Sri Wahyuni | 83 PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR

advertisement
Sri Wahyuni | 83
PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR MELALUI MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE MAKE A MATCH
BERBANTUAN MEDIA GAMBAR
Sri Wahyuni
[email protected]
Drs. Nyoto Harjono, M.Pd
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar-FKIP
Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Latar belakang masalah diperoleh dari hasil mata pelajaran IPA sangat sulit bagi
siswa dan menyebabkan hasil belajar siswa kurang baik. hasil belajar IPA kelas 5 SD Negeri
1 Ngrandu sehingga berimplikasi pada rendahnya hasil belajar IPA. Penleiti ini bertujuan
untuk mengingkatkan hasil belajar melalui model Make a Match pada siswa kelas 5 SD
Negeri 1 Ngrandu kota Grobogan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah
model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran Make a Match dapat
meningkatkan hasil belajar IPA. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan nilai rata-rata kelas
dari 67,8% pada kondisi awal menjadi 76% pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 80%
pada siklus II. Jumlah siswa yang tuntas belajar meningkat dari 7 siswa atau 43,7% pada
kondisi awal menjadi 10 siswa atau 62,5% pada siklus I dan meningkat menjadi 15 siswa
atau 93,75% siswa tuntas pada siklus II. Dari analisis data tersebut dapat disimpulkan
bahwa metode pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa
kelas IV SD Negeri 1 Ngrandu Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan Semester II Tahun
Pelajaran 2016/2017.
Kata Kunci: Hasil belajar, Make a Match,IPA
84 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
PENDAHULUAN
IPA adalah pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh dengan cara yang terkontrol
(Asyari, 2006: 7). Dalam hal ini dapat ditemukan bahwa ilmu pengetahuan IPA diperoleh siswa
melalui latihan secara implisit maupun secara ekplisit cara berpikir kreatif dalam memecahkan
masalah.IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara langsung untuk mengembangkan
kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah, (Putra,
2013:40-41). Proses pembelajaran IPA dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang alam sekitar. IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi
kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
(Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Standar isi).
Agar dapat mencapai hasil belajar IPA yang maksimal, guru harus mengetahui dan dapat
membuat sebuah pembaharuan dalam dunia pendidikan agar dapat mengembangkan proses
pembelajaran yang kondusif sehingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Guru dituntut untuk
memberikan pengalaman pembelajaran secara langsung untuk mengembangkan kemampuan serta
mengarahkan siswa untuk mencari tahu dan mengembangkan pengetahuan sesuai dengan kenyaatan
yang ada disekitarnya. Maka, dalam penyajian konsep dan keterampilan dalam pembelajaran IPA
harus dimulai dari nyata (konkret).
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 19 januari 2017 di SD Negeri 1
Ngrandu diperoleh hasil bahwa mata pelajaran IPA sangat sulit bagi siswa dan menyebabkan hasil
belajar siswa kurang baik. Hal ini diakibatkan karena di dalam mengajar masih menggunakan gaya
mengajar yang konvensional dan ceramah terlebih lagi guru kurang memanfaatkan media di setiap
proses pembelajaran guru masih bergantung pada buku teks dan buku pegangan siswa sehingga
pembelajaran menjadi tidak menyenangkan.
Bila kondisi kegiatan pembelajaran seperti ini dibiarkan berlarut-larut maka akan
menyebabkan mutu hasil belajar siswa akan tetap rendah karena pelajaran yang membosankan dan
tidak menarik sehingga siswa tidak termotivasi untuk mengikutinya. Berdasarkan kenyataan
tersebut guru dirasa sangat perlu menerapkan suatu strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan
aktivitas siswa sehingga mutu hasil belajar IPA dapat ditingkatkan.
Kondisi yang demikianlah yang ditemui di SDN 1 Ngrandu Kecamatan Geyer Kabupaten
Grobogan hasil observasi yang telah lakukan penulis bahwa dalam pembelajaran siswa kurang
memahami materi pembelajaran khususnya dalam mata pelajaran IPA. Hal ini terlihat dari
rendahnya hasil belajar IPA di SD Negeri 1 Ngrandu rata-rata nilai ulangan harian mata pelajaran
IPA yaitu 69 masih berada sangat jauh dari pencapaian KKM 69 yang telah ditentukan oleh guru
kelas dari 25 siswa masih ada 10 siswa yang sulit memahami materi yang dijelakan terutama mapel
IPA yang berarti siswa belum mencapai KKM dan hanya15 siswa yang nilainya ≥ 69 yang telah
tuntas. Perolehan nilai ulangan harian IPA yang masih dibawah KKM berakibat berkurangnya hasil
belajar IPA yang di peroleh siswa.
Tujuan penelitian ini yaitu: 1.Menerapkan model pembelajaran Make a Match berbantu media
gambar untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa kelas 5 mata pelajaran IPA SD Negeri 1
Ngrandu Kecamatan Geyer Kabupatan Grobogan. 2. Menerapkan model pembelajaran Make a
Match berbantu media gambar untuk meningkatkan hasil belajar IPA melalui pengingkatan proses
pembelajran dengan menggunakan model Make a Match berbantu media gambar pada kelas 5 mata
pelajaran IPA SD Negeri 1 Ngrandu Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan.
KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran aktif adalah istilah payung bagi meodel pembelajaran yang berfokus kepada
siswa sebagai penanggung jawab belajar. Semula memang istilah pembelajaran aktif dipergunakan
baik bagi pembelajar aktif yang bersifat kolaboratif. Namun akhir-akhir ini hanya sebagai
pembelajaran aktif yang kolaboratif.
Istilah pemeblajaran aktif dalam konteks kolaborasi awalnya dipopolerkan oleh Bonwell dan
Eison (1991) dalam laporanya di hadapkan The Association for the Study (2001), strategi
Sri Wahyuni | 85
menyerupai pembelajaran aktif ini sebenarnya sudah dikembangkan lebih dahulu oleh para ahli
pendidikan di perguruan tinggi yang mengemukakan konsep pembelajaran berbasis (discovery
learning), walau istilah pembelajaran aktif sendiri belum digunakan. Terlihat sekali dari hasil
temuan Joyce dan Showers tersebut betapa bermakna doing dengan pelatihan.baik dalam
pembentukan keterampilan maupun keberanian dalam trasfernya di dunia kerja. Menurut Charles C.
Bonwell dan J.A. Eison (1991) seluruh bentuk pengajaran yang berfokus kepada siswa sebagai
penanggung jawab pembelajaran adalah pembelajaran aktif.
Menurut teori Gestalt dalam Ahmad Susanto (2013: 12-13), belajar merupakan suatu proses
perkembangan. Artinya bahwa secara kodrati jiwa raga anak mengalami perkembangan.
Perkembangan sendiri memerlukan sesuatu baik yang berasal dari diri siswa sendiri maupun
pengaruh dari lingkungannya. Berdasarkan teori ini hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua hal,
siswa itu sendiri dan lingkungannya. Pertama, siswa; dalam arti kemampuan berpikir atau tingkah
laku intelektual, motivasi, minat, dan kesiapan siswa, baik jasmani maupun rohani.Kedua,
lingkungan; yaitu sarana dan prasarana, kompetensi guru, kreativitas guru, sumber-sumber belajar,
metode serta dukungan lingkungan, keluarga, dan lingkungan.
Pendapat yang senada dikemukakan oleh Wasliman dalam Ahmad Susanto (2013: 12-13), hasil
belajar yang dicapai oleh peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang
mempengaruhi, baik faktor internal maupun eksternal. Secara perinci, uraian mengenai faktor
internal dan eksternal, sebagai berikut:
1. Faktor internal; faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta
didik, yang memengaruhi kemampuan belajaranya. Faktor internal ini meliputi: kecerdasan,
minat, dan perhatian, motivasi belajar, ketekunan, sikap, kebiasaan belajar, serta kondisi fisik
dan kesehatan.
2. Faktor eksternal; faktor yang berasal dari luar diri peserta didik yang memengaruhi hasil
belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap
hasil belajar siswa. Keluarga yang hancur keadaan ekonominya, pertengkaran suami istri,
perhatian orang tua yang kurang terhadap anaknya, serta kebiasaan sehari-hari berperilaku
yang kurang baik dari orangtua dalam kehidupan sehari-hari berpengaruh dalam hasil belajar
peserta didik.
Selanjutnya, dikemukakan oleh Wasliman dalam Ahmad Susanto (2013: 12-13), bahwa
sekolah merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan hasil belajar siswa.Semakin
tinggi kemampuan belajar siswa dan kualitas pengajaran di sekolah, maka semakin tinggi
pula hasil belajar siswa.
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam keluarga pertama kali
anak mendapatkan pendidikan dan bimbingan, sedangkan tugas utama dalam keluarga bagi
pendidikan anak ialah sebagai peletak dasar dalam pendidikan akhlak dan pandangan hidup
keagamaan. Lingkungan masyarakat dapat menimbulkan kesukaran belajar anak, terutama anakanak yang sebayanya. Apabila anak-anak akan terangsang untuk mengikuti jejak mereka. Sebaiknya
bila anak-anak disekitarnya merupakan kumpulan anak-anak nakal maka dapat terpengaruh pula.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Inilah inti dari pembelajaran kooperatif (Slavin, 1982a,b). Dalam metode pembelajaran
kooperatif para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Setelah mendapat kesempatan untuk belajara
dengan tim mereka para siswa mengerjakan kuis.
Menurut Suprijono (2012:94), hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam pembelajaran jika
dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu
berisi pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu yang lainnya berisi jawaban dari pertanyaanpertanyaan tersebut. Penerapan metode ini dimulai dengan teknik, yaitu siswa disuruh mencari
86 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
pasangan kartu yang merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat
mencocokkan kartunya diberi poin. Metode pembelajaran Make a Match adalah teknik
pembelajaran berpijak pada teori konstruktivisme pada pembelajaran ini terjadi kesepakatan antara
siswa tentang aturan-aturan dalam berkolaborasi. Masalah yang dipecahkan bersama akan
disimpulkan bersama peran guru hanya sebagai fasilitator yang mengarhkan siswa untuk mencapai
tujuan belajar.
Menurut Rusman (2011: 223-233) Model Make a Match (membuat pasangan) merupakan
salah satu jenis dari metode dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini dikembangkan oleh Lorna
Curran (1994). Salah satu cara keunggulan teknik ini adalah peserta didik mencari pasangan sambil
belajar mengenai suatu konsep atau topik, dalam suasana yang menyenangkan.
Anita Lie (2008: 56) menyatakan bahwa model pembelajaran tipe Make a Match atau
bertukar pasangan merupakan teknik belajar yang memberi kesempatan siswa untuk bekerja sama
dengan orang lain. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua
tingkatan usia anak didik. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match adalah suatu teknik pembelajaran Make a Match adalah
teknik mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam semua mata
pelajaran dan tingkatan kelas. Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe Make a Match adalah suatu teknik pembelajaran Make a Match adalah
teknik mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam semua mata
pelajaran dan tingkatan kelas.
Langkah-langkah Pembelajaran Make a Match
Teknik pembelajaran Make a Match dilakukan di dalam kelas dengan suasana yang
menyenangkan karena dalam pembelajarannya siswa dituntut untuk berkompetisi mencari pasangan
dari kartu yang sedang dibawanya dengan waktu yang cepat.
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Make a Match (membuat pasangan) ini
adalah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan beberapa konsep/topik yang cocok untuk sesi review (satu sisi kartu soal
dan satu sisi berupa kartu jawaban beserta gambar).
2. Setiap peserta didik mendapat satu kartu dan memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang
dipegang.
3. Peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (kartu
soal/kartu jawaban), peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu
diberi point).
4. Setelah itu babak dicocokkan lagi agar tiap peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari
sebelumnya.
Model pembelajaran Make a Match dapat melatih siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran secara merata serta menuntut siswa bekerjasama dengan anggota kelompoknya agar
tanggung jawab dapat tercapai, sehingga semua siswa aktif dalam proses pembelajaran.
2.1.1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Manfaat Make a Match
Dapat mengingkatkan aktifitas belajar siswa baik kognitif maupun afektif.
Karena ada unsur permaiananpembelajaran ini menyenangkan.
Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari.
Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Efektif melatih siswa untuk menghargai waktu.
Efektif melatih siswa untuk berprestasi.
Sri Wahyuni | 87
2.1.2
Kelemahan dan kelebihan Make a Match dan upaya mengatasi Melalui pembelajaran
Model Make A Match atau mencari pasangan dapat digunakan untuk membangkitkan
aktivitas peserta didik dan cocok digunakan dalam bentuk permainan karena didalam pembelajaran
peserta didik ikut aktif dalam proses pembelajaran mengenai materi yang diajarkan. Selain itu,
siswa menjadi lebih senang dan tertarik untuk belajar.
Kelebihan model pembelajaran Make A Match antara lain:
1. Siswa terlibat langsung dalam menjawab soal yang disampaikan kepadanya melalui kartu.
2. Meningkatkan kreatifitas belajar para siswa.
3. Menghindari kejenuhan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
4. Pembelajaran lebih menyenangkan karena melibatkan media pembelajaran yang dibuat oleh
guru.
5. Kerjasama antara sesama siswa terwujud dengan dinamis.
Sedangkan kekurangan model Make A Match adalah:
1. Sulit bagi guru mempersiapkan kartu-kartu yang baik dan bagus sesuai dengan materi
pelajaran.
2. Sulit mengatur ritme atau jalannya proses pembelajaran.
3. Siswa kurang menyerapi makna pembelajaran yang ingin disampaikan karena siswa hanya
merasa sekedar bermain saja.
Solusi dari kelemahan model Make A Match adalah:
1. Sebelum melakukan model ini guru membuat kesepakatan dengan siswa supaya siswa tertib
dan tidak ramai.
2. Guru menguasai kelas dan pandai mengatur situasi (misal siswa masih ramai guru
memotivasi/mengatur siswa menjadi tertib kembali, setelah tertib pelajaran dimulai lagi).
3. Peneliti meluangkan waktu untuk mempersiapkan kartu-kartu yang berisi topik yang akan
dibahas terlebih dahulu sebelum pertemuan.
88 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
METODE
Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas atau PTK (Classroom Action
Research). PTK ini menggunakan model spiral dari C. Kemmis dan Mc. Taggart dengan prosedur
penelitian menggunakan 2 siklus, dalam setiap siklus terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap perencanaan,
tahap pelaksanaan observasi dan tindakan lanjut, dan tahap refleksi. Prosedur penelitian dengan
PTK model spiral dari C.Kemmis dan Mc. Taggart dapat digambarkan melalui gambar berikut ini.
Pada bagian ini, akan dipaparkan hasil analisis dan data penelitian tentang hasil belajar IPA
KD 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya dan 6.2 Membuat suatu karya/model misalnya periskop
atau lensa sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya. Pada kelas 5 SDN 1 Ngrandu Grobogan
untuk meningkatkan hasil belajar siswa, Hasil belajar dari pra siklus, siklus I, dan siklus 2.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Pada sub judul ini akan menguraikan mengenai teknik pengumpulan data dan instrumen
pengumpulan data. Teknik pengumpulan data akan memaparkan mengenai cara yang dilakukan
oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan tindakan penelitian. Sementara
pada sub judul instrumen pengumpulan data akan menjelaskan mengenai alat-alat intrumen
pengumpulan data yang digunakan dalam menghimpun data-data untuk mengukur tingkat
keberhasilan hasil belajar mata pelajaran IPA.
Teknik Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan beberapa teknik yaitu teknik
tes dan nontes. Teknik pengumpulan datadalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa kelas 5SDN 1 Ngrandu khususnya pada pokok
bahasan proses pelapukan pada batuan. Pengumpulandata juga dimaksudkan untuk mengetahui
peningkatan aktivitas guru dan siswa selama tindakan pembelajaran menggunakan model
pembelajaran Make a Match.Teknik tes dilakukan dengan memberikan soal evaluasi berbentuk
pilihan ganda disetiap siklusnya, sementara itu teknik nontes dalam penelitian ini ialah observasi
dan dokumentasi yang dilakukan selama pelaksanaan tindakan penelitian.
Sri Wahyuni | 89
Banyak siswa
Tabel 1. Destribusi Frekuesnsi Nilai IPA Pra Siklus
No
Rentang Nilai
Frekuensi
Presentase
1
50-55
2
8%
2
56-61
1
4%
3
62-67
3
12%
4
68-73
10
40%
5
74-79
5
20%
6
80-85
4
16%
Jumlah siswa
25
100%
Nilai rata-rata
68,6
Nilai tertinggi
85
Nilai terendah
50
Berdasarkan tabel 4.5 distribusi frekuensi nilai ulangan mata pelajaran mata pelajaran IPA
dapat dikatakan hasil belajar yang diperoleh siswa pada mata pelajaran IPA masih rendah.Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya frekuensi nilai rata-rata mata pelajaran IPA. Dari tabel
tersebut diketahui perolehan nilai siswa pada rentang nilai antara 50-55 sejumlah 2 siswa dengan
persentase 5% dari jumlah keseluruhan, rentang nilai 56-61 sejumlah 1 siswa dengan persentase 2%
dari jumlah keseluruhan siswa, rentang nilai 62-67 sejumlah 3 siswa dengan persentase 8% dari
jumlah keseluruhan, rentang nilai 68-73 sejumlah 10 siswa dengan persentase 25% dari jumlah
keseluruhan, rentang nilai 74-79 sejumlah 3 siswa dengan persentase 15% dari jumlah keseluruhan,
rentang nilai 80-85 sejumlah 2 siswa dengan persentase 5% dari jumlah keseluruhan. Dari daftar
nilai pada kondisi awal (Pra Siklus) nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 85 dan nilai
terdendah 50 (untuk daftar nilai ulangan harian IPA semester I dapat dilihat pada lampiran 1 nilai
kondisi awal), Berdasarkan tabel 4.5 dapat digambarkan melalui diagram sebagai beriukut:
16
14
12
10
8
6
4
2
0
25%
20%
10%
5%
50-55
3%
2%
56-61
62-67
68-73
74-79
80-85
Axis Title
Nilai
Pada sub bab hasil tindakan ini, akan menguraikan tntang hasil tindakan pembelajaran
berupa nilai IPA siswa kelas 5 SDN 1 Ngrandu setelah pelaksanaan tindakan siklus I dan siklus II
melalui model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar, hasil belajar mata pelajaran
IPA siswa kelas 5 SDN 1 Ngrandu sebagi berikut :
No.
1
2
3
4
Tabel 2. Destribusi Frekuensi Nilai IPA siklus II
Rentang Nilai
Frekuensi
Persentase
73 – 78
6
20%
79 – 84
9
24%
85 – 90
5
16%
90 – 94
5
20%
Jumlah siswa
25
100%
Nilai rata rata
79
Nilai tertinggi
94
Nilai terendah
73
90 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
Berdasarkan tabel 4.15 ditribusi frekuensi nilai ulangan pelajaran IPA masih rendah. Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya frekuensi nilai rata-rata mata pelajaran IPA. Dari tebel
tersebut diketahui perolehan nilai pada rentang rentang nilai antara nilai antara 73-78 sejumlah 5
siswa dengan persentase 20% dari jumlah keseluruhan siswa, dan rentang nilai 79-84 sejumlah 8
orang siswa dengan persentase 24%, nilai 85-90 sejumlah 4 orang siswa dengan persentase 16%
dari jumlah keseluruhan siswa, dan rentang nilai 91-94 sejumlah 5 orang siswa dengan persentase
20%. Dari daftar nilai pada siklus II nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 94 dan nilai
terendah 55.
Berdasarkan tabel 4.15 dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut:
73-78
79-84
85-90
90-94
Berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM≥69) Hasil diproleh nilai ketuntasan pada
nilai ketuntasan pada nilai IPA siklus II di sajikan pada tabel 4.17 sebagai berikut:
No
1
2
Tabel 3. Ketuntasan Belajar Siklus II
Ketuntasan
Nilai
Jumlah Siswa
Belajar
Frekuensi
Presentase (%)
Tuntas
≥69
22
100%
Belu tuntas
≤69
0%
Jumlah
25
100%
Dari data tersebut dapat kita paparkan bahwa Kriteria Ketuntasan Maksimal (KKM
≥69).Dari data diatas diproleh jumlah 25 siswa yang nilainya sudah tuntas KKM dalam mata
pelajaran IPA dengan presentase 100%.Sedangkan siswa yang belum tuntas dengan jumlah 0 siswa
yng belum tuntas KKM dalam mata pelajaran IPA dengan presentase 100%.
Sri Wahyuni | 91
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 5 SDN 1 Ngrandu Kota Grobogan
Kondisi Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II
No
Nilai
Kondisi
Awal
Siklus I
Siklus II
1
Nilai
85
91
94
Tertinggi
2
Nilai
50
50
55
Terendah
3
Nilai rata68,6
67,8
79
rata
4
Ketuntasan
80%
88%
88%
belajar
Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan perbandingan hasil belajar pada setiap siklus. Dari
hasil siklus II telah memenuhi indikator yang ditentukan (ketuntasan belajar ≥ 88 %).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Data
Pada kondisi awal hasil belajar siswa pada pembelajaran IPA yaitu siswa yang mengalami
ketuntasan belajar dengan memenuhi KKM (69) sebanyak 20 siswa (80%) dan siswa yang tidak
tuntas belajarnya atau tidak memenuhi KKM (69) sebanyak 5 siswa (20%) dengan nilai rata-rata
yang diperoleh 94. Nilai tertinggi yang diperoleh siswa 25 siswa dan nilai terendah 55. Setelah
pelaksanaan siklus I melalui model Make a Match berbantu media gambar pembelajaran IPA
analisis penelitian mengenai hasil belajar yaitu pada siklus I siswa yang mengalami ketuntasan
belajar dengan memnuhi KKM (69) sebanyak 20 siswa (76%) dan siswa yang tidak tuntas
belajarnya atau tidak memenuhi KKM (69) sebanyak 5 siswa (24%) dengan nilai rata yang
diperoleh (67,8) Nilai tertinggi yang diperoleh siswa 91 dan nilai terendah 50. Setelah pelaksanaan
tindakan pada siklus II melalui model pembelajaran Make a Match berbantu media gambar
pembelajaran IPA yaitu siswa yang mengalami ketuntasan belajar dengan memenuhi nilai KKM
(69) sebanyak 19 siswa (76%) dan siswa yang tidak tuntas emenuhi KKM (69) sebanyak 6 siswa
(24%). Nilai rata-rata yang diperoleh siswa 79 nilai tertinggi 91 dan nilai terndah yang didpat 55.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti pada kelas 5 SDN 1 Ngrandu
diketahui bahwa sebelum tindakan penelitian dilaksanakan pembelajaran yang diterapkan oleh guru
masih cenderung menggunakan cara yaitu dengan ceramah, guru menilai pembelajaran
menggunakan ceramah jauh lebih praktis dari pada harus menggunakan beragam model
pembelajaran yang inovatif yang menurut guru memerlukan banyak persiapan yang lebih di dalam
pelaksanaannya. Pemanfaatan media dalam pembelajaran juga masih langka dilakukan oleh guru,
guru merasa kurang terampil dalam menggunakan media pembelajaran sehingga dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran guru masih mengesampingkan pemanfaatan sebuah media,
padahal hakikat sebuah media pembelajaran selain menambah keterampilan siswa juga dapat
membantu guru di dalam mengikuti pemahaman siswa terhadap materi sehingga siswa tidak harus
selalu mendengarkan ceramah yang guru sampaikan, mendengarkan ceramah secara terus menerus
dalam pembelajaran menjadikan siswa bosan dan jenuh dalam pembelajaran peningkatan proses
pembelajaran diketahui dari hasil observasi aktivitas guru dan siklus 1 pertemuan pertama sebesar
80% pertemuan kedua peningkatan menjadi 92% selanjutnya pada pertemuan ketiga juga
mengalami peningkatan hingga peresentase 94% pada siklus 2 pertemuan pertama sebesar 80%,
pertemuan kedua meningkat menjadi 92% rata rata akivitas guru pada siklus 1 mencapai 89% pada
rata rata siklus 11 meningkat menjadi 95%. Peningkatan juga terjadi pada aktivitas siswa dibuktikan
92 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
dengan meningkatnya perolehan skor persentase aktivitas siswa setiap siklus pada siklus 1
pertemuan pertama sebesar 86%, pertemuan kedua meningkat menjadi 96%, selanjutnya pada
pertemuan ketiga juga mengalami peningkatan hingga persentase 97%. Pada siklus 11 pertemuan
pertama sebesar 95%, pertemuan ke dua meningkat menjadi 96%. Rata rata hasil observasi aktivitas
siswa siklus 1 mencapai 93% dan siklus 11 besarnya mencapai 96%.Berdasarkan proses
pembelajaran Make a Match terbukti mengalami peningkatan pada setiap siklus dari pra siklus,
siklus 1 dan 2.
Sesuai dengan hasil aktivitas guru dan aktivitas siswa yang meningkat tersebut maka
berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa yang juga turut meningkat. Hal ini dapat dibuktikan
dari perolehan nilai siswa kondisi awal hingga dapat pelaksanaan tiap siklusnya yang mengalami
peningkatan secara signifikan. Pada kondisi awal mula-mula nilai rata-rata hasil tes IPA siswa 5
SDN 1 Ngrandu adalah 68,6 dengan persentase ketuntasan siswa sebesar 71%. Kemudian setelah
pelaksanaan tindakan siklus 1 demgan menerapkan model pembelajaran Make a Match berbantu
media gambarhasil belajar IPA siswa kelas 5 mengalami peningkatan dari perolehan kondisi awal
sebelumnya, nilai rata-rata yang diperoleh siswa setelah pelaksanaan tindakan siklus 1 menjadi 80
dengan besarnya persentase ketuntasan 72%, kemudian setelah pelaksanaan ditindakan
pembelajaran pada siklus 11 nilai rata-rata hasil evaluasi IPA meningkat menjadi 82,00 dengan
persentase ketuntasan 92%. Sehingga penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan
media gambar terbukti dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA siswa kelas 5 semester
11 SDN 1 Ngrandu Tahun pelajaran 2016/2017.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian di kelas 5 SDN 1 Ngrandu ditemukan bahwa hasil belajar IPA
siswa masih rendah, hal ini disebabkan pembelajaran masih berpusat pada guru serta pemahaman
siswa tentang materi pelapukan belum dapat dipahami siswa dengan baik. Prosas pembelajaran
sebelum tindakan terlihat bahwa siswa cenderung pasif, siswa hanya mendengarkan materi yang
disampaikan guru sehingga siswa bosan dalam proses pembelajaran siswa masih bekerja secara
individual tidak tampak kerjasama siswa dan tidak dibiasakan kerjasama kelompok dalam proses
pembelajaran.peningkatan proses pembelajaran diketahui dari hasil observasi aktivitas guru dan
siklus 1 pertemuan pertama sebesar 80% pertemuan kedua peningkatan menjadi 92% selanjutnya
pada pertemuan ketiga juga mengalami peningkatan hingga peresentase 94% pada siklus 2
pertemuan pertama sebesar 80%, pertemuan kedua meningkat menjadi 92% rata rata akivitas guru
pada siklus 1 mencapai 89% pada rata rata siklus 11 meningkat menjadi 95%. Peningkatan juga
terjadi pada aktivitas siswa dibuktikan dengan meningkatnya perolehan skor persentase aktivitas
siswa setiap siklus pada siklus 1 pertemuan pertama sebesar 86%, pertemuan kedua meningkat
menjadi 96%, selanjutnya pada pertemuan ketiga juga mengalami peningkatan hingga persentase
97%. Pada siklus 11 pertemuan pertama sebesar 95%, pertemuan ke dua meningkat menjadi 96%.
Rata rata hasil observasi aktivitas siswa siklus 1 mencapai 93% dan siklus 11 besarnya mencapai
96%. Berdasarkan proses pembelajaran Make a Match terbukti mengalami peningkatan pada setiap
siklus dari pra siklus, siklus 1 dan 2. Sesuai dengan hasil aktivitas guru dan aktivitas siswa yang
meningkat tersebut maka berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa yang juga turut
meningkat.Hal ini dapat dibuktikan dari perolehan nilai siswa kondisi awal hingga dapat
pelaksanaan tiap siklusnya yang mengalami peningkatan secara signifikan. Pada kondisi awal mulamula nilai rata-rata hasil tes IPA siswa 5 SDN 1 Ngrandu adalah 68,6 dengan persentase ketuntasan
siswa sebesar 71%. Kemudian setelah pelaksanaan tindakan siklus 1 demgan menerapkan model
pembelajaran Make a Match berbantu media gambarhasil belajar IPA siswa kelas 5 mengalami
peningkatan dari perolehan kondisi awal sebelumnya, nilai rata-rata yang diperoleh siswa setelah
pelaksanaan tindakan siklus 1 menjadi 80 dengan besarnya persentase ketuntasan 72%, kemudian
setelah pelaksanaan ditindakan pembelajaran pada siklus 11 nilai rata-rata hasil evaluasi IPA
meningkat menjadi 82,00 dengan persentase ketuntasan 92%. Sehingga penerapan model
Sri Wahyuni | 93
pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar terbukti dapat meningkatkan hasil belajar
mata pelajaran IPA siswa kelas 5 semester 11 SDN 1 Ngerandu Tahun pelajaran 2016/2017.
Saran
Berdasarkan anilisis hasil penelitian dan simpul yang telah diuraikan, maka selanjutnya
penelitian memberikan saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sehubungan
dengan pengaruh penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar terhadap
hasil belajar IPA sebagai berikut:
a. Bagi siswa
Siswa hendaknya harus yang rajin supaya siswa dapat memperoleh nilai yang baik
dan selalu memperhatikan saat pembelajaran dan dalam pembelajaran terutama
pembelajaran IPA yang nantinya akan digunakan dalam kehidupan sehari hari siswa.
b. Bagi Guru
Dalam mengajar IPA hendaknya dihubungkan dengan kebutuhan hari sehingga
terasa faedahnya. Dengan demikian siswa akan memiliki persetasi positif terdapat mata
pelajaran IPA di sekolah.
c. Bagi Sekolah
Sekolah hendaknya harus memantau proses kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan oleh guru di kelas agar dapat diketahui seberapa efektif model pembelajaran
yang diterapan terhadap hasil belajar.
94 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol 1, No. 2, April 2017
DAFTAR PUSTAKA
Ros Rositawaty, s 2008. senang belajar ilmu pengetahuan alam 5 : untuk Kelas V Sekolah
Dasar/Madarasah Ibtidaiyah/oleh S. Rositawaty dan Aris Muharam. – Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional. (99-105).
Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Aditya Media.
Arikunto, Suharsimi. 2010.Prosedur Penelitian Sutu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Bundu, Patta. 2006. Penilaian Ketrampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains di
SD. Jakarta: Debdiknas
Chotimah, Hasnul. 2007. Strategi-strategi Pembelajaran untuk Penelitian Tindakan kelas. Malang:
Surya Pena Gemilang
Hendro Darmodjo dan R. E Kaligis.(1993). Pendidikan IPA II. Jakarta: Dirjen Dikti
Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press
Isjoni. 2010. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwanto. 2011. Evaluasi Hasil Belajar.Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Samatowa. Usman. 2006. Bagaimana Membelajarkan IPA di Sekolah Dasar. Departemen
Pendidikan Nasional
Sulistyo, S. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapan Dalam
KTSP.Semarang: Tiara Wacana
Download