Jejak Kedahsyatan di Sorowako - Taman Nasional Bantimurung

advertisement
Jejak Kedahsyatan di Sorowako
Jumat, 14 September 2012 17:53
Petani bekerja di sawah dengan latar tebing karst di Kabupaten Pangkep, Sulawesi
Selatan, Minggu (5/8/2012). Selain menjadi salah satu daerah penghasil padi, kawasan
Pangkep juga menyimpan keindahan tebing karst yang memiliki puluhan gua purbakala.
KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES .
KOMPAS.com - Jejak kedahsyatan pergerakan lempeng yang membentuk geologi Sulawesi itu
tercetak jelas di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kota kecil di sisi timur
Sulawesi ini merupakan penghasil utama nikel dunia.
”Inilah singkapan batuan ultrabasa atau ultramafik yang menyusun kompleks East Sulawesi
Ophiolite,” kata Gde Handojo Tutuko, geolog dari PT Vale Indonesia, menunjukkan hamparan
batuan berwarna hitam kehijauan di perbukitan sekitar Danau Matano.
East Sulawesi Ophiolite terbentang dari Luwu Timur, bagian tengah Poso-Morowali, Sorowako,
hingga Sulawesi Tenggara. East Sulawesi Ophiolite, menurut Gde, merupakan salah satu jalur
ofiolit terbesar di dunia setelah Oman dan Papua Niugini.
Batuan ultrabasa di jalur ofiolit ini berasal dari kerak samudra yang terangkat karena proses
tumbukan lempeng jutaan tahun lalu.
”Karena dia terangkat lalu tersingkap, perlahan batuan mengalami pelapukan. Dari lapukan
batuan ultrabasa ini, ada banyak mineral yang bisa diambil, di antaranya nikel, kobalt, mangan,
bijih besi, dan kromit,” kata Gde. ”Karena kita berada di daerah tropis yang mendapat banyak
hujan dan panas matahari, pelapukan batuan ultrabasa pun sangat tinggi. Berkahnya potensi
nikel di Sulawesi merupakan yang terbesar di dunia.”
1/5
Jejak Kedahsyatan di Sorowako
Jumat, 14 September 2012 17:53
Saat ini, menurut Gde, keberadaan batuan ultrabasa di East Sulawesi Ophiolite sudah
terjelaskan. Tumbukan lempeng di masa lalu yang sedemikian dahsyat adalah penyebab
terjadinya pengangkatan kerak samudra sehingga membawa batuan ultrabasa bercampur aduk
dengan batuan gamping. ”East Sulawesi Ophiolite adalah bukti nyata kebenaran teori
pergerakan lempeng Bumi,” katanya.
Namun, pada awal 1970-an, ketika teori pergerakan lempeng benua masih berada pada tahap
awal, fenomena ini sangat mengejutkan Peter E Hehanusa, geolog senior dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat itu, Hehanusa dan beberapa geolog dari Amerika sangat
terkejut saat menyusuri jalan darat dari Sorowako ke Malili, ibu kota Kabupaten Luwu Timur. Di
tebing yang dipapras untuk pembangunan jalan, dia melihat singkapan batuan ultrabasa yang
bercampur dengan batu gamping.
”Selama di bangku kuliah, kami tidak pernah belajar bahwa batuan ultrabasa yang terbentuk di
dasar laut dan tengah laut dalam dapat berada bersama, bahkan campur aduk dengan batuan
gamping yang terbentuk di laut dangkal,” sebut Hehanusa dalam tulisannya di National
Geographic Indonesia edisi Desember 2008.
Hehanusa menyebutkan, semua bidang batas pertemuan batuan ultrabasa dan batu gamping
itu membentuk permukaan yang licin mengilat, menandakan telah terjadi penggerusan hebat di
masa lalu. ”Di depan mata tergambar bagian yang sangat penting dalam sejarah pembentukan
Bumi, zona tempat pertumbukan antarlempeng benua, sebuah bukti upduction.”
Fenomena upduction ini, menurut Hehanusa, merupakan kebalikan dari subduction di deretan
Pulau Simeulue-Nias-Siberut-Enggano di barat Sumatera yang juga dipicu oleh pertemuan di
antara dua lempeng. Terbentuknya Pulau Sulawesi berkontribusi besar terhadap
perkembangan teori pergerakan lempeng yang menjadi dasar untuk memahami terjadinya
gempa bumi dan tsunami.
Bagi geolog Imran Umar, jejak kedahsyatan gejolak geologi Sulawesi pada masa lalu itu juga
bisa dilihat dari tiang-tiang karst yang berderet di sepanjang Maros, Pangkep, hingga Toraja.
Guru besar geologi Universitas Hasanuddin ini telah puluhan tahun meneliti karst di Sulawesi
Selatan.
2/5
Jejak Kedahsyatan di Sorowako
Jumat, 14 September 2012 17:53
”Kars di Sulawesi Selatan membuktikan bahwa kawasan ini dulu pernah berada di tepian
Paparan Sunda,” kata Imran. Di kawasan ini terdapat batuan karbonat yang dikenal sebagai
formasi Tonasa di selatan dan formasi Makale di Toraja (utara). ”Dua batuan kapur ini terbentuk
pada paparan yang dikelilingi oleh laut dalam.
Formasi kapur ini terbentuk pada periode Eosen sampai Miosen awal, sekitar 56-18 juta tahun
lalu. Pada periode ini, Lempeng Australia mulai menumbuk tepian paparan Sunda dari arah
tenggara. Di lain sisi, di Selat Makassar mulai terjadi bukaan kerak Bumi.
”Tumbukan lempeng ini mengakibatkan munculnya banyak retakan penyesaran di batuan
karbonat. Di situlah mulai terbentuknya karstifikasi, munculnya goa-goa, seperti di Maros dan
Pangkep,” kata Imran.
Karst Maros-Pangkep adalah kekayaan alam tak ternilai. Tidak hanya sumber daya alam, tetapi
juga ilmu pengetahuan. Paling tidak, menurut Imran, ada tiga disiplin ilmu yang bisa dipelajari
dari rangkaian karst itu, yaitu geologi, biologi, dan arkeologi.
”Kalau karst ini hilang, kita kehilangan salah satu bukti sejarah terbentuknya Pulau Sulawesi,”
katanya.
Tak hanya menandai pergolakan geologi Sulawesi, batuan kapur ini, menurut Imran, juga
menandai periode naik-turunnya permukaan air laut pada masa lalu. ”Di Tanjung Birah dan
Leang Leang terdapat paleobeach atau pantai purba. Di sana ada tebing yang terabrasi laut
yang membuktikan bahwa pada masa lalu kawasan itu pernah berada di tepi pantai. Sekitar
30.000 tahun lalu, air laut di kawasan Asia Tenggara pernah naik hingga 65 meter
dibandingkan permukaan sekarang,” kata Imran.
Di goa-goa ini juga banyak ditemukan sampah dapur manusia purba berupa cangkang kerang
yang membuktikan kawasan ini dulu berada tak jauh dari laut. Dalam penelitian yang dilakukan
Fritz Sarasin dan Paul Sarasin ditemukan umur kerang sekitar 9.000-30.000 tahun lalu.
Jejak tapak tangan berwarna dan aneka lukisan berwarna merah oker di langit-langit goa
3/5
Jejak Kedahsyatan di Sorowako
Jumat, 14 September 2012 17:53
menguatkan jejak keberadaan manusia purba. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas
Hasanuddin, mengatakan, karst Maros-Pangkep menyimpan goa atau ceruk yang merupakan
situs zaman mesolitik (5.000 tahun sebelum Masehi) dan zaman neolitik (3.000 tahun sebelum
Masehi). Di Goa Leang Leang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, dan Goa Sakapao
di Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep, misalnya, ditemukan artefak batu, sampah
dapur, dan lukisan dinding goa berupa telapak tangan dan babirusa.
Goa pada zaman mesolitik digunakan manusia sebagai tempat singgah. Pada zaman neolitik,
goa digunakan untuk tempat tinggal dalam waktu yang lebih lama. Berdasarkan data Balai
Pelestarian Cagar Budaya Makassar, terdapat 16 situs goa prasejarah di Kabupaten Maros dan
17 situs goa prasejarah di Kabupaten Pangkep.
Selain menyimpan jejak geologi dan arkeologi, susunan karst di Maros-Pangkep ini juga
merupakan habitat flora-fauna yang khas. Amran Achmad, guru besar Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin, menyebutkan, di wilayah karst Maros-Pangkep terdapat tak kurang
dari 284 jenis tumbuhan berkayu, sebagian di antaranya adalah endemis.
Fauna khas terutama adalah kupu-kupu, seperti Papilio blumei, P polites, P satapses, Troides
haliphron, dan beberapa jenis lain. Selain itu, juga terdapat monyet dare (Macaca maura).
Bahkan, Wallace menjuluki Bantimurung sebagai kerajaan kupu-kupu. Ia sangat takjub tatkala
menyaksikan ribuan kupu-kupu yang terbang membentuk awan dan memendarkan cahaya
keputihan saat kawanan itu singgah di tepi Sungai Bantimurung, Maros.
Wallace mencatat sedikitnya 300 spesies kupu-kupu hidup di dalam kawasan yang kini
bernama Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), sekitar 40 kilometer arah utara
Kota Makassar. Wilayah TNBB, yang umumnya berupa perbukitan kapur (karst), kaya akan
sumber mata air dan hampir berkondisi lembab sepanjang waktu.
”Kupu-kupu menyenangi tempat basah. Itulah mengapa tak hanya kupu-kupu endemis yang
hidup di Bantimurung, tetapi juga yang berasal dari Papua dan Pulau Seram (Maluku),” kata
Rusman Muliady, staf Balai TNBB.
Saat ini, perbedaan satwa Sulawesi dan pulau sekitarnya bisa dijelaskan dengan posisi pulau
ini yang telah lama terpencil di kepulauan Nusantara. Dari rekam jejak pembentukannya,
4/5
Jejak Kedahsyatan di Sorowako
Jumat, 14 September 2012 17:53
Sulawesi telah terisolasi oleh lautan dengan pulau-pulau lain sejak tidak kurang dari 10 juta
tahun lalu.
Beberapa binatang yang terjebak dan hidup di sana kemudian mengembangkan diri sesuai
kondisi alam dan keterasingan ini. Tak hanya beradaptasi, sebagian binatang juga
mendapatkan keuntungan dari kondisi alam ini.
Maleo, misalnya, memanfaatkan ladang geotermal untuk menetaskan telurnya. Karena tidak
mengerami telurnya, maleo selalu mencari ladang geotermal untuk menghangatkan telurnya.
Demikian halnya babirusa yang memanfaatkan air kaya mineral di adudu. Dalam penelitian
yang dilakukan Lynn Clayton (1996) ditemukan, babirusa membutuhkan air garam adudu untuk
melindungi pencernaan mereka agar tidak menjadi terlalu asam sekaligus perlindungan dari
racun biji buah pangi, makanan utama binatang ini. Analisis geokimia terhadap tanah dan air di
adudu menunjukkan, kandungan sodiumnya 36 kali lipat dibandingkan dengan air biasa.
Penulis: Tim Penulis Ekspedisi Cincin Api Kompas. (sumber: www.kompas.com )
5/5
Download