BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Proses pendidikan di dalam kegiatan di sekolah sangat identik dengan bentuk-bentuk indoktrinatif yang bersifat mempengaruhi sebuah kelompok. Tumbuhnya kota Magelang sebagai bagian dari pusat militer di provinsi Jawa Tengah berdampak pada berbagai aspek di masyarakat sipil termasuk pada pendidikan. Dalam hal pendekatan militerisme di kedua SMA yakni SMA 1 Mertouyudan dan SMAN 1 kota Magelang memiliki kesamaan dan perbedaan di dalam penerapannya sebagai hasil dari proses indoktrinatif yang dipengaruhi oleh lingkungan. Dengan latar belakang yang berbeda, kedua SMA tersebut sama-sama mereproduksi unsur militerisme ke dalam kegiatan keseharian siswa yang ditanamkan di dalam sekolah. Dalam proses internalisasi nilai-nilai yang berkaitan dengan militerisme melalui keseharian di sekolah, banyak kegiatan yang memakai dan menjadikan pedoman militer sebagai proses di dalam mendidik. Pengaruh tersebut dapat hadir melalui lingkungan sekolah dan bagaimana sekolah melihat tata cara penerapan metode militer di dalam keseharian sekolah. Salah satunya adalah kegiatan paskibra di sekolah yang identik dengan penerpan nilai-nilai yang bercorak militeristik. Oleh karena itu, paskibra menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang diunggulkan pada terutama di SMAN 1 kota Magelang yang tentunya berbeda dengan yang ada di SMAN 1 Mertoyudan. Di dalam praktik kegiatan paskibra ada aturan main yang diberikan sebagai sebuah syarat menjadi anggota di dalamnya. Hal ini yang coba dibentuk dan diturunkan secara turun temurun melalui tradisi, kepercayaan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai tertentu. Di sinilah militerisme bermain dan menjalankan perannya sebagai sebuah ajaran yang menjadi dasar bagi anggota yang merupakan siswa di kedua SMA tersebut. Penghayatan terhadap disiplin di sekolah pun pada akhirnya terkena pengaruh dari simbol-simbol militerisme tersebut. Artinya militerisme menjadi bagian di dalam membentuk kedisiplinan tersebut. Salah satu yang nampak adalah bentuk komando sekolah yang digunakan sebagai acuan ketaatan di dalam tata tertib. Hal tersebut dilihat dari penerapan sanksi yang diberlakukan di dalam sekolah. Belum lagi persoalan keterlibatan lingkungan militer di SMAN 1 Mertoyudan yang mempengaruhi pelaku di dalam sekolah. Sekolah yang dipengaruhi oleh lingkungan militer di bagian wilayah komplek Panca Arga, berimbas pada nilai, sikap, dan perilaku yang dianut oleh kelompok di sekolah termasuk guru dan muridnya. Dalam aspek keorganisasian di dalam sekolah tentunya hal tersebut dapat mempengaruhi proses berjalannya kegiatan. Beberapa di antaranya proses militerisme yang direproduksi di dalam organisasi yang digambarkan di dalam paskibra OSIS SMAN 1 Mertoyudan. Kontrol sekolah di sini memainkan posisi sebagai pihak yang mengatur kegiatan dan membawa arus reproduksi ke beberapa generasi. Di dalam organisasi paskibra di sini dapat diartikan bahwa sekolah memberikan pengaruh di dalam mengatur kegiatan siswa terutama di dalam mengkondisikan paskibra yang digerakan melalui perantara OSIS. Keadaan ini menyebabkan adanya proses reproduksi yang mengarah pada penciptaan kultur militerisme di dalam sekolah dalam proses pendidikan di dalam keorganisasian kegiatan sekolah. Hal ini mulai dapat dibaca melalui simbol yang dipakai di dalam keseharian dan sebagai sebuah pedoman nilai pelakunya. Reproduksi sosial inilah yang membentuk habitus militerisme yang terjadi di dalam SMA sehingga praktik-praktik yang bersifat militeristik diterapkan dalam kegiatan yang dilakukan sehari-hari. Kondisi lingkungan yang mendukung juga menjadi alasn militerisme berkembang dan diterima sebagai sebuah bentuk praktik pendidikan. Dengan memunculkan batas-batas penggunaan pedoman militer di dalam lingkungan sipil, hal tersebut senantiasa dilanggengkan sebagai sebuah tatatanan di dalam mendidik siswa. Pada dasarnya militerisme yang berkembang juga mempengaruhi kegiatan yang ada di dalam sekolah terutama di dalam kegiatan paskibra. Sebagai induk organisasi paskibra di SMAN 1 kota Magelang, paspara mempunyai peran di dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolah. Beragam bentuk kegiatan memang dikelola melalui perantara siswa yang terbentuk di dalam organisasi paspara itu sendiri. Tanpa campur tang organisasi siswa lain seperti OSIS, paspara menjadi salah satu kegiatan ekstrakulikuler yang setiap tahunnya dibanjiri peminat siswa. Terjadinya proses reproduksi di dalam paspara hadir dalam lambang dan juga simbol kemiliteran di dalam kegiatan. Persoalan materi dan metode yang menerapkan gaya militeristik juga menjadi bagian yang tidak lepas dari proses penggemblengan anggota paspara itu sendiri. Celah-celah yang dimanfaatkan sebagai ruang berkembangnya militerisme ini tak pelak menjadikan kegiatan ekstrakulikuler ini melakukan proses indoktrinatif baik dari struktur kepelatihan mereka dan alumni yang masih mengampu kegiatan. Internalisasi nilai paspara yang telah berlangsung terus-menerus menyembunyinkan nilai militerisme itu sendiri. Dengan menampilkan wajah khas paspara yang pada dasarnya mengadopsi kultur militerisme di dalamnya melalui simbol dan juga materi/metode. Bisa dilihat bagaimana terjadi proses reproduksi yang sengaja dibentuk guna melanggengkan keberadaan militerisme tersebut. Seperti yang digambarkan di SMAN 1 Mertoyudan dan SMAN 1 kota Magelang melalui kegiatan paskibra dan proses kedisiplinan yang pada akhirnya terbentuk di dalam sekolah. Lebih di dalam itu di dalam proses pendidikan hendaknya harus ada pengawasan utamanya yang memiliki potensi untuk dimasuki doktrindoktrin yang digambarkan sebagai sebuah militerisme. Sebagai sebuah catatan bahwa di dalam pendidikan selalu ada misi tertentu yang dibawa, hal inilah yang seringkali bergesekan dan meskipun pada akhirnya sebagai sebuah proses transfer of knowledge namun di dalam prosesnya tetap harus ada pengawasan. Hal tersebut guna menghindari masuknya kepentingan tertentu sebagai sebuah bentuk indoktrinatif kepada pelaku di dalam sekolah khususnya bagi siswa. Dengan kata lain bahwa hadirnya militerisme di dalam pendidikan masyarakat sipil merupakan imbas dari kepercayaan terhadap gaya penerapan atau cara militeristik yang identik di dalam institusi militer. 5.2. Catatan Kritis Penerapan militerisme hendaknya harus ditempatkan di wilayah yang semestinya membebaskan pendidikan sipil dari belenggu metode militeristik. Khususnya di dalam wilayah proses pendisiplinan dan paskibra yang berdiri sebagai organisasi siswa seharusnya membentuk ragam kegiatan yang mengarah pada kemampuan untuk berkreativitas bukan untuk menjejakkan militerisme di dalam organisasi. Eksplorasi terhadap potensi serta kemampuan terhadap siswa menjadi salah satu cara yang dapat digunakan guna mengantisipasi dominasi militerisme di dalam sekolah. Militerisme di dalam sekolah yang direproduksi guna melanggengkan tatanan sebelumnya memang harus dihilangkan. Dalam artinya harus ada nilai baru yang membentuk tatanan pendidikan baru. Artinya bahwa ada misi khusus yang dibawa pendidikan guna menghilangkan jejak militerisme yang dipraktikan di dalam sekolah negeri. Pembentukkan kesadaran akan keberadaan militerisme ini juga harus disadari oleh masyarakat serta dampaknya yang dapat mengarahkan kepada cara berpikir di dalam kemiliteran. Kesadaran yang dibangun terutama melalui jembatan pendidikan yang seharusnya diberikan lagi mengenai pendidikan kewarganegaraan yang mendukung supremasi masyarakat sipil. Seperti misalnya menciptakan dialog dan memperbanyak diskusi di dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Hal ini tentunya akan memberikan pandangan baru terhadap kacamata sipil bagaimana menyikapi dampak dari militerisme di dalam pendidikan. Lebih jauh lagi harus ada bentuk konkret pengawasan yang dilakukan terhadap militer yang bergerak di ranah sipil. Artinya adalah ada pengawasan terhadap materi dan metode pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah di wilayah masyarakat sipil. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong proses demokratisasi yang diterapkan di dalam wilayah pendidikan guna mengawal terjadinya praktik militerisme dalam ruang sipil. Dengan adanya pengawasan terhadap keterlibatan militer di ranah sekolah masyarakat sipil terntunya akan menegakkan supremasi sipil terutama di dalam pendidikan yang tidak bercorak militeristik. Di dalam proses reproduksi mengenai militerisme di wilayah pendidikan tentunya melalui pihak-pihak yang ikut terlibat di dalam kegiatan pendidikan. Di dalam menerapkan praktik kegiatan khususnya di dalam paskibra harus melihat seberapa jauh pelaksanaannya dan seperti apa materi serta metode yang dipakai. Sebagai sebuah metode dan materi militerisme berkembang dan direproduksi yang menciptakan kesenjangan dari segi aspek kegiatan terutama anggota sebagai siswa. Dalam artian ada kesenjangan senior dan junior yang dibentuk dari proses reproduksi sebelumnya. Ketiga modal yakni modal budaya, modal sosial, serta modal simbolik harus dibentuk kembali dengan menampilkan otoritas pendidikan di wilayah sipil harus lebih diutamakan agar tidak mereproduksi nilai militerisme.