Catatan Singkat Atas RUU Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Pada tahun 2006, pemerintah menerbitkan Perpres No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum kemudian secara berturut – turut pemerintah menerbitkan PP PP No.65 Tahun 2006. Kondisi ini turut dipengaruhi oleh pertemuan lintas pengusaha dan pemerintah di awal pemerintahan SBY-Boediono. Dalam pertemuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu kendala pembangunan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi lamban adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek, khususnya proyek infrastruktur. Menurut pengusaha bahwa masalah utama pengadaan tanah adalah: sulitnya melaksanakan UU No.20/1961 tentag pencabutan hak atas tanah; penetapan ganti rugi berdasarkan musyawarah dan pemerintah tidak dapat mengendalikan resiko waktu serta biaya pengadaan tanah. Dengan demikian, sulit untuk tidak mengatakan bahwa yang sangat berkepentingan terhadap RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini adalah para pengusaha, terutama para pengusaha infrastruktur. Mengapa pemerintah ngotot untuk mendorong lahirnya RUU ini? Bukan hanya karena desakan dari para pengusaha, tetapi pemerintah memandang penting melibatkan swasta, mengajak dunia usaha untuk bekerjasama dalam pembangunan. Kerja sama pemerintah dengan swasta (publicprivate partnership) adalah pengalaman negara-negara di Eropa yang hendak dijalankan di Indonesia karena dianggap berhasil. Upaya ini dilakukan melalui mekanisme kerja sama pemerintah swasta atau peran swasta secara penuh dengan waktu konsesi yang terukur demi terselenggaranya pembangunan. Berangkat dari situasi tersebut, Pemerintah kembali menerbitkan kebijakan yang terkait dengan tanah dan kepentingan umum yaitu Rancangan Undang – Undang tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTUP). A. Sistematika RUU PTUP Statusnya masih Rancangan Undang – Undang sehingga belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat Judulnya ; Rancangan Undang – Undang Tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTUP) Susunannya ; BAB I II III IV V TENTANG Ketentuan Umum Asas dan Tujuan Pengadaan Tanah Pokok – Pokok Pengadaan Tanah Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan PASAL 1 2 dan 3 4 – 12 13 – 53 54 – 58 1 VI VII VIII IX X XI Usaha Swasta Sumber Dana PengadaanTanah Pembinaan dan Pengawasan Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat Ketentuan Lain – Lain Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup 59 – 61 62 63 – 65 66 – 68 69 70 - 73 B. Catatan Penting Atas RUU PTUP Pertama, RUU PTUP tidak menjelaskan pengertian dan kriteria tentang kepentingan umum. Pengertian dan kriteria ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan dan kesewenangan negara dan swasta mengambil tanah masyarakat atas nama kepentingan umum. Pasal 13 hanya menyebutkan obyek kepentingan umum tanpa menjelaskan pengertian dan kriteria dari kepentingan umum. Kedua; RUU PTUP membuka ruang bagi swasta untuk turut mengambil tanaha rakyat atas nama kepentingan umum. Sebagaimana diatur dalam pasal 11 dan 12. Swasta diberikan ruang dan peran yang sangat besar mengingat secara perorangan maupun badan hukum dapat melakukan pelepasan tanah masyarakat yang terkena proyek atas nama pembangunan. (Pasal 54 dan Pasal 55) Ketiga, RUU PTUP semakin memberkuat posisi negara untuk mengambil tanah masyarakat demi kepentingan umum dan sebaliknya memperlemah posisis tawar masyarakat atas nama kepentingan umum. (Pasal 14) Pemberian legitimasi kepada swasta dan penguatan legitimasi bagi negara dalam RUU ini akan memicu penggusuran tanah atas nama kepentingan umum dan pada akhirnya akan meningkatkan angka kekerasan dan pelanggaran HAM serta rentan penyalahgunaan kepentingan. Konflik berlatar belakang agraria dan Sumber Daya Alam akan semakin meningkat, khususnya menimpa masyarakat adat mengingat sejauh ini pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap masyarakat adat. Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 6 dan 9. Keempat, Memposisikan negara dan swasta sebagai subyek yang berwenang mengambil dan mengelola tanah untuk kepentingan umum akan membuka ruang korupsi dan penyalahgunaan jabatan. (Pasal 15) Kelima, RUU ini memberikan kewenangan secara subyektif kepada negara untuk menentukan kerugian bagi masyarakat yang tanahnya terkena proyek kepentingan umum. (Pasal 35 – 40) RUU ini tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan pembelaan baik melalui jalur hukum maupun non hukum untuk mempertahankan hak kepemilikan atas tanah dan budaya yang telah tumbuh berkembang bersama sebelum terkena proyek tersebut. 2 RUU hanya mengatur dan menyediakan mekanisme pembelaan spesifik terkait ganti rugi bukan hak untuk mempertahankan hak milik berupa musyawarah penetapan ganti rugi (Pasal 41) dan dapat mengajukan keberatan hanya terkait pada ganti rugi (Pasal 42). Pada bagian ini akan menjadi pintu masuk bagi proyek penggusuran, pengusiran paksa dan melegalkan dampak yang akan timbuk yaitu kekerasan dan pelanggaran HAM. Keenam; RUU ini mengandung unsur pemaksaan yang sangat subyektif karena tidak memberikan pilihan dan ruang bagi masyarakat jika ingin mempertahankan hak, atau jika terjadi kebuntuan dalam musyawarah maka masyarkat dipaksa menyerahkan tanah dan bangunannya kepada negara atau swasta selaku pelaksana proyek kepentingan umum. (Pasal 43, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 64) Ketujuh; Dengan serta merta hak dan status hukum kepemilikan tanah oleh masyarakat akan hilang ketika negara atau swasta telah menetapkan lokasi proyek karena pelaksana proyek dapat menjalankan proyeknya meski terjadi keberatan dan gugatan hukum. (Pasal 50 dan 51) C. Yang Bisa Dilakukan Masyarakat 1. Merumuskan kepentingan dan keinginannya terkait dengan pertanahan 2. Memberikan tekanan, perhatian dan masukan bagi pemerintah dan Pansus DPR RI untuk RUU PTUP agar membatalkan RUU ini karena akan melegalkan penggusuran secara sewenang – wenang, meningkatkan angka kekerasan dan pelanggaran HAM. 3. Mensosialisasikan dan menyadarkan masyarakat luas terkait potensi ancaman yang akan dihadirkan oleh RUU ini. 4. Menggalang konsolidasi dan penguatan organisasi rakyat untuk meningkatkan posisi tawar dimata negara dan pihak – pihak lain yang berkepentingan. 5. Menolak segala bentuk kekerasan dan kriminalisasi terkait konflik pertanahan dan Sumber Daya Alam 3