BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Di dalam sebuah penelitian judul memiliki peranan yang sangat penting, karena melalui judul seseorang dapat menggambarkan maksud dari suatu penelitian dan pokok bahasan dari suatu penelitian. Adapun judul dari penelitian ini adalah “Proses Rehabilitasi Pecandu Narkoba dalam Mengembalikan Fungsi Sosial Residen di Masyarakat”. Judul tersebut diambil berdasarkan pada ketertarikan peneliti terhadap tema besar kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia serta kewajiban menjalani rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Secara lebih khusus peneliti mencoba untuk menjabarkan kehidupan sosial mantan pengguna narkoba di lingkungan masyarakat setelah selesai menjalani proses rehabilitasi yang dilaksanakan di Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta. Penyalahgunaan terhadap obat-obatan terlarang merupakan bagian dari pelanggaran hukum, dan hal tersebut tidak dapat ditoleransi oleh masyarakat. Kebanyakan pecandu narkoba tidak diketahui oleh masyarakat dan dianggap sebagai masyarakat biasa, namun kondisi berbeda akan didapati di masyarakat apabila seseorang telah diketahui sebagai pecandu narkoba. Di dalam masyarakat akan muncul ketakutan untuk berinteraksi dengan seseorang yang telah diketahui sebagai pecandu, takut berurusan dengan pihak yang berwajib, takut akan mempengaruhi lingkungan tempat tinggal, sampai rasa takut yang tidak dapat dijelaskan, sehingga cenderung menghindari pecandu narkoba. Kondisi tersebut akan semakin membuat pecandu memilih untuk apatis dan melakukan tindakan sesuai dengan kehendak sendiri, yang tentunya di dalam pengaruh narkoba sehingga semakin lama, pecandu akan kehilangan fungsi sosialnya di dalam masyarakat. Di sinilah rehabilitasi diperlukan untuk mengembalikan fungsi sosial mantan pecandu di masyarakat. 1.1.1 Orisinalitas Dewasa kini penyalahgunaan narkoba di Indonesia menjadi semakin kasatmata, baik dalam penyalahgunaan oleh masyarakat, maupun peredarannya 1 yang semakin meluas di wilayah Indonesia. Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai maraknya kasus penyalahgunaan narkoba, penyelundupan, hingga jaringan peredaran narkoba tersebut, baik di lingkup lokal, maupun internasional. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain oleh Manobi Samjar dengan judul Pola Penyalahgunaan Narkoba di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008. Penelitian tersebut berusaha untuk menjelaskan pola penyalahgunaan narkoba di beberapa wilayah di DIY. Data yang dihasilkan kemudian dikelompokkan dalam beberapa kategori di antaranya yaitu, pola penyalahgunaan narkoba berdasarkan pendidikan, usia, pekerjaan, hingga berdasarkan wilayah kecamatan. Di DIY sendiri, kasus terbanyak penyalahgunaan narkoba terdapat di Kecamatan Depok yang didominasi oleh remaja. Selain penelitian tersebut, terdapat pula penelitian yang telah dilakukan oleh Jauhari Thantowi dengan judul Studi Implementasi Kebijakan Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba di Kota Malang pada tahun 2010. Kedua penelitian tersebut memiliki tema yang sama, yaitu mengenai maraknya penggunaan narkoba di Indonesia, namun yang membedakan penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya adalah peneliti akan melihat peran dari lembaga penyelenggara rehabilitasi yaitu panti sosial milik pemerintah (negara). Peneliti akan berusaha melihat bagaimana proses rehabilitasi dilakukan oleh lembaga pemerintah tersebut sehingga mampu mengembalikan fungsi sosial residen di masyarakat. Proses rehabilitasi ini menjadi salah satu hal yang penting di dalam upaya memerangi berbagai kasus penyalahgunaan narkoba karena turut berperan dalam mengurangi penyalahgunaan narkoba, terutama dari kalangan pengguna atau pecandu. 1.1.2 Aktualitas Kasus penyalahgunaan narkoba belum juga menemui titik temu, usai suatu kasus terungkap masih terdapat kasus lain yang harus diselesaikan. Pada awal tahun 2015 hingga pertengahan 2015 baik di media elektronik maupun di media cetak ramai diperbincangkan mengenai kasus penyelundupan narkoba yang terjadi beberapa tahun lalu, dan tersangka kasus tersebut sudah dieksekusi hukuman mati. 2 Selain kasus nasional, beberapa media asing juga banyak menginformasikan berbagai berita mengenai penangkapan gembong-gembong atau mafia narkoba kelas internasional yang banyak di antaranya masih bersembunyi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa hingga saat ini, kasus penyalahgunaan narkoba tetap menjadi kasus yang harus mendapatkan perhatian khusus dan diberantas oleh negara. Dalam rangka merespon semakin maraknya penyalahgunaan narkoba di Indonesia, Kepala BNN Provinsi Bali Brigjen Pol. I Gusti Ketut Budiartha dalam Harian Kompas, Senin, 16 Maret 2015 pun menyatakan akan segera menyelesaikan pembangunan pusat rehabilitasi narkoba yang bertempat di Bangli. Di wilayah Bali sendiri data dari BNN Provinsi Bali menyatakan bahwa kasus narkoba tahun 2014 mencapai 763 kasus. Bali menargetkan 2.083 orang akan direhabilitasi pada 2015. Fakta tersebut setidaknya mampu menjadi gambaran bahwa penyalahgunaan narkoba tetap menjadi isu aktual, bukan hanya di daerah, namun juga pada level nasional. Pada tahun 2015 saja, baru sekitar seratus ribu pecandu narkoba yang memperoleh penanganan dari total 4,2 juta pecandu narkoba (tempo.co, 25 Januari 2015). Oleh karena itu penelitian ini menarik dilakukan untuk memahami langsung bagaimana upaya lembaga rehabilitasi, baik yang dikelola secara swadaya maupun yang dikelola oleh pemerintah turut andil dalam mengurangi kasus penyalahgunaan narkoba melalui proses rehabilitasi yang dilakukan oleh panti sosial tersebut. 1.1.3 Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial Dan Kesejahteraan Berdasarkan disiplin ilmu yang ditekuni oleh peneliti, penelitian ini memiliki relevansi yang sangat erat dengan disiplin ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yaitu terkait dengan mengembalikan fungsi sosial individu ke masyarakat. Penelitian ini sangat erat kaitannya dengan penyimpangan sosial dimana secara spesifik penyimpangan yang dimaksud adalah pecandu narkoba itu sendiri. Di dalam struktur masyarakat seorang pecandu dikatakan sebagai pelaku penyimpangan sosial yang seringkali dihindari karena dianggap akan memberikan dampak buruk terhadap lingkungan tempat tinggal dan masyarakat sekitar, oleh karenanya diperlukan rehabilitasi bagi pecandu narkoba. Salah satu panti yang melakukan proses rehabilitasi pecandu narkoba adalah Panti Sosial Pamardi Putra 3 Yogyakarta. Proses rehabilitasi yang dilakukan oleh Panti Sosial Pamardi Putra tersebut melibatkan residen di dalam memulihkan kondisi fisik maupun mental residen untuk siap menghadapi kehidupan yang baru dan lebih sehat. Peneliti melihat bahwa proses rehabilitasi yang dilakukan Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta lebih mengedepankan keterlibatan residen di dalam setiap aktivitas. Seperti yang disebutkan dalam konsep pemberdayaan Soetomo, terdapat dua kunci pemberdayaan yaitu pertama, pemberian kewenangan dan kedua, pengembangan kapasitas (2011:88). Residen didorong untuk mampu mengenali dan menyadari masalah yang dihadapinya serta secara bersama-sama dan mandiri memecahkan masalah tersebut. Selain peningkatan capacity building, pada akhirnya hasil yang hendak dicapai adalah menciptakan manusia yang lebih produktif dan bebas narkoba. 1.2 Latar Belakang Narkoba merupakan narkotika dan obat-obatan berbahaya atau Narkotik, Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA). Penggunaan istilah tersebut sangat tepat mengingat bahwa di samping narkotika dan psikotropika, juga ada zat aditif lainnya, termasuk alkohol dan rokok serta pelarut kimia (solvent) yang dapat disalahgunakan. Narkoba dikenal berbahaya karena memberi efek kecanduan bagi para penggunanya. Dalam dunia medis penggunaan obat-obatan tersebut pun sangat dikendalikan, dengan dosis yang sangat minimal. Namun karena efek-efek yang ditimbulkan dari obat-obatan tersebutlah maka narkoba mulai disalahgunakan hingga menimbulkan ketergantungan. Dari ketergantungan inilah, narkoba akan mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, maupun lingkungan sosial pecandunya. Dari segi fisik, pecandu narkoba umumnya akan mengalami gangguan-gangguan seperti gangguan pada sistem saraf, kulit, jantung, paru-paru, dan reproduksi. Selain itu, narkoba juga mempengaruhi kondisi psikologis pecandunya. Pecandu narkoba akan gelisah, hilang percaya diri, sulit berkonsentrasi, dan cenderung bertindak brutal apabila tidak mengonsumsi narkoba. Akibatnya, di lingkungan sosialnya mereka cenderung dikucilkan, dianggap beban, dan merepotkan. 4 Menurut sejarah, penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia II pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orangorang Cina. Pemerintah Belanda waktu itu telah memberikan ijin dalam penggunaan candu secara bebas di masyarakat dan dilegalkan berdasarkan Undang-Undang. Hingga pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan Jepang menghapuskan Undang-Undang tersebut dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance). Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan, dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (diolah kembali oleh penulis dari BNN, “Sejarah Singkat Narkoba”, diakses dari http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2011/10/31/189/sejarah-singkat-narkoba, pada tanggal 30 Maret 2015 pukul 11:10 WIB). Perubahan jaman yang kian modern membuat peredaran narkoba tak terelakkan lagi, diawali pada tahun 1970 masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional. Penyalahgunaan narkoba menjadi semakin meningkat, terutama pada anak-anak muda, tak terkecuali di Indonesia. Menyikapi hal tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal, khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Di samping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (Pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Jaman yang semakin berkembang dengan kecanggihan teknologi telah membuat peredaran narkoba semakin kasatmata dan meningkatkan kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Berdasarkan kasus-kasus yang ada kemudian disusunlah Undang-Undang Anti Narkotika Nomor 22 Tahun 1997, menyusul dibuatnya Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997 yang kemudian di dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati. 5 Dewasa kini, penyalahgunaan narkoba di Indonesia dan dunia bukan semakin menurun namun justru semakin meningkat. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa pengguna narkoba terbesar adalah usia produktif. Menurut pemaparan BNN, pada tahun 2014 70 persen penyalahguna narkoba di Indonesia adalah pekerja di usia produktif, 22 persen adalah mahasiswa, serta 8 persen untuk kategori lainnya (Kompas.com, “BNN: 70 Persen Pengguna Narkoba adalah Pekerja Usia Produktif”, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2014/12/10/15491241/BNN.70.Persen.Pengguna .Narkoba.adalah.Pekerja.Usia.Produktif. , pada tanggal 30 Maret 2015 pukul 11.30 WIB). Jika kita amati lagi, memang tidak terdapat data yang pasti mengenai besaran penyalahguna narkoba di Indonesia, data yang ada selama ini hanya berdasarkan pada perkiraan dan estimasi. Hal ini disebabkan oleh (1) sebagian besar penyalah guna tidak muncul ke permukaan, karena stigma yang ada di masyarakat, takut dilaporkan, dan berbagai sebab lainnya, (2) belum ada sistem pelaporan yang baku (pelaporan yang sifatnya baku hanya ada di Rumah Sakit) dan (3) penyalah guna yang datang ke pusat-pusat pengobatan dan rehabilitasi hanya sebagian kecil. (4) penyebaran penyalah guna tidak merata, diduga urban – biased, sehingga sulit untuk membuat sampling, (5) Community – based survey sangat sulit dilakukan, tetapi beberapa LSM sudah melakukan survei sejenis (Depkes, 2014). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penyalah guna narkoba semakin tahun semakin meningkat, seperti yang digambarkan pada diagram berikut ini. Grafik 1. Jumlah Kasus Narkoba Menurut Penggolongan Tahun 2008 - 2012 Pada tahun 2012 dapat kita lihat jumlah kasus narkoba mengalami penurunan pada kategori narkotika dan bahan adiktif lainnya, sementara itu pada 6 kategori psikotropika mengalami peningkatan. Meski demikian, dengan melihat hasil tersebut tidak dapat dikatakan bahwa penyalahgunaan narkoba mengalami trend menurun, terbukti dengan masih tingginya presentase penyalahgunaan terhadap narkotika, psikotropika, maupun zat adiktif lainnya. Kasus narkoba merupakan kejahatan yang bersifat lintas negara, kejahatan terorganisasi, dan kejahatan serius yang dapat menimpa dan mengancam suatu negara. Namun sangat disayangkan, Indonesia termasuk negara yang terlambat dalam mengatasi kasus narkoba, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus-menerus memerangi bahaya narkoba. Indonesia baru menyadari bahaya akan narkoba pada pertengahan tahun 1997, permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional yang kemudian membuat pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya. Berdasarkan pada fakta tersebut kemudian pemerintah merasa perlu untuk bertanggungjawab terhadap kelangsungan generasi muda negara ini melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyelamatan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika, pada Pasal 54 disebutkan bahwa “korban penyalah guna dan pecandu narkotika wajib direhabilitasi”, sedangkan bagi pengedar tetap diberlakukan hukum pidana berat. Kewajiban rehabilitasi tersebut kemudian diwujudkan dengan berbagai pusat rehabilitasi narkoba yang berada di bawah Dinas Sosial Provinsi, seperti Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta yang terletak di Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Di panti sosial ini, para residen belajar berbagai hal, dimulai dari pemberhentian penggunaan narkotika hingga hal yang terpenting adalah pembelajaran untuk mengembalikan fungsi sosialnya di lingkungan masyarakat. Jumlah pekerja sosial yang bertugas di panti sosial ini hanya berjumlah 5 orang, dan harus menangani residen yang saat ini (April - Juli 2015) berjumlah 20 orang. Namun keberadaan panti sosial sebagai pusat rehabilitasi pecandu narkoba yang dikelola Dinas Sosial Provinsi tersebut, ternyata masih dirasa belum 7 mencukupi. Pusat rehabilitasi yang tersedia di Indonesia hanya mampu merehabilitasi 18.000 orang per tahun, termasuk tempat rehabilitasi yang dimiliki oleh BNN sebanyak 4 tempat rehabilitasi dengan kapasitas 1.300 orang (Ida, 2014:18). Kementerian Sosial telah menyiapkan tempat rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkoba, antara lain: sebanyak lima unit pelaksana teknis dan dua Panti Rehabilitasi Sosial Parmadi Putra Insyaf di Medan dan Panti Sosial Parmadi Putra Galih Pakuan di Bogor, serta sebanyak 49 institusi yakni pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang ditunjuk pemerintah (harian online Tempo.co, Minggu 25 Januari 2015). Keikutsertaan Kementerian Sosial dalam menanggulangi penyalahgunaan narkoba tersebut merupakan bentuk dukungan dan kerjasama antardepartemen dalam mewujudkan tercapainya visi “Indonesia Bebas Narkoba Tahun 2015”. Kondisi tersebut mendorong pula berbagai lembaga, maupun pranata sosial yang ada di masyarakat untuk melakukan tindakan nyata dalam penanggulangan, pencegahan, maupun rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba. Secara empirik, keberadaan program pelayanan sosial tersebut cukup membantu dalam upaya rehabilitasi sosial maupun medis korban penyalahgunaan narkoba, namun sejauh ini proses rehabilitasi yang dilakukan dalam upaya rehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba tersebut ditengarai berbeda antara satu dengan lainnnya, terlebih antara panti milik pemerintah dengan lembaga swadaya yang dikelola oleh masyarakat. Oleh karena itu perlu diketahui sejauh mana proses pembinaan residen (pecandu narkoba) di Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta dalam mengembalikan fungsi sosial residen di masyarakat, sebagai salah satu panti sosial milik pemerintah. Selain itu, dalam hal ini perlu dilihat kembali pengertian proses yang dimaksud dalam rehabilitasi yang dilakukan di Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta tersebut. 8 1.3 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan utama penelitian ini, yaitu : “Bagaimana proses rehabilitasi residen (pecandu narkoba) yang dilakukan oleh Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta dalam membantu mengembalikan fungsi sosial residen di masyarakat?”. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: Mengetahui proses serta peran rehabilitasi yang dilakukan Panti Sosial Pamardi Putra Yogyakarta secara keseluruhan dalam mengembalikan fungsi sosial residen hingga kembali ke masyarakat. Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: a. Bagi peneliti, penelitian ini memiliki manfaat sebagai sarana aplikasi atas ilmu mengenai Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang selama ini diperoleh. b. Memberi kontribusi keilmuan kepada Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. c. Bagi stakeholders, penelitian ini bermanfaat sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam merancang program rehabilitasi serta kegiatan yang lebih intens dalam melibatkan residen. 1.5 Tinjauan Pustaka Narkoba telah menjadi musuh bagi setiap negara dan harus diperangi bersama-sama. Pengaruh buruk dari narkoba dapat mempengaruhi setiap penyalahgunanya, tidak hanya bagi generasi muda namun bagi siapa saja. Di masa modern seperti sekarang ini, peredaran narkoba tidak hanya tampak secara fisik, namun bisa melalui jaringan internet yang mampu menjangkau belahan dunia manapun. Bisnis narkoba pun kini semakin berkembang, bahkan melibatkan berbagai kalangan karena omzet yang tidak sedikit. Pada pemaparan berikut ini akan dijelaskan secara lebih rinci perihal narkoba dan penyalahgunaannya, hingga pada sub bab pengaruhnya terhadap penyalahguna narkoba itu sendiri. 9 1.5.1 Penyalahgunaan Narkoba sebagai Penyimpangan Sosial a. Narkoba Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan Obat-obatan Terlarang atau Narkotik, Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA). Di dalam pasal 1 UndangUndang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan, “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” Menurut BNN, narkoba adalah bahan atau zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan atau psikologi seseorang (pikiran, perasaan dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Di Indonesia penyalahgunaan terhadap narkoba masuk ke dalam kategori hukum pidana. Pelanggaran hukum yang dimaksud adalah penyalahgunaan dalam penggunaan narkoba dan pemakain obat-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Pelanggaran terhadap hukum tersebut akan diancam pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa pada mulanya penggunaan candu telah ada sejak zaman dulu, namun efeknya tidak seperti yang ditimbulkan seperti sekarang. Perkembangan zaman telah membawa candu pada komoditas ekonomi yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Candu diolah sedemikian rupa menjadi bentuk-bentuk baru yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya, yang saat ini menjadi narkoba. Pemakaian obat-obatan yang tidak sesuai tersebut pada akhirnya menjadikannya sebagai penyalahgunaan narkoba. Penyalahgunaan narkoba merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan menyangkut berbagai aspek. Banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari penyalahgunaan narkoba seperti kecanduan, merusak sistem syaraf, hingga kematian. Meskipun pada dasarnya beberapa zat tertentu akan bermanfaat bagi 10 kesehatan, namun jika disalahgunakan akan merugikan bagi pengguna atau orang di sekitarnya, bahkan lingkungan masyarakat umum. b. Penyalahguna dan Penyalahgunaan Narkoba Menurut Widjono, dkk. (1981), penyalahgunaan obat sebagai pemakaian obat secara terus-menerus, atau sesekali tetapi berlebihan, dan tidak menurut petunjuk dokter atau praktek kedokteran. Pengertian tersebut selaras dengan rumusan WHO yang mendefinisikan penyalahgunaan zat sebagai pemakaian zat yang berlebihan secara terus-menerus, atau berkala, di luar maksud medik atau pengobatan. Orang-orang yang telah sengaja menyalahgunakan obat-obatan terlarang tersebut di dalam masyarakat biasa disebut sebagai penyalahguna narkoba. Namun perlu dibedakan antara pengertian penyalahguna narkoba dengan residen. Meski sama-sama menyandang status sebagai penyalahguna narkoba, namun seorang residen berbeda dengan penyalahguna narkoba pada umumnya. Seorang residen adalah penyalahguna narkoba yang dengan sadar diri, mendapat dorongan dari keluarga, atau tertangkap pihak yang berwajib sehingga harus menjalani rehabilitasi di panti sosial, baik milik pemerintah maupun milik pranata sosial yang ada di masyarakat. Sementara itu menurut Hawari (dalam Afiatin, 2008: 14) mengelompokkan penyalahguna narkoba ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: 1. Kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas, dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang dialami tanpa berkonsultasi kepada dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat ketergantungan. 2. Kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadian anti sosial (psikopatik). Mereka menggunakan narkoba tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga “menularkannya” kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lain dapat “terjebak”. 3. Kelompok ketergantungan reaktif, kelompok ini terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok teman sebaya. 11 Pengelompokan tersebut sering menjadi pedoman di dalam melakukan analisis terhadap penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Di Indonesia sendiri jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi pada beberapa tahun ini adalah shabu. Hal tersebut diakibatkan adanya pasokan tambahan dari kartel jaringan narkoba Cina, Malaysia, dan Nigeria. Memang pada tahun-tahun sebelumnya jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi adalah ganja, kemudian heroin dan ekstasi, namun beberapa tahun ini terjadi pergeseran penggunaan narkoba (Bambang Karsono, “Penyalahgunaan Narkoba vs Keamanan Nasional Indonesia”, diakses dari http://granat.or.id/news/view/penyalahgunaan-narkobavs-keamanan-nasional-indonesia , pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21.39 WIB). Perilaku penyalahgunaan narkoba pada umumnya berawal dari rasa keingintahuan dan mencoba karena pengaruh teman sebaya. Pola tersebut sangat banyak terjadi di kalangan anak jalanan yang seringkali hidup secara komunal dan bebas. Pengaruh dari lingkungan jalanan dimana mereka tinggal membuat mereka menjadi terbiasa dengan penyalahgunaan narkoba ataupun obat-obatan terlarang. Atas nama solidaritas dan kekeluargaan mereka sangat mungkin mengkonsumsi narkoba maupun ketergantungan. obat-obatan Sehingga di terlarang Indonesia tersebut sendiri hingga menimbulkan dominasi kelompok ketergantungan reaktif cukup banyak di kalangan penyalah guna narkoba. c. Penyimpangan oleh pecandu narkoba Akibat dari efek penggunaan obat-obatan terlarang, penyalahguna narkoba tersebut sering kali tidak mampu menjalani kehidupan bermasyarakat sesuai dengan aturan yang berlaku di masyarakat. Padahal pada dasarnya di dalam kehidupan, manusia hidup dalam suatu aturan yang telah disepakati bersama. Aturan-aturan tersebut biasa disebut sebagai norma sosial. Norma sosial menurut Soerjono Soekanto (1989) sebagai aturan yang berlaku di dalam masyarakat yang disertai dengan sanksi bagi individu atau kelompok bila melanggar aturan tersebut. Sanksi bisa berupa teguran, denda, pengucilan, atau hukuman fisik. Dalam praktek kehidupan sehari-hari norma digunakan untuk mengukur apakah suatu tindakan dianggap wajar dan dapat diterima oleh masyarakat atau justru dianggap menyimpang. Sebagai salah satu contoh perilaku yang dianggap 12 menyimpang oleh masyarakat adalah pelaku penyalahgunaan narkoba. Menurut James vander Zanden (dalam Sunarto, 1993: 74) penyimpangan merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan di luar batas toleransi. Sama halnya dengan penyalahgunaan narkoba, meski tidak semua orang mengganggap sebagai perilaku menyimpang, namun sebagian besar masyarakat menganggap penyalahgunaan narkoba sebagai perilaku yang tercela yang dapat memberikan efek buruk terhadap lingkungan sosial dan tidak dapat ditoleransi. Menurut Merton (dalam Poloma, 2000), di antara segenap unsur-unsur sosial dan budaya, terdapat dua unsur yang terpenting yaitu kerangka aspirasiaspirasi dan unsur-unsur yang mengatur kegiatan-kegiatan untuk mencapai aspirasi-aspirasi tersebut. Dengan kata lain, terdapat nilai-nilai sosial-budaya yang merupakan bagian dari pemikiran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, serta terdapat aturan serta pola yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia untuk mencapai apa yang diharapkan tersebut. Nilainilai sosial-budaya tersebutlah yang berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perikelakuan manusia di dalam hidupnya. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara nilai-nilai sosial-budaya dengan kaedah-kaedah atau apabila tak ada keselarasan antara aspirasi-aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah kelakuan-kelakuan yang menyimpang atau deviant behavior (Soekanto, 1970 : 86). Pelaku penyimpangan sosial seperti pecandu narkoba, memiliki perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai sosial-budaya yang ada di masyarakat Indonesia pada umumnya. Seperti mabuk-mabukan yang bukan merupakan bagian dari nilai-nilai sosial-budaya yang positif. Mereka yang telah menggunakan narkoba akan berada di alam bawah sadar, sehingga akan memiliki keberanian untuk melakukan tindakan apapun termasuk kriminalitas. Tindakan yang dilakukan oleh para pengguna narkoba tersebut tidak dapat dikendalikan dan cenderung merugikan masyarakat, sehingga secara pelan namun pasti pada akhirnya penyimpangan tersebut telah menghilangkan fungsi sosial seseorang di masyarakat karena timbulnya penolakan di masyarakat atas tindakan tersebut. 13 1.5.2 Rehabilitasi Penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu bentuk penyimpangan sosial yang tidak dapat diterima di masyarakat. Selain melanggar hukum, penyalahgunaan narkotika juga akan mempengaruhi pola hidup individu yang bersangkutan, maupun lingkungan tempat tinggalnya. Individu yang telah dipengaruhi oleh narkotika, tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri sehingga bila dibiarkan terlalu lama fungsi sosial yang dimiliki oleh individu tersebut akan berkurang, bahkan hilang. Selain karena pecandu narkoba sering dianggap merugikan masyarakat dan lingkungan, beberapa hal yang menjadi pertimbangan seorang pecandu harus direhabilitasi adalah: - Seseorang yang telah mengalami ketergantungan terhadap narkoba seringkali mereka tidak mampu untuk menolong diri sendiri. Biasanya keinginan untuk pulih tersebut ada, namun pengaruh kecanduan atau ketergantungan terhadap narkoba tersebut lebih besar daripada keinginan untuk pulih. Mereka yang belum pernah menjalani rehabilitasi secara komprehensif sering mengalami pasang surut yang menjemukan; berhenti, pakai lagi, berhenti, pakai lagi, berhenti, pakai lagi, begitu seterusnya dan akan terus berulang. Pada akhirnya mereka akan merasa putus asa dan merasa tidak sanggup untuk mengatasinya. - Sering kali keinginan untuk bangkit tersebut datang terlambat sehingga pecandu sudah jatuh terlalu dalam dan lekat dengan masalah sosial. Penyalahguna narkoba bukan lagi menjadi masalah individu maupun keluarga namun jauh lebih kompleks. Ketika telah melampaui batas penyalahgunaan narkoba bisa sampai pada penyimpangan lainnya yang lebih besar, seperti perdagangan gelap, kekerasan, perampokan, dan pelanggaran hukum lainnya. Oleh karenanya perlu adanya tindakan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika yaitu rehabilitasi atau perawatan dan pemulihan terhadap korban penyalahgunaan narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Menurut Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu: 14 a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. b. Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Secara umum kegiatan rehabilitasi tidak terlepas dari terapi, kegiatan terapi dan rehabilitasi ini merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan kepada residen untuk melepaskannya dari ketergantungan narkotika. Berikut ini merupakan beberapa prinsip dalam terapi dan rehabilitasi yang dikemukakan oleh Suwandi dan Harsono (dikutip dari Nugroho, 2010 : 71): 1. Dimungkinkan seorang pecandu pulih dari ketergantungan narkoba 2. Program terapi harus memperhatikan berbagai ragam kebutuhan klien agar pulih (fisik, psikologis, spiritual, pendidikan, vokasional, dan hukum) 3. Waktu terapi yang cukup sangat penting, dengan konseling individu dan kelompok sebagai bagian yang tak terpisahkan dari terapi 4. Keterlibatan keluarga, masyarakat setempat, tempat kerja, dan kelompok pendukung akan membantu proses pemulihan pecandu 5. Klien perlu senantiasa dipantau kebutuhan, masalah dan kemajuannya 6. Pecandu dengan gangguan kesehatan fisik dan gangguan kesehatan jiwa yang telah ada sebelumnya, perlu diterapi secara bersamaan 7. Pemulihan bersifat jangka panjang dan relapse selalu mungkin terjadi 8. Tim yang menolong pecandu (tenaga medis, konselor, pecandu yang pulih, yang dipilih dan terlatih) perlu menjalin hubungan dengan klien secara professional, dipercaya dan penuh perhatian serta mampu menjaga kerahasiaan. Pada dasarnya ketika seorang pecandu memasuki rehabilitasi mereka akan merasa sendirian dan ditinggalkan sehingga peran dari keluarga dan lingkungan menjadi sangat penting. Pada permulaan seseorang diketahui menggunakan narkoba, orang tualah ataupun keluarga yang sering merasa kecewa, marah, dan tidak dapat menerima. Hal tersebut jangan sampai membuat kondisi semakin memburuk, para pecandu tersebut sudah mengalami masa sulit sehingga tidak perlu menambah kesulitan lagi. Ketika hal tersebut terjadi segeralah meminta 15 bantuan pihak ketiga, supaya pecandu dapat segera tertangani untuk dapat direhabilitasi. Tim Visi Media dalam bukunya Rehabilitasi bagi Korban Narkoba (2006), menyebutkan bahwa seorang pecandu yang telah memasuki rehabilitasi akan memasuki beberapa tahapan, yaitu tahap transisi, tahap rehabilitasi intensif, dan tahap rekonsiliasi. Tahap transisi merupakan tahap dimana seorang pecandu akan dianalisis oleh tim rehabilitasi yang ada. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui model rehabilitasi yang sesuai dengan pecandu. Pada tahap selanjutnya yaitu rehabilitasi intensif, merupakan tahap yang harus dilalui oleh seorang pecandu yang melibatkan diri sendiri. Menurut Lambertus Somar, pada tahap ini terdapat tiga titik yang harus dilewati oleh pecandu, yaitu tahap stabilisasi pribadi: 1) Secara sadar dan tekun melepaskan diri dari pelbagai penyakit dan akibatakibat lainnya (no to drugs). Tahap ini merupakan tahap stabilisasi awal atau tahap konsolidasi. Para pecandu didorong untuk lepas dari efek penggunaan obat-obatan terlarang yang kerap mereka konsumsi. Pada tahap ini, pecandu dibina, dibimbing, serta didampingi untuk secara perlahan-lahan terlepas dari pengaruh narkoba serta kebiasaan buruk yang mereka sering lakukan. 2) Menemukan jati diri, menguasai kiat-kiat dan keterampilan-keterampilan untuk menyehatkan serta mengisi hidup secara lebih bermakna dan bermutu. Latihan keterampilan vokasional (kerja) dan pengembangan diri mulai dibina, sehingga disebut juga sebagai tahap pengakuan diri (personal appraisal). Ini merupakan tahap stabilisasi menengah (madya). Para pecandu yang telah mampu mengendalikan diri dan telah melalui tahap konsolidasi, akan sangat baik bila mereka memiliki kemampuan atau keterampilan kerja yang nantinya akan berguna ketika mereka sudah keluar dari rehabilitasi dan memiliki modal untuk kembali ke masyarakat. 3) Dengan inisiatif pribadi, orang secara sadar mulai berpikir dan bertindak untuk mencapai prestasi-prestasi tertentu, sehingga disebut juga tahap positive thinking and doing. Tahap ini merupakan tahap stabilisasi akhir. Tahapan terakhir dari keseluruhan rangkaian tahapan adalah tahap rekonsiliasi, pada tahap ini para pecandu akan ditampung dan tidak langsung 16 berinteraksi dengan masyarakat. Sebelum mereka dikembalikan ke masyarakat, mereka akan melalui beberapa rangkaian rehabilitasi seperti; pembinaan mental yang bertujuan untuk menguatkan mental residen ketika mereka kembali menghadapi masyarakat atau kehidupan sosial normal pada umumnya. Mental mereka dikuatkan agar tidak kembali pada ingatan ketika mereka dikucilkan dan dihindari di masyarakat. Penguatan nilai-nilai spiritual, keimanan, serta ketaqwaan kembali ditanamkan kepada residen. Hal ini bertujuan untuk mendekatkan kembali jiwa dan raga residen kepada Tuhan yang ketika masa menggunakan narkoba, mereka meninggalkan Tuhan, dan menghamba pada narkoba. Nilai-nilai spiritual akan membantu residen untuk kembali mengingat bahwa apa yang mereka lakukan di masa lalu merupakan kesalahan besar, dan telah merusak jiwa dan raga mereka. Iman dan taqwa residen yang meningkat akan membuat mereka semakin yakin bahwa tujuan hidup mereka nantinya adalah kembali kepada Sang Pencipta. 1.5.3 Keberfungsian Sosial Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia hidup di dalam lingkungan sosial yang disebut sebagai masyarakat. Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari keberadaan manusia lainnya. Di dalam sebuah masyarakat, mereka hidup dan membentuk konsensus yang akan ditaati bersama-sama. Setiap individu yang tinggal dan hidup di dalamnya dalam membentuk konsensus tersebut memiliki perannya masing-masing di dalam masyarakat. Individu tersebut harus mematuhi konsensus tersebut sesuai dengan perannya agar fungsi di dalam masyarakat dapat berjalan, inilah yang kemudian sering disebut sebagai keberfungsian sosial atau fungsi sosial. Baker, Dubois dan Miley (1992:14) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya, serta dalam memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Sejalan dengan pernyataan tersebut Edi Suharto menyampaikan bahwa keberfungsian sosial mengacu pada cara yang dilakukan individu-individu atau kelompok dalam melaksanakan tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhannya. Konsep ini pada intinya menunjuk pada “kapabilitas” (capabilities) individu, 17 keluarga atau masyarakat dalam menjalankan peran-peran sosial di lingkungannya. Menurut pemaparan Zastrow dikutip dari T.Sumarnonugroho (1987:20) bahwa manusia senantiasa hidup dalam berbagai sistem, seperti sistem keluarga, pelayanan sosial, politik, pekerjaan, keagamaan, ekonomi, pendidikan, dan lainlain. Interaksi orang dengan sistem-sistem tersebut mempengaruhi tingkat keberfungsian sosial mereka. Dalam hal ini interaksi yang kondusif akan menyebabkan orang mampu memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas, dan mencapai tujuan hidup. Namun sebaliknya, jika interaksinya kurang baik akan menyebabkan orang tersebut mengalami masalah. Konsep keberfungsian sosial ini mencakup empat tingkatan, yakni tingkatan individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat. Pada kasus penyalahgunaan narkoba masalah interaksi terdapat pada individu yang bersangkutan, maka karakteristik keberfungsian sosialnya akan berkisar pada masalah: a. Kemampuan dalam melaksanakan peranan sosial dalam kehidupan. Seseorang yang telah dipengaruhi oleh narkoba akan sulit mengembalikan diri ke dalam masyarakat untuk menjalankan peranan sosial yang dimilikinya. Kondisi fisik maupun mental yang tidak stabil akan membuat seorang pecandu semakin lama akan tersingkir di masyarakat, dan kehilangan peranan sosial yang telah dijalankan sejak lahir. Jika kondisi tersebut tidak diperbaiki, maka seorang pecandu tidak lebih akan dianggap sebagai masalah sosial. b. Kemampuan menjalin relasi positif dengan orang lain. Efek dari narkoba tersebut sangatlah besar terhadap kondisi seseorang. Ketika seorang pecandu telah terpengaruh oleh narkoba, dia tidak akan mampu mengontrol diri sendiri sehingga tindakan yang dilakukan sering di luar batas kewajaran dan norma sosial, seperti kriminalitas. Atas dasar hal tersebut, seorang pecandu akan sangat sulit untuk menjalin hubungan positif dengan lingkungan tempat dia tinggal, bahkan masyarakat cenderung tidak ingin menjalin relasi dengan para pecandu. c. Kemampuan dalam menghargai diri sendiri. 18 Narkoba terkenal memiliki efek yang sangat buruk terhadap diri seseorang, baik mempengaruhi fisik maupun perilaku. Seorang pecandu akan merasa sangat tergantung pada narkoba dan menghalalkan segala cara untuk dapat memenuhi keinginannya akan narkoba. Ketika masa-masa tersebut berlangsung, seorang pecandu akan mengabaikan kepentingan-kepentingan lain, termasuk kepentingan diri sendiri, seperti hak atas tubuh yang sehat jasmani dan rohani. Bila kita pahami kembali, kemampuan dalam menghargai diri sendiri yang dimiliki pecandu narkoba sangat kecil, bahkan tidak ada sama sekali karena mengabaikan segala urusan kepentingan diri sendiri. 19