Mekanisme Adaptasi Kedelai [Glycine max (L) Merrill]

advertisement
MEKANISME ADAPTASI
KEDELAI [Glycine max (L) Merrill]
TERHADAP
CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH
AKHMAD JUFRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
1
2006
2
ABSTRAK
AKHMAD JUFRI. Mekanisme Adaptasi Kedelai [Glycine Max (L) Merrill] terhadap
Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Sri Setyati Harjadi, Didy Sopandie,
Muhammad Jusuf, dan Novianti Sunarlim.
Tanaman beradaptasi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui mekanisme
penghindaran dan mekanisme toleransi. Evaluasi mekanisme adaptasi dilakukan terhadap 8
genotipe, terdiri atas 4 genotipe toleran yaitu Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas, 1
moderat yaitu Wilis, dan 3 peka yaitu MLG2999, Klungkung hijau, dan Godek. Evaluasi
meliputi respon masing-masing genotipe terhadap cekaman intensitas cahaya rendah yang
berupa persentase: (1) penurunan produktivitas, (2) perubahan struktur daun yang
berhubungan dengan mekanisme penghindaran, dan (3) perubahan fisiologi yang berkaitan
dengan mekanisme toleransi.
Cekaman pada penelitian ini diberikan dalam dua tipe perlakuan, yaitu (1) berupa
naungan paranet 25%, 50%, dan 75% yang diberikan sejak tanam sampai panen dan (2)
berupa cekaman ekstrim yang diwujudkan dalam 5 variasi pergiliran 3 hari gelap - terang
pada umur 23 - 32 HST (hari setelah tanam). Kelima perlakuan variasi gelap-terang tersebut
adalah terang-terang-gelap (TTG), terang-gelap-terang (TGT), terang-gelap-naungan 50%
(TGN), gelap-terang-gelap (GTG) dan kontrol untuk menduga respirasi gelap,
penyembuhan, dan adaptasi. Sampel diambil pada 30 HST untuk percobaan dengan
cekaman tipe 1 dan 32 HST untuk tipe 2.
Klungkung Hijau menunjukkan produksi biji per tanaman tertinggi dibanding genotipe lain.
Produksi tertinggi tersebut konsisten pada ketiga level naungan, yaitu kontrol, naungan 25%,
dan 50%. Pangrango juga memberi hasil tinggi pada kondisi kontrol, naungan 25%, dan
50%.
Naungan 50% terbukti efektif untuk menyaring ketenggangan terhadap cekaman
intensitas cahaya rendah karena menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap anatomi,
morfologi, dan produktivitas tanaman, serta keragaman antar genotipe. Ceneng (T)
konsisten sebagai genotipe toleran naungan karena mengalami persentase penurunan
produksi terendah dan penurunannya tidak nyata, sedangkan Godek (P) konsisten peka
naungan karena menunjukkan persentase penurunan hasil biji terbesar dan penurunannya
nyata. Besarnya persentase penurunan produksi ini tidak berbeda nyata antar genotipe.
Dalam mekanisme penghindaran kelompok genotipe toleran memperlihatkan
persentase penurunan ketebalan daun lebih besar daripada kelompok peka. Ceneng (T)
mengalami persentase penurunan berat spesifik daun dan bulu lebih besar daripada Godek
(P). B613 (T) menghindari cekaman cahaya rendah terutama melalui peningkatan klorofil ,
sedangkan Tampomas terutama melalui pengurangan kerapatan bulu daun. Kandungan
Klorofil mengalami peningkatan bila tanaman diberi naungan 25%, 50%, atau 75%.
Perlakuan gelap selama 3 hari bisa menyebabkan kandungan klorofil daun turun, kecuali
pada B613 (T). Kandungan klorofil yang turun akibat gelap bisa pulih kembali setelah
tanaman dikembalikan pada cahaya normal selama 3 hari yang menunjukkan penyembuhan.
Perlakuan gelap 3 hari menyebabkan kandungan gula dan pati daun serta karbohidrat
batang menurun. Kandungan gula dan pati daun serta karbohidrat batang naik kembali
setelah tanaman dikembalikan pada cahaya normal selama 3 hari yang juga menunjukkan
i
penyembuhan. Bila dikembalikan kepada naungan 50% (variasi TGN) kelompok tahan
menunjukkan kandungan gula dan pati lebih tinggi yang menunjukkan fotosintesis lebih baik.
Godek (P) menunjukkan penurunan kandungan karbohidrat batang, gula dan pati
daun yang lebih besar saat diberi perlakuan gelap 3 hari, yang menunjukkan respirasi gelap
lebih tinggi dibanding Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran).
Pada kondisi ternaungi paranet 50% sejak tanam sampai panen Ceneng (T)
menunjukkan mekanisme toleransi lebih baik dibanding Godek (P) karena lebih mampu
mempertahankan perubahan fisiologi yang lebih kecil antara lain pada variabel kandungan
sukrosa serta aktivitas enzim SPS dan rubisco. Ceneng bisa mengefektifkan metabolisme N
melalui pengurangan kandungan N daun sekaligus pemanfaataannya yang tepat untuk
mempertahankan kandungan protein N terlarut tetap tinggi.
Klungkung Hijau bisa dianjurkan menjadi genotipe yang dikembangkan untuk
pertanaman kedelai di bawah tegakan pohon perkebunan maupun kehutanan yang memberi
naungan 0 – 50%. Ceneng bisa menjadi sumber gen toleran untuk program pemuliaan.
Ceneng dan Godek bisa menjadi tanaman model untuk studi mekanisme adaptasi terhadap
cekaman intensitas cahaya rendah.
ii
ABSTRACT
AKHMAD JUFRI. Adaptation Mechanism of Soybean [Glycine Max (L) Merrill] to
Low Light Intensity Stress. Under the direction of Sri Setyati Harjadi, Didy Sopandie,
Muhammad Jusuf, and Novianti Sunarlim.
Plants adapt to stress of low light intensity by mechanism of avoidance and/ or
tolerance. The evaluation of this adaptation mechanism was conducted on 8 genotypes of
soybean [Glycine max (L) Merrill], consisted of 4 tolerant genotypes (Ceneng, B613,
Pangrango, and Tampomas), 1 moderate (Wilis), and 3 susceptible genotypes (Klungkung
Hijau, MLG2999, and Godek). The evaluation was studied by the responses of the
genotypes in the changes of (1) productivity, (2) leaf characters correlated for the avoidance
mechanism, and (3) physiological characters correlated for the tolerance mechanism.
Two types of light stress were applied in this research. The first one was shading by
25%, 50%, 75% plastic paranet, and control. The second was 5 various alternating 3-days
light-dark or 50% shading treatments at 23 – 32 DAP (days after planting). Treatments
were light-light-dark (TTG), light-dark-light (TGT), light-dark-50% shading (TGN), and
dark-light-dark (GTG), and continuously normal light as control (TTT); an assessment of
dark respiration, recovery, and adaptation of the plant were measured. Sampling was
conducted at 30 DAP for the first stress-type experiment and at 32 DAP for the second
type experiment.
Klungkung Hijau and Pangrango showed the highest productivity among the
genotypes. The highest productivity was consistent at three light intensity levels, such as
control, 25% shading, and 50% shading. Klungkung Hijau and Pangrango can be
recommended as genotypes to be cultivated under plantation tree stands. Ceneng can be
used as source of tolerant gene for breeding program.
Treatment of 50% shading was effective for screening tolerance to low light intensity
by significantly differed in plant anatomy, morphology, and productivity, and causing diverse
responses among genotypes. Ceneng was considered as the most tolerant genotypes and
Godek was the most susceptible.
The tolerant genotypes decreased significantly than the susceptible genotypes for leaf
thickness. Ceneng (T) had bigger changes in leaf specific weight and leaf thickness than
Godek (S). B613 (T) avoided the stress mainly through increasing chlorophyll content and
Tampomas (T) through decreasing leaf hair density. Chlorophyll content increased in the
plant treated by 25%, 50%, and 75% shading.
Three-day dark treatment caused the leaf chlorophyll content decreased in all
genotypes except B613. The chlorophyll content was reversed to normal after normal light,
indicated the recovery process.
The recovery symptom was also seen on sugar, starch, and carbohydrate characters.
Godek was predicted to have the highest dark respiration among the four genotypes. The
three tolerant genotypes (Ceneng, B613, and Pangrango) had the higher carbohydrate
content compared to Godek at treatment of 3 days shading following 3 days-dark (TGN).
Ceneng (T) showed better mechanism of tolerance compared to Godek by smaller
changes in physiological character such as sucrose and starch contents and enzyme activities
of rubisco and SPS of leaf. Ceneng was also effective in utilizing N to produce protein in the
leaf.
iii
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang
berjudul:
MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill]
TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH
adalah gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing,
kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah dipublikasikan
atau diajukan untuk memperoleh gelar akademik di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Maret 2006
Akhmad Jufri
iv
MEKANISME ADAPTASI
KEDELAI [Glycine max (L) Merrill]
TERHADAP
CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH
AKHMAD JUFRI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
5
Judul Penelitian
: Mekanisme Adaptasi Kedelai [Glycine Max (L) Merrill]
terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah
Nama
: Akhmad Jufri
NIM
: 995045
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi
Ketua
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie
Anggota
Dr. Ir. Muhammad Jusuf
Anggota
Dr. Ir. Novianti Sunarlim
Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Satriyas Ilyas
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc
vi
Tanggal ujian : 7 Pebruari 2006
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang
atas rahmat yang dianugerahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi
ini merupakan hasil penelitian tentang respon kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya
rendah yang dilakukan di Bogor sejak tahun Mei 2002 sampai Agustus 2003 serta Maret
2004 sampai Oktober 2004.
Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu
Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir.
Didy Sopandie, Bapak Dr. Ir. Muhammad Jusuf, dan Ibu Dr. Ir. Novianti Sunarlim selaku
anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan, petunjuk serta pengarahannya
selama penelitian dan penyusunan disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie juga selaku ketua Tim Hibah Bersaing IPB yang telah membantu
sebagian dana untuk penelitian dalam disertasi ini
Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para dosen
pengajar pada Sekolah PascaSarjana IPB yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan.
Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Satriyas Ilyas selaku
Ketua Program Studi Agronomi yang telah memberi saran dan pengarahannya dalam
penulisan disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.
Suyamto dan Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi
pada sidang terbuka dan atas saran-sarannya untuk perbaikan disertasi ini. Kepada Bapak
Dr. Ir. Munif Gulamahdi penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih atas perkenannya
menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan koreksi serta sarannya untuk perbaikan
disertasi ini.
.Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Bapak Dr. Tisno Suwarno, Bapak Dr. Ir. Tatang A. Taufik, Bapak Dr. Ir. Hasan Mustafa,
serta Bapak Dr. Ir. Ugay Sugarmansyah selaku pimpinan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi yang telah memberi kesempatan, dorongan dan bantuan kepada penulis untuk
melanjutkan dan menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.
vii
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di laboratorium dan di
lapang: Ibu Dra. Surtini Gondonegoro dan Bapak Drs. Irawan, Msi di BATAN Jakarta,
Bapak Yosef di Balitnak Bogor, Ibu Iis dan Ibu Merry di Biokimia IPB, Mas Yudi, Mas
Bambang dan Mas Joko di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, serta Mas
Haryanto dan Mas Moko di Kebun Cikabayan IPB.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada teman-teman: Dr. Ir. Lilik B.
Prasetyo, Dr. Titin Handayani, Dr. Ir. Dwi Hapsoro, Dr. Ir. Shahidin, Dr. Churiyah, Dr. Ir.
Winarso D. Widodo, Dr. Ir. Yusnita dan Dr. Ir. Endah Palupi atas segala bantuan,
dorongan, dan saran selama penelitian dan penyusunan disertasi ini..
Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga: istri dan anak-anak,
Bapak (almarhum), ibu, kakak dan adik tercinta atas segala dorongan dan doa yang tak
pernah putus. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian disertasi.
Akhirnya penulis berharap agar disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Maret 2006
Akhmad Jufri
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 31 Juli 1962. Ia adalah anak
kelima dari sepuluh bersaudara dari ayah Muhammad Toyib (almarhum) dan ibu Maimunah.
Ia menikah dengan Dwi Rahayu dan dianugerahi dua orang anak.
Pada tahun 1981 penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan lulus
sebagai sarjana pertanian dengan keahlian agronomi pada tahun 1985. Ia melanjutkan studi
S-2 di Department of Agronomy Iowa State University, USA pada tahun 1993 hingga
1995. Sejak tahun 1999 ia kembali ke Institut Pertanian Bogor untuk belajar pada jenjang
S-3 pada program studi Agronomi dengan beasiswa dari Proyek Peningkatan Kemampuan
Personil (PPKP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Penulis bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT), Jakarta. Penulis pernah menjadi ketua kelompok Pengkajian Lingkungan pada
Direktorat Pengkajian dan Penerapan Ilmu-ilmu Kehidupan, Deputi Bidang Pengkajian Ilmu
Dasar dan Terapan. Sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada Deputi
Bidang
Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT.
ix
DAFTAR ISI
x
Halaman
DAFTAR TABEL …………………………………….…...………………
xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………….……………………
xv
DAFTAR LAMPIRAN ……………..………………….……….…………..
xvi
PENDAHULUAN ………….…………..………………………………….
Latar Belakang …………………………...………..…….…...………....
Manfaat Penelitian ………..……………………….….………...……...
Kerangka Pemikiran ………………………………...…...…………….
Tujuan Penelitian ……………………………………...……………….
Hipotesis ……………………..………………………...………………
1
1
6
7
9
9
TINJAUAN PUSTAKA …...……………………………..….…………..
13
Kedelai ……………………. ..….…………………………………….
13
Agronomi dan Produksi Tanaman …..……………………………….
13
Fotosintesis …………….………………………….…………………
15
Proses Fotosintesis ……………………………………………….
Tanaman C3 dan Fiksasi Karbon ……………….….……………
15
16
Daun dan Produksi Tanaman ………………………….…..…………
Anatomi Daun dan Stomata ……………………………...………
Kloroplas ……………...…...………………………………….…
Klorofil dan Adaptasi Naungan ………. ………………...……….
18
18
19
21
Cahaya dan Tanaman ………………………….…...….…...………..
23
Karakteristik Cahaya ………………..…………………..……….
Cahaya dan Fitokrom ………………….……...……..………..…
Faktor Pembatas pada Fotosintesis ……….………..…….……...
Naungan dan Produksi Tanaman ……….…...………….……….
Naungan dan Karbohidrat ……….……………..……...…………
Cahaya dan Asimilasi Nitrogen ……………………….………….
23
24
25
25
27
29
Metabolisme Nitrogen …….……………………….…..……..……...
29
Adaptasi terhadap Naungan ……………….….....………...………….
31
Adaptasi Tanaman ………….………………..……...…………….
Mekanisme Penghindaran ………………………….………..…….
Mekanisme Toleransi ……………………………………………
31
33
36
xi
xii
BAHAN DAN METODE …..…………….………...…………..…….……
Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman
Intensitas Cahaya Rendah ……………………………...…...….……..
Waktu dan Tempat ………………….………………....…..………
Bahan dan Alat ………………………...…………...……..……….
Metode …………………………………………………....………...
Rancangan Percobaan …………………….………..……….….…..
Pelaksanaan …………………...…….…………………..….………
Analisis Data ……………………………………….……………...
Penelitian 2. Perubahan Struktur Daun Beberapa Genotipe Kedelai
sebagai Adaptasi melalui Mekanisme Penghindaran terhadap Intensitas
Cahaya Rendah ……………………………………..……..
Waktu dan Tempat ………………….…….……………......………
Bahan dan Alat ……………………………………..….…..……….
Metode ………………………………………………..……………
Rancangan Percobaan …………………….………….……………
Pelaksanaan …………………………………...……..…………….
Analisis Data ……………………………..…………..…………….
Penelitian 3. Perubahan Fisiologi yang terkait dengan Adaptasi melalui
Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah.…
39
39
39
40
40
41
42
42
42
42
43
43
44
44
46
46
Waktu dan Tempat ……………………….………...…….……...…
Bahan dan Alat ……………………...……………….…..……...….
Metode ………...…………………..………………………...……
Rancangan Percobaan …………………….…………………...……
Pelaksanaan …………………………………………….….……….
Analisis Data ………………………………..………….……..……
46
47
47
48
48
49
HASIL DAN PEMBAHASAN …………………..………….……...………
50
Kondisi Umum …………………………………………...……..…...
50
Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman
Intensitas Cahaya Rendah ……………...…………………...……...…..
51
Penelitian 2. Perubahan Karakteristik Daun untuk Mekanisme
Penghindaran……………………………….………………...……..….
57
Respon terhadap Cekaman Naungan sejak Tanam sampai Panen..
Respon terhadap Perlakuan Variasi Pergiliran Gelap-Terang ...…...
57
66
xiii
Penelitian 3. Perubahan Fisologi sebagai Mekanisme Toleransi ……...
74
Pembahasan Umum …………………………………………………...
86
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………...………………..
94
Kesimpulan ……………………………………….………..………….
94
Saran …………………………………...………….……………..…….
95
DAFTAR PUSTAKA ………………………...…………………………...
97
LAMPIRAN ……………………………………...………………………..
104
GLOSARI ……………………….…………………………………………
129
xiv
DAFTAR TABEL
xv
Halaman
1. Produksi kedelai nasional tahun 1998 – 2004 ………………...……….
2. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai akibat naungan 50% pada musim
tanam kedua .………………….…………………………..….
3. Pengaruh naungan 50% terhadap ketebalan dan luas helai daun kedelai
Pengaruh naungan terhadap kerapatan bulu ……………....….
4. Pengaruh naungan terhadap berat spesifik daun, kerapatan bulu, dan
kerapatan stomata ……………………………………….……...……….
2
56
58
60
5. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun delapan genotipe kedelai
……………………………………………………….…..……….
64
6. Ketebalan daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST …….. …..………..………….…………..……
67
7. Luas helai daun trifoliat pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST ….……………….….…………………………
68
8. Berat spesifik daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST ………...……………………....……...…
69
9. Kerapatan bulu daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST ………………………….….………....…
70
10. Kerapatan stomata daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga
hari gelap-terang saat 32 HST ……..………………………...….…
71
11. Kandungan klorofil a daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran
tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……….....………...……
72
12. Kandungan klorofil b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga
hari gelap-terang saat 32 HST ……………….…………
73
13. Rasio kandungan klorofil a/b daun kedelai pada lima perlakuan variasi
pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……….…….…
74
14. Pengaruh naungan terhadap aktivitas rubisco, sukrosa, pati, dan aktivitas
SPS ……………………………………………………………
76
15. Pengaruh naungan terhadap kandungan N daun ……..………….……..
78
16. Kandungan gula total daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga
hari gelap-terang saat 32 HST …...…………….……….
80
xvi
17. Kandungan pati daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST …………..…………………….…
82
18. Kandungan karbohidrat batang kedelai pada lima perlakuan variasi
pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ...………… …….……
83
19. Aktivitas rubisco pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang
saat 32 HST …………………………………….……..
20. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet ………..…..…………
84
87
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Hubungan ketersediaan energi cahaya dengan proses metabolisme untuk
produksi biji kedelai …….………..……………..………………………….
10
2. Respon tanaman terhadap kekurangan cahaya ……..………...……………
11
3. Alur penelitian dan sumber benih …..……………..….....………...………
12
4. Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil daun ….…………..…..……
22
5. Peranan cahaya pada proses pembentukan klorofil a dan b (Schoefs dan
Bertrand, 1997). …………………………..…………………………..……
22
6. Skema pembentukan sukrosa dan pati pada fotosintesis ……...………..…
28
7. Cahaya menstimulasi enzim Nitrat reduktase ………………..…………….
30
8. Mekanisme penghindaran terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) ….…….
37
9. Mekanisme toleransi terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) ………..……
38
10. Produktivitas Biji Delapan Genotipe Kedelai pada Empat Tingkat
Naungan Paranet pada Musim Tanam I….…………………….…………
53
11. Produktivitas Biji Delapan Genotipe Kedelai pada Empat Tingkat
Naungan Paranet pada Musim Tanam II………………………..………...
54
12. Penampang melintang daun Ceneng (tahan) dan Godek (peka) pada
kontrol dan naungan paranet 50% (400 X) ……………………………......
61
xviii
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tabel produksi biji beberapa kultivar kedelai pada lahan di bawah pohon
karet di Sukabumi …………………….……………………...…………….
115
2. Denah percobaan 1 di kebun Cikabayan – Bogor dan naungan paranet di lapang
…………………………………………………….………..…...…..
106
3. Denah percobaan 2 di kebun Cikabayan – Bogor...………….……..……….
107
4. Jadwal perlakuan cahaya pada percobaan 2 ………………...…...………….
108
5. Prosedur Analisis Laboratorium dan Biokimia ……………………………..
109
6. Kelembaban udara pada empat tingkat naungan pada Juni 2002 ……..……
114
7. Rata-rata Suhu dan kelembaban udara di lokasi percobaan pada April – Mei
2004 ……….……………….……………….……………….…………
114
8. Rekapitulasi hasil analisis ragam untuk beberapa variabel pada percobaan split
plot (percobaan I-A dan I-B) ……………..……………... ……………
115
9. Rangkuman analisis ragam beberapa variabel pada percobaan variasi pergiliran
gelap-terang ……….………………....…….…………….………
116
10. Intensitas radiasi matahari di Darmaga menurut Stasiun Badan Meteorologi dan
Geofisika Darmaga ………………..……………….…….
117
11. Intensitas radiasi matahari pada bulan Jumi 2002 jam 12.00 ………......….
118
12. Data intensitas cahaya pada Januari 2003 …………….………...……...….
119
13. Pengaruh naungan terhadap produktivitas biji, tebal daun, luas daun, kerapatan
bulu, kerapatan stomata, dan klorofil daun……………..……….
120
14. Produktivitas biji, tebal daun, dan luas daun 8 genotipe kedelai …..….….
121
15. Bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun 8 genotipe
kedelai ………..…………………...………………………...………......…
121
16. Pengaruh variasi pergiliran gelap – terang terhadap tebal daun, berat spesifik
daun, kandungan klorofil, gula daun, pati daun, karbohidrat batang, dan
aktivitas rubisco ……………….………...……..….……….…
122
xx
17. Pengaruh genotipe terhadap berat spesifik daun, kerapatan bulu dan rasio
klorofil a/b ……………….………...………………………….………...…
18. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap berat spesifik daun daun ....….
122
123
19. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap kerapatan bulu daun ……..….
123
20..Tinggi tanaman delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……………..…….
124
21. Jumlah buku delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……….………..…….
125
22. Jumlah daun delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……...…………...….
126
23. Berat akar delapan genotipe kedelai pada saat panen .. ………..….....…….
127
24. Berat bintil akar delapan genotipe kedelai saat panen……….….…...…….
128
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting
di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap
menggunakan biji kedelai sebagai bahan bakunya. Kandungan protein kedelai cukup tinggi,
yaitu 40 persen, sedangkan beras hanya 9 persen. Keunggulan lainnya bisa dilihat pada
kandungan asam amino esensialnya. Jumlah asam amino lisin yang rendah pada beras
ternyata sangat tinggi pada kedelai. Kandungan lisin pada beras 253 mg/100 g, sedangkan
pada kedelai 2300 mg/100 g (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, 1995). Karena itu
kedelai diharapkan dapat memperbaiki level gizi sebagian besar penduduk Indonesia dan
beberapa negara Asia (Chomchalow dan Laosuwan, 1993). Penduduk miskin yng sulit
memperoleh protein hewani bisa memenuhi kebutuhan gizi dari protein nabati kedelai.
Sekitar 80% kebutuhan kedelai dipergunakan untuk bahan baku industri, terutama
tahu dan tempe, sedangkan 20% sisanya untuk pakan ternak dan konsumsi rumah tangga
(Amang dan Sawit, 1996). Karena kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi oleh produksi
dalam negeri Indonesia mengimpor kedelai. Pada tahun 1994 impor kedelai Indonesia
sekitar 628 ribu ton dan pada tahun 1999 impor itu mencapai 1301 ribu ton (BPS, 2000).
Impor kedelai itu telah diupayakan dikurangi melalui strategi peningkatan produksi dalam
negeri (Manwan dan Sumarno, 1996). Namun, upaya itu sulit dilaksanakan karena
kenyataannya impor kedelai tetap tinggi. Pada tahun 2004 impor kedelai Indonesia sebesar
1116 ribu ton (BPS, 2005).
Strategi peningkatan produksi kedelai nasional itu dirumuskan dalam Sumber
Pertumbuhan Produksi yang terdiri atas lima peluang yaitu: (a) perluasan areal panen, (b)
peningkatan produktivitas, (c) peningkatan keseragaman dan stabilitas hasil, (d) penekanan
senjang hasil, dan (e) penekanan kehilangan hasil panen. Dalam sumber pertumbuhan
produksi tersebut peningkatkan luas areal panen dilakukan dengan pembukaan areal baru,
peningkatan indeks pertanaman (IP), dan pelaksanaan tumpang sari kedelai dengan tanaman
perkebunan dan kehutanan (Adisarwanto et al, 1997).
Upaya peningkatan produksi kedelai tampaknya mengalami hambatan dalam
pelaksanaan karena kenyataannya produksi kedelai cenderung menurun (Tabel 1). Data
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penurunan produksi nasional disebabkan oleh penurunan
2
luas panen kedelai. Luas panen pada tahun 2003 sekitar 50% luas panen pada tahun 1998.
Karena itu peningkatan produktivitas (yield) sekitar 10% tidak bisa mengkompensasi
pengurangan luas panen dalam mempertahankan produksi nasional. Tahun 2004 produksi
kedelai nasional meningkat dibanding tahun 2003 karena adanya peningkatan luas panen.
Dengan produktivitas yang sama kebutuhan kedelai nasional bisa dipenuhi tanpa impor
(swasembada) bila luas panen kedelai ditambah 871 ribu ha menjadi 1435 ribu ha.
Tabel 1. Produksi kedelai nasional tahun 1998 – 2004
Luas Panen
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
1095
1151
825
679
545
527
563
1306
1383
1018
827
673
672
721
11.2
12.0
12.3
12.2
12.4
12.8
12.8
(1000 ha)
Produksi
(1000 ton)
Produktivitas
(kw/ha)
Sumber: BPS (1999-2005)
Peluang untuk meningkatkan luas panen kedelai nasional melalui aplikasi tumpang sari
kedelai dengan tanaman perkebunan dan kehutanan cukup besar. Luas perkebunan di
Indonesia tidak kurang dari 15 juta hektar. Luas perkebunan pada tahun 2002 bahkan
melebihi 19 juta ha (BPS, 2003). Dengan siklus peremajaan 25 - 30 tahun, maka sekitar 3
- 4% dari luas perkebunan tersebut merupakan areal tanaman baru yang masih
memungkinkan untuk ditumpangsarikan dengan kedelai sampai tanaman pokoknya (TBM)
mencapai umur 2 - 3 tahun. TBM berumur 2 - 3 tahun memberi naungan sebesar 33-50 %
(Asadi et al., 1997).
Selama ini ruang di antara tegakan tanaman pokok perkebunan ditanami dengan
tanaman legum penutup tanah (LCC). Tujuan penanaman LCC di sini antara lain untuk: (a)
perlindungan terhadap erosi tanah, (b) penambahan nitrogen tanah melalui penangkapan
nitrogen udara, dan (c) pengendalian gulma (Gardner et al., 1990). Dengan manajemen
yang baik pengalihan pemanfaatan lahan dari LCC kepada kedelai tidak akan mengurangi
keuntungan seperti dikemukakan di atas. Bahkan pemanfaatan kedelai menambah
keuntungan yang berupa peningkatan ketersedian pangan dan perbaikan gizi penduduk di
3
sekitar perkebunan. Hal ini berarti pengembangan kedelai di lahan perkebunan dapat
meningkatkan ketahanan pangan nasional, sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan.
Depertemen Pertanian RI melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman
Pangan memproyeksikan lahan tanaman kedelai pada tahun 2004 seluas 680 ribu ha atau
meningkat 28% dari luas panen pada 2003. Salah satu sumber lahan yang digarap adalah
lahan perkebunan rakyat seluas 11 juta ha dan kehutanan seluas 14.2 juta ha (Direktorat
Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003).
Salah satu kendala utama dalam pengembangan kedelai pada lahan tersebut di atas
adalah intensitas cahaya rendah karena tajuk pohon-pohon tersebut menaungi ruang di
bawahnya. Berdasarkan penelitian pada perkebunan karet diperoleh informasi bahwa ratarata intensitas cahaya pada areal terbuka adalah 0.773 kal cm-2 mnt-2. Intensitas cahaya di
bawah tegakan karet umur 1, 2, dan 4 tahun berturut- turut sebesar 0.571 kal cm-2 mnt-1,
0.253 kal cm-2 mnt-1, dan 0.216 kal cm-2 mnt-1 atau berarti memberi naungan 26%, 67%,
dan 72% terhadap areal terbuka.(Sukaesih, 2002). Sementara itu, naungan 20% sudah
digolongkan ke dalam agroklimat yang tidak sesuai bagi pertanaman kedelai (Adisarwanto
et al, 2000)
Reduksi cahaya oleh naungan merupakan cekaman (stres) terhadap cahaya. Levitt
(1980) mendefinisikan cekaman sebagai faktor lingkungan apapun yang secara potensial
tidak sesuai bagi makhluk hidup. Cekaman itu bisa menimbulkan strain. Strain adalah suatu
keadaan perubahan fisik atau kimia pada makhluk hidup akibat dikenai cekaman. Strain itu
bisa bersifat elastis (dapat balik) artinya keadaan akan kembali seperti semula bila
cekamannya dihilangkan. Cekaman yang besar bisa menyebabkan strain permanen (plastis)
yang berarti kerusakan atau bahkan kematian pada organisme.
Dalam pandangan agronomi varietas unggul ialah varietas bergenotipe tertentu yang
bisa berproduksi tinggi atau sesuai yang dikehendaki dengan memanipulasi lingkungan
tumbuhnya. Varietas unggul berproduksi tinggi (high-yielding variety) memberi hasil tinggi
bila ditumbuhkan di lingkungan yang cocok serta mendapat perlakuan yang sesuai berupa
pengairan, pemupukan, perlindungan terhadap hama penyakit dan sebagainya. Namun
lingkungan yang cocok tidak selalu bisa diperoleh. Bila faktor lingkungan tersebut tidak
dapat dimanipulasi, maka faktor lingkungan tersebut menjadi faktor pembatas (limiting
factor). Berdasarkan hukum ekologi faktor pembatas Liebig maka pertumbuhan dan hasil
4
tanaman ditentukan oleh faktor pembatas tersebut walaupun faktor lain dalam kondisi
optimum.
Tanaman membutuhkan radiasi cahaya matahari sebagai sumber energi untuk
menggerakkan proses-proses biokimia dalam fotosintesis. Naungan membuat ketersediaan
cahaya, terutama intensitas berkurang. Dalam keadaan ternaungi cahaya menjadi faktor
pembatas. Perbedaan karakteristik tanaman sebagaimana diatur oleh gennya menyebabkan
kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi ternaungi berbeda pula.
Walaupun sumber cahaya adalah sama yaitu matahari, namun banyaknya penyerapan
energi matahari oleh sehelai daun bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan antara
lain oleh halangan awan di atmosfer, naungan di atas tanaman, atau bahkan oleh bagian
tanaman (daun) yang lain.
Fotosintesis bersih tajuk adalah jumlah fotosintesis daun total. Fotosintesis ini
menghasilkan sukrosa dan pati yang selanjutnya dengan hara mineral yang diabsorbsi
disintesis menjadi bahan kering tanaman. Energi yang digunakan untuk menyusun bahan
kering juga berasal dari hasil fotosintesis. Bahan kering tanaman ini bisa berupa tajuk, akar,
dan biji (Gardner et al, 1990).
Energi yang tersimpan dalam karbohidrat kemudian
bisa dipakai untuk sintesis
protein, enzim serta absorbsi hara. Baik enzim maupun hara penting bagi proses produksi
kedelai. Pada kedelai bintil akar juga mensuplai hara N. Pembentukan bintil memerlukan
sukrosa hasil fotosintesis. Pengurangan energi yang diterima tanaman menyebabkan
penurunan hasil fotosintesis yang pada giliran berikutnya menurunkan cadangan energi,
bahan kering tanaman (termasuk daun), dan pertumbuhan bintil. Akhirnya, berkurangnya
penyerapan energi matahari menyebabkan penurunan produksi tanaman (Gambar 1).
Radiasi matahari optimum untuk fotosintesis kedelai adalah berkisar antara 0.3 – 0.8
kal cm-2 mnt-1. Pada radiasi 0.430 kal cm-2 mnt-1 fotosintesis mencapai maksimum (White
dan Izquierdo, 1993). Pengurangan intensitas radiasi matahari yang ditimbulkan oleh
naungan bisa menyebabkan cekaman yang selanjutnya menyebabkan strain yang kemudian
menyebabkan penurunan hasil biji per tanaman.
Penelitian tentang naungan pada kedelai menunjukkan bahwa reduksi cahaya menjadi
40 % sejak perkecambahan sampai panen menurunkan jumlah buku, cabang, diameter
5
batang, jumlah polong dan hasil biji kedelai. Perlakuan tersebut pada awal pengisian polong
menurunkan jumlah polong, hasil biji, dan kandungan protein biji (Baharsjah et al, 1985).
Penelitian tentang naungan juga dilaporkan oleh Sunarlim (1985). Naungan pada
penelitian tersebut menyebabkan antara lain kenaikan kandungan klorofil daun dan bobot
100 biji, penurunan jumlah polong dan produksi biji per tanaman. Penelitian ini menunjukkan
bahwa naungan tidak mempengaruhi kadar N daun, bobot spesifik daun secara nyata.
Namun, penelitian ini belum membedakan respon yang berbeda antar genotipe yang
berbeda ketenggangannya.
Naungan 50% menyebabkan penurunan produksi biji antara 0 – 46% terhadap
kontrol. Ceneng dan B613 menunjukkan paling toleran, sedangkan Godek paling peka
(Sopandie et al, 2002). Selanjutnya, Ceneng dan Godek bisa menjadi model dan bahan
tanaman yang utama untuk penelitian dan pengembangan, yang masing-masing mewakili
genotipe toleran dan peka.
Pemuliaan tanaman kedelai telah dilakukan pada kondisi naungan ringan (33 %) yaitu
pada tumpang sari dengan jagung, sedangkan pada kondisi naungan berat (50 %) yaitu pada
tumpang sari dengan tanaman perkebunan belum pernah dilakukan. Penurunan hasil kedelai
dengan naungan ringan seperti tumpang sari jagung - kedelai mencapai 2 - 56%. (Asadi et
al, 1997). Peningkatan cekaman (stres) cahaya dalam bentuk naumgan 50% akan
menyebabkan strain dan pengurangan hasil lebih besar.
Program pemuliaan untuk memperoleh varietas kedelai unggul toleran naungan
dilakukan dengan lima tahap yaitu: (a) pencarian sumber gen toleran, (b) hibridisasi, (c)
seleksi tanaman F2 - F5, (d) uji daya hasil, dan (e) uji adaptasi dan pelepasan varietas
unggul.
Strategi yang ditempuh adalah
menambah sumber gen toleran naungan dan
meningkatkan pengetahuan tentang mekanisme toleransi (Asadi et al., 1997). Untuk itu
penelitian dan pengetahuan tentang fisiologi tanaman perlu ditingkatkan.
Penelitian tentang mekanisme adaptasi sangat penting bagi pengembangan IPTEK
dan pembangunan pertanian. Evaluasi adaptasi di lapangan terhadap galur toleran naungan
yang berproduksi tinggi memerlukan informasi pendukung antara lain karakter anatomi,
morfologi, dan fisiologi yang berkaitan dengan mekamisme adaptasi terhadap naungan. Studi
fisiologi memberi informasi berharga untuk menuntun atau menentukan pilihan-pilihan dalam
manajemen budidaya dan saran strategis untuk pemuliaan tanaman. Proses-proses fisiologi
6
tertentu menentukan hasil (yield) tanaman. Pengetahuan tentang proses fisiologi yang
menentukan hasil inilah yang dipakai untuk menduga potensi hasil dan toleransi cekaman.
Dengan pengetahuan yang meningkat, maka keuntungan praktispun akan segera dapat
diperoleh (White dan Izquierdo, 1993).
Studi fisiologi terhadap tanaman toleran naungan akan memberi banyak manfaat
mengingat keterkaitan naungan dengan proses fisiologi dalam tanaman. Sebuah studi
(Kerstiens, 1998) menunjukkan adanya dugaan bahwa tanaman toleran naungan dapat
menghasilkan bahan kering lebih tinggi dengan perlakuan penambahan CO2 dibanding
tanaman yang peka naungan.
Informasi tentang pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan fisisologi kedelai
seyogyanya bisa dirunut dari hasil penelitian tanaman padi yang dinaungi. Pada kondisi
ternaungi, genotipe padi gogo toleran naungan mempunyai kemampuan intersepsi cahaya
dan kandungan klorofil a dan b yang lebih tinggi. Kelompok ini juga mampu
mempertahankan sintesis pati dan sukrosa serta aktivitas sukrosa fosfat sintase (Lautt et al,
2000) dan enzim rubisco (Sopandie et al, 2003a) lebih tinggi dibanding kelompok peka
naungan pada saat dinaungi. Informasi ini menunjukkan bahwa padi gogo toleran naungan
memiliki kemampuan penghindaran dan toleransi yang lebih baik daripada yang peka pada
kondisi naungan berat.
Pada kedelai informasi tersebut belum terungkap sehingga perlu dilakukan penelitian.
Hasil penelitian yang mengungkapkan perbedaan perubahan karakter bisa mengungkapkan
mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap naungan apakah melalui mekanisme
penghindaran atau mekanisme toleransi atau keduanya.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi tentang (1) produktivitas delapan
genotipe kedelai pada empat tingkat intensitas cahaya yang berbeda serta (2) karakter
tanaman mana yang berhubungan dengan adaptasi tanaman terhadap kondisi naungan di
bawah tegakan pohon. Informasi pertama (produktivitas) akan menjadi dasar bagi
penentuan pilihan genotipe kedelai yang sesuai bagi lahan-lahan berintensitas cahaya rendah.
Informasi kedua akan menjadi dasar bagi penentuan sumber gen untuk pemuliaan tanaman
yang mampu beradaptasi dengan kondisi naungan di bawah tegakan tanaman perkebunan
atau kehutanan.
7
Penerapan hasil penelitian ini berupa peningkatan produksi produksi pertanian
khususnya kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman dan pemanfaatan lahan tidur.
Selanjutnya, hasil penelitian ini akan memberi dampak dalam:
a. peningkatkan kualitas lingkungan, khususnya kesuburan tanah dan perlindungan tanah
terhadap erosi,
b. perlindungan hutan dan perkebunan dari kerusakan akibat penebangan dan penga-lihan
fungsi atau penyerobotan,
c. peningkatan ketahanan pangan dan keamanan sosial melalui penyediaan sumber pangan
berkualitas gizi baik.
Kerangka Pemikiran
Sekitar 75 persen (600 000 ha) kedelai dibudidayakan secara tumpang sari.
Kebanyakan berupa tumpang sari jagung - kedelai dan kedelai-ubi kayu. Tajuk pada jagung
dan ubi kayu memberi naungan maksimal 33%. Karena itu penelitian naungan pada kedelai
selama ini dilakukan pada naungan 33% (Asadi, et al, 1997).
Pemanfaatan lahan-lahan di bawah tegakan pohon perlu ditingkatkan mengingat
kecenderungan penurunan luas panen kedelai secara nasional. Lahan tidur dan tak
termanfaatkan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan kehutanan berpotensi cukup
besar untuk pengembangan kedelai. Namun, upaya pengembangan kedelai tersebut
menghadapi kendala, terutama pada ketersediaan galur-galur yang toleran naungan. Tajuk
pohon karet memberi naungan yang lebih besar dari 33% apabila karet telah berumur 2
tahun (Lampiran 1). Karena itu perlu penelitian untuk naungan berat (50%) bila kita hendak
mengembangkan kedelai di bawah tegakan pohon karet umur 2 tahun.
Penelitian kedelai pada naungan berat dimulai dengan mengevaluasi 75 genotipe
kedelai yang selama pertumbuhannya diberi naungan 50% dan kemudian disaring menjadi
20 genotipe (Elfarisna, 2000). Setelah itu dilakukan pengkajian ulang terhadap 20 genotipe
hasil penyaringan tersebut secara in situ pada lahan di bawah pohon karet pada areal
perkebunan di Sukabumi (Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001). Kemudian dilakukan
penelitian tentang karakter agronomi. anatomi dan morfologi pada beberapa genotipe yang
dipilih. Dari penelitian-penelitian di atas diperoleh antara lain 4 genotipe toleran, yaitu
Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas; 1 genotipe moderat, yaitu Wilis; 3 genotipe
peka, yaitu Klungkung Hijau, MLG2999, dan Godek (Sopandie et al, 2002).
8
Menurut Levitt (1980) tanaman mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah
melalui mekanisme penghindaran dan toleransi. Mekanisme penghindaran defisit cahaya
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleransi
terhadap defisit cahaya diperoleh melalui kemampuan tanaman mengurangi respirasi,
mengurangi derajat penurunan aktivitas enzim dan kerusakan pigmen.
Merunut dan membandingkan penelitian naungan yang telah dilakukan pada kedelai
dan padi gogo, maka terdapat beberapa informasi yang belum terungkap pada kedelai
tentang mekanisme penghindaran dan toleransi. Gambar 2 menunjukkan skema pengaruh
cahaya terhadap tanaman serta mekanime penghindaran dan toleransi berdasarkan hasil
penelitian yang telah diperoleh.
Perubahan anatomi dan morfologi sebagai mekanisme penghindaran telah dilakukan
untuk beberapa genotipe (Sopandie et al, 2002; Sopandie et al, 2005). Namun,
mekanisme penghindaran untuk genotipe lain juga perlu diteliti. Perubahan karakter daun
akibat perlakukan cahaya ekstrim (gelap total) juga belum pernah dilakukan. Selain itu,
pembahasan tentang persentase perubahan karakter daun yang berhubungan dengan
mekanisme penghindaran perlu dipertajam.
Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa padi toleran mampu mempertahankan
kandungan rubisco dan aktivitasnya tetap tinggi (Sopandie et al, 2003a). Genotipe padi
gogo yang toleran naungan juga memiliki rasio sukrosa/pati dan aktivitas enzim sukrosa
fosfat sintase (SPS) lebih tinggi dibanding padi peka naungan saat dinaungi 50% (Lautt et al,
2003). Selanjutnya, genotipe padi gogo yang toleran naungan memiliki tingkat respirasi
gelap lebih rendah dibanding yang peka Semua peubah tersebut menunjukkan mekanisme
adaptasi melalui toleransi yang belum diungkap pada kedelai.
Penelitian dalam disertasi ini mengkaji perubahan karakter fisiologi akibat naungan yang
pernah dilakukan pada padi tetapi belum dilakukan pada kedelai, yaitu komponen nitrogen
(N) daun, aktivitas enzim rubisco, aktivitas enzim SPS, kandungan sukrosa dan pati daun.
Selain itu juga dilakukan penelitian perlakuan cahaya dalam waktu singkat secara on/off
yang bisa menggambarkan penyembuhan setelah cekaman naungan, adaptasi terhadap
naungan, dan pendugaan respirasi gelap. Alur penelitian disertasi ini dipaparkan pada
Gambar 3.
9
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap
intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran (avoidance) maupun toleransi
(tolerance). Mekanisme tersebut dikaji berdasarkan respon berbagai genotipe kedelai
terhadap intensitas cahaya rendah melalui perubahan karakter produksi, karakteristik daun,
dan fisiologi yang berhubungan dengan fotosintesis dan respirasi.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Intensitas cahaya rendah menyebabkan penurunan produksi lebih besar pada
genotipe peka daripada genotipe toleran
b. Genotipe toleran menunjukkan perubahan karakter daun yang lebih besar daripada
genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme penghindaran lebih baik.
c. Genotipe toleran naungan mengalami perubahan karakter fisiologi lebih kecil
daripada genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme toleransi lebih baik
10
Cahaya Matahari
Penyerapan Cahaya
oleh Tanaman
Fotosintesis Daun
Fotosintesis Daun
Fotosintesis Daun
pada masa vegetatif
pembentukan source
Fo t o s i n t e s i s B e r s i h T a j u k
Bahan Kering Tanaman
Tajuk
(source atau sink)
Akar
Biji
(sink)
(sink)
realokasi pada masa
generatif/pengisian polong
pembentukan
bintil akar
sintesis enzim
absorbsi hara
metabolisme hara
sukrosa hasil
fotosintesis
pemanfaatan energi
hasil respirasi tajuk
Gambar 1. Hubungan ketersediaan energi cahaya dengan proses metabolisme untuk
produksi biji kedelai (Gardner et al, 1990)
11
11
Kekurangan Cahaya
Kerkurangan cahaya
karena naungan
Mengakibatkan (pada kedelai):
- Penurunan hasil biji
- Penurunan laju fotosintesia aktual dan maksimum
- Tetap menghasilkan butir pati
- Perkembangan membran tilakoid tetap baik
- Perubahan jumlah cabang utama
- Menambah panjang (tinggi) tanaman (etiolasi)
Respon untuk menghindari defisit cahaya dengan meningkatkan
efisiensi penangkapan cahaya (pada padi dan kedelai):
- Peningkatan kandungan klorofil a
- Peningkatan kandungan klorofil b
- Penurunan rasio kandungan klorofil a terhadap klorofil b
- Peningkatan rasio luas/ bobot daun
- Penipisan daun, pengurangan bulu daun
Kerkurangan cahaya
karena kondisi gelap
Mengakibatkan (pada kedelai):
- Penurunan bobot kering kedelai
- Fotosintesis bersih negatif
- Tidak menghasilkan butir pati
- Tilakoid tidak berkembang
1. Perlakuan singkat on/off
2. Perlakuan variasi pergiliran gelapnaungan/ terang
Mengakibatkan:
- Perubahan kandungan
karbohidrat daun?
- Adaptasi dan penyembuhan?
-
Respon untuk toleran terhadap kondisi defisit
cahaya (pada padi):
- Mempertahankan perimbangan kandungan
sukrosa/pati dan aktivitas enzim SPS dan
rubisco tetap tinggi
- Kandungan N terlarut daun meningkat
Respon untuk toleran
dengan menurunkan
tingkat respirasi gelap
(pada padi)
12
Gambar 2. Respon tanaman terhadap kekurangan cahaya (Baharsjah et al, 1985; Khumaida, 2002; Lautt et al, 2000; Sopandie et al, 2003a;
Sopandie et al, 2005; Taiz dan Zeiger, 1991)
13
Studi Pendahuluan
Evaluasi 75 genotipe
(Elfarisna, 2000)
Perbanyakan Benih
Percobaan di
Sukabumi
Penelitian
Disertasi
Percobaan
1-A
Penelitian
Disertasi
Percobaan
I-B
Penelitian
Disertasi
Percobaan II
Evaluasi Ulang terhadap Daya Adaptasi in situ
(Percobaan di Bawah Tegakan Pohon Karet di Sukabumi)
(Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001)
Penelitian Disertasi
Produktivitas dan Mekanisme Adaptasi Kedelai
pada Naungan Sejak Tanam sampai Panen
(Percobaan di Kebun Cikabayan IPB)
1. Respon delapan genotipe terhadap naungan
- Produksi (penelitian 1)
2. Identifikasi karakter struktur daun (penelitian 2)
- morfologi dan anatomi daun
- klorofil
3. Identifikasi karakter fisiologi (penelitian 3)
- aktivitas enzim rubisco
- perimbangan sukrosa/pati
- N daun
- aktivitas enzim SPS
Penelitian Disertasi
Studi Mekanisme Adaptasi pada Cekaman Ekstrim (on/off)
melalui Variasi Pergiliran Gelap - Terang
(Percobaan di Kebun Cikabayan IPB)
1. Perubahan struktur daun (penelitian 2)
2. Perubahan fisiologi (penelitian 3)
14
Gambar 3. Alur penelitian dan sumber benih.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai (Glycine max
(L) Merrill) merupakan anggota keluarga Papilonaceae.
Kedelai adalah tanaman semusim berbentuk semak-semak rendah, tumbuh tegak dengan
panjang batang antara 100 – 200 cm. Akar kedelai bisa membentuk bintil akar yang
berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni bakteri Rhizobium japonicum.
Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) antara bakteri dengan kedelai ini terjadi
karena bakteri memperoleh karbohidrat dari hasil fotosintesis kedelai, sedangkan kedelai
memperoleh suplai nitrogen yang ditambat dari udara (Hidayat, 1985).
Jumlah buku dan panjang ruas kedelai tergantung genotipe, panjang hari, dan tipe
tumbuh. Pembentukan buku pada tanaman selesai pada umur 35 hari. Jumlah buku, cabang
dan diameter batang bisa turun bila lingkungan tumbuhnya kekurangan cahaya (Lersten dan
Carlson, 1987).
Agronomi dan Produksi Tanaman
Kemampuan kedelai untuk berproduksi tergantung kepada potensi genetik yang
tersimpan dalam benihnya serta lingkungan tumbuhnya yang mensuplai cahaya, air, dan hara
mineral (Iowa State University, 1994). Bahan kering total kedelai merupakan hasil tajuk
tanaman dalam memanfaatkan radiasi matahari yang tersedia selama masa pertumbuhan.
Proses yang menentukan produksi tanaman adalah akumulasi dan partisipasi bahan kering.
Akumulasi bahan kering merupakan pertumbuhan tanaman dan hasil langsung dari
keseimbangan fotosintesis dan respirasi serta kehilangan karena senesens dan absisi.
Partisipasi adalah keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif (Gardner et al,
1990).
Pertumbuhan tanaman pada dasarnya disebabkan pertambahan atau pembesaran sel.
Proses pembesaran sel dimulai dari air yang berdifusi ke dalam sel sehingga menimbulkan
tekanan hidrostatis. Tekanan hidrostatis ini menekan dinding sel ke arah luar sehingga sel
mengembang dan membesar (Taiz dan Zeiger, 1991; Salisburry dan Ross, 1992).
Akumulasi bahan kering tanaman sangat ditentukan oleh kapasitas fotosintesis tajuk dan
respirasi tajuk. Produksi tanaman akan lebih tinggi pada tanaman yang mempunyai respirasi
tajuk lebih rendah. Respirasi tajuk terdiri atas respirasi gelap dan fotorespirasi (Gardner et
16
al, 1990). Respirasi gelap ini bisa untuk pertumbuhan atau pemeliharaan (Smith, 1997).
Akhirnya, produksi biji kedelai tergantung kepada kekuatan biji sebagai sink untuk
menarik biomasa menjadi biomasa biji ( Shibels et al, 1987).
Produksi tanaman ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan
ialah penambahan pada ukuran tanaman, berupa jumlah daun, jumlah buku, tinggi dan bobot
kering tanaman. Perkembangan menyangkut perubahan fase siklus hidup, yaitu
perkecambahan, inisiasi cabang bunga, pembungaan, dan pengisian biji (White dan
Izquierdo, 1993).
Kapasitas dan laju fotosintesis daun kedelai sangat dipengaruhi oleh usia daun dan
kondisi lingkungan (Shibels et al, 1987). Laju fotosintesis daun meningkat sejalan dengan
pertambahan luasnya, lalu mencapai maksimum untuk beberapa lama yang tergantung pada
genotipe dan posisi daun, kemudian menurun. Penurunan ini disebabkan terutama oleh
kehilangan kapasitas fotosintesis, disamping penurunan konduktansi stomata terhadap air
dan udara. Penurunan kapasitas fotosintesis ini berkorelasi positif dengan pengurangan N
dan aktifitas mobilisasi.
Saat intensitas cahaya rendah kecepatan fotosintesis berbanding lurus (linear) dengan
PPFD (photosynthetic photon flux density). Semakin bertambah intensitas cahaya,
perbandingan tersebut semakin mengecil sampai mencapai laju fotosintesis maksimum. Laju
fotosintesis daun kedelai maksimum dicapai pada saat radiasi 300 W m-2 atau 0.430 kal cm-2
mnt-1 (White dan Izquierdo, 1993).
Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa genotipe Ceneng (toleran),
Pangrango (toleran), Orba (moderat), dan Godek (peka) mencapai fotosintesis maksimum
pada intensitas cahaya yang sama yaitu sekitar 1500 µmol cm-2 dtk-1. Baik pada kedelai
yang beradaptasi terhadap cahaya penuh maupun yang ternaungi fotosintesis maksimum
dicapai pada intensitas cahaya yang sama.
Namun, laju fotosintesis dan fotosintesis
maksimum lebih rendah pada kedelai yang ternaungi.
Fotosintesis bisa turun bila permintaan (kebutuhan) di jaringan yang sedang tumbuh
kecil. Ini terjadi karena permintaan (demand) yang rendah menyebabkan laju transpor hasil
fotosintes keluar dari jaringan daun juga kurang. Akibatnya, akumulasi pati di daun
meningkat. Akumulasi pati di daun menghambat fotosintesis (White dan Izquierdo, 1993;
Shibels et al, 1987)
17
Fotosintesis
Cahaya berperan sangat penting dalam kehidupan tanaman. Cahaya mempengaruhi
pertumbuhan produksi biomasa tanaman melalui fotomorfogenesis dan fotosintesis. Total
energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman tergantung kepada laju fotosintesis
per unit area dan luas bagian tanaman yang menerima cahaya. Kecepatan fotosintesis
tergantung kepada cahaya, umur daun, tahap perkembangan tanaman, kandungan N daun,
status air, temperatur, konsentrasi CO2, dan distribusi (penyebaran) daun (Raper dan
Kramer, 1987). Di bawah kondisi suhu 20 - 30o C dan kelembaban optimum, serta jenuh
cahaya bisa diketahui AP (apparent photosynthesis) potensial kedelai yang juga
mencerminkan aparatus fotosintesis (Shibels et al, 1987).
Hasil fotosintesis tajuk ditentukan oleh efisiensi fotosintesis daun dan penerimaan
cahaya. Kapasistas penerimaan cahaya tergantung antara lain oleh banyaknya radiasi dan
efisiensi penerimaannya (Gardner et al, 1990). Dengan kata lain, akumulasi bahan kering
tergantung kepada banyaknya radiasi cahaya tersedia dan kemampuan tanaman menangkap,
menyerap, dan memanfaatkan cahaya. Jadi naungan akan menyebabkan produksi biji
kedelai turun karena radiasi tersedia yang sampai ke badan tanaman berkurang. Dalam hal
kapasitas, naungan tidak menyebabkan penurunan yang signifikan.
Proses Fotosintesis
Peranan fotosintesis sangat penting dalam manajemen produksi tanaman karena hampir
semua produksi tanaman didominasi oleh komponen karbohidrat yang merupakan hasil akhir
fotosintesis. Sementara itu, metabolisme lipid dan protein yang juga merupakan komponen
hasil utama memerlukan unsur karbon hasil fotosintesis.
Dalam fotosintesis energi cahaya diserap oleh klorofil dan berbagai pigmen. Pada
fotosintesis energi matahari digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi gula. Klorofil adalah
pigmen hijau penyerap cahaya: Chl + hν → Chl*. Energi cahaya yang ditangkap digunakan
untuk penggerak tranfer elektron dalam rangkaian energi sehingga terbentuk senyawa
berenergi tinggi yaitu NADPH dan ATP. Terbentuknya senyawa ATP dan NADPH ini
menandai berakhirnya reaksi cahaya dalam fotosintesis, untuk berlanjut kepada reaksi
gelap. Dalam reaksi gelap energi yang tersimpan dalam ATP dan NADPH digunakan untuk
menambat dan mengubah CO2 menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger, 1991).
18
Pada dasarnya fotosintesis adalah suatu reaksi redoks yang digerakkan oleh cahaya.
Reaksi fotosintesis terdiri atas 3 tahapan yaitu: (1) tahap antena menangkap cahaya dan
mentransfernya ke pusat reaksi, (b) tahap rangkaian reaksi transfer elektron dan
fotofosforilasi, serta (c) metabolisme karbon. Metabolisme karbon adalah suatu rangkaian
proses reaksi yang disebut siklus PCR (photosinthetic carbon reduction). Siklus PCR
terdiri atas karboksilasi, reduksi, dan regenerasi. Dalam karboksilasi CO2 masuk siklus
PCR melalui reaksinya dengan ribulose 1, 5 bisphosphate (RuBP) yang menghasilkan 3phosphoglycerate (3-PGA). Reaksi ini dikatalisis oleh enzim ribulose bisphosphate
carboxylase/ oxygenase (rubisco). Kelompok tanaman yang menangkap CO2 atmosfir
dengan RuBP disebut tanaman C3. Salah satunya ialah kedelai.
Tanaman C3 dan Fiksasi Karbon
Produksi tanaman sangat ditentukan oleh produksi bahan kering yang dalam fisiologi
ditentukan oleh selisih CO2 udara yang diserap melalui fotosintesis dan CO2 yang dilepas
tanaman melalui respirasi. Selama pertumbuhan umumnya respirasi tanaman menggunakan
25 - 30 % total fotosintesis sehingga ada selisih positif yang digunakan untuk pertumbuhan
(akumulasi) bobot kering. Bila respirasi lebih tinggi daripada fotosintesis (tanaman diletakkan
dalam gelap sehingga tidak ada fotosintesis) maka bobot tanaman akan berkurang (Gardner
et al., 1990).
Berdasarkan perbedaan proses fiksasi karbondioksida tanaman bisa digolongkan
menjadi tanaman C3, C4, dan CAM. Kedelai dimasukkan ke dalam tanaman C3 yang
efisien memanfaatkan cahaya (Gardner et al, 1990 dan Specht, 1999). Pada tanaman C3
karbondioksida atmosfer diikat oleh RuBP menjadi 3-PGA yaitu suatu molekul 3-karbon.
Tanaman C4 menangkap CO2 udara dengan fosfoenol piruvat (PEP) untuk menghasilkan
molekul 4-karbon. Fiksasi CO2 pada tanaman CAM juga menghasilkan molekul 4-karbon.
Perbedaannya, pada CAM karbondioksida diikat pada malam hari (yaitu saat stomata
terbuka maksimum) dengan menggunakan energi glikolisis. Pada siang terik dan stomata
tertutup tanaman CAM hanya menjalankan reaksi terang. Jika kondisi air mencukupi
beberapa tanaman CAM juga bisa bertindak seperti tanaman C3 (Gardner et al., 1990;
Taiz dan Zeiger, 1991)
Fiksasi CO2 menjadi 3-PGA dikatalisis oleh enzim ribulose bis-phosphate (RuBP)
carboxylase/oxygenase atau rubisco. ATP dari hasil fotofosforilasi digunakan untuk
19
mengubah riboluse-5-phosphat menjadi RuBP. ATP dan NADPH hasil reaksi terang juga
digunakan untuk mengubah 3-PGA menjadi 3-PGAld. Keseluruhan proses ini disebut siklus
Calvin. Pada tanaman C3 siklus Calvin berlangsung di sel mesofil.
Pada tanaman C4 fiksasi CO2 udara oleh PEP dikatalisis oleh enzim phosphoenol
pyruvate (PEP) carboxylase. ATP hasil fotofosforilasi digunakan untuk mengubah piruvat
menjadi PEP. Penangkapan CO2 udara oleh PEP berlangsung di sel mesofil, tetapi siklus
Calvinnya berlangsung di sel seludang pembuluh (Gardner et al., 1990; Taiz dan Zeiger,
1991)
Selain perbedaan dalam proses penangkapan CO2 tanaman C3 dan C4 juga berbeda
dalam hal berikut, yaitu: (a) anatomi, (b) efisiensi penangkapan CO2 dan kecepatan
fotosintesis, dan (c) kandungan rubisco dan adaptasi. Tanaman C4 memiliki kloroplas di sel
seludang pembuluh, sedangkan tanaman C3 tidak punya. Untuk tanaman C3, kloroplas di
mesofil menjadi tempat bagi pengikatan CO2, proses siklus Calvin, dan akumulasi pati.
Untuk tanaman C4, pati tidak terbentuk di sel mesofil karena siklus Calvin berlangsung di sel
seludang (Gardner et al., 1990).
Tanaman C4 mempunyai tingkat efisiensi pengikatan CO2 dan kecepatan fotosintesis
lebih tinggi, tetapi efisiensi pemakaian energi lebih rendah. Enzim PEP karboksilase
mempunyai afinitas terhadap CO2 lebih tinggi dibanding rubisco sehingga pada level CO2
rendah fotosintesis tanaman C4 lebih efisien. Karena itu, pada intensitas cahaya tinggi
tanaman C4 mempunyai efisiensi fotosintesis lebih tinggi. Namun, efisiensi energi pada
tanaman C4 lebih rendah karena sebagian ATP digunakan untuk membentuk PEP. Jadi
pada kondisi intensitas cahaya rendah, hasil fotosintesis berupa karbohidrat bisa lebih rendah
(Gardner et al., 1990)
Tanaman C3 mempunyai kandungan rubisco per bobot kering daun lebih tinggi
dibanding tanaman C4. Tetapi, tanaman C3 tidak memiliki enzim PEP karboksilase. Karena
stomata menutup pada kondisi kering dan panas, maka tanaman C4 yang efisien dalam
menangkap CO2 akan lebih adaptif untuk ditanam pada daerah kering dan panas dibanding
tanaman C3 (Gardner et al, 1990). Dengan demikian tanaman C4 lebih responsif terhadap
perubahan radiasi cahaya daripada tanaman C3.
Rubisco juga mengikat O2 selain CO2. Pengikatan O2 menyebabkan terjadinya proses
fotorespirasi yang menghasilkan CO2. Fotorespirasi pada tanaman C3 jauh lebih besar
20
dibanding tanaman C4. Pada tanaman C4 fotorespirasi sangat rendah karena CO2
dikonsentrasikan terlebih dulu di sel-sel seludang pembuluh. Pengkonsentrasian CO2 ini
menyebabkan rasio CO2 terhadap O2 meningkat sehingga lebih cocok untuk RuBP
karboksilase daripada RuBP oksigenase. Fotorespirasi memungkinkan aminasi untuk sintesa
asam amino dan mempertahankan fosfat inorganik bersiklus sehingga lebih cocok dan
menguntungkan pada kondisi intensitas cahaya rendah dan temperatur sejuk (Gardner et al.,
1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Hampir semua tanaman lantai hutan tergolong tanaman C3
(Smith, 1997). Tanaman C3 teraklimisasi pada cahaya rendah karena memiliki laju respirasi
gelap rendah dan titik jenuh cahaya yang rendah (Salisburry dan Ross, 1992).
Daun dan Produksi Tanaman
Daun tanaman budidaya kebanyakan mempunyai (a) permukaan luar rata dan luas, (b)
lapisan pelindung atas dan bawah, (c) beberapa stomata per satuan luas, (d) ruang udara
yang saling berhubungan di dalamnya, (e) sejumlah banyak kloroplas, dan (f) saluran
pembuluh. Yang ideal untuk fotosintesis ialah daun yang bertebal satu sel untuk
memaksimumkan intersepsi cahaya per unit volume dan meminimumkan jarak yang harus
dilalui untuk pertukaran gas (Gardner et al., 1990).
Daun juga perlu perlindungan terhadap lingkungan, maka daun juga perlu beberapa
lapis sel dan lapisan permukaan pelindung. Lapisan kutikula dan lilin bersifat transparan dan
dapat dilalui cahaya, tetapi tidak dapat dilalui CO2. Karena itu daun mempunyai jendela
pada permukaannya berupa stomata (Gardner et al., 1990).
Anatomi Daun dan Stomata
Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun, berbentuk tiang,
dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk barisan dengan satu lapisan
atau dua lapisan. Panjang selnya bisa sama atau semakin mengecil bila menuju ke bagian
tengah mesofilnya (Lersten dan Carlson, 1987).
Stomata terletak di bagian epidermis. Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas
antara jaringan dalam tumbuhan dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata
tersebar pada epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua
permukaan daunnya.
Kerapatan stomata daun berbeda-beda. Pada kedelai yang pernah diteliti kerapatan
stomata antara 130 – 316 per mm2. Banyaknya stomata bisa berkurang bila kedelai ditanam
21
di tempat yang cahayanya kurang (Lersten dan Carlson, 1987). Penurunan stomata karena
naungan juga terjadi pada manggis (Garcinia mangostana) (Wiebel et al, 1999) dan
Amborella trichopoda (Field et al, 2001). Penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan
bahwa naungan 50% menyebabkan penurunan kerapatan stomata. Dalam hal ini kelompok
genotipe toleran mengalami persentase penurunan lebih sedikit dibanding genotipe peka,
yaitu masing-masing 12% dan 32%.
Ketersediaan cahaya dan konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas bagi kecepatan
fotosintesis tumbuhan. Untuk mengefektifkan penerimaan dan penangkapan cahaya susunan
sel-sel palisade dan bunga karang dibuat sedemikian sehingga cahaya bisa terdistribusi dalam
sel mesofil dan penangkapan cahaya secara total optimum. Tumbuhan juga bisa mengatur
letak kloroplas dan mengorientasikan daun sesuai dengan arah dan intensitas cahaya. Dalam
situasi ternaungi kloroplas mengumpul ke dekat lapisan epidermis sehingga daun tampak
lebih hijau (Taiz dan Zeiger, 1991).
Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis melalui
pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun tergantung kepada
banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata. Di sini stomata adalah
jendela yang bisa dilalui gas dan air. Konduktansi stomata mencerminkan kondisi
kemudahan stomata untuk pertukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar
pembukaan stomata maka semakin tinggi konduktansi stamota dan semakin tinggi
pertukaran CO2 per satuan luas daun. Karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan
level fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991).
Kloroplas
Kloroplas adalah tempat konversi energi yang bisa ditemukan hanya pada sel
fotosintesis. Ukurannya sekitar 5 x 2 x (1-2) µm. Organel ini dipisahkan oleh sitosol dengan
membran ganda (membran luar dan dalam). Kloroplas tergolong plastid yang memiliki
pigmen klorofil dan protein yang berhubungan dengan fotosintesis. Karena mengandung
klorofil maka kloroplas berwarna hijau. Kloroplas punya membran ketiga, yaitu tilakoid. Di
tilakoid inilah terdapat klorofil dan protein yang berfungsi dalam fotokimia di fotosintesis.
Stroma ialah bagian cairan yang mengelilingi tilakoid, sedangkan lamella ialah tilakoid yang
tidak bertumpuk (Taiz dan Zeiger, 1991; Gardner et al, 1990).
22
Stroma mengandung banyak ribosom, bahan protein, dan protein. Rubisco menempati
lebih 50 persen bagian dari protein stroma. Proses reduksi karbondioksida (reaksi gelap)
terjadi di stroma, sedangkan transformasi energi cahaya menjadi energi kimiawi (reaksi
terang) terjadi di lamela. Pembentukan potensi kimia terjadi karena transformasi energi
cahaya membentuk gradien proton antara sisi membran. Dengan bantuan enzim ATP sintase
perbedaan gradien digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP dan NADP menjadi
NADPH. Selanjutnya, ATP dan NADPH dipergunakan dalam proses perubahan
karbondioksida (CO2 ) menjadi karbohidrat, molekul -molekul organik serta proses biologi
lain (Gardner et al, 1990; Newcomb, 1990; Mullet, 1990).
Pigmen dalam kloroplas sebagian besar berupa klorofil (a dan b) serta karotenoid
(karotin dan xantofil). Klorofil merupakan pigmen fotosintesis yang terdapat pada membran
tilakoid dalam kloroplas. Pada tumbuhan tingkat tinggi, termasuk kedelai selalu terdapat dua
jenis klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H70O6N4Mg). Klorofil bergabung dalam
suatu kompleks yang disebut fotosistem.
Klorofil adalah pigmen penyerap cahaya utama. Karotenoid bisa tidak aktif, bisa
menyerap cahaya dan mentranfer elektron ke klorofil, atau mentrafer elektron antar
fotosistem. Cahaya yang diserap daun berbeda dengan yang diserap oleh kloroplas. Yang
paling banyak diserap oleh klorofil adalah cahaya merah, kemudian biru dan yang paling
sedikit adalah cahaya hijau (Gardner et al, 1990; Hall dan Rao, 1999). Cahaya yang
diserap daun tetapi tidak diserap klorofil, tidak dapat dimanfaatkan untuk fotosintesis.
Sel meristematik akar, tajuk, embrio, endosperma, dan daun muda yang sedang
berkembang berisi proplastid. Proplastid tidak berwarna. Proplastid tidak atau sedikit
memiliki membran dalam, tidak punya klorofil, serta perangkat fotosintesisnya tidak lengkap
untuk kerja fotosintesis. Perkembangan kloroplas dari proplastid di batang dan daun dipicu
oleh cahaya. Setelah terkena penyinaran proplastid membesar dan terjadi perubahan: (a)
enzym terbentuk dalam proplastid atau diimpor dari sitosol, (b) pigmen penyerap cahaya
terbentuk, (c) membran dalam berkembang cepat membentuk lamela stroma dan grana
(lamela yang bertumpuk) yang jelas (Taiz dan Zeiger, 1991; Newcomb, 1990)
Pada kecambah, kloroplas terbentuk hanya jika tajuk terkena cahaya. Jika tidak ada
cahaya proplastid berubah jadi etioplas. Proplastid berisi protoklorofil (perkusor pigmen
berwarna hijau kuning pucat). Beberapa menit setelah terkena cahaya proplastid
23
berdiferensiasi: (a) prolamela menjadi tilakoid dan lamela stroma (b) protoklorofil menjadi
klorofil. Kloroplas juga bisa kembali jadi etioplas bila dikenai gelap panjang (Gardner et al,
1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Kloroplas yang usang dan tidak berfungsi berubah menjadi
kromoplas. Di sini lamela stroma dan grana teracak dan klorofilnya hancur. Namun,
kromoplas juga bisa balik menjadi kloroplas (Newcomb, 1990).
Pada tanaman yang mengalami etiolasi, yaitu tanaman yang ditumbuhkan pada tempat
gelap secara terus menerus kloroplas tidak berkembang normal, tetapi menjadi etioplas.
Etioplas berwarna kuning karena adanya protoklorofil, dan bukan klorofil. Membran
dalamnya disebut badan prolamelar. Bila menerima cahaya etioplas menjadi kloroplas
ditandai dengan: protoklorofil menjadi klorofil dan badan prolamelar menjadi grana dan
lamela stroma (Newcomb, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991).
Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil terdapat pada dua proses (Gambar 4),
yaitu pada regulasi ekspresi gen untuk komplek pemanen cahaya (gen cab) dan pada
perubahan protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil ( Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya,
seperti diperlihatkan pada Gambar 5 klorofil b bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Schoefs
dan Bertrand, 1997). Hambatan pembentukan gen cab bisa disebabkan oleh tingkat
kandungan karbohidrat yang tinggi pada daun (Madore, 1997).
Klorofil dan Adaptasi terhadap naungan
Tanaman merespon kondisi lingkungan berintensitas cahaya rendah dengan
meningkatkan kandungan klorofil, mengurangi ketebalan daun, dan mengurangi rasio klorofil
a terhadap klorofil b (Taiz dan Zeiger, 1991; Zhao dan Oosterhuis, 1998; Johnston dan
Onwueme, 1998).
Tumbuhan Atriplex triangularis memiliki adaptasi plastik terhadap ketersediaan
cahaya. Atriplex yang beradaptasi dan toleran naungan memiliki klorofil total per pusat
reaksi fotosintesis lebih tinggi. Selain itu, Atriplex yang toleran memiliki daun lebih tipis dan
rasio klorofil a/b lebih kecil dibanding yang kurang toleran. Daun yang beradaptasi terhadap
cahaya berlebih mempunyai protein terlarut tinggi, aktivitas rubisco tinggi, tingkat respirasi
tinggi dibanding yang yang beradaptasi terhadap lingkungan berintensitas cahaya rendah
(Taiz dan Zeiger, 1991). Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh cahaya, sehingga tanaman
toleran mungkin memerlukan intensitas cahaya minimal lebih rendah bagi pemicuan
pembentukan klorofil.
24
gen cab
hv
Pr
apoprotein Light Harvesting
Complex II
Pfr
hv
ALA
PChl
Chl
(klorofil dalam LHC II)
Gambar 4. Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil daun ( Mohr dan Schopfer, 1995)
PChl a
Pchl b
Chlide a
Chlide b
Chl a
Chl b
cahaya
Gambar 5. Peranan cahaya pada proses pembentukan klorofil a dan b (Schoefs dan
Bertrand, 1997).
Johnston dan Onwueme (1998) menunjukkan daun talas yang dinaungi memiki
kandungan klorofil lebih tinggi dan rasio klorofil a/b lebih rendah. Fenomena yang sama
diungkapkan oleh Zhao dan Oosterhuis (1998) terjadi pada kapas (Gossypium hirsutum).
Selanjutnya, Sopandie et al (2003) menunjukkan bahwa genotipe padi yang toleran naungan
meningkatkan jumlah klorofil lebih banyak, baik secara kuantitas maupun persentase bila
diberi perlakuan naungan. Rasio klorofil a/b (klorofil a terhadap klorofil b) pada kedua jenis
padi yang dinaungi menurun, tetapi penurunan pada genotipe yang toleran naungan lebih
besar.
25
Cahaya dan Tanaman
Matahari adalah sumber energi bagi kehidupan. Besarnya radiasi surya yang diterima
oleh suatu area di bumi pada satu hari dipengaruhi oleh: (a) sudut sinar terhadap titik
tersebut, (b) panjang hari, (c) besarnya atmosfir yang dilalui sinar, dan (4) partikel di
atmosfir. Pada daerah tropik sudut sinar dan panjang hari hampir tetap. Besarnya atmosfir
yang dilalui tergantung kepada waktu harian. Pada sekitar jam 12 siang matahari tepat tegak
lurus di atas, sehingga jarak atmosfer yang dilalui paling pendek. Pada pagi hari atau sore
hari matahari membentuk sudut lancip dengan permukaan bumi dan jarak atmosfir yang
dilalui sinar matahri lebih panjang. Pada daerah tropis basah partikel air (awan) dan asap
bisa menyebabkan cahaya yang sampai ke permukaan bumi berkurang (Gardner et al.,
1990).
Karakteristik Cahaya
Cahaya yang bisa dimanfaatkan untuk fotosintesis adalah cahaya tampak, yaitu cahaya
dengan panjang gelombang 400 - 700 nm. Spektrum cahaya pada gelombang tersebut
meliputi cahaya ungu, biru, hijau, kuning, oranye, merah. Cahaya infra merah (tidak termasuk
cahaya tampak) mempunyai panjang gelombang 700 - 1000 nm. Energi matahari berada
dalam foton yang bisa bergerak secara bergelombang. Reaksi cahaya pada proses
fotosintesis diawali saat absorpsi foton oleh pigmen klorofil.
PFD (photon flux density) adalah banyaknya foton yang mengenai suatu luasan
permukaan per satuan waktu. PPFD (photosyntetic photon flux density) atau PAR
(photosynthetically active radiation) adalah PFD yang terbatas pada panjang gelombang
paling efisien bagi fotosintesis yaitu 400 - 700 nm.
Intensitas cahaya rendah berarti cahaya ber-PFD rendah sehingga PPFD-nya juga
rendah. Pada situasi ternaungi oleh tanaman perkebunan atau paranet PPFD yang diterima
permukaan daun tidak konstan. Maka, besarnya foton yang diterima daun bukanlah hasil
perkalian PPFD (X) kali waktu (T) atau X.T, tetapi merupakan kumpulan hasil Xi.Ti setiap
saat atau ∑(Xi.Ti).
Sinar matahari yang berpengaruh terhadap tanaman meliputi tiga komponen, yaitu: (a)
energi radiasi atau intensitas cahaya, (b) lama penyinaran, (c) kualitas cahaya (panjang
gelombang). Sedikit perbedaan pada panjang gelombang bisa punya pengaruh banyak
terhadap tanaman, seperti pengaruh cahaya merah (red) dan merah panjang (far red).
26
Berdasarkan perbedaan responnya terhadap panjang hari tanaman digolongkan pada
tanaman hari netral, hari pendek dan hari panjang. Kedelai termasuk tanaman hari pendek
(Dennis, 1988; Tomkins dan Shipe, 1996). Pada panjang hari melebihi 15 jam kedelai tidak
atau terlambat berbunga. Dari berbagai percobaan diketahui bahwa yang menginduksi
pembungaan adalah panjang masa gelapnya. Perlakuan fotoperiodisme pada tahap R5 (awal
pembentukan biji) menunjukkan kandungan total karbohidrat nonstruktural (TNC) di daun
lebih besar pada perlakuan hari panjang daripada perlakuan hari pendek (Cure et al, 1985).
Efek paling nyata dari fotoperiodisme adalah: (a) jumlah buku dari batang utama, (b) tinggi
tanaman, (c) permulaan berbunga. (d) umur kematangan biji.
Energi cahaya rendah hanya untuk menginduksi inisiasi pembungaan, sementara untuk
perkembangan bunga selanjutnya diperlukan energi cahaya yang lebih tinggi. Buktinya,
produksi bunga turun drastis karena naungan. Pada apel penurunan menjadi 37%, 25% dan
11% cahaya penuh menurunkan pembungaan berturut-turut sebesar 40%, 56%, dan 76%
(Masaya dan White, 1993).
Cahaya dan Fitokrom
Durasi periode malam (gelap) diterjemahkan dalam sel tanaman oleh fitokrom (
Masaya dan White, 1993). Penghitungan malam dimulai dari suatu tingkat Pr dalam
tanaman. Semakin tinggi Pr berarti semakin banyak Pfr menyerap gelombang infra merah,
yaitu situasi gelap. Respon fotoperiodisme hanya perlu flux cahaya 15 lux. Ini sangat rendah
mengingat cahaya matahari normal sekitar 50 - 100 klux. Jadi pengaruh fotoperiodisme tidak
berhubungan dengan fotosintesis (Dennis, 1988).
Fitokrom seringkali dihubungkan dengan kondisi aktif suatu enzim karena perlakuan
cahaya. Fitokrom juga menyebabkan rangsangan terhadap pembentukan rubisco subunit
kecil, klorofil a dan b. Gen-gen yang mengatur pembentukan rubisco subunit kecil dan
protein klorofil a/b pada komplek penangkapan cahaya diaktifkan oleh cahaya melalui
mekanisme perubahan fitokrom (Taiz dan Zeiger, 1991).
Faktor Pembatas pada Fotosintesis
Kecepatan fotosintesis dibatasi dan ditentukan oleh langkah yang paling lambat.
Langkah yang paling lambat tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan seperti
ketersediaan cahaya, konsentrasi CO2 atau air. Kedua faktor tersebut bersama dengan
faktor dalam tanaman sendiri menentukan tiga langkah pembatas fotosintesis yaitu: aktivitas
27
rubisco, regenerasi RuBP, dan metabolisme triosfosfat. Kenyataan di alam menunjukkan
bahwa dua langkah pertama yaitu aktivitas rubisco dan regenarasi RuBP yang sering menjadi
faktor pembatas utama. Fakta bahwa daun yang dinaungi daun lain memiliki kecepatan
fotosintesis yang lebih rendah bisa disebabkan oleh faktor pembatas di atas (Taiz dan Zeiger,
1991).
Naungan pada padi menurunkan produktivitas karena perkembangan biji terganggu
dan indeks panen rendah. Naungan juga menyebabkan karbohidrat rendah dan nitrogen
terlarut meningkat sehingga banyak bakal biji menjadi seteril.
Selanjutnya, naungan
menyebabkan gula dan pati turun (Chaturvedi, 1994).
Hang et al (1984) menunjukkan bahwa naungan pada kedelai menurunkan bobot
spesifik daun dan kecepatan fotosintesis. Sebaliknya, penambahan cahaya pada akhir
pembungaan menambah biji, buku, cabang berpolong, polong per buku, biji per polong, dan
kandungan minyak kedelai. Naungan pada beberapa periode menurunkan bagian tanaman
sepert akar, tajuk, dan polong. Reed et al (1988) menyampaikan bahwa naungan selama
masa vegetatif maupun generatif menurunkan bobot kering tanaman kedelai. Sedikit
berbeda, pengurangan penyinaran ternyata meningkatkan panjang tajuk pada rumput lapang
(Poa pratensis L). Penambahan tajuk ini dikompensasi dengan pertumbuhan akar yang
menurun (Stier et al, 1999).
Naungan dan Produksi Tanaman
Pengaruh naungan terhadap produksi tanaman bisa diketahui dari hubungan cahaya
dan ATP untuk menghasilkan produk fotosintesis.
Cahaya berperan sebagai sumber
penggerak dalam mesin-mesin fotosistem yang dapat menghasilkan ATP. Intensitas cahaya
rendah yang disebabkan oleh naungan akan mengurangi ATP yang dihasilkan dalam reaksi
terang fotosintesis. Selanjutnya, ATP yang terbentuk merupakan sumber energi dalam reaksi
gelap fotosintesis (Lawlor, 1987). Percobaan yang dilakukan Khumaida (2002)
menunjukkan bahwa naungan menyebabkan penurunan laju fotosintesis pada semua
genotipe kedelai yang diuji.
Pertumbuhan dan hasil tanaman tergantung fotosintesis yang sedang berlangsung dan
asimilat yang tersimpan. Jika fotosintesis kini dibatasi oleh cekaman lingkungan, tanaman
tergantung kepada asimilat yang tersimpan. Karbohidrat simpanan berperan penting dalam
metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan toleransi cekaman. Pati adalah karbohidrat
28
simpanan terpenting, sedangkan sukrosa adalah karbohidrat dapat ditranspor yang
terpenting (Chaturvedi et al, 1994).
Naungan dapat menyebabkan penurunan produksi kedelai dan komponen
produksinya. Komponen produksi yang menurun antara lain: jumlah polong, biji/polong, dan
bobot biji. Sementara itu, kandungan N daun tidak dipengaruhi oleh naungan (Sakamoto dan
Shaw, 1967). Terakhir, Khumaida (2002) melaporkan bahwa naungan sebesar 50 %
menurunkan produksi biji per tanaman, mengurangi jumlah cabang, dan meningkatkan tinggi
tanaman pada semua genotipe kedelai yang diuji. Namun pengaruh naungan terhadap bobot
100 biji bervariasi antar genotipe yang diuji.
Penurunan produksi akibat naungan 50% pada genotipe kedelai antara 0 – 3%,
sedangkan pada genotipe tahan antara 33 – 45%. Ceneng adalah genotipe paling toleran
dengan penurunan produksi 0%, sedangkan Godek adalah genotipe paling peka dengan
penurunan 45% (Sopandie et al, 2002). Khumaida (2002) menunjukkan penurunan yang
berbeda pada Ceneng (toleran), yaitu sebesar 65% sehingga produksinya menjadi 35%
kontrol. Namun, penurunan produksi tersebut tergolong paling kecil. Penurunan produksi
Godek (peka) mencapai 80% sehingga produksinya menjadi 20% terhadap kontrol.
Naungan menyebabkan penurunan produktivitas (yield) padi IR 46, IR 64 dan
Mashuri dengan persentase berbeda-beda. (Chaturvedi et al, 1994). Zhao dan Oosterhuis
(1998) melaporkan bahwa naungan menyebabkan laju pertukaran CO2 (laju fotosintesis
netto daun) kapas turun. Selain itu, penelitian menunjukkan
bahwa naungan dapat
menurunkan bobot kering dan penyerapan N yam (Dioscorea sp ) (Pushpakumari dan
Sasidhar, 1996).
Naungan dan Karbohidrat
Level karbohidrat dalam tubuh tanaman merupakan salah satu cara atau mekanisme
untuk bertahan hidup. Pengaruh cekaman lingkungan terhadap level karbohidrat tanaman
berbeda-beda tergantung penyebab cekamannya. Hasil penelitian Zhao dan Oosterhuis
(1998) menunjukkan bahwa naungan menyebabkan tingkat karbohidrat non struktural (total
non structural carbohydrate TNC) kapas turun. Pada gandum (Triticum aestivum L.)
perlakuan naungan pada periode pengisian biji menurunkan pati, fruktosa dan sukrosa daun
29
(Judel dan Mengel, 1982). Penurunan kandungan pati, sukrosa, glukosa, dan fruktosa juga
terjadi pada padi yang diberi perlakuan gelap selama 3 hari (Sopandie et al, 2003b).
Lautt et al. (2000) melaporkan bahwa naungan menyebabkan kandungan sukrosa
naik pada padi toleran naungan dan turun pada padi peka. Rasio sukrosa yang tinggi pada
genotipe toleran saat dinaungi menguntungkan tanaman karena transpor fotosintat lebih
lancar. Transpor fotosintat yang lancar akan dapat mengurangi hambatan fotosintesis yang
disebabkan oleh penumpukan karbohidrat (pati) di daun (Shibels et al,1987).
Hasil sukrosa yang tinggi tentunya didukung oleh aktifitas enzim SPS yang tinggi saat
dinaungi. Enzim ini berperan dalam mengkatalisis reaksi UDP-glukosa + Fruktosa-6-fosfat
menjadi UDP + sukrosa-6 Fosfat. Sukrosa-6 Fosfat selanjutnya menjadi sukrosa dan Pi
(Taiz dan Zeiger, 1991).
Gardner et al (1990) menyatakan bahwa pati bisa terbentuk bila laju penangkapan
CO2 sangat tinggi atau adanya hambatan transfer triosfosfat dari kloroplas ke sitosol.
Menurut Taiz dan Zeiger (1991) tranpor triosfosfat bisa tinggi bila proses pertukaran (dalam
mekanisme antiport) antara Pi dan triosfosfat berjalan baik. Secara ringkas proses
pembentukan pati dan sukrosa yang saling bersaing dipaparkan pada Gambar 6.
Hasil penelitian yang berbeda (Bell dan Danneberger, 1999) terjadi pada naungan
yang diperlakukan pada creeping bentgrass turf (Agrostis palustris Huds). Hasilnya
menunjukkan bahwa semakin lama naungan TNC tajuk cenderung naik. Fenomena ganjil ini
dijelaskan bahwa respon tersebut berkebalikan dengan massa akar yaitu naungan
mengurangi bobot akar. Jadi rumput ini mempertahankan level TNC tinggi dengan
mengurangi perpanjangan akar. Levitt (1980) menjelaskan bahwa naungan bisa menurunkan
kadar karbohidrat, aktivitas enzim, dan kandungan protein.
Kekurangan cahaya dapat menurunkan laju fotosintesis dan akumulasi karbohidrat
yang berakibat pada terganggunya proses metabolisme dan produksi tanaman. Perlakuan
gelap menyebabkan gangguan perkembangan membran tilakoid kedelai toleran maupun
peka naungan. Perlakuan naungan 50% tidak menghambat perkembangan membran tilakoid
pada genotipe toleran naungan seperti Pangrango dan B613, tetapi menghambat pada
genotipe peka Godek. Pada kondisi naungan 50 % kloroplas genotipe toleran mempunyai
butir pati lebih banyak dibanding genotipe peka (Khumaida, 2002).
30
PATI
Siklus
Calvin
Trios-P
Pi
Trios-P
Pi
Trios-P
Trios-P
Kloroplas
Sitosol
SUKROSA
Gambar 6. Skema pembentukan sukrosa dan pati pada fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991)
Cahaya dan Asimilasi Nitrogen
Tingginya kadar protein pada biji menunjukkan pentingnya metabolisme N dalam
fisiologi kedelai. Protein tersusun dari atom-atom C, H, O, N dan unsur lain. Atom-atom C,
H, O, dan N merupkan bagian terpenting dari asam amino. Perbedaan jumlah dan susunan
atom C, H, O, N dan unsur lain serta ikatan molekulnya merupakan ciri asam amino yang
satu berbeda dengan yang lainnya.
Cahaya berperan dalam pembentukan protein melalui dua faktor yaitu unsur
pembentuk dan energi untuk pembentukan protein. Unsur pembentuk protein C, H, dan O
berasal dari karbohidrat hasil fotosintesis. Karbohidrat hasil fotosintesis ini melalui proses
31
respirasi menghasilkan energi yang dipakai untuk proses pembentukan protein (Gardner et
al, 1990).
Murty dan Sahu (1987) melaporkan bahwa naungan menyebabkan kandungan N
terlarut daun meningkat. N terlarut yang tinggi menunjukkan kegagalan pembentukan protein.
N terlarut yang tinggi diduga menyebabkan kehampaan pada padi. Padi peka naungan
mengalami peningkatan N terlarut lebih tinggi dibanding padi toleran saat keduanya dinaungi.
Metabolisme Nitrogen
Bangun tanaman yang terdiri atas kumpulan materi sudah membuktikan bahwa
tanaman memerlukan unsur hara dalam pertumbuhannya. Suatu unsur hara disebut esensial
hanya bila unsur tersebut menjadi kebutuhan yang tak bisa digantikan unsur lain dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Tanpa unsur tersebut tanaman tidak mampu
menyelesaikan siklus hidupnya secara sempurna. Unsur tersebut bisa juga merupakan bagian
dari metabolit esensial.
Proses absorpsi hara bisa aktif maupun pasif. Absorpsi aktif memerlukan energi
berupa ATP yang diproduksi oleh proses respirasi. Radiasi dan kecepatan fotosintesis
berpengaruh terhadap absorbsi hara. Perjalanan hara tidak memerlukan energi selama
berada dalam wilayah apoplastik, seperti ruang antar sel. Lapisan Caspary yang tidak
tembus air pada endodermis mengharuskan hara memasuki wilayah simplastik, yaitu wilayah
yang terdiri atas sel-sel hidup yang isinya saling berhubungan karena plasmodesmata.
Perjalanan hara dalam wilayah simplastik memerlukan ATP (Gardner et al, 1990;
Marchner,1994).
.Salah satu unsur hara esensial tanaman yang terpenting adalah nitrogen. Nitrogen
adalah unsur hara yang paling menjadi faktor pembatas. Selain karbon, hidrogen, dan
oksigen, nitrogen adalah komponen utama bahan kering tanaman. Nitrogen adalah unsur
pembentuk asam amino, basa N seperti purin, protein dan nukleoprotein seperti DNA dan
RNA (Gardner et al, 1990;Taiz dan Zeiger, 1991).
Di alam bentuk nitrogen tersedia yang bisa diserap bagi tanaman adalah NO3- dan
NH4+. Asimilasi nitogen tergantung kepada proses reduksi N. Reduksi N membutuhkan
elektron dari NADH atau NADPH dari hasil fotosintesis (Gardner et al 1990; Harper,
1987; Taiz dan Zeiger, 1991).
32
Peranan cahaya dalam proses reduksi nitrat menjadi nitrit bisa dilihat pada Gambar 7.
Pembentukan gen NR dipicu oleh glukosa yang merupakan hasil fotosintesis. Enzim NR
yang tidak aktif diaktifkan oleh NADH yang merupakan hasil fotosintesis (Vivekanandan,
1997).
Cahaya (hv)
Cahaya (hv)
klorofil
klorofil
siklus Calvin
siklus Calvin
Glukosa
gen NR
NO3-
NADH
NR mRNA
enzim NR
(tidak aktif)
enzim NR
(aktif)
NO2-
Gambar 7. Cahaya menstimulasi enzim nitrat reduktase (Vivekanandan, 1997)
Nitrogen dari udara bebas (atmosfir) bisa menjadi sumber N bagi kedelai apabila
kedelai bersimbiosis dengan rhizobium yang membentuk bintil di akar kedelai. Simbiosis ini
menguntungkan kedua belah pihak. Pada akar yang ternodulasi terjadi pertukaran zat-zat
antara tanaman dan bakteri dalam bintil akar. Kedelai memberi karbohidrat (gula) dari
fotosintesis, tetapi memperoleh NH4+. dari bintil akar. Karbohidrat yang diberikan kedelai
kepada bintil akar tersebut berupa malat yang berasal dari sukrosa. Sementara itu NH4+
segera diubah menjadi glutamin dan asparagin (Gardner et al, 1990; Hall dan Rao, 1999,
Purcell et al, 2000).
Kekurangan unsur N menyebabkan penurunan pada: (a) pembelahan dan ekspansi
sel, (b) perkembangan kloroplas, (c) konsentrasi klorofil dan aktifitas enzim. Tanaman yang
kekurangan N biasanya kerdil (Gardner et al, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Pada kedelai
33
non-nodulasi pemupukan N meningkatkan fotosintesis daun. Ini berkorelasi positif dengan
persentase N daun (Shibels et al, 1987).
Meskipun N bisa masuk tanaman melalui daun berupa pupuk daun, namun secara
alami N diserap tanaman sebagai nitrat atau N2 yang segera diubah menjadi amonium. Ion
amonium dari fiksasi N2 segera diubah menjadi asam amino. Nitrat yang diambil tanaman
diubah menjadi nitrit oleh nitrat reduktase dan nitrit diubah menjadi amonium oleh nitrit
reduktase (Gardner et al, 1990; Harper, 1987).
Adaptasi terhadap Naungan
Adaptasi Tanaman
Kondisi lingkungan yang sesuai dan optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman sangat jarang terdapat di alam. Ketidaksesuaian lingkungan tumbuh menyebabkan
cekaman pada tanaman. Cekaman ialah faktor biotik dan abiotik yang menyebabkan
gangguan fungsional sehingga pertumbuhan dan produksi turun. Level cekaman tergantung
kepada faktor penyebab cekaman dan tanamannya sendiri (Biswal dan Biswal, 1999).
Menurut Levitt (1980) cekaman (stres) adalah faktor lingkungan apapun di luar
organisme yang secara potensial tidak cocok (mengganggu) organisme tersebut. Cekaman
bisa menyebabkan perubahan (strain) pada organisme. Perubahan tersebut bisa dapat balik
(reversible strain) atau tidak dapat balik (irreversible strain). Strain elastis bisa hilang bila
cekaman dihilangkan atau tanaman dikembalikan pada lingkungan yang sesuai. Penambahan
level cekaman pada strain elastis bisa menyebabkan strain plastis. Strain plastik yang besar
dan melebihi atau melewati ambang tertentu bisa menyebabkan kerusakan, bahkan kematian
bagi organisme.
Pada benda mati strain plastis benar-benar tidak dapat kembali. Pada organisme hidup
strain plastis (kerusakan) bisa diperbaiki untuk waktu yang cukup lama. Kemampuan
tanaman untuk menyembuhkan dari kerusakan akibat strain yang besar juga mengarah
kepada adaptasi (Levitt, 1980).
Kemampuan untuk mempertahankan sehingga tidak terjadi perubahan (strain) disebut
resistensi. Resistensi ini berlanjut kepada kemampuan adaptasi. Resistensi plastis (adaptasi
resistensi) adalah kemampuan tanaman untuk bertahan sehingga tidak terjadi strain plastis
yang bersifat merusak. Dalam resistensi plastis ini mungkin tidak terjadi pertumbuhan tetapi
hanya bertahan dari strain plastis (Levitt, 1980).
34
Resistensi elastis adalah kemampuan tanaman bertahan dalam kondisi strain elastis.
Dalam waktu lama strain elastis dapat menyebabkan akumulasi racun yang juga dapat
menyebabkan kerusakan dan kematian. Tanaman yang mampu tumbuh dan beregenerasi
dalam strain elastis yang lama disebut mempunyai resistensi elastis (adaptasi kapasitas).
Adaptasi ialah sifat yang dikontrol secara genetik yang memungkinkan tanaman
berproduksi relatif baik pada suatu lingkungan tertentu. Suatu genotipe disebut beradaptasi
luas bila genotipe tersebut bisa menampilan pertumbuhan dan produksi baik untuk selang
yang besar dari nilai fator lingkungan tertentu, misalnya pH, kadar air, dan radiasi cahaya.
Adaptasi sempit mengacu kepada persyaratan faktor lingkungan yang khusus untuk tumbuh
dan berkembang baik. Genotipe yang beradaptasi sempit berarti tidak toleran terhadap
situasi lingkungan yang berbeda dengan persyaratan tumbuhnya (White dan Izquierdo,
1993). Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh gen-gen dalam
tanaman.
Adaptasi terhadap cekaman bisa bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.
Adaptasi jangka pendek merupakan respon cepat. Di sini tidak terdapat pembentukan
protein baru. Sinyal transduksi hanya ditandai perubahan konsentrasi metabolit. Pada
cekaman cahaya adaptasi jangka pendek tanaman menciptakan interaksi yang terkoordinasi
antara antena pemanen cahaya dan konversi energi dengan aktivitas transpor elektron pada
komplek tilakoid dan operasi siklus Calvin untuk mengoptimalkan kecepatan fotosintesis.
Dalam adaptasi jangka panjang sinyal cekaman mengarah kepada sintesis protein, lipid, dan
pigmen. Produksi berlebihan atau kurang dari protein chl a/b (LHC II), protein DI pada PS
II menyebabkan perubahan stoikiometri dari fotosistem tilakoid dan kuantitas rubisco dan
protein (Biswal dan Biswal, 1999)
Tanaman Strokesia laevis (Hill) E. Greene) adalah tanaman C3 yang mempunyai
kemampuan adaptasi luas terhadap intensitas cahaya dengan fleksibilitas titik kompensasi
cahayanya (lcp). Tanaman ini merespon defisit cahaya dengan meningkatkan nisbah tajuk
dan akar. Perlakuan intensitas cahaya berbeda yaitu 120, 320, dan 1010 mol m-2 dtk-1
selama 50 hari menyebabkan tanaman yang diberi perlakuan berbeda mempunyai
kemampuan adaptasi terhadap intensitas cahaya berbeda pula. Perlakuan 120 mol m-2 dtk-1
memiliki lcp (titik kompensasi cahaya) paling rendah, kandungan klorofil per bobot daun
35
paling tinggi, dan luas spesifik (luas permukan daun per bobot daun) paling tinggi (Callan dan
Kennedy, 1995).
Tanaman yang toleran cahaya rendah mampu memanfaatkan cahaya secara efisien
melalui kemampuannya beradaptasi baik secara anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia
yang berkaitan dengan kegiatan fotosintesis.
Daya adaptasi tanaman terhadap naungan tergantung kepada kemampuan tanaman
dalam melanjutkan proses fotosintesis dan mempertahankan lajunya dalam kondisi
kekurangan cahaya. Menurut Bruick dan Mayfield ( 1999) pohon yang toleran kekurangan
cahaya mempunyai ciri yaitu di bawah kondisi cahaya optimum bagi kebanyakan tanaman,
pohon-pohon tersebut dibanding yang lain mempunyai (a) kecepatan pertumbuhan relatif
(RGR) lebih rendah, (b) rasio luas daun/bahan kering lebih rendah (daun lebih tebal dan
padat), (c) kandungan nitogen daun lebih rendah, dan (d) rasio tajuk dan akar lebih rendah.
Mekanisme Penghindaran
Menurut Levitt (1980) tanaman mampu beradaptasi terhadap naungan melalui
mekanisme penghindaran dan toleransi. Penghindaran kekurangan cahaya dilakukan dengan
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Peningkatan efisiensi penangkapan diperoleh
melalui perluasan daun sebagai bagian tanaman yang bisa menangkap cahaya dan
kemampuan menangkap cahaya per satuan luas daun. Penangkapan cahaya diperoleh
melalui peningkatan kandungan kloroplas dan kandungan kloropil per kloroplas daun
Gambar 8).
Penelitian pada padi gogo menunjukkan naungan menyebabkan daun lebih luas dan
tipis karena pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Padi gogo yang diberi
cekaman cahaya rendah meningkatkan klorofil a maupun klorofil b (Lautt, 2000). Givnish et
al (1988) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan penurunan
ketebalan bobot spesifik daun (BSD) dan peningkatan klorofil a dan b. Penelitian naungan
pada manggis (Wiebel et al, 1994), Amborella trichopoda ( Feild, 2001) dan Baringtonia
(Feng et al, 2004) menunjukkan bahwa perubahan karakter pada daun antara lain pada
penipisan daun, pengurangan ketebalan lapisan palisade, peningkatan kandungan klorofil a
dan b, peningkatan luas helai daun, dan penurunan BSD.
Penelitian Weston et al (2000) pada tipe liar dan mutan Arabidopsis thaliana
menunjukkan bahwa perubahan ketebalan daun dan lapisan palisade, peningkatan klorofil a
36
dan b, bisa terjadi pada perlakuan naungan selama 6 hari setelah pada umur 0 - 20 HST
tumbuh pada cahaya normal.
Mekanisme penghindaran defisit cahaya melalui peningkatan kandungan klorofil terjadi
pada semua genotipe kedelai yang diberi perlakuan naungan (Khumaida, 2002).
Peningkatan efisiensi peningkatan cahaya ini bisa dilihat pada ekspresi gen untuk
pembentukan komplek pemanen cahaya (lhc) dimana klorofil berada. Ekspresi gen ini mulai
ada bahkan bila kedelai diberi perlakuan naungan 50 % selama sehari. Tetapi pemberian
perlakuan gelap tidak memunculkan gen untuk protein pemanen cahaya.
Tanaman
yang
toleran
naungan
bila
diberi
perlakuan
naungan
mampu
mempertahankan laju fotosintesis tinggi dengan dua cara yaitu (a) meningkatkan luas daun
untuk meningkatkan luas areal penangkapan cahaya dan (b) pengurangan jumlah cahaya
yang ditransmisikan dan direfleksikan. Tanaman tersebut mengurangi kutikula dan
menghilangkan lapisan lilin dan bulu. Daun tanaman toleran lebih tipis dan kandungan bahan
keringnya rendah. Ini untuk meningkatkan tingkat fotosintesis per bobot kering (Hale dan
Orcutt, 1987; Levitt, 1980).
Sopandie et al (2005) menunjukkan bahwa bulu daun menurun pada kedelai yang
dinaungi 50%. Penurunan itu terjadi pada pengamatan 8 - 10 MST, sedangkan pada
pengamatan saat 4 – 6 MST kerapatan bulu lebih besar pada kondisi kontrol dibanding
naungan 50%. Kerapatan bulu terendah terdapat pada Ceneng (toleran), tetapi persen
penurunan tertinggi terdapat pada genotipe Godek (peka) dan Slamet. Informasi penurunan
kerapatan bulu pada Klungkung Hijau, B613, Wilis, Tampomas, MLG2999 belum ada.
Dalam rangka meningkatkan luas area penangkapan dan pemanfaatan cahaya,
tanaman meningkatkan rasio tajuk dan akar, menipiskan daun, memperpendek palisade, dan
memperluas daun. Dalam rangka meningkatkan efisiensi cahaya yang diterima tanaman
tersebut memiliki rasio klorofil terhadap komponen karboksilasi dan proses transpor
elektron tinggi. Selain kandungan klorofil daun meningkat, rasio klorofil a terhadap klorofil b
juga menurun karena proporsi peningkatan klorofil b lebih tinggi dibandingkan klorofil a
(Callan dan Kennedy, 1995; Taiz dan Zeiger, 1991). Penelitian pada padi gogo dan kedelai
menunujukkan bahwa penipisan daun pada padi gogo dan kedelai disebabkan oleh
pengurangan jumlah sel palisade (Lautt et al, 2000; Khumaida, 2002).
37
Kedelai yang diberi naungan 50% mengalami penurunan ketebalan daun dan lapisan
palisade. Persen penurunan lebih besar pada kelompok genotipe toleran daripada peka
(Sopandie et al, 2002). Luas helai daun trifoliat juga meningkat akibat naungan 50%.
Persentase peningkatan luas helai daun lebih besar pada Pangrango (T) dan Ceneng (T)
daripada Godek (Sopandie et al, 2004). Namun belum ada keterangan tegas apakah
perbedaan tersebut nyata. Penelitian di atas juga mengungkapkan bahwa rasio luas per
bobot daun meningkat atau berarti bobot spesifik daun (BSD) menurun dengan persentase
penurunan hampir sama. Belum ada uji beda nyata tentang persentase penurunan BSD
akibat naungan 50%.
Pembentukan kloropas dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Tanaman yang toleran
cahaya mampu mempertahankan jumlah kloroplas yang tinggi per luas daun (Hale dan
Orchut, 1987) dan jumlah klorofil per kloroplas (Okada et al, 1992). Dalam kondisi
ternaungi jumlah klorofil a dan klorofil b genotipe padi yang toleran lebih tinggi dibanding
yang peka (Lautt et al, 2000). Peningkatan klorofil b yang lebih tinggi daripada klorofil a
menyebabkan rasio klorofil a/b menurun. Fenomena ini juga terjadi pada kedelai (Khumaida,
2002). Ini berkaitan dengan peningkatan klorofil b yang lebih tinggi pada LHC-II.
Pembesaran antena pada fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya
(Hidema et al, 1992; Kennedy dan Allan, 1995). Sopandie et al (2002) mengungkapkan
bahwa peningkatan kandungan klorofil a maupun klorofil b lebih tinggi pada kelompok
genotipe toleran dibanding genotipe peka. Namun penurunan rasio klorofil a/b tidak berbeda
nyata antar dua kelompok genotipe tersebut.
Mekanisme Toleransi
Toleransi terhadap defisit cahaya diperoleh melalui kemampuan tanaman menurunkan
titik kompensasi cahaya dan mengurangi respirasi (Gambar 9). Penurunan titik kompensasi
cahaya bisa diperoleh dengan cara mengurangi derajat penurunan aktivitas enzim dan
kerusakan pigmen (Levitt, 1980). Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa padi
toleran mampu mempertahankan kandungan rubisco dan aktivitasnya tetap tinggi. Selain itu,
genotipe padi gogo yang toleran memiliki tingkat respirasi lebih rendah pada kondisi gelap
serta rasio sukrosa/pati dan aktivitas enzim SPS (sukrosa fosfat sintetase) tinggi (Lautt,
2000; Sopandie et al, 2003b). Semua peubah tersebut menunjukkan mekanisme adaptasi
melalui toleransi.
38
Peranan rubisco sangat vital karena dalam siklus Calvin enzim ini bisa mengikat CO2
dan RuBP menghasilkan 3-PGA. Cahaya menginduksi aktifitas rubisco saat ternaungi (Hall
dan Rao, 1999). Intensitas cahaya mempengaruhi aktifitas rubisco (Portis, 1992). Enzim
rubisco memainkan peran kunci pada asimilasi karbon dalam fotosintesis. Karena peran
pentingnya tersebut rubisco menjadi salah satu faktor pembatas fotosintesis (Vu et al, 1983)
dan aktivitas rubisco bisa menjadi faktor penduga besarnya level fotosintesis.
Tanaman yang toleran naungan mampu mempertahankan aktivitas rubisco tetap tinggi
bila diberi perlakuan naungan, seperti pada padi. Pada padi naungan menyebabkan
kandungan protein dan aktivitas total rubisco menurun. Namun, padi varietas jatiluhur
(toleran naungan) mampu mempertahankan kandungan protein dan aktivitas rubisco tetap
tinggi (Sopandie et al, 2003a).
Naungan menyebabkan penurunan produksi padi gogo. Naungan juga menurunkan
kandungan pati di daun. Meskipun kandungan patinya turun, besarnya penurunan tersebut
lebih kecil pada padi yang toleran dibanding yang peka. Hal menarik terjadi pada parameter
kandungan sukrosa daun. Pada masa pertumbuhan vegetatif aktif kandungan sukrosa (mg/g)
daun justru mengalami peningkatan pada genotipe padi gogo toleran yang diberi perlakuan
50 %. Sebaliknya pada genotipe peka naungan 50 % menurunkan sukrosa daun (Lautt et
al, 2000). Dalam kondisi ternaungi aktivitas enzim SPS dan rubisco juga tetap lebih tinggi
pada genotipe toleran daripada genotipe peka naungan (Lautt et al, 2000; Sopandie et al,
2003a).
Lautt (2003) menggunakan kandungan gula dan pati sebagai indikator besarnya
rerspirasi gelap pada padi gogo. Setelah diletakkan di ruang gelap kandungan gula dan pati
daun padi menurun. Namun, padi toleran naungan tetap bisa mempertahankan kandungan
gula dan pati tinggi, yang menunjukkan respirasi gelap lebih rendah pada genotipe toleran
naungan.
Penghindaran Kekurangan Cahaya
(Peningkatan efisiensi penangkapan cahaya)
39
Peningkatan luas area
penangkapan cahaya
Peningkatan penangkapan cahaya
per satuan area fotosintesis
Peningkatan proporsi area
fotosintesis (daun)
Penghindaran
refleksi
cahaya
Penghindaran
transmisi
cahaya
Ketiadaan kutikula, lilin,
dan bulu pada permukaan
daun
Peningkatan
kandungan kloroplas
Peningkatan kandungan
kloroplas per sel mesofil
Penghindaran
absorbsi cahaya
yang tak berguna
Ketiadaan pigmen non
kloroplas
Peningkatan kandungan
pigmen per kloroplas
Kloroplas dalam sel
epidermis
Gambar 8. Mekanisme penghindaran terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980)
Toleran Defisit Cahaya
Penurunan titik
kompensasi cahaya
(LCP)
Penghindaran kerusakan
terhadap sistem
fotosintesis
Penurunan laju
respirasi ketika di bawah
LCP
Penurunan laju
respirasi
di sekitar LCP
40
Penghindaran
penurunan
aktifitas enzim
Penghindaran
kerusakan
pigmen-pigmen
Penurunan zat
yang dapat
direspirasikan
Penurunan dalam
sistem respirasi
(mitokondria)
Gambar 9. Mekanisme toleransi terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980)
41
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini terdiri atas tiga bagian. Penelitian pertama adalah penelitian tentang
pengaruh
cekaman intensitas cahaya rendah terhadap produktivitas delapan genotipe
kedelai. Penelitian kedua adalah penelitian tentang perubahan karakter daun yang berkaitan
dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran,
sedangkan penelitian ketiga tentang perubahan fisiologi yang berhubungan dengan
mekanisme toleransi sebagai respon terhadap cekaman intensitas cahaya rendah.
Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap
Cekaman Intensitas Cahaya Rendah
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan persentase penurunan produksi akibat
cekaman naungan pada delapan genotipe yang antara lain meliputi geneotipe toleran,
moderat, serta peka naungan. Perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen.
Waktu dan Tempat
Percobaan lapang dilaksanakan dalam dua musim tanam (MT). Percobaan I-A atau
MT-1 berlangsung pada Mei – Agustus 2002, sedangkan percobaan I-B atau MT-2 pada
Nopember 2002 – Pebruari 2003. Percobaan lapang dilaksanakan di kebun percobaan IPB
Cikabayan, Bogor. Pekerjaan laboratorium dilaksanakan di laboratorium Pusat Studi
Pemuliaan Tanaman (PSPT) Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
Bahan dan Alat
Sebanyak delapan genotipe kedelai hasil penyaringan penelitian sebelumnya (Gambar
3) digunakan sebagai bahan tanaman. Dari 8 genotipe kedelai tersebut, menurut Sopandie et
al (2002), 4 genotipe dimasukkan sebagai toleran, yaitu Ceneng, B613, Pangrango, dan
Tampomas; 1 genotipe termasuk moderat, yaitu Wilis; dan 3 genotipe termasuk peka
naungan, yaitu Klungkung Hijau, MLG2999 dan Godek.
Naungan buatan yang dipakai berupa paranet 25% (meneruskan cahaya 75%),
paranet 50% (meneruskan cahaya 50%), dan paranet 75% (meneruskan cahaya 25% yang
diterima). Paranet 25% adalah paranet 50% yang telah dikurangi dengan cara memotong
pita plastiknya dengan perbandingan 1:1. Paranet 50% dimaksud dalam penelitian ini adalah
paranet 55% di pasaran.
42
Bahan kimia dan peralatan laboratorium dijelaskan pada Lampiran 5. Alat dan bahan
lain yang digunakan adalah peralatan standar untuk budidaya kedelai secara konvensional
Metode
Penelitian ini merupakan percobaan lapang. Kedelai ditanam dalam polibag di lapang
dan diberi empat perlakuan naungan paranet, yaitu tanpa naungan sebagai kontrol, naungan
paranet 25%, 50%, dan 75%. Perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen.
Rancangan Percobaan
Pada percobaan lapang ini rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan
acak kelompok dan rancangan perlakuannya berupa petak terpisah (split plot). Pada
percobaan ini digunakan tiga ulangan yang tersarang pada perlakuan naungan. Tata letak
percobaan di lapang terlihat pada Lampiran 2.
Petak utama terdiri atas empat taraf perlakuan naungan yaitu:
N0 : tanpa naungan atau kontrol
N1 : naungan 25 %
N2 : naungan 50 %
N3 : naungan 75 %.
Anak petaknya meliputi delapan genotipe kedelai, yaitu G1 = Ceneng, G2 = Klungkung
Hijau, G3 = B613, G4 = Wilis, G5 = Tampomas, G6 = Godek, G7 = Pangrango, dan G8 =
MLG2999. Percobaan ini menggunakan tiga ulangan sehingga terdapat 96 satuan
percobaan. Tiap satuan percobaan terdiri atas dua polibag. Masing-masing polibag berisi
satu tanaman
Model statistik untuk rancangan percobaan ini adalah:
Yijk
= µ + N j + Ki + γ i(j) + G k + NG jk + ε ijk
Yijk
= nilai pengamatan akibat kelompok ke-i, naungan ke-j dan genotipe ke-k
µ
= nilai rata-rata umum
Nj
= nilai pengamatan akibat pengaruh naungan ke-j
Ki
= nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i
γ ij
= galat akibat kelompok ke-i dan naungan ke-j
Gk
= nilai pengamatan akibat pengaruh genotipe ke-k
NG jk = nilai interaksi antara faktor perlakuan naungan ke-j dan genotipe ke-k
ε ijk
= galat akibat kelompok ke-i, naungan ke-j dan genotipe ke-k
43
Pelaksanaan
Perlakuan naungan (N) dilaksanakan dengan cara meletakkan paranet hitam di sisi
atas dan keempat sisi samping areal pertanaman (Lampiran 2).
Dengan demikian
pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Tinggi paranet sekitar 2 m di atas
permukaan tanah. Paranet disangga oleh rangka bambu. Perlakuan naungan diberikan sejak
tanam sampai panen.
Media tanam terdiri atas campuran tanah dan pupuk kandang (9:1) dimasukkan ke
dalam polibag, sehingga tiap polibag berisi sekitar 8 kg campuran tanah. Pupuk kandangnya
berasal dari kotoran kambing. Polibag kemudian diatur berbaris di dalam selubung paranet
dengan jarak 50 x 50 cm pusat ke pusat dan dibiarkan selama seminggu agar media tanah
dalam polibag stabil.
Benih kedelai yang telah dilumuri dengan inokulan rhizobium ditanam pada polibag
tersebut dengan lubang tanam sedalam 2 – 3 cm. Tiap lubang tanam berisi tiga butir benih.
Setelah seputar benih ditaburi Furadan lubang tanam ditutup tanah. Pada umur 1 - 2 minggu
tanaman dijarangkan sehingga tinggal 1 tanaman tiap polibag.
Pada umur 1 minggu setelah tanam (MST) media tanam diberi pupuk urea dengan
dosis pemupukan 0.3 g urea, 1.25 g TSP, dan 1 g KCl per polibag, yang setara dengan 34
kg N, 144 kg P2O5 dan 150 kg K2O per ha. Pada waktu tersebut juga dilakukan
penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur
2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman.
Penyiraman dilakukan tiap hari pagi dan sore sampai umur 3 MST, setelah itu penyiraman
dilakukan hanya pada pagi hari. Pengendalian gulma dilaksanakan secara manual dengan
mencabut gulma yang ada di polibag dan mencangkul lahan di sekeliling polibag. Hama
dikendalikan dengan Decis sedangkan penyakit dengan Dithane M-45.
Waktu panen ditentukan apabila polong telah kehilangan warna hijaunya. Panen
dilakukan dengan cara menggunting tangkai polong dan tetap membiarkan tanaman kedelai
hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen, sampai semua polong habis dipanen.
Analisis Data
Analisis data menggunakan program SAS. Pengelompokan ketenggangan terhadap
intensitas cahaya rendah mengikuti Sopandie et al, (2002). Analisis ragam dilakukan untuk
menguji pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah
44
ditransformasi (Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) perlakuan kontrol
dan naungan 50% pada setiap genotipe dengan uji t, serta (2) persentase penurunan
produktivitas biji akibat naungan 50% antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata.
Penelitian 2. Perubahan Struktur Daun Beberapa Genotipe Kedelai sebagai
Adaptasi melalui Mekanisme Penghindaran terhadap Intensitas Cahaya Rendah
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan struktur daun antara
genotipe toleran dan peka. Pada percobaan I perlakuan naungan diberikan sejak tanam
sampai panen untuk menggambarkan adaptasi. Pada percobaan II perlakuan gelap diberikan
dalam variasi pergiliran dengan cahaya normal pada umur 23 - 32 HST. Variasi tersebut
menyebabkan terjadinya perbedaan umur tanaman saat perlakuan gelap diberikan (Lampiran
4). Pada percobaan II perlakuan gelap selama tiga hari (TTG= terang-terang-gelap)
menggambarkan perlakuan cekaman defisit cahaya ekstrim yang diberikan pada umur 29 32 HST. Perlakuan gelap 3 hari dilanjutkan terang 3 hari (TGT=terang-gelap-terang)
mencerminkan penyembuhan setelah cekaman akibat perlakuan gelap selama 3 hari pada
umur 26 -29 HST. Perlakuan GTG (gelap-terang-gelap) bisa menunjukkan adaptasi
(on/off) terhadap gelap, yaitu menunjukkan kondisi tanaman pada saat gelap, yang
sebelumnya diberi perlakuan gelap 3 hari dilanjutkan dengan cahaya normal 3 hari.
Perlakuan TGN (terang-gelap-naungan 50%) mengambarkan adanya penyembuhan dan
adaptasi.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan pada Mei
sampai Agustus 2002, sedangkan percobaan kedua pada Maret sampai Mei 2004. Seluruh
percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, di Darmaga Bogor.
Perlakuan gelap total pada percobaan II menggunakan suatu ruangan gelap di Cikabayan.
Pengeringan dan penimbangan dilakukan di laboratorium PSPT - IPB Bogor
Pembuatan penampang melintang daun dilakukan di Biotrop Bogor. Pengukuran luas daun
dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor..
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan I berupa delapan genotiope kedelai
yang telah disebutkan terdahulu pada penelitian 1. Bahan tanaman pada percobaan II adalah
45
empat genotipe yang dipilih dari delapan genotipe pada percobaam I, yaitu Ceneng (T),
B613 (T), Pangrango (T), dan Godek (P). Ceneng adalah genotipe yang konsisten toleran,
sedangkan Godek konsisten peka (Sopandie et al, 2002)
Alat yang digunakan antara lain mikroskup elektrik binokuler, pisau silet, penggaris,
oven pengering, timbangan, dan areameter. Alat dan bahan untuk membuat preparat
penampang melintang daun dikemukakan pada Lampiran 5.
Metode
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adaptasi kedelai melalui mekanisme
penghindaran, yaitu berupa perubahan struktur daun. Struktur daun yang bisa
menggambarkan mekanisme penghindaran antara lain tebal daun, bobot spesifik daun, luas
helai daun, kerapatan bulu dan stomata daun, serta kandungan klorofil daun.
Penelitian ini merupakan percobaan lapang, yang terdiri atas dua percobaan. Pada
percobaan I tanaman diberi cekaman intensitas cahaya rendah berupa naungan paranet
25%, 50%, dan 75% sejak tanam sampai panen seperti pada penelitian 1. Pada percobaan
II kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal sampai umur 23 HST. Cekaman pada
percobaan 2 diberikan secara ekstrim (gelap total) namun dalam waktu singkat, yaitu 3 hari
yang divariasikan secara bergiliran dengan cahaya normal. Perlakuan pada percobaan II
diberikan selama 9 hari pada fase vegetatif, yaitu sejak tanaman berumur 23 sampai 32 HST
sesuai dengan jadwal pada Lampiran 4. Perlakuan gelap dilaksanakan dengan cara menaruh
polibag berisi tanaman ke dalam ruangan kedap cahaya, sehingga intensitas cahaya di dalam
ruangan adalah nol, yaitu keadaan defisit cahaya ekstrim. Jadwal pelaksanaan perlakuan dan
pengambilan sampel dipaparkan pada Lampiran 4.
Pergiliran gelap–terang atau naungan 50% berlangsung masing-masing 3 hari. Titik
awal penghitungan jadwal (hari ke-0 perlakuan) adalah pada 23 HST. Jadi perlakuan TTG
seperti yang dimaksud di bawah ini artinya sejak tanam sampai umur 23 HST kedelai
ditumbuhkan pada kondisi normal, dilanjutkan selama 2 x 3 hari perlakuan T
(terang/normal), sehingga perlakuan 3 hari gelap diberikan pada 29 - 32 HST.
Rancangan Percobaan
Percobaan I menggunakan rancangan percobaan yang sama dengan pada percobaan I-A
pada penelitian 1, yaitu Rancangan Petak Terbagi (Lampiran 2). Petak utamanya adalah
46
empat tingkat naungan paranet, sedangkan anak petaknya adalah delapan genotipe yang
telah disebut di atas.
Pada percobaan II rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah genotipe, yaitu Ceneng
(toleran), B613 (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Faktor kedua adalah lima
variasi pergiliran, terang, gelap, dan naungan 50%, yaitu:
T1 = TTT = perlakuan terang (cahaya normal) terus-menerus, sebagai kontrol
(keadaan normal)
T2 = TTG = perlakuan terang (cahaya normal) terus-menerus sampai hari ke-29,
lalu gelap selama 3 hari
T3 = TGT = perlakuan terang (cahaya normal) sampai hari ke-26, lalu gelap selama
3 hari, kemudian terang (normal) selama 3 hari
T4 = GTG = perlakuan terang (normal) sampai hari ke-23, lalu gelap selama 3
hari, kemudian terang (normal) 3 hari, lalu gelap lagi selama 3 hari.
T5 = TGN = perlakuan terang (cahaya normal) sampai hari ke 26, lalu gelap
selama 3 hari, dan dilanjutkan naungan 50% selama 3 hari
Jadwal perlakuan pergiliran terang, gelap, dan naungan serta waktu pengambilan dijelaskan
lebih lanjut pada Lampiran 4. Denah susunan perlakuan di lapang dipaparkan pada
Lampiran 3.
Pelaksanaan
Pelaksanaan percobaan I sama dengan percobaan pada penelitian 1. Pengambilan
sampel dilakukan saat fase vegetatif, yaitu tanaman berumur 4 minggu. Daun yang dijadikan
sampel merupakan daun trifoliat ke 3 - 4 yang telah membuka penuh.
Pengukuran tebal daun dilakukan dengan cara memotong melintang daun dan
melihatnya di mikroskup elektrik binokuler. Sampel daun diukur luasnya dengan
menggunakan area meter. Sampel daun tersebut kemudian dikeringkan dalam oven 80o C
selama 48 jam, lalu ditimbang. Bobot spesifik daun (BSD) ialah bobot kering satu sampel
daun dibagi luasnya.
Perlakuan sampel daun untuk pengukuran palisade dan kerapatan stomata menggunakan
metode Widjaya (1996) yang tercantum dalam Lampiran 5. Kerapatan bulu dihitung dengan
cara menghitung bulu daun bagian bawah (abaxial) dengan bantuan mikroskup elektrik
47
binokuler. Analisis klorofil a dan b dilaksanakan di laboratorium PSPT- IPB dengan
memakai metode Arnon (Yoshida, 1976). Kandungan klorofil daun diperoleh berdasarkan
pembacaan absorban spektrofotometer pada 663 nm dan 645 nm. Kandungan klorofil a
dan b ditentukan berdasarkan persamaan:
Kl. a = 0.0127 x D663 - 0.00269 x D645
Kl. b = 0.0229 x D645 - 0.00460 x D663
Pelaksanaan percobaan II di lapang umumnya sama dengan percobaan pada
penelitian 1 yang telah dikemukakan di depan. Pada percobaan ini tiap polibag berisi tiga
tanaman. Dosis pupuk per polibag diberikan tiga kali lipat lebih tinggi daripada pada
percobaan I. Karena itu dosis per tanaman tetap sama dengan percobaan pada penelitian 1.
Ruangan untuk perlakuan gelap adalah ruangan biasa yang kemudian ditutup dan dilapisi
kertas sehingga kedap cahaya dan intensitas cahayanya sama dengan nol
Pada percobaan II mula-mula semua tanaman ditumbuhkan pada kondisi cahaya
normal sampai umur 23 hari, untuk kemudian diberi perlakuan pergiliran tiga hari terang gelap (on/off) pada umur 23 –32 HST sesuai variasi jadwalnya. Perlakuan terang yang
dimaksud adalah cahaya normal sebagaimana yang berlangsung alamiah. Perlakuan naungan
dilakukan dengan memasukkan polibag berisi tanaman dalam selubung paranet 50%
sebagaimana pada perlakuan naungan sebelumnya. Perlakuan gelap dilaksanakan dengan
menaruh polibag ke dalam ruangan (kamar) gelap kedap cahaya seperti dikemukakan di
depan.
Semua sampel daun diambil pada hari yang sama (32 HST), yaitu setelah tanaman
mendapat berbagai perlakuan secara lengkap sesuai variasinya. Karena itu untuk perlakuan
TTG sampel diambil pada saat tanaman mendapat perlakuan gelap. Selanjutnya untuk TGT
pada saat terang, GTG saat gelap, dan TGN saat naungan 50%.
Daun yang digunakan untuk sampel adalah daun trifoliat yang telah membuka
sempurna nomor 2 dari pucuk (apex). Untuk pengamatan klorofil daun sampelnya adalah
daun yang telah membuka sempurna nomor 3 dari pucuk. Prosedur pengukuran sama
dengan prosedur pada percobaan I pada penelitian 2 ini.
Analisis Data
Analisis data menggunakan program SAS. Analisis ragam dilakukan untuk menguji
pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah ditransformasi
48
(Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) perlakuan kontrol dan naungan
50% pada setiap genotipe dengan uji t, serta (2) persentase perubahan (penurunan atau
peningkatan) akibat naungan 50% antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata.
Penelitian 3. Perubahan Fisiologi yang terkait dengan Adaptasi melalui Mekanisme
Toleransi terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan fisiologi antara genotipe
toleran dan peka. Percobaan I menggambarkan adaptasi setelah cekaman terus-menerus
sejak tanam. Percobaan II mengambarkan adaptasi dan penyembuhan seperti diungkapkan
pada sub bab penelitian 2, yang pada penelitian ini fokusnya pada perubahan fisiologi.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan 1 dilaksanakan pada Nopember
2002 sampai Pebruari 2003. Percobaan II dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2004
bersamaan dengan percobaan II pada penelitian 2. Kedua percobaan ini dilaksanakan di
kebun percobaan Cikabayan. Untuk analisis komposisi N dilaksanakan di laboratorium
PSPT- IPB, untuk analisis pati dan aktivitas enzim SPS di laboratorium Biokimia IPB, untuk
analisis sukrosa di laboratorium Balai Pasca Panen Bogor, dan untuk aktivitas enzim rubisco
di Badan Tenaga Atom (Batan) Jakarta.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan I pada penelitian ketiga ini adalah
dua dari delapan genotipe yang telah disebutkan, yaitu Ceneng (toleran) dan Godek (peka)
yang menurut Sopandie et al (2002) merupakan genotipe yang konsisten masing-masing
sebagai toleran dan peka. Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan II pada
penelitian 3 ini sama dengan pada percobaan II penelitian 2 yang telah disebutkan di atas,
yaitu Ceneng (toleran), B613 (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka).
Bahan dan alat untuk percobaan lapang sama dengan yang telah disebut di atas. Untuk
memperoleh hasil yang baik dan mempertahankan sampel tetap segar digunakan alat
pendingin dan es serta nitrogen cair. Peralatan dan bahan kimia untuk analisis laboratorium
diuraikan pada Lampiran 5. Sampel daun yang digunakan untuk analisis adalah daun trifoliat
nomor 3-4 dari apex yang telah membuka sempurna. Sampel batang yang digunakan adalah
ujung (apex) batang sepanjang 15 cm.
49
Metode
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adaptasi kedelai melalui mekanisme toleransi,
yaitu berupa perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi yang bisa menggambarkan mekanisme
toleransi antara lain kandungan protein terlarut, kandungan glukosa dan pati daun,
kandungan gula daun, kandungan karbohidrat batang, serta aktivitas enzim SPS dan enzim
rubisco.
Penelitian 3 in imerupakan percobaan lapang, yang terdiri atas dua percobaan.
Metode penelitian pada percobaan I pada penelitian 3 ini sama dengan pada percoban I
penelitian 2, sedangkan metode percobaan II pada penelitian 3 ini sama dengan percoban II
pada penelitian 2 yang telah dikemukan di depan.
Pada percobaan I penelitian 3 ini tanaman diberi cekaman intensitas cahaya rendah
berupa naungan paranet 25%, 50%, dan 75% sejak tanam sampai panen. Pada percobaan
II penelitian ini kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal sampai umur 23 HST, kemudian
diberi cekaman cahaya ekstrim dalam variasi pergiliran dengan cahaya normal masingmasing selama 3 hari.
Rancangan Percobaan
Percobaan I menggunakan rancangan petak terbagi. Sebagai petak utama adalah
naungan yang terdiri atas kontrol dan naungan 50%. Anak petaknya terdiri atas dua genotipe
yaitu dua genotipe Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Rancangan percobaan pada
percobaan II adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu genotipe dan
variasi pergiliran gelap terang seperti pada percobaan II penelitian 2.
Pelaksanaan
Secara umum pelaksanaan di lapang sama dengan penjelasan sebelumnya. Pada
percobaan I sampel daun diambil pada umur 4 minggu. Sampel daunnya adalah daun trifoliat
nomor 3 – 4 yang telah membuka sempurna. Sampel daun diambil pada jam 10.00 WIB
pada saat cerah.
Analisis sukrosa daun menggunakan metode Harn et al. ( 1993) dan dilaksanakan di
Balai Penelitian Pasca Panen Bogor. Kandungan sukrosa diukur dengan menggunakan
HPLC, yang dibaca menggunakan refractive index detector. Analisis pati menggunakan
metode Huber dan Israel (1982) di Laboratorium Biokimia IPB. Kandungan pati dinyatakan
50
sebagai glukosa dengan metode Fulin Wu. Analisis aktivitas enzim sukrosa fosfat sintetase
(SPS) menggunakan metode yang digunakan Suwignyo et al. (1995) di Laboratorium
Biokimia IPB. Aktivitas enzim SPS diukur dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm.
Prosedur analisis di atas diuraikan dalam Lampiran 5.
Prosedur analisis aktivitas rubisco menggunakan metode Holbrook et al, (1994) di
Badan Tenaga N\klir (BATAN), Jakarta. Analisis kandungan N daun dilakukan di
laboratorium PSPT Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis N menggunakan
metode Nessler. Kandungan N terlarut, N protein terlarut, dan N tak larut ditentukan
dengan metode Mae et al., (1993). Semua prosedur analisis di atas diuraikan dalam
Lampiran 5.
Pada percobaan II semua sampel diambil pada 32 HST sekitar jam 10.00 pagi saat
cerah. Sampel daunnya adalah daun trifoliat keempat yang telah mekar sempurna. Sampel
batang adalah ujung batang sepanjang 15 cm. Kandungan gula total dan pati daun serta
kandungan karbohidrat total batang dianalis di laboratorium PSPT Departemen Agronomi
dan Hortikultura IPB dengan menggunakan metode Anthrone (Apriyantono et al, 1990).
Pengukuran kandungan gula menggunakan perbandingan pembacaan absorbansnya pada
630 nm yang dibandingkan dengan larutan standar.
Aktifitas rubisco dianalisis di BATAN Jakarta dengan menggunakan metode
Holbrook et al. (1994). Aktivitas rubisco didasarkan pada 14C pada H2CO3 yang beraksi
membentuk 3-PGA, sedangkan
14
C yang tidak bereaksi diuapkan ke udara sesuai Wilson
(1987).
Analisis Data
Analisis data menggunakan program SAS. Analisis ragam dilakukan untuk menguji
pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah ditransformasi
(Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) lima perlakuan variasi pergiliran
terang-gelap setiap genotipe, serta (2) persentase penurunan perubahan (penurunan) akibat
perlakuan antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata.
51
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Percobaan lapang dilaksanakan di Cikabayan, Darmaga - Bogor yang terletak sekitar
250 m di atas permukaan laut. Intensitas radiasi harian pada dua masa percobaan hampir
sama. Pada masa percobaan I- A atau MT-1 (Mei – Agustus 2002) intensitas radiasi
matahari rata-rata harian di wilayah Bogor sekitar 225 – 310 kal cm-2 dengan rata-rata
harian seluruhnya 257 kal cm-2, sedangkan pada masa percobaan I-B atau MT-2
(Nopember 2002 – Pebruari 2003) sekitar 217 - 290 kal cm-2, dengan rata-rata
keseluruhan 262 kal cm-2 (Lampiran 10).
Kelembaban harian pada udara terbuka dan di bawah paranet hampir sama, yaitu 78,
77, 76, dan 77%, masing-masing untuk udara terbuka, naungan paranet 25, 50, dan 75%
(Lampiran 6). Kelembaban dan suhu pada ruangan gelap berbeda cukup besar dengan
udara terbuka. Pada jam 12.00 kelembaban pada udara terbuka, naungan 50% dan ruang
gelap adalah 63, 66, dan 85%. Pada saat itu (jam 12.00) suhu udara terbuka, naungan 50%,
dan ruang gelap masing-masing adalah 35, 34, dan 29o C (Lampiran 7).
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata naungan paranet 25%, 50%,
dan 75% menyebabkan intensitas cahaya yang diterima di bawah paranet menjadi 64%,
46%, dan 21% (Lampiran 12) Ini berarti paranet 25%, 50%, dan 75% yang dimaksud
dalam percobaan ini menyebabkan naungan aktual sebesar 36%, 54%, dan 79%. Dengan
demikian intensitas tanpa naungan, di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah
masing-masing 0.854, 0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2 mnt-1.
Rangkuman hasil analisis ragam ditunjukkan pada Lampiran 8 dan 10. Umumnya
naungan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diteliti, sedangkan genotipe berpengaruh
pada beberapa variabel. Pengaruh interaksi antara genotipe dan intensitas cahaya tidak nyata
kecuali pada variabel BSD dan kerapatan bulu daun pada percobaan II penelitian 2. Faktor
yang berpengaruh nyata dianalisis lebih lanjut, yang hasilnya dipaparkan pada Lampiran 13 –
17.
Morfologi delapan genotipe yang diuji pada empat tingkat naungan diperlihatkan pada
Lampiran 20 - 23. Tanaman yang dinaungi mengalami etiolasi (batang bertambah panjang,
kurus dan lemah) terutama pada perlakuan naungan 75%. Pada naungan 75% terjadi
52
penurunan yang drastis pada bobot akar (menjadi 4-8% terhadap kontrol) dan bintil akar
(menjadi 1-2% terhadap kontrol). Dari tabel pada Lampiran 20 - 24 bisa dilihat bahwa
pada umumnya perlakuan naungan 25% tidak berpengaruh nyata terhadap karakter
morfologi tanaman. Setelah tingkat naungan ditambah menjadi 50%, maka terjadi perubahan
yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa naungan 50% telah menimbulkan cekaman
sehingga tanaman mengalami perubahan morfologi yang nyata dibanding kontrol. Naungan
75% menimbulkan perubahan morfologi, tetapi tidak menimbulkan keragaman antar
genotipe. Jadi, naungan 50% sesuai untuk penyaringan ketenggangan dan penelitian
adapatasi. Hal ini sesuai dengan Sopandie et al (2002).
Hama tanaman yang ditemui selama percobaan berlangsung adalah belalang (Locusta
spp). Hama belalang menyerang terutama pada tanaman kontrol pada MT-1 (percobaan IA) saat tanaman berumur sekitar 45 – 60 HST. Serangan pada tanaman yang diberi
perlakuan naungan paranet lebih ringan dibanding tanaman kontrol karena adanya selubung
paranet sehingga hama lebih sulit masuk. Hama bisa dikendalikan setelah penyemprotan
dengan insektisida ditingkatkan menjadi 2 - 3 kali seminggu serta gulma di sekitar areal
percobaan disiangi dengan cara dipotong dan dibuang. Pada percobaan I-B (MT-2)
serangan hama tidak berarti karena areal percobaan bersih dari gulma dan penyemprotan
insektisida Decis menjadi 2 - 3 kali seminggu.
Keadaan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa faktor intensitas cahaya
yang menjadi perlakuan berbaur/bercampur (confounded) dengan faktor biotik (hama) dan
mikroklomat. Sebagai contoh, suhu udara di dalam naungan paranet lebih rendah di banding
suhu pada areal kontrol walaupun tidak berbeda jauh.
Penelitian 1.
Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap
Cekaman Intensitas Cahaya Rendah
Pengaruh faktor naungan dan genotipe terhadap produktivitas biji kedelai
diperlihatkan pada Lampiran 13 dan 14. Produktivitas delapan genotipe kedelai dipaparkan
pada Gambar 10 dan 11. Produktivitas kedelai pada penelitian ini bisa ditinjau dari dua
aspek, yaitu aspek praktis dan aspek pengembangan ilmu. Dalam aspek praktis pembahasan
difokuskan pada produksi aktual di lapang yang bisa diterapkan oleh petani dalam rangka
53
memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam aspek pengembangan ilmu pembahasan
difokuskan pada persentase penurunan produksi akibat naungan karena berhubungan
dengan mekanisme adaptasi.
Dari grafik pada Gambar 10 dan 11 bisa dilihat bahwa Klungkung Hijau yang menurut
Sopandie et al (2002) tergolong peka menghasilkan biji per tanaman tertinggi pada situasi
normal tanpa naungan (kontrol), baik pada musim tanam 1 (MT-1) maupun musim tanam 2
(MT-2). Produktivitas tertinggi juga terdapat pada Klungkung Hijau pada perlakuan
naungan 25% maupun 50% pada MT-1 maupun MT-2. Hasil ini menunjukkan bahwa
Klungkung Hijau lebih unggul dalam menghasilkan biji dibanding genotipe yang lain dalam
situasi cahaya yang manapun. Klungkung Hijau bahkan mengungguli varietas yang telah
dilepas sebagai varietas unggul nasional, yaitu Pangrango (T=toleran) dan Wilis (T=toleran).
Karena itu Klungkung Hijau bisa dipilih sebagai varietas yang dikembangkan di lahan yang
berintensitas cahaya rendah.
Pengelompokan tanaman berdasarkan keunggulan produktivitas biji aktual adalah
sebagai berikut. Pada MT-1, kelompok kedua yang unggul dalam produktivitas setelah
Klungkung Hijau (P) adalah Godek (P), Ceneng (T), dan Pangrango (T) yaitu unggul pada
kontrol, naungan 25% dan 50%. Pada MT-2, kelompok kedua yang unggul dalam
produktivitas setelah Klungkung Hijau adalah Pangrango (T), yaitu unggul pada situasi
normal, naungan 25%, dan 50%. Kelompok ketiga adalah Wilis (M), Tampomas (T),
MLG2999 (P), dan Godek (P). Sedangkan kelompok keempat adalah Ceneng (T) dan
B613 (T).
Secara umum naungan menyebabkan penurunan produktivitas semua genotipe kedelai
yang diuji. Hal ini sesuai dengan kesimpulan umum Baharsyah et al (1985), Sunarlim (1985)
pada varietas Williams dan Pella, serta Sopandie et al (2002) pada banyak varietas berbeda
yang menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya dapat menurunkan hasil biji kedelai.
Semakin besar naungan penurunan semakin besar juga, sehingga pada naungan 75%
penurunannya melebihi 90% dan antara semua genotipe kedelai berproduksi tidak berbeda
nyata. Semua genotipe berada dalam satu kelompok produksi (Gambar 10 dan 11).
54
Produkltivitas biji (g/tnm)
24
18
12
6
0
Kontrol
Ceneng
Wilis
Pangrango
25%
50%
Klungkung Hijau
Tampomas
MLG299
75%
B613
Godek
Gambar 10. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet
pada musim tanam 1
55
16
Produktivitas biji (g/tnm)
12
8
4
0
Kontrol
Ceneng
Wilis
Pangrango
25%
Klungkung Hijau
Tampomas
MLG299
50%
75%
B613
Godek
Gambar 11. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet
pada musim tanam II
Hasil penelitian Sopandie et al (2002 juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau
berproduksi tertinggi dibanding yang lain pada situasi normal. Dalam penelitian tersebut juga
56
ditunjukkan bahwa produktivitas Klungkung Hijau yang menurut Sopandie et al (2002)
peka menurun drastis pada naungan 50%, namun secara aktual masih lebih tinggi dibanding
Pangrango (toleran) dan B613 (toleran). Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan
penggolongan ketenggangan karena penentuan ketenggangan berdasarkan persentase hasil
terhadap kontrol (Sopandie et al, 2002).
Pada MT-1 Wilis (T), Pangrango (T), MLG2999 (P) dan Tampomas (T) mengalami
peningkatan produktivitas pada naungan 50%. Penyimpangan yang terjadi pada Wilis diduga
karena benih pada MT-1 tidak seragam yang disebabkan oleh penurunan viabilitas. Selain
itu, serangan hama belalang pada MT-1 membuat kerusakan pada tanaman kontrol, serta
kerusakan pada tanaman lain secara tidak seragam. Karena itu data produktivitas pada MT1 tidak digunakan pada pembahasan lebih lanjut. Untuk pembahasan lebih lanjut data yang
digunakan adalah data pada MT-2.
Data pada MT-2 menunjukkan bahwa pada naungan 25% dan 50% produktivitas
tinggi ada pada Klungkung Hijau (peka) dan Pangrango (toleran). Naungan 50%
menyebabkan penurunan produktivitas secara nyata (Tabel 2) pada genotipe B613 (toleran)
dan Godek (peka), tetapi tidak nyata pada MLG 2999 (peka), Klungkung Hijau (peka),
Wilis (moderat), Pangrango (toleran), Tampomas (toleran), dan Ceneng (toleran). Hasil
penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan
Ceneng, Pangrango, dan Tampomas sebagai toleran dan Godek sebagai peka. Hasil ini
berbeda dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan Klungkung Hijau dan MLG
2999 yang tergolong peka ternyata toleran dalam penelitian ini serta B613 yang tergolong
toleran ternyata peka dalam penelitian ini. Karena itu penggolongan Klungkung Hijau, MLG
2999, dan B613 belum stabil dan memerlukan pengujian lebih lanjut.
Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase penurunan produktivitas berkisar antara 25 –
35%. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Godek (peka), yaitu sebesar 36%,
sedangkan terkecil terdapat pada Ceneng (toleran) dan Klungkung Hijau, yaitu 25%.
Hasil penelitian ini sama dengan Sopandie et al (2002) dan Handayani (2003) yang
menyatakan bahwa Ceneng (T) mengalami penurunan terkecil (paling toleran), sedangkan
Godek (P) mengalami penurunan terbesar atau paling peka. Namun hasil ini berbeda dalam
besarnya persentaase penurunan pada genotipe toleran (Ceneng, B613, Pangrango, dan
Tampomas). Dalam penelitian ini Ceneng (P) mengalami penurunan 25%, sedangkan
57
penelitian Sopandi et al (2002) kurang dari 5%. Perbedaan juga terdapat pada genotipe
Klungkung Hijau (P) dan B613 (T). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase
penurunan produktivitas Klungkung Hijau (P) rendah dan tidak nyata atau bisa dinyatakan
sebagai toleran, sedangkan B613 (T) mengalami persentase penurunan yang besar dan nyata
sehingga bisa digolongkan sebagai genotipe peka.
Perilaku genotipe Ceneng yang mengalami persentase penurunan terendah dan Godek
yang mengalami penurunan tertinggi setelah diberi perlakuan naungan juga sama dengan hasil
Khumaida (2002). Perilaku MLG 2999 yang mengalami penurunan kecil juga sama dengan
Khumaida (2002). Hasil ini berbeda dengan Khumaida (2002) dalam hal perilaku genotipe
Wilis dan B613. Hasil penelitian Khumaida genotipe Wilis mengalami penurunan terbesar
sehingga bisa dikatakan peka, sedangkan B613 penurunan sedang atau bisa digolongkan
toleran. Karena itu disimpulkan bahwa Ceneng konsisten toleran dan Godek konsisten peka.
Selanjutnya Ceneng dan Godek bisa mewakili kelompok toleran dan peka. Genotipe lain
yang konsisten toleran adalah Pangrango dan Tampomas. Genotipe yang tidak stabil dan
memerlukan pengujian lebih lanjut adalah Klungkung Hijau, MLG299, dan B613.
Tabel 2. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada kontrol dan naungan 50%
(g/tanaman)
Kontrol
Naungan 50%
Persen penurunan
terhadap kontrol
1. Ceneng (T)
2. B 613 (T)
10.57
10.36
7.92
7.37 *
25
29
3. Pangrango (T)
14.05
9.93
29
4. Tampomas (T)
12.03
8.73
27
5. Wilis (M)
11.26
8.08
28
6. Mlg 2999 (P)
11.31
8.13
28
7. Klungkung Hijau (P)
15.70
11.81
25
8. Godek (P)
11.90
7.67 *
36
Genotipe
Ket:. Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t. Sebelum diolah secara statistik angka
persentase ditranformasi ke dalam log
58
Secara singkat hasil penelitian 1 menunjukkan bahwa Ceneng (T) konsisten sebagai
genotipe paling toleran, sedangkan Godek (P) paling peka. Selanjutnya, kedua genotipe
tersebut bisa menjadi model untuk mewakili masing-masing sebagai kelompok genotipe
toleran dan peka. Genotipe lain yang konsisten toleran adalh Pangrango dan Tampomas.
Meskipun Klungkung Hijau dan Ceneng sama-sama toleran intensitas cahaya rendah,
namun secara aktual produktivitas. Klungkung Hijau lebih baik. Produktivitas Klungkung
Hijau yang tinggi tetap terjadi pada situasi normal maupun ternaungi 25% dan 50%. Pada
situasi normal Klungkung menghasilkan biji 15.7 g per tanaman, sedangkan produktivitas biji
Ceneng 10.6 g per tanaman.
Penelitian 2.
Perubahan Struktur Daun untuk Mekanisme Penghindaran
Mekanisme penghindaran merupakan respon tanaman terhadap cekaman intensitas
cahaya rendah dengan meningkatkan penangkapan cahaya sehingga jaringan tanaman
terhindar dari defisit cahaya. Mekanisme penghindaran bisa dicapai tanaman melalui
perubahan anatomi dan morfologi daun serta aparatus fotosintesis yang berfungsi menangkap
cahaya (Levitt, 1980).
Respon terhadap Cekaman Naungan Sejak Tanam sampai Panen
Respon tanaman terhadap naungan 25%, 50%, dan 75% diperlihatkan pada
Lampiran 13 – 15. Berhubung menunjukkan pengaruh yang nyata interaksi antara naungan
dan genotipe ditunjukkan lebih lanjut pada Lampiran 18 dan 20. Khusus untuk respon
terhadap naungan 50% melalui perubahan ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik
daun, kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan kandungan klorofil dibahas lebih lanjut dan
dipaparkan pada Tabel 3 - 5.
Genotipe yang paling banyak mengalami perubahan nyata sebagai respon terhadap
naungan 50% adalah Tampomas (toleran), yaitu tiga perubahan nyata. B613 (toleran) dan
Godek (peka) mengalami satu perubahan nyata.
Tebal dan Luas Helai daun
Tabel 3 memperlihatkan pengaruh naungan 50% terhadap tebal dan luas helai daun
trifoliat. Persentase pengurangan ketebalan daun pada genotipe toleran umumnya secara
nyata lebih besar daripada kelompok peka.
Semua genotipe mengalami penurunan
59
ketebalan daun. Namun penurunan yang nyata hanya terjadi pada Ceneng (toleran), B613
(toleran), Wilis (moderat), Tampomas (toleran), dan Godek (peka). Dari tabel bisa dilihat
bahwa pada naungan 50% semua genotipe mempunyai ketebalan daun antara 0.06 – 0.08
mm, sementara itu pada kondisi normal antara 0.10 – 0.15 mm. Umumnya, genotipe yang
mengalami persentase penurunan ketebalan daun terbesar memiliki tebal daun yang besar
pada situasi normal. Penurunan ketebalan pada Ceneng juga lebih besar dibanding Godek.
Penurunan itu disebabkan oleh penipisan lapisan palisade daun sebagaimana terlihat pada
Gambar 12.
Tabel 3. Pengaruh naungan 50% terhadap ketebalan dan luas helai daun kedelai
Tebal daun (mm)
Genotipe
Kontrol
Luas daun (cm2)
Naungan 50%
Kontrol
Naungan 50%
1. Ceneng (T)
0.163
0.070 *
(57) a
116
147
(-26) ab
2. B 613 (T)
0.143
0.063 *
(56) a
131
132
(0) a
3. Pangrango (T)
0.107
0.063
(41) ab
90
138 *
(-54) c
4. Tampomas (T)
0.117
0.063 *
(46) ab
91
138 *
(-52) c
5. Wilis (M)
0.147
0.067 *
(55) a
115
134
(-17) ab
6. Mlg 2999 (P)
0.097
0.067
(25) b
75
100
(-33) bc
7. Klungkung
Hijau (P)
0.123
0.077
(38) ab
143
151
(-6) ab
8. Godek (P)
0.093
0.070 *
(25) b
99
111
(-13) ab
Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan
persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke
dalam arcsin y untuk kedua variabel
Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa perlakuan naungan 50% menyebabkan
peningkatan luas daun kedelai kecuali pada B613 (toleran). Peningkatan luas helai daun
60
antara dua genotipe yang memiliki selang perbedaan besar yaitu Ceneng (T) dan Godek (P)
tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sopandie et al (2005) yang
menunjukkan bahwa persentase peningkatan luas daun pada genotipe Pangrango (toleran)
dan Ceneng (toleran) lebih besar dibanding dengan Godek (peka). Karena itu disimpulkan
perluasan helai daun tidak konsisten sebagai kriteria yang menentukan bagi mekanisme
adaptasi melalui penghindaran.
Bobot Spesifik, Kerapatan Bulu dan Stomata Daun
Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun (BSD), kerapatan bulu, dan
kerapatan stomata disajikan pada Tabel 4. Umumnya kedelai mengalami penurunan BSD
bila dinaungi. Dalam penelitian ini penyimpangan terjadi pada B613 (toleran) dan Tampomas
(toleran), yaitu tidak mengalami penurunan BSD, tetapi malah meningkat. Hasil penelitian
umumnya menunjukkan penurunan BSD pada tanaman yang dinaungi sebagaimana
disimpulkan oleh Givnish et al (1988). Hasil penelitian pada manggis (Wiebel et al, 1994),
Amborella trichopoda (Field et al, 2001) dan Barringtonia (Feng et al, 2004) menunjukkan
bahwa naungan menyebabkan penurunan BSD.
Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sunarlim (1988) yang
menunjukkan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap BSD. Hampir semua (kecuali
MLG299 dari genotipe yang diuji pada penelitian ini juga menunjukkan BSD tidak berbeda
nyata antara yang dinaungi 50% dan kontrol. Diduga saat diamati kandungan karbohidrat
bisa menambah bobot (dibahas lebih lanjut pada sub bab Pembahasan Umum). Penelitian ini
menunjukkan bahwa persentase penurunan BSD pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek.
Penurunan ini berarti untuk masa daun yang sama (tetap) luas daunnya bertambah.
Luas daun bertambah menunjukkan upaya tanaman memperluas permukaan areal
penerimaan cahaya sehingga tanaman bisa memanfaatkan cahaya yang langka. Berhubung
data menunjukkan bahwa genotipe peka cenderung mengalami persentase penurunan BSD
lebih besar daripada peka (kecuali antara Ceneng dan Godek), maka variabel BSD
bukanlah faktor yang menentukan dalam mekanisme penghindaran. Namun, ada
kemungkinan juga kandungan karbohidrat dalam daun ikut berperan menambah bobot daun,
sehingga terjadi penyimpangan. Pengambilan sampel mungkin lebih baik pada pagi hari
sebelum daun kedelai memiliki laju fotosintesis tinggi.
61
Tabel 4. Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun, kerapatan bulu, dan
kerapatan stomata
Bobot spesifik daun
Kerapatan bulu
Kerapatan stomata
Genotipe
Kontrol
Naungan
------ g/dm2 ------
Kontrol
Naungan
Kontrol Naungan
---- per 10 mm2 ---
----- per mm2 ----
1. Ceneng (T)
0.337
0.230
(32) a
13
7*
(49) a
277
244
(12) c
2. B 613 (T)
0.227
0.250
(-9) b
19
17
(10) a
313
263
(16) bc
3. Pangrango (T)
0.187
0.177
(5) b
13
15
(-10) b
270
238
(12) c
4. Tampomas (T)
0.197
0.263
(-34) c
26
13 *
(51) a
288
228
(21) abc
5. Wilis (M)
0.283
0.187
(34) a
17
11 *
(37) a
310
214
(31) ab
6. Mlg 2999 (P)
0.213
0.130 *
(39) a
12
7*
(41) a
306
250
(18) abc
7. Klungkung (P)
0.283
0.187
(34) a
12
12
(3) ab
339
219 *
(35) a
8. Godek (P)
0.200
0.203
(0) b
17
15
(10) a
284
263 *
(8) c
Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan
persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke
dalam arcsin y, log y, dan Arcsin y untuk variabel BSD, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata
Pada penelitian ini sampel daun diambil pada jam 10.00. Pada jam 09.30 intensitas
cahaya di bawah paranet 50% adalah 0.393 kal cm-2 mnt-1 (Tabel 20), sedangkan intensitas
cahaya yang memberi fotosintesis optimum berkisar antara 0.3 – 0.8 kal cm-2 mnt-1 (White
dan Izquierdo, 1993).
Penelitian Sunarlim (1985) menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan
perubahan pada BSD. Jadi. respon tanaman terhadap naungan dalam bentuk perubahan
BSD bervariasi. Antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka) terjadi perbedaan persentase
62
penurunan bobot spesifik yang nyata. Namun keduanya tidak mengalami perubahan BSD
yang nyata pada naungan 50%.
Ceneng
Ceneng
Cahaya normal
Godek
Naungan 50%
Godek
Cahaya normal
Naungan 50%
Gambar 12. Penampang melintang daun kedelai genotipe Ceneng (toleran) dan Godek
(peka) pada kontrol dan naungan paranet 50% (400 X)
bar =0.05 mm
63
Kerapatan bulu daun cenderung menurun pada perlakuan naungan 50% (Tabel 4).
Penyimpangan terjadi pada Pangrango. Pada Pangrango kerapatan bulu daun malah
meningkat sebesar 10%. Dari kelompok toleran, yang mengalami penurunan kerapatan bulu
daun secara nyata adalah Ceneng dan Tampomas, sedangkan dari kelompok peka adalah
MLG2999. Persentase penurunan kerapatan bulu pada Ceneng (toleran) lebih besar
dibanding dengan Godek (peka), tetapi tidak berbeda nyata secara statistik.
Hasil ini berbeda dengan Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa persentase
penurunan kerapatan bulu saat 6 – 8 MST lebih tinggi pada Godek dibanding Ceneng dan
Pangrango.
Yang menarik pada hasil penelitian Sopandie et al (2005) adalah pada
pengamatan saat 4 - 6 MST kerapatan bulu pada kedelai yang dinaungi meningkat. Jadi
kemungkinan terjadi variasi pada kerapatan bulu cukup besar, sebagaimana diketahui bahwa
pada penelitian ini sampel daun diambil saat kedelai berumur 30 HST atau sekitar 4 MST.
Tanaman yang ternaungi memiliki kerapatan bulu daun lebih sedikit. Bulu pada daun
bisa memantulkan cahaya kembali ke atmosfer. Karena itu penurunan kerapatan bulu daun
bisa mengurangi cahaya yang dipantulkan atau penyerapan cahaya oleh daun meningkat
(Hale dan Orcutt, 1987; Bolhar-Nordenlampf dan Draxler, 1993). Jadi, penurunan bulu
daun merupakan adaptasi tanaman melalui penghindaran kekurangan cahaya (Levitt, 1981).
Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok genotipe
toleran dan kelompok peka. Hal ini berarti bahwa kerapatan bulu kurang penting dalam
menentukan mekanisme penghindaran. Diduga cahaya yang dipantulkan kembali oleh bulu
daun bisa ditangkap oleh helai daun lain pada tanaman yang sama.
Semua genotipe mengalami penurunan kerapatan stomata bila dinaungi paranet 50%
sejak tanam. Namun, penurunan yang nyata hanya terjadi pada Klungkung Hijau (peka).
Penurunan terbesar terjadi pada Klungkung Hijau (peka) yang berbeda nyata dengan
Ceneng (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Hasil ini hampir sama dengan
Sopandie et al, (2002) yang menunjukkan bahwa genotipe peka mengalami penurunan
stomata lebih besar dibanding genotipe toleran. Perbedaannya adalah bahwa pada penelitian
disertasi ini penurunan stomata tidak berbeda nyata antara Ceneng (toleran) dan Godek
(peka).
64
Stomata merupakan lubang pintu pada daun untuk pertukaran gas antara atmosfer dan
bagian dalam daun (Gardner et al, 1990). Kerapatan stomata pada hasil penelitian ini
mendekati sama dengan kesimpulan Lersten dan Carlson (1987) yang menyatakan bahwa
kerapatan stomata kedelai daun bagian bawah rata-rata 316 per mm2. Selanjutnya, hasil
yang menunjukkan bahwa kerapatan stomata berkurang bila kedelai ditempatkan pada
tempat lebih gelap sesuai dengan Lersten dan Carlson (1987)
Stomata berhubungan dengan pertukaran gas CO2 yang menjadi bahan baku
fotosintesis daun. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata semakin tinggi daya hantar
sehingga pertukaran CO2 semakin tinggi (Taiz dan Zeiger, 1991). Dalam lingkungan defisit
cahaya laju pertukaran gas bukanlah faktor pembatas. Kerapatan stomata tidak
berhubungan langsung dengan penangkapan cahaya. Karena itu penurunan kerapatan
stomata bukanlah termasuk mekanisme penghindaran walaupun bisa menentukan tingkat laju
fotosintesis..
Kandungan Klorofil Daun
Kandungan klorofil daun dipaparkan pada Tabel 5. Semua genotipe mengalami
peningkatan kandungan klorofil a dan klorofil b. Namun peningkatannya tidak nyata.
Persentase peningkatan klorofil a antar genotipe sama. Untuk kandungan klorofil b,
ternyata B613 (T) yang peningkatannya terhadap kontrol tidak nyata, persen peningkatan
kandungan klorofil b lebih besar daripada Godek (P). Karena itu diduga peningkatan
kloriofil b ini yang menentukan adaptasi B613 sehingga toleran terhadap naungan.
Persentase peningkatan klorofil b yang lebih tinggi dibanding persentase kenaikan
klorofil a menyebabkan rasio klorofil a terhadap klorofil b (klorofil a/b) daun semakin kecil
pada tanaman yang diberi naungan. Semua genotipe mengalami penurunan rasio klorofil a/b.
Hanya MLG2999 (peka) yang tidak mengalami penurunan. Pesentase penurunan terbesar
terdapat pada Klungkung (peka). Rata-rata persentase penurunan rasio klorofil a/b tidak
berbeda nyata antara kelompok toleran dan peka.
Secara umum hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan kesimpulan Givnish et al
1988) dan hasil penelitian pada manggis (Wiebal et al, 1994), kapas (Zhao dan Oosterhuis,
1998), padi (Lautt, 2000) dan kedelai (Sopandie et al, 2002) yang menunjukkankan
bahwa naungan meningkatkan kandungan klorofil a dan klorofil b.
65
Tabel 5. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun delapan genotipe kedelai
Klorofil a (mg/g)
Klorofil b (mg/g)
Rasio klorofil a/b
Genotipe
1. Ceneng (T)
Kontrol
Naungan
Kontrol
Naungan
Kontrol
Naungan
1.43
2.05
0.56
0.86
2.43
2.28
(43)
(53) ab
(-6) ab
2. B 613 (T)
1.25
1.96
(57)
0.49
0.82
(67) a
2.47
2.31
(-6) ab
3. Pangrango (T)
1.24
1.69
(45)
0.46
0.69
(51) ab
2.43
2.33
(-4) ab
4. Tampomas (T)
1.27
1.73
(36)
0.51
0.72
(42) ab
2.36
2.30
(-3) ab
5. Wilis (M)
1.28
1.49
(17)
0.51
0.62
(22) b
2.45
2.34
(-4) ab
6 Mlg 2999 (T
1.24
1.94
(56)
0.53
0.76
(44) ab
2.35
2.42
(3) b
7 Klungkung
Hijau (P)
1.11
1.83
(64)
0.43
0.79
(83) a
2.63
2.25
(-15) a
8 Godek (P)
1.22
1.66
(36)
0.51
0.69
(35) b
2.32
2.38
(2) ab
Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan
persentase peningkatan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke
dalam log y, log y, dan arcsin y untuk variabel klorofil a, klorofil b, dan rasio klorofil a/b
Penurunan rasio klorofil a/b terjadi juga pada tanaman lain seperti tanaman tahunan
berbentuk pohon talas (Johnston dan Onwueme, 1998), kapas (Zhao dan Oosterhuis,
1998) dan Arabidopsis (Weston et al, 2000). Penurunan rasio klorofil a/b dimaksudkan
untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya bagi tanaman secara keseluruhan. Klorofil
b lebih efisien dalam menangkap cahaya dibanding dengan klorofil a sehingga respon
tanaman lebih diarahkan untuk meningkatkan klorofil b (Hidema et al, 1992 dan Taiz dan
Zeiger, 1991).
Secara rata-rata persentase peningkatan klorofil a dan b tidak berbeda nyata antara
kelompok genotipe toleran dan kelompok peka. Namun begitu, Godek (P) terbukti
66
mengalami persentase peningkatan lebih rendah dibanding yang lain. Karena itu peningkatan
kandungan klorofil merupakan ciri bagi mekanisme penghindaran yang akan tampak berbeda
bila dibandingkan antara genotipe yang ketenggangannya ekstrim.
Pengaruh cahaya terhadap pembentukan klorofil meliputi dua proses (Gambar 4 pada
Bab Tinjauan Pustaka) yaitu pada pengekspresian gen cab dan pada perubahan
protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil (Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya, klorofil b
bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Gambar 5). Hambatan pembentukan gen cab bisa
disebabkan oleh tingkat kandungan karbohidrat yang tinggi (Madore, 1997).
Hal ini bisa menjelaskan fenomena rendahnya kandungan klorofil pada intensitas
cahaya tinggi. Pada intensitas cahaya tinggi laju fotosintesis bisa mencapai maksimum dan
menghasilkan banyak karbohidrat. Karbohidrat tinggi ini selanjutnya diduga menghambat
pembentukan gen cab sehingga pembentukan klorofil berkurang. Sebaliknya, pada intensitas
cahaya rendah pembentukan gen cab sedikit dihambat oleh karbohidrat sehingga
pembentukan klorofil juga berlangsung lebih tinggi daripada pada intensitas cahaya tinggi.
Secara statistik rasio kandungan klorofil a/b delapan genotipe pada kondisi kontrol
tidak berbeda nyata. Perlakuan naungan 50% tidak mengubah rasio kandungan klorofil a
terhadap b. Kecuali Godek (P) dan MLG2999 (P) semua genotipe cenderung mengalami
penurunan rasio klorofil a/b setelah dinaungi 50%. Secara rata-rata persentase perubahan
(penurunan) rasio kandungan klorofil a/b antara kelompok toleran dan peka tidak berbeda
nyata. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Klungkung Hijau (P), sementara
terendah pada MLG2999 (P) dan Godek (P). Di sini terlihat bahwa genotipe toleran efektif
menangkap cahaya pada kondisi langka cahaya dengan mempertinggi proporsi perubahan
pada klorofil b. Data ini juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau berperilaku seperti pada
genotipe toleran. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sopandie et al (2002) dan Sopandie et
al (2005) yang menunjukkan bahwa rasio klorofil a/b mengalami penurunan lebih besar pada
genotipe peka dibanding toleran. Jadi, tampaknya yang menentukan mekanisme
penghindaran adalah kandungan klorofil a dan b aktual. Dalam hal ini, baik hasil penelitian ini
maupun penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan bahwa secara umum genotipe toleran
mengalami persentase peningkatan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding genotipe
peka, terutama bila perbandingannya antara Ceneng (konsisten toleran) dan Godek
(konsisten peka).
67
Meskipun tidak selalu nyata, semua genotipe baik dari kelompok toleran maupun
peka mengalami perubahan karakter daun menuju yang lebih sesuai untuk intensitas cahaya
rendah. Secara rata-rata kelompok genotipe toleran menunjukkan perubahan yang lebih
besar secara nyata pada variabel tebal daun. Sementara itu pada variabel BSD, luas daun,
kerapatan bulu daun, klorofil a dan klorofil b, terjadi variasi pada genotipe toleran maupun
peka. Untuk variabel yang tidak berkaitan langsung dengan mekanisme penghindaran,
seperti stomata persentase penurunannya tidak berbeda nyata.
Masing-masing genotipe berbeda-beda dalam merespon intensitas cahaya rendah.
Genotipe dari kelompok genotipe toleran tidak selalu mengalami perubahan yang nyata pada
variabel karakteristik daunnya bila dinaungi 50%. Sebaliknya, kelompok genotipe pada
kelompok peka ternyata bisa mengalami perubahan yang nyata, sementara genotipe pada
kelompok toleran tidak nyata.
Genotipe toleran naungan tidak selalu mengalami perubahan karakter daun yang lebih
besar dalam rangka mekanisme penghindaran yang lebih baik. Hanya variabel ketebalan
daun yang menunjukkan persentase perubahan yang lebih besar dan nyata pada kelompok
toleran. Karena itu, hanya ketebalan daun yang menunjukkan perubahan struktur daun yang
penting bagi mekanisme penghindaran terhadap intensitas cahaya rendah.
Respon terhadap Perlakuan Variasi Pergiliran Gelap-Terang
Pengukuran ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu, dan
kerapatan stomata dan kandungan klorofil pada kondisi kontrol berbeda antara percobaan I
dan percobaan II. Ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu,
kandungan klorofil daun tanaman pada percobaan II lebih tinggi daripada percobaan I. Hal
ini karena tanaman pada percobaan II lebih subur daripada pada percobaan I.
Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap terang terhadap ketebalan daun, luas daun,
bobot spesifik, bulu daun, dan stomata ditunjukkan pada Tabel 6 – 10. Pada Tabel 6 dan
Lampiran 16 terlihat bahwa perlakuan variasi pergiliran gelap – terang tidak selalu
berpengaruh nyata terhadap ketebalan daun. Perbedaan persentase pengurangan ketebalan
daun antar kelompok tidak nyata. Meskipun tidak selalu nyata, terdapat kecenderungan
bahwa perlakuan gelap 3 hari dalam variasi pergiliran manapun dapat menyebabkan
penurunan ketebalan daun.
68
Pada Perlakuan TGN persentase penurunan ketebalan tidak berbeda nyata antar
genotipe. Pada perlakuan GTG persentase penurunan ketebalan pada Godek lebih tinggi
daripada pada B613. Pada perlakuan TGT terjadi perbedaan persentase pengurangan
ketebalan antara B613 dan Pangrango.
Tabel 6. Ketebalan daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang
saat 32 HST (mm)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
0.20
0.16
(20)
0.20
(0) ab
0.15
(26) ab
0.13
(38)
2. B613 (T)
0.18
0.14
(23)
0.15
(17) a
0.17
(4) b
0.16
(19)
3. Pangrango (T)
0.17
0.18
(-4)
0.19
(-12) b
0.13
(28) ab
0.15
(15)
4. Godek (P)
0.19
0.14
(23)
0.17
(11) ab
0.11
(41) a
0.13
(29)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka
persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=TerangGelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat
perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Ketebalan daun yang lebih kecil diduga karena pengembangan sel yang kurang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Taiz dan Zeiger (1991) pembesaran sel disebabkan oleh
tekanan hidrostatis yang mengarah keluar setelah sejumlah air berdifusi ke dalam sel. Diduga
air yang berdifusi pada perlakuan gelap lebih kecil karena karbohidrat yang kecil juga
menarik air lebih sedikit.
Perlakuan gelap 3 hari dalam urutan pergiliran manapun tidak berpengaruh nyata
terhadap luas daun, meskipun ada kecenderungan menurunkan luas daun (Tabel 7 dan
Lampiran 9). Pada perlakuan GTG penurunan pada Godek lebih tinggi. Penjelasan pada
ketebalan daun juga berlaku di sini, yaitu kandungan air yang sedikit menyebabkan tekanan
hidrostatis yang lebih kecil sehingga sel tidak membesar pada perlakuan gelap.
69
Beberapa penyimpangan bisa dijelaskan sebagai berikut. Penelitian pada Arabidobsis
(Weston et al, 2000) mengungkapkan bahwa pengaruh intensitas cahaya terhadap anatomi
daun bisa terlihat bila perlakuan defisit cahaya terjadi selama 6 hari. Dalam penelitian ini,
perlakuan gelap-terang bergiliran selama 3 hari. Jadi, dalam waktu 9 hari perlakuan terjadi
respon yang berubah-rubah sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan.
Tabel 7. Luas helai daun trifoliat pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang
saat 32 HST (cm2)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
139
152
(-9)
118
(15)
142
(-2) b
130
(7)
2. B613 (T)
139
119
(14)
128
(8)
137
(1) ab
121
(13)
3. Pangrango (T)
102
123
(-21)
116
(-14)
91
(11) ab
106
(-4)
4. Godek (P)
133
123
(8)
109
(19)
87
(35) a
113
(16)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka persentase
ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-GelapTerang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan
urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Perlakuan gelap berpengaruh nyata terhadap bobot spesifik daun (Tabel 8 dan
Lampiran 16). Respon kelompok genotipe toleran dan peka tidak berbeda nyata. Perlakuan
gelap dalam variasi pergiliran manapun asal tidak diberi terang tiga hari di akhir
menyebabkan penurunan bobot spesifik daun (bobot/luas). Penurunan yang nyata ini tidak
hanya disebabkan oleh penipisan daun tetapi juga karena kehilangan massa dalam internal
daun dan kandungan karbohidrat berkurang. Perlakuan cahaya tiga hari di urutan terakhir
menyebabkan bobot spesifik daun seperti kontrol. Urutan gelap atau terang di urutan akhir
menunjukkan bahwa faktor massa hasil fotosintesis (karbohidrat) diduga ikut menentukan
bobot spesifik daun. Pembahasan lebih lanjut dikemukakan pada sub Bab Pembahasan
Umum
70
Hasil ini menunjukkan bahwa sinyal lingkungan gelap mungkin telah ditangkap oleh
tanaman. Namun saat itu perumbuhan jaringan tinggal ditentukan oleh pembesaran sel karena
pembelahan sel telah selesai. Karena itu panjang sel palisade ditentukan oleh dinding sel yang
sedang mengembang karena tekanan hidrostatis.
Tabel 8. Bobot spesifik daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (g/dm2)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
0.80
0.48
(40) a
0.80
(0)
0.59
(26)
0.61
(24)
2. B613 (T)
0.90
0.70
(22) b
0.74
(17)
0.74
(18)
0.72
(20)
3. Pangrango (T)
0.73
0.50
(32) ab
0.74
(-2)
0.59
(18)
0.56
(22)
4. Godek (P)
0.68
0.50
(26) ab
0.72
(-6)
0.50
(26)
0.61
(10)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Kerapatan bulu daun tidak dipengaruhi oleh perlakuan gelap 3 hari. (Tabel 9 dan
Lampiran 9). Hal itu dibuktikan lagi bahwa persentase penurunan tidak berbeda nyata antar
genotipe. Bulu daun termasuk sel epidermis daun (Taiz dan Zeiger, 1991). Jadi perbedaan
kerapatan bulu daun adalah merupakan variasi antar jaringan epidermis daun.
Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap-terang terhadap kerapatan stomata
diperlihatkan pada (Tabel 10 dan Lampiran 9). Persentase penurunan karena perlakuan
gelap juga tidak berbeda nyata antar genotipe, sehingga antar kelompok juga sama. Jadi,
perbedaan kerapatan stomata hanya disebabkan oleh variasi dalam tanaman atau dalam
genotipe yang sama.
Tabel 9. Kerapatan bulu daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (bulu/ 10 mm2)
71
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
22
16
(25)
9
(58)
16
(29)
8
(63)
2. B613 (T)
26
31
(-19)
26
(2)
26
(-2)
30
(-15)
3. Pangrango (T)
22
20
(12)
19
(13)
22
(0)
18
(18)
4. Godek (P)
18
20
(-12)
21
(-16)
18
(-1)
19
(-5)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara
statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Perlakuan variasi pergiliran gelap terang berpengaruh terhadap kandungan klorofil a
daun kedelai (Tabel 11 dan Lampiran 13). Respon kelompok toleran dan kelompok peka
tidak berbeda nyata. Secara umum perlakuan gelap yang digilir dengan terang dalam variasi
apapun menyebabkan penurunan kandungan klorofil a daun. Kerusakan terkecil terdapat
pada B613 (toleran). Gelap dapat menyebabkan kerusakan pigmen sistem fotosintesis
(Levitt, 1980), termasuk klorofil a. Penelitian Lautt (2003) juga menunjukkan bahwa klorofil
mengalami penurunan pada perlakuan penggelapan.
Pada perlakuan gelap tiga hari sebanyak dua kali persentase penurunannya juga lebih
besar dibanding gelap tiga hari yang hanya sekali. Penelitian Khumaida (2002)
mengungkapkan bahwa pada kondisi gelap gen pembentuk LHC yang berisi klorofil tidak
terbentuk. Klorofil bisa mengalami kerusakan yang menyebabkan kandungan klorofil
berkurang, tetapi juga mengalami perbaikan yang menyebabkan peningkatan kandungan
klorofil.
Perlakuan gelap juga menyebabkan kandungan klorofil b turun. Penurunan nyata
terjadi pada Ceneng (T), Pangrango (T), dan Godek (P). Seperti klorofil a, klorofil b juga
mengalami kerusakan pada lingkungan gelap. Persentase penurunan terkecil pada perlakuan
gelap tiga hari dijumpai pada B613 yang berbeda nyata dengan Ceneng dan Pangrango.
Persentase penurunan klorofil a dan klorofil b sama sehingga rasio klorofil a tetap. Seperti
72
pada klorofil a, perlakuan gelap dua kali menyebabkan kerusakan klorofil b lebih besar
dibanding perlakuan gelap satu kali.
Pada naungan 25% - 75% terus menerus sejak tanam (percobaan I) kedelai
beradaptasi dengan meningkatkan kandungan klorofil a dan b daun. Seperti telah
diungkapkan di atas, naungan ekstrim (gelap) bisa menyebabkan kerusakan pigmen.
Genotipe B613 tidak mengalami perubahan kandungan klorofil a dan klorofil b atau
mengalami persentase penurunan terkecil dibanding yang lain, yang berarti tidak mengalami
kerusakan pigmen secara nyata.
Tabel 10. Kerapatan stomata daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST (stomata per mm2)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
223
233
(-4)
219
(2)
152
(32)
192
(14)
2. B613 (T)
184
160
(13)
184
(0)
188
(-2)
145
(21)
3. Pangrango (T)
195
191
(2)
179
(8)
192
(2)
217
(-11)
4. Godek (P)
168
153
(9)
(159
(5)
183
(-9)
166
(1)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara
statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log . T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Perlakuan TGN dan TGT bisa mengambarkan adanya pemulihan kembali setelah ada
kerusakan karena gelap (cekaman ekstrim). Dari Tabel 11 tampak bahwa kandungan
klorofil a pada perlakuan naungan atau terang setelah perlakuan gelap (TGN atau TGT)
cenderung lebih tinggi pada Ceneng dan Godek, dibanding Pangrango. Dalam istilah Levitt
(1980 ), kerusakan klorofil karena cekaman defisit cahaya ekstrim merupakan strain
elastis, yaitu perubahan (kerusakan) yang dapat diperbaiki kembali. Hal ini juga tampak dari
pengamatan warna daun. Satu hari setelah tanaman dipindahkan dari ruang gelap ke
lapangan maka daun yang semula pucat dan layu kembali hijau dan segar.
73
Tabel 11. Kandungan klorofil a daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST (mg/g)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
1.69
1.13
(33) a
1.76
(-4) b
1.06
(37) ab
1.46
(14)
2. B613 (T)
1.41
1.24
(12) b
1.19
(16) ab
1.21
(14) b
1.32
(6)
3. Pangrango (T)
1.76
1.28
(27) ab
1.21
(31) a
1.03
(41) a
1.40
(20)
4. Godek (P)
1.49
1.18
(21) ab
1.26
(15) ab
1.04
(30) ab
1.44
(3)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam Arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Pengamatan terhadap kandungan klorofil b menunjukkan fenomena yang sama dengan
klorofil a yaitu perlakuan cahaya terang atau naungan cenderung menaikkan kembali
kandungan klorofil b (Tabel 12 dan Lampiran 16). Kandungan klorofil b tidak mengalami
perubahan nyata pada B613. Artinya, genotipe B613 mampu menghindar dari kerusakan
pigmen. Dengan menggunakan teori Levitt
(1980), maka B613 mampu beradaptasi
terhadap cekaman defisit cahaya ekstrim dengan mekanisme toleransi, yaitu dengan
menghindari kerusakan pigmen. Sementara pada Ceneng, Pangrango, dan Godek mengalami
kerusakan. Kandungan klorofil b yang lebih tinggi pada TGN dan TGT dibanding GTG dan
TTG membuktikan bahwa kerusakan itu bersifat elastis atau bisa pulih kembali pada
Ceneng, Pangrango, dan Godek.
Pada kontrol rasio klorofil a/b antar genotipe tidak berbeda nyata secara statistik.
Perlakuan variasi pergiliran gelap-terang tidak mengubah rasio klorofil a/b pada Ceneng,
Pangrango, B613, dan Godek. Persentase penurunan akibat perlakuan variasi pergiliran
gelap-terang juga kecil dan sama pada semua perlakuan dan genotipe.
74
Tabel 12. Kandungan klorofil b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST (mg/g)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
0.62
0.41
(31) a
0.62
(0)
0.37
(41) a
0.54
(14)
2. B613 (T)
0.54
0.51
(6) b
0.43
(21)
0.45
(18) b
0.48
(12)
3. Pangrango (T)
0.75
0.48
(36) a
0.53
(30)
0.40
(47) a
0.56
(26)
4. Godek (P)
0.61
0.54
(12) b
0.51
(17)
0.40
(35) ab
0.58
(5)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Secara umum perlakuan gelap 3 hari tidak mengubah karakter anatomi dan morfologi
daun yang berhubungan dengan mekanisme penghindaran. Hal ini karena struktur sel sudah
terbentuk dan tidak mengalami perubahan kerusakan fisik. Sebaliknya, kandungan klorofil
mengalami perubahan karena gelap bisa merusak klorofil. Terang 3 hari setelah gelap
menyebabkan kandungan klorofil kembali seperti semula. Hal ini sesuai dengan Newcomb
(1990), Gardner et al, (1990), dan Taiz dan Zeiger (1991) yang menyatakan bahwa klorofil
bisa rusak dalam gelap. tetapi bisa pula mengalami perbaikan setelah cukup cahaya.
Mohr dan Schopfer (1995) menunjukkan bahwa pembentukan klorofil mutlak
memerlukan cahaya. Peran cahaya itu terdapat pada dua proses. Proses pertama yaitu
pada perubahan fitokrom Pr menjadi Pfr yang aktif. Pfr adalah fitokrom yang penting dalam
transkripsi gen untuk pembentukan klorofil. Proses kedua yang memerlukan cahaya reduksi
protoklorofil (P Chl) menjadi klorofilida a (Chl).
Lebih lanjut, Khumaida (2003)
menunjukkan bahwa naungan 50% dapat menimbulkan ekspresi gen untuk komplek protein
pemanen cahaya (LHCP), tetapi gelap 1 dan 3 hari tidak menyebabkan ekspresi gen
tersebut.
75
Tabel 13. Rasio kandungan klorofil a/b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran
tiga hari gelap-terang saat 32 HST
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
2.75
2.74
(0)
2.86
(-4)
2.89
(-5)
2.73
(1)
2. B613 (T)
2.62
2.43
(7)
2.76
(-5)
2.71
(-3)
2.76
(-5)
3. Pangrango (T)
2.38
2.69
(-13)
2.40
(-1)
2.57
(-8)
2.49
(-5)
4. Godek (P)
2.43
2.28
(6)
2.52
(-4)
2.61
(-7)
2.50
(-3)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara
statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada naungan 50% kedelai tidak mengalami
perubahan struktur daun yang berkaitan dengan mekanisme penghindaran, kecuali ketebalan
daun. Genotipe Ceneng (T) memiliki mekanisme lebih baik bila dibandingkan dengan Godek
(P).
Penelitian 3.
Perubahan Fisologi sebagai Mekanisme Toleransi
Pada kontrol aktivitas rubisco Ceneng lebih rendah daripada Godek walaupun tidak
nyata. Naungan 50% menyebabkan aktivitas rubisco Ceneng dan Godek turun. walaupun
tidak nyata. Genotipe peka kekurangan cahaya (Godek) mengalami persentase penurunan
lebih besar yaitu sebesar 76%, dibandingkan yang toleran (Ceneng) yaitu 32%. Persentase
penurunan itu tidak nyata pada DMRT 5%. Namun pada DMRT 10% persentase
penurunan pada Godek nyata. Perbedaan persentase penurunan antara Ceneng dan Godek
tidak nyata. Fenomena ini bisa dibandingkan dengan naungan pada padi. Pada padi naungan
menyebabkan aktivitas rubisco turun, namun penurunan lebih besar pada padi yang peka
naungan (Sopandie et al, 2003a).
76
Pada kondisi tanpa naungan kandungan sukrosa daun Ceneng dan Godek masingmasing 150 ppm dan 185 ppm. Penurunan sebesar 1% pada Ceneng dan 30% pada
Godek secara statistik tidak nyata. Penelitian pada padi menunjukkan bahwa perlakuan
naungan menyebabkan kandungan sukrosa turun pada genotipe peka, tetapi meningkat pada
genotipe yang toleran naungan (Lautt, 2000). Dalam penelitian ini persentase penurunan
kandungan sukrosa antara Ceneng dan Godek tidak berbeda nyata.
Penurunan intensitas cahaya menyebabkan penurunan akumulasi pati (Weston et al,
2000). Pada penelitian ini penurunan kandungan pati akibat naungan 50% tidak nyata baik
pada Ceneng (T), maupun pada Godek (P). Besarnya persentase penurunan hampir sama
antara Ceneng dan Godek. Persentase penurunan kandungan pati pada Ceneng 28% dan
pada Godek 32%, yang secara statistik tidak berbeda nyata. Perbedaan respon antara
sukrosa dan pati menyebabkan rasio sukrosa dan pati berubah. Karena saat dinaungi
persentase relatif kandungan sukrosa daun pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek,
sedangkan persentase relatif kandungan pati hampir sama maka peningkatan perimbangan
sukrosa terhadap pati menjadi lebih tinggi pada Ceneng (T) daripada Godek (P) saat
dinaungi.
Sukrosa dan pati merupakan produk akhir fotosintesis. Keduanya saling berkompetisi
karena bahan baku keduanya sama, yaitu triosfosfat (Gambar 6). Pati terbentuk bila
triosfosfat hasil fotosintesis tertahan di kloroplas baik karena kecepatan penangkapan CO2
yang sangat tinggi maupun hambatan transpor triosfosfat ke sitosol (Gardner et al, 1990).
Penumpukan pati pada kloroplas dapat mengurangi laju fotosintesis (Shibels et al, 1987;
White dan Izquierdo, 1993).
Pada tanaman yang ternaungi rasio kandungan sukrosa/pati merupakan variabel
penting yang dapat menentukan ketenggangan terhadap naungan. Rasio sukrosa/pati yang
tinggi dapat memperlancar hasil fotosintesis pada tanaman yang ternaungi. Genotipe toleran
naungan memiliki rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada perlakuan naungan dibanding yang
peka (Murty dan Sahu, 1987). Penelitian Lautt (2003) pada padi menunjukkan tanaman
yang toleran naungan bahkan memiliki kandungan sukrosa dua kali lipat lebih tinggi pada
kondisi ternaungi daripada kontrol, sedangkan yang peka menjadi berkurang bila diberi
perlakuan
77
Tabel 14. Pengaruh naungan terhadap aktivitas rubisco, sukrosa, pati, dan aktivitas SPS
N a u n g a n
Kultivar
Kontrol
Naungan 50%
……………….Aktivitas rubisco (nmol CO2/g BB/mnt) ……………….
Ceneng (T)
Godek (P)
0.126
0.086
(32)
0.172
0.042
(76)
………………….Sukrosa (ppm) ………………….
Ceneng (T)
Godek (P)
150
149
(1)
185
129
(30)
………………….Pati (mg/g) ………………….
Ceneng (T)
Godek (P)
3.63
2.62
(28)
2.60
1.78
(32)
………………….Aktivitas SPS (µmol sukrosa) ………………….
Ceneng (T)
Godek (P)
260
284
(-9)
366
290
(21)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah
secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T= toleran, P = peka naungan
Pada penelitian ini aktivitas SPS tanaman kontrol tidak berbeda nyata antara Ceneng
dan Godek. Pada tanaman yang dinaungi paranet 50% aktivitas SPS-nya tidak mengalami
perubahan nyata, walaupun cenderung naik pada Ceneng dan turun pada Godek. Besarnya
persentase perubahan aktivitas SPS tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek.
Aktivitas SPS dipicu oleh oleh cahaya (Vivekanandan, 1997). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam menentukan aktivitas
enzim SPS. Tanaman memiliki mekanisme yang menyebabkan hasil fotosintesis dengan rasio
sukrosa/pati meningkat pada saat dinaungi. Karena sukrosa disintesis di sitosol (Gambar 6).
maka ada mekanisme yang bisa mempertahankan/ meningkatkan transpor trios-P dari
kloroplas ke sitosol.
Sintesis sukrosa saling bersaing dengan sintesa pati. Pada kondisi rasio Pi/PGA tinggi
maka hasil akhir fotosintesis condong ke sukrosa (Taiz dan Zeiger, 1991). Konsentrasi Pi di
sitosol bisa tinggi kalau rangkaian reaksi yang menghasilkan sukrosa tetap tinggi. Salah
78
satunya adalah reaksi yang dikatalisis oleh enzim SPS. Enzim SPS mengkatalisis reaksi
UDP-glukosa + Fruktosa-6-fosfat menjadi UDP + sukrosa-6 Fosfat. Sukrosa-6 Fosfat
selanjutnya menjadi sukrosa dan Pi (Taiz dan Zeiger, 1991).
Aktivitas enzim SPS yang meningkat pada perlakuan naungan menyebabkan pada
kondisi ternaungi rasio sukrosa terhadap pati meningkat. Lautt (2000) juga melaporkan
hasil yang sama pada padi. Perimbangan sukrosa/pati menjadi penciri toleransi terhadap
naungan. Genotipe yang toleran naungan mempertahankan perimbangan sukrosa/pati tinggi
untuk memperlancar transpor hasil fotosintat keluar dari kloroplas ke jaringan penyimpan.
Kenaikan rasio sukrosa/pati pada daun kedelai Ceneng tidak setinggi kenaikan
sukrosa dan rasio sukrosa/pati pada padi toleran naungan. Kelompok padi yang toleran
mengalami peningkatan aktivitas SPS sekitar dua kali lipat, sementara yang peka mengalami
penurunan sekitar 50% (Lautt, 2000). Perimbangan sukrosa/pati menentukan laju
fotosintesis karena kandungan pati yang tinggi bisa menghambat laju fotosintesis (Shibels et
al, 1987; White dan Izquierdo, 1993)
Tabel 15. menunjukkan pengaruh naungan terhadap kandungan N. Kandungan N
total daun pada Ceneng yang tidak dinaungi secara statistik tidak berbeda nyata dengan
pada Godek. Naungan menyebabkan kandungan N total daun pada Ceneng dan Godek
menurun walaupun tidak nyata. Besarnya persentase penurunan pada kedua genotip tersebut
secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan Sunarlim (1985) dan Sakamoto
dan Shaw (1967) yang menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan perubahan
kandungan N daun.
Murty dan Sahu (1987) menunjukkan bahwa pada padi yang dinaungi kandungan N
terlarut meningkat. Namun pada penelitian ini N terlarut pada tanaman yang dinaungi
menurun walaupun tidak nyata. Dibandingkan dengan Ceneng (T) persentase penurunan N
terlarut pada Godek (P) lebih tinggi walaupun secara statistik tidak nyata.
Tabel 15. Pengaruh naungan terhadap kandungan N daun
N a u n g a n
Genotipe
Kontrol
Naungan 50%
. . . . . . . . . . . N total (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . .
79
Ceneng (T)
Godek (P)
48.42
40.02
35.76*
38.70
(26 )
(3)
. . . . . . . . . . . N terlarut (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . .
Ceneng (T)
Godek (P)
18.28
9.33
7.75*
7.74
(58 )
(17)
.. . . . . . . . . . N protein terlarut (mg/g daun segar) . . . . .. . . . . .
Ceneng (T)
Godek (P)
1.39
2.85
1.38
2.09
(0)
(27)
. . . . . . . . . . . N tak larut (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . .
Ceneng (T)
Godek (P)
30.14
30.68
28.01
30.97
(7)
(-1)
. . . . . N terlarut yang bukan protein (mg/g daun segar) . . . . .
Ceneng (T)
Godek (P)
16.89 a
6.48 b
6.37*
5.64
(62)
(13)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. *) artinya berbeda
nyata pada uji t 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin.. T=
toleran. P = peka naungan
N protein terlarut pada cahaya normal secara statistik tidak berbeda nyata antara
Ceneng dan Godek. Meskipun secara statistik tidak nyata kandungan N protein terlarut juga
mengalami penurunan dalam perlakuan naungan. Naungan menyebabkan proses
pembentukan protein terganggu karena kekurangan energi dalam proses pembentukan
protein dan ketersedian unsur C yang merupakan hasil fotosintesis (Gardner et al, 1990).
Menurut Taiz dan Zeiger (1991) tanaman yang ditumbuhkan pada lingkungan berintensitas
cahaya rendah memiliki N protein daun lebih rendah daripada yang ditumbuhkan pada
lingkungan cahaya normal. Dalam penelitian ini besarnya persentase penurunan pada Ceneng
dan Godek secara statistik tidak berbeda nyata.
Dalam penelitian ini tanaman yang dinaungi memiliki persentase N terlarut bukan
protein lebih rendah dibanding kontrolnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan N total pada
tanaman ternaungi lebih kecil dibanding kontrolnya, terutama pada Ceneng (T). Karena itu
ciri ketahanan naungan lebih baik dilihat pada N protein terlarut. Kadar N protein terlarut
yang tinggi menunjukkan kemampuan membentuk protein tetap tinggi. Dari tabel 15 terlihat
bahwa kandungan N protein terlarut pada Ceneng yang ternaungi secara kuantitatif sama
80
(99% dibanding kontrolnya), sedangkan pada Godek (P) berbeda (73%), walaupun secara
statistik tidak berbeda nyata. Dengan demikian Ceneng (T) pada kondisi ternaungi lebih
efektif memanfaatkan N yang terkandung dalam daun menjadi protein melalui pengurangan
kandungan N daun. Pada kontrol N yang tinggi pada daun Ceneng tidak termanfaatkan
menjadi protein terlarut, tetapi mungkin tetap dalam bentuk anorganik. Ini menyebabkan
Ceneng berproduksi rendah pada kontrol.
Metabolisme N pada padi dan kedelai berbeda. Kandungan protein yang tinggi pada
biji kedelai menyebabkan metabolisme N sangat menentukan produksi biji pada kedelai.
Hambatan untuk membentuk protein bisa terjadi karena hambatan reduktasi nitrat menjadi
nitrit. Reduksi nitrat memerlukan enzim nitrat reduktase (NR) aktif. Cahaya berpengaruh
terhadap pengaktifan enzim NR melalui dua cara yaitu pembentukan gen NR dan perubahan
keadaan NR tidak aktif menjadi aktif (Gambar 7 pada Bab Tinjauan Pustaka).
Kandungan gula total daun pada berbagai perlakuan variasi pergiliran gelap-terang
dipaparkan pada Tabel 16. Pada kondisi kecukupan cahaya terus menerus (kontrol)
kandungan gula total daun Ceneng (T), B613 (T), Pangrango (T), dan Godek (P) secara
statistik tidak berbeda. Kandungan gula total setelah perlakuan gelap (GTG dan TTG) turun
secara nyata pada semua genotipe yang diuji (Lampiran 16). Ketika tanaman diberi
perlakuan gelap selama tiga hari maka fotosintesis tidak terjadi karena energi pengerak untuk
proses fotosintesis tidak ada. Selama perlakuan gelap tiga hari tanaman bisa mengalami
kerusakan pada enzim dan sistem fotosintesis (Levitt, 1980).
Kandungan gula total pada tanaman yang diberi perlakuan gelap diikuti dengan
perlakuan naungan atau terang (TGN atau TGT) lebih tinggi daripada GTG dan TTG, tetapi
masih rendah dibanding kontrol (TTT). Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Gula bisa
dihasilkan oleh proses fotosintesis saat itu maupun simpanan yang telah ada. Pada kondisi
terang hasil fotosintesis menentukan perbedaan kandungan gula. Jadi, pada kondisi cukup
cahaya, tanaman yang pernah diberi perlakuan gelap tidak bisa mencapai tingkat fotosintesis
yang sama pada kondisi normal. Dengan kata lain, pada kondisi yang optimum dimana
cahaya bukan menjadi faktor pembatas tanaman yang pernah mendapat perlakuan gelap tiga
hari tidak mampu berfotosintesis maksimum. Diduga telah terjadi kerusakan pada sistem
fotosintesis karena perlakuan gelap yang menyebabkan
efisiensi penangkapan dan
pemanfaatan cahaya berkurang. Kandungan klorofil daun pada perlakuan gelap turun dan
81
belum pulih kembali seperti pada kontrol (cahaya normal terus-menerus)
setelah
dikembalikan pada kondisi normal tiga hari atau naungan 50% tiga hari, seperti dikemukakan
pada pembahasan klorofil dalam perlakuan gelap pada sub bab struktur daun.
Tabel 16. Kandungan gula total daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari
gelap-terang saat 32 HST (mg/g daun kering)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
19.8
8.3
(58)
15.1
(24)
9.7
(51)
16.4
(17)
2. B613 (T)
19.9
9.0
(55)
18.7
(6)
9.6
(52)
14.7
(26)
3. Pangrango (T)
18.6
9.6
(48)
16.1
(13)
12.3
(34)
17.3
(7)
4. Godek (P)
17.1
7.4
(57)
16.7
(2)
7.4
(57)
13.8
(19)
Genotipe
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara
statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Tanaman yang diberi perlakuan TGT dan TGN artinya setelah perlakuan gelap tiga
hari, selanjutnya selama tiga hari ditumbuhkan pada lingkungan cahaya cukup (TGT) atau
naungan 50% (TGN). Maka, tanaman bisa mengalami perbaikan atau penyembuhan kepada
kondisi semula. Kemampuan penyembuhan yang baik terdapat pada Godek (peka) dan
B613 (toleran). Pada kondisi normal setelah gelap (perlakuan TGT) Godek mengalami
persentase penurunan relatif kandungan gula paling rendah, yaitu 2%, walaupun tidak
berbeda nyata dengan lainnya. Sementara itu, pada TGN (naungan 3 hari setelah gelap tiga
hari) kandungan gula daun lebih tingi pada Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran)
dibandingkan kelompok Godek (peka). Jadi, pada kondisi naungan 50% kelompok toleran
tetap menunjukkan hasil fotosintesis tinggi meskipun sebelumnya mendapat perlakuan gelap
3 hari. Perkecualian terdapat pada B613.
Pada kondisi kontrol kandungan pati daun Ceneng, B613, Pangrango, dan Godek
tidak berbeda nyata. Perlakuan GTG dan TTG (sampel diambil saat gelap) menyebabkan
82
kandungan pati menurun secara nyata (Lampiran 17). Pada kondisi gelap, fotosintesis tidak
dapat dapat berlangsung karena itu daun tidak menghasilkan pati. Pati yang terdapat di daun
adalah adalah pati hasil fotosintesis sebelumnya yang tidak ditranslokasikan ke jaringan
penyimpan.
Perlakuan terang ataupun naungan 50% setelah gelap pada B613 tidak menyebabkan
kandungan pati daun pulih seperti kontrol. Pada hal kandungan klorofil tidak rusak pada
perlakuan gelap. Karena itu diduga kerusakan terjadi pada proses fsotosintesis yang
menghasilkan pati. Proses penyembuhan tercepat terdapat pada Ceneng (toleran) dan
Pangrango (toleran) seperti terlihat pada persentase penurunan pada perlakuan TGT dan
TGN (Tabel 17).
Persentase penurunan pati pada semua perlakuan dan genotipe sama. Namun pada
perlakuan TGN persentase penurunan pati cenderung lebih rendah pada Ceneng (T) dan
Pangrango (T) daripada Godek (P) dan B613 (P). Jadi kelompok genotipe toleran tetap
bisa menghasilkan pati lebih tinggi daripada kelompok peka seperti pada variabel gula total
pada kondisi ternaungi. Hal ini juga sama pada perlakuan naungan sejak tanam sampai
panen.
Pada kondisi gelap kandungan gula dan pati rendah karena keduanya adalah hasil
fotosintesis yang tidak berlangsung pada lingkungan gelap. Perlakuan TGN menyebabkan
kandungan gula pada Godek (peka) dan Ceneng (toleran) menurun dengan persentase
penurunan tidak berbeda nyata.
Pada perlakuan gelap tiga hari di giliran terakhir (GTG atau TTG) persentase
penurunan pada kelompok toleran sama dengan kelompok peka. Namun, persentase
penurunan pada Pangrango (toleran) lebih kecil dibanding Godek (peka).
Tabel 17. Kandungan pati daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (mg/g daun kering)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
139
63
(55) ab
144
(-4
73
(47) ab
136
(2)
2. B613 (T)
176
96
132
83
109
Genotipe
83
(46) b
(25)
(53) ab
(38)
3. Pangrango (T)
148
80
(46) b
136
(8)
87
(41) b
131
(11)
4. Godek (P)
159
57
(64) a
135
(15)
66
(58) a
138
(13)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT
=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada
saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Kandungan karbohidrat batang pada kondisi kontrol tidak berbeda nyata antar
genotipe (Tabel 18). Kandungan karbohidrat pada perlakuan GTG dan TTG turun secara
nyata (Lampiran 16) Pada GTG persentase penurunan terkecil terjadi pada Ceneng
(toleran), yang berbeda nyata dengan B613 (toleran) dan Godek (peka). Perlakuan terang
dan naungan setelah gelap memulihkan lagi kandungan karbohidrat seperti kontrol untuk
keempat genotipe.
Pada saat gelap fotosintesis tidak terjadi, tetapi respirasi tetap berlangsung. Respirasi
menggunakan karbohidrat yang tersedia, sehingga karbohidrat berkurang. Persentase
pengurangan karbohidrat bisa menunjukkan besarnya respirasi. Karena itu bisa disimpulkan
bahwa Godek (P) menggunakan porsi karbohidrat yang besar untuk respirasi. Kemampuan
untuk mempertahankan respirasi menjadi rendah pada kondisi gelap merupakan toleransi
terhadap naungan (Levitt, 1980). Jadi, respirasi gelap pada Godek diduga lebih tinggi
dibanding Pangrango dan Ceneng.
Tabel 18. Kandungan karbohidrat batang kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga
hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g BK)
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
1. Ceneng (T)
7.4
5.8
(22)
7.7
(-4)
7.4
(0) b
9.2
(-25) b
2. B613 (T)
9.0
8.9
7.1
4.8
7.3
(1)
(22)
(47) a
(19) a
8.1
(16)
6.7
(31)
6.9
(29) ab
7.0
(27) a
Genotipe
3. Pangrango (T)
9.7
84
4. Godek (P)
8.3
5.1
(39)
8.2
(1)
4.6
(45) a
7.7
(7) ab
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT
=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada
saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Tanaman menggunakan respirasi untuk pertumbuhan dan pemeliharan. Tanaman
toleran naungan bisa bertahan pada lingkungan cahaya rendah karena mempunyai tingkat
respirasi gelap yang rendah. Respirasi gelap yang rendah tersebut terutama disebabkan oleh
respirasi pemeliharaan yang rendah (White dan Izquierdo, 1993) Laju respirasi gelap yang
rendah umumnya terdapat pada tanaman naungan dan C3 (Salisbury dan Ross, 1993).
Karena itu Godek lebih menunjukkan karakteristik tanaman C4 dibanding Pangrango atau
Ceneng. Sementara B613 tidak menunjukkan karakter yang jelas.
Perlakuan gelap selama 3 hari (GTG atau TTG) menyebabkan aktivitas rubisco
berkurang (Tabel 19 dan Lampiran 16). Pada perlakuan TTG (gelap 3 hari setelah cahaya
normal terus-menerus) persentase penurunan aktivitas rubisco terbesar terjadi pada Godek,
yaitu 78%, yang berbeda nyata dengan B613 (P) dan Ceneng (T).
Perlakuan GTG (gelap 3 hari yang didahului dengan gelap dan dan cahaya normal
masing-masing 3 hari) menyebabkan penurunan aktivitas rubisco yang hampir sama dengan
perlakuan TTG. Jadi, aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir dari saat
pengambilan sampel dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan sebelumnya. Portis (1992)
menyatakan bahwa aktivitas rubisco distimulasi oleh cahaya yang menyebabkan transpor
elektron pada fotosistem I. Karena itu pada kondisi gelap aktivitas rubisco rendah. Secara
rata-rata persentase penurunan aktivitas rubisco tidak berbeda nyata antar kelompok
ketenggangan. Namun, aktivitas rubisco Godek (P) cenderung lebih rendah pada TGN (3
hari naungan 50% setelah gelap 3 hari).
Tabel 19. Aktivitas rubisco pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat
32 HST (nmol CO2/menit/g)
Genotipe
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
85
1. Ceneng (T)
0.127
0.061
(52) bc
0.140
(-11)
0.041
(67)
0.136
(-7)
2. B613 (T)
0.155
0.089
(42) c
0.113
(27)
0.083
(47)
0.145
(6)
3. Pangrango (T)
0.124
0.049
(60) ab
0.120
(3)
0.056
(55)
0.077
(38)
4. Godek (P)
0.185
0.040
(78) a
0.197
(-7)
0.072
(61)
0.099
(47)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik
angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap,
TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Perlakuan TGT yang menghasilkan aktivitas rubisco yang sama dengan kontrol (TTT)
menunjukkan bahwa urutan pergiliran terakhir yang menentukan aktivitas rubisco. Ini juga
menunjukkan bahwa rubisco tidak mengalami kerusakan akibat gelap 3 hari.
Pada kondisi cahaya cukup aktivitas rubisco menentukan laju fotosintesis karena
dalam kondisi cahaya cukup rubisco adalah faktor pembatas. Karena pada kondisi kontrol
aktivitas rubisco Godek (P) lebih tinggi daripada Ceneng (T) maka, pada kondisi normal
fotosintesis Godek diduga lebih tinggi daripada Ceneng. Keadaan sebaliknya terjadi pada
kondisi naungan, yaitu aktivitas rubisco lebih tinggi pada Ceneng yang membuat Ceneng
lebih adaptif terhadap intensitas cahaya rendah. Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan
bahwa laju fotosintesis Godek (P) hampir sama dengan Ceneng (T) pada cahaya normal,
tetapi lebih rendah dibanding Ceneng bila keduanya dinaungi 50%.
Ceneng juga mengurangi hambatan fotosintesis yang disebabkan oleh pati daun.
Akumulasi pati yang rendah dibantu oleh aktivitas enzim SPS yang cenderung lebih tinggi
sehingga rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada Ceneng dibanding Godek pada saat ternaungi
walaupun perbedaannya tidak nyata.
Sementara itu, perlakuan TGN tidak menyebabkan perbedaan dengan kontrol dan
TGT. Dilain pihak, perlakuan naungan paranet 50% terus menerus menyebabkan aktivitas
rubisco turun pada Ceneng. Jadi, aktivitas rubisco cepat pulih setelah kembali ke cahaya
normal atau naungan 50% setelah gelap 3 hari..
86
Kandungan N daun pada Ceneng (toleran) berkurang lebih banyak dibandingkan
Godek (peka). Selanjutnya Ceneng bisa mempertahankan N protein terlarut tetap konstan,
sementara N terlarut yang bukan protein tetap rendah. Pada Godek (P), kandungan N daun
tetap dan N protein terlarut cenderung turun saat ternaungi. Jadi, Ceneng (T) diduga mampu
mempertahankan sintesis protein di daun tetap tinggi dibandingkan Godek (P). Aktivitas
enzim NR diduga tetap tinggi pada Ceneng (T).
Kandungan gula total setelah gelap tiga hari turun secara nyata pada semua genotipe.
Persentase penurunannya sama yang berarti persentase pemanfaatan untuk respirasi sama
antar genotipe. Selama gelap tiga hari mungkin terjadi kerusakan pada sistem proses
pembentukan gula dan pati, yang belum pulih bila tanaman dipindah ke kondisi kontrol
maupun naungan sebagaimana klorofil juga belum pulih. Hanya B613 yang klorofilnya tidak
berubah pada perlakuan gelap.
Perlakuan gelap tiga hari menyebabkan kandungan karbohidat batang menurun.
Persentase penurunan tertinggi terjadi pada Godek (peka). Penurunan karbohidrat yang
besar saat gelap diduga menunjukkan tingkat respirasi gelap yang tinggi. Sesuai dengan
Levitt (1980) yang menyatakan bahwa penurunan respirasi gelap merupakan mekenisme
penghindaran, maka bisa disimpulkan bahwa kelompok toleran naungan (Pangrango dan
Ceneng) diduga memiliki mekanisme toleransi yang lebih baik karena memiliki respirasi gelap
rendah pada saat mendapat cekaman intensitas cahaya rendah.
Aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir. Aktivitas rubisco pada GTG
dan TTG (gelap pada urutan terakhir) lebih rendah dibanding TTT dan TGT (terang di
urutan akhir). Pada perlakuan naungan di urutan pergiliran terakhir (TGN) aktivitas rubisco
pada Godek lebih kecil (walau tidak nyata) dibanding Ceneng sebagaimana terjadi pada
perlakuan naungan terus menerus sejak tanam.
Pembahasan yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa
kandungan
karbohidrat (gula dan pati) bersifat dinamis. Hal ini karena karbohidrat dihasilkan oleh
fotosintesis dan bisa ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain atau digunakan untuk
respirasi.
Pembahasan Umum
87
Levitt (1980) menyatakan bahwa cekaman (cekaman) adalah faktor lingkungan yang
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Salah satu
faktor lingkungan yang bisa menyebabkan cekaman adalah intensitas cahaya rendah.
Intensitas cahaya rendah menjadi salah satu faktor penghambat untuk pengembangan
kedelai di bawah tegakan pohon perkebunan. Sebanyak 17 genotipe kedelai telah diuji coba
untuk ditanam di bawah tegakan pohon karet berumur 1, 3, dan 4 tahun. Produktivitas
kedelai di bawah pohon karet 1, 3, dan 4 tahun tersebut berkisar masing-masing 24-78%,
1-15%, dan 1-13% (Lampiran 1).
Di samping faktor intensitas cahaya, faktor perbedaan kesuburan dan kekeringan
antar lahan juga mempengaruhi hasil penelitian tersebut di atas. Untuk memperoleh hasil
penelitian tentang naungan yang lebih baik perlu dibuat keadaan yang memungkinkan
keseragaman faktor-faktor lain kecuali faktor naungan. Karena itu perlu dibuat naungan
buatan agar penelitian bisa difokuskan pada satu penyebab cekaman, yaitu intensitas cahaya.
Pepohonan karet berumur 1, 3 dan 4 tahun menyebabkan naungan 25, 67. dan 72%
terhadap lapangan terbuka (Sukaesih, 2002). Naungan paranet 25, 50, dan 75% dalam
penelitian ini memberi naungan 36, 54, dan 79% (Lampiran 11 dan 13). Dengan demikian
naungan paranet 50% setara dengan naungan pada pepohonan karet berumur 1 - 3 tahun,
sedangkan paranet 75% mendekati naungan pada pohon karet berumur 4 tahun.
Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet secara rata-rata ditampilkan pada Tabel
20. Perhitungan naungan aktual dipaparkan pada Lampiran 11 dan 13. Pada jam 07.30
intensitas cahaya sekitar pada juni 2002 adalah sekitar 0.854 kal cm-2 mnt-1. Dengan
demikian intensitas di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah masing-masing
0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2.
Tabel 20. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet (kal cm-2 mnt-1)
Naungan
Paranet
(%)
Meneruskan
cahaya (%)
kontrol
Juni 2002 (percobaan I)
Januari 2003 (Percobaan II)
Pagi
07.30
Siang
13.30
Sore
16.30
Pagi
07.30
Siang
13.30
Sore
16.30
100
0.854
1.087
0.340
0.681
1.157
0.499
25
64
0.547
0.696
0.218
0.436
0.740
0.319
50
46
0.393
0.500
0.156
0.313
0.532
0.230
88
75
21
0.179
0.228
0.071
0.143
0.243
0.105
Kedelai termasuk tanaman C3. Dibanding tanaman C4, tanaman C3 bersifat responsif
terhadap konsentrasi CO2, tetapi kurang responsif terhadap cahaya (Taiz dan Zeiger,
1991). Meskipun begitu, kedelai memiliki persyaratan intensitas cahaya yang sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangannya
Menurut White dan Izquierdo (1993), radiasi optimum untuk fotosintesis sekitar 0.3 –
0.8 kal cm-2 mnt-1 dan fotosintesis maksimum tercapai pada intensitas cahaya 0.430 kal cm-2
mnt-1. Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa pada naungan paranet 75% intensitas
radiasi matahari tidak pernah mencapai optimum untuk fotosintesis sepanjang hari saat-saat
pagi, siang, dan sore. Sementara itu, naungan paranet 25% dan 50% menyebabkan
fotosintesis tidak mencapai optimum hanya pada sore. Karena itu bisa disimpulkan bahwa
masa yang menentukan penurunan produksi biji per tanaman adalah pada sore hari. Selain
paranet, bagian tanaman yang terletak di atas juga menjadi penaung bagi daun di bawahnya.
Percobaan I dan II pada penelitian 1 disertasi ini membahas tentang adaptasi yang
bersifat resistensi elastis, khususnya untuk perlakuan 25% dan 50%. Naungan 25% dan
50% tidak menyebabkan intensitas radiasi turun sampai level yang tidak optimum pada pagi
setelah jam 07.30 dan siang hari khususnya daun di bagian atas. Cekaman intensitas cahaya
matahari pada daun bagian atas hanya terjadi pada sore hari. Pada pagi dan siang hari
cekaman kekurangan intensitas cahaya sebenarnya dihilangkan untuk daun bagian atas.
Klungkung Hijau (P) menunjukkan keunggulan dalam produktivitas biji pada kondisi
normal maupun naungan. Karena itu Klungkung Hijau bisa dipertimbangkan untuk digunakan
sebagai varietas unggul bagi lahan-lahan ternaungi apabila syarat-syarat perumbuhan lain
cukup baik.
Percobaan II pada penelitian 2 maupun 3 mengkaji cekaman defisit cahaya ekstrim
(gelap) dalam waktu 3 hari. Cekaman ini bisa menyebabkan strain plastis bahkan kerusakan
dan kematian. Perlakuan gelap pada umur 23 hari selama 3 hari menyebabkan 1 (11%)
tanaman Godek (peka) mati. Adanya kematian ini menunjukkan mungkin ada kerusakan
permanen yang sangat besar dan tidak dapat disembuhkan. Sementara itu, tanaman yang lain
juga mengalami strain plastis yang sama besar dengan Godek walau tidak mengalami
89
kematian. Tanaman yang tetap hidup pada perlakuan gelap 3 hari memiliki resistensi plastis
yang besar sehingga tidak terjadi strain yang menyebabkan kematian.
Tanaman yang bisa lolos dari kematian dengan perlakuan gelap selama 3 hari juga
berarti mampu bertahan dalam kondisi strain besar baik plastis maupun elastis, kemudian
pulih lagi setelah cekaman dihilangkan. Beberapa daun tua menguning dan gugur, tetapi
setelah dipindahkan ke tempat cahaya normal daun menjadi hijau kembali dan daun baru
yang hijau muncul pada pucuk. Fenomena ini menunjukkan adanya penyembuhan karena
adanya daun-daun baru membuka atau diferensiasi sel.
Respon tanaman terhadap defisit cahaya yang dikenakan pada tanaman sejak tanam
menunjukkan kemampuan adaptasinya. Kedelai yang ditanam pada naungan yang lebih berat
mempunyai batang lebih panjang, kecil dan lemah sehingga mudah roboh. Naungan paranet
75% mungkin menyebabkan strain elastis yang berarti tanaman bisa tumbuh normal kembali
bila dikembalikan kepada lingkungan bercahaya normal. Namun perlakuan naungan paranet
75% yang terus menerus (sejak tanam sampai panen) menyebabkan kelaparan (starvation)
sehingga tanaman lemah, jumlah daun sedikit dan produksi biji sedikit.
Tanaman mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan melalui kemampuan
dalam menyeimbangkan anatomi, morfologi, dan fisiologi. Pada kondisi cahaya kurang
tanaman menaikkan rasio tajuk/akar dan bagian yang menangkap cahaya, tetapi menurunkan
bagian yang berhubungan dengan reduksi karbon (Taiz dan Zeiger, 1991).
Mekanisme morfogenetik berlangsung dengan perpaduan faktor genetik dan
lingkungan. Gen menentukan jenis enzim yang dapat dibuat sel, sedangkan lingkungan
menentukan transkripsi dan transisi informasi genetik menjadi enzim yang berfungsi dan
bekerja efektif (Salisbury dan Ross, 1992).
Tanaman merespon defisit cahaya dengan mengubah anatomi dan morfologinya
sehingga efisien dalam menangkap dan memanfaatkan cahaya. Agar kekurangan cahaya
yang diterima tanaman tidak besar, tanaman memiliki mekanisme penghindaran. Dalam
mekanisme penghindaran ini daun lebih tipis dan bobot spesifik daun turun. Sementara itu,
kerapatan bulu daun menurun pada perlakuan naungan terjadi pada beberapa genotipe saja.
Dibandingkan dengan genotipe peka naungan (Godek, Klungkung Hijau, dan MLG
2999) maka genotipe yang toleran naungan (Ceneng, Pangrango, B613, dan Tampomas)
secara rata-rata memiliki respon yang sama dalam mekanisme penghindaran, kecuali pada
90
variabel ketebalan daun. Karena itu persentase perubahan ketebalan daun bisa menjadi
penciri ketahanan terhadap intensitas cahaya rendah dengan memberi naungan paranet 50%.
Menurut Gardner et al (1990) semakin tipis daun semakin besar penyerapan cahaya
per unit volume dan semakin dekat jarak yang harus dilalui untuk pertukaran gas sehingga
efisien dalam fotosintesis, terutama dalam aspek penggunaan cahaya yang langka.
Semua genotipe yang diuji menunjukkan peningkatan kandungan klorofil a dan b daun
pada perlakuan naungan. Sampai perlakuan naungan paranet 75%, pertambahan tingkat
naungan menyebabkan peningkatan kandungan klorofil a maupun b. Namun pada perlakuan
gelap selama 3 hari klorofil a maupun klorofil b mengalami penurunan. Jadi pada naungan
75% tanaman bisa mempunyai kemampuan menghindar melalui peningkatan kandungan
klorofil a dan b. Tetapi, pada perlakuan gelap total selama 3 hari kemampuan penghindaran
itu hilang.
Menurut Newcomb (1990) klorofil bisa berkurang atau hancur karena usang atau
cekaman lingkungan, tetapi bisa diperbarui setiap saat. Perbaikan atau penambahan klorofil
baru tersebut memerlukan cahaya sebagai pemicu pembentukannya. Karena itu kerusakan
klorofil pada saat gelap 3 hari bisa mengalami penyembuhan. Cahaya rendah (naungan 50%)
sudah cukup untuk menstimulasi pembentukan klorofil. Hal ini sesuai dengan Khumaida
(2003) yang melaporkan bahwa cahaya pada naungan 50% sudah cukup memicu
pembentukan gen yang berkaitan dengan kompleks pemanen cahaya (LHCP) di mana
klorofil yang terdapat di dalamnya.
Perlakuan gelap selama 3 hari yang dikuti oleh variasi cahaya normal maupun gelap
tidak menyebabkan perubahan morfologi yang lebih nyata dibanding dengan perlakuan
naungan terus-menerus sejak tanam. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa setiap
minggu terjadi penambahan daun yang mekar sempurna 1 – 2 pada suatu pucuk. Ini berarti
pada saat diberi perlakuan gelap, daun yang jadi sampel pengamatan sudah terbentuk
dengan anatomi dan morfologi yang sudah hampir tetap, tetapi belum mekar sempurna.
Selanjutnya, tebal dan luas daun tergantung kepada pembesaran sel yang disebabkan oleh
tekanan hidrostatis setelah air berdifusi ke dalam sel. Kandungan sukrosa diduga
berpengaruh terhadap besarnya air yang berdifusi. Semakin besar konsentrasi sukrosa dalam
sel maka air yang berdifusi juga semakin besar. Karena itu pada kondisi perlakuan terang sel
cenderung lebih besar.
91
BSD dipengaruhi oleh tambahan bobot hasil fotosintesis baik sukrosa maupun pati.
Hal ini terlihat pada selisih bobot yang cukup besar (sekitar 50%) antara kondisi terang dan
gelap.
Menurut Biswal dan Biswal (1999) sinyal cekaman cahaya diterima oleh kloroplas.
Cekaman yang lama direspon tanaman dengan membentuk protein baru yang berperan
penting dalam pengubahan morfologi dan anatomi. Karena itu terdapat selang waktu antara
peneriman sinyal dan respon yang berhubungan dengan mekanisme adaptasi baik secara
penghindaran maupun toleransi. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi cekaman cahaya
memerlukan waktu sekitar 8 hari. Namun, Weston (2000) menunjukkan bahwa cekaman
cahaya 6 hari cukup bisa merubah anatomi Arabidopsis.
Mekanisme adaptasi juga bisa diperoleh melalui mekanisme toleransi. Pada perlakuan
naungan 50% sejak tanam sampai panen, Ceneng (toleran naungan) cenderung mampu
mempertahankan aktivitas enzim tetap tinggi dibanding dengan Godek. Menurut Levitt
(1980) tanaman yang beradaptasi dengan defisit cahaya bisa memiliki mekanisme toleransi
melalui kemampuan mempertahankan kerusakan kerja enzim-enzim fotosintesis. Hasil
penelitian ini menunjukkan aktivitas enzim rubisco dan SPS cenderung lebih tinggi pada
Ceneng daripada pada Godek saat dinaungi. Enzim-enzim fotosintesis yang lain juga
diperkirakan tetap beraktivitas lebih tinggi pada Ceneng karena terbukti hasil sukrosa dan
patinya lebih tinggi.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa naungan bisa menurunkan kandungan
karbohidrat (pati, sukrosa, dan gula) pada padi (Sopandie et al, 2003b), kapas (Zhao dan
Oosterhuis, 1998), dan gandum (Judel dan Mengel 1982). Padi peka mengalami persentase
penurunan karbohidrat lebih besar daripada padi toleran naungan (Sopandie et al, 2003b).
Taiz dan Zeiger (1991) menunjukkan bahwa tanaman yang beradaptasi terhadap
naungan bisa mempertahankan protein terlarut dan aktivitas rubisco tetap tinggi. Pada padi
penurunan intensitas cahaya menyebabkan penurunan kandungan dan aktivitas rubisco
(Murchi et al. 2002) Pada penelitian ini protein terlarut daun pada kedelai ternaungi
menurun. Namun persentase penurunan pada Ceneng 1% sedangkan pada Godek (27%).
Akumulasi pati bisa menghambat fotosintesis pada kedelai (Shibels, 1987; White dan
Izquierdo, 1993). Akumulasi pati berbanding terbalik dengan aktivitas SPS. Karena itu,
92
aktivitas enzim SPS yang lebih tinggi akan mengurangi akumulasi pati dan selanjutnya
meningkatkan laju fotosintesis.
Naungan paranet 50% menyebabkan penurunan kadar N daun yang lebih besar pada
Ceneng (toleran), yaitu 26% dibandingkan Godek (peka), yaitu 3%. Karena persentase N
protein terlarut terhadap kontrol lebih tinggi pada Ceneng dibandingkan Godek, maka bisa
disimpulkan bahwa Ceneng memanfaatkan kandungan N daun lebih efisien daripada Godek
pada kondisi ternaungi. Ceneng bisa mengurangi absorbsi N dan memanfaatkan N yang
terabsorbsi secara efisien membentuk protein terlarut.
Berbeda dengan perlakuan naungan yang menyebabkan klorofil meningkat, perlakuan
gelap 3 hari menyebabkan kandungan klorofil a maupun b menurun. Penurunan ini terjadi
pada perlakuan gelap yang didahului oleh perlakuan cahaya normal (TTG) maupun yang
didahului gelap dan normal (GTG). Kandungan klorofil a maupun b mengalami kenaikan
setelah ditempatkan pada naungan 50% (TGN). Penempatan pada cahaya normal setelah
gelap (TGT) tidak selalu menyebabkan penyembuhan (kenaikan) kandungan klorofil a
maupun b. Ini berarti pembentukan klorofil baru cukup memerlukan intensitas cahaya rendah
untuk pemicunya sebagaimana disampaikan oleh Khumaida (2002). Sementara itu,
peningkatan kandungan klorofil pada perlakuan naungan sejak tanam menunjukkan adanya
adaptasi terhadap naungan, sedangkan pada perlakuan gelap 3 hari belum menunjukkan
adaptasi.
Lautt (2003) menggunakan kandungan gula dan pati daun padi yang ditempatkan
pada ruangan gelap untuk menduga tingkat respirasi gelap. Hasilnya menunjukkan bahwa
padi peka naungan mengalami penurunan gula dan pati lebih besar daripada padi toleran
naungan. Pada penelitian disertasi ini gelap juga menyebabkan penurunan kandungan gula
dan pati yang antar kelompok ketenggangan tidak berbeda besarnya persentase. Jadi pada
kondisi gelap selama 3 hari, respirasi menggunakan karbohidrat baik berupa pati maupun
gula.
Godek (peka) mengalami penurunan karbohidrat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
Gardner et al (1990) yang menyatakan bahwa tanaman yang cocok dan beradaptasi untuk
intensitas cahaya tinggi memiliki respirasi gelap lebih tinggi dibanding yang beradaptasi
dengan naungan. Feng et al (2004) juga menunjukkan bahwa tanaman toleran naungan
memiliki respirasi gelap lebih rendah.
93
Pengurangan pati pada tanaman yang ditempatkan pada ruang gelap selama 3 hari
pada percobaan ini bisa disebabkan oleh pemakaian cadangan pati di batang dan daun,
maupun oleh pengurangan penimbunan karbohidrat hasil fotosintesis. Hall dan Rao (1999)
menyatakan bahwa pati bisa dipecah menjadi gula yang selanjutnya digunakan dalam
respirasi gelap yang menghasilkan energi untuk metabolisme tanaman.
Setelah dikembalikan pada lingkungan cahaya normal atau naungan paranet 50%
terdapat kecenderungan umtuk pulih (sembuh) menghasilkan karbohidrat seperti pada
kontrol. Ini berarti perlakuan gelap selama 3 hari mungkin tidak menyebabkan sistem reaksi
yang berhubungan dengan fotosintesis. Yang mengalami kerusakan hanyalah klorofil seperti
dipaparkan sebelumnya.
Enzim rubisco juga tidak mengalami kerusakan. Aktivitas enzim ini bersifat dinamis
tergantung ketersediaan cahaya. Pada cahaya normal aktivitas rubisco lebih tinggi dibanding
gelap. Genotipe toleran (terutama Ceneng) menunjukkan aktivitas rubisco yang lebih tinggi
daripada genotipe peka (Godek) pada kondisi tercekam cahaya karena naungan 50%, baik
pada perlakuan singkat (3 hari) maupun lama (selama 30 hari terus menerus sejak tanam).
Perlakuan gelap 3 hari sebelumnya berarti tidak mengubah adaptasi melalui mekanisme
toleransi pada variabel aktivitas rubisco.
Secara umum bisa disimpulkan bahwa perlakuan gelap 3 hari sebanyak satu kali
(TTG) tidak berbeda nyata dengan perlakuan gelap 3 hari dua kali (GTG) kecuali terhadap
kandungan klorofil. Begitu juga perlakuan naungan 50% yang didahului dengan gelap tiga
hari tidak berbeda dengan naungan 50% terus-menerus. Ini berarti gelap 3 hari tidak
menyebabkan respon untuk adaptasi dalam jangka waktu pengamatan pendek.
94
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 8 genotipe yang diuji Klungkung Hijau memiliki
produktivitas tertinggi
baik pada situasi cahaya cukup maupun cahaya kurang akibat
naungan 25% dan 50% dibanding genotipe yang lain. Selain Klungkung, Pangrango juga
menunjukkan hasil biji yang tinggi pada kondisi normal dan ternaungi.
Dengan perlakuan naungan 50% terbukti bahwa Ceneng konsisten toleran, sedangkan
Godek konsisten peka. Genotipe lain yang toleran adalah Pangrango, Wilis dan Tampomas.
Klungkung Hijau dan MLG299 yang sebelumnya digolongkan peka ternyata toleran,
sedangkan B613 yang sebelumnya digolongkan toleran, ternyata peka.
Genotipe toleran menunjukkan persentase penurunan produktivitas yang tidak
berbeda nyata dibanding kelompok peka intenstas cahaya rendah. Persentase penurunan
terkecil terdapat pada Ceneng (toleran), sedangkan terbesar pada Godek (peka).
Perubahan karakter struktur daun, terutama pada peningkatan kandungan klorofil
daun baik pada genotipe toleran maupun peka mengarah kepada mekanisme penghindaran.
Perubahan karakter daun sebagai respon terhadap cekaman intensitas cahaya rendah tidak
berbeda nyata antar kelompok ketahanan kecuali ketebalan daun. Ketebalan daun pada
kelompok toleran mengalami penurunan lebih besar secara nyata dibanding kelompok peka.
Variabel ini bisa menjadi penciri bagi ketahanan terhadap intensitas cahaya rendah. Dengan
berdasarkan variabel ketebalan daun maka kelompok toleran memiliki perubahan karakter
daun yang lebih besar dalam rangka mekanisme penghindaran lebih baik terhadap defisit
cahaya. Perbedaan nyata banyak terjadi bila perbandingan dilakukan antara Ceneng
(toleran) dan Godek (peka). Karena itu Ceneng dan Godek bisa digunakan untuk studi
mekanisme adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Ceneng juga bisa digunakan sebagai
sumber gen toleran naungan.
Dari segi fisiologi, Ceneng menunjukkan mekanisme toleransi lebih baik dibanding
Godek ditinjau dari kandungan karbohidrat, aktivitas enzim, dan respirasi gelap. Ceneng (T)
mengalami perubahan (penurunan) kandungan sukrosa, pati serta aktivitas enzim SPS dan
rubisco lebih kecil dibanding Godek (P) setelah diberi perlakuan gelap. Kemampuan
memanfaatkan N untuk pembentukan protein juga lebih baik pada Ceneng daripada Godek.
95
Persentase penurunan aktivitas rubisco akibat naungan 50% juga lebih rendah pada Ceneng
daripada Godek setelah keduanya diberi perlakuan gelap 3 hari (penyembuhan). Laju
respirasi gelap pada Godek (P) lebih tinggi dibanding pada genotipe lain, terutama pada
pemanfaatan pati daun dan karbohidrat batang.
Saran
Klungkung Hijau menunjukkan produktivitas biji yang tinggi pada situasi cahaya
normal (cukup) maupun ternaungi. Karena itu Klungkung Hijau bisa dikembangkan pada
lahan ternaungi apabila kondisi lain sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangkan varietas
Klungkung Hijau.
Ceneng (T) dan Godek (P) bisa menjadi model bagi studi mekanisme adapatasi
terhadap intensitas cahaya rendah. Sementara itu, Ceneng juga bisa digunakan sebagai
sumber gen toleran dalam program pemuliaan.
Ceneng (toleran) menunjukkan kemampun mempertahankan N protein terlarut tetap
tinggi dibanding Godek (peka). Karena itu aktivitas enzim nitrat reduktase (NR) pada
Ceneng diduga lebih tinggi daripada Godek. Untuk itu perlu penelitian tentang aktivitas NR
yang bisa membuktikan kebenaran dugaan tersebut.
Pilihan sampel daun juga menentukan ketelitian dan ketepatan penelitian ini.
Seyogyanya sampel daun dipilih pada daun yang telah membuka sempurna nomor 2 dan 3.
Hal ini bisa menghindarkan sampel daun dari naungan daun lebih muda di atasnya.
Pada penelitian ini perlakuan gelap 3 hari pada umur 23 HST bisa menyebabkan
kematian sebanyak 11% pada Godek (peka). Karena itu penggelapan bisa menjadi
prosedur yang efektif untuk pengujian dan penggolongan ketenggangan terhadap intensitas
cahaya rendah. Lamanya penggelapan bisa ditambah lebih dari 3 hari, yaitu menjadi 3, 6,
dan 9 hari.
Pada penelitian ini naungan paranet 50% tidak menyebabkan beda nyata pada
parameter fisiologi. Perbedaan nyata mungkin bisa terjadi apabila pengambilan sampel
dilakukan lebih pagi dari jam 10,00.
Pada penelitian ini perlakuan gelap dalam waktu singkat (3 hari) tidak berpengaruh
terhadap karakteristik daun karena daun yang diamati sudah terbentuk saat diberi perlakuan.
Namun, pengaruh itu mungkin ada pada daun yang akan terbentuk kemudian. Untuk itu
96
perlu dilakukan penelitian pada daun yang belum terbentuk untuk mengetahui pengaruh
perlakuan gelap.
97
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T., B. Santoso, Marwoto, Suyanto, dan Sumarno. 1997. Keragaan Paket
Teknologi Produksi Kedelai di Lahan Sawah dalam M. Syam, Hermanto, A.
Mussaddah, dan Sunihardi hal: 1291 – 1308. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan
Buku 5. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen
Pertanian, Bogor.
Adisarwanto, T., N saleh, Marwoto, dan N. Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Apriyantono, A., D. Ferdiaz, N.l. Puspitasari, Sudaemawati, S. Budiyanto, 1990. Petunjuk
Laboratorium Analisa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Asadi, B., D.M.Arsyad, H. Zahara, dan Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran
naungan. Bul. Agrobio 1 (2):15-20.
Baharsjah, Y.S., D. Suardi, dan I. Las. 1985. Hubungan iklim dengan pertumbuhan Kedelai.
dalam S. Somaatmaja, M.Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan
Yuswadi (eds.) Kedelai hal. 87-102. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman.
Bogor.
Bell, G. and T.K. Danneberger 1999. Temporal shade on creeping bentgrass turf. Crop Sci
39:1142-1146
Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia 2004. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Biswal, B. and U.C. Biswal. 1999. Photosynthesis under Stress: Stress Signal and Adaptive
Response of Chloroplast in M Pessarakli. pp 315-325. Handbook of Plant and
Crop Stress. Marcel Dekker. New York.
Bolhar-Nordenlampf and Draxler G. 1993. Functional Leaf Anatomy in DO Hall, JMO
Seurlock and HR Bolhar-Nordenlampf. pp 91-112. Photosynthesis and Production
in Changing Environment. Chapman & Hall. London.
Callan and Kennedy.1995. Intercropping strokes aster (Strokesia laevis (Hill)) E. Greene.
Crop Sci :35-1110-1115
Chaturvedi, G.S., P.C. Ram, A.K.Singh, P.Ram, K.T. Ingram, B.B.Singh,R.K.Singh, and
V.P.Singh. 1994. Carbohydrate status of rainfed lowland rices in relation to
submergence, drought and shade tolerance. In Lucknow, V.P. pp 104-122.
Physiology of Stress Tolerance in Rice. India-IRRI Philippines
Chomchalow, C.N. and L.P. Laosuwan. 1993. Soybean in Asia. Food and Agricultural
Organization of The United Nation Organization. Bangkok.
98
Cure, J.B.,C.D. Raper, R.P. Patterson, and W.P. Robarge. 1985. Dinitrogen fixation in
soybean in response to leaf water stress and seed growth rate. Crop Sci 25:52-58
Dennis, F.G. 1988. Flowering in M.B. Tesar. Physiological Basis of Crop Growth and
Development. Am. Soc. Agron. Madison.
Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. Pokok-pokok Kebijakan dan
Langkah Strategis Pembangunan Tanaman Pangan. Program Aksi Masyarakat
Agribisnis Tanaman Pangan. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Elfarisna. 2000. Adaptasi Kedelai terhadap Naungan. Studi Morfologi dan Anatomi. Tesis
Magister Sains, Pascasarjana IPB.
Feng, Y.L., K.F. Cao, and Y.L. Zhang. 2004. Photosynthetic characteristic, dark
respiration, and leaf mass per unit area in seedling of four tropical tree species grown
under three irradiance. Photosynthetica 42:431-437.
Field, T.S., T. Brodribb, and N.M. Holbrook. Acclimation of leaf anatomy, photosynthetic
light use, and xylem hydraulics to light in Amborella trichopoda. Int. J. Plant Sci 162:
999 – 1008.
Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1990. Physiology of Crop Plant. Iowa State
Univ Pr. Ames.
Givnish, T.J. 1988. Adaptation to sun and shade : a whole plant perspective. Aust. J. Plant
Physiol 15:63-92
Hale, M.G. and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plant under Stress. J Wiley. New
York.
Hall, D.O. and K.K. Rao. 1999. Photosynthesis. Cambridge Univ Pr. Cambridge, UK.
Handayani, T. 2003. Pola Pewarisan Sifat Toleran terhadap Intensitas Cahaya Rendah pada
Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) dengan Penciri Spesifik Karakter Anatomi,
Morfologi, dan Molekuler. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Institut Pertanian
Bogor.
Hang, A.N., D.E. McCloud, K.J. Boote, and W.G. Duncan. 1984. Shade effects on
growth, partitioning, and yield components of peanuts. Crop Sci 24:109-115
Harper, J.E. 1987. Nitrogen Metabolism in J.R. Wilcox. Pp 497-522. Soybean:
Improvement,Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison.
Harn, C.E., Khayat dan J.Dale. 1993. Expression dynamics of gene encoding key carbon
metabolism enzyme during sink to source transition of developing leaves. Plant Cell
Physiol. 34:1045-1053
99
Hidayat, O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai dalam S. Somaatmaja, M.Ismunadji,
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (eds.) Kedelai. hal. 73-86. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman. Bogor.
Hidema, J. A. Makino, T. Mae and K. Ojune. 1992. Change in the level of chlorophyll and
light harvesting chlorophyll a/b protein of photosynthesis II in rice. Plant Cell Physiol.
33: 1209-1214
Holbrook, G.P., W.J. Campbell, A. Rowland, and G. Bowes. 1994. Interspesific variation
in the light/dark modulation of ribulose 1,5 bisphosphate carboxylase-oxygenase
activity in soybean. J. Exp. Bot. 45:1119-1126
Huber, S.C. and D.W. Israel. 1982. Biochemical basis for partitioning of photosynthetically
fixed carbon between starch and sucrose in soybean (Glycine max Merr.) leaves.
Plant Physiol. 69:691-696.
Iowa State University. 1994. How A Soybean Plant Develops. Iowa State University
Cooperative Extension Service. Ames.
Johnston, M and L.C. Onwueme. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in
tropical root crops:yam, taro, tannia, cassava, and sweet potato. Exp. Agric 34:304312
Judel, G.K. and K. Mengel. 1982. Effect of shading on nonstructural carbohydrate and their
turnover in culms and leaves during the grainfilling period of spring wheat. Crop Sci
22:958-1004
Kerstiens. 1998. Shade tolerance as a predictors of responses to elevated CO2 in tree.
Physiologia Plantarum 102:472-480
Khumaida, N. 2002. Studies on Adaptability of Soybean and Upland Rice to Shade Stress .
Disertasi. The University of Tokyo.
Lautt, B.S. 2003. Fisiologi Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan: Tinjauan Karakteristik
Fotosintesis dan Respirasi. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Institut Pertanian
Bogor.
Lautt, B.S., M.A. Chozin, D. Sopandie, dan L.K. Darusman. 2000. Perimbangan PatiSukrosa dan Aktivitas Enzim Sukrosa Fosfat Sintase pada padi gogo yang toleran dan
peka terhadap naungan. Hayati 7 (2):31-34
Lawlor, R.S. 1987. Photosynthesis:Metabolisme, Control, and Physiology. J Wiley New
York. 262p
100
Lersten, N.K. and J. B. Carlson. 1987. Vegetative Morphology in J.R. Wilcox (ed). pp 51
– 94. Soybean Improvemnet, Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison.
Levitt, J. 1980. Responses of plants to environmental stresses. Vol II. Water, Radiation,
Salt, and Other Stresses. Academic Pr. New York.
Madore, M. A. 1997. Photosynthesis and Carbohydrate Formation in M. Pessarakli. pp
837-893. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York.
Madore, M.A. 1999. Carbohydrate synthesis and Crop Metabolism in M. Pessarakli. pp
257-272. Handbook of Plant and Crop Stress. Marcel Dekker. New York.
Mae, T., A, Makino, and K.Ohira. 1983. Changes in the Amounts of Ribulose
Bisphosphate carboxylase synthesized and degraded during the life span of rice leaf
(Oriza sativa L.). Plant Cell Physiol. 24 (6): 1079 – 1086.
Manwan, I dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Produksi Kedelai dalam
B. Amang, M.H Sawit, dan A. Rachman (ed) hal. 151-236. Ekonomi Kedelai . IPB
Press. Bogor
Marchner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Pr. New York.
Masaya, P and J.W. White. 1993. Adaptation to photoperiod and temperature in A.V.
Schoonhoven and O. Voysest (eds). pp 445-500. Common Beans:Research for
Crop Improvement. CAB International. Wallingford.
Mohr, H. and P. Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer. Berlin.
Mullet, J. 1990. Moleculer Biology of Photosynthesis in Higher Plants in D.T Dennis and
D.H. Turpin. pp 198-211. Plant Physiology, Biochemistry, and Moleculer
Biology.Longman Scientific and Technical. Essex, England.
Murty, K.S. and Sahu, G. 1987. Impact of low-light stress on growth and yield of rice.
Proc. Intl. Workshop on the Impact of Wheather Parameters on Growth and Yield of
Rice. 7-10 Apr 1986. International Rice Research Institut. Los Banos, Philipines
Newcomb, W. 1990. Plastid Structure and Development in D.T Dennis and D.H.
Turpin.pp193-197. Plant Physiology, Biochemistry, and Moleculer Biology. Longman
Scientific and Technical. Essex, England.
Okada, K.I., K.Yasunori, S. Kazuhiko, M. Tadahiko, and K. Sakae. 1992. Effect of light
on degradation of chlorophyll and protein during senescence of detaches rice leaves.
Plant Cell. Physiol. 33:1183-1191.
Portis, A.R. 1992. Regulation of Ribulose 1,5- Bisphosphate Carboxylase/ Oxygenase
Activity. . Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol 43: 415-437
101
Purcell, L.C., C.A. King, and R.A. Ball. 2000. Soybean cultivar differences in ureides and
relationship to drought tolerant nitrogen fixation and manganese nutrition. Crop Sci
40:1062-1070.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonsia.
Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Pushpakamuri, R. and V.K. Sasidhar. 1996. Dry Matter Production and Uptake of
Nutrients by Yam and Arvids as influenced by Shade Intensities.Tropical Tuber Crops
Science.
Raper, C.D. dan P.J. Kramer. 1987. Stress Physiology. in J.R. Wilcox (ed). pp 589-641.
Soybean:Improvement,Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison.
Reed, A.J., G.W. Singletary, J.R. Schussler, D.R. Williamson, and A.L. Christy. 1988.
Shading effects on dry matter and nitrogen partitioning, kernel number, and yield of
maize. Crop Sci 28:819 – 825.
Sakamoto, C.M. and R.H. Shaw. 1967. Apparent photosynthesis in field soybean
communities. Agron. J. 59: 73-75.
Salisburry, F.B. dan C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Wadsworth. Belmont.
Schoefs, B. and M Bertrand. 1997. Chlorophyll Biosynthesis. in M. Pessarakli. pp 49-65.
Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York
Shibels, R., J. Secor, and D.M. Ford. 1987. Carbon Assimilation and Metabolism in J.R.
Wilcox (ed). pp 535-588. Soybean:Improvement, Production, and Uses. Am. Soc.
Agron. Madison.
Smith, B. 1997. Photosynthesis, Respiration, and Growth. in M. Pessarakli. pp 811-817.
Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York
Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti, dan Sahardi. 2003a. Toleransi
padi gogo terhadap naungan. Hayati 10:71-75.
--------------------------------, S. Tjitrosemito, dan Sahardi. 2003b. Keefektifan uji cepat
ruang gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10:
91-95
Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, dan N. Khumaida. 2005. Fisiologi, Genetik dan
Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan
Varietas Unggul Kedelai Sebagai Tanaman Sela. Departemen Agronomi dan
Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
102
Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, E. Sulistyono, dan N. Heryani. 2001. Pengembangan
Kedelai sebagai Tanaman Sela: Fisiologi dan Pemuliaan untuk Toleransi terhadap
Naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, E. Sulistyono, dan N. Heryani. 2002. Pengembangan
Kedelai sebagai Tanaman Sela: Fisiologi dan Pemuliaan untuk Toleransi terhadap
Naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Steel, R.G.D. and J.H.Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical
Approach. McGraw-Hill Book.
Stier, J.C., J.N. Roghs, J.R. Crum, and P.E. Rieke. 1999. Flurprimedol effect on kentucky
bluegrass under reduced irradiance. Crop Sci 39:1423-1430.
Sukaesih, E. 2002. Studi Karakter Iklim Mikro pada Berbagai Tingkat Naungan Pohon
Karet dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan 20 Genotipe Kedelai. Sekripsi.
Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Suhartina. 2003. Perkembangan dan Diskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2002. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang.
Sumarno, F. Dauphin, A. Rachim, N. Sunarlim, B. Santoso, H. Kuntyastuti, dan Harnoto.
1989. Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai di Jawa. Pusat Palawija. Bogor.
Sunarlim, N. 1985. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan, hasil, dan komponen hasil
kedelai. Seminar Balittan Bogor vol.2 hal 213-224
Suwignyo, R.A., A. Nose, Y. Kawamitsu, M. Tsuchiya and K.Wasano. 1995. Effect of
manipulation of source and sink on carbon exchangerate and some enzymes of
sucrose metabolism in leaves of soybean [Glycine max (L) Merr.]. Plant Cell Physiol.
36:1439-1446.
Taiz, L. and E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. Benyamin Cumming. Redwood.
Tomkins, J.P. and E.R. Shipe. 1996. Soybean growth and agronomic performance in
response to the long juvenile trait. Crop Sci 36:1144-1149.
Udvardi, M.K. dan D.A. Day. 1997. Metabolite transport across symbiotic membranes of
legume nodules. in R.L. Jones, C.R. Somerville, and V. Walbot. Ann. Rev. Plant
Physiol. Plant Mol. Biol 48: 493-523
Vivekanandan. M. and V. C. Saralabai. 1997. Light Activation of Photosynthetic Enzyme.
in M. Pessarakli. pp 367-378. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New
York
103
Vu, C.V., L.H.Allen, and G. Bowes. 1983. Effect of light and elevated atmospheric CO2 on
the ribulose bisphosphate carboxylase activity and ribulose bisphosphate level of
soybean leaves. Plant. Physiol.73:729-73
Weston, E., K.Thorogood, G. Vinti. 2000. Light quantity controls leaf-cell and chloroplast
development. Planta 211: 807-815
White, J.W. and J. Izquierdo. 1993. Physiology of Yield Potential and Stress Tolerance. in
A.V. Schoonhoven and O. Voysest (eds). pp 287-382. Common Beans:Research for
Crop Improvement. CAB International. Wallingford.
Wiebel, J., E.K. Chacko and P. Ludders. 1994. Influence of irradiance on photosynthesis,
morphology, and growth of mangosteen seedling. Tree Physiol. 14:263-274
Widjaja, E. 1996. Biometrik II: Anatomi dan Morfologi Daun, Batang, dan Akar. Program
Studi Biologi Fmipa-IPB. Bogor.
Wilson, K. and K.H. Goulding. 1987. Principles and Techniques of Practical Biochemistry.
Edward Arnold. London. 395 pp
Yoshida, S.,D.A. Forno, J.H.Coock, K.A.Games. 1976. Laboratory Manual for
Physiological Studies of Rice. International Rice Research Institute. Manila.
Zhao, D. and D.Oosterhuis.1998. Cotton responses to shade at different growth
stages:nonstructural carbohydrate composition. Crop Sci. 38:1196-1203
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1. Produksi biji beberapa genotipe kedelai pada lahan di bawah pohon karet di
Sukabumi (g/10 tanaman)
Genotipe
Kontrol
Karet 1 tahun
(Naungan 25%)
Karet 3 tahun
(Naungan 67%)
Karet 4 tahun
(Naungan 72%)
Sicinang
78.00
23.30
(30)
2.13
(3)
0.77
(1)
Pangrango
66.30
19.53
(29)
3.16
(5)
1.33
(2)
Mlg 3072
98.20
23.30
(24)
7.50
(8)
0.57
(1)
B 618
80.96
30.13
37)
3.40
(4)
0.80
(1)
B 613
56.57
38.33
(68)
8.67
(15)
0.47
(1)
Ceneng
56.70
41.77
(74)
8.10
(14)
4.90
(9)
Sindoro
114.80
45.00
(39)
2.73
(2)
0.50
(0)
Srijono
60.00
24.17
(40)
6.67
(11)
1.20
(2)
Arksoy
52.27
40.87
(78)
2.67
(5)
6.63
(13)
Klungkung
hijau
64.30
22.97
(36)
0.43
(1)
5.40
(8)
Godek
61.20
28.97
(47)
5.83
(10)
5.43
(9)
Mlg 2999
82.33
33.00
(40)
2.83
(3)
0.90
(1)
Mlg 3541
76.60
30.00
(39)
3.83
(5)
5.57
(7)
Tampomas
67.67
73.30
(108)
5.37
(8)
2.70
(4)
Taro A
63.47
18.83
(30)
1.77
(3)
0.37
(1)
Kipas Putih
83.07
24.60
(30)
10.53
(13)
0.80
(1)
Wilis
84.13
27.20
(32)
6.70
(8)
0.90
(1)
Sumber: Sukaesih (2002)
106
Lampiran 2. Denah percoban I di kebun Cikabayan – Bogor dan naungan paranet di
lapang.
kontrol
(tanpa naungan)
Gi-3 Gi-2 Gi-1
Naungan paranet
75%
Gi-3 Gi-2
Gi-1
Naungan paranet
25%
Gi-3 Gi-2 Gi-1
Naungan paranet
50%
Gi-3
Gi-2 Gi-1
Keterangan:
- Gi -1 artinya genotipe i ulangan 1, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8
- Gi -2 artinya genotipe i ulangan 2, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8
- Gi –3 artinya genotipe i ulangan 3, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8
- Paranet 25%, 50%, dan 75% artinya menahan cahaya matahari berturut-turut 25%,
50%, dan 75%
- Percobaan IA dan IB pada penelitian 1, percobaan I pada penelitian 2 dan 3
Naungan paranet 25 %
107
Lampiran 3. Denah percobaan II di kebun Cikabayan – Bogor
G1T1
G1T5
G2T5
G1T4
G3T1
G4T2
G2T3
G1T2
G4T2
G4T1
G1T5
G2T3
G3T2
G4T5
G3T2
G4T4
G4T3
G3T4
G1T4
G1T3
G1T5
G1T1
G2T1
G1T2
G3T4
G3T3
G4T3
G4T5
G2T2
G2T5
G4T5
G3T1
G4T4
G2T1
G3T5
G4T3
G1T1
G3T2
G4T1
G2T4
G2T5
G2T2
G4T4
G2T3
G3T1
G1T3
G4T1
G3T5
G3T5
G3T4
G2T4
G4T2
G3T3
G2T2
G1T3
G1T2
G1T4
G3T3
G2T1
G2T4
Keterangan:
Percobaan II pada penelitian 2 dan 3
G1 = genotipe Ceneng (toleran)
G2 = genotipe Pangrango (toleran)
G3 = genotipe B613 (toleran)
G4 = genotipe Godek (peka)
T1 = TTT= perlakuan terang/ normal terus-menerus (kontrol)
T2 = TTG = perlakuan terang/ normal terus-menerus sampai hari ke-29, lalu gelap selama 3
hari
T3 = TGT = perlakuan terang sampai hari ke-26, lalu gelap 3 hari, kemudian terang 3 hari
T4 = GTG =perlakuan terang/ normal sampai hari ke-23 , lalu gelap 3 hari, terang 3 hari,
dilanjutkan gelap lagi selama 3 hari
T5 = TGN = perlakuan terang/ normal sampai hari ke-26, lalu gelap 3 hari, dilanjutkan
naungan 50%
Sampel pada semua perlakuan diambil pada hari ke-32 dengan keadaan sesuai perlakuan
saat itu. Sampel TGT diambil pada saat terang, TTG dan GTG pada gelap, dan TGN pada
saat naungan 50%.
108
Lampiran 4. Jadwal perlakuan pada variasi pergiliran gelap-terang (percobaan II pada
penelitian 2 dan Percobaan II pada penelitian 3).
Jenis
Pengambilan
sampel (HST)
P e r l a k u a n
Kontrol normal sampai hari ke-23
normal
normal
normal
32
TTG
normal sampai hari ke-23
normal
normal
gelap
32
TGT
normal sampai hari ke-23
normal
gelap
normal
32
GTG
normal sampai hari ke-23
gelap
normal
gelap
32
TGN
normal sampai hari ke-23
normal
gelap
naungan
32
23
3
3
3
---
0-23
23-26
26-29
29-32
---
Lamanya
(hari)
Masa
(HST)
Keterangan:
Normal artinya kondisi biasa, yaitu siang terang dan malam gelap
Sampel pada semua perlakuan diambil pada hari ke-32 dengan keadaan sesuai perlakuan
saat itu. Sampel TGT diambil pada saat terang, TTG dan GTG pada gelap, dan TGN pada
saat naungan 50%.
109
Lampiran 5. Prosedur analisis laboratorium dan biokimia
a. Metode pengukuran mesofil parenchyma dan palisade (Widjaya, 1996)
Bahan yang digunakan antara lain: daun kedelai, Eau de javille (50 g CaCl3 + 100 g
KCO3 + aquades sampai 1 liter), aquades, gliserin 10 %, methyl green 0.5 % dalam asam
asetat 10 % dan cat kuku bening. Alat yang digunakan yaitu: jarum preparat, kuas gambar,
cawan petri, sliding microtome.
Urutan prosedur pengerjaan adalah sebagai berikut. Sampel daun dipotong-potong
dengan ukuran 2 x 0.5 cm. Sampel kemudian dibekukan dengan cara meletakkannya secara
tegak lurus pada wadah yang disediakan untuk membekukan preparat. Lalu ditambahkan air
setetes demi setetes sehingga seluruh permukaan preparat tertutup es.
Sampel yang telah dibekukan kemudian diiris dengan menggunakan sliding microtome
dengan ketebalan 10 µm. Hasil potongan kemudian diletakkan ke dalam cawan petri dengan
bantuan kuas gambar. Selanjutnya ditetesi beberapa tetes eau de jeville (50 g CaCl3 + 100
g KCO3 atau NaCO3 ) dalam larutan aquades dan dipanaskan pada lampu spiritus. Irisan
yang berwarna hijau berubah menjadi putih. Pemanasan dihentikan setelah irisan berwarna
putih dan kemudian dicuci dengan aquades.
Irisan kemudian ditetesi asam asetat 10 % dan dicuci berkali-kali dengan aquades untuk
menghilangkan eau de javille dan asam asetat. Setelah irisan bersih dari asam dan eau de
javille, ditetesi dengan methyl green dan didiamkan beberapa detik. Bila irisan dengan
methyl green masih mengeluarkan warna coklat, dicuci kembali dengan asam asetat dan
aquades. Setelah irisan terwarnai, lalu dicuci kembali dengan aquades.
Irisan diletakkan di atas object glass (gelas objek) yang telah diberi gliserin 10 % dan
ditutup dengan cover glass (gelas penutup). Untuk menghindari penguapan gliserin,
sekeliling gelas penutup (cover glass) ditutup dengan cat kuku bening. Preparat selanjutnya
diamati di bawah mikroskop.
b. Metode pengukuran stomata (Widjaya, 1996)
Daun kedelai dikerik dibagian atasnya untuk mendapatkan lapisan epidermis bagian
bawah. Epidermis diwarnai dengan safranin dan dicuci dengan aquades. Epidermis yang
telah dicuci diletakkan pada kertas saring dan diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi
110
dengan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup. Sekeliling gelas penutup (cover glass)
ditutup dengan cat kuku bening untuk menghindarkan hilangnya gliserin. Stomata diamati di
bawah mikroskop
c. Metode analisa klorofil a dan b (Yoshida, 1976)
Daun segar sebanyak 2 gram dipotong kecil dan dihancurkan sampai halus dengan
mortar, lalu ditambahkan aseton secukupnya dan diaduk. Ekstraknya dipindahkan ke dalam
labu ukur 100 ml. Kemudian ditambahkan aseton 80% ke dalam labu ukur sampai mencapai
100 ml. Larutan diambil 5 ml untuk dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan
dengan aquades sampai volume 50 ml.
Absorbansi ekstrak tersebut diukur pada 663 nm dan 645 nm dengan spektrofotometer. Kandungan khlorofil ditentukan dengan persamaan berikut:
Kl. a = 0.0127 x D663 - 0.00269 x D645
Kl. b = 0.0229 x D645 - 0.00460 x D663
d. Analisis kandungan karbohidrat (Harn et al., 1993)
Daun kedelai dipotong kecil dan dibekukan. Daun kedelai kemudian dimasukkan ke
dalam etanol 80 % yang mendidih selama 5 jam dalam soxhlet untuk mengekstraksi gula
terlarut. Setelah seluruh alkohol menguap, ekstrak yang tersisa dilalukan pada C18 - Prep
Sep Columns (Biorad).
Sukrosa, glukosa dan fruktosa dipisahkan dengan menggunakan HPLC yang dilengkapi
dengan Aminex HPX-42C Columns (Bio Rad) dan dibaca menggunakan refractive index
detector. Konsentrasi sukrosa dinyatakan dengan mg/g bobot basah
e. Analisis pati (Huber dan Israel, 1982)
Sebanyak 0.5 g bobot basah daun diekstrak dengan etanol 80 % dan dipanaskan hingga
pigmen yang ada pada jaringan keluar. Ekstraknya disentrifugasi dan disuspensikan dengan
menambahkan 2 ml 0.2 N KOH dan direndam dalam air mendidih selama 30 menit. Setelah
dingin, pH diatur sampai 5.5 dengan 1 M asam asetat
Pada ekstraknya ditambahkan amyloglucosidase dengan volume yang sama (400 unit/
ml dalam 0.1 buffer sitrat ph 5.5). Setelah itu diinkubasi pada suhu 45 C selama 4-6 jam.
111
Setelah inkubasi tabung diletakkan di dalam air mendidih selama 1 menit dan superna-tannya
dianalisis dengan metode Fulin Wu untuk menentukan kadar glukosa. Kandungan pati
dinyatakan sebagai glukosa/gram bobot basah.
f. Analisis enzim sukrosa fosfat sintase (Suwignyo et al., 1995)
Jaringan daun yang telah disimpan dalam nitrogen cair, dihancurkan dengan mortar dalam
medium (8.0 ml medium/ gram bobot basah) yang mengandung 50 mM HEPES NaOH; pH
7.5; 5 mM MgCl2 , 1 mM EDTA, 2.5 ml DTT, 2 % PEG 20 000 dan 1 % BSA. Campuran
kemudian disaring dengan 2 lapis Miracloth dan disentrifugasi pada 38 000 g selama 10
menit.
Pada supernatan ditambahkan 70 µ l berisi 7.5 mM UDP-glukosa, 7.5 mM fruktosa-6fosfat, 5 mM MgCl2 , 50 mM HEPES NaOH, pH 7.5. Campuran tersebut lalu diinkubasi
selama 10 menit pada 25o C. Kemudiaan reaksi dihentikan dengan menambahkan 70 µl
NaOH 1 M.
Fruktosa-6-fosfat yang tidak bereaksi dihancurkan dengan meletakkan tabung reaksi
pada air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin ditambahkan 0.25 ml 0.1 % resorcinol
dalam 95 % etanol dan 0.75 ml 30 % HCl dan diinkubasi pada 80o C selama 8 menit.
Setelah kembali ke suhu ruang, aktivitas enzim diukur dengan spektrofotometer pada λ =
520 nm. Aktivitas enzim dinyatakan dalam satuan mM/g bobot basah.
g. Analisis aktivitas enzim rubisco (Holbrook et al., 1994)
Daun kedelai dihomogenasi dengan bantuan nitrogen cair dalam medium bebas CO2,
yang berisi 100 mM TRIS HCl, 5 mM MgCl2, 5mM dithiothreitol, 10 mM isoascorbic acid,
1.5 % PVP 40 pada pH 8.0 (buffer A). Homegenat disentrifugasi pada microcen-trifuge
selama 1 menit pada 13000 g. Supernatan hasil sentrifugasi digunakan untuk pengujian
aktivitas awal rubisco dan aktivitas total rubisco.
Sebanyak 10 µl supernatan diinkubasi pada medium buffer B (50 mM Tris-HCl, 5 mM
MgCl2 , 5 mM DTT, 10 mM isoascorbic acid, 20 mM NaH14C03 , (0.5 Ci Mol) dan
direaksikan dengan 1 mM RuBP pada pH 8.0. Sebelum pengujian aktivitas total rubisco,
ekstrak diaktivasi terlebih dahulu selama 5 menit dengan buffer B. Setelah aktivasi ekstrak
direaksikan dengan 1 mM RuBP selama 30 detik. Reaksi dihentikan dengan 0.1 ml 6 N
112
HCOOH dalam methanol. NaH14C03 yang tidak bereaksi dilepas ke udara melalui
pemanasan. Aktivitas rubisco dihitung berdasarkan radioaktif dan perbandingan dengan
larutan standar.
h. Analisis kandungan N daun (Mae et al., 1993).
Daun yang telah dibekukan dalam N cair dihomogenasi dengan 50 mM buffer Naphosphate (pH 7.4). Perbandingan daun : buffer adalah 1 : 5. Homegenat disaring melalui
empat lapis kain kasa, kemudian filtratnya disentrifugasi selama 50 menit pada 37000 g.
Supernatan yang terbentuk digunakan untuk menentukan N terlarut daun dan pemisahan
berikutnya.
Sebagian supernatan dipresipitasikan dengan 15 % (w/v) trichloro-acetic acid dengan
volume yang sama dan disimpan pada 0 C selama 30 menit. Hasil presipitasi dipisahkan
dengan sentrifugasi dan dicuci dengan ethanol. Fraksi ini digunakan untuk menentukan
kandungan protein N terlarut dengan reagen Nessler.
Total N daun diukur dengan menggunakan reagen Nessler setelah sampel daun diberi
H2SO4-H2O2.. N tak larut dan N terlarut TCA ditentukan sebagai berikut:
N tak larut = N total daun - N terlarut
N terlarut bukan protein = N terlarut - protein N terlarut
i. Analisis gula total (Apriyantono et al, 1990).
1.0 g sampel kering dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. 10 ml air ditambahkan
ke dalam tabung dan diaduk. Kemudian ditambahkan 13 ml asam perkhlorat 52 % dan
diaduk selama 20 menit. Setelah diaduk lalu disaring dan dimasukkan ke dalam labu takar,
diberi air sampai sampai 250 ml.
1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 5 ml
pereaksi Anthrone secara cepat dan diaduk secara merata. Dalam keadaan tertutup tabung
reaksi direndam dalam air 100o C selama 12 menit lalu didinginkan cepat dengan air
mengalir. Absorbansnya dibaca pada 630 nm. Kandungan gula total dibandingkan dengan
larutan standar.
j. Analisis karbohidrat total (Apriyantono et al, 1990).
113
10 ml ekstrak sampel seperti pada analisis gula total di atas diencerkan menjadi 100
ml dengan air. Tahap berikutnya sama dengan penetapan kadar gula di atas. Karbohidrat
total dinyatakan dengan rumus.
Total karbohidrat =
25 x b .
axW
W = bobot sampel,
a = absorbans gula satandar,
b = absorbans sampel.
k. Analisis pati total (Apriyantono et al, 1990).
0.2 g sampel dalam bentuk tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 ml.
Sampel dibasahi dengan 2 tetes etanol 80%, diberi air 5 ml dan diaduk. Ditambahkan 25 ml
etanol 80% (v/v) panas, diaduk dan dibiarkan selama 5 menit, lalu disentrifus. Supernatan
didekantasi.
Ekstraksi diulang dengan 30 ml etanol 80%. Ke dalam residu ditambahkan 5 ml air
dan 6.5 ml asam perkhlorat 52% dan diaduk di atas magnetic stirrer selama 5 menit,
dibiarkan, lalu diaduk lagi selama 15 menit. Supernatan didekantasi dan dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml. Pengekstrakan diulang lagi. Semua supernatan dimasukkan ke
dalam labu takar 100 ml.
1 ml filtrat dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml air dan 10 ml
pereaksi Anthrone. Setelah diaduk merata dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit
lalu didinginkan. Absorbansnya dibaca pada 607 nm. Kandungan pati ditentukan dengan
membandingkan dengan larutan standar.
114
Lampiran 6. Kelembaban udara pada empat tingkat naungan pada Juni 2002 (Percobaan IA atau MT-1 penelitian 1 dan percobaan I penelitian 2)
Tingkat naungan
Pagi
Siang
Sore
(%)
(07.30)
(13.30)
(16.30)
0
25
84
84
70
67
73
75
50
75
82
82
67
70
74
76
Lampiran 7. Rata-rata suhu dan kelembaban udara di lokasi percobaan pada April – Mei
2004 (percobaan II penelitian 2 dan percobaan II penelitian 3)
Lokasi
Waktu pengamatan
Udara terbuka (kontrol)
Paranet 50%
Ruangan gelap
Suhu (o C)
Kelembaban
Jam 12.00
Suhu (o C)
Kelembaban
Jam 07.00
27.8
81
29.0
85
27.3
91
35.0
63
34.0
66
29.0
85
Suhu (o C)
Kelembaban
31.0
78
31.8
77
29.1
82
Jam 07.00
115
Lampiran 8. Rekapitulasi hasil analisis ragam untuk beberapa variabel pada percobaan
split plot (percobaan I-A dan I-B penelitian 1, percobaan I penelitian 2, dan
percobaan I penelitian 3)
F hitung
Variabel
KTGPU
Naungan
Genotipe
KTGAP
KK
NxG
Percobaan IA (MT-1) dan IB (MT-2) Penelitian 1
Produktivitas MT-1
67.07**
7.74**
1.42
7.50
7.57
30.82
Produktivitas MT-2
142.67**
7.97**
0.68
2.00
2.82
18.98
Percobaan I pada Penelitian 2
Tebal daun
54.44**
2.44*
1.53
0.002
0.0003 21.24
Luas daun
49.97**
13.77**
1.50
796.13
233.49 13.76
Bobot sepesifik daun
46..09**
3.69**
2.02*
0.0030
0.0017 21.52
Kerapatan bulu
16.67**
22.15**
2.97**
20.28
6.96 19.13
Kerapatan stomata
90.18**
2.09
1.06
853.67
857.33 12.11
Klorofil a
49.36**
3.23**
0.59
0.21.
0.08 16.89
Klorofil b
75.22**
2.95**
0.49
0.05
0.01 16.74
Rasio Klorofil a/b
13.97**
0.79
0.67
0.16
0.03
7.39
Percobaan I pada Penelitian 3
Sukrosa
3.12
0.22
2.77
3755.25
808.58 18.54
Pati
1.67
1.73
0.02
1.96
1.50 46.08
SPS
1.20
5.69
4.54
4386.08
1652.75 13.54
Aktivitas rubisco
5.51
0.00
1.50
0.0005
0.0039 58.89
N total
6.43
0.97
4.22
16.06
22.83 11.73
11.65*
6.36
6.32
20.89
9.47 28.57
N protein terlarut
0.22
1,79
0.21
2.21
1.99 73.24
N tak larut
0.06
0.23
0.11
12.06
39.11 20.88
N terlarut bukan
protein
6.00
5.77
4.36
9.32
16.15 45.44
N terlarut
Keterangan: Tanda **) artinya nyata pada taraf 1%., *) nyata pada taraf 5%
116
Lampiran 9. Rekapitulasi hasil analisis ragam beberapa variabel pada percobaan variasi
pergiliran gelap-terang pada percobaaan II penelitian 2 dan penelitian 3
dengan rancangan acak lengkap
F hitung
Variabel
Variasi
Pergiliran
Genotipe
KTG
KK
VxG
Percobaan II pada Penelitian 2
Tebal daun
3.67*
0.89
0.92
0.0014
23.33
Luas daun
1.28
5.87
1.12
450.57
17.49
17.19**
10.63**
1.19
2945.16
29.45
Kerapatan bulu
0.34
5.46**
0.38
8634.73
45.72
Kerapatan stomata
0.12
1.65
0.55
2945.16
29.45
Klorofil a
7.85**
1.20
1.26
0.06
17.86
Klorofil b
8.22**
0.98
1.18
0.01
19.60
0.79
4.9**
0.56
0.07
9.96
Bobot sepesifik daun
Rasio Klorofil a/b
Percobaan II pada Penelitian 3
Gula
13.30**
0.83
0.27
18.14
30.70
Pati
24.70**
0.36
0.88
656.19
22.39
Karbohidrat Batang
4.08**
0.76
1.78
2.92
23.31
Aktivitas rubisco
7.85**
1.35
0.79
0.00017
49.40
Keterangan: Tanda **) artinya nyata pada taraf 1%., *) nyata pada taraf 5%
117
Lampiran 10. Intensitas radiasi matahari di wilayah Darmaga (kal cm-2 hari-1)
Tahun 2002
Tgl
Mei
Jun
Jul
Agst
Sept
Tahun 2003
Nop
Des
Jan
Peb
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
246
287
221
282
284
198
230
189
146
139
315
138
298
321
307
275
318
331
272
309
273
218
284
244
246
284
245
273
265
257
222
185
253
248
174
181
232
244
202
251
260
186
167
189
199
203
224
273
262
244
260
247
248
213
230
227
220
248
233
233
216
202
213
188
268
294
177
230
257
233
226
141
252
164
192
222
215
246
295
222
279
289
253
270
272
252
229
270
259
238
276
294
281
254
308
340
349
316
331
270
262
324
240
316
317
349
368
339
309
293
242
248
305
310
288
269
319
308
317
334
291
323
271
341
369
356
343
296
314
375
352
325
296
294
345
343
330
317
311
344
367
304
319
321
358
324
257
326
345
287
289
270
330
394
373
317
226
217
312
278
273
338
207
313
320
331
211
310
298
389
178
316
247
297
237
245
297
354
241
269
218
227
287
335
386
328
328
372
231
171
329
374
251
311
258
204
224
301
256
240
261
242
309
220
289
232
255
211
220
142
139
142
278
143
156
141
178
213
214
298
411
426
369
309
397
260
396
424
392
404
340
378
368
382
277
184
332
273
321
146
143
208
157
252
234
jml
rata2
7917
255
6752
225
7418
239
9391
303
9748
325
8520
284
7982
258
8983 6099
290 218
7663
247
mak
min
331
138
273
167
295
141
368
240
375
257
394
178
386
139
426
141
338
141
Sumber: Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga, Bogor
283
246
244
200
144
179
179
164
243
305
330
160
150
352
249
176
267
223
157
144
149
247
240
255
254
156
159
244
Mar
352
144
148
145
251
288
223
251
214
226
239
296
286
280
225
247
141
196
338
277
145
311
194
222
336
316
318
218
286
258
258
207
323
118
118
Lampiran 11. Intensitas radiasi matahari pada bulan Juni 2003 (MT-2) jam 12.00 (kal cm-2 mnt-1)
Naungan Paranet 25%
Diterima % masuk % Naungan
Tanggal
Kontrol
25 Juni
1.3190
26 Juni
0.8893
0.597
28 juni
1.0604
29 juni
nn
nn
Kontrol
Naungan Paranet 50%
Diterima % masuk % Naungan
nn
0.8803
0.378
42.9
67
32.9
0.3171
#####
#####
0.590
56
44.3
1.2871
0.483
38
1.4672
0.882
60
39.9
0.6425
0.502
1 juli
1.7057
1.145
67
32.9
1.4699
2 juli
1.0437
0.635
61
39.2
0.5862
jumlah
rata2
7.4853
1.248
189.2
38
5.1830
0.864
Naungan Paranet 75%
Diterima
% masuk % Naungan
0.8045
0.1254
15.6
84.4
0.9658
0.3522
36.5
63.5
62.5
1.0520
0.1445
13.7
86.3
78
21.9
1.9052
0.2147
11.3
88.7
0.58
39
60.6
1.3559
0.7667
56.5
43.5
0.264
45
55.0
0.8066
0.1063
13.2
86.8
257.1
51
6.890
1.148
Rata2 intensitas radiasi pada siang hari = (1.248 + 0.864 + 1.148)/3 = 1.087 kal cm-2 mnt-1
57.1
Kontrol
453.2
76
119
119
Lampiran 12. Data intensitas cahaya pada Januari 2003 (kal cm-2 mnt-1)
Siang
siang
siang
%
%
meneruskan Kontrol N 50% meneruskan
%
Kontrol N 75% meneruskan
Tanggal
Kontrol
N 25%
Pagi
Sore
12 Januari
0.445
0.309
69.362
0.428
0.171
39.896
2.070
0.373
18.023
0.616
0.432
14 Januari
1.549
1.039
67.083
0.603
0.245
40.714
1.861
0.342
18.399
0.705
0.802
12 Januari
0.968
0.588
60.747
1.118
0.588
52.557
1.254
0.235
18.705
0.803
0.397
17 Januari
1.431
0.926
64.758
0.839
0.350
41.707
1.867
0.329
17.639
0.726
0.648
21 Januari
1.256
0.791
62.994
0.719
0.287
39.944
0.945
0.166
17.560
0.554
0.218
Rat-rata
1.130
0.731
65
0.741
0.328
43
1.599
0.289
18
0.681
0.499
Rata-rata intensitas siang hari pada Januari 2003 = (1.130 + 0.741 + 1.599)/3 = 1.157 kal cm-2 mnt-1
Rata-rata intensitas pagi hari pada Januari 2003 = 0.681 kal cm-2 mnt-1
Rata-rata intensitas sore hari pada Januari 2003 = 0.499 kal cm-2 mnt-1
Rata-rata naungan paranet 25% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (65+62)/2 = 64 %
Rata-rata naungan paranet 50% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (43+49)/2 = 46 %
Rata-rata naungan paranet 75% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (18+24)/2 = 21 %
120
121
Lampiran 13. Pengaruh naungan terhadap produktivitas biji, tebal daun, luas daun,
kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan kandungan klorofil daun
Perlakuan naungan
Genotipe
Kontrol
Naungan
25%
Naungan
50%
Naungan
75%
Produktivitas pada MT-1
(g/tanaman)
12.15 a
11.26 a
8.70 b
3.12 c
Produktivitas pada MT-2
(g/tanaman)
11.60 a
11.19 a
10.89 a
2.14 b
Tebal Daun (mm)
0.12 a
0.09 b
0.07 b
0.06 b
Luas Daun (cm2)
107 b
124 ab
Bobot Spesifik Daun (g/dm2)
0.24 a
0.22 a
0.20 a
Kerapatan bulu (bulu/10 mm2)
16 a
15 ab
12 b
Kerapatan stomata (stomata/ mm2)
298 a
264 b
Klorofil a (mg/g)
1.25 c
1.48 bc
Klorofil b (mg/g)
0.50 c
0.63 bc
Rasio Klorofil a/b)
2.43 a
2.26 ab
131 a
240 c
1.79 b
0.75 b
2.33 ab
82 c
0.11 b
12 b
165 d
2.18 a
1.00 a
2.12 b
Ket: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Angka yang
tertera merupakan rata-rata dari 8 genotipe (Ceneng, B613, Pangrango, Tampomas, Wilis, MLG299, Klungkung
Hijau dan Godek) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8. Pengaruh interaksi yang nyata
ditunjukkan pada Lampiran 18 dan 20
122
Lampiran 14. Produktivitas biji, tebal daun, dan luas daun 8 genotipe kedelai
Genotipe
Produktivitas biji (g/tanaman)
MT-1
MT-2
Tebal daun
Luas daun
(mm)
(cm2)
Ceneng (T)
B 613 (T)
8.89 bcd
6.87 d
7.99 c
7.39 c
0.10 a
0.09 ab
121 ab
127 a
Pangrango (T)
9.63 bc
10.07 b
0.08 b
111 bc
Tampomas (T)
7.97 bcd
8.41 c
0.08 b
110 bc
Wilis (M)
7.34 cd
8.67 c
0.09 ab
115 ab
Mlg 2999 (P)
7.09 d
8.28 c
0.08 b
79 d
Klungkung (P)
13.53 a
11.44 a
0.09 ab
129 a
Godek (P)
10.12 b
8.21 c
0.08 b
98 c
Ket: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. T= Toleran, P
= Peka. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat tingkat naungan (kontrol, naungan 25%, 50%, dan 75%)
sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8. Pengaruh interaksi yang nyata ditunjukkan
pada Lampiran 18 dan 20
Lampiran 15. Bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun 8 genotipe
kedelai
BSD
Kerapatan bulu
Klorofil a
Klorofil b
(g/dm2)
(bulu/10 cm2)
(mg/g)
(mg/g)
Ceneng (T)
B 613 (T)
0.23 a
0.22 ab
10 de
19 a
1. 91 a
1.75 abc
0.82 a
0.77 ab
Pangrango (T)
0.17 c
13 c
1.57 c
0.67 bc
Tampomas (T)
0.20 bc
18 ab
1.53 c
0.67 bc
Wilis (M)
0.19 bc
13 c
1.50 c
0.64 c
Mlg 2999 (P)
0.16 c
9e
1.85 ab
0.77 ab
Klungkung (P)
0.19 bc
12 cd
1.64 bc
0.71 bc
Godek (P)
0.19 bc
16 b
1.66 abc
0.72 abc
Ket: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. T= Toleran, P
= Peka. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat tingkat naungan (kontrol, naungan 25%, 50%, dan 75%)
123
sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8 Pengaruh interaksi yang nyata ditunjukkan pada
Lampiran 18 dan 20
Lampiran 16. Pengaruh variasi pergiliran gelap – terang terhadap tebal daun, bobot spesifik
daun, kandungan klorofil, gula daun, pati daun, karbohidrat batang, dan
aktivitas rubisco
TTT
(Kontrol)
TTG
TGT
GTG
TGN
Tebal daun (mm)
0.19 a
0.16 ab
0.18 a
0.14 b
0.14 b
Bobot spesifik daun (g/dm2)
0.78 a
0.54 c
0.75 a
0.61 bc
0.62 b
Klorofil a (mg/g)
1.59 a
1.21 bc
1.36 b
1.09 c
1.40 ab
Klorofil b (mg/g)
0.63 a
0.48 bc
0.52 b
0.40 c
0.54 b
Gula daun (mg/g BK)
18.9 a
8.6 b
16.6 a
9.7 b
15.6 a
Pati daun (mg/g BK)
155 a
7.4 c
137 ab
78 c
128 b
Karbohidrat batang (mg/g BK
8.6 a
7.0 bc
7.4 ab
5.9 c
7.8 ab
0.148 a
0.060 b
0.143 a
0.063 b
0.114 a
Genotipe
Aktivitas rubisco
(nmolCO2/g/menit)
Ket: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat genotipe (Ceneng, B613, Pangrango, dan Godek) sebagai uji
lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 9. TTG=Terang-Terang-Gelap, TGT=Terang-Gelap-
Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan
urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
Lampiran 17. Pengaruh genotipe terhadap bobot spesifik daun, kerapatan bulu dan rasio
klorofil a/b
Bobot spesifik
(g/dm2)
Kerapatan bulu
( bulu/10 cm2)
Rasio
klorofil a/b
Ceneng (T)
0.66 b
14 b
2.79 a
B613 (T)
0.76 a
28 a
2.66 ab
Pangrango (T)
0.62 b
20 b
2.51 b
Godek (P)
0.60 b
19 b
2.47 b
Genotipe
Ket: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Angka yang tertera merupakan rata-rata dari lima perlakuan variasi pergiliran terang-gelap (TTT, TTG, TGT, GTG,
124
dan TGN) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 9. T= Toleran, P = Peka. Sampling
pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran
125
Lampiran 18. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap bobot spesifik daun
Ket: Huruf yang sama pada genotipe yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%
Lampiran 19. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap kerapatan bulu daun.
Ket: Huruf yang sama pada genotipe yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
DMRT 5%
126
Lampiran 20. Tinggi tanaman 8 genotipe kedelai pada 7 MST (cm)
Genotipe
Kontrol
Naungan 25%
Paranet 50%
Paranet 75%
1. Ceneng
51 a
75 a
(147 )
110 b
(216)
147 c
(288)
2. Klungkung
50 a
69 b
(138)
102 c
(204)
108 c
(216)
3. B 613
42 a
70 ab
(167)
97 bc
(231)
133 c
(317)
4. Wilis
46 a
68
(148) b
87
(189) c
131 d
(285)
5. Tampomas
67 a
100
(149) ab
132
(197) bc
153 c
(228)
6. Pangrango
43 a
63
(147) ab
103
(240) b
148 c
(344)
7. Mlg 2999
53 a
71
(134) ab
115
(217) bc
165 c
(311)
8. Godek
51 a
71 a
(139)
134
(263) b
163 c
(320)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
127
Lampiran 21. Jumlah buku 8 genotipe kedelai pada 7 MST
Genotipe
Naungan 25%
Paranet 25%
Paranet 50%
Paranet 75%
1. Ceneng
12.3 a
12.3 a
(100)
11.3 ab
(92)
10.0 b
(81)
2. Klungkung
14.0 a
14.0 a
(100)
15.7 b
(112)
12.3 c
(88)
3. B 613
12.0 a
12.0 a
(100)
11.7 a
(98)
9.0 b
(75)
4. Wilis
12.3 a
13.3 a
(110)
12.7 a
(103)
10.0 b
(81)
5. Tampomas
12.3 a
12.3 a
(100)
11.0 ab
(89)
9.7 b
(79)
6. Pangrango
13.0 a
13.0 a
(100)
13.7 a
(105)
10.3 b
(79)
7. Mlg 2999
13.0 a
13.0 a
(100)
13.7 a
(105)
11.0 b
(85)
8. Godek
14.7 a
14.7 a
(100)
15.0 a
(102)
11.3 b
(80)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
128
Lampiran 22. Jumlah daun 8 genotipe kedelai pada 7 MST
Genotipe
Naungan 25%
Paranet 25%
Paranet 50%
Paranet 75%
1. Ceneng
30.7 a
25 .0 a
(81)
24.3 ab
(79)
14 b
(46)
2. Klungkung
38.3 a
33.7 a
(88)
36.0 a
(94)
17.7 b
(46) b
3. B 613
22.3 a
21.7 a
(97)
19 a
(85)
13.7b
(61)
4. Wilis
31.0 a
26.3 a
(85)
20.3 b
(65)
9.0 c
(29)
5. Tampomas
19.3 b
22.7 a
(118)
20.0 ab
(104)
11.7 c
(61)
6. Pangrango
31.0 a
7. Mlg 2999
32.3 a
27.0 ab
(87)
26.7 b
(83)
25.3 b
(82)
27.0 b
(84)
12.3 c
(40)
16.3 c
(50)
8. Godek
37.7 a
33.7 ab
28.3 b
18.3 c
(89)
(75)
(49)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
129
Lampiran 23. Bobot akar 8 genotipe kedelai pada saat panen (g)
Genotipe
Naungan 25%
Paranet 25%
Paranet 50%
Paranet 75%
1. Ceneng
1.8 a
100
1.43 ab
(79)
1.05 b
(58)
0.08 c
(4)
2. Klungkung
3.18 a
2.84 ab
(89)
1.63 b
(51)
0.14 c
(4)
3. B 613
1.26 a
0.7 b
(56)
0.61 b
(48)
0.07 c
(6)
4. Wilis
2.02 a
1.93 a
(96)
1.67 a
(83)
0.08 b
(4)
5. Tampomas
0.91 a
0.93 a
(102)
0.79 a
(87)
0.07 b
(8)
6. Pangrango
2.21 a
1.54 ab
(70)
0.92 b
(42)
0.14 c
(6)
7. Mlg 2999
1.96 a
1.59 a
(81)
0.72 b
(37)
0.13 b
(7)
8. Godek
2.85 a
2.23 ab
(78)
1.45 b
(51)
0.1 c
(4)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
130
Lampiran 24. Bobot bintil akar 8 genotipe saat panen (g)
Genotipe
Naungan 25%
Paranet 25%
Paranet 50%
Paranet 75%
1. Ceneng
0.85 a
079 ab
(73)
0.55 b
(65)
0.01 c
(1)
2. Klungkung
1.65 a
1.5 ab
(91)
0.75 bc
(45)
0.05 c
(3)
3. B 613
0.53 a
0.45 a
(85)
0.36 a
(68)
0b
(0)
4. Wilis
0.83 a
0.79 a
(95)
0.61 a
(73)
0.01 b
(1)
5. Tampomas
0.55 a
0.55 a
(100)
0.52 a
(95)
0b
(0)
6. Pangrango
1.0 a
0.82 a
(82)
0.29 b
(29)
0.02 b
(2)
7. Mlg 2999
1.01 a
0.86 a
(85)
0.43 b
(43)
0.05 c
(5)
8. Godek
1.40 a
1.37 a
(98)
0.85 a
(61)
0.01 b
(1)
Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%
131
Glosari
132
Adaptasi
: penyesuaian terhadap lingkungan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan akhirnya meneruskan sifat penye-suaiannya
kepada keturunannya
Cahaya normal
: kondisi cahaya alamiah, terang pada siang hari dan gelap pada
malam hari, serta variasi intensitas cahaya sesuai dengan siklus
diurnal siang-malam. Rata-rata intensitas cahaya pada jam 07.30
adalah 0.681 kal cm-2 mnt-1; jam 13.30 sebesar 1.1567 kal cm-2
mnt-1 dan jam 16.30 sebesar
0.499 kal cm-2 mnt-1.
Cekaman
: Stres atau faktor lingkungan apapun di luar organisme yang secara
potensial tidak cocok (mengganggu) organisme tersebut sehingga
fungsi normalnya terganggu
DMRT
: Duncan’s Multiple Range Test, Uji beda berganda Duncan
Fotofosforilasi
: produksi ATP dari ADP dan fosfat anorganik dengan menggunakan
elektron fotosintesis yang dirangsang oleh cahaya sebagai sumber
energi
Fotosintesis
: proses biokimia yang menggunakan energi matahari untuk
menyintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air dalam
kloroplas tumbuhan
Fotomorfogenesis
: pembentukan struktur yang dipengaruhi oleh cahaya
Galur
: sekelompok tanaman kedelai yang berasal dari satu biji atau satu
batang tanaman
Intensitas cahaya
: energi cahaya yang megenai suatu area per satuan waktu
Kultivar
: suatu macam varietas yang diperoleh melalui pemuliaan yang
dipertahankan dengan pembudidayaan
Paranet
: sarana penaung terbuat dari pita plastik hitam yang dijalin dengan
benang plastik menjadi lembaran. Tingkat naungan ditentukan oleh
kerapatan diantara pita plastiknya
Pati
: polisakarida hexosa yang terdiri atas inti amilosa dikelilingi
amilopektin, terhidrolisa ke maltosa dan glukosa, disimpan dalam
tumbuhan dalam bentuk butiran sebagai molekul cadangan
Penghindaran
Ruang gelap
kemampuan adaptasi dengan cara menjauhkan atau menghindarkan
: jaringan dari cekaman
suatu ruangan kedap cahaya sehingga tercipta suatu keadaan gelap
: sepanjang hari (siang maupun malam)
Oksidasi molekul organik dalam sel untuk melepaskan energi dan
Download