CONTOH MENYAJIKAN RESEARCH GAP. PADA PENELITIAN TENTANG PENGEMBANGAN KOLABORASI ANTAR ORGANISASI PADA LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH. Oleh Dr. Faqih Nabhan, MM 1.1 ..... 1.2 ....... 1.3 Research Gap Kolaborasi yang efektif dapat meningkatkan efisiensi operasi, efektifitas organisasi dan kinerja. Erlena, Cerasi dan Daltung (2005) menyatakan bahwa kolaborasi lembaga keuangan memungkinkan efisiensi mendapatkan informasi melalui sharing informasi sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja keseluruhan perusahaan. Mereka juga menyatakan bahwa alasan lembaga keuangan melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam meyalurkan dananya pada suatu perusahaan adalah untuk mendapatkan peningkatan pengawasan. Penyaluran dana bersama akan dapat menguntungkan apabila masing-masing lembaga keuangan memiliki informasi yang sama dan terjadi saling berbagi informasi sehingga meningkatkan efektifitas pengawasan terhadap perusahaan. Ann dan Steve (2006: 1176) menemukan bahwa kolaborasi dengan pertukaran informasi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja. Hal ini diperoleh melalui efisiensi biaya, fleksibilitas, kualitas layanan dan pengadaan produk. Kolaborasi struktural hanya berpengaruh terhadap peningkatan fleksibilitas dan pengadaan. Terdapat dukungan empiris bahwa semakin tinggi tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi peningkatan kinerja. Ken dan Nigel (2007: 207) menemukan bahwa semakin tinggi kolaborasi akan meningkatkan keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja. Beberapa peneliti menemukan bahwa kolaborasi tidak selamanya mampu meningkatkan kinerja. Diamond (1984) menyatakan bahwa kolaborasi justru akan menurunkan kinerja karena pengawasan menjadi tidak efisien. Lebih lanjut dikatakan bahwa pengawasan dapat dilakukan dengan lebih efisien apabila dilakukan pendelegasian kepada salah satu pihak saja. Kolaborasi lembaga keuangan mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja. Hubungan lembaga keuangan dengan perusahaan secara ekslusif yang dilakukan dengan pengawasan tunggal menjadi bentuk penyaluran dana yang optimal, karena pengawasan oleh lembaga keuangan secara tunggal dapat dilakukan dengan menghindari duplikasi pengawasan. Dalam penelitiannya, Haris dan Raviv (1979) menemukan bahwa pengawasan yang dilakukan dengan beberapa lembaga keuangan memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding dengan yang dilakukan oleh lembaga keuangan secara individual. Hal ini terjadi karena adanya tumpang tindih pengawasan antara lembaga keuangan pertama dengan lembaga keuangan kedua. Bagian yang sudah diawasi oleh satu lembaga keuangan, menjadi bagian lembaga keuangan lain untuk diawasi. Apabila dilakukan oleh satu lembaga keuangan terhadap satu debitur maka tidak akan terjadi pemborosan biaya pengawasan. Pengawasan yang dilakukan secara tidak efisien mengakibatkan pengawasan oleh beberapa lembaga keuangan menyebabkan tidak efisien bagi lembaga keuangan dan debitur. Bolton dan Scharfstein (1996) menyatakan bahwa biaya pengawasan terhadap satu debitur yang dilakukan oleh beberapa bank akan mengakibatkan duplikasi pengawasan yang tidak efisien, dan renegosiasi hutang akan lebih kompleks apabila lebih banyak bank yang terlibat. Petersen dan Rajan (1994) menyatakan bahwa kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana mengakibatkan peningkatan biaya pengawasan oleh bank dan debitur harus menanggung biaya bunga bank yang lebih tinggi akibat tidak efisiensinya penyaluran kredit oleh bank. Hal ini berarti dalam penyaluran dana beberapa bank, baik dari pihak bank maupun perusahaan (sebagai debitur) harus mengeluarkan biaya lebih banyak. Kolaborasi antar organisasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki sehingga memiliki daya saing yang unggul. Dalam pasar yang kompetitif, lembaga keuangan berusaha untuk memenangkan persaingan. Begitu pula dalam proses penyaluran dana, lembaga keuangan berkompetisi dengan pihak lain, baik sesama bank, lembaga keuangan mikro, pasar modal, perusahaan modal ventura dan perusahaan pembiayaan lain, untuk dapat menyalurkan dana dengan tingkat keuntungan yang diinginkan. Kegiatan pengawasan lembaga keuangan yang dilakukan secara eksklusif (satu debitur dilayani dan diawasi oleh satu lembaga keuangan) mampu menghasilkan keunggulan bersaing bagi lembaga keuangan. Kristiansen (2005) menunjukkan bahwa pengawasan intensif oleh bank akan menghasilkan dua keuntungan, pertama, pengawasan mengurangi masalah moral hazard debitur. Kedua, pengawasan menciptakan lock-in effects sehingga pesaing (bank lain) tidak dapat ikut masuk berkompetisi menyalurkan dana. Hughes (2000; 168-173) menemukan bahwa kolaborasi mampu meningkatkan keunggulan bersaing (competitive advantage) dengan berorientasi pasar dan alasan efisiensi produksi. Terdapat hubungan yang kuat antara komponen keunggulan bersaing dengan kolaborasi (internasional), dan antara bentuk-bentuk kolaborasi (licensing, equity joint venture, co-development, co-production) dan harapan dampak strategi pada keunggulan bersaing. Carleti et.al., (2005) menemukan bahwa kolaborasi lembaga keuangan meningkatkan daya jangkau layanan nasabah sehingga meningkatkan kualitas layanan dan daya saing dalam mendapatkan nasabah. Keuntungan yang diperoleh dari hubungan kerjasama antar lembaga keuangan ini akan meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Lembaga keuangan mampu melayani nasabah yang berada diwilayah yang tidak dapat dijangkau oleh jaringannya sendiri. Hubungan kerjasama lembaga keuangan meningkatkan kemampuan dalam memasuki pasar baru lintas geografi dan sektoral. Sektor-sektor yang sebelumnya tidak dapat dilayani memungkinkan menjadi peluang pasar baru dengan menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga keuangan lain. Hubungan kerjasama dengan lembaga keuangan lain juga akan meningkatkan pengawasan pada nasabah yang tidak dapat dijangkau oleh bank secara sendiri karena adanya kendala lokasi, transportasi, sistem dan peraturan, perbedaan lembaga otoritas perbankan dan budaya. Kolaborasi dengan lembaga keuangan lain memungkinkan untuk melakukan lebih banyak diversifikasi dalam alokasi penyaluran dana. Chiesa (2001) menemukan bahwa kolaborasi lembaga keuangan memungkinkan lembaga keuangan untuk meningkatkan kemampuan diversifikasi dan daya saing. Keterbatasan dana yang dimiliki oleh sebuah lembaga keuangan membatasi lembaga keuangan untuk dapat menyalurkan dananya dengan tingkat diversifikasi yang tinggi. Diversifikasi yang tinggi mampu menurunkan resiko investasi dan meningkatkan daya saing yang berkelanjutan. Meskipun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa kolaborasi tidak selamanya berhasil. Zineldin dan Dodourova (2005:460), menyatakan bahwa tingkat kegagalan dari kolaborasi dalam bentuk aliansi mencapai 70 persen. Park dan Ungson (2001: 37), menyatakan bahwa lima puluh persen dari strategi aliansi mengalami kegagalan. Lebih lanjut Palakshappa dan Gordon (2007: 264) menemukan dalam penelitiannya bahwa perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan dari kegiatan kolaborasi. Perusahaan yang melakukan kolaborasi juga tidak mampu mendapatkan ketrampilan dan kompetensi baru dari kegiatan kolaborasi. Tingginya tingkat kegagalan kolaborasi yang dilakukan dalam bentuk aliansi menimbulkan pertanyaan untuk diteliti lebih lanjut. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa kolaborasi memerlukan koordinasi (Van de ven dan Ring, 1994; Oliver, 1990). Kegiatan koordinasi diantara partner yang berkolaborasi mendorong saling ketergantungan (Blankerburg, H., et al., 1999). Saling ketergantungan berarti derajat dapat digantikannya dan tergantungnya masing-masing perusahaan terhadap partner dalam hal investasi dan sumberdaya (Kauser dan Shaw, 2004). Penelitian empiris menemukan bahwa dalam kolaborasi aliansi saling ketergantungan meningkatkan kinerja (Monckza et al., 1998). Sebaliknya penelitian yang dilakukan Kauser dan Shaw (2004), menemukan bahwa saling ketergantungan pemasaran dalam kegiatan kolaborasi tidak berhubungan dengan kinerja, bahkan berpengaruh negatif dengan kepuasan. Komunikasi dalam kolaborasi memberikan sarana bagi pertukaran informasi dan pencapaian kesepahaman. Komunikasi memungkinkan bagi masing-masing pihak menyatukan tujuan kolaborasi dan menyelesaikan masalah bersama. Zeybeck et al. (2003) menemukan bahwa komunikasi diantara pihak yang berkolaborasi berpengaruh positif terhadap kinerja. Sementara dalam penelitiannya Sarkar et al. (2001) menemukan bahwa pertukaran informasi dengan komunikasi tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja. Keinginan untuk melindungi perusahaaan sendiri yang berlebihan menyebabkan keengganan untuk menyampaikan informasi dan pengetahuan bagi partner kolaborasi. Hasil temuan di atas menunjukkan adanya ketidak konsistenan hasil temuan penelitian kolaborasi kinerja kolaborasi. Sekelompok penelitian menyatakan bahwa kolaborasi mampu mendorong peningkatan kinerja (Erlena et al., 2005; Dennis M. Garvis, 2000; Ann dan Steve,2006; dan Ken dan Nigel, 2007), tetapi terdapat kelompok penelitian lain yang menemukan bahwa kolaborasi justru akan menurunkan kinerja (Diamond, 1984; Haris dan Raviv, 1979; Bolton dan Scharfstein, 1996; dan Petersen dan Rajan, 1994). Bahkan dalam penelitiannya Zineldin dan Dodourova (2005) dan Park dan Ungson (2001) ditemukan bahwa kolaborasi banyak mengalami kegagalan. Dari telaah beberapa hasil temuan penelitian di atas maka ditemukan inkonsistensi hasil penelitian kolaborasi antar organisasi dan hasilnya. Berikut disarikan peneliti dan hasil temuannya yang menunjukkan adanya gap dalam tabel di bawah ini; Tabel 1.1 Temuan Research Gap Gap PENULIS TEMUAN Isu: Kolaborasi antar perusahaan dan kinerja Research Gap: Terdapat perbedaan hasil penelitian pengaruh kolaborasi antar perusahaan terhadap kinerja perusahaan Kolaborasi Diamond, Kolaborasi mengakibatkan duplikasi pengawasan antar 1984 yang tidak efisien sehingga menurunkan kinerja perusahaan Haris dan Pengawasan yang dilakukan dengan beberapa bank berpengaruh Raviv, 1979 memunculkan biaya yang lebih tinggi dibanding menurunkan dengan yang dilakukan oleh bank secara individual. kinerja Bolton dan Kolaborasi penyaluran dana mengakibatkan perusahaan Scharfstein, renegosiasi yang komplek 1996 Kolaborasi perbankan menurunkan kinerja akibat terjadi duplikasi pengawasan yang tidak efisien Peterson dan Kolaborasi perbankan dalam penyaluran dana Rajan, 1994 mengakibatkan biaya yang lebih tinggi Zineldin, M. Kolaborasi tidak memberikan dampak terhadap dan inovasi dan pencapaian sinerji Dodourova, M., 2005 Park, S.H dan Setengah dari strategi aliansi mengalami kegagalan. Ungson, G.R, 2001 Palakshappa, Perusahaan tidak mampu merealisasikan keuntungan N. Dan dari kolaborasi. Perusahaan tidak mampu Gordon, M.E, mendapatkan ketrampilan dan kompetensi baru 2007 Kolaborasi antar perusahaan berpengaruh meningkatkan kinerja Erlena, Cerasi dan Daltung, 2005 Dennis M. Garvis, 2000 Ann dan Steve, 2006 Ken dan Nigel, 2007 Kolaborasi perbankan memungkinkan efisiensi mendapatkan informasi melalui berbagi informasi sehingga meningkatkan kualitas piutang dan kinerja Kolaborasi berpengaruh positif tehadap kinerja keuangan dengan kepercayaan sebagai variabel intervening. Terdapat dukungan empiris yang kuat semakin tinggi tingkat kolaborasi antar perusahaan semakin tinggi peningkatan kinerja Semakin tinggi kolaborasi akan meningkatkan keuntungan organisasi melalui peningkatan kinerja. Salah satu hal utama dalam kolaborasi adalah kemampuan organisasi untuk melakukan koordinasi dan bekerjasama dalam satu tim yang terdiri dari orang-orang yang berasal lebih dari satu organisasi. Gomes (1999) menyatakan bahwa kolaborasi membutuhkan kemampuan internal (internal capability) perusahaan untuk mengelola kerjasama. Kolaborasi menghasilkan akses sumberdaya yang lebih luas dan membutuhkan kapabilitas untuk dapat menjalankan kolaborasi secara baik. Kompetensi kolaborasi telah dianggap sebagai aset yang berharga. Miller dan Shamsie (1995) menyatakan bahwa sumberdaya berbasis pengetahuan (knowledge-based resources) dapat berwujud ketrampilan tertentu, termasuk ketrampilan kolaborasi dan kemampuan dalam melaksanakan pekerjaan dan pembelajaran bersama secara efektif. Henderson dan Cockburn (1994) menyatakan bahwa fungsi kapabilitas perusahaan adalah untuk memanfaatkan sumberdaya, mencipta, memproduksi dan menawarkan hasil melalui pola tindakan yang berulang-ulang. 1.4 Fenomena empirik Koperasi di Indonesia telah lama diakui perannya sebagai salah satu elemen penting dalam perekonomian bangsa. Besarnya harapan terhadap peran koperasi ini tentu saja harus senantiasa diimbangi dengan upaya dari semua pihak untuk mendukung eksistensinya. Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) sebagai bagian dari koperasi yang beroperasi dengan prinsip syariah memiliki karakteristik yang khas dalam hal tuntunannya untuk melaksanakan kemitraan dalam akad mudharabah dan musyarakah. Akad ini berbeda dengan koperasi non syariah. Keadaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah dapat dijelaskan dari tabel 1.2. Dari tabel 1.2 tersebut dapat diketahui KJKS di Jawa Tengah ini memiliki asset yang cukup besar yaitu lebih dari Rp2 triliun dan mampu mencatatkan keuntungan SHU sebesar Rp134,6 milyar. KJKS di Jawa Tengah juga mampu menyerap tenaga kerja sedikitnya 5.000 orang. Beberapa indikator ini menunjukkan besarnya kontribusi KJKS bagi perekonomian daerah terutama di Jawa Tengah. Namun demikian dari 639 KJKS di Jawa Tengah yang termasuk sebagai koperasi berkategori sehat tidak mencapai 20%. Melihat keadaan KJKS di Jawa Tengah seperti ini maka perlu untuk terus-menerus didukung salah satunya dengan cara penelitian untuk semakin memperkuat pengembangan bisnis koperasi syariah di Jawa Tengah. Tabel 1.2 Indikator Koperasi Jasa Keuangan Syariah di Jawa Tengah Tahun Buku 2010 NO INDIKATOR KETERANGAN 1 Jumlah 639 2 Tingkat kesehatan: Sehat 98 19.07% Cukup Sehat 352 68.48% Kurang Sehat 49 9.53% Tidak Sehat 15 2.92% 3 Jml Karyawan 5,125 4 Jml Asset 2,017,520,270,262 5 SHU 134,639,199,962 Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Propinsi Jawa Tengah, 2011 Kolaborasi kemitraan telah menjadi salah satu piranti strategik bagi hampir semua perusahaan yang beroperasi dalam jejaring sistem ekonomi saat ini. Kemitraan dapat membantu KJKS dalam mempercepat akses pembiayaan, mendapatkan akses ke pasar yang baru, berbagi resiko keuangan, pengembangan teknologi baru atau mendapatkan efisiensi dari skala ekonomi (SKKNI-KJK, 2008). Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang “Perkoperasian” telah mengatur bahwa koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1995 tentang “Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi”. Dalam rangka melaksanakan peran koperasi tersebut maka telah dilakukan kerjasama antara koperasi dengan lembaga yang lain seperti bank, lembaga keuangan mikro dan BUMN. Beberapa bukti adanya kolaborasi kemitraan antara koperasi dengan perbankan melalui dorongan pemerintah khususnya kementerian negara koperasi dan usaha kecil menengah adalah adanya kredit usaha mikro dan kecil dengan dana Surat Utang Pemerintah (SUP) nomor SU-005/MK/1999 tanggal 29 Desember tahun 1999. Kolaborasi koperasi dengan perbankan juga dilakukan pada program pembiayaan produktif koperasi dan usaha mikro (P3KUM) pola syariah serta program perkuatan permodalan koperasi dalam rangka program perempuan keluarga sehat dan sejahtera (PERKASA) pola syariah dan konvensional. Jumlah dana yang tersalurkan dari kegiatan program kolaborasi koperasi dan perbankan di atas selama periode tahun 2000 s.d 2006 adalah Rp2,41 triliun dengan melibatkan 10.593 unit koperasi (Kemenkop dan UKM, 2007). Pada tahun 2006 juga terjadi kolaborasi kemitraan dalam penyaluran kredit antara bank umum, BPR dan koperasi yang disebut dengan program kredit kepada lembaga keuangan (KKLK). Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara bank umum dengan BPR/S dan koperasi dengan pola executing. Meskipun demikian, Soetriono (2004, 2) mengemukakan bahwa saat ini koperasi secara umum sedang menghadapi permasalahan kurangnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan. Permasalahan lain yang bersifat internal adalah permodalan kurang, penguasaan teknologi rendah, kurang tangap terhadap berbagai perubahan, organisasi dan manajemen belum berjalan baik, masih kurangnya kemitraan usaha yang saling menguntungkan, serta terbatasnya akses pasar. Kendala sumberdaya manusia, manajemen dan kendala kelembagaan juga menjadi masalah yang membebani koperasi pada umumnya. Sebagai lembaga intermediasi bank berkepentingan untuk dapat menyalurkan dana masyarakat pada sektor riil dengan tetap menjaga unsur-unsur prudential banking. Persaingan dan keterbatasan sumberdaya diantara lembaga intermediasi lain menambah semakin kompleks pertimbangan bank dalam meningkatkan kinerja penyaluran dananya. Pemerintah melalui Bank Indonesia mendorong upaya kolaborasi penyaluran dana antara Bank Umum dengan koperasi dan BPR/S melalui Linkage Program (Bank Indonesia, 2005). Linkage program adalah program yang disponsori Bank Indonesia untuk menjembatani kerjasama antara Bank Umum dengan koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank Indonesia melihat program ini sebagai strategi untuk mendorong intermediasi dengan memberdayakan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kepada seluruh komponen dalam industri keuangan. Terkait pilar pertama Arsitektur Perbankan Indonesia (API), linkage program juga merupakan upaya untuk meningkatkan daya saing BPR sekaligus efisiensi pelaksanaan skim kredit Bank Umum (Deputi Gubernur Bank Indonesia, Maman H. Somantri, 2006). Melalui linkage program, keterbatasan jaringan yang dialami oleh bank umum dalam menyalurkan kreditnya dapat diatasi. Sedangkan keterbatasan pembiayaan yang dirasakan oleh BPR dapat pula diatasi melalui program ini, sehingga melalui linkage program dapat tercipta sinergi yang akhirnya mampu mengoptimalkan fungsi intermediasi perbankan dan mengembangkan potensi UMKM. Pada tabel 1.3 ditunjukkan perkembangan kolaborasi lembaga keuangan secara agregat yang semakin meningkat, hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya bank umum dan BPR/S yang melakukan kolaborasi dan bertambahnya jumlah plafon kredit. Tabel 1.3 Jumlah Bank Umum, BPR/S dan Kredit Peserta Program Linkage di Indonesia Tanggal Tahap Jumlah Bank Jumlah Jumlah Kredit Umum BPR/S (Milyar) 24-8- 2005 I 10 37 Rp10 26-1- 2006 II 13 41 Rp199 20-9- 2006 III 14 117 Rp369 27-12-2006 IV 14 250 Rp549 Sumber: Bank Indonesia, www.bi.go.id , dan Sriwijaya Post, Kamis, 28 Desember 2006 (data diolah) Meskipun demikian penyaluran kredit perbankan ke segmen UMKM melalui BPR dan koperasi dengan skema linkage program belum diselenggarakan secara merata. Pada tahun 2011 hanya ada 20 bank umum yang membuat kesepakatan untuk melaksanakan linkage program dengan total nilai kredit Rp 979 miliar (Choir, 2011). Rusli Simanjuntak (2007) mengatakan bahwa masih ada keraguan dari perbankan melaksanakan linkage program, bahwa mereka hanya dapat fee based dan margin rendah. Terdapat beberapa pendapat yang tidak setuju dengan kegiatan kolaborasi bank umum dengan BPR/S dalam bentuk linkage program ini. Hal ini menunjukan kekhawatiran terjadi resiko adverse selection terhadap bank umum. Walaupun terdapat kode etik yang telah diatur oleh Bank Indonesia, tapi menurutnya penyimpangan oleh oknum bank umum tidak bisa dibuktikan. Kekhawatiran BPR/S dan koperasi terhadap ancaman bank umum akan merebut segmen pasar yang dimiliki menjadi alasan yang cukup kuat terhadap kegiatan kolaborasi. Aviliani (2006) mengatakan bahwa sangat mungkin terjadi perebutan konsumen antara bank umum dengan BPR/S dan koperasi, oleh karena itu bank sentral perlu melakukan pengaturan mengenai pembagian segmentasi pasar yang dapat dilayani oleh bank umum, BPR/S dan koperasi. 1.5 Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini dimulai dari adanya masalah perbedaan hasil temuan penelitian mengenai keberhasilan kolaborasi, belum ada kesamaan hasil penelitian konsep-konsep yang terkait dan dapat mendukung keberhasilan kolaborasi kemitraan seperti telah disajikan pada tabel 1.1. Penelitian terdahulu memberikan sinyalemen bahwa kapabilitas kolaborasi kemitraan merupakan sumberdaya yang penting dan mempunyai peran besar dalam mendorong keberhasilan kolaborasi. Oleh karena itu masalah penelitian yang diajukan dalam penelitian adalah: “Bagaimana membangun suatu model kapabilitas kolaborasi yang dinamis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja bisnis bagi Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) di Jawa Tengah”.