wajah agama dalam hegemoni teologi

advertisement
WAJAH AGAMA DALAM HEGEMONI TEOLOGI
BADARUS SYAMSI
Abstrak
Artikel ini melihat peran teologi yang merupakan salah satu aspek dari
agama. Penulis melihat bahwa teologi mengambil peran sangat penting
bahkan terpenting, yang oleh penulis disebut sebagai hegemoni. Peran
ini tentu saja punya efek yang tak selamanya diharapkan. Teologi yang
terlalu memfokuskan pada persoalan Tuhan, misalnya, sering membawa
para teolog pada kebenarannya sendiri yang melangit dan abai melihat
realitas. Di akhir, penulis mengusulkan dekonstruksi terhadap teologi
yang telah menjadi hegemoni bagi agama tersebut.
Kata Kunci: teologi, pemikiran keagamaan, hegemoni, dekonstruksi
agama.
Pendahuluan
Bagi manusia, keinsyafan akan kehadiran kekuatan Maha Dahsyat itu bukan
hanya mendatangkan ketenangan dan perlindungan, namun juga memberikan
bimbingan dalam menemukan otoritas yang kepadanya manusia harus
meyandarkan harapan dan cita-cita, demikian pula cinta dan dedikasi dalam
hidupnya. Dengan keinsyafan semacam itu, maka kebesaran dan kekuasaan
hanyalah karakter semu belaka yang melekat pada identitas kemanusiaan,
kebesaran dan kekuasaan menjadi karakter yang mutlak dan total yang melekat
pada identitas ketuhanan Sang Maha Dahsyat. Ketika ternyata, identifikasi
manusia terhadap kekuatan Maha Dahsyat itu menghasilkan kesimpulan
tentang sosok yang bernama Tuhan, maka dengan bangga dan rasa penuh
kemenangan, manusia memproklamasikan ketundukan dan kepasrahan yang
total kepada-Nya. Proklamasi itu mendorong manusia untuk memuja dan
mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kali ia mensiasati gerak hidup, dalam
membangun perdamaian, juga dalam mengobarkan peperangan.1
1
M. Nasir Tamara, “Pengantar”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Tahar (ed.),
414
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Gejala dan ekspresi keagamaan yang digambarkan oleh Nasir Tamara
di atas merupakan hal yang terdapat di dalam setiap agama apa pun
di dunia. Dengan kesadaran akan adanya wujud dan kekuatan Yang
Maha Tinggi atau Supreme Being, manusia mulai memproyeksikan
kekuatan tersebut di dalam kalbu dan feeling-nya. Kesadaran ini
kemudian melahirkan dua aspek penting dalam kehidupan kegamaan
manusia: aspek vertikal dan horisontal. Dengan kalbu dan feeling-nya,
manusia membangun hubungan vertikal kepada Tuhan dengan ritualritual tertentu. Ritual-ritual tersebut kemudian berpengaruh pada
level-level hubungan sosial-horisontal manusia dengan mengambil
wujud institusionalisasi keyakinan dan institusionalisasi ritual-ritual,
yang kemudian melahirkan komunitas-komunitas tertentu pula.
Agama setidaknya mempunyai dua sisi, yaitu keyakinan agama atau
teologi dan pelaksanaan ajaran agama atau syariah. Artikel ini akan
melihat lebih jauh tentang sisi pertama dalam agama, yang cenderung
lebih kuat atau “hegemonik” ketimbang sisi kedua.
Agama, Teologi, dan Kalam
Terdapat beberapa istilah yang akan diklarifikasi terlebih dahulu
sebelum masuk ke pembahasan lebih jauh. Istilah-istilah tersebut
antara lain, agama, teologi, dan kalam serta hubungan agama dengan
teologi atau kalam.
Agama
Dalam bahasa Eropa modern, agama merupakan istilah yang menunjuk
kepada semua konsep mengenai kepercayaan kepada Tuhan dan sifatsifat ketuhanan seperti wujud spiritual atau hal-hal pokok transendental yang lain. Agama juga menunjuk kepada sebutan untuk intitusi
atau badan-badan yang menampilkan konsep-konsep ketuhanan. 2
Agama sering juga diartikan sebagai institusi serta badan keanggotaan
2
Agama dan Dialog antar Peradaban, ( Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. xi-xii.
John R. Hinnels (ed.), Dictionary of Religions, (Kanada: Penguin Book, 1995), hlm.
414.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
415
dimana para anggotanya berkumpul bersama secara tetap untuk
beribadah serta menerima seperangkat konsep ajaran.3 Sedangkan
seorang teolog Islam seperti Al-Jurjani mendefinisikan agama (al-din)
sebagai aturan-aturan Tuhan yang menyerukan kepada orang-orang
yang berakal untuk menerima apa-apa yang datang dari Rasul,
sehingga jadilah hal itu sebagai syariat yang ditaati.4 Dari asal-usul
bahasa yang lain, misalnya bahasa Sansekerta, sebagaimana menurut
Endang Saifuddin Anshari, kata agama berasal dari penggalan kata
“a” yang berarti tidak dan “gama” yang berarti kacau. Agama berarti
tidak kacau, atau dengan kata lain agama juga berarti teratur dan
tertib.5
Maka agama dalam tulisan-tulisan ini akan didefinisikan sebagai
doktrin ajaran, aturan serta norma dari Tuhan, sebagaimana yang
terdapat di dalam kitab suci, hal mana pelaksanaan terhadapnya telah
melahirkan kelompok-kelompok dan institusi tertentu, di mana
kemudian institusi tersebut dinamakan dengan agama tertentu. Misalnya, agama Islam, merupakan sebuah institusi dari doktrin atau
peraturan serta norma-norma Islam, agama Kristen yang merupakan
sebuah institusi dari doktrin atau peraturan serta norma-norma
Kristen dan sebagainya.
Teologi
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “theos” yang berarti Tuhan dan
“logos” yang berarti percakapan dan pertimbangan.6 Teologi sering
diartikan pula sebagai “reflection on the natural being of God”, yakni
pemikiran atas sifat-sifat dan wujud Tuhan.7 Sebagai sebuah disiplin
3
4
5
6
7
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion, (New York: Humanities Press,
1996), hlm. 647.
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Kairo: Dar al-Irsyad, 1991), hlm. 117-118.
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),
hlm. 123.
William L. Reese, Dictionary of Philosophy, hlm. 647.
John Bowker, The Oxford Dictionary of Word Religion, (Amerika: Oxford University
Press, 1995), hlm. 970.
416
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
ilmu di Barat, teologi telah diterima sebagai sebuah norma atau
keterangan-keterangan yang logis dan rasional (masuk akal) yang
menceritakan tentang Tuhan.8 Teologi merupakan usaha-usaha metodis
untuk memahami serta menafsirkan kebenaran wahyu. Dan untuk
tujuan ini, Teologi menggunakan sumber daya rasio, dengan bantuan
ilmu sejarah dan filsafat.9 Dari segi istilah, istilah teologi itu sendiri
sebenarnya secara lebih khusus berasal dari gereja, meski sebelumnya
teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang terpisah. Dan dalam
konteks gereja, teologi bukan hanya berarti pembicaraan tentang
Tuhan, akan tetapi ia juga berisi pujian terhadap Tuhan.10
Dari uraian di atas, maka sebenarnya teologi merupakan istilah
yang berasal dari dunia Kristen yang berarti ilmu ketuhanan, ilmu
yang membahas tentang wujud Tuhan, sifat-sifat Tuhan, serta pujianpujian terhadap Tuhan dengan berlandaskan pada rasio dan akal. Dan
lebih dari itu, penafsiran terhadap wahyu dan doktrin kitab suci juga
merupakan teologi. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah
bahwa akal dan rasio yang dimaksud dalam kontek ini hanya sebagai
penguat atau rasionalisasi konsep ketuhanan. seorang teolog, sebagaimana yang pernah dicirikan oleh Thomas Aquinas, dalam upayanya
menciptakan konsep-konsep keagamaannya berangkat dari wahyu
terlebih dahulu sebagai landasan pijaknya, sedangkan pertimbangan
rasionalitas dan empirik hanya mereka jadikan sebagai penguat yang
berfungsi untuk memastikan adanya Tuhan.11 Jika teologi merupakan
suatu ilmu yang secara metodis bertujuan membahas tentang ketuhanan dengan berlandaskan kepada wahyu kemudian diperkuat oleh
akal, maka akan menjadi sebuah kelaziman manakala nantinya terdapat
istilah teologi di dalam setiap agama. Demikian juga dalam aliran8
9
10
11
William L. Reese, Dictionary of Philosophy, hlm. 647.
Gerald O’Collins, SJ. dan Edward G. Forrugia, SJ. (ed.), Kamus Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius 1996), hlm. 314.
John Bowker, The Oxford Dictionary, hlm. 970.
Frederick Copleston, S.J. History of Philosophy Medieval Philosophy, (New York: Image
Books, 1962), hlm. 30.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
417
aliran di lingkungan internal suatu agama, terdapat teologi Kristen,
teologi Islam, dan seterusnya.
Kaitan antara Teologi dan Ilmu Kalam
Dalam kaitannya dengan Islam, teologi sering dipadankan dengan
kalam. Dalam tradisi pemikiran Islam, kalam berarti percakapan atau
dialektik. Adapun isi percakapan atau dialektika itu berkisar pada
analisa tentang konsep Tuhan, pembuktian akan eksistensi Tuhan
melalui argumen ontologi dan argumen kosmologi, hubungan antara
Tuhan dengan dunia, etika keadilan Tuhan, yang berkenaan dengan
freewill dan predestination, kegunaan bahasa agama serta kekhasan
fungsi pengajaran para nabi serta hubungan antara akal dan wahyu
serta perannya dalam kehidupan masyarakat.12
Dalam sejarah Islam, istilah kalam secara umum diidentikkan
dengan lahirnya aliran-aliran atau sekte-sekte keagamaan dalam
bidang akidah, dengan konsep-konsepnya masing-masing serta melalui proses dialektika yang panjang, yang secara khusus hal itu muncul
pada masa setelah kepemimpinan Ali ibn Abi Thalib. Setidaknya
terdapat kurang lebih lima aliran kalam dalam Islam, misalnya Khawarij,
Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, dan Ahlussunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyyah dan Maturidiyyah). Aliran-aliran teologi tersebut
secara keseluruhan memiliki konsep masing-masing yang diperkuat
dengan dalil naqli (argumen wahyu atau teks kitab suci) dan dalil aqli
(argumen akal dan rasio).
Hampir keseluruhan isi pembahasan kalam menyangkut ketuhanan,
sehingga orang sering menyamakan istilah kalam dengan teologi. Ilmu
Kalam itu dalam tradisi pemikiran Islam merupakan suatu ilmu yang
membahas tentang dasar-dasar agama baik itu menyangkut ketuhanan
ataupun keyakinan terhadapnya dengan menggunakan dalil aqli dan
dalil naqli. Perlu ditegaskan di sini bahwa kaitan antara teologi dengan
12
John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Word, (Amerika: Oxford
University Press, 1995), hlm. 214.
418
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
kalam adalah kesamaan keduanya dalam hal kajian tentang pembicaraan Tuhan, dan kedua ilmu tersebut sama-sama menggunakan dalildalil naqli dan dalil aqli. Di sisi lain, seperti yang disebutkan di dalam
The Concise Encyclopaedia of Islam, penggunaan istilah kalam ini
agaknya mengikuti penggunaan kata Yunani yang dalam filsafat
dikenal sebagai “logos”, yakni istilah yang digunakan untuk ilmu
pemikiran. Para teolog sering disebut sebagai ahlul kalam atau
mutakallimun.13
Dalam hal objek kajiannya serta metode pembahasannya, antara
teologi dengan kalam memang tidak terdapat perbedaan, sehingga
menyamakan kedua istilah tersebut misalnya adanya kelaziman istilah
dalam kajian Islam seperti teologi Islam, kiranya tidak terlalu penting
untuk dipersalahkan. Akan tetapi, dari aspek kelahirannya, kedua
istilah tersebut memang berbeda. Teologi lahir dari dunia Kristen
yaitu tepatnya pada tradisi gereja, sedangkan kalam lahir dari dunia
Islam, tepatnya ketika lahir banyak aliran-aliran atau sekte keagamaan
pascakepemimpinan Ali.
Hubungan antara Agama dan Teologi (Kalam)
Dengan mendefinisikan istilah-istilah pokok di atas, maka penting
kiranya untuk dijelaskan hubungan antara agama dengan teologi atau
kalam. Setelah memperhatikan pengertian istilah-istilah di atas, maka
dapat dikatakan bahwa jika agama merupakan seperangkat doktrin
yang di dalamnya disampaikan informasi mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan Tuhan atau informasi metafisika lainnya serta
peraturan-peraturan agama yang selanjutnya hal itu akan membentuk
institusi dan komunitas tertentu (ada komunitas atau institusi agama
Islam, Kristen, Yahudi, dan seterusnya), maka teologi atau kalam
merupakan ilmu yang berupaya menjelaskan hal itu semua secara
rasional—meski rasionalitas itu nantinya akan berbeda di antara
13
Cyriil Glasse, The Concise Encyclopaedia of Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999), hlm. 202, entri “Kalam”.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
419
penjelasan dari orang atau kelompok tertentu dengan orang atau
kelompok lainnya. Dengan kata lain, teologi atau kalam menjelaskan
doktrin agama baik mengenai Tuhan beserta informasi metafisik
lainnya ataupun menjelaskan pula peraturan atau hukum-hukum
agama. Maka secara otomatis, sebagaimana agama, teologi atau kalam
akan menyebabkan lahirnya komunitas atau institusi teologis tertentu,
misalnya teologi atau kalam Islam, teologi atau kalam Kristen, teologi
atau kalam Yahudi, begitu juga dengan agama lainnya.
Dapat dinyatakan pula bahwa apa dan bagaimana wajah sebuah
refleksi keagamaan yang tampil ke panggung sejarah, akan banyak
ditentukan oleh corak teologi yang terdapat di dalam agama tersebut.
Sebuah refleksi keagamaan akan berwajah dan bersifat tradisional atau
ortodoks manakala teologi yang dianutnya adalah teologi dengan corak
tradisional dan ortodoks. Demikian juga pada kasus yang lebih kecil,
bahwa tipe keagamaan seseorang akan tampak konservatif, rasional,
atau liberal sekalipun, hal itu akan banyak ditentukan oleh apa dan
bagaimana corak teologi yang dianutnya. Di sini teologi sangat
memengaruhi dan membentuk karakter keberagamaan seseorang.
Akan tetapi yang penting untuk dicatat bahwa teologi bukanlah Tuhan
itu sendiri demikian pula teologi bukanlah agama itu sendiri secara
orisinil, akan tetapi ia hanya releksi atau pemikiran serta tafsiran
terhadap agama (baik pemikiran atau tafsiran mengenai Tuhan atau
wahyu). Agama secara orisinal sebagaimana yang terdapat di dalam
kitab suci adalah tetap dan pasti, akan tetapi teologi sebagai ilmu yang
menafsirkan agama akan sangat dipengaruhi oleh setting historis
kesejarahan manusia. Dengan demikian, tidak sebagaimana agama,
teologi akan senantiasa mengalami perubahan dalam setiap tempat dan
zaman.
Setelah memaparkan beberapa istilah-istilah dan pendekatan di
atas, maka yang maksud dari “pergulatan agama dalam hegemoni
teologi” adalah pergulatan agama dalam sejarah kemanusiaan akan
senantiasa disebabkan oleh hegemoni (kungkungan yang memengaruhi) teologi sebagai ilmunya. Teologi dapat disebut sebagai top maker
420
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
yang senantiasa memengaruhi perjalanan agama dalam persentuhan
dan pergulatannya dengan kondisi kesejarahan manusia. Apakah
agama akan cenderung inklusif, akomodatif, dan menjadi rahmatan
lil alamin bagi setiap kondisi zaman, atau barangkali agama hanya
pada proses kelahirannya yang menunjukkan kebaikan bagi alam
semesta, sedangkan dalam perjalanannya akan cenderung menjadi
penindas, tanyakan semua itu kepada teologi.
Pendekatan Teologi terhadap Agama
Melalui pendekatan teologi, ada beberapa variabel yang akan dikupas
terlebih dahulu di dalam agama itu sendiri. Pertama, sikap teologi dan
teolog terhadap agama. Kedua, agama dalam tradisi pemikiran teologi.
Ketiga, dekonstruksi pemikiran teologi. Dengan tiga subtopik pembahasan tersebut, diharapkan ditemukan kejelasan mengenai bagaimana
eksistensi agama manakala dipahami melalui pendekatam teologi.
Sikap Teologi terhadap Agama
(Dalam upaya memahami agama) kaum filsuf memulai dari dunia pengalaman
dan berpendapat dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan sehingga dia
dapat mengetahui penciptaan. Sedangkan teolog berangkat dari (konsep) Tuhan
sebagaimana Dia telah mewahyukan diri-Nya. Sedangkan metode penelitian
di dalam teologi (hanyalah) berfungsi untuk memastikan adanya Tuhan…
Kaum teolog menerima prinsip-prinsip (agama atau keyakinan) sebagai (suatu
hal) yang telah diwahyukan dan mempertimbangkan objek (kajian)-nya dengan
pertimbangan wahyu. Sedangkan filsuf memahami prinsip-prinsip (agama)
melalui akal dan mempertimbangkan objeknya bukan sebagai yang telah
diwahyukan, akan tetapi sebagai objek yang dapat dipahami melalui akal…
Sebagai contoh, filsuf berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta, sebagaimana halnya kaum teolog menerima kenyataan juga bahwa Tuhan sebagai
pencipta. Akan tetapi pengetahuan kaum filsuf tentang Tuhan sebagai pencipta
datang dari kesimpulan-kesimpulan yang rasional, sedangkan teolog menerima
pengetahuan tentang Tuhan sebagai pencipta itu dari wahyu.14
14
Frederick Copleston, S.J. History of Philosophy, hlm. 31.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
421
Kutipan yang agak panjang di atas sengaja diambil dari pandangan
Thomas Aquinas tentang ciri-ciri filsuf dan teolog dalam memahami
agama. Ada dua ciri utama kaum teolog dalam mendekati agamanya.
Pertama, untuk mengetahui Tuhan, para teolog mempergunakan
wahyu sebagai landasan epistimologinya. Kedua, prinsip-prinsip
keagamaan, termasuk di dalamnya ekspresi keagamaan yang tecermin
dalam pola pikir dan sikap seorang teolog yang berangkat dari pemahaman tekstualnya terhadap wahyu.
Pada ciri yang pertama, seorang teolog dalam rangka untuk sampai
kepada pengetahuan tentang Tuhan menggunakan wahyu sebagai
landasan teologinya. Seorang teolog memercayai dan meyakini bahwa
wahyu merupakan berita dan informasi dari Tuhan yang berisi segala
hal yang bersifat metafisik yang belum diketahui oleh manusia. Seorang
teolog meyakini bahwa wahyu merupakan sesuatu yang dipersiapkan
oleh Tuhan untuk memecahkan segala persoalan yang tidak dapat
dipecahkan manusia. Implikasi dari pemikiran ini adalah bahwa
agama-agama (utamanya agama wahyu) merupakan keharusan
kemanusiaan yang sudah ditentukan oleh Tuhan demi keselamatan
manusia. Di samping itu, adanya nabi sebagai penyampai agama
Tuhan kepada manusia tersebut, juga merupakan keharusan.
Satu hal yang penting dari uraian di atas adalah implikasi sosial
yang muncul dari paradigma teologi yang mempergunakan wahyu
sebagai landasan epistimologinya. Terdapatnya relativitas terhadap
segala upaya untuk menggambarkan Tuhan sering berakibat lahirnya
relativitas dalam ekspressi bahasa agama. Yang terjadi adalah bahwa
ekspresi, bahasa agama utamanya tentang Tuhan sering menggambarkan perbedaan di antara agama-agama. Terjadi perbedaan antara
satu agama dengan agama lainnya. Klaim kebenaran yang bersifat
subjektif sering berakibat adanya ketegangan antara penganut satu
agama dengan penganut agama lainnya.
Hal kedua yang lahir dari apa yang disampaikan oleh Thomas
Aquinas adalah bahwa prinsip-prinsip keagamaan, termasuk di
dalamnya ekspresi keagamaan yang tecermin di dalam pola pikir dan
422
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
sikap seorang teolog berpijak dari pemahaman tekstualnya terhadap
wahyu. Apa yang melandasi pola pikir, prinsip-prinsip keagamaannya
adalah wahyu. Jikalau seseorang mempergunakan akal atau ilmu dalam
melandasi prinsip-prinsipnya, maka hal itu tidak lebih dari upaya
untuk merasionalisasi prinsip-prinsip dan pemikiran keagamaannya.
Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas di atas, seorang teolog
mempertimbangkan objek kajiannya dengan pendekatan dalil teks
suci (wahyu). Jika dihadapkan pada suatu permasalahan, para teolog
langsung merujuk dan mencari jawabannya kepada wahyu. Bagaikan
kamus populer, para teolog menjadikan wahyu (kitab suci) sebagai the
key of answer. Akan tetapi manakala wahyu dirasa belum begitu cukup
untuk menjawab permasalahan tersebut, kaum teolog akan memakai
dalil akalnya untuk menguatkan dalil wahyu tersebut.15
Dalam teologi, khususnya ketika merespons firman atau teks wahyu,
sebenarnya terdapat kecenderungan stagnasi di antara teolog. Sebetulnya kalau dikaji lebih jauh mengenai apa yang pernah disampaikan
oleh filsuf Perancis Maurice Blondel, sebagaimana dikutip Amtsal
Bahtiar, pernah menyatakan bahwa apa yang menjiwai teologi (dan
sikap keagamaan teolognya) adalah tindakan percaya. Teologi sebagai
ilmu iman betitik tolak atas kepercayaan akan wahyu Allah yang
khusus. Karena berangkat dari iman, maka penekanan kepercayaan
without reserve senantiasa mengiringi pemahaman teolog terhadap
kitab sucinya, hal mana sering mengakibatkan seorang teolog lebih
berpegang teguh kepada teks suci daripada memberi penafsiran yang
liberal atau berani dan bebas terhadap teks-teks suci tersebut.
15
Hal ini bisa bisa dilihat di dalam fenomena yang dialami oleh Thomas Aquinas ketika
membuktikan adanya Tuhan. Thomas Aquinas mempergunakan lima macam argumen
untuk menguatkan bahwa Tuhan itu ada. Argumen tersebut antara lain argumen gerak,
argumen sebab, argumen kemungkinan dan keharusan, argumen keteraturan alam, dan
argumen tingkatan. Semua argumen tersebut merupakan argumen yang berangkat dari
rasio akal. Untuk uraian lebih luas mengenai isi argumen tersebut. Lihat Ahmad Tafsir,
Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1997), hlm. 86.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
423
Dalam tradisi pemikiran teologi Islam, tercatat bahwa golongan
Asy’ariyah terkenal sebagai golongan yang berpegang teguh kepada
teks kitab suci. Tidak terlalu liberal menafsirkan teks-teks kitab suci.
Sementara itu golongan Mu’tazilah terkenal sebagai golongan liberal
dan cukup rasional dalam menafsirkan teks-teks wahyu. Dari fakta yang
kecil ini, jika diperhatikan khususnya dalam hal inovasi pemikiran, peluang
terjadinya stagnasi peran rasio akan terjadi pada golongan Asy’ariyah.
Terlalu berpegang kepada wahyu secara ortodoks dapat menyebabkan
seseorang mengalami stagnasi dalam kreatifitas pemikirannya.
Agama dalam Tradisi Pemikiran Teolog
Teologi sebagai ilmu iman, yang mengadakan pemikiran atas Tuhan
dan sebagai upaya metodis untuk menafsirkan wahyu ilahi, keberadaannya bukanlah tanpa mengundang permasalahan bagi eksistensi
hubungan antar agama maupun antarkomponen internal (misalnya
aliran keagamaan) di dalam suatu agama itu sendiri. Dalam tradisi
pemikiran teologi, agama setidaknya akan dipandang sebagai sesuatu
yang memiliki nilai ganda. Hal yang pertama bahwa di dalamnya
merupakan seperangkat ajaran yang terdapat di dalam wahyu yang
bersifat metafisis, terkadang irrasional dan bersifat mengikat para
teolog, dalam arti harus diimani oleh teolog itu sendiri. Misalnya,
keberadaan mengenai Tuhan, janji-janji kebaikan akan fasilitas Tuhan
bagi siapa yang bertakwa atau bahkan ancaman-ancaman akan
hukuman bagi mereka yang ingkar, yang semua sangat metafisis dan
irasional. Sedangkan di sisi lain, menjadi tanggung jawab bagi para
teolog untuk menyampaikan ajaran wahyu tersebut dengan artikulasi
yang rasional. Bagaimana sebenarnya wajah agama dalam tradisi
pemikiran teologi tersebut?
Hal yang sangat mendasar adalah bahwa teologi akan melahirkan
seorang teolog, yang menjelaskan atau memberikan tafsiran atau
gambaran tentang Tuhan serta memberikan tafsiran-tafsiran rasional,
meski terkadang ukuran rasional itu sifatnya relatif, hanya bagi kalangannya sendiri dan belum tentu terkesan rasional bagi orang lain,
424
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
atas firman Tuhan di dalam kitab sucinya. Persoalan yang sering
muncul adalah bahwa bahasa agama yang merupakan cerminan dari
tafsiran atau gambaran eksistensi metafisik itu terkadang menjadi
embrio relativisme dan parsialisme kebenaran yang pada gilirannya
sering mengundang konflik hubungan agama. Eksistensi metafisisk
misalnya Tuhan, maupun pesan-pesan fiirman Tuhan yang juga
bersifat metafisis, merupakan eksistensi yang transenden dan terlalu
abstrak untuk ditafsirkan dan bahkan digambarkan dalam empirisme
kemanusiaan manusia. Kekuatan akal manusia terlalu kecil untuk
dapat menghadirkan gambaran Tuhan beserta pesan-pesannya yang
sakral dalam kehidupan profan kemanusiaan.16 Inilah kemudian yang
mengakibatkan adanya perbedaan penngambaran tentang eksistensi
metafisik yang mau tidak mau hal ini akan berpengaruh pada ekspresi
keagamaan manusia. Satu Tuhan ditafsirkan atau dibahasakan dalam
banyak nama. Satu eksistensi digambarkan dalam banyak perwujudan.
Dalam sejarah keagamaan manusia, relativisme bahasa keagamaan
manusia terkadang sering menyebabkan konflik antaragama, atau
bahkan konflik di dalam internal agama itu sendiri misalnya konflik
antaraliran atau sekte dalam satu agama. Fanatisme bahasa agama
terkadang menyebabkan seseorang hanya membenarkan ungkapan
tentang Tuhan menurut versinya sendiri, sedangkan ungkapan bahasa
tentang Tuhan orang lain adalah salah. Contoh kasus yang kecil
barangkali adalah bahwa ungkapan ketuhanan dalam agama Kristen
16
Komaruddin Hidayat setidaknya mengklasifikasikan tiga macam bahasa agama.
Pertama, ungkapan untuk menjelaskan objek yang bersifat metafisik. Kedua, bahasa
kitab suci. Ketiga, bahasa ritual. Bahasa dalam kategori pertama memiliki keterkaitan
tersendiri dengan pembahasan di atas. Bahasa dalam kategori pertama menurut
Komaruddin digunakan untuk menjelaskan objek yang bersifat metafisikal, terutama
tentang Tuhan. Persoalan pokoknya adalah mampukah akal dan bahasa manusia
membuat deskripsi dan atribusi yang tepat mengenai Tuhan. Bukankah sejauh-jauh
manusia berpikir dan berbahasa tetap di dalam kurungan wilayah pengalaman empiris
dan inderawi. Jika pandangan ini diterima, maka Tuhan yang Maha Gaib dan berada
di luar jangkauan nalar dan bahasa manusia tidak mungkin diungkapkan dengan
bahasa manusia. Lebih lanjut Lihat Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik, ( Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 6.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
425
yang tergambarkan di dalam bingkai trinitas sering kali mengganggu
perasaan keagamaan orang islam. Yang sering terjadi adalah bahwa
orang Islam mengklaim bahwa agama Kristen bukanlah agama monoteis akan tetapi penuh dengan syirik dikarenakan menggambarkan
Tuhan itu dalam tiga person. Contoh lainnya adalah di dalam agama
Islam sendiri, dimana terdapat perbedaan di dalam mengkonsepsikan
Tuhan antara aliran Mu’tazilah dengan aliran Asy’ariyah. Sebagai
aliran rasional dalam Islam, Mu’tazilah menolak manakala Tuhan itu
dikonsepsikan dengan sifat-sifat tertentu, dengan alasan bahwa hal itu
akan membawa pemahaman umat Islam kepada syirik. Sedangkan
aliran Asy’ariyah sebagai aliran tradisional menganggap bahwa tidak
ada alasan untuk mengatakan syirik karena mengkonsepsikan Tuhan
dengan sifat-sifat tertentu.17
Problem teologi khususnya dalam hal describing of God juga pernah
disampaikan oleh filsuf Frithjof Schuon. Pertama-tama dia mengkritik
kelemahan para teolog yang telah menggambarkan eksistensi yang
tinggi dan tak terjangkau. Menurut Schuon, misteri yang tidak terselami (God) yang diajukan oleh para ahli teologi kadang-kadang tidak
17
Jelasnya, menurut Harun Nasution, Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini
(Tuhan bersifat atau tidak) dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana yang dijelaskan al-Asy’ari, bersifat negatif.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai
hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui,
tidak bekuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan
sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti
sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”, kata Abu al-Huzail, ialah Tuhan mengetahui
dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Sedangkan
dari kalangan Asy’ariyah, menurut al-Baghdadi, terdapat konsensus bahwa daya,
pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah
kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali, tidaklah sama dengan esensi Tuhan, tetapi
berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian-uaian ini juga membawa paham banyak
yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat
itu bukanlah Tuhan tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat tidak lain dari
Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada paham banyak yang kekal. Lebih
jauh Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan,
( Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 135-136.
426
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
lebih dari perwujudan kekurangmampuan metafisika mereka, atau
jika tidak demikian mereka mengacu kepada subjektifitas ilahi yang
sama sekali tidak dapat diselami. Hal ini sama mustahilnya dengan
mengobjektifkan dan memisahkan indera pemikiran dengan memerintahkan mata melihat saraf optik, tetapi kemustahilan mata untuk
melihat saraf optik suatu saat tidak misterius. Menurut Schuon, sering
sekali tesis tentang “misteri” hanya merupakan suatu penegasan tidak
beralasan yang digunakan untuk menutupi kontradiksi teologi atau
dianggap sebagai kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.18 Dalam
kerangka wacana ini, Schuon nampaknya kurang begitu meyakini
otentisitas gambaran tentang supreme being yang digambarkan oleh
para ahli teologi dalam setiap agama.
Kritik kedua dari Frithjof Schuon dalam hal ini adalah terhadap
prototipe paradigma teologi yang berkecenderungan untuk menyederhanakan sesuatu yang tak dapat digambarkan sebagaimana di atas.
Hal ini menurut Frithjof bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian
antara sublimisme mereka (para teolog) yang berkecenderungan kuat
pada penyederhanaan dengan gagasan tentang maya pada tingkat
keilahian atau gagasan tentang relativitas ilahi.19 Dalam hal ini, bisa
dimaklumi manakala prototipe berpikir yang ditempuh oleh para
teolog adalah penyederhanaan eksistensi. Akal dan rasio teolog
memang tidak akan pernah mampu untuk menggambarkan secara
pasti akan eksistensi supreme being yang bersifat metafisis. Sedangkan
kritik ketiga dari Schuon terhadap teologi, sebagai akumulasi dari dua
kritik di atas, adalah menganggap bahwa jalan berpikir kaum teolog
adalah jalan berpikir yang salah.
Teologi dengan membiarkan dirinya manampung pertentangan karena menjadi
metafisika sentimental, dianggap telah membelokkan jalur yang lurus. Karena
tidak peduli terhadap perbedaan aspek-aspek dan sudut-sudut pandang
terhadap sesuatu, teologi harus bekerja atas dasar data-data yang kaku, yang
pemecahannya hanya dapat dilakukan dengan jalan menyingkirkan kekakuan
18
19
Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perennial, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 48.
Schuon, Islam dan Filsafat, hlm. 48.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
427
palsu itu. Cara kerjanya didasarkan atas pandangan sentimental, dan ini
digambarkan sebagai “pemikiran yang salah”.20
Kritik Schuon kepada teologi yang dianggap telah membelokkan jalur
atau jalan yang lurus tersebut dapatlah dipahami bahwa betapa paradigma penyederhanaan—akan sesuatu yang besar dan sulit untuk
digambarkan, sehingga yang lahir adalah gambaran metafisik yang
sentimental dan bahkan emosional tersebut—dapat menyesatkan
manusia. Berdasarkan hal itu, maka otentisitas gambaran tentang
keilahian atau wujud supreme being itu patut diragukan. Selanjutnya,
gambaran metafisika yang dilahirkan oleh teologi tersebut terkadang
bersifat kaku dan ekslusif serta kurang bisa menerima perbedaan,
merupakan salah satu pola pikir teologi yang patut disalahkan. Akan
tetapi, belum ditemukan apa solusi dari Schuon dalam menghadapi
dilemma paradigma tersebut. Barangkali dalam bingkai pluralisme,
Schuon hanya ingin membuka cakrawala berpikir para teolog yang
cenderung sentimentil, kaku, dan ekslusif, untuk dibawa kepada
pemahaman yang inklusif dan pluralis.
Dengan demikian, dalam tradisi pemikiran teologi sebenarnya
terdapat problem yang besar dan menganga. Relativitas yang
terekspresikan dalam keragaman pada satu sisi sering tampil indah
dan menyenangkan, akan tetapi pada sisi lain—dan ini yang sering
menonjol—akan menjadi ancaman yang serius. Terdapat banyak nama
tentang Tuhan. Ada Allah, Yahweh, Brahman, dan sebagainya. Lantas
Tuhan mana yang benar-benar Tuhan. Pada ahirnya barangkali akan
lebih bijak kalau semuanya dikembalikan kepada sebuah wisdom yang
mengatakan bahwa nama-nama tersebut hanya merupakan sarana
belaka untuk sampai atau mengenal Tuhan yang sesungguhnya.
Pengakuan keberagamaan yang baik dalam hal ketuhanan ini adalah
tidak semata-mata terhenti pada konsepsi-konsepsi formal teologi
tersebut, akan tetapi lebih jauh lagi merambah pada tataran esensi
yang berada di luar konsepsi-konsepsi formal tersebut. Pengakuan
20
Schuon, Islam dan Filsafat, hlm. 48.
428
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
ketuhanan yang hanya sampai pada tataran konsepsi-konsepsi formal
teologi tersebut akan mengakibatkan suatu syirik, karena konsepsikonsepsi tersebut—meminjam istilah Schuon di atas—hanya merupakan penyederhanaan, bahkan bagi penulis merupakan penyempitan
dan bukan yang sesungguhnya dari realitas asli Yang Sakral, Maha
Tinggi, Maha Agung, dan Maha Sempurna.
Terlepas dari persoalan bahasa agama di atas, persoalan lain yang
dapat ditemukan dalam bahasan agama dalam tradisi pemikiran
teologi adalah klaim-klaim kebenaran dan atau rasionalisme yang
subjektif. Di setiap agama apapun di dunia ini akan ditemukan upayaupaya teolog yang gigih menyampaikan firman Tuhannya dengan
tingkat rasionalitas tertentu. Pada waktu-waktu tertentu, kita dapat
menyaksikan di layar kaca televisi, acara mimbar agama tertentu
dengan tema-tema menarik serta dengan tokoh agama yang berpenampilan menarik pula. Dengan gigihnya seorang ulama, pastor
ataupun biksu menjelaskan ajaran agamanya kepada penonton, dimana
penjelasan-penjelasan tersebut terkadang juga disertai dengan
penonjolan, pengagungan serta klaim kebenaran agama sendiri. Akan
tetapi, jarang kita menemukan tafsiran mereka yang benar-benar
rasional dan independen. Tafsiran rasional seorang teolog terhadap
kitab sucinya sebetulnya hanya untuk keperluan penguatan kebenaran
kitab sucinya—kalau tidak boleh dikata sebagai rasional subjektif yakni
rasional hanya menurut ukuran sang teolog tersebut, yang bagi teologteolog lainnya barangkali bisa jadi sangat tidak rasional dan mengadaada. Mereka (teolog) mencoba menafsirkan dengan rasio dan menganggap bahwa tafsirannya tersebut rasional, padahal ending-nya tetap
menguatkan atau bahkan tetap kembali kepada wahyu. Hal ini yang
kemudian oleh Komaruddin Hidayat disebut sebagai perilaku dengan
standar ganda dalam memahami kitab suci.
Dalam memahami kitab suci, seseorang cenderung menggunakan
standar ganda, yaitu berpikir dalam kapasitas dan berdasarkan pengalaman kemanusiaan namun diarahkan untuk suatu objek yang diimani
yang berada di luar jangkauan nalar dan inderanya. Dengan ungkapan
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
429
lain dia berpikir dalam kerangka iman, dan dia beriman sambil
mencoba mencari dukungan dari pemikirannya. Pada kondisi ini pula
menurut Komaruddin terdapat wilayah remang-remang. Dikatakan
remang-remang karena dalam sikap “beriman” terdapat hal-hal yang
diyakini kebenarannya namun tidak diketahui dan tidak terjangkau
oleh nalar. Maka dari kondisi seperti ini lahirlah apa yang kemudian
dikenal dengan istilah “ilmu kalam”. Menurut Komaruddin, kata
“ilmu” mengisyaratkan adanya aktivitas penalaran, sedangkan “kalam”
atau firman Tuhan menunjukkan bahwa objek yang dikajinya berkaitan langsung dengan sifat dan aktivitas Tuhan yang tak terjangkau oleh
nalar. Oleh karenanya tidak salah jika dikatakan bahwa ilmu kalam
merupakan “nalar yang beriman” atau “iman yang bernalar”, yaitu
penalaran tentang Firman Tuhan dalam rangka melayani iman atau
beriman kepada Tuhan berdasarkan pertimbangan yang logis. Sehingga, dalam bingkai teologi, meskipun nalar telah berusaha memahami
dan menafsirkan Firman Tuhan secara logis, pada ujungnya para teolog
akan pasrah pada keputusan imannya ketika dihadapkan pada firman
Tuhan yang sulit dicerna oleh akal.21
Jika tradisi pemikiran teologi mempunyai visi dan misi rasionalisasi agama, adakah rasionalitas sesungguhnya dalam agama itu?
Kiranya pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang menantang para
teolog. Bukankah dari awal teologi telah mengesankan dan menyisakan
suatu pertanyaan fundamental yang penuh misteri yaitu adakah theos
itu logis, atau dengan ungkapan lain adakah sesuatu yang berkenaan
dengan Tuhan yang metafisik itu logis atau rasional? Adakah hal itu
hanya merupakan kebohongan kegamaan yang besar yang terjadi
sepanjang sejarah kemanusiaan di muka bumi?
Sebetulnya sangat sulit bagi manusia-manusia pada umumnya
untuk memercayai akan adanya Tuhan, apalagi eksistensi surga atau
neraka atau mungkin kebangkitan kembali jasad-jasad manusia sesudah
matinya di dunia. Akal manusia hanya mampu menangkap segala
21
Lebih lanjut lihat Hidayat, Memahami Bahasa, hlm. 6-7.
430
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
sesuatu yang rasional, empirik dan riil. Dalam kerangka pembahasan
ini, kembali agama beserta teologi pernah kewalahan membendung
arus sekulerisme. Di Barat, sebagai kelanjutan dari masa Renaisans
dan humanisme, agama beserta teologi pernah kewalahan menghadapi
pukulan sekulerisme bahkan ateisme. Rasionalitas manusia yang sudah
sampai pada tahap yang tinggi, telah mengingkari realitas metafisika
yang hal itu merupakan jantung dari agama dan pusaka teologi. Maka
ketika realitas metafisika tersebut diingkari, agama telah terposisikan
pada kondisi reduksionitas terendah, yang mengakibatkan konstruksi
agama beserta teologi berada pada level terendah dan termarjinalkan
dari benak manusia. Dus, fenomena yang sangat mengancam eksistensi
agama adalah bahwa, sebagaimana fundamentalisme dan radikalisme
beserta lainnya, sekulerisme bukan hanya tampil sebagai sebuah
wacana, akan tetapi sekulerisme pernah menjadi sebuah ideologi
pergerakan yang dapat memobilisasi gerakan untuk menentang dan
bahkan menghancurkan agama. Ini yang pernah dikatakan oleh Bert
F. Breiner, yakni sekulerisme menguasai otoritas lembaga-lembaga
tertentu untuk upaya-upaya mengembangkan sayap sekulerismenya.22
Fakta keagamaan sering menunjukkan kepada kita betapa sikap
para teolog sering tidak adil dalam menghadapi gejolak rasionalisme
22
Uraian lebih jelas disampaikan oleh Bert F. Breiner. Menurutnya, manifestasi paling
jelas tentang marginalisasi kepercayaan agama adalah fenomena sekularisme.
Sekulerisme di sini berarti suatu keyakinan bahwa dunia atau alam semesta dipahami
tanpa mengacu pada realitas yang transenden, tak ada yang lain selainnya. Meski
demikian, sekulerisme merupakan “pusat dunia”. Jika ia tidak menolak eksistensi Tuhan
atau beberapa realitas transendental, secara efektif tidak menolak keterpautan antara
yang transenden dengan realitas kehidupan di dunia ini. Sejumlah studi sosiologi dan
sejarah mempresentasikan perkembangan Eropa Barat dalam term-term ini secara
tepat. Pengkultusan akal pada akhir abad ke-18 dipandang sebagai upaya membangun
pengkultusan terhadap kemanusiaan di atas kehancuran transendentalisme kuno. Di
Prancis melahirkan positivisme yang mengontrol secara ketat terhadap sejumlah otoritas
lokal, khususnya sekolah-sekolah pada 1870-an dan 1880-an, sering menggunakan
kekerasan kekuatan untk menghancurkan para rahib dan biara. Lebih lengkap lihat
Bert F. Breiner, “Persoalan-persoalan Agama Kontemporer di Eropa”, dalam Mukti
Ali, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1997), hlm. 55-56.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
431
kemanusiaan. terkadang, dunia teologi dengan para teolognya terhanyut dalam arogansi sikap keagamaan. Represi keagamaan dengan
mengklaim kafir atau barangkali tidak beragama dan murtad bagi
mereka yang bertindak meragukan atau bahkan tidak percaya terhadap
eksistensi-eksistensi metafisik dan ghaib tersebut. Mereka (para
teolog) tidak berpikir bagaimana mengakomodasi gejolak rasionalisme
itu sehingga hal itu dapat diletakkan dalam bingkainya yang jelas, atau
bahkan hal itu dapat bermanfaat bagi dunia agama dan teologi. Hal
yang sering terjadi adalah para teolog menganggap gejolak rasionalisme
sebagai ancaman yang besar bagi agama. Dan dalam sejarah, hal inilah
yang menjadi sebab dari timbulnya gap yang diteruskan dengan
konfrontasi yang panjang antara akal dan wahyu (agama) atau ilmu
dan iman. Itulah fenomena sosial keagamaan yang sering dijumpai
baik dari level masyarakat bawah jauh di pedalaman maupun pada
masyarakat modern. Yang diharapkan dari sikap keagamaan teolog
adalah bagaimana gejolak rasionalisme yang terkesan mengancam visi
transendentalisme agama itu bisa dihadapi dengan kedewasaan sikap
keagamaan para teolog dan bukan malah terkesan menghancurkan
gejolak tersebut. Jika para teolog terlalu sering memaksakan visi dan
misi transcendental untuk membungkam gejolak rasionlisme manusia
dengan klaim-klaim kafir, tidak beragama atau murtad, maka sebenarnya yang sering terjadi—untuk menyebut pasti terjadi dan sudah
turun-temurun—adalah pemaksaan kebenaran atau rasional subjektif
ajaran agama dari para teolog kepada umat sebagai pemeluk agama.
Dalam upaya rasionalisasi ajaran agama kepada umat sebagai
penganutnya, para teolog menggunakan dan mewajibkan suatu “password
keyakinan” kepada umatnya, yaitu wajib mengimani, memercayai, dan
menaati without reserve terlebih dahulu. Bagi teolog hal yang pertama
kali harus dimiliki bagi penganut agama adalah sikap percaya dan
bukan meragukan atau menyangkal. Bahkan dalam kondisi tertentu,
rasionalisme dalam wujudnya yang sering meragukan eksistensieksistensi metafisik tersebut merupakan suatu keharaman. Memercayai atau mengimani terlebih dahulu baru berpikir kemudian dan
432
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
bukan berpikir dahulu baru percaya atau beriman adalah motto
teologi. Akankah keberagamaan dengan motto demikian akan menjadi
keimanan dengan kesadaran penuh full understanding? Tidakkah
motto tersebut justru mengindikasikan adanya pemaksaan pada
permulaannya? Terkadang patut juga untuk direnungkan bahwa
keberagamaan manusia sebagian besarnya bisa jadi merupakan keberagamaan dengan keimanan yang semu dan munafik karena merupakan
hasil paksaan dari kaum teolog. Hal ini karena sesungguhnya kebanyakan manusia itu beragama dengan tanpa kesadaran yang penuh
yang benar-benar berangkat dari kebebasan perenungan pikirannya
dan ketinggian kontemplasinya untuk sampai kepada Tuhannya.
Dengan demikian, konsep Tuhan beserta segala hal metafisik yang
berkait dengan-Nya adalah murni berangkat dari pengalaman dan
pemahamannya sehingga menjadilah ia sebagai keimanan yang murni.
Keimanan bukan sebagai hasil pemaksaan dan intimidasi teologi yang
munafik dan arogan.
Kita barangkali jarang untuk berpikir mungkinkah terdapat
seorang teolog yang hanya memberikan jalan keagamaan yang umum
tanpa mengharuskan seseorang untuk memercayai dan memegangi
fatwa-fatwa teologisnya baik untuk sebuah afiliasi keagamaan ataupun
gambaran-gambaran tentang eksistensi metafisik? Terlalu sering
ditemui bahwa seorang teolog menganggap orang-orang biasa merupakan
sasaran misi teologisnya, menganggap mereka lemah dan perlu untuk
diselamatkan dengan cara memasukkan mereka ke dalam lingkungan
system teologis yang dia (teolog) miliki. Ini sebenarnya yang merupakan embrio inti dari terjadinya pemaksaan agama. Terdapat upayaupaya islamisasi, kristenisasi, dan lainnya, yang semua merupakan
fakta yang menunjukkan masih terjadinya pemaksaaan teologis dalam
agama. Padahal sesungguhnya tidak terdapat pemaksaan dalam hal
afiliasi keberagama tersebut.
Sebenarnya, dalam level-level perenungan tertentu, kita dapat
berpikir mungkinkah terlahir kepercayaan, keyakinan serta kesadaran
keagamaan secara benar-benar murni dari manusia itu sendiri. Manu-
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
433
sia benar-benar sadar dalam agamanya karena memang merupakan
hasil perenungannya yang tinggi sebagai kontinuitas fitrah dan naluri
kemanusiaan yang cenderung untuk beragama. Yang sering terjadi,
dan ini yang barangkali telah menjadi tradisi sejarah kemanusiaan,
adalah agama sebagai hasil turun-temurun. Mengikuti cara teologi,
agama itu diwahyukan dan bukan dicari. Agama membentuk manusia
dan bukan manusia membentuk keagamaannya sendiri. Seorang ayah
bisa berfungsi sebagai seorang teolog bagi anak-anaknya untuk
memperkenalkan dan mewajibkan atas anak-anaknya suatu keyakinan
agama tertentu. Pada kondisi seperti ini tidak terlalu salah manakala
kita menyebut adanya hierarkisasi agama dalam sejarah keberagamaan
manusia. Agama itu diturunkan sebagai tradisi sejarah keagamaan
manusia dan bukanlah agama itu merupakan hasil pencarian yang
panjang dari manusia itu sendiri. Premis-premis semacam itu
merupakan premis yang pantas diklaimkan kepada dunia teologi.
Semuanya merupakan perenungan dalam bingkai agama dalam tradisi
pemikiran teologi.
Sebagai percikan wacana terahir dari bingkai agama dalam tradisi
pemikiran teologi, terdapat satu fenomena yang keberadaannya sering
mewarnai keagamaan manusia. Agama dalam tradisi pemikiran
teologi terkadang sarat dengan nuansa apologetika dari para teolog.
Seorang teolog yang menyampaikan kebenaran-kebenaran wahyu serta
tentang ketuhanan dalam agamanya dengan memakai akal untuk
memperkuat kebenaran-kebenaran tersebut terkadang terkesan tak
lebih dari seorang apolog. Seorang teolog, layaknya apolog, senantiasa
membenarkan agamanya serta akan senantiasa memberikan perlawanan atau counter terhadap pihak-pihak luar yang menyerang agamanya.
Hal ini karena setiap agama memiliki teologi. Klaim kebenaran parsial
di setiap agama (sebagai kondisi pertama) tidak jarang menyebabkan
seorang teolog dari satu agama tergoda untuk mengkritik dan bahkan
menyalahkan ajaran agama lain (sebagai kondisi kedua). Kaum teolog,
yang berposisi di atas sebagai maker of paradigm dengan khotbahkhotbahnya telah berhasil membangun wacana yang banyak
434
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
memengaruhi umat pada level bawah.
Sekali lagi, yang perlu dipahami dari bingkai pemikiran teologi
keagamaan adalah adanya relativisme; kebenaran teologi bukanlah
kebenaran dari Tuhan, tetapi hal itu hanya merupakan tafsiran serta
respons seorang terhadap ajaran kitab sucinya yang hal itu tentu akan
sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu atau setting historis teolog
tersebut. Teologi bukanlah Tuhan dan teologi bukanlah agama. Teologi
hanya tafsiran belaka dari keduanya. Maka sebenarnya teologi beserta
teolog dan tafsirannya adalah suatu kerelativan belaka, sedangkan
kebenaran tertinggi hanya dari Tuhan saja. Hal ini yang oleh Nurcholis
Madjid dinyatakan sebagai wewenang menetapkan hukum itu hanya
pada Tuhan sedangkan apa-apa yang merupakan tafsiran manusia
(teologi) adalah suatu yang relatif.23
Dekonstruksi Pemikiran Teologi
Telah dipaparkan di atas bahwa agama dalam kungkungan teologi
tidak jarang akan lahir sebagai agama dengan wajah subjektivisme,
rasionalitas yang sering semu, sarat dengan klaim kebenaran parsial,
ortodoksi, dan bahkan apologi. Terdapat dua problem fundamental
agama dalam kungkungan pemikiran teologi dapat diklasifikasi ke
dalam dua hal, secara internal dan eksternal. Pertama, secara internal
dapat dinyatakan bahwa teologi terkadang memformulasi wacana atau
kajian agama hanya pada wacana-wacana yang melangit atau metafisik
23
Nurcholish Madjid pernah menyatakan bahwa pandangan seseorang mengenai suatu
agama tertentu diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling
benar mengenai agama itu. Tetapi sebagai entitas mengenai entitas yang lain, masuk
akal (absurd) untuk melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar
(interchangable). Jadi pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama
bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar
jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu “agama samawi”) dan
bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah “agama wahyu”
atau “agama samawi”), maka wewenang menetapkan agama atau tasyri’ (seharusnya)
hanya ada pada Tuhan atau berasal “dari langit”, sementara yang datang dari manusia
atau dari arah bumi (juga seharusnya) dipandang sebagai relatif belaka. Nurcholish
Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, ( Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 242.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
435
yang tidak cukup aktual, kontekstual dan relevan dengan kebutuhan
jaman. Kedua, secara eksternal, agama dalam wajah-wajahnya yang
subjektif, parsialis, apologis, dan ortodoks, sering menciptakan ketersekatan umat dengan wajah ekslusivismenya yang pada ending-nya
tidak jarang menyebabkan konflik horisontal antarpemeluk agama
atau perang urat syaraf para teolog dari berbagai agama.
Pada hal yang pertama, yakni tinjauan internal, sebenarnya telah
lama terjadi keluhan terhadap pemikiran dan wacana teologi—sering
disebut juga sebagai teologi skolastik—dalam arti menampilkan
wacana-wacana metafisik dan terkesan melangit, misalnya tentang
Tuhan, sifat-Nya, hubungan-Nya dengan alam semesta. Dalam banyak
hal sebenarnya keluhan itu berisi tentang tidak kontekstualnya atau
bahkan tidak relevannya lagi pembahasan atau wacana-wacana teologi
yang demikian itu. Munculnya upaya-upaya pembumian agama—
yang kalau ditilik lebih jauh sebenarnya merupakan upaya pembumian
teologi dari teologi langit ke teologi bumi, dan slogan yang sering
dimunculkan misalnya, slogan-slogan teologi sosial, teologi transformasi, teologi keadilan, dan sebagainya. Hal itu semua sebetulnya
merupakan ekspresi dari geliat kemanusiaan dalam upayanya untuk
mengkontekstualisasikan teologi, dalam arti bagaimana bahasan atau
wacana teologi lebih memerhatikan kebutuhan yang sedang berkembang, atau dengan kata lain akomodatif terhadap tuntutan zaman.
Teologi pada saat ini lebih ditekankan kepada bagaimana bahasan,
wacana, dan solusi teologi atas kemiskinan, ketidakadilan sosial,
ketidakadilan gender dan sebagainya. Teologi tidak lagi terlalu terfokus
terus-menerus pada pembahasan apa, siapa, di mana dan bagaimana
Tuhan (meski itu semua tidak sepenuhnya harus dinafikan dari benak
manusia).
Sekilas, upaya-upaya yang berkenaan dengan pembumian teologi
di atas terkesan positif, utamanya untuk menancapkan lebih dalam
spiritualitas agama dalam kehidupan sosial, di dalam setiap dimensinya. Di dalam Islam, barangkali upaya-upaya seperti itu lebih
menunjukkan intensitasnya yang tinggi. Banyak kasus yang sebenarnya
436
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
menarik untuk dikaji dalam fenomena agama Islam dalam kaitannya
dengan pembumian teologi. Adanya teori politik Islam, ekonomi
Islam, sains Islam, atau yang sering diklaim sebagai islamisasi ilmu,
merupakan upaya-upaya yang berkenaan dengan hal di atas. Dalam
kaitan ini, slogan-slogan serta indikasi-indikasi menguatnya proses
agamaisasi setiap dimensi kehidupan sosial sebenarnya bisa ditilik dari
dua tujuan. Pertama, sebagai upaya spiritualisasi agama bagi setiap
dimensi kehidupan sosial. Kedua, selanjutnya hal itu merupakan
upaya untuk membendung sekulerisme, yakni agama-agama akan
termarjinalkan dan ditinggalkan oleh penganutnya karena dimensidimensi sosial manusia yang lain selain agama lebih memberikan
daya tarik bagi manusia ditimbang agama.
Dari tilikan atas dua tujuan tersebut, dapat disaksikan bahwa
teologi dan teolog kontemporer sering mengkamuflase atau mengubah
bentuknya dalam wajah fundamentalisme agama. Tentu istilah fundamentalisme agama di sini bukanlah dimaksudkan sebagai sebuah
gerakan dalam Kristen Protestan di Amerika Serikat yang muncul
pada pasca-Perang Dunia I, yang sarat dengan militansi tinggi,
fanatisme, ekstremisme, dan radikalisme. Tetapi istilah fundamentalisme agama di sini lebih mengacu kepada semangat dan prototipe
keagamaan fundamentalisme tersebut, yang cenderung untuk merealisasikan ajaran kitab suci ke dalam setiap dimensi kehidupan sosial.24
Upaya spiritualisasi agama ke dalam setiap dimensi kehidupan sosial
manusia bisa dilihat dari adanya upaya-upaya agamisasi semua
dimensi kehidupan sosial tersebut. Para teolog modern merasa
khawatir kalau-kalau setiap dimensi kehidupan sosial manusia
dijalankan terlepas dari nilai-nilai agama sebagaimana yang terdapat
di dalam kitab sucinya. Indikasi yang paling sederhana dapat dilihat
pada kasus upaya islamisasi ideologi negara oleh sebagian pemikir
Muslim Indonesia. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menimbang
24
Lebih lanjut lihat M. Dawam Raharjo, “Fundamentalisme”, dan Yusril Ihza Mahendra,
“Fundamentalisme: Faktor dan Masa Depannya”, dalam Muhammad Wahyuni Nafis
(ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, ( Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 34.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
437
apakah hal itu benar atau salah, perlu atau tidak, akan tetapi dalam
kerangka kajian ini, hal itu dipandang sebagai bagian kecil dari indikasi
adanya islamisasi atau pembumian teologi Islam modern ke dalam
dimensi kehidupan politik masyarakat.
Pada hal yang kedua, yakni faktor eksternal. Masih terdapat satu
hal lagi yang menyangkut problem agama dalam kungkungan teologi
sehingga menyebabkan perlunya dekonstruksi teologi, yakni agama
dalam wajahnya yang subjektif, parsialis, apologis, dan ortodoks sebagai
akibat dari ulah teologi, sering kali menyebabkan ketersekatan umat.
M. Amin Abdullah dalam kaitan dengan hal ini menyampaikan:
Bahwa hampir semua pengamatan sosial keagamaan sepakat bahwa pemikiran
teologi sering kali membawa ke arah ketersekatan umat. Ketersekatan dan
keterkotak-kotakan yang tidak dapat terhindarkan barangkali. Ibarat konsep
“manusia” yang bersifat universal, kemudian tersekat oleh berbagai “bahasa”
dan “warna kulit”. Suatu ketersekatan yang tidak dapat terhindarkan secara
historis…. Teologi sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu
kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan
dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni
bahasa sebagai pelaku—bukan sebagai pengamat—adalah merupakan ciri yang
melekat pada bentuk pemikiran teologis.25
Apa yang disampaikan oleh M. Amin Abdullah di atas barangkali
relevan dengan banyak fakta yang terjadi pada saat-saat ini. Dari faktafakta di atas, kecenderungan berpikir teologis terkadang banyak
mengundang permasalahan. Karena merupakan refleksi atas Tuhan
dan kitab suci, yang jelas hal ini akan memberi peluang yang besar
bagi terjadinya perbedaan-perbedaan fundamental agama, dapat
menjadi pemicu perbedaan teologi antaragama bahkan di dalam
internal agama itu sendiri yang pada gilirannya menyebabkan perpecahan
di antara komponen-komponen tersebut. Sementara pembumian
teologi sebagai upaya aktualisasi dan kontekstualisasi teologi dalam era
modern agar dapat memberikan sumbangan pada masyarakat modern,
25
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 13.
438
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
sering menyebabkan semangat baru mirip seperti fundamentalisme
yang hal ini juga dapat memicu ketegangan hubungan antaragama.
Sebelum mencarikan solusi atas permasalahan di atas, kaitannya
dengan upaya dekonstruksi pemikiran teologi di atas, maka di sini
akan dipaparkan terlebih dahulu corak pemikiran teologis yang bisa
jadi menyebabkan teologi dewasa ini sering mengundang permasalahan. M. Amin pernah menyampaikan corak pemikiran teologis
secara umum, sebagaimana yang dikatakannya:
Setidaknya ada dua ciri yang menonjol dari corak pemikiran teologis. Pertama,
pemikiran teologis diwarai oleh tingkat “personal commitment” (kesetiaan
pribadi) yang sangat peka terhadap ajaran agama yang dipeluk seorang. Agama
adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern) yang tidak dapat dengan
mudah diganti, diubah seperti layaknya orang memakai dan mengganti baju.
Pemeluk agama tertentu akan mempertahankan ajaran-ajaran agama yang
dipeluknya dengan gigih, sehingga bersedia untuk berkorban habis-habisan
jika diperlukan. Agama menuntut keikutsertaan dan kesetiaan menyeluruh
(totalistis) dari segenap pengikutnya… Bahasa yang dipergunakan oleh
pemeluk agama adalah bahasa seorang “pelaku” atau “pemain” (aktor) dan
bukannya bahasa seorang pengamat atau lebih-lebih bukan bahasa seorang
peneliti yang datang dari luar (spectator) dengan begitu, seorang agamawan
selalu involved (terlibat penuh) secara utuh dan total.26
M. Amin Abdullah di dalam memandang teologi, dalam kaitannya
dengan upaya-upaya dekonstruksi pemikiran teologi, lebih menitikberatkan kepada prototipe pemikiran ala teologi terhadap agama.
Kecenderungan involve atau terlibat dari pemikiran dan sikap teologi,
lebih khusus adalah teolognya, mengakibatkan seorang teolog kurang
memerhatikan kondisi luar dalam arti pemikiran lain di luar bingkai
agama dan teologinya. Rasa kesetiaan pribadi yang parsial, menerima
kebenaran parsial dan afiliasi pemikiran dan sikap keberagamaan yang
parsial juga. Semua ini menyebabkan seorang teolog menjatuhkan
pemihakannya kepada agamanya secara parsial dan bukannya kepada
26
M. Amin Abdullah “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi Ilmu dan
Budaya”, dalam Mukti Ali, dkk. (ed.), Agama dalam Pergumulan Masyarakat
Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 271.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
439
kebenaran yang universal.
Kesetiaan pribadi yang parsial mengakibatkan seorang teolog hanya
setia kepada agamanya sendiri, tidak menjatuhkan kesetiaannya hanya
kepada kebenaran, apa pun wujud dan darimana datangnya kebenaran
tersebut. Kebenaran yang ia tanamkan di dalam benaknya kiranya
hanya merupakan kebenaran parsial di dalam bingkai agama atau
teologinya sendiri dan tidak memandang kebenaran universal, sehingga
terkadang kurang mengakui kebenaran agama lain meskipun dalam
pandangan rasionya di dalam agama atau teologi lain tersebut terdapat
kebenaran. Dan yang pasti afiliasi pemikiran dan sikap keagamaannya
adalah pada agama dan teologinya sendiri. Maka sebagai akibat dari
hal ini semua adalah kecenderungan ekslusivisme kebenaran agama.27
Dan dalam sejarah keagamaan manusia, ekslusivisme kebenaran
agama dalam banyak hal sering melahirkan ekspresi pemikiran dalam
bentuk aksi-aksi maupun gerakan-gerakan yang mengancam masa
depan agama-agama manusia itu sendiri, baik dalam wujud ekstremisme maupun radikalisme.
Dari mempelajari corak pemikiran teologi beserta efek-efek yang
sering ditimbulkannya tersebut, maka dalam ikhtiar yang sederhana
kiranya dapatlah dijadikan pembuka wacana bagi upaya dekonstruksi
teologi, bahwa pemikiran dan sikap teologi yang tecermin di dalam
performance teolognya (yakni dengan kecenderungan kepada fanatisme,
menjatuhkan kesetiaannya kepada kesetiaan parsial agama dan teologinya dan bukan kesetiaan universal, menerima kebenaran parsial agama
dan teologinya dan bukan kebenaran universal serta memberikan
afiliasinya hanya kepada agama serta sistem teologinya sendiri tanpa
melihat pada kebenaran lain di luar agama dan teologinya sendiri),
semua telah melahirkan ekslusivisme kebenaran agama, semua meru27
Nurcholiish Madjid mendefinisikan ekslusivisme kebenaran keagamaan sebagai suatu
pandangan yang menganggap bahwa kebenaran agama (dan sistem teologi) itu hanya
terdapat di dalam agamanya sendiri dan menganggap bahwa agama (dan sistem teologi)
lain adalah salah dan bahkan menyesatkan. Nurcholish Madjid, “Pengantar”, dalam
Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. xix.
440
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
pakan pemikiran teologi yang perlu untuk didekonstruksi.
Sebagai klarifikasi, yang dimaksud dekonstruksi teologi lebih
mengacu kepada pergumulan teologi dengan kondisi-kondisi eksternal,
dan bukan pada tataran internal. Pada pergumulan dengan kondisi
eksternal dimana di dalamnya tercakup bagaimana hubungan antaragama satu dengan lainnya, demikian pula bagaimana hubungan
antara satu teologi dengan teologi lainnya. Dalam pergumulannya
dengan kondisi eksternal semacam ini, pola pemikiran serta sikap
teologis para teolog wajib untuk ditanggalkan. Hal itu karena merupakan wilayah yang rawan konflik yang dapat mengancam eksistensi
sebuah agama dan teologi secara keseluruhan. Dalam kondisi eksternal
semacam ini, seorang teolog kiranya harus mampu berpikir dan
bersikap inklusif dan pluralis.28
Sedangkan pada tataran internal, performance yang tergambar di
dalam pemikiran serta sikap teolog di atas, kiranya masih perlu untuk
dilestarikan. Hal ini karena pemikiran serta sikap-sikap teologi yang
demikian itu dapat dikatakan sebagai jantung daripada agama, dalam
arti bahwa tanpa pola pikir serta sikap-sikap keagamaan seperti itu,
mustahil eksistensi sebuah agama akan dapat dipertahankan, utamanya
dalam menghadapi goncangan-goncangan dari luar atau tantangantantangan jaman.
Dekonstruksi internal sebuah teologi hendaknya diarahkan kepada
bagaimana sebuah sistem teologi lebih memfokuskan diri terhadap
solusi-solusi konkret atas permasalahan-permasalahan kontemporer
zaman, seperti slogan pembumian agama atau pembumian teologi
dengan memerhatikan pertimbangan proporsionalisme, yakni memahami ruang dan tempat gerak. Dengan pertimbangan ini, prebumisasi
agama atau prebumisasi teologi tidak menimbulkan permasalahan
baru seperti penindasan agama atau penindasan oleh teologi dalam
wujudnya yang baru.
28
Madjid, “Pengantar”, hlm. xix.
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
441
Penutup
Agama merupakan seperangkat konsep-konsep ajaran dan doktrin
yang telah diciptakan Tuhan untuk mengatur kehidupan manusia.
Agama dipenuhi oleh relativitas teologi yang mau tidak mau hal itu
akan memengaruhi gerak langkah keberagamaan manusia. Teologi
akan senantiasa menghegemoni agama, mengatur agama, dan menentukan corak agama. Bagaimana wajah agama yang akan tampil ke
panggung sejarah kemanusiaan, tanyakan semua kepada corak teologinya.
442
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996).
Abdullah, M. Amin, “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif
Globalisasi Ilmu dan Budaya”, dalam Mukti Ali, dkk. (ed.), Agama
dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, ( Jakarta, Tiara
Wacana, 1997).
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1997).
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Kairo: Dar al-Irsyad, 1991).
Bowker, John, The Oxford Dictionary of Word Religion, (Amerika:
Oxford University Press, 1995).
Breiner, Bert F, “Persoalan-persoalan Agama Kontemporer di Eropa”,
dalam Mukti Ali, dkk. (ed.), Agama dalam Pergumulan Masyarakat
Kontemporer, ( Jakarta: Tiara Wacana, 1997).
Copleston S.J., Frederick, History of Philosophy Medieval Philosophy,
(New York, Image Book, 1962).
Esposito, John L. (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Word,
(USA: Oxford University Press, 1995).
Glasse, Cyril, The Concise Encyclopaedia of Islam, ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999).
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika, ( Jakarta: Paramadina, 1996).
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan
Krisis Modernisme, ( Jakarta: Paramadina, 1998).
Hinnels, John R. (ed.), Dictionary of Religions, (Kanada: Penguin Books
Press, 1995).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung:
Mizan, 1996).
Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, ( Jakarta: Paramadina,
1996).
Madjid, Nurcholish, “Pengantar”, dalam Tiga Agama Satu Tuhan,
Badarus Syamsi, “Wajah Agama dalam Hegemoni Teologi” |
443
(Bandung: Mizan, 1999).
Mahendra, Yusril Ihza, “Fundamentalisme: Faktor dan Masa
Depannya” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi
dan Renungan Religius Islam, (Paramadina: Jakarta, 1996).
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
Perbandingan, ( Jakarta: UI Press, 1986).
O’Collins S.J., Gerald, & Edward G. Forugia (ed.), Kamus Teologi,
(Yogyakarta, Kanisius, 1996).
Raharjo, M. Dawam, “Fundamentalisme”, dalam Muhammad
Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam,
( Jakarta: Paramadina, 1996).
Roese, William L. (ed.), Dictionary of Philosophy and Religion, (New
York: Humanities Press, 1996).
Schuon, Fritchof, Islam dan Filsafat Perennial, (Bandung: Mizan,
1994).
Tamara, M. Nasir, “Pengantar”, dalam M. Nasir Tamara & Elza Peldi
Tahar (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, ( Jakarta:
Paramadina, 1996).
Download