SDGs - Rutgers WPF Indonesia

advertisement
Kertas Kajian
SRHR dan AGENDA 2030
Memposisikan SRHR
di seluruh bidang
pembangunan
berkelanjutan
1
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
2
Jl Pejaten Barat Raya 17B
Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta Selatan, 12510 Indonesia
e. [email protected]
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
rutgerswpfindo.org
Kertas kajian
SRHR dan AGENDA 2030
2015
Rutgers WPF Indonesia
Tim Penyusun
Penulis
Ririn Hapsari Eko Prapti
Editor
Danielle Johanna
Rinaldi Ridwan
Supervisi
Monique Soesman
Nurul Agustina
Siska Dewi Noya
Layout : madebyactiv.com
Foto cover : Jeroen van Loon
Cetakan pertama, Desember 2015
Materi ini dapat diperbanyak, direproduksi, dan disimpan
dalam format digital tanpa tujuan profit. Setiap kutipan
terhadap materi ini harus mencantumkan Rutgers WPF
Indonesia sebagai referensi.
Daftar isi
3
Daftar isi
Glossary5
Kata Pengantar7
1.
Pendahuluan9
1.1 Latar Belakang9
1.2 Siapa saja yang perlu membaca kertas kerja ini?
10
1.3 Apa saja yang tercakup dalam kertas kerja ini?
10
2. Sustainable Development Goals11
2.1 Pengertian SDGs11
2.2 Tujuan, SDGs dan MoI AGENDA 2030
12
2.3 Perbedaan MDGs dengan AGENDA 2030
14
3. Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Sexual and Reproductive
Health and Rights) (SRHR)17
3.1
Pengertian SRHR17
4.
SRHR dan Tujuan AGENDA 203021
4.1
SRHR dan Kemiskinan21
4.3
SRHR dan Kesehatan32
4.4
SRHR dan Pendidikan46
4.5
SRHR dan Kesetaraan Gender57
4.6
Air62
4.7
Infrastruktur62
4.8
Perubahan Iklim63
5. Tantangan AGENDA 203067
6.
Penutup69
7.
Daftar Referensi70
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
4.2
SRHR dan Ketahanan Pangan25
DAFTAR GAMBAR
4
(TABEL DAN GRAFIK)
Gambar 1 : Proses penyusunan agenda pembangunan AGENDA 2030
10
Tabel 1
: 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan11
Tabel 2
: 4 Komponen dari Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
15
Tabel 3
: Tujuan ke-1, dan target 1.1 dari SDGs
19
Tabel 4
: Target 1.2 dari SDGs20
Tabel 5
: Data Kemiskinan dari BPS (per. September 2014)
21
Gambar 2 : Skema tentang Kemiskinan yang dikaitkan dengan pendidikan,
Tabel 6
Pangan, kesehatan dengan menggunakan perspektif gender
21
: Target 5.1 s/d 5.3 dari SDGs
22
Tabel 7
: Tujuan ke-2 SDGs23
Tabel 8
: Target 2.2 SDGs26
Tabel 9
: Target 2.2 SDGs27
Tabel 10 : Target 2.3 SDGs28
Tabel 11
: Target 2.1 SDGs29
Tabel 12
: Tujuan ke-3 SDGs30
Tabel 13 : Target 3.1 s/d 3.2 dari SDGs
31
Tabel 14
: AKB, AKA, dan AKI31
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Tabel 15 : Jenis dari alat-alat kontrasepsi yang disediakan oleh negara
36
Tabel 16
: Target 3.7 SDGs38
Tabel 17
: Target 3.3 SDGs39
Grafik 1
: Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di wilayah Papua tanpa Intervensi
Sesudah tahun 2013-203040
Grafik 2
: Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di wilayah Non Papua tanpa
Intervensi sesudah tahun 2013-2030
40
Tabel 18
: Tujuan ke-4 SDGs45
Tabel 19
: Tujuan ke-4 SDGs46
Tabel 20
: Tujuan ke-4 SDGs46
Tabel 21
: Target 147
Tabel 22 : Peta Lokasi Kejadian dan Bentuk Kekerasan di Sekolah
48
Grafik 3
: Angka Partisipasi Sekolah berdasarkan Kelompok Umur (tahun 2013)
52
Grafik 4
: Angka Partisipasi Murni menurut Jenjang Pendidikan tahun 2013
52
Tabel 23
: Target ke-2 SDGs58
Tabel 24
: Target ke-6 SDGs59
Tabel 25
: Target ke-1, ke-2, ke-660
Glossary
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
ABK
: Anak Berkebutuhan Khusus
AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome
AKI
: Angka Kematian Ibu
APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APM : Angka Partisipasi Murni
APS
: Angka Partisipasi Sekolah
ARV
: Antiretroviral
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BPS
: Badan Pusat Statistik
FAO
: Food and Agriculture Organization
GDP : Gross Domestic Product
HAM : Hak Asasi Manusia
HIV
: Human Immunodeficiency Virus
ICPD : International Conference on Population and Development
IMF
: International Monetery Fund
INFID : International NGO Forum on Indonesian Development
IPPF : International Planned Parenthood Federation
KB
: Keluarga Berencana
KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia
KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
LSL
: Lelaki Seks Lelaki
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs : Millenium Development Goals
MNC : Multi National Corporation
MoI
: Means of Implementation
MUI
: Majelis Ulama Indonesia
ODHA : Orang dengan HIV dan AIDS
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RUU
: Rancangan Undang-Undang
SDKI : Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
SRHR : Sexual and Reproductive Health and Rights
TPP
: Trans Pacific Partnership
TRIPs : Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
UU
: Undang-Undang
WHO : World Health Organization
WTO : World Trade Organization
5
6
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Kata Pengantar
7
Dunia semakin berubah. Ke arah yang jauh lebih baik. Setelah perang dunia kedua
yang meluluhlantakkan berbagai Negara, berbagai upaya untuk terus memelihara
perdamaian terus berlanjut hingga sekarang. Belum pernah dalam sejarah umat
manusia, kondisi perdamaian global bisa terpelihara hingga sekarang. PBB sebagai
organisasi yang menjadi fasilitator antara Negara patut mendapat apreasiasi.
Di tahun 2015, MDGs berakhir. Banyak target yang terpenuhi dan banyak juga
yang masih jauh dari target. Dunia pun berubah. MDGs dari yang awalnya berisi 8
tujuan dirasakan perlu disesuaikan dengan kondisi dunia terkini. Berbagai aktor
pembangunan internasional pun merumuskan pengganti MDGs sehingga terbentuk
skema pembangunan multilateral terbaru yakni yang dikenal sebagai Sustainable
Development Goals/SDGs . Agenda SDGs atau disebut juga dengan AGENDA 2030
akan menjadi kerangka kerja pembangunan global baru dalam melaksanakan
pembangunan berkelanjutan.
AGENDA 2030 merupakan agenda universal yang didorong oleh 5 (lima) pergeseran
transformasi besar sebagaimana yang disebutkan dalam Laporan Panel Tinggi Pasca
2015, yaitu:
a. Tidak meninggalkan siapapun (‘Leave No One Behind’);
b. Menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti;
c. Mentransformasikan ekonomi untuk lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif;
d. Membangun perdamaian dan kelembagaan yang efektif, terbuka dan akuntabel;
e. Membangun sebuah kemitraan global yang baru.
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Hingga akhirnya pada tahun 2000, untuk pertama kalinya PBB memfasilitasi
terbentuknya kesepakatan pembangunan multilateral yang melibatkan seluruh Negara
yang tergabung ke dalam PBB. Kesepakatan ini bernama Millenium Development
Goals yang berisi berbagai indikator dan tujuan pembangunan internasional selama 15
tahun ke depan. Isu-isu pinggiran seperti kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender
yang tadinya kurang mendapat porsi lebih dalam pembangunan mulai mendapatkan
perhatian. Berbagai Negara menyadari pentingnya isu ini untuk mendukung
pembangunan dan perdamaian dunia.
8
Di sisi lain, AGENDA 2030 juga mencakup isu-isu seperti kesehatan ibu, kesetaraan
gender, hingga keluarga berencana. Isu yang sebelumnya tidak banyak mendapat
perhatian. Sesuai dengan prinsip AGENDA 2030 ‘Leave No One Behind’, masih banyak
isu SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights) yang belum tercakup ke
dalamnya. SRHR adalah isu yang menyentuh segala bidang kehidupan manusia.
SRHR bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan isu-isu lain yang
terkait dengan hak-hak dasar manusia. Namun tidak banyak kajian yang membahas
keterkaitan SRHR dalam isu-isu pembangunan internasional.
Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi,
seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF
Indonesia mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan
akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan
reproduksi, dan pelibatan laki-laki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di
Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang sudah terbukti dan
inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan
mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja
dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Melalui kertas kajian ini kami ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk
melihat keterkaitan SRHR dengan berbagai bidang. Besar harapan kami agar seluruh
pemangku kepentingan menyadari pentingnya SRHR sebagai isu bersama dan tidak
dipandang sebelah mata.
Selamat membaca kertas kajian ini dan jangan ragu untuk bekerja bersama kami
dalam mendorong pemenuhan SRHR untuk semua bebas dari kekerasan.
Salam hangat,
Monique Soesman
Direktur, Rutgers WPF Indonesia
1.
Pendahuluan
9
1.1. Latar Belakang
SRHR adalah isu yang sensitif namun juga sangat penting. Di dalam konteks Indonesia,
berbagai turunan isu SRHR seperti tingginya Angka Kematian Ibu, terbatasnya akses
bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, kontrasepsi bagi
remaja khususnya yang tidak menikah, tingginya angka pernikahan anak bawah umur,
hingga diskriminasi dan kekerasan terhadap keberagaman orientasi seksual dan
identitas gender pun masih menjadi tantangan. Hal ini terbukti dari berbagai capaian
pembangunan yang masih rendah di bidang ini.
Di akhir 2015, MDGs berakhir dan digantikan dengan kerangka pembangunan yang
baru yakni AGENDA 2030 yang disahkan di akhir bulan September 2015. Mekanisme
pembangunan baru ini memiliki indikator yang lebih kompleks daripada MDGs.
AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan, 164 target sedangkan MDGs hanya memiliki 8
tujuan. Di sisi lain, beberapa indikator terkait SRHR masih akan menjadi prioritas
seperti penurunan AKI, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan HIV. Di sisi
lain, organisasi sosial kemasyarakatan perlu untuk memahami berbagai indikator ini
untuk mendukung kerja-kerja advokasi yang pada akhirnya ditujukan untuk pemenuhan
SRHR untuk semua. Selain itu juga, sebagai pintu masuk untuk mendorong advokasi
bagi isu-isu yang selama ini masih terabaikan seperti kekerasan terhadap LGBT.
Indikator ini diharapkan bisa tercermin di dalam instrumen pembangunan nasional,
mulai dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan tercermin dari komitmen
dalam bentuk pembiayaan oleh negara baik dalam APBN (Anggaran Pendapatan
Belanja Negara), maupun APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Indikator
tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong disetujuinya RUU Kekerasan seksual
yang saat ini sedang diusahakan agar masuk ke dalam Prolegnas.
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Angka Kematian Ibu (AKI) dalam skema pembangunan internasional melalui MDGs
pada tahun 2013, AKI di Indonesia mencapai 359 dari 100.000 kelahiran hidup. Kondisi
ini masih jauh dari target MDGs yang menetapkan AKI di bawah 100 di tahun 2015.
Dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk
Angka Kematian Ibu. Singapura mencatat AKI terendah hanya 3 per 100.000 kelahiran
hidup, kemudian disusul Malaysia (29/100.000), Thailand (48/100.000) dan Vietnam
(59/100.000).
10
Di sisi lain, sudah banyak organisasi sosial kemasyarakatan lintas sektor di Indonesia
yang turut bekerja dalam mempengaruhi indikator yang terdapat dalam AGENDA
2030. Mulai dari isu lingkungan, ketahanan pangan, pendidikan hingga hukum. SRHR
bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan isu-isu lain yang terkait
dengan hak-hak dasar manusia.
Pembelajaran dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh organisasi sosial
kemasyarakatan adalah memperjuangkan SRHR sebagai isu tunggal dan menuntut
agar diberi porsi perhatian seperti isu-isu hak dasar lainnya. Organisasi sosial
masyarakat pada umumnya tidak mampu menjalin aliansi dengan kelompok yang
strategis karena kesulitan mencari “irisan” kepentingan yang dapat diperjuangkan
bersama.
Berdasarkan situasi tersebut, maka diperlukan referensi tentang keterkaitan SRHR
dengan isu-isu lain sebagai salah satu “amunisi” dalam menjalankan strategi advokasi.
1.2.Siapa saja yang perlu membaca kertas kerja ini?
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Dokumen ini ditujukan untuk berbagai kalangan, termasuk :
- Organisasi sosial kemasyarakatan yang melakukan kerja-kerja advokasi untuk pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi. Termasuk di dalamnya yang bekerja untuk kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, hak LGBT, kekerasan terhadap perempuan, feminisme, HAM, lingkungan, kedaulatan pangan dan isu lain yang relevan.
- Pembuat kebijakan yang bekerja untuk pembangunan berkelanjutan, kesehatan masyarakat, reformasi hukum, kebijakan sosial dan bidang-bidang lain yang terkait.
1.3.Apa saja yang tercakup dalam kertas kerja ini?
Kertas kerja ini diawali dengan ulasan singkat tentang AGENDA 2030 diikuti dengan
penjabaran tentang SRHR. Topik selanjutnya adalah membahas keterkaitan SRHR
dengan AGENDA 2030.
Kertas kerja ini juga mencoba mengaitkan SRHR, AGENDA 2030 dengan kondisi saat
ini di Indonesia, dengan mengulas tentang kebijakan yang pro dan kontra.
2.
Sustainable Development
Goals (SDGs)
11
2.1.Pengertian
Pada tanggal 25 September 2015, pemimpin 193 negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Bank Dunia, serta organisasi-organisasi nirlaba di UN Summit New York, Amerika
Serikat, menandatangai deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang disebut
sebagai AGENDA 2030.
• Tidak meninggalkan siapapun (‘Leave No One Behind’).
• Menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti.
• Mentransformasikan ekonomi untuk lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif.
• Membangun perdamaian dan kelembagaan yang efektif , terbuka dan akuntabel.
• Membangun sebuah kemitraan global yang baru.1
Hasil dari pertemuan Nasional yang diadakan oleh INFID pada tanggal 6-7 Oktober
2015 yang lalu juga telah menyepakati tentang 3 hal pokok yang menjadi landas pacu
bagi bangsa Indonesia, yaitu:
• Menjaga kredilibilitas dan komitmen politik Indonesia dalam menjawab terjadinya kesenjangan antar bangsa dan di dalam negara, menurunnya daya dukung lingkungan, serta perlambatan ekonomi global berdasarkan prinsip “Leave No One Behind”.
• Memperkuat posisi tawar, strategi diplomasi dan solusi sistemik untuk mengatasi kendala-kendala global melalui kemitraan, solidaritas global, kerjasama Selatan-
Selatan, negara Utara-Selatan, Pemerintah dengan Pemerintah, Pemerintah dengan Sektor Swasta, serta Pemerintah dengan Masyarakat Sipil.
Sebuah Kemitraan Global, Hapuskan Kemiskinan dan Transformasukan Ekonomi melalui Pembangungn Berkelanjutan, Laporan Panel Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka Pembangunan Pasca 2015.
1
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
AGENDA 2030 adalah sebuah kerangka kerja untuk 15 tahun ke depan, mulai tahun
2016 (per tanggal 1 Januari 2016) hingga tahun 2030. AGENDA 2030 merupakan
kelanjutan dari Millenium Development Goals yang berakhir Desember 2015. AGENDA
2030 merupakan agenda universal yang didorong oleh 5 pergeseran transformasi
besar sebagaimana yang disebutkan dalam Laporan Panel Tingkat Tinggi Pasca
2015 yaitu:
12
• Mengakselarasi peran aktif dan opsi-opsi Indonesia dalam mewujudkan visi peradaban dunia baru sebagaimana tertuang dalam Deklarasi AGENDA 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development).
Pencanganan Deklarasi AGENDA 2030 tidak berarti bahwa MDG tidak berlaku lagi.
Target MDGs yang belum tercapai tetap harus dikerjakan ditambah dengan AGENDA 2030.
Inisiatif
Sekjen PBB
Member-led
Open Working
Group
Laporan Sintesa
Sekjen PBB
Proposal OWG on
SDGs
Negosiasi Inter
- Govermental
2015
UN SUMMIT
(September
2015)
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Proses penyusunan agenda pembangunan AGENDA 2030 dilakukan melalui dua jalur
utama yang telah digabungkan pada bulan September 2014 (gambar 1). Sejak awal tahun
2015, proses diskusi mulai memasuki tahapan berikutnya yakni proses intergovernmental
yang dilaksanakan setiap bulan, dilanjutkan dengan Konferensi Pembiayaan Pembangunan
di Ethiopia pada tanggal 13-16 Juli 2015, dan kemudian ditutup dengan pengesahan
dokumen pada Sidang Umum PBB (UN Summit) di New York, Amerika Serikat, September
2015. AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target.
Setiap negara diberi kebebasan untuk menentukan indikator dari tiap target sesuai dengan
kebijakan dan kemampuannya. Penetapan indikator dari masing-masing tujuan ini dapat
dilakukan sampai dengan bulan Maret 2016 .
AGENDA 2030 diharapkan bisa menciptakan dampak yang jauh lebih baik dibandingkan
dengan program kerja MDGs. Proses penyusunan agenda global ini sudah banyak
belajar dari berbagai kekurangan MDGs. AGENDA 2030 telah berupaya melibatkan dan
mendapatkan input dari berbagai kalangan yang merasa aspirasinya tidak terefleksikan
dalam MDGs.2
2.2. Tujuan, Target dan MoI AGENDA 2030
Agenda pasca 2015 atau AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan,
yaitu : (Hasil dari pertemuan Infid yang lalu juga telah menghasilkan sebuah dokumen
tentang SDGs versi bahasa Indonesia)
Dirangkum dari http://cisdi.org/articles/view/transformasi-millenium-development-goals-mdgs-menjadi-post-2015-guna-menjawab-
tantangan-pembangunan-global-baru.
2
Masing-masing tujuan memiliki target dan mean of implementation/target yang terintegrasi
dan tak terpisahkan. Target di tuliskan dengan kombinasi angka.angka (misalnya: 1.1;
1.2;2.1) sedangkan Mean of Implementation (MoI) atau Target Strategis dituliskan dengan
kombinasi angka.huruf (misalnya : 1.a; 1.b; 2.a; 2.b).
13
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
• Tujuan 1: Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun.
• Tujuan 2: Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan.
• Tujuan 3: Memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia.
• Tujuan 4: Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
• Tujuan 5: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
• Tujuan 6: Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua.
• Tujuan 7: Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi semua.
• Tujuan 8: Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua.
• Tujuan 9: Membangun infrastruktur yang tangguh, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dan membantu perkembangan inovasi.
• Tujuan 10: Mengurangi ketimpangan didalam dan antar negara.
• Tujuan 11: Membangun kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan.
• Tujuan 12: Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.
• Tujuan 13: Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
• Tujuan 14: Mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudera dan maritim untuk pembangunan yang berkelanjutan.
• Tujuan 15: Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi (penggurunan), dan menghambat dan membalikkan
degradasi tanah dan menghambat hilangnya keanekaragaman hayati.
• Tujuan 16: Mendukung masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di
semua level.
• Tujuan 17: Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.
14
2.3. Perbedaan MDGs dengan AGENDA 2030
MDG dalam proses dan pelaksanaannya mendapatkan banyak kritik diantaranya MDGs
bersifat birokratis dan teknokratis.Pelaksanaan MDGs sangat sektoral. Masing-masing
tujuan MDGs seolah-olah tidak salaing terkait dan setiap sektor hanya bertanggungjawab
atas tujuan yang terkait langsung.
Belajar dari kekurangan MDGs, AGENDA 2030 sejak dari proses penyusunannya sudah
melibatkan banyak pihak termasuk organisasi masyarakat sipil.
Beberapa perbedaan lainnya adalah3 :
• Zero Goals:
Target MDGs untuk 2015 hanya separuh jalan mencapai tujuan yang terkait dengan
kelaparan dan kemiskinan. AGENDA 2030 didisain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut
dengan menetapkan “nol” secara statistik untuk kelaparan, kemiskinan, pencegahan
kematian anak dan target lainnya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
• Universal Goals :
MDGs ditetapkan dalam konteks “donor kaya memberikan bantuan kepada penerima
yang miskin”. Dalam perkembangan saat ini status ekonomi suatu bukanlah isu utama
melainkan ketidaksetaraan. Baik kesetaraan di dalam negara kaya ataupun negara miskin.
Tujuan AGENDA 2030 dirancang agar dapat berlaku di semua negara.
• More Comprehensive Goals :
MDGs memiliki 8 tujuan sedangkan AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan yang mencakup
kemiskinan, HAM, perdamaian, dan pemerintahan yang baik. Tidak dapat disangkal bahwa
pencapaian tujuan ini akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan MDGs. Namun semua
orang sepakat bahwa kompleksitas AGENDA 2030 memang tidak terakomodasi dalam
MDGs.
• Inclusive Goal Setting :
Dahulu MDGs disusun dengan pendekatan top-down. Sekarang AGENDA 2030 dirumuskan
melalui proses inklusif yang partisipatoris sepanjang sejarah. Sekitar 100 negara
melakukan pertemuan konsultatif secara tatap muka. Jutaan masyarakat berpartisipasi
memberikan masukan melalui website. Organisasi Masyarakat Sipil seluruh dunia juga
mengorganisir diri secara global dalam Beyond 2015.
Dirangkum dari John Coonrod, MDGs To AGENDA 2030: Top 10 Differences, August 8, 2014.
3
• Memisahkan Kelaparan dan kemiskinan:
Dalam MDGs, kelaparan dan kemiskinan dimasukan dalam satu tujuan yaitu tujuan ke -1
(dengan asumsi jika salah satu terselesaikan maka secara otomatis akan menyelesaikan
persoalan lainnya). Kenyataanya, banyak pembelajaran tentang rumitnya persoalan pangan
dan gizi, maka di dalam AGENDA 2030, kemiskinan dipisahkan dari ketahanan pangan
dan gizi.
15
• Pembiayaan:
MDGs diproyeksikan dibiayai dengan kucuran dana bantuan yang tidak bersifat material.
AGENDA 2030 mendorong pembangunan ekonomi inklusif berkelanjutan sebagai strategi
utama dengan memperhatikan kemampuan setiap negara untuk mengahadapi tantangan
masalah-masalah sosial yang besar melalui peningkatan pendapatannya.
• Perdamaian:
Selama 15 tahun, kita sudah melihat perdamaian penting untuk kemakmuran negara.
Setelah 15 tahun, para ahli meramalkan bahwa mayoritas mereka yang mengalami
kemiskinan ekstrem tinggal di negara-negara yang terdampak konflik. Jadi menyertakan
upaya perdamaian adalah sangat penting dalam mengakhiri kelaparan dan kemiskinan. Hal
ini sama sekali diabaikan dalam MDGs.
• Kualitas Pendidikan
MDGs lebih fokus pada kuantitas pendidikan seperti jumlah peserta peserta didik yang
mendaftar pada pendidikan dasar dan menengah, tetapi tidak melihat tingkat kelulusan
dan kualitasnya. AGENDA 2030 menunjukkan untuk pertama kalinya masyarakat dunia
memberikan perhatian pada kualitas pendidikan dan peranan pendidikan untuk terciptanya
dunia yang lebih manusiawi : “pendidikan bagi pembangunan berkelanjutan dan gaya
hidup, HAM, kesetaraan gender, promosi budaya damai tanpa kekerasan, kewargaan dunia,
dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan kontribusi budaya pada pembangunan
berkelanjutan”.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
• Revolusi Data
MDGs sama sekali tidak membahas tentang monitoring, evaluasi dan akuntabilitas.
AGENDA 2030 menargetkan peningkatan ketersediaan data berkualias tinggi, terpercaya,
disegregasi berdasarkan gender, ras, etnik, status migrasi, disabilitas, geografis dan karakter
lain yang relevan dengan konteks nasional.
16
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Hak seksual yang
menjadi dibunyikan
satu nafas dengan
Kesehatan
Reproduksi dan
seksual serta hak
reproduksi, pertama
kali diperkenalkan
oleh aktifis feminis.
3.
Hak dan Kesehatan
Seksual dan Reproduksi
Sexual and Reproductive
Health and Rights (SRHR)
17
3.1. Pengertian
Hak seksual yang menjadi dibunyikan satu nafas dengan Kesehatan reporduksi dan seksual
serta hak reproduksi, pertama kali diperkenalkan oleh aktifis feminis. Sampai sekarang Hak
dan kesehatan seksual dan reproduksi masih terus diperjuangkan agar menjadi disetujui
dan diakui dalam sistem yang berlaku di PBB. Konsep SRHR selalu mendapat tentangan
terutama dari negara-negara Islam dan konservatif. Bahkan konsep kesehatan seksual dan
reproduksi (SRH) dan hak reproduksi (RR) pun selalu berusaha dihapuskan dalam setiap
negosiasi.
Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi mengandung 4 komponen yang berbeda
tetapi saling terkait yaitu hak seksual, hak reproduksi, kesehatan seksual dan kesehatan
reproduksi. Masing-masing komponen memiliki definisi dan lingkup yang berbeda
sebagaimana yang tercantum dalam tabel di bawah ini:
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Istilah Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi adalah terjemahan dari Sexual
and Reproductive Health and Rights (SRHR). Awalnya hanya Kesehatan seksual dan
reproduksi serta Hak Reproduksi yang dimunculkan pada Konferensi Internasional untuk
Kependudukan dan Pembangunan atau International Conference on Population and
Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir yeng menghasilkan Program Aksi, serta
Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-4 tahun 1995 di Beijing, China yang menghasilkan
Platform Aksi.
18
Kesehatan
Reproduksi
Kesehatan Reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental
dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau
kelemahan, dan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem
reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya.
Kesehatan reproduksi memiliki pengertian bahwa setiap orang dapat
memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan mereka
memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan bebas menentukan
apakah mereka ingin melakukannya, kapan dan seberapa seringnya.
Termasuk di dalamnya hak laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara-cara
pengaturan fertilitas yang aman, efektif, terjangkau dan dapat
diterima yang menjadi pilihan mereka, dan layanan kesehatan yang
layak sehingga perempuan dapat menjalani kehamilan dan kelahiran
yang aman serta memberikan kesempatan terbaik kepada para
pasangan untuk memiliki bayi yang sehat. (ICPD)4
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Hak
Reproduksi
Hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang
sudah diakui dalam hukum nasional, dan dokumen-dokumen
internasional tentang hak-hak asasi manusia, dan dokumendokumen konsesus PBB lain yang relevan.
Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi
semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan
bertanggung jawab mengenai jumlah anak, menjarangkan kelahiran
dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka dan mempunyai
informasi dan cara memperolehnya, serta hak untuk mencapai
standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga
mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai
reproduksi yang bebas diskriminasi, paksaan, dan kekerasan seperti
dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia (ICPD)5.
Kesehatan
Seksual
4
5
6
Kesehatan seksual menyiratkan pendekatan positif terhadap
seksualitas. Tujuan dari kesehatan seksual adalah untuk
peningkatan kehidupan dan relasi personal termasuk konseling
dan layanan yang terkait dengan reproduksi dan penyakit menular
seksual. (UN) 6
Terjemahan Bahasa Indonesia “Implication of The ICPD Progrmme of Action Chapter VII” sub bab 7.2.
Terjemahan Bahasa Indonesia “Implication of The ICPD Progrmme of Action Chapter VII” sub bab 7.3.
ARROW.
19
Hak seksual sebagai hak semua orang untuk terbebas dari paksaan,
diskriminasi dan kekerasan, untuk:
• Mencapai standar kesehatan seksual tertinggi, termasuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi;
• Mencari, menerima dan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan seksualitas;
• Mendapatkan informasi dan pendidikan seksualitas.
• Menghormati integritas tubuh.
• Memilih pasangan.
• Memutuskan untuk aktif seksual atau tidak.
• Melakukan hubungan seksua berdasarkan kesepakatan.
• Memutuskan untuk menikah atau tidak menikah.
• Memutuskan untuk memiliki atau tidak memiliki dan kapan
punya anak.
• Memiliki kehidupan seksual yang memuaskan, menyenangkan
dan aman (WHO).
Hak
Reproduksi
Sepuluh Hak Reproduksi menurut IPPF: 7
• Hak Kesetaraan, perlindungan yang sama di muka hukum dan bebas dari semua bentuk diskriminasi yang berbasis seks, seksualitas dan gender;
• Hak untuk berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas dan gender;
• Hak untuk hidup, kebebasan, keamanan seseorang dan kebertubuhannya;
• Hak untuk keleluasaan pribadi;
• Hak untuk otonomi pribadi dan di muka hukum;
• Hak untuk kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi dan berserikat;
• Hak untuk sehat dan mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan;
• Hak untuk pendidikan dan informasi;
• Hak untuk menentukan menikah atau tidak menikah, mencari dan merencanakan berkeluarga, hak untuk memutuskan memiliki atau tidak memiliki, bagaimana dan kapan mempunyai anak;
• Hak untuk akutabilitas dan pemulihan;
Sumber : Sexual Reproductive Health and Right in the Post-2015 Agenda: Taking their rightfull place, ARROW
4
IPPF, Hak- Hak Seksual : Deklarasi IPPF, 2008, h. 13.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Hak
Seksual
20
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
mereka yang
miskin adalah
mereka yang
termarginalisasi
dari proses
pembangunan
sosial, ekonomi
dan politik.
4.
SRHR dan
tujuan AGENDA 2030
21
Dari ke 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target yang tercantum dalam
AGENDA 2030, SRHR disebutkan dengan jelas pada target 3.7, target 4.7 dan target 5.6.
Tetapi dalam bab ini pembahasan SRHR tidak hanya terkait dengan tujuan 3, 4 dan 5 tetapi
juga dikaitkan dengan tujuan 1 dan 2.
4.1. SRHR dan Kemiskinan
Mengakhiri kemiskinan menjadi tujuan 1 dalam AGENDA 2030. Kemiskinan adalah “inti”
dari AGENDA 2030, karena hampir disemua tujuannya selalu diprioritaskan bagi “mereka
yang miskin”.
Tujuan 1.
Target 1.1.
Di tahun 2030, memberantas
kemiskinan ekstrem bagi
semua orang dimanapun, saat
ini diukur sebagai manusia
yang hidup dengan kurang
dari 1.2 5 USD per hari
Sebuah standar kemiskinan yang multidimensional
dikembangkan oleh Oxford Poverty and Human
Development Initiative yang disebut Multidimensional
Poverty Index (MPI) . Index kemiskinan ini melihat
kemiskinan seseorang dari pendidikan, kesehatan
dan standar hidupnya. Ketiga dimensi ini diukur dengan 10 indikator seperti misalnya untuk
pendidikan (lama bersekolah, kepesertaan pendidikan), kesehatan (kematian anak, gizi) dan
standar hidup (listrik, air minum, sanitasi, lantai rumah, BBM untuk memasak) dan aset.
Seseorang dinyatakan miskin multidimensi jika ia memenuhi sepertiga atau lebih indikator
multidimensi tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, maka akan terlihat bahwa mereka yang miskin adalah
mereka yang termarginalisasi dari proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Eklusi
berdasarkan gender, usia, disabilitas, kelas, agama, suku, pendidikan dan seksual orientasi
mendorong terjadinya ketidakberdayaan, kemiskinan secara sosial.
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Menghapus segala bentuk
kemiskinan dimanapun
Apa itu kemiskinan?
Kemiskinan seringkali dipahami secara sempit hanya
berdasarkan pendapatan, konsumsi dan ukuran dari
Gross Development Product (GDP). Pemahaman
ini mengesampingkan faktor sosial, ekonomi
dan kekuatan politik yang berkontribusi dalam
menciptakan kemiskinan.
22
Guna melengkapi pemahaman tentang kemiskinan, kita juga perlu memahami tentang
“pemiskinan” dan “kemiskinan struktural”. Pemiskinan adalah suatu proses yang membuat
seseorang menjadi miskin. Proses pemiskinan ini dapat disebabkan oleh kebijakan negara
yang tidak berpihak pada kelompok yang lemah. Dalam konteks global, pemiskinan juga
dapat terjadi ketika negara-negara di dunia maupun lembaga-lembaga internasional
membuat kesepakatan atau aturan atau sistem yang melemahkan satu atau lebih negara
dan menguntungkan satu atau lebih negara lainnya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Pemiskinan ini menciptakan kemiskinan strutural.
Kemiskinan yang terjadi bukan karena sebab
alamiah tetapi karena ada adanya sistem atau
kebijkan yang membuat mereka menjadi miskin
dan tidak akan mampu teratasi walaupun mereka
bekerja sangat keras sekalipun. Contohnya: jika
negara membiarkan ilegal fishing maka nelayan
tidak akan pernah makmur hidupnya. Jika negara
tidak melakukan proteksi terhadap produk pangan
lokal dan membiarkan mafia pangan menguasai
pasar, maka petani tidak akan sejahtera hidupnya.
Jadi kemiskinan adalah bentuk dari ketidakadilan.
Target 1.2.
1.2.
Di tahun 2030, menurunkan
Di tahun 2030, menurunkan
setidaknya setengah proporsi
setidaknya
setengah proporsi
laki-laki,
perempuan,
anaklaki-laki,
perempuan,
anak-anak
anak dari segala usia yang
hidup
dalam
segala
dari segala
usia
yang dimensi
hidup dalam
kemiskinan
berdasarkan
segala dimensi kemiskinandefinisi
nasional
berdasarkan definisi nasional
Sustainable Development Goals menggunakan terminologi “kemiskinan ekstrem” yaitu
mereka yang hidup kurang dari 1,25 USD (Target 1.1.). Terminologi ini dapat dikatakan
sebagai termilogi yang sempit terkait kemiskinan. Namun pada target 1.2. disebutkan
tentang “segala dimensi kemiskinan” dan setiap negara dapat menentukan definisi
kemiskinan yang dimaksud.
Saat ini belum diketahui ukuran kemiskinan seperti apa yang akan digunakan oleh
pemerintah, apakah akan menggunakan indikator 1,25 USD seperti yang dimandatkan oleh
AGENDA 2030 atau menggunakan ukuran lainnya.
BPS menggunakan batas garis kemiskinan di Rp. 312.327 per kapita per bulan. Jika
dikonversikan ke USD itu setara dengan 0,75 USD per hari. Masih jauh dibandingkan
dengan batas kemiskinan ekstrem yang disepakati di AGENDA 2030.
8
Menggunakan kurs 1USD = Rp. 14.000,-.
23
Tabel 5. Data Kemiskinan per September 2014
Kota
Desa
Kota + Desa
10,356.69
17,371.09
27,727.78
8.16
13.76
10.96
326,853.12
296,681.32
312,327.68
Indeks Kedalaman Kemiskinan (%)
1.25
2.25
1.75
Indeks Keparahan Kemiskinan (%)
0.31
0.57
0.44
Jumlah Penduduk Miskin (000)
Persentase Penduduk Miskin (%)
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/Bulan)
Sumber : BPS, diunduh dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1489
Kemiskinan itu multidimensi, maka membahas kemiskinan tidak mungkin berhasil tanpa
mengaitkannya dengan komponen lain. Dalam bab ini, pembahasan tentang kemiskinan
akan dikaitkan dengan pendidikan, pangan, kesehatan dengan menggunakan perspektif
gender sebagaimana yang tergambar di skema 1.
Kemiskinan
Pangan
Gender
Kesehatan
Skema 1. Kaitan Kemiskinan, Pendidikan, Pangan, Kesehatan dengan SRHR
S
R
H
R
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Pendidikan
24
Kemiskinan, Kesetaraan Gender dan SRHR
Dalam kemiskinan, perempuan (dan juga kelompok marginal lainnya) menjadi yang
paling miskin dan paling dikorbankan. Kemiskinan akan membuat anak perempuan
menjadi yang lebih dipilih untuk putus sekolah. Jika anak perempuan putus sekolah
maka ayah atau orang tua juga akan lebih cepat untuk mengambil keputusan untuk
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
menikahkannya diusia di bawah 18 tahun
(batas usia anak). Anak perempuan dinikahkan
Target 5.1.
dengan laki-laki yang memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik tanpa memperhatikan
Mengakhiri segala bentuk
usia, status perkawinan pihak laki-laki. Di sisi
diskriminasi pada perempuan
lain juga tanpa mempertimbangan kesiapan,
dan anak perempuan dimanapun
kesediaan, dan keinginan dari anak perempuan.
Target 5.2.
Dalam situasi seperti ini sulit untuk menjamin
bahwa hak seksual dan hak reproduksinya
Menghapuskan semua bentuk
akan terpenuhi. Kemiskinan yang berakibat
praktek-praktek berbahaya,
seperti pernikahan di bawah
putus sekolah juga mendorong anak dijadikan
umur dan pernikahan paksa,
pekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
serta mutilasi genital wanita
Konsep “anak sebagai pencari nafkah atau
sumber ekonomi” menyebabkan anak rentan
Target 5.3.
terhadap perdagangan anak. Anak perempuan
Menghapuskan segala bentuk
menjadi yang paling rentan untuk dilacurkan
kekerasan terhadap perempuan
dengan selubung pekerja. Pernikah anak tidak
dan anak perempuan di ruang
hanya terjadi akibat kemiskinan, ada pula
publik dan privat, termasuk
yang didorong oleh faktor budaya. Perkawinan
perdagangan manusia dan
anak dari keluarga miskin dua kali lebih tinggi
eksploitasi seksual dan jenis
eksploitasi lainnya
dari perkawinan anak dari keluarga mampu.
Pernikahkan usia anak ini membuat anak
perempuan selain kehilangan kesempatan
menyelesaikan pendidikannya juga menghilangkan peluang perempuan untuk
mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak.
Pernikahan anak maupun pekerja anak, kedua-duanya menempatkan anak berisiko
mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Hak nya sebagai anak
dilanggar. Hak seksual dan reproduksinya juga diabaikan.
Pernikahan anak dan perdagangan anak juga menempatkan anak berisiko atas
masalah-masalah kesehatan reproduksi seperti kehamilan berisiko karena terjadi
dalam usia terlalu muda, trauma akibat perkosaan, tertular penyakit infeksi menular
UNICEF (2013), Ending Child Marriage: Progress and prospects, p. 2. dalam http://www.unwomen.org/en/news/in-focus/women-and-
the-SDGs/sdg-1-no-poverty#sthash.Vdv3YsiC.dpuf.
9
seksual/IMS serta HIV/AIDS. Perkawinan usia anak juga mengakibatkan meningkatnya
jumlah kehamilan dan jarak antar kehamilan yang pendek.
25
Kemiskinan juga membuat perempuan kesulitan untuk mengakses pelayanan
kesehatan. Kesulitan ini bisa terjadi karena memang tidak tersedia pelayanan
kesehatan di daerahnya misalnya warga yang tinggal di daerah terpencil atau daerah
perbatasan, seringkali puskesmas tidak tersedia di sana. Pelayanan kesehatan juga
tidak dapat diakses ketika sistem yang berlaku tidak memungkinkannya. Cotohnya
ketika keluarga miskin tidak mendapatkan jaminan kesehatan karena tidak mampu
berpartisipasi dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) tetapi juga tidak
termasuk dalam PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau tidak mendapatkan kartu sehat
atau tidak berhak mendapatkan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) karena tidak
memiliki KTP setempat.
4.2.SRHR dan Ketahanan Pangan
Apa itu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan?
Berdasarkan definisinya, ketahanan pangan adalah keadaan ketika semua orang di
sepanjang tahun memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap bahan pangan yang
aman, bergizi dan memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi serta keragaman
bahan pangan agar dapat hidup sehat dan aktif. Guna memenuhi ketahanan pangan
ada 4 dimensi kritis yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan dan
stabilitas ketersediaan maupun akses terhadap pangan (FAO 2006)10 .
10
Dirangkum dari Varma, A. and Das, K. (2015) , Sexuality : Critical to addressing Poverty and Food Insecurity,. Kuala Lumpur, ARROW para.5.
11
ibid para. 6.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Tujuan ke dua AGENDA 2030 terkait dengan
Tujuan 2.
kelaparan, ketahanan pangan perbaikan gizi
Menghapus kelaparan,
dan pertanian berkelanjutan. Di dalam MDGs,
mewujudkan ketahanan
kelaparan dan kemiskinan dinyatakan dalam satu
pangan dan perbaikan gizi
tujuan, seolah-olah jika kelaparan teratasi berarti
dan mempromosikan pertanian
kemiskinan juga teratasi atau sebaliknya. Pada
berkelanjutan
kenyataannya tidaklah demikian. Kelaparan dan
kemiskinan harus diatasi sebagai dua masalah
yang besar. Pada AGENDA 2030, kelaparan
dikaitkan dengan ketahanan pangan, perbaikan gizi dan pertanian berkelanjutan.
Hal ini terlihat bahwa masalah kelaparan dilihat sebagai dampak dan sudah
mulai “menelusuri” hingga lebih ke hulu, yaitu ketahanan pangan dan pertanian
berkelanjutan. Namun sayangnya konsep yang digunakan adalah “ketahanan pangan”
bukan “kedaulatan pangan”.
26
Kedaulatan pangan adalah bentuk perlawanan dari ketahanan pangan. Konsep
ini muncul dalam debat publik gerakan akar rumput yang dikenal dengan La Via
Campesian pada World Summit tahun 1996. Konsep ini memberikan perlawanan
terhadap kebijakan neoliberal. Konsep ini menganut prinsip bahwa pangan adalah
hak dasar manusia; menghargai para pengolah pangan, ketrampilan dan pengetahuan
mereka dan kebutuhan mereka untuk dilibatkan dalam semua pengambilan kebijakan
yang terkait dengan isu pangan: pentingnya reformasi agraria yang mengembalikan
kontrol atas semua sumber produksi; perlindungan sumber daya alam; pangan adalah
sumber nutrisi bukan komoditas perdagangan sebagai senjata untuk mengontrol
manusia: dan ada kebutuhan untuk melawan perusahaan multinasional dan lembagalembaga yang menguasai pertanian global dan produksi pangan (Claeys 2013)11 .
Perbedaan nyata dari kedua konsep ini adalah pada ketahanan pangan yang menjadi
perhatian adalah kuantitas pangan dan akses masyarakat terhadap bahan pangan,
tanpa memperhatikan dari mana pangan itu berasal, bagaimana diproduksinya,
bagaimana nasib petaninya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Sedangkan kedaulatan pangan mensyaratkan kecukupan bahan pangan harus
dibarengi dengan kedaulatan atas pengetahuan, benih, tanah, air, pupuk dan alatalat produksi pertanian, mengutamakan pangan lokal dengan tidak menyeragamkan
jenis pangan bagi semua penduduk, membatasi impor pangan terutama jika dapat
diproduksi di tanah sendiri.
Pada tahun 1960-an negara-negara berkembang merupakan penghasil dan
pengekspor bahan pangan dan produk pertanian terbesar di dunia. Pada tahun
1980-an terjadi pergeseran peran.
Sejak awal 1990-an negara-negara berkembang berubah menjadi importir pangan.
Kini negara maju malah menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia dan 70%
negara berkembang tergantung pada impor pangan (Guzman, 2008)12 .
Saat ini, 5 perusahaan multinasional menguasai 90%-nya perdagangan pangan
dunia. Pasar benih dan input pertanian seperti pestisida dan herbisida , 90 persennya
dikuasai oleh hanya 6 MNC (Guzman, 2008). Pada saat dunia mengalami krisis pangan
di tahun 2008, pedagang pangan dunia justru menikmati keuntungan 55 – 189%, benih
dan herbisida mendapatkan keuntungan 21-54%, keuntungan pedagang pupuk bahkan
mencapai 186 – 1.200% dibanding tahun sebelumnya (Agus, Global Research, 2008)13 .
Ketidakadilan seperti inilah yang ingin dilawan dari konsep “ketahanan pangan”.
12
13
Santosa, D.A. (2009), Ketahanan Pangan vs Kedaulatan Pangan, para. 7.
ibid para.8.
Pada tahun 2012, Indonesia mengeluarkan UU Pangan no. 18 yang merupakan
perbaikan dari UU Pangan sebelumnya. Di dalam UU itu disebutkan bahwa Ketahanan
Pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan".
27
UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga
memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan
kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience)
serta keamanan pangan (food safety).
"Kedaulatan Pangan” adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan
kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan
hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi
sumber daya lokal".
"Keamanan Pangan” adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan
dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi".
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
"Kemandirian Pangan” adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi
Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat".
Presiden Joko Widodo di dalam Nawacita juga sudah mencanangkan “Kedaulatan
Pangan” bukan “Ketahanan Pangan”.14
10
Nawacita 7 : Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkansektor-sektor startegis ekonomi domistik Target : Membangun kedaulatan
pangan Indikator : diantaranya adalah membangun kedaulatan pangan berbasis pertanian kerakyatan, stop impor pangan, reformasi agrari.
28
Apa itu pertanian berkelanjutan ?
Pertanian berkelanjutan adalah “pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk
usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan
sumberdaya alam” (Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988).
Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2001) pertanian berkelanjutan merupakan
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi perubahan teknologi
dan kelembagaan yang dilakukan sedemikan rupa sehingga menjamin pemenuhan
dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan
mendatang dimana diharapkan dari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan
peternakan mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik hewan, tidak
merusak lingkungan dan secara sosial dapat diterima.
Pertanian berkelanjutan memiliki ciri-ciri, mantap secara ekologi, bisa berlanjut secara
ekonomi, adil, manusiawi, luwes. (Reijntjes, et al. (1992) dalam Pujianto (2001) ) .
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Melihat definisi ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan ini, tujuan 2 AGENDA
2030 berisiko ambigu. Di satu sisi menekankan ketahanan pangan yang berpotensi
untuk tidak adil tetapi mempromosikan pertanian bekerlanjutan yang menekankan
keadilan.
Apa itu kelaparan dan gizi buruk?
Kelaparan adalah ketika kebutuhan tubuh akan
zat makanan tidak terpenuhi dalam jangka
waktu tertentu. Kelaparan yang terjadi pada
penduduk di suatu daerah tertentu, dapat
dikatakan sebagai bencana kelaparan. Selama ini
bencana alam dan cuaca lah yang lebih banyak
dituding sebagai penyebab bencana kelaparan,
padahal sesungguhnya ada penyebab lain yang
berkontribusi lebih besar terhadap kelaparan.
Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa
“Bumi ini cukup untuk memberi makan seluruh
umat manusia, namun tidak cukup untuk satu
manusia yang serakah”.
15
http://ronawajah.wordpress.com/2008/02/21/falsafah-ilmu-sistem-pertanian-berkelanjutan/.
Target 2.2.
Di tahun 2030, mengakhiri
segala bentuk kekurangan gizi,
termasuk pada tahun 2025
mencapai target yang telah
disepakati secara internasional
pada stunting dan wasting pada
anak di bawah usia 5 tahun,
dan memenuhi kebutuhan gizi
remaja perempuan, ibu hamil dan
menyusui, dan orang tua.
Kata-kata Gandhi tersebut sangat relevan
dengan kondisi saat ini. Bumi ini menyediakan
bahan pangan yang cukup untuk 7 milliar
penduduk, namun sistem ekonomi global
yang menguntungkan negara-negara industri,
menciptakan kemiskinan di negara-negara
berkembang. Kelaparan bukan bencana alam,
kelaparan dibiarkan secara politis. Sehingga lebih
tepat dikatakan bahwa kelaparan adalah bencana
politik. Pembiaran ini dilakukan karena ada pihak
yang diuntungkan misalnya suara konsumen
dan petani di negara-negara industri. Ironi harga
bahan pangan di negara berkembang lebih mahal
daripada di negara industri, karena sistem ekonomi
global menerapkan subsidi dan proteksi terhadap
29
Target 2.2.
Di tahun 2030, mengakhiri
segala bentuk kekurangan gizi,
termasuk pada tahun 2025
mencapai target yang telah
disepakati secara internasional
pada stunting dan wasting pada
anak di bawah usia 5 tahun,
dan memenuhi kebutuhan gizi
remaja perempuan, ibu hamil dan
menyusui, dan orang tua.
produksi dan menciptakan ketergantungan negara berkembang terhadap harga
pendukung pertanian (benih, pupuk, pestisida dan sebagainya), sementara harga jual
ditekan serendah mungkin.
Kelaparan adalah juga akibat dari politik pangan. Pada masa orde baru, terjadi
penyebaran konsep yang keliru tentang makanan pokok. Nasi dianggap makan pokok
yang lebih sehat, lebih “layak” dibandingkan umbi-umbian. Sehingga seluruh Indonesia
harus berubah menjadi pengkonsumsi nasi, padahal tidak semua daerah cocok untuk
ditanami padi, tidak semua suku mengkonsumsi nasi. Daerah Indonesia Timur tidak
cocok untuk ditanami padi, masyarakatnya pun tidak memiliki pengetahuan tentang
padi, mereka mengkonsumsi umbi-umbian. Akibatnya harga beras di Papua atau di
NTT jauh lebih mahal dari pada di pulau Jawa karena harus didatangkan dari pulau
lain. Ketika terjadi musim kemarau panjang Papua dan NTT menjadi rawan bencana
kelaparan. Sampai saat ini Papua masih beberapa kali mengalami bencana kelaparan.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Tahun 1980-an, Dana Moneter Internasional IMF dan Bank Dunia menuntut
pembenahan radikal berupa liberalisasi, deregulasi dan privatisasi kepada negaranegara Afrika yang ratusan tahun mengalami eksploitasi dari penjajahan negara
kolonial. Sekalipun negara-negara Afrika belum siap karena mereka tidak punya
infrastruktur, pendidikan masih terbelakang, sektor ekonomi tidak berfungsi, tidak ada
investor domestik, tetapi IMF dan Bank Dunia tetap menekankan perubahan radikal
tersebut. Akibatnya Politik IMF dan Bank Dunia merupakan bencana bagi sektor
pertanian, pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi negara-negara Afrika. Indonesia
pun nyaris mengalami hal yang sama.
30
Selain kelaparan yang absolut, ada pula kelaparan
yang terselubung yaitu gizi buruk. Depkes RI
(2008), memberikan batasan gizi buruk adalah
suatu keadaaan kurang gizi tingkat berat pada
anak berdasarkan indeks berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi
WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda
klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus
kwashiorkor.
Target 2.3.
Di tahun 2030, menggandakan
tingkat produktivitas pertanian
dan pendapatan produsen
makanan skala kecil, khususnya
para perempuan, masyarakat
adat, keluarga petani, peternak,
dan nelayan, melalui akses ke
tanah yang aman dan setara,
sumber daya dan input produktif
lainnya, ilmu pengetahuan,
layanan keuangan, pasar, dan
peluang untuk pertambahan nilai
dan pekerjaan dalam bidang
non-pertanian.
Perbandingan BB/TB yang tidak sesuai disebut
juga stunting. Menurut SDKI 2013, prevalensi
stunting nasional mencapai 37,2%. Artinya 8 juta
anak atau satu dari tiga anak Indonesia menderita
pertumbuhan tak maksimal. Prevalensi stunting di
Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara Asia
Tenggara lainnya seperti Myanmar (35%), Vietnam
(23%) dan Thailand 16%. Indonesia menempati posisi ke 5 dunia untuk jumlah anak
dengan kondisi stunting!
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu
yang lama. Stunting terjadi sejak janin dan baru muncul gejalanya ketika berumur
2 tahun. Stunting menyebabkan penderitanya mudah terserang penyakit dan
kemampuan kognitifnya rendah sehingga akan mengakibatkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi Indonesia.
Di sisi lain, pemasaran makanan kemasan yang nir-gizi justru berkembang sangat
cepat. Menurut hasil riset World Panel Indonesia, mie instan adalah produk yang
paling diminati konsumen Indonesia. Selama setahun konsumen Indonesia berbelanja
mie instan 400 kali atau 31 kali setiap bulan. Diperkirakan penjualan mie instan akan
mencapai 18 miliar bungkus di tahun 2014. Pemasaran mie instan ini didukung dengan
distribusi yang luas hingga ke warung-warung kecil di pelosok-pelosok dan promosi
serta iklan yang gencar. 17 Sampai saat ini belum ada terlihat upaya pemerintah untuk
mengatur perdagangan makanan kemasan nir-gizi dalam rangka melindungi dan
memenuhi gizi masyarakat.
Selain stunting dan malnutrisi, masih ada masalah lain yaitu anemia yang dialami
37,1% ibu hamil di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013. Anemia pada ibu hamil berisiko pada kelahiran.
Beberapa pengertian gizi buruk menurut Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut :
• Gizi buruk: adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
• Marasmus: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
• Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan.
Marasmus-Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.
15
31
Kaitan Gender, Pangan dan SRHR
Dahulu sebelum mekanisasi pertanian diberlakukan, perempuan memiliki peran penting
dalam pertanian. Perempuanlah yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
memilih dan memuliakan benih. Perempuan pula yang menanam. Pada saat panen,
perempuan pula yang melakukan panen, kemudian mereka memilih hasil panen yang
layak menjadi benih. Namun pada saat mekanisasi pertanian, peran perempuan ini
tergeser karena digantikan oleh petugas Penyuluh Pertanian Lapangan PPL yang
mengajari petani membuat benih. Bahkan lama kelamaan petani pun tidak mampu lagi
membuat benih karena benih diproduksi secara masal di pabrik benih. Kini petani harus
membeli benih. Peran perempuan pada waktu panen pun digantikan oleh mesin. Tidak
ada lagi perempuan petani yang bekerja berkelompok memotong padi dengan ani-ani.
Hilangnya peran perempuan akibat mekanisasi
pertanian ini tidak terlalu banyak mendapat
perhatian, padahal itu suatu kehilangan
pengetahuan yang sangat besar. Perempuan
petanilah yang mengajarkan tentang benih kepada
anak-anaknya.
Di tahun 2030, mengakhiri
kelaparan dan menjamin akses
untuk semua orang, khususnya
orang miskin dan orang-orang
dalam situasi rentan, termasuk
bayi, untuk memperoleh
makanan yang aman, bergizi, dan
memadai sepanjang tahun
Dalam konteks produksi pangan, peran perempuan lebih banyak dikenal di ranah
domestik, yaitu berbelanja dan mengolah makanan untuk keluarganya. Padahal peran
perempuan juga sangat besar pada pemasaran produk pangan, serta pada pengolah
pangan untuk dijual.
Di dalam ranah domestik, ketika semua serba terbatas dengan kemiskinan, perempuan
memilih untuk mengalah dalam konsumsi makanan, mendahulukan suami dan anak.
Termasuk pada masa kehamilan dan menyusui. Konsumsi makanan yang kurang gizi
menimbulkan masalah dalam metabolisme hormon dan kadar zat besi (Fe) dalam
darah. Anemia adalah salah satu sebab kurangnya zat bersi dalam darah.
Gizi buruk selama masa kehamilan dan menyusui berisiko pada kelahiran dan kondisi
kesehatan bayi.
17
Dirangkum dari berita Kompas.com, Jumat 13 Juni 2014
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/13/1741446/Mie.Instan.Tempati.Posisi.Puncak.Penjualan.Barang.Eceran.b
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Perempuan petani juga tidak mudah untuk memiliki
aset tanah atau akses kredit karena persyaratan
yang ada sesungguhnya menganggap yang akan
mengambil kredit adalah laki-laki.
Target 2.1.
32
4.3.SRHR dan Kesehatan
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Kesehatan menjadi tujuan AGENDA 2030 yang ke tiga. Jika di MDGs, bidang kesehatan
tersebar di 3 tujuan, yaitu Penurunan Angka Kematian Bayi dan Balita, Penurunan
Angka Kematian Ibu, dan Penanganan penyebaran HIV. Pada AGENDA 2030, Kesehatan
disatukan dalam satu tujuan “Memastikan hidup yang sehat dan mempromosikan
kesejahteraan bagi semua” tetapi dijabarkan dalam 9 target dan 4 MOI. Target dan
MOI bidang kesehatan dalam AGENDA 2030 jauh lebih luas dibandingan MDG karena
meliputi kesehatan ibu, anak, bayi balita, HIV, penyakit tidak menular, penyalah gunaan
narkoba dan alkohol, kecelakaan lalulintas, kontaminasi, jaminan kesehatan universal
dan secara khusus menargetkan universal akses ke layanan kesehatan seksual dan
reproduksi. MOI di bidang kesehatan ini juga menetapkan tentang pengendalian
tembakau, pengembangan riset dengan memperhatikan Deklarasi DOHA dan TRIPs,
pembiayaan kesehatan serta penanganan bencana.
Tujuan 3.
Inti dari tujuan AGENDA 2030 bidang kesehatan
adalah memberikan “kepastian hidup yang
Memastikan hidup yang
sehat dan mempromosikan
sehat” dan “bagi semua” artinya sehat dipandang
kesejahteraan bagi semua.
sebagai hak semua warganegara yang wajib
dipastikan keberlangsungannya oleh negara tanpa
memandang status sosial, umur, jenis kelamin,
letak geografis, agama, etnis, status perkawinan termasuk di dalamnya identitas
seksual ataupun “sexual preferences”. Pemenuhan Hak Kesehatan tidak boleh
diskriminatif, baik secara sengaja didisain ataupun membiarkan terjadinya diskriminasi
pada saat implementasinya. AGENDA 2030 secara jelas dalam preambulnya
menyebutkan “tidak boleh meninggalkan siapapun juga” atau “leaves no one behind”.
Sub Bab ini akan mengupas apakah Indonesia sudah melakukan upaya maksimal
untuk memenuhi hak kesehatan yang non diskriminatif tanpa meninggalkan siapapun
juga dengan menggunakan kesehatan reproduksi sebagai fokus pembahasan
terutama Kematian Ibu Bayi dan Balita serta HIV.
Kesehatan Ibu, Bayi dan Balita
Indonesia masih mempunyai “pekerjaan rumah” untuk menyelesaikan target MDGs
terkait dengan kematian Ibu, Bayi dan Balita yang masih jauh dari target. Kematian
Ibu dipahami sebagai akibat dari terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan atau
terlalu sering melahirkan. Selain itu juga karena terlambat penanganan.
AGENDA 2030 menargetkan Angka Kematian Ibu 70 per 100.000 kelahiran hidup.
Target tersebut sangat jauh dibandingkan dengan hasil SDKI 2012 yang 359 per
100.000 kelahiran hidup. Bahkan masih sangat jauh untuk mencapai target MDGs 105
per 100.000 kelahiran hidup.
33
Angka kematian bayi dan balita masing-masing
maksimum 12 dan 25 setiap 1000 kelahiran hidup
di tahun 2030. Padahal berdasarkan data SDKI
tahun 2012, angka kematian bayi dan balita baru
mencapai 32 dan 40 per 1000 kelahiran hidup.
Kematian bayi terbanyak terjadi di bawah usia 1
bulan (60%), sedangkan kematian anak terbesar
pada saat usia di bawah 1tahun (80%).
Kematian bayi dan balita lebih banyak terjadi
di daerah pedesaan daripada di perkotaan.
Berdasarkan pendidikan ibu, kematian bayi
dan balita lebih banyak terjadi pada ibu dengan
pendidikan rendah dan dari kelompok quintil
kesejahteraan terendah (SDKI 2012).
Target 3.1.
Di tahun 2030, mengurangi
angka kematian ibu hamil global
menjadi kurang dari 70 per
100.000 kelahiran.
Target 3.2.
Di tahun 2030, mengakhiri
kematian bayi dan balita
yang dapat dicegah, dengan
semua negara bertujuan untuk
mengurangi angka kematian
bayi yang baru lahir menjadi
maksimal 12 per 1.000 kelahiran
dan kematian balita maksimal 25
per 1.000 kelahiran.
Tabel 2 : AKB, AKA, dan AKI
MDGs
AGENDA
2030
Angka Kematian Bayi
32
32
12
Setiap 1000 kelahiran hidup
Angka Kematian Anak
40
40
25
Setiap 1000 kelahiran hidup
Angka Kematian Ibu
359
359
70
Setiap 100.000 kelahiran hidup
Sumber : BPS, diunduh dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1489
Mengapa angka kematian Ibu, Bayi dan Balita begitu sulit dikendalikan?
Dulu, dukun bayi dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan
kematian ibu dan bayi, terkait dengan infeksi kelahiran dan penanganan komplikasi
pasca kelahiran. Dukun bayi pun akhirnya “dihentikan” kiprahnya dengan tidak
dilakukan regenerasi. Peranan dukun bayi harus digantikan oleh bidan desa yang
secara usia jauh lebih muda dan kurang berpengalaman berhadapan dengan
masyarakat serta tidak memiliki ketrampilan dan kesabaran yang cukup untuk
mendampingi ibu sebelum maupun setelah melahirkan seperti yang dilakukan dukun
bayi. Penyebaran bidan desa pun terbatas tidak dapat menyaingi keberadaan dukun
bayi yang memang warga setempat dan biasanya berada di pelosok-pelosok.
Tingginya kebutuhan bidan, membuat sekolah-sekolah bidan menjamur dimanamana. Dari sisi jumlah mungkin sudah memadai namun dari sisi kompetensi dan
penyebarannya masih perlu dipertanyakan. Saat ini pemerintah berupaya untuk
melakukan standarisasi sekolah bidan, karena dinilai kompetensi lulusan sekolah
bidan tidak merata.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
SDKI 2012
34
Pemerintah juga pernah mengeluarkan produk “Jampersal” (Jaminan Persalinan)
untuk mendorong ibu hamil menggunakan fasilitas kesehatan dan mendapatkan
jaminan pembiayaan dari pemerintah. Namun upaya ini juga tidak mampu menurunkan
kematian ibu.
Lembaga donor asing pun beramai-ramai menggelontorkan dananya untuk Indonesia
dengan berbagai proyek seperti Suami Siaga, Bidan Siaga, Suami Siaga, namun semua
itu akhirnya menguap dan angka kematian Ibu secara nasional tetap tinggi, walaupun
mungkin di daerah-daerah yang diintervensi proyek tadi terjadi penurunan kematian ibu
dan bayi.
Pengetahuan masyarakat yang terabaikan
Sesungguhnya sejak dulu, masyarakat memiliki pengetahuan tentang ibu hamil. Di
Jawa dikenal adanya upacara “mitoni” yang dilakukan pada saat usia kandungan 7
bulan. Upacara mitoni mendoakan agar ibu hamil selamat, sehat dan bayinya pun
sehat. Selain itu upacara mitoni juga sebuah “pertanda” bagi warga sekitar bahwa ada
seorang ibu yang sedang menanti kelahiran. Artinya para tetangga harus memberikan
perhatian dan siap siaga jika sewaktu-waktu ibu hamil membutuhkan bantuan.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Dukun bayi dan para ibu jaman dahulu memiliki pengetahuan tentang ramuan baik
yang diminum maupun dibalur untuk mengembalikan stamina ibu melahirkan,
relaksasi otot-otot pasca melahirkan, memperlancar aliran darah bahkan
mengencangkan otot perut sehingga kembali langsing seperti sediakala. Kini
pengetahuan itu semakin memudar. Bidan dan dokter hanya memiliki pengetahuan
kedokteran modern. Dan ilmu kedokteran ataupun kesehatan modern hanya milik
profesi kesehatan.
Ketika pengetahuan masyarakat ini diabaikan, sesungguhnya ada kegagapan di
masyarakat dalam menyikapi pengetahuan yang baru. Pengetahuan kesehatan
menjadi sangat jauh dan terlalu “canggih” bagi masyarakat. Pada masa lampau,
kesejangan ini disiasati dengan mencetak kader-kader kesehatan seperti kader
posyandu, kader PKK, dokter kecil di sekolah.
Posyandu sejatinya adalah milik masyarakat karena terjadi dan tumbuh dalam
masyarakat. Namun pada perkembangannya posyandu “diambil alih” oleh puskesmas
yang oleh pemerintah dijadikan pembina posyandu. Akhirnya Puskesmas lah yang
membentuk posyandu. Posyandu yang awalnya adalah gerakan relawan masyarakat
untuk kesehatan keluarga, akhirnya menjadi program puskesmas dan tergantung pada
pembiayaan puskesmas.
Kini, posyandu bahkan banyak yang mati suri, atau hanya hidup ketika ada lomba
posyandu. Kader posyandu yang kebanyakan ibu-ibu disibukkan dengan tugas
administrasi pengisian berbagai macam formulir. Bagi masyarakat kita yang sebagian
besar masih berbudaya “verbal” bukan berbudaya “tulis”, tugas-tugas administrasi
ini akan menjadi “seleksi alam” bagi kader-kader yang memiliki “kerelawanan dan
pengetahuan lokal yang tinggi tetapi gagap dalam menulis” untuk sedikit demi sedikit
tersingkir. Pola organisasi posyandu pun mengikuti pola kepemimpinan pemerintahan.
Ketua posyandu biasanya ibu kepala desa. Kader yang potensial tidak bisa memimpin
posyandu. Belum lagi pemanfaatan kader posyandu untuk tujuan politik terutama pada
saat menjelang pemilihan kepala daerah. Hal- hal ini membuat posyandu yang jiwanya
adalah “kerelawanan kesehatan” menjadi luntur dan tujuan untuk kesehatan keluarga
menjadi tidak fokus. Akibatnya, kita sering terlambat mengetahui ketika ada ibu hamil
atau ketika ada bayi gizi buruk.
Di sisi lain, pengetahuan dan kesadaran laki-laki dan juga perempuan untuk
memperjuangkan hak reproduksi dirinya masih sangat rendah. Perjuangan itu meliputi
perjuangan hak reproduksi individu yang setara dalam relasi berpasangan maupun
hak reproduksi pasangan ketika berelasi dengan keluarga atau komunitas yang lebih
luas. Ini adalah salah satu bentuk kegagapan juga.
Kematian ibu bayi dan balita jelas terkait dengan posisi tawar perempuan
di masyakarat, yang seringkali dianggap bukan ranah kesehatan sehingga
penanganannya tidak pernah bersinergi. Pemberdayaan perempuan menjadi tupoksi
Kementerian PPPA, dimana pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap
perempuan dan anak masuk di dalamnya. Angka kematian ibu dan bayi seharusnya
menjadi pertanda lemahnya posisi tawar perempuan dan potensi tingginya kekerasan
terhadap perempuan dan anak. Sampai saat ini belum ada koordinasi yang serius dari
kedua kemeterian dalam menanggulangi kematian ibu, bayi dan balita serta kaitannya
dengan kekerasan terhadap ibu dan anak.
Partisipasi aktif laki-laki dalam masa kehamilan, menyusui hingga pengasuhan
Suami atau ayah memiliki peran penting dalam masa kehamilan, proses kelahiran,
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Di sisi lain, harus disadarai dan dipahami bahwa masyarakat kita adalah masyarakat
komunal sesuai dengan ciri masyarakat agraris, bukan individual. Pengertian
“keluarga” bisa sangat luas bukan hanya keluarga batih tetapi “extended family”. Posisi
anak, posisi perempuan masih lemah dalam sistem kekeluargaan seperti ini. Maka
menjadi sangat sulit jika berbicara mengenai “hak reproduksi” apalagi “hak seksual”.
Penentuan kapan akan hamil, berapa jumlah anak, dimana akan melahirkan, sangat
besar kemungkinan keputusan tersebut tidak di tangan perempuan, tetapi suami atau
keluarga besarnya. Sementara dalam kedokteran modern hanya mengenal informed
concent pada pasangan.
35
36
nifas, menyusui, dan pengasuhan. Masa kehamilan adalah masa yang menyenangkan
sekaligus menguras energi bagi perempuan, maka suami harus berperan aktif agar
masa kehamilan dapat dilalui dengan baik. Suami harus memahami bahwa kehamilan
adalah sebuah proses dimulainya suatu kehidupan yang membuat perubahan besar
dalam tubuh dan semua sistem hormonal, metabolisme perempuan. Kehamilan
bukanlah sebuah “peristiwa alami” biasa tetapi suatu “peristiwa besar” bagi tubuh
perempuan, karena semua energinya harus dibagi untuk penciptaan manusia baru.
Kehamilan membuat perubahan besar pada tubuh, perasaan, dan pikiran perempuan.
Laki-laki harus paham tentang “kerja keras” tubuh perempuan dalam masa kehamilan
ini.
Perhatian dan dukungan suami merupakan faktor yang sangat penting bagi
perempuan hamil. Perhatian dan dukungan dapat dilakukan dengan cara yang paling
sederhana yaitu tidak menuntut dilayani untuk hal-hal sepele, mengerjakan sendiri
hal-hal yang bisa dikerjakan. Berhenti merokok! dan menyimpan dana merokok untuk
penambahan gizi ibu hamil atau biaya pemeriksaan kehamilan atau biaya persalinan.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Perhatian dan partisipasi yang lebih aktif adalah dengan menemani istri memeriksakan
kehamilan secara rutin dan berpartisipasi aktif dalam diskusi dengan petugas
kesehatan. Mengambil peran aktif dalam melakukan kerja-kerja rumah tangga
atau bahkan mengerjakan semua tugas domestik sehingga istri tidak perlu harus
melakukan kerja fisik yang berisiko pada kehamilannya. Menabung dan merencanakan
biaya persalinan, jika perlu jauh-jauh hari sudah menyiapkan surat-surat untuk
mendapatkan jaminan kesehatan. Mempersiapkan donor darah agar jika terjadi kondisi
darurat, darah sudah tersedia. Merencanakan tempat persalinan, transportasi menuju
tempat persalinan dan jika rumah tinggal sangat jauh dari lokasi persalinan maka perlu
direncanakan untuk memindahkan istri ke lokasi yang dekat dengan tempat persalinan
(shelter). Memperhatikan gizi ibu hamil dengan memprioritaskan makanan bergizi bagi
ibu hamil.
Peran suami juga sangat besar pada proses kelahiran. Kehadiran suami pada saat
melahirkan membuat istri menjadi lebih tenang, dengan catatan suami siap dan tidak
merepotkan tenaga kesehatan yang membantu proses kelahiran. Ketika laki-laki hadir
dalam persalinan, fakta menunjukan emosi terbangun dan komitmen untuk berbagi
peran dengan istri untuk pengasuhan meningkat.
Peran suami tidak berhenti pada saat kelahiran tetapi masih berlanjut pada saat masa
menyusui. Sudah terbukti bahwa keberhasilan ASI ekslusif juga ditentukan dari peran
suami dalam mendukung pemberian ASI. Hal positif lain yang didapat dari suami
yang terlibat dalam masa kehamilan hingga menyusui adalah kedekatan anak dengan
ayahnya.
Tak hanya itu, suami juga harus berperan aktif dalam pengasuhan anak. Suami yang
aktif sebagai pengasuh akan berdampak langsung terhadap tumbuh kembang anak.
Hal ini akan semakin kuat jika suami turut mendukung istri untuk turut mencari nafkah
dan akhirnya meningkatkan sumber pemasukan dalam rumah tangga. Istri pun akan
semakin meningkat posisi tawarnya dalam rumah tangga, beban rumah tangga
bisa dibagi lebih adil dan pada akhirnya mendukung kesehatan ibu dan anak dan
mendukung ketahanan keluarga.
37
Kematian ibu terkait dengan proses kehamilan dan melahirkan juga dipengaruhi
kebijakan yang terkait dengan pendidikan, perkawinan dan keluarga berencana
sebagaimana dijabarkan dalam sub bab berikut.
Pernikahan dan Kehamilan Remaja
Berdasarkan data SDKI 2012, 10 persen perempuan dari kelompok usia 15-19 tahun
sudah pernah melahirkan atau sedang mengandung anak pertamanya. Sebuah studi
di tahun 2009, ditemukan 690.000 kasus perkawinan usia anak (di bawah 18 tahun),
bahkan dapat terjadi pada usia 13 tahun. Selain menikah di usia dini, mereka juga
memiliki anak tidak lama setelah menikah (Amnesty Internasional, 2010).19
Pernikahan remaja sangat terkait dengan beberapa faktor diantaranya kemiskinan
(seperti yang telah dibahas dalam sub bab kemiskinan), budaya20 , dan juga ketiadaan
informasi dan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja.
Pernikahan remaja bahkan anak legal di Indonesia karena dilindungi oleh UU
Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang mensyaratkan usia menikah untuk perempuan
minimal 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Undang-undang ini bertentangan
dengan UU Perlindungan Anak no. 23/ 2002 yang memberikan batasan “anak” adalah
mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Hasil temuan YKP, dalam Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Health Rights hal. 7.
Yayasan Kesehatan Perempuan, Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Services : Indonesia, hal. 9.
20
Di beberapa daerah di Indonesia masih menganut nilai bahwa perempuan setelah menstruasi sudah siap untuk menikah. Menikah muda menjadi budaya.
Menikah muda diikuti dengan melahirkan diusia muda, dan bercerai di usia muda. Di usia relatif muda pula, seringkali seorang perempuan sudah menikah
lebih dari satu kali.
18
19
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Pernikahan dan kehamilan remaja menjadi faktor penting untuk diperhatikan karena
berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas ibu maupun anak. Perempuan yang
hamil dan melahirkan diusia remaja terutama pada usia di bawah 18 tahun berisiko
lebih tinggi terhadap komplikasi kehamilan dan kelahiran. Di sisi lain, kehamilan di
usia remaja juga menutup peluang untuk melanjutkan pendidikan dan mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Di kabupaten Bogor dan Cianjur jumlah perkawinan anak
dan kematian ibu cukup tinggi. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara perkawinan
usia dini dengan risiko kematian ibu melahirkan.18
38
Beberapa LSM telah melakukan upaya Judicial Review untuk mengubah ketentuan
umur menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi minimal 18 tahun, bahkan
ada yang mengajukan usia minimal 20 tahun. Namun yudicial review tersebut
ditolak Mahkamah Konsitusi. Usulan merevisi batas usia menikah bagi perempuan
justru mendapatkan penolakan dari dua organisasi massa Islam terbesar (NU dan
Muhamadiyah) serta MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Kekalahan di Mahkamah Konstitusi seharusnya bukan akhir untuk memperjuangkan
perlindungan bagi remaja perempuan. Jika negara ini serius ingin melindungi
rakyatnya, maka seharusnya pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PPPA, Kementerian Agama
mengajukan usulan revisi UU Perkawinan tahun 1974 yang jelas-jelas bertentangan
dengan UU Perlindungan Anak. Sebagai awal, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan dapat melakukan langkah strategis dengan mengundangkan wajib belajar
12 tahun, sehingga secara prkatis akan “menunda” usia menikah remaja putri hingga
mereka menyelesaikan pendidikan menengah atas.
Keluarga Berencana dan layanan Kesehatan Reproduksi
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Keluarga Berencana adalah salah satu bentuk dari layanan kesehatan reproduksi.
Setidaknya terdapat 2 paradigma terkait keluarga berencana ini. Pertama, suatu
upaya untuk pengendalian penduduk dan yang kedua adalah suatu upaya untuk
perlindungan dan pemenuhan negara terhadap hak dan kesehatan rakyatnya.
Indonesia pernah melewati masa kejayaan program Keluaga Berencana sebagai
upaya untuk pengendalian penduduk. Pendekatan yang dilakukan pada masa itu
seringkali mengesampingkan kebutuhan dan hak klien akan informasi yang layak dan
hak untuk memilih kontrasepsi yang paling cocok. Tetapi di sisi lain negara betulbetul mengontrol ketersediaan alat kontrasepsi terutama alkon gratis maupun alkon
bersubsidi. Alkon merupakan “public goods” yang disediakan oleh negara, walaupun di
pasar tersedia pula alkon dengan berbagai merk sesuai dengan kebutuhan kelompok
masyarakat yang mampu. Alat-alat kontrasepsi yang disediakan oleh negara ini dibeli
melalui dana APBN maupun bantuan internasional.
Kontrasepsi
1994-1996 2003-2005
2012
TFR
2,9
2,6
2,6
CPR
54,7
60,3
61,9
Unmeet Need
15,3
13,2
11,4
39
Bantuan internasional untuk alat kontrasepsi sangat dipengaruhi oleh situasi politik
dari negara yang bersangkutan. Jika partai yang berkuasa adalah partai konservatif
yang tidak pro-kesehatan reproduksi atau pro-life, maka hampir dipastikan bantuan
negara tersebut untuk alat kontrasepsi dan program kesehatan reproduksi lainnya akan
berkurang tajam. Ada kemungkinan situasi ini akan mempengaruhi ketersediaan variasi
alat kontrasepsi yang pada akhirnya mempengaruhi pilihan metode kontrasepsi.
Kini, di era otonomi daerah, keluarga berancana menjadi ranah pemerintah daerah.
Kebijakan tentang keluarga berencana sangat tergantung pada pemahaman dan
kemauan politik pemimpin daerah. Keluarga Berencana dianggap bukan program wajib
yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah melainkan sebagai “menu pilihan”. Bagi
kebanyakan pemerintah daerah, Keluarga Berencana bukanlah proyek yang strategis.
Paradigma keluarga berencana hanya untuk mengendalikan jumlah penduduk sangat
dominan di kalangan pemerintah daerah terutama yang kepadatan penduduk relatif
rendah dibandingkan daerah-daerah di P. Jawa, sehingga mereka merasa tidak terlalu
perlu menerapkan program kelurga berencana karena kepadatan penduduknya
masih rendah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Rumah Kitab, sebuah LSM yang bergerak di isu
agama, menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi dipengaruhi oleh agama.
Seseorang penganut Islam yang kuat cenderung untuk menolak menggunakan
kontrasepsi modern. Kelompok Islam revivalis percaya bahwa lebih banyak anak akan
mendapatkan lebih banyak pahala dari Allah. Mereka juga percaya bahwa Islam akan
lebih kuat jika umatnya memiliki lebih banyak anak di dalam rumahnya
(Rumah Kitab, 2013).21
21
Yayasan Kesehatan Perempuan, Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Health Services Profile on Indonesia, hal. 4.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Terkait dengan layanan, sampai saat ini kebijakan yang berlaku di Indonesia adalah
layanan keluarga berencana hanya diperuntukkan bagi pasangan usia reproduksi yang
sudah menikah. Pelayanan ini tidak berlaku bagi perempuan yang belum menikah
dan juga bagi remaja. Padahal sepertiga kehamilan tidak diinginkan dan aborsi tidak
aman terjadi pada kelompok ini. Pelayanan dan pendidikan kesehatan reproduksi
remaja masih memicu penolakan terutama dari kelompok agama karena dianggap
mendorong terjadinya seks bebas. Di sisi lain menyetujui pernikahan usia anak karena
lebih baik dari pada berzinah. Sebuah pandangan yang melihat hubungan seksual
dilihat dari sisi dosa. Selama dilakukan dalam perkawinan (baik sah secara hukum
negara ataupun hanya sah secara hukum agama) maka hubungan seksual itu baik
adanya, walaupun melibatkan perempuan di bawah umur.
40
Terkait dengan layanan, bukan hanya layanan keluarga berencana saja yang hanya
diperuntukan bagi pasangan usia subur tetapi hal yang sama dianggap berlaku untuk
layanan kesehatan reproduksi lainnya. Hal ini tampak pada pandangan atau anggapan
bahwa berkonsultasi ke bidan atau dokter kandungan selalu terkait dengan kehamilan,
sehingga hanya yang sudah menikahlah yang berkonsultasi ke bidan atau dokter
kandungan. Padangan ini menghambat langkah remaja putri dan perempuan yang
belum menikah untuk mendatangi layanan kesehatan untuk mendapatkan layanan
atau hanya sekedar informasi tentang kesehatan reproduksi.
Diskriminasi pelayanan reproduksi tidak hanya dialami oleh remaja dan perempuan
yang belum menikah tetapi juga kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan
seperti difabel, anak berkebutuhan khusus, mereka yang miskin, mereka yang tinggal
di daerah terpencil dan perbatasan serta mereka lesbian, gay dan transgender.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Hak dan kesehatan reproduksi bagi kelompok difabel ini sudah lama diperjuangkan
oleh aktifis difabel, tapi sampai saat ini belum ada responnya. Kalangan kesehatan
sendiri sangat jarang yang melakukan kajian tentang masalah kesehatan dari
kelompok ini. Misalnya bagaimana seseorang yang mengalami paralisis di panggul ke
bawah dapat memenuhi kebutuhan seksualnya atau bagaimana mengatasi masalah
kesehatan reproduksinya yang terganggu karena terlalu banyak berbaring atau terlalu
banyak duduk. Alat bantu seperti apa yang mereka butuhkan. Bagaimana seorang tuna
netra atau tuna rungu mendapatkan informasi kesehatan reproduksi?
Hal lain terkait dengan remaja berkebutuhan
khusus seperti autisme, ADHD, slow learner yang
akhir-akhir ini semakin banyak ditemui. Bagaimana
menyeimbangkan kebutuhan seksual dan gejolak
hormonal dengan kendala kematangan sosial yang
mereka miliki. Belum ada panduan bagi orang
tua dan petugas kesehatan pun gagap ketika
menghadapi masalah seperti ini.
Di sisi lain kelompok-kelompok ini sangat rentan
menjadi korban eksploitasi dan kekerasan
termasuk kekerasan seksual. Diskriminasi ini
semakin parah jika kelompok marjinal ini juga
termasuk dalam kategori miskin.
Target 3.7.
Di tahun 2030, menjamin akses
universal ke layanan kesehatan
seksual dan reproduksi,
termasuk program keluarga
berencana, informasi dan
edukasi, dan integrasi kesehatan
reproduksi ke dalam strategi dan
program nasional.
41
Jika perhatian terhadap kelompok difabel, anak berkebutuhan khusus, kelompok
miskin, yang tidak bisa diperdebatkan atau dikaitkan dengan dogma agama, budaya,
dan sosial saja belum dijamah secara serius oleh negara, maka memperjuangkan hak
seksual dan reproduksi untuk lesbian, gay dan transgender membutuhkan perjuangan
yang panjang.
AGENDA 2030 juga memiliki target khusus yang terkait dengan SRHR yaitu menjamin
akses universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk program
keluarga berencana, informasi dan edukasi, dan integrasi kesehatan reproduksi ke
dalam strategi dan program nasional. Bagaimana negara menyikapi hal ini?
HIV dan tren penyebarannya
AGENDA 2030 juga menargetkan mengakhiri
epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit
tropis terabaikan dan memberantas hepatitis,
penyakit yang terbawa oleh air, dan penyakit
menular lainnya.
Tujuan 3.3.
Berdasarkan proyeksi jumlah infeksi baru di
wilayah Papua dan Non Papua sesudah tahun
2013 sampai dengan 2030, tampaknya jumlah
kasus baru masih terus meningkat. Proporsi wanita risiko rendah hampir mendekati
proporsi pelanggan untuk wilayah Papua, sedangkan di wilayah non Papua, proporsi wanita
risiko rendah lebih tinggi dari pada pelanggan. Kelompok LSL memegang proporsi terbesar
di tahun 2030 (Grafik 1 dan Grafik 2). 22
universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk program keluarga
berencana, informasi dan edukasi, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan
program nasional. Bagaimana negara menyikapi hal ini?
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Di tahun 2030, mengakhiri
epidemi AIDS, tuberkulosis,
malaria dan penyakit tropis
terabaikan dan memberantas
hepatitis, penyakit yang terbawa
oleh air, dan penyakit menular
lainnya.
42
Grafik 1 : Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Papua
tanpa intervensi sesudah 2013 - 2030
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Grafik 2. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Non Papua
tanpa intervensi sesudah 2013 - 2030
Sumber : KPAN
22
Sumber KPAN dalam Outlook 2015: Kebijakan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia, diunduh dari http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/
beranda/49-general/1062-outlook-2015-kebijakan-penanggulangan-hiv-aids-di-indonesia#v-klik-disini.
43
Berdasarkan proyeksi penyebaran HIV baik di Papua maupun Non Papua, proporsi
perempuan risiko rendah cenderung meningkat. Kelompok perempuan risiko rendah
ini bisa jadi adalah pasangan dari laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks, atau
pasangan penasun atau pasangan dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan
laki-laki. Perempuan-perempuan ini adalah perempuan yang tidak mengetahui “perilaku”
pasangannya, atau mengetahui pasangannya berisiko tetapi tidak berdaya untuk melindungi
dirinya dari penularan HIV, atau mungkin tidak mengetahui cara melindungi dirinya.
Padahal jika terjadi peningkatan perempuan terinfeksi HIV, maka harus diwaspadai terjadi
peningkatan anak yang positif HIV serta kematian anak akibat infeksi oportunistik.
Ada hal yang menarik pada proyeksi non Papua. Proporsi LSL menanjak cukup tajam
sejak 2010 berbanding terbalik dengan proporsi penasun yang menurun tajam di sekitar
tahun 2010- 2012 dan cenderung stagnan sampai tahun 2030. Apakah ini berarti siklus
penyebaran HIV berulang? Kelompok LSL kembali sebagai penyumbang infeksi terbesar
seperti awal epidemi HIV ini muncul?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV di Indonesia sangat
tergantung dari donor atau “donor driven”. Donor juga memiliki “kecenderungan” tertentu.
Pada saat penularan HIV melalui hubungan seksual merebak, maka progam pembagian
kondom gratis dilaksanakan besar-besaran. Pada saat isu penasun meningkat, semua
program HIV diarahkan untuk penggunaan jarum suntik steril dengan penyediaan jarum
suntik gratis dan upaya penjangkauan. Jarum suntik pun “dihantarkan” ke penasun.
Proporsi penyebaran infeksi HIV pun mengikuti pola intervensinya. Jika intervensi program
donor terfokus pada penyebaran jarum suntik steril, maka tingkat penyebaran HIV
dikalangan penasun akan tertekan tetapi penyebaran infeksi melalui hubungan seksual
akan meningkat. Jika fokus program pada penyebaran kondom maka terjadi penurunan
penyebaran infeksi melalui hubungan seksual tetapi penyebaran di kalangan penasun akan
meningkat. Hal ini menunjukan pola penyebaran HIV belum mantap dan ketergantungan
pada proyek masih sangat tinggi. Maka data HIV yang baik adalah ketika pola penyebaran
infeksi disandingkan dengan program intervensi yang sedang dilakukan di daerah tersebut.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Guna menjawab hal itu, perlu dipahami bahwa HIV telah menjadi perhatian dunia
karena merupakan epidemi global yang bertahan bertahun-tahun. Negara-negara maju
mengucurkan banyak dana untuk pencegahan epidemi ini termasuk untuk Indonesia. Dana
internasional untuk pencegahan dan penanggulangan HIV mungkin menyamai atau bahkan
lebih besar dari dana yang dikucurkan APBN.
44
Tingginya penyebaran infeksi di kalangan LSL juga perlu mendapat perhatian dari
para penggiat hak seksual. Apa yang sesungguhnya terjadi? Penyebaran infeksi HIV
di kalangan LSL dapat dicegah dengan penggunaan kondom. Hubungan seksual per
anal memiliki risiko perlukaan yang tinggi sehingga mempercepat penularan HIV.
Pengetahuan ini sudah sejak awal disebarkan. Apakah penyebaran pengetahuan ini
terhenti dikalangan LSL sehingga terjadi peningkatan HIV? Ataukah jumlah LSL yang
meningkat tajam?
Siapakah “pemain-pemain utama” di bidang kesehatan?
Pemain-pemain utama dalam bidang kesehatan yang selama ini selalu dicatat adalah
pemerintah, insitusi kesehatan (baik swasta dan pemerintah) petugas kesehatan
(atau kelompok profesional kesehatan), akademisi (atau peneliti atau para pakar).
Pemerintah memiliki peran sebagai pembuat kebijakan untuk menjamin pemenuhan
hak kesehatan rakyatnya. Institusi kesehatan dan petugas kesehatan adalah penyedia
layanan kesehatan, akademisi atau peneliti adalah pengembang inovasi bidang
kesehatan serta memproduksi kajian-kajian untuk mengevalusi produk-produk
kesehatan (baik produk materi maupun imateri seperti kebijakan).
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Selain para pemain yang sudah disebutkan di atas masih ada pemain-pemian penting
lain yang jarang diekspos padahal memiliki peranan yang besar yaitu pebisnis dalam
bidang farmasi, alat kesehatan maupun bidang lain yang terkait. Lembaga Donor
Internasional yang menyalurkan dana, “konsep” baru serta pakarnya. Dan tentu
saja negara-negara industri besar yang menyokong pendanaan, serta mendorong
perkembangan bisnis.
Semua program kesehatan selalu melibatkan bisnis di belakangnya. Beberapa contoh
nyata yang terkait dengan kesehatan reproduksi misalnya pengadaan alat kontrasepsi.
Lobi bisnis di tingkat pembuat kebijakan dapat mempengaruhi kebijakan penyediaan
alat kontrasepsi. Lobi bisnis ini tidak hanya di tingkat atas tetapi sampai ke tingkat
petugas kesehatan. Di Indonesia, relasi petugas kesehatan (dokter spesialis, dokter
umum, bidan dll) dan kliennya sangatlah tidak setara. Petugas kesehatan diposisikan
sangat tinggi dan diberi kuasa oleh kliennya untuk menentukan nasibnya. Ketika
kepercayaan klien begitu tinggi, maka klien akan menuruti arahan petugas kesehatan.
Hal ini sangat tidak adil ketika petugas kesehatan berada di bawah kuasa pebisnis.
Maka perlu berhati-hati ketika membaca data kesehatan, apakah data itu merupakan
gambaran murni di masyarakat atau ada intervensi bisnis di dalamnya.
Contoh lain adalah program pencegahan HIV. Selama bertahun-tahun lembaga donor
mensuplai kondom dan jarum suntik. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang
didapat produsen jarum suntik dan kondom yang dibeli oleh lembaga donor. Di sisi
lain ternyata program penyediaan jarum suntik justru menciptakan ketergantung
penasun terhadap jarum suntik gratis. Sehingga turunnya infeksi penyebaran HIV
di kalangan penasun mungkin semu, karena penasun tidak berubah. Jumlahnya
bertambah, ketergantungnya juga bertambah, selain ketergantungan narkobanya
mereka juga ketergantungan jarum suntik gratis. Semakin lama, yang akan lebih
banyak mendapatkan keuntungan adalah pebisnis. Belum lagi jika bicara tentang
ARV, yang terhambat hak paten, sehingga negara-negara miskin dengan tingkat HIV
/AIDS tinggi semakin tersiksa karena harus menyediakan ARV dengan harga yang
mahal. Oleh sebab itu negara-negara ini didukung oleh lembaga donor internasional
(termasuk Indonesia). Lembaga-lembaga donor inilah yang lebih banyak membeli ARV
ke pebisnis. Sementara pebisnis tetap menjalankan bisnis secara biasa. Programnya
kemanusiaan, tetapi untuk pebisnis tetap “business as usual” dan hasilnya kembali
ke negara-negara besar tempat mereka berasal dalam bentuk pajak dan lapangan
pekerjaan. Sementara negara miskin tetap bergulat dengan kemiskinannya dan HIV.
Saat ini pengadaan obat harus melalui e-procurement (Pengadaan barang melalui
sistem elektronik). Pemerintah telah menentukan pagu harga obat termasuk obat
generik. Yang terjadi adalah produsen /distributor obat enggan mengikuti e-proc
untuk obat generik karena harga pagu yang ditentukan dirasa kurang menguntungkan.
Akibatnya obat generik menjadi langka di pasaran termasuk puskesmas. Mau
tidak mau petugas kesehatan akan mengganti obat generik dengan obat yang lebih
mahal. Pemberian obat yang tidak rasional akan mempengaruhi resistensi dan akan
berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta membebani negara di masa datang.
Jika hal ini didiamkan tentu akan mempengaruhi pola pengobatan masyarakat dan
pembiayaan pengobatan (terkait dengan BPJS). Begitu kuatnya pengaruh pebisnis
dalam bidang kesehatan.
Kedaulatan Kesehatan
Tingginya harga obat, dan ketergantungan Indonesia terhadap bahan impor
seharusnya menjadi indikasi bahwa sudah waktunya Indonesia mengubah strateginya.
Indonesia sangat kaya akan bahan baku alami obat-obatan. Sudah saatnya Indonesia
memproduksi bahan baku obat sendiri. Pemerintah harus membuat regulasi agar
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Terkait dengan obat-obatan, Indonesia dikenal sebagai negara dengan harga obat
yang mahal. Di Indonesia terdapat sekitar 200-an perusahaan farmasi. Sekitar 70
%nya adalah perusaan lokal dan sisanya adalah PMA. Namun dari sisi omzet, PMA
mendominasi terutama dari sisi value. Artinya PMA lebih banyak memasarkan obatobatan dengan harga tinggi. Indonesia sangat tergantung negara lain dalam hal
kesehatan baik itu obat-obatan maupun alat kesehatan. Indonesia masih mengimpor
90 % bahan baku obat, sehingga harga obat begitu tinggi, dan diperparah dengan biaya
promosi yang harus ditanggung oleh konsumen. Ketergantungan yang tinggi terhadap
produk impor menunjukkan Indonesia belum mampu menyehatkan bangsanya sendiri.
45
46
perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia harus menggunakan bahan baku
yang diproduksi di Indonesia.
Alternatif lain adalah mengembangkan pengobatan tradisional setara dengan
pengobatan modern, karena Indonesia kaya akan bahan rempah yang sangat
bermanfaat. Indonesia mempunyai pengetahuan ramu-ramuan herbal tetapi di”mati
suri”kan oleh kedokteran modern. Tenaga kesehatan Indonesia juga harus dididik
untuk menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan tradisional bersamaan
dengan pengetahuan kedokteran modern.
Komitmen persentase 15% alokasi dana APBN atau APBD untuk kesehatan harus
dilaksanakan oleh semua kepala daerah. Dilakukan kontrol penggunaannya. Semua
pelayan dasar yang merupakan “public goods” diselenggarakan dan tanggung oleh
negara (termasuk didalamnya layanan KB, kespro). Pelayanan kesehatan tersedia
sampai pelosok-pelosok dan memberikan pelayanan dasar tanpa diskriminasi. Disertai
pengembangan sistem kesehatan yang lebih mendukung upaya promotif, preventif
dari pada kuratif dan menghindari ‘swastanisasi” institusi kesehatan. Konsep “dokter
keluarga” yang dulu sempat diwacanakan perlu diupayakan kembali. Dengan model
dokter keluarga, pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi juga akan lebih efektif.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Jika semua hal tersebut dijalankan, berarti Indonesia sudah melangkah untuk menjadi
berdaulat di bidang kesehatan.
4.4.SRHR dan Pendidikan
Pendidikan adalah hak yang fundamental. Pendidikan yang baik dapat meningkatkan
taraf hidup dan memberikan kontribusi sosial yang lebih luas serta posisi tawar
ekonomi yang lebih baik. Meningkatkan taraf pendidikan dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi hingga 50% di negara-negara berkembang selama 5 dekade
silam. Sekitar separuhnya disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang
mengecap pendidikan lebih tinggi, serta laki-laki maupun perempuan mendapatkan
kualitas pendidikan yang lebih baik selama masa sekolah.24
AGENDA 2030 menetapkan tujuan pendidikan sebagai tujuan ke 4 yang berbunyi
“Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan
kesempatan belajar seumur hidup”.
Apakah pendidikan inklusif itu?
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung
semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan
22
ibid
bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat
ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas
reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995)
menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai
sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di
kelas reguler bersama-sama teman seusianya.25
47
Tujuan 4:
Memastikan kualitas pendidikan
yang inklusif dan adil serta
mempromosikan kesempatan
belajar seumur hidup.
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi
semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat
fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah
terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin),
mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya,
agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak
pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat
dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis,
anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhannya.
Bagaimana penerapan pendidikan inklusif di Indonesia?
Pemerintah Indonesia memberikan jaminan sepenuhnya kepada peserta didik
berkebutuhan khusus atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal tersebut sesuai dengan
amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Di tahun yang sama, Dirjen Dikdasmen Depdiknas juga mengeluarkan Surat Edaran
No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif :
Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurangkurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK.
Pada kenyataannya peserta didik berkebutuhan khusus atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa usia sekolah masih banyak yang belum
mendapatkan akses pendidikan, terutama mereka yang berdomisili di pedesaan.
25
Lismaya, Lilis., Apa itu Pendidikan Inklusi, diunduh dari http://www.pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-inklusif
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Inti dari pendidikan inklusi adalah menerapkan dan mengajarkan tentang menghargai
perbedaan, pemahaman bahwa setiap manusia memiliki keunikan, dan kelompok
mayoritas bukanlah standar atau acuan kebenaran.
48
Di Provinsi DKI Jakarta saja, jumlah sekolah
inklusi masih belum memenuhi standar.
Padahal Gubernur DKI sudah mengeluarkan
Peraturan Gubernur No.116 Tahun 2007 tentang
penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dalam Bab III
pasal 4 bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusi
di setiap Kecamatan sekurang-kurangnya terdapat
Tujuan 4:
Memastikan kualitas pendidikan
yang inklusif dan adil serta
mempromosikan kesempatan
belajar seumur hidup.
3 (tiga) TK/RA, SD/MI, dan satu SMP/MTS dan disetiap Kota sekurang-kurangnya
3(tiga) SMU/SMK/MA/MAK. Kenyataannya di Jakarta Selatan yang memiliki 10
Kecamatan, hanya ada 3(tiga) SD Inklusi Negeri, seharusnya terdapat sekurangkurangnya 30 SD/MI. Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan inklusi ini sangatlah
minim sehingga tidak dapat memenuhi rasio 3 sekolah inklusi di tiap tingkatan di
setiap puskesmas. Akibatnya untuk DKI Jakarta saja, pada tahun 2009 diperkirakan
terdapat 50.000-an siswa berkebutuhan khusus yang seharusnya ditampung di
sekolah inklusi menjadi tidak tertangani dengan baik.29
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Selain jumlahnya tidak memadai, kualitas sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah
inklusi juga belum merata. Beberapa sekolah inklusi hanya ditunjuk tanpa penyiapan
sumber daya yang memadai. Guru-guru tidak semua memahami tentang siswa
berkebutuhan khusus dan tentang pendidikan inklusi. Siswa-siswa lain pun juga
tidak diberi pemahaman tentang pentingnya menghormati perbedaan sebegai
inti pendidikan inklusi dengan baik. Situasi ini seringkali malah memicu terjadinya
kekerasan terhadap siswa berkebutuhan khusus.
Kekerasan terhadap anak di sekolah
Laporan tahunan UNICEF tahun 2014 menyebutkan
bahwa 45% anak Indonesia mengalami kekerasan
fisik di sekolah. Angka ini merupakan salah satu
yang tertingi di dunia. 30
Hasil penelitian di 5 negara (Kamboja, Indonesia,
Pakistan, Vietnam, Nepal) yang dilakukan oleh
PLAN International dan ICRW menunjukkan bahwa
84% responden (pelajar) Indonesia mengalami
kekerasan di Sekolah. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata Asia yang 70%.31
Tujuan 4:
Di tahun 2030, memastikan bahwa
semua peserta didik memperoleh
pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk mendorong
pembangunan yang berkelanjutan,
termasuk, diantaranya, melalui
pendidikan tentang pembangunan
dan gaya hidup yang
berkelanjutan, hak asasi manusia,
kesetaraan gender, promosi
budaya damai dan non-kekerasan,
kewarganegaraan global dan
apresiasi keanekaragaman budaya
dan kontribusi budaya untuk
pembangunan yang berkelanjutan.
29
Hamidah, Wanda., Nasib Sekolah Inklusi di Jakarta, diunduh dari https://id-id.facebook.com/notes/wanda-hamidah/nasib-sekolah-inklusi-di-jakarta-
disusun-dirangkum-oleh-de-ag-staf-khusus-wh/184941471103.
30
UNICEF, Annual Report Indonesia 2014, UNICEF, 2015, h. 18, diunduh dari http://www.unicef.org/indonesia/UnicefAnnualReport2014_FINALPREVIEW_
ENGLISH.pdf.
31
Bhatla, Nandita., et al., Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, Plan International and ICRW, 2015, h. 10
Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan LSM.
Penelitian ini juga menemukan bahwa kekerasan
psikologis atau kekerasan emosi merupakan
bentuk kekerasan yang paling banyak dialami
responden pelajar selama 6 bulan terakhir. Temuan
ini dilaporkan oleh responden dari ke lima negara.
Pelajar juga menyatakan kekerasan psikologis ini
adalah faktor utama yang menyebabkan sekolah
menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka.
Setelah kekerasan psikologis, kekerasan fisik
Target 1
DI tahun 2030, memastikan
bahwa semua anak perempuan
dan laki-laki menyelesaikan
pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang bebas biaya, adil,
dan berkualitas sehingga hasil
belajarnya relevan dan efektif.
49
adalah kekerasan urutan kedua terbanyak yang dialami responden. Di kelima negara
yang berpartisipasi dalam penelitian ini , proporsi anak laki-laki yang mengalami
kekerasan fisik lebih tinggi secara bermakna dibandingkan anak perempuan. Secara
umum kekerasan seksual jumlahnya rendah, namun perlu dicatat bahwa hal ini
kemungkinan karena responden merasa takut atau malu untuk mengakuinya. 33
Kekerasan pada anak di sekolah bisa dilakukan oleh orang dewasa seperti guru,
karyawan sekolah, petugas kantin, petugas kebersihan, tetapi bisa juga dilakukan oleh
teman sebaya. Saat ini siswa SD pun sudah mampu membunuh temannya dengan keji
(ditenggelamkan, dibakar, dikeroyok) hanya karena alasan yang sepele.
Jika diamati dengan lebih seksama, kekerasan terhadap anak di sekolah juga meliputi
kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender di sekolah yang dimaksud
adalah:
- berbasis pada stereotipi gender atau mentargetkan siswa berdasarkan jenis kelaminnya;
- mempunyai maksud untuk mempertegas peran gender dan melanggengkan ketidak adilan gender;
- termasuk (tetapi tidak terbatas) pemerkosaan, sentuhan seksual yang tidak diinginkan, ujaran seksual yang tidak diinginkan, hukuman badan, bullying dan pelecehan secara verbal;
- pelaku bisa guru, siswa atau masyarakat dan/atau;
- baik siswa maupun siswi, keduanya dapat menjadi korban maupun pelaku;
Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender serta tempat-tempat yang biasa terjadi
kekerasan di sekolah dapat dilihat pada tabel 3.
Loc.cit.
Loc.cit.
35
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/.
33
34
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring KPAI (Komisi Perlindungan Anak
Indonesia) pada tahun 2012 di 9 propinsi, menunjukkan bahwa 91% anak menjadi
korban kekerasan di lingkungan keluarga; 87,6% di lingkungan sekolah dan 17,9 % di
lingkungan masyarakat.34
Tabel 3: Peta Lokasi Kejadian dan Bentuk Kekerasan di Sekolah
50
Laki-laki
Ruang Kelas
Dipalak
Hukuman fisik
Ditonjok, ditendang
oleh guru
Gerbang Sekolah
Lobi
Berkelahi, bullying,
diejek karena
bertingkah laku
feminin
Kantin
Perempuan
Kedua nya
Kekerasan fisik,
diejek, dijamah, guru
memberikan komentar
buruk terhadap murid
yang melakukan
kesalahan dan mengkritik
murid di depan kelas
serta menceritakannya
kepada guru lain, baju
ditarik oleh siswa laki-laki
Bullying, berkelahi,
dipukul teman, diejek,
Dihukum berdiri di depan
kelas
Pelecehan seksual,
kekerasan fisik, berkelahi
dengan sesama siswi,
bullying, takut diculik,
diejek
Kekerasan fisik oleh
penjaga sekolah,
kekerasan fisik antara
siswa maupun siswi
Dijamah bagian paha,
dicubit oleh siswa, dijegal
Berkelahi
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Pelecehan seksual,
Pelecehan seksual,
bullying, adu mulut,
dipaksa string, dikunci
dipalak, ditubruk, pantat
dari luar
dijamah ketika mengantri,
dijambak, diejek
Toilet
Berkelahi
Difoto dan diunggah
ke FB, ditarik paksa ke
toilet laki-laki dipukul
atau groped, Siswa lakilaki mempertontonkan
organ vitalnya, perilaku
vulgar siswa laki-laki di
depan toilet, ketakutan
digerayangi, bullying
Di segala tempat
Perkelahian antar
kelompok siswa
Perkelahian antar
kelompok siswi,
mengunggah foto yang
buruk dan memberikan
komentar yang
menyakitkan di FB, tali BH
ditarik oleh siswa lakilaki, ditendang, ditonjok,
dijambak oleh siswi
lainnya, pipi dijamah oleh
siswa, dilempar puntung
rokok
Digosipkan di FB,
perdebatan di FB
berlanjut hingga
perkelahian fisik di
sekolah,
Sumber : Bhatla, Nandita., et al., Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, Plan International and ICRW, 2015.36
Hasil-hasil temuan di atas menunjukkan sekolah bukanlah tempat yang aman bagi
anak. Kekerasan antar siswa yang terjadi di sekolah bisa menjadi indikator bahwa
sistem pendidikan di Indonesia telah gagal untuk menanamkan pemahaman tentang
keberagaman dan cara menyelesaikan perbedaan. Kekerasan yang dilakukan oleh
pihak sekolah (guru ataupun karyawan) menjadi contoh yang buruk bagi siswa.
Pembiaran atau ketidak tegasan sekolah atas kekerasan yang terjadi di sekolahnya
menjadikan siswa menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan adalah hal yang
wajar, biasa dan terus menerus dilakukan.
Kekerasan berbasis SOGIEB adalah kekerasan yang terjadi karena salah satu atau lebih
dari elemen SOGIEB di atas. Mengingat usia yang masih sangat belia, elemen SOGIEB
yang paling mudah terlihat dan paling sering menjadi alasan kekerasan adalah ekspresi
gender. Anak laki-laki yang bersikap lembut atau gemulai selalu menjadi sasaran
bullying kawan-kawannya baik laki-laki maupun perempuan. Diteriaki sebagai “banci”,
“hombreng”, “gak lurus” adalah hal yang sering terjadi. Ejekan akan meningkat menjadi
kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Sekolah menjadi tempat yang “menyeramkan”
bagi anak-anak ini.
Ibid, h. 15.
Dirangkum dari Ardhanary Institute ( dan Aliansi Remaja Independen (http://aliansiremajaindependen.org/informasi/resource-center/seksualitas-dan-
gender.html).
37
38
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Sekolah juga menjadi tempat terjadinya kekerasan berbasis SOGIEB (Sex Orientation,
Gender Identity, Expresion and Body). Elemen SOGIEB dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai Orientasi Seksual, Identitas Gender dan Ekpresi Gender serta
Seks Biologis :
• Orientasi Seksual adalah ketertarikan seseorang terhadap jenis kelamin atau gender tertentu. Orientasi seksual ini terkait dengan Identitas Seksual yang diartikan sebagai bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sehubungan dengan orientasi seksualnya contohnya : heteroseksual, gay, lesbian, biseksual.
• Identitas Gender adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, laki-laki atau tidak keduanya. Identitas gender ini bersifat subyektif, karena individu yang bersangkutan yang paling memahami identitas yang paling tepat untuk dirinya. Identitas Gender ini seringkali bertabrakan dengan Peran Gender yang dibangun oleh masyrakat.
• Ekspresi Gender adalah bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya yang feminin, maskulin atau androgin. Ekspresi ini dapat berupa cara bertindak, berpakaian, tingkah laku, berinteraksi secara disengaja atau tidak disengaja.
• Seks Biologis adalah jenis kelamin yang bersifat biologi. Sifat biologis ini ditentukan oleh kromosom dan organ reproduksi. Menjadi perempuan berarti memiliki vagina, indung telur, susunan kromosom XX, hormon estrogen yang dominan, dan memiliki rahim. Sedangkan menjadi laki-laki berarti memiliki testis, penis, susunan kromosom XY, hormone testosterone yang dominan. Sedangkan menjadi interseks bisa memiliki kombinasi perempuan dan laki-laki. Ciri-ciri biologis ini melekat secara permanen. Fisiknya dapat diubah tetapi fungsinya tidak dapat diubah.
51
52
Hinaan atau ejekan bukan hanya datang dari kawan sebaya tetapi juga dari para guru.
Pandangan bahwa laki-laki harus maskulin yang dinilai dari postur dan gerak tubuh
masih mendominasi pemahaman dari para guru. Anak laki-laki yang gemulai dianggap
“kelainan” yang harus diperbaiki atau disembuhkan.
Tekanan dari teman sebaya tidak hanya ekspresi gender, ketika seorang siswa lakilaki memilihi jurusan yang dianggap feminin pun, mereka juga menjadi bulan-bulanan.
Minat atau keahlian dalam mata pelajaran tertentu sering kali juga dikaitkan dengan
gender. Misalnya laki-laki “harus”nya lebih kuat di mata pelajaran eksata seperti
matematika, fisika serta olah raga. Sementara perempuan lebih kuat di mata pelajaran
sosial, bahasa. Jika ada anak laki-laki yang lemah di pelajaran eksata namun kuat di
pelajaran bahasa atau seni, sering kali menjadi bahan ejekan.
Di sekolah kejuruan ketika seorang siswa laki-laki memilih jurusan yang dianggap
“feminin” seperti tata busana, maka sering kali ia akan menjadi bahan ejekan siswa
dari jurusan lain. Padahal kenyataannya dunia perancang busana didominasi oleh
perancang laki-laki.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Di Indonesia masih sangat sedikit data yang menunjukkan kekerasan karena SOGIEB
ini, tetapi secara empiris, kasus ini banyak ditemui di sekolah-sekolah. Sebuah situs
anti bullying merangkum fakta-fakta tentang “gay bullying” 38 dari berbagai sumber
sebagai berikut:39
• Sembilan dari sepuluh remaja LGBT di-bully di sekolah karena orientasi seksual atau identitas gender mereka.
• Remaja LGBT berkemungkinan 2 hingga 3 kali lebih besar untuk di-bully daripada remaja heteroseksual atau cisgender.
• Remaja gay berkemungkinan 80% lebih kecil untuk mem-bully anak lain daripada remaja heteroseksual.
• Remaja LGBT berkemungkinan 4 kali lebih besar untuk mencoba bunuh diri daripada remaja heteroseksual atau cisgender.
• Lebih dari sepertiga remaja LGBT pernah mencoba bunuh diri.
• Remaja LGBT dengan keluarga yang tidak suportif berkemungkinan 8 kali lebih besar untuk mencoba bunuh diri daripada remaja LGBT dengan keluarga yang suportif.
• Sekitar 30% dari seluruh kasus bunuh diri dapat dihubungkan dengan krisis identitas seksual.
38
Gay bullying adalah perilaku agresif yang ditujukan kepada kaum gay, lesbian dan biseksual. Perilaku ini dipicu oleh adanya homofobia, yaitu kebencian irasional terhadap homoseksualitas (Generasi Indonesia Anti Bullying).
39
Dikutip dari situs Generasi Indonesia Anti Bullying, https://generasiindonesiaantibullying.wordpress.com/2014/03/03/300/.
• Anak-anak LGBT dilaporkan lima kali lebih mungkin membolos sekolah karena merasa tidak aman setelah di-bully karena orientasi seksual mereka. Sekitar 28% dari mereka merasa terpaksa keluar dari sekolah.
• Pada sebuah survei tahun 2005, remaja melaporkan bahwa alasan nomor dua mereka di-bully adalah orientasi seksual atau ekspresi gender mereka. Alasan nomor satunya adalah penampilan.
• Setiap satu remaja gay yang di-bully, empat remaja di-bully karena dikira sebagai gay atau lesbian.
• Di antara murid yang melaporkan peristiwa bullying yang mereka alami karena orientasi seksual mereka, sekitar satu per tiga dari staf sekolah tidak menyikapinya dengan baik, bahkan mengabaikannya.
53
Kekerasan berbasis gender serta SOGIEB yang tetap terjadi di sekolah menunjukkan
lemahnya pemahaman tentang kesetaraan dan penghormatan atas hak seksual dan
reproduksi orang lain.
Partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS merupakan indikator dasar
yang digunakan untuk melihat akses penduduk pada fasilitas pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi Angka Partisipasi Sekolah
semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Namun demikian meningkatnya APS tidak selalu dapat diartikan sebagai
meningkatnya pemerataan kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan.
Rumus:
APS (7-12) = Jumlah penduduk berumur 7-12 tahun yang masih sekolah X 100
Jumlah penduduk umur 7-12 tahun
40
41
Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan
yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan Bila APK digunakan untuk mengetahui
seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan di suatu jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat berapa
usianya, maka Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu.
Rumus:
APM SD = Jumlah penduduk umur 7-12 yang sekolah di SD X 100
Jumlah penduduk umur 7-12 tahun
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Dalam target-target dari tujuan 4 tetang pendidikan sangat ditekankan tentang
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan. Indikator
pendidikan dapat menggunakan Angka Partisipasi Sekolah (APS) 40 dan Angka
Partisipasi Murni (APM)41 yang terpilah. Akan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan
data siswa kelas 1 yang menyelesaikan pendidikan dasar. Namun penulis belum
mendapatkan data terpilah dari indikator tersebut.
54
Grafik 3. Angka Partisipasi Sekolah berdasarkan Kelompok Umur tahun 2013
98.13 98.56
89.62 91.67
63.32 63.84
Laki-Laki
Perempuan
7-12
13-15
16-18
Sumber : BPS RI - Susenas, 2009-2012
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Grafik 4. Angka Partisipasi Murni menurut Jenjang Pendidikan tahun 2013
95.63
95.41
72.23 75.29
53.85 54.40
Laki-Laki
Perempuan
SD
SLTP
Sumber : BPS RI - Susenas, 2009-2012
SLTA
Angka Partisipasi Murni perempuan berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD
relatif sama dengan APM laki-laki. Gambaran yang sama juga terjadi pada penduduk
usia 16-18 tahun yang masih bersekolah di tingkat SLTA, APM perempuan pun relatif
sama dengan APM laki-laki. Kondisi berbeda pada APM penduduk usia 13-15 tahun
yang masih bersekolah di SLTP. APM perempuan justru lebih tinggi daripada APM lakilaki.
55
Angka Partisipasi Sekolah menunjukkan penurunan yang drastis pada kelompok umur
16-18 tahun yang masih bersekolah. Demikian juga Angka Partisipasi Murni SLTA
yang hanya berkisar di angka 53-54. Hal ini mungkin terkait dengan wajib belajar
yang baru dicanangkan sampai 9 tahun, belum mencapai 12 tahun. Padahal AGENDA
2030 menyepakati bahwa semua penduduk menyelesaikan pendidikan menengah
dan bebas biaya. Saat ini Indonesia masih jauh dari target itu. Mengundangkan wajib
belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun akan dapatmeningkatkan derajat pendidikan
rakyat, memperkuat daya tahan rakyat serta meningkatkan status ekonominya.
Angka Partisipasi Sekolah dan Angka Partisipasi Murni yang hampir sama antara
laki-laki dan perempuan atau bahkan perempuan lebih tinggi, merupakan indikasi yang
menggembirakan terkait dengan persamaan kesempatan belajar bagi perempuan
dan laki-laki. Namun hal ini harus dibarengi dengan pemberian pemahaman tentang
kesetaraan gender bagi anak laki-laki dan orang tuanya. Ketika, perempuan semakin
berpendidikan, semakin mandiri tetapi sementara laki-laki masih didoktrin dengan
konsep “dominasi laki-laki” yang sudah usang, maka akan berpotensi menimbulkan
konflik domestik maupun di tempat kerja dan di masyarakat. Pada akhirnya,
perempuan lagi yang dipersalahkan karena dianggap “melawan kodrat”.
Peranan sekolah dalam pemenuhan SRHR
Sekolah memiliki dua peran dalam pemenuhan SRHR yaitu sebagai “sumber
pengetahuan” dan “role model” . Sekolah adalah sumber pengetahuan dan sumber
belajar, maka segala hal yang terkait dengan kesehatan dan hak seksual dan
reproduksi seharusnya dapat dibahas secara terbuka di sekolah sebagai sebuah
pengetahuan. Materi-materi tersebut dapat dimasukkan dalam berbagai pelajaran,
sehingga tidak perlu dibuat mata ajaran khusus “kesehatan reproduksi” misalnya.
Materi seksualitas dan reproduksi dapat dibahas di pelajaran biologi, olah raga, Bahasa
Indonesia, Matematika, PKN dan pelajaran apapun. Tidak ada yang tabu dalam belajar.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Di era globalisasi saat ini, dengan niat pemerintah untuk menerapkan ekonomi yang
terbuka serta berpartisipasi pada Kemitraan Trans Pacifik maupun bentuk kemitraan
ekonomi global lainnya, status pendidikan yang rendah akan menjadi bumerang bagi
negara kita.
56
Gambar organ tubuh manusia bukanlah hal yang harus disembunyikan, penis dan
vagina tidak perlu harus diubah penyebutannya. Semua hal itu penting dan perlu untuk
disampaikan di sekolah sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Sekolah-sekolah Katolik sudah sejak lama memberikan memberikan sesi khusus
tentang “sex education” yang dikoordinir oleh Keuskupan setempat, di setiap jenjang
pendidikan. Materi di setiap jenjang disesuaikan dengan perkembangan anak.
Informasi merupakan salah satu hak reproduksi dan seksual.
Selain sebagai sumber belajar, sekolah juga merupakan “negara kecil” yang
mempraktekan “kebijakan” dan “perilaku” terkait SRHR. Hal ini sangat terkait dengan
pemahaman guru, orangtua dan komunitas sekolah. Jika sekolah masih bias gender
maka kebijakannya pun akan bisa, perilaku guru nya pun akan bias. Kekerasan
berbasis gender adalah salah satu contohnya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Pentingnya pendidikan seksualitas komprehensif diterapkan di sekolah
Pendidikan seksualitas komprehensif adalah kunci untuk membentuk pribadi anak.
Pendidikan seksualitas bukan mengajarkan orang untuk berhubungan seksual.
Pendidikan seksualitas mengajarkan orang untuk menghargai tubuh dan kehidupan
pribadi maupun orang lain.
Mitos yang berkembang adalah pendidikan seksualitas mendorong anak dan remaja
untuk berhubungan seksual. Fakta menunjukan bahwa pendidikan seksualitas sejak
dini akan mendorong anak dan remaja untuk menunda aktivitas seksual pertama kali,
bersikap positif terhadap seksualitas, memiliki risiko lebih rendah dari tertular HIV
dan infeksi menular seksual, dan juga kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan
seksualitas juga mendorong anak dan remaja memiliki daya kritis menghadapi pilihanpilihan yang tersedia, termasuk mengenali berbagai bentuk kekerasan dan bagaimana
bertindak ketika mengalami atau melihat orang lain mengalami kekerasan.
Sudah banyak inisiatif yang dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan, lembaga
sosial kemasyarakatan, hingga berbagai lembaga pemerintah untuk memberikan
pendidikan seksualitas komprehensif kepada anak dan remaja baik di sekolah
maupun di luar sekolah. Namun hingga saat ini pendidikan seksualitas komprehensif
belum terintegrasi di dalam kurikulum pendidikan nasional. Di sisi lain, pemerintah
sudah berkomitmen untuk menyasar berbagai permasalahan anak dan remaja
khususnya menyikapi makin maraknya kekerasan seksual melalui pendidikan
kesehatan reproduksi. Upaya ini perlu dikawal oleh organisasi sosial kemasyarakatan
agar pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan berdasarkan
semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak setengah-setengah, dan
juga tidak menggunakan pendekatan yang berbasis menakut-nakuti.
57
4.5.SRHR dan Kesetaraan Gender
Tujuan ke 5 AGENDA 2030 adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan
semua perempuan dan anak perempuan.
Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa target yang terkait dengan SRHR yaitu
kekerasan terhadap perempuan, kerja domestik dan akses universal ke pelayanan
kesehatan seksual dan reproduksi.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih saja terus menerus terjadi. Jumlah
kasusnya semakin banyak dan tingkat kekejamannya semakin tinggi.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) sangat
berpengaruh pada kualitas hidupnya. Kekerasan juga berisiko kematian, kecacatan
permanen serta gangguan kejiwaan yang terus terbawa hingga dewasa.
(KPAI), dari tahun 2011 hingga 2013, tercatat
sebanyak 7.650 kasus kekerasan terhadap
anak Indonesia, dengan 30,1 persen dari jumlah
itu atau sebanyak 2.132 kasus merupakan
kasus kekerasan seksual. Di tahun 2013, KPAI
menjelaskan “Kekerasan terhadap kasus anakanak dalam catatan Jaksa Indonesia mencapai
4.620 kasus, termasuk kekerasan seksual. Lalu
di tahun 2014, Jaksa Indonesia telah menangani
1.462 kasus yang melibatkan kekerasan terhadap
anak”. Sementara data dari Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan,
di tahun 2012 terdapat 2.637 kasus kekerasan
terhadap anak, di mana 41 persennya adalah
kasus kekerasan seksual.42
Saat ini berkembang wacana hukuman kebiri
kimia untuk pelaku kekerasan terhadap anak
ataupun paedofilia. Wacana ini mendapatkan
42
Tujuan 5
Mencapai keseteraan gender
dan memberdayakan semua
perempuan dan anak.
Target 2.
Menghapuskan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan
dan anak perempuan di ruang
publik dan privat, termasuk
perdagangan manusia dan
eksploitasi seksual dan jenis
eksploitasi lainnya.
Setiawan, Arzetti B., Presentasi : Peran Anggota Legislatif dalam Penghapusan Kemiskinan Perempuan di Indonesia, 2015.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Saat ini secara khusus pemerintah memberikan perhatian terhadap kekerasan seksual
terhadap anak. Pemerintah pun menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan
seksual terhadap anak karena Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
58
pro-kotra dari bermacam pihak. Pihak yang pro hukuman kebiri menyatakan bahwa
pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu diberikan hukuman seberat-beratnya
agar tidak mampu mengulangi perbuatannya, kebiri adalah hukuman yang dianggap
paling pantas. Sedangkan kelompok yang kontra meyatakan bahwa hukuman
kebiri melanggara hak azazi manusia, ini sama saja menghukum kekerasan dengan
kekerasan.
Terlepas dari pro kontra tentang hukuman kebiri, fakta adanya kekerasan terhadap
anak, lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ketika seorang anak menjadi mengalami
kekerasan, semua pihak lebih mudah untuk bersepakat bahwa sang anak adalah
korban. Keberpihakan itu tidaklah sama ketika seorang perempuan yang menjadi
korban kekerasan. Pro-kontrak sering kali masih muncul, apakah perempuan itu korban
atau kekerasan itu dialami karena “kesalahan” yang dilakukan. Bahkan masyarakat
sering kali turut menghakimi perempuan korban kekerasan. Masyarakat yang
dimaksud termasuk petugas kesehatan, polisi, jaksa, media dan sebagainya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2015, (Komnas Perempuan) menyebut
1.033 kasus perkosaan, 834 kasus pencabulan, 184 kasus pelecehan seksual, 74
kasus kekerasan seksual lain, 46 kasus melarikan anak perempuan, dan 12 kasus
percobaan perkosaan.43 Jika dibandingkan dengan tahun 2013, angka kekerasan
seksual yang terjadi tahun lalu lebih rendah. Pada tahun 2013, angka kekerasan
seksual yang terjadi mencapai 2.634 kasus (56%) dari total 4.679 kasus yang
dilaporkan.
Catatan Tahunan (Komnas Perempuan) tahun 2015 juga mencatat adanya kekerasan
terhadap perempuan di ranah personal yang mencapai 8.626 kasus: kekerasan
terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau
21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%), kekerasan dalam
relasi personal lain (750 kasus atau 9%), kekerasan dari mantan pacar (63 kasus atau
1%), kekerasan dari mantan suami (53 kasus atau 0,7%), dan kekerasan terhadap
pekerja rumah tangga (31 kasus atau 0,4%). 44
Kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya perbudakan dan perdagangan
perempuan, memberikan dampak buruk terhadap status kesehatannya terutama
kesehatan reproduksinya. Kekerasan ini menciptakan rantai dampak kekerasan yang
sangat panjang, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, gangguan
kejiwaan, kecanduan, gangguan pola tidur, gangguan pola makan bahkan kematian
ataupun bunuh diri.
43
44
Komnas Perempuan, CATAHU 2015 edisi Launching, Komnas Perempuan, 2015, h. 18.
Ibid.
Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempun terjadi karena konstruksi sosial
yang menempatkan laki-laki lebih superior dan berkuasa dibandingkan perempuan.
Norma gender yang rigid ini membuat laki-laki mempunyai kecenderungan untuk
mendominasi pasangannya. Bagi banyak laki-laki superioritas dan kuasa yang
“diberikan” dipahami sebagai suatu yang mutlak termasuk menganggap memiliki dan
menguasai perempuan secara pikiran, kehidupan dan tubuhnya. Melakukan kekerasan
adalah salah satu bentuk menjalankan “peran”nya sebagai laki-laki yang memegang
kuasa, terutama jika tidak ada aspek lain yang dapat diunggulkan selain kekuatan fisik
dan ketajaman verbal. Konsep dominasi absolut ini dipelajari dari kehidupannya seharihari. Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor terkuat yang mempengaruhi laki-laki
melakukan kekerasan adalah mereka menyaksikan ayahnya melakukan kekerasan.
59
Jika melihat akar kekerasan terhadap perempuan, maka menjadi sangat penting
melibatkan laki-laki untuk mentransformasi norma sosial yang melanggengkan
kekerasan terhadap perempuan, termasuk mememahami akar masalah
ketidaksetaraan gender seperti relasi kuasa yang tidak setara, praktek dan stereotipi
yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan,
kelompok sosial minoritas dan mempromosikan alternatif model peran bagi anak lakilaki.
Satu hal yang saat ini kurang mendapat perhatian adalah intervensi bagi pelaku
kekerasan terhadap perempuan, selain hukuman pidana. Hukuman pidana belum
tentu menyelesaikan persoalan di diri pelaku. Hukuman pidana perlu juga didukung
dengan pendampingan dan rehabilitasi, apalagi jika perilaku kekerasan adalah
akibat kekerasan yang dialaminya dimasa kanak-kanak. UU No. 23/2004 tentang
penghapusan KDRT mengamanatkan perlunya konseling bagi pelaku kekerasan namun
hingga saat ini layanan konseling pelaku kekerasan masih terbatas baik dalam hal
penyedia layanan, maupun masih sangat rendahnya jumlah pelaku kekerasan yang
mengakses layanan.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Laki-laki juga perlu didorong untuk menyuarakan anti kekerasan pada perempuan dan
anak diantara para laki-laki. Laki-laki juga perlu dilibatkan dan proses sosialisasi dan
didorong untuk mencegah dan melaporkan jika terjadi kekerasan di lingkungannya.
60
Beban kerja ganda
Kerja domestik masih dianggap sebagai tugas perempuan dan bagian dari dari
“kodrat perempuan” . Kerja domestik ini tdak pernah dihitung sebagai “pekerjaan” dan
dianggap bukan kerja “produktif” yang bisa diperhitungkan secara rupiah. Padahal
kerja domestik mengkonsumsi jam kerja yang banyak dalam satu hari.
Ketika perempuan bekerja untuk mencari nafkah
bagi keluarga, seluruh kerja-kerja domestik
masih tetap dibebankan pada dirinya, sehingga
ia memiliki beban kerja berganda. Beban kerja ini
akan menhabiskan seluruh tenaga energi serta
mengurangi waktunya untuk bersosialisasi dan
mengembangkan dirinya.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Kerja domestik yang berlebihan juga tetap
dibebankan pada perempuan hamil dan pasca
melahirkan. Kerja berlebihan ini seringkali yang
menjadi penyebab masalah-masalah kehamilan
seperti pendarahan ataupun keguguran.
Target 5.
Menyadari dan menghargai
kerja perawatan yang tidak
dibayar (care work) dan
pekerjaan rumah tangga melalui
pelayanan masyarakat, kebijakan
perlindungan sosial dan
infrastruktur, serta penggalakkan
gagasan "tanggung jawab
bersama" dalam rumah tangga
dan keluarga agar gagasan
tersebut menjadi hal yang wajar
di setiap negara.
Ketika buku pelajaran SD sudah tidak lagi menulis “ibu memasak, bapak membaca
koran”, maka sudah saatnya tanggungjawab bersama dalam menyelesaikan tugas
domestik dijadikan sebuah nilai baru. Pelajaran kesetaraan gender harus dimulai dari
rumah. Hal yang paling sederhana adalah mengkategorikan tugas-tugas domestik
berdasarkan jenis kelamin. Semua pekerjaan domestik bisa dilakukan oleh perempuan
maupun laki-laki. Jika ayah melakukan tugas domestik, maka anak laki-laki akan
belajar bahwa laki-laki juga bisa dan wajib mengerjakan tugas-tugas domestik seperti
memasak, mencuci, menyapu dan sebagainya.
Laki-laki atau para suami atau para ayah perlu mengambil peran dalam kerja-kerja
rumah tangga. Hal ini akan memberikan banyak manfaat, yang pertama menunjukkan
penghargaan terhadap kerja rumah tangga dan berbagi beban dengan pasangan.
Perempuan menjadi memiliki waktu untuk beristirahat dan memperhatikan dirinya.
Ketika ayah melakukan tugas domestik, maka anak laki-laki akan belajar bahwa
laki-laki juga bisa dan wajib mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak,
mencuci, menyapu dan sebagainya.
Di sisi lain seringkali para perempuan (para ibu) yang melanggengkan konsep “tabu”
bagi laki-laki untuk melakukan kerja-kerja domestik. Para ibu melarang anak lakilakinya memasak atau menyapu, dan selalu memberikan beban tugas domestik yang
lebih banyak pada anak perempuannya. Para ibu seringkali juga tidak bisa terima
ketika anak laki-lakinya menikah harus berbagi kerja domestik dengan istrinya.
61
Akses universal ke kesehatan seksual dan reproduksi
Secara khusus dalam salah satu target dari tujuan kesetaraan gender adalah menjamin
akses universal ke kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi yang
disepakati sesuai dengan program aksi dari ICPD , Beijing Platform for Action, dan
dokumen hasil peninjauan konferensi tersebut.
Target 6.
Menjamin akses universal
ke kesehatan seksual dan
reproduksi serta hak-hak
reproduksi yang disepakati
sesuai dengan program aksi
dari Konferensi Internasional
Kependudukan dan
Pembangunan, Beijing Platform
for Action, dan dokumen hasil
peninjauan konferensi tersebut.
Akses universal berarti juga memberikan perhatian akan keterlibatan laki-laki dalam
kesehatan reproduksi misalnya KB. Saat ini partisipasi laki-laki dalam KB masih sangat
rendah. Data terakhir menunjukan hanya 4,6% saja lelaki yang menggunakan KB.
Perempuan yang dibebankan untuk menggunakan KB dengan beragam metodenya.
Akses universal mensyarakatkan layanan yang adekuat (ketersediaan petugas
kesehatan yang kompeten, obat dan peralatan yang teruji dan tidak kedaluwarsa,
infrastruktur yang mendukung seperti air dan sanitasi). Petugas kesehatan pun tidak
melakukan diskriminasi berdasarkan seksualitas, gender, etnis dan usia. 47
Akses universal SRHR meliputi akses akan informasi dan layanan preventif, diagnosis,
konseling, pengobatan dan perawatan.48 Secara lebih rinci pelayanan kesehatan
seksual dan reproduksi telah dibahas di sub bab kesehatan.
Ke lima tujuan AGENDA 2030 mempunyai kaitan yang sangat erat dan mendalam
terhadap SRHR, sehingga diulas juga dengan lebih dalam. Tujuan ke 6 sampai ke 17,
juga penting untuk mendukung pemenuhan SRHR, namun tidak semuanya memiliki
kaitan seerat dan sedalam ke lima tujuan yang sudah diulas di atas. Sub bab berikut
hanya akan membahas secara singkat tujuan AGENDA 2030 yang ke 6, 9 dan 13 yang
masih memiliki kaitan dengan SRHR.
Eldis, Universal Access to Sexual and Reproductive Health Services, Eldis.
Loc.cit.
48
Loc.cit.
46
47
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Akses universal berarti cukup layanan serta
informasi tersedia, terjangkau, dan dapat diterima
untuk memenuhi kebutuhan berbeda-beda dari
individu. Ini artinya masyarakat dapat menjangkau
pelayanan tanpa harus menempuh perjalanan
yang jauh atau memakan waktu yang lama. Kaum
difable juga dapat mengakses tempat pelayanan.
Harga Pelayanan harus terjangkau dan berbasis
pada prinsip keadilan. Kelompok miskin tidak boleh
menanggung biaya yang lebih besar atau sama
dengan kelompok yang lebih mampu. Pelayanan juga
harus sensitif terhadap kondisi sosial dan budaya,
termasuk gender, bahasa dan agama.46
62
4.6.Air
Air bersih adalah kebutuhan pokok manusia. Air bersih sangat terkait dengan
kesehatan, baik itu untuk dikonsumsi ataupun untuk higiene tubuh. Dalam kehidupan
sehari-hari, perempuanlah yang lebih banyak berhubungan dengan air. Tugas
domestik yang dilekatkan padanya seperti memasak, mencuci, memandikan anak,
membersihkan rumah sangat terkait dengan ketersediaan air bersih. Perempuan
jugalah yang harus mengupayakan ketersediaan air di dalam rumah tangga.
Demi menjaga ketersediaan air di rumah, sering
kali perempuan harus menempuh jarak jauh ke
sumber air dan membawa beban air yang berat
secara berulang-ulang dalam satu hari. Namun
pada saat membicarakan kebijakan tentang air,
perempuan seringkali tidak dilibatkan.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Air juga sangat dibutuhkan di tempat layanan
kesehatan. Ketiadaan air bersih sangat berisiko
terhadap kesehatan pasien. Air bersih juga hal
yang vital bagi pelayan kesehatan reproduksi
termasuk pelayanan bagi ibu melahirkan. Bidanbidan desa yang di tempatkan di daerah terpencil
akan sangat kesulitan jika tidak tersedia air bersih.
4.7.Infrastruktur
Infrastruktur mempunyai pengaruh terhadap status
kesehatan masyarakat. Infrastruktur yang buruk
membuat masyarakat sulit mengakses layanan
kesehatan seperti puskesmas maupun rumah
sakit. Banyak kasus-kasus kematian ibu dan bayi
yang disebabkan keterlambatan penanganan
karena sulitnya medan yang harus ditempuh.
Target 1.
Di tahun 2030, mencapai akses
adil dan universal ke air minum
yang aman dan terjangkau untuk
semua orang.
Target 2.
Di tahun 2030, mencapai akses
ke sanitasi dan kebersihan yang
memadai dan merata untuk
semua orang dan mengakhiri
buang air besar di tempat
terbuka, dengan memberi
perhatian khusus kepada
kebutuhan perempuan, anak
perempuan, dan orang-orang
dalam situasi rentan.
Target 6.
Memastikan ketersediaan dan
manajemen air bersih yang
berkelanjutan dan sanitasi bagi
semua.
Pemerintah harus mendekatkan layanan publik termasuk layanan kesehatan ke
masyarakat. Selain dengan membangun infrastruktur yang baik dan aman seperti
jalan, jembatan serta penerangan yang memadai, pemerintah juga perlu mendekatkan
fasilitas layanan publik ke masyarakat dengan membangun klinik satelit atau rumah
sakit bergerak.
4.8.Perubahan Iklim
63
Perubahan iklim adalah masalah yang dihadapi masyarakat dunia. Perubahan iklim
adalah suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia. Suatu daerah mungkin mengalami
pemanasan, tetapi daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat
kacaunya arus dingin dan panas ini maka perubahan iklim juga menciptakan fenomena
cuaca yang kacau, termasuk curah hujan yang tidak menentu, aliran panas dan dingin
yang ekstrem, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya.49
Pemanasan global adalah salah satu faktor yang menyebabkan perubahan iklim.
Dalam waktu 100 tahun terakhir ini, suhu bumi meningkat 1 derajat. Kontributor
terbesar pemanasan global saat ini adalah gas Karbon Dioksida (CO2), metana
(CH4) yang dihasilkan oleh usaha agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem
pencernaan hewan-hewan ternak), Dinitrogen Oksida (N2O) dari pupuk, dan gasgas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Kerusakan hutanhutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah
keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di
dalam jaringannya ke atmosfer.50
Perubahan iklim meningkatkan risiko bencana alam. Becana alam tidak pandang bulu,
apakah negara kaya atau miskin, agama, etnis dan jenis kelamin. Bencana alam selalu
masif. Pada kenyataannya, jumlah perempuan dan anak korban bencana lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki. Apalagi pada daerah-daerah yang sistem perlindungan
terhadap perempuan masih rendah. Artinya perempuan menanggung beban lebih
besar akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim dan bencana sangat terkait dengan peran “tradisional” perempuan
yang dilanggengkan. Perempuan lah yang selama ini berkutat dengan ketersediaan air
(lihat sub bab tentang air), pangan, kesehatan keluarga, tetapi jarang dilibatkan dalam
pengambilan keputusan dan tidak memiliki akses ke sumber-sumber dukungan.
………, Apa Itu Perubahan Iklim?, diunduh dari http://ipemanasanglobal.blogspot.com/2014/05/pengertian-perubahan-iklim.html.
Loc cit.
49
50
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Kontributor CO2 terbesar adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Eropa dan Jepang. Sejak 200 tahun lalu Amerika telah membabat hutannya dan
menggantinya dengan industri. Kini negara-negara maju ini berusaha keras untuk tidak
dipersalahkan atas kerusakan yang diakibatkan. Mereka menukarnya dengan sejumlah
dana untuk negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan, agar tidak merusak
hutannya. Di sinilah ketidakadilan iklim itu terjadi. Negara-negara maju menikmati
pendapat yang besar akibat merusak hutan, tetapi dampak kerusakkannya dirasakan
oleh seluruh dunia termasuk negara berkembang. Dan negara berkembang ditekan
untuk tidak memanfaatkan hutan demi kemakmuran rakyatnya.
64
Isu SRHR menjadi penting dalam situasi bencana terutama di tempat penampungan.
Korban bencana yang tinggal di penampungan seringkali terabaikan hak nya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi padahal misalnya ; para ibu tetap
harus mendapatkan pelayanan KB, Ibu hamil harus tetap mendapatkan pelayanan
pemeriksaan kehamilan; ibu menyusui, bayi dan balita tetap harus mendapatkan
asupan gizi yang cukup. Dalam situasi darurat, segalanya menjadi sangat terbatas
termasuk pelayanan kesehatan dan asupan gizi. Bantuan makanan yang dari hari
kehari hanya mie instan selain tidak bergizi juga tidak bisa dikonsumsi oleh bayi dan
balita.
Keadaan darurat juga rentan dengan kekerasan dan pelecahan. Kondisi penampungan
yang tidak memungkinkan untuk privasi menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Korban bencana seringkali tidur beramai-ramai dalam satu barak. Tidak ada pembatas
antar keluarga atau antara laki-laki dan perempuan. Situasi ini sangat berisiko
bagi perempuan dan anak terhadap pelecehan sekual. Tidak adanya privasi juga
menghambat pemenuhan kebutuhan biologis bagi pasangan, terutama jika tinggal di
pengungsian dalam jangka waktu lama.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Fasilitas MCK yang terbatas sehingga tidak ada tempat yang terpisah bagi perempuan
dan laki-laki. Belum lagi fasilitas listrik yang seringkali hanya mengandalkan disel
sehingga tidak memadai dan tidak aman bagi korban bencana.
Di tengah fakta-fakta bahwa perempuan menderita lebih berat akibat perubahan iklim,
di tahun 2009 pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen, munculah teori dan
pemikiran bahwa, manusia lah menyebab perubahan iklim, maka jumlah manusia perlu
dibatasi. Pemikiran ini mendorong penerapan Keluarga Berencana pada negara-negara
yang berpenduduk banyak yang pada umumnya negara-negara selatan. Negaranegara maju seperti Amerika Serikat sangat “senang” dengan pemikiran ini. Hasil
riset menunjukan bahwa Keluarga Berencana 5 kali lebih murah dibandingkan upaya
pencegahan CO2 lainnya. Optimal Population Trust menyatakan bahwa Keluarga
Berencana adalah teknologi yang “paling hijau” untuk memerangi perubahan iklim.
Pemikiran bahwa Keluarga Berencana adalah strategi yang jitu (murah dan tepat)
untuk melawan perubahan iklim tentu saja sebuah ancaman bagi hak kesehatan
seksual dan reproduksi perempuan, karena kenyataannnya, yang lebih banyak “di-KBkan” adalah perempuan, yang dipasangi kontrasepsi adalah tubuh perempuan.
Hal yang penting lainnya adalah pemikiran KB sebagai alat pengendalian pertumbuhan
penduduk adalah pemikiran yang usang. Pemikiran inilah yang didekontruksi pada
saat ICCPD. Keluarga Berencana adalah bentuk pemenuhan hak dan perlidungan
kesehatan reproduksi buka semata-mata untuk pengendalian jumlah penduduk. Maka
jangan biarkan tubuh perempuan menjadi alat untuk penanggulangan perubahan
iklim, tetapi perhatikan dampak perubahan iklim pada perempuan dengan upaya yang
menghormati hak untuk mengontrol gas emisi rumah kaca.
65
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
66
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
AGENDA 2030 juga
harus melibatkan
partisipasi
masyarakat sipil,
sebagaimana
proses
kelahirannya.
5.
Tantangan AGENDA 2030
67
Jiwa dari AGENDA 2030 adalah tidak meninggalkan siapapun, artinya bersama-sama
menuju kehidupan yang lebih baik. Penyusunan deklarasi AGENDA 2030 telah melalui
proses yang panjang dan akhirnya disepakati dan ditandatangani oleh 193 negara.
Namun ironinya, beberapa negara yang menyepakati AGENDA 2030 ini juga membangun
kesepakatan perdagangan bebas yaitu Kemitraan Trans Pasifik (Trans Pacific Partnership)
yang dimotori oleh Amerika Serikat.
Trans Pacific Partnership (TPP) adalah pakta perdagangan yang memiliki standar yang
tertinggi dan paling rinci. Salah satu yang paling besar dampaknya pada masalah kesehatan
adalah aturan tentang “hak intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan di sub bab kesehatan,
TPP akan menekan produksi obat generik karena terkena hak paten dan membuat
harganya akan melambung. TPP juga memperkuat posisi pedagang atau pebisnis sehingga
perusahan rokok seperti Phillips Moris mampun menuntut pemerintah Australia ke
pengadilan internasional karena menerapkan pembatasan umur untuk konsumen rokok.
Pemerintah Indonesia sudah memberikan sinyal akan bergabung dengan TPP dengan
pemikiran jika tidak bergabung dengan TPP maka produk kita tidak akan diterima
di negara-negara yang menjadi anggota TPP. Namun keputusan ini nantinya harus
mempertimbangkan kesiapan industri, dan kesiapan SDM. Jangan sampai justru Indonesia
hanya menjadi pasar bagi negara-negara TPP sementara produk kita tetap tidak bisa lolos
di pasar negara-negara anggota TPP karena persyaratan yang tinggi.
Tantangan lain dari AGENDA 2030 adalah penerapannya di Indonesia. Salah satu kegagalan
MDG adalah karena pelaksanaannya sangat sektoral (setiap tujuan dikerjakan oleh
kementerian yang berbeda-beda dan tidak saling berkoordinasi). Pencapaian tujuan MDG
juga dilihat dan diperlakukan sebagi proyek di instansi pemerintah. Inilah yang salah satu
faktor yang menyebabkan kegagalan MDGs.
Pelaksanaan AGENDA 2030 harus menggunakan paradigma yang berbeda bukan lagi
paradigma sektoral dan proyek tetapi harus diadopsi dan diserap di semua lini. AGENDA
2030 juga harus melibatkan partisipasi masyarakat sipil, sebagaimana proses kelahirannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengukuran dan akutabilitasnya. Pemerintah saat ini
belum menetapkan indikator dari tiap tujuan AGENDA 2030. Proses ini seharus transparan
dan memberikan peluang semua pihak untuk memberikan masukan.
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Jika diwaktu lampau negara-negara yang membangun PBB kemudian juga membangun
World Trade Organization (WTO) yang mendorong perdagangan bebas, maka kira-kira
demikian juga lah AGENDA 2030 dan TPP.
68
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
advokasi adalah
“menang atau
kalah” bukan
“benar atau salah”,
sehingga untuk
memenangkan
yang benar
dibutuhkan strategi
yang baik.
6.
Penutup
69
AGENDA 2030 sudah dicanangkan. Tugas kita semua untuk berpartisipasi, mengawal dan
mengkritisinya agar keadilan bagi semua dapat tercapai. Kertas kerja ini hanyalah salah
satu referensi untuk membantu kerja-kerja advokasi di lapangan. Kata kunci dari advokasi
adalah “menang atau kalah” bukan “benar atau salah”, sehingga untuk memenangkan yang
benar dibutuhkan strategi yang baik. Mengangkat isu strategis untuk advokasi adalah
salah satu hal yang penting. Strategis berarti : penting untuk banyak orang (bukan hanya
kelompok kita sendiri), mempunyai daya ungkit bagi isu lainnya, dan mempunyai potensi
yang kecil untuk ditentang. Isu SRHR adalah hal penting dan baik tetapi belum tentu
strategis. Untuk itu kaitan SRHR dengan isu-isu besar lain perlu didalami dan dilengkapi
dengan data.
Isu kesehatan bisa diangkat dari sudut manapun dan dikaitkan dengan isu hak-hak dasar
lainnya.
Kertas Kajian SRHR dan AGENDA
Agenda 2030
2030
Hal lain yang juga penting adalah membangun aliansi, semakin heterogen aliansinya
semakin baik. Kelemahan organisasi masyarakat yang bergerak di isu kesehatan adalah
tidak mempunyai jaringan di luar isu kesehatan, dan gagap jika harus berbicara di luar isu
kesehatan. Hal ini akan merugikan dan melemahkan.
Daftar Referensi
70
A. Varma, and Das. K. (2015). Sexuality: Critical to Addressing Poverty and Food Insecurity, par. 5. Kuala
Lumpur: arrow.
Arrow. (2209). Arrow for change – in search of climate justice: refuting dubious linkages, affirming rights:
http://arrow.org.my/publication/in-search-of-climate-justice-refuting-dubious-linkages-affirming-rights/
Aliansi Remaja Independen (ARI). (May, 1). Seksualitas dan Gender: http://aliansiremajaindependen.org/
informasi/resource-center/seksualitas-dan-gender.html
Blog Pemanasan Global. (2014, May 21). Pengertian Perubahan Iklim Menurut para Ahlinya: http://
ipemanasanglobal.blogspot.com/2014/05/pengertian-perubahan-iklim.html
Bhatla, Nandita., et.al. (2015). Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, h.10. Plan
International and ICRW.
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). (2015, July 6). Transformasi Millenium
Development Goals (MDGs) Menjadi Post-2015 Guna Menjawab Tantangan Pembangunan Global Baru:
http://cisdi.org/articles/view/transformasi-millenium-development-goals-mdgs-menjadi-post-2015-gunamenjawab-tantangan-pembangunan-global-baru
Coonrod, John. (2014, August 8). MDGs To AGENDA 2030: Top 10 Differences.
Eldis. (2006, September). Eldis Health Key Issues: Universal access to sexual and reproductive health
services: http://r4d.dfid.gov.uk/PDF/Outputs/SexReproRights_RPC/universal_access.pdf
Erdina, Maria Sinta (Widyaiswara PPPPTK TK PLB). (2015). Mendukung Implementasi Pendidikan Inklusi
di Indonesia: http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/74-mendukung-implementasi-pendidikan-inklusidi-indonesia
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Generasi Indonesia Anti-Bullying. Fakta-Fakta Tentang Gay Bullying: https://generasiindonesiaantibullying.
wordpress.com/2014/03/03/300/
Hamidah, Wanda. (2009, November 19). Nasib Sekolah Inklusi di Jakarta disusun & dirangkum oleh: DE &
AG (Staf Khusus WH): https://id-id.facebook.com/notes/wanda-hamidah/nasib-sekolah-inklusi-di-jakartadisusun-dirangkum-oleh-de-ag-staf-khusus-wh/184941471103
Habsari, F.R. (2004). Menguak Misteri Dibalik Kesakitan Perempuan. Jakarta: KOMNAS Perempuan.
International Planned Parenthood Federation (IPPF). (2008). Deklarasi IPPF: Hak-Hak Seksual, h. 13.
Kebijakan AIDS Indonesia. (2015). Outlook 2015: Kebijakan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia:
http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/49-general/1062-outlook-2015-kebijakanpenanggulangan-hiv-aids-di-indonesia#v-klik-disini
KOMPAS.COM. (2015, Desember 28). Pria Anggap KB Hanya Urusan Perempuan: http://health.kompas.
com/read/2015/11/05/181600623/Pria.Anggap.KB.Hanya.Urusan.Perempuan
KOMPAS.COM. (2014, Juni 13). Mie Instan Tempati Posisi Puncak Penjualan Barang Eceran: http://
bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/13/1741446/Mie.Instan.Tempati.Posisi.Puncak.Penjualan.
Barang.Eceran.b
KOMNAS Perempuan. (2015). CATAHU 2015 edisi Launching, h. 18. Jakarta: KOMNAS Perempuan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2015, Juni 14). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak
Tiap Tahun Meningkat: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahunmeningkat/
Lismaya, Lilis (Praktisi Pendidikan Inklusif). (2013). Apa itu Pendidikan Inklusif?: http://www.
pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-inklusif
The Jakarta Post. (2011, January 18). Sex education please, not censorship: http://www.thejakartapost.
com/news/2011/01/18/sex-education-please-not-censorship.html
United Nations. (2013). Sebuah Kemitraan Global yang Baru: Hapuskan Kemiskinan dan Transformasikan
Ekonomi melalui Pembangungn Berkelanjutan: http://infid.org/pdfdo/1377672113.pdf
UN Women. OECD. (2012). Gender Equality in Education, Employment and Entrepreneurship: Final Report
to the MCM, h. 19: http://www.unwomen.org/en/news/in-focus/women-and-the-sdgs/sdg-4-qualityeducation#sthash.SkGgulFY.dpuf
71
UNICEF. (2013). Ending Child Marriage: Progress and Prospects, h. 2: http://www.unwomen.org/en/
news/in-focus/women-and-the-SDGs/sdg-1-no-poverty#sthash.Vdv3YsiC.dpuf.
UNICEF. (2015). Annual Report Indonesia 2014, h. 18: http://www.unicef.org/indonesia/
UnicefAnnualReport2014_FINALPREVIEW_ENGLISH.pdf
Setiawan, Arzetti. B. (2015). Presentasi: Peran Anggota Legislatif dalam Penghapusan Kemiskinan
Perempuan di Indonesia.
Santos, D.A. (2009). Ketahanan Pangan vs Kedaulatan Pangan, par. 7:
http://ronawajah.wordpress.com/2008/02/21/falsafah-ilmu-sistem-pertanian-berkelanjutan/
Terjemahan Bahasa Indonesia: “Implication of The ICPD Programme of Action Chapter VII” (Sub Bab 7.2).
Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan arrow. (2015, November 14). Socialization: Policy Brief SRHR &
Climate Change, Central Java: http://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/arrow-yjpbuku-sosialisasi_lembar_kebijakan_srhr___perubahan_iklim_jawa_tengah-14nov-ylskar.pdf?utm_source=R
ekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim+-5&utm_campaign=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan
+Perubahan+Iklim&utm_medium=email
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive
Health Services Profile on Indonesia, h. 4.
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Hasil Temuan YKP: Country Profile Universal Access to Sexual and
Reproductive Health Rights, h. 7 & 9.
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan arrow. Lembar Kebijakan (Policy Brief): Pengarustamaan
SRHR Perempuan kedalam Kebijakan Perubahan Iklim: http://www.jurnalperempuan.org/
uploads/1/2/2/0/12201443/arrow-yjp-advocacy_brief-lembar_kebijakan_srhr_dan_perubahan_iklimbahasa_indonesia.pdf?utm_source=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim+-5&utm_campai
gn=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim&utm_medium=email
72
Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian
dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas,
penanggulangan kekerasan berbasis gender
dan seksualitas.
Rutgers WPF Indonesia mengembangkan berbagai
program yang menjamin remaja mendapatkan akses
pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan
kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan lakilaki yang diimplementasikan bersama mitra lokal
di Indonesia.
Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang
Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030
sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan,
penelitian, pendekatan gender transformatif dan
mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini
Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20
mitra di 10 provinsi di Indonesia.
Head office
Jl Pejaten Barat Raya 17B
Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta Selatan, 12510. Indonesia
e. [email protected]
rutgerswpfindo.org
Download