BAB IV. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM INTENSITAS

advertisement
BAB IV. PENGARUH EKOLOGIS RAGAM INTENSITAS
CAHAYA
A. Pendahuluan
Di mana saja di muka bumi ini inensitas cahaya matahari begitu besar sehingga
telah mampu mencegah terjadinya evolusi dan memelihara kehidupan. Dengan suhu
yang tinggi dan hasil tekanan kelembaban yang mengikuti tingginya intensitas cahaya
menjadikan pengaruh yang nyata terhadap proses kehidupan dan mungkin juga
membatasi atau bahkan mencegah keberlanjutan dari kehidupan yang ada.
Kurangnya cahaya memiliki pengaruh yang lebih kuat, dan pada lingkungan yang
sepenuhnya kekurangan cahaya yang visible, maka sama sekali tidak dijumpai bentuk
organisme yang menetap secara permanen. Organisme yang mampu hidup dalam
kegelapan dapat dijumpai pada organisme chemoautotroph dan organisme di dalam
tanah, di dalam dasar laut yang dalam atau di dalam gua dan sungai. Organisme dapat
hidup di dalam lingkungan yang gelap jika mereka secara periodik keluar untuk
mendapatkan cahaya di dunia luar. Hal ini seperti yang terjadi pada kelompok
kelelawar yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap kelangkaan cahaya dengan
melengkapi dirinya system sensor, yang dapat dijadikan pedoman navigasi dalam
gerakan di kegelapan,.sebagaimana hewan nocturnal.
Tumbuhan adalah organisme yang mampu hidup separo dalam lingkungan yang
gelap (tanah) dan separo dalam lingkungan bercahaya. Hal ini menjadi mungkin
karena perbedaan morfologi dan fungsi system perakaran dan bagian tumbuhan di
atas tanah. Bentuk adaptasi lainnya untuk bisa hidup dalam lingkungan gelap ialah
produksi cahaya oleh organisme itu sendiri, yang disebut dengan bioluminescence,
seperti pada jenis plankton di lautan yang dalam dan serangga kunang-kunang.
B. Pengaruhnya pada Tumbuhan
1. Fotosisntesis.
Fotosintesis adalah proses yang tergantung pada cahaya, dimana kecepatan
fotosistensis dalam menambat CO2 dan cahaya matahari sangat tergantung pada
intensitas cahaya. Hubungannya tidak linear sederhana tetapi dapat dimodifikasi oleh
beraneka ragam faktor lainnya. Seperti digambarkan dalam Gambar 4.1. fotosintesis
bersih (net photosyntesis) tumbuhan sebagaimana intensitas cahaya meningkat dari
titik nol dan meningkat secara cepat, namun pada awalnya tidak ada penambatan
(fixation) CO2 bersih (tidak ada penambahan biomasa) karena kecepatan hilangnya
Universitas Gadjah Mada
CO2 lebih cepat dibanding kecepatan penambatannya. Seperti halnya naiknya
intensitas cahaya secara kontinyu, titik tercapainya kehilangan karena respirasi
seimbang dengan pendapatan karena fotosintetik. Intensitas cahaya ini disebut
sebagai `titik kompensasi' (Compensation Point). Di atas CP, kecepatan fotosintesis
meningkat dengan cepat selaras dengan meningkatnya intensitas cahaya, tetapi
hubungan ini tidak berkelanjutan. Dengan meningkatnya cahaya secara kontinyu,
kecepatan peningkatan dalam fotosintesis berkurang sampai tercapainya titik saturasi
(Saturation Point). Di luar titik SP ini akan menghasilkan peningkatan yang sedikit atau
tidak meningkat lagi dalam menambat CO2 bersih. Pada kondisi intensitas cahaya
yang sangat tinggi, penambatan CO2 bersih justru menurun karena kerusakan alat atau
organ fotosintesis atau alasan lainnya.
Gambar 4.1.Hubungan antara fotosintesis bersih dan peningkatan intensitas
cahaya
Titik kompensasi dan titik saturasi sangat beragam di antara jenis tumbuhan
yang berbeda, antara individu dari jenis yang sama, antara bagian yang berbeda dari
individu yang sama dan di bawah kondisi lingkungan yang berbeda. Daun yang
sangat tipis kutikulanya dan ganggang yang tidak memiliki kutikula memantulkan dan
menyerap cahaya untuk mendapatkan fotosintesis bersih di bawah intensitas cahaya
yang sangat rendah (yaitu CP sangat rendah). Tumbuhan yang memiliki ratio tinggi
biomas fotosintetik terhadap biomas pendukung kehidupan akan memiliki CP yang
lebih rendah, karena sedikit CO2 yang hilang dalam respirasi. Tumbuhan yang
memiliki CP yang rendah sering memiliki SP yang rendah pula dibanding tumbuhan
yang memiliki CP yang tinggi.
Universitas Gadjah Mada
Fotosintesis adalah proses kimiawi yang sangat kompleks yang tergantung pada
ragam bahan mentah kimiawi, termasuk CO2 dan H20. Nilai SP dapat sangat
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi CO2 di udara sekitar tumbuhan yang
bersangkutan, hal ini telah diketahui oleh para ahli hortikultura yang meningatkan
konsentrasi CO2 di dalam greenhouse untuk meningkatkan kecepatan pertumbuhan
berbagai tanaman. Dengan pemupukan yang meningkat telah meningkatkan
kemampuan tumbuhan untuk memanfaatkan cahaya matahari. Fotosintesis akan
terganggu karena tekanan air dan akan menurun dengan cepat sampai pada titik
Iayu (Wilting Point), sehingga intensitas cahaya yang jauh lebih tinggi diperlukan
untuk survival bagi tumbuhan di daerah lingkungan kering atau bila ada kompetisi
sumber air.
Hubungan antara intensitas cahaya dan fotosintesis bersih adalah sangat
kompleks dan di bawah kendali banyak faktor, sehingga tidak mengherankan bila
tegakan tumbuhan alam tidak selalu mengikuti ragam intensitas cahaya harian.
Pengaruh suhu terhadap fotosintesis dan respirasi seperti digambarkan dalam
gambar 4.2. Fotosintesis kotor (gross photosyntesis) merespon secara cepat
terhadap peningkatan suhu pada awalnya dan kecepatannya akan hilang begitu titik
suhu yang mematikan tercapai. Untuk respirasi menunjukkan yang sebaliknya yaitu
meningkat pelan pada bagian lebih bawah dari rentang suhu dan akan cepat pada
bagian suhu yang lebih atas.
Gambar 4.2. Contoh pengaruh suhu terhadap fotosintesis dan respirasi Pinus
cembra.
Universitas Gadjah Mada
2. Morfologi
Pentingnya cahaya dalam mengendalikan pertumbuhan tanaman dapat dilihat
dengan mudah pada pertumbuhan di dalam kondisi yang gelap total. Tumbuhan
yang memperlihatkan perubahan morfologi sebagai respon terhadap kurangnya
cahaya disebut sebagai etiolasi. Kejadian ini akan dengan mudah dilihat pada
kelompok herba yang butuh cahaya. Etiolasi normalnya tidak akan dijumpai pada
kasus tumbuhan pohon hutan, tetapi ragam kendali cahaya akan tampak pada
alokasi biomas baru terhadap bagian dari tanaman. Dengan kata lain, di bawah
intensitas cahaya tinggi biomas akar anakan pohon atau seedlings akan menirigkat
lebih cepat dari batangnya, sebaliknya di bawah cahaya yang kurang maka produksi
biomas bersih diinvestasikan pada batangnya, sehingga meningkatkan shoot-root
ratio-nya. Pohon-pohon yang tumbuh di antara tumbuhan yang rapat akan tumbuh
tinggi, batangnya lemah dengan tajuk kecil dan system akar sedikit. Demikian juga
seedlings yang tumbuh di bawah naungan akan tinggi shoot-root rationya.
Jika anakan pohon survive terhadap kompetisi cahaya dari tetangganya, tentu
akan mengekspose daunnya terhadap intensitas cahaya yang cukup, menghasilkan
batang yang langsing dan kuat. Kompetisi cahaya merupakan salah satu faktor yang
paling berperan dalam seleksi selama perkembangan awal tumbuan daratan. Jenis
butuh cahaya memperlihatkan penurunan pertumbuhan tinggi dan biomas yang lebih
besar dan peningkatan yang lebih tinggi dalam root-shoot ratio pada saat intensitas
cahaya menurun. Daun tumbuhan yang hidup di bawah naungan yang dalam akan
lebih lebar dan tipis, memiliki sedikit lapisan sel palisade dari pada daun yang
berada pada cahaya matahari penuh.
3. Toleransi Naungan
Ratio shoot-root yang tinggi dan system perakaran yang kecil dari tumbuhan
shade-intolerant yang tumbuh pada intensitas cahaya yang rendah, menempatkan
tumbuhan tersebut pada ketidakberuntungan dalam kompetisi untuk kelembaban
dan hara dengan tumbuhan di atasnya yang memiliki daun sepenuhnya diterangi
cahaya. Ketahanan hidup dari anakan pohon yang hidup di bawah naungan
berhubungan dengan ukuran bijinya.
Universitas Gadjah Mada
Umumnya bagi tumbuhan yang shade-tolerant memproduksi biji yang relatif
sedikit dan ukurannya besar dengan ketersediaan energi yang melimpah. Biji yang
besar dan berat kurang berkesempatan terdistribusi secara luas dibanding biji yang
kecil dan ringan dan cenderung selalu dekat dengan pohon induknya, yang tentunya
kompetisi cahayanya begitu nyata.
Sebagian besar jenis tumbuhan shade-tolerant hidup di bawah naungan
sepanjang waktu. Sebagai contoh jenis Agathis macrophylla, anakan pohonnya
mampu hidup dan survive dalam waktu yang lama di bawah hutan yang rapat. Jenis
ini memerlukan celah yang sempit untuk dapat tumbuh dan berkembang; anakan
pohonnya ada dimana-mana pada hutan dataran rendah. Di sisi lain, anakan pohon
kelompok Dipterocarp juga memerlukan naungan untuk hidup mantap, kemudian
berhenti tumbuh sampai dijumpai saat terbukanya tajuk di atasnya, baik karena
perkembangan celah alami maupun karena manipulasi oleh manusia.
Kondisi gelap juga gtelah diyakini sebagai factor penyebab yang dapat
menghambat proses perkecambahan bagi biji-biji yang terkubur di dalam tanah.
Pada sebagian besar dormansi biji yang terkubur di dalam tanah terjadi terutama
karena kurangnya cahaya. Kebutuhan cahaya untuk beberapa biji memang tidak
jelas kelihatan segera sesudah bijibiji berjatuhan dari pohon induknya, tetapi lebih
disebabkan kemudian oleh periode terkuburnya biji di dalam tanah. Sebagai contoh
pada saat mengolah tanah pertanian, biasanya memunculkan anakan gulma
tahunan dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini tampaknya dimungkinkan karena
penggalian
biji-biji
yang
terkubur
dalam
tanah
dan
memicu
terjadinya
perkecambahan biji-biji tersebut akibat adanya pencahayaan. Untuk biji-biji yang
terkubur didalam tanah pada ekosistem hutan, perkecambahan biji akan terjadi bila
ada celah yang menyebabkan cahaya matahari masuk ke lantai hutan. Kondisi ini
telah menimbulkan fluktuasi suhu tanah harian yang dapat merangsang proses
perkecambahan biji, dan proses tersebut tergantung pada kedalaman biji terkubur
dan ukuran celah yang terbentuk (Grime, 1979). Peristiwa ini dapat dilihat di
lapangan, yaitu ketika pembukaan wilayah hutan HPH dengan membangun jalan
logging, maka di kanan kiri jalan yang terbuka akan dijumpai tumbuhan pionir yang
cukup
banyak
baik
tumbuhan
berkayu
(a.l.
Macaranga
gigantifolia
dan
Anthocephalus cadamha) dan herba.
Universitas Gadjah Mada
Tumbuhan shade-tolerant mungkin rentan terhadap serangan penyakit, karena
di bawah naungan akan merangsang tumbuhnya jamur patogen yang menyerang
anakanpohon karena lingkungan yang lebih lembab, dan sifat toleransi ini mungkin
berhubungan dengan ketahanan terhadap penyakit tersebut.
C. Pengaruhnya pada Hewan
Ragam intensitas cahaya tidak secara langsung berpengaruh terhadap
kehidupan hewan di dalam ekosistem hutan dibanding terhadap tumbuhan, namun
intensitas cahaya memainkan peran penting dalam kehidupan hewan. Sebagian
besar hewan memerlukan cahaya sebagai alat bantu melihat benda makanan,
mendeteksi musuh atau untuk navigasi. Intensitas cahaya berperan dalam tingkat
aktivitas banyak hewan terutama menjelang mau tidur untuk istirahat dan akan aktif
kembali pada kondisi terang. Kecepatan bergerak pada serangga dan kepiting akan
meningkat selaras dengan meningkatnya intensitas cahaya, fenomena ini dikenal
dengan fotokinesis.
Bahan Pustaka:
Grime, J.P. 1979. Plant Strategies and Vegetation Process. John Wiley & Sons, New
York.
Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publishing Company, New York.
Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forests in the Far East. Clarendon Press, Oxford.
Universitas Gadjah Mada
Download