2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan

advertisement
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Pari
Ikan pari (rays fish) termasuk dalam sub grup Elasmobranchii, yaitu ikan
yang bertulang rawan dan grup Cartilaginous (Last dan Stevens 2009). Jenis ikan
lain yang tergolong dalam Elasmobranchii adalah ikan cucut. Kelompok ini
memiliki diversitas yang tinggi serta dapat ditemukan di berbagai kondisi
lingkungan, mulai dari perairan tawar hingga palung laut terdalam dan dari daerah
laut beriklim dingin sampai daerah tropis yang hangat (Compagno 2001). Jumlah
jenis ikan pari yang mendiami perairan di seluruh dunia diperkirakan berkisar
512596 spesies yang terdiri dari 20 famili dan 64 genus (Compagno 1999).
Jenis ikan pari yang teridentifikasi di perairan laut Jawa terdiri dari 4 ordo,
9 famili, 16 genus, dan 42 jenis ikan (Raharjo 2007). Salah satu jenis ikan pari
dari famili Dasyatidae yang banyak dijumpai di wilayah Malaysia, Kalimantan,
Sumatera dan Jawa adalah Pastinachus solocirostris. Klasifikasi ikan pari jenis
Pastinachus solocirostris menurut White et al. (2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Chondrichthyes
Ordo
: Myliobatiformes
Famili
: Dasyatidae
Genus
: Pastinachus
Spesies
: Pastinachus solocirostris
Ikan pari mempunyai bentuk tubuh gepeng melebar (depressed), sepasang
sirip dada (pectoral fins)-nya melebar dan menyatu dengan sisi kiri-kanan
kepalanya sehingga tampak atas atau tampak bawahnya terlihat bundar atau oval.
Ikan pari umumnya mempunyai ekor yang sangat berkembang, berukuran panjang
menyerupai cemeti. Pada beberapa spesies, ekor ikan pari dilengkapi duri
penyengat sehingga disebut ‘sting-rays’. Mata ikan pari umumnya terletak di
kepala bagian samping. Posisi dan bentuk mulutnya adalah terminal (terminal
8
mouth) dan sebagian besar bersifat predator. Bentuk dan struktur gigi ikan pari
serupa dengan ikan cucut, namun dalam ukuran yang lebih kecil (Hoeve 1988).
Alat pernapasan berupa celah insang (gill openings atau gill slits) yang berjumlah
56 pasang. Posisi celah insang adalah dekat mulut di bagian ventral.
Ikan pari jenis Pastinachus solocirostris memiliki ciri umum diantaranya
selaput kulit dibagian bawah ekor agak lebar dengan panjang tidak mencapai
ujung ekor, bentuk lempengan tubuhnya persegi empat, posisi duri sengat di ekor
agak ke belakang (jaraknya dari kloaka lebih dari separuh lebar tubuhnya),
pangkal ekor lebar, moncong berbentuk segitiga lancip, bagian puncak
punggungnya meruncing, dan terdapat dentikel yang membesar (Gambar 1).
Gambar 1 Pastinachus solocirostris (White et al. 2006).
Pada umumnya ikan pari hidup di dekat dasar perairan yang lembek
(berlumpur), lumpur pasir, tanah keras dan bahkan yang berbatu atau koral
(Compagno 1999). Distribusi geografis ikan cucut dan pari sangat luas. Ikan ini
dapat ditemukan di perairan tawar hingga palung laut terdalam dan dari daerah
laut beriklim dingin sampai daerah tropis yang hangat (Compagno 2001). Ikan
pari jenis Pastinachus solocirostris diduga hidup di dasar perairan kepulauan dan
paparan benua (White et al. 2006).
Pari umumnya adalah pemangsa (predator), namun ukuran giginya kecil
sehingga cenderung memangsa ikan-ikan yang berukuran kecil (Hoeve 1988).
Mangsa ikan pari bervariasi dari jenis binatang planktonis, invertebrata bentik
hingga ikan bertulang keras berukuran kecil. Ikan pari juga memakan binatang
bertulang rawan (chondrithian) dan berbagai jenis cephalopoda antara lain
9
cumi-cumi (Compagno 1999). Ikan pari jenis Pastinachus solocirostris diduga
sebagai pemangsa krustasea dan ikan-ikan kecil (White et al. 2006).
Ikan pari umumnya berbiak secara ovovivipar dengan jumlah anak antara
56 ekor (Hoeve 1988). Khusus jenis Pastinachus solocirostris tergolong hewan
vivipar dengan kecenderungan histotrofi. Ukuran lebar badan ikan pari jantan
dewasa mencapai 2836 cm (White et al. 2006).
2.2 Limbah Ikan
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga) yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat
tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.
Limbah industri perikanan merupakan bahan baku baik dapat dimakan ataupun
tidak yang tersisa dan terbuang selama produksi dari produk utama. Rieuwpassa
dan Salampessy (1997) mendefinisikan limbah perikanan sebagai bahan yang
tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan
pengolahan hasil perikanan. Limbah industri pengolahan dikelompokan
berdasarkan sifat fisiknya menjadi dua jenis yaitu limbah cair dan limbah padat.
Limbah cair berupa cairan-cairan yang terbuang dari proses penyiangan dan
pencucian ikan yang terutama mengandung darah, lemak, dan substansi-substansi
lain. Limbah padat dapat berupa jeroan, sirip dan ekor, tulang, sisik, potonganpotongan daging ikan maupun ikan dalam bentuk utuh.
Limbah yang dihasilkan pada saat pengolahan ikan berkisar 2060% dari
bahan baku. Limbah berupa jeroan, kepala, dan ekor sebesar 27%; sedangkan
kulit, tulang, dan darah sebesar 25% dari ikan. Sumber limbah padat terbesar
berasal dari industri filet ikan yang mencapai 5075% dari berat ikan, industri
pengalengan 3065% dari berat ikan, sedangkan industri pengolahan krustasea
dan moluska menghasilkan limbah sebesar 2050% dari berat ikan (Ferraro et al.
2010).
Limbah ikan mengandung senyawa bioaktif yang bernilai tambah tinggi
(high added value compounds/HAVC) sehingga dapat dimanfaatkan dalam
berbagai bidang baik nutraceutical, formulasi makanan fungsional maupun
farmasi. Beberapa jenis HAVC dalam limbah ikan diantaranya asam lemak
10
omega-3, asam amino bebas, kitin dan kitosan, kolagen dan gelatin, kalsium,
astaxantin, dan enzim (Ferraro et al. 2010). Limbah perikanan juga dapat diolah
menjadi berbagai produk, misalnya tepung ikan untuk pakan ternak,
biodiesel/biogas, pigmen alami (karotenoid), dan pupuk tanaman (Arvanitoyannis
dan Kassaveti 2008).
2.3 Kulit Ikan
Kulit ikan merupakan lapisan tubuh paling luar yang memisahkan dan
melindungi hewan dari perbedaan kondisi lingkungan misalnya tekanan osmotik.
Kulit ikan adalah organ multifungsi yang memiliki peran penting dalam
perlindungan, komunikasi, sensorik, penggerak, respirasi, ekskresi, dan regulasi
termal (Thitipramote dan Rawkdkuen 2011). Kulit ikan juga berperan dalam
menjaga bentuk tubuh, melindungi ikan dari guncangan dan berbagai serangan
asing, memperbaiki hidrodinamika, dan mendeteksi fungsi sensorik yang penting
untuk kelangsungan hidupnya (Guellec et al. 2004).
Struktur kulit ikan bervariasi menurut spesies ikan, namun secara umum
kulit ikan terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis.
Lapisan epidemis terdiri dari tiga bagian yaitu superficial stratum, intermediate
stratum, dan basal stratum. Superficial stratum dan intermediate stratum berfungsi
sebagai proteksi terhadap bakteri, fungi, dan parasit; sedangkan basal stratum
berfungsi untuk menjaga epidermis melekat pada dermis. Lapisan dermis terdiri
dari dua wilayah yaitu stratum laxum dan stratum compactum. Stratum laxum
mengandung matriks fibroblast, saraf, beberapa sel pigmen, dan sisik (berperan
dalam
perlindungan
dan
hidrodinamika).
Stratum
compactum
banyak
mengandung matriks kolagen dengan fungsi utama memperkuat kulit tipis dan
melindungi ikan terhadap pengaruh tensile force. Lapisan hipodermis (subcutis)
memisahkan dermis dari sel-sel otot yang terletak di bawah. Hipodermis
mengandung chromatophores (melanophores, iridophores dan xantophores),
pembuluh darah, dan sejumlah sel adiposa (Guellec et al. 2004).
Kulit ikan mengandung sejumlah serat-serat kolagen (Gomez-Guillen
et al. 2002). Friess (1998) menyatakan bahwa lebih dari 50% dari protein
ekstraseluler pada kulit merupakan kolagen. Kołodziejska et al. (2008)
11
menyatakan bahwa 80% dari total protein pada kulit ikan cod dan salmon
merupakan kolagen.
Serat kolagen pada kulit ikan banyak ditemukan pada lapisan dermis.
Goddard dan Gruber (1999) mengungkapkan bahwa sekitar 70% dari kolagen
pada kulit terletak pada lapisan dermis. Guellec et al. (2004) mengatakan bahwa
matrik kolagen terdapat pada bagian stratum compactum dari lapisan dermis.
Motta (1977) mengungkapkan bahwa lapisan stratum compactum merupakan
lapisan yang lebih tebal dibandingkan lapisan stratum laxum dan serat-serat
kolagen yang terkandung pada laipsan stratum compactum lebih mudah
dipisahkan secara individu dibandingkan serat-serat kolagen pada lapisan stratum
laxum. Struktur lapisan dermis dari kulit ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur lapisan dermis kulit ikan: F = stratum compactum; SD =
stratum laxum; D = dasar dentikel; CH = chromatophores; M =
jaringan otot.
Kulit ikan mengandung komposisi kimia yang terdiri dari air, protein,
lemak, dan abu. Komposisi kimia kulit ikan bervariasi tergantung dari jenis ikan.
Kandungan protein kulit ikan berkisar antara 24,541,12%, kandungan lemak
antara 0,320,4%, dan kandungan abu berkisar antara 0,235,45% (Tabel 1).
Bechtel (2003) mengungkapkan bahwa perbedaan komposisi kimia dapat
disebabkan oleh perbedaan umur, jenis kelamin, habitat ikan serta cara preparasi
kulit.
12
Tabel 1 Komposisi kimia kulit ikan (% bb)
Jenis ikan
Parameter
Protein Lemak
25,0
0,4
24,5
0,3
30,6
1,1
Alaska pollock
Pasific cod
Nila
Air
78,2
78,1
67,7
Abu
0,7
2
2,1
Rainbow trout
41,6
41,12
13,12
5,45
Giant catfish
64,86
34,03
2,69
0,25
Striped catfish
51,85
27,26
20,24
0,23
Sumber pustaka
Bechtel (2003)
Bechtel (2003)
Songctikupan et al.
(2008)
Tabarestani et al.
(2012)
Thitpramote dan
Rawkdkuen (2011)
Thitpramote dan
Rawkdkuen (2011)
2.4 Kolagen
Kolagen merupakan protein struktural utama dari jaringan ikat pada tubuh
hewan vertebrata dengan kandungan mencapai 30% dari total protein tubuh.
Kandungan kolagen pada protein jaringan ikat dari tendon dan tulang mencapai
lebih dari 90%, sedangkan pada kulit mencapai lebih dari 50% (Friess 1998).
Terdapat setidaknya 27 tipe kolagen yang dikenal dengan nama kolagen tipe
I-XXVII. Masing-masing tipe kolagen bervariasi dalam kompleksitas, keragaman
struktur, keberadaan bagian non-heliks, dan fungsi. Berdasarkan struktur dan
susunan supramolekul, kolagen dibagi menjadi 8 kelompok yaitu: Fibril-forming
collagen, basement membrane collagen, microfibrillar collagen, anchoring
fibrils, hexagonal network-forming collagen, fibril-associated collagen (FACIT),
transmembrane collagen, dan multiplexin (Tabel 2) (Gelse et al. 2003).
Tabel 2 Pengelompokan tipe-tipe kolagen
Type
Moleculer
Genes (genomic
composition
localization)
Fibril-forming collagens
I
[α1(I)]2α2(I)
COL1A1
(17q21.31-q22)
COL1A2 (7q22.1)
II
[α1(II)]3
COL 2A1
(12q13.11-q13.2)
III
[α1(III)]3
COL3A1 (2q31)
Tissue distribution
bone, dermis, tendon, ligaments,
cornea
cartilago, vitreous body, nucleus
pulporus
skin, vessel wall, reticular fibres of
most tissues (lungs, liver, spleen, etc.)
13
Lanjutan Tabel 2
Type
Moleculer
composition
α1(V), α2(V),
α3(V)
Genes (genomic
localization)
V
COL5A1
(9q34.2-q34.3)
COL5A2 (2q31)
COL5A3 (19p13.2)
XI
α1(XI)
COL11A1(1p21)
α2(XI)α3(XI)
COL11A2(6p21.3)
COL11A3=COL2A1
Basement membrane collagens
IV
[α1(IV)]2
COL4A1 (13q34)
α2(IV); α1-α6
COL4A2 (13q34)
COL4A3 (2q36-q37)
COL4A5 (Xq22.3)
COL4A6 (Xp22.3)
Microfibrillar collagen
VI
α1(VI), α2(VI), COL6A1 (21q22.3)
α3(VI)
COL6A2 (21q22.3)
COL6A3 (2q37)
Anchoring fibrils
VII
[α1(VII)]3
COL7A1 (3p21.3)
Hexagonal network-forming collagens
VIII
[α1(VIII)]2
COL8A1 (3q12-q13.1)
α2(VIII)
COL8A2
(1p34.3-p32.3)
X
[α3(XI)]3
COL10A1
(6q21-q22.3)
FACIT collagens
IX
α1(IX)α2(IX)
COL9A1 (6q13)
α3(IX)
COL9A2 (1p33-p32.2)
XII
[α1(XII)]3
COL12A1 (6q12-q13)
XIV
[α1(XIV)]3
COL9A1 (8q23)
XIX
XX
[α1(XIX)]3
[α1(XX)]3
COL19A1 (6q12-q14)
XXI
[α1(XXI)]3
COL21A1
(6p12.3-11.2)
Transmembrane collagens
XIII
[α1(XIII)]3
COL13A1 (10q22)
XVII [α1(XVII)]3
Multiplexins
XV
[α1(XV)]3
COL17A1 (10q24.3)
XVI
[α1(XVI)]3
XVIII [α1(XVIII)]3
COL16A1 (1p34)
COL18A1 (21q22.3)
Sumber: Gelse et al. (2003)
COL15A1 (9q21-q22)
Tissue distribution
lung, cornea, bone, fetal
membranes, together with type I
collagen
cartilage, vitreous body
Basement membranes
widespread: dermis, cartilage,
placenta, lungs, vessel wall,
intervertebral disc
skin, dermal-epidermal junctions,
oral mucosa, cervix
endothelial cells, descement’s
membrane
Hypertropic cartilage
cartilage, vitreous humor, cornea
perichrondrium, ligament, tendon
dermis, tendon, vessel wall,
placenta, lungs, liver
human rhabdomyosacroma
corneal epithelium, embriyonic
skin, stemal cartilago, tendon
blood vessel wall
Epidermis, hair follicle,
endomysium, intestine,
chondrocytes, lungs, liver
dermal-epidermal junctions
fibroblasts, smooth muscle cells,
kidney, pancreas
Fibroblasts, amnion, keratonocytes
Lungs, liver
14
Molekul dasar pembentuk kolagen adalah tiga unit rantai α polipeptida yang
saling berpilin membentuk struktur triple heliks yang lebih dikenal dengan istilah
tropokolagen (Friess 1998). Kolagen triple heliks ini distabilkan terutama oleh
ikatan hidrogen baik ikatan intramolekul yang terjadi antara rantai-rantai molekul
tropokolagen maupun ikatan intermolekul antara molekul dalam tropokolagen
(Brodsky dan Persikov 2005). Gelse et al. (2003) mengungkapkan bahwa selain
mengandung struktur triple heliks, kolagen juga mengandung bagian non helical
teleopeptida yang mengapit bagian heliks, C-propeptide, dan N-propeptide. Non
helical teleopeptida berperan dalam pembentukan kovalen cross-linking serta
sebagai penghubung antar molekul dalam struktur matriks. C-propeptide memiliki
peran penting dalam inisiasi pembentukan triple heliks, sedangkan N-propeptide
diduga terlibat dalam regulasi utama diameter fibril. Struktur dasar kolagen dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur dasar kolagen (Gelse et al. 2003).
Serat kolagen tersusun dari rangkaian mikrofibril kolagen dengan panjang
mencapai kurang dari 1 cm dan diameter kurang dari 500 nm. Mikrofibril kolagen
sendiri terbentuk dari rangkaian empat sampai delapan molekul kolagen
(tropokolagen) dengan diameter kurang dari 5 nm melalui ikatan kovalen
cross-linking. Jalur biosintesis serat kolagen ditunjukkan pada Gambar 4
(Shoulders dan Raines 2009).
Molekul kolagen tersusun dari kira-kira dua puluh asam amino yang
memiliki bentuk agak berbeda bergantung pada sumber bahan bakunya (Schrieber
dan Gareis 2007). Asam amino pada struktur triple heliks kolagen tersusun secara
khas yaitu Gly-X-Y. Posisi X adalah prolina dan posisi Y adalah hidroksiprolina
15
(Friess 1998). Kittiphattanabawon et al. (2010a) mengatakan glisina merupakan
asam amino utama pembentuk kolagen yang meliputi 1/3 dari total asam amino.
Friess (1998) menyatakan bahwa asam amino glisina terdapat pada setiap posisi
ketiga susunan asam amino triple heliks kolagen (Gly-X-Y), sementara 35% dari
asam
amino
penyusun
triple
heliks
kolagen
merupakan
prolina
dan
hidroksiprolina. Muyonga et al. (2004a) menyatakan bahwa gabungan prolina
dan hidroksiprolina yang dikenal dengan istilah asam imino memiliki fungsi
sebagai bahan penstabil panas dari kolagen.
Menurut Regenstein dan Zhou
(2007), komposisi asam imino dalam kolagen bervariasi antar spesies tergantung
dari lingkungan hidup terutama suhu habitat spesies tersebut. Kittiphattanabawon
et al. (2010a) menyatakan bahwa kolagen yang berasal dari spesies yang hidup di
lingkungan dingin mengandung prolina dan hidroksiprolina yang lebih rendah
dibandingkan dengan kolagen dari ikan yang hidup dalam lingkungan yang lebih
hangat sehingga kolagen yang berasal dari spesies yang hidup di lingkungan
dingin memilki titik lebur dan stabilitas termal lebih rendah daripada kolagen
yang berasal dari spesies yang hidup di lingkungan hangat.
Gambar 4 Jalur biosintesis fibril kolagen (Shoulders dan Raines 2009).
16
Kolagen tipe I mempunyai struktur triple superhelik dengan tiga rantai
polipeptida yang merupakan jenis kolagen yang banyak terdapat pada jaringan
kulit, tendon, tulang, kornea, dentin, fibrokartilago, usus, uterus, dan dermis
(Friess 1998). Kolagen jenis ini memiliki fungsi mekanik untuk menjaga
stabilitas, kekuatan, dan ketangguhan dari jaringan tersebut (Fratzl 2008). Triple
heliks kolagen tipe I berbentuk heterotrimer dari dua ikatan α1(I) dan satu ikatan
α2(I). Kolagen tipe I yang terkandung pada kulit sebagian besar berkomposit
dengan kolagen tipe III (Gelse et al. 2003). Tropokolagen pada kolagen tipe I
berbentuk batang dengan berat molekul rata-rata sekitar 300 kDa, panjang 300 nm
dengan diameter 1,5 nm.
Kolagen tipe I juga memiliki wilayah non helical
teleopeptida yang mengandung 926 asam amino. Tropokolagen beragregasi
membentuk mikrofibril yang terdiri dari empat hingga delapan tropokolagen dan
selanjutnya membentuk fibril dengan diameter mencapai 10500 nm (Friess
1998). Struktur kimia dari kolagen tipe I ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Struktur kimia kolagen tipe I: susunan asam amino (a); struktur
sekunder dan tersier triple heliks (b); struktur kuartener.
2.5 Ekstraksi kolagen
Karakteristik sifat fisik dan kimia dari kolagen tidak hanya tergantung pada
asal hewan tetapi juga dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam proses
ekstraksi. Ekstraksi kolagen dapat dilakukan secara kimiawi maupun kombinasi
secara kimiawi dan enzimatis. Ekstraksi secara kimiawi dikelompokkan menjadi
17
dua yaitu proses asam dan basa. Proses asam cocok digunakan untuk bahan baku
yang memiliki struktur kolagen dengan sedikit ikatan silang, misalnya babi dan
kulit ikan; sedangkan proses basa umumnya digunakan untuk bahan baku yang
memiliki ikatan silang lebih padat dan kompleks seperti tulang dan kulit sapi
(Karim dan Bhat 2009).
Ekstraksi kolagen dari kulit ikan dapat dapat dilakukan dengan berbagai
metode (Tabel 3). Ekstraksi kolagen dari kulit ikan meliputi tahapan pretreatment
kulit, ekstraksi dengan asam atau kombinasi asam dengan enzim, purifikasi, dan
pengeringan. Ekstraksi kolagen diawali dengan proses pretreatment kulit dengan
melakukan perendaman kulit dalam larutan NaOH. Proses ini bertujuan untuk
menghilangkan zat selain protein kolagen, misalnya lemak, kotoran, pigmen, dan
protein non kolagen. Hinterwaldner (1977) menyatakan bahwa perendaman kulit
dalam larutan basa mengakibatkan hancurnya sebagian ikatan silang pada struktur
kolagen sehingga kulit dapat melepaskan zat selain protein kolagen.
Penghilangan lemak dapat dilakukan pada proses pretreatment kulit menggunakan
butil alkohol. Proses ini dilakukan setelah proses perendaman kulit dalam larutan
NaOH. Ekstraksi kolagen umumnya dilakukan dengan menggunakan 0,5 M asam
asetat, namun jenis asam organik yang juga dapat digunakan untuk ekstraksi
kolagen diantaranya asam asam sitrat dan asam laktat. Rendemen kolagen dapat
ditingkatkan dengan proses ekstraksi kombinasi asam dan enzim. Beberapa jenis
enzim yang dapat digunakan adalah pepsin, tripsin, pankreatin, fisin, bromelin,
dan papain. Enzim tersebut mengakibatkan terputusnya ikatan kovalen crosslinking pada struktur kolagen (Skierka dan Sadowska 2007). Kolagen larut asam
dipurifikasi dengan metode presipitasi menggunakan NaCl yang dilanjutkan
dengan dialisis. Kolagen hasil dialisis dikeringkan dengan freeze dryer.
18
Tabel 3 Metode ekstraksi kolagen dari kulit ikan
Jenis ikan
Japanese sea-bass
(Lateolabrax
japonicus),
Chub mackerel
(Scomber
japonicus)
Bullhead shark
(Heterodontus
japonicus)
Cuttlefish (Sepia
lycidas)
Pretreatment
Deproteinasi dengan
0,1 N NaOH dan
dilanjutkan dengan
deffated dengan 10%
butil alkohol selama
1 hari
Ekstraksi
Perendaman dalam 0,5 M
asam asetat selama 3 hari
Deproteinasi dengan
0,1 M NaOH selama
3 hari
Bigeye snapper
(Priacanthus
tayenus)
Deproteinasi dengan
0,1 N NaOH (1:10
w/v) selama 6 jam
dan pelarut diganti 2
jam sekali,
dilanjutkan deffated
dengan 10% butil
alkohol (1:10 w/v)
selama 18 jam dan
pelarut diganti 6 jam
sekali
-
Acid Soluble Collagen
Nagai et al. (2001)
(ASC)
Perendaman dalam 0,5 M
asam asetat selama 3 hari
Pepsin Soluble Collagen
(PSC)
Perendaman dalam 0,5 M
asam asetat ditambah 10%
(w/v) pepsin selama 48
jam
Perendaman dalam 0,5 M Kittiphattanabawon
asam asetat (1:30 w/v)
et al. (2005)
selama 24 jam
Baltic cod
(Gadus morhua)
(1) Ekstraksi dengan
variasi jenis asam dan
variasi waktu ekstraksi.
Jenis asam yang
digunakan: 0,15 M HCl;
0,5 M asam sitrat; 0,5 M
asam asetat; 0,5 M asam
laktat (1:6 w/v) dan waktu
ekstraksi: 24, 48, dan 72
jam.
(2) Ekstraksi dengan
kombinasi asam dan
enzim pepsin. Jenis asam
dan waktu ekstraksi
seperti pada proses (1)
dengan penambahan
variasi pepsin yaitu 3,3;
6,6; 10; dan 20 mg/g
bahan baku
Sumber pustaka
Nagai dan Suzuki
(2000)
Skierka dan
Sadowska (2007)
19
Lanjutan Tabel 3
Jenis ikan
Brownbanded
bamboo shark
(Chiloscyllium
punctatum)
Pretreatment
Deproteinasi
dengan 0,1 M
NaOH (1:10 w/v)
selama 6 jam dan
pelarut diganti
2 jam sekali
Balloon fish
(Diodon
holocanthus)
Deproteinasi
dengan 0,1 M
NaOH (1:10 w/v)
selama 3 hari
dilanjutkan
deffated dengan
10% butil alkohol
(1:10 w/v) selama
1 hari
Striped catfish
(Pangasianodon
hypophthalmus)
Deproteinasi
dengan 0,1 M
NaOH (1:10 w/v)
selama 6 jam dan
pelarut diganti
setiap 2 jam sekali,
dilanjutkan dengan
deffated dengan
10% butil alkohol
(1:10 w/v) selama
48 jam dan pelarut
diganti setiap 8 jam
sekali.
Ekstraksi
Acid Soluble Collagen
(ASC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:15
w/v) selama 48 jam
Pepsin Soluble
Collagen (PSC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:15
w/v) ditambah porcin
pepsin (20 unit/g )
selama 48 jam
Acid Soluble Collagen
(ASC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:10
w/v) selama 1 hari
Pepsin Soluble
Collagen (PSC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:2)
ditambah 15% (w/w)
pepsin selama 30 jam
Sumber pustaka
Kittiphattanabawon
et al. (2010a)
Acid Soluble Collagen
(ASC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:15
w/v) selama 24 jam
Pepsin Soluble
Collagen (PSC)
Perendaman dalam
0,5 M asam asetat (1:15
w/v) ditambah porcin
pepsin (20 U/g) selama
48 jam
Singh et al. (2011)
Huang et al. (2011)
2.6 Pembuatan Nanopartikel
Nanopartikel dapat dibuat dari berbagai bahan seperti protein, polisakarida
dan polimer sintetis. Pembuatan nanopartikel dapat dilakukan dengan berbagai
metode diantaranya dispersi polimer, polimerisasi monomer, proses gelasi ionik
(koaservasi), dan teknologi superkritikal fluida. Dispersi polimer merupakan
teknik umum yang digunakan untuk membuat nanopartikel biodegradable dari
20
PLA (poly-lactic acid), PLG (poly-D,Lglycolide), PLGA (poly-D,L-lactide-coglycolide), dan PCA (poly-cyanoacrylate) (Mohanraj dan Chen 2006).
Nanopartikel protein telah dipelajari secara luas sebagai penghantar obat
yang baik karena bersifat biodegradable, tidak beracun dan non antigenik, dan
struktur utama protein yang tinggi kandungan asam amino terutama lisina.
Protein dalam bentuk nanopartikel dapat diperoleh dengan metode koaservasi dan
desolvasi yang terkontrol (Rahimejad et al. 2009). Metode koaservasi dapat
digunakan untuk membuat nanopartikel dari polimer biodegradable, misalnya
kitosan, gelatin, dan sodium alginat (Mohanraj dan Chen 2006). Coester et al.
(2000) berhasil membuat nanopartikel gelatin dengan metode desolvasi dua tahap
dengan ukuran gelatin nanopartikel 277 nm. Hasil penelitian Azarmi et al. (2006)
dengan metode yang sama menunjukkan proses desolvasi dipengaruhi oleh suhu,
pH, jenis pelarut, dan tipe gelatin. Proses desolvasi gelatin type A yang
berlangsung pada suhu 40 C, pH 2,5, dan aseton sebagai pelarut mempunyai
ukuran partikel sebesar 163 nm.
2.7 Kolagen dalam Bidang Kosmetik
Kolagen merupakan komponen utama pada kulit dengan proporsi mencapai
lebih dari 50% dari total protein (Friess 1998). Li et al. (2005) menyatakan
bahwa 85% dari total protein pada lapisan dermis kulit adalah kolagen tipe I.
Kolagen pada kulit dapat mengalami kerusakan akibat terpapar sinar radiasi UVB
dan UVA dari sinar matahari serta faktor usia. Kulit yang terkena sinar UVA
mengalami reaksi oksigen reaktif berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan
ikatan silang pada kolagen. Kerusakan kolagen pada kulit mengakibatkan
penurunan fungsi kolagen untuk mempertahankan air dalam kulit sehingga kulit
tampak keriput, kering dan mengalami pigmentasi abnormal yang menyebabkan
warna kulit tidak merata (Ou-Yang et al. 2009). Pertambahan usia mengakibatkan
kandungan kolagen dalam tubuh manusia akan turun sedikit demi sedikit. Hal ini
menyebabkan kolagen tidak mampu memberikan dukungan yang baik untuk
lapisan kulit teratas dan proses penuaan kulit mulai terjadi (Draelos dan Thaman
2006).
Penambahan
kolagen
dalam
formulasi
kosmetik
ditujukan
untuk
menggantikan kolagen yang rusak akibat pengaruh lingkungan maupun faktor
21
usia sehingga dapat mengembalikan fungsi kolagen pada kulit. Li et al. (2005)
menunjukkan bahwa kolagen merupakan bahan baku kosmetik yang efektif
karena mempunyai kemampuan poliferasi sel keratinosit yang tinggi sehingga
dapat mengganti sel-sel kulit yang mati. Secchi (2008) menyatakan bahwa
kolagen memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan koloid yang terus
menerus pada permukaan kulit sehingga memberikan efek halus dan lembut.
Swatschek et al. (2002) menunjukkan bahwa kolagen memiliki kemampuan untuk
meningkatkan penyerapan air melalui kulit dan kandungan lemak (sebum) kulit.
Kato et al. (2011) menunjukkan kemampuan kolagen dari ikan untuk memperkuat
fibril kolagen dan menjaga epidermal keratinosit dari paparan sinar UVA.
Kolagen yang akan diaplikasikan pada formulasi kosmetik harus memenuhi
spesifikasi cosmetic grade (Tabel 4).
Tabel 4 Spesifikasi kolagen cosmetic grade
Parameter
Appearance
Odor
Protein%
Ash %
Moisture%
Molecular Weight (Da)
Lead(Pb) (mg/kg)
As (mg/kg)
Hg (mg/kg)
Total Bacteria (cfu/g)
Mold count (cfu/g)
Pathogenic bacteria (Salmonella sp.,
Staphylococcus aureus)
Spesifikasi
White powder
No off-smell
≥90
<1
<5
3000
<0.5
<0.3
<0.1
<1000
<50
Negatif
Sumber: Zhengzhou Sigma Chemical Co., Ltd.
2.8 Nanopartikel dalam Bidang Kosmetik
Nanoteknologi dapat didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip ilmiah
dan rekayasa untuk membuat dan memanfaatkan hal-hal yang sangat kecil.
Nanoteknologi banyak mendapat perhatian publik karena jangkauan aplikasi yang
luas dan secara dramatis berdampak baik bagi masyarakat ilmiah dan pasar
komersial. Aplikasi nanoteknologi meliputi bidang biomedis, optik, elektronik,
22
mekanik, kimia, makanan, dan kosmetik (Mu dan Sprando 2010). Nanoteknologi
digunakan dalam bidang kosmetik untuk meningkatkan bioavailabilitas bahan
aktif dalam kosmetik. Penggunaan bahan berukuran nano dalam formulasi
kosmetik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produk, mengurangi jumlah
bahan yang digunakan terkait efek toksisitas dan iritasi, dan meningkatkan
penetrasi bahan aktif (Mihranyan et al. 2012). Keuntungan utama menggunakan
nanopartikel dalam formulasi produk kosmetik adalah untuk i) meningkatkan
stabilitas berbagai bahan kosmetik seperti asam lemak tak jenuh, vitamin,
antioksidan yang dienkapsulasi dalam nanopartikel; ii) meningkatkan penetrasi
bahan tertentu misalnya vitamin dan antioksidan lainnya; iii) meningkatkan
efektivitas dan toleransi filter UV pada permukaan kulit; dan iv) membuat produk
yang lebih estetis (misalnya, dalam tabir surya mineral, membuat partikel aktif
mineral yang lebih kecil sehingga memungkinkan mineral tersebut digunakan
tanpa terlihat putih) (Mu dan Sprando 2010).
Nanopartikel adalah ukuran panjang partikel dalam satuan nanometer,
dalam istilah yang lebih teknis, kata "nano" berarti 10-9 atau sepermilyar. Satu nm
berati ukuran panjang yang setara dengan sepermilyar meter, sepersejuta mm atau
seperseribu µm. Definisi nanopartikel berbeda, tergantung pada bahan, bidang dan
aplikasi yang bersangkutan (Hosokawa et al. 2007). Bolzinger et al. (2011)
mendefinisikan nanopartikel dalam kisaran 1 sampai 100 nm, sementara Mohanraj
dan Chen (2006) mendefinisikan nanopartikel sebagai partikel yang berbentuk
padat dengan ukuran sekitar 10–1000 nm.
Nanopartikel pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1970. Penggunaan
nanopartikel pada awalnya dirancang sebagai agen pembawa untuk vaksin dan
anti kanker (Majeti dan Ravikumar 2000). Nanopartikel telah menjadi bagian
yang penting dari penelitian di bidang penghantaran makanan dan obat (Hans dan
Lowman 2002). Keuntungan utama dari makanan atau penghantar obat dalam
ukuran nanopartikel adalah kemungkinan makanan (obat) tersebut dapat
dihantarkan sesuai target yang diinginkan dalam tubuh, daya serap yang tinggi,
serta kemampuan yang luas untuk mencapai target pada berbagai area tubuh
dalam jangka waktu yang lama (Hans dan Lowman 2002; Weber et al. 2000).
Keuntungan lain penggunaan nanopartikel antara lain biodegradable, non toksik,
23
non antigenik, stabil dan dapat disimpan dalam jangka waktu lama, kapasitas yang
lebih tinggi untuk molekul hidrofilik dibandingkan sistem koloid lain, pelepasan
obat terkontrol, dan sebagai pembawa DNA dalam terapi gen (Rahimnejad et al.
2009) .
Aplikasi nanopartikel dalam bidang kosmetik sudah mulai dikembangkan.
Berbagai jenis nanomaterial, misalnya arbutin, titanium, silikon, zink/zink oksida,
emas, asam hialuronat, dan kolagen digunakan dalam produk whitening,
sunscreen, moisturizer, dan skincare (Mihranyan et al. 2012). Nanbu (2009)
menyatakan bahwa formulasi kosmetik yang mengandung arbutin nanopartikel
dengan ukuran 10-150 nm (1-5% wt) menunjukkan efek sebagai pemutih. Beumer
et al. (2008) menyatakan komposisi kosmetik yang mengandung nanopartikel
isoflavon dengan ukuran kurang dari 500 nm memberikan efek untuk
mempercantik kulit dan sebagai anti penuaan.
Absorpsi bahan aktif dalam kosmetik melalui kulit sangat dipengaruhi oleh
sifat fisikokimia bahan tersebut yang meliputi morfologi, kelarutan, alterability,
dan aktivitas biologis (Bolzinger et al. 2011). Ukuran partikel merupakan salah
satu sifat morfologi yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan bahan aktif
untuk kosmetik. Hoet et al. (2004) mengungkapkan bahwa material berukuran
nano lebih mudah memasuki bagian dalam kulit dibandingkan dengan material
berukuran lebih besar. Mu dan Sprando (2010) menyatakan bahwa partikel
berukuran nano memiliki luas area yang lebih besar sehingga dapat
meningkatkan kemampuan untuk melintasi hambatan biologis dan meningkatkan
kelarutan bahan aktif. Chai et al. (2010) menunjukkan bahwa kolagen peptida
dari sisik ikan nila (Oreochromis sp.) dengan berat molekul 3500 Da dan 4500 Da
dapat menembus stratum corneum dan mencapai lapisan epidermis dan dermis.
Download