SKENARIO KONSTITUSI DAN UUD NRI 1945 PERTEMUAN KE

advertisement
SKENARIO KONSTITUSI DAN UUD NRI 1945
PERTEMUAN KE-4 DAN 5
Pertemuan ke-4
Capaian Pembelajaran :
Mahasiswa memiliki pemahaman tentang : (1) pengertian, hakikat, sifat, fungsi, dan tujuan
dibentuknya konstitusi ; (2) supremasi konstitusi.
Indikator :
1. Mampu menjabarkan tentang tentang pengertian, hakikat, sifat, fungsi, tujuan dan
supremasi konstitusi.
2. Mampu mengidentifikasi hakikat, sifat, fungsi, tujuan dan supremasi konstitusi yang
terkandung di dalam UUD NRI 1945.
Skenario :
1. Tutor memberikan pengantar materi tentang, sejarah, pengertian, hakikat, sifat, tujuan,
fungsi, dan supremasi konstitusi.
2. Dosen membagi kelompok berdasarkan jumlah topik yang telah dijelaskan.
3. Setiap kelompok memiliki ketua dan sekretaris untuk memimpin jalannya diskusi dan
mencatat hasil diskusinya.
4. Tugas setiap kelompok adalah mengidentifikasi hakikat, sifat, fungsi, tujuan, dan
supremasi konstitusi yang terdapat di dalam UUD NRI 1945.
5. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya
6. Tutor mengevaluasi hasil diskusi mahasiswa.
Pertemuan ke-5
Capaian Pembelajaran :
1. Mahasiswa memiliki pemahaman tentang : (a) sejarah dan dinamika UUD NRI
1945 ; (b) amandemen ; (c) UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum.
2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan perilaku konstitusional.
3. Mahasiswa mampu menganalisis dan mengevaluasi produk kebijakan atau produk hukum
yang bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Indikator :
1. Mampu menjelaskan sejarah dinamika UUD NRI 1945
2. Mampu mengklasifikasikan fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara yang
tercantum dalam UUD NRI 1945.
3. Mampu menelaah dan mengkritisi substansi produk kebijakan atau produk hukum yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Skenario :
1. Dosen membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok berdasarkan fase sejarah dan
dinamika UUD NRI 1945.
2. Setiap kelompok memiliki ketua dan sekretaris untuk memimpin jalannya diskusi dan
mencatat hasil diskusinya.
3. Tugas masing-masing kelompok mendiskusikan beberapa hal berikut :
a. Sejarah dan dinamika UUD NRI 1945 (sesuai dengan fase/topik yang telah disepakati
oleh masing-masing kelompok)
b. Membuat mind mapping amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai sejak tahun 1999
sampai tahun 2002, yang menggambarkan atau menjelaskan tentang substansi dan
rasionalisasi perubahan UUD NRI 1945.
c. Mencari dan menganalisis produk kebijakan atau produk hukum (peraturan perundangundangan) yang substansinya bertentangan dengan UUD NRI 1945.
4. Hasil diskusi dipresentasikan masing-masing kelompok dengan cara :
a. Story telling dengan beberapa aturan yang disepakati, misalnya penyaji materi tidak
boleh terjebak dengan hafalan, konsep bercerita seperti mendongeng,dsb.
b. Presentasi sketsa mind mapping yang telah dibuat, bisa melalui LCD proyektor atau
menggambar manual.
c. Diskusi hasil analisis dan tanya jawab antar peserta.
5. Tutor mengevaluasi hasil diskusi mahasiswa.
Media/Bahan Ajar :
1. Naskah UUD NRI 1945
2. Spidol/Pensil Warna
3. Kertas sketch
Bahan bacaan :
1. Arief Hidayat. 2006. Kebebasan Berserikat di Indonesia (Suatu Analisis Pengaruh
Perubahan Sistem Politik Terhadap Penafsiran Hukum). Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
2. Bagir Manan (Ed.Moh Fadli). 2012. Membedah UUD 1945. Malang : UB Press
3. C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta
: Rineka Cipta
4. Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Cetakan ke-6.
Jakarta : Gramedia Pustaka
5. Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum (Terjemahan) Introduction to the Problems of
Legal Theory. Bandung : Nusa Media
8. Harmaily Ibrahim & Moh. Kusnardi. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara UI & CV Sinar Bakti
9. Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi (Ed.). 2004. Memerdekakan Indonesia Kembali.
Yogyakarta : IRCiSoD
10. Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sinar
Grafika
________________ . 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT Raja
GrafindoPersada
11. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers
12. Suparlan Al Hakim. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia.
Malang : Madani
13. Suteki. 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta : Thafa Media
14. Tim Nasional Tutor Pendidikan Kewarganegaraan. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan.
Bandung : Alfabeta
Materi Ajar :
PENDAHULUAN
Bagi suatu negara, keberadaan konstitusi sangat diperlukan, konstitusi adalah bagian
yang inhern dari sistem ketatanegaraan bangsa-bangsa di dunia. Konstitusi bukan hanya
diperlukan untuk membatasi wewenang penguasa, tetapi juga untuk menjamin hak rakyat,
mengatur jalannya pemerintahan, mengatur organisasi negara, merumuskan pelaksanaan
kekuasaan yang berdaulat. Jika suatu negara tidak memiliki konstitusi, dikhawatirkan akan
terjadi penindasan terhadap hak-hak asasi manusia (rakyat). Sejarawan Inggris Lord Acton
mengemukakan “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”.
Oleh karena itu tidak berlebihan jika Aristoteles mengatakan bahwa perundangan
terbaik yang disetujui oleh warga tidak akan banyak berarti, jika tidak dilandaskan secara
efektif pada prinsip dasar konstitusi.
SEJARAH KONSTITUSI
a. Gagasan Konstitusionalisme Klasik
Pada masa sejarah konstitusionalisme klasik terdapat dua istilah yang berkaitan erat
dengan pengertian konstitusi di masa sekarang, yaitu politeia dan constitutio. Kedua
kata tersebut adalah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat
manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut.
b. Warisan Yunani Kuno
Aristoteles mengklasifikasikan konstitusi menjadi dua, yaitu right constitution dan
wrong constitution. Jika konstitusi ditujukan untuk tujuan mewujudkan kepentingan
bersama maka dinamakan konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka dinamakan
konstitusi yang salah. Bagi bangsa Yunani, negara merupakan seluruh pola
pergaulannya, yaitu kota merupakan tempat terpenuhinya semua kebutuhan secara
materi dan spiritual. Aristoteles memahami segala yang digunakannya adalah sesuatu
yang diartikan sebagai istilah negara, masyarakat, organisasi ekonomi, bahkan agama.
Para filsuf Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam
pembicaraan mereka tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles yang
berjudul Rhetorica yang menyebut istilah common law dalam arti the natural law yang
tidak lebih daripada satu pengertian dari negara hukum. Karena itulah pemahaman
konstitusi pada masa itu tidak lebih hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan
serta adat kebiasaan semata-mata, dan konstitusi pada masa itu hanya diartikan secara
materiil, karena konstitusi belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis.
c. Warisan Romawi Kuno
Pada jaman Romawi Kuno ini, perkembangan konstitusi mengalami perubahan yang
revolusioner daripada Yunani Kuno. Pada jaman Romawi Kuno konstitusi mulai
dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus
dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law, prinsip hierarki hukum juga makin
dipahami secara tegas untuk kegunaannya dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan.
d. Warisan Islam : Konstitusionalisme dan Piagam Madinah
Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW banyak sekali inovasi-inovasi baru dalam
kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban.
Salah satunya adalah penyusunan, penandatanganan, persetujuan atau perjanjian
bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama
membangun struktur kehidupan bersama, yang di kemudian hari berkembang menjadi
kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama
itulah yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah ini
dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas
persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota
Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yastrib pada tahun 622 M.
e. Gagasan Konstitusionalisme Modern
Konsep konstitusi mencakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, konvensikonvensi ketatanegaraan yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara,
mengatur hubungan antara organ-organ negara, dan mengatur hubungan organ-organ
negara tersebut dengan warga negara.
PENGERTIAN KONSTITUSI
Istilah konstitusi secara etimologis berasal dari constituer (Perancis), constitution
(Inggris), constitutie (Belanda), konstitution (Jerman), constitutio (Latin) yang secara
umum berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Jimly Asshiddiqie mendefinisikan,
konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu
negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis (lazim disebut UndangUndang Dasar), dan dapat pula hukum tidak tertulis.1 Tidak semua negara memiliki
konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar, contohnya adalah Kerajaan Inggris yang
biasanya disebut sebagai negara konstitusional, tetapi pada kenyataannya tidak memiliki
konstitusi tertulis, namun bukan berarti Kerajaan Inggris tidak memiliki konstitusi, nilai
dan norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negaranya yang diakui sebagai
hukum dasar.
Berikut ini adalah pengertian-pengertian konstitusi menurut beberapa ahli yang
mendefinisikan konstitusi lebih luas dari Undang Undang Dasar, diantaranya adalah :
ü L.J. Van Apeldorn
Membedakan secara jelas pengertian konstitusi dengan Undang Undang Dasar,
menurut Apeldorn Undang Undang Dasar (Grondwet) adalah bagian tertulis dari
suatu konstitusi, sedangkan konstitusi (constitutie) memuat baik peraturan tertulis
maupun peraturan yang tidak tertulis.
1
Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta : Sinar Grafika, hlm 29 ü Ferdinand Lasalle
Dalam bukunya Uber Verfassungswessen membagi konstitusi dalam 2 (dua)
pengertian. Pertama, pengertian sosiologis dan politis (sosciologische atau politische
begrip), hal ini dimaknai bahwa konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor
kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat), yaitu misalnya raja, parlemen,
kabinet kelompok-kelompok penekan, partai politik, dan sebagainya. Dinamika
hubungan diantara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya yang
dipahami sebagai konstitusi. Kedua, pengertian yuridis (yuridische begrip), konstitusi
dilihat sebagai suatu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara. Pemikiran Ferdinand Lasalle
ini banyak dipengaruhi oleh aliran kodifikasi, sehingga sangat menekan pentingnya
pengertian yuridis mengenai konstitusi. Dalam perkembangannya, konstitusi diberi
makna sama dengan Undang Undang Dasar, karena dalam prakteknya hampir semua
negara mempunyai Undang Undang Dasar kecuali Inggris.
ü C.F. Strong
Mendefinisikan konsitusi sebagai berikut “Constitution is collection of principles
according to wich the power of the government, the rights of the governed, and the
relations between the two are adjusted”. Konstitusi merupakan kumpulan prinsip –
prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah
(rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Menurut C.F. Strong, konstitusi dapat
berupa catatan tertulis yang ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau
diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman, atau konstitusi dapat
berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum
konstitusi. Pengertian konstitusi menurut C.F. Strong ini merupakan pengertian yang
luas, karena sebuah konstitusi tidak cukup hanya mengatur fungsi dan kewenangan
kerangka masyarakat politik (negara), tetapi termasuk alat-alat kelengkapan negara
yang diatur secara hukum, dan juga harus mengatur hak-hak rakyat yang diperintah
dan mengatur hubungan keduanya.
ü Sri Soemantri
Menyatakan bahwa pada umumnya Undang Undang Dasar atau konstitusi berisikan 3
(tiga) hal pokok, yaitu : (a) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan
warganya ; (b) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental ; (c) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga
bersifat fundamental.
Dengan demikian materi yang diatur dalam setiap konstitusi merupakan
penjabaran dari ketiga masalah pokok tersebut. Namun secara umum dalam setiap
konstitusi, mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara, perlindungan
hak asasi manusia dan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai (rakyat). Dalam
perkembangannya, istilah konstitusi memiliki dua arti :
ü Dalam arti luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau
hukum dasar (Droit Constitunelle). Artinya konstitusi bisa berwujud hukum tertulis,
tidak tertulis, atau campuran dari keduanya.
ü Dalam arti sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau Undang – Undang Dasar (Loi
Constitunelle), yaitu dokumen-dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar
negara.
HAKIKAT, TUJUAN, DAN SIFAT KONSTITUSI
a . Hakikat konstitusi adalah :
ü Mengatur struktur negara
Dalam hal ini mengatur tentang lembaga-lembaga negara, mekanisme hubungan
antar lembaga negara, tugas dan fungsi lembaga negara dan hubungan lembaga
negara dengan warga negara.
ü Menjamin hak asasi manusia
Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi mutlak harus ada, karena hak asasi
manusia merupakan hak dasar manusia yang harus diakui keberadaannya dalam
hukum dasar. Sekaligus perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah
satu prinsip pokok tegaknya sebuah negara hukum.
ü Pengakuan adanya pluralisme
Dalam arti bahwa suatu negara terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama.
Hendaknya perbedaan suku, ras dan agama tersebut diakui dan dijamin
keberadaannya, serta dilindungi oleh negara.
b . Tujuan Konstitusi
Di kalangan para ahli hukum pada umumnya, dipahami bahwa hukum
mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu : kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian
hukum terkait dengan ketertiban dan ketenteraman. Kemanfaatan diartikan bahwa nilai –
nilai hukum diharapkan dapat menjamin terwujudnya kedamaian hidup bersama.
Sedangkan keadilan itu sepadan dengan keseimbangan, kepatutan, dan kewajaran. Karena
konstitusi merupakan bagian dari hukum yang paling tinggi tingkatannya, tujuan
konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang
tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah keadilan, ketertiban dan perwujudan
nilai – nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan, kesejahteraan atau kemakmuran,
sebagaimana dirumuskan tujuan bernegara oleh para pendiri bangsa (the founding fathers
and mothers).
Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub
dalam alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Keempat tujuan itu adalah (i) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan
umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehubungan dengan
itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan
negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Negara – negara yang
mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, konstitusi mempunyai fungsi yang khas,
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat
sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih
terlindungi.
Negara adalah sarana dasar untuk mengawasi proses –proses kekuasaan, yang
dalam hal ini dilandaskan pada konstitusi. Konstitusi mempunyai dua tujuan, yaitu :
ü Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik.
ü Untuk membebaskan kekuasaan dari control mutlak penguasa, serta menetapkan
batas-batas bagi para penguasa tersebut
Beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi seperti merumuskan tujuan negara.
Menurut J.Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu : 2
ü Memelihara ketertiban dan ketenteraman
ü Mempertahankan kekuasaan
ü Mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan – kepentingan umum
Pada prinsipnya, konstitusi harus bertujuan untuk menjamin kebebasan individu, tetapi
tidak dengan melemahkan kekuasaan negara, artinya negara tetap harus berdiri tegak
untuk mempertahankan kekuasaan yang efektif , sehingga tercipta tertib bermasyarakat
dan bernegara.
c. Sifat Konstitusi
Naskah konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (flexible),
atau kaku (rigid). Ukuran yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentunkan
apakah suatu konstitusi bersifat flexible atau rigid adalah : (i) apakah terhadap naskah
konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup
mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak dalam mengikuti
perkembangan zaman.
Konstitusi itu pada hakikatnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan
menjadi dasar berlakunya peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah, para
penyusun atau perumus Undang-Undang Dasar selalu menganggap perlu menentukan tata
cara perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah, menjadi tidak
mudah pula orang untuk mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal itu
memang sungguh-sungguh diperlukan karena pertimbangan yang objektif dan untuk
kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk memenuhi keinginan atau kepentingan
segolongan orang yang berkuasa saja. Konstitusi yang demikian disebut dengan konstitusi
rigid atau kaku. Sebaliknya, ada Undang – Undang Dasar yang mensyaratkan tata cara
perubahannya tidak terlalu berat, dengan pertimbangan agar tidak mempersulit proses
perubahan, sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. Konstitusi ini disebut
dengan konstitusi flexible atau luwes.
SUPREMASI KONSTITUSI
Pemaknaan supremasi konstitusi dapat disamakan dengan pemaknaan terhadap
supremasi hukum, artinya bahwa dalam suatu penyelenggaraan negara, konstitusi merupakan
hukum yang tertinggi. Pengakuan terhadap supremasi konstitusi dapat berupa pengakuan
normatif dan empirik. Pengakuan normatif adalah pengakuan yang tercermin dalam
perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang
tercermin dalam perilaku sebagian besar masyarakatnya.
Supremasi konstitusi terdiri dari dua aspek, yaitu :
2
Jimly Assiddiqie. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Cet.Keenam. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, hlm 119
a. Aspek Hukum
ü Konstitusi dibuat dan ditetapkan oleh badan pembuat Undang-Undang Dasar
yang diakui keabsahannya.
ü Konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan, jaminan HAM,
pembagian kekuasaan, penyelenggaraan negara berdasarkan UU, dan
pengawasan yudisial.
b. Aspek Moral
ü Konstitusi ditetapkan berdasarkan nilai-nilai moral yang merupakan landasan
fundamental.
ü Konstitusi merupakan landasan fundamental yang tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Artinya, moral mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari konstitusi.
SEJARAH PEMBENTUKAN DAN DINAMIKA UUD NRI 1945
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
1945) pertama kali disahkan sebagai konstitusi Indonesia dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan. Naskah UUD NRI 1945 pertama kali dipersiapkan oleh
badan bentukan pemerintah bala tentara yang diberi nama Dokuritsu Zyunbi
Tyoosakai, yang dalam bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggotakan 62 orang,
diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dan dua wakilnya Itibangase Yosio
dan Raden Panji Suroso.
Persidangan badan ini dibagi menjadi dua periode, yaitu sidang pertama pada
tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dan sidang kedua pada tanggal 10 – 17 Juli 1945. Dalam
kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan langsung tertuju pada upaya
mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Dalam masa sidang kedua
dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno.
Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan
anggota Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim,
dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil ini berhasil menyelesaikan
tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang –
Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah mendengarkan laporan hasil
kerja laporan BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan Undang – Undang
Dasar.
Namun pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, masih ada beberapa
anggota yang ingin mengajukan usul perbaikan – perbaikan, tetapi akhirnya dengan
aklamasi rancangan Undang – Undang Dasar tersebut resmi disahkan menjadi Undang
– Undang Dasar.
Perlu dipahami bahwa dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI
1945 banyak mengalami perubahan mengikuti dinamika politik Indonesia. Perubahan
tersebut secara sistematis dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. UUD NRI 1945 (18/8/1945 – 27/12/1949)
Setelah disahkan UUD NRI 1945 tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap
pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD NRI 1945 pada
prinsipnya hanya dijadikan alat untuk sesegera mungkin membentuk negara
merdeka. Menurut istilah Bung Karno, UUD NRI 1945 merupakan revolutie
grondwet atau Undang – Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan
yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaannya telah
memungkinkan.
b . Konstitusi RIS (27/12/1949 – 17/8/1950)
Berlakunya Konstitusi RIS diawali adanya peristiwa sejarah Agresi Militer I (1947)
dan Agresi Militer II (1948) yang dilakukan oleh Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia. Dalam keadaan terdesak dan atas pengaruh PBB, maka pada tanggal 23
Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar
di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan
Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan Komisi PBB
untuk Indonesia. Inti dari hasil perundingan tersebut diantaranya :
ü Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
ü Penyerahan kedaulatan kepada RIS
ü Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama, yang akhirnya dicapai kata
sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik
Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19
Mei 1950 yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai
kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945.
c. UUD Sementara 1950 (17/8/1950 - 5/7/1959)
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) merupakan UUD yang
ketiga bagi Indonesia. Seperti halnya Konstitusi RIS, UUDS 1950 ini juga bersifat
sementara. Salah satu amanat dari UUDS 1950 ini adalah diselenggarakannya
Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Dewan
Konstituante yang terpilih melalui pemilu pada bulan Desember tahun 1955,
mendapat tugas untuk menyusun rancangan UUD baru sebagai pengganti UUD
NRI 1945 yang mengalami kemacetan (stagnan) selama dua tahun, namun akhirnya
timbul kekhawatiran karena Dewan Konstituante gagal menyelesaikannya. Kondisi
politik yang demikian, akhirnya membuat pemerintah (Presiden Ir. Soekarno)
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang inti dari isinya adalah bahwa
Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD NRI 1945 sebagai
konstitusinya.
d. Berlakunya kembali UUD NRI 1945 (5/7/1959 - 1999)
Sejak Dekrit 5 Juli 1959 disahkan, UUD NRI 1945 terus berlaku sampai sekarang
sebagai hukum dasar negara Indonesia. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan
yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, serta siklus kekuasaan yang
semakin statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian
selama 32 tahun, akibatnya UUD NRI 1945 mengalami proses sakralisasi yang
irasional selama kurun masa Orde Baru tersebut. UUD NRI 1945 tidak diizinkan
bersentuhan dengan ide perubahan, padahal sejak awal dibentuknya UUD NRI
1945 jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara.
e. UUD NRI 1945 Amandemen (Tahun 1999 - Sekarang)
Gelombang reformasi yang terjadi tahun 1998 menuntut adanya perubahan
terhadap sistem penyelenggaraan negara khususnya perubahan (amandemen)
terhadap materi UUD NRI 1945 yang selama itu dianggap jauh dari ide perubahan
dan kekuasaannya yang sangat terpusat. Oleh karena itu sejak reformasi bergulir,
terjadi empat kali amandemen UUD NRI 1945, yaitu :
ü Perubahan I
: 19 Oktober 1999
ü Perubahan II
: 18 Agustus 2000
ü Perubahan III : 9 Nopember 2001
ü Perubahan IV : 10 Agustus 2002
Dalam empat kali perubahan tersebut, materi UUD NRI 1945 yang asli telah
mengalami perubahan besar – besaran dan dengan perubahan materi yang dapat
dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang terjadi atas UUD
NRI 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi menjadi konstitusi yang baru,
meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI 1945. Dengan ditetapkannya
perubahan UUD ini, maka UUD NRI 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal,
hal ini memperjelas status penjelasan UUD NRI 1945 yang selama ini dijadikan
lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD NRI 1945, tidak lagi diakui sebagai
bagian dari naskah UUD.
Dalam implementasi UUD NRI 1945 amandemen, sistem pemerintahan negara
mengalami perubahan sangat signifikan Inti penerapan sistem pemerintahan pasca
amandemen antara lain:
ü Penyelenggaraan otonomi daerah di tingkat Pemerintahan Provinsi
dan Kabupaten / Kota
ü Pelaksanaan pemilu langsung untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden.
ü Pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggung jawab
ü Perubahan undang – undang politik yang berintikan pemilu langsung
dan sistem multipartai.
ü Pelaksanaan amandemen konstitusi (UUD NRI 1945) yang berintikan
perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan
ditetapkannya UUD NRI 1945 sumber hukum tertulis tertinggi di Indonesia.
AMANDEMEN UUD NRI 1945
Amandemen berasal dari bahasa Inggris, Amandement, yang artinya perubahan atau
mengubah. Menurut Bagir Manan, amandemen UUD itu dengan cara menambah,
merinci, dan menyusun ketentuan yang lebih tegas. Dengan demikian, amandemen
UUD mengandung arti menambah, mengurangi, mengubah, baik redaksi maupun
isinya, baik sebagian maupun seluruhnya. Secara rinci ketentuan amandemen UUD,
diatur dalam pasal 37 UUD NRI 1945, yang intinya sebagai berikut :
ü Usul amandemen diajukan minimal 1/3 jumlah anggota MPR yang diagendakan
dalam sidang MPR.
ü Usulan diajukan secara tertulis dan disertai alasan perubahannya
ü Untuk mengubah, sidang MPR dihadiri minimal 2/3 anggota MPR
ü Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD NRI 1945 dilakukan dengan
persetujuan minimal 50% + 1 dari seluruh anggota MPR
ü Perkecualian dalam amandemen, bentuk negara kesatuan tidak dapat diubah.
UUD NRI 1945 SEBAGAI SUMBER HUKUM
Menurut pasal 1 Ketetapan MPR No. III / MPR / 2000 didefinisikan, sumber
hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang –
undangan, yang terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan menurut
Utrecht, 3 sumber hukum terdiri atas sumber hukum dalam arti formal, dan sumber
hukum dalam arti substansial (materiil). Sumber hukum formal adalah tempat formal
dalam bentuk tertulis, darimana suatu kaidah hukum diambil. Sedangkan hukum dalam
arti materiil adalah tempat darimana norma itu berasal, baik yang berbentuk tertulis
maupun tidak tertulis.
Membahas tentang sumber hukum yang berlaku pada sebuah negara, maka
erat kaitannya juga dengan jenjang peraturan yang berlaku di negara tersebut. Dalam
teori hierarki yang digagas oleh Hans Kelsen (Stufentheorie), dan Hans Nawiasky (Die
Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) maka dapat digambarkan tata urutan
norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sebuah negara sebagai berikut
:
3
Jimly Asshiddiqie. OpCit, hlm 126
Gambar 1. Teori Hierarki Hans Kelsen, Hans Nawiasky, dan Penerapannya di
Indonesia
Berdasarkan uraian tersebut terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori
jenjang norma Stufentheorie – Hans Kelsen dengan teori jenjang norma hukum Die
Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans Nawiasky. Persamaannya adalah
bahwa keduanya menyebutkan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis sampai
pada suatu norma yang tertinggi dan bersifat pre-supposed dan aksiomatis. Sedangkan
perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :
Perbedaan
Hans Kelsen
Hans Nawiasky
Pengelompokan
Norma
Tidak ada pengelompokan Mengelompokkan norma
norma
ke dalam empat kelompok
yang berlainan
Jenjang Norma
Jenjang norma secara
umum
Jenjang norma secara
khusus, dihubungkan
dengan suatu negara
Penyebutan
Norma Dasar
Grundnorm
Staatsfundamentalnorm
Dari kedua teori tersebut, teori Hans Nawiasky dipandang lebih aplikatif untuk
diterapkan dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia, karena teori
hierarki Hans Nawiasky sudah dikhususkan pada suatu bentuk norma hukum dalam
suatu negara.
Adapun hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pasal 7 (1) yang terdiri dari :
a .Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b .Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR Nomor I / MPR / 2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara
dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang masih berlaku adalah
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa.
d. Peraturan Pemerintah
Menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya.
e. Peraturan Presiden
Menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan.
f. Peraturan Daerah Provinsi
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
Menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati / Walikota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan seperti yang terjenjang dalam hierarki
tersebut didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan urutan peraturan perundang-undangan, UUD NRI 1945 adalah sumber
hukum tertinggi, yang bermakna : 4
ü Semua pembuatan peraturan perundang-undangan harus bersumber dari asas, kaidah,
cita dasar dan tujuan UUD NRI 1945.
ü Penerapan UUD NRI 1945 didahulukan dari peraturan perundang-undangan lain.
ü Semua peraturan perundang-undangan lain tidak boleh bertentangan dengan UUD
NRI 1945.
Evaluasi:
4
Bagir Manan (Editor : Moh.Fadli). 2012. Membedah UUD 1945. Malang : UB Press
1. Kejelasan dalam menyampaikan hasil diskusi tentang pengertian, hakikat, sifat, fungsi,
tujuan, dan supremasi konstitusi yang terkandung dalam UUD NRI 1945.
2. Kejelasan dalam menyampaikan sejarah dinamika dan amandemen UUD NRI 1945.
3. Ketajaman dalam menganalisis dan mengkritisi produk kebijakan atau produk hukum
yang subsansinya bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Download