Disponível em: <http://
www.infobibos.com/Artigos/2009_1/AirTemperature/
index.htm>. Diakses 10 Juli 2013.
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo, dan Sumarno. 1999.
Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade.
Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project.
Directorate General of Higher Education, Ministr y of
Education and Culture.
Djukri, B. dan S. Purwoko. 2003. Pengaruh naungan paranet
terhadap sifat toleransi tanaman talas. J. Ilmu Pertanian
10:17-25.
52
Fikriati, M., Trikoesoemaningtyas, dan D. Wirnas. 2009. Uji daya
hasil lanjutan kedelai (Glycine max L.) toleran naungan di
bawah tegakan karet rakyat di Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Makalah Seminar. Departemen Agronomi dan Hortikultura.
Institut Pertanian Bogor. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/.... Diakses 21 Juni 2012.
Gunawan, A. 2005. Rubber wood marketing in Indonesia. Paper
presented at second Workshop on Rubber Wood, Cropping
and Research, 25-27 May 2005, Bangkok, Thailand.
Haque, M.M., M. Hasanuzzaman, and M.L. Rahman. 2009. Effect
of light intensity on the morpho-physiology and yield of bottle
gourd (Lagenaria vulgaris). Academic J. Plant Sci. 2:158161. http://idosi.org/ajps/2%283%2909/7.pdf Diakses 31 Juli
2013.
Irawan, A.W. 2006. Budidaya tanaman kedelai (Glycin max (L.)
Merill). Fak. Pertanian. Univ. Padjajaran. Jatinangor. Bandung.
43p. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/03/
budidaya_tanaman_ kedelai.pdf. Diakses 16 Juli 2013.
Kakiuchi, J. and T. Kobata. 2004. Shading and thinning effects on
seed and shoot dry matter increase in determi-nate soybean
during the seed-filling period. Agronomy Journal. 96(2):398405. www.agronomy.org/publications/aj/abstracts/96/2/398.
Diakses 1 November 2012.
Kakiuchi, J. and T. Kobata. 2006. The relationship between dry
matter increase of seed and shoot during the seed-filling
period in three kinds of soybeans with different growth habits
subjected to shading and thinning. Plant Prod. Sci. 9(1):2026. www.jstage.jst.go.jp/article/pps/9/1/9_1_20/_pdf. Diakses
tanggal 1 Nopember 2012.
K ar yudi dan N. Siagian. 2005. Peluang dan kendala dalam
pengusahaan tanaman penutup tanah di perkebunan karet.
Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak. Balai
Penelitian K aret Sungei Putih. www. balitnak.litbang.
deptan.go.id/index.php?option=com...
Kisman. 2008. Pola pertumbuhan awal tanaman kedelai pada
kondisi cekaman intensitas cahaya rendah dan pemberian
inhibitor plastida (uji cepat toleransi kedelai terhadap
cekaman naungan). Crop Agro. 1(2):85-91. http://fp.unram.
ac.id/data/2012/05/2.Kisman_85-912.pdf. Diakses 19 Juli
2012.
Kisman, M. Sarjan, dan D. Sopandie. 2007a. Mekanisme
fisiomorfologi dan molekuler adaptasi kedelai terhadap
cekaman intensitas cahaya rendah. Indonesian Science and
Technology Digital Lybrary. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/
index.php/searchkatalog/byId/52727 Diakses 19 Juli 2012.
Kisman, N. Khumaida, Trikoessoemaningtyas, Sobir, dan
D.Sopandie. 2007b. Karakter morfofisiologi daun,penciri
adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul.
Agron. 35:96-102.
Kurosaki, H. and S. Yumoto. 2003. Effects of low temperature and
shading during flowering on the yield com-ponents in
soybeans. Plant Prod. Sci. 6(1):17-23. http://sciencelinks.jp/
j-east/article/200308/000020030803A0207648.php Diakses
tanggal 1 Nopember 2012.
Liu, B., X.B. Liu, C. Wang, Y.S. Li, J. Jin, and S.J. Herbert. 2010.
Soybean yield and yield component distribution across the
main axis in response to light enrichment and shading under
different densities. Plant Soil Environ. 56(8):384-392. http://
www.agriculturejournals.cz/publicFiles/25245.pdf. Diakses
12 Agustus 2013.
Pantilu, L.I., F.R. Mantiri, N. Song Ai, dan D.Pandiangan. 2012.
Respons morfologi dan anatomi kecambah kacang kedelai
(Glycine max (L.) Merill) terhadap intensitas cahaya yang
berbeda. Jurnal Bioslogos 2(2):79-87.
SUNDARI ET AL.: GENOTIPE KEDELAI DI BAWAH TEGAKAN POHON KARET
Pezzopane, J.R.M., P.S. de Souza, G. de Souza Rolim, and P. B.
Gallo. 2011. Microclimate in coffee plantation grown under
grevillea trees shading. Acta Scientiarum. Agronomy Maringá
33(2):201-206. http://www.scielo.br/pdf/asagr/v33n2/02.pdf.
Diakses 10 Juli 2013.
Polthanee, A., K. Promsaena, dan A. Laoken. 2011. Influence of
low light intensity on growth and yield of four soybean
cultivars during wet and dry seasons of Northeast Thailand.
Agricultural Sciences 2 (2):61-67. http://www.scirp.org/
journal/AS/. Diakses 1 Nopember 2012.
Sopandie, D., Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, dan
Sobir. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi
kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron.
35(2):96-102.
Sundari, T., G.W.A. Susanto, dan Purwantoro. 2010. Perakitan
varietas unggul kedelai toleran naungan. Laporan Akhir
Tahun. Balitkabi. 40 p.
Sundari, T., G.W.A. Susanto, dan Purwantoro. 2012. Penampilan
galur kedelai generasi F7 hasil persilangan tetua toleran
naungan pada lingkungan naungan berbeda. Dalam: Adi
Widjono et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional. Inovasi
Teknologi dan Kajian Ekonomi Komoditas Aneka Kacang
dan Umbi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian.
Malang, 15 November 2011. Puslitbang Tanaman Pangan.
Bogor. p.45-60.
Susanto, G.W.A . dan T. Sundari. 2011. Perubahan karakter
agronomi aksesi plasma nutfah kedelai di lingkungan
ternaungi. J. Agron. Indonesia 39(1): 1-6.
Tankou, C.M., B. Schaffer, S.K. O’Hair, dan C.A. Sanchez.1990.
Nitrogen, shading duration, gas exchange, and growth of
cassava. Hort. Science 25:1293-1296.
Taufiq, A. dan T. Sundari. 2012. Respon tanaman kedelai terhadap
lingkungan tumbuh. Buletin Palawija 23:13-26.
Zaman, M.Z. 2003. Respon pertumbuhan dan hasil beberapa
varietas kedelai (Glycine max (L) Merrill) terhadap intensitas
penaungan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang.
Zhang, J., D.L. Smith, W. Liu, X. Chen, and W. Yang. 2011. Effects
of shade and drought stress on soybean hormones and yield
of main-stem and branch. African Journal of Biotechnology
10:14392-14398. http://www.academicjournals.org/AJB.
Diakses 2 Agustus 2013.
53
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Perbaikan Budi Daya Kedelai di Lahan Kering Masam Lampung
A. Taufiq, Marwoto, Heriyanto, Darman M. Arsyad, dan Sri Hardaningsih
Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian
Jl. Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. Improved Soybean Cultural Practices in Acid
Upland in Lampung. Acid soil upland in Lampung has a potential
for soybean production. Soil in this area has high acidity and low
fertility, but soybean productivity could be improved with appropriate
soil management. Experiment was carried out on farmers fields in
Bumi Nabung, Central Lampung District during early rainy season
of 2005/2006 and late rainy season of 2006. The objective was to
verify an improved soybean cultural practices in acid soil upland
ecology. The improved cultural practice consisted of fertilization
package (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) and soil
amelioration using dolomite at rate of 500 kg CaO/ha (equivalent to
1500 kg/ha of dolomite). Soybean cultivars consisted of Sinabung,
Kaba, Burangrang, and Anjasmoro. Superimpose trial was also
conducted during the late rainy season. The objective of the
superimpose trial was to examine the effect of residual dolomite,
increasing SP36, and KCl fertilizer dosage. Results showed that
soybean yield obtained from improved cultural practices was high
both in the early rainy season (1.76-2.02 t/ha) and in the late one
(1.59-2.08 t/ha). By practicing the recommended cultural practices,
farmer received profit between Rp 2.1 to Rp 3.0 millions/ha. When
1500 kg/ha of dolomite was applied to soybean in the early rainy
season, the soybean planted in the late rainy season did not need
dolomite application. Increasing SP36 fertilizer rate from 100 kg/ha
to 150 kg/ha increased soybean yield of about 12% (from 2.14 to
2.39 t/ha), and farmers’ income about Rp 750.000/ha. Increasing
KCl fertilizer rate from 100 kg/ha to 150 kg/ha did not increase yield.
The application of dolomite at rate of 1500 kg/ha increased soil pH,
Ca and Mg availability, and decreased exchangeable Al.
Keywords: Glycine max, acid land, fertilization, dolomite
ABSTRAK. Lahan kering masam di Lampung potensial untuk
pengembangan kedelai, meskipun secara umum mempunyai tingkat
kemasaman yang tinggi dan tingkat kesuburan tanah yang rendah.
Dengan pengelolaan lahan dan penerapan teknologi budi daya yang
tepat, hasil kedelai di lahan kering masam dapat ditingkatkan.
Penelitian budi daya kedelai dilaksanakan pada lahan kering masam
Lampung, di Kampung Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab.
Lampung Tengah pada MH I 2005/06 dan MH II 2006. Tujuan penelitian
adalah untuk verifikasi teknik budi daya kedelai pada lahan kering
masam. Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji terutama adalah
pemupukan (75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl/ha) dan
ameliorasi kemasaman tanah dengan 500 kg CaO/ha yang berasal
dari dolomit (1.500 kg/ha dolomit). Varietas kedelai yang digunakan
adalah Sinabung, Kaba, Burangrang, dan Anjasmoro. Pada MH II
tahun 2006 dilakukan percobaan superimpose untuk menguji
pengaruh sisa dolomit, peningkatan takaran SP36 dan KCl. Hasil
kedelai dengan teknik budi daya yang dianjurkan cukup tinggi, baik
pada MH I (1,76-2,02 t/ha) maupun MH II (1,59-2,08 t/ha). Teknik
budi daya tersebut memberikan keuntungan yang cukup tinggi
berkisar antara Rp 2,1-3 juta/ha. Jika dolomit 1.500 kg/ha telah
diberikan pada MH I maka tanaman kedelai pada MH II tidak perlu
diberi dolomit. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150
kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12% (dari 2,14 t menjadi 2,39 t/
ha), dan pendapatan meningkat Rp 750.000/ha. Peningkatan takaran
KCl dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak meningkatkan hasil.
38
Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH tanah, ketersediaan
Ca dan Mg, serta menurunkan Al-dd.
Kata kunci: Glycine max, lahan masam, pemupukan, dolomit
L
ahan kering masam di Lampung cukup luas dan
potensial untuk pengembangan kedelai. Di
Sumatera terdapat sekitar 5 juta ha lahan kering
dan 2,5 juta ha lahan terlantar. Luas panen kedelai di
Sumatera sekitar 217.000 ha (BPS 2000). Sebagian besar
lahan pertanian di Sumatera berada di wilayah beriklim
basah dengan masa bertanam (growing period) >9 bulan
(Las et al. 1991).
Menurut zona agroekologi yang disusun oleh BPTP
Lampung (Sudaryanto et al. 2002), luas lahan kering yang
sesuai untuk pengembangan pertanian 639.518 ha yang
tersebar di enam kabupaten yaitu Lampung Selatan
(69.828 ha), Tanggamus (8.959 ha), Lampung Barat
(16.059 ha), Lampung Utara (170.430 ha), Tulang Bawang
(159.356 ha), dan Lampung Tengah (214.886 ha).
Kabupaten Lampung Tengah merupakan salah satu
kawasan program “Bangkit Kedelai” di Lampung, yang
pada tahun 2006 ditargetkan seluas 1.200 ha. Di
Kecamatan Buminabung dan Rumbia pada tahun 2006,
pengembangan program Bangkit Kedelai ditargetkan
seluas 300 ha. Keberhasilan budi daya kedelai di lahan
masam Lampung Tengah sangat mendukung program
Bangkit Kedelai yang telah dicanangkan secara nasional.
Jenis tanah di Lampung terutama adalah Ultisol dan
Oksisol, yang didominasi oleh mineral liat kaolinit dan
>90% fraksi pasir didominasi oleh kwarsa, pH 4,3 dan
kemasaman tertukar 57,2 cmol+/kg (Setiawan 1997;
Prasetyo dan Ritung 1998). Hambatan biofisik utama
pengembangan kedelai pada lahan masam adalah
kesuburan tanah yang rendah (Abdurrachman et al.
1999), kadar P dan K potensial dan P tersedia sangat
rendah, jumlah basa-basa sangat rendah, dan
kandungan bahan organik rendah (Prasetyo dan Ritung
1997). Tanah tersebut memerlukan penambahan bahan
organik, peningkatan KTK dan hara, serta penurunan
unsur meracun (Al, Mn dan Fe), selain diperlukan pula
penggunaan varietas toleran lahan masam (Rachim et
al. 1997). Menurut Hairiah et al. (1998), bentuk Al yang
meracuni tanaman adalah Al monomerik. Pada pH
antara 5,0-5,5 sebanyak 1% Al yang ada dalam larutan
tanah Ultisol Lampung berada dalam bentuk Al
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
monomerik. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
tanah Ultisol Lampung mengandung Al monomerik 1,89
mM pada lapisan 0-15 cm dan 2,29 mM pada lapisan 1545 cm (Van der Heide et al. 1992). Lahan kering di
Lampung Tengah dan Tulang Bawang tergolong masam
(pH 5) dengan kejenuhan Al 24,5-30,2%. Masalah utama
pengembangan tanaman kedelai pada lahan kering
Lampung Tengah dan Tulang Bawang adalah rendahnya
pH, tingginya kejenuhan Al, tingginya kadar Fe dan Mn,
serta rendahnya ketersediaan hara P dan K (Taufiq et al.
2004).
Penelitian menunjukkan bahwa perbaikan kesuburan lahan kering masam Lampung menggunakan 1 t/ha
dolomit dan 5 t pupuk kandang/ha meningkatkan hasil
kedelai sebesar 27% untuk varietas Tanggamus dan 97%
untuk varietas Slamet (Sudaryono et al. 2002). Penambahan kapur dolomit setara ½ x Al-dd (setara 518
kg CaO/ha) disertai pemupukan 75 kg urea + 100 kg
SP36 + 100 kg KCl/ha mampu meningkatkan hasil
kedelai hingga mencapai 1,5 t/ha (Taufiq et al. 2004).
Hasil percobaan sebelumnya di Lampung Tengah, hasil
kedelai varietas Tanggamus di tingkat petani dengan
pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl +
1500 kg dolomit/ha (setara 500 kg CaO/ha) adalah
berkisar antara 0,81-2,35 t/ha (rata-rata 1,45±0,34 t/ha).
Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 200 kg/
ha dan dolomit dari 1.500 kg menjadi 3.000 kg/ha tidak
berdampak positif terhadap peningkatan hasil
(Rumbaina et al. 2004). Paket teknologi budi daya
tersebut diteliti pula dalam pra PTT pada MK II (MeiSeptember) 2004 di lahan petani di Desa Lorok,
Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera
Selatan, pH 4,6-5,1 dan Al-dd 5,33-6,82 me/100 g, dengan
tingkat hasil sekitar 1 t/ha pada lahan bukaan baru dan
1,5-2,0 t/ha pada lahan lama. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa meskipun terdapat beberapa
masalah kondisi tanah, namun produktivitas kedelai
dapat ditingkatkan dengan masukan pupuk, bahan
ameliorasi, dan varietas yang adaptif.
Untuk lebih memantapkan teknik budi daya yang
telah diuji dalam pra PTT perlu dilakukan pengujian di
lahan petani dalam skala yang lebih luas. Tujuan
penelitian ini adalah untuk melakukan verifikasi terhadap
teknik budi daya kedelai di lahan kering masam yang
secara teknis dapat diadopsi petani dan secara ekonomi
menguntungkan.
BAHAN DAN METODE
Pengujian Teknik Budi Daya Kedelai
Pengujian teknik budi daya kedelai dilaksanakan selama
dua musim tanam berturut-turut di Kampung Bumi
Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kabupaten Lampung
Tengah, yaitu pada MH I 2005/06 (Nopember 2005Februari 2006) dan MH II 2006 (Maret-Juni). Kegiatan ini
dilaksanakan pada lahan petani yang tergabung dalam
kelompok tani MAWAR, dengan melibatkan 26 petani
pada musim tanam (MT) I dengan luas areal 5,47 ha dan
20 petani pada MT II dengan luas areal 8 ha. Varietas
kedelai yang ditanam pada MT I adalah Sinabung, Kaba
(berbiji sedang), dan Burangrang (berbiji besar), sedangkan pada MT II adalah Kaba, Sinabung, Anjasmoro
(berbiji besar), dan Kipas Putih (berbiji sedang).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
mengadopsi model Pengelolaan Tanaman dan Sumber
Daya Terpadu (PTT) untuk padi (Las at al. 2002). Sebagai
pembanding diikutkan petani sekitar yang mengusahakan kedelai di lahan kering.
Paket teknologi budi daya kedelai yang diuji adalah
(1) tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua
kali dan diratakan menggunakan ternak, tanpa saluran
drainase, (2) varietas unggul nasional; (3) tanam tugal
dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman/
lubang; (4) pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100
kg KCl/ha pada saat tanaman berumur 15 hari, diberikan
di sekitar barisan tanaman; (5) dolomit 1.500 kg/ha
diberikan sebelum tanam dengan cara disebar rata, jika
menggunakan pupuk kandang 2,5 t/ha maka dolomit
diberikan 750 kg/ha; (6) pupuk kandang 2,5 t/ha, diberikan bersamaan dengan pemberian pupuk NPK dengan
cara tugal atau larikan di sebelah baris tanaman; (7)
pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
menggunakan pestisida dan pengaplikasian berdasarkan hasil pemantauan; (8) penyiangan pada umur 15
dan 35-40 hari secara manual; (9) panen pada saat
polong sudah berwarna coklat, brangkasan kedelai
dikeringkan pada lantai jemur dan dirontok dengan
mesin perontok.
Data yang dikumpulkan meliputi hasil biji dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100
biji, jumlah cabang), tinggi tanaman. Hasil ditentukan
berdasarkan panen ubinan 10 m 2, tiga ubinan untuk
masing-masing petani. Analisis ekonomi dilakukan untuk
mengetahui keuntungan. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan dilakukan analisis ragam menggunakan oneway AOV (one-way analysis of variance), dan untuk
mengetahui perbedaan antar- perlakuan digunakan uji
BNT.
Percobaan Superimpose
Percobaan superimpose dilaksanakan pada lahan
petani koperator seluas 0,5 ha pada MH II 2006, menggunakan varietas Anjasmoro. Lahan yang digunakan
adalah bekas pertanaman kedelai dari kegiatan peng-
39
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 1. Perlakuan percobaan superimpose budi daya kedelai pada
lahan kering masam.
No.
1
2
3
4
1)
Urea
(kg/ha)
75
75
75
75
SP36
(kg/ha)
KCl
(kg/ha)
100
100
150
100
100
100
100
150
Dolomit
(kg/ha)
1)
0
1500
1500
1500
dolomit 1.500 kg/ha diberikan pada percobaan MH I 2005/06.
ujian pada MH I 2005/06. Topografi lahan datar, seragam
dari segi fisik tanah dan keragaan pertanaman sebelumnya, dan dalam satu hamparan. Rancangan percobaan
adalah acak lengkap dengan tiga ulangan. Perlakuan
percobaan superimpose disajikan pada Tabel 1.
Tanah diolah sesuai kebiasaan petani, dibajak dua
kali dan diratakan sekali dengan tenaga ternak. Petak
antarperlakuan dipisah dengan saluran drainase.
Varietas yang digunakan adalah Anjasmoro, ditanam
dengan cara tugal, jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua
tanaman/lubang. Pengendalian OPT menggunakan pestisida berdasarkan hasil pemantauan. Penyiangan
dilakukan pada saat tanaman berumur 15 dan 35-40
hari secara manual. Panen dilakukan pada saat polong
sudah berwarna coklat. Data meliputi hasil dan komponen hasil (jumlah polong isi dan hampa, bobot 100
biji, jumlah cabang), dan tinggi tanaman. Hasil dihitung
berdasarkan panen ubinan 10 m2. Untuk mengetahui
perbedaan antarperlakuan menggunakan orthogonal
kontras: perlakuan 1 vs 2 untuk membandingkan
pengaruh sisa dolomit, perlakuan 2 vs 3 dan 2 vs 4
masing-masing untuk menguji pengaruh peningkatan
takaran pupuk SP36 dan KCl.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lahan
Analisis tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah didominasi oleh pasir dengan kandungan bahan organik
rendah sehingga secara alami mempunyai potensi
kesuburan yang rendah. Tanah tergolong masam,
kandungan Ca-dd, Mg-dd, dan K-dd tergolong rendah
(Tabel 2). Dengan demikian, selain rendahnya pH, tanah
juga berpotensi kahat Ca, Mg, dan K. P tersedia termasuk
tinggi, namun karena tanah bereaksi masam maka
penyerapan P oleh tanaman terganggu. Peningkatan pH
tidak cukup untuk meningkatkan ketersediaan P tanah
karena P total tergolong rendah, sehingga harus ada
40
Tabel 2. Karakteristik tanah lapisan atas (0-40 cm) di Kampung
Bumi Nabung Ilir, Kec. Bumi Nabung, Kab. Lampung Tengah,
MH I tahun 2005/06.
Uraian
Tekstur
Nilai
2)
Klasifikasi
1)
Lempung liat
Metode
Pipet
berpasir (sandy
clay loam)
Pasir (%)
63
Debu (%)
Liat (%)
16
20
pH-H2O
4,3
pH-KCl
4,1
C-organik (%)
N-total (%)
1,58
0,05
Nisbah C/N
P-tersedia (ppm P2O5)
26,1
Masam
1:2,5
1:2,5
Rendah
Sangat rendah
Walky-Black
Kjeldahl
31,6
Tinggi
Bray –I
10
7
Sedang
Rendah
HCl 25%
HCl 25%
Ca-dd (me/100 g )
0,87
Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7
Mg-dd (me/100 g )
0,41
Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7
K-dd (me/100 g )
KTK (me/100 g )
0,08
8,7
Sangat rendah
Rendah
NH-4 asetat 1N pH 7
NH-4 asetat 1N pH 7
Kejenuhan basa
Al –dd (me/100 g )
15,6
0,91
Rendah
Sangat rendah
I N KCl
H –dd (me/100 g )
KTKE (me/100 g )
0,34
2,61
Kejenuhan Al (%)
34,9
Total - P2O5 (mg/100 g)2)
Total - K2O (mg/100 g)2)
1)
2)
klasifikasi berdasar kriteria yang dikeluarkan oleh Puslittanah;
kejenuhan Al dihitung berdasar KTKE (jumlah kation basa + Al + H).
Data dari BPTP Lampung, 2005.
pasokan P melalui pupuk. Meskipun pH tanah rendah
tetapi Al-dd tergolong sangat rendah, jadi ada kemungkinan rendahnya pH dipicu oleh rendahnya
kation-kation basa tanah. Oleh karena itu, penambahan
dolomit selain ditujukan untuk meningkatkan pH tanah,
juga berguna untuk meningkatkan ketersediaan hara
Ca dan Mg.
Tekstur tanah didominasi oleh fraksi pasir (63%)
tetapi petani masih melakukan pengolahan tanah
dengan cara dibajak sebanyak dua kali. Kandungan
pasir yang tinggi menjadikan tanah mempunyai drainase
cukup baik. Hal ini terlihat dari pengamatan secara visual,
meskipun terjadi hujan lebat, tetapi tidak terjadi genangan air yang lama, sehingga petani tidak membuat saluran
drainase untuk melakukan pencegahan erosi. Pada pertanaman MH I, sebagian besar petani menggunakan
pupuk kandang kotoran ayam dan sebagian lainnya
menggunakan kotoran sapi takaran 800-1000 kg/ha.
Pada MH II petani tidak menggunakan pupuk kandang
karena selain mahal juga tidak tersedia akibat adanya
larangan pemerintah daerah untuk mendatangkan
kotoran ayam dari luar daerah.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Keragaan Kedelai dengan Teknik Budi Daya
yang Diperbaiki
Keragaan pertanaman kedelai dengan teknik budi daya
petani yang diperbaiki pada MH I dan MH II dengan
pemupukan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl +
1500 kg dolomit/ha cukup baik (Tabel 3 dan 4). Populasi
tanaman yang dianjurkan sekitar 333.000 tanaman/ha,
namun kenyataannya populasi tanaman saat panen
lebih rendah. Populasi tanaman pada saat panen pada
MH I untuk varietas Sinabung adalah 201.000 atau 61%,
Burangrang 187.000 atau 57%, dan Kaba 155.000 atau
47% dari populasi anjuran (Tabel 3). Populasi tanaman
pada MH II untuk varietas Sinabung adalah 156.000 atau
46,8%, Anjasmoro 185.000 atau 55,5%, Kaba 191.000
atau 57,3%, dan Kipas Putih 185.000 atau 55,5% dari
populasi anjuran.
Keragaman populasi tanaman antarpetani cukup
besar, yang tercermin dari nilai standar deviasi yang
cukup besar (Tabel 3 dan 4). Rendahnya populasi
tanaman dan besarnya keragaman tersebut disebabkan
oleh: (1) adanya variasi jarak tanam yang dipakai antarpetani dalam menanam kedelai dan petani cenderung
menanam dengan jarak yang lebih jarang dari yang
dianjurkan; (2) adanya perbedaan waktu tanam, karena
berkaitan dengan keadaan curah hujan. Pada pertanaman MH I, pada saat tanam hingga periode awal
pertumbuhan tanaman, sering terjadi kekurangan air.
Pada pertanaman MH II, pada saat tanam hingga periode
pertumbuhan awal terlalu banyak air. Keadaan tersebut
berpengaruh terhadap perkecambahan benih. Kondisi
curah hujan di wilayah kegiatan PTT kedelai disajikan
pada (Gambar 1).
Jumlah polong isi per batang pada MH I tergolong
tinggi, rata-rata 54, 59, dan 69 polong isi/batang masingmasing untuk varietas Sinabung, Burangrang dan Kaba
(Tabel 3). Jumlah polong isi pada pertanaman MH II juga
tergolong baik, yaitu 56, 47, 56 dan 71 polong/tanaman
masing-masing untuk varietas Sinabung, Anjasmoro,
Kaba, dan Kipas Putih (Tabel 4). Jumlah polong hampa
tergolong rendah, berkisar antara 2-8% dari total polong
yang terbentuk, baik pada pertanaman MH I maupun
MH II (Tabel 3 dan 4). Ini menunjukkan bahwa dengan
teknik budi daya baik, pembentukan dan pengisian
polong berada pada kondisi normal. Jumlah polong
varietas Kipas Putih lebih banyak dibandingkan dengan
varietas lainnya meskipun jumlah cabang relatif sama.
Varietas Kipas Putih lebih tinggi dibanding varietas
lainnya (Tabel 4). Varietas ini banyak diminati petani di
Lampung karena bijinya besar, hasil tinggi, dan umur
genjah. Varietas Burangrang kurang disukai petani, terutama karena kulit bijinya yang retak-retak menjadikan
kenampakan biji kurang menarik, tetapi dari segi umur
sangat disukai karena dapat dipanen pada umur 75 hari.
Rata-rata hasil biji (standar kadar air dibuat 12%
karena kadar air biji beragam antarpetani) tergolong
tinggi pada MH I dan MH II. Hasil biji dari ketiga varietas
yang ditanam pada MH I tidak nyata berbeda, yaitu 1,95
t/ha dari varietas Sinabung, 1,76 t/ha dari varietas
Burangrang, dan 2,02 t/ha dari varietas Kaba (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06.
Varietas
Sinabung
Burangrang
Kaba
Jumlah
petani
Populasi tanaman/ha
(‘000)
Hasil biji
(t/ha)
Jumlah polong
isi/tanaman
Jumlah polong
hampa/tanaman
11
7
8
201 (±43) a
187 (±74) a
155 (±29) a
1,95 (±0,54) a
1,76 (±0,32) a
2,02 (±0,33) a
54 (±13) a
59 (±12) ab
69 (±10) b
3 (±2) a
5 (±2) a
4 (±1) a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%.
KA= kadar air,angka dalam kurung pada masing-masing kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD).
Tabel 4. Hasil biji dan komponen hasil kedelai. Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Varietas
Sinabung
Anjasmoro
Kaba
Kipas Putih
Jumlah
petani
Populasi
tanaman/ha
(‘000)
Hasil
biji
(t/ha)
Bobot
100 biji
(g)
Jumlah
polong isi/
tanaman
Jumlah
polong hampa/
tanaman
Jumlah
cabang/
tanaman
7
12
3
1
156 (±35) a
185 (±41) a
191 (±20) a
185
1,59 (±0,20) a
1,96 (±0,32) b
2,08 (±0,16) b
1,65
10,51 (±0,56) a
15,03 (±1,92) b
10,32 (±0,46) a
12,98
56 (±10) b
47 (±13) a
56 (±8) b
71
2 (±1) ab
1 (±1) a
5 (±2) b
3
4 (±1) b
3 (±1) a
4 (±1) b
3
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda menurut uji BNT 5%.
KA= kadar air, angka dalam kurung pada masing-masing angka dalam kolom menunjukkan nilai standar deviasi (SD).
Varietas Kipas Putih tidak diikutkan dalam analisis karena hanya satu ulangan.
41
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
550
3,5
500
Sinabung
Tahun 2005
3,0
450
Hasil biji KA 12% (t/ha)
Tahun 2006 (s/d Mei)
400
Curah hujan (mm)
350
300
250
200
150
Burangrang
2,5
Kaba
2,0
1,5
1,0
0,5
100
50
0,0
0
Jan.
Peb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nop.
1
Des.
2
3
4
5
6
Pada MH II, hasil varietas Sinabung (1,59 t/ha) nyata
lebih rendah dibanding Anjasmoro (1,96 t/ha) dan Kaba
(2,03 t/ha) (Tabel 4). Produktivitas varietas Kipas Putih
(1,65 t/ha) juga lebih rendah dari Anjasmoro dan Kaba
(Tabel 3). Potensi hasil varietas Sinabung, Burangrang,
Kaba, Anjasmoro, dan Kipas Putih masing-masing
adalah 2,16 t/ha, 1,60-2,50 t/ha, 2,13 t/ha, 2,03-2,25 t/ha,
dan 1,69 t/ha. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata hasil
yang diperoleh dengan teknik budi daya yang diperbaiki
sudah sesuai dengan potensi hasil masing-masing
varietas. Teknik budi daya tersebut mampu mengubah
kondisi lahan masam dari kurang optimal menjadi
optimal sehingga varietas-varietas tersebut dapat
mencapai hasil yang optimal pula.
Hasil kedelai pada MH I dan MH II umumnya >1,5 t/
ha (82% pada MH I dan 73% pada MH II), dan bahkan
beberapa petani memperoleh hasil lebih dari 2 t/ha
(Gambar 2 dan 3). Hasil pengujian paket teknologi
tersebut pada pra PTT di lahan kering masam pada bulan
Mei-Agustus 2004 di Desa Watu Agung, Kecamatan
Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah yang mempunyai
pH 4,2-4,6 dengan Al-dd 0,08-0,25 me/100 g menunjukkan
tingkat hasil kedelai rata-rata 1,45±0,34 t/ha, hasil
tertinggi mencapai 2,45 t/ha (Rumbaina et al. 2004).
Pengujian pada lahan petani di Desa Lorok, Kecamatan
Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada
MK II (Mei-September) 2004, dengan pH 4,6-5,1 dan Aldd 5,33-6,82 me/100 g memberikan hasil sekitar 1 t/ha
pada lahan bukaan baru dan 1,5-2,0 t/ha pada lahan
yang sudah lama digarap (Zakiah at el. 2005). Ini menunjukkan bahwa dengan teknik budi daya kedelai yang
diperbaiki cukup prospektif untuk meningkatkan produktivitas kedelai dalam rangka mendukung program
“Bangkit Kedelai” di lahan masam.
Hama yang umum ditemui di pertanaman kedelai
pada periode tanam MH I 2005/06 dan MH II 2006 adalah
ulat grayak (Spodoptera litura), penggerek polong
(Helicoverpa armigera), pengisap polong (Riptortus
42
8
9
10
11
12
Gambar 2. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi
daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah.
MH I 2005/06.
Kaba
Anjasmoro
Sinabung
Kipas Putih
2,5
Hasil biji KA 12% (t/ha)
Gambar 1. Distribusi curah hujan bulanan tahun 2005 dan 2006 di
Kecamatan Bumi Nabung, Kabupaten Lampung Tengah.
7
Petani
Bulan
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
10
Petani
Gambar 3. Hasil kedelai petani koperator pada pengujian teknik budi
daya di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah.
MH II 2006.
linearis), dan ulat jengkal (Plusia calcites), tetapi pada
intensitas yang rendah (1-10%) dan dapat dikendalikan.
Penyakit yang banyak merusak tanaman adalah bakteri
pustul (Xanthomonas campestris) dengan intensitas
bervariasi antarpetani, yaitu dari ringan hingga sedang
(1-50%).
Analisis Finansial
Usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir,
Lampung Tengah pada MH I 2005/06 memerlukan
tenaga kerja sebanyak 225 HOK/ha. Petani mampu
menyediakan tenaga kerja dalam keluarga rata-rata 183,6
HOK/ha atau 82% (Tabel 5). Total biaya yang diperlukan
untuk usahatani kedelai adalah Rp 4.006.760/ha. Dari
total biaya tersebut, biaya untuk tenaga kerja adalah tertinggi (50,5%), diikuti oleh prosesing hasil yang mencapai
13,4% dan untuk pembelian dolomit 12,4%. Hasil kedelai
di lahan kering masam adalah 1.950 kg/ha untuk varietas
Sinabung; 1.760 kg/ha untuk varietas Burangrang, dan
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Tabel 5. Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani kedelai dengan
teknik budi daya yang diperbaiki pada lahan kering masam
di Bumi Nabung Ilir, Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I
2005/06.
Tabel 6. Analisis usahatani kedelai dengan teknik budi daya yang
diperbaiki pada lahan kering masam di Bumi Nabung Ilir,
Bumi Nabung, Lampung Tengah, MH I 2005/06.
Komponen
Aktivitas
Tenaga kerja total
(HOK/ha)1)
Pengolahan tanah
Tanam
Pemupukan
Penyiangan
Penyemprotan
Panen
Prosesing
Jumlah
Nisbah tenaga kerja dalam
keluarga terhadap tenaga
kerja total (%)
1)
Jumlah
(satuan fisik/ha)
Tenaga kerja dalam
keluarga (HOK/ha)
21,1
31,5
12,0
38,0
34,5
30,7
57,2
225,0
15,9
9,1
12,0
30,0
34,5
24,9
57,2
183,6
81,6
1 HOK = 4,5 jam kerja setara pria
2.020 kg/ha untuk varietas Kaba. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 2.678.240, Rp 2.153.240, dan Rp
3.063.240/ha, masing-masing dengan menggunakan
varietas Sinabung, Burangrang, dan Kaba. Nilai nisbah
manfaat terhadap biaya total untuk masing-masing
varietas berturut-turut adalah 0,70; 0,54; dan 0,76
(Tabel 4).
Meskipun keuntungan relatif tinggi, namun nilai
nisbah manfaat terhadap biaya total (B/C ratio) masih
<1 (Tabel 6). Makna dari kondisi ini adalah usahatani
kedelai di lahan kering masam pada MH I kurang
ekonomis, terutama karena tingginya biaya tenaga kerja,
dan pascapanen. Dolomit diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi menyebabkan biaya produksi
menjadi tinggi. Oleh karena itu perlu dievaluasi takaran
penggunaan dolomit atau residu pemberian dolomit
pada pertanaman kedelai musim berikutnya. Petani di
lokasi penelitian biasanya menanam kedelai dua kali
berturut-turut yang dimulai pada awal musim hujan
(sekitar Nopember atau Desember).
Tingkat Kesuburan Tanah
Untuk mengevaluasi pengaruh pemberian input, khususnya dolomit dilakukan analisis contoh tanah yang diambil dari sembilan lahan petani koperator (lahan
mendapat input dolomit) dan tujuh lahan petani yang
lahannya tidak mendapat masukan dolomit. Hasil
analisis menunjukkan bahwa tanah yang mendapat
tambahan dolomit 1.500 kg/ha mempunyai pH dan Mgdd yang lebih tinggi, dan Al-dd lebih rendah dibandingkan
dengan tanah yang tidak diberi dolomit. Kandungan Corganik, P tersedia, Ca-dd, dan K-dd tidak berbeda
meskipun ada kecendungan pemberian dolomit meningkatkan kandungan P tersedia dan Ca-dd (Tabel 7).
Saprodi dan tenaga
Benih (kg)
Pupuk (kg)
Urea
SP36
KCl
Dolomit (ton)
Pestisida
Tenaga kerja (HOK)
Perontokan biji
Persentase
40
160.000
4,0
75
100
100
1,5
90.000
160.000
270.000
495.000
270.000
2.025.000
536.760
2,2
4,0
6,7
12,4
6,7
50,5
13,4
4.006.760
100,0
225
Total
Produksi
Hasil biji k.a 12% (ton)
Var. Sinabung
Var. Burangrang
Var. Kaba
Nilai
(Rp/ha)
1,95
1,76
2,02
Keuntungan
Var. Sinabung
Var. Burangrang
Var. Kaba
6.825.000
6.160.000
7.070.000
2.678.240
2.153.240
3.063.240
Nisbah manfaat terhadap
biaya total (B/C ratio)
Var. Sinabung
0,70
Var. Burangrang
0,54
Var. Kaba
0,76
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dolomit meningkatkan pH tanah dan ketersediaan Mg, serta
menurunkan Al-dd tanah. Setijono (1996) melaporkan
bahwa dolomit sama efektifnya dengan kalsit dan silikat
dalam menurunkan Al-dd dan meningkatkan pH tanah
masam.
Percobaan Superimpose
Analisis usahatani kedelai pada tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya pembelian dolomit adalah 12,4% dari
total biaya usahatani. Salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan petani adalah memanfaatkan
pengaruh sisa dolomit yang telah diberikan pada musim
tanam sebelumnya.
Tanaman kedelai tanpa dolomit pada MH II (dolomit
1.500 kg/ha diberikan pada MH I) nyata lebih pendek,
jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi 43 polong/
tanaman, dibandingkan dengan yang diberi dolomit
dengan takaran 1.500 kg/ha, namun tidak berpengaruh
terhadap ukuran biji dan jumlah polong hampa. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150 kg/ha
tidak nyata meningkatkan tinggi tanaman, jumlah polong
43
TAUFIQ ET AL.: BUDI DAYA KEDELAI PADA LAHAN KERING MASAM
Tabel 7. Karakteristik tanah pada lapisan olah akibat pemberian dolomit. Bumi Nabung, Lampung Tengah, 2005.
Perlakuan
1
2
Dolomit
(kg/ha)
pH-H2O
C-organik
(%)
P-Bray I
(ppm P2O5)
K-dd
(me/100 g)
Ca-dd
(me/100 g)
Mg-dd
(me/100 g)
Al-dd
(me/100 g)
0
1500
4,6 a
5,2 b
1,83 a
1,72 a
75,4 a
77,4 a
0,10 a
0,09 a
1,19 a
1,42 a
0,52 a
0,64 b
0,77 b
0,34 a
Angka sekolom yang didampingi oleh huruf yang sama tidak berbeda dengan uji t 5%.
Tabel 8. Pengaruh pemupukan dan pemberian dolomit terhadap keragaan tanaman kedelai varietas Anjasmoro pada lahan kering masam Bumi
Nabung, Lampung Tengah, MH II 2006.
Perlakuan1)
1
2
3
4
1)
Bobot
100 biji
(g)
Jumlah
polong hampa/
tanaman
Jumlah
polong isi/
tanaman
Tinggi
tanaman panen
(cm)
Hasil biji
(t/ha)
15,59
16,38
17,11
16,31
1
1
1
1
43
52
51
40
54,7
60,5
61,6
54,9
1,89
2,14
2,39
2,23
Persentase kenaikan/
penurunan hasil (%)
–
13,22
26,46
17,99
–
11,68
4,21
Perlakuan 1 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit 0 kg/ha (dosis dolomit pada MH I adalah 1500 kg/ha).
Perlakuan 2 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha.
Perlakuan 3 = 75 kg urea/ha + 150 kg SP36/ha +100 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha.
Perlakuan 4 = 75 kg urea/ha + 100 kg SP36/ha +150 kg KCl/ha + Dolomit: 1500 kg/ha.
Tabel 9. Nilai probabilitas pada uji orthogonal kontras antarperlakuan yang diuji.
Perlakuan
1 vs 2
2 vs 3
2 vs 4
Bobot 100 biji
Jumlah polong
hampa/tanaman
Jumlah polong
isi/tanaman
Tinggi tanaman
panen
Hasil biji
tn
tn
tn
tn
tn
tn
0,04
tn
0,02
0,03
tn
0,04
0,09
0,08
0,47
1 vs 2 = menguji pengaruh sisa dolomit yang diberikan musim tanam sebelumnya;
2 vs 3 = menguji pengaruh peningkatan pupuk SP36;
2 vs 4 = menguji pengaruh peningkatan pupuk KCl; tn= tidak nyata
isi dan jumlah polong hampa. Bobot 100 biji meningkat
dari 16,4 g menjadi 17,1 g namun peningkatannya tidak
nyata. Peningkatan takaran KCl dari 100 kg menjadi 150
kg/ha tidak berpengaruh terhadap bobot 100 biji dan
jumlah polong hampa/tanaman, bahkan tanaman lebih
pendek dan jumlah polong isi berkurang dari 52 menjadi
40 polong/tanaman (Tabel 7 dan 9).
Penambahan dolomit 1.500 kg/ha pada pertanaman
kedelai pada MH II (dolomit 1.500 kg/ha juga diberikan
pada MH I), selain memperbaiki pertumbuhan tanaman
juga meningkatkan hasil sebesar 13% (Tabel 8 dan 9).
Jika dihitung antara biaya yang dikeluarkan untuk membeli dolomit 1.500 kg (Rp 495.000) dengan peningkatan
hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka
terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 380.000/ha.
Hasil kedelai tanpa pemberian dolomit pada musim
tanam ke-2 (MH II) termasuk tinggi (1,89 t/ha). Apabila
modal terbatas maka dolomit 1.500 kg/ha cukup
44
diberikan pada tanaman MH I, sedangkan MH II tidak
perlu diberi dolomit, sehingga ada penghematan sebesar
Rp 495.000/ha.
Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150
kg/ha meningkatkan hasil kedelai sekitar 12% (Tabel 8
dan 9). Jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk
membeli 50 kg SP36 (Rp 80.000/ha) dengan peningkatan
hasil (Rp 875.000, harga kedelai Rp 3.500/kg), maka masih
terdapat tambahan pendapatan sebesar Rp 795.000/ha.
Artinya, jika pertanaman kedelai pada MH II diberi
dolomit kembali dengan takaran 1.500 kg/ha dan takaran
pupuk SP36 ditingkatkan dari 100 kg menjadi 150 kg/ha,
maka akan diperoleh tambahan pendapatan kumulatif
sebesar Rp 1.175.000/ha. Peningkatan takaran pupuk KCl
dari 100 kg menjadi 150 kg/ha tidak nyata meningkatkan
hasil (Tabel 8 dan 9). Dengan demikian pupuk KCl cukup
diberikan 100 kg/ha.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
KESIMPULAN
1. Produktivitas kedelai di lahan kering masam pada
musim hujan sebesar 1,5-2 t/ha dapat dicapai dengan penggunaan varietas unggul Sinabung, Kaba,
Burangrang, dan Anjasmoro. Tanaman dipupuk
dengan 75 kg urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl +
1.500 kg dolomit/ha.Paket teknologi budi daya
tersebut memberikan keuntungan sebesar Rp 2 juta/
ha. Dengan pola tanam kedelai-kedelai, dolomit
dengan takaran 1.500 kg/ha cukup diberikan sekali
(pada MH I) pada kedua musim tanam.
2. Peningkatan takaran SP36 dari 100 kg menjadi 150
kg/ha meningkatkan hasil kedelai 12%, dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp 750.000/ha.
Pupuk KCl cukup diberikan 100 kg/ha.
3. Pemberian dolomit 1.500 kg/ha meningkatkan pH
tanah dan Mg tersedia, serta menurunkan Al-dd.
et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan
Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
Tahun 1998 (Buku 2).
Rachim, D.A., Astiana, R. Sutanto, N. Suharta, A. Hidayat, D.
Subardja dan M. Arifin. 1997. Tanah merah terlapuk lanjut
serta pengelolaannya di Indonesia. p. 97-115. Dalam I. Las
et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber daya Lahan (Buku I).
Puslitanak, Bogor.
Rumbaina, D., Amrizal N., Widiyantoro, Marwoto, A. Taufiq, H.
Kuntyastuti, D.M. Arsyad, dan Heriyanto. 2004. Pengembangan
kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) di lahan masam. p. 61-72. Dalam Prosiding Lokakarya
Pengembangan Kedelai Melalui Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu di Lahan Masam. Balitkabi-BPTP Lampung.
Setiawan, D. 1997. Keragaman susunan mineral liat beberapa
tanah Sumatra Selatan (Buku II). Prosiding Kongres Nasional
VI HITI. p. 33-40.
Setijono, S. 1996. Effect of crop residues and lime materials on soil
aluminium and phosphorus availability on high activity clay
(HAC) acid mineral soil. Agrivita 19(4):153-157.
DAFTAR PUSTAKA
Sudar yanto, T., I. W. Rusastra, E. Jamal, dan A. Syam. 2002.
Pengembangan Teknologi Pertanian Berbasis Agrobisnis, p.
7-17. Dalam M. O. Adnyana et al. (eds.). Prosiding Teknologi
Pertanian Berbasis Sumberdaya Lokal Ramah Lingkungan
dalam Menunjang Otonomi Daerah. Puslitbang Sosek
Pertanian. Bogor. 523p.
Abdurrachman, A., K. Nugroho, dan Sumarno. 1999. Pengembangan
lahan kering untuk menunjang ketahanan pangan nasional.
p. 21-22. Dalam Irsal L. et al. (eds). Prosiding Seminar Sumber
Daya Lahan (Buku I). Puslitanak, Bogor.
Sudaryono, H. Kuntyastuti, dan B. S. Radjit. 2002. Dinamika hara
makro, mikro, perbaikan dan koservasi sifat fisik lahan kering
untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi kedelai.
Laporan Teknis Penelitian. Balitkabi. Malang.
BPS (Biro Pusat Statistik). 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta.
Hairiah, K., S. Ismunandar, dan E. Handayanto, 1998. Pengelolaan
tanah secara biologi pada lahan kering beriklim basah
melalui pendekatan holistik dan spesifik lokasi menuju sistem
pertanian berkelanjutan. p. 12-28. Dalam Sudaryono et al.
(eds). Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun
1998 (Buku 1).
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A. Syarifuddin K., dan I. Manwan.
1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia.
Lap. Khusus Pus/05/90. Puslitbangtan. Bogor. 24p.
Las, I., A.K. Makarim, H.M. Toha, A. Gani, H. Pane, dan S.
Abdurrachman. 2002. Panduan teknis pengelolaan tanaman
dan sumber daya terpadu padi sawah irigasi. Departemen
Pertanian. 37p.
Prasetyo, B.H. dan S. Ritung. 1998. Beberapa kendala pengembangan lahan kering di Indonesia. p. 267-275. Dalam Sudaryono
Taufiq, A., H. Kuntyastuti, dan A.G. Manshuri, 2004. Pemupukan
dan ameliorasi lahan kering masam untuk peningkatan
produktivitas kedelai. p. 21-40. Dalam Prosiding Lokakarya
Pengembangan Kedelai melalui Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu di L ahan Masam. Balitkabi – BPTP
Lampung.
Van der Heide, J., S. Setijono, M.S. Syekhfani, E. N. Flach, K. Hairiah,
S.M. Sitompul, and M. van Noordwijk. 1992. Can low external
input cropping system on acid upland soils in the humid
tropics be sustainable? Agrivita 15:1-10.
Zakiah, E. Canto, Subowo G., Darman, M.A., Marwoto, H.
Kuntyastuti, dan A. Taufiq. 2005. Potensi usahatani kedelai di
lahan kering Sumatera Selatan: Pra Litkaji kedelai di Sumatera
Selatan. Hlm. 60-69. Dalam Marwoto, Subowo G., dan A.
Taufiq (eds). Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai
melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Lahan Kering
Masam. Puslitbang. Sosek Pertanian, Jakarta.
45
ISSN 2088-8066
J. Agronomika (2011) Vol 1 No.2, 92-98
RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PADA
SISTEM OLAH TANAH YANG BERBEDA
Growth and Yield Response of Soybean on Different Tillage Systems
Zainuddin Ohorella
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Al Amin Muhammadiyah
Sorong Papua Barat
Email : [email protected]
Abstract
One of the important farming activity in the intensification of agriculture to increase
food production including Soybean plant is land preparation. Tillage systems are
often used by farmers is intensive tillage, minimum tillage and no tillage. This
study aims to determine the effect of tillage systems on growth and yield of
soybean. Research using randomized block design with tillage treatment system
consisting of three level of one-time tillage, if the ground two times, and though
the ground three times, and repeated 5 times The results showed that tillage
system 3 times is to increase plant height, leaf number, number of productive
branches, number of pods, weight of 100 seeds dry and fresh weight of soybean
stover.
Keywords : Tillage Systems, Growth, Yield, Soybean, Stover
Abstrak
Salah satu kegiatan budidaya penting dalam intensifikasi pertanian untuk
meningkatkan produksi pangan termasuk tanaman kedelai adalah pengolahan
tanah. Sistem olah tanah yang sering digunakan oleh petani adalah olah tanah
intensif, olah tanah minimum, dan tanpa olah tanah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh sistem olah tanah terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman kedelai. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan
perlakuan sistem olah tanah yang terdiri dari 3 taraf yaitu olah tanah satu kali,
olah tanah dua kali, dan olah tanah tiga kali, dan diulangan sebanyak 5 kali.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem olah tanah sebanyak 3 kali
merupakan yang terbaik dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah cabang produktif, jumlah polong, bobot 100 biji kering dan berat segar
brangkasan tanaman kedelai.
Kata Kunci : Sistem Olah Tanah, Pertumbuhan, Produksi, Kedelai, Brangkasan.
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max.L) merupakan
sumber protein nabati utama bagi
sebagian besar penduduk Indonesia.
Sampai saat ini kedelai masih menjadi
salah satu komoditas pangan yang sangat
penting di Indonesia. Dalam rangka
___________________________________
• Diterima Tanggal 2 Juli 2011
• Disetujui Tanggal 29 November 2011
meningkatkan ketahanan pangan di
tingkat nasional khususnya ketersediaan
bahan pangan kedelai, diperlukan upaya
yang
sungguh-sungguh
untuk
meningkatkan produksinya dan tentunya
harus
diprogramkan
secara
teliti,
terencana, berjangka panjang dan tepat
sasaran.
Dirjen pertanian tanaman pangan,
melalui
departemen
pertanian
memprediksikan bahwa konsumsi kedelai
di Indonesia pada tahun 2010 mancapai
2,8 juta ton. Sementara itu, pada saat
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
yang sama produksi kedelai
nasional
hanya mencapai 1,2 juta ton (Rukmi,
2009). Kebutuhan kedelai dari tahun
ketahun selalu meningkat, selain sebagai
bahan makanan seperti pada industri tahu,
tempe, serta sebagai bahan pakan ternak,
dengan demikian komoditi ini merupakan
komoditas unggulan.
Kedelai merupakan salah satu
bahan pangan yang penting di Kabupaten
Sorong sebagai sumber protein nabati
yang dikonsumsi setiap hari oleh
masyarakat. Namun produksi kedelai di
Kabupaten
Sorong
masih
rendah
sedangkan minat petani menanam kedelai
masih sedikit dikarenakan beberapa faktor
antara lain benih unggul masih di
datangkan dari luar Propinsi Papua Barat,
pengetahuan teknik budidaya kedelai yang
dimiliki oleh petani masih rendah dan
situasi iklim yang tidak menentu. Laporan
Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kab. Sorong (2011), bahwa produksi
kedelai di Kabupaten Sorong pada tahun
2009 mencapai 153 ton dari luas panen
122 ha, sedangkan pada tahun 2010
mencapai 25 ton dari luas panen 269 ha.
Untuk meningkatkan produksi dan
produktifitas kedelai perlu berbagai upaya,
antara lain perluasan areal tanam dengan
memanfaatkan potensi lahan
kering
dan lahan tidur, perbaikan cara bercocok
tanam yaitu pengolahan tanah yang baik,
penggunaan
varietas
unggul,
pengendalian gulma, pemupukan dan
pemberantasan hama dan penyakit
(Panggabean,
2007).
Pemanfaatan
potensi lahan kering untuk pengembangan
tanaman kedelai di Kabupaten Sorong
belum maksimal, hal ini terjadi karena
pengolahan lahan kering masih bersifat
konvensional. Menurut Foth (1984),
pengelolaan
lahan
kering
secara
berkelanjutan dimulai dari teknologi
persiapan lahan yang bertumpu pada
pendaurulangan
sumberdaya
internal
tanpa mengusik tanah secara berlebihan.
Teknologi
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan kesuburan produktivitas
tanah, mengurangi kebutuhan tenaga
kerja, meningkatkan pendapatan petani
dan yang tidak kalah pentingnya adalah
mengurangi kerusakan lingkungan.
Pengolahan tanah merupakan salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi tanaman
karena dapat menciptakan struktur tanah
yang remah, aerase tanah yang baik dan
menghambat
pertumbuhan
tanaman
pengganggu. Selanjutnya Mahmud at al
(2002), mengatakan bahwa pengolahan
tanah pada tanaman kedelai pada
prinsipnya bertujuan untuk memperbaiki
aerase
dan
drainase
tanah,
mengendalikan gulma, menggemburkan
tanah sehingga kecambah mudah tumbuh,
dan
perakaran
dapat
berkembang
sempurna. Menurut Panggabean (2007),
untuk mencegah pengaruh buruk dari
pengolahan
tanah
intensif,
maka
dikembangkan
konsepsi
sistim
pengolahan tanah konservasi yaitu
pengolahan tanah minimum. Selanjutnya
menurut Adisarwanto (2000), dalam
bercocok tanam kedelai persiapan lahan
pertanaman dapat dilakukan dengan
pengolahan
tanah
sebelum
tanam
(Maksimum Tillage) dan tanpa olah tanah
(Zero Tillage) atau olah tanah minimum
(Minimum Tillage).
Perbedaan cara pengolahan tanah
akan mempengaruhi kesuburan tanah
sehingga akan berpengaruh juga terhadap
pertumbuhan dan hasil kedelai. Perlu
tidaknya tanah diolah dapat dipengaruhi
oleh tingkat kepadatan dan aerasi. Pada
tingkat kepadatan yang tinggi akibat tidak
pernah
diolah
mengakibatkan
pertumbuhan akar terbatas, sehingga
zona serapan akar menjadi sempit.
METODE
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan
Malawili Distrik Aimas Kabupaten Sorong,
dengan ketinggian tempat 60 meter dpl,
berlangsung dari bulan Maret sampai Juni
2011. Penelitian dilaksanakan dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK). Sistem olah tanah sebagai
perlakuan, yang terdiri atas (A) olah tanah
satu kali, (B) olah tanah dua kali dan (C)
olah tanah tiga kali. Setiap perlakuan
diulang sebanyak 5 kali sehingga terdapat
15 petak percobaan yang berukuran 2 m x
1 m. Persiapan lahan disesuaikan dengan
perlakuan sistem olah tanah yaitu, Olah
Tanah Satu Kali (A), Olah Tanah Dua Kali
(B) dan Olah Tanah Tiga Kali (C). Setelah
lahan siap maka benih kedelai ditanam
dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.
Pemupukan dengan menggunakan
pupuk anorganik (Urea, TSP, dan KCL)
dilakukan dalam 2 tahap yaitu pemupukan
pertama pada saat penanaman dengan
dosis pupuk Urea 2,5 gr/lubang tanam,
pupuk TSP 5 gr/lubang tanam dan pupuk
KCL 5 gr/lubang tanam. Pemupukan tahap
kedua dilaksanakan setelah tanaman
berumur 42 setelah tanam, dengan dosis
93
Zainuddin O.
pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea
5 gr/lubang tanam, pupuk TSP 10
gr/lubang tanam dan pupuk KCL 10
gr/lubang tanam. Cara pemupukan yang
dlakukan adalah dengan memasukkan
pupuk ke dalam lubang tugal, dengan
jarak
lubang
tugal
10
cm
dari
tanaman/lubang
tanam.
Komponen
pertumbuhan dan produksi yang diamati
dan diukur adalah, tinggi tanaman (cm),
jumlah daun (helai), jumlah cabang
produktif, jumlah polong per tanaman,
berat 100 biji kering, dan bobot segar
brangkasan.
HASIL DAN PEMBASAN
Hasil analisis ragam menunjukan
bahwa sistem olah tanah berpengaruh
sangat
nyata
terhadap
peubah
pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun,
jumlah cabang produktif, jumlah polong,
berat 100 biji kering dan berat segar
brangkasan.
Hasil uji BNT0.05 pada Tabel 1,
menunjukan bahwa pengolahan tanah
sebanyak tiga kali memberikan hasil yang
terbaik terhadap komponen pertumbuhan
tinggi tanaman , jumlah daun, serta jumlah
cabang produktif dan berbeda nyata
dengan pengolahan tanah sebanyak dua
kali dan pengolahan tanah sebanyak satu
kali. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa setiap penambahan sistem olah
tanah akan menaikkan pertumbuhan tinggi
tanaman kedelai, jumlah daun dan jumlah
cabang produktif tanaman kedelai.
Pengolahan tanah sebanyak 2 kali
dapat menaikkan rata-rata pertumbuhan
tinggi tanaman sebesar 0.5 cm dari
pengolahan tanah sebanyak 1 kali.
Pengolahan tanah sebanyak 3 kali
menaikkan pertumbuhan rata-rata tinggi
tanaman kedelai sebesar 6.6 cm dari
pengolahan tanah sebanyak 1 kali dan
pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman
sebesar 6.2 cm dari pengolahan tanah
sebanyak 2 kali. Hal ini disebabkan karena
dengan pengolahan tanah sebanyak tiga
kali menjadikan tanah semakin gembur
sehingga akar tanaman lebih mudah
masuk kedalam tanah dan lebih mudah
menyerap unsur hara yang terdapat
didalam tanah yang dipergunakan oleh
tanaman untuk pertumbuhannya. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Suwardjono dan Dariah (1995), yang
menyatakan bahwa struktur tanah yang
baik menjadikan perakaran berkembang
dengan baik sehingga semakin luas
94
bidang serapan terhadap unsur hara.
Selanjutnya menurut Rafiuddin et al
(2006), menyatakan bahwa pengerjaan
tanah untuk mendapatkan keadaan olah
tanah yang baik mempunyai tujuan
memberantas gulma, memasukkan dan
mencampurkan sisa tanaman kedalam
tanah
dan
menggemburkan
tanah
sehingga terdapat keadaan olah tanah
sempurna yang diperlukan oleh akar
tanaman dan akhirnya akan meningkatkan
peredaran
udara,
infiltrasi
air,
pertumbuhan akar dan pengambilan unsur
hara oleh akar.
Menurut Situmpul dan Guritno
(1995), tinggi tanaman merupakan ukuran
tanaman yang sering diamati baik sebagai
indikator pertumbuhan maupun sebagai
parameter
yang
digunakan
untuk
mengukur pengaruh lingkungan atau
perlakuan yang diterapkan. Ini didasarkan
atas kenyataan bahwa tinggi tanaman
merupakan ukuran pertumbuhan yang
paling mudah dilihat
Setiap penambahan sistem olah
tanah akan menaikkan pertumbuhan
jumlah daun tanaman kedelai. Pengolahan
tanah sebanyak 3 kali akan menambah
rata-rata jumlah pertumbuhan daun
sebesar 5 helai dari sistem pengolahan
tanah sebanyak 1 kali dan 3 helai daun
dari sistem pengolahan tanah sebanyak 2
kali. Sistem olah tanah sebanyak 2 kali
akan menaikkan jumlah pertumbuhan
daun sebesar 1.3 helai dari sistem olah
tanah sebanyak 1 kali. Perlakuan sistem
olah
tanah
mempengaruhi
banyak
sedikitnya jumlah daun dari setiap
tanaman kedelai. Keadaan tanah yang
gembur menghasilkan jumlah daun yang
lebih banyak dari pada keadaan tanah
yang padat. Menurut Ma’sumah (2002),
sistem olah tanah sempurna akan
memberikan jumlah daun yang lebih
banyak pada tanaman dari pada sistem
tanpa olah tanah.
Daun memegang peranan yang
sangat penting bagi poduktivitas suatu
tanaman. Jumlah dan ukuran daun
dipengaruhi oleh genotipe dan faktor
lingkungan. Faktor lingkungan yang
berpengaruh adalah faktor tanah, air,
cahaya dan unsur hara. Dwidjoseputro
(1994),
menyatakan
bahwa
daun
merupakan
bagian
tanaman
yang
mempunyai fungsi sangat penting, karena
semua fungsi yang lain tergantung pada
daun secara langsung atau tidak
langsung. Dari proses fotosintesis pada
daun akan dihasilkan energi yang dapat
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
Tabel 1. Rata – Rata Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Jumlah Cabang Produktif
Tanaman Kedelai Dari Pengaruh Sistem Olah Tanah.
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
Jumlah Cabang
(cm)
Produktif
b
Olah Tanah Satu Kali
23.0b
2.9c
17.2
b
b
b
Olah Tanah Dua Kali
18.1
25.0
3.2
a
a
a
Olah Tanah Tiga Kali
28.0
4.4
25.1
NPBNT 0,05
1.8
2.1
0.1
Keterangan : Nilai rata-rata selajur yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
uji BNT pada taraf nyata 0.05 %.
Sistem Olah Tanah
digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan daun. Banyaknya daun
akan mempengaruhi jumlah asimilat yang
dihasilkan
yang
pada
akhirnya
berpengaruh pula pada pembentukkan
daun dan organ tanaman yang lain.
Menurut Sitompul dan Guritno (1995),
tanaman yang mempunyai daun yang
lebih banyak pada awal pertumbuhannya,
tanaman akan lebih cepat tumbuh karena
kemampuan menghasilkan fotosintesa
yang lebih tinggi dari tanaman dengan
jumlah daun yang lebih rendah. Jumlah
daun tanaman akan mempengaruhi
pertumbuhan jaringan tanaman yang lain.
Dwidjoseputro (1994), mengemukakan
bahwa daun merupakan bagian tanaman
yang mempunyai fungsi sangat penting,
karena semua fungsi yang lain tergantung
pada daun secara langsung atau tidak
langsung. Dari proses fotosintesis pada
daun akan dihasilkan energi yang dapat
digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan daun. Banyaknya daun
akan mempengaruhi jumlah asimilat yang
dihasilkan
yang
pada
akhirnya
berpengaruh pula pada pembentukkan
daun dan organ tanaman yang lain.
Besar kecilnya jumlah cabang
produktif dari tanaman kedelai akibat
pengaruh berbagai sistem olah tanah,
menunjukan bahwa adanya perbedaan
rata-rata dalam pertambahan jumlah
cabang produktif. Sistem olah tanah
sebanyak 3 kali menghasilkan jumlah
cabang produktif sebesar 1.5 cabang lebih
banyak dari sistem olah tanah sebanyak 1
kali dan 1.2 cabang dari sistem olah tanah
sebanyak 2 kali. Pertambahan rata-rata
jumlah cabang produktif dari sistem olah
tanah sebanyak 2 kali terhadap sistem
olah tanah sebanyak 1 kali yaitu sebesar
0.3 cabang. Pertumbuhan organ vegetatif
akan mempengaruhi hasil tanaman.
Semakin besar pertumbuhan organ
vegetatif yang berfungsi sebagai penghasil
asimilat (source) akan meningkatkan
pertumbuhan organ pemakai (sink) yang
akhirnya akan memberikan hasil yang
semakin besar pula. Perbedaan kondisi
tanah pada sistem olah tanah dapat
mengakibatkan perbedaan ketersediaan
air dan unsur hara yang dapat diserap
tanaman
sehingga
mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman
kedelai. Menurut Nurjen et al (2000),
menyatakan bahwa kelancaran proses
penyerapan unsur hara oleh tanaman
terutama difusi tergantung dari persediaan
air tanah yang berhubungan erat dengan
kapasitas menahan air oleh tanah, seluruh
komponen tersebut mampu memacu
proses fotosintesis secara optimal.
Berdasarkan hasil uji BNT0.05
terhadap peubah pengamatan jumlah
polong, bobot 100 biji kering dan berat
segar brangkasan tanaman kedelai,
memperlihatkan
sistem
olah
tanah
sebanyak tiga kali berbeda nyata dengan
sistem olah tanah dua kali dan berbeda
sangat nyata dengan sistem olah
sebanyak satu kali (Tabel 2). Perbedaan
jumlah polong dari setiap tanaman kedelai
ini menunjukan bahwa sistem olah tanah
berpengaruh terhadap jumlah polong yang
dihasilkan. Perbedaan jumlah polong dari
sistem olah tanah sebanyak 3 kali dengan
sistem olah tanah sebanyak 1 kali yaitu
6.9 polong, dan 4,6 polong dengan sistem
olah tanah sebanyak 2 kali. Perbedaan
jumlah polong dari pengolahan tanah
sebanyak 2 kali dengan sistem olah tanah
sebanyak 1 kali yaitu sebesar 2.3 polong.
Pengolahan tanah sebanayak tiga kali
menghasilkan jumlah polong yang lebih
banyak yaitu 33.7 polong, dari system olah
tanah yang lain. Hal ini diduga bahwa
kondisi tanah pada system olah tanah
sebanyak tiga kali, cenderung lebih
mampu
merangsang
pembentukkan
polong dengan struktur tanahnya yang
gembur. Jumlah polong per tanaman
merupakan komponen hasil yang pokok
bagi tanaman kedelai. Jumlah polong
95
Zainuddin O.
Tabel 2. Rata – Rata Jumlah Polong, Bobot 100 Biji Kering, dan Berat Segar Brangkasan
Tanaman Kedelai Dari Pengaruh Berbagai Sistem Olah Tanah.
Perlakuan
Jumlah
Polong/Tanaman
Olah Tanah Satu Kali)
Olah Tanah Dua Kali)
Olah Tanah Tiga Kali)
NPBNT 0,05
Keterangan : Nilai rata-rata selajur
uji BNT pada taraf nyata 0.05 %.
Berat Segar
Brangkasan (gr)
26.8c
10.48c
448c
b
b
b
29.1
11.85
536
a
a
a
33.7
13.72
631
0.7
0.2
45.38
yang di ikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut
menunjukkan
kemampuan
tanaman
kedelai menyerap unsur hara yang
tersedia dalam tanah. Gardner et al.,
(1991) menyatakan bahwa pada saat
pengisian polong, maka polong akan
menjadi daerah penyaluran asimilasi.
Sebagian besar asimilasi akan digunakan
untuk
meningkatkan
bobot
biji.
Pembentukkan polong tergantung pada
tingkat kelembaban tanah dan penyediaan
unsur hara terutama fosfor dan kalsium
untuk proses pembuahan dan pemasakan
biji. Hal ini sesuai dengan pendapat
Stewart at al, (1994), yaitu untuk
pembentukkan polong diperlukan kadar
kelembaban yang cukup tinggi selama
beberapa waktu dan cukup unsur hara,
akan tetapi terlampau banyak air didalam
tanah juga akan dapat mengganggu
proses pembentukkan polong.
Pembentukkan polong muda juga
berhubungan dengan pembungaan. Jika
pembungaan terlalu awal, maka polong
yang terbentukpun akan cepat menjadi
masak, tapi jika pembungaan berjalan
lambat maka akan terbentuk polong muda
yang relatif banyak karena pembungaan
yang lambat dapat menyebabkan tingkat
serapan hara dari dalam tanah semakin
baik. Menurut pendapat Mimbar (1991),
bahwa bunga yang terbentuk awal
menghasilkan sedikit polong karena
disebabkan 75 % dari bunga pada suatu
tanaman banyak yang gugur.
Pengaruh system olah tanah
terhadap bobot 100 biji kering kedelai
berdasarkan hasil uji BNT0.05 menunjukan
berat 100 biji dari pengolahan sebanyak
tiga kali berbeda nyata dengan sistem olah
tanah dua kali dan berbeda sangat nyata
dengan system olah tanah sebanyak sayu
kali (Tabel 2). Perbedaan bobot 100 biji
kering tanaman kedelai yang dihasilkan
oleh system olah tanah sebanyak tiga kali
dengan system olah tanah dua kali yaitu
sebesar 1.87 gram dan 3,24 gram untuk
system olah tanah satu kali. Perlakuan
pengolahan tanah dapat menaikkan berat
96
Bobot 100 Biji
(gr)
100 biji kering pada tanaman kedelai. Hal
ini diduga peranan pengolahan tanah
sebanyak tiga kali cenderung lebih
mempengaruhi berat 100 biji selain faktor
genetik tanaman itu sendiri. Menurut
Situmpul dan Guritno (1995), menyatakan
bahwa berat 100 biji merupakan salah
satu parameter pengamatan yang erat
hubungannya dengan produksi yang
dicapai. Bila berat 100 biji tinggi maka
semakin banyak pula hasil yang akan
diperoleh. Namun semua itu sebagian
masih dipengaruhi oleh sistem budidaya,
genotip dan varietas tanaman itu sendiri.
Salah satu faktor yang menentukan
kualitas bahan tanaman seperti biji adalah
jumlah substrat seperti karbohidrat yang
tersedia
bagi
metabolisme
yang
mendukung pertumbuhan awal tanaman.
Hal ini menjadikan ukuran atau bobot biji
sering digunakan sebagai tolak ukur untuk
mendapatkan
bahan
tanam
yang
seragam. Berat 100 biji merupakan salah
satu parameter pengamatan yang erat
hubungannya dengan produksi yang
dicapai. Bila berat 100 biji tinggi maka
semakin banyak pula hasil yang akan
diperoleh.
Hapsoh
et
al.
(2005),
melaporkan
cekaman
kekeringan
mengurangi berat kering biji oleh karena
ukuran biji dan jumlah biji berkurang.
Penurunan ukuran dan jumlah biji tersebut
berhubungan dengan penurunan cabang
produktif. Selanjutnya menurut Mimbar
(1991), jumlah dan ukuran biji maksimal
ditentukan oleh faktor genetik serta kondisi
yang dialami selama pengisian biji. Pada
saat pengisian polong, maka polong akan
menjadi daerah penyaluran asimilasi.
Sebagian besar asimilasi akan digunakan
untuk meningkatkan bobot biji.
Hasil uji BNT0.05 pada Tabel 2,
menunjukan bahwa pengolahan tanah
sebanyak tiga menghasilkan berat segar
brangkasan yang lebih baik dan berbeda
nyata dengan pengolahan tanah sebanyak
dua kali serta berbeda sangat nyata
dengan system olah tanah satu kali.
Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan Berbagai sistim Olah Tanah
Perbedaan berat brangkasan segar
yang dihasilkan dari system olah tanah
tiga kali dengan sistem olah tanah duakali
adalah sebesar 95 gram dan 183 gram
dari system olah tanah satu kali.
Perbedaan berat segar brangkasan ini
sangat dipengaruhi oleh system olah
tanah yang digunakan. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Mahmud
et al (2002), bahwa perbedaan kondisi
tanah pada sistem olah tanah sempurna
dapat
mengakibatkan
perbedaan
ketersediaan air dan unsur hara yang
dapat
diserap
tanaman
sehingga
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman
kedelai.
Perkembangan akar akan berjalan dengan
baik jika ditunjang dengan struktur tanah
yang baik sehingga penyerapan air dan
unsur hara mampu memenuhi kebutuhan
tanaman untuk proses pertumbuhan. Berat
segar brangkasan merupakan peubah
yang penting untuk mengetahui akumulasi
biomassa serta imbangan fotosintesis
pada masing-masing organ tanaman.
Dwidjoseputro (1994), berpendapat
bahwa pertumbuhan tanaman ditunjukkan
oleh bertambahnya ukuran dan berat
brangkasan yang dicerminkan dengan
bertambahnya protoplasma yang terjadi
karena
bertambahnya
ukuran
sel.
Sedangkan menurut Suwardjono dan
Dariah (1995) yaitu bahwa struktur tanah
yang
baik
menjadikan
perakaran
berkembang dengan baik sehingga
semakin luas bidang serapan terhadap
unsur
hara.
Kelancaran
proses
penyerapan unsur hara oleh tanaman
terutama difusi tergantung dari persediaan
air tanah yang berhubungan dengan
kapasitas menahan air oleh tanah.
Komponen-komponen tersebut mampu
memacu proses fotosintesis secara
optimal sehingga dapat mempengaruhi
berat segar tanaman. Mimbar (1991),
menyatakan bahwa kelancaran proses
penyerapan unsur hara oleh tanaman
terutama difusi tergantung dari persediaan
air tanah yang berhubungan erat dengan
kapasitas menahan air oleh tanah, seluruh
komponen tersebut mampu memacu
proses
fotosintesis
secara
optimal.
Situmpul
dan
Guritno
(1995),
mengemukakan bahwa jumlah dan ukuran
tajuk
akan
mempengaruhi
berat
brangkasan. Semakin banyak jumlah daun
dan semakin tinggi tanaman, maka berat
segar brangkasan akan semakin besar.
Berat segar brangkasan juga dipengaruhi
pengambilan
air
oleh
tanaman.
Selanjutnya menurut Salisbury dan Ross
(1995),
mengatakan
bahwa
untuk
mengukur produktivitas tanaman akan
lebih relevan menggunakan berat bagian
tanaman sebagai ukuran pertumbuhan.
Pengerjaan
tanah
untuk
mendapatkan keadaan olah tanah yang
baik mempunyai tujuan, memberantas
gulma, memasukkan dan mencampurkan
sisa tanaman kedalam tanah dan
menggemburkan tanah sehingga terdapat
keadaan olah yang diperlukan akar dan
akhirnya akan meningkatkan peredaran
udara, infiltrasi air, pertumbuhan akar dan
pengambilan unsur hara oleh akar.
Menurut Annisa dkk (2004), lahan kering
di Indonesia didominasi oleh jenis tanah
Podsolik yang dicirikan oleh kemasaman
tanah yang tinggi, kesuburan tanah yang
rendah dan kahat unsur hara N, P, K dan
Ca serta kandungan bahan organiknya
rendah sehingga seringkali lahan kering
dikategorikan sebagai lahan marginal.
Oleh sebab itu dalam pengelolaannya
diupayakan
tatacara
yang
dapat
meningkatkan produktivitas lahan tetapi
tetap memperhatikan konservasinya.
Pengolahan
tanah
menjadikan
kondisi
tanah
yang
cocok
untuk
pertumbuhan tanaman, sehingga pada
dasarnya kegiatan tujuan pengolahan
tanah yaitu untuk menyiapkan tempat
pesemaian (seed bed), memberantas
gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk
penetrasi akar, infiltrasi air dan peredaran
atau aerasi dan atau menyiapkan tanah
untuk irigasi permukaan.
Hal ini disebabkan karena dengan
mengolah lahan secara sempurna akan
menyebabkan media tumbuh tanaman
menjadi lebih baik karena tanah menjadi
gembur akibat aerase dan draenase
semakin baik serta lahan akan terbebas
dari gulma sehingga tanaman terbebas
dari persaingan. Pengolahan tanah
berpengaruh terhadap bahan organik
karena pada saat pengolahan tanah akan
terjadi pembenaman rumput kedalam
tanah, sehingga tanah yang diolah akan
bertambah bahan organiknya yang
akhirnya tanah akan mengikat air lebih
banyak. Menurut Sutanto (2002), tanah
yang cukup mengandung bahan organik
akan mampu mengikat air air untuk
dimanfaatkan tanaman. Olah tanah
intensif adalah suatu tindakan mekanik
dalam mempersiapkan media tumbuh
yang sesuai bagi perkecambahan dan
pertumbuhan tanaman. Tujuan utamanya
yaitu menyiapkan tempat pesemaian,
memberantas gulma, memperbaiki kondisi
tanah untuk penetrasi akar, infiltrasi air
97
Zainuddin O.
dan peredaran udara (aerasi) dan
menyiapkan
tanah
untuk
irigasi
permukaan.
KESIMPULAN
1. Perlakuan sistem olah tanah yang
terbaik dalam meningkatkan tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah cabang
produktif, jumlah polong, bobot 100 biji
kering dan berat segar brangkasan
tanaman
kedelai
adalah
sistem
pengolahan tanah sebanyak 3 kali.
2. Berdasarkan hasil uji, sistem olah
tanah sebanyak 3 kali menunjukan
hasil yang berbeda nyata sampai
berbeda sangat nyata dengan sistem
pengolahan tanah sebanyak 2 kali dan
sistem olah tanah sebanyak 1 kali
untuk semua peubah pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2000. Budidaya Dengan
Pemupukan
Yang
Efektif
dan
Pengoptimalan Peran Bintil Akar
Kedelai. Penerbit. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Annisa, Y.W., A. Jumberi, A. Haris dan
R.S. Simatupang. 2004. Pengaruh
Pemberian Pupuk Organik Terhadap
Fototoksitas Al Pada Tanah Masam.
J. Tanah Tropika IX (18): p109-115.
Dwidjoseputro.
1994.
Pengetahuan
Fisiologi
Tumbuhan.
Gramedia.
Jakarta. p232.
Foth, H.D. 1984. Foundamental of Soil
Science. Gadjah Mada University.
Yogyakarta.
Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L.
Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya (terjemahan). Universitas
Indonesia Press. Jakarta. 428 hal.
Hapsoh, S. Yahya, B.S. Purwoko, dan
A.S. Hanafiah, 2005. Hasil Beberapa
Genotip Kedelai Yang Diinokulasi
MVA
Pada
Berbagai
Tingkat
Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/1
23456789/19924/1/HAPSOH.PDF.
Diunduh tanggal 22 mei 2011.
Mimbar, S.M. 1991. Pengaruh Kerapatan
Terhadap Keguguran Organ-Organ
Reproduksi Retensi Polong Dan Hasil
Kedelai. (Skripsi) Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. p59.
Ma’sumah. 2002. Pengaruh Macam Media
Tanam Dan Konsentrasi Pupuk
Organik Cair Terhadap Pertumbuhan
98
Dan Hasil Buah Tanaman Tomat
(Lycopersicum
esculentum
Mill.)
Secara
Hidroponik.
(Skripsi).
Fakultas Pertanian UNS Surakarta.
Mahmud, A., B. Guritno dan Sudiarso.
2002. Pengaruh Pupuk Organik
Kascing Dan Tingkat Air Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman
Kedelai
(Glycine
max
L.).
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
3203155164.pdf. Diunduh tanggal 24
mei 2011.
Mimbar, S.M. 1991. Pengaruh Kerapatan
Terhadap Keguguran Organ-Organ
Reproduksi Retensi Polong Dan Hasil
Kedelai. (Skripsi) Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Malang. p59.
Nurjen, M., Sudiarso dan A. Nugroho.
2000. Peranan Pupuk Kotoran Ayam
Dan Pupuk N (urea) Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai
http://ejournal.unud.ac.id/287%29%2
0soca-mewa%20
komoditas%20
kacang2 an.pdf. Diunduh tanggal 22
mei 2011
Panggabean, R. 2007. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Kedelai.
http://www.litbang.deptan.go.id/speci
al/publikasi/doc_tanaman
pangan/
kedelai/kedelai-bagian-b.pdf.Diunduh
22 mei 2011
Rafiuddin, Rusnadi Padjung dan Marten
Tandi, 2006. Efek Sistem Olah Tanah
Dan Super Mikro Hayati Terhadap
Pertumbuhan Dan Produksi Jagung.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/
5306239246.pdf.
Rukmi, 2009. Pengaruh Pemupukan
Kalium
Dan
Fosfat
Terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Kedelai.
http://www.umk.ac.id/jurnal/jurnal/201
0/sains%20juni%202010/ Pengaruh
%20PEMUPUKAN%20KALIUM%20
DAN%20FOSFAT.pdf. Diunduh 24
mei 2011.
Salisbury, F.B., dan C.W. Ross. 1995.
Fisiologi
Tumbuhan
Jilid
3
(terjemahan).
Institut
Teknologi
Bandung Press. Bandung. p343..
Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995.
Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. p412.
Suwardjo, H dan A. Dariah. 1995. Teknik
Olah Tanah Konservasi Untuk
Menunjang
Pengembangan
Pertanian Lahan
Kering
Yang
Berkelanjutan. Prosiding Seminar
Nasional V : 8 – 13. Bandar
Lampung.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Stabilitas Hasil Galur Kedelai Toleran Cekaman Kekeringan
Suhartina, Purwantoro, Novita Nugrahaeni, dan Abdullah Taufiq
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Jl. Raya Kendalpayak km 8, Kotak Pos 66 Malang 65101
Email: [email protected]
Naskah diterima 26 Desember 2012 dan disetujui diterbitkan 18 Februari 2014
ABSTRACT. Yield Stability of Drought Stress Tolerance
Soybean Lines. Soybean in Indonesia mostly is planted on the
lowland during dry season. During the season, soybean crops face
drought stress at generative phase, that reduces grain yield. Planting
of drought tolerance variety is an alternative means to overcome
this problem. The objective of this research was to evaluate the
adaptability and yield stability of soybean lines tolerant to drought
stress. Twelve soybean lines and two check varieties (Wilis and
Tidar) were evaluated at eight locations during dry season of 2009
and 2010, planted two times in each location. The treatments were
laid out in a randomized complete block design with four replications.
These sites were Mojokerto, Banyuwangi, Pasuruan, and Jombang
(East Java), Bantul and Sleman (Yogyakarta), Mataram and Lombok
Barat (NTB). No irrigation was added during reproductive phase of
the crop. Soil moisture content at 0-20 cm soil layer during the
generative phase was equivalent to pF value of 3.0-4.2. Analysis of
variance over locations and planting seasons showed that there
was significant interaction between genotypes and environments.
Among the tested-lines, DV/2984-330 was the only line that showed
average stability with high grain yield, averaging of 1.95 t/ha out of
its yield potential of 2.83 t/ha. This line showed good adaptability
over locations with water shortage (20-30% field capacity) during
generative phase. Grain yield of this promising line was 14% higher
compared to that of Tidar and 16% higher to that of Wilis. This line
is prospective to be released as new variety, possessing drought
stress during generative phase.
Keywords: Soybean, drought stress, stability, promising line.
ABSTRAK. Kedelai umumnya ditanam di lahan sawah pada musim
kemarau dalam pola tanam padi-padi-kedelai atau padi-kedelaikedelai. Dengan pola tanam tersebut, tanaman kedelai tercekam
kekeringan pada sebagian atau selama fase generatif yang
menyebabkan rendahnya hasil. Salah satu alternatif untuk mengatasi
masalah tersebut adalah menanam varietas toleran kekeringan.
Tujuan penelitian adalah menilai keragaan dan stabilitas hasil galur
harapan kedelai toleran cekaman kekeringan selama fase
reproduktif. Dua belas galur harapan kedelai toleran kekeringan
selama fase reproduktif dan dua varietas pembanding toleran
kekeringan (Wilis dan Tidar) diuji di delapan lokasi selama dua musim
tanam pada MK 2009-2010. Rancangan percobaan adalah acak
kelompok, diulang empat kali. Lokasi pengujian adalah Mojokerto,
Banyuwangi, Pasuruan, dan Jombang (Jawa Timur), Bantul dan
Sleman (DI Yogyakarta), Mataram dan Lombok Barat (NTB). Selama
fase reproduktif (fase pembentukan polong hingga masak fisiologis),
tanaman tidak diairi. Kandungan lengas tanah pada lapisan 0-20 cm
pada fase reproduktif setara dengan pF 3,0-4,2. Hasil analisis
gabungan menunjukkan interaksi genotipe dengan lingkungan. Di
antara galur yang diuji hanya DV/2984-330 yang stabil dan sekaligus
berdaya hasil tinggi (rata-rata 1,95 t/ha dan potensi hasil 2,83 t/ha).
Hal ini menunjukkan galur tersebut mampu beradaptasi dengan baik
pada semua lingkungan pada kondisi kekeringan selama fase
reproduktif dengan kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas
54
lapang. Galur tersebut mempunyai rata-rata hasil 14% lebih tinggi
dibanding varietas Tidar dan 16% lebih tinggi dibanding varietas
Wilis. Galur DV/2984-330 prospektif sebagai varietas unggul kedelai
toleran kekeringan selama fase reproduktif.
Kata kunci: Kedelai, toleran kekeringan, stabilitas, galur harapan.
D
i Indonesia, sekitar 60% areal kedelai diusahakan
pada lahan sawah pada musim kemarau (MK) II
mengikuti rotasi tanam padi-padi-kedelai, atau
pada MK I dalam pola padi-kedelai-kedelai (Subandi et
al. 2007). Tanaman kedelai pada MK I sering tercekam
kekeringan pada fase reproduktif, sedangkan pada MK II
seluruh fase pertumbuhan kedelai tercekam kekeringan.
Pada kondisi demikian, kedelai menghadapi risiko gagal
panen. Cekaman kekeringan pada tanaman kedelai akan
semakin meningkat pada kondisi perubahan iklim.
Fase reproduktif, terutama stadia pengisian polong,
merupakan periode kritis tanaman kedelai terhadap
cekaman kekeringan yang dapat menyebabkan
penurunan hasil lebih dari 40% (Suhartina et al. 2002).
Kebutuhan air tanaman kedelai, dengan umur panen
80-90 hari berkisar antara 360-405 mm, setara dengan
curah hujan 120-135 mm per bulan (Sumarno dan Ghozi
2007). Jumlah air yang dibutuhkan dipengaruhi oleh
kemampuan tanah menyimpan air, besar penguapan,
dan kedalaman lapisan olah tanah. Penyerapan air
terbanyak oleh tanaman kedelai terjadi pada fase
reproduktif (R1 hingga R6, atau dari sejak timbul bunga
pertama hingga polong mengisi penuh), bersamaan
dengan tanaman telah berkembang penuh (Van Doren
and Reicosky 1987 dalam Sumarno dan Ghozi 2007).
Apabila kelembaban tanah tidak mencukupi kebutuhan
tanaman untuk evapotranspirasi, air dalam sel-sel
tanaman akan terpakai untuk evapotranspirasi, yang
akan berdampak negatif terhadap pengisian biji dan
produktivitas. Fase tanaman kedelai yang kritis terhadap
kekurangan air berturut-turut adalah pada fase R3
sampai R5 (pembentukan dan pengisian polong)-fase
R1-R2 (mulai berbunga sampai selesai pembungaan)fase V1-V6 (vegetatif), dengan indeks kepekaan berturutturut 0,35; 0,24; 0,13; dan 0,12 (Van Doren and Reicosky
1987 dalam Sumarno dan Ghozi 2007).
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
Kekurangan air selama fase pembungaan berakibat
pada berkurangnya jumlah polong, jumlah biji per polong,
dan ukuran biji (Desclaux et al. 2000). Cekaman
kekeringan menghambat distribusi karbohidrat dari daun
ke polong sehingga jumlah dan ukuran biji menurun (Liu
et al. 2004). Cekaman kekeringan selama fase R3, R5 dan
R6 menurunkan hasil masing-masing 33%, 31%, dan 50%
(Dogan et al. 2007). Risiko penurunan hasil tersebut dapat
dikurangi melalui pendekatan manipulasi lingkungan dan
menanam varietas toleran kekeringan.
Hasil biji dan stabilitas hasil sebagai dasar penilaian
toleransi terhadap kekeringan. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa seleksi toleransi tanaman
terhadap kekeringan lebih efisien apabila dilakukan pada
periode reproduksi (Hura et al. 2007). Penurunan hasil
akibat kekeringan pada stadia generatif beragam,
bergantung pada varietas dan tingkat cekaman. Cekaman
kekeringan pada kondisi 50% air tersedia menurunkan
hasil varietas Cikuray, Panderman, Burangrang, Tidar, dan
Wilis masing-masing sebesar 62,6%, 52,8%, 41,7%, 64,0%,
dan 47,6% (Suhartina 2007). Cekaman kekeringan
dengan cara pengairan tanaman setiap 14 hari sekali
menurunkan hasil varietas Tidar, Pangrango, Krakatau,
Burangrang, dan Panderman masing-masing 28,8%,
33,9%, 28,9%, 13,9%, dan 50,7% dibandingkan dengan
pengairan optimal (Hamim et al. 2008).
Stabilitas diartikan sebagai ragam hasil di suatu lokasi
sepanjang waktu, sedangkan adaptasi merupakan ragam
hasil lintas lokasi sepanjang waktu (Evenson et al. 1978).
Mekanisme stabilitas dikelompokkan ke dalam empat
hal, yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen
hasil, toleransi terhadap deraan (stress tolerance), dan
daya pemulihan yang cepat terhadap penderaan. Dalam
kaitan ini stabilitas diartikan sebagai kemampuan galur
untuk menghindari perubahan hasil yang besar di
berbagai lingkungan. Dengan demikian, hasil pengujian
di banyak lokasi dapat digunakan sebagai patokan
untuk menilai kestabilan dan produktivitas genotipe
kedelai toleran kekeringan, sehingga varietas unggul
yang dilepas dapat diperuntukkan bagi lingkungan
produksi yang terwakili oleh lokasi uji adaptasi.
Fenomena interaksi genotipe x lingkungan (G x L)
umum terjadi pada tanaman semusim, termasuk kedelai.
Fenomena tersebut dapat digunakan untuk menilai daya
adaptasi suatu galur, beradaptasi luas atau spesifik
lokasi/ekologi (Baihaki dan Wicaksono 2007). Interaksi
G x L yang nyata mengisyaratkan perlunya penilaian
stabilitas hasil galur-galur yang diuji dan menilai tanggap
galur terhadap lingkungan (adaptabilitas).
Kasno dan Jusuf (1994) melaporkan bahwa
beberapa aksesi plasma nutfah kedelai (di antaranya MLG
2984) di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian (Balitkabi) diketahui toleran terhadap
kekeringan dapat digunakan sebagai sumber gen dalam
pengembangan varietas kedelai toleran kekeringan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
stabilitas hasil galur harapan kedelai toleran kekeringan
selama fase reproduktif.
BAHAN DAN METODE
Uji adaptasi 12 galur kedelai dilakukan di delapan sentra
produksi kedelai (Tabel 1). Pada setiap lokasi dilakukan
penanaman pada MK I dan MK II tahun 2009-2010. Galur
yang diuji adalah DV/2984-330, ARG/GCP-335, ARG/GCP-
Tabel 1. Deskripsi lokasi uji adaptasi galur kedelai toleran kekeringan, tahun 2009-2010.
Kode
Lokasi
Musim
tanam
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
L8
L9
L 10
L 11
L 12
L 13
L 14
L 15
L 16
Peterongan, Bangsal, Mojokerto, Jatim
Sidomulyo, Bangsal, Mojokerto, Jatim
Blambangan, Muncar, Banyuwangi, Jatim
Tapanrejo, Muncar, Banyuwangi, Jatim
Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, DIY
Mulyodadi, Bambanglipuro, Bantul, DIY
Jogotirto, Brebah, Sleman, DIY
Sumberharjo, Prambanan, Sleman, DIY
Sesela, Gunungsari, Lombok Barat, NTB
Sesela, Gunungsari, Lombok Barat, NTB
Pejarakan karya, Ampenan, Mataram, NTB
Rembiga, Selaparang, Mataram, NTB
Kademungan, Wonorejo, Pasuruan, Jatim
Kademungan, Wonorejo, Pasuruan, Jatim
Kedunglho, Mojowarno, Jombang, Jatim
Kedunglho, Mojowarno, Jombang, Jatim
MK I 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2010
MK II 2009
MK II 2010
1)
Tinggi tempat
(m dpl)
72
72
168
168
76
76
127
127
93
93
18
18
124
124
44
44
Jenis tanah
Vertisol Kelabu Tua
Vertisol Kelabu Tua
Ultisol
Ultisol
Inceptisol
Inceptisol
Inceptisol Kelabu
Ultisol
Inceptisol Coklat-kuning
Inceptisol Coklat-kuning
Inceptisol
Inceptisol
Alfisol Coklat
Alfisol Coklat
Alfisol Coklat
Alfisol Coklat
Tipe
iklim1)
C3
C3
D2
D2
B
B
B
B
C
C
C
C
E
E
D
D
Tanggal
tanam
22-3-2009
26-8-2009
31-3-2009
17-7-2009
03-4-2009
13-7-2009
20-6-2009
20-6-2009
29-3-2009
18-7-2009
29-6-2009
19-7-2009
09-7-2009
13-7-2010
26-7-2009
29-7-2010
Klasifikasi Iklim Oldeman (1975); MK I = musim kemarau I, MK II = musim kemarau II.
55
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
334, SU-17-1011, LK/3474-407, LK/3474-403, LK/3474404, SU-17-1014, SU-17-1012, MLG 3072-994, MLG 2805962, MLG 3474-991, dan dua varietas pembanding toleran
kekeringan (Tidar dan Wilis). Rancangan percobaan
adalah acak kelompok, dengan empat ulangan. Setiap
genotipe ditanam pada petak berukuran 3,2 m x 4,5 m
dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua benih per
lubang. Tanaman dipupuk setara dengan 100 kg urea +
75 kg SP36 + 75 kg KCl/ha, diberikan secara sebar
merata pada saat tanam. Kondisi kelembaban tanah
sejak tanam hingga 50% berbunga diupayakan optimal
dengan cara pengairan dan selama fase reproduktif
tanaman tidak diairi.
Pengamatan meliputi (1) kadar lengas tanah pada
pF 0, 2, 2,5, 3, dan 4,2 dengan metode suction and
pressure plate, 2) kadar lengas tanah lapisan 0-20 cm
mulai saat tanaman berbunga hingga umur 70 hari
dengan interval 10 hari dengan metode gravimetri; (3)
tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku subur,
jumlah polong isi, umur berbunga, umur masak, bobot
100 biji, dan hasil biji. Pengendalian gulma dilakukan
pada umur 2 dan 4 minggu setelah tanam (MST).
Pengendalian hama dilakukan secara intensif dengan
insektisida berbahan aktif prenofos, lamda sihalotrin,
deltametrin, imidalkloprid, atau metomil secara
bergantian setiap 7-10 hari, disesuaikan dengan kondisi
hama di lapang. Pengendalian penyakit dilakukan pada
umur 50 dan 60 hari menggunakan fungisida berbahan
aktif dikofol dan benomil.
Analisis ragam gabungan dilakukan untuk
mengetahui pengaruh interaksi genotipe x lingkungan.
Uji homogenitas ragam menggunakan uji Barlett
dilakukan sebelum analisis gabungan. Analisis stabilitas
dan adaptabilitas hasil mengikuti metode Eberhart dan
Russel (1966). Model linear yang digunakan dalam
analisis stabilitas adalah:
Yij = μi + biIj + dij , i = 1,2,...........,14; j = 1,2,......,16
Yij = rata-rata hasil galur ke-i pada lokasi uji ke-j
μi = rata-rata galur ke-i untuk semua lokasi
bi = koefisien regresi sebagai respon hasil galur ke-i
terhadap indeks lingkungan
Ij = indeks lokasi ke-j dengan besaran sebagai
berikut:
Ij = Σ Yj/g - ΣΣ Yij/gl
dij = simpangan dari regresi galur ke-i pada lokasi ke-j
Menurut Eberhart dan Russell (1966), suatu
genotipe dinyatakan stabil apabila koefisien regresinya
tidak berbeda dengan satu (bi=1) dan simpangan regresi
tidak berbeda dengan nol (s2d=0).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Lengas Tanah
Kandungan lengas tanah pada pF yang sama di berbagai
lokasi beragam (Tabel 2). Hal ini kemungkinan
Tabel 2. Kandungan lengas tanah pada berbagai nilai pF, air tersedia, dan kandungan lengas tanah pada berbagai umur tanaman pada
lapisan 0-20 cm di 14 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010.
Lokasi
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
L8
L9
L10
L11
L12
L13
L15
1)
2)
Mojokerto-1
Mojokerto-2
Banyuwangi-1
Banyuwangi-2
Bantul-1
Bantul-2
Sleman-1
Sleman-2
Lombok Barat-1
Lombok Barat-2
Mataram-1
Mataram-2
Pasuruan-1
Jombang-1
0,0
2,0
2,5
3,0
Kadar lengas tanah
Potensi aktual (%) pada saat
air
tanaman berumur
tersedia
(hari)
(%) 1)
4,2
40
50
60
70
48
55
58
55
45
39
44
40
55
55
59
55
54
47
42
51
56
54
41
35
40
33
46
50
51
52
52
43
39
38
55
44
37
35
34
28
40
50
46
49
50
37
26
27
34
32
20
23
26
14
19
29
23
26
38
31
19
16
27
25
10
16
16
11
14
21
19
21
30
24
Musim
tanam
MK I
MK II
MK I
MK II
MK I
MK II
MK II
MK II
MK I
MK II
MK II
MK II
MK II
MK II
Kadar lengas
tanah (%)
pada pF
20
22
28
19
27
19
18
17
26
29
27
28
20
13
43
35
42
24
21
19
23
19
28
32
32
28
40
24
27
25
41
29
19
16
20
20
28
23
32
28
34
21
26
24
40
29
17
13
19
22
21
17
31
28
30
15
24
19
35
33
16
12
15
13
16
23
31
31
21
15
dihitung dari Kadar lengas tanah pada pF 2,5 dikurangi Kadar lengas tanah pada pF 4,2
dihitung dari Kadar lengas tanah aktual dikurangi Kadar lengas tanah pada pF 4,2
56
Air tersedia
aktual (%)2)
pada umur
(hari)
Persentase air tersedia
aktual terhadap air
tersedia potensial (%)
pada umur (hari)
40
50
60
70
40
50
60
70
24
19
15
-1
11
3
7
8
14
11
13
7
10
0
8
9
14
4
9
0
4
9
14
2
13
7
4
-3
7
8
13
4
7
-3
3
11
7
-4
12
7
0
-9
5
3
8
8
6
-4
-2
2
2
2
12
10
-9
-9
121
95
73
-3
57
17
34
40
71
55
64
35
50
0
41
46
68
18
47
-2
21
46
68
11
64
35
18
-16
35
40
63
22
36
-13
13
54
37
-21
62
35
0
-44
24
14
41
41
30
-21
-8
8
9
9
60
48
-47
-44
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
berhubungan dengan keragaman tekstur, struktur, dan
bahan organik tanah.
Kadar lengas tanah mulai fase berbunga hingga
panen menunjukkan penurunan, kecuali di
Banyuwangi-2 dan Mataram-2 pada MK II karena terjadi
rembesan air dari lahan di sekitarnya (Tabel 2). Kadar
lengas tanah aktual sejak tanaman berumur 50 hari
(mulai pengisian polong) hingga umur 70 hari setara
dengan pF 3,0 dan bahkan mendekati pF 4,2 (Tabel 2).
Air tersedia aktual selama periode tersebut adalah <50%
dari air tersedia potensial dan bahkan 0% (ditunjukkan
oleh angka negatif pada Tabel 2), kecuali di Banyuwangi2 dan Mataram-2 akibat rembesan air dari lahan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa sejak fase
pengisian polong hingga menjelang pemasakan
polong, tanaman mengalami cekaman kekeringan.
Kandungan lengas tanah aktual pada umur 40 hari
hingga 70 hari berkorelasi positif dengan hasil biji (Tabel
3). Artinya, hasil biji kedelai meningkat dengan
meningkatnya kandungan lengas tanah atau penurunan
kandungan lengas tanah akan diikuti oleh penurunan
hasil biji kedelai.
Hasil Biji dan Analisis Stabilitas
Sidik ragam untuk karakter hasil biji kering pada masingmasing lokasi menunjukkan adanya keragaman
produktivitas galur-galur yang diuji di semua lokasi
Tabel 3. Kadar lengas tanah aktual lapisan 0-20 cm pada umur
tanaman kedelai 40 hari hingga 70 hari dan rata-rata hasil
biji di 14 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010.
Lokasi
Mojokerto-1
Mojokerto-2
Banyuwangi-1
Banyuwangi-2
Bantul-1
Bantul-2
Sleman-1
Sleman-2
Lombok Barat-1
Lombok Barat-2
Mataram-1
Mataram-2
Pasuruan-1
Jombang-1
Korelasi rata-rata
hasil dengan
Kadar lengas
tanah aktual
Kadar lengas tanah aktual (%)
pada saat tanaman berumur (hari)
40
50
60
70
43
35
42
24
21
19
23
19
28
32
32
28
40
24
27
25
41
29
19
16
20
20
28
23
32
28
34
21
26
24
40
29
17
13
19
22
21
17
31
28
30
15
24
19
35
33
16
12
15
13
16
23
31
31
21
15
0,10
0,52
0,59
0,78
Rata-rata
hasil biji
(t/ha)
1,48
0,99
1,86
2,24
1,50
1,56
1,33
1,17
1,51
1,34
1,98
2,03
1,48
0,93
pengujian, kecuali di Pasuruan-2 (Tabel 4). Hasil biji galur
DV/2984-330 lebih tinggi dari Tidar dan Wilis di enam
lokasi dan setara dengan Tidar dan Wilis di 10 lokasi.
Galur DV/2984-330 memberikan hasil biji tertinggi di
sembilan lokasi pengujian (Tabel 5).
Rata-rata hasil biji dari masing-masing galur di 16
lokasi pengujian berkisar antara 1,38-1,95 t/ha. Galur DV/
2984-330 memberikan hasil biji tertinggi (1,95 t/ha), yang
tidak berbeda nyata dibanding varietas Tidar (1,71 t/ha)
dan berbeda nyata dibanding varietas Wilis (1,68 t/ha).
Terdapat empat galur yang memberikan hasil biji setara
dengan varietas Tidar dan Wilis, yaitu ARG/GCP-335 (1,66
t/ha), SU-17-1011 (1,76 t/ha), SU-17-1014 (1,75 t/ha), dan
SU-17-1012 (1,66 t/ha). Galur DV/2984-330 memberikan
hasil biji 14% dan 16% lebih tinggi dibandingkan dengan
varietas Tidar dan Wilis (Tabel 7).
Sidik ragam gabungan dari 14 genotipe pada 16
lokasi menunjukkan interaksi nyata antara genotipe
dengan lingkungan untuk peubah hasil biji (Tabel 6). Hal
tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan
tanggap antargenotipe yang diuji terhadap lingkungan.
Meskipun lingkungan yang digunakan diberi perlakuan
cekaman yang sama (cekaman kekeringan selama fase
reproduktif), tetapi mempunyai keragaman jenis tanah,
ketinggian tempat, dan tipe iklim.
Nilai koefisien regresi berkisar antara 0,71-1,29
dengan rentang simpangan regresi 0,000-0,012 (Tabel
7). Sebelas dari 14 genotipe yang diuji menunjukkan
stabilitas rata-rata, yaitu genotipe dengan koefisien
Tabel 4. Sidik ragam karakter hasil biji genotipe kedelai di lokasi
pengujian pada MK I dan MK II tahun 2009-2010.
Lokasi 1)
Musim
Mojokerto-1
Mojokerto-2
Banyuwangi-1
Banyuwangi-2
Bantul-1
Bantul-2
Sleman-1
Sleman-2
Lombok Barat-1
Lombok Barat-2
Mataram-1
Mataram-2
Pasuruan-1
Pasuruan-2
Jombang-1
Jombang-2
MK I 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK I 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2009
MK II 2010
MK II 2009
MK II 2010
1)
2)
Kuadrat tengah
hasil biji2)
0,175
0,043
0,125
0,657
0,186
0,217
0,043
0,401
0,053
0,018
0,277
0,524
0,106
0,016
0,133
0,211
**
**
**
**
**
**
**
**
**
*
**
**
**
tn
**
**
Deskripsi lokasi lihat pada Tabel 1.
* dan ** berturut-turut nyata pada p = 0,05 dan p=0,01;
tn = tidak nyata
57
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
Tabel 5. Hasil biji 14 genotipe kedelai toleran kekeringan di delapan lokasi, MK I dan MK II tahun 2009-2010.
Genotipe
Hasil biji (t/ha)
L1
DV/2984-330
ARG/GCP-335
ARG/GCP-334
SU-17-1011
LK/3474-407
LK/3474-403
LK/3474-404
SU-17-1014
SU-17-1012
MLG 3072-994
MLG 2805-962
MLG 3474-991
Tidar
Wilis
1,78
1,47
1,18
1,92
1,31
1,39
1,45
1,62
1,65
1,36
1,53
1,30
1,51
1,23
Rata-rata
KK(%)
Ij
1,48
14,8
-0,04
Genotipe
L3
L2 1)
ab
bcdef
f
a
def
cdef
cdef
abcd
abcd
cdef
bcde
ef
bcde
ef
1,38
1,32
0,76
0,96
1,18
0,97
0,97
1,08
1,22
0,81
0,86
0,71
1,14
0,87
a
ab
f
cdef
abc
cdef
cdef
bcde
abc
ef
ef
f
abcd
def
1,02
9,05
-0,25
2,27
1,83
1,92
1,89
1,64
1,72
1,64
1,91
1,92
1,91
1,88
1,77
1,66
2,10
L4
a
cde
bc
bcd
e
cde
e
bc
bc
bc
bcde
cde
de
ab
1,86
9,1
0,12
L5
2,61
2,13
1,08
2,63
2,09
1,99
2,12
2,54
2,59
2,38
2,26
1,99
2,39
2,50
ab
ef
g
a
ef
f
ef
abc
abc
cd
de
f
bcd
abc
2,24
6,9
0,24
1,72
1,64
1,28
1,67
1,63
1,38
1,62
1,58
1,51
1,46
1,15
1,38
1,57
1,61
L6
a
ab
de
ab
ab
cd
ab
abc
bc
bcd
e
cd
abc
ab
1,51
9,51
-0,02
1,82
1,58
1,33
1,78
1,21
1,33
1,22
1,83
1,73
1,69
1,35
1,45
1,72
1,78
L7 1)
a
bc
de
ab
e
de
e
a
ab
ab
de
cd
ab
ab
1,60
1,46
0,99
1,60
1,01
1,19
1,09
1,67
1,39
1,42
1,34
1,26
1,71
1,46
L8
ab
abc
e
ab
e
cde
de
ab
abcd
abcd
bcd
cde
a
abc
1,67
1,41
1,09
1,40
0,78
0,75
0,82
1,49
1,44
1,10
1,02
0,86
1,54
1,43
a
b
c
b
de
e
de
ab
ab
c
cd
cde
ab
ab
1,56
9,26
0,00
1,37
8,67
-0,06
1,20
14,7
-0,16
L14 1)
L15
L16
1,26
1,18
1,13
1,05
0,90
0,88
0,77
0,89
0,83
0,85
0,79
0,60
1,04
0,80
2,32 a
1,99 ab
1,71 b
1,83 ab
1,99 ab
2,12 ab
1,94 ab
2,28 a
2,05 ab
2,22 a
1,97 ab
2,11 ab
2,01 ab
2,22 a
2,39
2,22
1,89
1,99
1,76
1,54
2,00
1,98
1,89
1,61
1,99
1,75
1,93
2,17
2,05
12,5
0,18
1,94
14,1
0,35
Hasil biji (t/ha)
L9 1)
DV/2984-330
ARG/GCP-335
ARG/GCP-334
SU-17-1011
LK/3474-407
LK/3474-403
LK/3474-404
SU-17-1014
SU-17-1012
MLG 3072-994
MLG 2805-962
MLG 3474-991
Tidar
Wilis
1,79
1,61
1,24
1,69
1,25
1,29
1,36
1,96
1,66
1,40
1,12
1,16
1,94
1,63
ab
abcd
de
abc
de
cde
cde
a
abc
bcde
e
e
a
abcd
Rata-rata
KK(%)
Ij
1,51
9,5
-0,03
L10 1)
L11
1,50
1,28
1,35
1,55
1,08
1,27
1,17
1,53
1,30
1,29
1,50
1,49
1,47
1,19
2,64
2,13
1,74
2,02
1,71
1,60
1,72
2,02
1,80
2,09
2,01
1,93
2,09
2,17
ab
abcd
abcd
a
d
bcd
d
ab
abcd
abcd
ab
ab
abc
cd
1,35
7,92
-0,09
L12
a
b
cd
bc
cd
d
cd
bc
bcd
bc
bc
bcd
bc
b
1,98
13,8
0,09
2,83
2,06
2,03
2,58
1,77
1,65
1,39
2,13
2,05
2,05
2,06
1,73
1,94
2,18
2,03
12,6
0,17
L13
a
bcd
bcd
a
cde
ef
f
bc
bcd
bcd
bcd
def
bcde
b
1,65
1,26
1,28
1,64
1,38
1,27
1,26
1,57
1,49
1,54
1,60
1,65
1,65
1,60
1,49
12,2
0,17
a
d
cd
a
bcd
d
d
ab
abcd
abc
ab
a
a
ab
a
ab
ab
bc
cde
de
e
cde
e
e
e
f
bcd
e
0,93
8,7
-0,29
a
ab
bcd
bc
cd
d
bc
bc
bcd
cd
bc
cd
bcd
ab
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%;
Deskripsi lokasi lihat pada Tabel 1; KK = Koefisien keragaman; Ij = indeks lingkungan; 1)analisis ragam dengan data ditransformasi √x
Tabel 6. Sidik ragam gabungan untuk hasil biji 14 genotipe kedelai
di 16 lokasi pengujian tahun 2009-2010.
Sumber Keragaman
Lokasi (L)
Ulangan | L
Genotipe (G)
GxL
Galat
Total
Koefisien keragaman (%)
db
Kuadrat tengah
F hitung
15
48
13
195
624
895
1,36604
0,02529
0,30950
0,02132
0,00877
64,07 **
14,52 **
2,43 **
6,97
db=derajat bebas; ** = nyata p=0,01; Data ditransformasi √x
58
regresi tidak berbeda dengan satu (b=1). Jika suatu
genotipe memiliki stabilitas rata-rata dan hasil rataratanya tinggi, maka genotipe tersebut mempunyai
adaptasi umum yang baik. Sebaliknya, genotipe yang
mempunyai stabilitas rata-rata diikuti oleh rata-rata hasil
biji rendah menunjukkan adaptasi buruk di semua
lingkungan pengujian (Eberhart and Russell 1966).
Dengan demikian hanya galur DV/2984-330 yang
mempunyai adaptasi umum yang baik karena
mempunyai koefisien regresi sama dengan 1,0 dan ratarata hasil biji tinggi (Tabel 5 dan 7). Galur tersebut mampu
beradaptasi pada semua lingkungan pengujian dengan
SUHARTINA ET AL.: GALUR KEDELAI TOLERAN KEKERINGAN
kondisi cekaman kekeringan selama fase reproduktif
pada kisaran air tersedia 20-30% dari kapasitas lapang
pada lapisan tanah 0-20 cm (Tabel 3). Hasil penelitian di
rumah kaca menunjukkan bahwa galur DV/2984-330
toleran terhadap kekeringan hingga kadar air 30% dari
kapasitas lapang, dan toleransi tersebut berkaitan
dengan perakaran yang banyak dan kemampuan
menyerap air yang tinggi (Taufiq et al. 2012).
Varietas pembanding Tidar menunjukkan stabilitas
di atas rata-rata, atau beradaptasi khusus di lingkungan
marginal, sedangkan varietas Wilis menunjukkan
stabilitas di bawah rata-rata yang berarti peka terhadap
perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus di
lingkungan produktif (Tabel 7).
Galur-galur harapan yang diuji mempunyai habitus
yang lebih rendah dibanding varietas Tidar dan Wilis.
Hanya galur LK/3474-407, LK/3474-403, dan LK/3474-404
yang memiliki tinggi tanaman yang setara dengan
varietas Wilis. Galur LK/3474-404 mempunyai jumlah
buku subur dan polong isi tertinggi, namun berumur
paling dalam (Tabel 8). Umur masak genotipe yang diuji
tergolong sedang, kecuali galur ARG/GCP-334 dan
varietas Tidar. Umur masak galur DV/2984-330 adalah
81 hari, lebih genjah dua hari dibanding varietas Wilis,
ukuran biji lebih besar dibanding varietas Tidar. Galur
DV/2984-330 memiliki warna biji kuning, sedangkan
varietas pembanding toleran kekeringan (Tidar)
berwarna biji kuning kehijauan.
Tabel 7. Rata-rata hasil biji, koefisien regresi, dan simpangan
regresi 14 genotipe kedelai, MK 2009-2010.
Genotipe
DV/2984-330
ARG/GCP-335
ARG/GCP-334
SU-17-1011
LK/3474-407
LK/3474-403
LK/3474-404
SU-17-1014
SU-17-1012
MLG 3072-994
MLG 2805-962
MLG 3474-991
Tidar
Wilis
Rata-rata
hasil
1,95
1,66
1,38
1,76
1,42
1,40
1,41
1,75
1,66
1,57
1,53
1,45
1,71
1,68
a
bc
d
ab
d
d
d
ab
bc
bcd
bcd
cd
ab
bc
Koefisien
regresi1)
1,07
0,80
0,71
1,06
0,96
0,93
0,91
1,02
1,00
1,17
1,14
1,14
0,79
1,29
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
*
Simpangan
regresi1)
0,002
0,001
0,012
0,009
0,002
0,002
0,005
0,000
0,001
0,000
0,001
0,003
0,001
0,002
tn
tn
**
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
KESIMPULAN
1. Galur DV/2984-330 mempunyai daya adaptasi
umum baik atau mampu beradaptasi pada semua
lingkungan pengujian.
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang
sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 5%;
1)
* dan ** = nyata pada p = 0,05 dan p = 0,01, tn = tidak nyata.
2. Galur DV/2984-330 prospektif dilepas sebagai
varietas unggul baru toleran kekeringan selama fase
Tabel 8. Keragaan agronomis dan warna biji 14 genotipe kedelai di 16 lokasi pengujian pada tahun 2009-2010.
Genotipe
Tinggi
tanaman
(cm)
Jumlah
cabang/
tanaman
Jumlah
buku/
tanaman
Jumlah
polong isi/
tanaman
Umur
berbunga
(hari)
Umur
masak
(hari)
Bobot
100 biji
(g)
DV/2984-330
ARG/GCP-335
ARG/GCP-334
SU-17-1011
LK/3474-407
LK/3474-403
LK/3474-404
SU-17-1014
SU-17-1012
MLG 3072-994
MLG 2805-962
MLG 3474-991
Tidar
Wilis
57 de
58 cde
48 i
56 efg
62 a
62 ab
60 bcd
55 efgh
53 h
53 gh
54 fgh
57 ef
58 cde
60 abc
3 bc
4a
3e
2 fg
3 bc
3 cd
3 abc
2 fg
2 fg
3 de
2f
2g
3 ab
3 cd
19 bc
19 ab
16 de
15 e
19 ab
19 ab
21 a
15 e
15 e
17 cd
15 e
14 e
20 a
18 bc
38 cd
36 de
33 e
40 bc
43 b
41 bc
44 b
41 bc
43 b
38 cd
34 e
29 f
50 a
42 b
35 h
34 i
34 j
37 d
39 b
39 a
39 a
38 c
38 b
36 f
36 g
37 e
36 gh
36 f
81 ef
81 fg
79 h
81 fg
85 a
85 a
84 b
80 g
81 ef
82 d
82 de
81 ef
78 i
83 c
10,7 de
11,7 b
12,2 a
8,6 h
9,9 fg
10,1 fg
9,9 g
8,4 h
8,4 h
10,7 de
11,0 cd
11,2 bc
6,8 i
10,4 ef
Rata-rata
BNT
57
2,7
3
0,3
17
1,6
40
3,5
37
0,3
82
0,8
10,0
0,5
Warna
biji1)
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
KH
KH
KH
K
Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan uji BNT pada taraf 1%.
1)
K = kuning, KH = kuning kehijauan
59
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 33 NO. 1 2014
reproduktif pada kisaran air tersedia 20-30% dari
kapasitas lapang, stabil, dan produktivitas tinggi.
3. Toleransi terhadap kekeringan berkaitan dengan
perakaran yang banyak dan kemampuan tanaman
menyerap air yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Kebun Percobaan dan teknisi KP Jambegede, KP
Kendalpayak, dan KP Genteng serta Arifin, SP, Ir. Ali
Sadikin, dan Ir. Johariah yang telah membantu
pelaksanaan percobaan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Baihaki dan Wicaksono. 2007. Interaksi genotipe x lingkungan,
adaptabilitas, dan stabilitas, hasil dalam pengembangan
tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16(1) : 1-8.
Hura, T., S. Grzesiak, K. Hura, E. Thiemt, K. Tokarz, and M. Wedzony.
2007. Physiologycal and biochemical tools useful in drought
tolerance detection in genotypes of winter Triticale:
Accumulation of ferulic acid correlates with drought
tolerance. Annals of Botany. 100(4):767-775.
Kasno, A. dan M. Jusuf. 1994. Evaluasi plasma nutfah kedelai untuk
daya adaptasi terhadap kekeringan. J. Ilmu Pertanian
Indonesia 4:12-15.
Liu, F., C.R. Jensen, and M.N. Anderson. 2004. Drought stress
effect on carbohydrate concentration in soybean leaves and
pods during early reproductive development: its implication
in altering pod set. Field Crops Research 86:1-13.
Oldeman, L.R. 1975. An Agro-climatic map of Java. Cont. Cent.
Res. Inst. Agric. No. 17. Bogor. 22 p.
Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastuti. 2007. Areal pertanaman
dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Hlm.104-129.
Dalam Sumarno et al. (penyunting). Kedelai: Teknik Produksi
dan pengembangan. Puslitbangtan, Bogor.
Suhartina. 2007. Evaluasi galur harapan kedelai hitam toleran
kekeringan dan berdaya hasil tinggi. p.153-161. Dalam D.
Harnowo et al. (penyunting). Prosiding Seminar Peningkatan
Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung
Kemandirian Pangan. Puslitbangtan, Bogor. 628 p.
Desclaux, D., T.T. Huynh, and P. Roumet. 2000. Identification of
soybean plant characteristics that indicate the timing of
drought stress. Crop Sci. 40:716-722.
Suhartina, Sri Kuntjiyati H., dan Tohari. 2002. Toleransi beberapa
galur F7 kedelai terhadap cekaman kekeringan pada fase
generatif. Prosiding Seminar Nasional: Teknologi Inovatif
Tanaman kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbang
Tanaman Pangan. p. 335-438.
Dogan, E., H. Kirnak, O. Copur. 2007. Deficit irrigations during
reproductive stages and CROPGRO-soybean simulations
under semi-arid climatic conditions. Field Crop Research
103:154-159.
Sumarno dan A.G. Manshuri. 2007. Persyaratan tumbuh dan
wilayah produksi kedelai di Indonesia. In. Kedelai. Teknik
Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman pangan. Bogor. p.74-103.
Eberhart, S.A. and W.A. Russell. 1966. Stability parameters for
comparing varieties. Crop Sci. 6 : 36-40.
Taufiq, Abdullah, Suhartina, dan N. Nugrahaeni. 2012. Evaluation
of promissing drought tolerant soybean lines to induced soil
moisture stress in green house. In. Variety development and
improvement of production technologies of the tropical
soybean. Progress Report of AFACI Project. Indonesian Agency
for Agricultural Research and Development, Ministr y of
Agriculture Republik of Indonesia. Belum dipublikasi.
Evenson, R.E., J.C. O’Tole, R.W. Herdt, W.R. Coffman, and H.E.
Kauffman. 1978. Risk and uncertainty as factors in crop
improvement research. IRRI 15, Manila, Philippines.
Hamim, Khairul Ashri, Miftahudin, dan Triadiati. 2008. Analisis
status air, prolin dan aktivitas enzim antioksidan beberapa
kedelai toleran dan peka kekeringan serta kedelai liar.
Agrivita 30(3):201-210.
60
Download