Kertas Kajian SRHR dan AGENDA 2030 Memposisikan SRHR di seluruh bidang pembangunan berkelanjutan 1 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 2 Jl Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510 Indonesia e. [email protected] Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 rutgerswpfindo.org Kertas kajian SRHR dan AGENDA 2030 2015 Rutgers WPF Indonesia Tim Penyusun Penulis Ririn Hapsari Eko Prapti Editor Danielle Johanna Rinaldi Ridwan Supervisi Monique Soesman Nurul Agustina Siska Dewi Noya Layout : madebyactiv.com Foto cover : Jeroen van Loon Cetakan pertama, Desember 2015 Materi ini dapat diperbanyak, direproduksi, dan disimpan dalam format digital tanpa tujuan profit. Setiap kutipan terhadap materi ini harus mencantumkan Rutgers WPF Indonesia sebagai referensi. Daftar isi 3 Daftar isi Glossary5 Kata Pengantar7 1. Pendahuluan9 1.1 Latar Belakang9 1.2 Siapa saja yang perlu membaca kertas kerja ini? 10 1.3 Apa saja yang tercakup dalam kertas kerja ini? 10 2. Sustainable Development Goals11 2.1 Pengertian SDGs11 2.2 Tujuan, SDGs dan MoI AGENDA 2030 12 2.3 Perbedaan MDGs dengan AGENDA 2030 14 3. Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (Sexual and Reproductive Health and Rights) (SRHR)17 3.1 Pengertian SRHR17 4. SRHR dan Tujuan AGENDA 203021 4.1 SRHR dan Kemiskinan21 4.3 SRHR dan Kesehatan32 4.4 SRHR dan Pendidikan46 4.5 SRHR dan Kesetaraan Gender57 4.6 Air62 4.7 Infrastruktur62 4.8 Perubahan Iklim63 5. Tantangan AGENDA 203067 6. Penutup69 7. Daftar Referensi70 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 4.2 SRHR dan Ketahanan Pangan25 DAFTAR GAMBAR 4 (TABEL DAN GRAFIK) Gambar 1 : Proses penyusunan agenda pembangunan AGENDA 2030 10 Tabel 1 : 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan11 Tabel 2 : 4 Komponen dari Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi 15 Tabel 3 : Tujuan ke-1, dan target 1.1 dari SDGs 19 Tabel 4 : Target 1.2 dari SDGs20 Tabel 5 : Data Kemiskinan dari BPS (per. September 2014) 21 Gambar 2 : Skema tentang Kemiskinan yang dikaitkan dengan pendidikan, Tabel 6 Pangan, kesehatan dengan menggunakan perspektif gender 21 : Target 5.1 s/d 5.3 dari SDGs 22 Tabel 7 : Tujuan ke-2 SDGs23 Tabel 8 : Target 2.2 SDGs26 Tabel 9 : Target 2.2 SDGs27 Tabel 10 : Target 2.3 SDGs28 Tabel 11 : Target 2.1 SDGs29 Tabel 12 : Tujuan ke-3 SDGs30 Tabel 13 : Target 3.1 s/d 3.2 dari SDGs 31 Tabel 14 : AKB, AKA, dan AKI31 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Tabel 15 : Jenis dari alat-alat kontrasepsi yang disediakan oleh negara 36 Tabel 16 : Target 3.7 SDGs38 Tabel 17 : Target 3.3 SDGs39 Grafik 1 : Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di wilayah Papua tanpa Intervensi Sesudah tahun 2013-203040 Grafik 2 : Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di wilayah Non Papua tanpa Intervensi sesudah tahun 2013-2030 40 Tabel 18 : Tujuan ke-4 SDGs45 Tabel 19 : Tujuan ke-4 SDGs46 Tabel 20 : Tujuan ke-4 SDGs46 Tabel 21 : Target 147 Tabel 22 : Peta Lokasi Kejadian dan Bentuk Kekerasan di Sekolah 48 Grafik 3 : Angka Partisipasi Sekolah berdasarkan Kelompok Umur (tahun 2013) 52 Grafik 4 : Angka Partisipasi Murni menurut Jenjang Pendidikan tahun 2013 52 Tabel 23 : Target ke-2 SDGs58 Tabel 24 : Target ke-6 SDGs59 Tabel 25 : Target ke-1, ke-2, ke-660 Glossary Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 ABK : Anak Berkebutuhan Khusus AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome AKI : Angka Kematian Ibu APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara APM : Angka Partisipasi Murni APS : Angka Partisipasi Sekolah ARV : Antiretroviral BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPS : Badan Pusat Statistik FAO : Food and Agriculture Organization GDP : Gross Domestic Product HAM : Hak Asasi Manusia HIV : Human Immunodeficiency Virus ICPD : International Conference on Population and Development IMF : International Monetery Fund INFID : International NGO Forum on Indonesian Development IPPF : International Planned Parenthood Federation KB : Keluarga Berencana KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAN : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional LGBT : Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LSL : Lelaki Seks Lelaki LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs : Millenium Development Goals MNC : Multi National Corporation MoI : Means of Implementation MUI : Majelis Ulama Indonesia ODHA : Orang dengan HIV dan AIDS PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RUU : Rancangan Undang-Undang SDKI : Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia SRHR : Sexual and Reproductive Health and Rights TPP : Trans Pacific Partnership TRIPs : Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights UU : Undang-Undang WHO : World Health Organization WTO : World Trade Organization 5 6 Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Kata Pengantar 7 Dunia semakin berubah. Ke arah yang jauh lebih baik. Setelah perang dunia kedua yang meluluhlantakkan berbagai Negara, berbagai upaya untuk terus memelihara perdamaian terus berlanjut hingga sekarang. Belum pernah dalam sejarah umat manusia, kondisi perdamaian global bisa terpelihara hingga sekarang. PBB sebagai organisasi yang menjadi fasilitator antara Negara patut mendapat apreasiasi. Di tahun 2015, MDGs berakhir. Banyak target yang terpenuhi dan banyak juga yang masih jauh dari target. Dunia pun berubah. MDGs dari yang awalnya berisi 8 tujuan dirasakan perlu disesuaikan dengan kondisi dunia terkini. Berbagai aktor pembangunan internasional pun merumuskan pengganti MDGs sehingga terbentuk skema pembangunan multilateral terbaru yakni yang dikenal sebagai Sustainable Development Goals/SDGs . Agenda SDGs atau disebut juga dengan AGENDA 2030 akan menjadi kerangka kerja pembangunan global baru dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. AGENDA 2030 merupakan agenda universal yang didorong oleh 5 (lima) pergeseran transformasi besar sebagaimana yang disebutkan dalam Laporan Panel Tinggi Pasca 2015, yaitu: a. Tidak meninggalkan siapapun (‘Leave No One Behind’); b. Menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti; c. Mentransformasikan ekonomi untuk lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif; d. Membangun perdamaian dan kelembagaan yang efektif, terbuka dan akuntabel; e. Membangun sebuah kemitraan global yang baru. Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Hingga akhirnya pada tahun 2000, untuk pertama kalinya PBB memfasilitasi terbentuknya kesepakatan pembangunan multilateral yang melibatkan seluruh Negara yang tergabung ke dalam PBB. Kesepakatan ini bernama Millenium Development Goals yang berisi berbagai indikator dan tujuan pembangunan internasional selama 15 tahun ke depan. Isu-isu pinggiran seperti kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender yang tadinya kurang mendapat porsi lebih dalam pembangunan mulai mendapatkan perhatian. Berbagai Negara menyadari pentingnya isu ini untuk mendukung pembangunan dan perdamaian dunia. 8 Di sisi lain, AGENDA 2030 juga mencakup isu-isu seperti kesehatan ibu, kesetaraan gender, hingga keluarga berencana. Isu yang sebelumnya tidak banyak mendapat perhatian. Sesuai dengan prinsip AGENDA 2030 ‘Leave No One Behind’, masih banyak isu SRHR (Sexual and Reproductive Health and Rights) yang belum tercakup ke dalamnya. SRHR adalah isu yang menyentuh segala bidang kehidupan manusia. SRHR bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan isu-isu lain yang terkait dengan hak-hak dasar manusia. Namun tidak banyak kajian yang membahas keterkaitan SRHR dalam isu-isu pembangunan internasional. Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF Indonesia mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan laki-laki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Melalui kertas kajian ini kami ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat keterkaitan SRHR dengan berbagai bidang. Besar harapan kami agar seluruh pemangku kepentingan menyadari pentingnya SRHR sebagai isu bersama dan tidak dipandang sebelah mata. Selamat membaca kertas kajian ini dan jangan ragu untuk bekerja bersama kami dalam mendorong pemenuhan SRHR untuk semua bebas dari kekerasan. Salam hangat, Monique Soesman Direktur, Rutgers WPF Indonesia 1. Pendahuluan 9 1.1. Latar Belakang SRHR adalah isu yang sensitif namun juga sangat penting. Di dalam konteks Indonesia, berbagai turunan isu SRHR seperti tingginya Angka Kematian Ibu, terbatasnya akses bagi perempuan yang mengalami kehamilan tidak diinginkan, kontrasepsi bagi remaja khususnya yang tidak menikah, tingginya angka pernikahan anak bawah umur, hingga diskriminasi dan kekerasan terhadap keberagaman orientasi seksual dan identitas gender pun masih menjadi tantangan. Hal ini terbukti dari berbagai capaian pembangunan yang masih rendah di bidang ini. Di akhir 2015, MDGs berakhir dan digantikan dengan kerangka pembangunan yang baru yakni AGENDA 2030 yang disahkan di akhir bulan September 2015. Mekanisme pembangunan baru ini memiliki indikator yang lebih kompleks daripada MDGs. AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan, 164 target sedangkan MDGs hanya memiliki 8 tujuan. Di sisi lain, beberapa indikator terkait SRHR masih akan menjadi prioritas seperti penurunan AKI, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan HIV. Di sisi lain, organisasi sosial kemasyarakatan perlu untuk memahami berbagai indikator ini untuk mendukung kerja-kerja advokasi yang pada akhirnya ditujukan untuk pemenuhan SRHR untuk semua. Selain itu juga, sebagai pintu masuk untuk mendorong advokasi bagi isu-isu yang selama ini masih terabaikan seperti kekerasan terhadap LGBT. Indikator ini diharapkan bisa tercermin di dalam instrumen pembangunan nasional, mulai dari RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan tercermin dari komitmen dalam bentuk pembiayaan oleh negara baik dalam APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), maupun APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah). Indikator tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong disetujuinya RUU Kekerasan seksual yang saat ini sedang diusahakan agar masuk ke dalam Prolegnas. Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Angka Kematian Ibu (AKI) dalam skema pembangunan internasional melalui MDGs pada tahun 2013, AKI di Indonesia mencapai 359 dari 100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini masih jauh dari target MDGs yang menetapkan AKI di bawah 100 di tahun 2015. Dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk Angka Kematian Ibu. Singapura mencatat AKI terendah hanya 3 per 100.000 kelahiran hidup, kemudian disusul Malaysia (29/100.000), Thailand (48/100.000) dan Vietnam (59/100.000). 10 Di sisi lain, sudah banyak organisasi sosial kemasyarakatan lintas sektor di Indonesia yang turut bekerja dalam mempengaruhi indikator yang terdapat dalam AGENDA 2030. Mulai dari isu lingkungan, ketahanan pangan, pendidikan hingga hukum. SRHR bukanlah isu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan isu-isu lain yang terkait dengan hak-hak dasar manusia. Pembelajaran dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh organisasi sosial kemasyarakatan adalah memperjuangkan SRHR sebagai isu tunggal dan menuntut agar diberi porsi perhatian seperti isu-isu hak dasar lainnya. Organisasi sosial masyarakat pada umumnya tidak mampu menjalin aliansi dengan kelompok yang strategis karena kesulitan mencari “irisan” kepentingan yang dapat diperjuangkan bersama. Berdasarkan situasi tersebut, maka diperlukan referensi tentang keterkaitan SRHR dengan isu-isu lain sebagai salah satu “amunisi” dalam menjalankan strategi advokasi. 1.2.Siapa saja yang perlu membaca kertas kerja ini? Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Dokumen ini ditujukan untuk berbagai kalangan, termasuk : - Organisasi sosial kemasyarakatan yang melakukan kerja-kerja advokasi untuk pemenuhan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi. Termasuk di dalamnya yang bekerja untuk kesehatan ibu dan anak, kesehatan remaja, hak LGBT, kekerasan terhadap perempuan, feminisme, HAM, lingkungan, kedaulatan pangan dan isu lain yang relevan. - Pembuat kebijakan yang bekerja untuk pembangunan berkelanjutan, kesehatan masyarakat, reformasi hukum, kebijakan sosial dan bidang-bidang lain yang terkait. 1.3.Apa saja yang tercakup dalam kertas kerja ini? Kertas kerja ini diawali dengan ulasan singkat tentang AGENDA 2030 diikuti dengan penjabaran tentang SRHR. Topik selanjutnya adalah membahas keterkaitan SRHR dengan AGENDA 2030. Kertas kerja ini juga mencoba mengaitkan SRHR, AGENDA 2030 dengan kondisi saat ini di Indonesia, dengan mengulas tentang kebijakan yang pro dan kontra. 2. Sustainable Development Goals (SDGs) 11 2.1.Pengertian Pada tanggal 25 September 2015, pemimpin 193 negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, serta organisasi-organisasi nirlaba di UN Summit New York, Amerika Serikat, menandatangai deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang disebut sebagai AGENDA 2030. • Tidak meninggalkan siapapun (‘Leave No One Behind’). • Menempatkan pembangunan berkelanjutan sebagai inti. • Mentransformasikan ekonomi untuk lapangan kerja dan pertumbuhan inklusif. • Membangun perdamaian dan kelembagaan yang efektif , terbuka dan akuntabel. • Membangun sebuah kemitraan global yang baru.1 Hasil dari pertemuan Nasional yang diadakan oleh INFID pada tanggal 6-7 Oktober 2015 yang lalu juga telah menyepakati tentang 3 hal pokok yang menjadi landas pacu bagi bangsa Indonesia, yaitu: • Menjaga kredilibilitas dan komitmen politik Indonesia dalam menjawab terjadinya kesenjangan antar bangsa dan di dalam negara, menurunnya daya dukung lingkungan, serta perlambatan ekonomi global berdasarkan prinsip “Leave No One Behind”. • Memperkuat posisi tawar, strategi diplomasi dan solusi sistemik untuk mengatasi kendala-kendala global melalui kemitraan, solidaritas global, kerjasama Selatan- Selatan, negara Utara-Selatan, Pemerintah dengan Pemerintah, Pemerintah dengan Sektor Swasta, serta Pemerintah dengan Masyarakat Sipil. Sebuah Kemitraan Global, Hapuskan Kemiskinan dan Transformasukan Ekonomi melalui Pembangungn Berkelanjutan, Laporan Panel Tingkat Tinggi Para Tokoh Terkemuka Pembangunan Pasca 2015. 1 Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 AGENDA 2030 adalah sebuah kerangka kerja untuk 15 tahun ke depan, mulai tahun 2016 (per tanggal 1 Januari 2016) hingga tahun 2030. AGENDA 2030 merupakan kelanjutan dari Millenium Development Goals yang berakhir Desember 2015. AGENDA 2030 merupakan agenda universal yang didorong oleh 5 pergeseran transformasi besar sebagaimana yang disebutkan dalam Laporan Panel Tingkat Tinggi Pasca 2015 yaitu: 12 • Mengakselarasi peran aktif dan opsi-opsi Indonesia dalam mewujudkan visi peradaban dunia baru sebagaimana tertuang dalam Deklarasi AGENDA 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan (Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development). Pencanganan Deklarasi AGENDA 2030 tidak berarti bahwa MDG tidak berlaku lagi. Target MDGs yang belum tercapai tetap harus dikerjakan ditambah dengan AGENDA 2030. Inisiatif Sekjen PBB Member-led Open Working Group Laporan Sintesa Sekjen PBB Proposal OWG on SDGs Negosiasi Inter - Govermental 2015 UN SUMMIT (September 2015) Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Proses penyusunan agenda pembangunan AGENDA 2030 dilakukan melalui dua jalur utama yang telah digabungkan pada bulan September 2014 (gambar 1). Sejak awal tahun 2015, proses diskusi mulai memasuki tahapan berikutnya yakni proses intergovernmental yang dilaksanakan setiap bulan, dilanjutkan dengan Konferensi Pembiayaan Pembangunan di Ethiopia pada tanggal 13-16 Juli 2015, dan kemudian ditutup dengan pengesahan dokumen pada Sidang Umum PBB (UN Summit) di New York, Amerika Serikat, September 2015. AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target. Setiap negara diberi kebebasan untuk menentukan indikator dari tiap target sesuai dengan kebijakan dan kemampuannya. Penetapan indikator dari masing-masing tujuan ini dapat dilakukan sampai dengan bulan Maret 2016 . AGENDA 2030 diharapkan bisa menciptakan dampak yang jauh lebih baik dibandingkan dengan program kerja MDGs. Proses penyusunan agenda global ini sudah banyak belajar dari berbagai kekurangan MDGs. AGENDA 2030 telah berupaya melibatkan dan mendapatkan input dari berbagai kalangan yang merasa aspirasinya tidak terefleksikan dalam MDGs.2 2.2. Tujuan, Target dan MoI AGENDA 2030 Agenda pasca 2015 atau AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yaitu : (Hasil dari pertemuan Infid yang lalu juga telah menghasilkan sebuah dokumen tentang SDGs versi bahasa Indonesia) Dirangkum dari http://cisdi.org/articles/view/transformasi-millenium-development-goals-mdgs-menjadi-post-2015-guna-menjawab- tantangan-pembangunan-global-baru. 2 Masing-masing tujuan memiliki target dan mean of implementation/target yang terintegrasi dan tak terpisahkan. Target di tuliskan dengan kombinasi angka.angka (misalnya: 1.1; 1.2;2.1) sedangkan Mean of Implementation (MoI) atau Target Strategis dituliskan dengan kombinasi angka.huruf (misalnya : 1.a; 1.b; 2.a; 2.b). 13 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 • Tujuan 1: Mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk dimanapun. • Tujuan 2: Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan. • Tujuan 3: Memastikan kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan bagi semua untuk semua usia. • Tujuan 4: Memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. • Tujuan 5: Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. • Tujuan 6: Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua. • Tujuan 7: Memastikan akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan modern bagi semua. • Tujuan 8: Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, tenaga kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua. • Tujuan 9: Membangun infrastruktur yang tangguh, mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dan membantu perkembangan inovasi. • Tujuan 10: Mengurangi ketimpangan didalam dan antar negara. • Tujuan 11: Membangun kota dan pemukiman yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan. • Tujuan 12: Memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. • Tujuan 13: Mengambil aksi segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya. • Tujuan 14: Mengkonservasi dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya laut, samudera dan maritim untuk pembangunan yang berkelanjutan. • Tujuan 15: Melindungi, memulihkan dan mendukung penggunaan yang berkelanjutan terhadap ekosistem daratan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi (penggurunan), dan menghambat dan membalikkan degradasi tanah dan menghambat hilangnya keanekaragaman hayati. • Tujuan 16: Mendukung masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua level. • Tujuan 17: Menguatkan ukuran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan. 14 2.3. Perbedaan MDGs dengan AGENDA 2030 MDG dalam proses dan pelaksanaannya mendapatkan banyak kritik diantaranya MDGs bersifat birokratis dan teknokratis.Pelaksanaan MDGs sangat sektoral. Masing-masing tujuan MDGs seolah-olah tidak salaing terkait dan setiap sektor hanya bertanggungjawab atas tujuan yang terkait langsung. Belajar dari kekurangan MDGs, AGENDA 2030 sejak dari proses penyusunannya sudah melibatkan banyak pihak termasuk organisasi masyarakat sipil. Beberapa perbedaan lainnya adalah3 : • Zero Goals: Target MDGs untuk 2015 hanya separuh jalan mencapai tujuan yang terkait dengan kelaparan dan kemiskinan. AGENDA 2030 didisain untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan menetapkan “nol” secara statistik untuk kelaparan, kemiskinan, pencegahan kematian anak dan target lainnya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 • Universal Goals : MDGs ditetapkan dalam konteks “donor kaya memberikan bantuan kepada penerima yang miskin”. Dalam perkembangan saat ini status ekonomi suatu bukanlah isu utama melainkan ketidaksetaraan. Baik kesetaraan di dalam negara kaya ataupun negara miskin. Tujuan AGENDA 2030 dirancang agar dapat berlaku di semua negara. • More Comprehensive Goals : MDGs memiliki 8 tujuan sedangkan AGENDA 2030 memiliki 17 tujuan yang mencakup kemiskinan, HAM, perdamaian, dan pemerintahan yang baik. Tidak dapat disangkal bahwa pencapaian tujuan ini akan menjadi lebih sulit dibandingkan dengan MDGs. Namun semua orang sepakat bahwa kompleksitas AGENDA 2030 memang tidak terakomodasi dalam MDGs. • Inclusive Goal Setting : Dahulu MDGs disusun dengan pendekatan top-down. Sekarang AGENDA 2030 dirumuskan melalui proses inklusif yang partisipatoris sepanjang sejarah. Sekitar 100 negara melakukan pertemuan konsultatif secara tatap muka. Jutaan masyarakat berpartisipasi memberikan masukan melalui website. Organisasi Masyarakat Sipil seluruh dunia juga mengorganisir diri secara global dalam Beyond 2015. Dirangkum dari John Coonrod, MDGs To AGENDA 2030: Top 10 Differences, August 8, 2014. 3 • Memisahkan Kelaparan dan kemiskinan: Dalam MDGs, kelaparan dan kemiskinan dimasukan dalam satu tujuan yaitu tujuan ke -1 (dengan asumsi jika salah satu terselesaikan maka secara otomatis akan menyelesaikan persoalan lainnya). Kenyataanya, banyak pembelajaran tentang rumitnya persoalan pangan dan gizi, maka di dalam AGENDA 2030, kemiskinan dipisahkan dari ketahanan pangan dan gizi. 15 • Pembiayaan: MDGs diproyeksikan dibiayai dengan kucuran dana bantuan yang tidak bersifat material. AGENDA 2030 mendorong pembangunan ekonomi inklusif berkelanjutan sebagai strategi utama dengan memperhatikan kemampuan setiap negara untuk mengahadapi tantangan masalah-masalah sosial yang besar melalui peningkatan pendapatannya. • Perdamaian: Selama 15 tahun, kita sudah melihat perdamaian penting untuk kemakmuran negara. Setelah 15 tahun, para ahli meramalkan bahwa mayoritas mereka yang mengalami kemiskinan ekstrem tinggal di negara-negara yang terdampak konflik. Jadi menyertakan upaya perdamaian adalah sangat penting dalam mengakhiri kelaparan dan kemiskinan. Hal ini sama sekali diabaikan dalam MDGs. • Kualitas Pendidikan MDGs lebih fokus pada kuantitas pendidikan seperti jumlah peserta peserta didik yang mendaftar pada pendidikan dasar dan menengah, tetapi tidak melihat tingkat kelulusan dan kualitasnya. AGENDA 2030 menunjukkan untuk pertama kalinya masyarakat dunia memberikan perhatian pada kualitas pendidikan dan peranan pendidikan untuk terciptanya dunia yang lebih manusiawi : “pendidikan bagi pembangunan berkelanjutan dan gaya hidup, HAM, kesetaraan gender, promosi budaya damai tanpa kekerasan, kewargaan dunia, dan apresiasi terhadap keragaman budaya dan kontribusi budaya pada pembangunan berkelanjutan”. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 • Revolusi Data MDGs sama sekali tidak membahas tentang monitoring, evaluasi dan akuntabilitas. AGENDA 2030 menargetkan peningkatan ketersediaan data berkualias tinggi, terpercaya, disegregasi berdasarkan gender, ras, etnik, status migrasi, disabilitas, geografis dan karakter lain yang relevan dengan konteks nasional. 16 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Hak seksual yang menjadi dibunyikan satu nafas dengan Kesehatan Reproduksi dan seksual serta hak reproduksi, pertama kali diperkenalkan oleh aktifis feminis. 3. Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR) 17 3.1. Pengertian Hak seksual yang menjadi dibunyikan satu nafas dengan Kesehatan reporduksi dan seksual serta hak reproduksi, pertama kali diperkenalkan oleh aktifis feminis. Sampai sekarang Hak dan kesehatan seksual dan reproduksi masih terus diperjuangkan agar menjadi disetujui dan diakui dalam sistem yang berlaku di PBB. Konsep SRHR selalu mendapat tentangan terutama dari negara-negara Islam dan konservatif. Bahkan konsep kesehatan seksual dan reproduksi (SRH) dan hak reproduksi (RR) pun selalu berusaha dihapuskan dalam setiap negosiasi. Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi mengandung 4 komponen yang berbeda tetapi saling terkait yaitu hak seksual, hak reproduksi, kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. Masing-masing komponen memiliki definisi dan lingkup yang berbeda sebagaimana yang tercantum dalam tabel di bawah ini: Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Istilah Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi adalah terjemahan dari Sexual and Reproductive Health and Rights (SRHR). Awalnya hanya Kesehatan seksual dan reproduksi serta Hak Reproduksi yang dimunculkan pada Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan atau International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir yeng menghasilkan Program Aksi, serta Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-4 tahun 1995 di Beijing, China yang menghasilkan Platform Aksi. 18 Kesehatan Reproduksi Kesehatan Reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, dan dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi-fungsi serta proses-prosesnya. Kesehatan reproduksi memiliki pengertian bahwa setiap orang dapat memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan bebas menentukan apakah mereka ingin melakukannya, kapan dan seberapa seringnya. Termasuk di dalamnya hak laki-laki dan perempuan untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara-cara pengaturan fertilitas yang aman, efektif, terjangkau dan dapat diterima yang menjadi pilihan mereka, dan layanan kesehatan yang layak sehingga perempuan dapat menjalani kehamilan dan kelahiran yang aman serta memberikan kesempatan terbaik kepada para pasangan untuk memiliki bayi yang sehat. (ICPD)4 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Hak Reproduksi Hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum nasional, dan dokumen-dokumen internasional tentang hak-hak asasi manusia, dan dokumendokumen konsesus PBB lain yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, menjarangkan kelahiran dan menentukan waktu kelahiran anak-anak mereka dan mempunyai informasi dan cara memperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas diskriminasi, paksaan, dan kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia (ICPD)5. Kesehatan Seksual 4 5 6 Kesehatan seksual menyiratkan pendekatan positif terhadap seksualitas. Tujuan dari kesehatan seksual adalah untuk peningkatan kehidupan dan relasi personal termasuk konseling dan layanan yang terkait dengan reproduksi dan penyakit menular seksual. (UN) 6 Terjemahan Bahasa Indonesia “Implication of The ICPD Progrmme of Action Chapter VII” sub bab 7.2. Terjemahan Bahasa Indonesia “Implication of The ICPD Progrmme of Action Chapter VII” sub bab 7.3. ARROW. 19 Hak seksual sebagai hak semua orang untuk terbebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan, untuk: • Mencapai standar kesehatan seksual tertinggi, termasuk layanan kesehatan seksual dan reproduksi; • Mencari, menerima dan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan seksualitas; • Mendapatkan informasi dan pendidikan seksualitas. • Menghormati integritas tubuh. • Memilih pasangan. • Memutuskan untuk aktif seksual atau tidak. • Melakukan hubungan seksua berdasarkan kesepakatan. • Memutuskan untuk menikah atau tidak menikah. • Memutuskan untuk memiliki atau tidak memiliki dan kapan punya anak. • Memiliki kehidupan seksual yang memuaskan, menyenangkan dan aman (WHO). Hak Reproduksi Sepuluh Hak Reproduksi menurut IPPF: 7 • Hak Kesetaraan, perlindungan yang sama di muka hukum dan bebas dari semua bentuk diskriminasi yang berbasis seks, seksualitas dan gender; • Hak untuk berpartisipasi bagi semua orang tanpa memandang jenis kelamin, seksualitas dan gender; • Hak untuk hidup, kebebasan, keamanan seseorang dan kebertubuhannya; • Hak untuk keleluasaan pribadi; • Hak untuk otonomi pribadi dan di muka hukum; • Hak untuk kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi dan berserikat; • Hak untuk sehat dan mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan; • Hak untuk pendidikan dan informasi; • Hak untuk menentukan menikah atau tidak menikah, mencari dan merencanakan berkeluarga, hak untuk memutuskan memiliki atau tidak memiliki, bagaimana dan kapan mempunyai anak; • Hak untuk akutabilitas dan pemulihan; Sumber : Sexual Reproductive Health and Right in the Post-2015 Agenda: Taking their rightfull place, ARROW 4 IPPF, Hak- Hak Seksual : Deklarasi IPPF, 2008, h. 13. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Hak Seksual 20 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 mereka yang miskin adalah mereka yang termarginalisasi dari proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik. 4. SRHR dan tujuan AGENDA 2030 21 Dari ke 17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan 169 target yang tercantum dalam AGENDA 2030, SRHR disebutkan dengan jelas pada target 3.7, target 4.7 dan target 5.6. Tetapi dalam bab ini pembahasan SRHR tidak hanya terkait dengan tujuan 3, 4 dan 5 tetapi juga dikaitkan dengan tujuan 1 dan 2. 4.1. SRHR dan Kemiskinan Mengakhiri kemiskinan menjadi tujuan 1 dalam AGENDA 2030. Kemiskinan adalah “inti” dari AGENDA 2030, karena hampir disemua tujuannya selalu diprioritaskan bagi “mereka yang miskin”. Tujuan 1. Target 1.1. Di tahun 2030, memberantas kemiskinan ekstrem bagi semua orang dimanapun, saat ini diukur sebagai manusia yang hidup dengan kurang dari 1.2 5 USD per hari Sebuah standar kemiskinan yang multidimensional dikembangkan oleh Oxford Poverty and Human Development Initiative yang disebut Multidimensional Poverty Index (MPI) . Index kemiskinan ini melihat kemiskinan seseorang dari pendidikan, kesehatan dan standar hidupnya. Ketiga dimensi ini diukur dengan 10 indikator seperti misalnya untuk pendidikan (lama bersekolah, kepesertaan pendidikan), kesehatan (kematian anak, gizi) dan standar hidup (listrik, air minum, sanitasi, lantai rumah, BBM untuk memasak) dan aset. Seseorang dinyatakan miskin multidimensi jika ia memenuhi sepertiga atau lebih indikator multidimensi tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, maka akan terlihat bahwa mereka yang miskin adalah mereka yang termarginalisasi dari proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Eklusi berdasarkan gender, usia, disabilitas, kelas, agama, suku, pendidikan dan seksual orientasi mendorong terjadinya ketidakberdayaan, kemiskinan secara sosial. Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Menghapus segala bentuk kemiskinan dimanapun Apa itu kemiskinan? Kemiskinan seringkali dipahami secara sempit hanya berdasarkan pendapatan, konsumsi dan ukuran dari Gross Development Product (GDP). Pemahaman ini mengesampingkan faktor sosial, ekonomi dan kekuatan politik yang berkontribusi dalam menciptakan kemiskinan. 22 Guna melengkapi pemahaman tentang kemiskinan, kita juga perlu memahami tentang “pemiskinan” dan “kemiskinan struktural”. Pemiskinan adalah suatu proses yang membuat seseorang menjadi miskin. Proses pemiskinan ini dapat disebabkan oleh kebijakan negara yang tidak berpihak pada kelompok yang lemah. Dalam konteks global, pemiskinan juga dapat terjadi ketika negara-negara di dunia maupun lembaga-lembaga internasional membuat kesepakatan atau aturan atau sistem yang melemahkan satu atau lebih negara dan menguntungkan satu atau lebih negara lainnya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Pemiskinan ini menciptakan kemiskinan strutural. Kemiskinan yang terjadi bukan karena sebab alamiah tetapi karena ada adanya sistem atau kebijkan yang membuat mereka menjadi miskin dan tidak akan mampu teratasi walaupun mereka bekerja sangat keras sekalipun. Contohnya: jika negara membiarkan ilegal fishing maka nelayan tidak akan pernah makmur hidupnya. Jika negara tidak melakukan proteksi terhadap produk pangan lokal dan membiarkan mafia pangan menguasai pasar, maka petani tidak akan sejahtera hidupnya. Jadi kemiskinan adalah bentuk dari ketidakadilan. Target 1.2. 1.2. Di tahun 2030, menurunkan Di tahun 2030, menurunkan setidaknya setengah proporsi setidaknya setengah proporsi laki-laki, perempuan, anaklaki-laki, perempuan, anak-anak anak dari segala usia yang hidup dalam segala dari segala usia yang dimensi hidup dalam kemiskinan berdasarkan segala dimensi kemiskinandefinisi nasional berdasarkan definisi nasional Sustainable Development Goals menggunakan terminologi “kemiskinan ekstrem” yaitu mereka yang hidup kurang dari 1,25 USD (Target 1.1.). Terminologi ini dapat dikatakan sebagai termilogi yang sempit terkait kemiskinan. Namun pada target 1.2. disebutkan tentang “segala dimensi kemiskinan” dan setiap negara dapat menentukan definisi kemiskinan yang dimaksud. Saat ini belum diketahui ukuran kemiskinan seperti apa yang akan digunakan oleh pemerintah, apakah akan menggunakan indikator 1,25 USD seperti yang dimandatkan oleh AGENDA 2030 atau menggunakan ukuran lainnya. BPS menggunakan batas garis kemiskinan di Rp. 312.327 per kapita per bulan. Jika dikonversikan ke USD itu setara dengan 0,75 USD per hari. Masih jauh dibandingkan dengan batas kemiskinan ekstrem yang disepakati di AGENDA 2030. 8 Menggunakan kurs 1USD = Rp. 14.000,-. 23 Tabel 5. Data Kemiskinan per September 2014 Kota Desa Kota + Desa 10,356.69 17,371.09 27,727.78 8.16 13.76 10.96 326,853.12 296,681.32 312,327.68 Indeks Kedalaman Kemiskinan (%) 1.25 2.25 1.75 Indeks Keparahan Kemiskinan (%) 0.31 0.57 0.44 Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase Penduduk Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp/kapita/Bulan) Sumber : BPS, diunduh dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1489 Kemiskinan itu multidimensi, maka membahas kemiskinan tidak mungkin berhasil tanpa mengaitkannya dengan komponen lain. Dalam bab ini, pembahasan tentang kemiskinan akan dikaitkan dengan pendidikan, pangan, kesehatan dengan menggunakan perspektif gender sebagaimana yang tergambar di skema 1. Kemiskinan Pangan Gender Kesehatan Skema 1. Kaitan Kemiskinan, Pendidikan, Pangan, Kesehatan dengan SRHR S R H R Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Pendidikan 24 Kemiskinan, Kesetaraan Gender dan SRHR Dalam kemiskinan, perempuan (dan juga kelompok marginal lainnya) menjadi yang paling miskin dan paling dikorbankan. Kemiskinan akan membuat anak perempuan menjadi yang lebih dipilih untuk putus sekolah. Jika anak perempuan putus sekolah maka ayah atau orang tua juga akan lebih cepat untuk mengambil keputusan untuk Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 menikahkannya diusia di bawah 18 tahun (batas usia anak). Anak perempuan dinikahkan Target 5.1. dengan laki-laki yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik tanpa memperhatikan Mengakhiri segala bentuk usia, status perkawinan pihak laki-laki. Di sisi diskriminasi pada perempuan lain juga tanpa mempertimbangan kesiapan, dan anak perempuan dimanapun kesediaan, dan keinginan dari anak perempuan. Target 5.2. Dalam situasi seperti ini sulit untuk menjamin bahwa hak seksual dan hak reproduksinya Menghapuskan semua bentuk akan terpenuhi. Kemiskinan yang berakibat praktek-praktek berbahaya, seperti pernikahan di bawah putus sekolah juga mendorong anak dijadikan umur dan pernikahan paksa, pekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. serta mutilasi genital wanita Konsep “anak sebagai pencari nafkah atau sumber ekonomi” menyebabkan anak rentan Target 5.3. terhadap perdagangan anak. Anak perempuan Menghapuskan segala bentuk menjadi yang paling rentan untuk dilacurkan kekerasan terhadap perempuan dengan selubung pekerja. Pernikah anak tidak dan anak perempuan di ruang hanya terjadi akibat kemiskinan, ada pula publik dan privat, termasuk yang didorong oleh faktor budaya. Perkawinan perdagangan manusia dan anak dari keluarga miskin dua kali lebih tinggi eksploitasi seksual dan jenis eksploitasi lainnya dari perkawinan anak dari keluarga mampu. Pernikahkan usia anak ini membuat anak perempuan selain kehilangan kesempatan menyelesaikan pendidikannya juga menghilangkan peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak. Pernikahan anak maupun pekerja anak, kedua-duanya menempatkan anak berisiko mengalami kekerasan baik fisik, psikologis, dan seksual. Hak nya sebagai anak dilanggar. Hak seksual dan reproduksinya juga diabaikan. Pernikahan anak dan perdagangan anak juga menempatkan anak berisiko atas masalah-masalah kesehatan reproduksi seperti kehamilan berisiko karena terjadi dalam usia terlalu muda, trauma akibat perkosaan, tertular penyakit infeksi menular UNICEF (2013), Ending Child Marriage: Progress and prospects, p. 2. dalam http://www.unwomen.org/en/news/in-focus/women-and- the-SDGs/sdg-1-no-poverty#sthash.Vdv3YsiC.dpuf. 9 seksual/IMS serta HIV/AIDS. Perkawinan usia anak juga mengakibatkan meningkatnya jumlah kehamilan dan jarak antar kehamilan yang pendek. 25 Kemiskinan juga membuat perempuan kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan. Kesulitan ini bisa terjadi karena memang tidak tersedia pelayanan kesehatan di daerahnya misalnya warga yang tinggal di daerah terpencil atau daerah perbatasan, seringkali puskesmas tidak tersedia di sana. Pelayanan kesehatan juga tidak dapat diakses ketika sistem yang berlaku tidak memungkinkannya. Cotohnya ketika keluarga miskin tidak mendapatkan jaminan kesehatan karena tidak mampu berpartisipasi dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) tetapi juga tidak termasuk dalam PBI (Penerima Bantuan Iuran) atau tidak mendapatkan kartu sehat atau tidak berhak mendapatkan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) karena tidak memiliki KTP setempat. 4.2.SRHR dan Ketahanan Pangan Apa itu ketahanan pangan dan kedaulatan pangan? Berdasarkan definisinya, ketahanan pangan adalah keadaan ketika semua orang di sepanjang tahun memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap bahan pangan yang aman, bergizi dan memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisi serta keragaman bahan pangan agar dapat hidup sehat dan aktif. Guna memenuhi ketahanan pangan ada 4 dimensi kritis yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan dan stabilitas ketersediaan maupun akses terhadap pangan (FAO 2006)10 . 10 Dirangkum dari Varma, A. and Das, K. (2015) , Sexuality : Critical to addressing Poverty and Food Insecurity,. Kuala Lumpur, ARROW para.5. 11 ibid para. 6. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Tujuan ke dua AGENDA 2030 terkait dengan Tujuan 2. kelaparan, ketahanan pangan perbaikan gizi Menghapus kelaparan, dan pertanian berkelanjutan. Di dalam MDGs, mewujudkan ketahanan kelaparan dan kemiskinan dinyatakan dalam satu pangan dan perbaikan gizi tujuan, seolah-olah jika kelaparan teratasi berarti dan mempromosikan pertanian kemiskinan juga teratasi atau sebaliknya. Pada berkelanjutan kenyataannya tidaklah demikian. Kelaparan dan kemiskinan harus diatasi sebagai dua masalah yang besar. Pada AGENDA 2030, kelaparan dikaitkan dengan ketahanan pangan, perbaikan gizi dan pertanian berkelanjutan. Hal ini terlihat bahwa masalah kelaparan dilihat sebagai dampak dan sudah mulai “menelusuri” hingga lebih ke hulu, yaitu ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Namun sayangnya konsep yang digunakan adalah “ketahanan pangan” bukan “kedaulatan pangan”. 26 Kedaulatan pangan adalah bentuk perlawanan dari ketahanan pangan. Konsep ini muncul dalam debat publik gerakan akar rumput yang dikenal dengan La Via Campesian pada World Summit tahun 1996. Konsep ini memberikan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal. Konsep ini menganut prinsip bahwa pangan adalah hak dasar manusia; menghargai para pengolah pangan, ketrampilan dan pengetahuan mereka dan kebutuhan mereka untuk dilibatkan dalam semua pengambilan kebijakan yang terkait dengan isu pangan: pentingnya reformasi agraria yang mengembalikan kontrol atas semua sumber produksi; perlindungan sumber daya alam; pangan adalah sumber nutrisi bukan komoditas perdagangan sebagai senjata untuk mengontrol manusia: dan ada kebutuhan untuk melawan perusahaan multinasional dan lembagalembaga yang menguasai pertanian global dan produksi pangan (Claeys 2013)11 . Perbedaan nyata dari kedua konsep ini adalah pada ketahanan pangan yang menjadi perhatian adalah kuantitas pangan dan akses masyarakat terhadap bahan pangan, tanpa memperhatikan dari mana pangan itu berasal, bagaimana diproduksinya, bagaimana nasib petaninya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Sedangkan kedaulatan pangan mensyaratkan kecukupan bahan pangan harus dibarengi dengan kedaulatan atas pengetahuan, benih, tanah, air, pupuk dan alatalat produksi pertanian, mengutamakan pangan lokal dengan tidak menyeragamkan jenis pangan bagi semua penduduk, membatasi impor pangan terutama jika dapat diproduksi di tanah sendiri. Pada tahun 1960-an negara-negara berkembang merupakan penghasil dan pengekspor bahan pangan dan produk pertanian terbesar di dunia. Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran peran. Sejak awal 1990-an negara-negara berkembang berubah menjadi importir pangan. Kini negara maju malah menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia dan 70% negara berkembang tergantung pada impor pangan (Guzman, 2008)12 . Saat ini, 5 perusahaan multinasional menguasai 90%-nya perdagangan pangan dunia. Pasar benih dan input pertanian seperti pestisida dan herbisida , 90 persennya dikuasai oleh hanya 6 MNC (Guzman, 2008). Pada saat dunia mengalami krisis pangan di tahun 2008, pedagang pangan dunia justru menikmati keuntungan 55 – 189%, benih dan herbisida mendapatkan keuntungan 21-54%, keuntungan pedagang pupuk bahkan mencapai 186 – 1.200% dibanding tahun sebelumnya (Agus, Global Research, 2008)13 . Ketidakadilan seperti inilah yang ingin dilawan dari konsep “ketahanan pangan”. 12 13 Santosa, D.A. (2009), Ketahanan Pangan vs Kedaulatan Pangan, para. 7. ibid para.8. Pada tahun 2012, Indonesia mengeluarkan UU Pangan no. 18 yang merupakan perbaikan dari UU Pangan sebelumnya. Di dalam UU itu disebutkan bahwa Ketahanan Pangan adalah "kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan". 27 UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). "Kedaulatan Pangan” adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal". "Keamanan Pangan” adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi". Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 "Kemandirian Pangan” adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat". Presiden Joko Widodo di dalam Nawacita juga sudah mencanangkan “Kedaulatan Pangan” bukan “Ketahanan Pangan”.14 10 Nawacita 7 : Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkansektor-sektor startegis ekonomi domistik Target : Membangun kedaulatan pangan Indikator : diantaranya adalah membangun kedaulatan pangan berbasis pertanian kerakyatan, stop impor pangan, reformasi agrari. 28 Apa itu pertanian berkelanjutan ? Pertanian berkelanjutan adalah “pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam” (Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988). Menurut FAO (1989) dalam Sutanto (2001) pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilakukan sedemikan rupa sehingga menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang dimana diharapkan dari pembangunan sektor pertanian, perikanan dan peternakan mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman, sumber genetik hewan, tidak merusak lingkungan dan secara sosial dapat diterima. Pertanian berkelanjutan memiliki ciri-ciri, mantap secara ekologi, bisa berlanjut secara ekonomi, adil, manusiawi, luwes. (Reijntjes, et al. (1992) dalam Pujianto (2001) ) . Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Melihat definisi ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan ini, tujuan 2 AGENDA 2030 berisiko ambigu. Di satu sisi menekankan ketahanan pangan yang berpotensi untuk tidak adil tetapi mempromosikan pertanian bekerlanjutan yang menekankan keadilan. Apa itu kelaparan dan gizi buruk? Kelaparan adalah ketika kebutuhan tubuh akan zat makanan tidak terpenuhi dalam jangka waktu tertentu. Kelaparan yang terjadi pada penduduk di suatu daerah tertentu, dapat dikatakan sebagai bencana kelaparan. Selama ini bencana alam dan cuaca lah yang lebih banyak dituding sebagai penyebab bencana kelaparan, padahal sesungguhnya ada penyebab lain yang berkontribusi lebih besar terhadap kelaparan. Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa “Bumi ini cukup untuk memberi makan seluruh umat manusia, namun tidak cukup untuk satu manusia yang serakah”. 15 http://ronawajah.wordpress.com/2008/02/21/falsafah-ilmu-sistem-pertanian-berkelanjutan/. Target 2.2. Di tahun 2030, mengakhiri segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang telah disepakati secara internasional pada stunting dan wasting pada anak di bawah usia 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, dan orang tua. Kata-kata Gandhi tersebut sangat relevan dengan kondisi saat ini. Bumi ini menyediakan bahan pangan yang cukup untuk 7 milliar penduduk, namun sistem ekonomi global yang menguntungkan negara-negara industri, menciptakan kemiskinan di negara-negara berkembang. Kelaparan bukan bencana alam, kelaparan dibiarkan secara politis. Sehingga lebih tepat dikatakan bahwa kelaparan adalah bencana politik. Pembiaran ini dilakukan karena ada pihak yang diuntungkan misalnya suara konsumen dan petani di negara-negara industri. Ironi harga bahan pangan di negara berkembang lebih mahal daripada di negara industri, karena sistem ekonomi global menerapkan subsidi dan proteksi terhadap 29 Target 2.2. Di tahun 2030, mengakhiri segala bentuk kekurangan gizi, termasuk pada tahun 2025 mencapai target yang telah disepakati secara internasional pada stunting dan wasting pada anak di bawah usia 5 tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, dan orang tua. produksi dan menciptakan ketergantungan negara berkembang terhadap harga pendukung pertanian (benih, pupuk, pestisida dan sebagainya), sementara harga jual ditekan serendah mungkin. Kelaparan adalah juga akibat dari politik pangan. Pada masa orde baru, terjadi penyebaran konsep yang keliru tentang makanan pokok. Nasi dianggap makan pokok yang lebih sehat, lebih “layak” dibandingkan umbi-umbian. Sehingga seluruh Indonesia harus berubah menjadi pengkonsumsi nasi, padahal tidak semua daerah cocok untuk ditanami padi, tidak semua suku mengkonsumsi nasi. Daerah Indonesia Timur tidak cocok untuk ditanami padi, masyarakatnya pun tidak memiliki pengetahuan tentang padi, mereka mengkonsumsi umbi-umbian. Akibatnya harga beras di Papua atau di NTT jauh lebih mahal dari pada di pulau Jawa karena harus didatangkan dari pulau lain. Ketika terjadi musim kemarau panjang Papua dan NTT menjadi rawan bencana kelaparan. Sampai saat ini Papua masih beberapa kali mengalami bencana kelaparan. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Tahun 1980-an, Dana Moneter Internasional IMF dan Bank Dunia menuntut pembenahan radikal berupa liberalisasi, deregulasi dan privatisasi kepada negaranegara Afrika yang ratusan tahun mengalami eksploitasi dari penjajahan negara kolonial. Sekalipun negara-negara Afrika belum siap karena mereka tidak punya infrastruktur, pendidikan masih terbelakang, sektor ekonomi tidak berfungsi, tidak ada investor domestik, tetapi IMF dan Bank Dunia tetap menekankan perubahan radikal tersebut. Akibatnya Politik IMF dan Bank Dunia merupakan bencana bagi sektor pertanian, pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi negara-negara Afrika. Indonesia pun nyaris mengalami hal yang sama. 30 Selain kelaparan yang absolut, ada pula kelaparan yang terselubung yaitu gizi buruk. Depkes RI (2008), memberikan batasan gizi buruk adalah suatu keadaaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor. Target 2.3. Di tahun 2030, menggandakan tingkat produktivitas pertanian dan pendapatan produsen makanan skala kecil, khususnya para perempuan, masyarakat adat, keluarga petani, peternak, dan nelayan, melalui akses ke tanah yang aman dan setara, sumber daya dan input produktif lainnya, ilmu pengetahuan, layanan keuangan, pasar, dan peluang untuk pertambahan nilai dan pekerjaan dalam bidang non-pertanian. Perbandingan BB/TB yang tidak sesuai disebut juga stunting. Menurut SDKI 2013, prevalensi stunting nasional mencapai 37,2%. Artinya 8 juta anak atau satu dari tiga anak Indonesia menderita pertumbuhan tak maksimal. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%) dan Thailand 16%. Indonesia menempati posisi ke 5 dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting! Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu yang lama. Stunting terjadi sejak janin dan baru muncul gejalanya ketika berumur 2 tahun. Stunting menyebabkan penderitanya mudah terserang penyakit dan kemampuan kognitifnya rendah sehingga akan mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Di sisi lain, pemasaran makanan kemasan yang nir-gizi justru berkembang sangat cepat. Menurut hasil riset World Panel Indonesia, mie instan adalah produk yang paling diminati konsumen Indonesia. Selama setahun konsumen Indonesia berbelanja mie instan 400 kali atau 31 kali setiap bulan. Diperkirakan penjualan mie instan akan mencapai 18 miliar bungkus di tahun 2014. Pemasaran mie instan ini didukung dengan distribusi yang luas hingga ke warung-warung kecil di pelosok-pelosok dan promosi serta iklan yang gencar. 17 Sampai saat ini belum ada terlihat upaya pemerintah untuk mengatur perdagangan makanan kemasan nir-gizi dalam rangka melindungi dan memenuhi gizi masyarakat. Selain stunting dan malnutrisi, masih ada masalah lain yaitu anemia yang dialami 37,1% ibu hamil di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Anemia pada ibu hamil berisiko pada kelahiran. Beberapa pengertian gizi buruk menurut Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut : • Gizi buruk: adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor. • Marasmus: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput. • Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan. Marasmus-Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor. 15 31 Kaitan Gender, Pangan dan SRHR Dahulu sebelum mekanisasi pertanian diberlakukan, perempuan memiliki peran penting dalam pertanian. Perempuanlah yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memilih dan memuliakan benih. Perempuan pula yang menanam. Pada saat panen, perempuan pula yang melakukan panen, kemudian mereka memilih hasil panen yang layak menjadi benih. Namun pada saat mekanisasi pertanian, peran perempuan ini tergeser karena digantikan oleh petugas Penyuluh Pertanian Lapangan PPL yang mengajari petani membuat benih. Bahkan lama kelamaan petani pun tidak mampu lagi membuat benih karena benih diproduksi secara masal di pabrik benih. Kini petani harus membeli benih. Peran perempuan pada waktu panen pun digantikan oleh mesin. Tidak ada lagi perempuan petani yang bekerja berkelompok memotong padi dengan ani-ani. Hilangnya peran perempuan akibat mekanisasi pertanian ini tidak terlalu banyak mendapat perhatian, padahal itu suatu kehilangan pengetahuan yang sangat besar. Perempuan petanilah yang mengajarkan tentang benih kepada anak-anaknya. Di tahun 2030, mengakhiri kelaparan dan menjamin akses untuk semua orang, khususnya orang miskin dan orang-orang dalam situasi rentan, termasuk bayi, untuk memperoleh makanan yang aman, bergizi, dan memadai sepanjang tahun Dalam konteks produksi pangan, peran perempuan lebih banyak dikenal di ranah domestik, yaitu berbelanja dan mengolah makanan untuk keluarganya. Padahal peran perempuan juga sangat besar pada pemasaran produk pangan, serta pada pengolah pangan untuk dijual. Di dalam ranah domestik, ketika semua serba terbatas dengan kemiskinan, perempuan memilih untuk mengalah dalam konsumsi makanan, mendahulukan suami dan anak. Termasuk pada masa kehamilan dan menyusui. Konsumsi makanan yang kurang gizi menimbulkan masalah dalam metabolisme hormon dan kadar zat besi (Fe) dalam darah. Anemia adalah salah satu sebab kurangnya zat bersi dalam darah. Gizi buruk selama masa kehamilan dan menyusui berisiko pada kelahiran dan kondisi kesehatan bayi. 17 Dirangkum dari berita Kompas.com, Jumat 13 Juni 2014 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/13/1741446/Mie.Instan.Tempati.Posisi.Puncak.Penjualan.Barang.Eceran.b Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Perempuan petani juga tidak mudah untuk memiliki aset tanah atau akses kredit karena persyaratan yang ada sesungguhnya menganggap yang akan mengambil kredit adalah laki-laki. Target 2.1. 32 4.3.SRHR dan Kesehatan Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Kesehatan menjadi tujuan AGENDA 2030 yang ke tiga. Jika di MDGs, bidang kesehatan tersebar di 3 tujuan, yaitu Penurunan Angka Kematian Bayi dan Balita, Penurunan Angka Kematian Ibu, dan Penanganan penyebaran HIV. Pada AGENDA 2030, Kesehatan disatukan dalam satu tujuan “Memastikan hidup yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi semua” tetapi dijabarkan dalam 9 target dan 4 MOI. Target dan MOI bidang kesehatan dalam AGENDA 2030 jauh lebih luas dibandingan MDG karena meliputi kesehatan ibu, anak, bayi balita, HIV, penyakit tidak menular, penyalah gunaan narkoba dan alkohol, kecelakaan lalulintas, kontaminasi, jaminan kesehatan universal dan secara khusus menargetkan universal akses ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi. MOI di bidang kesehatan ini juga menetapkan tentang pengendalian tembakau, pengembangan riset dengan memperhatikan Deklarasi DOHA dan TRIPs, pembiayaan kesehatan serta penanganan bencana. Tujuan 3. Inti dari tujuan AGENDA 2030 bidang kesehatan adalah memberikan “kepastian hidup yang Memastikan hidup yang sehat dan mempromosikan sehat” dan “bagi semua” artinya sehat dipandang kesejahteraan bagi semua. sebagai hak semua warganegara yang wajib dipastikan keberlangsungannya oleh negara tanpa memandang status sosial, umur, jenis kelamin, letak geografis, agama, etnis, status perkawinan termasuk di dalamnya identitas seksual ataupun “sexual preferences”. Pemenuhan Hak Kesehatan tidak boleh diskriminatif, baik secara sengaja didisain ataupun membiarkan terjadinya diskriminasi pada saat implementasinya. AGENDA 2030 secara jelas dalam preambulnya menyebutkan “tidak boleh meninggalkan siapapun juga” atau “leaves no one behind”. Sub Bab ini akan mengupas apakah Indonesia sudah melakukan upaya maksimal untuk memenuhi hak kesehatan yang non diskriminatif tanpa meninggalkan siapapun juga dengan menggunakan kesehatan reproduksi sebagai fokus pembahasan terutama Kematian Ibu Bayi dan Balita serta HIV. Kesehatan Ibu, Bayi dan Balita Indonesia masih mempunyai “pekerjaan rumah” untuk menyelesaikan target MDGs terkait dengan kematian Ibu, Bayi dan Balita yang masih jauh dari target. Kematian Ibu dipahami sebagai akibat dari terlalu muda melahirkan, terlalu tua melahirkan atau terlalu sering melahirkan. Selain itu juga karena terlambat penanganan. AGENDA 2030 menargetkan Angka Kematian Ibu 70 per 100.000 kelahiran hidup. Target tersebut sangat jauh dibandingkan dengan hasil SDKI 2012 yang 359 per 100.000 kelahiran hidup. Bahkan masih sangat jauh untuk mencapai target MDGs 105 per 100.000 kelahiran hidup. 33 Angka kematian bayi dan balita masing-masing maksimum 12 dan 25 setiap 1000 kelahiran hidup di tahun 2030. Padahal berdasarkan data SDKI tahun 2012, angka kematian bayi dan balita baru mencapai 32 dan 40 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi terbanyak terjadi di bawah usia 1 bulan (60%), sedangkan kematian anak terbesar pada saat usia di bawah 1tahun (80%). Kematian bayi dan balita lebih banyak terjadi di daerah pedesaan daripada di perkotaan. Berdasarkan pendidikan ibu, kematian bayi dan balita lebih banyak terjadi pada ibu dengan pendidikan rendah dan dari kelompok quintil kesejahteraan terendah (SDKI 2012). Target 3.1. Di tahun 2030, mengurangi angka kematian ibu hamil global menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran. Target 3.2. Di tahun 2030, mengakhiri kematian bayi dan balita yang dapat dicegah, dengan semua negara bertujuan untuk mengurangi angka kematian bayi yang baru lahir menjadi maksimal 12 per 1.000 kelahiran dan kematian balita maksimal 25 per 1.000 kelahiran. Tabel 2 : AKB, AKA, dan AKI MDGs AGENDA 2030 Angka Kematian Bayi 32 32 12 Setiap 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Anak 40 40 25 Setiap 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Ibu 359 359 70 Setiap 100.000 kelahiran hidup Sumber : BPS, diunduh dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1489 Mengapa angka kematian Ibu, Bayi dan Balita begitu sulit dikendalikan? Dulu, dukun bayi dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kematian ibu dan bayi, terkait dengan infeksi kelahiran dan penanganan komplikasi pasca kelahiran. Dukun bayi pun akhirnya “dihentikan” kiprahnya dengan tidak dilakukan regenerasi. Peranan dukun bayi harus digantikan oleh bidan desa yang secara usia jauh lebih muda dan kurang berpengalaman berhadapan dengan masyarakat serta tidak memiliki ketrampilan dan kesabaran yang cukup untuk mendampingi ibu sebelum maupun setelah melahirkan seperti yang dilakukan dukun bayi. Penyebaran bidan desa pun terbatas tidak dapat menyaingi keberadaan dukun bayi yang memang warga setempat dan biasanya berada di pelosok-pelosok. Tingginya kebutuhan bidan, membuat sekolah-sekolah bidan menjamur dimanamana. Dari sisi jumlah mungkin sudah memadai namun dari sisi kompetensi dan penyebarannya masih perlu dipertanyakan. Saat ini pemerintah berupaya untuk melakukan standarisasi sekolah bidan, karena dinilai kompetensi lulusan sekolah bidan tidak merata. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 SDKI 2012 34 Pemerintah juga pernah mengeluarkan produk “Jampersal” (Jaminan Persalinan) untuk mendorong ibu hamil menggunakan fasilitas kesehatan dan mendapatkan jaminan pembiayaan dari pemerintah. Namun upaya ini juga tidak mampu menurunkan kematian ibu. Lembaga donor asing pun beramai-ramai menggelontorkan dananya untuk Indonesia dengan berbagai proyek seperti Suami Siaga, Bidan Siaga, Suami Siaga, namun semua itu akhirnya menguap dan angka kematian Ibu secara nasional tetap tinggi, walaupun mungkin di daerah-daerah yang diintervensi proyek tadi terjadi penurunan kematian ibu dan bayi. Pengetahuan masyarakat yang terabaikan Sesungguhnya sejak dulu, masyarakat memiliki pengetahuan tentang ibu hamil. Di Jawa dikenal adanya upacara “mitoni” yang dilakukan pada saat usia kandungan 7 bulan. Upacara mitoni mendoakan agar ibu hamil selamat, sehat dan bayinya pun sehat. Selain itu upacara mitoni juga sebuah “pertanda” bagi warga sekitar bahwa ada seorang ibu yang sedang menanti kelahiran. Artinya para tetangga harus memberikan perhatian dan siap siaga jika sewaktu-waktu ibu hamil membutuhkan bantuan. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Dukun bayi dan para ibu jaman dahulu memiliki pengetahuan tentang ramuan baik yang diminum maupun dibalur untuk mengembalikan stamina ibu melahirkan, relaksasi otot-otot pasca melahirkan, memperlancar aliran darah bahkan mengencangkan otot perut sehingga kembali langsing seperti sediakala. Kini pengetahuan itu semakin memudar. Bidan dan dokter hanya memiliki pengetahuan kedokteran modern. Dan ilmu kedokteran ataupun kesehatan modern hanya milik profesi kesehatan. Ketika pengetahuan masyarakat ini diabaikan, sesungguhnya ada kegagapan di masyarakat dalam menyikapi pengetahuan yang baru. Pengetahuan kesehatan menjadi sangat jauh dan terlalu “canggih” bagi masyarakat. Pada masa lampau, kesejangan ini disiasati dengan mencetak kader-kader kesehatan seperti kader posyandu, kader PKK, dokter kecil di sekolah. Posyandu sejatinya adalah milik masyarakat karena terjadi dan tumbuh dalam masyarakat. Namun pada perkembangannya posyandu “diambil alih” oleh puskesmas yang oleh pemerintah dijadikan pembina posyandu. Akhirnya Puskesmas lah yang membentuk posyandu. Posyandu yang awalnya adalah gerakan relawan masyarakat untuk kesehatan keluarga, akhirnya menjadi program puskesmas dan tergantung pada pembiayaan puskesmas. Kini, posyandu bahkan banyak yang mati suri, atau hanya hidup ketika ada lomba posyandu. Kader posyandu yang kebanyakan ibu-ibu disibukkan dengan tugas administrasi pengisian berbagai macam formulir. Bagi masyarakat kita yang sebagian besar masih berbudaya “verbal” bukan berbudaya “tulis”, tugas-tugas administrasi ini akan menjadi “seleksi alam” bagi kader-kader yang memiliki “kerelawanan dan pengetahuan lokal yang tinggi tetapi gagap dalam menulis” untuk sedikit demi sedikit tersingkir. Pola organisasi posyandu pun mengikuti pola kepemimpinan pemerintahan. Ketua posyandu biasanya ibu kepala desa. Kader yang potensial tidak bisa memimpin posyandu. Belum lagi pemanfaatan kader posyandu untuk tujuan politik terutama pada saat menjelang pemilihan kepala daerah. Hal- hal ini membuat posyandu yang jiwanya adalah “kerelawanan kesehatan” menjadi luntur dan tujuan untuk kesehatan keluarga menjadi tidak fokus. Akibatnya, kita sering terlambat mengetahui ketika ada ibu hamil atau ketika ada bayi gizi buruk. Di sisi lain, pengetahuan dan kesadaran laki-laki dan juga perempuan untuk memperjuangkan hak reproduksi dirinya masih sangat rendah. Perjuangan itu meliputi perjuangan hak reproduksi individu yang setara dalam relasi berpasangan maupun hak reproduksi pasangan ketika berelasi dengan keluarga atau komunitas yang lebih luas. Ini adalah salah satu bentuk kegagapan juga. Kematian ibu bayi dan balita jelas terkait dengan posisi tawar perempuan di masyakarat, yang seringkali dianggap bukan ranah kesehatan sehingga penanganannya tidak pernah bersinergi. Pemberdayaan perempuan menjadi tupoksi Kementerian PPPA, dimana pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak masuk di dalamnya. Angka kematian ibu dan bayi seharusnya menjadi pertanda lemahnya posisi tawar perempuan dan potensi tingginya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sampai saat ini belum ada koordinasi yang serius dari kedua kemeterian dalam menanggulangi kematian ibu, bayi dan balita serta kaitannya dengan kekerasan terhadap ibu dan anak. Partisipasi aktif laki-laki dalam masa kehamilan, menyusui hingga pengasuhan Suami atau ayah memiliki peran penting dalam masa kehamilan, proses kelahiran, Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Di sisi lain, harus disadarai dan dipahami bahwa masyarakat kita adalah masyarakat komunal sesuai dengan ciri masyarakat agraris, bukan individual. Pengertian “keluarga” bisa sangat luas bukan hanya keluarga batih tetapi “extended family”. Posisi anak, posisi perempuan masih lemah dalam sistem kekeluargaan seperti ini. Maka menjadi sangat sulit jika berbicara mengenai “hak reproduksi” apalagi “hak seksual”. Penentuan kapan akan hamil, berapa jumlah anak, dimana akan melahirkan, sangat besar kemungkinan keputusan tersebut tidak di tangan perempuan, tetapi suami atau keluarga besarnya. Sementara dalam kedokteran modern hanya mengenal informed concent pada pasangan. 35 36 nifas, menyusui, dan pengasuhan. Masa kehamilan adalah masa yang menyenangkan sekaligus menguras energi bagi perempuan, maka suami harus berperan aktif agar masa kehamilan dapat dilalui dengan baik. Suami harus memahami bahwa kehamilan adalah sebuah proses dimulainya suatu kehidupan yang membuat perubahan besar dalam tubuh dan semua sistem hormonal, metabolisme perempuan. Kehamilan bukanlah sebuah “peristiwa alami” biasa tetapi suatu “peristiwa besar” bagi tubuh perempuan, karena semua energinya harus dibagi untuk penciptaan manusia baru. Kehamilan membuat perubahan besar pada tubuh, perasaan, dan pikiran perempuan. Laki-laki harus paham tentang “kerja keras” tubuh perempuan dalam masa kehamilan ini. Perhatian dan dukungan suami merupakan faktor yang sangat penting bagi perempuan hamil. Perhatian dan dukungan dapat dilakukan dengan cara yang paling sederhana yaitu tidak menuntut dilayani untuk hal-hal sepele, mengerjakan sendiri hal-hal yang bisa dikerjakan. Berhenti merokok! dan menyimpan dana merokok untuk penambahan gizi ibu hamil atau biaya pemeriksaan kehamilan atau biaya persalinan. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Perhatian dan partisipasi yang lebih aktif adalah dengan menemani istri memeriksakan kehamilan secara rutin dan berpartisipasi aktif dalam diskusi dengan petugas kesehatan. Mengambil peran aktif dalam melakukan kerja-kerja rumah tangga atau bahkan mengerjakan semua tugas domestik sehingga istri tidak perlu harus melakukan kerja fisik yang berisiko pada kehamilannya. Menabung dan merencanakan biaya persalinan, jika perlu jauh-jauh hari sudah menyiapkan surat-surat untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Mempersiapkan donor darah agar jika terjadi kondisi darurat, darah sudah tersedia. Merencanakan tempat persalinan, transportasi menuju tempat persalinan dan jika rumah tinggal sangat jauh dari lokasi persalinan maka perlu direncanakan untuk memindahkan istri ke lokasi yang dekat dengan tempat persalinan (shelter). Memperhatikan gizi ibu hamil dengan memprioritaskan makanan bergizi bagi ibu hamil. Peran suami juga sangat besar pada proses kelahiran. Kehadiran suami pada saat melahirkan membuat istri menjadi lebih tenang, dengan catatan suami siap dan tidak merepotkan tenaga kesehatan yang membantu proses kelahiran. Ketika laki-laki hadir dalam persalinan, fakta menunjukan emosi terbangun dan komitmen untuk berbagi peran dengan istri untuk pengasuhan meningkat. Peran suami tidak berhenti pada saat kelahiran tetapi masih berlanjut pada saat masa menyusui. Sudah terbukti bahwa keberhasilan ASI ekslusif juga ditentukan dari peran suami dalam mendukung pemberian ASI. Hal positif lain yang didapat dari suami yang terlibat dalam masa kehamilan hingga menyusui adalah kedekatan anak dengan ayahnya. Tak hanya itu, suami juga harus berperan aktif dalam pengasuhan anak. Suami yang aktif sebagai pengasuh akan berdampak langsung terhadap tumbuh kembang anak. Hal ini akan semakin kuat jika suami turut mendukung istri untuk turut mencari nafkah dan akhirnya meningkatkan sumber pemasukan dalam rumah tangga. Istri pun akan semakin meningkat posisi tawarnya dalam rumah tangga, beban rumah tangga bisa dibagi lebih adil dan pada akhirnya mendukung kesehatan ibu dan anak dan mendukung ketahanan keluarga. 37 Kematian ibu terkait dengan proses kehamilan dan melahirkan juga dipengaruhi kebijakan yang terkait dengan pendidikan, perkawinan dan keluarga berencana sebagaimana dijabarkan dalam sub bab berikut. Pernikahan dan Kehamilan Remaja Berdasarkan data SDKI 2012, 10 persen perempuan dari kelompok usia 15-19 tahun sudah pernah melahirkan atau sedang mengandung anak pertamanya. Sebuah studi di tahun 2009, ditemukan 690.000 kasus perkawinan usia anak (di bawah 18 tahun), bahkan dapat terjadi pada usia 13 tahun. Selain menikah di usia dini, mereka juga memiliki anak tidak lama setelah menikah (Amnesty Internasional, 2010).19 Pernikahan remaja sangat terkait dengan beberapa faktor diantaranya kemiskinan (seperti yang telah dibahas dalam sub bab kemiskinan), budaya20 , dan juga ketiadaan informasi dan layanan kesehatan reproduksi bagi remaja. Pernikahan remaja bahkan anak legal di Indonesia karena dilindungi oleh UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang mensyaratkan usia menikah untuk perempuan minimal 16 tahun dan untuk laki-laki 19 tahun. Undang-undang ini bertentangan dengan UU Perlindungan Anak no. 23/ 2002 yang memberikan batasan “anak” adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Hasil temuan YKP, dalam Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Health Rights hal. 7. Yayasan Kesehatan Perempuan, Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Services : Indonesia, hal. 9. 20 Di beberapa daerah di Indonesia masih menganut nilai bahwa perempuan setelah menstruasi sudah siap untuk menikah. Menikah muda menjadi budaya. Menikah muda diikuti dengan melahirkan diusia muda, dan bercerai di usia muda. Di usia relatif muda pula, seringkali seorang perempuan sudah menikah lebih dari satu kali. 18 19 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Pernikahan dan kehamilan remaja menjadi faktor penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas ibu maupun anak. Perempuan yang hamil dan melahirkan diusia remaja terutama pada usia di bawah 18 tahun berisiko lebih tinggi terhadap komplikasi kehamilan dan kelahiran. Di sisi lain, kehamilan di usia remaja juga menutup peluang untuk melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Di kabupaten Bogor dan Cianjur jumlah perkawinan anak dan kematian ibu cukup tinggi. Hal ini menunjukkan keterkaitan antara perkawinan usia dini dengan risiko kematian ibu melahirkan.18 38 Beberapa LSM telah melakukan upaya Judicial Review untuk mengubah ketentuan umur menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi minimal 18 tahun, bahkan ada yang mengajukan usia minimal 20 tahun. Namun yudicial review tersebut ditolak Mahkamah Konsitusi. Usulan merevisi batas usia menikah bagi perempuan justru mendapatkan penolakan dari dua organisasi massa Islam terbesar (NU dan Muhamadiyah) serta MUI (Majelis Ulama Indonesia). Kekalahan di Mahkamah Konstitusi seharusnya bukan akhir untuk memperjuangkan perlindungan bagi remaja perempuan. Jika negara ini serius ingin melindungi rakyatnya, maka seharusnya pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PPPA, Kementerian Agama mengajukan usulan revisi UU Perkawinan tahun 1974 yang jelas-jelas bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Sebagai awal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat melakukan langkah strategis dengan mengundangkan wajib belajar 12 tahun, sehingga secara prkatis akan “menunda” usia menikah remaja putri hingga mereka menyelesaikan pendidikan menengah atas. Keluarga Berencana dan layanan Kesehatan Reproduksi Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Keluarga Berencana adalah salah satu bentuk dari layanan kesehatan reproduksi. Setidaknya terdapat 2 paradigma terkait keluarga berencana ini. Pertama, suatu upaya untuk pengendalian penduduk dan yang kedua adalah suatu upaya untuk perlindungan dan pemenuhan negara terhadap hak dan kesehatan rakyatnya. Indonesia pernah melewati masa kejayaan program Keluaga Berencana sebagai upaya untuk pengendalian penduduk. Pendekatan yang dilakukan pada masa itu seringkali mengesampingkan kebutuhan dan hak klien akan informasi yang layak dan hak untuk memilih kontrasepsi yang paling cocok. Tetapi di sisi lain negara betulbetul mengontrol ketersediaan alat kontrasepsi terutama alkon gratis maupun alkon bersubsidi. Alkon merupakan “public goods” yang disediakan oleh negara, walaupun di pasar tersedia pula alkon dengan berbagai merk sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat yang mampu. Alat-alat kontrasepsi yang disediakan oleh negara ini dibeli melalui dana APBN maupun bantuan internasional. Kontrasepsi 1994-1996 2003-2005 2012 TFR 2,9 2,6 2,6 CPR 54,7 60,3 61,9 Unmeet Need 15,3 13,2 11,4 39 Bantuan internasional untuk alat kontrasepsi sangat dipengaruhi oleh situasi politik dari negara yang bersangkutan. Jika partai yang berkuasa adalah partai konservatif yang tidak pro-kesehatan reproduksi atau pro-life, maka hampir dipastikan bantuan negara tersebut untuk alat kontrasepsi dan program kesehatan reproduksi lainnya akan berkurang tajam. Ada kemungkinan situasi ini akan mempengaruhi ketersediaan variasi alat kontrasepsi yang pada akhirnya mempengaruhi pilihan metode kontrasepsi. Kini, di era otonomi daerah, keluarga berancana menjadi ranah pemerintah daerah. Kebijakan tentang keluarga berencana sangat tergantung pada pemahaman dan kemauan politik pemimpin daerah. Keluarga Berencana dianggap bukan program wajib yang harus dijalankan oleh pemerintah daerah melainkan sebagai “menu pilihan”. Bagi kebanyakan pemerintah daerah, Keluarga Berencana bukanlah proyek yang strategis. Paradigma keluarga berencana hanya untuk mengendalikan jumlah penduduk sangat dominan di kalangan pemerintah daerah terutama yang kepadatan penduduk relatif rendah dibandingkan daerah-daerah di P. Jawa, sehingga mereka merasa tidak terlalu perlu menerapkan program kelurga berencana karena kepadatan penduduknya masih rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Rumah Kitab, sebuah LSM yang bergerak di isu agama, menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi dipengaruhi oleh agama. Seseorang penganut Islam yang kuat cenderung untuk menolak menggunakan kontrasepsi modern. Kelompok Islam revivalis percaya bahwa lebih banyak anak akan mendapatkan lebih banyak pahala dari Allah. Mereka juga percaya bahwa Islam akan lebih kuat jika umatnya memiliki lebih banyak anak di dalam rumahnya (Rumah Kitab, 2013).21 21 Yayasan Kesehatan Perempuan, Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Health Services Profile on Indonesia, hal. 4. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Terkait dengan layanan, sampai saat ini kebijakan yang berlaku di Indonesia adalah layanan keluarga berencana hanya diperuntukkan bagi pasangan usia reproduksi yang sudah menikah. Pelayanan ini tidak berlaku bagi perempuan yang belum menikah dan juga bagi remaja. Padahal sepertiga kehamilan tidak diinginkan dan aborsi tidak aman terjadi pada kelompok ini. Pelayanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja masih memicu penolakan terutama dari kelompok agama karena dianggap mendorong terjadinya seks bebas. Di sisi lain menyetujui pernikahan usia anak karena lebih baik dari pada berzinah. Sebuah pandangan yang melihat hubungan seksual dilihat dari sisi dosa. Selama dilakukan dalam perkawinan (baik sah secara hukum negara ataupun hanya sah secara hukum agama) maka hubungan seksual itu baik adanya, walaupun melibatkan perempuan di bawah umur. 40 Terkait dengan layanan, bukan hanya layanan keluarga berencana saja yang hanya diperuntukan bagi pasangan usia subur tetapi hal yang sama dianggap berlaku untuk layanan kesehatan reproduksi lainnya. Hal ini tampak pada pandangan atau anggapan bahwa berkonsultasi ke bidan atau dokter kandungan selalu terkait dengan kehamilan, sehingga hanya yang sudah menikahlah yang berkonsultasi ke bidan atau dokter kandungan. Padangan ini menghambat langkah remaja putri dan perempuan yang belum menikah untuk mendatangi layanan kesehatan untuk mendapatkan layanan atau hanya sekedar informasi tentang kesehatan reproduksi. Diskriminasi pelayanan reproduksi tidak hanya dialami oleh remaja dan perempuan yang belum menikah tetapi juga kelompok-kelompok yang selama ini dipinggirkan seperti difabel, anak berkebutuhan khusus, mereka yang miskin, mereka yang tinggal di daerah terpencil dan perbatasan serta mereka lesbian, gay dan transgender. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Hak dan kesehatan reproduksi bagi kelompok difabel ini sudah lama diperjuangkan oleh aktifis difabel, tapi sampai saat ini belum ada responnya. Kalangan kesehatan sendiri sangat jarang yang melakukan kajian tentang masalah kesehatan dari kelompok ini. Misalnya bagaimana seseorang yang mengalami paralisis di panggul ke bawah dapat memenuhi kebutuhan seksualnya atau bagaimana mengatasi masalah kesehatan reproduksinya yang terganggu karena terlalu banyak berbaring atau terlalu banyak duduk. Alat bantu seperti apa yang mereka butuhkan. Bagaimana seorang tuna netra atau tuna rungu mendapatkan informasi kesehatan reproduksi? Hal lain terkait dengan remaja berkebutuhan khusus seperti autisme, ADHD, slow learner yang akhir-akhir ini semakin banyak ditemui. Bagaimana menyeimbangkan kebutuhan seksual dan gejolak hormonal dengan kendala kematangan sosial yang mereka miliki. Belum ada panduan bagi orang tua dan petugas kesehatan pun gagap ketika menghadapi masalah seperti ini. Di sisi lain kelompok-kelompok ini sangat rentan menjadi korban eksploitasi dan kekerasan termasuk kekerasan seksual. Diskriminasi ini semakin parah jika kelompok marjinal ini juga termasuk dalam kategori miskin. Target 3.7. Di tahun 2030, menjamin akses universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk program keluarga berencana, informasi dan edukasi, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional. 41 Jika perhatian terhadap kelompok difabel, anak berkebutuhan khusus, kelompok miskin, yang tidak bisa diperdebatkan atau dikaitkan dengan dogma agama, budaya, dan sosial saja belum dijamah secara serius oleh negara, maka memperjuangkan hak seksual dan reproduksi untuk lesbian, gay dan transgender membutuhkan perjuangan yang panjang. AGENDA 2030 juga memiliki target khusus yang terkait dengan SRHR yaitu menjamin akses universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk program keluarga berencana, informasi dan edukasi, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional. Bagaimana negara menyikapi hal ini? HIV dan tren penyebarannya AGENDA 2030 juga menargetkan mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis terabaikan dan memberantas hepatitis, penyakit yang terbawa oleh air, dan penyakit menular lainnya. Tujuan 3.3. Berdasarkan proyeksi jumlah infeksi baru di wilayah Papua dan Non Papua sesudah tahun 2013 sampai dengan 2030, tampaknya jumlah kasus baru masih terus meningkat. Proporsi wanita risiko rendah hampir mendekati proporsi pelanggan untuk wilayah Papua, sedangkan di wilayah non Papua, proporsi wanita risiko rendah lebih tinggi dari pada pelanggan. Kelompok LSL memegang proporsi terbesar di tahun 2030 (Grafik 1 dan Grafik 2). 22 universal ke layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk program keluarga berencana, informasi dan edukasi, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional. Bagaimana negara menyikapi hal ini? Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Di tahun 2030, mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis terabaikan dan memberantas hepatitis, penyakit yang terbawa oleh air, dan penyakit menular lainnya. 42 Grafik 1 : Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Papua tanpa intervensi sesudah 2013 - 2030 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Grafik 2. Proyeksi Jumlah Infeksi Baru di Wilayah Non Papua tanpa intervensi sesudah 2013 - 2030 Sumber : KPAN 22 Sumber KPAN dalam Outlook 2015: Kebijakan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia, diunduh dari http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/ beranda/49-general/1062-outlook-2015-kebijakan-penanggulangan-hiv-aids-di-indonesia#v-klik-disini. 43 Berdasarkan proyeksi penyebaran HIV baik di Papua maupun Non Papua, proporsi perempuan risiko rendah cenderung meningkat. Kelompok perempuan risiko rendah ini bisa jadi adalah pasangan dari laki-laki yang menjadi pelanggan pekerja seks, atau pasangan penasun atau pasangan dari laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki. Perempuan-perempuan ini adalah perempuan yang tidak mengetahui “perilaku” pasangannya, atau mengetahui pasangannya berisiko tetapi tidak berdaya untuk melindungi dirinya dari penularan HIV, atau mungkin tidak mengetahui cara melindungi dirinya. Padahal jika terjadi peningkatan perempuan terinfeksi HIV, maka harus diwaspadai terjadi peningkatan anak yang positif HIV serta kematian anak akibat infeksi oportunistik. Ada hal yang menarik pada proyeksi non Papua. Proporsi LSL menanjak cukup tajam sejak 2010 berbanding terbalik dengan proporsi penasun yang menurun tajam di sekitar tahun 2010- 2012 dan cenderung stagnan sampai tahun 2030. Apakah ini berarti siklus penyebaran HIV berulang? Kelompok LSL kembali sebagai penyumbang infeksi terbesar seperti awal epidemi HIV ini muncul? Tidak dapat dipungkiri bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV di Indonesia sangat tergantung dari donor atau “donor driven”. Donor juga memiliki “kecenderungan” tertentu. Pada saat penularan HIV melalui hubungan seksual merebak, maka progam pembagian kondom gratis dilaksanakan besar-besaran. Pada saat isu penasun meningkat, semua program HIV diarahkan untuk penggunaan jarum suntik steril dengan penyediaan jarum suntik gratis dan upaya penjangkauan. Jarum suntik pun “dihantarkan” ke penasun. Proporsi penyebaran infeksi HIV pun mengikuti pola intervensinya. Jika intervensi program donor terfokus pada penyebaran jarum suntik steril, maka tingkat penyebaran HIV dikalangan penasun akan tertekan tetapi penyebaran infeksi melalui hubungan seksual akan meningkat. Jika fokus program pada penyebaran kondom maka terjadi penurunan penyebaran infeksi melalui hubungan seksual tetapi penyebaran di kalangan penasun akan meningkat. Hal ini menunjukan pola penyebaran HIV belum mantap dan ketergantungan pada proyek masih sangat tinggi. Maka data HIV yang baik adalah ketika pola penyebaran infeksi disandingkan dengan program intervensi yang sedang dilakukan di daerah tersebut. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Guna menjawab hal itu, perlu dipahami bahwa HIV telah menjadi perhatian dunia karena merupakan epidemi global yang bertahan bertahun-tahun. Negara-negara maju mengucurkan banyak dana untuk pencegahan epidemi ini termasuk untuk Indonesia. Dana internasional untuk pencegahan dan penanggulangan HIV mungkin menyamai atau bahkan lebih besar dari dana yang dikucurkan APBN. 44 Tingginya penyebaran infeksi di kalangan LSL juga perlu mendapat perhatian dari para penggiat hak seksual. Apa yang sesungguhnya terjadi? Penyebaran infeksi HIV di kalangan LSL dapat dicegah dengan penggunaan kondom. Hubungan seksual per anal memiliki risiko perlukaan yang tinggi sehingga mempercepat penularan HIV. Pengetahuan ini sudah sejak awal disebarkan. Apakah penyebaran pengetahuan ini terhenti dikalangan LSL sehingga terjadi peningkatan HIV? Ataukah jumlah LSL yang meningkat tajam? Siapakah “pemain-pemain utama” di bidang kesehatan? Pemain-pemain utama dalam bidang kesehatan yang selama ini selalu dicatat adalah pemerintah, insitusi kesehatan (baik swasta dan pemerintah) petugas kesehatan (atau kelompok profesional kesehatan), akademisi (atau peneliti atau para pakar). Pemerintah memiliki peran sebagai pembuat kebijakan untuk menjamin pemenuhan hak kesehatan rakyatnya. Institusi kesehatan dan petugas kesehatan adalah penyedia layanan kesehatan, akademisi atau peneliti adalah pengembang inovasi bidang kesehatan serta memproduksi kajian-kajian untuk mengevalusi produk-produk kesehatan (baik produk materi maupun imateri seperti kebijakan). Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Selain para pemain yang sudah disebutkan di atas masih ada pemain-pemian penting lain yang jarang diekspos padahal memiliki peranan yang besar yaitu pebisnis dalam bidang farmasi, alat kesehatan maupun bidang lain yang terkait. Lembaga Donor Internasional yang menyalurkan dana, “konsep” baru serta pakarnya. Dan tentu saja negara-negara industri besar yang menyokong pendanaan, serta mendorong perkembangan bisnis. Semua program kesehatan selalu melibatkan bisnis di belakangnya. Beberapa contoh nyata yang terkait dengan kesehatan reproduksi misalnya pengadaan alat kontrasepsi. Lobi bisnis di tingkat pembuat kebijakan dapat mempengaruhi kebijakan penyediaan alat kontrasepsi. Lobi bisnis ini tidak hanya di tingkat atas tetapi sampai ke tingkat petugas kesehatan. Di Indonesia, relasi petugas kesehatan (dokter spesialis, dokter umum, bidan dll) dan kliennya sangatlah tidak setara. Petugas kesehatan diposisikan sangat tinggi dan diberi kuasa oleh kliennya untuk menentukan nasibnya. Ketika kepercayaan klien begitu tinggi, maka klien akan menuruti arahan petugas kesehatan. Hal ini sangat tidak adil ketika petugas kesehatan berada di bawah kuasa pebisnis. Maka perlu berhati-hati ketika membaca data kesehatan, apakah data itu merupakan gambaran murni di masyarakat atau ada intervensi bisnis di dalamnya. Contoh lain adalah program pencegahan HIV. Selama bertahun-tahun lembaga donor mensuplai kondom dan jarum suntik. Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang didapat produsen jarum suntik dan kondom yang dibeli oleh lembaga donor. Di sisi lain ternyata program penyediaan jarum suntik justru menciptakan ketergantung penasun terhadap jarum suntik gratis. Sehingga turunnya infeksi penyebaran HIV di kalangan penasun mungkin semu, karena penasun tidak berubah. Jumlahnya bertambah, ketergantungnya juga bertambah, selain ketergantungan narkobanya mereka juga ketergantungan jarum suntik gratis. Semakin lama, yang akan lebih banyak mendapatkan keuntungan adalah pebisnis. Belum lagi jika bicara tentang ARV, yang terhambat hak paten, sehingga negara-negara miskin dengan tingkat HIV /AIDS tinggi semakin tersiksa karena harus menyediakan ARV dengan harga yang mahal. Oleh sebab itu negara-negara ini didukung oleh lembaga donor internasional (termasuk Indonesia). Lembaga-lembaga donor inilah yang lebih banyak membeli ARV ke pebisnis. Sementara pebisnis tetap menjalankan bisnis secara biasa. Programnya kemanusiaan, tetapi untuk pebisnis tetap “business as usual” dan hasilnya kembali ke negara-negara besar tempat mereka berasal dalam bentuk pajak dan lapangan pekerjaan. Sementara negara miskin tetap bergulat dengan kemiskinannya dan HIV. Saat ini pengadaan obat harus melalui e-procurement (Pengadaan barang melalui sistem elektronik). Pemerintah telah menentukan pagu harga obat termasuk obat generik. Yang terjadi adalah produsen /distributor obat enggan mengikuti e-proc untuk obat generik karena harga pagu yang ditentukan dirasa kurang menguntungkan. Akibatnya obat generik menjadi langka di pasaran termasuk puskesmas. Mau tidak mau petugas kesehatan akan mengganti obat generik dengan obat yang lebih mahal. Pemberian obat yang tidak rasional akan mempengaruhi resistensi dan akan berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta membebani negara di masa datang. Jika hal ini didiamkan tentu akan mempengaruhi pola pengobatan masyarakat dan pembiayaan pengobatan (terkait dengan BPJS). Begitu kuatnya pengaruh pebisnis dalam bidang kesehatan. Kedaulatan Kesehatan Tingginya harga obat, dan ketergantungan Indonesia terhadap bahan impor seharusnya menjadi indikasi bahwa sudah waktunya Indonesia mengubah strateginya. Indonesia sangat kaya akan bahan baku alami obat-obatan. Sudah saatnya Indonesia memproduksi bahan baku obat sendiri. Pemerintah harus membuat regulasi agar Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Terkait dengan obat-obatan, Indonesia dikenal sebagai negara dengan harga obat yang mahal. Di Indonesia terdapat sekitar 200-an perusahaan farmasi. Sekitar 70 %nya adalah perusaan lokal dan sisanya adalah PMA. Namun dari sisi omzet, PMA mendominasi terutama dari sisi value. Artinya PMA lebih banyak memasarkan obatobatan dengan harga tinggi. Indonesia sangat tergantung negara lain dalam hal kesehatan baik itu obat-obatan maupun alat kesehatan. Indonesia masih mengimpor 90 % bahan baku obat, sehingga harga obat begitu tinggi, dan diperparah dengan biaya promosi yang harus ditanggung oleh konsumen. Ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor menunjukkan Indonesia belum mampu menyehatkan bangsanya sendiri. 45 46 perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia harus menggunakan bahan baku yang diproduksi di Indonesia. Alternatif lain adalah mengembangkan pengobatan tradisional setara dengan pengobatan modern, karena Indonesia kaya akan bahan rempah yang sangat bermanfaat. Indonesia mempunyai pengetahuan ramu-ramuan herbal tetapi di”mati suri”kan oleh kedokteran modern. Tenaga kesehatan Indonesia juga harus dididik untuk menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan tradisional bersamaan dengan pengetahuan kedokteran modern. Komitmen persentase 15% alokasi dana APBN atau APBD untuk kesehatan harus dilaksanakan oleh semua kepala daerah. Dilakukan kontrol penggunaannya. Semua pelayan dasar yang merupakan “public goods” diselenggarakan dan tanggung oleh negara (termasuk didalamnya layanan KB, kespro). Pelayanan kesehatan tersedia sampai pelosok-pelosok dan memberikan pelayanan dasar tanpa diskriminasi. Disertai pengembangan sistem kesehatan yang lebih mendukung upaya promotif, preventif dari pada kuratif dan menghindari ‘swastanisasi” institusi kesehatan. Konsep “dokter keluarga” yang dulu sempat diwacanakan perlu diupayakan kembali. Dengan model dokter keluarga, pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi juga akan lebih efektif. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Jika semua hal tersebut dijalankan, berarti Indonesia sudah melangkah untuk menjadi berdaulat di bidang kesehatan. 4.4.SRHR dan Pendidikan Pendidikan adalah hak yang fundamental. Pendidikan yang baik dapat meningkatkan taraf hidup dan memberikan kontribusi sosial yang lebih luas serta posisi tawar ekonomi yang lebih baik. Meningkatkan taraf pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 50% di negara-negara berkembang selama 5 dekade silam. Sekitar separuhnya disebabkan oleh lebih banyaknya perempuan yang mengecap pendidikan lebih tinggi, serta laki-laki maupun perempuan mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik selama masa sekolah.24 AGENDA 2030 menetapkan tujuan pendidikan sebagai tujuan ke 4 yang berbunyi “Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup”. Apakah pendidikan inklusif itu? Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan 22 ibid bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.25 47 Tujuan 4: Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup. Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Bagaimana penerapan pendidikan inklusif di Indonesia? Pemerintah Indonesia memberikan jaminan sepenuhnya kepada peserta didik berkebutuhan khusus atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di tahun yang sama, Dirjen Dikdasmen Depdiknas juga mengeluarkan Surat Edaran No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 perihal pendidikan inklusif : Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurangkurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, SMK. Pada kenyataannya peserta didik berkebutuhan khusus atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa usia sekolah masih banyak yang belum mendapatkan akses pendidikan, terutama mereka yang berdomisili di pedesaan. 25 Lismaya, Lilis., Apa itu Pendidikan Inklusi, diunduh dari http://www.pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-inklusif Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Inti dari pendidikan inklusi adalah menerapkan dan mengajarkan tentang menghargai perbedaan, pemahaman bahwa setiap manusia memiliki keunikan, dan kelompok mayoritas bukanlah standar atau acuan kebenaran. 48 Di Provinsi DKI Jakarta saja, jumlah sekolah inklusi masih belum memenuhi standar. Padahal Gubernur DKI sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur No.116 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pendidikan Inklusi dalam Bab III pasal 4 bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusi di setiap Kecamatan sekurang-kurangnya terdapat Tujuan 4: Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup. 3 (tiga) TK/RA, SD/MI, dan satu SMP/MTS dan disetiap Kota sekurang-kurangnya 3(tiga) SMU/SMK/MA/MAK. Kenyataannya di Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, hanya ada 3(tiga) SD Inklusi Negeri, seharusnya terdapat sekurangkurangnya 30 SD/MI. Anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan inklusi ini sangatlah minim sehingga tidak dapat memenuhi rasio 3 sekolah inklusi di tiap tingkatan di setiap puskesmas. Akibatnya untuk DKI Jakarta saja, pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 50.000-an siswa berkebutuhan khusus yang seharusnya ditampung di sekolah inklusi menjadi tidak tertangani dengan baik.29 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Selain jumlahnya tidak memadai, kualitas sekolah yang ditunjuk sebagai sekolah inklusi juga belum merata. Beberapa sekolah inklusi hanya ditunjuk tanpa penyiapan sumber daya yang memadai. Guru-guru tidak semua memahami tentang siswa berkebutuhan khusus dan tentang pendidikan inklusi. Siswa-siswa lain pun juga tidak diberi pemahaman tentang pentingnya menghormati perbedaan sebegai inti pendidikan inklusi dengan baik. Situasi ini seringkali malah memicu terjadinya kekerasan terhadap siswa berkebutuhan khusus. Kekerasan terhadap anak di sekolah Laporan tahunan UNICEF tahun 2014 menyebutkan bahwa 45% anak Indonesia mengalami kekerasan fisik di sekolah. Angka ini merupakan salah satu yang tertingi di dunia. 30 Hasil penelitian di 5 negara (Kamboja, Indonesia, Pakistan, Vietnam, Nepal) yang dilakukan oleh PLAN International dan ICRW menunjukkan bahwa 84% responden (pelajar) Indonesia mengalami kekerasan di Sekolah. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Asia yang 70%.31 Tujuan 4: Di tahun 2030, memastikan bahwa semua peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan, termasuk, diantaranya, melalui pendidikan tentang pembangunan dan gaya hidup yang berkelanjutan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, promosi budaya damai dan non-kekerasan, kewarganegaraan global dan apresiasi keanekaragaman budaya dan kontribusi budaya untuk pembangunan yang berkelanjutan. 29 Hamidah, Wanda., Nasib Sekolah Inklusi di Jakarta, diunduh dari https://id-id.facebook.com/notes/wanda-hamidah/nasib-sekolah-inklusi-di-jakarta- disusun-dirangkum-oleh-de-ag-staf-khusus-wh/184941471103. 30 UNICEF, Annual Report Indonesia 2014, UNICEF, 2015, h. 18, diunduh dari http://www.unicef.org/indonesia/UnicefAnnualReport2014_FINALPREVIEW_ ENGLISH.pdf. 31 Bhatla, Nandita., et al., Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, Plan International and ICRW, 2015, h. 10 Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan LSM. Penelitian ini juga menemukan bahwa kekerasan psikologis atau kekerasan emosi merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami responden pelajar selama 6 bulan terakhir. Temuan ini dilaporkan oleh responden dari ke lima negara. Pelajar juga menyatakan kekerasan psikologis ini adalah faktor utama yang menyebabkan sekolah menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka. Setelah kekerasan psikologis, kekerasan fisik Target 1 DI tahun 2030, memastikan bahwa semua anak perempuan dan laki-laki menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang bebas biaya, adil, dan berkualitas sehingga hasil belajarnya relevan dan efektif. 49 adalah kekerasan urutan kedua terbanyak yang dialami responden. Di kelima negara yang berpartisipasi dalam penelitian ini , proporsi anak laki-laki yang mengalami kekerasan fisik lebih tinggi secara bermakna dibandingkan anak perempuan. Secara umum kekerasan seksual jumlahnya rendah, namun perlu dicatat bahwa hal ini kemungkinan karena responden merasa takut atau malu untuk mengakuinya. 33 Kekerasan pada anak di sekolah bisa dilakukan oleh orang dewasa seperti guru, karyawan sekolah, petugas kantin, petugas kebersihan, tetapi bisa juga dilakukan oleh teman sebaya. Saat ini siswa SD pun sudah mampu membunuh temannya dengan keji (ditenggelamkan, dibakar, dikeroyok) hanya karena alasan yang sepele. Jika diamati dengan lebih seksama, kekerasan terhadap anak di sekolah juga meliputi kekerasan berbasis gender. Kekerasan berbasis gender di sekolah yang dimaksud adalah: - berbasis pada stereotipi gender atau mentargetkan siswa berdasarkan jenis kelaminnya; - mempunyai maksud untuk mempertegas peran gender dan melanggengkan ketidak adilan gender; - termasuk (tetapi tidak terbatas) pemerkosaan, sentuhan seksual yang tidak diinginkan, ujaran seksual yang tidak diinginkan, hukuman badan, bullying dan pelecehan secara verbal; - pelaku bisa guru, siswa atau masyarakat dan/atau; - baik siswa maupun siswi, keduanya dapat menjadi korban maupun pelaku; Bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender serta tempat-tempat yang biasa terjadi kekerasan di sekolah dapat dilihat pada tabel 3. Loc.cit. Loc.cit. 35 http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/. 33 34 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2012 di 9 propinsi, menunjukkan bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga; 87,6% di lingkungan sekolah dan 17,9 % di lingkungan masyarakat.34 Tabel 3: Peta Lokasi Kejadian dan Bentuk Kekerasan di Sekolah 50 Laki-laki Ruang Kelas Dipalak Hukuman fisik Ditonjok, ditendang oleh guru Gerbang Sekolah Lobi Berkelahi, bullying, diejek karena bertingkah laku feminin Kantin Perempuan Kedua nya Kekerasan fisik, diejek, dijamah, guru memberikan komentar buruk terhadap murid yang melakukan kesalahan dan mengkritik murid di depan kelas serta menceritakannya kepada guru lain, baju ditarik oleh siswa laki-laki Bullying, berkelahi, dipukul teman, diejek, Dihukum berdiri di depan kelas Pelecehan seksual, kekerasan fisik, berkelahi dengan sesama siswi, bullying, takut diculik, diejek Kekerasan fisik oleh penjaga sekolah, kekerasan fisik antara siswa maupun siswi Dijamah bagian paha, dicubit oleh siswa, dijegal Berkelahi Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Pelecehan seksual, Pelecehan seksual, bullying, adu mulut, dipaksa string, dikunci dipalak, ditubruk, pantat dari luar dijamah ketika mengantri, dijambak, diejek Toilet Berkelahi Difoto dan diunggah ke FB, ditarik paksa ke toilet laki-laki dipukul atau groped, Siswa lakilaki mempertontonkan organ vitalnya, perilaku vulgar siswa laki-laki di depan toilet, ketakutan digerayangi, bullying Di segala tempat Perkelahian antar kelompok siswa Perkelahian antar kelompok siswi, mengunggah foto yang buruk dan memberikan komentar yang menyakitkan di FB, tali BH ditarik oleh siswa lakilaki, ditendang, ditonjok, dijambak oleh siswi lainnya, pipi dijamah oleh siswa, dilempar puntung rokok Digosipkan di FB, perdebatan di FB berlanjut hingga perkelahian fisik di sekolah, Sumber : Bhatla, Nandita., et al., Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, Plan International and ICRW, 2015.36 Hasil-hasil temuan di atas menunjukkan sekolah bukanlah tempat yang aman bagi anak. Kekerasan antar siswa yang terjadi di sekolah bisa menjadi indikator bahwa sistem pendidikan di Indonesia telah gagal untuk menanamkan pemahaman tentang keberagaman dan cara menyelesaikan perbedaan. Kekerasan yang dilakukan oleh pihak sekolah (guru ataupun karyawan) menjadi contoh yang buruk bagi siswa. Pembiaran atau ketidak tegasan sekolah atas kekerasan yang terjadi di sekolahnya menjadikan siswa menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan adalah hal yang wajar, biasa dan terus menerus dilakukan. Kekerasan berbasis SOGIEB adalah kekerasan yang terjadi karena salah satu atau lebih dari elemen SOGIEB di atas. Mengingat usia yang masih sangat belia, elemen SOGIEB yang paling mudah terlihat dan paling sering menjadi alasan kekerasan adalah ekspresi gender. Anak laki-laki yang bersikap lembut atau gemulai selalu menjadi sasaran bullying kawan-kawannya baik laki-laki maupun perempuan. Diteriaki sebagai “banci”, “hombreng”, “gak lurus” adalah hal yang sering terjadi. Ejekan akan meningkat menjadi kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Sekolah menjadi tempat yang “menyeramkan” bagi anak-anak ini. Ibid, h. 15. Dirangkum dari Ardhanary Institute ( dan Aliansi Remaja Independen (http://aliansiremajaindependen.org/informasi/resource-center/seksualitas-dan- gender.html). 37 38 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Sekolah juga menjadi tempat terjadinya kekerasan berbasis SOGIEB (Sex Orientation, Gender Identity, Expresion and Body). Elemen SOGIEB dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Orientasi Seksual, Identitas Gender dan Ekpresi Gender serta Seks Biologis : • Orientasi Seksual adalah ketertarikan seseorang terhadap jenis kelamin atau gender tertentu. Orientasi seksual ini terkait dengan Identitas Seksual yang diartikan sebagai bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya sehubungan dengan orientasi seksualnya contohnya : heteroseksual, gay, lesbian, biseksual. • Identitas Gender adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan, laki-laki atau tidak keduanya. Identitas gender ini bersifat subyektif, karena individu yang bersangkutan yang paling memahami identitas yang paling tepat untuk dirinya. Identitas Gender ini seringkali bertabrakan dengan Peran Gender yang dibangun oleh masyrakat. • Ekspresi Gender adalah bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya yang feminin, maskulin atau androgin. Ekspresi ini dapat berupa cara bertindak, berpakaian, tingkah laku, berinteraksi secara disengaja atau tidak disengaja. • Seks Biologis adalah jenis kelamin yang bersifat biologi. Sifat biologis ini ditentukan oleh kromosom dan organ reproduksi. Menjadi perempuan berarti memiliki vagina, indung telur, susunan kromosom XX, hormon estrogen yang dominan, dan memiliki rahim. Sedangkan menjadi laki-laki berarti memiliki testis, penis, susunan kromosom XY, hormone testosterone yang dominan. Sedangkan menjadi interseks bisa memiliki kombinasi perempuan dan laki-laki. Ciri-ciri biologis ini melekat secara permanen. Fisiknya dapat diubah tetapi fungsinya tidak dapat diubah. 51 52 Hinaan atau ejekan bukan hanya datang dari kawan sebaya tetapi juga dari para guru. Pandangan bahwa laki-laki harus maskulin yang dinilai dari postur dan gerak tubuh masih mendominasi pemahaman dari para guru. Anak laki-laki yang gemulai dianggap “kelainan” yang harus diperbaiki atau disembuhkan. Tekanan dari teman sebaya tidak hanya ekspresi gender, ketika seorang siswa lakilaki memilihi jurusan yang dianggap feminin pun, mereka juga menjadi bulan-bulanan. Minat atau keahlian dalam mata pelajaran tertentu sering kali juga dikaitkan dengan gender. Misalnya laki-laki “harus”nya lebih kuat di mata pelajaran eksata seperti matematika, fisika serta olah raga. Sementara perempuan lebih kuat di mata pelajaran sosial, bahasa. Jika ada anak laki-laki yang lemah di pelajaran eksata namun kuat di pelajaran bahasa atau seni, sering kali menjadi bahan ejekan. Di sekolah kejuruan ketika seorang siswa laki-laki memilih jurusan yang dianggap “feminin” seperti tata busana, maka sering kali ia akan menjadi bahan ejekan siswa dari jurusan lain. Padahal kenyataannya dunia perancang busana didominasi oleh perancang laki-laki. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Di Indonesia masih sangat sedikit data yang menunjukkan kekerasan karena SOGIEB ini, tetapi secara empiris, kasus ini banyak ditemui di sekolah-sekolah. Sebuah situs anti bullying merangkum fakta-fakta tentang “gay bullying” 38 dari berbagai sumber sebagai berikut:39 • Sembilan dari sepuluh remaja LGBT di-bully di sekolah karena orientasi seksual atau identitas gender mereka. • Remaja LGBT berkemungkinan 2 hingga 3 kali lebih besar untuk di-bully daripada remaja heteroseksual atau cisgender. • Remaja gay berkemungkinan 80% lebih kecil untuk mem-bully anak lain daripada remaja heteroseksual. • Remaja LGBT berkemungkinan 4 kali lebih besar untuk mencoba bunuh diri daripada remaja heteroseksual atau cisgender. • Lebih dari sepertiga remaja LGBT pernah mencoba bunuh diri. • Remaja LGBT dengan keluarga yang tidak suportif berkemungkinan 8 kali lebih besar untuk mencoba bunuh diri daripada remaja LGBT dengan keluarga yang suportif. • Sekitar 30% dari seluruh kasus bunuh diri dapat dihubungkan dengan krisis identitas seksual. 38 Gay bullying adalah perilaku agresif yang ditujukan kepada kaum gay, lesbian dan biseksual. Perilaku ini dipicu oleh adanya homofobia, yaitu kebencian irasional terhadap homoseksualitas (Generasi Indonesia Anti Bullying). 39 Dikutip dari situs Generasi Indonesia Anti Bullying, https://generasiindonesiaantibullying.wordpress.com/2014/03/03/300/. • Anak-anak LGBT dilaporkan lima kali lebih mungkin membolos sekolah karena merasa tidak aman setelah di-bully karena orientasi seksual mereka. Sekitar 28% dari mereka merasa terpaksa keluar dari sekolah. • Pada sebuah survei tahun 2005, remaja melaporkan bahwa alasan nomor dua mereka di-bully adalah orientasi seksual atau ekspresi gender mereka. Alasan nomor satunya adalah penampilan. • Setiap satu remaja gay yang di-bully, empat remaja di-bully karena dikira sebagai gay atau lesbian. • Di antara murid yang melaporkan peristiwa bullying yang mereka alami karena orientasi seksual mereka, sekitar satu per tiga dari staf sekolah tidak menyikapinya dengan baik, bahkan mengabaikannya. 53 Kekerasan berbasis gender serta SOGIEB yang tetap terjadi di sekolah menunjukkan lemahnya pemahaman tentang kesetaraan dan penghormatan atas hak seksual dan reproduksi orang lain. Partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pendidikan Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap lembaga pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. APS merupakan indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses penduduk pada fasilitas pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Semakin tinggi Angka Partisipasi Sekolah semakin besar jumlah penduduk yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Namun demikian meningkatnya APS tidak selalu dapat diartikan sebagai meningkatnya pemerataan kesempatan masyarakat untuk mengenyam pendidikan. Rumus: APS (7-12) = Jumlah penduduk berumur 7-12 tahun yang masih sekolah X 100 Jumlah penduduk umur 7-12 tahun 40 41 Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase jumlah anak pada kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan Bila APK digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan di suatu jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat berapa usianya, maka Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu. Rumus: APM SD = Jumlah penduduk umur 7-12 yang sekolah di SD X 100 Jumlah penduduk umur 7-12 tahun Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Dalam target-target dari tujuan 4 tetang pendidikan sangat ditekankan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terhadap pendidikan. Indikator pendidikan dapat menggunakan Angka Partisipasi Sekolah (APS) 40 dan Angka Partisipasi Murni (APM)41 yang terpilah. Akan lebih baik lagi jika dilengkapi dengan data siswa kelas 1 yang menyelesaikan pendidikan dasar. Namun penulis belum mendapatkan data terpilah dari indikator tersebut. 54 Grafik 3. Angka Partisipasi Sekolah berdasarkan Kelompok Umur tahun 2013 98.13 98.56 89.62 91.67 63.32 63.84 Laki-Laki Perempuan 7-12 13-15 16-18 Sumber : BPS RI - Susenas, 2009-2012 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Grafik 4. Angka Partisipasi Murni menurut Jenjang Pendidikan tahun 2013 95.63 95.41 72.23 75.29 53.85 54.40 Laki-Laki Perempuan SD SLTP Sumber : BPS RI - Susenas, 2009-2012 SLTA Angka Partisipasi Murni perempuan berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD relatif sama dengan APM laki-laki. Gambaran yang sama juga terjadi pada penduduk usia 16-18 tahun yang masih bersekolah di tingkat SLTA, APM perempuan pun relatif sama dengan APM laki-laki. Kondisi berbeda pada APM penduduk usia 13-15 tahun yang masih bersekolah di SLTP. APM perempuan justru lebih tinggi daripada APM lakilaki. 55 Angka Partisipasi Sekolah menunjukkan penurunan yang drastis pada kelompok umur 16-18 tahun yang masih bersekolah. Demikian juga Angka Partisipasi Murni SLTA yang hanya berkisar di angka 53-54. Hal ini mungkin terkait dengan wajib belajar yang baru dicanangkan sampai 9 tahun, belum mencapai 12 tahun. Padahal AGENDA 2030 menyepakati bahwa semua penduduk menyelesaikan pendidikan menengah dan bebas biaya. Saat ini Indonesia masih jauh dari target itu. Mengundangkan wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun akan dapatmeningkatkan derajat pendidikan rakyat, memperkuat daya tahan rakyat serta meningkatkan status ekonominya. Angka Partisipasi Sekolah dan Angka Partisipasi Murni yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan atau bahkan perempuan lebih tinggi, merupakan indikasi yang menggembirakan terkait dengan persamaan kesempatan belajar bagi perempuan dan laki-laki. Namun hal ini harus dibarengi dengan pemberian pemahaman tentang kesetaraan gender bagi anak laki-laki dan orang tuanya. Ketika, perempuan semakin berpendidikan, semakin mandiri tetapi sementara laki-laki masih didoktrin dengan konsep “dominasi laki-laki” yang sudah usang, maka akan berpotensi menimbulkan konflik domestik maupun di tempat kerja dan di masyarakat. Pada akhirnya, perempuan lagi yang dipersalahkan karena dianggap “melawan kodrat”. Peranan sekolah dalam pemenuhan SRHR Sekolah memiliki dua peran dalam pemenuhan SRHR yaitu sebagai “sumber pengetahuan” dan “role model” . Sekolah adalah sumber pengetahuan dan sumber belajar, maka segala hal yang terkait dengan kesehatan dan hak seksual dan reproduksi seharusnya dapat dibahas secara terbuka di sekolah sebagai sebuah pengetahuan. Materi-materi tersebut dapat dimasukkan dalam berbagai pelajaran, sehingga tidak perlu dibuat mata ajaran khusus “kesehatan reproduksi” misalnya. Materi seksualitas dan reproduksi dapat dibahas di pelajaran biologi, olah raga, Bahasa Indonesia, Matematika, PKN dan pelajaran apapun. Tidak ada yang tabu dalam belajar. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Di era globalisasi saat ini, dengan niat pemerintah untuk menerapkan ekonomi yang terbuka serta berpartisipasi pada Kemitraan Trans Pacifik maupun bentuk kemitraan ekonomi global lainnya, status pendidikan yang rendah akan menjadi bumerang bagi negara kita. 56 Gambar organ tubuh manusia bukanlah hal yang harus disembunyikan, penis dan vagina tidak perlu harus diubah penyebutannya. Semua hal itu penting dan perlu untuk disampaikan di sekolah sesuai dengan tahap perkembangan anak. Sekolah-sekolah Katolik sudah sejak lama memberikan memberikan sesi khusus tentang “sex education” yang dikoordinir oleh Keuskupan setempat, di setiap jenjang pendidikan. Materi di setiap jenjang disesuaikan dengan perkembangan anak. Informasi merupakan salah satu hak reproduksi dan seksual. Selain sebagai sumber belajar, sekolah juga merupakan “negara kecil” yang mempraktekan “kebijakan” dan “perilaku” terkait SRHR. Hal ini sangat terkait dengan pemahaman guru, orangtua dan komunitas sekolah. Jika sekolah masih bias gender maka kebijakannya pun akan bisa, perilaku guru nya pun akan bias. Kekerasan berbasis gender adalah salah satu contohnya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Pentingnya pendidikan seksualitas komprehensif diterapkan di sekolah Pendidikan seksualitas komprehensif adalah kunci untuk membentuk pribadi anak. Pendidikan seksualitas bukan mengajarkan orang untuk berhubungan seksual. Pendidikan seksualitas mengajarkan orang untuk menghargai tubuh dan kehidupan pribadi maupun orang lain. Mitos yang berkembang adalah pendidikan seksualitas mendorong anak dan remaja untuk berhubungan seksual. Fakta menunjukan bahwa pendidikan seksualitas sejak dini akan mendorong anak dan remaja untuk menunda aktivitas seksual pertama kali, bersikap positif terhadap seksualitas, memiliki risiko lebih rendah dari tertular HIV dan infeksi menular seksual, dan juga kehamilan yang tidak diinginkan. Pendidikan seksualitas juga mendorong anak dan remaja memiliki daya kritis menghadapi pilihanpilihan yang tersedia, termasuk mengenali berbagai bentuk kekerasan dan bagaimana bertindak ketika mengalami atau melihat orang lain mengalami kekerasan. Sudah banyak inisiatif yang dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, hingga berbagai lembaga pemerintah untuk memberikan pendidikan seksualitas komprehensif kepada anak dan remaja baik di sekolah maupun di luar sekolah. Namun hingga saat ini pendidikan seksualitas komprehensif belum terintegrasi di dalam kurikulum pendidikan nasional. Di sisi lain, pemerintah sudah berkomitmen untuk menyasar berbagai permasalahan anak dan remaja khususnya menyikapi makin maraknya kekerasan seksual melalui pendidikan kesehatan reproduksi. Upaya ini perlu dikawal oleh organisasi sosial kemasyarakatan agar pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi yang diberikan berdasarkan semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak setengah-setengah, dan juga tidak menggunakan pendekatan yang berbasis menakut-nakuti. 57 4.5.SRHR dan Kesetaraan Gender Tujuan ke 5 AGENDA 2030 adalah mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Dalam sub bab ini akan dibahas beberapa target yang terkait dengan SRHR yaitu kekerasan terhadap perempuan, kerja domestik dan akses universal ke pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih saja terus menerus terjadi. Jumlah kasusnya semakin banyak dan tingkat kekejamannya semakin tinggi. Kekerasan terhadap perempuan dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) sangat berpengaruh pada kualitas hidupnya. Kekerasan juga berisiko kematian, kecacatan permanen serta gangguan kejiwaan yang terus terbawa hingga dewasa. (KPAI), dari tahun 2011 hingga 2013, tercatat sebanyak 7.650 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia, dengan 30,1 persen dari jumlah itu atau sebanyak 2.132 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Di tahun 2013, KPAI menjelaskan “Kekerasan terhadap kasus anakanak dalam catatan Jaksa Indonesia mencapai 4.620 kasus, termasuk kekerasan seksual. Lalu di tahun 2014, Jaksa Indonesia telah menangani 1.462 kasus yang melibatkan kekerasan terhadap anak”. Sementara data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan, di tahun 2012 terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap anak, di mana 41 persennya adalah kasus kekerasan seksual.42 Saat ini berkembang wacana hukuman kebiri kimia untuk pelaku kekerasan terhadap anak ataupun paedofilia. Wacana ini mendapatkan 42 Tujuan 5 Mencapai keseteraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak. Target 2. Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di ruang publik dan privat, termasuk perdagangan manusia dan eksploitasi seksual dan jenis eksploitasi lainnya. Setiawan, Arzetti B., Presentasi : Peran Anggota Legislatif dalam Penghapusan Kemiskinan Perempuan di Indonesia, 2015. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Saat ini secara khusus pemerintah memberikan perhatian terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Pemerintah pun menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak karena Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia 58 pro-kotra dari bermacam pihak. Pihak yang pro hukuman kebiri menyatakan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu diberikan hukuman seberat-beratnya agar tidak mampu mengulangi perbuatannya, kebiri adalah hukuman yang dianggap paling pantas. Sedangkan kelompok yang kontra meyatakan bahwa hukuman kebiri melanggara hak azazi manusia, ini sama saja menghukum kekerasan dengan kekerasan. Terlepas dari pro kontra tentang hukuman kebiri, fakta adanya kekerasan terhadap anak, lebih mudah diterima oleh masyarakat. Ketika seorang anak menjadi mengalami kekerasan, semua pihak lebih mudah untuk bersepakat bahwa sang anak adalah korban. Keberpihakan itu tidaklah sama ketika seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan. Pro-kontrak sering kali masih muncul, apakah perempuan itu korban atau kekerasan itu dialami karena “kesalahan” yang dilakukan. Bahkan masyarakat sering kali turut menghakimi perempuan korban kekerasan. Masyarakat yang dimaksud termasuk petugas kesehatan, polisi, jaksa, media dan sebagainya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2015, (Komnas Perempuan) menyebut 1.033 kasus perkosaan, 834 kasus pencabulan, 184 kasus pelecehan seksual, 74 kasus kekerasan seksual lain, 46 kasus melarikan anak perempuan, dan 12 kasus percobaan perkosaan.43 Jika dibandingkan dengan tahun 2013, angka kekerasan seksual yang terjadi tahun lalu lebih rendah. Pada tahun 2013, angka kekerasan seksual yang terjadi mencapai 2.634 kasus (56%) dari total 4.679 kasus yang dilaporkan. Catatan Tahunan (Komnas Perempuan) tahun 2015 juga mencatat adanya kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang mencapai 8.626 kasus: kekerasan terhadap istri (5.102 kasus atau 59%), kekerasan dalam pacaran (1.748 kasus atau 21%), kekerasan terhadap anak perempuan (843 kasus atau 10%), kekerasan dalam relasi personal lain (750 kasus atau 9%), kekerasan dari mantan pacar (63 kasus atau 1%), kekerasan dari mantan suami (53 kasus atau 0,7%), dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (31 kasus atau 0,4%). 44 Kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya perbudakan dan perdagangan perempuan, memberikan dampak buruk terhadap status kesehatannya terutama kesehatan reproduksinya. Kekerasan ini menciptakan rantai dampak kekerasan yang sangat panjang, seperti kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak aman, gangguan kejiwaan, kecanduan, gangguan pola tidur, gangguan pola makan bahkan kematian ataupun bunuh diri. 43 44 Komnas Perempuan, CATAHU 2015 edisi Launching, Komnas Perempuan, 2015, h. 18. Ibid. Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempun terjadi karena konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki lebih superior dan berkuasa dibandingkan perempuan. Norma gender yang rigid ini membuat laki-laki mempunyai kecenderungan untuk mendominasi pasangannya. Bagi banyak laki-laki superioritas dan kuasa yang “diberikan” dipahami sebagai suatu yang mutlak termasuk menganggap memiliki dan menguasai perempuan secara pikiran, kehidupan dan tubuhnya. Melakukan kekerasan adalah salah satu bentuk menjalankan “peran”nya sebagai laki-laki yang memegang kuasa, terutama jika tidak ada aspek lain yang dapat diunggulkan selain kekuatan fisik dan ketajaman verbal. Konsep dominasi absolut ini dipelajari dari kehidupannya seharihari. Beberapa studi menunjukkan bahwa faktor terkuat yang mempengaruhi laki-laki melakukan kekerasan adalah mereka menyaksikan ayahnya melakukan kekerasan. 59 Jika melihat akar kekerasan terhadap perempuan, maka menjadi sangat penting melibatkan laki-laki untuk mentransformasi norma sosial yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, termasuk mememahami akar masalah ketidaksetaraan gender seperti relasi kuasa yang tidak setara, praktek dan stereotipi yang melanggengkan diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, kelompok sosial minoritas dan mempromosikan alternatif model peran bagi anak lakilaki. Satu hal yang saat ini kurang mendapat perhatian adalah intervensi bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan, selain hukuman pidana. Hukuman pidana belum tentu menyelesaikan persoalan di diri pelaku. Hukuman pidana perlu juga didukung dengan pendampingan dan rehabilitasi, apalagi jika perilaku kekerasan adalah akibat kekerasan yang dialaminya dimasa kanak-kanak. UU No. 23/2004 tentang penghapusan KDRT mengamanatkan perlunya konseling bagi pelaku kekerasan namun hingga saat ini layanan konseling pelaku kekerasan masih terbatas baik dalam hal penyedia layanan, maupun masih sangat rendahnya jumlah pelaku kekerasan yang mengakses layanan. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Laki-laki juga perlu didorong untuk menyuarakan anti kekerasan pada perempuan dan anak diantara para laki-laki. Laki-laki juga perlu dilibatkan dan proses sosialisasi dan didorong untuk mencegah dan melaporkan jika terjadi kekerasan di lingkungannya. 60 Beban kerja ganda Kerja domestik masih dianggap sebagai tugas perempuan dan bagian dari dari “kodrat perempuan” . Kerja domestik ini tdak pernah dihitung sebagai “pekerjaan” dan dianggap bukan kerja “produktif” yang bisa diperhitungkan secara rupiah. Padahal kerja domestik mengkonsumsi jam kerja yang banyak dalam satu hari. Ketika perempuan bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarga, seluruh kerja-kerja domestik masih tetap dibebankan pada dirinya, sehingga ia memiliki beban kerja berganda. Beban kerja ini akan menhabiskan seluruh tenaga energi serta mengurangi waktunya untuk bersosialisasi dan mengembangkan dirinya. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Kerja domestik yang berlebihan juga tetap dibebankan pada perempuan hamil dan pasca melahirkan. Kerja berlebihan ini seringkali yang menjadi penyebab masalah-masalah kehamilan seperti pendarahan ataupun keguguran. Target 5. Menyadari dan menghargai kerja perawatan yang tidak dibayar (care work) dan pekerjaan rumah tangga melalui pelayanan masyarakat, kebijakan perlindungan sosial dan infrastruktur, serta penggalakkan gagasan "tanggung jawab bersama" dalam rumah tangga dan keluarga agar gagasan tersebut menjadi hal yang wajar di setiap negara. Ketika buku pelajaran SD sudah tidak lagi menulis “ibu memasak, bapak membaca koran”, maka sudah saatnya tanggungjawab bersama dalam menyelesaikan tugas domestik dijadikan sebuah nilai baru. Pelajaran kesetaraan gender harus dimulai dari rumah. Hal yang paling sederhana adalah mengkategorikan tugas-tugas domestik berdasarkan jenis kelamin. Semua pekerjaan domestik bisa dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Jika ayah melakukan tugas domestik, maka anak laki-laki akan belajar bahwa laki-laki juga bisa dan wajib mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, menyapu dan sebagainya. Laki-laki atau para suami atau para ayah perlu mengambil peran dalam kerja-kerja rumah tangga. Hal ini akan memberikan banyak manfaat, yang pertama menunjukkan penghargaan terhadap kerja rumah tangga dan berbagi beban dengan pasangan. Perempuan menjadi memiliki waktu untuk beristirahat dan memperhatikan dirinya. Ketika ayah melakukan tugas domestik, maka anak laki-laki akan belajar bahwa laki-laki juga bisa dan wajib mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, menyapu dan sebagainya. Di sisi lain seringkali para perempuan (para ibu) yang melanggengkan konsep “tabu” bagi laki-laki untuk melakukan kerja-kerja domestik. Para ibu melarang anak lakilakinya memasak atau menyapu, dan selalu memberikan beban tugas domestik yang lebih banyak pada anak perempuannya. Para ibu seringkali juga tidak bisa terima ketika anak laki-lakinya menikah harus berbagi kerja domestik dengan istrinya. 61 Akses universal ke kesehatan seksual dan reproduksi Secara khusus dalam salah satu target dari tujuan kesetaraan gender adalah menjamin akses universal ke kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi yang disepakati sesuai dengan program aksi dari ICPD , Beijing Platform for Action, dan dokumen hasil peninjauan konferensi tersebut. Target 6. Menjamin akses universal ke kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak reproduksi yang disepakati sesuai dengan program aksi dari Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, Beijing Platform for Action, dan dokumen hasil peninjauan konferensi tersebut. Akses universal berarti juga memberikan perhatian akan keterlibatan laki-laki dalam kesehatan reproduksi misalnya KB. Saat ini partisipasi laki-laki dalam KB masih sangat rendah. Data terakhir menunjukan hanya 4,6% saja lelaki yang menggunakan KB. Perempuan yang dibebankan untuk menggunakan KB dengan beragam metodenya. Akses universal mensyarakatkan layanan yang adekuat (ketersediaan petugas kesehatan yang kompeten, obat dan peralatan yang teruji dan tidak kedaluwarsa, infrastruktur yang mendukung seperti air dan sanitasi). Petugas kesehatan pun tidak melakukan diskriminasi berdasarkan seksualitas, gender, etnis dan usia. 47 Akses universal SRHR meliputi akses akan informasi dan layanan preventif, diagnosis, konseling, pengobatan dan perawatan.48 Secara lebih rinci pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi telah dibahas di sub bab kesehatan. Ke lima tujuan AGENDA 2030 mempunyai kaitan yang sangat erat dan mendalam terhadap SRHR, sehingga diulas juga dengan lebih dalam. Tujuan ke 6 sampai ke 17, juga penting untuk mendukung pemenuhan SRHR, namun tidak semuanya memiliki kaitan seerat dan sedalam ke lima tujuan yang sudah diulas di atas. Sub bab berikut hanya akan membahas secara singkat tujuan AGENDA 2030 yang ke 6, 9 dan 13 yang masih memiliki kaitan dengan SRHR. Eldis, Universal Access to Sexual and Reproductive Health Services, Eldis. Loc.cit. 48 Loc.cit. 46 47 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Akses universal berarti cukup layanan serta informasi tersedia, terjangkau, dan dapat diterima untuk memenuhi kebutuhan berbeda-beda dari individu. Ini artinya masyarakat dapat menjangkau pelayanan tanpa harus menempuh perjalanan yang jauh atau memakan waktu yang lama. Kaum difable juga dapat mengakses tempat pelayanan. Harga Pelayanan harus terjangkau dan berbasis pada prinsip keadilan. Kelompok miskin tidak boleh menanggung biaya yang lebih besar atau sama dengan kelompok yang lebih mampu. Pelayanan juga harus sensitif terhadap kondisi sosial dan budaya, termasuk gender, bahasa dan agama.46 62 4.6.Air Air bersih adalah kebutuhan pokok manusia. Air bersih sangat terkait dengan kesehatan, baik itu untuk dikonsumsi ataupun untuk higiene tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuanlah yang lebih banyak berhubungan dengan air. Tugas domestik yang dilekatkan padanya seperti memasak, mencuci, memandikan anak, membersihkan rumah sangat terkait dengan ketersediaan air bersih. Perempuan jugalah yang harus mengupayakan ketersediaan air di dalam rumah tangga. Demi menjaga ketersediaan air di rumah, sering kali perempuan harus menempuh jarak jauh ke sumber air dan membawa beban air yang berat secara berulang-ulang dalam satu hari. Namun pada saat membicarakan kebijakan tentang air, perempuan seringkali tidak dilibatkan. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Air juga sangat dibutuhkan di tempat layanan kesehatan. Ketiadaan air bersih sangat berisiko terhadap kesehatan pasien. Air bersih juga hal yang vital bagi pelayan kesehatan reproduksi termasuk pelayanan bagi ibu melahirkan. Bidanbidan desa yang di tempatkan di daerah terpencil akan sangat kesulitan jika tidak tersedia air bersih. 4.7.Infrastruktur Infrastruktur mempunyai pengaruh terhadap status kesehatan masyarakat. Infrastruktur yang buruk membuat masyarakat sulit mengakses layanan kesehatan seperti puskesmas maupun rumah sakit. Banyak kasus-kasus kematian ibu dan bayi yang disebabkan keterlambatan penanganan karena sulitnya medan yang harus ditempuh. Target 1. Di tahun 2030, mencapai akses adil dan universal ke air minum yang aman dan terjangkau untuk semua orang. Target 2. Di tahun 2030, mencapai akses ke sanitasi dan kebersihan yang memadai dan merata untuk semua orang dan mengakhiri buang air besar di tempat terbuka, dengan memberi perhatian khusus kepada kebutuhan perempuan, anak perempuan, dan orang-orang dalam situasi rentan. Target 6. Memastikan ketersediaan dan manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua. Pemerintah harus mendekatkan layanan publik termasuk layanan kesehatan ke masyarakat. Selain dengan membangun infrastruktur yang baik dan aman seperti jalan, jembatan serta penerangan yang memadai, pemerintah juga perlu mendekatkan fasilitas layanan publik ke masyarakat dengan membangun klinik satelit atau rumah sakit bergerak. 4.8.Perubahan Iklim 63 Perubahan iklim adalah masalah yang dihadapi masyarakat dunia. Perubahan iklim adalah suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia. Suatu daerah mungkin mengalami pemanasan, tetapi daerah lain mengalami pendinginan yang tidak wajar. Akibat kacaunya arus dingin dan panas ini maka perubahan iklim juga menciptakan fenomena cuaca yang kacau, termasuk curah hujan yang tidak menentu, aliran panas dan dingin yang ekstrem, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya.49 Pemanasan global adalah salah satu faktor yang menyebabkan perubahan iklim. Dalam waktu 100 tahun terakhir ini, suhu bumi meningkat 1 derajat. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah gas Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan oleh usaha agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Dinitrogen Oksida (N2O) dari pupuk, dan gasgas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC). Kerusakan hutanhutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.50 Perubahan iklim meningkatkan risiko bencana alam. Becana alam tidak pandang bulu, apakah negara kaya atau miskin, agama, etnis dan jenis kelamin. Bencana alam selalu masif. Pada kenyataannya, jumlah perempuan dan anak korban bencana lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Apalagi pada daerah-daerah yang sistem perlindungan terhadap perempuan masih rendah. Artinya perempuan menanggung beban lebih besar akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dan bencana sangat terkait dengan peran “tradisional” perempuan yang dilanggengkan. Perempuan lah yang selama ini berkutat dengan ketersediaan air (lihat sub bab tentang air), pangan, kesehatan keluarga, tetapi jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak memiliki akses ke sumber-sumber dukungan. ………, Apa Itu Perubahan Iklim?, diunduh dari http://ipemanasanglobal.blogspot.com/2014/05/pengertian-perubahan-iklim.html. Loc cit. 49 50 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Kontributor CO2 terbesar adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Sejak 200 tahun lalu Amerika telah membabat hutannya dan menggantinya dengan industri. Kini negara-negara maju ini berusaha keras untuk tidak dipersalahkan atas kerusakan yang diakibatkan. Mereka menukarnya dengan sejumlah dana untuk negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan, agar tidak merusak hutannya. Di sinilah ketidakadilan iklim itu terjadi. Negara-negara maju menikmati pendapat yang besar akibat merusak hutan, tetapi dampak kerusakkannya dirasakan oleh seluruh dunia termasuk negara berkembang. Dan negara berkembang ditekan untuk tidak memanfaatkan hutan demi kemakmuran rakyatnya. 64 Isu SRHR menjadi penting dalam situasi bencana terutama di tempat penampungan. Korban bencana yang tinggal di penampungan seringkali terabaikan hak nya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi padahal misalnya ; para ibu tetap harus mendapatkan pelayanan KB, Ibu hamil harus tetap mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan; ibu menyusui, bayi dan balita tetap harus mendapatkan asupan gizi yang cukup. Dalam situasi darurat, segalanya menjadi sangat terbatas termasuk pelayanan kesehatan dan asupan gizi. Bantuan makanan yang dari hari kehari hanya mie instan selain tidak bergizi juga tidak bisa dikonsumsi oleh bayi dan balita. Keadaan darurat juga rentan dengan kekerasan dan pelecahan. Kondisi penampungan yang tidak memungkinkan untuk privasi menjadi salah satu faktor penyebabnya. Korban bencana seringkali tidur beramai-ramai dalam satu barak. Tidak ada pembatas antar keluarga atau antara laki-laki dan perempuan. Situasi ini sangat berisiko bagi perempuan dan anak terhadap pelecehan sekual. Tidak adanya privasi juga menghambat pemenuhan kebutuhan biologis bagi pasangan, terutama jika tinggal di pengungsian dalam jangka waktu lama. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Fasilitas MCK yang terbatas sehingga tidak ada tempat yang terpisah bagi perempuan dan laki-laki. Belum lagi fasilitas listrik yang seringkali hanya mengandalkan disel sehingga tidak memadai dan tidak aman bagi korban bencana. Di tengah fakta-fakta bahwa perempuan menderita lebih berat akibat perubahan iklim, di tahun 2009 pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen, munculah teori dan pemikiran bahwa, manusia lah menyebab perubahan iklim, maka jumlah manusia perlu dibatasi. Pemikiran ini mendorong penerapan Keluarga Berencana pada negara-negara yang berpenduduk banyak yang pada umumnya negara-negara selatan. Negaranegara maju seperti Amerika Serikat sangat “senang” dengan pemikiran ini. Hasil riset menunjukan bahwa Keluarga Berencana 5 kali lebih murah dibandingkan upaya pencegahan CO2 lainnya. Optimal Population Trust menyatakan bahwa Keluarga Berencana adalah teknologi yang “paling hijau” untuk memerangi perubahan iklim. Pemikiran bahwa Keluarga Berencana adalah strategi yang jitu (murah dan tepat) untuk melawan perubahan iklim tentu saja sebuah ancaman bagi hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan, karena kenyataannnya, yang lebih banyak “di-KBkan” adalah perempuan, yang dipasangi kontrasepsi adalah tubuh perempuan. Hal yang penting lainnya adalah pemikiran KB sebagai alat pengendalian pertumbuhan penduduk adalah pemikiran yang usang. Pemikiran inilah yang didekontruksi pada saat ICCPD. Keluarga Berencana adalah bentuk pemenuhan hak dan perlidungan kesehatan reproduksi buka semata-mata untuk pengendalian jumlah penduduk. Maka jangan biarkan tubuh perempuan menjadi alat untuk penanggulangan perubahan iklim, tetapi perhatikan dampak perubahan iklim pada perempuan dengan upaya yang menghormati hak untuk mengontrol gas emisi rumah kaca. 65 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 66 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 AGENDA 2030 juga harus melibatkan partisipasi masyarakat sipil, sebagaimana proses kelahirannya. 5. Tantangan AGENDA 2030 67 Jiwa dari AGENDA 2030 adalah tidak meninggalkan siapapun, artinya bersama-sama menuju kehidupan yang lebih baik. Penyusunan deklarasi AGENDA 2030 telah melalui proses yang panjang dan akhirnya disepakati dan ditandatangani oleh 193 negara. Namun ironinya, beberapa negara yang menyepakati AGENDA 2030 ini juga membangun kesepakatan perdagangan bebas yaitu Kemitraan Trans Pasifik (Trans Pacific Partnership) yang dimotori oleh Amerika Serikat. Trans Pacific Partnership (TPP) adalah pakta perdagangan yang memiliki standar yang tertinggi dan paling rinci. Salah satu yang paling besar dampaknya pada masalah kesehatan adalah aturan tentang “hak intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan di sub bab kesehatan, TPP akan menekan produksi obat generik karena terkena hak paten dan membuat harganya akan melambung. TPP juga memperkuat posisi pedagang atau pebisnis sehingga perusahan rokok seperti Phillips Moris mampun menuntut pemerintah Australia ke pengadilan internasional karena menerapkan pembatasan umur untuk konsumen rokok. Pemerintah Indonesia sudah memberikan sinyal akan bergabung dengan TPP dengan pemikiran jika tidak bergabung dengan TPP maka produk kita tidak akan diterima di negara-negara yang menjadi anggota TPP. Namun keputusan ini nantinya harus mempertimbangkan kesiapan industri, dan kesiapan SDM. Jangan sampai justru Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara-negara TPP sementara produk kita tetap tidak bisa lolos di pasar negara-negara anggota TPP karena persyaratan yang tinggi. Tantangan lain dari AGENDA 2030 adalah penerapannya di Indonesia. Salah satu kegagalan MDG adalah karena pelaksanaannya sangat sektoral (setiap tujuan dikerjakan oleh kementerian yang berbeda-beda dan tidak saling berkoordinasi). Pencapaian tujuan MDG juga dilihat dan diperlakukan sebagi proyek di instansi pemerintah. Inilah yang salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan MDGs. Pelaksanaan AGENDA 2030 harus menggunakan paradigma yang berbeda bukan lagi paradigma sektoral dan proyek tetapi harus diadopsi dan diserap di semua lini. AGENDA 2030 juga harus melibatkan partisipasi masyarakat sipil, sebagaimana proses kelahirannya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengukuran dan akutabilitasnya. Pemerintah saat ini belum menetapkan indikator dari tiap tujuan AGENDA 2030. Proses ini seharus transparan dan memberikan peluang semua pihak untuk memberikan masukan. Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Jika diwaktu lampau negara-negara yang membangun PBB kemudian juga membangun World Trade Organization (WTO) yang mendorong perdagangan bebas, maka kira-kira demikian juga lah AGENDA 2030 dan TPP. 68 Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 advokasi adalah “menang atau kalah” bukan “benar atau salah”, sehingga untuk memenangkan yang benar dibutuhkan strategi yang baik. 6. Penutup 69 AGENDA 2030 sudah dicanangkan. Tugas kita semua untuk berpartisipasi, mengawal dan mengkritisinya agar keadilan bagi semua dapat tercapai. Kertas kerja ini hanyalah salah satu referensi untuk membantu kerja-kerja advokasi di lapangan. Kata kunci dari advokasi adalah “menang atau kalah” bukan “benar atau salah”, sehingga untuk memenangkan yang benar dibutuhkan strategi yang baik. Mengangkat isu strategis untuk advokasi adalah salah satu hal yang penting. Strategis berarti : penting untuk banyak orang (bukan hanya kelompok kita sendiri), mempunyai daya ungkit bagi isu lainnya, dan mempunyai potensi yang kecil untuk ditentang. Isu SRHR adalah hal penting dan baik tetapi belum tentu strategis. Untuk itu kaitan SRHR dengan isu-isu besar lain perlu didalami dan dilengkapi dengan data. Isu kesehatan bisa diangkat dari sudut manapun dan dikaitkan dengan isu hak-hak dasar lainnya. Kertas Kajian SRHR dan AGENDA Agenda 2030 2030 Hal lain yang juga penting adalah membangun aliansi, semakin heterogen aliansinya semakin baik. Kelemahan organisasi masyarakat yang bergerak di isu kesehatan adalah tidak mempunyai jaringan di luar isu kesehatan, dan gagap jika harus berbicara di luar isu kesehatan. Hal ini akan merugikan dan melemahkan. Daftar Referensi 70 A. Varma, and Das. K. (2015). Sexuality: Critical to Addressing Poverty and Food Insecurity, par. 5. Kuala Lumpur: arrow. Arrow. (2209). Arrow for change – in search of climate justice: refuting dubious linkages, affirming rights: http://arrow.org.my/publication/in-search-of-climate-justice-refuting-dubious-linkages-affirming-rights/ Aliansi Remaja Independen (ARI). (May, 1). Seksualitas dan Gender: http://aliansiremajaindependen.org/ informasi/resource-center/seksualitas-dan-gender.html Blog Pemanasan Global. (2014, May 21). Pengertian Perubahan Iklim Menurut para Ahlinya: http:// ipemanasanglobal.blogspot.com/2014/05/pengertian-perubahan-iklim.html Bhatla, Nandita., et.al. (2015). Are School Safe and Equal for Girls and Boys in Asia, h.10. Plan International and ICRW. Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). (2015, July 6). Transformasi Millenium Development Goals (MDGs) Menjadi Post-2015 Guna Menjawab Tantangan Pembangunan Global Baru: http://cisdi.org/articles/view/transformasi-millenium-development-goals-mdgs-menjadi-post-2015-gunamenjawab-tantangan-pembangunan-global-baru Coonrod, John. (2014, August 8). MDGs To AGENDA 2030: Top 10 Differences. Eldis. (2006, September). Eldis Health Key Issues: Universal access to sexual and reproductive health services: http://r4d.dfid.gov.uk/PDF/Outputs/SexReproRights_RPC/universal_access.pdf Erdina, Maria Sinta (Widyaiswara PPPPTK TK PLB). (2015). Mendukung Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia: http://www.tkplb.org/index.php/11-warta/74-mendukung-implementasi-pendidikan-inklusidi-indonesia Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Generasi Indonesia Anti-Bullying. Fakta-Fakta Tentang Gay Bullying: https://generasiindonesiaantibullying. wordpress.com/2014/03/03/300/ Hamidah, Wanda. (2009, November 19). Nasib Sekolah Inklusi di Jakarta disusun & dirangkum oleh: DE & AG (Staf Khusus WH): https://id-id.facebook.com/notes/wanda-hamidah/nasib-sekolah-inklusi-di-jakartadisusun-dirangkum-oleh-de-ag-staf-khusus-wh/184941471103 Habsari, F.R. (2004). Menguak Misteri Dibalik Kesakitan Perempuan. Jakarta: KOMNAS Perempuan. International Planned Parenthood Federation (IPPF). (2008). Deklarasi IPPF: Hak-Hak Seksual, h. 13. Kebijakan AIDS Indonesia. (2015). Outlook 2015: Kebijakan Penanggulangan HIV & AIDS di Indonesia: http://www.kebijakanaidsindonesia.net/id/beranda/49-general/1062-outlook-2015-kebijakanpenanggulangan-hiv-aids-di-indonesia#v-klik-disini KOMPAS.COM. (2015, Desember 28). Pria Anggap KB Hanya Urusan Perempuan: http://health.kompas. com/read/2015/11/05/181600623/Pria.Anggap.KB.Hanya.Urusan.Perempuan KOMPAS.COM. (2014, Juni 13). Mie Instan Tempati Posisi Puncak Penjualan Barang Eceran: http:// bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/06/13/1741446/Mie.Instan.Tempati.Posisi.Puncak.Penjualan. Barang.Eceran.b KOMNAS Perempuan. (2015). CATAHU 2015 edisi Launching, h. 18. Jakarta: KOMNAS Perempuan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2015, Juni 14). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahunmeningkat/ Lismaya, Lilis (Praktisi Pendidikan Inklusif). (2013). Apa itu Pendidikan Inklusif?: http://www. pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-inklusif The Jakarta Post. (2011, January 18). Sex education please, not censorship: http://www.thejakartapost. com/news/2011/01/18/sex-education-please-not-censorship.html United Nations. (2013). Sebuah Kemitraan Global yang Baru: Hapuskan Kemiskinan dan Transformasikan Ekonomi melalui Pembangungn Berkelanjutan: http://infid.org/pdfdo/1377672113.pdf UN Women. OECD. (2012). Gender Equality in Education, Employment and Entrepreneurship: Final Report to the MCM, h. 19: http://www.unwomen.org/en/news/in-focus/women-and-the-sdgs/sdg-4-qualityeducation#sthash.SkGgulFY.dpuf 71 UNICEF. (2013). Ending Child Marriage: Progress and Prospects, h. 2: http://www.unwomen.org/en/ news/in-focus/women-and-the-SDGs/sdg-1-no-poverty#sthash.Vdv3YsiC.dpuf. UNICEF. (2015). Annual Report Indonesia 2014, h. 18: http://www.unicef.org/indonesia/ UnicefAnnualReport2014_FINALPREVIEW_ENGLISH.pdf Setiawan, Arzetti. B. (2015). Presentasi: Peran Anggota Legislatif dalam Penghapusan Kemiskinan Perempuan di Indonesia. Santos, D.A. (2009). Ketahanan Pangan vs Kedaulatan Pangan, par. 7: http://ronawajah.wordpress.com/2008/02/21/falsafah-ilmu-sistem-pertanian-berkelanjutan/ Terjemahan Bahasa Indonesia: “Implication of The ICPD Programme of Action Chapter VII” (Sub Bab 7.2). Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan arrow. (2015, November 14). Socialization: Policy Brief SRHR & Climate Change, Central Java: http://www.jurnalperempuan.org/uploads/1/2/2/0/12201443/arrow-yjpbuku-sosialisasi_lembar_kebijakan_srhr___perubahan_iklim_jawa_tengah-14nov-ylskar.pdf?utm_source=R ekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim+-5&utm_campaign=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan +Perubahan+Iklim&utm_medium=email Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Country Profile on Universal Access to Sexual and Reproductive Health Services Profile on Indonesia, h. 4. Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP). Hasil Temuan YKP: Country Profile Universal Access to Sexual and Reproductive Health Rights, h. 7 & 9. Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 Yayasan Jurnal Perempuan (YJP) dan arrow. Lembar Kebijakan (Policy Brief): Pengarustamaan SRHR Perempuan kedalam Kebijakan Perubahan Iklim: http://www.jurnalperempuan.org/ uploads/1/2/2/0/12201443/arrow-yjp-advocacy_brief-lembar_kebijakan_srhr_dan_perubahan_iklimbahasa_indonesia.pdf?utm_source=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim+-5&utm_campai gn=Rekomendasi+Aliansi+SRHR+dan+Perubahan+Iklim&utm_medium=email 72 Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF Indonesia mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan lakilaki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang Kertas Kajian SRHR dan Agenda 2030 sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia. Head office Jl Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510. Indonesia e. [email protected] rutgerswpfindo.org