SKENARIO KONSTITUSI DAN UUD NRI 1945 PERTEMUAN KE-4 DAN 5 Pertemuan ke-4 Capaian Pembelajaran : Mahasiswa memiliki pemahaman tentang : (1) pengertian, hakikat, sifat, fungsi, dan tujuan dibentuknya konstitusi ; (2) supremasi konstitusi. Indikator : 1. Mampu menjabarkan tentang tentang pengertian, hakikat, sifat, fungsi, tujuan dan supremasi konstitusi. 2. Mampu mengidentifikasi hakikat, sifat, fungsi, tujuan dan supremasi konstitusi yang terkandung di dalam UUD NRI 1945. Skenario : 1. Tutor memberikan pengantar materi tentang, sejarah, pengertian, hakikat, sifat, tujuan, fungsi, dan supremasi konstitusi. 2. Dosen membagi kelompok berdasarkan jumlah topik yang telah dijelaskan. 3. Setiap kelompok memiliki ketua dan sekretaris untuk memimpin jalannya diskusi dan mencatat hasil diskusinya. 4. Tugas setiap kelompok adalah mengidentifikasi hakikat, sifat, fungsi, tujuan, dan supremasi konstitusi yang terdapat di dalam UUD NRI 1945. 5. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya 6. Tutor mengevaluasi hasil diskusi mahasiswa. Pertemuan ke-5 Capaian Pembelajaran : 1. Mahasiswa memiliki pemahaman tentang : (a) sejarah dan dinamika UUD NRI 1945 ; (b) amandemen ; (c) UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum. 2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan perilaku konstitusional. 3. Mahasiswa mampu menganalisis dan mengevaluasi produk kebijakan atau produk hukum yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Indikator : 1. Mampu menjelaskan sejarah dinamika UUD NRI 1945 2. Mampu mengklasifikasikan fungsi dan kedudukan lembaga-lembaga negara yang tercantum dalam UUD NRI 1945. 3. Mampu menelaah dan mengkritisi substansi produk kebijakan atau produk hukum yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Skenario : 1. Dosen membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok berdasarkan fase sejarah dan dinamika UUD NRI 1945. 2. Setiap kelompok memiliki ketua dan sekretaris untuk memimpin jalannya diskusi dan mencatat hasil diskusinya. 3. Tugas masing-masing kelompok mendiskusikan beberapa hal berikut : a. Sejarah dan dinamika UUD NRI 1945 (sesuai dengan fase/topik yang telah disepakati oleh masing-masing kelompok) b. Membuat mind mapping amandemen UUD NRI 1945 yang dimulai sejak tahun 1999 sampai tahun 2002, yang menggambarkan atau menjelaskan tentang substansi dan rasionalisasi perubahan UUD NRI 1945. c. Mencari dan menganalisis produk kebijakan atau produk hukum (peraturan perundangundangan) yang substansinya bertentangan dengan UUD NRI 1945. 4. Hasil diskusi dipresentasikan masing-masing kelompok dengan cara : a. Story telling dengan beberapa aturan yang disepakati, misalnya penyaji materi tidak boleh terjebak dengan hafalan, konsep bercerita seperti mendongeng,dsb. b. Presentasi sketsa mind mapping yang telah dibuat, bisa melalui LCD proyektor atau menggambar manual. c. Diskusi hasil analisis dan tanya jawab antar peserta. 5. Tutor mengevaluasi hasil diskusi mahasiswa. Media/Bahan Ajar : 1. Naskah UUD NRI 1945 2. Spidol/Pensil Warna 3. Kertas sketch Bahan bacaan : 1. Arief Hidayat. 2006. Kebebasan Berserikat di Indonesia (Suatu Analisis Pengaruh Perubahan Sistem Politik Terhadap Penafsiran Hukum). Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2. Bagir Manan (Ed.Moh Fadli). 2012. Membedah UUD 1945. Malang : UB Press 3. C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil. 2011. Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta : Rineka Cipta 4. Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Cetakan ke-6. Jakarta : Gramedia Pustaka 5. Hans Kelsen. 2009. Pengantar Teori Hukum (Terjemahan) Introduction to the Problems of Legal Theory. Bandung : Nusa Media 8. Harmaily Ibrahim & Moh. Kusnardi. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara UI & CV Sinar Bakti 9. Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi (Ed.). 2004. Memerdekakan Indonesia Kembali. Yogyakarta : IRCiSoD 10. Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika ________________ . 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta : PT Raja GrafindoPersada 11. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers 12. Suparlan Al Hakim. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang : Madani 13. Suteki. 2013. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta : Thafa Media 14. Tim Nasional Tutor Pendidikan Kewarganegaraan. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung : Alfabeta Materi Ajar : PENDAHULUAN Bagi suatu negara, keberadaan konstitusi sangat diperlukan, konstitusi adalah bagian yang inhern dari sistem ketatanegaraan bangsa-bangsa di dunia. Konstitusi bukan hanya diperlukan untuk membatasi wewenang penguasa, tetapi juga untuk menjamin hak rakyat, mengatur jalannya pemerintahan, mengatur organisasi negara, merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Jika suatu negara tidak memiliki konstitusi, dikhawatirkan akan terjadi penindasan terhadap hak-hak asasi manusia (rakyat). Sejarawan Inggris Lord Acton mengemukakan “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Oleh karena itu tidak berlebihan jika Aristoteles mengatakan bahwa perundangan terbaik yang disetujui oleh warga tidak akan banyak berarti, jika tidak dilandaskan secara efektif pada prinsip dasar konstitusi. SEJARAH KONSTITUSI a. Gagasan Konstitusionalisme Klasik Pada masa sejarah konstitusionalisme klasik terdapat dua istilah yang berkaitan erat dengan pengertian konstitusi di masa sekarang, yaitu politeia dan constitutio. Kedua kata tersebut adalah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut. b. Warisan Yunani Kuno Aristoteles mengklasifikasikan konstitusi menjadi dua, yaitu right constitution dan wrong constitution. Jika konstitusi ditujukan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama maka dinamakan konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya maka dinamakan konstitusi yang salah. Bagi bangsa Yunani, negara merupakan seluruh pola pergaulannya, yaitu kota merupakan tempat terpenuhinya semua kebutuhan secara materi dan spiritual. Aristoteles memahami segala yang digunakannya adalah sesuatu yang diartikan sebagai istilah negara, masyarakat, organisasi ekonomi, bahkan agama. Para filsuf Yunani cenderung melihat hukum sebagai bagian atau satu aspek saja dalam pembicaraan mereka tentang negara. Hal ini tergambar dalam buku Aristoteles yang berjudul Rhetorica yang menyebut istilah common law dalam arti the natural law yang tidak lebih daripada satu pengertian dari negara hukum. Karena itulah pemahaman konstitusi pada masa itu tidak lebih hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata, dan konstitusi pada masa itu hanya diartikan secara materiil, karena konstitusi belum diletakkan dalam suatu naskah tertulis. c. Warisan Romawi Kuno Pada jaman Romawi Kuno ini, perkembangan konstitusi mengalami perubahan yang revolusioner daripada Yunani Kuno. Pada jaman Romawi Kuno konstitusi mulai dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law, prinsip hierarki hukum juga makin dipahami secara tegas untuk kegunaannya dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan. d. Warisan Islam : Konstitusionalisme dan Piagam Madinah Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW banyak sekali inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya adalah penyusunan, penandatanganan, persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama, yang di kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yastrib pada tahun 622 M. e. Gagasan Konstitusionalisme Modern Konsep konstitusi mencakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan, konvensikonvensi ketatanegaraan yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara. PENGERTIAN KONSTITUSI Istilah konstitusi secara etimologis berasal dari constituer (Perancis), constitution (Inggris), constitutie (Belanda), konstitution (Jerman), constitutio (Latin) yang secara umum berarti undang-undang dasar atau hukum dasar. Jimly Asshiddiqie mendefinisikan, konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tertulis (lazim disebut UndangUndang Dasar), dan dapat pula hukum tidak tertulis.1 Tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar, contohnya adalah Kerajaan Inggris yang biasanya disebut sebagai negara konstitusional, tetapi pada kenyataannya tidak memiliki konstitusi tertulis, namun bukan berarti Kerajaan Inggris tidak memiliki konstitusi, nilai dan norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negaranya yang diakui sebagai hukum dasar. Berikut ini adalah pengertian-pengertian konstitusi menurut beberapa ahli yang mendefinisikan konstitusi lebih luas dari Undang Undang Dasar, diantaranya adalah : ü L.J. Van Apeldorn Membedakan secara jelas pengertian konstitusi dengan Undang Undang Dasar, menurut Apeldorn Undang Undang Dasar (Grondwet) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi (constitutie) memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis. 1 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta : Sinar Grafika, hlm 29 ü Ferdinand Lasalle Dalam bukunya Uber Verfassungswessen membagi konstitusi dalam 2 (dua) pengertian. Pertama, pengertian sosiologis dan politis (sosciologische atau politische begrip), hal ini dimaknai bahwa konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet kelompok-kelompok penekan, partai politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan diantara kekuatan-kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya yang dipahami sebagai konstitusi. Kedua, pengertian yuridis (yuridische begrip), konstitusi dilihat sebagai suatu naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara. Pemikiran Ferdinand Lasalle ini banyak dipengaruhi oleh aliran kodifikasi, sehingga sangat menekan pentingnya pengertian yuridis mengenai konstitusi. Dalam perkembangannya, konstitusi diberi makna sama dengan Undang Undang Dasar, karena dalam prakteknya hampir semua negara mempunyai Undang Undang Dasar kecuali Inggris. ü C.F. Strong Mendefinisikan konsitusi sebagai berikut “Constitution is collection of principles according to wich the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted”. Konstitusi merupakan kumpulan prinsip – prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya. Menurut C.F. Strong, konstitusi dapat berupa catatan tertulis yang ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman, atau konstitusi dapat berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusus sebagai hukum konstitusi. Pengertian konstitusi menurut C.F. Strong ini merupakan pengertian yang luas, karena sebuah konstitusi tidak cukup hanya mengatur fungsi dan kewenangan kerangka masyarakat politik (negara), tetapi termasuk alat-alat kelengkapan negara yang diatur secara hukum, dan juga harus mengatur hak-hak rakyat yang diperintah dan mengatur hubungan keduanya. ü Sri Soemantri Menyatakan bahwa pada umumnya Undang Undang Dasar atau konstitusi berisikan 3 (tiga) hal pokok, yaitu : (a) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warganya ; (b) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental ; (c) adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental. Dengan demikian materi yang diatur dalam setiap konstitusi merupakan penjabaran dari ketiga masalah pokok tersebut. Namun secara umum dalam setiap konstitusi, mengatur pembagian dan pembatasan kekuasaan dalam negara, perlindungan hak asasi manusia dan hubungan antara penguasa dan yang dikuasai (rakyat). Dalam perkembangannya, istilah konstitusi memiliki dua arti : ü Dalam arti luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (Droit Constitunelle). Artinya konstitusi bisa berwujud hukum tertulis, tidak tertulis, atau campuran dari keduanya. ü Dalam arti sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau Undang – Undang Dasar (Loi Constitunelle), yaitu dokumen-dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. HAKIKAT, TUJUAN, DAN SIFAT KONSTITUSI a . Hakikat konstitusi adalah : ü Mengatur struktur negara Dalam hal ini mengatur tentang lembaga-lembaga negara, mekanisme hubungan antar lembaga negara, tugas dan fungsi lembaga negara dan hubungan lembaga negara dengan warga negara. ü Menjamin hak asasi manusia Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi mutlak harus ada, karena hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia yang harus diakui keberadaannya dalam hukum dasar. Sekaligus perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu prinsip pokok tegaknya sebuah negara hukum. ü Pengakuan adanya pluralisme Dalam arti bahwa suatu negara terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama. Hendaknya perbedaan suku, ras dan agama tersebut diakui dan dijamin keberadaannya, serta dilindungi oleh negara. b . Tujuan Konstitusi Di kalangan para ahli hukum pada umumnya, dipahami bahwa hukum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu : kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum terkait dengan ketertiban dan ketenteraman. Kemanfaatan diartikan bahwa nilai – nilai hukum diharapkan dapat menjamin terwujudnya kedamaian hidup bersama. Sedangkan keadilan itu sepadan dengan keseimbangan, kepatutan, dan kewajaran. Karena konstitusi merupakan bagian dari hukum yang paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi. Tujuan yang dianggap tertinggi itu adalah keadilan, ketertiban dan perwujudan nilai – nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan, kesejahteraan atau kemakmuran, sebagaimana dirumuskan tujuan bernegara oleh para pendiri bangsa (the founding fathers and mothers). Misalnya, empat tujuan bernegara Indonesia adalah seperti yang termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945. Keempat tujuan itu adalah (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, (ii) memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehubungan dengan itulah, beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi itu seperti merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional, atau negara berkonstitusi. Negara – negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang, dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi. Negara adalah sarana dasar untuk mengawasi proses –proses kekuasaan, yang dalam hal ini dilandaskan pada konstitusi. Konstitusi mempunyai dua tujuan, yaitu : ü Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik. ü Untuk membebaskan kekuasaan dari control mutlak penguasa, serta menetapkan batas-batas bagi para penguasa tersebut Beberapa sarjana merumuskan tujuan konstitusi seperti merumuskan tujuan negara. Menurut J.Barents, ada tiga tujuan negara, yaitu : 2 ü Memelihara ketertiban dan ketenteraman ü Mempertahankan kekuasaan ü Mengurus hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan – kepentingan umum Pada prinsipnya, konstitusi harus bertujuan untuk menjamin kebebasan individu, tetapi tidak dengan melemahkan kekuasaan negara, artinya negara tetap harus berdiri tegak untuk mempertahankan kekuasaan yang efektif , sehingga tercipta tertib bermasyarakat dan bernegara. c. Sifat Konstitusi Naskah konstitusi atau Undang-Undang Dasar dapat bersifat luwes (flexible), atau kaku (rigid). Ukuran yang biasanya dipakai oleh para ahli untuk menentunkan apakah suatu konstitusi bersifat flexible atau rigid adalah : (i) apakah terhadap naskah konstitusi itu dimungkinkan dilakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak dalam mengikuti perkembangan zaman. Konstitusi itu pada hakikatnya merupakan hukum dasar yang tertinggi dan menjadi dasar berlakunya peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah, para penyusun atau perumus Undang-Undang Dasar selalu menganggap perlu menentukan tata cara perubahan yang tidak mudah. Dengan prosedur yang tidak mudah, menjadi tidak mudah pula orang untuk mengubah hukum dasar negaranya, kecuali apabila hal itu memang sungguh-sungguh diperlukan karena pertimbangan yang objektif dan untuk kepentingan seluruh rakyat, serta bukan untuk memenuhi keinginan atau kepentingan segolongan orang yang berkuasa saja. Konstitusi yang demikian disebut dengan konstitusi rigid atau kaku. Sebaliknya, ada Undang – Undang Dasar yang mensyaratkan tata cara perubahannya tidak terlalu berat, dengan pertimbangan agar tidak mempersulit proses perubahan, sehingga dapat menyesuaikan dengan perubahan zaman. Konstitusi ini disebut dengan konstitusi flexible atau luwes. SUPREMASI KONSTITUSI Pemaknaan supremasi konstitusi dapat disamakan dengan pemaknaan terhadap supremasi hukum, artinya bahwa dalam suatu penyelenggaraan negara, konstitusi merupakan hukum yang tertinggi. Pengakuan terhadap supremasi konstitusi dapat berupa pengakuan normatif dan empirik. Pengakuan normatif adalah pengakuan yang tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik adalah pengakuan yang tercermin dalam perilaku sebagian besar masyarakatnya. Supremasi konstitusi terdiri dari dua aspek, yaitu : 2 Jimly Assiddiqie. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Cet.Keenam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hlm 119 a. Aspek Hukum ü Konstitusi dibuat dan ditetapkan oleh badan pembuat Undang-Undang Dasar yang diakui keabsahannya. ü Konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan, jaminan HAM, pembagian kekuasaan, penyelenggaraan negara berdasarkan UU, dan pengawasan yudisial. b. Aspek Moral ü Konstitusi ditetapkan berdasarkan nilai-nilai moral yang merupakan landasan fundamental. ü Konstitusi merupakan landasan fundamental yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral. Artinya, moral mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari konstitusi. SEJARAH PEMBENTUKAN DAN DINAMIKA UUD NRI 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pertama kali disahkan sebagai konstitusi Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Naskah UUD NRI 1945 pertama kali dipersiapkan oleh badan bentukan pemerintah bala tentara yang diberi nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yang dalam bahasa Indonesia disebut Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dan dua wakilnya Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso. Persidangan badan ini dibagi menjadi dua periode, yaitu sidang pertama pada tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, dan sidang kedua pada tanggal 10 – 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Dalam masa sidang kedua dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil ini berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang – Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah mendengarkan laporan hasil kerja laporan BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan Undang – Undang Dasar. Namun pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, masih ada beberapa anggota yang ingin mengajukan usul perbaikan – perbaikan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan Undang – Undang Dasar tersebut resmi disahkan menjadi Undang – Undang Dasar. Perlu dipahami bahwa dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, UUD NRI 1945 banyak mengalami perubahan mengikuti dinamika politik Indonesia. Perubahan tersebut secara sistematis dapat dikemukakan sebagai berikut : a. UUD NRI 1945 (18/8/1945 – 27/12/1949) Setelah disahkan UUD NRI 1945 tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD NRI 1945 pada prinsipnya hanya dijadikan alat untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka. Menurut istilah Bung Karno, UUD NRI 1945 merupakan revolutie grondwet atau Undang – Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaannya telah memungkinkan. b . Konstitusi RIS (27/12/1949 – 17/8/1950) Berlakunya Konstitusi RIS diawali adanya peristiwa sejarah Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948) yang dilakukan oleh Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak dan atas pengaruh PBB, maka pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan Komisi PBB untuk Indonesia. Inti dari hasil perundingan tersebut diantaranya : ü Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat ü Penyerahan kedaulatan kepada RIS ü Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda Bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama, yang akhirnya dicapai kata sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950 yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. c. UUD Sementara 1950 (17/8/1950 - 5/7/1959) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) merupakan UUD yang ketiga bagi Indonesia. Seperti halnya Konstitusi RIS, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Salah satu amanat dari UUDS 1950 ini adalah diselenggarakannya Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante. Dewan Konstituante yang terpilih melalui pemilu pada bulan Desember tahun 1955, mendapat tugas untuk menyusun rancangan UUD baru sebagai pengganti UUD NRI 1945 yang mengalami kemacetan (stagnan) selama dua tahun, namun akhirnya timbul kekhawatiran karena Dewan Konstituante gagal menyelesaikannya. Kondisi politik yang demikian, akhirnya membuat pemerintah (Presiden Ir. Soekarno) mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang inti dari isinya adalah bahwa Negara Republik Indonesia kembali menggunakan UUD NRI 1945 sebagai konstitusinya. d. Berlakunya kembali UUD NRI 1945 (5/7/1959 - 1999) Sejak Dekrit 5 Juli 1959 disahkan, UUD NRI 1945 terus berlaku sampai sekarang sebagai hukum dasar negara Indonesia. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, serta siklus kekuasaan yang semakin statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD NRI 1945 mengalami proses sakralisasi yang irasional selama kurun masa Orde Baru tersebut. UUD NRI 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan, padahal sejak awal dibentuknya UUD NRI 1945 jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara. e. UUD NRI 1945 Amandemen (Tahun 1999 - Sekarang) Gelombang reformasi yang terjadi tahun 1998 menuntut adanya perubahan terhadap sistem penyelenggaraan negara khususnya perubahan (amandemen) terhadap materi UUD NRI 1945 yang selama itu dianggap jauh dari ide perubahan dan kekuasaannya yang sangat terpusat. Oleh karena itu sejak reformasi bergulir, terjadi empat kali amandemen UUD NRI 1945, yaitu : ü Perubahan I : 19 Oktober 1999 ü Perubahan II : 18 Agustus 2000 ü Perubahan III : 9 Nopember 2001 ü Perubahan IV : 10 Agustus 2002 Dalam empat kali perubahan tersebut, materi UUD NRI 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar – besaran dan dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang terjadi atas UUD NRI 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi menjadi konstitusi yang baru, meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI 1945. Dengan ditetapkannya perubahan UUD ini, maka UUD NRI 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal, hal ini memperjelas status penjelasan UUD NRI 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tidak terpisahkan dari naskah UUD NRI 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Dalam implementasi UUD NRI 1945 amandemen, sistem pemerintahan negara mengalami perubahan sangat signifikan Inti penerapan sistem pemerintahan pasca amandemen antara lain: ü Penyelenggaraan otonomi daerah di tingkat Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten / Kota ü Pelaksanaan pemilu langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. ü Pelaksanaan kebebasan pers yang bertanggung jawab ü Perubahan undang – undang politik yang berintikan pemilu langsung dan sistem multipartai. ü Pelaksanaan amandemen konstitusi (UUD NRI 1945) yang berintikan perubahan struktur ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan ditetapkannya UUD NRI 1945 sumber hukum tertulis tertinggi di Indonesia. AMANDEMEN UUD NRI 1945 Amandemen berasal dari bahasa Inggris, Amandement, yang artinya perubahan atau mengubah. Menurut Bagir Manan, amandemen UUD itu dengan cara menambah, merinci, dan menyusun ketentuan yang lebih tegas. Dengan demikian, amandemen UUD mengandung arti menambah, mengurangi, mengubah, baik redaksi maupun isinya, baik sebagian maupun seluruhnya. Secara rinci ketentuan amandemen UUD, diatur dalam pasal 37 UUD NRI 1945, yang intinya sebagai berikut : ü Usul amandemen diajukan minimal 1/3 jumlah anggota MPR yang diagendakan dalam sidang MPR. ü Usulan diajukan secara tertulis dan disertai alasan perubahannya ü Untuk mengubah, sidang MPR dihadiri minimal 2/3 anggota MPR ü Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD NRI 1945 dilakukan dengan persetujuan minimal 50% + 1 dari seluruh anggota MPR ü Perkecualian dalam amandemen, bentuk negara kesatuan tidak dapat diubah. UUD NRI 1945 SEBAGAI SUMBER HUKUM Menurut pasal 1 Ketetapan MPR No. III / MPR / 2000 didefinisikan, sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang – undangan, yang terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan menurut Utrecht, 3 sumber hukum terdiri atas sumber hukum dalam arti formal, dan sumber hukum dalam arti substansial (materiil). Sumber hukum formal adalah tempat formal dalam bentuk tertulis, darimana suatu kaidah hukum diambil. Sedangkan hukum dalam arti materiil adalah tempat darimana norma itu berasal, baik yang berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Membahas tentang sumber hukum yang berlaku pada sebuah negara, maka erat kaitannya juga dengan jenjang peraturan yang berlaku di negara tersebut. Dalam teori hierarki yang digagas oleh Hans Kelsen (Stufentheorie), dan Hans Nawiasky (Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen) maka dapat digambarkan tata urutan norma dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di sebuah negara sebagai berikut : 3 Jimly Asshiddiqie. OpCit, hlm 126 Gambar 1. Teori Hierarki Hans Kelsen, Hans Nawiasky, dan Penerapannya di Indonesia Berdasarkan uraian tersebut terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara teori jenjang norma Stufentheorie – Hans Kelsen dengan teori jenjang norma hukum Die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen – Hans Nawiasky. Persamaannya adalah bahwa keduanya menyebutkan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis sampai pada suatu norma yang tertinggi dan bersifat pre-supposed dan aksiomatis. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut : Perbedaan Hans Kelsen Hans Nawiasky Pengelompokan Norma Tidak ada pengelompokan Mengelompokkan norma norma ke dalam empat kelompok yang berlainan Jenjang Norma Jenjang norma secara umum Jenjang norma secara khusus, dihubungkan dengan suatu negara Penyebutan Norma Dasar Grundnorm Staatsfundamentalnorm Dari kedua teori tersebut, teori Hans Nawiasky dipandang lebih aplikatif untuk diterapkan dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia, karena teori hierarki Hans Nawiasky sudah dikhususkan pada suatu bentuk norma hukum dalam suatu negara. Adapun hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan pasal 7 (1) yang terdiri dari : a .Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b .Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR Nomor I / MPR / 2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang masih berlaku adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. d. Peraturan Pemerintah Menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya. e. Peraturan Presiden Menurut pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. f. Peraturan Daerah Provinsi Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota Menurut pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Daerah Kabupaten / Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati / Walikota. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan seperti yang terjenjang dalam hierarki tersebut didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berdasarkan urutan peraturan perundang-undangan, UUD NRI 1945 adalah sumber hukum tertinggi, yang bermakna : 4 ü Semua pembuatan peraturan perundang-undangan harus bersumber dari asas, kaidah, cita dasar dan tujuan UUD NRI 1945. ü Penerapan UUD NRI 1945 didahulukan dari peraturan perundang-undangan lain. ü Semua peraturan perundang-undangan lain tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945. Evaluasi: 4 Bagir Manan (Editor : Moh.Fadli). 2012. Membedah UUD 1945. Malang : UB Press 1. Kejelasan dalam menyampaikan hasil diskusi tentang pengertian, hakikat, sifat, fungsi, tujuan, dan supremasi konstitusi yang terkandung dalam UUD NRI 1945. 2. Kejelasan dalam menyampaikan sejarah dinamika dan amandemen UUD NRI 1945. 3. Ketajaman dalam menganalisis dan mengkritisi produk kebijakan atau produk hukum yang subsansinya bertentangan dengan UUD NRI 1945.