Analisis efisiensi tataniaga pada kelompok usaha budidaya ikan

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Ikan Lele Sangkuriang
Ikan Lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang sudah
dibudidayakan secara komersial oleh masyarakat Indonesia terutama di Pulau
Jawa. Budidaya Ikan Lele berkembang pesat dikarenakan 1) dapat dibudidayakan
di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, 2) teknologi
budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, 3) pemasarannya relatif mudah
dan 4) modal usaha yang dibutuhkan relatif rendah.
Klasifikasi Ikan Lele menurut Sunarma (2004) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Ostariophyci
Subordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Species : Clarias sp
Ikan Lele memiliki bentuk tubuh memanjang dan kulit yang licin serta
tidak bersisik. Di Indonesia, Ikan Lele memiliki beberapa nama daerah, antara lain
: Ikan Kalang di Padang, Ikan Maut di Gayo dan Aceh, Ikan Pintet di Kalimantan
Selatan, Ikan Keling di Makasar, Ikan Cepi di Bugis, serta Ikan Lele atau Lindi di
Jawa Tengah. Ikan Lele merupakan jenis ikan yang digemari masyarakat, dengan
10
rasa yang lezat, daging empuk, duri teratur dan dapat disajikan dalam berbagai
macam menu masakan.
Ikan Lele memiliki keunggulan, misalnya konversi pakannya memiliki
FCR (Food Convertion Ratio) 1:1 yang artinya, satu kilogram pakan yang
diberikan kepada Ikan Lele menghasilkan satu kilogram daging. Ikan Lele yang
bergerak sangat lincah menyebabkan korelasi positif dengan rasa dagingnya.
Membuat dagingnya terasa lebih enak dan gurih karena lemak yang terkandung
dalam Ikan Lele lebih sedikit. Selain itu, Ikan Lele dalam pertumbuhannya lebih
cepat, dan lebih tahan terhadap penyakit. Survival Rate (SR/tingkat kelangsungan
hidup) Ikan Lele dapat mencapai 90% (Departemen Kelautan dan Perikanan
2007).
Ikan Lele juga dapat dipijahkan sepanjang tahun; fekunditas telur yang
tinggi; dapat hidup pada kondisi air yang marjinal; dan efisiensi pakan yang
tinggi. Pengembangan usaha budidaya Ikan Lele semakin meningkat setelah
masuknya jenis Ikan Lele Dumbo ke Indonesia pada tahun 1985.
Namun demikian, akibat pengembangan usaha budidaya yang sangat pesat
dengan penggunaan induk yang tidak terkontrol, telah menyebabkan terjadinya
penurunan mutu induk yang digunakan dan benih yang dihasilkan. Hal tersebut
ditandai dengan rendahnya pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih sehingga
produksinya tidak optimal. Sebagai upaya perbaikan mutu induk dan benih Ikan
Lele Dumbo, Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi sejak tahun 2000
telah melakukan perbaikan genetik melalui silang-balik (backcross). Hasil uji
keturunan dari induk hasil silang balik, menunjukkan adanya peningkatan dalam
pertumbuhan benih yang dihasilkan. Berdasarkan keunggulan Ikan Lele Dumbo
11
hasil perbaikan mutu dan sediaan induk yang ada di BBAT Sukabumi, maka Ikan
Lele Dumbo tersebut layak untuk dijadikan induk dasar.
Pada tanggal 21 Juli 2004 telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Nomor KEP. 26/MEN/2004 tentang Pelepasan Varietas Ikan Lele
sebagai Varietas Unggul. Ikan Lele yang dimaksud dalam kepmen ini adalah Ikan
Lele Sangkuriang hasil riset BBAT Sukabumi. Pelepasan ini bertujuan
memperkaya jenis dan varietas Ikan Lele Lokal; serta meningkatnya produksi,
pendapatan dan kesejahteraan pembudidaya ikan. Induk Ikan Lele Sangkuriang
merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina
generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Induk betina F2
merupakan koleksi yang ada di BBAT Sukabumi yang berasal dari keturunan
kedua Ikan Lele Dumbo yang diintroduksi ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan
induk jantan F6 merupakan sediaan induk yang ada di BBAT Sukabumi. Induk
dasar yang didiseminasikan dihasilkan dari silang balik tahap kedua antara induk
betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan hasil silang balik tahap pertama
(F2-6).
Diseminasi Ikan Lele Sangkuriang dapat berupa induk siap pakai atau
benih calon induk. Diseminasi diprioritaskan kepada BBI/UPTD. Perikanan
pemerintah daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan unit pembenihan rakyat atau
kelompok pembudidaya ikan yang direkomendasikan oleh pemerintah daerah,
yang mampu bekerjasama dengan BBAT Sukabumi untuk pengelolaan induk dan
mampu menerapkan prosedur produksi calon induk/benih secara benar. Benih
hasil induk Ikan Lele Sangkuriang hanya dapat digunakan untuk produksi ikan
konsumsi dan tidak direkomendasikan untuk dijadikan induk kembali. Ini
12
dilakukan untuk mempertahankan kualitas Ikan Lele yang dihasilkan (Departemen
Kelautan dan Perikanan 2007).
Tabel 3. Perbedaan Karakter Reproduksi dan Karakter Pertumbuhan Ikan Lele
Sangkuriang dan Ikan Lele Dumbo
Deskripsi
Kematangan Gonad Pertama (bulan)
Fekunditas (butir/kilogram induk betina)
Diameter telur (mm)
Lamanya inkubasi telur pada suhu 23-24oC
(jam)
Lamanya kantung telur terserap pada suhu
23-24oC (hari)
Derajat penetasan telur (%)
Sifat larva
Kelangsungan hidup larva (%)
Pakan alami larva
Lele Sangkuriang
8-9
40.000 - 60.000
1,1 - 1,4
30 - 36
Lele Dumbo
4-5
20.000 - 30.000
1,1 - 1,4
30 - 36
4-5
4-5
> 90
Tidak kanibal
90 - 95
Moina sp. Daphnia sp.
Tubilex sp.
Pendederan 1 (benih umur 5- 26 hari)
Pertumbuhan harian (%)
29,26
Panjang standar (cm)
3-5
Kelangsungan hidup (%)
> 80
Pendederan 2 (benih umur 26 - 40 hari)
Pertumbuhan harian (%)
13,96
Panjang standar (cm)
5-8
Kelangsungan hidup (%)
> 90
Pembesaran
Pertumbuhan harian selama 3 bulan (%)
3,53
Pertumbuhan harian calon induk
0,85
Konversi pakan
0,8 - 1
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan 2007
> 80
Tidak kanibal
90 - 95
Moina sp. Daphnia
sp. Tubifex sp.
20,38
2-3
> 80
12,18
3-5
> 90
2,73
0,62
>1
Ikan Lele Sangkuriang memiliki karakteristik reproduksi dan pertumbuhan
yang lebih baik dibandingkan dengan Ikan Lele Dumbo yang saat ini beredar di
masyarakat. Ikan Lele Sangkuriang memiliki fekunditas 33.33% lebih tinggi
dibandingkan Ikan Lele Dumbo dan umur pertama matang gonad yang lebih tua.
Pertumbuhan benih Ikan Lele Sangkuriang pada pemeliharaan umur 5-26 hari
menghasilkan laju pertumbuhan harian 43.57% lebih tinggi dibandingkan Ikan
Lele Dumbo sedangkan pada pemeliharaan umur 26-40 hari 14.61% lebih tinggi.
Pada pembesaran calon induk tingkat pertama dan kedua, Ikan Lele Sangkuriang
menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan Ikan Lele Dumbo
yaitu 11.36% dan 16.44%. Sedangkan pada pembesaran kelas konsumsi, konversi
13
pakan pada Ikan Lele Sangkuriang hanya mencapai 0.8 dibandingkan Ikan Lele
Dumbo yang mencapai > 1. Diseminasi induk/benih yang bermutu kepada para
pembenih/UPR telah dilakukan ke beberapa sentra budidaya Ikan Lele dan
didukung dengan diseminasi teknologi budidayanya (Sunarma 2004).
Seperti halnya sifat biologi Ikan Lele Dumbo terdahulu, Ikan Lele
Sangkuriang tergolong omnivora. Di alam ataupun lingkungan budidaya, ia dapat
memanfaatkan plankton, cacing, insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai
makanannya. Untuk usaha budidaya, penggunaan pakan komersil (pellet) sangat
dianjurkan karena berpengaruh besar terhadap peningkatan efisiensi dan
produktivitas (Ditjen Perikanan Budidaya 2006).
Budidaya Ikan Lele Sangkuriang dapat dilakukan di areal dengan
ketinggian 1 m - 800 mdpl. Persyaratan lokasi, baik kualitas tanah maupun air
tidak terlalu spesifik, artinya dengan penggunaan teknologi yang memadai
terutama pengaturan suhu air budidaya masih tetap dapat dilakukan pada lahan
yang memiliki ketinggian diatas >800 m dpl. Namun bila budidaya dikembangkan
dalam skala masal harus tetap memperhatikan tata ruang dan lingkungan sosial
sekitarnya artinya kawasan budidaya yang dikembangkan sejalan dengan
kebijakan yang dilakukan Pemda setempat. Budidaya Ikan Lele, baik kegiatan
pembenihan maupun pembesaran dapat dilakukan di kolam tanah, bak tembok
atau bak plastik. Budidaya di bak tembok dan bak plastik dapat memanfaatkan
lahan pekarangan ataupun lahan marjinal lainnya.
Sumber air dapat menggunakan aliran irigasi, air sumur (air permukaan
atau sumur dalam), ataupun air hujan yang sudah dikondisikan terlebih dulu.
Parameter kualitas air yang baik untuk pemeliharaan Ikan Lele Sangkuriang
14
adalah sebagai berikut : Suhu air yang ideal untuk pertumbuhan Ikan Lele berkisar
antara 22oC-32°C. Suhu air akan mempengaruhi laju pertumbuhan, laju
metabolisme ikan dan nafsu makan ikan serta kelarutan oksigen dalam air. pH air
yang ideal berkisar antara 6-9. Oksigen terlarut di dalam air harus > 1 mg/l.
Budidaya Ikan Lele Sangkuriang dapat dilakukan dalam bak plastik, bak tembok
atau kolam tanah. Dalam budidaya Ikan Lele di kolam yang perlu diperhatikan
adalah pembuatan kolam, pembuatan pintu pemasukan dan pengeluaran air.
(Ditjen Perikanan Budidaya, 2006).
Dalam kegiatan budidaya Ikan Lele Sangkuriang terdapat beberapa
kegiatan yang dilakukan secara bertahap. Kegiatan tersebut yaitu : a) pembuatan
kolam budidaya, b) pembenihan : pemilihan induk, pemijahan, penetasan telur
dan perawatan larva, c) pendederan : pendederan I, pendederan II, d) pembesaran :
persiapan, penebaran benih, pemeliharaan, e) persiapan, f) pemanenan :
pemanenan dari kolam pendederan, pemanenan dari kolam pembesaran, g)
pengangkutan, dan h) penanggulangan hama dan penyakit.
2.2. Penelitian Tataniaga Ikan
Ketersedian hasil penelitian mengenai sistem dan tataniaga Ikan masih
sangat terbatas, berikut ini terdapat tiga hasil penelitian tataniaga Ikan yang
pernah dilakukan.
Hasil penelitian Nurasiah (2007) Studi mengenai Analisis Pendapatan dan
Pemasaran Ikan Hias Air Tawar di Desa Cibitung Tengah, Kecamatan Tenjolaya,
Kabupaten Bogor. Menunjukkan bahwa usahatani ikan hias air tawar dilokasi
penelitian
terdiri
dari
usahatani
pembenihan,
pendederan,
pembenihan-
15
pendederan. Pendapatan yang diperoleh dari budidaya tersebut berbeda satu sama
lainnya dan dibedakan atas pendapatan tunai dan pendapatan total. Pendapatan
atas biaya total maupun pendapatan atas biaya tunai tertinggi pada usahatani
pembenihan-pendederan yaitu sebesar Rp 29.338.403,72 dan Rp 17.478.637,05
per tahunnya. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai dan atas biaya total terendah
pada usahatani pembenihan fase 40 hari yaitu sebesar Rp 4.678.644,57 dan
Rp 3.299.602,08 per tahunnya.
Pemasaran ikan hias di Desa Cibitung Tengah terdiri dari lima saluran
pemasaran dimana didalamnya terdapat lembaga pemasaran seperti tengkulak dan
kelompok tani, agen, dan pedagang pengecer. Fungsi pemasaran yang dilakukan
oleh lembaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
Fungsi pertukaran terdiri dari aktivitas pembelian dan penjualan, fungsi fisik
berupa pengemasan dan pengangkutan, serta fungsi fasilitas berupa aktivitas
grading, pembiayaan, dan penanggungan resiko.
Struktur pasar yang dihadapi oleh petani adalah pasar oligopsoni begitu
pula dengan tengkulak dan kelompok tani. Bila ditinjau dari sisi penjual, pasar
yang dihadapi oleh agen ikan hias adalah pasar oligopoli dan pasar monopsoni
merupakan struktur yang dihadapi oleh pedagang pengecer.
Penelitian lain adalah Reynold (2007), Mengenai Analisis Usahatani dan
Tataniaga Ikan Hias Maskoki Oranda (Carrausius auratus) Kasus di Desa Parigi
Mekar, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Adapun tujuan dari
penelitian tersebut yaitu menganalisis usahatani pembesaran Ikan maskoki
Oranda, menganalisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga dan struktur pasar
dan marjin tataniaga Ikan Maskoki Oranda di Desa Parigi Mekar. Pemilihan
16
responden petani Ikan Hias Maskoki Oranda dilakukan dengan cara keputusan
(Judgment Sample). Jumlah seluruh responden yang diambil sebanyak 36
responden. Jumlah responden yang diambil dari petani sebanyak 20 orang,
pedagang pengumpul sebanyak 5 orang, supplier sebanyak 4 orang, dan pedagang
pengecer sebanyak 7 orang.
Berdasarkan hasil analisis usahatani pembesaran Ikan Maskoki Oranda
diperoleh pendapatan usahatani Rp 880.321,43. Analisis R/C rasio yang diperoleh
usahatani pembesaran sebesar 1,33. Sistem tataniaga Ikan Hias Maskoki Oranda
terdiri dari empat saluran tataniaga yang melibatkan empat lembaga tataniaga
yaitu petani, pedagang pengumpul, supplier, dan pedagang pengecer. Saluran
tataniaga 1) petani ke pedagang pengumpul ke supplier ke pedagang pengecer ke
konsumen/hobis. Saluran tataniaga 2) petani ke pedagang pengumpul ke pedagang
pengecer ke konsumen/hobis. Saluran tataniaga 3) petani ke pedagang pengecer
ke konsumen/hobis.Saluran tataniaga 4) petani ke konsumen/hobis.
Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh tiap lembaga tataniaga adalah
fungsi pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik
terdiri dari fungsi pengelolaan (pengemasan), penyimpanan dan pengangkutan
serta fungsi fasilitas terdiri dari fungsi sortasi, grading/standarisasi, pembiayaan
dan informasi pasar.
Tempat lembaga-lembaga tataniaga dalam melakukan kegiatan jual beli
atau transaksi Ikan Hias Maskoki Oranda terdapat di Desa Parigi Mekar, Pasar
Parung dan Pasar Anyar Bogor. Struktur pasar yang terjadi pada masing-masing
tempat tersebut berbeda dan memiliki karakteristik sendiri. Struktur pasar Ikan
Maskoki Oranda di Desa Parigi Mekar antara petani pembenihan dan pembesaran
17
adalah pasar persaingan sempurna, sedangkan antara petani pembesaran dengan
pedagang pengumpul adalah oligpsoni. Struktur pasar Ikan Maskoki Oranda di
Pasar Parung adalah persaingan sempurna, sedangkan di Pasar Anyar adalah
Oligopoli. Penentuan harga Ikan Hias Maskoki Oranda antara lembaga tataniaga
pada masing-masing pasar berdasarkan mekanisme pasar yang terjadi. Kerjasama
antar lembaga tataniaga sudah terjalin dengan baik dan saling mendukung.
Saluran tataniaga empat merupakan saluran tataniaga yang paling efisien
dilihat dari total marjin tataniaga yang paling kecil serta farmer’s share yang
paling besar yaitu sebesar 89,3 persen. Rasio keuntungan dan biaya yang paling
besar diperoleh dari saluran saluran tataniaga tiga sebesar Rp 6,8 per ekor, yang
alternatif saluran tataniaga yang paling efisien.
Analisis Saluran Pemasaran Ikan Bandeng di Pasar Porda Juwana
Kabupaten Pati diteliti oleh Abdurrahman (2003). Studi bertujuan untuk
mengetahui pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran, biaya pemasaran, keuntungan
pemasaran, marjin pemasaran dan farmer’s share. Metode penelitian yang
digunakan adalah studi kasus dengan metode pengambian sampel adalah
purposive sampling dan snowball sampling. Responden yang diperoleh adalah 3
orang bandar, 10 orang grosir, dan 30 orang pengecer. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa saluran pemasaran melibatkan bandar, grosir dalam
daerah, grosir luar daerah, pengecer dalam daerah, dan pengecer luar daerah.
Daerah pemasaran yang jauh akan meningkatkan biaya pemasaran. Hal ini akan
mendorong pedagang untuk menetapkan harga jual Ikan Bandeng yang tinggi.
Saluran pemasaran yang paling menguntungkan adalah tingkat 3 diluar Kabupaten
18
Pati. Farmer’s share paling tinggi diperoleh saluran pemasaran tingkat 2 di dalam
Kabupaten Pati.
Dalam penelitian Analisis Efisiensi Tataniaga Ikan Lele Sangkuriang kali
ini melakukan penelusuran melalui distribusi tataniaga yang diawali dari
pembudidaya, kemudian melibatkan sejumlah pedagang pengumpul, pedagang
pengumpul luar kecamatan, pedagang pengecer, pedagang pengecer luar
kecamatan dan pedagang pecel lele. Dimana pedagang pengumpul melakukan
pembelian secara langsung dari pembudidaya di Kecamatan Ciawi. Penelitian ini
menganalisis saluran, lembaga dan fungsi tataniaga, struktur dan perilaku pasar,
serta efisiensi tataniaga yang dapat diketahui dari marjin tataniaga, farmer’s share
dan rasio keuntungan dan biaya, yang diamati dari beberapa pasar di wilayah
pemasaran Kabupaten dan Kotamadya Bogor. Ringkasan mengenai hasil
penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 4.
Penelitian-penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai bahan rujukan
dalam penelitian ini. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah perbedaan pada komoditi yang diteliti, lokasi penelitian,
penentuan jumlah responden, lembaga pemasaran dan pasar yang menjadi tempat
kegiatan penjualan dan pembelian komoditi yang diteliti.
19
Download