1 EKSISTENSI DHARMAGITA DI DESA TOLAI BARAT I Nyoman

advertisement
EKSISTENSI DHARMAGITA
DI DESA TOLAI BARAT
I Nyoman Suparman *
 Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah
ABSTRAK
Masyarakat yang beragama Hindu di Desa Tolai Barat hampir 100% adalah
umat Hindu yang berasal dari Pulau Bali, sehingga kehidupan budaya Bali
sepenuhnya diadopsi atau diterapkan di daerah ini. Dharmagita merupakan salah
satu budaya Hindu yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan beragama di kalangan umat Hindu. Permasalahan itu kemudian
dirumuskan dalam rumusan masalah yaitu Eksistensi dharmagita di Desa Tolai
Barat. Teori yang digunakan untuk membedah masalah ini adalah Teori Rasa.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan
teknik observasi non partisipan dan wawancara tidak berstruktur yang ditentukan
dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah
reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah
eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat cukup baik karena
pelaksanaannya didukung oleh umat Hindu melalui kegiatan dharmagita tingkat
desa setiap persembahyangan Purnama Tilem dan kegiatan dharmagita yang rutin
dilaksanakan setiap minggu. Selain itu juga eksistensi pelaksanaan dharmagita di
Desa Tolai Barat tidak lepas dari dukungan PHDI dan pemerintah daerah sehingga
dharmagita bisa dilaksanakan rutin setiap tiga tahun sekali.
Kata Kunci: Eksistensi, Dharmagita
1.
Pendahuluan
Masyarakat yang beragama Hindu di
Desa Tolai Barat hampir 100% adalah umat
Hindu yang berasal dari Pulau Bali,
sehingga
kehidupan
budaya
Bali
sepenuhnya diadopsi atau diterapkan di
daerah ini. Hal ini terbukti dari hasil cipta
karya seni yang merupakan peninggalan
warisan masyarakat Bali terdahulu yang
memiliki nilai-nilai luhur dan dapat dilihat
sampai
sekarang
pertumbuhan
dan
perkembangannya yang diterapkan oleh
masyarakat yang beragama Hindu di Desa
Tolai Barat. Dengan demikian keunikan dan
kekhasan kebudayaan Bali akan didapat
dalam jangka waktu yang panjang untuk
mengantarkan
masyarakat
ke
arah
peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
terutama budaya seni suara berupa
dharmagita yang dilaksanakan dalam setiap
aktivitas keagamaan.
Dharmagita merupakan salah satu
budaya Hindu yang perlu dikembangkan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan
beragama di kalangan umat Hindu. Dilihat
dari ragamnya, dharmagita terdiri atas:
sekar rare, sekar alit, sekar madya, sekar
agung
(Sukrata,
1996/1997:
14).
Dharmagita sebagai nyanyian keagamaan
bagi umat Hindu yang dipergunakan
menyertai kegiatan keagamaan khususnya
yang berhubungan dengan ritual atau yajna.
Penggunaan dharmagita dalam berbagai
kegiatan
keagamaan
tersebut
sangat
dibutuhkan karena irama lagunya memiliki
berbagai jenis variasi yang sangat
1
membantu dalam menciptakan suasana
hening, hikmad atau khusuk yang dipancari
oleh getaran kesucian sesuai jenis yajna
yang dilaksanakan. Di samping itu, dilihat
dari tema syair-syairnya mengandung ajaran
agama, susila tuntunan hidup yang baik
serta lukisan kebesaran Tuhan (Hyang
Widhi) dalam berbagai prabhawa-Nya yang
dipuji-puji oleh umat Hindu (Warjana,
1996: 3).
Selain mengiringi kegiatan upacara
yajna, dharmagita juga dipakai mengiringi
tarian-tarian sakral seperti tari Sang Hyang
Dedari dan Sang Hyang Jaran. Di sini jelas
sekali bahwa nyanyian sebagai salah satu
cara konsentrasi. Sebagai buktinya melalui
pengucapan Gending Sang Hyang berkalikali secara bersama-sama serta disertai
sesajen, maka terjadilah hal-hal di luar
kemampuan manusia seperti penari yang
tidak sadarkan diri dan banyak lagi hal-hal
aneh lainnya. Maksudnya roh pada penari
Sang Hyang seakan-akan terpanggil oleh
lagu atau nyanyian yang
diucapkan
bersama-sama tersebut.
Istilah dharmagita muncul dan
berkembang
setelah
dilaksanakan
pelestarian terhadap tembang atau lagu-lagu
keagamaan melalui lomba kakawin atau
kakidung yang
diawali dengan lomba
kidung antar banjar atau antar desa, atau
juga di masing-masing instansi dan di
masing-masing sekolah. Kegiatan-kegiatan
lomba tembang yang masih bersifat lokal
atau tingkat desa semacam itu mendapat
perhatian yang baik dari pemerintah dan
bersama
parisada
melanjutkan
serta
membenahi secara bertahap kegiatan
semacam itu, maka dengan demikian
muncullah istilah Utsawa Dharmagita,
yakni lomba tembang lagu-lagu agama
Hindu tingkat kecamatan dan tingkat
kabupaten. Dharmagita merupakan budaya
Hindu berupa seni suara yang merupakan
warisan leluhur orang Bali yang tetap
2
dilaksanakan sampai saat ini di Desa Tolai
Barat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas,
dharmagita pada umumnya digunakan
untuk mengiringi kegiatan upacara yajna,
maksud dari pernyataan di atas adalah
setiap adanya kegiatan upacara yajna atau
keagamaan selalu diiringi dengan nyanyiannyanyian suci atau dharmagita. Pelaksanaan
upacara yajna adalah bagian dari ajaran
agama yaitu ajaran karma dan bakti yang
tertuang dalam konsep Panca Yajna
tersebut terdiri dari: (1) Dewa Yajna, yaitu
suatu persembahan yang didasari rasa tulus
ikhlas yang ditujukan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa serta para dewa sebagai
manifestasi-Nya, (2) Rsi Yajna, yaitu suatu
persembahan tulus ikhlas yang ditujukan
kehadapan para Rsi atau pendeta, (3) Pitra
Yajna, yaitu persembahan yang ditujukan
kehadapan para leluhur, (4) Manusa Yajna,
yaitu
persembahan
yang
ditujukan
kehadapan manusia itu sendiri, dan (5)
Butha Yajna, yaitu suatu persembahan atau
korban suci yang didasari oleh rasa tulus
ikhlas yang ditujukan kehadapan para Butha
Kala.
Konsep
Panca
Yajna
timbul
disebabkan oleh adanya hutang atau Rna
yang terdiri dari (1) Dewa Rna, yaitu hutang
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
beserta para dewa serta manifestasi-Nya
akan melahirkan konsep Dewa Yajna dan
Butha Yajna, (2) Pitra Rna yaitu hutang
kehadapan para leluhur akan menimbulkan
konsep Pitra Yajna dan Manusa Yajna, dan
(3) Rsi Rna yaitu hutang ilmu pengetahuan
kehadapan para Rsi/pendeta dapat dibayar
dengan melaksanakan Rsi Yajna (Pendit,
1996: 409).
Dalam aplikasinya di masyarakat
setiap yajna akan ditentukan mutunya oleh
besar kecilnya ketulusikhlasan dari yang
melaksanakannya.
Upacara
menurut
petunjuk kitab-kitab suci dilakukan orang
tanpa mengharapkan pahala dan percaya
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
sepenuhnya upacara ini sebagai tugas
kewajiban satwika (Pendit, 1996: 409).
Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa
setiap orang harus melaksanakan yajna
berdasarkan satwika yajna yang mana salah
satu unsur dari satwika yajna adalah setiap
yajna tidak terlepas dengan gita (nyanyian),
hal inilah yang menyebabkan di Bali banyak
terdapat nyanyian suci keagamaan yang
dapat dipergunakan untuk mengiringi
upacara yajna untuk membangun satwika
yajna yang terdiri dari tujuh katagori yaitu:
(1) Sraddha, (2) Lascarya, (3) Sastra, (4)
Daksina, (5) Mantra/Gita, (6) Annasewa,
dan (7) Nasmita. Ketujuh hal ini sering
diistilahkan dengan Sapta Satwika Yajna
(Wiyana, 1995: 28).
Dalam kegiatan dharmagita, para
peserta akan belajar mengenai bahasa,
aksara, konsep-konsep budaya serta nilainilai yang terkandung dalam naskah lontar.
Salah satu caranya adalah dengan
memahami aktivitas dharmagita sebagai
salah satu media pendidikan dan pengantar
dalam setiap upacara keagamaan. Sering
juga disebutkan sebagai malajah sambilan
magending, magending sambilan malajah
(belajar sambil bernyanyi, bernyanyi sambil
belajar). Kegiatan dharmagita ada yang
dilaksanakan di tingkat desa, tingkat
kecamatan, dan sampai tingkat kabupaten di
Parigi Moutong. Kegiatan dharmagita ini
dapat diaplikasikan dalam kehidupan
masyakat Hindu di Desa Tolai Barat. Hal
inilah yang mendorong penulis untuk
memilih dan mengangkat suatu penelitian
yang berjudul Eksistensi Dharmagita di
Desa Tolai Barat.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Tolai Barat. Mulai dari observasi,
wawancara,
sampai
pengolahan
dan
penyususnan data penelitian membutuhkan
waktu empat bulan. Sumber data terdiri dari
data primer dan data sekunder. Teknik
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
observasi yang digunakan adalah observasi
non partisipan dimana peneliti tidak
berpartisipasi dalam kegiatan dharmagita.
Teknik wawancara yang digunakan adalah
wawancara
tidak
berstruktur
agar
memperoleh
data
secara
mendalam.
Penentuan informan menggunakan teknik
purposive sampling karena peneliti sudah
menentukan
informan
yang
akan
diwawancarai.
Sumber
data
dalam
penelitian ini adalah data primer yaitu data
yang diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara pada orang yang sering terlibat
di dalam pelaksanaan dharmagita dan data
sekunder
yaitu
melalui
buku-buku
penunjang yang terkait dengan penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan adalah:
1) reduksi data, 2) penyajian data, dan 3)
penarikan kesimpulan.
3.
Hasil dan Pembahasan
Setelah melakukan tahapan proses
pengumpulan data dan proses analisis data,
maka eksistensi dharmagita di Desa Tolai
Barat adalah sebagai berikut.
3.1. Eksistensi Dharmagita di Desa Tolai
Barat
Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai
Barat dilaksanakan setiap bulan berjalan,
kegiatan persantian (dharmagita) yang
bersifat lokal ini mendapat perhatian dari
pemerintah dan Parisada Desa Tolai Barat.
Dharmagita sebagai nyanyian keagamaan
digunakan untuk menyertai kegiatan
keagamaan yang berhubungan dengan ritual
atau yajna. Dalam hal ini dharmagita sangat
diperlukan, karena irama lagunya yang
mempunyai berbagai variasi yang mampu
menciptakan suasana hening dan khusuk
yang dipancari oleh getaran kesucian sesuai
jenis yajna yang dilaksanakan. Selain itu
jika dilihat dari tema syair-syairnya,
mengandung ajaran agama, susila, tuntunan
hidup yang baik dan lukisan tentang
kebesaran
Tuhan
dalam
berbagai
manifestasi-Nya yang dipuji-puji oleh umat
3
Hindu. Dalam hal ini ada ditampilkan hasil
wawancara terhadap beberapa tokoh umat
Hindu di Desa Tolai Barat sebagai berikut.
Menurut Sumari, wawancara tanggal
20 Desember 2013, menyatakan bahwa agar
kegiatan dharmagita ini akan tetap eksis maka
perlu diadakan perlombaan dharmagita atau
yang
lebih
dikenal
dengan
Utsawa
Dharmagita. Selain itu, kegiatan Utsawa
Dharmagita harus dimulai dari perlombaan
tingkat desa, terus dilanjutkan dengan lomba
tingkat kecamatan.
Menurut Jro Sumari, wawancara
tanggal 20 Desember 2013, menyatakan
bahwa eksisnya kegiatan dharmagita ini
sangat dipengaruhi oleh
adanya Utsawa
Dharmagita yang selalu akan diadakan setiap
tiga tahun sekali oleh umat Hindu di Desa
Tolai Barat dan dengan dukungan dari
pemerintah setempat. Selain itu juga selama
ini eksistensi Utsawa Dharmagita di Desa
Tolai Barat karena umat Hindu setiap
kecamatan diwajibkan untuk mengutus
perwakilan dalam perlombaan Utsawa
Dharmagita tingkat kabupaten. Walaupun
dalam kondisi yang tidak siap umat Hindu
berusaha untuk mengutus perwakilannya untuk
mengikuti kegiatan walaupun dengan sistem
ditunjuk langsung tanpa melalui seleksi
terlebih dahulu, mereka punya prinsip yang
penting ada mewakili kecamatan dalam
perlombaan Utsawa Dharmagita yang
dilaksanakan oleh PHDI.
Dengan
keaktifan
setiap
persembahyangan Purnama dan Tilem
melaksanakan dharmagita akan membiasakan
masyarakat untuk mendengarkan lantunan
kidung dharmagita. Selain itu pelaksanaan
dharmagita yang dilakukan setiap menyambut
hari raya suci keagamaan seperti hari raya
Nyepi, Siwalatri, Saraswati, Galungan dan
Kuningan yang biasa diisi dengan kegiatan
dharmagita dapat meningkatkan eksistensi
dharmagita di Desa Tolai Barat.
Eksistensi
pelaksanaan
kegiatan
dharmagita ini memiliki beberapa fungsi
4
sehingga kegiatan ini bisa tetap eksis
dilaksanakan di masyarakat. Berikut adalah
pembahasan beberapa fungsi dharmagita
sehingga tetap eksis di mata masyarakat.
Eksistensi pelaksanaan dharmagita di
Desa Tolai Barat tidak lepas dari peran para
tokoh agama, PHDI desa dan WHDI desa yang
membentuk kelompok-kelompok persantian
tingkat desa dan rutin melaksanakan kegiatan
pelatihan persantian setiap minggu di pura,
persantian setiap acara keagamaan di masingmasing umat Hindu seperti upacara Dewa
Yajna, Manusa Yajna dan Pitra Yajna. Selain
itu
kelompok
persantian
juga
rutin
melaksanakan kegiatan persantian pada waktu
persembahyangan Purnama dan Tilem.
a.
Asal-Usul Pelaksanaan Dharmagita
Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai
Barat tidak lepas dari keberadaan umat
Hindu di Desa Tolai Barat yang merupakan
masyarakat transmigrasi yang berasal dari
Pulau Dewata, mewarisi tradisi pelaksanaan
upacara keagamaan yang selalu diiringi
dengan dharmagita.
Dengan jiwa-jiwa yang telah didasari
pengetahuan dharmagita maka masyarakat
Hindu di Desa Tolai Barat mulai
membentuk kelompok persantian (sekhaa
santhi) di setiap desa di Desa Tolai Barat.
Dengan
adanya
kelompok-kelompok
persantian di setiap desa, maka tokoh-tokoh
masyarakat Hindu
bekerjasama dengan
PHDI desa dan PHDI kecamatan untuk
mengkoordinir semua kelompok persantian
(sekhaa santhi) yang ada di Desa Tolai
Barat
b.
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Dharmagita
Pelaksanaaan dharmagita di Desa
Tolai Barat dilaksanakan di setiap desa
melalui kelompok-kelompok persantian
(sekhaa santhi) setiap Purnama Tilem di
pura, hari-hari tertentu seperti upacara
Manusa Yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna,
dan Bhuta Yajna yang dilaksanakan di
tempat Manggala Upakara. Selain itu
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
pelaksanaan dharmagita rutin dilaksanakan
setiap minggu di Balai Banjar atau dari
rumah ke rumah sesuai dengan kesepakatan
kelompok persantian (sekhaa santhi).
c.
Keorganisasian Dharmagita
Keorganisasian dharmagita bersifat
kolektif yang terbentuk atas dasar hobi dari
masing-masing individu yang bersifat
formal
dan
nonformal.
Kelompok
persantian (sekhaa santhi) formal adalah
keanggotaannya yang terpilih berdasarkan
sukarela karena hobi kemudian diakui
secara resmi oleh lembaga keumatan di desa
yaitu PHDI desa. Dalam kegiatan-kegiatan
dharmagita, diberikan penghargaan berupa
pakaian atau buku panduan dharmagita
karena
pengabdiannya.
Sedangkan
keorganisasian dharmagita yang bersifat
nonformal adalah kelompok persantian
(sekhaa santhi) yang terbentuk atas dasar
hobi, bakat dan kemauan yang dilaksanakan
tanpa mementingkan pengakuan dari
masyarakat,
mereka
melaksanakan
dharmagita dari rumah ke rumah sesama
anggota kelompok persantian (sekhaa
santhi) hanya untuk kepuasan bathin.
d.
Ritual Pelaksanaan Dharmagita
Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai
Barat sangat berkaitan dengan pelaksanaan
upacara keagamaan atau ritual keagamaan
seperti upacara Dewa Yajna, Rsi Yajna,
Pitra Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta
Yajna. Dalam pelaksanaan upacara Dewa
Yajna, dharmagita dilaksanakan pada saat
upacara piodalan atau pujawali di Pura
Desa, Pura Kawitan/Keluarga dan pura
umum
lainnya.
Sedangkan
ritual
dharmagita untuk pelaksanaan upacara Rsi
Yajna
misalnya
dharmagita
yang
dilaksanakan dalam upacara dwijati untuk
calon para sulinggih di Desa Tolai Barat.
Pelaksanaan ritual dharmagita dalam
upacara Pitra Yajna berupa kegiatan
dharmagita dalam upacara ngaben, upacara
pada saat duka atau kematian. Pelaksanaan
ritual Manusa Yajna, dharmagita digunakan
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
untuk
mengiringi
upacara
potong
gigi/mepandes, dan pelaksanaan ritual
Bhuta Yajna, dharmagita digunakan untuk
mengiringi
upacara
pecaruan
tawur
kesanga pada hari raya Nyepi dan upacara
nangluk merana pada saat sasih keenam,
selain itu dharmagita digunakan pada saat
upacara pecaruan di masing-masing
perumahan umat Hindu.
3.2. Fungsi Dharmagita
a.
Dharmagita sebagai Pencurahan
Perasaan Bhakti
Manusia dalam mencapai tujuan
hidupnya, unsur jiwa sangat memegang
peranan, termasuk dalam tujuan manusia
menuju Tuhan-nya. Usahanya akan hidup,
apabila fungsi ekspresinya dimanfaatkan
secara tepat, dan sebaliknya akan sia-sia
apabila ekspresinya tidak dimanfatkan
sebaik-baiknya. Sedangkan unsur badan
wadah, merupakan pendukung kegiatan
yang dilakukan oleh jiwa. Dalam proses
manusia menuju Tuhan, dimulailah kegiatan
jiwanya dengan sikap kehendak, kemauan
atau keinginan. Dan dalam melaksanakan
ini menusia mencari cara dengan berbagai
jalan dalam bentuk-bentuk yang dipolakan.
Pada
tingkat
pemecahan
masalah
mendapatkan cara atau jalan, manusia
mengadakan usaha-usaha. Ekspresi emosi
jiwa manusia inilah yang paling dominan
peranannya dalam hubungannya menjiwai
kidung-kidung sebagai nyanyian pujaan
kepada Tuhan. Pada dasarnya wujud
perasaan yang merupakan salah satu sikap
jiwa ekspresi perasaannya mengarah kepada
dua
dimensi
dalam
kesatuannya
(rwabhineda) ialah yang bersifat positif dan
negatif yang sangat besar ditentukan oleh
Tri Guna pada setiap individu manusia itu
sendiri. Sikap-sikap ekspresi perasaan yang
positif seperti di atas, yakni: sujud, bhakti,
kagum, tenang, bahagia, damai, dan yang
lain semacam itu sulit sekali digambarkan
secara nyata kecuali dirasakan. Maka
5
dengan perasaanlah kita bisa menikmati
jalannya
upacara.
Dalam
upacara
keagamaan yang biasa diiringi oleh seni
kekidung dan kekawin adalah: Pitra Yajna,
Manusa Yajna, dan Dewa Yajna. Khususnya
mengenai upacara Dewa Yajna untuk
mengiringi upacara ini biasanya dibawakan
kidung. Tetapi kadang-kadang di dalam
upacara Dewa Yajna juga kakawin
dilagukan namun tidak diterjemahkan atau
diberi ulasan. Hal ini memang sering
dijumpai dalam masyarakat. Kidung di sini
berfungsi sebagai nyanyian (lagu) pujaan
kepada dewa merintis pikiran ke arah
ketenangan.
Mengingat pentingnya peranan seni
makekidung dan makekawin di dalam
upacara-upacara keagamaan, rupanya cukup
menggembirakan bagi umat Hindu, sebab
dengan dibentuknya kelompok-kelompok
pesantian sampai di tingkat desa sehingga
memberikan kesempatan kepada masyarakat
khususnya penggemar seni makekawin dan
makekidung ini untuk menuangkan bakatnya
di dalam mendalami seni makekawin dan
makekidung
sehingga
ada
yang
disumbangkan sebagai sujud bhaktinya
kepada Tuhan melalui upacara-upacara
keagamaan. Jadi kalau disimpulkan peranan
dharmagita sebagai pencurahan rasa bhakti
ialah dengan sarana vokal atau lagu-lagu
keagamaan yang diucapkan dengan penuh
rasa sujud bhakti dan pasrah dengan
menemukan alam kedewataan berupa
ketenangan, kedamaian, kebahagian dan
yang lainnya. Memang sangat sulit
digambarkan wujud rasa bhakti kecuali
dilaksanakan dalam sikap ekspresi.
b.
Dharmagita sebagai Alat Pranayama
Salah satu unsur dharmagita yaitu
kekidung, yang lebih menonjol dipentaskan
dalam pelaksanaan yajna. Irama kidung
yang panjang-panjang dan memerlukan
tempo yang lama membutuhkan pengaturan
nafas yang cermat. Kalau pengaturan nafas
kurang tepat, irama nyanyian kidung akan
6
menjadi suatu penyajian yang putus-putus
di tengah-tengah tembang, dan tidak akan
mencapai tujuan semestinya. Untuk dapat
melakukan pengaturan nafas secara baik,
maka para penyanyi kidung hendaknya
menyelaraskan nafas yang keluar dan nafas
yang masuk. Sebanyak nafas yang keluar
untuk menggetarkan ucapan-ucapan kata
dari kidung, sebanyak itu pula nafas yang
diperlukan (masuk) ke rongga dada. Dalam
hubungan ini paru-paru bekerja secara
penuh dan sempat mekar seluruhnya.
Dengan mengembangnya paru-paru secara
penuh dan juga mengempis secara penuh,
maka peredaran darah dalam tubuh si
penyanyi akan menjadi lancar pula,
mengakibatkan
keseimbangan
tubuh
menjadi normal. Kekuatan magis dari
kidung-kidung itu mempengaruhi partikelpartikel prana bergetar dan dapat
menghubungkan gelombang kesuciannya.
Demikianlah
kidung-kidung
itu
sebagai alat pranayama dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk memelihara dunia dan
sebagai medis kesehatan manusia. Karakter
penataan kidung yang memakai irama
panjang-panjang tidak lain dibutuhkan
untuk mengekspresikan dorongan-dorongan
emosi kerinduan, cinta kasih, dan sendu.
Untuk dapat membawakan irama yang
panjang-panjang
sesuai
semestinya
penyanyi kidung pandai mengatur nafasnya.
c.
Dharmagita sebagai Pembimbing
Perasaan Menuju Suasana Kesucian
Manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan dikarunia-Nya alat hidup yaitu jiwa.
Inti jiwa adalah atman, atman dibungkus
oleh citta ialah Tri Guna seperti sifat
satwam, rajas dan tamas, yang dimiliki oleh
hampir setiap manusia. Sifat satwam ialah
nonaktif penuh kesadaran, sifat rajas adalah
aktif kurang kesadaran, dan sifat tamas
adalah pasif, acuh tak acuh. Citta ini
merekam hasil-hasil pengamatan panca
indra dan sifat-sifat hasil rekaman
tergantung daripada tipisnya ruang gerak
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
ketiga guna tadi mendapat kesempatan lolos
kontrolnya sang citta. Apabila satwam yang
berperan mengendalikan panca indra
seseorang, maka mempunyai kesadaran
tinggi meskipun kurang aktivitasnya;
apabila rajas yang berperan mengendalikan
panca indra seseorang, maka seseorang
berinisiatif besar, tapi kurang kesadarannya;
sedang
apabila
tamas
berperanan
mengendalikan panca indranya, maka
ingatan dan ketenangan yang dihasilkan dari
pengalaman-pengalaman
rabaan
panca
indra. Keterikatan panca indra karena
keinginan manusia.
d.
Dharmagita sebagai salah satu
Media
Penerangan
dalam
Menyebarluaskan Ajaran Agama
Hindu
Dalam menyebarluaskan ajaran agama
Hindu perlu adanya upaya dan usaha agar
ajaran agama Hindu ini tetap ajeg dan
lestari. Penyebarluasan ajaran agama Hindu
memiliki sifat untuk mentransformasi ajaran
kepada masyarakat luas. Dalam penyebaran
itu ada beberapa langkah yang ditempuh
seperti:
a. Dharma Sadhana. Sadhana artinya
latihan
atau
pengalaman
untuk
merealisasikan suatu keyakinan. Jadi
yang dimaksud dengan dharma, sadhana
sebagai metode pembinaan umat Hindu
adalah pembinaan dalam bentuk praktik
ajaran dharma atau agama Hindu.
b. Dharma Yatra. Yatra artinya perjalanan
atau ziarah, jadi dharma yatra adalah
perjalanan dalam rangka melaksanakan
dharma, seperti mengunjungi pura untuk
sembahyang ngayah (kerja bhakti) dan
lain-lain guna meningkatkan rasa agama,
penghayatan dan pengamalan ajaran
agama Hindu.
c. Dharma Tula. Tula artinya timbang,
Dharma Tula adalah bertimbang pikiran
berdiskusi atau, urun rembug tentang
ajaran dharma untuk pencerahan serta
pendalaman agama.
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
d. Dharma Santi. Santi artinya damai,
tenang dan sentausa, Dharma Santi
adalah kegiatan dharma dalam rangka
upaya mengkondisikan kehidupan yang
rukun, damai dan tentram. Dharma Santi
dilaksanakan dalam rangka menyambut
tahun Saka.
e. Dharma Wacana. Wacana artinya
ucapan, selanjutnya berarti tutur kata.
Jadi dharma wacana adalah tutur atau
ceramah tentang dharma atau ajaran
agama Hindu.
f. Dharma Gita. Gita artinya nyanyian,
Dharma Gita adalah nyanyian tentang
dharma atau sebagai dharma, maksudnya
ajaran-ajaran agama yang dikemas dalam
bentuk
nyanyian
sehingga
yang
menyanyi maupun yang mendengar
sama-sama dapat belajar, menghayati
serta memperdalam ajaran dharma.
Nyanyian dharma maksudnya nyanyian
tentang dharma yang dilantunkan dalam
rangka melaksanakan dharma, misalnya
melantunkan kidung dalam mengiringi
pelaksanaan upacara yajna. Jadi dengan
demikian dharmagita merupakan salah
satu media dalam menyebarluaskan
ajaran agama Hindu (Wadana, 1997: 819).
e.
Dharmagita
sebagai
Wadah
Menuntun
Manusia
untuk
Bertingkah
Laku
dalam
Hubungannya dengan Masyarakat
Untuk memelihara hubungan yang
harmonis antara sesama manusia sebagai
anggota masyarakat maka perlu adanya
suatu penuntun. Salah satu cara untuk
menuntun masyarakat bertingkah laku
sebagai manusia dalam hubungannya
dengan
masyarakat
adalah
melalui
pesantian. Dalam pesantian manusia
dituntun bertingkah laku, misalnya agar
terjadi keseimbangan dalam masyarakat
maka itu manusia harus saling menghargai
dan menghormati antara sesama, agar dapat
menjalin hubungan yang baik di dalam
7
masyarakat, selalu bertindak adil dan benar.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Kekawin
Wirama Totaka yaitu:
Sasi wimba haneng ghata mesi banyu
Ndan asing suci nirmala mesi wulan,
Iwa mang kana rakwe kiteng kadadin,
Ring angambeki yoga kiteng sakala
Artinya:
Bagaikan bayangan bulan di dalam
tempayan yang berisi air
Hanya pada setiap tempat yang suci
tanpa noda berisi bayangan bulan
Seakan-akan
demikianlah
Engkau
terhadap semua manusia
Kepada
orang
yang
sedang
melaksanakan
yogalah
Engkau
menampakkan diri.
Dalam hal ini juga dapat dilihat dari
kutipan Kekawin Wirama Mandamalon
yaitu:
Stuti nira tan tulus sinahuran
paramartha siwa,
Anaku huwus katon abhimatanta
temunta kabeh,
Hana panganugrahangku cadhu sakti
winimba sara,
Pasupati sastra kastu pangaranya nihan
wulati.
Artinya:
Sebelum sang Arjuna selesai memuja
Hyang Siwa segera menjawab ananda
ternyata telah berhasil menemukan
segala kehendakmu,
Ada anugrah-Ku Cadhu Sakti (empat
kekuatan dalam bentuk senjata),
Panah Pasupati ini namanya sudah
terkenal, lihatlah..!
Dari uraian tersebut dapatlah dipetik
hikmahnya yaitu menuntun setiap manusia
untuk bertindak berpedoman pada dharma,
hendaknya dapat mengikuti tindakan orang
8
yang bijaksana, yang tanpa selalu
mengingatkan diri pada artha dan kama,
kendatipun hal ini penting bagi manusia
tetapi hendaknya dilandasi dengan dharma.
Dharmalah sebagai tiang negara hendaknya
dapat diikuti, lenyapkan kesengsaraan untuk
dapat mencapai tujuan yaitu kecintaan atau
ketentraman dalam bermasyarakat.
Apabila perbuatan manusia selalu
berpedoman pada dharma, maka segala
tindakan yang rupa-rupanya menyimpang,
sedikit tidaknya pasti dapat dikendalikan,
guna tercapainya suasana rukun, harmonis
dan damai serta saling bantu membantu satu
sama lain dengan penuh rasa kasih sayang.
Kasih
mendorong rasa korban, rasa
mengekang diri, rasa mengabdi untuk
kebajikan sesamanya. Kasih adalah dasar
semua kebajikan (dharma) dan sebaliknya
dengki adalah dasar kedursilaan (adharma).
Dengan mengetahui sumber adharma
(perasaan emosi, iri, dengki, marah dan lain
sebagainya), maka akan lebih dapat
mengendalikan diri untuk menciptakan
suasana
yang
harmonis
dalam
bermasyarakat.
Perilaku yang baik adalah dasar
mutlak dalam kehidupan sebagai manusia,
karena berbuat baik atau susila manusia
akan dapat meningkatkan taraf hidupnya
dari yang rendah ke taraf hidup yang lebih
tinggi, baik di alam sekala maupun niskala
atau di akhirat nanti. Demikian juga dalam
memimpin atau memberitahu seseorang,
hendaknya melihat diri dulu, atau dengan
menasehati diri sendiri, seperti juga dapat
dilihat dalam kutipan Kakawin Ramayana di
bawah ini:
Nilian kramanide ningangdani rat,
awakta rumuhun warah ring ayu
telasta mapageh magemagama
teka rikangapatya mantri tumut.
(Ramayana, XXIV.48)
Artinya:
Beginilah tingkah seseorang menjadi
pemimpin,
hendaknya
dirimulah
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
terlebih dahulu dinasehati dengan
kebajikan, seandainya sudah kuat dan
teguh memegang dan melaksanakan
ajaran agama, maka semua rakyat dan
pejabat lainnya akan mengikuti.
Jika menjadi seorang pemimpin atau
memerintah orang lain hendaknya lihat diri
sendiri
dulu,
apakah
sudah
bisa
melaksanakan, sebab di dalam masyarakat
bukanlah teori menjadi pujian atau bersifat
munafik sehingga kepercayaan masyarakat
hilang,
tetapi
kenyataannyalah
yang
menjadi kebanggaan masyarakat. Apapun
yang diberitahukan kepada orang lain atau
masyarakat, asal mau memberi contoh
sehingga benar-benar menjadi tauladan bagi
masyarakat.
Seperti
dikatakan
oleh
Koentjaraninggrat bahwa “Asalkan banyak
pembesar dan pemimpin mau hidup
sederhana dan hemat, asalkan banyak
pembesar dan pemimpin sendiri mau hidup
ketat berdisplin, mentaati hukum dan
aturan-aturan, maka rakyat di bawahnya
akan turut hidup ketat berdisiplin, mentaati
hukum dan aturan-aturan”. Jadi, dengan
demikian kenyataan atau contoh benarbenar
akan
menjadi
kepercayaan
masyarakat. Demikianlah beberapa bait
kakawin
penulis
kutip
yang
ada
hubungannya dengan tingkah laku sebagai
manusia
dalam
masyarakat
(Koentjaraninggrat, 1964, 64-70).
f.
Dharmagita
sebagai
Wadah
Melestarikan Budaya
Pada
hakekatnya
seni
adalah
keindahan yang dipancarkan oleh suatu
obyek yang dapat dihayati oleh manusia.
Adanya kesanggupan menghayati keindahan
itu disebabkan oleh faktor rasa dalam budi
daya manusia. Di samping kesanggupan
menghayati keindahan suatu obyek, maka
faktor rasa dalam budi daya manusia
sanggup bila menumbuhkan ekspresi
getaran rasa hati dan menuangkan ke dalam
suatu bentuk kesanggupan yang besar untuk
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
menghayati dan mengekspresikan suatu
keindahan disebut seniman, sedangkan hasil
ciptaan yang indah itu dinamai kesenian.
Demikiankanlah kesenian itu merupakan
bagian dari kebudayaan dan hidup matinya
suatu kesenian adalah tergantung kepada
keadaan masyarakat pendukungnya. Tinggi
rendahnya kesenian suatu bangsa adalah
relatif dan sensitif, tergantung kepada
pandangan
masing-masing
dan
juga
kesanggupan menghayati keindahan yang
dipancarkan oleh kesenian itu sendiri.
Sehubungan dengan itu, terbentuknya
kelompok-kelompok pesantian sampai ke
tingkat dusun, maka keindahan daripada
seni makekawin, makekidung maupun
mageguritan
dapat
dihayati
oleh
masyarakat, makekawin merupakan suatu
pekerjaan sukarela yang tak pernah diupah
seperti sekaa arja atau drama gong. Di
dalam
melaksanakan
suatu
kegiatan
makekawin biasanya pada upacara Dewa
Yajna maupun Manusa Yajna dan lain
sebagainya semuanya dilaksanakan dengan
tulus ikhlas tanpa pamrih.
Menurut Koentjaraningrat di dalam
kebudayaan terdapat tujuh unsur universal,
yaitu: 1) sistem relegi dan upacara
keagamaan,
2)
sistem
organisasi
kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4)
bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata
pencaharian, dan 7) sistem teknologi dan
peralatan.
Ketujuh unsur universal budaya
tersebut melalui pesantian dapat kita
sebarluaskan, seperti:
1. Sistem Relegi dan Upacara Keagamaan
Melalui pesantian bisa disebarluaskan
pengertian
agama
Hindu
baik
menyangkut kepercayaan (crada), tattwa,
susila, maupun tentang upacara/upakara
terutama menyangkut tentang pengertian
yajna.
2. Sistem dan Oraganisasi Kemasyarakatan
Melalui pesantian bisa disebarluaskan
tentang pengertian desa adat, penulisan
9
3.
4.
5.
6.
10
awig-awig
desa
adat,
termasuk
kelestarian lingkungan hidup yang
bersumber pada Tri Hita Karana.
Sistem Pengetahuan
Di samping membahas dharma agama
maka pesantian dapat pula dijadikan
jalur penyebarluasan dharma negara. Di
dalam praktek ada dijumpai titik temu
antara dharma agama terutama yang
menyangkut susila dan agama. Titik temu
antara kedua ajaran tersebut intinya
terletak pada pengendalian diri.
Bahasa
Di luar jalur pendidikan formal, kiranya
jasa pesantian untuk membendung orang
kemiskinan kebudayaan di bidang bahasa
dan aksara Bali cukup besar, lebih-lebih
dengan dicanangkannya Bali sebagai
pulau taman, maka kelestarian bahasa
dan aksara Bali perlu dipertahankan.
Apabila jalur pesantian bisa dihidupkan
subur di semua banjar, maka kelestarian
bahasa dan aksara Bali termasuk
pengetahuan ke Jawa Kunaan tentu lebih
terjamin.
Kesenian
Secara eksplisit kesenian yang bisa
dikembangkan melalui jalur pesantian
ialah seni suara baik dalam bentuk
tembang maupun palawakya. Secara
implisit seni suara tersebut di atas akan
bisa membantu bentuk-bentuk kesenian
yang lain, misalnya topeng, drama gong,
wayang kulit dan lain-lain, karena di
antara sekian banyak bait yang dibaca
dalam pesantian banyak yang bisa
dipetik untuk menunjang keseniankesenian tersebut di atas.
Sistem Mata Pencaharian
Yang menjadi tekanan bukanlah sistem
mata pencahariannya, tetapi pedoman
pokok yang menjadi dasar dari sistem
mata pencaharian tersebut. Menurut
ajaran agama Hindu, pedoman pokok itu
bernama Catur Marga, yaitu: dharma,
artha, kama dan moksa. Di antara
keempat marga itu yang paling utama
adalah dharma.
4.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan
mengenai
eksistensi
dharmagita di Desa Tolai Barat dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Eksistensi pelaksanaan dharmagita di
Desa Tolai Barat cukup baik karena
pelaksanaannya didukung oleh umat
Hindu melalui kegiatan dharmagita
tingkat desa setiap persembahyangan
Purnama Tilem dan kegiatan dharmagita
yang rutin dilaksanakan setiap minggu.
Selain itu juga eksistensi pelaksanaan
dharmagita di Desa Tolai Barat tidak
lepas dari dukungan
PHDI dan
pemerintah daerah sehingga dharmagita
bisa dilaksanakan rutin setiap 3 tahun
sekali.
2. Fungsi Dharmagita
1) Dharmagita
sebagai
pencurahan
perasaan bhakti.
2) Dharmagita sebagai alat pranayama.
3) Dharmagita sebagai pembimbing
perasaan menuju suasana kesucian.
4) Dharmagita sebagai salah satu media
penerangan dalam menyebarluaskan
ajaran agama Hindu.
5) Dharmagita sebagai wadah menuntun
manusia untuk bertingkah laku dalam
hubungannya dengan masyarakat.
6) Dharmagita
sebagai
wadah
melestarikan budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Syaifudin. 2004. Metode Penelitian.
Jakarta: Pustaka Belajar.
Budiyasa, I Made. 1997. Konsep Budaya
Bali dalam Keguritan Sucita Subudi.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Bandem, I Made. 1996. Tuntutan Kidung/
Tembang Panca Yajna. Denpasar: C.V
Kayumas.
----------------------.1981.
Sejarah
Teori
Antropologi.
Jakarta:
Universitas
Indonesia Press.
Basir
Moleong, Lexy. J. 2001. Metode Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Merah, Bustam. 2009.
Pasangkayu. Erlangga.
Sejarah
Djelantik, I Gusti Ngurah. 1990. Etika Hindu
dan Perilaku Organisasi. Denpasar.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya
Dharma Singaraja bekerja sama dengan
Widya Kriya Gematama Denpasar.
Dwija, 2003,
Metode Penelitian Bidang
Sosial, Gajahmada Univercity Press.
Yogyakarta.
Granoka. 1998. Metodologi Penelitian
Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke
Araha Ragam Varian Kontemporer.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hadi, Sutrisno, 2000, Metodelogi Research
II, Penerbit Andi Offset. Himpunan
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir
Terhadap
Aspek-Aspek
Agama
Hindu IAX. PHDI. 1982-1983.
Yogyakarta.
Hasan,
M. Iqbal. 2002. Metodologi
Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Hartoko, 1986. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Wiryamartana,
I
Kuntara.
1990.
Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta
Wacana Universitas Press.
Kamenuh, Ida Pedanda, 1983. Geguritan
Dharma Prawretti. Penerbit Toko
Buku Indra Jaya.
Koentjaraninggrat,
1964.
Kebudayaan
Mentalitet dan Pembangunan. PT.
Gramedia Jakarta.
______________.1980 Penuntun Mentalitet
dan Pembangunan. PT. Gramedia
Jakarta.
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Medera Nengah. 1997. Kekawin dan
Mabebasan di Bali. Upada Sastra.
Merta, I Wayan. 1986. Kesusastraan Bali.
Bangli: Yayasan Widya Canti.
Monier. 1999. Sanskrit-English Dictionarry.
Delhi: Motilal Banarsidaas Publishers.
Nabuko, 2001. Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution S. 1988. Metodelogi Peneltian
Naturalistik Kualitatif. Bandung:
Tarsito.
Netra
Ida Bagus. 1974. Metodelogi
Penelitian. FIP Unud Singaraja.
----------------------.1976. Metode Penelitian
Pendidikan Suatu Tinjauan Pedesaan.
FIP Unud Singaraja.
Pendit S. Nyoman. 1996. Bhagawad Gita.
Jakarta: Dharma Nusantara.
Poerwardarminta, WJS. 1984. Kamus
Umum Baasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sharma. 1987. The Theory of Rasa in Sanskrit
Literature. Dalam Widya Pustaka
Denpasar.
Subagyo, 2004. Kerangka Konseptual
Penelitian. Jakarta Ganeca Excact
Bandung.
Sudibya, I Gede. 2002. Hindu Budaya Bali.
Bali Post: Denpasar.
Sujana, I Wayan. 1985. Bhagavad Gita.
Surabaya: Penerbit Paramita.
11
Sura, I Gede, 2002, Agastya Parwa Teks
dan
terjemahannya.
Denpasar:
Widya Dharma.
Sutri. 1994. Metodologi Penelitian Sosial
Agama. Bandung: Rosdakarya.
Warjana, I Nyoman Drs. 1996. Materi
Pokok
Dharmagita.
Direktorat
Jendral
Bimbingan
Masyarakat
Hindu dan Budha Jakarta.
Wiana, I Ketut, Drs. 1995. Yajna dan Bhakti
ditinjau dari Sudut Pandangan
Hindu. Pustaka Manik Geni.
Wardana, Ida Bagus Rai. 1996. Pendidikan
Agama Hindu Perguruan Tinggi.
Jakarta: Hanuman Sakti.
Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa Daya EstetikReligius. Denpasar: Sari Kahyangan:
Indonesia.
Yuda Triguna, Ida Bagus Gede, 2003. Budaya
Estetika Hindu, Surabaya, Usaha
Nasional.
Zoetmolder, PJ dan S.O. Robinson. 1995.
Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
12
WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014
Download