TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, PRODUKSI DAN KONVERSI MAKANAN JUVENIL UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab) DAN UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis de Man) DALAM KERAMBA DI LAUT Amal Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, produksi, dan konversi makanan juvenile udang windu dan udang putih. Sebanyak 60 ekor juvenil udang windu (bobot rata-rata 11.11 g) dan 60 ekor juvenil udang putih di tebar pada kepadatan 20 ekor/m2 dalam 6 keramba jaring apung berdasarkan pola rancangan acak lengkap dalam laut selama 70 hari. Makanan dengan protein sekitar 38 – 39 % diberikan 4 – 6 kali sehari sebanyak 2.5 – 8 % dari biomassa udang. Jumlah dan bobot udang diamati setiap 2 minggu. Di akhir penelitian, tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan bobot spesifik (LPBS), produksi, dan konversi makanan ditentukan. Datanya dianalisis dengan sidik ragam. Nilai ratarata TKH, LPBS, produksi, dan konversi makanan udang windu masing-masing 81.67, 0.73 %/hari, 82.57g/m2, dan 2.64. Sedangkan nilai tersebut pada udang putih berturut-turut 93.33%, 0.43%/hari, 43.23 g/m2, dan 2.19. Analisis ragam menunjukkan species berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap produksi juvenile udang, bahkan sangat nyata (P<0.01) terhadap TKH, LPBS, dan konversi makanan. TKH dan konversi makanan udang putih lebih baik dari udang windu. Sebaliknya, LPBS dan produksi udang windu lebih tinggi dari udang putih. Kata Kunci : Udang Windu dan Udang Putih dalam Keramba di Laut Udang windu (Penaeus monodon Fab) dan udang putih (Penaeus merguiensis de Man) termasuk jenis udang penaeid yang bernilai sangat ekonomis penting (Darmono 1991). Dari delapan species udang penaeid yang dibudidayakan di dunia, produksi udang windu dan udang putih masing-masing menduduki peringkat pertama dan keempat (Resemberry, 1979). Keunggulan udang windu yang membuat lebih banyak dibudidayakan ialah ukuranya yang lebih besar dan harganya lebih tinggi. Sementara udang putih masih dinilai sebagai udang liar di tambak. Padahal jika dilihat dari jumlahnya di alam, udang windu tidak termasuk jenis komersial (Mujiman dan Suyanto, 1989). Walaupun budidayanya di Indonesia masih ketinggalan, udang putih merupakan komuditas ekspor yang cukup potensial untuk dikembangkan budidayanya. Selain mendominasi hasil tangkapan di perairan nusantara (Unar dan Naamin 1984), udang ini mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi (Gunderman dan Popper 1975), porsi kepala lebih kecil (Motoh 1981), pemijahan lebih mudah (Aquacop 1983), daya penyesuaian besar terhadap dasar perairan (Toro dan Sugiarto 1979), dan akseptabilitas pasar global yang luas (New dan Rabanal 1985). Siklus hidup udang windu dan udang putih termasuk tipe campuran, yaitu pemijahan di laut lepas dan pembesaran di perairan pantai (Dall dkk. 1990). Di laut pemijahan udang windu dan udang putih terjadi masing-masing pada kedalaman 70 m dan 10 – 25 m dengan salinitas 33 – 36 ppt dan dasar laut berpasir campur lumpur. Pada suhu 29oC, telur udang windu akan menetas menjadi nauplius (N) dalam 10 – 15 jam setelah pemijahan, dan pada shu 22 – 30oC telur udang putih akan menetas menjadi nauplius 13 jam 10 enit setelah pemijahan (Motoh 1981, Dall dkk.1990). Menurut Putra (1987), padat penebaran mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup udang. Selanjutnya Haeruddin (1986) melapotkan bahwa tingkat kelangsungan hidup udang windu dan udang putih PL-20 setelah dipelihara selama 70 hari pada padat penebaran 30 ekor/m2 di keramba jarring apung di laut masing-masing 69.99 dan 92.22 %. Salam dkk. (1993) melaporkan bahwa tingkat kelangsungan hidup juvenile yang dipelihara selama 70 hari pada kepadatan 20, 25, 30, 35 dan 40 ekor/m2 dalam kurungan di muara sungai Tallo masng-masing 35.0, 37.3, 36.6, 25.7, dan 28.3 %. Sementara itu Islamuddin (1992) menemukan kelangsungan hidup udang windu berkisar 52.22 – 84.45 % setelah masa pemeliharaan 70 hari dalam keramba jarring apung. Padat penebaran juga mempengaruhi pertumbuhan. Apud dkk. (1983) melaporkan bahwa dalam pemeliharaan udang windu sistem air mengalir selama 105 hari pada kepadatan 5, 10, dan 20 ekor/m2, bobot individu masing-masing 18.2, 11.22, dan 7.24 g. Sementara itu Wickens (1976) menyatakan bahwa parameter kualitas air dapat mempengaruhi perkembangan, kelangsungan hidup, pertumbuhan dan konversi makanan. Selanjutnya Suwirya (1993) melaporkan bahwa laju pertumbuhan bobot spesifik udang windu PL-20 yang dipelihara selama 30 minggu pada kepadatan 25 ekor/m2 sebesar 6.75/hari, sedangkan Darwis (1996) memperoleh laju pertumbuhan spesifik pascalarva udang windu hasil repreduksi asal tambak dan alam masing-masing 8.97 dan 9.35 %/hari dengan kepadatan 20 ekor/m2 yang dipelihara selama 2 bulan Pertumbuhan bobot individu rata-rata dipengaruhi oleh laju penurunan kelangsungan hidup. Untuk menghilangkan pengaruh tersebut digunakan perhitungan produksi. (Cholik dan Ahmad 1981). Utojo dkk. (1989) mendapatkan produksi udang 2420.7, 3905.0, dan 4773.0 g dengan padat penebaran berturut-turut 25.50, dan 75 ekor/m2 selama 100 hari di keramba jarring apung di uara sungai Binansangkara. Mangampa dan Pirsan (1989) mendapatkan produksi udang windu dan udang putih masing-masing 731.25 dan 506.25 g/m2 selama 3 bulan masa pemeliharaan. Konversi makanan merupakan bilangan yang menunjukkan jumlah makanan yang diperlukan oleh hewan untuk menghasilkan sejumlah bobot tertentu. Semakin rendah konversi makanan, semakin baik karena sedikit makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan bobot tertentu (Pascual 1971). Banyak factor yang mempengaruhi konversi makanan antara lain jumlah dan cara pemberian makanan, kelompok umur, kepadatan, bobot individu, suhu air, tigkat kematian udang, masa simpan, dan kualitas makanan yang digunakan. Menurut Chua dan Tang (1978), makanan harian, bobot rata-rata tebar, waktu, dan lokasi penelitian juga mempengaruhi konversi makanan METODE Penelitian menggunakan 6 unit keramba berukuran 1 m x 1 m x 1.5 m. Keramba terbuat dari jaring nilon dengan ukuran mata jaring 0.1 cm. Keempat sudut keramba bagian atas digantung pada sebuah rakit, sedangkan keempat sudut bagian bawah digantungi batu pemberat. Untuk memudahkan pemberian, mencegah penghaburan dan control makanan yan terkomsumsi, setiap keramba dilengkapi dengan sebuah anco ukuran 0.5 x 0.5 m. Anco trbuat dari bahan serupa dengan keramba. Selanjutnya ditebar masing-masing 60 ekor juvenile udng windu dan udang putih dengan bobot rata-rata berturut-turut 11.11 dan 5.93 g. Juvenil kedua udang tersebut berasal dari ukuran telur yang sama dari masing-masing seekor induk. Sebelum mencapai ukuran juvenile, pascalarva udang ini dipelihara di tempat penelitian selama 120 hari. Penebaran dilakukan menjelang petang hari sesudah bobot udang ditimbang dengan timbangan ohause (ketelitian 0.1 g). Setiap 20 ekor udang ditebar secara acak ke dalam setiap keramba. Tiga keramba berkode A1 – 3 untuk udang windu dan tiga keramba lainnya berkode B1 – 3 untuk udang putih (Gambar 1) A1 B2 B1 A2 A3 B3 Gambar 1. Tata Letak Unit Percobaan Setelah Pengacakan (A = Juvenil udang windu, B = udang putih, 1,2, dan 3 = ulangan) Untuk mempertahankan kualitas dan sirkulasi air dalam keramba, maka dilakukan pembersihan keramba sekali seminggu. Selain itu dilakukan pula pembersihan anco setiap pagi sebelum pemberian makanan. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran kualitas air dua kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari untuk suhu, salinitas, pH, kecerahan, dan oksigen terlarut dengan menggunakan masing-masing thermometer maksimum-minimum, refraktometer, kertas lakmus, pinggan secchi dan DO meter. Untuk pengukuran amoniak dilakukan tiga kali selama penelitian, yaitu pada awal, pertengahan dan akhir penelitian dengan menggunakan spektrofotometer. Tabel 1. Jenis, Jumlah, dan frekuensi pemberian Makanan Harian Juvenil udang Windu dan Udang Putih Bobot Udang Rata-Rata (g/ekor) Jenis Makanan (Kode Makanan) Jumlah Makanan (% bobot udang) Frekuensi 8 – 15 pelet (9004) 8–7 4-5 15 – 20 pelet (9005) 6 – 3.5 5 20 pelet (9006) 3.5 – 2.5 5-6 Pengamatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang dilakukan sekali dua minggu. Semua udang dalam setiap keramba dihitung mortalitasnya secara langsung, kemudian ditimbang biomassanya sebagaimana dilakukan sebelum penebaran. Hasil penimbangan ini digunakan pula untu perhitungan jumlah makanan yang diberikan dihari-hari berikutnya. Dari perhitungan jumlah dan biomassa udang hidup serta jumlah makanan yang dikonsumsi, tingkat kelangsungan hidup (TKH), laju pertumbuhan bobot spesifik (LPBS), produksi bersih, dan konversi makanan ditentukan. TKH dihitung berdasarkan petunjuk Effendie (1979) dengan formula sebagai berikut : LPBS ditentukan dengan rumus yang disarankan Hopkins (1992) sebagai berikut : dimana : LPBS = laju pertumbuhan bobot spesifik (%/hari), Bm = bobot rata-rata mula-mula udang (g), Ba = bobot rata-rata akhir udang (g), dan W = waktu penelitian (hari) Produksi bersih dihitung dengan cara yang digunakan oleh Shell (1983), yaitu biomassa akhir dikurangi dengan biomassa awal. Dari jumlah makanan yang digunakan dibagi dengan produksi bersih ini diperoleh nilai konversi makanan udang (Sedgwick, 1979) Dalam peneliitian ini digunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sebagai perlakuan adalah udang windu dan udang putih dengan ulang-ulangan masing-masing tiga. Untuk mengetahui perbedaan kelangsungan hidup, pertumbuhan, produksi, dan konversi makanan kedua jenis udang ini datanya dianalisis dengan sidik raga berdasarkan ptunjuk Soehardjono (1979) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tingkat Kelangsungan Hidup Nilai rata-rata tingkat kelangsungan hidup (TKH) juvenil udang windu dan udang putih yang dipelihara dalam keramba di laut dapat dilihat pada table 2. Tabel 2. Nilai Rata-Rata Tingkat Kelangsungan Hidup (TKH) Juvenil Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Putih (Penaeus merguiensis) dalam Keramba di Laut Spesies Udang Windu Jumlah Udang (ekor) Awal Akhir 60 49 TKH Rata-Rata (%) 81.67a Udang Putih 60 59 98.33b ab = Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) Hasil analisis keragaman menunjukkan spesies berpengaruh sangat nyata (P<001)terhadap TKH juvenile udang. Ini berarti TKH rata-rata udang putih secara sangat nyata lebih tinggi dari TKH rata-rata udang windu. Temuan ini mendukung laporan Gunderman dan Popper (1975) bahwa udang putih mempnyai TKH yang lebih tinggi. Perbedaan TKH kedua spesies udang penaeid tersebut, jelas muncul dari sifat genetik udang, sebagaimana telah diduga oleh Dahril dan Ahmad (1988) bahwa TKH selain disebabkan oleh faktor genetik dapat juga disebabkan oleh faktor lingkungan. B. Pertumbuhan Nilai rata-rata Laju Pertumbuhan Bobot Spesifik (LPBS) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Rata-Rata Laju Pertumbuhan Bobot Spesifik (LPBS) Juvenil Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Putih (Penaeus merguiensis) dalam Keramba di Laut Spesies Udang Windu Bobot Rata-Rata (g/ekor) Awal Akhir 11.11 18.65 LPBS Rata-Rata (%) 0.73a Udang Putih 5.93 8.25 0.47b ab = Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) Hasil analisis keragaman menunjukkan spesies berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap LPBS udang. Ini berarti bahwa LPBS rata-rata udang windu secara sangat nyata lebih tinggi dari LPBS rata-rata udang putih. Perbedaan LPBS kedua spesies udang tersebut berkaitan dengan sifat genetiknya. Pertambahan bobot rata-rata udang windu dan udang putih masih rendah, hal ini diduga disebabkan oleh salinitas yang melampaui batas optimum pertumbuhan udang khususnya udang windu. Salinitas optimum untuk pertumbuhan udang windu dan udang putih masing-masing berkisar 10 – 25 ppt (Bardach dkk. 1972) dan 27 – 31 ppt (Lim dkk. 1989), sementara salinitas di daerah penelitian berkisar 31 – 35 ppt. Keadaan demikian menghambat pertumbuhan secara normal udang yang dibudidyakan. Poernomo (1978) menyatakan bahwa udang windu dapat tumbuh lebih baik pada salintas rendah karena lingkungan tersebut memungkinkan transformasi energy lebih banyak bagi proses pembentukan daging dan hanya sedikit energy yang digunakan untuk osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan dengan lingkungannya. C. Produksi Produksi rata-rata kedua jenis udang dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4. Produksi rata-rata Juvenil Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Putih (Penaeus merguiensis) dalam Keramba di Laut Spesies Udang Windu Bobot Rata-Rata (g/ekor) Awal Akhir 222.20 304.77 Produksi Rata-rata (g/m2) 82.57a Udang Putih 118.60 161.80 43.23b ab = Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.05) Hasil analisis keragaman menunjukkan species memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap produksi udang. Ini berarti produksi rata-rata juvenile udang windu dan udang putih berbeda nyata. Produksi udang windu lebih tinggi bila disbanding udang putih, walaupun TKH udang putih lebih tinggi dari udang windu. Hal ini disebabkan bobot rata-rata udang windu jauh lebih tinggi dari bobot rata-rata udang putih. Utojo dkk. (1989) menyatakan bahwa tinggi rendahnya produksi yang dihasilkan tergantung pada daya kelulusan hidup, kecepatan laju pertumbuhan, makanan, dan padat penebaran yang berbeda D. Konversi Makanan Nilai rata-rata konversi makanan kedua jenis udang dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Nilai Rata-Rata Konversi Makanan Juvenil Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Putih (Penaeus merguiensis) dalam Keramba di Laut Spesies Bobot Makanan yang Digunakan Rata-Rata (g) Pertumbuhan Biomassa Rata-Rata (g) Konversi Makanan RataRata 218.34 82.87 2.64a 93.91 43.23 2.19b Udang Windu Udang Putih ab = Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) Hasil analisis keragaman menunjukkan spesies berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap konversi makanan udang. Ini berarti nilai rata-rata konversi makanan juvenile udang windu dan udang putih sangat berbeda nyata. Kejadian ini diduga karena TKH, bobot rata-rata tebar masing-masing spesies berbeda (Huet 197;Chua dan Tang 1978) KESIMPULAN DAN SARAN Spesies mempunyai pengaruh sangat nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, konversi makanan dan produksi juvenil udang. Tingkat kelangsungan hidup dan konversi makanan juvenile udag putih sangat jauh lebih baik dari udang windu. Sebaliknya laju pertumbuhan dan produksi udang sangat jauh lebih tinggi dari udang putih. Untuk meningkatkan produksi udang penaeid, pengembangan budidaya udang putih dalam keramba apung dapat dipertimbangkan seperti halnya budidaya udang windu DAFTAR RUJUKAN Apud, F.D., K.J.H. Primevera and P.L. Torres. 1983. Farming of prawn and shrimp. Aquaculture Dept. SEAFDEC, Iloilo. Philippines. 67 p Aquacop. 1983. Constitution of broodstock, naturation, spawning, and hatching system for penaeid shrimp in the centre oceanologique dis pasifique. Pages 105-121 in J.P. McVey and J.R. Moore (eds.). CRC of Handbok of Mariculture. Vol 1. Crustacean Aquaculture. CRC Press. Boca ration, F.L, USA. Bardach, J.E., J.H. Ryther and W.O. McLanney. 1972. Aquaculture: the Farming and Husbandry of Freshwater and Marine Organisme. Willey Interscience, New York. 868 pp Cholik, F. dan T. Ahmad. 1981. Studi pendahuluan pengaruh starvasi terhadap pertumbuhan dan produksi udang putih (Penaeus merguiensis). J. Penelitian Budidaya Pantai 1 (2): 209-217 Chua, T.E. and S.K. tang. 1978. Effect of feeding frequency on the growth of young estuarine groupers, Ephinephalus salmoides (Forskal). Culture in Floating Net cages. Aquaculture 14 : 32 – 47 Dall, A.W., B.J. Hill., P.G. Rothlisberg, and D.J. Sharple. 1990. The Biology of Penaeid. Adv. Mar. Biol 27 : 283-314 Darmono. 1991. Budidaya Udang Penaeus. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Darwis, M. 1996. Tingkat Kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan konversi makanan pascalarva udang windu (Penaeus monodon) hasil repreduksi induk asal tambak dan alam. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, ujungpandang Gunderman, N. and popper. 1975. Experiment in growing Penaeus merguiensis de Man in fish pond in fuji. Aquacuture 6 : 197 – 198 Haeruddin, S. 1996. Kelangsungan Hidup, pertumbuhan, produksi, dan konversi makanan udang windu (Penaeus monodon) dan udang puth (Penaeus merguiensis) dalam keramba di Laut. Skripsi. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, ujungpandang Huet, M. 1971. Texbook of Fish Cultured. Cyre and Sportis Woode Ltd, London. Islamuddin. 1992. Pengaruh padat penebaran dan pelindung terhadap produksi udang windu(Penaeus monodon) dalam kurungan apung. Skripsi. Jurusan Perikanan. Fakultas Peternakan, Unhas. Ujungpandang. 45 hal Mangampa, M. dan A.M.Pirsan. 1989. Pengaruh rasio kepadatan antara udang windu (Penaeus monodon) dan udang puth (Penaeus merguiensis) terhadap produksi udang tambak. J. Peneliitian Budidaya Pantai 5(1): 19-24 Motoh, H. 1981. Studies of fisheries biology of the giant tiger prawn, Penaeus monodon in the Philippenes. Aquaculture Dept. SEAFDEC, Tigbuan, Iloilo, Philippines. 79 pp. Mujiman, A dan S.R. Suyanto. 1989 Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya, Jakarta. New,M.B. and H.R. rabanal. 1985. A Review oh the states penaeid aquaculture in south east asia. Pages 307-326 in P.C. Rothlisberg, B.J Hill and D.J. Staples (eds) Second Aust. Nat Prawn sem. NP S2, Celevelend, Australia. Pascual,F.P. 1979. Aquaculture Nutrition. UNDP/FAO Net Work of Aquaculture Centre in Asia, Philippines Lead Centre, Tigbuan, Iloilo, Philippines Poernomo, A. 1989. Faktor lingkungan dominan pada budidaya udang intensif. Hal. 66 – 120 dalam A. Bittner (Ed.). Budidaya Air. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Reseberry. 1979. Worl Shrimp Farming. Aquaculture Design Los Angeles. 28 pp Salam, A.H., I. Ambas dan M.Y. karim. 1993. Studi budidaya udang windu (Penaeus monodon) dengan padat penebaran tinggi yang dopelihara dalam kurungan dasar di daerah muara sungai. Torani. Buletin Ilmu Kelautan dan Teknologi Kelautan Universitas hasanuddin, Ujungpandang 3 (3): 33 – 37. Suwirya, K. 1993. Pengaruh kadar asam lemak essensial dalam pakan terhadap pertumbuhan pascalarva udang windu (Penaeus monodon). J. Penelitian Budidaya Pantai Gondol, Bali 9 (4) : 9 – 14 Toro, V. dan K.A. Soegiarto. 1979. Biologi Udang. Hal. 1-144 dalam udang: biologi, potensi, budidaya, produksi, dan udang sebagai bahan makanan di Indonesia. Proyek penelitian suberdaya ekonomi LON-LIPi, Jakarta Unar,M. and N.Naamin. 1984. A. Review of the Indonesian shrimp fisheries and their management. Pages 104-110 in J. Gulland and B.J Rothchild (Eds.) Penaeid Shrimp their Biology and Management. Fishing News Books Ltd., Farnham Utojo., F. Cholik., A. Mansyur dan A.G. Mangewa. 1989. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan, daya kelulusan hidup, dan produksi udang windu, Penaeus monodon dalam keramba jaring apung di muara sungai Binasangkara. J. Penelitian Budidaya Pantai 5(1): 95 – 101. Wickens, J.F. 1979. Prawn biologi and culture. In H. Barnes (Ed.). Oceanog. Mar. Biol. An. Review 14 : 435 - 507