EKSISTENSI DHARMAGITA DI DESA TOLAI BARAT I Nyoman Suparman * Staff Pengajar STAH Dharma Sentana Sulawesi Tengah ABSTRAK Masyarakat yang beragama Hindu di Desa Tolai Barat hampir 100% adalah umat Hindu yang berasal dari Pulau Bali, sehingga kehidupan budaya Bali sepenuhnya diadopsi atau diterapkan di daerah ini. Dharmagita merupakan salah satu budaya Hindu yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama di kalangan umat Hindu. Permasalahan itu kemudian dirumuskan dalam rumusan masalah yaitu Eksistensi dharmagita di Desa Tolai Barat. Teori yang digunakan untuk membedah masalah ini adalah Teori Rasa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi non partisipan dan wawancara tidak berstruktur yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini adalah eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat cukup baik karena pelaksanaannya didukung oleh umat Hindu melalui kegiatan dharmagita tingkat desa setiap persembahyangan Purnama Tilem dan kegiatan dharmagita yang rutin dilaksanakan setiap minggu. Selain itu juga eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat tidak lepas dari dukungan PHDI dan pemerintah daerah sehingga dharmagita bisa dilaksanakan rutin setiap tiga tahun sekali. Kata Kunci: Eksistensi, Dharmagita 1. Pendahuluan Masyarakat yang beragama Hindu di Desa Tolai Barat hampir 100% adalah umat Hindu yang berasal dari Pulau Bali, sehingga kehidupan budaya Bali sepenuhnya diadopsi atau diterapkan di daerah ini. Hal ini terbukti dari hasil cipta karya seni yang merupakan peninggalan warisan masyarakat Bali terdahulu yang memiliki nilai-nilai luhur dan dapat dilihat sampai sekarang pertumbuhan dan perkembangannya yang diterapkan oleh masyarakat yang beragama Hindu di Desa Tolai Barat. Dengan demikian keunikan dan kekhasan kebudayaan Bali akan didapat dalam jangka waktu yang panjang untuk mengantarkan masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 terutama budaya seni suara berupa dharmagita yang dilaksanakan dalam setiap aktivitas keagamaan. Dharmagita merupakan salah satu budaya Hindu yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan beragama di kalangan umat Hindu. Dilihat dari ragamnya, dharmagita terdiri atas: sekar rare, sekar alit, sekar madya, sekar agung (Sukrata, 1996/1997: 14). Dharmagita sebagai nyanyian keagamaan bagi umat Hindu yang dipergunakan menyertai kegiatan keagamaan khususnya yang berhubungan dengan ritual atau yajna. Penggunaan dharmagita dalam berbagai kegiatan keagamaan tersebut sangat dibutuhkan karena irama lagunya memiliki berbagai jenis variasi yang sangat 1 membantu dalam menciptakan suasana hening, hikmad atau khusuk yang dipancari oleh getaran kesucian sesuai jenis yajna yang dilaksanakan. Di samping itu, dilihat dari tema syair-syairnya mengandung ajaran agama, susila tuntunan hidup yang baik serta lukisan kebesaran Tuhan (Hyang Widhi) dalam berbagai prabhawa-Nya yang dipuji-puji oleh umat Hindu (Warjana, 1996: 3). Selain mengiringi kegiatan upacara yajna, dharmagita juga dipakai mengiringi tarian-tarian sakral seperti tari Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran. Di sini jelas sekali bahwa nyanyian sebagai salah satu cara konsentrasi. Sebagai buktinya melalui pengucapan Gending Sang Hyang berkalikali secara bersama-sama serta disertai sesajen, maka terjadilah hal-hal di luar kemampuan manusia seperti penari yang tidak sadarkan diri dan banyak lagi hal-hal aneh lainnya. Maksudnya roh pada penari Sang Hyang seakan-akan terpanggil oleh lagu atau nyanyian yang diucapkan bersama-sama tersebut. Istilah dharmagita muncul dan berkembang setelah dilaksanakan pelestarian terhadap tembang atau lagu-lagu keagamaan melalui lomba kakawin atau kakidung yang diawali dengan lomba kidung antar banjar atau antar desa, atau juga di masing-masing instansi dan di masing-masing sekolah. Kegiatan-kegiatan lomba tembang yang masih bersifat lokal atau tingkat desa semacam itu mendapat perhatian yang baik dari pemerintah dan bersama parisada melanjutkan serta membenahi secara bertahap kegiatan semacam itu, maka dengan demikian muncullah istilah Utsawa Dharmagita, yakni lomba tembang lagu-lagu agama Hindu tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten. Dharmagita merupakan budaya Hindu berupa seni suara yang merupakan warisan leluhur orang Bali yang tetap 2 dilaksanakan sampai saat ini di Desa Tolai Barat. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dharmagita pada umumnya digunakan untuk mengiringi kegiatan upacara yajna, maksud dari pernyataan di atas adalah setiap adanya kegiatan upacara yajna atau keagamaan selalu diiringi dengan nyanyiannyanyian suci atau dharmagita. Pelaksanaan upacara yajna adalah bagian dari ajaran agama yaitu ajaran karma dan bakti yang tertuang dalam konsep Panca Yajna tersebut terdiri dari: (1) Dewa Yajna, yaitu suatu persembahan yang didasari rasa tulus ikhlas yang ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta para dewa sebagai manifestasi-Nya, (2) Rsi Yajna, yaitu suatu persembahan tulus ikhlas yang ditujukan kehadapan para Rsi atau pendeta, (3) Pitra Yajna, yaitu persembahan yang ditujukan kehadapan para leluhur, (4) Manusa Yajna, yaitu persembahan yang ditujukan kehadapan manusia itu sendiri, dan (5) Butha Yajna, yaitu suatu persembahan atau korban suci yang didasari oleh rasa tulus ikhlas yang ditujukan kehadapan para Butha Kala. Konsep Panca Yajna timbul disebabkan oleh adanya hutang atau Rna yang terdiri dari (1) Dewa Rna, yaitu hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta para dewa serta manifestasi-Nya akan melahirkan konsep Dewa Yajna dan Butha Yajna, (2) Pitra Rna yaitu hutang kehadapan para leluhur akan menimbulkan konsep Pitra Yajna dan Manusa Yajna, dan (3) Rsi Rna yaitu hutang ilmu pengetahuan kehadapan para Rsi/pendeta dapat dibayar dengan melaksanakan Rsi Yajna (Pendit, 1996: 409). Dalam aplikasinya di masyarakat setiap yajna akan ditentukan mutunya oleh besar kecilnya ketulusikhlasan dari yang melaksanakannya. Upacara menurut petunjuk kitab-kitab suci dilakukan orang tanpa mengharapkan pahala dan percaya WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 sepenuhnya upacara ini sebagai tugas kewajiban satwika (Pendit, 1996: 409). Uraian tersebut mengisyaratkan bahwa setiap orang harus melaksanakan yajna berdasarkan satwika yajna yang mana salah satu unsur dari satwika yajna adalah setiap yajna tidak terlepas dengan gita (nyanyian), hal inilah yang menyebabkan di Bali banyak terdapat nyanyian suci keagamaan yang dapat dipergunakan untuk mengiringi upacara yajna untuk membangun satwika yajna yang terdiri dari tujuh katagori yaitu: (1) Sraddha, (2) Lascarya, (3) Sastra, (4) Daksina, (5) Mantra/Gita, (6) Annasewa, dan (7) Nasmita. Ketujuh hal ini sering diistilahkan dengan Sapta Satwika Yajna (Wiyana, 1995: 28). Dalam kegiatan dharmagita, para peserta akan belajar mengenai bahasa, aksara, konsep-konsep budaya serta nilainilai yang terkandung dalam naskah lontar. Salah satu caranya adalah dengan memahami aktivitas dharmagita sebagai salah satu media pendidikan dan pengantar dalam setiap upacara keagamaan. Sering juga disebutkan sebagai malajah sambilan magending, magending sambilan malajah (belajar sambil bernyanyi, bernyanyi sambil belajar). Kegiatan dharmagita ada yang dilaksanakan di tingkat desa, tingkat kecamatan, dan sampai tingkat kabupaten di Parigi Moutong. Kegiatan dharmagita ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan masyakat Hindu di Desa Tolai Barat. Hal inilah yang mendorong penulis untuk memilih dan mengangkat suatu penelitian yang berjudul Eksistensi Dharmagita di Desa Tolai Barat. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tolai Barat. Mulai dari observasi, wawancara, sampai pengolahan dan penyususnan data penelitian membutuhkan waktu empat bulan. Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 observasi yang digunakan adalah observasi non partisipan dimana peneliti tidak berpartisipasi dalam kegiatan dharmagita. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur agar memperoleh data secara mendalam. Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling karena peneliti sudah menentukan informan yang akan diwawancarai. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara pada orang yang sering terlibat di dalam pelaksanaan dharmagita dan data sekunder yaitu melalui buku-buku penunjang yang terkait dengan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah: 1) reduksi data, 2) penyajian data, dan 3) penarikan kesimpulan. 3. Hasil dan Pembahasan Setelah melakukan tahapan proses pengumpulan data dan proses analisis data, maka eksistensi dharmagita di Desa Tolai Barat adalah sebagai berikut. 3.1. Eksistensi Dharmagita di Desa Tolai Barat Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat dilaksanakan setiap bulan berjalan, kegiatan persantian (dharmagita) yang bersifat lokal ini mendapat perhatian dari pemerintah dan Parisada Desa Tolai Barat. Dharmagita sebagai nyanyian keagamaan digunakan untuk menyertai kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan ritual atau yajna. Dalam hal ini dharmagita sangat diperlukan, karena irama lagunya yang mempunyai berbagai variasi yang mampu menciptakan suasana hening dan khusuk yang dipancari oleh getaran kesucian sesuai jenis yajna yang dilaksanakan. Selain itu jika dilihat dari tema syair-syairnya, mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup yang baik dan lukisan tentang kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya yang dipuji-puji oleh umat 3 Hindu. Dalam hal ini ada ditampilkan hasil wawancara terhadap beberapa tokoh umat Hindu di Desa Tolai Barat sebagai berikut. Menurut Sumari, wawancara tanggal 20 Desember 2013, menyatakan bahwa agar kegiatan dharmagita ini akan tetap eksis maka perlu diadakan perlombaan dharmagita atau yang lebih dikenal dengan Utsawa Dharmagita. Selain itu, kegiatan Utsawa Dharmagita harus dimulai dari perlombaan tingkat desa, terus dilanjutkan dengan lomba tingkat kecamatan. Menurut Jro Sumari, wawancara tanggal 20 Desember 2013, menyatakan bahwa eksisnya kegiatan dharmagita ini sangat dipengaruhi oleh adanya Utsawa Dharmagita yang selalu akan diadakan setiap tiga tahun sekali oleh umat Hindu di Desa Tolai Barat dan dengan dukungan dari pemerintah setempat. Selain itu juga selama ini eksistensi Utsawa Dharmagita di Desa Tolai Barat karena umat Hindu setiap kecamatan diwajibkan untuk mengutus perwakilan dalam perlombaan Utsawa Dharmagita tingkat kabupaten. Walaupun dalam kondisi yang tidak siap umat Hindu berusaha untuk mengutus perwakilannya untuk mengikuti kegiatan walaupun dengan sistem ditunjuk langsung tanpa melalui seleksi terlebih dahulu, mereka punya prinsip yang penting ada mewakili kecamatan dalam perlombaan Utsawa Dharmagita yang dilaksanakan oleh PHDI. Dengan keaktifan setiap persembahyangan Purnama dan Tilem melaksanakan dharmagita akan membiasakan masyarakat untuk mendengarkan lantunan kidung dharmagita. Selain itu pelaksanaan dharmagita yang dilakukan setiap menyambut hari raya suci keagamaan seperti hari raya Nyepi, Siwalatri, Saraswati, Galungan dan Kuningan yang biasa diisi dengan kegiatan dharmagita dapat meningkatkan eksistensi dharmagita di Desa Tolai Barat. Eksistensi pelaksanaan kegiatan dharmagita ini memiliki beberapa fungsi 4 sehingga kegiatan ini bisa tetap eksis dilaksanakan di masyarakat. Berikut adalah pembahasan beberapa fungsi dharmagita sehingga tetap eksis di mata masyarakat. Eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat tidak lepas dari peran para tokoh agama, PHDI desa dan WHDI desa yang membentuk kelompok-kelompok persantian tingkat desa dan rutin melaksanakan kegiatan pelatihan persantian setiap minggu di pura, persantian setiap acara keagamaan di masingmasing umat Hindu seperti upacara Dewa Yajna, Manusa Yajna dan Pitra Yajna. Selain itu kelompok persantian juga rutin melaksanakan kegiatan persantian pada waktu persembahyangan Purnama dan Tilem. a. Asal-Usul Pelaksanaan Dharmagita Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat tidak lepas dari keberadaan umat Hindu di Desa Tolai Barat yang merupakan masyarakat transmigrasi yang berasal dari Pulau Dewata, mewarisi tradisi pelaksanaan upacara keagamaan yang selalu diiringi dengan dharmagita. Dengan jiwa-jiwa yang telah didasari pengetahuan dharmagita maka masyarakat Hindu di Desa Tolai Barat mulai membentuk kelompok persantian (sekhaa santhi) di setiap desa di Desa Tolai Barat. Dengan adanya kelompok-kelompok persantian di setiap desa, maka tokoh-tokoh masyarakat Hindu bekerjasama dengan PHDI desa dan PHDI kecamatan untuk mengkoordinir semua kelompok persantian (sekhaa santhi) yang ada di Desa Tolai Barat b. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Dharmagita Pelaksanaaan dharmagita di Desa Tolai Barat dilaksanakan di setiap desa melalui kelompok-kelompok persantian (sekhaa santhi) setiap Purnama Tilem di pura, hari-hari tertentu seperti upacara Manusa Yajna, Dewa Yajna, Pitra Yajna, dan Bhuta Yajna yang dilaksanakan di tempat Manggala Upakara. Selain itu WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 pelaksanaan dharmagita rutin dilaksanakan setiap minggu di Balai Banjar atau dari rumah ke rumah sesuai dengan kesepakatan kelompok persantian (sekhaa santhi). c. Keorganisasian Dharmagita Keorganisasian dharmagita bersifat kolektif yang terbentuk atas dasar hobi dari masing-masing individu yang bersifat formal dan nonformal. Kelompok persantian (sekhaa santhi) formal adalah keanggotaannya yang terpilih berdasarkan sukarela karena hobi kemudian diakui secara resmi oleh lembaga keumatan di desa yaitu PHDI desa. Dalam kegiatan-kegiatan dharmagita, diberikan penghargaan berupa pakaian atau buku panduan dharmagita karena pengabdiannya. Sedangkan keorganisasian dharmagita yang bersifat nonformal adalah kelompok persantian (sekhaa santhi) yang terbentuk atas dasar hobi, bakat dan kemauan yang dilaksanakan tanpa mementingkan pengakuan dari masyarakat, mereka melaksanakan dharmagita dari rumah ke rumah sesama anggota kelompok persantian (sekhaa santhi) hanya untuk kepuasan bathin. d. Ritual Pelaksanaan Dharmagita Pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat sangat berkaitan dengan pelaksanaan upacara keagamaan atau ritual keagamaan seperti upacara Dewa Yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta Yajna. Dalam pelaksanaan upacara Dewa Yajna, dharmagita dilaksanakan pada saat upacara piodalan atau pujawali di Pura Desa, Pura Kawitan/Keluarga dan pura umum lainnya. Sedangkan ritual dharmagita untuk pelaksanaan upacara Rsi Yajna misalnya dharmagita yang dilaksanakan dalam upacara dwijati untuk calon para sulinggih di Desa Tolai Barat. Pelaksanaan ritual dharmagita dalam upacara Pitra Yajna berupa kegiatan dharmagita dalam upacara ngaben, upacara pada saat duka atau kematian. Pelaksanaan ritual Manusa Yajna, dharmagita digunakan WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 untuk mengiringi upacara potong gigi/mepandes, dan pelaksanaan ritual Bhuta Yajna, dharmagita digunakan untuk mengiringi upacara pecaruan tawur kesanga pada hari raya Nyepi dan upacara nangluk merana pada saat sasih keenam, selain itu dharmagita digunakan pada saat upacara pecaruan di masing-masing perumahan umat Hindu. 3.2. Fungsi Dharmagita a. Dharmagita sebagai Pencurahan Perasaan Bhakti Manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, unsur jiwa sangat memegang peranan, termasuk dalam tujuan manusia menuju Tuhan-nya. Usahanya akan hidup, apabila fungsi ekspresinya dimanfaatkan secara tepat, dan sebaliknya akan sia-sia apabila ekspresinya tidak dimanfatkan sebaik-baiknya. Sedangkan unsur badan wadah, merupakan pendukung kegiatan yang dilakukan oleh jiwa. Dalam proses manusia menuju Tuhan, dimulailah kegiatan jiwanya dengan sikap kehendak, kemauan atau keinginan. Dan dalam melaksanakan ini menusia mencari cara dengan berbagai jalan dalam bentuk-bentuk yang dipolakan. Pada tingkat pemecahan masalah mendapatkan cara atau jalan, manusia mengadakan usaha-usaha. Ekspresi emosi jiwa manusia inilah yang paling dominan peranannya dalam hubungannya menjiwai kidung-kidung sebagai nyanyian pujaan kepada Tuhan. Pada dasarnya wujud perasaan yang merupakan salah satu sikap jiwa ekspresi perasaannya mengarah kepada dua dimensi dalam kesatuannya (rwabhineda) ialah yang bersifat positif dan negatif yang sangat besar ditentukan oleh Tri Guna pada setiap individu manusia itu sendiri. Sikap-sikap ekspresi perasaan yang positif seperti di atas, yakni: sujud, bhakti, kagum, tenang, bahagia, damai, dan yang lain semacam itu sulit sekali digambarkan secara nyata kecuali dirasakan. Maka 5 dengan perasaanlah kita bisa menikmati jalannya upacara. Dalam upacara keagamaan yang biasa diiringi oleh seni kekidung dan kekawin adalah: Pitra Yajna, Manusa Yajna, dan Dewa Yajna. Khususnya mengenai upacara Dewa Yajna untuk mengiringi upacara ini biasanya dibawakan kidung. Tetapi kadang-kadang di dalam upacara Dewa Yajna juga kakawin dilagukan namun tidak diterjemahkan atau diberi ulasan. Hal ini memang sering dijumpai dalam masyarakat. Kidung di sini berfungsi sebagai nyanyian (lagu) pujaan kepada dewa merintis pikiran ke arah ketenangan. Mengingat pentingnya peranan seni makekidung dan makekawin di dalam upacara-upacara keagamaan, rupanya cukup menggembirakan bagi umat Hindu, sebab dengan dibentuknya kelompok-kelompok pesantian sampai di tingkat desa sehingga memberikan kesempatan kepada masyarakat khususnya penggemar seni makekawin dan makekidung ini untuk menuangkan bakatnya di dalam mendalami seni makekawin dan makekidung sehingga ada yang disumbangkan sebagai sujud bhaktinya kepada Tuhan melalui upacara-upacara keagamaan. Jadi kalau disimpulkan peranan dharmagita sebagai pencurahan rasa bhakti ialah dengan sarana vokal atau lagu-lagu keagamaan yang diucapkan dengan penuh rasa sujud bhakti dan pasrah dengan menemukan alam kedewataan berupa ketenangan, kedamaian, kebahagian dan yang lainnya. Memang sangat sulit digambarkan wujud rasa bhakti kecuali dilaksanakan dalam sikap ekspresi. b. Dharmagita sebagai Alat Pranayama Salah satu unsur dharmagita yaitu kekidung, yang lebih menonjol dipentaskan dalam pelaksanaan yajna. Irama kidung yang panjang-panjang dan memerlukan tempo yang lama membutuhkan pengaturan nafas yang cermat. Kalau pengaturan nafas kurang tepat, irama nyanyian kidung akan 6 menjadi suatu penyajian yang putus-putus di tengah-tengah tembang, dan tidak akan mencapai tujuan semestinya. Untuk dapat melakukan pengaturan nafas secara baik, maka para penyanyi kidung hendaknya menyelaraskan nafas yang keluar dan nafas yang masuk. Sebanyak nafas yang keluar untuk menggetarkan ucapan-ucapan kata dari kidung, sebanyak itu pula nafas yang diperlukan (masuk) ke rongga dada. Dalam hubungan ini paru-paru bekerja secara penuh dan sempat mekar seluruhnya. Dengan mengembangnya paru-paru secara penuh dan juga mengempis secara penuh, maka peredaran darah dalam tubuh si penyanyi akan menjadi lancar pula, mengakibatkan keseimbangan tubuh menjadi normal. Kekuatan magis dari kidung-kidung itu mempengaruhi partikelpartikel prana bergetar dan dapat menghubungkan gelombang kesuciannya. Demikianlah kidung-kidung itu sebagai alat pranayama dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memelihara dunia dan sebagai medis kesehatan manusia. Karakter penataan kidung yang memakai irama panjang-panjang tidak lain dibutuhkan untuk mengekspresikan dorongan-dorongan emosi kerinduan, cinta kasih, dan sendu. Untuk dapat membawakan irama yang panjang-panjang sesuai semestinya penyanyi kidung pandai mengatur nafasnya. c. Dharmagita sebagai Pembimbing Perasaan Menuju Suasana Kesucian Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dikarunia-Nya alat hidup yaitu jiwa. Inti jiwa adalah atman, atman dibungkus oleh citta ialah Tri Guna seperti sifat satwam, rajas dan tamas, yang dimiliki oleh hampir setiap manusia. Sifat satwam ialah nonaktif penuh kesadaran, sifat rajas adalah aktif kurang kesadaran, dan sifat tamas adalah pasif, acuh tak acuh. Citta ini merekam hasil-hasil pengamatan panca indra dan sifat-sifat hasil rekaman tergantung daripada tipisnya ruang gerak WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 ketiga guna tadi mendapat kesempatan lolos kontrolnya sang citta. Apabila satwam yang berperan mengendalikan panca indra seseorang, maka mempunyai kesadaran tinggi meskipun kurang aktivitasnya; apabila rajas yang berperan mengendalikan panca indra seseorang, maka seseorang berinisiatif besar, tapi kurang kesadarannya; sedang apabila tamas berperanan mengendalikan panca indranya, maka ingatan dan ketenangan yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman rabaan panca indra. Keterikatan panca indra karena keinginan manusia. d. Dharmagita sebagai salah satu Media Penerangan dalam Menyebarluaskan Ajaran Agama Hindu Dalam menyebarluaskan ajaran agama Hindu perlu adanya upaya dan usaha agar ajaran agama Hindu ini tetap ajeg dan lestari. Penyebarluasan ajaran agama Hindu memiliki sifat untuk mentransformasi ajaran kepada masyarakat luas. Dalam penyebaran itu ada beberapa langkah yang ditempuh seperti: a. Dharma Sadhana. Sadhana artinya latihan atau pengalaman untuk merealisasikan suatu keyakinan. Jadi yang dimaksud dengan dharma, sadhana sebagai metode pembinaan umat Hindu adalah pembinaan dalam bentuk praktik ajaran dharma atau agama Hindu. b. Dharma Yatra. Yatra artinya perjalanan atau ziarah, jadi dharma yatra adalah perjalanan dalam rangka melaksanakan dharma, seperti mengunjungi pura untuk sembahyang ngayah (kerja bhakti) dan lain-lain guna meningkatkan rasa agama, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Hindu. c. Dharma Tula. Tula artinya timbang, Dharma Tula adalah bertimbang pikiran berdiskusi atau, urun rembug tentang ajaran dharma untuk pencerahan serta pendalaman agama. WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 d. Dharma Santi. Santi artinya damai, tenang dan sentausa, Dharma Santi adalah kegiatan dharma dalam rangka upaya mengkondisikan kehidupan yang rukun, damai dan tentram. Dharma Santi dilaksanakan dalam rangka menyambut tahun Saka. e. Dharma Wacana. Wacana artinya ucapan, selanjutnya berarti tutur kata. Jadi dharma wacana adalah tutur atau ceramah tentang dharma atau ajaran agama Hindu. f. Dharma Gita. Gita artinya nyanyian, Dharma Gita adalah nyanyian tentang dharma atau sebagai dharma, maksudnya ajaran-ajaran agama yang dikemas dalam bentuk nyanyian sehingga yang menyanyi maupun yang mendengar sama-sama dapat belajar, menghayati serta memperdalam ajaran dharma. Nyanyian dharma maksudnya nyanyian tentang dharma yang dilantunkan dalam rangka melaksanakan dharma, misalnya melantunkan kidung dalam mengiringi pelaksanaan upacara yajna. Jadi dengan demikian dharmagita merupakan salah satu media dalam menyebarluaskan ajaran agama Hindu (Wadana, 1997: 819). e. Dharmagita sebagai Wadah Menuntun Manusia untuk Bertingkah Laku dalam Hubungannya dengan Masyarakat Untuk memelihara hubungan yang harmonis antara sesama manusia sebagai anggota masyarakat maka perlu adanya suatu penuntun. Salah satu cara untuk menuntun masyarakat bertingkah laku sebagai manusia dalam hubungannya dengan masyarakat adalah melalui pesantian. Dalam pesantian manusia dituntun bertingkah laku, misalnya agar terjadi keseimbangan dalam masyarakat maka itu manusia harus saling menghargai dan menghormati antara sesama, agar dapat menjalin hubungan yang baik di dalam 7 masyarakat, selalu bertindak adil dan benar. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan Kekawin Wirama Totaka yaitu: Sasi wimba haneng ghata mesi banyu Ndan asing suci nirmala mesi wulan, Iwa mang kana rakwe kiteng kadadin, Ring angambeki yoga kiteng sakala Artinya: Bagaikan bayangan bulan di dalam tempayan yang berisi air Hanya pada setiap tempat yang suci tanpa noda berisi bayangan bulan Seakan-akan demikianlah Engkau terhadap semua manusia Kepada orang yang sedang melaksanakan yogalah Engkau menampakkan diri. Dalam hal ini juga dapat dilihat dari kutipan Kekawin Wirama Mandamalon yaitu: Stuti nira tan tulus sinahuran paramartha siwa, Anaku huwus katon abhimatanta temunta kabeh, Hana panganugrahangku cadhu sakti winimba sara, Pasupati sastra kastu pangaranya nihan wulati. Artinya: Sebelum sang Arjuna selesai memuja Hyang Siwa segera menjawab ananda ternyata telah berhasil menemukan segala kehendakmu, Ada anugrah-Ku Cadhu Sakti (empat kekuatan dalam bentuk senjata), Panah Pasupati ini namanya sudah terkenal, lihatlah..! Dari uraian tersebut dapatlah dipetik hikmahnya yaitu menuntun setiap manusia untuk bertindak berpedoman pada dharma, hendaknya dapat mengikuti tindakan orang 8 yang bijaksana, yang tanpa selalu mengingatkan diri pada artha dan kama, kendatipun hal ini penting bagi manusia tetapi hendaknya dilandasi dengan dharma. Dharmalah sebagai tiang negara hendaknya dapat diikuti, lenyapkan kesengsaraan untuk dapat mencapai tujuan yaitu kecintaan atau ketentraman dalam bermasyarakat. Apabila perbuatan manusia selalu berpedoman pada dharma, maka segala tindakan yang rupa-rupanya menyimpang, sedikit tidaknya pasti dapat dikendalikan, guna tercapainya suasana rukun, harmonis dan damai serta saling bantu membantu satu sama lain dengan penuh rasa kasih sayang. Kasih mendorong rasa korban, rasa mengekang diri, rasa mengabdi untuk kebajikan sesamanya. Kasih adalah dasar semua kebajikan (dharma) dan sebaliknya dengki adalah dasar kedursilaan (adharma). Dengan mengetahui sumber adharma (perasaan emosi, iri, dengki, marah dan lain sebagainya), maka akan lebih dapat mengendalikan diri untuk menciptakan suasana yang harmonis dalam bermasyarakat. Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam kehidupan sebagai manusia, karena berbuat baik atau susila manusia akan dapat meningkatkan taraf hidupnya dari yang rendah ke taraf hidup yang lebih tinggi, baik di alam sekala maupun niskala atau di akhirat nanti. Demikian juga dalam memimpin atau memberitahu seseorang, hendaknya melihat diri dulu, atau dengan menasehati diri sendiri, seperti juga dapat dilihat dalam kutipan Kakawin Ramayana di bawah ini: Nilian kramanide ningangdani rat, awakta rumuhun warah ring ayu telasta mapageh magemagama teka rikangapatya mantri tumut. (Ramayana, XXIV.48) Artinya: Beginilah tingkah seseorang menjadi pemimpin, hendaknya dirimulah WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 terlebih dahulu dinasehati dengan kebajikan, seandainya sudah kuat dan teguh memegang dan melaksanakan ajaran agama, maka semua rakyat dan pejabat lainnya akan mengikuti. Jika menjadi seorang pemimpin atau memerintah orang lain hendaknya lihat diri sendiri dulu, apakah sudah bisa melaksanakan, sebab di dalam masyarakat bukanlah teori menjadi pujian atau bersifat munafik sehingga kepercayaan masyarakat hilang, tetapi kenyataannyalah yang menjadi kebanggaan masyarakat. Apapun yang diberitahukan kepada orang lain atau masyarakat, asal mau memberi contoh sehingga benar-benar menjadi tauladan bagi masyarakat. Seperti dikatakan oleh Koentjaraninggrat bahwa “Asalkan banyak pembesar dan pemimpin mau hidup sederhana dan hemat, asalkan banyak pembesar dan pemimpin sendiri mau hidup ketat berdisplin, mentaati hukum dan aturan-aturan, maka rakyat di bawahnya akan turut hidup ketat berdisiplin, mentaati hukum dan aturan-aturan”. Jadi, dengan demikian kenyataan atau contoh benarbenar akan menjadi kepercayaan masyarakat. Demikianlah beberapa bait kakawin penulis kutip yang ada hubungannya dengan tingkah laku sebagai manusia dalam masyarakat (Koentjaraninggrat, 1964, 64-70). f. Dharmagita sebagai Wadah Melestarikan Budaya Pada hakekatnya seni adalah keindahan yang dipancarkan oleh suatu obyek yang dapat dihayati oleh manusia. Adanya kesanggupan menghayati keindahan itu disebabkan oleh faktor rasa dalam budi daya manusia. Di samping kesanggupan menghayati keindahan suatu obyek, maka faktor rasa dalam budi daya manusia sanggup bila menumbuhkan ekspresi getaran rasa hati dan menuangkan ke dalam suatu bentuk kesanggupan yang besar untuk WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 menghayati dan mengekspresikan suatu keindahan disebut seniman, sedangkan hasil ciptaan yang indah itu dinamai kesenian. Demikiankanlah kesenian itu merupakan bagian dari kebudayaan dan hidup matinya suatu kesenian adalah tergantung kepada keadaan masyarakat pendukungnya. Tinggi rendahnya kesenian suatu bangsa adalah relatif dan sensitif, tergantung kepada pandangan masing-masing dan juga kesanggupan menghayati keindahan yang dipancarkan oleh kesenian itu sendiri. Sehubungan dengan itu, terbentuknya kelompok-kelompok pesantian sampai ke tingkat dusun, maka keindahan daripada seni makekawin, makekidung maupun mageguritan dapat dihayati oleh masyarakat, makekawin merupakan suatu pekerjaan sukarela yang tak pernah diupah seperti sekaa arja atau drama gong. Di dalam melaksanakan suatu kegiatan makekawin biasanya pada upacara Dewa Yajna maupun Manusa Yajna dan lain sebagainya semuanya dilaksanakan dengan tulus ikhlas tanpa pamrih. Menurut Koentjaraningrat di dalam kebudayaan terdapat tujuh unsur universal, yaitu: 1) sistem relegi dan upacara keagamaan, 2) sistem organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6) sistem mata pencaharian, dan 7) sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur universal budaya tersebut melalui pesantian dapat kita sebarluaskan, seperti: 1. Sistem Relegi dan Upacara Keagamaan Melalui pesantian bisa disebarluaskan pengertian agama Hindu baik menyangkut kepercayaan (crada), tattwa, susila, maupun tentang upacara/upakara terutama menyangkut tentang pengertian yajna. 2. Sistem dan Oraganisasi Kemasyarakatan Melalui pesantian bisa disebarluaskan tentang pengertian desa adat, penulisan 9 3. 4. 5. 6. 10 awig-awig desa adat, termasuk kelestarian lingkungan hidup yang bersumber pada Tri Hita Karana. Sistem Pengetahuan Di samping membahas dharma agama maka pesantian dapat pula dijadikan jalur penyebarluasan dharma negara. Di dalam praktek ada dijumpai titik temu antara dharma agama terutama yang menyangkut susila dan agama. Titik temu antara kedua ajaran tersebut intinya terletak pada pengendalian diri. Bahasa Di luar jalur pendidikan formal, kiranya jasa pesantian untuk membendung orang kemiskinan kebudayaan di bidang bahasa dan aksara Bali cukup besar, lebih-lebih dengan dicanangkannya Bali sebagai pulau taman, maka kelestarian bahasa dan aksara Bali perlu dipertahankan. Apabila jalur pesantian bisa dihidupkan subur di semua banjar, maka kelestarian bahasa dan aksara Bali termasuk pengetahuan ke Jawa Kunaan tentu lebih terjamin. Kesenian Secara eksplisit kesenian yang bisa dikembangkan melalui jalur pesantian ialah seni suara baik dalam bentuk tembang maupun palawakya. Secara implisit seni suara tersebut di atas akan bisa membantu bentuk-bentuk kesenian yang lain, misalnya topeng, drama gong, wayang kulit dan lain-lain, karena di antara sekian banyak bait yang dibaca dalam pesantian banyak yang bisa dipetik untuk menunjang keseniankesenian tersebut di atas. Sistem Mata Pencaharian Yang menjadi tekanan bukanlah sistem mata pencahariannya, tetapi pedoman pokok yang menjadi dasar dari sistem mata pencaharian tersebut. Menurut ajaran agama Hindu, pedoman pokok itu bernama Catur Marga, yaitu: dharma, artha, kama dan moksa. Di antara keempat marga itu yang paling utama adalah dharma. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai eksistensi dharmagita di Desa Tolai Barat dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut: 1. Eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat cukup baik karena pelaksanaannya didukung oleh umat Hindu melalui kegiatan dharmagita tingkat desa setiap persembahyangan Purnama Tilem dan kegiatan dharmagita yang rutin dilaksanakan setiap minggu. Selain itu juga eksistensi pelaksanaan dharmagita di Desa Tolai Barat tidak lepas dari dukungan PHDI dan pemerintah daerah sehingga dharmagita bisa dilaksanakan rutin setiap 3 tahun sekali. 2. Fungsi Dharmagita 1) Dharmagita sebagai pencurahan perasaan bhakti. 2) Dharmagita sebagai alat pranayama. 3) Dharmagita sebagai pembimbing perasaan menuju suasana kesucian. 4) Dharmagita sebagai salah satu media penerangan dalam menyebarluaskan ajaran agama Hindu. 5) Dharmagita sebagai wadah menuntun manusia untuk bertingkah laku dalam hubungannya dengan masyarakat. 6) Dharmagita sebagai wadah melestarikan budaya. DAFTAR PUSTAKA Azwar, Syaifudin. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Pustaka Belajar. Budiyasa, I Made. 1997. Konsep Budaya Bali dalam Keguritan Sucita Subudi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 Bandem, I Made. 1996. Tuntutan Kidung/ Tembang Panca Yajna. Denpasar: C.V Kayumas. ----------------------.1981. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Basir Moleong, Lexy. J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Merah, Bustam. 2009. Pasangkayu. Erlangga. Sejarah Djelantik, I Gusti Ngurah. 1990. Etika Hindu dan Perilaku Organisasi. Denpasar. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma Singaraja bekerja sama dengan Widya Kriya Gematama Denpasar. Dwija, 2003, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajahmada Univercity Press. Yogyakarta. Granoka. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke Araha Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hadi, Sutrisno, 2000, Metodelogi Research II, Penerbit Andi Offset. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu IAX. PHDI. 1982-1983. Yogyakarta. Hasan, M. Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hartoko, 1986. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Wiryamartana, I Kuntara. 1990. Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana Universitas Press. Kamenuh, Ida Pedanda, 1983. Geguritan Dharma Prawretti. Penerbit Toko Buku Indra Jaya. Koentjaraninggrat, 1964. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia Jakarta. ______________.1980 Penuntun Mentalitet dan Pembangunan. PT. Gramedia Jakarta. WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014 Medera Nengah. 1997. Kekawin dan Mabebasan di Bali. Upada Sastra. Merta, I Wayan. 1986. Kesusastraan Bali. Bangli: Yayasan Widya Canti. Monier. 1999. Sanskrit-English Dictionarry. Delhi: Motilal Banarsidaas Publishers. Nabuko, 2001. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution S. 1988. Metodelogi Peneltian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Netra Ida Bagus. 1974. Metodelogi Penelitian. FIP Unud Singaraja. ----------------------.1976. Metode Penelitian Pendidikan Suatu Tinjauan Pedesaan. FIP Unud Singaraja. Pendit S. Nyoman. 1996. Bhagawad Gita. Jakarta: Dharma Nusantara. Poerwardarminta, WJS. 1984. Kamus Umum Baasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sharma. 1987. The Theory of Rasa in Sanskrit Literature. Dalam Widya Pustaka Denpasar. Subagyo, 2004. Kerangka Konseptual Penelitian. Jakarta Ganeca Excact Bandung. Sudibya, I Gede. 2002. Hindu Budaya Bali. Bali Post: Denpasar. Sujana, I Wayan. 1985. Bhagavad Gita. Surabaya: Penerbit Paramita. 11 Sura, I Gede, 2002, Agastya Parwa Teks dan terjemahannya. Denpasar: Widya Dharma. Sutri. 1994. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: Rosdakarya. Warjana, I Nyoman Drs. 1996. Materi Pokok Dharmagita. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Jakarta. Wiana, I Ketut, Drs. 1995. Yajna dan Bhakti ditinjau dari Sudut Pandangan Hindu. Pustaka Manik Geni. Wardana, Ida Bagus Rai. 1996. Pendidikan Agama Hindu Perguruan Tinggi. Jakarta: Hanuman Sakti. Yasa, I Wayan Suka. 2010. Rasa Daya EstetikReligius. Denpasar: Sari Kahyangan: Indonesia. Yuda Triguna, Ida Bagus Gede, 2003. Budaya Estetika Hindu, Surabaya, Usaha Nasional. Zoetmolder, PJ dan S.O. Robinson. 1995. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 12 WIDYA GENITRI Volume 5, Nomor 1, Desember 2014