hak konstitusional dalam uud 1945.

advertisement
HAK KONSTITUSIONAL DALAM UUD 1945.
OLEH
MARUARAR SIAHAAN.
Pendahuluan.
Supremasi konstitusi yang menjadi doktrin dalam penyelenggaraan pemerintahan,
bertumpu pada pengakuan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, yang menjadi sumber
legitimasi segala kebijakan, baik dalam bidang hukum, ekonomi, social dan politik. Dalam
mengawal konstitusi, dan menyelenggarakan pengawasan atas tindakan legislative berupa
pengujian konstitusionalitas legislasi yang dihasilkan,
diukur dari norma-norma konstitusi
secara umum, maka norma-norma yang termuat dalam konstitusi, tidak saja yang mengatur
organisasi kewenangan lembaga, dan hubungannya satu dengan yang lain, yang melahirkan
kewenangan atau constitutional authorities, tetapi juga mengatur hubungan Negara dengan
warganegara dalam konteks kewenangan Negara tersebut berhadapan dengan hak-hak
konstitusional rakyat.
Seluruh Negara di dunia
mengaku memiliki konstitusi masing-masing. Konstitusi
Indonesia yang dirumuskan menjelang kemerdekaan pada tahun 1945, oleh badan yang
dikenal BPUPKI, meskipun masih sering diperdebatkan, dikatakan juga telah memuat hak-hak
rakyat yang asasi, untu melindungi martabat manusia dalam pencapaian tujuan bersama
kesejahteraan umum rakyat Indonesia. Tujuan bernegara, sebagaimana dimuat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah
darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut
serta memelihara perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan
social, meletakkan dasar hubungan Negara dengan warganegara dalam hubungan antara hak
dan kewajiban/kewenangan konstitusional. Sebagai Negara hukum berdasar konstitusi yang
demokratis dan Negara demokrasi yang berdasarkan konstitusi, maka batas-batas atas
penyelenggaraan kekuasaan Negara, dapat setiap saat diukur dari hak-hak warganegara yang
diberikan konstitusi. Walaupun penyelenggara Negara diberi kewenangan yang sah oleh
konstitusi, terdapat perbuatan atau tindakan yang dilarang dilakukan jikalau melanggar hak-hak
warganegara yang telah diberikan oleh konstitusi kepada mereka.
Konstitusi dan konstitusionalisme.
Seperti telah banyak dikatakan, setiap negara memiliki konstitusi, sebagian besar
negara memiliki teks konstitusional, tetapi sangat sedikit yang memiliki konstitusionalisme.
Hampir semua pejabat publik menyatakan melaksanakan konstitusionalisme, sehingga
mengembang biakkan masalah penamaan (nomenklatur) tersebut. Aristoteles menggunakan
beberapa definisi progresif konstitusi yang lebih luas. Dalam salah satu bukunya, dia
merujuknya sebagai "organisasi dari polis, menyangkut jabatan secara umum, tetapi terutama
berhubungan dengan jabatan tertentu yang berdaulat di dalam semua masalah. Di dalam
bukunya yang ke 4, dia memperluas konstitusi sebagai : "sebuah organisasi jabatan dalam
negara, dimana metode distribusi mereka adalah tetap, kewenangan berdaulat ditentukan, dan
sifat tujuan yang akan dikejar oleh asosiasi dan semua anggotanya yang ditentukan. Kemudian
dia, merumuskan konsep konstitusi menjadi menyeluruh yaitu sebagai : “cara hidup”.
Orang mungkin menolak mendefinisikan sebuah konstitusi negara sebagai pengaturan
jabatan-jabatan dan kekuasaan publik serta hak-hak individu dan tetapi rumusan Aristoteles
lebih luas karena menghilangkan kebingungan yang timbul dari conflating nilai-nilai politik dan
pengaturan di mana orang-orang hidup dengan nilai-nilai dan pengaturan yang ditentukan oleh
dokumen konstitusi. Teks konstitusional merujuk pada dokumen (atau kumpulan dokumen)
yang seharusnya merinci beberapa atau sebagian besar prinsip-prinsip politik dasar dan tujuan
bangsa, pengaturan kelembagaan, cara memilih pejabat publik, dan hak dan kewajiban warga
negara pribadi. Memberi cap kepada sebuah dokumen sebagai “konstitusi”, tidaklah selalu
dimaknai dengan sendiri terkait dengan norma konstitusionalisme maupun demokrasi.
Hampir semua negara memiliki konstitusi, yang mengatur bukan saja struktur , fungsi dan
pembagian kekuasaan berbagai organ Negara, sampai kepada hubungan di antara mereka satu
sama lainnya. Konstitusi modern tidak hanya membatasi diri melulu kepada aspek itu saja. Dia
juga memuat hak-hak dasar dan kebebasan rakyat yang dapat dituntut terhadap Negara dan
organ-organnya. Pemerintahan secara universal telah diterima sebagai kebutuhan untuk
mempertahankan satu masyarakat yang tertib, tetapi dia melahirkan masalah yaitu bagaimana
membatasi
kesewenang-wenangan
yang
melekat
secara
inheren
dalam
kekuasaan
pemerintahan. Boleh jadi tiap Negara telah memiliki konstitusi tetapi tidak menganut
konstitusionalisme, karena konstitusionalisme merupakan satu konsep yang menguraikan
bahwa suatu konstitusi mengandung dalam dirinya mekanisme control terhadap kekuasaan
Negara.
Konstitusionalisme merupakan antithesis kekuasaan yang sewenang-wenang. Rule of law
digunakan untuk membatasi kesewenang-wenangan. Jikalau masih terdapat kesewenang-
wenangan dan ketidak pantasan, maka hal itu merupakan penyangkalan terhadap rule of law.
Rule of law berbeda dengan law, karena hukum dapat mengembangkan kesewenangwenangan jikalau undang-undang meniadakan rule of law. 1 Unsur yang perlu bagi konsepsi rule
of law ialah bahwa hukum harus tidak sewenang-wenang atau irrasional. Karenannya penting
bahwa konstitusi memuat ketentuan yang efektif untuk mengekang kesewenang-wenangan
eksekutif dan legislative. Salah satu cara memajukan konstitusionalisme
adalah dengan
menanamkan, hak-hak dan kebebasan rakyat yang dijamin dan dapat dituntut. Untuk tujuan
inilah bahwa banyak konstitusi tertulis mencoba memberikan beberapa hak kepada rakyat.
Pertanyaan penting adalah seberapa nyata atau seberapa efektif hak ini dalam praktek. Suatu
konstitusi boleh jadi telah mempunyai pasal-pasal yang lengkap untuk mencapai tujuan itu,
akan tetapi dia hanya menciptakan ilusi atau tanpa arti sama sekali.
Perkembangan konstitusionalisme modern dewasa ini ditandai dengan konstitusionalisasi
hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, dimana perlindungan dan jaminan
terhadapnya menjadi tujuan yang paling pokok. Putusan-putusan yang paling penting dari MK
sebagian besar merupakan penyelesaian hak asasi manusia. Tugas-tugas ini merupakan hal
yang sulit karena dalam setiap sengketa konstitusi di depan MK yang berkenaan dengan
ketentuan HAM terdapat kemungkinan pertentangan ketentuan HAM yang satu dengan
ketentuan HAM lainnya. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang demikian MK harus
melakukan interpretasi dan konstruksi tentang teori hak-hak konstitusional dan hak asasi
manusia, untuk membangun norma dan nilai-nilai dalam konstitusi itu sendiri. Selain sebagai
1
Justice Kanna, sebagaimana dikutip oleh M.P. Jain, Indian Constitutional Law, fifth edition, 2004 Wadhwa
Nagpur, hal 790.
pihak ketiga yang imparsial, hakim MK juga menghembuskan nafas kehidupan kedalam norma
hak asasi dan mengembangkannya secara progresif 2. Putusan hakim MK dengan demikian
menjadi kebijakan publik yang memuat bimbingan, arahan dan rambu-rambu yang harus
dilaksanakan oleh pembuat undang-undang tentang bagaimana hak-hak asasi yang menjadi hak
konstitusional itu harus dilindungi.
Constitutional review merupakan kewenangan satu lembaga untuk membatalkan tindakan
pemerintah –seperti legislasi, putusan adminitrasi, putusan pengadilan – atas dasar bahwa
tindakan-tindakan ini telah melanggar aturan konstitusi termasuk HAM. Itu merupakan satu ciri
pembeda konstitusionalisme hukum yang lebih tinggi. Dalam menjalankan review, hakim
menafsirkan dan menerapkan (menegakkan) hukum konstitusi yang secara normatif lebih
superior terhadap semua norma hukum lainnya. Sebagaimana akan dibicarakan dalam bab
berikut, judicial review jenis Amerika hanya merupakan satu bentuk, subklas dari constitutional
review. Constitutional Review Eropah dilakukan oleh hakim yang duduk dalam peradilan khusus,
yang disebut MK. Sebagaimana disinggung dalam bab berikut, hakim biasa juga menerapkan
hukum konstitusi untuk memutus sengketa diantara individu pribadi.
Hak-Hak Konstitusional Dalam Undang-Undang Dasar.
Satu pertanyaan yang wajar timbul apa yang dimaksud dengan hak konstitusional, dan
bagaimana menemukannya. Sebagaimana di awal sudah dikatakan maka norma-norma yang
termuat dalam konstitusi, tidak saja yang mengatur organisasi kewenangan lembaga, dan
hubungannya satu dengan yang lain, yang melahirkan kewenangan atau constitutional
authorities, tetapi juga mengatur hubungan Negara dengan warganegara dalam konteks
2
Alec Stone Sweet, Governing With Judges, Constitutional Politics in Europe, Oxford university Press, 2002 hal 28.
kewenangan Negara tersebut berhadapan dengan hak-hak konstitusional rakyat.
Dalam
hubungan dengan kekuasaan Negara, hak-hak warganegara diatur dalam konstitusi sebagai
perlindungan dari perbuatan yang kemungkinan dilakukan penyelenggara Negara. Sebagai
pemegang kedaulatan rakyat, wujud demokrasi bukan hanya tampak dari penentuan mereka
yang duduk dalam kursi kekuasaan Negara melalui hak pilih rakyat yang menjadi salah satu hak
konstitusional, tetapi juga tampak dari hak-hak yang diatur dalam konstitusi, yang merupakan
batas yang tidak bisa dilanggar oleh penyelenggara Negara dalam menjalankan kekuasaan
Negara, yaitu baik sebagai hak warga Negara atau hak asasi. Dalam UUD 1945
ada hak-hak
yang secara tegas disebut sebagai hak asasi, yang termuat dalam Bab XA UUD 1945, yang
merupakan hak yang melekat pada harkat dan martabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk
hidup, hak untuk diperlakukan sama dan hak untuk mendapat kepastian hukum dan keadilan
serta sejumlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut dikatakan sesungguhnya tidak
tergantung pada Negara, dan telah ada sebelum Negara lahir.
Namun hak konstitusional dapat juga dilihat secara timbal balik dengan kewajiban
konstitusional Negara. Setiap kewajiban konstitusional Negara yang disebut dalam UUD 1945,
menyimpulkan adanya hak konstitusional sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
padanya atau yang melekat pada kewajiban Negara tersebut. Misalnya kewajiban Negara untuk
mengalokasi dana pendidikan 20 % dari APBN, serta kewajiban untuk belajar, semua
melahirkan hak konstitusional bagi warga Negara, terhadap siapa Negara bekerja, serta yang
menjadi tujuan Negara itu sendiri. Oleh karena itu di samping hak konstitusional yang dapat
dilihat secara tegas dituliskan dalam konstitusi, ada juga yang harus di simpulkan dari kewajiban
Negara maupun kewajiban warganegara, karena antara hak dan kewajiban satu dengan lain
tidak dapat dipisahkan.
Pasal 51 ayat (1) UU MK mempersyaratkan kedudukan hukum Pemohon uji materil pada
adanya hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh berlakunya satu undang-undang. Oleh karena
itu, secara khusus di MK, suatu proses judicial review dimulai dengan ada tidaknya hak-hak
yang telah diberikan oleh Konstitusi tetapi dilanggar oleh satu kebijakan dalam bentuk
diundangkannya satu undang-undang tertentu. Beberapa hak yang diberikan oleh konstitusi
melalui norma-norma yang merumuskan tujuan Negara dalam bidang pendidikan, social,
ekonomi, keyakinan politik dan agama, telah ditemukan dalam UUD 1945 sebelum perubahan.
Beberapa diantaranya disebut sebagai alasan bahwa sebelum PBB mendeklarasikan Universal
Declaration of Human Rights, UUD 1945 telah terlebih dahulu mengakui dan memuatnya
dalam konstitusi, meskipun sebagaimana telah disebutkan, sesungguhnya hal demikian masih
diperdebatkan. Apakah sesungguhnya hak konstitusional tersebut ?
Pengikut sertaan ketentuan tentang hak-hak konstitusional di dalam konstitusi modern,
secara radikal merubah kedudukan dan peran pengadilan dalam kehidupan ketatanegaraan.
Dalam perubahan kedua UUD 1945, terjadi konstitusionalisasi HAM secara komprehensif
daalam Bab XA UUD 1945, setelah lebih dahulu diundangkan Undang-Undang nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Setelah itu kemudian Indonesia meratifikasi dua instrument
hak asasi manusia internasional yaitu International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Hak-hak social
politik yang dikategorikan sebagai generasi pertama HAM dan Hak-Hak Sosial, ekonomi dan
cultural yang disebut juga sebagai HAM generasi kedua, telah termuat dalam UUD 1945,
sebagai bagian dari hak-hak yang di muat dalam UUD 1945.
Konstitusionalisasi Hak-Hak Sosial Ekonomi.
Gagasan tentang adanya tiga generasi hak asasi manusia, dikatakan diilhami oleh tiga tema
normative revolusi Perancis, yaitu generasi pertama dikatakan terdiri dari hak-sipil dan politik
(liberte); generasi kedua, mencakup hak-hak ekonomi, social dan budaya (egalite); dan generasi
ketiga disebut sebagai hak-hak solidaritas (fraternite). 3 Hak-hak asasi generasi pertama berupa
hak sipil dan politik, yang terinspirasi oleh filosofi politik individualism liberal dan doktrin
laissez-faire, telah mengartikan hak-hak asasi manusia dengan isitilah yang bersifat negatif
berupa “kebebasan dari” dari pada bersifat positif yang dirumuskan sebagai “hak atas”.4 Hak
asasi manusia generasi generasi kedua, seperti hak hak atas jaminan social, hak atas pekerjaan,
hak atas pendidikan, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lainnya, mensyaratkan intervensi
Negara, dan bukan abstensi, dengan tujuan mencapai partisipasi yang merata dalam produksi
dan distribusi hasilnya dengan adil, berasal dari filosofi sosialisme.
Sebelum dihasilkannya Universal Declaration of Human Rights PBB pada tahun 1948,
Indonesia, lebih awal telah memuat beberapa diantara hak itu dalam UUD 1945, seperti hak
atas pendidikan, hak kolektif rakyat rakyat atas sumber daya alam dan manfaatnya, dan hak
atas jaminan social bagi orang fakir miskin.5 Hak asasi generasi kedua ini lebih merupakan
tuntutan atas persamaan social yang bersifat aspirasional, yang oleh beberapa pihak
3
Burns H Weston, Hak-Hak Asasi Manusia, dalam Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia, Isu dan
Tindakan, T. Mulya Lubis (Penyunting) diterjemhkan oleh Setiawan Abadi, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal 12.
4
Ibid, hal 13.
5
Pasal 31, 33 dan Pasal 34 UUD 1945 sebelum Perubahan.
sesungguhnya tidak dipandang sebagai hak asasi karena implementasinya tunduk pada kondisi
social ekonomi Negara yang menjadi persyaratan untuk dapat memenuhinya. Dalam transisi
Negara-Negara Eropah Timur dari Negara komunis menjadi Negara demokrasi, perubahan
dengan konstitusi baru yang dibentuk, umumnya menolak gagasan penasehat Barat yang
menyarankan agar hak-hak positif, yaitu hak social ekonomi tidak dimasukkan dalam konstitusi
karena dianggap berbahaya, yaitu hak-hak yang bersifat aspirasional dapat mengundang
sisnisme yang luas, jikalau kondisi social ekonomi tidak mampu memenuhi janji yang demikian,
yang juga berdampak pada hak-hak negative sebagai jaminan hak asasi tersebut juga tidak
dapat ditegakkan. 6
Memang bagi para sarjana hukum Amerika, memasukkan hak social dan ekonomi dalam
konstitusi hampir tidak terpikirkan, karena terbiasa berpikir bahwa penegakan hak-hak
konstitusional tergantung pada pengadilan. 7 Dikatakan bahwa hak asasi manusia tanpa
implementasi yang efektif merupakan bayangan tanpa substansi, dan kewajiban hukum yang
ada, tetapi tidak dapat dijalankan, bagaikan hantu-hantu yang terlihat tapi sukar dipegang. 8
HIRARKI NORMA KONSTITUSI.
Selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar
sebagai sebuah dokumen merupakan dokumen yang utuh dan harmonis secara kebahasaan
dan konseptual dalam keseluruhan tubuhnya. Tidak mungkin terjadi bahwa satu norma dalam
6
Patricia M. Wald, dalam Foreword, The Struggle For Constitutional Justice in The Comunist Europe, Herman
Schwartz, The Unibersity of Chicago Press, 2002, hal xvii
7
Herman Schwartz, Do Economic and Social Rights Belong in A Constitution?, 10 Am.U.J. Int & Pol’y 1994-1995, hal
1235.
88
Richard B. Lilich, Hak-Hak Sipil, dalam “Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia…”, op.cit hal 63.
pasal atau ayat tertentu bertentangan dengan pasal atau ayat lain dalam batang tubuh
konstitusi tersebut. Tetapi fakta atau kenyataan tidak demikian. Terutama dengan
perkembangan waktu yang membentuk jarak waktu yang panjang antara dibentuknya satu
konstitusi dengan penggunaannya pada masa sekarang, dengan perubahan atau amandemen
yang berlangsung secara bertahap seperti yang dialami UUD 1945, harmoni yang diimpikan dari
satu konstitusi boleh jadi menjadi sangat jauh dari kenyataan. Tetapi justru merupakan tugas
hakim semua pemegang kekuasaan, baik eksekutif, legislative maupun judikatif dan utamanya
hakim konstitusi untuk membangun konstitusi sebagai satu dokumen yang utuh dan harmonis
(the integrity of the constitution) melalui interpretasi dan konstruksi yang harus dilakukan,
dalam menjalankan tugas dan wewenang konstitusional masing-masing.
Hukum konstitusi membentuk hierarki norma, dan hirarki ini juga mengkondisikan
interpretasi konstitusi. Akibat langsung dari hak asasi manusia misalnya membentuk satu
hubungan hierarkis diantara teks konstitusi. Satu hirarki dalam konstitusi (intraconstitutional
hierarchies) lebih rumit, tetapi hukum menyiratkan
satu status yang istimewa bagi hak
konstitusi. Teks konstitusi bisa dianggap terlebih dahulu memproklamasikan HAM, sebelum
membentuk lembaga negara dan sebelum fungsi-fungsi Pemerintahan dibagikan kepada
lembaga-lembaga negara. Akibat pendirian ini, HAM dilihat oleh sarjana hukum dan banyak
hakim memiliki satu eksistensi juridis yang lebih awal dan bebas dari negara. Doktrin
menyatakan bahwa norma HAM merupakan satu jenis normativitas suprakonstitutional
(supraconstitutional normativity) yang membuat mereka (setidaknya sebagian dari padanya)
kebal terhadap perubahan melalui revisi konstitusi. Ini melekat dalam posisi hukum alam,
meskipun hukum alam sangat jarang dikemukakan sebagai alasan. Status istimewa hak asasi ini,
tentu saja, ditegakkan oleh ketentuan yang mengaturnya, meskipun terjadi perubahan konstitusi :
sebagaimana telah diutarakan sebelumnya.
Masalah hirarki norma yang paling rumit yang dihadapi tampak ketika dua kewenangan
konstitusional atau dua hak konstitusional bertentangan satu dengan yang lain dalam satu
peristiwa atau kasus tertentu harus dipertimbangkan. Bahkan pengamatan secara sekilas
memperlihatkan ruang yang luas tentang potensi masalah seperti itu. Menyangkut hubungan
hirarkis yang ditetapkan antara : (i) Kewenangan konstitusional yang satu berhadapan dengan
kewenangan konstitusional lainnya. (ii) Pasal HAM tertentu berhadapan dengan pasal HAM
lainnya; (iii) pasal-pasal HAM berhadapan dengan kewenangan konstitusional yang tidak secara
langsung berhubungan dengan HAM; dan (3) ketentuan HAM dan aturan serta praktek yang
mengakar dalam tertib hukum lain (Hukum TUN, perdata beragam undang-undang). Pasal-pasal
konstitusi merupakan ruang persaingan makna, karena mereka membangun argumen tentang
sifat, isi dan dapat diterapkannya satu aturan tertentu. Kontradiksi makna ini mendorong
pertumbuhan konstitusi
Pembuat Undang-Undang, pembuat kebijakan dan terutama Hakim wajib memutus
kontroversi hukum pertentangan diantara hak-hak konstitusional tersebut maupun antara hak
konstitusional rakyat dengan kewenangan konstitusional Pemerintah,
yang secara inheren
merupakan kontroversi tentang aplikabilitas norma dalam situasi tertentu. Satu kontroversi yang
spesifik tentang makna pasal-pasal konstitusi diputus dengan menerapkan hukum itu. Semua
penyelenggara Negara menurut Konstitusi harus menyatakan bahwa setelah mempertimbangkan
bahasa dan arsitektur konstitusi, mereka ada dalam posisi untuk memutus satu perkara khusus.
Dalam kenyataan, kedua tahap tersebut sangat saling tergantung, terjadi kurang lebih secara
simultan di dalam rangkaian proses interpretasi. Hal ini sangat penting dalam
proses
pengambilan keputusan mahkamah konstitusi. Karena interpretasi konstitusi terletak di pusat
kebijakan konstitusi, dan karena bahasa konstitusi membentuk intepretasi konstitusi kita
cenderung memiliki sedikit pilihan.
Misalnya dalam benturan antara hak dan kebebasan untuk menyatakan pendapat boleh
jadi berhadapan dengan hak atas kehormatan dan martabat manusia. Hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul kemungkinan berhadapan dengan kewenangan Negara untuk menjaga
ketertiban dan keamanan. Contoh lain, dalam konteks kewenangan konstitusional pusat dan
daerah, misal prinsip konstitusi tentang Negara Kesatuan R.I. yang ditegaskan tidak dapat
diubah, dengan satu sistem hukum, politik, sosial dan ekonomi dalam kesatuan wilayah yang
utuh, berhadapan dengan norma konstitusi tentang penyelenggaraan desentralisasi pemerintahan
yang membagi wilayah pemerintahan dalam Provinsi dan Kabupaten/ Kota yang berwenang
menurut konstitusi untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Gagasan desentralisasi dan otonomi daerah
seluas-luasnya dengan hak untuk menetapkan peraturan daerah untuk mengurus sendiri urusan
pemerintahan daerahnya masing-masing, secara logis membutuhkan dukungan kewenangan
untuk memperoleh revenue/penghasilan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan dan
pelayanan masyarakat, di samping alokasi dana dari pemerintah pusat dalam perimbangan
keuangan.
Dalam konteks demikian, UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
memberi kewenangan untuk mengenakan tariff atas objek pajak yang diatur dalam UU 28/2009
secara variatif dalam skala yang ditentukan tersebut, merupakan konsekwensi logis desentralisasi
dan otonomi daerah. Proses penyeimbangan yang harus dilakukan dalam judicial review, bahwa
hakim menentukan apakah, dan sejauh mana, satu nilai hukum atau satu hak individu, atau satu
kepentingan konstitusional pemerintah harus memberi jalan kepada satu nilai konstitusional
lainnya. Berhadapan dengan batasan konstitusi tentang Negara Kesatuan R.I. yang
mengamanatkan satu kesatuan sistim hukum pajak yang sama, dan tidak membeda-bedakan,
dengan kewenangan pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan urusannya dengan otonomi
seluas-luasnya dan kewenangan untuk menetapkan peraturan daerah, maka pilihan proporsional
daalam skala prioritas kepentingan dan kewenangan konstitusional dalam hirarki norma UUD
1945, dengan mana bahwa tujuan memberi dukungan pembiayaan bagi terselenggaranya
pemerintahan daerah yang dapat diberikan tidak boleh mengesampingkan keutuhan wilayah
dalam sistem hukum, politik dan ekonomi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ukuran
yang menggunakan uji proporsionalitas hemat kami ditemukan karena untuk memungkinkan
Pemerintahan daerah dapat melaksanakan pelayanan masyarakat yang
lebih baik, dapat
diwujudkan melalui perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang lebih baik, tanpa
mengesampingkan prinsip kesatuan wilayah dalam Negara Kesatuan R.I., yang merupakan
norma yang lebih tinggi bobotnya dalam hirarki norma konstitusi. Oleh karenanya juga norma
dalam UU 28/2009 yang memberi kewenangan untuk menetapkan tarif dalam skala yang
ditentukan, sehingga menyebabkan perbedaan perlakuan dalam wilayah yang berbeda dalam
NKRI, terhadap objek yang sama, tidak sesuai dengan UUD 1945.
Akibat langsung dari hak asasi manusia misalnya membentuk satu hubungan hierarkis
diantara teks konstitusi. Satu hirarki dalam konstitusi (intraconstitutional hierarchies) lebih
rumit, tetapi hukum menyiratkan satu status yang istimewa bagi hak konstitusi. Teks konstitusi
bisa dianggap terlebih dahulu memproklamasikan HAM, sebelum membentuk lembaga negara
dan sebelum fungsi-fungsi Pemerintahan dibagikan kepada lembaga-lembaga negara. Akibat
pendirian ini, HAM dilihat oleh sarjana hukum dan banyak hakim memiliki satu eksistensi
juridis yang lebih awal dan bebas dari negara. Doktrin menyatakan bahwa norma HAM
merupakan satu jenis normativitas suprakonstitutional (supraconstitutional normativity) yang
membuat mereka (setidaknya sebagian dari padanya) kebal terhadap perubahan melalui revisi
konstitusi. Ini melekat dalam posisi hukum alam, meskipun hukum alam sangat jarang
dikemukakan sebagai alasan. Status istimewa hak asasi ini, tentu saja, ditegakkan oleh ketentuan
yang mengaturnya, meskipun terjadi perubahan konstitusi : sebagaimana telah diutarakan
sebelumnya. Hukum konstitusi Jerman dan Spanyol memperlakukan ketentuan tentang HAM
sebagai kaku dan tidak dapat berubah, sedang hak-hak yang bukan HAM fleksibel. Dan di Italia,
MK Itali telah memberi apa yang kenyataanya berstatus suprakonstitusional terhadap “hak asasi
yang tidak dapat dilanggar (‘inviolable rights).’ 9
Masalah hirarki norma yang paling rumit yang dihadapi MK tampak ketika dua hak
asasi manusi yang bertentangan satu dengan yang lain dalam satu kasus tertentu harus
dipertimbangkan. Bahkan pengamatan secara sekilas memperlihatkan jarak (range) yang luas
tentang potensi masalah seperti itu. Menyangkut hubungan hirarkis yang ditetapkan antara : (1)
tiap pasal HAM tertentu dan pasal HAM lainnya; (2) pasal-pasal HAM dan pasal konstitusi
yang tidak secara langsung berhubungan dengan HAM; dan (3) ketentuan HAM dan aturan serta
praktek yang mengakar dalam tertib hukum lain (Hukum TUN, perdata beragam
undang-
undang). Pasal-pasal konstitusi merupakan tempat persaingan tentang makna, karena mereka
mengorganisir
argumen tentang sifat , isi dan dapat diterapkannya satu aturan tertentu.
Kontradiksi makna ini mendorong pertumbuhan konstitusi.
9
Alec Stone, op.cit hal
Hakim wajib memutus kontroversi hukum tentang HAM yang secara inheren merupakan
kontroversi tentang aplikabilitas norma dalam situasi tertentu. Satu kontroversi yang spesifik
tentang makna pasal-pasal konstitusi diputus dengan menerapkan hukum itu. Hakim Konstitusi
menyatakan bahwa setelah mempertimbangkan bahasa dan arsitektur konstitusi, mereka ada
dalam posisi untuk memutus satu perkara khusus. Dalam kenyataan, kedua tahap tersebut sangat
saling tergantung, terjadi kurang lebih secara simultan di dalam rangkaian proses interpretasi.
Kebenaran yang sederhana ini ternyata sangat penting terhadap pengertian kita tentang proses
pengambilan keputusan mahkamah konstitusi. Bagaimanapun, karena interpretasi konstitusi
terletak di pusat politik konstitusi, dan karena bahasa konstitusi membentuk intepretasi konstitusi
kita cenderung memiliki sedikit pilihan kecuali mengambil struktur normatif pembuatan putusan
konstitusi (perbuatan interpretasi) dengan serious.
Dalam perselisihan tentang hukum aborsi, apakah hak untuk hidup mengalahkan hak
seorang wanita untuk mengembangkan kepribadiannya? Dalam kasus penistaan, apakah
kebebasan ekspresi pers atau hak individu atas kehormatan pribadi dan nama baik satu badan
akan diberi keutamaan ? dalam satu sengketa tentang penyitaan hak milik, seberapa banyak
bimbingan akan diberikan konstitusi kepada hakim bila, disatu pihak, hak milik dinyatakan,
sedang dipihak lain, milik harus digunakan untuk kebaikan masyarakat, dan dapat dirampas oleh
pejabat publik untuk kegunaan semacam itu. Kita dapat melanjutkannya terus. Apa yang jelas
adalah bahwa jenis masalah ini tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dipecahkan secara
definitif. Tidak mengherankan, bahwa ketegangan intraconstitutional seperti ini merupakan
sumber pergulatan
konstitusi.
besar hakim konstitusi
dalam pembuatan putusan dan perkembangan
Keseimbangan Perlindungan HAM Sebagai Hak Konstitusional
Perlindungan HAM merupakan tujuan sentral konstitusionalisme modern. Jumlah
terbesar putusan2 paling penting yang diberikan oleh MK adalah penyelesaian sengketa
tentang makna hak-hak asasi. Tugas ini secara normatif sulit karena, dalam setiap sengketa
konstitusi didepan hakim MK, ketentuan tentang HAM yang dipersoalkan mungkin
bertentangan dengan ketentuan HAM lainnya, ataupun dengan pasal2 yang tidak menyangkut
HAM. Dalam menyelesaikan soal semacam itu, MK bertindak mengkonstruksikan teori hak
konstitusional atau keadilan konstitusional, dengan membangun hierarki norma dan nilai-nilai
dalam konstitusi itu sendiri.
Constitutional Review secara abstrak model Eropah menjadi sangat kuat membentuk legal
policy dari Hakim, meskipun blueprint kelembagaan Kelsen telah sangat dimodifikasi dalam
satu segi yang sangat menentukan. Kelsen telah berpendapat bahwa MK harus tidak diberi
kewenangan atas hak-hak konstitusional, untuk menjamin bahwa fungsi judikatif dan legislatif
tetap seterpisah mungkin. Namun sejak perang dunia ke II, praktek hampir semua negara telah
mengalami satu revolusi yang sangat penting dengan mengkodifikasikan hak-hak asasi manusia
baik di tingkat nasional maupun suprnasional. Beban untuk melindungi hak-hak asasi ini jatuh
pada MK.
Struktur ketentuan HAM secara implisit membentuk delegasi kekuasaan diskresioner yang
luar biasa kepada hakim MK. Untuk memberi ilustrasi, dibawah ini sejumlah persaingan hak
tersebut dapat dilihat dengan tegas : Hak atas kebebasan menyatakan pendapat, yang dibatas
oleh hak lain, termasuk kehormatan
dan privasi pribadi.
Hak milik yang memperoleh
pengakuan akan berhadapan dengan fungsi social sebagai batasan hak milik bagi keuntungan
“public benefit, yang diatur dalam undang-undang. Domisili pribadi tidak dapat diganggu
gugat, kecuali untuk penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan ‘dalam perkara dan dengan
cara yang diletakkan oleh undang-undang. Pers sekarang tidak tunduk kepada sensor manapun,
tetapi ditentukan bahwa penerbitan yang bertentangan dengan moralitas dilarang. Pasal 28
menyatakan bahwa ‘setiap orang memiliki hak bagi pengembangan pribadi secara bebas sejauh
tidak melanggar hak asasi orang lain atau melanggar ketertiban konstitusional dan aturan
moral’, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945..
Ketegangan intraconstitutional tidak hanya semata-mata menjadi urusan hakim MK. Konstitusikonstitusi Eropah mensyaratkan pembuat undang-undang terlibat dalam pembuatan putusan
konstitusi, yaitu untuk menjamin penghormatan bagi hak-hak konstitusional dan mengatur hak
bagaimana hak-hak tersebut dinikmati dan dilaksanakan bagi kebaikan kolektivitas. Meskipun
dinyatakan dalam pasal-pasal yang berbeda, kompetensi terakhir ini biasanya dilihat secara
holistik, sebagai satu set kepentingan konstitusional yang utuh yang dimiliki oleh Pemerintah :
untuk memberi ketertiban publik, melindungi moralitas publik, menjamin kebahagiaan (weal)
umum, dan lain-lain. Meski konstitusi-konstitusi Eropa memerintahkan Parlemen dan hakim
memutus sengketa diantara kepentingan pemerintah yang dilindungi secara konstitusional dan
hak-hak konstitusional dalam tiap kasus tertentu, hanya sedikit indikasi yang diberikan
bagaimana melakukan hal demikian. Sebaliknya, struktur pasal-pasal HAM mensyaratkan apa
yang di namai ‘balancing/penyeimbang’ : pertimbangan tentang batas rasional yang pantas
dari (i) satu hak konstitusional individu dan kelompok tertentu yang telah berada dalam konflik
dengan (2) hak individu orang lain, atau kepentingan konstitusional pemerintah. 10
Di Eropah telah di hasilkan satu tubuh doktrin dan asas yang semakin bertumbuh yang
dirancang untuk menerangkan, mensintesiskan, dan membenarkan proses penyeimbangan
dengan apa yang disebut “uji proporsionalitas.” Semua di elaborasi berdasar urutan yang
sama : penafsiran, penyeimbangan, proporsionalitas. Misal Hakim MK, pertama-tama mencoba
mengeluarkan dengan tafsir, konflik intrakonstitusional yang terjadi berdasar asumsi bahwa
konstitusi adalah satu tubuh dari norma-norma yang harmonis, dan konflik diantara norma
konstitusi hanya khayalan. Namun, jika satu sengketa memuat satu konflik yang inheren diantara
dua ketentuan HAM (atau antara satu ketentuan HAM dengan kepentingan konstitusional
pemerintah) yang tidak dapat diabaikan dengan tafsir, hakim bergerak kearah penyeimbangan.
Dalam penyeimbangan, hakim menentukan apakah, dan sejauh mana, satu nilai hukum atau satu
hak individu-individu, atau satu kepentingan konstitusional pemerintah harus memberi jalan
kepada satu nilai hukum dan prinsip konstitusi lain yang berkaitan. Latihan atau penggunaan ini
diatur oleh batu ujian proporsionalitas, yaitu bagaimana mencapai tujuan konstitusionalitas
norma dengan kerugian atau pelanggaran yang paling minimum.
Penyeimbangan merupakan teknik interpretif yang disukai, yang digunakan untuk
memutus kasus dimana nilai-nilai hukum yang diajukan oleh para pihak, keduanya memiliki
status yang sederajat (dalam hierarki norma), namun bertentangan satu sama lain( dalam konflik
spesifik yang dihadapi). Ketika Mahkamah mengklaim menyeimbangkan
konstitusional, atau hak konstitusional terhadap
dua hak
satu tujuan negara yang sah secara
konstitusional, satu batu uji proporsionalitas – sesungguhnya sebagai satu cara melindungi salah
10
Alec Stone ibid , hal 97.
satu hak konstitusional, yang menimbulkan kerugian minimal terhadap satu hak konstitusional
lainnya
– yang secara logis tiimbul sebagai akibat
dari penggunaan alat keseimbangan,
(balancing exercise) dan hampir di semua perkara sesungguhnya terjadi. Jika dalam proses
penyeimbangan, MK menentukan bahwa satu undang-undang melanggar penggunaan satu hak
konstitusional, namun demikian undang-undang tersebut masih konstitusional – sejauh bahwa
secara seimbang manfaat/pelayanan undang-undang terhadap beberapa nilai konstitusi yang lain
melampaui keburukannya – sehingga sebagai akibatnya, kecuali pelanggaran yang terjadi secara
minimum merupakan hal yang absolut dan perlu untuk melayani nilai lainnya, undang-undang
tersebut inkonstitusional. Ini disebabkan karena semua pengurangan atas hak-hak tidak dapat
dibenarkan oleh balancing, karena pengurangan demikian tidak menambahkan sesuatu yang
positif yang tidak dapat melampaui efek negatifnya yang marginal. Dikatakan secara sederhana,
tidak pernah cukup secara konstitusional, menurut satu standar keseimbangan, bahwa
keuntungan konstitusional lebih besar dari kerugian konstitusional;
konstitusional harus dapat dicapai setidaknya ongkos konstitusional
sebaliknya keuntungan
paling sedikit atau
minimum. Dalam jenis peradilan seperti ini hakim MK tidak mempunyai pilihan kecuali
menjawab pertanyaan berikut : dapatkah kita bayangkan adanya ketentuan undang-undang selain
dari pada yang ada dihadapan kita yang dapat mencapai hasil yang sama, melayani nilai
konstitusional yang sama, dengan ongkos konstitusi yang lebih rendah? Jika jawabannya ya,
maka undang-undang yang dibayangkan itu konstitusional, tetapi yang ada dihadapan kita tidak.
Satu jurisprudensi HAM berdasarkan penyeimbangan konstitusi (constitutional
balancing) memimpin hakim untuk menempatkan dirinya ditempat legislator, dan melakonkan
pertimbangan yang bergaya legislatif, yang sebagian menjelaskan mengapa kita menemukan MK
sangat sering memerintahkan parlemen untuk membuat undang-undang dengan cara tertentu.
Satu jurisprudensi penyeimbang tidak hanya memberi MK diskresi yang besar, tetapi pada
akhirnya menggolongkan kerja MK kedalam jenis pertimbangan dan pembuatan putusan yang
lebih bergaya legislatif katimbang jurisprudensi HAM yang absolut.
Batu uji penyeimbang dan doktrin proporsionalitas hanya berbuat sedikit dari pada
mengakui, meskipun dalam cara yang berbelit-berbelit, seperti dalam contoh berikut ini : bahwa
melindungi hak konstitusional merupakan kerja yang sukar; hakim MK harus memiliki dan
menggunakan kekuasaan diskresioner yang luas agar dapat melaksanakan pekerjaan ini dengan
sewajarnya; dan tidak terdapat aturan yang ketat dan tegas bagi perlindungan HAM yang dapat
diartikulasikan. Tidak bermaksud mengatakan bahwa MK tidak mencoba membangkitkan aturan
yang satbil untuk mengatur jenis pembuatan putusan konstitusi jenis ini, maupun tidak juga hasil
putusan bersifat acak (random) Makna penyeimbang lebih dalam. MK tidak melindungi HAM
tanpa menjadi terlibat secara mendalam dalam fakta, atau konteks sosial, atau pembuatan
putusan yang mengandung unsure legislasi yang menggaris bawahi atau telah membangkitkan
persoalan konstitusi. Dalam cara pembuatan keputusan semacam ini,, dimensi kebijakanlah yang
berbeda, bukan hukum per se, dan perbedaan ini secara berat mengkondisikan pembangunan
konstitusi dengan menyeret hakim MK kedalam kehidupan warga, dan karya legislator maupun
hakim biasa.
Kesimpulan Dan Penutup.
Berbicara tentang hak konstitusional, sebagai hak dasar warganegara yang dimuat dalam
konstitusi, telah meluas dengan diadopsinya hak-hak asasi manusia menjadi bagian hak
konstitusional dalam UUD 1945. Konstitusi atau Undang Undang Dasar tidak selalu berada
dalam satu keadaan yang harmonis. Konflik norma secara intrakonstitusional, dapat terjadi, baik
karena pergeseran makna, atau terjadinya perubahan UUD secara bertahap dalam kurun waktu
yang berbeda. Terlebih lagi dengan konstitusionalisasi Hak Asasi Manusia, yang juga mengenal
hirarki, terutama antara derogable rights dengan non-derogable rights, maka hirarki terjadi pula
dengan norma-norma yang bukan HAM. Tetapi konstitusi tetap harus dilihat dan diperlakukan
sebagai satu dokumen yang utuh berdasarkan doktrin the integrity of the constitution, dengan
mana tidak boleh satu pasal atau ayat ditarik dari batang tubuh dan spirit konstitusi dan diberi
makna sendiri lepas dari norma-norma lainnya sebagai satu struktur dan sistem. Oleh karena itu
diperlukan satu metode keseimbangan (balancing) untuk menilai dan memberi makna yang
konstitusional dalam hal terjadi benturan antara hak-hak konstitusional yang satu dengan lainnya,
atau antara hak konstitusional dengan kewenangan konstitusional lembaga Negara, dengan mana
dua atau lebih norma konstitusi yang bertentangan harus dipertimbangkan secara proporsional,
dalam menentukan konstitusionalitas satu norma yang diuji, dengan melihat manakah yang
paling besar menimbulkan kerugian konstitusional jika satu norma yang diuji diberlakukan.
Jikalau satu norma dipertahankan, salah satu norma konstitusi dari dua yang secara
intraconstitusional bersaing menjadi landasan yang didalilkan, maka yang paling sedikit
merugikan itulah yang akan diterima sebagai landasan konstitusionalitas.
Salatiga, 3 Desember 2011.
Download