II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan. Rivai (2008) mengatakan pencapaian tujuan pembelajaran berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses pembelajaran yang meliputi beberapa aspek antara lain peningkatan pengetahuan, keterampilan, integrasi, partisipasi, dan perubahan sikap kemampuan beradaptasi. Aspek-aspek tersebut merupakan aspek yang menunjukkan terjadinya pembelajaran efektif. Hamalik (2004) menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan aktivitas seluas-luasnya kepada siswa untuk belajar karena aktivitas yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran yang akan memberikan pengalaman baru bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan baru pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trianto (2009) bahwa belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Penyediaan kesempatan belajar sendiri dan beraktivitas seluas-luanya diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi yang sedang dipelajari sehingga memperoleh hasil yang baik. 9 Lebih lanjut Trianto (2009) menyatakan bahwa hasil yang diperoleh setelah pelaksanaan proses pembelajaran dapat diketahui dengan memberikan tes, sebab hasil tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran adalah tingkat keberhasilan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dalam penelitian ini pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran yang akan memberikan pengalaman baru dan pengetahuan baru bagi siswa. Sehingga dapat membantu siswa dalam memahami materi yang sedang dipelajari sehingga memperoleh hasil yang baik. 2. Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS cooperative sama- sama dengan saling membantu satu sama lain sebagai satu tim. Jadi, Cooperative learning menurut Salvin (Isjoni, 2010) merupakan model pembelajaran, di mana guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pembelajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses pembelajaran guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Menurut Johnson & Johnson (dalam Isjoni, 2010) cooperative learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam satu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan saling berbagi informasi serta mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. 10 Isjoni (2010) ciri-ciri dari cooperative learning adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Nasution (dalam Isjoni, 2010) menyatakan belajar kelompok itu efektif bila setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok, siswa turut berpartisipasi dan bekerja sama dengan siswa lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada perilaku seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan adanya kerja sama antarsiswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Tujuan dibentuknya kelompok kooperatif adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat terlibat secara aktif dalam proses berfikir dan dalam kegiatan-kegiatan belajar. Dalam hal ini sebagian besar aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa. Ada berbagai tipe pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah think pair share (TPS). Think pair share dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawan dari Universitas Maryland pada tahun 1981. Model ini memberi waktu kepada para siswa untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain. Trianto (2009) mengungkapkan bahwa: TPS untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Guru menggunakan langkah-langkah (fase) berikut: 11 a. Langkah 1 : Berpikir (Thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. b. Langkah 2 : Berpasangan (Pairing) Selanjutnya Guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. c. Langkah 3 : Berbagi (Sharing) Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kel Ciri utama pada model pembelajaran kooperatif TPS (Fogarty dan Robin, 1996) adalah tiga langkah utamanya yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran yaitu think (berpikir secara individual), pair (berpasangan dengan teman sebangku), dan share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas). 1. Think (berpikir secara individual) Pada tahap think, guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan siswa diminta untuk berpikir secara mandiri mengenai pertanyaan atau masalah yang diajukan. Pada tahapan ini, siswa sebaiknya menuliskan jawaban mereka, hal ini karena guru tidak dapat memantau semua jawaban siswa sehingga melalui catatan tersebut guru dapat mengetahui jawaban yang harus diperbaiki atau diluruskan di akhir pembelajaran. Dalam menentukan batasan waktu untuk tahap ini, guru harus mempertimbangkan pengetahuan dasar siswa untuk menjawab pertanyaan yang diberikan, jenis dan bentuk pertanyaan yang diberikan, serta jadwal pembelajaran untuk setiap kali pertemuan. 12 think time memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir mengenai jawaban mereka sendiri sebelum pertanyaan tersebut dijawab oleh siswa lain. Selain itu, guru dapat mengurangi masalah dari adanya siswa yang mengobrol, karena tiap siswa memiliki tugas untuk dikerjakan sendiri. 2. Pair (berpasangan dengan teman sebangku) Langkah kedua adalah guru meminta para siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama. Biasanya guru mengizinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. Setiap pasangan siswa saling berdiskusi mengenai hasil jawaban mereka sebelumnya sehingga hasil akhir yang didapat menjadi lebih baik, karena siswa mendapat tambahan informasi dan pemecahan masalah yang lain. 3. Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau seluruh kelas) Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan tersebut untuk berbagi hasil pemikiran mereka dengan pasangan lain atau dengan seluruh kelas. Pada langkah ini akan menjadi efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan satu ke pasangan yang lain, sehingga seperempat atau separuh dari pasangan-pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melapor. Langkah ini merupakan penyempurnaan dari langkah sebelumnya, dalam arti bahwa langkah ini menolong agar semua kelompok menjadi lebih memahami mengenai pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan kelompok yang lain. Hal ini juga agar siswa benar-benar mengerti ketika guru memberikan koreksi maupun penguatan di akhir pembelajaran. 13 Kagan (dalam Widiarti, 2007) menyatakan manfaat TPS sebagai berikut: 1. Para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain, ketika mereka terlibat dalam kegiatan TPS lebih banyak siswa yang mengangkat tangan mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa mungkin mengingat secara lebih seiring penambahan waktu tunggu dan kualitas jawaban mungkin menjadi lebih baik. 2. Para guru juga mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir ketika menggunakan TPS. Mereka dapat berkonsentrasi mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan pertanyaan tingkat tinggi. Fogarty dan Robin (1996) menyatakan bahwa teknik pembelajaran TPS mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut: 1. Mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar, 2. Memberikan waktu kepada siswa untuk merefleksikan isi materi pelajaran, 3. Memberikan waktu kepada siswa untuk melatih mengeluarkan pendapat sebelum berbagi dengan kelompok kecil atau kelas secara keseluruhan. Dengan teknik pembelajaran TPS yang disebutkan Fogarty dan Robin siswa dilatih untuk banyak berfikir dan saling tukar pendapat baik dengan teman sebangku ataupun dengan teman sekelas, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar ranah kognitif siswa karena siswa dituntut untuk mengikuti proses pembelajaran agar dapat menjawab setiap pertanyaan dan berdiskusi. Dari uraian tersebut, model pembelajaran kooperatif tipe TPS adalah pembelajaran yang terdiri dari tiga tahap kegiatan pembelajaran yaitu berpikir (think), berpasangan (pair), dan berbagi (share). Pembelajaran TPS ini meng- 14 utamakan adanya kerja sama antar siswa yang berpasangan untuk mencapai tujuan pembelajaran. 4. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional yang dimaksud disini adalah suatu pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru di kelas, yaitu pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah. Seperti halnya yang dikemukakan Sinarno Surakhmad M. Ed (dalam Suryosubroto, 2009), yang dimaksud dengan metode ceramah adalah penerangan atau penuturan secara lisan oleh guru terhadap kelasnya. Selama proses pembelajaran peranan murid adalah mendengarkan dengan teliti dan mencatat yang pokok-pokok yang dikemukakan oleh guru. Institute of Computer Technology (dalam Sunartombs; 2009) menyebutnya . Dijelaskannya bahwa pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pembelajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk: a. Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain. b. Menyampaikan informasi dengan cepat. c. Membangkitkan minat akan informasi. d. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan. Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut: a. Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan. b. Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari. 15 c. Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis. d. Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi. Burrowes (dalam Juliantara, 2009) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang telah dipresentasikan, kemudian menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang menggunakan metode ceramah atau memberi penjelasan materi secara lisan kepada siswa, dan pembelajaran ini adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Dalam penelitian ini pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran melalui ceramah atau memberikan langsung penjelasan materi kepada siswa, memberikan beberapa pertanyaan, latihan soal serta pemberian tugas. 5. Pemahaman Konsep Matematika Pemahaman konsep adalah kemampuan dalam memahami konsep yang dipelajari. Pemahaman konsep merupakan salah satu aspek dalam ranah kognitif dari tujuan pembelajaran. Ranah kognitif ini meliputi berbagai tingkah laku dari tingkatan terendah sampai tertinggi yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, 16 sintesis, dan penilaian (evaluasi). Pemahaman konsep akan memberikan suatu pemahaman dan kemampuan untuk mengaplikasikan konsep yang telah dikuasai. Matematika merupakan disiplin ilmu yang meliputi fakta, konsep, operasi atau relasi dan prinsip. Menurut pendapat Soedjadi (2000) terdapat beberapa definisi matematika yaitu: 1. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik. 2. Matematika adalah pengetahun tentang bilangan dan kalkulasi. 3. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan. 4. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. 5. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. 6. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Matematika memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain. Soedjadi (2000) mengemukakan karakteristik matematika, yakni: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Memiliki objek kajian abstrak. Bertumpu pada kesepakatan. Berpola pikir deduktif. Memiliki simbol yang kosong dari arti. Memperhatikan semesta pembicaraan. Konsisten dalam sistemnya. Pemahaman akan karakteristik-karakteristik matematika dapat membantu siswa dalam mempelajari matematika yang sedang dipelajari. Pemahaman ini di- maksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan. Pembentukan konsep menurut Gagne (dalam Suherman, 2003) disebut juga tipe belajar mengelompokan, yaitu belajar melihat sifat bersama benda-benda konkrit atau peristiwa untuk dijadikan suatu kelompok. Tipe belajar ini mengharapkan siswa untuk mampu memberikan respon terhadap stimulus yang diberikan. Sedangkan Dienes (Suherman, 2003) mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk konkrit akan dapat di- 17 pahami dengan baik. Pemahaman konsep berpengaruh terhadap tercapainya hasil belajar. Berkenaan dengan hal tersebut, Keller (dalam Hamalik, 2004) menyata- sedangkan usaha adalah perbuatan yang terarah pada penyelesaian tugas-tugas Ini berarti bahwa besarnya usaha adalah indikator dari adanya motivasi, sedangkan hasil belajar dipengaruhi oleh besarnya usaha yang dilakukan oleh anak. Menurut Depdiknas (dalam Jannah , 2007) Untuk menilai pemahaman konsep matematika dapat dilakukan dengan memperhatikan indikator-indikator dari pemahaman konsep matematika. Indikator tersebut adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. Menyatakan ulang suatu konsep. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu. g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep merupakan kemampuan siswa dalam menguasai materi pembelajaran yang terlihat dari hasil belajar. Dalam penelitian ini, hasil belajar tersebut berupa nilai yang diperoleh siswa berdasarkan hasil tes berbentuk uraian yang dibuat sesuai indikator pemahaman konsep yang diteliti yaitu menyatakan ulang konsep, menggunakan, memanfaatkan atau memilih prosedur operasi tertentu dan mengaplikasikan konsep. Kriteria penilaian pemahaman konsep, disajikan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Skoring Tes Pemahaman Konsep No. Indikator 1. Menyatakan ulang suatu konsep 2. Mengklarifikasikan Jawaban Tidak menjawab Menyatakan ulang suatu konsep tetapi salah Menyatakan ulang suatu konsep dengan benar Tidak menjawab Skor 0 1 2 0 18 objek-objek menurut sifat-sifat tertentu. 3. 4. 5. 6. 7. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu. Mengaplikasikan konsep atau pemecahan masalah. Mengklarifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu tetapi salah. Mengklarifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu dengan benar. Tidak menjawab. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep tetapi salah. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep dengan benar. Tidak menjawab Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika tetapi salah. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika dengan benar. Tidak menjawab. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep tetapi salah. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep dengan benar. Tidak menjawab. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu tetapi salah. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih Prosedur atau operasi tertentu dengan benr. Tidak menjawab. Mengaplikasikan konsep atau pemecahan masalah tetapi salah. Mengaplikasikan konsep atau pemecahan masalah dengan benar. 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 (Noer, 2010) B. Penelitian Relevan Beberapa penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian Septriana (2006) diketahui bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS pada MA Negeri 1 Malang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini disebabkan TPS dapat meningkatkan partisipasi siswa dan meningkatkan banyaknya informasi yang dapat diingat oleh siswa. Sebab siswa saling belajar satu sama lain dan berupaya bertukar ide dengan pasangannya sebelum mengemukakan idenya ke kelompok yang lebih besar. Serta meningkatkan rasa percaya diri siswa karena semua siswa mempunyai kesempatan berpartisipasi di kelas. 19 2. Hasil penelitian Dewi (2011) diketahui bahwa pembelajaran kooperatif tipe TPS efektif diterapkan pada siswa kelas XI IPA semester genap SMA Negeri 8 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2010/2011. Hal ini disebabkan penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, karena setiap siswa dapat berdiskusi dan saling berbagi ide dengan pasangannya untuk mendapatkan jawaban yang tepat sehingga model pembelajaran ini efektif diterapkan pada pembelajaran matematika. 3. Hasil penelitian Wenangsari (2011) menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif model think pair share dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMAN 1 Lawang. Hal ini terlihat dari meningkatnya hasil belajar jika dan hanya jika siswa memberikan respon yang positif. C. Kerangka Pikir Pemahaman konsep siswa yang rendah disebabkan oleh ketidaksesuaian dalam menggunakan model pembelajaran. Pembelajaran kooperatif tipe TPS merupakan salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk membantu siswa dalam memahami konsep materi pembelajaran. Pembelajaran kooperatif tipe TPS mempunyai tiga tahap kegiatan pembelajaran, yaitu thinking, pairing, dan sharing. Pada tahap thinking guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara aktif dan mandiri dalam mencari pengalaman belajar dan memperoleh pengetahuan baru, sehingga konsep yang ditemukan oleh siswa dapat bertahan lebih lama pada diri siswa. Kemudian pairing yaitu siswa berpasangan kemudian berdiskusi dengan pasangannya saling bertukar pikiran untuk memecahkan 20 permasalahan yang diberikan oleh guru. Pada tahap ini siswa akan saling bekerja sama, menjelaskan satu sama lain dalam memahami materi sehingga lebih mudah memahami konsep dari materi yang diberikan. Selanjutnya yaitu tahap sharing, pada tahap ini siswa berbagi hasil diskusi dengan pasangannya kepada kelompok lain. Pada saat berdiskusi, berbagi informasi, bertanya, atau mengungkapkan pendapat akan melatih siswa berkomunikasi di depan kelas. Dalam perkembangannya guru hanya bertindak sebagai pengarah dan pembimbing, sedangkan siswa dituntut untuk lebih mandiri dalam proses pembelajaran. Siswa aktif selama proses pembelajaran dalam mencari pengalaman dan pengetahuan sendiri sehingga mempermudah siswa dalam memahami konsep materi yang dipelajari dan pemahaman konsep matematika yang dimiliki oleh siswa akan semakin membaik. Berbeda dengan pembelajaran konvensional, karena pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang berpusat pada guru. Pada pembelajaran ini guru memberikan penjelasan materi langsung kepada siswa secara lisan dan memberikan beberapa pertanyaan, latihan soal kemudian pemberian tugas. Selama proses pembelajaran sebagian besar siswa hanya memperhatikan, menjawab, mendengarkan penjelasan guru dan mencatat materi bila ada yang perlu dicatat. Hal ini mengakibatkan siswa menjadi pasif dan mengalami kesulitan dalam memahami konsep dari materi yang dipelajari, karena siswa tidak secara aktif dan mandiri dalam menemukan konsep dari materi pembelajaran melainkan menerimanya langsung dari guru. Sehingga pemahaman konsep matematika yang dimiliki oleh siswa rendah. 21 Dari uraian di atas terilihat bahwa pemahaman konsep matematika siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TPS akan lebih baik dari pemahaman konsep matematika siswa dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Pemahaman konsep matematika siswa dapat dilihat dari hasil tes yang diperoleh siswa di akhir pembelajaran. D. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih efektif ditinjau dari pemahaman konsep matematika siswa daripada pembelajaran konvensional.