MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH AKHMAD JUFRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 2006 2 ABSTRAK AKHMAD JUFRI. Mekanisme Adaptasi Kedelai [Glycine Max (L) Merrill] terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Sri Setyati Harjadi, Didy Sopandie, Muhammad Jusuf, dan Novianti Sunarlim. Tanaman beradaptasi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran dan mekanisme toleransi. Evaluasi mekanisme adaptasi dilakukan terhadap 8 genotipe, terdiri atas 4 genotipe toleran yaitu Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas, 1 moderat yaitu Wilis, dan 3 peka yaitu MLG2999, Klungkung hijau, dan Godek. Evaluasi meliputi respon masing-masing genotipe terhadap cekaman intensitas cahaya rendah yang berupa persentase: (1) penurunan produktivitas, (2) perubahan struktur daun yang berhubungan dengan mekanisme penghindaran, dan (3) perubahan fisiologi yang berkaitan dengan mekanisme toleransi. Cekaman pada penelitian ini diberikan dalam dua tipe perlakuan, yaitu (1) berupa naungan paranet 25%, 50%, dan 75% yang diberikan sejak tanam sampai panen dan (2) berupa cekaman ekstrim yang diwujudkan dalam 5 variasi pergiliran 3 hari gelap - terang pada umur 23 - 32 HST (hari setelah tanam). Kelima perlakuan variasi gelap-terang tersebut adalah terang-terang-gelap (TTG), terang-gelap-terang (TGT), terang-gelap-naungan 50% (TGN), gelap-terang-gelap (GTG) dan kontrol untuk menduga respirasi gelap, penyembuhan, dan adaptasi. Sampel diambil pada 30 HST untuk percobaan dengan cekaman tipe 1 dan 32 HST untuk tipe 2. Klungkung Hijau menunjukkan produksi biji per tanaman tertinggi dibanding genotipe lain. Produksi tertinggi tersebut konsisten pada ketiga level naungan, yaitu kontrol, naungan 25%, dan 50%. Pangrango juga memberi hasil tinggi pada kondisi kontrol, naungan 25%, dan 50%. Naungan 50% terbukti efektif untuk menyaring ketenggangan terhadap cekaman intensitas cahaya rendah karena menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap anatomi, morfologi, dan produktivitas tanaman, serta keragaman antar genotipe. Ceneng (T) konsisten sebagai genotipe toleran naungan karena mengalami persentase penurunan produksi terendah dan penurunannya tidak nyata, sedangkan Godek (P) konsisten peka naungan karena menunjukkan persentase penurunan hasil biji terbesar dan penurunannya nyata. Besarnya persentase penurunan produksi ini tidak berbeda nyata antar genotipe. Dalam mekanisme penghindaran kelompok genotipe toleran memperlihatkan persentase penurunan ketebalan daun lebih besar daripada kelompok peka. Ceneng (T) mengalami persentase penurunan berat spesifik daun dan bulu lebih besar daripada Godek (P). B613 (T) menghindari cekaman cahaya rendah terutama melalui peningkatan klorofil , sedangkan Tampomas terutama melalui pengurangan kerapatan bulu daun. Kandungan Klorofil mengalami peningkatan bila tanaman diberi naungan 25%, 50%, atau 75%. Perlakuan gelap selama 3 hari bisa menyebabkan kandungan klorofil daun turun, kecuali pada B613 (T). Kandungan klorofil yang turun akibat gelap bisa pulih kembali setelah tanaman dikembalikan pada cahaya normal selama 3 hari yang menunjukkan penyembuhan. Perlakuan gelap 3 hari menyebabkan kandungan gula dan pati daun serta karbohidrat batang menurun. Kandungan gula dan pati daun serta karbohidrat batang naik kembali setelah tanaman dikembalikan pada cahaya normal selama 3 hari yang juga menunjukkan i penyembuhan. Bila dikembalikan kepada naungan 50% (variasi TGN) kelompok tahan menunjukkan kandungan gula dan pati lebih tinggi yang menunjukkan fotosintesis lebih baik. Godek (P) menunjukkan penurunan kandungan karbohidrat batang, gula dan pati daun yang lebih besar saat diberi perlakuan gelap 3 hari, yang menunjukkan respirasi gelap lebih tinggi dibanding Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran). Pada kondisi ternaungi paranet 50% sejak tanam sampai panen Ceneng (T) menunjukkan mekanisme toleransi lebih baik dibanding Godek (P) karena lebih mampu mempertahankan perubahan fisiologi yang lebih kecil antara lain pada variabel kandungan sukrosa serta aktivitas enzim SPS dan rubisco. Ceneng bisa mengefektifkan metabolisme N melalui pengurangan kandungan N daun sekaligus pemanfaataannya yang tepat untuk mempertahankan kandungan protein N terlarut tetap tinggi. Klungkung Hijau bisa dianjurkan menjadi genotipe yang dikembangkan untuk pertanaman kedelai di bawah tegakan pohon perkebunan maupun kehutanan yang memberi naungan 0 – 50%. Ceneng bisa menjadi sumber gen toleran untuk program pemuliaan. Ceneng dan Godek bisa menjadi tanaman model untuk studi mekanisme adaptasi terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. ii ABSTRACT AKHMAD JUFRI. Adaptation Mechanism of Soybean [Glycine Max (L) Merrill] to Low Light Intensity Stress. Under the direction of Sri Setyati Harjadi, Didy Sopandie, Muhammad Jusuf, and Novianti Sunarlim. Plants adapt to stress of low light intensity by mechanism of avoidance and/ or tolerance. The evaluation of this adaptation mechanism was conducted on 8 genotypes of soybean [Glycine max (L) Merrill], consisted of 4 tolerant genotypes (Ceneng, B613, Pangrango, and Tampomas), 1 moderate (Wilis), and 3 susceptible genotypes (Klungkung Hijau, MLG2999, and Godek). The evaluation was studied by the responses of the genotypes in the changes of (1) productivity, (2) leaf characters correlated for the avoidance mechanism, and (3) physiological characters correlated for the tolerance mechanism. Two types of light stress were applied in this research. The first one was shading by 25%, 50%, 75% plastic paranet, and control. The second was 5 various alternating 3-days light-dark or 50% shading treatments at 23 – 32 DAP (days after planting). Treatments were light-light-dark (TTG), light-dark-light (TGT), light-dark-50% shading (TGN), and dark-light-dark (GTG), and continuously normal light as control (TTT); an assessment of dark respiration, recovery, and adaptation of the plant were measured. Sampling was conducted at 30 DAP for the first stress-type experiment and at 32 DAP for the second type experiment. Klungkung Hijau and Pangrango showed the highest productivity among the genotypes. The highest productivity was consistent at three light intensity levels, such as control, 25% shading, and 50% shading. Klungkung Hijau and Pangrango can be recommended as genotypes to be cultivated under plantation tree stands. Ceneng can be used as source of tolerant gene for breeding program. Treatment of 50% shading was effective for screening tolerance to low light intensity by significantly differed in plant anatomy, morphology, and productivity, and causing diverse responses among genotypes. Ceneng was considered as the most tolerant genotypes and Godek was the most susceptible. The tolerant genotypes decreased significantly than the susceptible genotypes for leaf thickness. Ceneng (T) had bigger changes in leaf specific weight and leaf thickness than Godek (S). B613 (T) avoided the stress mainly through increasing chlorophyll content and Tampomas (T) through decreasing leaf hair density. Chlorophyll content increased in the plant treated by 25%, 50%, and 75% shading. Three-day dark treatment caused the leaf chlorophyll content decreased in all genotypes except B613. The chlorophyll content was reversed to normal after normal light, indicated the recovery process. The recovery symptom was also seen on sugar, starch, and carbohydrate characters. Godek was predicted to have the highest dark respiration among the four genotypes. The three tolerant genotypes (Ceneng, B613, and Pangrango) had the higher carbohydrate content compared to Godek at treatment of 3 days shading following 3 days-dark (TGN). Ceneng (T) showed better mechanism of tolerance compared to Godek by smaller changes in physiological character such as sucrose and starch contents and enzyme activities of rubisco and SPS of leaf. Ceneng was also effective in utilizing N to produce protein in the leaf. iii SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH adalah gagasan dan hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah dipublikasikan atau diajukan untuk memperoleh gelar akademik di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Maret 2006 Akhmad Jufri iv MEKANISME ADAPTASI KEDELAI [Glycine max (L) Merrill] TERHADAP CEKAMAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH AKHMAD JUFRI Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 5 Judul Penelitian : Mekanisme Adaptasi Kedelai [Glycine Max (L) Merrill] terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah Nama : Akhmad Jufri NIM : 995045 Disetujui: Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi Ketua Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie Anggota Dr. Ir. Muhammad Jusuf Anggota Dr. Ir. Novianti Sunarlim Anggota Diketahui: Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Satriyas Ilyas Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc vi Tanggal ujian : 7 Pebruari 2006 Tanggal lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang atas rahmat yang dianugerahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini merupakan hasil penelitian tentang respon kedelai terhadap cekaman intensitas cahaya rendah yang dilakukan di Bogor sejak tahun Mei 2002 sampai Agustus 2003 serta Maret 2004 sampai Oktober 2004. Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Harjadi selaku ketua komisi pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, Bapak Dr. Ir. Muhammad Jusuf, dan Ibu Dr. Ir. Novianti Sunarlim selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan, petunjuk serta pengarahannya selama penelitian dan penyusunan disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie juga selaku ketua Tim Hibah Bersaing IPB yang telah membantu sebagian dana untuk penelitian dalam disertasi ini Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada para dosen pengajar pada Sekolah PascaSarjana IPB yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan. Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Satriyas Ilyas selaku Ketua Program Studi Agronomi yang telah memberi saran dan pengarahannya dalam penulisan disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Suyamto dan Ibu Dr. Ir. Nurul Khumaida yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada sidang terbuka dan atas saran-sarannya untuk perbaikan disertasi ini. Kepada Bapak Dr. Ir. Munif Gulamahdi penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih atas perkenannya menjadi penguji luar komisi pada sidang tertutup dan koreksi serta sarannya untuk perbaikan disertasi ini. .Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Tisno Suwarno, Bapak Dr. Ir. Tatang A. Taufik, Bapak Dr. Ir. Hasan Mustafa, serta Bapak Dr. Ir. Ugay Sugarmansyah selaku pimpinan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang telah memberi kesempatan, dorongan dan bantuan kepada penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. vii Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di laboratorium dan di lapang: Ibu Dra. Surtini Gondonegoro dan Bapak Drs. Irawan, Msi di BATAN Jakarta, Bapak Yosef di Balitnak Bogor, Ibu Iis dan Ibu Merry di Biokimia IPB, Mas Yudi, Mas Bambang dan Mas Joko di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, serta Mas Haryanto dan Mas Moko di Kebun Cikabayan IPB. Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada teman-teman: Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, Dr. Titin Handayani, Dr. Ir. Dwi Hapsoro, Dr. Ir. Shahidin, Dr. Churiyah, Dr. Ir. Winarso D. Widodo, Dr. Ir. Yusnita dan Dr. Ir. Endah Palupi atas segala bantuan, dorongan, dan saran selama penelitian dan penyusunan disertasi ini.. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh keluarga: istri dan anak-anak, Bapak (almarhum), ibu, kakak dan adik tercinta atas segala dorongan dan doa yang tak pernah putus. Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi. Akhirnya penulis berharap agar disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Maret 2006 Akhmad Jufri viii RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Lumajang, Jawa Timur pada tanggal 31 Juli 1962. Ia adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara dari ayah Muhammad Toyib (almarhum) dan ibu Maimunah. Ia menikah dengan Dwi Rahayu dan dianugerahi dua orang anak. Pada tahun 1981 penulis menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai sarjana pertanian dengan keahlian agronomi pada tahun 1985. Ia melanjutkan studi S-2 di Department of Agronomy Iowa State University, USA pada tahun 1993 hingga 1995. Sejak tahun 1999 ia kembali ke Institut Pertanian Bogor untuk belajar pada jenjang S-3 pada program studi Agronomi dengan beasiswa dari Proyek Peningkatan Kemampuan Personil (PPKP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Penulis bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. Penulis pernah menjadi ketua kelompok Pengkajian Lingkungan pada Direktorat Pengkajian dan Penerapan Ilmu-ilmu Kehidupan, Deputi Bidang Pengkajian Ilmu Dasar dan Terapan. Sekarang penulis bekerja sebagai peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT. ix DAFTAR ISI x Halaman DAFTAR TABEL …………………………………….…...……………… xiii DAFTAR GAMBAR ………………………………….…………………… xv DAFTAR LAMPIRAN ……………..………………….……….………….. xvi PENDAHULUAN ………….…………..…………………………………. Latar Belakang …………………………...………..…….…...……….... Manfaat Penelitian ………..……………………….….………...……... Kerangka Pemikiran ………………………………...…...……………. Tujuan Penelitian ……………………………………...………………. Hipotesis ……………………..………………………...……………… 1 1 6 7 9 9 TINJAUAN PUSTAKA …...……………………………..….………….. 13 Kedelai ……………………. ..….……………………………………. 13 Agronomi dan Produksi Tanaman …..………………………………. 13 Fotosintesis …………….………………………….………………… 15 Proses Fotosintesis ………………………………………………. Tanaman C3 dan Fiksasi Karbon ……………….….…………… 15 16 Daun dan Produksi Tanaman ………………………….…..………… Anatomi Daun dan Stomata ……………………………...……… Kloroplas ……………...…...………………………………….… Klorofil dan Adaptasi Naungan ………. ………………...………. 18 18 19 21 Cahaya dan Tanaman ………………………….…...….…...……….. 23 Karakteristik Cahaya ………………..…………………..………. Cahaya dan Fitokrom ………………….……...……..………..… Faktor Pembatas pada Fotosintesis ……….………..…….……... Naungan dan Produksi Tanaman ……….…...………….………. Naungan dan Karbohidrat ……….……………..……...………… Cahaya dan Asimilasi Nitrogen ……………………….…………. 23 24 25 25 27 29 Metabolisme Nitrogen …….……………………….…..……..……... 29 Adaptasi terhadap Naungan ……………….….....………...…………. 31 Adaptasi Tanaman ………….………………..……...……………. Mekanisme Penghindaran ………………………….………..……. Mekanisme Toleransi …………………………………………… 31 33 36 xi xii BAHAN DAN METODE …..…………….………...…………..…….…… Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah ……………………………...…...….…….. Waktu dan Tempat ………………….………………....…..……… Bahan dan Alat ………………………...…………...……..………. Metode …………………………………………………....………... Rancangan Percobaan …………………….………..……….….….. Pelaksanaan …………………...…….…………………..….……… Analisis Data ……………………………………….……………... Penelitian 2. Perubahan Struktur Daun Beberapa Genotipe Kedelai sebagai Adaptasi melalui Mekanisme Penghindaran terhadap Intensitas Cahaya Rendah ……………………………………..…….. Waktu dan Tempat ………………….…….……………......……… Bahan dan Alat ……………………………………..….…..………. Metode ………………………………………………..…………… Rancangan Percobaan …………………….………….…………… Pelaksanaan …………………………………...……..……………. Analisis Data ……………………………..…………..……………. Penelitian 3. Perubahan Fisiologi yang terkait dengan Adaptasi melalui Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah.… 39 39 39 40 40 41 42 42 42 42 43 43 44 44 46 46 Waktu dan Tempat ……………………….………...…….……...… Bahan dan Alat ……………………...……………….…..……...…. Metode ………...…………………..………………………...…… Rancangan Percobaan …………………….…………………...…… Pelaksanaan …………………………………………….….………. Analisis Data ………………………………..………….……..…… 46 47 47 48 48 49 HASIL DAN PEMBAHASAN …………………..………….……...……… 50 Kondisi Umum …………………………………………...……..…... 50 Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah ……………...…………………...……...….. 51 Penelitian 2. Perubahan Karakteristik Daun untuk Mekanisme Penghindaran……………………………….………………...……..…. 57 Respon terhadap Cekaman Naungan sejak Tanam sampai Panen.. Respon terhadap Perlakuan Variasi Pergiliran Gelap-Terang ...…... 57 66 xiii Penelitian 3. Perubahan Fisologi sebagai Mekanisme Toleransi ……... 74 Pembahasan Umum …………………………………………………... 86 KESIMPULAN DAN SARAN …………………………...……………….. 94 Kesimpulan ……………………………………….………..…………. 94 Saran …………………………………...………….……………..……. 95 DAFTAR PUSTAKA ………………………...…………………………... 97 LAMPIRAN ……………………………………...……………………….. 104 GLOSARI ……………………….………………………………………… 129 xiv DAFTAR TABEL xv Halaman 1. Produksi kedelai nasional tahun 1998 – 2004 ………………...………. 2. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai akibat naungan 50% pada musim tanam kedua .………………….…………………………..…. 3. Pengaruh naungan 50% terhadap ketebalan dan luas helai daun kedelai Pengaruh naungan terhadap kerapatan bulu ……………....…. 4. Pengaruh naungan terhadap berat spesifik daun, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata ……………………………………….……...………. 2 56 58 60 5. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun delapan genotipe kedelai ……………………………………………………….…..………. 64 6. Ketebalan daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST …….. …..………..………….…………..…… 67 7. Luas helai daun trifoliat pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST ….……………….….………………………… 68 8. Berat spesifik daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ………...……………………....……...… 69 9. Kerapatan bulu daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ………………………….….………....… 70 10. Kerapatan stomata daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……..………………………...….… 71 11. Kandungan klorofil a daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……….....………...…… 72 12. Kandungan klorofil b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……………….………… 73 13. Rasio kandungan klorofil a/b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ……….…….… 74 14. Pengaruh naungan terhadap aktivitas rubisco, sukrosa, pati, dan aktivitas SPS …………………………………………………………… 76 15. Pengaruh naungan terhadap kandungan N daun ……..………….…….. 78 16. Kandungan gula total daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST …...…………….………. 80 xvi 17. Kandungan pati daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST …………..…………………….… 82 18. Kandungan karbohidrat batang kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST ...………… …….…… 83 19. Aktivitas rubisco pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST …………………………………….…….. 20. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet ………..…..………… 84 87 xvii DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Hubungan ketersediaan energi cahaya dengan proses metabolisme untuk produksi biji kedelai …….………..……………..…………………………. 10 2. Respon tanaman terhadap kekurangan cahaya ……..………...…………… 11 3. Alur penelitian dan sumber benih …..……………..….....………...……… 12 4. Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil daun ….…………..…..…… 22 5. Peranan cahaya pada proses pembentukan klorofil a dan b (Schoefs dan Bertrand, 1997). …………………………..…………………………..…… 22 6. Skema pembentukan sukrosa dan pati pada fotosintesis ……...………..… 28 7. Cahaya menstimulasi enzim Nitrat reduktase ………………..……………. 30 8. Mekanisme penghindaran terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) ….……. 37 9. Mekanisme toleransi terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) ………..…… 38 10. Produktivitas Biji Delapan Genotipe Kedelai pada Empat Tingkat Naungan Paranet pada Musim Tanam I….…………………….………… 53 11. Produktivitas Biji Delapan Genotipe Kedelai pada Empat Tingkat Naungan Paranet pada Musim Tanam II………………………..………... 54 12. Penampang melintang daun Ceneng (tahan) dan Godek (peka) pada kontrol dan naungan paranet 50% (400 X) ……………………………...... 61 xviii xix DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Tabel produksi biji beberapa kultivar kedelai pada lahan di bawah pohon karet di Sukabumi …………………….……………………...……………. 115 2. Denah percobaan 1 di kebun Cikabayan – Bogor dan naungan paranet di lapang …………………………………………………….………..…...….. 106 3. Denah percobaan 2 di kebun Cikabayan – Bogor...………….……..………. 107 4. Jadwal perlakuan cahaya pada percobaan 2 ………………...…...…………. 108 5. Prosedur Analisis Laboratorium dan Biokimia …………………………….. 109 6. Kelembaban udara pada empat tingkat naungan pada Juni 2002 ……..…… 114 7. Rata-rata Suhu dan kelembaban udara di lokasi percobaan pada April – Mei 2004 ……….……………….……………….……………….………… 114 8. Rekapitulasi hasil analisis ragam untuk beberapa variabel pada percobaan split plot (percobaan I-A dan I-B) ……………..……………... …………… 115 9. Rangkuman analisis ragam beberapa variabel pada percobaan variasi pergiliran gelap-terang ……….………………....…….…………….……… 116 10. Intensitas radiasi matahari di Darmaga menurut Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga ………………..……………….……. 117 11. Intensitas radiasi matahari pada bulan Jumi 2002 jam 12.00 ………......…. 118 12. Data intensitas cahaya pada Januari 2003 …………….………...……...…. 119 13. Pengaruh naungan terhadap produktivitas biji, tebal daun, luas daun, kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan klorofil daun……………..………. 120 14. Produktivitas biji, tebal daun, dan luas daun 8 genotipe kedelai …..….…. 121 15. Bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun 8 genotipe kedelai ………..…………………...………………………...………......… 121 16. Pengaruh variasi pergiliran gelap – terang terhadap tebal daun, berat spesifik daun, kandungan klorofil, gula daun, pati daun, karbohidrat batang, dan aktivitas rubisco ……………….………...……..….……….… 122 xx 17. Pengaruh genotipe terhadap berat spesifik daun, kerapatan bulu dan rasio klorofil a/b ……………….………...………………………….………...… 18. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap berat spesifik daun daun ....…. 122 123 19. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap kerapatan bulu daun ……..…. 123 20..Tinggi tanaman delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……………..……. 124 21. Jumlah buku delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……….………..……. 125 22. Jumlah daun delapan genotipe kedelai pada 7 MST ……...…………...…. 126 23. Berat akar delapan genotipe kedelai pada saat panen .. ………..….....……. 127 24. Berat bintil akar delapan genotipe kedelai saat panen……….….…...……. 128 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai (Glycine max (L) Merrill) adalah salah satu tanaman sumber pangan penting di Indonesia. Beberapa makanan populer di Indonesia seperti tahu, tempe, tauco, dan kecap menggunakan biji kedelai sebagai bahan bakunya. Kandungan protein kedelai cukup tinggi, yaitu 40 persen, sedangkan beras hanya 9 persen. Keunggulan lainnya bisa dilihat pada kandungan asam amino esensialnya. Jumlah asam amino lisin yang rendah pada beras ternyata sangat tinggi pada kedelai. Kandungan lisin pada beras 253 mg/100 g, sedangkan pada kedelai 2300 mg/100 g (Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, 1995). Karena itu kedelai diharapkan dapat memperbaiki level gizi sebagian besar penduduk Indonesia dan beberapa negara Asia (Chomchalow dan Laosuwan, 1993). Penduduk miskin yng sulit memperoleh protein hewani bisa memenuhi kebutuhan gizi dari protein nabati kedelai. Sekitar 80% kebutuhan kedelai dipergunakan untuk bahan baku industri, terutama tahu dan tempe, sedangkan 20% sisanya untuk pakan ternak dan konsumsi rumah tangga (Amang dan Sawit, 1996). Karena kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi oleh produksi dalam negeri Indonesia mengimpor kedelai. Pada tahun 1994 impor kedelai Indonesia sekitar 628 ribu ton dan pada tahun 1999 impor itu mencapai 1301 ribu ton (BPS, 2000). Impor kedelai itu telah diupayakan dikurangi melalui strategi peningkatan produksi dalam negeri (Manwan dan Sumarno, 1996). Namun, upaya itu sulit dilaksanakan karena kenyataannya impor kedelai tetap tinggi. Pada tahun 2004 impor kedelai Indonesia sebesar 1116 ribu ton (BPS, 2005). Strategi peningkatan produksi kedelai nasional itu dirumuskan dalam Sumber Pertumbuhan Produksi yang terdiri atas lima peluang yaitu: (a) perluasan areal panen, (b) peningkatan produktivitas, (c) peningkatan keseragaman dan stabilitas hasil, (d) penekanan senjang hasil, dan (e) penekanan kehilangan hasil panen. Dalam sumber pertumbuhan produksi tersebut peningkatkan luas areal panen dilakukan dengan pembukaan areal baru, peningkatan indeks pertanaman (IP), dan pelaksanaan tumpang sari kedelai dengan tanaman perkebunan dan kehutanan (Adisarwanto et al, 1997). Upaya peningkatan produksi kedelai tampaknya mengalami hambatan dalam pelaksanaan karena kenyataannya produksi kedelai cenderung menurun (Tabel 1). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa penurunan produksi nasional disebabkan oleh penurunan 2 luas panen kedelai. Luas panen pada tahun 2003 sekitar 50% luas panen pada tahun 1998. Karena itu peningkatan produktivitas (yield) sekitar 10% tidak bisa mengkompensasi pengurangan luas panen dalam mempertahankan produksi nasional. Tahun 2004 produksi kedelai nasional meningkat dibanding tahun 2003 karena adanya peningkatan luas panen. Dengan produktivitas yang sama kebutuhan kedelai nasional bisa dipenuhi tanpa impor (swasembada) bila luas panen kedelai ditambah 871 ribu ha menjadi 1435 ribu ha. Tabel 1. Produksi kedelai nasional tahun 1998 – 2004 Luas Panen 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 1095 1151 825 679 545 527 563 1306 1383 1018 827 673 672 721 11.2 12.0 12.3 12.2 12.4 12.8 12.8 (1000 ha) Produksi (1000 ton) Produktivitas (kw/ha) Sumber: BPS (1999-2005) Peluang untuk meningkatkan luas panen kedelai nasional melalui aplikasi tumpang sari kedelai dengan tanaman perkebunan dan kehutanan cukup besar. Luas perkebunan di Indonesia tidak kurang dari 15 juta hektar. Luas perkebunan pada tahun 2002 bahkan melebihi 19 juta ha (BPS, 2003). Dengan siklus peremajaan 25 - 30 tahun, maka sekitar 3 - 4% dari luas perkebunan tersebut merupakan areal tanaman baru yang masih memungkinkan untuk ditumpangsarikan dengan kedelai sampai tanaman pokoknya (TBM) mencapai umur 2 - 3 tahun. TBM berumur 2 - 3 tahun memberi naungan sebesar 33-50 % (Asadi et al., 1997). Selama ini ruang di antara tegakan tanaman pokok perkebunan ditanami dengan tanaman legum penutup tanah (LCC). Tujuan penanaman LCC di sini antara lain untuk: (a) perlindungan terhadap erosi tanah, (b) penambahan nitrogen tanah melalui penangkapan nitrogen udara, dan (c) pengendalian gulma (Gardner et al., 1990). Dengan manajemen yang baik pengalihan pemanfaatan lahan dari LCC kepada kedelai tidak akan mengurangi keuntungan seperti dikemukakan di atas. Bahkan pemanfaatan kedelai menambah keuntungan yang berupa peningkatan ketersedian pangan dan perbaikan gizi penduduk di 3 sekitar perkebunan. Hal ini berarti pengembangan kedelai di lahan perkebunan dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional, sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan. Depertemen Pertanian RI melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan memproyeksikan lahan tanaman kedelai pada tahun 2004 seluas 680 ribu ha atau meningkat 28% dari luas panen pada 2003. Salah satu sumber lahan yang digarap adalah lahan perkebunan rakyat seluas 11 juta ha dan kehutanan seluas 14.2 juta ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, 2003). Salah satu kendala utama dalam pengembangan kedelai pada lahan tersebut di atas adalah intensitas cahaya rendah karena tajuk pohon-pohon tersebut menaungi ruang di bawahnya. Berdasarkan penelitian pada perkebunan karet diperoleh informasi bahwa ratarata intensitas cahaya pada areal terbuka adalah 0.773 kal cm-2 mnt-2. Intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 1, 2, dan 4 tahun berturut- turut sebesar 0.571 kal cm-2 mnt-1, 0.253 kal cm-2 mnt-1, dan 0.216 kal cm-2 mnt-1 atau berarti memberi naungan 26%, 67%, dan 72% terhadap areal terbuka.(Sukaesih, 2002). Sementara itu, naungan 20% sudah digolongkan ke dalam agroklimat yang tidak sesuai bagi pertanaman kedelai (Adisarwanto et al, 2000) Reduksi cahaya oleh naungan merupakan cekaman (stres) terhadap cahaya. Levitt (1980) mendefinisikan cekaman sebagai faktor lingkungan apapun yang secara potensial tidak sesuai bagi makhluk hidup. Cekaman itu bisa menimbulkan strain. Strain adalah suatu keadaan perubahan fisik atau kimia pada makhluk hidup akibat dikenai cekaman. Strain itu bisa bersifat elastis (dapat balik) artinya keadaan akan kembali seperti semula bila cekamannya dihilangkan. Cekaman yang besar bisa menyebabkan strain permanen (plastis) yang berarti kerusakan atau bahkan kematian pada organisme. Dalam pandangan agronomi varietas unggul ialah varietas bergenotipe tertentu yang bisa berproduksi tinggi atau sesuai yang dikehendaki dengan memanipulasi lingkungan tumbuhnya. Varietas unggul berproduksi tinggi (high-yielding variety) memberi hasil tinggi bila ditumbuhkan di lingkungan yang cocok serta mendapat perlakuan yang sesuai berupa pengairan, pemupukan, perlindungan terhadap hama penyakit dan sebagainya. Namun lingkungan yang cocok tidak selalu bisa diperoleh. Bila faktor lingkungan tersebut tidak dapat dimanipulasi, maka faktor lingkungan tersebut menjadi faktor pembatas (limiting factor). Berdasarkan hukum ekologi faktor pembatas Liebig maka pertumbuhan dan hasil 4 tanaman ditentukan oleh faktor pembatas tersebut walaupun faktor lain dalam kondisi optimum. Tanaman membutuhkan radiasi cahaya matahari sebagai sumber energi untuk menggerakkan proses-proses biokimia dalam fotosintesis. Naungan membuat ketersediaan cahaya, terutama intensitas berkurang. Dalam keadaan ternaungi cahaya menjadi faktor pembatas. Perbedaan karakteristik tanaman sebagaimana diatur oleh gennya menyebabkan kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi ternaungi berbeda pula. Walaupun sumber cahaya adalah sama yaitu matahari, namun banyaknya penyerapan energi matahari oleh sehelai daun bisa berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan antara lain oleh halangan awan di atmosfer, naungan di atas tanaman, atau bahkan oleh bagian tanaman (daun) yang lain. Fotosintesis bersih tajuk adalah jumlah fotosintesis daun total. Fotosintesis ini menghasilkan sukrosa dan pati yang selanjutnya dengan hara mineral yang diabsorbsi disintesis menjadi bahan kering tanaman. Energi yang digunakan untuk menyusun bahan kering juga berasal dari hasil fotosintesis. Bahan kering tanaman ini bisa berupa tajuk, akar, dan biji (Gardner et al, 1990). Energi yang tersimpan dalam karbohidrat kemudian bisa dipakai untuk sintesis protein, enzim serta absorbsi hara. Baik enzim maupun hara penting bagi proses produksi kedelai. Pada kedelai bintil akar juga mensuplai hara N. Pembentukan bintil memerlukan sukrosa hasil fotosintesis. Pengurangan energi yang diterima tanaman menyebabkan penurunan hasil fotosintesis yang pada giliran berikutnya menurunkan cadangan energi, bahan kering tanaman (termasuk daun), dan pertumbuhan bintil. Akhirnya, berkurangnya penyerapan energi matahari menyebabkan penurunan produksi tanaman (Gambar 1). Radiasi matahari optimum untuk fotosintesis kedelai adalah berkisar antara 0.3 – 0.8 kal cm-2 mnt-1. Pada radiasi 0.430 kal cm-2 mnt-1 fotosintesis mencapai maksimum (White dan Izquierdo, 1993). Pengurangan intensitas radiasi matahari yang ditimbulkan oleh naungan bisa menyebabkan cekaman yang selanjutnya menyebabkan strain yang kemudian menyebabkan penurunan hasil biji per tanaman. Penelitian tentang naungan pada kedelai menunjukkan bahwa reduksi cahaya menjadi 40 % sejak perkecambahan sampai panen menurunkan jumlah buku, cabang, diameter 5 batang, jumlah polong dan hasil biji kedelai. Perlakuan tersebut pada awal pengisian polong menurunkan jumlah polong, hasil biji, dan kandungan protein biji (Baharsjah et al, 1985). Penelitian tentang naungan juga dilaporkan oleh Sunarlim (1985). Naungan pada penelitian tersebut menyebabkan antara lain kenaikan kandungan klorofil daun dan bobot 100 biji, penurunan jumlah polong dan produksi biji per tanaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa naungan tidak mempengaruhi kadar N daun, bobot spesifik daun secara nyata. Namun, penelitian ini belum membedakan respon yang berbeda antar genotipe yang berbeda ketenggangannya. Naungan 50% menyebabkan penurunan produksi biji antara 0 – 46% terhadap kontrol. Ceneng dan B613 menunjukkan paling toleran, sedangkan Godek paling peka (Sopandie et al, 2002). Selanjutnya, Ceneng dan Godek bisa menjadi model dan bahan tanaman yang utama untuk penelitian dan pengembangan, yang masing-masing mewakili genotipe toleran dan peka. Pemuliaan tanaman kedelai telah dilakukan pada kondisi naungan ringan (33 %) yaitu pada tumpang sari dengan jagung, sedangkan pada kondisi naungan berat (50 %) yaitu pada tumpang sari dengan tanaman perkebunan belum pernah dilakukan. Penurunan hasil kedelai dengan naungan ringan seperti tumpang sari jagung - kedelai mencapai 2 - 56%. (Asadi et al, 1997). Peningkatan cekaman (stres) cahaya dalam bentuk naumgan 50% akan menyebabkan strain dan pengurangan hasil lebih besar. Program pemuliaan untuk memperoleh varietas kedelai unggul toleran naungan dilakukan dengan lima tahap yaitu: (a) pencarian sumber gen toleran, (b) hibridisasi, (c) seleksi tanaman F2 - F5, (d) uji daya hasil, dan (e) uji adaptasi dan pelepasan varietas unggul. Strategi yang ditempuh adalah menambah sumber gen toleran naungan dan meningkatkan pengetahuan tentang mekanisme toleransi (Asadi et al., 1997). Untuk itu penelitian dan pengetahuan tentang fisiologi tanaman perlu ditingkatkan. Penelitian tentang mekanisme adaptasi sangat penting bagi pengembangan IPTEK dan pembangunan pertanian. Evaluasi adaptasi di lapangan terhadap galur toleran naungan yang berproduksi tinggi memerlukan informasi pendukung antara lain karakter anatomi, morfologi, dan fisiologi yang berkaitan dengan mekamisme adaptasi terhadap naungan. Studi fisiologi memberi informasi berharga untuk menuntun atau menentukan pilihan-pilihan dalam manajemen budidaya dan saran strategis untuk pemuliaan tanaman. Proses-proses fisiologi 6 tertentu menentukan hasil (yield) tanaman. Pengetahuan tentang proses fisiologi yang menentukan hasil inilah yang dipakai untuk menduga potensi hasil dan toleransi cekaman. Dengan pengetahuan yang meningkat, maka keuntungan praktispun akan segera dapat diperoleh (White dan Izquierdo, 1993). Studi fisiologi terhadap tanaman toleran naungan akan memberi banyak manfaat mengingat keterkaitan naungan dengan proses fisiologi dalam tanaman. Sebuah studi (Kerstiens, 1998) menunjukkan adanya dugaan bahwa tanaman toleran naungan dapat menghasilkan bahan kering lebih tinggi dengan perlakuan penambahan CO2 dibanding tanaman yang peka naungan. Informasi tentang pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan fisisologi kedelai seyogyanya bisa dirunut dari hasil penelitian tanaman padi yang dinaungi. Pada kondisi ternaungi, genotipe padi gogo toleran naungan mempunyai kemampuan intersepsi cahaya dan kandungan klorofil a dan b yang lebih tinggi. Kelompok ini juga mampu mempertahankan sintesis pati dan sukrosa serta aktivitas sukrosa fosfat sintase (Lautt et al, 2000) dan enzim rubisco (Sopandie et al, 2003a) lebih tinggi dibanding kelompok peka naungan pada saat dinaungi. Informasi ini menunjukkan bahwa padi gogo toleran naungan memiliki kemampuan penghindaran dan toleransi yang lebih baik daripada yang peka pada kondisi naungan berat. Pada kedelai informasi tersebut belum terungkap sehingga perlu dilakukan penelitian. Hasil penelitian yang mengungkapkan perbedaan perubahan karakter bisa mengungkapkan mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap naungan apakah melalui mekanisme penghindaran atau mekanisme toleransi atau keduanya. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi tentang (1) produktivitas delapan genotipe kedelai pada empat tingkat intensitas cahaya yang berbeda serta (2) karakter tanaman mana yang berhubungan dengan adaptasi tanaman terhadap kondisi naungan di bawah tegakan pohon. Informasi pertama (produktivitas) akan menjadi dasar bagi penentuan pilihan genotipe kedelai yang sesuai bagi lahan-lahan berintensitas cahaya rendah. Informasi kedua akan menjadi dasar bagi penentuan sumber gen untuk pemuliaan tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi naungan di bawah tegakan tanaman perkebunan atau kehutanan. 7 Penerapan hasil penelitian ini berupa peningkatan produksi produksi pertanian khususnya kedelai melalui peningkatan indeks pertanaman dan pemanfaatan lahan tidur. Selanjutnya, hasil penelitian ini akan memberi dampak dalam: a. peningkatkan kualitas lingkungan, khususnya kesuburan tanah dan perlindungan tanah terhadap erosi, b. perlindungan hutan dan perkebunan dari kerusakan akibat penebangan dan penga-lihan fungsi atau penyerobotan, c. peningkatan ketahanan pangan dan keamanan sosial melalui penyediaan sumber pangan berkualitas gizi baik. Kerangka Pemikiran Sekitar 75 persen (600 000 ha) kedelai dibudidayakan secara tumpang sari. Kebanyakan berupa tumpang sari jagung - kedelai dan kedelai-ubi kayu. Tajuk pada jagung dan ubi kayu memberi naungan maksimal 33%. Karena itu penelitian naungan pada kedelai selama ini dilakukan pada naungan 33% (Asadi, et al, 1997). Pemanfaatan lahan-lahan di bawah tegakan pohon perlu ditingkatkan mengingat kecenderungan penurunan luas panen kedelai secara nasional. Lahan tidur dan tak termanfaatkan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan kehutanan berpotensi cukup besar untuk pengembangan kedelai. Namun, upaya pengembangan kedelai tersebut menghadapi kendala, terutama pada ketersediaan galur-galur yang toleran naungan. Tajuk pohon karet memberi naungan yang lebih besar dari 33% apabila karet telah berumur 2 tahun (Lampiran 1). Karena itu perlu penelitian untuk naungan berat (50%) bila kita hendak mengembangkan kedelai di bawah tegakan pohon karet umur 2 tahun. Penelitian kedelai pada naungan berat dimulai dengan mengevaluasi 75 genotipe kedelai yang selama pertumbuhannya diberi naungan 50% dan kemudian disaring menjadi 20 genotipe (Elfarisna, 2000). Setelah itu dilakukan pengkajian ulang terhadap 20 genotipe hasil penyaringan tersebut secara in situ pada lahan di bawah pohon karet pada areal perkebunan di Sukabumi (Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001). Kemudian dilakukan penelitian tentang karakter agronomi. anatomi dan morfologi pada beberapa genotipe yang dipilih. Dari penelitian-penelitian di atas diperoleh antara lain 4 genotipe toleran, yaitu Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas; 1 genotipe moderat, yaitu Wilis; 3 genotipe peka, yaitu Klungkung Hijau, MLG2999, dan Godek (Sopandie et al, 2002). 8 Menurut Levitt (1980) tanaman mampu beradaptasi terhadap intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran dan toleransi. Mekanisme penghindaran defisit cahaya dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Mekanisme toleransi terhadap defisit cahaya diperoleh melalui kemampuan tanaman mengurangi respirasi, mengurangi derajat penurunan aktivitas enzim dan kerusakan pigmen. Merunut dan membandingkan penelitian naungan yang telah dilakukan pada kedelai dan padi gogo, maka terdapat beberapa informasi yang belum terungkap pada kedelai tentang mekanisme penghindaran dan toleransi. Gambar 2 menunjukkan skema pengaruh cahaya terhadap tanaman serta mekanime penghindaran dan toleransi berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh. Perubahan anatomi dan morfologi sebagai mekanisme penghindaran telah dilakukan untuk beberapa genotipe (Sopandie et al, 2002; Sopandie et al, 2005). Namun, mekanisme penghindaran untuk genotipe lain juga perlu diteliti. Perubahan karakter daun akibat perlakukan cahaya ekstrim (gelap total) juga belum pernah dilakukan. Selain itu, pembahasan tentang persentase perubahan karakter daun yang berhubungan dengan mekanisme penghindaran perlu dipertajam. Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa padi toleran mampu mempertahankan kandungan rubisco dan aktivitasnya tetap tinggi (Sopandie et al, 2003a). Genotipe padi gogo yang toleran naungan juga memiliki rasio sukrosa/pati dan aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase (SPS) lebih tinggi dibanding padi peka naungan saat dinaungi 50% (Lautt et al, 2003). Selanjutnya, genotipe padi gogo yang toleran naungan memiliki tingkat respirasi gelap lebih rendah dibanding yang peka Semua peubah tersebut menunjukkan mekanisme adaptasi melalui toleransi yang belum diungkap pada kedelai. Penelitian dalam disertasi ini mengkaji perubahan karakter fisiologi akibat naungan yang pernah dilakukan pada padi tetapi belum dilakukan pada kedelai, yaitu komponen nitrogen (N) daun, aktivitas enzim rubisco, aktivitas enzim SPS, kandungan sukrosa dan pati daun. Selain itu juga dilakukan penelitian perlakuan cahaya dalam waktu singkat secara on/off yang bisa menggambarkan penyembuhan setelah cekaman naungan, adaptasi terhadap naungan, dan pendugaan respirasi gelap. Alur penelitian disertasi ini dipaparkan pada Gambar 3. 9 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengkaji mekanisme adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran (avoidance) maupun toleransi (tolerance). Mekanisme tersebut dikaji berdasarkan respon berbagai genotipe kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui perubahan karakter produksi, karakteristik daun, dan fisiologi yang berhubungan dengan fotosintesis dan respirasi. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. Intensitas cahaya rendah menyebabkan penurunan produksi lebih besar pada genotipe peka daripada genotipe toleran b. Genotipe toleran menunjukkan perubahan karakter daun yang lebih besar daripada genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme penghindaran lebih baik. c. Genotipe toleran naungan mengalami perubahan karakter fisiologi lebih kecil daripada genotipe peka sehingga mempunyai mekanisme toleransi lebih baik 10 Cahaya Matahari Penyerapan Cahaya oleh Tanaman Fotosintesis Daun Fotosintesis Daun Fotosintesis Daun pada masa vegetatif pembentukan source Fo t o s i n t e s i s B e r s i h T a j u k Bahan Kering Tanaman Tajuk (source atau sink) Akar Biji (sink) (sink) realokasi pada masa generatif/pengisian polong pembentukan bintil akar sintesis enzim absorbsi hara metabolisme hara sukrosa hasil fotosintesis pemanfaatan energi hasil respirasi tajuk Gambar 1. Hubungan ketersediaan energi cahaya dengan proses metabolisme untuk produksi biji kedelai (Gardner et al, 1990) 11 11 Kekurangan Cahaya Kerkurangan cahaya karena naungan Mengakibatkan (pada kedelai): - Penurunan hasil biji - Penurunan laju fotosintesia aktual dan maksimum - Tetap menghasilkan butir pati - Perkembangan membran tilakoid tetap baik - Perubahan jumlah cabang utama - Menambah panjang (tinggi) tanaman (etiolasi) Respon untuk menghindari defisit cahaya dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya (pada padi dan kedelai): - Peningkatan kandungan klorofil a - Peningkatan kandungan klorofil b - Penurunan rasio kandungan klorofil a terhadap klorofil b - Peningkatan rasio luas/ bobot daun - Penipisan daun, pengurangan bulu daun Kerkurangan cahaya karena kondisi gelap Mengakibatkan (pada kedelai): - Penurunan bobot kering kedelai - Fotosintesis bersih negatif - Tidak menghasilkan butir pati - Tilakoid tidak berkembang 1. Perlakuan singkat on/off 2. Perlakuan variasi pergiliran gelapnaungan/ terang Mengakibatkan: - Perubahan kandungan karbohidrat daun? - Adaptasi dan penyembuhan? - Respon untuk toleran terhadap kondisi defisit cahaya (pada padi): - Mempertahankan perimbangan kandungan sukrosa/pati dan aktivitas enzim SPS dan rubisco tetap tinggi - Kandungan N terlarut daun meningkat Respon untuk toleran dengan menurunkan tingkat respirasi gelap (pada padi) 12 Gambar 2. Respon tanaman terhadap kekurangan cahaya (Baharsjah et al, 1985; Khumaida, 2002; Lautt et al, 2000; Sopandie et al, 2003a; Sopandie et al, 2005; Taiz dan Zeiger, 1991) 13 Studi Pendahuluan Evaluasi 75 genotipe (Elfarisna, 2000) Perbanyakan Benih Percobaan di Sukabumi Penelitian Disertasi Percobaan 1-A Penelitian Disertasi Percobaan I-B Penelitian Disertasi Percobaan II Evaluasi Ulang terhadap Daya Adaptasi in situ (Percobaan di Bawah Tegakan Pohon Karet di Sukabumi) (Sukaesih, 2002; Sopandie et al, 2001) Penelitian Disertasi Produktivitas dan Mekanisme Adaptasi Kedelai pada Naungan Sejak Tanam sampai Panen (Percobaan di Kebun Cikabayan IPB) 1. Respon delapan genotipe terhadap naungan - Produksi (penelitian 1) 2. Identifikasi karakter struktur daun (penelitian 2) - morfologi dan anatomi daun - klorofil 3. Identifikasi karakter fisiologi (penelitian 3) - aktivitas enzim rubisco - perimbangan sukrosa/pati - N daun - aktivitas enzim SPS Penelitian Disertasi Studi Mekanisme Adaptasi pada Cekaman Ekstrim (on/off) melalui Variasi Pergiliran Gelap - Terang (Percobaan di Kebun Cikabayan IPB) 1. Perubahan struktur daun (penelitian 2) 2. Perubahan fisiologi (penelitian 3) 14 Gambar 3. Alur penelitian dan sumber benih. 15 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan anggota keluarga Papilonaceae. Kedelai adalah tanaman semusim berbentuk semak-semak rendah, tumbuh tegak dengan panjang batang antara 100 – 200 cm. Akar kedelai bisa membentuk bintil akar yang berbentuk bulat atau tidak beraturan yang merupakan koloni bakteri Rhizobium japonicum. Hubungan saling menguntungkan (mutualisme) antara bakteri dengan kedelai ini terjadi karena bakteri memperoleh karbohidrat dari hasil fotosintesis kedelai, sedangkan kedelai memperoleh suplai nitrogen yang ditambat dari udara (Hidayat, 1985). Jumlah buku dan panjang ruas kedelai tergantung genotipe, panjang hari, dan tipe tumbuh. Pembentukan buku pada tanaman selesai pada umur 35 hari. Jumlah buku, cabang dan diameter batang bisa turun bila lingkungan tumbuhnya kekurangan cahaya (Lersten dan Carlson, 1987). Agronomi dan Produksi Tanaman Kemampuan kedelai untuk berproduksi tergantung kepada potensi genetik yang tersimpan dalam benihnya serta lingkungan tumbuhnya yang mensuplai cahaya, air, dan hara mineral (Iowa State University, 1994). Bahan kering total kedelai merupakan hasil tajuk tanaman dalam memanfaatkan radiasi matahari yang tersedia selama masa pertumbuhan. Proses yang menentukan produksi tanaman adalah akumulasi dan partisipasi bahan kering. Akumulasi bahan kering merupakan pertumbuhan tanaman dan hasil langsung dari keseimbangan fotosintesis dan respirasi serta kehilangan karena senesens dan absisi. Partisipasi adalah keseimbangan antara pertumbuhan vegetatif dan generatif (Gardner et al, 1990). Pertumbuhan tanaman pada dasarnya disebabkan pertambahan atau pembesaran sel. Proses pembesaran sel dimulai dari air yang berdifusi ke dalam sel sehingga menimbulkan tekanan hidrostatis. Tekanan hidrostatis ini menekan dinding sel ke arah luar sehingga sel mengembang dan membesar (Taiz dan Zeiger, 1991; Salisburry dan Ross, 1992). Akumulasi bahan kering tanaman sangat ditentukan oleh kapasitas fotosintesis tajuk dan respirasi tajuk. Produksi tanaman akan lebih tinggi pada tanaman yang mempunyai respirasi tajuk lebih rendah. Respirasi tajuk terdiri atas respirasi gelap dan fotorespirasi (Gardner et 16 al, 1990). Respirasi gelap ini bisa untuk pertumbuhan atau pemeliharaan (Smith, 1997). Akhirnya, produksi biji kedelai tergantung kepada kekuatan biji sebagai sink untuk menarik biomasa menjadi biomasa biji ( Shibels et al, 1987). Produksi tanaman ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan ialah penambahan pada ukuran tanaman, berupa jumlah daun, jumlah buku, tinggi dan bobot kering tanaman. Perkembangan menyangkut perubahan fase siklus hidup, yaitu perkecambahan, inisiasi cabang bunga, pembungaan, dan pengisian biji (White dan Izquierdo, 1993). Kapasitas dan laju fotosintesis daun kedelai sangat dipengaruhi oleh usia daun dan kondisi lingkungan (Shibels et al, 1987). Laju fotosintesis daun meningkat sejalan dengan pertambahan luasnya, lalu mencapai maksimum untuk beberapa lama yang tergantung pada genotipe dan posisi daun, kemudian menurun. Penurunan ini disebabkan terutama oleh kehilangan kapasitas fotosintesis, disamping penurunan konduktansi stomata terhadap air dan udara. Penurunan kapasitas fotosintesis ini berkorelasi positif dengan pengurangan N dan aktifitas mobilisasi. Saat intensitas cahaya rendah kecepatan fotosintesis berbanding lurus (linear) dengan PPFD (photosynthetic photon flux density). Semakin bertambah intensitas cahaya, perbandingan tersebut semakin mengecil sampai mencapai laju fotosintesis maksimum. Laju fotosintesis daun kedelai maksimum dicapai pada saat radiasi 300 W m-2 atau 0.430 kal cm-2 mnt-1 (White dan Izquierdo, 1993). Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa genotipe Ceneng (toleran), Pangrango (toleran), Orba (moderat), dan Godek (peka) mencapai fotosintesis maksimum pada intensitas cahaya yang sama yaitu sekitar 1500 µmol cm-2 dtk-1. Baik pada kedelai yang beradaptasi terhadap cahaya penuh maupun yang ternaungi fotosintesis maksimum dicapai pada intensitas cahaya yang sama. Namun, laju fotosintesis dan fotosintesis maksimum lebih rendah pada kedelai yang ternaungi. Fotosintesis bisa turun bila permintaan (kebutuhan) di jaringan yang sedang tumbuh kecil. Ini terjadi karena permintaan (demand) yang rendah menyebabkan laju transpor hasil fotosintes keluar dari jaringan daun juga kurang. Akibatnya, akumulasi pati di daun meningkat. Akumulasi pati di daun menghambat fotosintesis (White dan Izquierdo, 1993; Shibels et al, 1987) 17 Fotosintesis Cahaya berperan sangat penting dalam kehidupan tanaman. Cahaya mempengaruhi pertumbuhan produksi biomasa tanaman melalui fotomorfogenesis dan fotosintesis. Total energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman tergantung kepada laju fotosintesis per unit area dan luas bagian tanaman yang menerima cahaya. Kecepatan fotosintesis tergantung kepada cahaya, umur daun, tahap perkembangan tanaman, kandungan N daun, status air, temperatur, konsentrasi CO2, dan distribusi (penyebaran) daun (Raper dan Kramer, 1987). Di bawah kondisi suhu 20 - 30o C dan kelembaban optimum, serta jenuh cahaya bisa diketahui AP (apparent photosynthesis) potensial kedelai yang juga mencerminkan aparatus fotosintesis (Shibels et al, 1987). Hasil fotosintesis tajuk ditentukan oleh efisiensi fotosintesis daun dan penerimaan cahaya. Kapasistas penerimaan cahaya tergantung antara lain oleh banyaknya radiasi dan efisiensi penerimaannya (Gardner et al, 1990). Dengan kata lain, akumulasi bahan kering tergantung kepada banyaknya radiasi cahaya tersedia dan kemampuan tanaman menangkap, menyerap, dan memanfaatkan cahaya. Jadi naungan akan menyebabkan produksi biji kedelai turun karena radiasi tersedia yang sampai ke badan tanaman berkurang. Dalam hal kapasitas, naungan tidak menyebabkan penurunan yang signifikan. Proses Fotosintesis Peranan fotosintesis sangat penting dalam manajemen produksi tanaman karena hampir semua produksi tanaman didominasi oleh komponen karbohidrat yang merupakan hasil akhir fotosintesis. Sementara itu, metabolisme lipid dan protein yang juga merupakan komponen hasil utama memerlukan unsur karbon hasil fotosintesis. Dalam fotosintesis energi cahaya diserap oleh klorofil dan berbagai pigmen. Pada fotosintesis energi matahari digunakan untuk mereduksi CO2 menjadi gula. Klorofil adalah pigmen hijau penyerap cahaya: Chl + hν → Chl*. Energi cahaya yang ditangkap digunakan untuk penggerak tranfer elektron dalam rangkaian energi sehingga terbentuk senyawa berenergi tinggi yaitu NADPH dan ATP. Terbentuknya senyawa ATP dan NADPH ini menandai berakhirnya reaksi cahaya dalam fotosintesis, untuk berlanjut kepada reaksi gelap. Dalam reaksi gelap energi yang tersimpan dalam ATP dan NADPH digunakan untuk menambat dan mengubah CO2 menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger, 1991). 18 Pada dasarnya fotosintesis adalah suatu reaksi redoks yang digerakkan oleh cahaya. Reaksi fotosintesis terdiri atas 3 tahapan yaitu: (1) tahap antena menangkap cahaya dan mentransfernya ke pusat reaksi, (b) tahap rangkaian reaksi transfer elektron dan fotofosforilasi, serta (c) metabolisme karbon. Metabolisme karbon adalah suatu rangkaian proses reaksi yang disebut siklus PCR (photosinthetic carbon reduction). Siklus PCR terdiri atas karboksilasi, reduksi, dan regenerasi. Dalam karboksilasi CO2 masuk siklus PCR melalui reaksinya dengan ribulose 1, 5 bisphosphate (RuBP) yang menghasilkan 3phosphoglycerate (3-PGA). Reaksi ini dikatalisis oleh enzim ribulose bisphosphate carboxylase/ oxygenase (rubisco). Kelompok tanaman yang menangkap CO2 atmosfir dengan RuBP disebut tanaman C3. Salah satunya ialah kedelai. Tanaman C3 dan Fiksasi Karbon Produksi tanaman sangat ditentukan oleh produksi bahan kering yang dalam fisiologi ditentukan oleh selisih CO2 udara yang diserap melalui fotosintesis dan CO2 yang dilepas tanaman melalui respirasi. Selama pertumbuhan umumnya respirasi tanaman menggunakan 25 - 30 % total fotosintesis sehingga ada selisih positif yang digunakan untuk pertumbuhan (akumulasi) bobot kering. Bila respirasi lebih tinggi daripada fotosintesis (tanaman diletakkan dalam gelap sehingga tidak ada fotosintesis) maka bobot tanaman akan berkurang (Gardner et al., 1990). Berdasarkan perbedaan proses fiksasi karbondioksida tanaman bisa digolongkan menjadi tanaman C3, C4, dan CAM. Kedelai dimasukkan ke dalam tanaman C3 yang efisien memanfaatkan cahaya (Gardner et al, 1990 dan Specht, 1999). Pada tanaman C3 karbondioksida atmosfer diikat oleh RuBP menjadi 3-PGA yaitu suatu molekul 3-karbon. Tanaman C4 menangkap CO2 udara dengan fosfoenol piruvat (PEP) untuk menghasilkan molekul 4-karbon. Fiksasi CO2 pada tanaman CAM juga menghasilkan molekul 4-karbon. Perbedaannya, pada CAM karbondioksida diikat pada malam hari (yaitu saat stomata terbuka maksimum) dengan menggunakan energi glikolisis. Pada siang terik dan stomata tertutup tanaman CAM hanya menjalankan reaksi terang. Jika kondisi air mencukupi beberapa tanaman CAM juga bisa bertindak seperti tanaman C3 (Gardner et al., 1990; Taiz dan Zeiger, 1991) Fiksasi CO2 menjadi 3-PGA dikatalisis oleh enzim ribulose bis-phosphate (RuBP) carboxylase/oxygenase atau rubisco. ATP dari hasil fotofosforilasi digunakan untuk 19 mengubah riboluse-5-phosphat menjadi RuBP. ATP dan NADPH hasil reaksi terang juga digunakan untuk mengubah 3-PGA menjadi 3-PGAld. Keseluruhan proses ini disebut siklus Calvin. Pada tanaman C3 siklus Calvin berlangsung di sel mesofil. Pada tanaman C4 fiksasi CO2 udara oleh PEP dikatalisis oleh enzim phosphoenol pyruvate (PEP) carboxylase. ATP hasil fotofosforilasi digunakan untuk mengubah piruvat menjadi PEP. Penangkapan CO2 udara oleh PEP berlangsung di sel mesofil, tetapi siklus Calvinnya berlangsung di sel seludang pembuluh (Gardner et al., 1990; Taiz dan Zeiger, 1991) Selain perbedaan dalam proses penangkapan CO2 tanaman C3 dan C4 juga berbeda dalam hal berikut, yaitu: (a) anatomi, (b) efisiensi penangkapan CO2 dan kecepatan fotosintesis, dan (c) kandungan rubisco dan adaptasi. Tanaman C4 memiliki kloroplas di sel seludang pembuluh, sedangkan tanaman C3 tidak punya. Untuk tanaman C3, kloroplas di mesofil menjadi tempat bagi pengikatan CO2, proses siklus Calvin, dan akumulasi pati. Untuk tanaman C4, pati tidak terbentuk di sel mesofil karena siklus Calvin berlangsung di sel seludang (Gardner et al., 1990). Tanaman C4 mempunyai tingkat efisiensi pengikatan CO2 dan kecepatan fotosintesis lebih tinggi, tetapi efisiensi pemakaian energi lebih rendah. Enzim PEP karboksilase mempunyai afinitas terhadap CO2 lebih tinggi dibanding rubisco sehingga pada level CO2 rendah fotosintesis tanaman C4 lebih efisien. Karena itu, pada intensitas cahaya tinggi tanaman C4 mempunyai efisiensi fotosintesis lebih tinggi. Namun, efisiensi energi pada tanaman C4 lebih rendah karena sebagian ATP digunakan untuk membentuk PEP. Jadi pada kondisi intensitas cahaya rendah, hasil fotosintesis berupa karbohidrat bisa lebih rendah (Gardner et al., 1990) Tanaman C3 mempunyai kandungan rubisco per bobot kering daun lebih tinggi dibanding tanaman C4. Tetapi, tanaman C3 tidak memiliki enzim PEP karboksilase. Karena stomata menutup pada kondisi kering dan panas, maka tanaman C4 yang efisien dalam menangkap CO2 akan lebih adaptif untuk ditanam pada daerah kering dan panas dibanding tanaman C3 (Gardner et al, 1990). Dengan demikian tanaman C4 lebih responsif terhadap perubahan radiasi cahaya daripada tanaman C3. Rubisco juga mengikat O2 selain CO2. Pengikatan O2 menyebabkan terjadinya proses fotorespirasi yang menghasilkan CO2. Fotorespirasi pada tanaman C3 jauh lebih besar 20 dibanding tanaman C4. Pada tanaman C4 fotorespirasi sangat rendah karena CO2 dikonsentrasikan terlebih dulu di sel-sel seludang pembuluh. Pengkonsentrasian CO2 ini menyebabkan rasio CO2 terhadap O2 meningkat sehingga lebih cocok untuk RuBP karboksilase daripada RuBP oksigenase. Fotorespirasi memungkinkan aminasi untuk sintesa asam amino dan mempertahankan fosfat inorganik bersiklus sehingga lebih cocok dan menguntungkan pada kondisi intensitas cahaya rendah dan temperatur sejuk (Gardner et al., 1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Hampir semua tanaman lantai hutan tergolong tanaman C3 (Smith, 1997). Tanaman C3 teraklimisasi pada cahaya rendah karena memiliki laju respirasi gelap rendah dan titik jenuh cahaya yang rendah (Salisburry dan Ross, 1992). Daun dan Produksi Tanaman Daun tanaman budidaya kebanyakan mempunyai (a) permukaan luar rata dan luas, (b) lapisan pelindung atas dan bawah, (c) beberapa stomata per satuan luas, (d) ruang udara yang saling berhubungan di dalamnya, (e) sejumlah banyak kloroplas, dan (f) saluran pembuluh. Yang ideal untuk fotosintesis ialah daun yang bertebal satu sel untuk memaksimumkan intersepsi cahaya per unit volume dan meminimumkan jarak yang harus dilalui untuk pertukaran gas (Gardner et al., 1990). Daun juga perlu perlindungan terhadap lingkungan, maka daun juga perlu beberapa lapis sel dan lapisan permukaan pelindung. Lapisan kutikula dan lilin bersifat transparan dan dapat dilalui cahaya, tetapi tidak dapat dilalui CO2. Karena itu daun mempunyai jendela pada permukaannya berupa stomata (Gardner et al., 1990). Anatomi Daun dan Stomata Sel-sel palisade biasanya dijumpai pada bagian adaxial (atas) daun, berbentuk tiang, dan mengandung klorofil. Sel parenkima palisade bisa berbentuk barisan dengan satu lapisan atau dua lapisan. Panjang selnya bisa sama atau semakin mengecil bila menuju ke bagian tengah mesofilnya (Lersten dan Carlson, 1987). Stomata terletak di bagian epidermis. Stomata merupakan pintu untuk pertukaran gas antara jaringan dalam tumbuhan dan lingkungannya. Pada tumbuhan darat, umumnya stomata tersebar pada epidermis bawah. Beberapa tanaman mempunyai stomata pada kedua permukaan daunnya. Kerapatan stomata daun berbeda-beda. Pada kedelai yang pernah diteliti kerapatan stomata antara 130 – 316 per mm2. Banyaknya stomata bisa berkurang bila kedelai ditanam 21 di tempat yang cahayanya kurang (Lersten dan Carlson, 1987). Penurunan stomata karena naungan juga terjadi pada manggis (Garcinia mangostana) (Wiebel et al, 1999) dan Amborella trichopoda (Field et al, 2001). Penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan bahwa naungan 50% menyebabkan penurunan kerapatan stomata. Dalam hal ini kelompok genotipe toleran mengalami persentase penurunan lebih sedikit dibanding genotipe peka, yaitu masing-masing 12% dan 32%. Ketersediaan cahaya dan konsentrasi CO2 menjadi faktor pembatas bagi kecepatan fotosintesis tumbuhan. Untuk mengefektifkan penerimaan dan penangkapan cahaya susunan sel-sel palisade dan bunga karang dibuat sedemikian sehingga cahaya bisa terdistribusi dalam sel mesofil dan penangkapan cahaya secara total optimum. Tumbuhan juga bisa mengatur letak kloroplas dan mengorientasikan daun sesuai dengan arah dan intensitas cahaya. Dalam situasi ternaungi kloroplas mengumpul ke dekat lapisan epidermis sehingga daun tampak lebih hijau (Taiz dan Zeiger, 1991). Daun bisa beradaptasi dengan lingkungan untuk meningkatkan fotosintesis melalui pengaturan laju pertukaran gas. Kecepatan pertukaran gas pada daun tergantung kepada banyaknya stomata per luas daun dan lebar pembukaan stomata. Di sini stomata adalah jendela yang bisa dilalui gas dan air. Konduktansi stomata mencerminkan kondisi kemudahan stomata untuk pertukaran gas CO2 dan air. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata maka semakin tinggi konduktansi stamota dan semakin tinggi pertukaran CO2 per satuan luas daun. Karena itu konduktansi stomata juga mencerminkan level fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991). Kloroplas Kloroplas adalah tempat konversi energi yang bisa ditemukan hanya pada sel fotosintesis. Ukurannya sekitar 5 x 2 x (1-2) µm. Organel ini dipisahkan oleh sitosol dengan membran ganda (membran luar dan dalam). Kloroplas tergolong plastid yang memiliki pigmen klorofil dan protein yang berhubungan dengan fotosintesis. Karena mengandung klorofil maka kloroplas berwarna hijau. Kloroplas punya membran ketiga, yaitu tilakoid. Di tilakoid inilah terdapat klorofil dan protein yang berfungsi dalam fotokimia di fotosintesis. Stroma ialah bagian cairan yang mengelilingi tilakoid, sedangkan lamella ialah tilakoid yang tidak bertumpuk (Taiz dan Zeiger, 1991; Gardner et al, 1990). 22 Stroma mengandung banyak ribosom, bahan protein, dan protein. Rubisco menempati lebih 50 persen bagian dari protein stroma. Proses reduksi karbondioksida (reaksi gelap) terjadi di stroma, sedangkan transformasi energi cahaya menjadi energi kimiawi (reaksi terang) terjadi di lamela. Pembentukan potensi kimia terjadi karena transformasi energi cahaya membentuk gradien proton antara sisi membran. Dengan bantuan enzim ATP sintase perbedaan gradien digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP dan NADP menjadi NADPH. Selanjutnya, ATP dan NADPH dipergunakan dalam proses perubahan karbondioksida (CO2 ) menjadi karbohidrat, molekul -molekul organik serta proses biologi lain (Gardner et al, 1990; Newcomb, 1990; Mullet, 1990). Pigmen dalam kloroplas sebagian besar berupa klorofil (a dan b) serta karotenoid (karotin dan xantofil). Klorofil merupakan pigmen fotosintesis yang terdapat pada membran tilakoid dalam kloroplas. Pada tumbuhan tingkat tinggi, termasuk kedelai selalu terdapat dua jenis klorofil a (C55H72O5N4Mg) dan klorofil b (C55H70O6N4Mg). Klorofil bergabung dalam suatu kompleks yang disebut fotosistem. Klorofil adalah pigmen penyerap cahaya utama. Karotenoid bisa tidak aktif, bisa menyerap cahaya dan mentranfer elektron ke klorofil, atau mentrafer elektron antar fotosistem. Cahaya yang diserap daun berbeda dengan yang diserap oleh kloroplas. Yang paling banyak diserap oleh klorofil adalah cahaya merah, kemudian biru dan yang paling sedikit adalah cahaya hijau (Gardner et al, 1990; Hall dan Rao, 1999). Cahaya yang diserap daun tetapi tidak diserap klorofil, tidak dapat dimanfaatkan untuk fotosintesis. Sel meristematik akar, tajuk, embrio, endosperma, dan daun muda yang sedang berkembang berisi proplastid. Proplastid tidak berwarna. Proplastid tidak atau sedikit memiliki membran dalam, tidak punya klorofil, serta perangkat fotosintesisnya tidak lengkap untuk kerja fotosintesis. Perkembangan kloroplas dari proplastid di batang dan daun dipicu oleh cahaya. Setelah terkena penyinaran proplastid membesar dan terjadi perubahan: (a) enzym terbentuk dalam proplastid atau diimpor dari sitosol, (b) pigmen penyerap cahaya terbentuk, (c) membran dalam berkembang cepat membentuk lamela stroma dan grana (lamela yang bertumpuk) yang jelas (Taiz dan Zeiger, 1991; Newcomb, 1990) Pada kecambah, kloroplas terbentuk hanya jika tajuk terkena cahaya. Jika tidak ada cahaya proplastid berubah jadi etioplas. Proplastid berisi protoklorofil (perkusor pigmen berwarna hijau kuning pucat). Beberapa menit setelah terkena cahaya proplastid 23 berdiferensiasi: (a) prolamela menjadi tilakoid dan lamela stroma (b) protoklorofil menjadi klorofil. Kloroplas juga bisa kembali jadi etioplas bila dikenai gelap panjang (Gardner et al, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Kloroplas yang usang dan tidak berfungsi berubah menjadi kromoplas. Di sini lamela stroma dan grana teracak dan klorofilnya hancur. Namun, kromoplas juga bisa balik menjadi kloroplas (Newcomb, 1990). Pada tanaman yang mengalami etiolasi, yaitu tanaman yang ditumbuhkan pada tempat gelap secara terus menerus kloroplas tidak berkembang normal, tetapi menjadi etioplas. Etioplas berwarna kuning karena adanya protoklorofil, dan bukan klorofil. Membran dalamnya disebut badan prolamelar. Bila menerima cahaya etioplas menjadi kloroplas ditandai dengan: protoklorofil menjadi klorofil dan badan prolamelar menjadi grana dan lamela stroma (Newcomb, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil terdapat pada dua proses (Gambar 4), yaitu pada regulasi ekspresi gen untuk komplek pemanen cahaya (gen cab) dan pada perubahan protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil ( Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya, seperti diperlihatkan pada Gambar 5 klorofil b bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Schoefs dan Bertrand, 1997). Hambatan pembentukan gen cab bisa disebabkan oleh tingkat kandungan karbohidrat yang tinggi pada daun (Madore, 1997). Klorofil dan Adaptasi terhadap naungan Tanaman merespon kondisi lingkungan berintensitas cahaya rendah dengan meningkatkan kandungan klorofil, mengurangi ketebalan daun, dan mengurangi rasio klorofil a terhadap klorofil b (Taiz dan Zeiger, 1991; Zhao dan Oosterhuis, 1998; Johnston dan Onwueme, 1998). Tumbuhan Atriplex triangularis memiliki adaptasi plastik terhadap ketersediaan cahaya. Atriplex yang beradaptasi dan toleran naungan memiliki klorofil total per pusat reaksi fotosintesis lebih tinggi. Selain itu, Atriplex yang toleran memiliki daun lebih tipis dan rasio klorofil a/b lebih kecil dibanding yang kurang toleran. Daun yang beradaptasi terhadap cahaya berlebih mempunyai protein terlarut tinggi, aktivitas rubisco tinggi, tingkat respirasi tinggi dibanding yang yang beradaptasi terhadap lingkungan berintensitas cahaya rendah (Taiz dan Zeiger, 1991). Pembentukan klorofil dipengaruhi oleh cahaya, sehingga tanaman toleran mungkin memerlukan intensitas cahaya minimal lebih rendah bagi pemicuan pembentukan klorofil. 24 gen cab hv Pr apoprotein Light Harvesting Complex II Pfr hv ALA PChl Chl (klorofil dalam LHC II) Gambar 4. Peranan cahaya dalam pembentukan klorofil daun ( Mohr dan Schopfer, 1995) PChl a Pchl b Chlide a Chlide b Chl a Chl b cahaya Gambar 5. Peranan cahaya pada proses pembentukan klorofil a dan b (Schoefs dan Bertrand, 1997). Johnston dan Onwueme (1998) menunjukkan daun talas yang dinaungi memiki kandungan klorofil lebih tinggi dan rasio klorofil a/b lebih rendah. Fenomena yang sama diungkapkan oleh Zhao dan Oosterhuis (1998) terjadi pada kapas (Gossypium hirsutum). Selanjutnya, Sopandie et al (2003) menunjukkan bahwa genotipe padi yang toleran naungan meningkatkan jumlah klorofil lebih banyak, baik secara kuantitas maupun persentase bila diberi perlakuan naungan. Rasio klorofil a/b (klorofil a terhadap klorofil b) pada kedua jenis padi yang dinaungi menurun, tetapi penurunan pada genotipe yang toleran naungan lebih besar. 25 Cahaya dan Tanaman Matahari adalah sumber energi bagi kehidupan. Besarnya radiasi surya yang diterima oleh suatu area di bumi pada satu hari dipengaruhi oleh: (a) sudut sinar terhadap titik tersebut, (b) panjang hari, (c) besarnya atmosfir yang dilalui sinar, dan (4) partikel di atmosfir. Pada daerah tropik sudut sinar dan panjang hari hampir tetap. Besarnya atmosfir yang dilalui tergantung kepada waktu harian. Pada sekitar jam 12 siang matahari tepat tegak lurus di atas, sehingga jarak atmosfer yang dilalui paling pendek. Pada pagi hari atau sore hari matahari membentuk sudut lancip dengan permukaan bumi dan jarak atmosfir yang dilalui sinar matahri lebih panjang. Pada daerah tropis basah partikel air (awan) dan asap bisa menyebabkan cahaya yang sampai ke permukaan bumi berkurang (Gardner et al., 1990). Karakteristik Cahaya Cahaya yang bisa dimanfaatkan untuk fotosintesis adalah cahaya tampak, yaitu cahaya dengan panjang gelombang 400 - 700 nm. Spektrum cahaya pada gelombang tersebut meliputi cahaya ungu, biru, hijau, kuning, oranye, merah. Cahaya infra merah (tidak termasuk cahaya tampak) mempunyai panjang gelombang 700 - 1000 nm. Energi matahari berada dalam foton yang bisa bergerak secara bergelombang. Reaksi cahaya pada proses fotosintesis diawali saat absorpsi foton oleh pigmen klorofil. PFD (photon flux density) adalah banyaknya foton yang mengenai suatu luasan permukaan per satuan waktu. PPFD (photosyntetic photon flux density) atau PAR (photosynthetically active radiation) adalah PFD yang terbatas pada panjang gelombang paling efisien bagi fotosintesis yaitu 400 - 700 nm. Intensitas cahaya rendah berarti cahaya ber-PFD rendah sehingga PPFD-nya juga rendah. Pada situasi ternaungi oleh tanaman perkebunan atau paranet PPFD yang diterima permukaan daun tidak konstan. Maka, besarnya foton yang diterima daun bukanlah hasil perkalian PPFD (X) kali waktu (T) atau X.T, tetapi merupakan kumpulan hasil Xi.Ti setiap saat atau ∑(Xi.Ti). Sinar matahari yang berpengaruh terhadap tanaman meliputi tiga komponen, yaitu: (a) energi radiasi atau intensitas cahaya, (b) lama penyinaran, (c) kualitas cahaya (panjang gelombang). Sedikit perbedaan pada panjang gelombang bisa punya pengaruh banyak terhadap tanaman, seperti pengaruh cahaya merah (red) dan merah panjang (far red). 26 Berdasarkan perbedaan responnya terhadap panjang hari tanaman digolongkan pada tanaman hari netral, hari pendek dan hari panjang. Kedelai termasuk tanaman hari pendek (Dennis, 1988; Tomkins dan Shipe, 1996). Pada panjang hari melebihi 15 jam kedelai tidak atau terlambat berbunga. Dari berbagai percobaan diketahui bahwa yang menginduksi pembungaan adalah panjang masa gelapnya. Perlakuan fotoperiodisme pada tahap R5 (awal pembentukan biji) menunjukkan kandungan total karbohidrat nonstruktural (TNC) di daun lebih besar pada perlakuan hari panjang daripada perlakuan hari pendek (Cure et al, 1985). Efek paling nyata dari fotoperiodisme adalah: (a) jumlah buku dari batang utama, (b) tinggi tanaman, (c) permulaan berbunga. (d) umur kematangan biji. Energi cahaya rendah hanya untuk menginduksi inisiasi pembungaan, sementara untuk perkembangan bunga selanjutnya diperlukan energi cahaya yang lebih tinggi. Buktinya, produksi bunga turun drastis karena naungan. Pada apel penurunan menjadi 37%, 25% dan 11% cahaya penuh menurunkan pembungaan berturut-turut sebesar 40%, 56%, dan 76% (Masaya dan White, 1993). Cahaya dan Fitokrom Durasi periode malam (gelap) diterjemahkan dalam sel tanaman oleh fitokrom ( Masaya dan White, 1993). Penghitungan malam dimulai dari suatu tingkat Pr dalam tanaman. Semakin tinggi Pr berarti semakin banyak Pfr menyerap gelombang infra merah, yaitu situasi gelap. Respon fotoperiodisme hanya perlu flux cahaya 15 lux. Ini sangat rendah mengingat cahaya matahari normal sekitar 50 - 100 klux. Jadi pengaruh fotoperiodisme tidak berhubungan dengan fotosintesis (Dennis, 1988). Fitokrom seringkali dihubungkan dengan kondisi aktif suatu enzim karena perlakuan cahaya. Fitokrom juga menyebabkan rangsangan terhadap pembentukan rubisco subunit kecil, klorofil a dan b. Gen-gen yang mengatur pembentukan rubisco subunit kecil dan protein klorofil a/b pada komplek penangkapan cahaya diaktifkan oleh cahaya melalui mekanisme perubahan fitokrom (Taiz dan Zeiger, 1991). Faktor Pembatas pada Fotosintesis Kecepatan fotosintesis dibatasi dan ditentukan oleh langkah yang paling lambat. Langkah yang paling lambat tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan seperti ketersediaan cahaya, konsentrasi CO2 atau air. Kedua faktor tersebut bersama dengan faktor dalam tanaman sendiri menentukan tiga langkah pembatas fotosintesis yaitu: aktivitas 27 rubisco, regenerasi RuBP, dan metabolisme triosfosfat. Kenyataan di alam menunjukkan bahwa dua langkah pertama yaitu aktivitas rubisco dan regenarasi RuBP yang sering menjadi faktor pembatas utama. Fakta bahwa daun yang dinaungi daun lain memiliki kecepatan fotosintesis yang lebih rendah bisa disebabkan oleh faktor pembatas di atas (Taiz dan Zeiger, 1991). Naungan pada padi menurunkan produktivitas karena perkembangan biji terganggu dan indeks panen rendah. Naungan juga menyebabkan karbohidrat rendah dan nitrogen terlarut meningkat sehingga banyak bakal biji menjadi seteril. Selanjutnya, naungan menyebabkan gula dan pati turun (Chaturvedi, 1994). Hang et al (1984) menunjukkan bahwa naungan pada kedelai menurunkan bobot spesifik daun dan kecepatan fotosintesis. Sebaliknya, penambahan cahaya pada akhir pembungaan menambah biji, buku, cabang berpolong, polong per buku, biji per polong, dan kandungan minyak kedelai. Naungan pada beberapa periode menurunkan bagian tanaman sepert akar, tajuk, dan polong. Reed et al (1988) menyampaikan bahwa naungan selama masa vegetatif maupun generatif menurunkan bobot kering tanaman kedelai. Sedikit berbeda, pengurangan penyinaran ternyata meningkatkan panjang tajuk pada rumput lapang (Poa pratensis L). Penambahan tajuk ini dikompensasi dengan pertumbuhan akar yang menurun (Stier et al, 1999). Naungan dan Produksi Tanaman Pengaruh naungan terhadap produksi tanaman bisa diketahui dari hubungan cahaya dan ATP untuk menghasilkan produk fotosintesis. Cahaya berperan sebagai sumber penggerak dalam mesin-mesin fotosistem yang dapat menghasilkan ATP. Intensitas cahaya rendah yang disebabkan oleh naungan akan mengurangi ATP yang dihasilkan dalam reaksi terang fotosintesis. Selanjutnya, ATP yang terbentuk merupakan sumber energi dalam reaksi gelap fotosintesis (Lawlor, 1987). Percobaan yang dilakukan Khumaida (2002) menunjukkan bahwa naungan menyebabkan penurunan laju fotosintesis pada semua genotipe kedelai yang diuji. Pertumbuhan dan hasil tanaman tergantung fotosintesis yang sedang berlangsung dan asimilat yang tersimpan. Jika fotosintesis kini dibatasi oleh cekaman lingkungan, tanaman tergantung kepada asimilat yang tersimpan. Karbohidrat simpanan berperan penting dalam metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan toleransi cekaman. Pati adalah karbohidrat 28 simpanan terpenting, sedangkan sukrosa adalah karbohidrat dapat ditranspor yang terpenting (Chaturvedi et al, 1994). Naungan dapat menyebabkan penurunan produksi kedelai dan komponen produksinya. Komponen produksi yang menurun antara lain: jumlah polong, biji/polong, dan bobot biji. Sementara itu, kandungan N daun tidak dipengaruhi oleh naungan (Sakamoto dan Shaw, 1967). Terakhir, Khumaida (2002) melaporkan bahwa naungan sebesar 50 % menurunkan produksi biji per tanaman, mengurangi jumlah cabang, dan meningkatkan tinggi tanaman pada semua genotipe kedelai yang diuji. Namun pengaruh naungan terhadap bobot 100 biji bervariasi antar genotipe yang diuji. Penurunan produksi akibat naungan 50% pada genotipe kedelai antara 0 – 3%, sedangkan pada genotipe tahan antara 33 – 45%. Ceneng adalah genotipe paling toleran dengan penurunan produksi 0%, sedangkan Godek adalah genotipe paling peka dengan penurunan 45% (Sopandie et al, 2002). Khumaida (2002) menunjukkan penurunan yang berbeda pada Ceneng (toleran), yaitu sebesar 65% sehingga produksinya menjadi 35% kontrol. Namun, penurunan produksi tersebut tergolong paling kecil. Penurunan produksi Godek (peka) mencapai 80% sehingga produksinya menjadi 20% terhadap kontrol. Naungan menyebabkan penurunan produktivitas (yield) padi IR 46, IR 64 dan Mashuri dengan persentase berbeda-beda. (Chaturvedi et al, 1994). Zhao dan Oosterhuis (1998) melaporkan bahwa naungan menyebabkan laju pertukaran CO2 (laju fotosintesis netto daun) kapas turun. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa naungan dapat menurunkan bobot kering dan penyerapan N yam (Dioscorea sp ) (Pushpakumari dan Sasidhar, 1996). Naungan dan Karbohidrat Level karbohidrat dalam tubuh tanaman merupakan salah satu cara atau mekanisme untuk bertahan hidup. Pengaruh cekaman lingkungan terhadap level karbohidrat tanaman berbeda-beda tergantung penyebab cekamannya. Hasil penelitian Zhao dan Oosterhuis (1998) menunjukkan bahwa naungan menyebabkan tingkat karbohidrat non struktural (total non structural carbohydrate TNC) kapas turun. Pada gandum (Triticum aestivum L.) perlakuan naungan pada periode pengisian biji menurunkan pati, fruktosa dan sukrosa daun 29 (Judel dan Mengel, 1982). Penurunan kandungan pati, sukrosa, glukosa, dan fruktosa juga terjadi pada padi yang diberi perlakuan gelap selama 3 hari (Sopandie et al, 2003b). Lautt et al. (2000) melaporkan bahwa naungan menyebabkan kandungan sukrosa naik pada padi toleran naungan dan turun pada padi peka. Rasio sukrosa yang tinggi pada genotipe toleran saat dinaungi menguntungkan tanaman karena transpor fotosintat lebih lancar. Transpor fotosintat yang lancar akan dapat mengurangi hambatan fotosintesis yang disebabkan oleh penumpukan karbohidrat (pati) di daun (Shibels et al,1987). Hasil sukrosa yang tinggi tentunya didukung oleh aktifitas enzim SPS yang tinggi saat dinaungi. Enzim ini berperan dalam mengkatalisis reaksi UDP-glukosa + Fruktosa-6-fosfat menjadi UDP + sukrosa-6 Fosfat. Sukrosa-6 Fosfat selanjutnya menjadi sukrosa dan Pi (Taiz dan Zeiger, 1991). Gardner et al (1990) menyatakan bahwa pati bisa terbentuk bila laju penangkapan CO2 sangat tinggi atau adanya hambatan transfer triosfosfat dari kloroplas ke sitosol. Menurut Taiz dan Zeiger (1991) tranpor triosfosfat bisa tinggi bila proses pertukaran (dalam mekanisme antiport) antara Pi dan triosfosfat berjalan baik. Secara ringkas proses pembentukan pati dan sukrosa yang saling bersaing dipaparkan pada Gambar 6. Hasil penelitian yang berbeda (Bell dan Danneberger, 1999) terjadi pada naungan yang diperlakukan pada creeping bentgrass turf (Agrostis palustris Huds). Hasilnya menunjukkan bahwa semakin lama naungan TNC tajuk cenderung naik. Fenomena ganjil ini dijelaskan bahwa respon tersebut berkebalikan dengan massa akar yaitu naungan mengurangi bobot akar. Jadi rumput ini mempertahankan level TNC tinggi dengan mengurangi perpanjangan akar. Levitt (1980) menjelaskan bahwa naungan bisa menurunkan kadar karbohidrat, aktivitas enzim, dan kandungan protein. Kekurangan cahaya dapat menurunkan laju fotosintesis dan akumulasi karbohidrat yang berakibat pada terganggunya proses metabolisme dan produksi tanaman. Perlakuan gelap menyebabkan gangguan perkembangan membran tilakoid kedelai toleran maupun peka naungan. Perlakuan naungan 50% tidak menghambat perkembangan membran tilakoid pada genotipe toleran naungan seperti Pangrango dan B613, tetapi menghambat pada genotipe peka Godek. Pada kondisi naungan 50 % kloroplas genotipe toleran mempunyai butir pati lebih banyak dibanding genotipe peka (Khumaida, 2002). 30 PATI Siklus Calvin Trios-P Pi Trios-P Pi Trios-P Trios-P Kloroplas Sitosol SUKROSA Gambar 6. Skema pembentukan sukrosa dan pati pada fotosintesis (Taiz dan Zeiger, 1991) Cahaya dan Asimilasi Nitrogen Tingginya kadar protein pada biji menunjukkan pentingnya metabolisme N dalam fisiologi kedelai. Protein tersusun dari atom-atom C, H, O, N dan unsur lain. Atom-atom C, H, O, dan N merupkan bagian terpenting dari asam amino. Perbedaan jumlah dan susunan atom C, H, O, N dan unsur lain serta ikatan molekulnya merupakan ciri asam amino yang satu berbeda dengan yang lainnya. Cahaya berperan dalam pembentukan protein melalui dua faktor yaitu unsur pembentuk dan energi untuk pembentukan protein. Unsur pembentuk protein C, H, dan O berasal dari karbohidrat hasil fotosintesis. Karbohidrat hasil fotosintesis ini melalui proses 31 respirasi menghasilkan energi yang dipakai untuk proses pembentukan protein (Gardner et al, 1990). Murty dan Sahu (1987) melaporkan bahwa naungan menyebabkan kandungan N terlarut daun meningkat. N terlarut yang tinggi menunjukkan kegagalan pembentukan protein. N terlarut yang tinggi diduga menyebabkan kehampaan pada padi. Padi peka naungan mengalami peningkatan N terlarut lebih tinggi dibanding padi toleran saat keduanya dinaungi. Metabolisme Nitrogen Bangun tanaman yang terdiri atas kumpulan materi sudah membuktikan bahwa tanaman memerlukan unsur hara dalam pertumbuhannya. Suatu unsur hara disebut esensial hanya bila unsur tersebut menjadi kebutuhan yang tak bisa digantikan unsur lain dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Tanpa unsur tersebut tanaman tidak mampu menyelesaikan siklus hidupnya secara sempurna. Unsur tersebut bisa juga merupakan bagian dari metabolit esensial. Proses absorpsi hara bisa aktif maupun pasif. Absorpsi aktif memerlukan energi berupa ATP yang diproduksi oleh proses respirasi. Radiasi dan kecepatan fotosintesis berpengaruh terhadap absorbsi hara. Perjalanan hara tidak memerlukan energi selama berada dalam wilayah apoplastik, seperti ruang antar sel. Lapisan Caspary yang tidak tembus air pada endodermis mengharuskan hara memasuki wilayah simplastik, yaitu wilayah yang terdiri atas sel-sel hidup yang isinya saling berhubungan karena plasmodesmata. Perjalanan hara dalam wilayah simplastik memerlukan ATP (Gardner et al, 1990; Marchner,1994). .Salah satu unsur hara esensial tanaman yang terpenting adalah nitrogen. Nitrogen adalah unsur hara yang paling menjadi faktor pembatas. Selain karbon, hidrogen, dan oksigen, nitrogen adalah komponen utama bahan kering tanaman. Nitrogen adalah unsur pembentuk asam amino, basa N seperti purin, protein dan nukleoprotein seperti DNA dan RNA (Gardner et al, 1990;Taiz dan Zeiger, 1991). Di alam bentuk nitrogen tersedia yang bisa diserap bagi tanaman adalah NO3- dan NH4+. Asimilasi nitogen tergantung kepada proses reduksi N. Reduksi N membutuhkan elektron dari NADH atau NADPH dari hasil fotosintesis (Gardner et al 1990; Harper, 1987; Taiz dan Zeiger, 1991). 32 Peranan cahaya dalam proses reduksi nitrat menjadi nitrit bisa dilihat pada Gambar 7. Pembentukan gen NR dipicu oleh glukosa yang merupakan hasil fotosintesis. Enzim NR yang tidak aktif diaktifkan oleh NADH yang merupakan hasil fotosintesis (Vivekanandan, 1997). Cahaya (hv) Cahaya (hv) klorofil klorofil siklus Calvin siklus Calvin Glukosa gen NR NO3- NADH NR mRNA enzim NR (tidak aktif) enzim NR (aktif) NO2- Gambar 7. Cahaya menstimulasi enzim nitrat reduktase (Vivekanandan, 1997) Nitrogen dari udara bebas (atmosfir) bisa menjadi sumber N bagi kedelai apabila kedelai bersimbiosis dengan rhizobium yang membentuk bintil di akar kedelai. Simbiosis ini menguntungkan kedua belah pihak. Pada akar yang ternodulasi terjadi pertukaran zat-zat antara tanaman dan bakteri dalam bintil akar. Kedelai memberi karbohidrat (gula) dari fotosintesis, tetapi memperoleh NH4+. dari bintil akar. Karbohidrat yang diberikan kedelai kepada bintil akar tersebut berupa malat yang berasal dari sukrosa. Sementara itu NH4+ segera diubah menjadi glutamin dan asparagin (Gardner et al, 1990; Hall dan Rao, 1999, Purcell et al, 2000). Kekurangan unsur N menyebabkan penurunan pada: (a) pembelahan dan ekspansi sel, (b) perkembangan kloroplas, (c) konsentrasi klorofil dan aktifitas enzim. Tanaman yang kekurangan N biasanya kerdil (Gardner et al, 1990; Taiz dan Zeiger, 1991). Pada kedelai 33 non-nodulasi pemupukan N meningkatkan fotosintesis daun. Ini berkorelasi positif dengan persentase N daun (Shibels et al, 1987). Meskipun N bisa masuk tanaman melalui daun berupa pupuk daun, namun secara alami N diserap tanaman sebagai nitrat atau N2 yang segera diubah menjadi amonium. Ion amonium dari fiksasi N2 segera diubah menjadi asam amino. Nitrat yang diambil tanaman diubah menjadi nitrit oleh nitrat reduktase dan nitrit diubah menjadi amonium oleh nitrit reduktase (Gardner et al, 1990; Harper, 1987). Adaptasi terhadap Naungan Adaptasi Tanaman Kondisi lingkungan yang sesuai dan optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat jarang terdapat di alam. Ketidaksesuaian lingkungan tumbuh menyebabkan cekaman pada tanaman. Cekaman ialah faktor biotik dan abiotik yang menyebabkan gangguan fungsional sehingga pertumbuhan dan produksi turun. Level cekaman tergantung kepada faktor penyebab cekaman dan tanamannya sendiri (Biswal dan Biswal, 1999). Menurut Levitt (1980) cekaman (stres) adalah faktor lingkungan apapun di luar organisme yang secara potensial tidak cocok (mengganggu) organisme tersebut. Cekaman bisa menyebabkan perubahan (strain) pada organisme. Perubahan tersebut bisa dapat balik (reversible strain) atau tidak dapat balik (irreversible strain). Strain elastis bisa hilang bila cekaman dihilangkan atau tanaman dikembalikan pada lingkungan yang sesuai. Penambahan level cekaman pada strain elastis bisa menyebabkan strain plastis. Strain plastik yang besar dan melebihi atau melewati ambang tertentu bisa menyebabkan kerusakan, bahkan kematian bagi organisme. Pada benda mati strain plastis benar-benar tidak dapat kembali. Pada organisme hidup strain plastis (kerusakan) bisa diperbaiki untuk waktu yang cukup lama. Kemampuan tanaman untuk menyembuhkan dari kerusakan akibat strain yang besar juga mengarah kepada adaptasi (Levitt, 1980). Kemampuan untuk mempertahankan sehingga tidak terjadi perubahan (strain) disebut resistensi. Resistensi ini berlanjut kepada kemampuan adaptasi. Resistensi plastis (adaptasi resistensi) adalah kemampuan tanaman untuk bertahan sehingga tidak terjadi strain plastis yang bersifat merusak. Dalam resistensi plastis ini mungkin tidak terjadi pertumbuhan tetapi hanya bertahan dari strain plastis (Levitt, 1980). 34 Resistensi elastis adalah kemampuan tanaman bertahan dalam kondisi strain elastis. Dalam waktu lama strain elastis dapat menyebabkan akumulasi racun yang juga dapat menyebabkan kerusakan dan kematian. Tanaman yang mampu tumbuh dan beregenerasi dalam strain elastis yang lama disebut mempunyai resistensi elastis (adaptasi kapasitas). Adaptasi ialah sifat yang dikontrol secara genetik yang memungkinkan tanaman berproduksi relatif baik pada suatu lingkungan tertentu. Suatu genotipe disebut beradaptasi luas bila genotipe tersebut bisa menampilan pertumbuhan dan produksi baik untuk selang yang besar dari nilai fator lingkungan tertentu, misalnya pH, kadar air, dan radiasi cahaya. Adaptasi sempit mengacu kepada persyaratan faktor lingkungan yang khusus untuk tumbuh dan berkembang baik. Genotipe yang beradaptasi sempit berarti tidak toleran terhadap situasi lingkungan yang berbeda dengan persyaratan tumbuhnya (White dan Izquierdo, 1993). Kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan ditentukan oleh gen-gen dalam tanaman. Adaptasi terhadap cekaman bisa bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Adaptasi jangka pendek merupakan respon cepat. Di sini tidak terdapat pembentukan protein baru. Sinyal transduksi hanya ditandai perubahan konsentrasi metabolit. Pada cekaman cahaya adaptasi jangka pendek tanaman menciptakan interaksi yang terkoordinasi antara antena pemanen cahaya dan konversi energi dengan aktivitas transpor elektron pada komplek tilakoid dan operasi siklus Calvin untuk mengoptimalkan kecepatan fotosintesis. Dalam adaptasi jangka panjang sinyal cekaman mengarah kepada sintesis protein, lipid, dan pigmen. Produksi berlebihan atau kurang dari protein chl a/b (LHC II), protein DI pada PS II menyebabkan perubahan stoikiometri dari fotosistem tilakoid dan kuantitas rubisco dan protein (Biswal dan Biswal, 1999) Tanaman Strokesia laevis (Hill) E. Greene) adalah tanaman C3 yang mempunyai kemampuan adaptasi luas terhadap intensitas cahaya dengan fleksibilitas titik kompensasi cahayanya (lcp). Tanaman ini merespon defisit cahaya dengan meningkatkan nisbah tajuk dan akar. Perlakuan intensitas cahaya berbeda yaitu 120, 320, dan 1010 mol m-2 dtk-1 selama 50 hari menyebabkan tanaman yang diberi perlakuan berbeda mempunyai kemampuan adaptasi terhadap intensitas cahaya berbeda pula. Perlakuan 120 mol m-2 dtk-1 memiliki lcp (titik kompensasi cahaya) paling rendah, kandungan klorofil per bobot daun 35 paling tinggi, dan luas spesifik (luas permukan daun per bobot daun) paling tinggi (Callan dan Kennedy, 1995). Tanaman yang toleran cahaya rendah mampu memanfaatkan cahaya secara efisien melalui kemampuannya beradaptasi baik secara anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia yang berkaitan dengan kegiatan fotosintesis. Daya adaptasi tanaman terhadap naungan tergantung kepada kemampuan tanaman dalam melanjutkan proses fotosintesis dan mempertahankan lajunya dalam kondisi kekurangan cahaya. Menurut Bruick dan Mayfield ( 1999) pohon yang toleran kekurangan cahaya mempunyai ciri yaitu di bawah kondisi cahaya optimum bagi kebanyakan tanaman, pohon-pohon tersebut dibanding yang lain mempunyai (a) kecepatan pertumbuhan relatif (RGR) lebih rendah, (b) rasio luas daun/bahan kering lebih rendah (daun lebih tebal dan padat), (c) kandungan nitogen daun lebih rendah, dan (d) rasio tajuk dan akar lebih rendah. Mekanisme Penghindaran Menurut Levitt (1980) tanaman mampu beradaptasi terhadap naungan melalui mekanisme penghindaran dan toleransi. Penghindaran kekurangan cahaya dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Peningkatan efisiensi penangkapan diperoleh melalui perluasan daun sebagai bagian tanaman yang bisa menangkap cahaya dan kemampuan menangkap cahaya per satuan luas daun. Penangkapan cahaya diperoleh melalui peningkatan kandungan kloroplas dan kandungan kloropil per kloroplas daun Gambar 8). Penelitian pada padi gogo menunjukkan naungan menyebabkan daun lebih luas dan tipis karena pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Padi gogo yang diberi cekaman cahaya rendah meningkatkan klorofil a maupun klorofil b (Lautt, 2000). Givnish et al (1988) menyimpulkan bahwa intensitas cahaya rendah menyebabkan penurunan ketebalan bobot spesifik daun (BSD) dan peningkatan klorofil a dan b. Penelitian naungan pada manggis (Wiebel et al, 1994), Amborella trichopoda ( Feild, 2001) dan Baringtonia (Feng et al, 2004) menunjukkan bahwa perubahan karakter pada daun antara lain pada penipisan daun, pengurangan ketebalan lapisan palisade, peningkatan kandungan klorofil a dan b, peningkatan luas helai daun, dan penurunan BSD. Penelitian Weston et al (2000) pada tipe liar dan mutan Arabidopsis thaliana menunjukkan bahwa perubahan ketebalan daun dan lapisan palisade, peningkatan klorofil a 36 dan b, bisa terjadi pada perlakuan naungan selama 6 hari setelah pada umur 0 - 20 HST tumbuh pada cahaya normal. Mekanisme penghindaran defisit cahaya melalui peningkatan kandungan klorofil terjadi pada semua genotipe kedelai yang diberi perlakuan naungan (Khumaida, 2002). Peningkatan efisiensi peningkatan cahaya ini bisa dilihat pada ekspresi gen untuk pembentukan komplek pemanen cahaya (lhc) dimana klorofil berada. Ekspresi gen ini mulai ada bahkan bila kedelai diberi perlakuan naungan 50 % selama sehari. Tetapi pemberian perlakuan gelap tidak memunculkan gen untuk protein pemanen cahaya. Tanaman yang toleran naungan bila diberi perlakuan naungan mampu mempertahankan laju fotosintesis tinggi dengan dua cara yaitu (a) meningkatkan luas daun untuk meningkatkan luas areal penangkapan cahaya dan (b) pengurangan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Tanaman tersebut mengurangi kutikula dan menghilangkan lapisan lilin dan bulu. Daun tanaman toleran lebih tipis dan kandungan bahan keringnya rendah. Ini untuk meningkatkan tingkat fotosintesis per bobot kering (Hale dan Orcutt, 1987; Levitt, 1980). Sopandie et al (2005) menunjukkan bahwa bulu daun menurun pada kedelai yang dinaungi 50%. Penurunan itu terjadi pada pengamatan 8 - 10 MST, sedangkan pada pengamatan saat 4 – 6 MST kerapatan bulu lebih besar pada kondisi kontrol dibanding naungan 50%. Kerapatan bulu terendah terdapat pada Ceneng (toleran), tetapi persen penurunan tertinggi terdapat pada genotipe Godek (peka) dan Slamet. Informasi penurunan kerapatan bulu pada Klungkung Hijau, B613, Wilis, Tampomas, MLG2999 belum ada. Dalam rangka meningkatkan luas area penangkapan dan pemanfaatan cahaya, tanaman meningkatkan rasio tajuk dan akar, menipiskan daun, memperpendek palisade, dan memperluas daun. Dalam rangka meningkatkan efisiensi cahaya yang diterima tanaman tersebut memiliki rasio klorofil terhadap komponen karboksilasi dan proses transpor elektron tinggi. Selain kandungan klorofil daun meningkat, rasio klorofil a terhadap klorofil b juga menurun karena proporsi peningkatan klorofil b lebih tinggi dibandingkan klorofil a (Callan dan Kennedy, 1995; Taiz dan Zeiger, 1991). Penelitian pada padi gogo dan kedelai menunujukkan bahwa penipisan daun pada padi gogo dan kedelai disebabkan oleh pengurangan jumlah sel palisade (Lautt et al, 2000; Khumaida, 2002). 37 Kedelai yang diberi naungan 50% mengalami penurunan ketebalan daun dan lapisan palisade. Persen penurunan lebih besar pada kelompok genotipe toleran daripada peka (Sopandie et al, 2002). Luas helai daun trifoliat juga meningkat akibat naungan 50%. Persentase peningkatan luas helai daun lebih besar pada Pangrango (T) dan Ceneng (T) daripada Godek (Sopandie et al, 2004). Namun belum ada keterangan tegas apakah perbedaan tersebut nyata. Penelitian di atas juga mengungkapkan bahwa rasio luas per bobot daun meningkat atau berarti bobot spesifik daun (BSD) menurun dengan persentase penurunan hampir sama. Belum ada uji beda nyata tentang persentase penurunan BSD akibat naungan 50%. Pembentukan kloropas dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya. Tanaman yang toleran cahaya mampu mempertahankan jumlah kloroplas yang tinggi per luas daun (Hale dan Orchut, 1987) dan jumlah klorofil per kloroplas (Okada et al, 1992). Dalam kondisi ternaungi jumlah klorofil a dan klorofil b genotipe padi yang toleran lebih tinggi dibanding yang peka (Lautt et al, 2000). Peningkatan klorofil b yang lebih tinggi daripada klorofil a menyebabkan rasio klorofil a/b menurun. Fenomena ini juga terjadi pada kedelai (Khumaida, 2002). Ini berkaitan dengan peningkatan klorofil b yang lebih tinggi pada LHC-II. Pembesaran antena pada fotosistem II ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al, 1992; Kennedy dan Allan, 1995). Sopandie et al (2002) mengungkapkan bahwa peningkatan kandungan klorofil a maupun klorofil b lebih tinggi pada kelompok genotipe toleran dibanding genotipe peka. Namun penurunan rasio klorofil a/b tidak berbeda nyata antar dua kelompok genotipe tersebut. Mekanisme Toleransi Toleransi terhadap defisit cahaya diperoleh melalui kemampuan tanaman menurunkan titik kompensasi cahaya dan mengurangi respirasi (Gambar 9). Penurunan titik kompensasi cahaya bisa diperoleh dengan cara mengurangi derajat penurunan aktivitas enzim dan kerusakan pigmen (Levitt, 1980). Penelitian pada padi gogo menunjukkan bahwa padi toleran mampu mempertahankan kandungan rubisco dan aktivitasnya tetap tinggi. Selain itu, genotipe padi gogo yang toleran memiliki tingkat respirasi lebih rendah pada kondisi gelap serta rasio sukrosa/pati dan aktivitas enzim SPS (sukrosa fosfat sintetase) tinggi (Lautt, 2000; Sopandie et al, 2003b). Semua peubah tersebut menunjukkan mekanisme adaptasi melalui toleransi. 38 Peranan rubisco sangat vital karena dalam siklus Calvin enzim ini bisa mengikat CO2 dan RuBP menghasilkan 3-PGA. Cahaya menginduksi aktifitas rubisco saat ternaungi (Hall dan Rao, 1999). Intensitas cahaya mempengaruhi aktifitas rubisco (Portis, 1992). Enzim rubisco memainkan peran kunci pada asimilasi karbon dalam fotosintesis. Karena peran pentingnya tersebut rubisco menjadi salah satu faktor pembatas fotosintesis (Vu et al, 1983) dan aktivitas rubisco bisa menjadi faktor penduga besarnya level fotosintesis. Tanaman yang toleran naungan mampu mempertahankan aktivitas rubisco tetap tinggi bila diberi perlakuan naungan, seperti pada padi. Pada padi naungan menyebabkan kandungan protein dan aktivitas total rubisco menurun. Namun, padi varietas jatiluhur (toleran naungan) mampu mempertahankan kandungan protein dan aktivitas rubisco tetap tinggi (Sopandie et al, 2003a). Naungan menyebabkan penurunan produksi padi gogo. Naungan juga menurunkan kandungan pati di daun. Meskipun kandungan patinya turun, besarnya penurunan tersebut lebih kecil pada padi yang toleran dibanding yang peka. Hal menarik terjadi pada parameter kandungan sukrosa daun. Pada masa pertumbuhan vegetatif aktif kandungan sukrosa (mg/g) daun justru mengalami peningkatan pada genotipe padi gogo toleran yang diberi perlakuan 50 %. Sebaliknya pada genotipe peka naungan 50 % menurunkan sukrosa daun (Lautt et al, 2000). Dalam kondisi ternaungi aktivitas enzim SPS dan rubisco juga tetap lebih tinggi pada genotipe toleran daripada genotipe peka naungan (Lautt et al, 2000; Sopandie et al, 2003a). Lautt (2003) menggunakan kandungan gula dan pati sebagai indikator besarnya rerspirasi gelap pada padi gogo. Setelah diletakkan di ruang gelap kandungan gula dan pati daun padi menurun. Namun, padi toleran naungan tetap bisa mempertahankan kandungan gula dan pati tinggi, yang menunjukkan respirasi gelap lebih rendah pada genotipe toleran naungan. Penghindaran Kekurangan Cahaya (Peningkatan efisiensi penangkapan cahaya) 39 Peningkatan luas area penangkapan cahaya Peningkatan penangkapan cahaya per satuan area fotosintesis Peningkatan proporsi area fotosintesis (daun) Penghindaran refleksi cahaya Penghindaran transmisi cahaya Ketiadaan kutikula, lilin, dan bulu pada permukaan daun Peningkatan kandungan kloroplas Peningkatan kandungan kloroplas per sel mesofil Penghindaran absorbsi cahaya yang tak berguna Ketiadaan pigmen non kloroplas Peningkatan kandungan pigmen per kloroplas Kloroplas dalam sel epidermis Gambar 8. Mekanisme penghindaran terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) Toleran Defisit Cahaya Penurunan titik kompensasi cahaya (LCP) Penghindaran kerusakan terhadap sistem fotosintesis Penurunan laju respirasi ketika di bawah LCP Penurunan laju respirasi di sekitar LCP 40 Penghindaran penurunan aktifitas enzim Penghindaran kerusakan pigmen-pigmen Penurunan zat yang dapat direspirasikan Penurunan dalam sistem respirasi (mitokondria) Gambar 9. Mekanisme toleransi terhadap defisit cahaya (Levitt, 1980) 41 BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas tiga bagian. Penelitian pertama adalah penelitian tentang pengaruh cekaman intensitas cahaya rendah terhadap produktivitas delapan genotipe kedelai. Penelitian kedua adalah penelitian tentang perubahan karakter daun yang berkaitan dengan adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui mekanisme penghindaran, sedangkan penelitian ketiga tentang perubahan fisiologi yang berhubungan dengan mekanisme toleransi sebagai respon terhadap cekaman intensitas cahaya rendah. Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan persentase penurunan produksi akibat cekaman naungan pada delapan genotipe yang antara lain meliputi geneotipe toleran, moderat, serta peka naungan. Perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen. Waktu dan Tempat Percobaan lapang dilaksanakan dalam dua musim tanam (MT). Percobaan I-A atau MT-1 berlangsung pada Mei – Agustus 2002, sedangkan percobaan I-B atau MT-2 pada Nopember 2002 – Pebruari 2003. Percobaan lapang dilaksanakan di kebun percobaan IPB Cikabayan, Bogor. Pekerjaan laboratorium dilaksanakan di laboratorium Pusat Studi Pemuliaan Tanaman (PSPT) Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Bahan dan Alat Sebanyak delapan genotipe kedelai hasil penyaringan penelitian sebelumnya (Gambar 3) digunakan sebagai bahan tanaman. Dari 8 genotipe kedelai tersebut, menurut Sopandie et al (2002), 4 genotipe dimasukkan sebagai toleran, yaitu Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas; 1 genotipe termasuk moderat, yaitu Wilis; dan 3 genotipe termasuk peka naungan, yaitu Klungkung Hijau, MLG2999 dan Godek. Naungan buatan yang dipakai berupa paranet 25% (meneruskan cahaya 75%), paranet 50% (meneruskan cahaya 50%), dan paranet 75% (meneruskan cahaya 25% yang diterima). Paranet 25% adalah paranet 50% yang telah dikurangi dengan cara memotong pita plastiknya dengan perbandingan 1:1. Paranet 50% dimaksud dalam penelitian ini adalah paranet 55% di pasaran. 42 Bahan kimia dan peralatan laboratorium dijelaskan pada Lampiran 5. Alat dan bahan lain yang digunakan adalah peralatan standar untuk budidaya kedelai secara konvensional Metode Penelitian ini merupakan percobaan lapang. Kedelai ditanam dalam polibag di lapang dan diberi empat perlakuan naungan paranet, yaitu tanpa naungan sebagai kontrol, naungan paranet 25%, 50%, dan 75%. Perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen. Rancangan Percobaan Pada percobaan lapang ini rancangan lingkungan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dan rancangan perlakuannya berupa petak terpisah (split plot). Pada percobaan ini digunakan tiga ulangan yang tersarang pada perlakuan naungan. Tata letak percobaan di lapang terlihat pada Lampiran 2. Petak utama terdiri atas empat taraf perlakuan naungan yaitu: N0 : tanpa naungan atau kontrol N1 : naungan 25 % N2 : naungan 50 % N3 : naungan 75 %. Anak petaknya meliputi delapan genotipe kedelai, yaitu G1 = Ceneng, G2 = Klungkung Hijau, G3 = B613, G4 = Wilis, G5 = Tampomas, G6 = Godek, G7 = Pangrango, dan G8 = MLG2999. Percobaan ini menggunakan tiga ulangan sehingga terdapat 96 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan terdiri atas dua polibag. Masing-masing polibag berisi satu tanaman Model statistik untuk rancangan percobaan ini adalah: Yijk = µ + N j + Ki + γ i(j) + G k + NG jk + ε ijk Yijk = nilai pengamatan akibat kelompok ke-i, naungan ke-j dan genotipe ke-k µ = nilai rata-rata umum Nj = nilai pengamatan akibat pengaruh naungan ke-j Ki = nilai pengamatan akibat pengaruh kelompok ke-i γ ij = galat akibat kelompok ke-i dan naungan ke-j Gk = nilai pengamatan akibat pengaruh genotipe ke-k NG jk = nilai interaksi antara faktor perlakuan naungan ke-j dan genotipe ke-k ε ijk = galat akibat kelompok ke-i, naungan ke-j dan genotipe ke-k 43 Pelaksanaan Perlakuan naungan (N) dilaksanakan dengan cara meletakkan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi samping areal pertanaman (Lampiran 2). Dengan demikian pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet. Tinggi paranet sekitar 2 m di atas permukaan tanah. Paranet disangga oleh rangka bambu. Perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen. Media tanam terdiri atas campuran tanah dan pupuk kandang (9:1) dimasukkan ke dalam polibag, sehingga tiap polibag berisi sekitar 8 kg campuran tanah. Pupuk kandangnya berasal dari kotoran kambing. Polibag kemudian diatur berbaris di dalam selubung paranet dengan jarak 50 x 50 cm pusat ke pusat dan dibiarkan selama seminggu agar media tanah dalam polibag stabil. Benih kedelai yang telah dilumuri dengan inokulan rhizobium ditanam pada polibag tersebut dengan lubang tanam sedalam 2 – 3 cm. Tiap lubang tanam berisi tiga butir benih. Setelah seputar benih ditaburi Furadan lubang tanam ditutup tanah. Pada umur 1 - 2 minggu tanaman dijarangkan sehingga tinggal 1 tanaman tiap polibag. Pada umur 1 minggu setelah tanam (MST) media tanam diberi pupuk urea dengan dosis pemupukan 0.3 g urea, 1.25 g TSP, dan 1 g KCl per polibag, yang setara dengan 34 kg N, 144 kg P2O5 dan 150 kg K2O per ha. Pada waktu tersebut juga dilakukan penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman. Penyiraman dilakukan tiap hari pagi dan sore sampai umur 3 MST, setelah itu penyiraman dilakukan hanya pada pagi hari. Pengendalian gulma dilaksanakan secara manual dengan mencabut gulma yang ada di polibag dan mencangkul lahan di sekeliling polibag. Hama dikendalikan dengan Decis sedangkan penyakit dengan Dithane M-45. Waktu panen ditentukan apabila polong telah kehilangan warna hijaunya. Panen dilakukan dengan cara menggunting tangkai polong dan tetap membiarkan tanaman kedelai hidup dengan polong lain yang belum bisa dipanen, sampai semua polong habis dipanen. Analisis Data Analisis data menggunakan program SAS. Pengelompokan ketenggangan terhadap intensitas cahaya rendah mengikuti Sopandie et al, (2002). Analisis ragam dilakukan untuk menguji pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah 44 ditransformasi (Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) perlakuan kontrol dan naungan 50% pada setiap genotipe dengan uji t, serta (2) persentase penurunan produktivitas biji akibat naungan 50% antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata. Penelitian 2. Perubahan Struktur Daun Beberapa Genotipe Kedelai sebagai Adaptasi melalui Mekanisme Penghindaran terhadap Intensitas Cahaya Rendah Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan struktur daun antara genotipe toleran dan peka. Pada percobaan I perlakuan naungan diberikan sejak tanam sampai panen untuk menggambarkan adaptasi. Pada percobaan II perlakuan gelap diberikan dalam variasi pergiliran dengan cahaya normal pada umur 23 - 32 HST. Variasi tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan umur tanaman saat perlakuan gelap diberikan (Lampiran 4). Pada percobaan II perlakuan gelap selama tiga hari (TTG= terang-terang-gelap) menggambarkan perlakuan cekaman defisit cahaya ekstrim yang diberikan pada umur 29 32 HST. Perlakuan gelap 3 hari dilanjutkan terang 3 hari (TGT=terang-gelap-terang) mencerminkan penyembuhan setelah cekaman akibat perlakuan gelap selama 3 hari pada umur 26 -29 HST. Perlakuan GTG (gelap-terang-gelap) bisa menunjukkan adaptasi (on/off) terhadap gelap, yaitu menunjukkan kondisi tanaman pada saat gelap, yang sebelumnya diberi perlakuan gelap 3 hari dilanjutkan dengan cahaya normal 3 hari. Perlakuan TGN (terang-gelap-naungan 50%) mengambarkan adanya penyembuhan dan adaptasi. Waktu dan Tempat Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan pertama dilaksanakan pada Mei sampai Agustus 2002, sedangkan percobaan kedua pada Maret sampai Mei 2004. Seluruh percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB, di Darmaga Bogor. Perlakuan gelap total pada percobaan II menggunakan suatu ruangan gelap di Cikabayan. Pengeringan dan penimbangan dilakukan di laboratorium PSPT - IPB Bogor Pembuatan penampang melintang daun dilakukan di Biotrop Bogor. Pengukuran luas daun dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor.. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan I berupa delapan genotiope kedelai yang telah disebutkan terdahulu pada penelitian 1. Bahan tanaman pada percobaan II adalah 45 empat genotipe yang dipilih dari delapan genotipe pada percobaam I, yaitu Ceneng (T), B613 (T), Pangrango (T), dan Godek (P). Ceneng adalah genotipe yang konsisten toleran, sedangkan Godek konsisten peka (Sopandie et al, 2002) Alat yang digunakan antara lain mikroskup elektrik binokuler, pisau silet, penggaris, oven pengering, timbangan, dan areameter. Alat dan bahan untuk membuat preparat penampang melintang daun dikemukakan pada Lampiran 5. Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adaptasi kedelai melalui mekanisme penghindaran, yaitu berupa perubahan struktur daun. Struktur daun yang bisa menggambarkan mekanisme penghindaran antara lain tebal daun, bobot spesifik daun, luas helai daun, kerapatan bulu dan stomata daun, serta kandungan klorofil daun. Penelitian ini merupakan percobaan lapang, yang terdiri atas dua percobaan. Pada percobaan I tanaman diberi cekaman intensitas cahaya rendah berupa naungan paranet 25%, 50%, dan 75% sejak tanam sampai panen seperti pada penelitian 1. Pada percobaan II kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal sampai umur 23 HST. Cekaman pada percobaan 2 diberikan secara ekstrim (gelap total) namun dalam waktu singkat, yaitu 3 hari yang divariasikan secara bergiliran dengan cahaya normal. Perlakuan pada percobaan II diberikan selama 9 hari pada fase vegetatif, yaitu sejak tanaman berumur 23 sampai 32 HST sesuai dengan jadwal pada Lampiran 4. Perlakuan gelap dilaksanakan dengan cara menaruh polibag berisi tanaman ke dalam ruangan kedap cahaya, sehingga intensitas cahaya di dalam ruangan adalah nol, yaitu keadaan defisit cahaya ekstrim. Jadwal pelaksanaan perlakuan dan pengambilan sampel dipaparkan pada Lampiran 4. Pergiliran gelap–terang atau naungan 50% berlangsung masing-masing 3 hari. Titik awal penghitungan jadwal (hari ke-0 perlakuan) adalah pada 23 HST. Jadi perlakuan TTG seperti yang dimaksud di bawah ini artinya sejak tanam sampai umur 23 HST kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal, dilanjutkan selama 2 x 3 hari perlakuan T (terang/normal), sehingga perlakuan 3 hari gelap diberikan pada 29 - 32 HST. Rancangan Percobaan Percobaan I menggunakan rancangan percobaan yang sama dengan pada percobaan I-A pada penelitian 1, yaitu Rancangan Petak Terbagi (Lampiran 2). Petak utamanya adalah 46 empat tingkat naungan paranet, sedangkan anak petaknya adalah delapan genotipe yang telah disebut di atas. Pada percobaan II rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah genotipe, yaitu Ceneng (toleran), B613 (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Faktor kedua adalah lima variasi pergiliran, terang, gelap, dan naungan 50%, yaitu: T1 = TTT = perlakuan terang (cahaya normal) terus-menerus, sebagai kontrol (keadaan normal) T2 = TTG = perlakuan terang (cahaya normal) terus-menerus sampai hari ke-29, lalu gelap selama 3 hari T3 = TGT = perlakuan terang (cahaya normal) sampai hari ke-26, lalu gelap selama 3 hari, kemudian terang (normal) selama 3 hari T4 = GTG = perlakuan terang (normal) sampai hari ke-23, lalu gelap selama 3 hari, kemudian terang (normal) 3 hari, lalu gelap lagi selama 3 hari. T5 = TGN = perlakuan terang (cahaya normal) sampai hari ke 26, lalu gelap selama 3 hari, dan dilanjutkan naungan 50% selama 3 hari Jadwal perlakuan pergiliran terang, gelap, dan naungan serta waktu pengambilan dijelaskan lebih lanjut pada Lampiran 4. Denah susunan perlakuan di lapang dipaparkan pada Lampiran 3. Pelaksanaan Pelaksanaan percobaan I sama dengan percobaan pada penelitian 1. Pengambilan sampel dilakukan saat fase vegetatif, yaitu tanaman berumur 4 minggu. Daun yang dijadikan sampel merupakan daun trifoliat ke 3 - 4 yang telah membuka penuh. Pengukuran tebal daun dilakukan dengan cara memotong melintang daun dan melihatnya di mikroskup elektrik binokuler. Sampel daun diukur luasnya dengan menggunakan area meter. Sampel daun tersebut kemudian dikeringkan dalam oven 80o C selama 48 jam, lalu ditimbang. Bobot spesifik daun (BSD) ialah bobot kering satu sampel daun dibagi luasnya. Perlakuan sampel daun untuk pengukuran palisade dan kerapatan stomata menggunakan metode Widjaya (1996) yang tercantum dalam Lampiran 5. Kerapatan bulu dihitung dengan cara menghitung bulu daun bagian bawah (abaxial) dengan bantuan mikroskup elektrik 47 binokuler. Analisis klorofil a dan b dilaksanakan di laboratorium PSPT- IPB dengan memakai metode Arnon (Yoshida, 1976). Kandungan klorofil daun diperoleh berdasarkan pembacaan absorban spektrofotometer pada 663 nm dan 645 nm. Kandungan klorofil a dan b ditentukan berdasarkan persamaan: Kl. a = 0.0127 x D663 - 0.00269 x D645 Kl. b = 0.0229 x D645 - 0.00460 x D663 Pelaksanaan percobaan II di lapang umumnya sama dengan percobaan pada penelitian 1 yang telah dikemukakan di depan. Pada percobaan ini tiap polibag berisi tiga tanaman. Dosis pupuk per polibag diberikan tiga kali lipat lebih tinggi daripada pada percobaan I. Karena itu dosis per tanaman tetap sama dengan percobaan pada penelitian 1. Ruangan untuk perlakuan gelap adalah ruangan biasa yang kemudian ditutup dan dilapisi kertas sehingga kedap cahaya dan intensitas cahayanya sama dengan nol Pada percobaan II mula-mula semua tanaman ditumbuhkan pada kondisi cahaya normal sampai umur 23 hari, untuk kemudian diberi perlakuan pergiliran tiga hari terang gelap (on/off) pada umur 23 –32 HST sesuai variasi jadwalnya. Perlakuan terang yang dimaksud adalah cahaya normal sebagaimana yang berlangsung alamiah. Perlakuan naungan dilakukan dengan memasukkan polibag berisi tanaman dalam selubung paranet 50% sebagaimana pada perlakuan naungan sebelumnya. Perlakuan gelap dilaksanakan dengan menaruh polibag ke dalam ruangan (kamar) gelap kedap cahaya seperti dikemukakan di depan. Semua sampel daun diambil pada hari yang sama (32 HST), yaitu setelah tanaman mendapat berbagai perlakuan secara lengkap sesuai variasinya. Karena itu untuk perlakuan TTG sampel diambil pada saat tanaman mendapat perlakuan gelap. Selanjutnya untuk TGT pada saat terang, GTG saat gelap, dan TGN saat naungan 50%. Daun yang digunakan untuk sampel adalah daun trifoliat yang telah membuka sempurna nomor 2 dari pucuk (apex). Untuk pengamatan klorofil daun sampelnya adalah daun yang telah membuka sempurna nomor 3 dari pucuk. Prosedur pengukuran sama dengan prosedur pada percobaan I pada penelitian 2 ini. Analisis Data Analisis data menggunakan program SAS. Analisis ragam dilakukan untuk menguji pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah ditransformasi 48 (Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) perlakuan kontrol dan naungan 50% pada setiap genotipe dengan uji t, serta (2) persentase perubahan (penurunan atau peningkatan) akibat naungan 50% antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata. Penelitian 3. Perubahan Fisiologi yang terkait dengan Adaptasi melalui Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perubahan fisiologi antara genotipe toleran dan peka. Percobaan I menggambarkan adaptasi setelah cekaman terus-menerus sejak tanam. Percobaan II mengambarkan adaptasi dan penyembuhan seperti diungkapkan pada sub bab penelitian 2, yang pada penelitian ini fokusnya pada perubahan fisiologi. Waktu dan Tempat Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan 1 dilaksanakan pada Nopember 2002 sampai Pebruari 2003. Percobaan II dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2004 bersamaan dengan percobaan II pada penelitian 2. Kedua percobaan ini dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan. Untuk analisis komposisi N dilaksanakan di laboratorium PSPT- IPB, untuk analisis pati dan aktivitas enzim SPS di laboratorium Biokimia IPB, untuk analisis sukrosa di laboratorium Balai Pasca Panen Bogor, dan untuk aktivitas enzim rubisco di Badan Tenaga Atom (Batan) Jakarta. Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan I pada penelitian ketiga ini adalah dua dari delapan genotipe yang telah disebutkan, yaitu Ceneng (toleran) dan Godek (peka) yang menurut Sopandie et al (2002) merupakan genotipe yang konsisten masing-masing sebagai toleran dan peka. Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan II pada penelitian 3 ini sama dengan pada percobaan II penelitian 2 yang telah disebutkan di atas, yaitu Ceneng (toleran), B613 (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Bahan dan alat untuk percobaan lapang sama dengan yang telah disebut di atas. Untuk memperoleh hasil yang baik dan mempertahankan sampel tetap segar digunakan alat pendingin dan es serta nitrogen cair. Peralatan dan bahan kimia untuk analisis laboratorium diuraikan pada Lampiran 5. Sampel daun yang digunakan untuk analisis adalah daun trifoliat nomor 3-4 dari apex yang telah membuka sempurna. Sampel batang yang digunakan adalah ujung (apex) batang sepanjang 15 cm. 49 Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji adaptasi kedelai melalui mekanisme toleransi, yaitu berupa perubahan fisiologi. Perubahan fisiologi yang bisa menggambarkan mekanisme toleransi antara lain kandungan protein terlarut, kandungan glukosa dan pati daun, kandungan gula daun, kandungan karbohidrat batang, serta aktivitas enzim SPS dan enzim rubisco. Penelitian 3 in imerupakan percobaan lapang, yang terdiri atas dua percobaan. Metode penelitian pada percobaan I pada penelitian 3 ini sama dengan pada percoban I penelitian 2, sedangkan metode percobaan II pada penelitian 3 ini sama dengan percoban II pada penelitian 2 yang telah dikemukan di depan. Pada percobaan I penelitian 3 ini tanaman diberi cekaman intensitas cahaya rendah berupa naungan paranet 25%, 50%, dan 75% sejak tanam sampai panen. Pada percobaan II penelitian ini kedelai ditumbuhkan pada kondisi normal sampai umur 23 HST, kemudian diberi cekaman cahaya ekstrim dalam variasi pergiliran dengan cahaya normal masingmasing selama 3 hari. Rancangan Percobaan Percobaan I menggunakan rancangan petak terbagi. Sebagai petak utama adalah naungan yang terdiri atas kontrol dan naungan 50%. Anak petaknya terdiri atas dua genotipe yaitu dua genotipe Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Rancangan percobaan pada percobaan II adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu genotipe dan variasi pergiliran gelap terang seperti pada percobaan II penelitian 2. Pelaksanaan Secara umum pelaksanaan di lapang sama dengan penjelasan sebelumnya. Pada percobaan I sampel daun diambil pada umur 4 minggu. Sampel daunnya adalah daun trifoliat nomor 3 – 4 yang telah membuka sempurna. Sampel daun diambil pada jam 10.00 WIB pada saat cerah. Analisis sukrosa daun menggunakan metode Harn et al. ( 1993) dan dilaksanakan di Balai Penelitian Pasca Panen Bogor. Kandungan sukrosa diukur dengan menggunakan HPLC, yang dibaca menggunakan refractive index detector. Analisis pati menggunakan metode Huber dan Israel (1982) di Laboratorium Biokimia IPB. Kandungan pati dinyatakan 50 sebagai glukosa dengan metode Fulin Wu. Analisis aktivitas enzim sukrosa fosfat sintetase (SPS) menggunakan metode yang digunakan Suwignyo et al. (1995) di Laboratorium Biokimia IPB. Aktivitas enzim SPS diukur dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm. Prosedur analisis di atas diuraikan dalam Lampiran 5. Prosedur analisis aktivitas rubisco menggunakan metode Holbrook et al, (1994) di Badan Tenaga N\klir (BATAN), Jakarta. Analisis kandungan N daun dilakukan di laboratorium PSPT Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis N menggunakan metode Nessler. Kandungan N terlarut, N protein terlarut, dan N tak larut ditentukan dengan metode Mae et al., (1993). Semua prosedur analisis di atas diuraikan dalam Lampiran 5. Pada percobaan II semua sampel diambil pada 32 HST sekitar jam 10.00 pagi saat cerah. Sampel daunnya adalah daun trifoliat keempat yang telah mekar sempurna. Sampel batang adalah ujung batang sepanjang 15 cm. Kandungan gula total dan pati daun serta kandungan karbohidrat total batang dianalis di laboratorium PSPT Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dengan menggunakan metode Anthrone (Apriyantono et al, 1990). Pengukuran kandungan gula menggunakan perbandingan pembacaan absorbansnya pada 630 nm yang dibandingkan dengan larutan standar. Aktifitas rubisco dianalisis di BATAN Jakarta dengan menggunakan metode Holbrook et al. (1994). Aktivitas rubisco didasarkan pada 14C pada H2CO3 yang beraksi membentuk 3-PGA, sedangkan 14 C yang tidak bereaksi diuapkan ke udara sesuai Wilson (1987). Analisis Data Analisis data menggunakan program SAS. Analisis ragam dilakukan untuk menguji pengaruh faktor-faktor dan interaksinya. Data persentase dianalisis setelah ditransformasi (Steel dan Torrie, 1993). Perbandingan dilakukan untuk (1) lima perlakuan variasi pergiliran terang-gelap setiap genotipe, serta (2) persentase penurunan perubahan (penurunan) akibat perlakuan antar genotipe dengan DMRT bila ada beda nyata. 51 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan lapang dilaksanakan di Cikabayan, Darmaga - Bogor yang terletak sekitar 250 m di atas permukaan laut. Intensitas radiasi harian pada dua masa percobaan hampir sama. Pada masa percobaan I- A atau MT-1 (Mei – Agustus 2002) intensitas radiasi matahari rata-rata harian di wilayah Bogor sekitar 225 – 310 kal cm-2 dengan rata-rata harian seluruhnya 257 kal cm-2, sedangkan pada masa percobaan I-B atau MT-2 (Nopember 2002 – Pebruari 2003) sekitar 217 - 290 kal cm-2, dengan rata-rata keseluruhan 262 kal cm-2 (Lampiran 10). Kelembaban harian pada udara terbuka dan di bawah paranet hampir sama, yaitu 78, 77, 76, dan 77%, masing-masing untuk udara terbuka, naungan paranet 25, 50, dan 75% (Lampiran 6). Kelembaban dan suhu pada ruangan gelap berbeda cukup besar dengan udara terbuka. Pada jam 12.00 kelembaban pada udara terbuka, naungan 50% dan ruang gelap adalah 63, 66, dan 85%. Pada saat itu (jam 12.00) suhu udara terbuka, naungan 50%, dan ruang gelap masing-masing adalah 35, 34, dan 29o C (Lampiran 7). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata naungan paranet 25%, 50%, dan 75% menyebabkan intensitas cahaya yang diterima di bawah paranet menjadi 64%, 46%, dan 21% (Lampiran 12) Ini berarti paranet 25%, 50%, dan 75% yang dimaksud dalam percobaan ini menyebabkan naungan aktual sebesar 36%, 54%, dan 79%. Dengan demikian intensitas tanpa naungan, di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah masing-masing 0.854, 0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2 mnt-1. Rangkuman hasil analisis ragam ditunjukkan pada Lampiran 8 dan 10. Umumnya naungan berpengaruh nyata terhadap variabel yang diteliti, sedangkan genotipe berpengaruh pada beberapa variabel. Pengaruh interaksi antara genotipe dan intensitas cahaya tidak nyata kecuali pada variabel BSD dan kerapatan bulu daun pada percobaan II penelitian 2. Faktor yang berpengaruh nyata dianalisis lebih lanjut, yang hasilnya dipaparkan pada Lampiran 13 – 17. Morfologi delapan genotipe yang diuji pada empat tingkat naungan diperlihatkan pada Lampiran 20 - 23. Tanaman yang dinaungi mengalami etiolasi (batang bertambah panjang, kurus dan lemah) terutama pada perlakuan naungan 75%. Pada naungan 75% terjadi 52 penurunan yang drastis pada bobot akar (menjadi 4-8% terhadap kontrol) dan bintil akar (menjadi 1-2% terhadap kontrol). Dari tabel pada Lampiran 20 - 24 bisa dilihat bahwa pada umumnya perlakuan naungan 25% tidak berpengaruh nyata terhadap karakter morfologi tanaman. Setelah tingkat naungan ditambah menjadi 50%, maka terjadi perubahan yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa naungan 50% telah menimbulkan cekaman sehingga tanaman mengalami perubahan morfologi yang nyata dibanding kontrol. Naungan 75% menimbulkan perubahan morfologi, tetapi tidak menimbulkan keragaman antar genotipe. Jadi, naungan 50% sesuai untuk penyaringan ketenggangan dan penelitian adapatasi. Hal ini sesuai dengan Sopandie et al (2002). Hama tanaman yang ditemui selama percobaan berlangsung adalah belalang (Locusta spp). Hama belalang menyerang terutama pada tanaman kontrol pada MT-1 (percobaan IA) saat tanaman berumur sekitar 45 – 60 HST. Serangan pada tanaman yang diberi perlakuan naungan paranet lebih ringan dibanding tanaman kontrol karena adanya selubung paranet sehingga hama lebih sulit masuk. Hama bisa dikendalikan setelah penyemprotan dengan insektisida ditingkatkan menjadi 2 - 3 kali seminggu serta gulma di sekitar areal percobaan disiangi dengan cara dipotong dan dibuang. Pada percobaan I-B (MT-2) serangan hama tidak berarti karena areal percobaan bersih dari gulma dan penyemprotan insektisida Decis menjadi 2 - 3 kali seminggu. Keadaan yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa faktor intensitas cahaya yang menjadi perlakuan berbaur/bercampur (confounded) dengan faktor biotik (hama) dan mikroklomat. Sebagai contoh, suhu udara di dalam naungan paranet lebih rendah di banding suhu pada areal kontrol walaupun tidak berbeda jauh. Penelitian 1. Respon Delapan Genotipe Kedelai terhadap Cekaman Intensitas Cahaya Rendah Pengaruh faktor naungan dan genotipe terhadap produktivitas biji kedelai diperlihatkan pada Lampiran 13 dan 14. Produktivitas delapan genotipe kedelai dipaparkan pada Gambar 10 dan 11. Produktivitas kedelai pada penelitian ini bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek praktis dan aspek pengembangan ilmu. Dalam aspek praktis pembahasan difokuskan pada produksi aktual di lapang yang bisa diterapkan oleh petani dalam rangka 53 memperoleh keuntungan ekonomi. Dalam aspek pengembangan ilmu pembahasan difokuskan pada persentase penurunan produksi akibat naungan karena berhubungan dengan mekanisme adaptasi. Dari grafik pada Gambar 10 dan 11 bisa dilihat bahwa Klungkung Hijau yang menurut Sopandie et al (2002) tergolong peka menghasilkan biji per tanaman tertinggi pada situasi normal tanpa naungan (kontrol), baik pada musim tanam 1 (MT-1) maupun musim tanam 2 (MT-2). Produktivitas tertinggi juga terdapat pada Klungkung Hijau pada perlakuan naungan 25% maupun 50% pada MT-1 maupun MT-2. Hasil ini menunjukkan bahwa Klungkung Hijau lebih unggul dalam menghasilkan biji dibanding genotipe yang lain dalam situasi cahaya yang manapun. Klungkung Hijau bahkan mengungguli varietas yang telah dilepas sebagai varietas unggul nasional, yaitu Pangrango (T=toleran) dan Wilis (T=toleran). Karena itu Klungkung Hijau bisa dipilih sebagai varietas yang dikembangkan di lahan yang berintensitas cahaya rendah. Pengelompokan tanaman berdasarkan keunggulan produktivitas biji aktual adalah sebagai berikut. Pada MT-1, kelompok kedua yang unggul dalam produktivitas setelah Klungkung Hijau (P) adalah Godek (P), Ceneng (T), dan Pangrango (T) yaitu unggul pada kontrol, naungan 25% dan 50%. Pada MT-2, kelompok kedua yang unggul dalam produktivitas setelah Klungkung Hijau adalah Pangrango (T), yaitu unggul pada situasi normal, naungan 25%, dan 50%. Kelompok ketiga adalah Wilis (M), Tampomas (T), MLG2999 (P), dan Godek (P). Sedangkan kelompok keempat adalah Ceneng (T) dan B613 (T). Secara umum naungan menyebabkan penurunan produktivitas semua genotipe kedelai yang diuji. Hal ini sesuai dengan kesimpulan umum Baharsyah et al (1985), Sunarlim (1985) pada varietas Williams dan Pella, serta Sopandie et al (2002) pada banyak varietas berbeda yang menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya dapat menurunkan hasil biji kedelai. Semakin besar naungan penurunan semakin besar juga, sehingga pada naungan 75% penurunannya melebihi 90% dan antara semua genotipe kedelai berproduksi tidak berbeda nyata. Semua genotipe berada dalam satu kelompok produksi (Gambar 10 dan 11). 54 Produkltivitas biji (g/tnm) 24 18 12 6 0 Kontrol Ceneng Wilis Pangrango 25% 50% Klungkung Hijau Tampomas MLG299 75% B613 Godek Gambar 10. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet pada musim tanam 1 55 16 Produktivitas biji (g/tnm) 12 8 4 0 Kontrol Ceneng Wilis Pangrango 25% Klungkung Hijau Tampomas MLG299 50% 75% B613 Godek Gambar 11. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada empat tingkat naungan paranet pada musim tanam II Hasil penelitian Sopandie et al (2002 juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau berproduksi tertinggi dibanding yang lain pada situasi normal. Dalam penelitian tersebut juga 56 ditunjukkan bahwa produktivitas Klungkung Hijau yang menurut Sopandie et al (2002) peka menurun drastis pada naungan 50%, namun secara aktual masih lebih tinggi dibanding Pangrango (toleran) dan B613 (toleran). Kesimpulan tersebut tidak bertentangan dengan penggolongan ketenggangan karena penentuan ketenggangan berdasarkan persentase hasil terhadap kontrol (Sopandie et al, 2002). Pada MT-1 Wilis (T), Pangrango (T), MLG2999 (P) dan Tampomas (T) mengalami peningkatan produktivitas pada naungan 50%. Penyimpangan yang terjadi pada Wilis diduga karena benih pada MT-1 tidak seragam yang disebabkan oleh penurunan viabilitas. Selain itu, serangan hama belalang pada MT-1 membuat kerusakan pada tanaman kontrol, serta kerusakan pada tanaman lain secara tidak seragam. Karena itu data produktivitas pada MT1 tidak digunakan pada pembahasan lebih lanjut. Untuk pembahasan lebih lanjut data yang digunakan adalah data pada MT-2. Data pada MT-2 menunjukkan bahwa pada naungan 25% dan 50% produktivitas tinggi ada pada Klungkung Hijau (peka) dan Pangrango (toleran). Naungan 50% menyebabkan penurunan produktivitas secara nyata (Tabel 2) pada genotipe B613 (toleran) dan Godek (peka), tetapi tidak nyata pada MLG 2999 (peka), Klungkung Hijau (peka), Wilis (moderat), Pangrango (toleran), Tampomas (toleran), dan Ceneng (toleran). Hasil penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan Ceneng, Pangrango, dan Tampomas sebagai toleran dan Godek sebagai peka. Hasil ini berbeda dengan Sopandie et al (2002) dalam penggolongan Klungkung Hijau dan MLG 2999 yang tergolong peka ternyata toleran dalam penelitian ini serta B613 yang tergolong toleran ternyata peka dalam penelitian ini. Karena itu penggolongan Klungkung Hijau, MLG 2999, dan B613 belum stabil dan memerlukan pengujian lebih lanjut. Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase penurunan produktivitas berkisar antara 25 – 35%. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Godek (peka), yaitu sebesar 36%, sedangkan terkecil terdapat pada Ceneng (toleran) dan Klungkung Hijau, yaitu 25%. Hasil penelitian ini sama dengan Sopandie et al (2002) dan Handayani (2003) yang menyatakan bahwa Ceneng (T) mengalami penurunan terkecil (paling toleran), sedangkan Godek (P) mengalami penurunan terbesar atau paling peka. Namun hasil ini berbeda dalam besarnya persentaase penurunan pada genotipe toleran (Ceneng, B613, Pangrango, dan Tampomas). Dalam penelitian ini Ceneng (P) mengalami penurunan 25%, sedangkan 57 penelitian Sopandi et al (2002) kurang dari 5%. Perbedaan juga terdapat pada genotipe Klungkung Hijau (P) dan B613 (T). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penurunan produktivitas Klungkung Hijau (P) rendah dan tidak nyata atau bisa dinyatakan sebagai toleran, sedangkan B613 (T) mengalami persentase penurunan yang besar dan nyata sehingga bisa digolongkan sebagai genotipe peka. Perilaku genotipe Ceneng yang mengalami persentase penurunan terendah dan Godek yang mengalami penurunan tertinggi setelah diberi perlakuan naungan juga sama dengan hasil Khumaida (2002). Perilaku MLG 2999 yang mengalami penurunan kecil juga sama dengan Khumaida (2002). Hasil ini berbeda dengan Khumaida (2002) dalam hal perilaku genotipe Wilis dan B613. Hasil penelitian Khumaida genotipe Wilis mengalami penurunan terbesar sehingga bisa dikatakan peka, sedangkan B613 penurunan sedang atau bisa digolongkan toleran. Karena itu disimpulkan bahwa Ceneng konsisten toleran dan Godek konsisten peka. Selanjutnya Ceneng dan Godek bisa mewakili kelompok toleran dan peka. Genotipe lain yang konsisten toleran adalah Pangrango dan Tampomas. Genotipe yang tidak stabil dan memerlukan pengujian lebih lanjut adalah Klungkung Hijau, MLG299, dan B613. Tabel 2. Produktivitas biji delapan genotipe kedelai pada kontrol dan naungan 50% (g/tanaman) Kontrol Naungan 50% Persen penurunan terhadap kontrol 1. Ceneng (T) 2. B 613 (T) 10.57 10.36 7.92 7.37 * 25 29 3. Pangrango (T) 14.05 9.93 29 4. Tampomas (T) 12.03 8.73 27 5. Wilis (M) 11.26 8.08 28 6. Mlg 2999 (P) 11.31 8.13 28 7. Klungkung Hijau (P) 15.70 11.81 25 8. Godek (P) 11.90 7.67 * 36 Genotipe Ket:. Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log 58 Secara singkat hasil penelitian 1 menunjukkan bahwa Ceneng (T) konsisten sebagai genotipe paling toleran, sedangkan Godek (P) paling peka. Selanjutnya, kedua genotipe tersebut bisa menjadi model untuk mewakili masing-masing sebagai kelompok genotipe toleran dan peka. Genotipe lain yang konsisten toleran adalh Pangrango dan Tampomas. Meskipun Klungkung Hijau dan Ceneng sama-sama toleran intensitas cahaya rendah, namun secara aktual produktivitas. Klungkung Hijau lebih baik. Produktivitas Klungkung Hijau yang tinggi tetap terjadi pada situasi normal maupun ternaungi 25% dan 50%. Pada situasi normal Klungkung menghasilkan biji 15.7 g per tanaman, sedangkan produktivitas biji Ceneng 10.6 g per tanaman. Penelitian 2. Perubahan Struktur Daun untuk Mekanisme Penghindaran Mekanisme penghindaran merupakan respon tanaman terhadap cekaman intensitas cahaya rendah dengan meningkatkan penangkapan cahaya sehingga jaringan tanaman terhindar dari defisit cahaya. Mekanisme penghindaran bisa dicapai tanaman melalui perubahan anatomi dan morfologi daun serta aparatus fotosintesis yang berfungsi menangkap cahaya (Levitt, 1980). Respon terhadap Cekaman Naungan Sejak Tanam sampai Panen Respon tanaman terhadap naungan 25%, 50%, dan 75% diperlihatkan pada Lampiran 13 – 15. Berhubung menunjukkan pengaruh yang nyata interaksi antara naungan dan genotipe ditunjukkan lebih lanjut pada Lampiran 18 dan 20. Khusus untuk respon terhadap naungan 50% melalui perubahan ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan kandungan klorofil dibahas lebih lanjut dan dipaparkan pada Tabel 3 - 5. Genotipe yang paling banyak mengalami perubahan nyata sebagai respon terhadap naungan 50% adalah Tampomas (toleran), yaitu tiga perubahan nyata. B613 (toleran) dan Godek (peka) mengalami satu perubahan nyata. Tebal dan Luas Helai daun Tabel 3 memperlihatkan pengaruh naungan 50% terhadap tebal dan luas helai daun trifoliat. Persentase pengurangan ketebalan daun pada genotipe toleran umumnya secara nyata lebih besar daripada kelompok peka. Semua genotipe mengalami penurunan 59 ketebalan daun. Namun penurunan yang nyata hanya terjadi pada Ceneng (toleran), B613 (toleran), Wilis (moderat), Tampomas (toleran), dan Godek (peka). Dari tabel bisa dilihat bahwa pada naungan 50% semua genotipe mempunyai ketebalan daun antara 0.06 – 0.08 mm, sementara itu pada kondisi normal antara 0.10 – 0.15 mm. Umumnya, genotipe yang mengalami persentase penurunan ketebalan daun terbesar memiliki tebal daun yang besar pada situasi normal. Penurunan ketebalan pada Ceneng juga lebih besar dibanding Godek. Penurunan itu disebabkan oleh penipisan lapisan palisade daun sebagaimana terlihat pada Gambar 12. Tabel 3. Pengaruh naungan 50% terhadap ketebalan dan luas helai daun kedelai Tebal daun (mm) Genotipe Kontrol Luas daun (cm2) Naungan 50% Kontrol Naungan 50% 1. Ceneng (T) 0.163 0.070 * (57) a 116 147 (-26) ab 2. B 613 (T) 0.143 0.063 * (56) a 131 132 (0) a 3. Pangrango (T) 0.107 0.063 (41) ab 90 138 * (-54) c 4. Tampomas (T) 0.117 0.063 * (46) ab 91 138 * (-52) c 5. Wilis (M) 0.147 0.067 * (55) a 115 134 (-17) ab 6. Mlg 2999 (P) 0.097 0.067 (25) b 75 100 (-33) bc 7. Klungkung Hijau (P) 0.123 0.077 (38) ab 143 151 (-6) ab 8. Godek (P) 0.093 0.070 * (25) b 99 111 (-13) ab Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin y untuk kedua variabel Data pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa perlakuan naungan 50% menyebabkan peningkatan luas daun kedelai kecuali pada B613 (toleran). Peningkatan luas helai daun 60 antara dua genotipe yang memiliki selang perbedaan besar yaitu Ceneng (T) dan Godek (P) tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa persentase peningkatan luas daun pada genotipe Pangrango (toleran) dan Ceneng (toleran) lebih besar dibanding dengan Godek (peka). Karena itu disimpulkan perluasan helai daun tidak konsisten sebagai kriteria yang menentukan bagi mekanisme adaptasi melalui penghindaran. Bobot Spesifik, Kerapatan Bulu dan Stomata Daun Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun (BSD), kerapatan bulu, dan kerapatan stomata disajikan pada Tabel 4. Umumnya kedelai mengalami penurunan BSD bila dinaungi. Dalam penelitian ini penyimpangan terjadi pada B613 (toleran) dan Tampomas (toleran), yaitu tidak mengalami penurunan BSD, tetapi malah meningkat. Hasil penelitian umumnya menunjukkan penurunan BSD pada tanaman yang dinaungi sebagaimana disimpulkan oleh Givnish et al (1988). Hasil penelitian pada manggis (Wiebel et al, 1994), Amborella trichopoda (Field et al, 2001) dan Barringtonia (Feng et al, 2004) menunjukkan bahwa naungan menyebabkan penurunan BSD. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Sunarlim (1988) yang menunjukkan naungan tidak berpengaruh nyata terhadap BSD. Hampir semua (kecuali MLG299 dari genotipe yang diuji pada penelitian ini juga menunjukkan BSD tidak berbeda nyata antara yang dinaungi 50% dan kontrol. Diduga saat diamati kandungan karbohidrat bisa menambah bobot (dibahas lebih lanjut pada sub bab Pembahasan Umum). Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase penurunan BSD pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek. Penurunan ini berarti untuk masa daun yang sama (tetap) luas daunnya bertambah. Luas daun bertambah menunjukkan upaya tanaman memperluas permukaan areal penerimaan cahaya sehingga tanaman bisa memanfaatkan cahaya yang langka. Berhubung data menunjukkan bahwa genotipe peka cenderung mengalami persentase penurunan BSD lebih besar daripada peka (kecuali antara Ceneng dan Godek), maka variabel BSD bukanlah faktor yang menentukan dalam mekanisme penghindaran. Namun, ada kemungkinan juga kandungan karbohidrat dalam daun ikut berperan menambah bobot daun, sehingga terjadi penyimpangan. Pengambilan sampel mungkin lebih baik pada pagi hari sebelum daun kedelai memiliki laju fotosintesis tinggi. 61 Tabel 4. Pengaruh naungan 50% terhadap bobot spesifik daun, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata Bobot spesifik daun Kerapatan bulu Kerapatan stomata Genotipe Kontrol Naungan ------ g/dm2 ------ Kontrol Naungan Kontrol Naungan ---- per 10 mm2 --- ----- per mm2 ---- 1. Ceneng (T) 0.337 0.230 (32) a 13 7* (49) a 277 244 (12) c 2. B 613 (T) 0.227 0.250 (-9) b 19 17 (10) a 313 263 (16) bc 3. Pangrango (T) 0.187 0.177 (5) b 13 15 (-10) b 270 238 (12) c 4. Tampomas (T) 0.197 0.263 (-34) c 26 13 * (51) a 288 228 (21) abc 5. Wilis (M) 0.283 0.187 (34) a 17 11 * (37) a 310 214 (31) ab 6. Mlg 2999 (P) 0.213 0.130 * (39) a 12 7* (41) a 306 250 (18) abc 7. Klungkung (P) 0.283 0.187 (34) a 12 12 (3) ab 339 219 * (35) a 8. Godek (P) 0.200 0.203 (0) b 17 15 (10) a 284 263 * (8) c Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin y, log y, dan Arcsin y untuk variabel BSD, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata Pada penelitian ini sampel daun diambil pada jam 10.00. Pada jam 09.30 intensitas cahaya di bawah paranet 50% adalah 0.393 kal cm-2 mnt-1 (Tabel 20), sedangkan intensitas cahaya yang memberi fotosintesis optimum berkisar antara 0.3 – 0.8 kal cm-2 mnt-1 (White dan Izquierdo, 1993). Penelitian Sunarlim (1985) menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan perubahan pada BSD. Jadi. respon tanaman terhadap naungan dalam bentuk perubahan BSD bervariasi. Antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka) terjadi perbedaan persentase 62 penurunan bobot spesifik yang nyata. Namun keduanya tidak mengalami perubahan BSD yang nyata pada naungan 50%. Ceneng Ceneng Cahaya normal Godek Naungan 50% Godek Cahaya normal Naungan 50% Gambar 12. Penampang melintang daun kedelai genotipe Ceneng (toleran) dan Godek (peka) pada kontrol dan naungan paranet 50% (400 X) bar =0.05 mm 63 Kerapatan bulu daun cenderung menurun pada perlakuan naungan 50% (Tabel 4). Penyimpangan terjadi pada Pangrango. Pada Pangrango kerapatan bulu daun malah meningkat sebesar 10%. Dari kelompok toleran, yang mengalami penurunan kerapatan bulu daun secara nyata adalah Ceneng dan Tampomas, sedangkan dari kelompok peka adalah MLG2999. Persentase penurunan kerapatan bulu pada Ceneng (toleran) lebih besar dibanding dengan Godek (peka), tetapi tidak berbeda nyata secara statistik. Hasil ini berbeda dengan Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa persentase penurunan kerapatan bulu saat 6 – 8 MST lebih tinggi pada Godek dibanding Ceneng dan Pangrango. Yang menarik pada hasil penelitian Sopandie et al (2005) adalah pada pengamatan saat 4 - 6 MST kerapatan bulu pada kedelai yang dinaungi meningkat. Jadi kemungkinan terjadi variasi pada kerapatan bulu cukup besar, sebagaimana diketahui bahwa pada penelitian ini sampel daun diambil saat kedelai berumur 30 HST atau sekitar 4 MST. Tanaman yang ternaungi memiliki kerapatan bulu daun lebih sedikit. Bulu pada daun bisa memantulkan cahaya kembali ke atmosfer. Karena itu penurunan kerapatan bulu daun bisa mengurangi cahaya yang dipantulkan atau penyerapan cahaya oleh daun meningkat (Hale dan Orcutt, 1987; Bolhar-Nordenlampf dan Draxler, 1993). Jadi, penurunan bulu daun merupakan adaptasi tanaman melalui penghindaran kekurangan cahaya (Levitt, 1981). Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok genotipe toleran dan kelompok peka. Hal ini berarti bahwa kerapatan bulu kurang penting dalam menentukan mekanisme penghindaran. Diduga cahaya yang dipantulkan kembali oleh bulu daun bisa ditangkap oleh helai daun lain pada tanaman yang sama. Semua genotipe mengalami penurunan kerapatan stomata bila dinaungi paranet 50% sejak tanam. Namun, penurunan yang nyata hanya terjadi pada Klungkung Hijau (peka). Penurunan terbesar terjadi pada Klungkung Hijau (peka) yang berbeda nyata dengan Ceneng (toleran), Pangrango (toleran), dan Godek (peka). Hasil ini hampir sama dengan Sopandie et al, (2002) yang menunjukkan bahwa genotipe peka mengalami penurunan stomata lebih besar dibanding genotipe toleran. Perbedaannya adalah bahwa pada penelitian disertasi ini penurunan stomata tidak berbeda nyata antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka). 64 Stomata merupakan lubang pintu pada daun untuk pertukaran gas antara atmosfer dan bagian dalam daun (Gardner et al, 1990). Kerapatan stomata pada hasil penelitian ini mendekati sama dengan kesimpulan Lersten dan Carlson (1987) yang menyatakan bahwa kerapatan stomata kedelai daun bagian bawah rata-rata 316 per mm2. Selanjutnya, hasil yang menunjukkan bahwa kerapatan stomata berkurang bila kedelai ditempatkan pada tempat lebih gelap sesuai dengan Lersten dan Carlson (1987) Stomata berhubungan dengan pertukaran gas CO2 yang menjadi bahan baku fotosintesis daun. Semakin banyak dan lebar pembukaan stomata semakin tinggi daya hantar sehingga pertukaran CO2 semakin tinggi (Taiz dan Zeiger, 1991). Dalam lingkungan defisit cahaya laju pertukaran gas bukanlah faktor pembatas. Kerapatan stomata tidak berhubungan langsung dengan penangkapan cahaya. Karena itu penurunan kerapatan stomata bukanlah termasuk mekanisme penghindaran walaupun bisa menentukan tingkat laju fotosintesis.. Kandungan Klorofil Daun Kandungan klorofil daun dipaparkan pada Tabel 5. Semua genotipe mengalami peningkatan kandungan klorofil a dan klorofil b. Namun peningkatannya tidak nyata. Persentase peningkatan klorofil a antar genotipe sama. Untuk kandungan klorofil b, ternyata B613 (T) yang peningkatannya terhadap kontrol tidak nyata, persen peningkatan kandungan klorofil b lebih besar daripada Godek (P). Karena itu diduga peningkatan kloriofil b ini yang menentukan adaptasi B613 sehingga toleran terhadap naungan. Persentase peningkatan klorofil b yang lebih tinggi dibanding persentase kenaikan klorofil a menyebabkan rasio klorofil a terhadap klorofil b (klorofil a/b) daun semakin kecil pada tanaman yang diberi naungan. Semua genotipe mengalami penurunan rasio klorofil a/b. Hanya MLG2999 (peka) yang tidak mengalami penurunan. Pesentase penurunan terbesar terdapat pada Klungkung (peka). Rata-rata persentase penurunan rasio klorofil a/b tidak berbeda nyata antara kelompok toleran dan peka. Secara umum hasil penelitian ini tidak bertentangan dengan kesimpulan Givnish et al 1988) dan hasil penelitian pada manggis (Wiebal et al, 1994), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998), padi (Lautt, 2000) dan kedelai (Sopandie et al, 2002) yang menunjukkankan bahwa naungan meningkatkan kandungan klorofil a dan klorofil b. 65 Tabel 5. Pengaruh naungan terhadap kandungan klorofil daun delapan genotipe kedelai Klorofil a (mg/g) Klorofil b (mg/g) Rasio klorofil a/b Genotipe 1. Ceneng (T) Kontrol Naungan Kontrol Naungan Kontrol Naungan 1.43 2.05 0.56 0.86 2.43 2.28 (43) (53) ab (-6) ab 2. B 613 (T) 1.25 1.96 (57) 0.49 0.82 (67) a 2.47 2.31 (-6) ab 3. Pangrango (T) 1.24 1.69 (45) 0.46 0.69 (51) ab 2.43 2.33 (-4) ab 4. Tampomas (T) 1.27 1.73 (36) 0.51 0.72 (42) ab 2.36 2.30 (-3) ab 5. Wilis (M) 1.28 1.49 (17) 0.51 0.62 (22) b 2.45 2.34 (-4) ab 6 Mlg 2999 (T 1.24 1.94 (56) 0.53 0.76 (44) ab 2.35 2.42 (3) b 7 Klungkung Hijau (P) 1.11 1.83 (64) 0.43 0.79 (83) a 2.63 2.25 (-15) a 8 Godek (P) 1.22 1.66 (36) 0.51 0.69 (35) b 2.32 2.38 (2) ab Ket: Tanda *) berarti berbeda nyata dengan kontrol pada uji t 5%. Angka dalam kurung menunjukkan persentase peningkatan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log y, log y, dan arcsin y untuk variabel klorofil a, klorofil b, dan rasio klorofil a/b Penurunan rasio klorofil a/b terjadi juga pada tanaman lain seperti tanaman tahunan berbentuk pohon talas (Johnston dan Onwueme, 1998), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998) dan Arabidopsis (Weston et al, 2000). Penurunan rasio klorofil a/b dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya bagi tanaman secara keseluruhan. Klorofil b lebih efisien dalam menangkap cahaya dibanding dengan klorofil a sehingga respon tanaman lebih diarahkan untuk meningkatkan klorofil b (Hidema et al, 1992 dan Taiz dan Zeiger, 1991). Secara rata-rata persentase peningkatan klorofil a dan b tidak berbeda nyata antara kelompok genotipe toleran dan kelompok peka. Namun begitu, Godek (P) terbukti 66 mengalami persentase peningkatan lebih rendah dibanding yang lain. Karena itu peningkatan kandungan klorofil merupakan ciri bagi mekanisme penghindaran yang akan tampak berbeda bila dibandingkan antara genotipe yang ketenggangannya ekstrim. Pengaruh cahaya terhadap pembentukan klorofil meliputi dua proses (Gambar 4 pada Bab Tinjauan Pustaka) yaitu pada pengekspresian gen cab dan pada perubahan protoklorofilida (Pchl) menjadi klorofil (Mohr dan Schopfer, 1995). Selanjutnya, klorofil b bisa terbentuk dari bahan klorofil a (Gambar 5). Hambatan pembentukan gen cab bisa disebabkan oleh tingkat kandungan karbohidrat yang tinggi (Madore, 1997). Hal ini bisa menjelaskan fenomena rendahnya kandungan klorofil pada intensitas cahaya tinggi. Pada intensitas cahaya tinggi laju fotosintesis bisa mencapai maksimum dan menghasilkan banyak karbohidrat. Karbohidrat tinggi ini selanjutnya diduga menghambat pembentukan gen cab sehingga pembentukan klorofil berkurang. Sebaliknya, pada intensitas cahaya rendah pembentukan gen cab sedikit dihambat oleh karbohidrat sehingga pembentukan klorofil juga berlangsung lebih tinggi daripada pada intensitas cahaya tinggi. Secara statistik rasio kandungan klorofil a/b delapan genotipe pada kondisi kontrol tidak berbeda nyata. Perlakuan naungan 50% tidak mengubah rasio kandungan klorofil a terhadap b. Kecuali Godek (P) dan MLG2999 (P) semua genotipe cenderung mengalami penurunan rasio klorofil a/b setelah dinaungi 50%. Secara rata-rata persentase perubahan (penurunan) rasio kandungan klorofil a/b antara kelompok toleran dan peka tidak berbeda nyata. Persentase penurunan terbesar terdapat pada Klungkung Hijau (P), sementara terendah pada MLG2999 (P) dan Godek (P). Di sini terlihat bahwa genotipe toleran efektif menangkap cahaya pada kondisi langka cahaya dengan mempertinggi proporsi perubahan pada klorofil b. Data ini juga menunjukkan bahwa Klungkung Hijau berperilaku seperti pada genotipe toleran. Hasil ini berbeda dengan penelitian Sopandie et al (2002) dan Sopandie et al (2005) yang menunjukkan bahwa rasio klorofil a/b mengalami penurunan lebih besar pada genotipe peka dibanding toleran. Jadi, tampaknya yang menentukan mekanisme penghindaran adalah kandungan klorofil a dan b aktual. Dalam hal ini, baik hasil penelitian ini maupun penelitian Sopandie et al (2002) menunjukkan bahwa secara umum genotipe toleran mengalami persentase peningkatan kandungan klorofil a dan b lebih tinggi dibanding genotipe peka, terutama bila perbandingannya antara Ceneng (konsisten toleran) dan Godek (konsisten peka). 67 Meskipun tidak selalu nyata, semua genotipe baik dari kelompok toleran maupun peka mengalami perubahan karakter daun menuju yang lebih sesuai untuk intensitas cahaya rendah. Secara rata-rata kelompok genotipe toleran menunjukkan perubahan yang lebih besar secara nyata pada variabel tebal daun. Sementara itu pada variabel BSD, luas daun, kerapatan bulu daun, klorofil a dan klorofil b, terjadi variasi pada genotipe toleran maupun peka. Untuk variabel yang tidak berkaitan langsung dengan mekanisme penghindaran, seperti stomata persentase penurunannya tidak berbeda nyata. Masing-masing genotipe berbeda-beda dalam merespon intensitas cahaya rendah. Genotipe dari kelompok genotipe toleran tidak selalu mengalami perubahan yang nyata pada variabel karakteristik daunnya bila dinaungi 50%. Sebaliknya, kelompok genotipe pada kelompok peka ternyata bisa mengalami perubahan yang nyata, sementara genotipe pada kelompok toleran tidak nyata. Genotipe toleran naungan tidak selalu mengalami perubahan karakter daun yang lebih besar dalam rangka mekanisme penghindaran yang lebih baik. Hanya variabel ketebalan daun yang menunjukkan persentase perubahan yang lebih besar dan nyata pada kelompok toleran. Karena itu, hanya ketebalan daun yang menunjukkan perubahan struktur daun yang penting bagi mekanisme penghindaran terhadap intensitas cahaya rendah. Respon terhadap Perlakuan Variasi Pergiliran Gelap-Terang Pengukuran ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu, dan kerapatan stomata dan kandungan klorofil pada kondisi kontrol berbeda antara percobaan I dan percobaan II. Ketebalan daun, luas helai daun, bobot spesifik, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun tanaman pada percobaan II lebih tinggi daripada percobaan I. Hal ini karena tanaman pada percobaan II lebih subur daripada pada percobaan I. Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap terang terhadap ketebalan daun, luas daun, bobot spesifik, bulu daun, dan stomata ditunjukkan pada Tabel 6 – 10. Pada Tabel 6 dan Lampiran 16 terlihat bahwa perlakuan variasi pergiliran gelap – terang tidak selalu berpengaruh nyata terhadap ketebalan daun. Perbedaan persentase pengurangan ketebalan daun antar kelompok tidak nyata. Meskipun tidak selalu nyata, terdapat kecenderungan bahwa perlakuan gelap 3 hari dalam variasi pergiliran manapun dapat menyebabkan penurunan ketebalan daun. 68 Pada Perlakuan TGN persentase penurunan ketebalan tidak berbeda nyata antar genotipe. Pada perlakuan GTG persentase penurunan ketebalan pada Godek lebih tinggi daripada pada B613. Pada perlakuan TGT terjadi perbedaan persentase pengurangan ketebalan antara B613 dan Pangrango. Tabel 6. Ketebalan daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mm) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 0.20 0.16 (20) 0.20 (0) ab 0.15 (26) ab 0.13 (38) 2. B613 (T) 0.18 0.14 (23) 0.15 (17) a 0.17 (4) b 0.16 (19) 3. Pangrango (T) 0.17 0.18 (-4) 0.19 (-12) b 0.13 (28) ab 0.15 (15) 4. Godek (P) 0.19 0.14 (23) 0.17 (11) ab 0.11 (41) a 0.13 (29) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=TerangGelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Ketebalan daun yang lebih kecil diduga karena pengembangan sel yang kurang. Sebagaimana diungkapkan oleh Taiz dan Zeiger (1991) pembesaran sel disebabkan oleh tekanan hidrostatis yang mengarah keluar setelah sejumlah air berdifusi ke dalam sel. Diduga air yang berdifusi pada perlakuan gelap lebih kecil karena karbohidrat yang kecil juga menarik air lebih sedikit. Perlakuan gelap 3 hari dalam urutan pergiliran manapun tidak berpengaruh nyata terhadap luas daun, meskipun ada kecenderungan menurunkan luas daun (Tabel 7 dan Lampiran 9). Pada perlakuan GTG penurunan pada Godek lebih tinggi. Penjelasan pada ketebalan daun juga berlaku di sini, yaitu kandungan air yang sedikit menyebabkan tekanan hidrostatis yang lebih kecil sehingga sel tidak membesar pada perlakuan gelap. 69 Beberapa penyimpangan bisa dijelaskan sebagai berikut. Penelitian pada Arabidobsis (Weston et al, 2000) mengungkapkan bahwa pengaruh intensitas cahaya terhadap anatomi daun bisa terlihat bila perlakuan defisit cahaya terjadi selama 6 hari. Dalam penelitian ini, perlakuan gelap-terang bergiliran selama 3 hari. Jadi, dalam waktu 9 hari perlakuan terjadi respon yang berubah-rubah sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan. Tabel 7. Luas helai daun trifoliat pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (cm2) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 139 152 (-9) 118 (15) 142 (-2) b 130 (7) 2. B613 (T) 139 119 (14) 128 (8) 137 (1) ab 121 (13) 3. Pangrango (T) 102 123 (-21) 116 (-14) 91 (11) ab 106 (-4) 4. Godek (P) 133 123 (8) 109 (19) 87 (35) a 113 (16) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%..Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-GelapTerang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Perlakuan gelap berpengaruh nyata terhadap bobot spesifik daun (Tabel 8 dan Lampiran 16). Respon kelompok genotipe toleran dan peka tidak berbeda nyata. Perlakuan gelap dalam variasi pergiliran manapun asal tidak diberi terang tiga hari di akhir menyebabkan penurunan bobot spesifik daun (bobot/luas). Penurunan yang nyata ini tidak hanya disebabkan oleh penipisan daun tetapi juga karena kehilangan massa dalam internal daun dan kandungan karbohidrat berkurang. Perlakuan cahaya tiga hari di urutan terakhir menyebabkan bobot spesifik daun seperti kontrol. Urutan gelap atau terang di urutan akhir menunjukkan bahwa faktor massa hasil fotosintesis (karbohidrat) diduga ikut menentukan bobot spesifik daun. Pembahasan lebih lanjut dikemukakan pada sub Bab Pembahasan Umum 70 Hasil ini menunjukkan bahwa sinyal lingkungan gelap mungkin telah ditangkap oleh tanaman. Namun saat itu perumbuhan jaringan tinggal ditentukan oleh pembesaran sel karena pembelahan sel telah selesai. Karena itu panjang sel palisade ditentukan oleh dinding sel yang sedang mengembang karena tekanan hidrostatis. Tabel 8. Bobot spesifik daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (g/dm2) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 0.80 0.48 (40) a 0.80 (0) 0.59 (26) 0.61 (24) 2. B613 (T) 0.90 0.70 (22) b 0.74 (17) 0.74 (18) 0.72 (20) 3. Pangrango (T) 0.73 0.50 (32) ab 0.74 (-2) 0.59 (18) 0.56 (22) 4. Godek (P) 0.68 0.50 (26) ab 0.72 (-6) 0.50 (26) 0.61 (10) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Kerapatan bulu daun tidak dipengaruhi oleh perlakuan gelap 3 hari. (Tabel 9 dan Lampiran 9). Hal itu dibuktikan lagi bahwa persentase penurunan tidak berbeda nyata antar genotipe. Bulu daun termasuk sel epidermis daun (Taiz dan Zeiger, 1991). Jadi perbedaan kerapatan bulu daun adalah merupakan variasi antar jaringan epidermis daun. Pengaruh perlakuan variasi pergiliran gelap-terang terhadap kerapatan stomata diperlihatkan pada (Tabel 10 dan Lampiran 9). Persentase penurunan karena perlakuan gelap juga tidak berbeda nyata antar genotipe, sehingga antar kelompok juga sama. Jadi, perbedaan kerapatan stomata hanya disebabkan oleh variasi dalam tanaman atau dalam genotipe yang sama. Tabel 9. Kerapatan bulu daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (bulu/ 10 mm2) 71 TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 22 16 (25) 9 (58) 16 (29) 8 (63) 2. B613 (T) 26 31 (-19) 26 (2) 26 (-2) 30 (-15) 3. Pangrango (T) 22 20 (12) 19 (13) 22 (0) 18 (18) 4. Godek (P) 18 20 (-12) 21 (-16) 18 (-1) 19 (-5) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Perlakuan variasi pergiliran gelap terang berpengaruh terhadap kandungan klorofil a daun kedelai (Tabel 11 dan Lampiran 13). Respon kelompok toleran dan kelompok peka tidak berbeda nyata. Secara umum perlakuan gelap yang digilir dengan terang dalam variasi apapun menyebabkan penurunan kandungan klorofil a daun. Kerusakan terkecil terdapat pada B613 (toleran). Gelap dapat menyebabkan kerusakan pigmen sistem fotosintesis (Levitt, 1980), termasuk klorofil a. Penelitian Lautt (2003) juga menunjukkan bahwa klorofil mengalami penurunan pada perlakuan penggelapan. Pada perlakuan gelap tiga hari sebanyak dua kali persentase penurunannya juga lebih besar dibanding gelap tiga hari yang hanya sekali. Penelitian Khumaida (2002) mengungkapkan bahwa pada kondisi gelap gen pembentuk LHC yang berisi klorofil tidak terbentuk. Klorofil bisa mengalami kerusakan yang menyebabkan kandungan klorofil berkurang, tetapi juga mengalami perbaikan yang menyebabkan peningkatan kandungan klorofil. Perlakuan gelap juga menyebabkan kandungan klorofil b turun. Penurunan nyata terjadi pada Ceneng (T), Pangrango (T), dan Godek (P). Seperti klorofil a, klorofil b juga mengalami kerusakan pada lingkungan gelap. Persentase penurunan terkecil pada perlakuan gelap tiga hari dijumpai pada B613 yang berbeda nyata dengan Ceneng dan Pangrango. Persentase penurunan klorofil a dan klorofil b sama sehingga rasio klorofil a tetap. Seperti 72 pada klorofil a, perlakuan gelap dua kali menyebabkan kerusakan klorofil b lebih besar dibanding perlakuan gelap satu kali. Pada naungan 25% - 75% terus menerus sejak tanam (percobaan I) kedelai beradaptasi dengan meningkatkan kandungan klorofil a dan b daun. Seperti telah diungkapkan di atas, naungan ekstrim (gelap) bisa menyebabkan kerusakan pigmen. Genotipe B613 tidak mengalami perubahan kandungan klorofil a dan klorofil b atau mengalami persentase penurunan terkecil dibanding yang lain, yang berarti tidak mengalami kerusakan pigmen secara nyata. Tabel 10. Kerapatan stomata daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (stomata per mm2) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 223 233 (-4) 219 (2) 152 (32) 192 (14) 2. B613 (T) 184 160 (13) 184 (0) 188 (-2) 145 (21) 3. Pangrango (T) 195 191 (2) 179 (8) 192 (2) 217 (-11) 4. Godek (P) 168 153 (9) (159 (5) 183 (-9) 166 (1) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log . T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Perlakuan TGN dan TGT bisa mengambarkan adanya pemulihan kembali setelah ada kerusakan karena gelap (cekaman ekstrim). Dari Tabel 11 tampak bahwa kandungan klorofil a pada perlakuan naungan atau terang setelah perlakuan gelap (TGN atau TGT) cenderung lebih tinggi pada Ceneng dan Godek, dibanding Pangrango. Dalam istilah Levitt (1980 ), kerusakan klorofil karena cekaman defisit cahaya ekstrim merupakan strain elastis, yaitu perubahan (kerusakan) yang dapat diperbaiki kembali. Hal ini juga tampak dari pengamatan warna daun. Satu hari setelah tanaman dipindahkan dari ruang gelap ke lapangan maka daun yang semula pucat dan layu kembali hijau dan segar. 73 Tabel 11. Kandungan klorofil a daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 1.69 1.13 (33) a 1.76 (-4) b 1.06 (37) ab 1.46 (14) 2. B613 (T) 1.41 1.24 (12) b 1.19 (16) ab 1.21 (14) b 1.32 (6) 3. Pangrango (T) 1.76 1.28 (27) ab 1.21 (31) a 1.03 (41) a 1.40 (20) 4. Godek (P) 1.49 1.18 (21) ab 1.26 (15) ab 1.04 (30) ab 1.44 (3) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam Arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Pengamatan terhadap kandungan klorofil b menunjukkan fenomena yang sama dengan klorofil a yaitu perlakuan cahaya terang atau naungan cenderung menaikkan kembali kandungan klorofil b (Tabel 12 dan Lampiran 16). Kandungan klorofil b tidak mengalami perubahan nyata pada B613. Artinya, genotipe B613 mampu menghindar dari kerusakan pigmen. Dengan menggunakan teori Levitt (1980), maka B613 mampu beradaptasi terhadap cekaman defisit cahaya ekstrim dengan mekanisme toleransi, yaitu dengan menghindari kerusakan pigmen. Sementara pada Ceneng, Pangrango, dan Godek mengalami kerusakan. Kandungan klorofil b yang lebih tinggi pada TGN dan TGT dibanding GTG dan TTG membuktikan bahwa kerusakan itu bersifat elastis atau bisa pulih kembali pada Ceneng, Pangrango, dan Godek. Pada kontrol rasio klorofil a/b antar genotipe tidak berbeda nyata secara statistik. Perlakuan variasi pergiliran gelap-terang tidak mengubah rasio klorofil a/b pada Ceneng, Pangrango, B613, dan Godek. Persentase penurunan akibat perlakuan variasi pergiliran gelap-terang juga kecil dan sama pada semua perlakuan dan genotipe. 74 Tabel 12. Kandungan klorofil b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 0.62 0.41 (31) a 0.62 (0) 0.37 (41) a 0.54 (14) 2. B613 (T) 0.54 0.51 (6) b 0.43 (21) 0.45 (18) b 0.48 (12) 3. Pangrango (T) 0.75 0.48 (36) a 0.53 (30) 0.40 (47) a 0.56 (26) 4. Godek (P) 0.61 0.54 (12) b 0.51 (17) 0.40 (35) ab 0.58 (5) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Secara umum perlakuan gelap 3 hari tidak mengubah karakter anatomi dan morfologi daun yang berhubungan dengan mekanisme penghindaran. Hal ini karena struktur sel sudah terbentuk dan tidak mengalami perubahan kerusakan fisik. Sebaliknya, kandungan klorofil mengalami perubahan karena gelap bisa merusak klorofil. Terang 3 hari setelah gelap menyebabkan kandungan klorofil kembali seperti semula. Hal ini sesuai dengan Newcomb (1990), Gardner et al, (1990), dan Taiz dan Zeiger (1991) yang menyatakan bahwa klorofil bisa rusak dalam gelap. tetapi bisa pula mengalami perbaikan setelah cukup cahaya. Mohr dan Schopfer (1995) menunjukkan bahwa pembentukan klorofil mutlak memerlukan cahaya. Peran cahaya itu terdapat pada dua proses. Proses pertama yaitu pada perubahan fitokrom Pr menjadi Pfr yang aktif. Pfr adalah fitokrom yang penting dalam transkripsi gen untuk pembentukan klorofil. Proses kedua yang memerlukan cahaya reduksi protoklorofil (P Chl) menjadi klorofilida a (Chl). Lebih lanjut, Khumaida (2003) menunjukkan bahwa naungan 50% dapat menimbulkan ekspresi gen untuk komplek protein pemanen cahaya (LHCP), tetapi gelap 1 dan 3 hari tidak menyebabkan ekspresi gen tersebut. 75 Tabel 13. Rasio kandungan klorofil a/b daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 2.75 2.74 (0) 2.86 (-4) 2.89 (-5) 2.73 (1) 2. B613 (T) 2.62 2.43 (7) 2.76 (-5) 2.71 (-3) 2.76 (-5) 3. Pangrango (T) 2.38 2.69 (-13) 2.40 (-1) 2.57 (-8) 2.49 (-5) 4. Godek (P) 2.43 2.28 (6) 2.52 (-4) 2.61 (-7) 2.50 (-3) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada naungan 50% kedelai tidak mengalami perubahan struktur daun yang berkaitan dengan mekanisme penghindaran, kecuali ketebalan daun. Genotipe Ceneng (T) memiliki mekanisme lebih baik bila dibandingkan dengan Godek (P). Penelitian 3. Perubahan Fisologi sebagai Mekanisme Toleransi Pada kontrol aktivitas rubisco Ceneng lebih rendah daripada Godek walaupun tidak nyata. Naungan 50% menyebabkan aktivitas rubisco Ceneng dan Godek turun. walaupun tidak nyata. Genotipe peka kekurangan cahaya (Godek) mengalami persentase penurunan lebih besar yaitu sebesar 76%, dibandingkan yang toleran (Ceneng) yaitu 32%. Persentase penurunan itu tidak nyata pada DMRT 5%. Namun pada DMRT 10% persentase penurunan pada Godek nyata. Perbedaan persentase penurunan antara Ceneng dan Godek tidak nyata. Fenomena ini bisa dibandingkan dengan naungan pada padi. Pada padi naungan menyebabkan aktivitas rubisco turun, namun penurunan lebih besar pada padi yang peka naungan (Sopandie et al, 2003a). 76 Pada kondisi tanpa naungan kandungan sukrosa daun Ceneng dan Godek masingmasing 150 ppm dan 185 ppm. Penurunan sebesar 1% pada Ceneng dan 30% pada Godek secara statistik tidak nyata. Penelitian pada padi menunjukkan bahwa perlakuan naungan menyebabkan kandungan sukrosa turun pada genotipe peka, tetapi meningkat pada genotipe yang toleran naungan (Lautt, 2000). Dalam penelitian ini persentase penurunan kandungan sukrosa antara Ceneng dan Godek tidak berbeda nyata. Penurunan intensitas cahaya menyebabkan penurunan akumulasi pati (Weston et al, 2000). Pada penelitian ini penurunan kandungan pati akibat naungan 50% tidak nyata baik pada Ceneng (T), maupun pada Godek (P). Besarnya persentase penurunan hampir sama antara Ceneng dan Godek. Persentase penurunan kandungan pati pada Ceneng 28% dan pada Godek 32%, yang secara statistik tidak berbeda nyata. Perbedaan respon antara sukrosa dan pati menyebabkan rasio sukrosa dan pati berubah. Karena saat dinaungi persentase relatif kandungan sukrosa daun pada Ceneng lebih tinggi daripada Godek, sedangkan persentase relatif kandungan pati hampir sama maka peningkatan perimbangan sukrosa terhadap pati menjadi lebih tinggi pada Ceneng (T) daripada Godek (P) saat dinaungi. Sukrosa dan pati merupakan produk akhir fotosintesis. Keduanya saling berkompetisi karena bahan baku keduanya sama, yaitu triosfosfat (Gambar 6). Pati terbentuk bila triosfosfat hasil fotosintesis tertahan di kloroplas baik karena kecepatan penangkapan CO2 yang sangat tinggi maupun hambatan transpor triosfosfat ke sitosol (Gardner et al, 1990). Penumpukan pati pada kloroplas dapat mengurangi laju fotosintesis (Shibels et al, 1987; White dan Izquierdo, 1993). Pada tanaman yang ternaungi rasio kandungan sukrosa/pati merupakan variabel penting yang dapat menentukan ketenggangan terhadap naungan. Rasio sukrosa/pati yang tinggi dapat memperlancar hasil fotosintesis pada tanaman yang ternaungi. Genotipe toleran naungan memiliki rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada perlakuan naungan dibanding yang peka (Murty dan Sahu, 1987). Penelitian Lautt (2003) pada padi menunjukkan tanaman yang toleran naungan bahkan memiliki kandungan sukrosa dua kali lipat lebih tinggi pada kondisi ternaungi daripada kontrol, sedangkan yang peka menjadi berkurang bila diberi perlakuan 77 Tabel 14. Pengaruh naungan terhadap aktivitas rubisco, sukrosa, pati, dan aktivitas SPS N a u n g a n Kultivar Kontrol Naungan 50% ……………….Aktivitas rubisco (nmol CO2/g BB/mnt) ………………. Ceneng (T) Godek (P) 0.126 0.086 (32) 0.172 0.042 (76) ………………….Sukrosa (ppm) …………………. Ceneng (T) Godek (P) 150 149 (1) 185 129 (30) ………………….Pati (mg/g) …………………. Ceneng (T) Godek (P) 3.63 2.62 (28) 2.60 1.78 (32) ………………….Aktivitas SPS (µmol sukrosa) …………………. Ceneng (T) Godek (P) 260 284 (-9) 366 290 (21) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T= toleran, P = peka naungan Pada penelitian ini aktivitas SPS tanaman kontrol tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek. Pada tanaman yang dinaungi paranet 50% aktivitas SPS-nya tidak mengalami perubahan nyata, walaupun cenderung naik pada Ceneng dan turun pada Godek. Besarnya persentase perubahan aktivitas SPS tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek. Aktivitas SPS dipicu oleh oleh cahaya (Vivekanandan, 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam menentukan aktivitas enzim SPS. Tanaman memiliki mekanisme yang menyebabkan hasil fotosintesis dengan rasio sukrosa/pati meningkat pada saat dinaungi. Karena sukrosa disintesis di sitosol (Gambar 6). maka ada mekanisme yang bisa mempertahankan/ meningkatkan transpor trios-P dari kloroplas ke sitosol. Sintesis sukrosa saling bersaing dengan sintesa pati. Pada kondisi rasio Pi/PGA tinggi maka hasil akhir fotosintesis condong ke sukrosa (Taiz dan Zeiger, 1991). Konsentrasi Pi di sitosol bisa tinggi kalau rangkaian reaksi yang menghasilkan sukrosa tetap tinggi. Salah 78 satunya adalah reaksi yang dikatalisis oleh enzim SPS. Enzim SPS mengkatalisis reaksi UDP-glukosa + Fruktosa-6-fosfat menjadi UDP + sukrosa-6 Fosfat. Sukrosa-6 Fosfat selanjutnya menjadi sukrosa dan Pi (Taiz dan Zeiger, 1991). Aktivitas enzim SPS yang meningkat pada perlakuan naungan menyebabkan pada kondisi ternaungi rasio sukrosa terhadap pati meningkat. Lautt (2000) juga melaporkan hasil yang sama pada padi. Perimbangan sukrosa/pati menjadi penciri toleransi terhadap naungan. Genotipe yang toleran naungan mempertahankan perimbangan sukrosa/pati tinggi untuk memperlancar transpor hasil fotosintat keluar dari kloroplas ke jaringan penyimpan. Kenaikan rasio sukrosa/pati pada daun kedelai Ceneng tidak setinggi kenaikan sukrosa dan rasio sukrosa/pati pada padi toleran naungan. Kelompok padi yang toleran mengalami peningkatan aktivitas SPS sekitar dua kali lipat, sementara yang peka mengalami penurunan sekitar 50% (Lautt, 2000). Perimbangan sukrosa/pati menentukan laju fotosintesis karena kandungan pati yang tinggi bisa menghambat laju fotosintesis (Shibels et al, 1987; White dan Izquierdo, 1993) Tabel 15. menunjukkan pengaruh naungan terhadap kandungan N. Kandungan N total daun pada Ceneng yang tidak dinaungi secara statistik tidak berbeda nyata dengan pada Godek. Naungan menyebabkan kandungan N total daun pada Ceneng dan Godek menurun walaupun tidak nyata. Besarnya persentase penurunan pada kedua genotip tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil ini sesuai dengan Sunarlim (1985) dan Sakamoto dan Shaw (1967) yang menunjukkan bahwa naungan tidak menyebabkan perubahan kandungan N daun. Murty dan Sahu (1987) menunjukkan bahwa pada padi yang dinaungi kandungan N terlarut meningkat. Namun pada penelitian ini N terlarut pada tanaman yang dinaungi menurun walaupun tidak nyata. Dibandingkan dengan Ceneng (T) persentase penurunan N terlarut pada Godek (P) lebih tinggi walaupun secara statistik tidak nyata. Tabel 15. Pengaruh naungan terhadap kandungan N daun N a u n g a n Genotipe Kontrol Naungan 50% . . . . . . . . . . . N total (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . . 79 Ceneng (T) Godek (P) 48.42 40.02 35.76* 38.70 (26 ) (3) . . . . . . . . . . . N terlarut (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . . Ceneng (T) Godek (P) 18.28 9.33 7.75* 7.74 (58 ) (17) .. . . . . . . . . . N protein terlarut (mg/g daun segar) . . . . .. . . . . . Ceneng (T) Godek (P) 1.39 2.85 1.38 2.09 (0) (27) . . . . . . . . . . . N tak larut (mg/g daun segar) . . . . . . . . . . . Ceneng (T) Godek (P) 30.14 30.68 28.01 30.97 (7) (-1) . . . . . N terlarut yang bukan protein (mg/g daun segar) . . . . . Ceneng (T) Godek (P) 16.89 a 6.48 b 6.37* 5.64 (62) (13) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. *) artinya berbeda nyata pada uji t 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin.. T= toleran. P = peka naungan N protein terlarut pada cahaya normal secara statistik tidak berbeda nyata antara Ceneng dan Godek. Meskipun secara statistik tidak nyata kandungan N protein terlarut juga mengalami penurunan dalam perlakuan naungan. Naungan menyebabkan proses pembentukan protein terganggu karena kekurangan energi dalam proses pembentukan protein dan ketersedian unsur C yang merupakan hasil fotosintesis (Gardner et al, 1990). Menurut Taiz dan Zeiger (1991) tanaman yang ditumbuhkan pada lingkungan berintensitas cahaya rendah memiliki N protein daun lebih rendah daripada yang ditumbuhkan pada lingkungan cahaya normal. Dalam penelitian ini besarnya persentase penurunan pada Ceneng dan Godek secara statistik tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini tanaman yang dinaungi memiliki persentase N terlarut bukan protein lebih rendah dibanding kontrolnya. Hal ini disebabkan oleh kandungan N total pada tanaman ternaungi lebih kecil dibanding kontrolnya, terutama pada Ceneng (T). Karena itu ciri ketahanan naungan lebih baik dilihat pada N protein terlarut. Kadar N protein terlarut yang tinggi menunjukkan kemampuan membentuk protein tetap tinggi. Dari tabel 15 terlihat bahwa kandungan N protein terlarut pada Ceneng yang ternaungi secara kuantitatif sama 80 (99% dibanding kontrolnya), sedangkan pada Godek (P) berbeda (73%), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Dengan demikian Ceneng (T) pada kondisi ternaungi lebih efektif memanfaatkan N yang terkandung dalam daun menjadi protein melalui pengurangan kandungan N daun. Pada kontrol N yang tinggi pada daun Ceneng tidak termanfaatkan menjadi protein terlarut, tetapi mungkin tetap dalam bentuk anorganik. Ini menyebabkan Ceneng berproduksi rendah pada kontrol. Metabolisme N pada padi dan kedelai berbeda. Kandungan protein yang tinggi pada biji kedelai menyebabkan metabolisme N sangat menentukan produksi biji pada kedelai. Hambatan untuk membentuk protein bisa terjadi karena hambatan reduktasi nitrat menjadi nitrit. Reduksi nitrat memerlukan enzim nitrat reduktase (NR) aktif. Cahaya berpengaruh terhadap pengaktifan enzim NR melalui dua cara yaitu pembentukan gen NR dan perubahan keadaan NR tidak aktif menjadi aktif (Gambar 7 pada Bab Tinjauan Pustaka). Kandungan gula total daun pada berbagai perlakuan variasi pergiliran gelap-terang dipaparkan pada Tabel 16. Pada kondisi kecukupan cahaya terus menerus (kontrol) kandungan gula total daun Ceneng (T), B613 (T), Pangrango (T), dan Godek (P) secara statistik tidak berbeda. Kandungan gula total setelah perlakuan gelap (GTG dan TTG) turun secara nyata pada semua genotipe yang diuji (Lampiran 16). Ketika tanaman diberi perlakuan gelap selama tiga hari maka fotosintesis tidak terjadi karena energi pengerak untuk proses fotosintesis tidak ada. Selama perlakuan gelap tiga hari tanaman bisa mengalami kerusakan pada enzim dan sistem fotosintesis (Levitt, 1980). Kandungan gula total pada tanaman yang diberi perlakuan gelap diikuti dengan perlakuan naungan atau terang (TGN atau TGT) lebih tinggi daripada GTG dan TTG, tetapi masih rendah dibanding kontrol (TTT). Hal itu bisa dijelaskan sebagai berikut. Gula bisa dihasilkan oleh proses fotosintesis saat itu maupun simpanan yang telah ada. Pada kondisi terang hasil fotosintesis menentukan perbedaan kandungan gula. Jadi, pada kondisi cukup cahaya, tanaman yang pernah diberi perlakuan gelap tidak bisa mencapai tingkat fotosintesis yang sama pada kondisi normal. Dengan kata lain, pada kondisi yang optimum dimana cahaya bukan menjadi faktor pembatas tanaman yang pernah mendapat perlakuan gelap tiga hari tidak mampu berfotosintesis maksimum. Diduga telah terjadi kerusakan pada sistem fotosintesis karena perlakuan gelap yang menyebabkan efisiensi penangkapan dan pemanfaatan cahaya berkurang. Kandungan klorofil daun pada perlakuan gelap turun dan 81 belum pulih kembali seperti pada kontrol (cahaya normal terus-menerus) setelah dikembalikan pada kondisi normal tiga hari atau naungan 50% tiga hari, seperti dikemukakan pada pembahasan klorofil dalam perlakuan gelap pada sub bab struktur daun. Tabel 16. Kandungan gula total daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g daun kering) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 19.8 8.3 (58) 15.1 (24) 9.7 (51) 16.4 (17) 2. B613 (T) 19.9 9.0 (55) 18.7 (6) 9.6 (52) 14.7 (26) 3. Pangrango (T) 18.6 9.6 (48) 16.1 (13) 12.3 (34) 17.3 (7) 4. Godek (P) 17.1 7.4 (57) 16.7 (2) 7.4 (57) 13.8 (19) Genotipe Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Tanaman yang diberi perlakuan TGT dan TGN artinya setelah perlakuan gelap tiga hari, selanjutnya selama tiga hari ditumbuhkan pada lingkungan cahaya cukup (TGT) atau naungan 50% (TGN). Maka, tanaman bisa mengalami perbaikan atau penyembuhan kepada kondisi semula. Kemampuan penyembuhan yang baik terdapat pada Godek (peka) dan B613 (toleran). Pada kondisi normal setelah gelap (perlakuan TGT) Godek mengalami persentase penurunan relatif kandungan gula paling rendah, yaitu 2%, walaupun tidak berbeda nyata dengan lainnya. Sementara itu, pada TGN (naungan 3 hari setelah gelap tiga hari) kandungan gula daun lebih tingi pada Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran) dibandingkan kelompok Godek (peka). Jadi, pada kondisi naungan 50% kelompok toleran tetap menunjukkan hasil fotosintesis tinggi meskipun sebelumnya mendapat perlakuan gelap 3 hari. Perkecualian terdapat pada B613. Pada kondisi kontrol kandungan pati daun Ceneng, B613, Pangrango, dan Godek tidak berbeda nyata. Perlakuan GTG dan TTG (sampel diambil saat gelap) menyebabkan 82 kandungan pati menurun secara nyata (Lampiran 17). Pada kondisi gelap, fotosintesis tidak dapat dapat berlangsung karena itu daun tidak menghasilkan pati. Pati yang terdapat di daun adalah adalah pati hasil fotosintesis sebelumnya yang tidak ditranslokasikan ke jaringan penyimpan. Perlakuan terang ataupun naungan 50% setelah gelap pada B613 tidak menyebabkan kandungan pati daun pulih seperti kontrol. Pada hal kandungan klorofil tidak rusak pada perlakuan gelap. Karena itu diduga kerusakan terjadi pada proses fsotosintesis yang menghasilkan pati. Proses penyembuhan tercepat terdapat pada Ceneng (toleran) dan Pangrango (toleran) seperti terlihat pada persentase penurunan pada perlakuan TGT dan TGN (Tabel 17). Persentase penurunan pati pada semua perlakuan dan genotipe sama. Namun pada perlakuan TGN persentase penurunan pati cenderung lebih rendah pada Ceneng (T) dan Pangrango (T) daripada Godek (P) dan B613 (P). Jadi kelompok genotipe toleran tetap bisa menghasilkan pati lebih tinggi daripada kelompok peka seperti pada variabel gula total pada kondisi ternaungi. Hal ini juga sama pada perlakuan naungan sejak tanam sampai panen. Pada kondisi gelap kandungan gula dan pati rendah karena keduanya adalah hasil fotosintesis yang tidak berlangsung pada lingkungan gelap. Perlakuan TGN menyebabkan kandungan gula pada Godek (peka) dan Ceneng (toleran) menurun dengan persentase penurunan tidak berbeda nyata. Pada perlakuan gelap tiga hari di giliran terakhir (GTG atau TTG) persentase penurunan pada kelompok toleran sama dengan kelompok peka. Namun, persentase penurunan pada Pangrango (toleran) lebih kecil dibanding Godek (peka). Tabel 17. Kandungan pati daun kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelapterang saat 32 HST (mg/g daun kering) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 139 63 (55) ab 144 (-4 73 (47) ab 136 (2) 2. B613 (T) 176 96 132 83 109 Genotipe 83 (46) b (25) (53) ab (38) 3. Pangrango (T) 148 80 (46) b 136 (8) 87 (41) b 131 (11) 4. Godek (P) 159 57 (64) a 135 (15) 66 (58) a 138 (13) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT =Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Kandungan karbohidrat batang pada kondisi kontrol tidak berbeda nyata antar genotipe (Tabel 18). Kandungan karbohidrat pada perlakuan GTG dan TTG turun secara nyata (Lampiran 16) Pada GTG persentase penurunan terkecil terjadi pada Ceneng (toleran), yang berbeda nyata dengan B613 (toleran) dan Godek (peka). Perlakuan terang dan naungan setelah gelap memulihkan lagi kandungan karbohidrat seperti kontrol untuk keempat genotipe. Pada saat gelap fotosintesis tidak terjadi, tetapi respirasi tetap berlangsung. Respirasi menggunakan karbohidrat yang tersedia, sehingga karbohidrat berkurang. Persentase pengurangan karbohidrat bisa menunjukkan besarnya respirasi. Karena itu bisa disimpulkan bahwa Godek (P) menggunakan porsi karbohidrat yang besar untuk respirasi. Kemampuan untuk mempertahankan respirasi menjadi rendah pada kondisi gelap merupakan toleransi terhadap naungan (Levitt, 1980). Jadi, respirasi gelap pada Godek diduga lebih tinggi dibanding Pangrango dan Ceneng. Tabel 18. Kandungan karbohidrat batang kedelai pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (mg/g BK) TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 1. Ceneng (T) 7.4 5.8 (22) 7.7 (-4) 7.4 (0) b 9.2 (-25) b 2. B613 (T) 9.0 8.9 7.1 4.8 7.3 (1) (22) (47) a (19) a 8.1 (16) 6.7 (31) 6.9 (29) ab 7.0 (27) a Genotipe 3. Pangrango (T) 9.7 84 4. Godek (P) 8.3 5.1 (39) 8.2 (1) 4.6 (45) a 7.7 (7) ab Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam arcsin. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT =Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Tanaman menggunakan respirasi untuk pertumbuhan dan pemeliharan. Tanaman toleran naungan bisa bertahan pada lingkungan cahaya rendah karena mempunyai tingkat respirasi gelap yang rendah. Respirasi gelap yang rendah tersebut terutama disebabkan oleh respirasi pemeliharaan yang rendah (White dan Izquierdo, 1993) Laju respirasi gelap yang rendah umumnya terdapat pada tanaman naungan dan C3 (Salisbury dan Ross, 1993). Karena itu Godek lebih menunjukkan karakteristik tanaman C4 dibanding Pangrango atau Ceneng. Sementara B613 tidak menunjukkan karakter yang jelas. Perlakuan gelap selama 3 hari (GTG atau TTG) menyebabkan aktivitas rubisco berkurang (Tabel 19 dan Lampiran 16). Pada perlakuan TTG (gelap 3 hari setelah cahaya normal terus-menerus) persentase penurunan aktivitas rubisco terbesar terjadi pada Godek, yaitu 78%, yang berbeda nyata dengan B613 (P) dan Ceneng (T). Perlakuan GTG (gelap 3 hari yang didahului dengan gelap dan dan cahaya normal masing-masing 3 hari) menyebabkan penurunan aktivitas rubisco yang hampir sama dengan perlakuan TTG. Jadi, aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir dari saat pengambilan sampel dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan sebelumnya. Portis (1992) menyatakan bahwa aktivitas rubisco distimulasi oleh cahaya yang menyebabkan transpor elektron pada fotosistem I. Karena itu pada kondisi gelap aktivitas rubisco rendah. Secara rata-rata persentase penurunan aktivitas rubisco tidak berbeda nyata antar kelompok ketenggangan. Namun, aktivitas rubisco Godek (P) cenderung lebih rendah pada TGN (3 hari naungan 50% setelah gelap 3 hari). Tabel 19. Aktivitas rubisco pada lima perlakuan variasi pergiliran tiga hari gelap-terang saat 32 HST (nmol CO2/menit/g) Genotipe TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN 85 1. Ceneng (T) 0.127 0.061 (52) bc 0.140 (-11) 0.041 (67) 0.136 (-7) 2. B613 (T) 0.155 0.089 (42) c 0.113 (27) 0.083 (47) 0.145 (6) 3. Pangrango (T) 0.124 0.049 (60) ab 0.120 (3) 0.056 (55) 0.077 (38) 4. Godek (P) 0.185 0.040 (78) a 0.197 (-7) 0.072 (61) 0.099 (47) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase penurunan terhadap kontrol. Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Sebelum diolah secara statistik angka persentase ditranformasi ke dalam log. T=toleran, P=Peka. TTG=Terang-Terang- Gelap, TGT=Terang-Gelap-Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Perlakuan TGT yang menghasilkan aktivitas rubisco yang sama dengan kontrol (TTT) menunjukkan bahwa urutan pergiliran terakhir yang menentukan aktivitas rubisco. Ini juga menunjukkan bahwa rubisco tidak mengalami kerusakan akibat gelap 3 hari. Pada kondisi cahaya cukup aktivitas rubisco menentukan laju fotosintesis karena dalam kondisi cahaya cukup rubisco adalah faktor pembatas. Karena pada kondisi kontrol aktivitas rubisco Godek (P) lebih tinggi daripada Ceneng (T) maka, pada kondisi normal fotosintesis Godek diduga lebih tinggi daripada Ceneng. Keadaan sebaliknya terjadi pada kondisi naungan, yaitu aktivitas rubisco lebih tinggi pada Ceneng yang membuat Ceneng lebih adaptif terhadap intensitas cahaya rendah. Penelitian Khumaida (2002) menunjukkan bahwa laju fotosintesis Godek (P) hampir sama dengan Ceneng (T) pada cahaya normal, tetapi lebih rendah dibanding Ceneng bila keduanya dinaungi 50%. Ceneng juga mengurangi hambatan fotosintesis yang disebabkan oleh pati daun. Akumulasi pati yang rendah dibantu oleh aktivitas enzim SPS yang cenderung lebih tinggi sehingga rasio sukrosa/pati lebih tinggi pada Ceneng dibanding Godek pada saat ternaungi walaupun perbedaannya tidak nyata. Sementara itu, perlakuan TGN tidak menyebabkan perbedaan dengan kontrol dan TGT. Dilain pihak, perlakuan naungan paranet 50% terus menerus menyebabkan aktivitas rubisco turun pada Ceneng. Jadi, aktivitas rubisco cepat pulih setelah kembali ke cahaya normal atau naungan 50% setelah gelap 3 hari.. 86 Kandungan N daun pada Ceneng (toleran) berkurang lebih banyak dibandingkan Godek (peka). Selanjutnya Ceneng bisa mempertahankan N protein terlarut tetap konstan, sementara N terlarut yang bukan protein tetap rendah. Pada Godek (P), kandungan N daun tetap dan N protein terlarut cenderung turun saat ternaungi. Jadi, Ceneng (T) diduga mampu mempertahankan sintesis protein di daun tetap tinggi dibandingkan Godek (P). Aktivitas enzim NR diduga tetap tinggi pada Ceneng (T). Kandungan gula total setelah gelap tiga hari turun secara nyata pada semua genotipe. Persentase penurunannya sama yang berarti persentase pemanfaatan untuk respirasi sama antar genotipe. Selama gelap tiga hari mungkin terjadi kerusakan pada sistem proses pembentukan gula dan pati, yang belum pulih bila tanaman dipindah ke kondisi kontrol maupun naungan sebagaimana klorofil juga belum pulih. Hanya B613 yang klorofilnya tidak berubah pada perlakuan gelap. Perlakuan gelap tiga hari menyebabkan kandungan karbohidat batang menurun. Persentase penurunan tertinggi terjadi pada Godek (peka). Penurunan karbohidrat yang besar saat gelap diduga menunjukkan tingkat respirasi gelap yang tinggi. Sesuai dengan Levitt (1980) yang menyatakan bahwa penurunan respirasi gelap merupakan mekenisme penghindaran, maka bisa disimpulkan bahwa kelompok toleran naungan (Pangrango dan Ceneng) diduga memiliki mekanisme toleransi yang lebih baik karena memiliki respirasi gelap rendah pada saat mendapat cekaman intensitas cahaya rendah. Aktivitas rubisco ditentukan oleh kondisi cahaya terakhir. Aktivitas rubisco pada GTG dan TTG (gelap pada urutan terakhir) lebih rendah dibanding TTT dan TGT (terang di urutan akhir). Pada perlakuan naungan di urutan pergiliran terakhir (TGN) aktivitas rubisco pada Godek lebih kecil (walau tidak nyata) dibanding Ceneng sebagaimana terjadi pada perlakuan naungan terus menerus sejak tanam. Pembahasan yang dikemukakan sebelumnya menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat (gula dan pati) bersifat dinamis. Hal ini karena karbohidrat dihasilkan oleh fotosintesis dan bisa ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain atau digunakan untuk respirasi. Pembahasan Umum 87 Levitt (1980) menyatakan bahwa cekaman (cekaman) adalah faktor lingkungan yang menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Salah satu faktor lingkungan yang bisa menyebabkan cekaman adalah intensitas cahaya rendah. Intensitas cahaya rendah menjadi salah satu faktor penghambat untuk pengembangan kedelai di bawah tegakan pohon perkebunan. Sebanyak 17 genotipe kedelai telah diuji coba untuk ditanam di bawah tegakan pohon karet berumur 1, 3, dan 4 tahun. Produktivitas kedelai di bawah pohon karet 1, 3, dan 4 tahun tersebut berkisar masing-masing 24-78%, 1-15%, dan 1-13% (Lampiran 1). Di samping faktor intensitas cahaya, faktor perbedaan kesuburan dan kekeringan antar lahan juga mempengaruhi hasil penelitian tersebut di atas. Untuk memperoleh hasil penelitian tentang naungan yang lebih baik perlu dibuat keadaan yang memungkinkan keseragaman faktor-faktor lain kecuali faktor naungan. Karena itu perlu dibuat naungan buatan agar penelitian bisa difokuskan pada satu penyebab cekaman, yaitu intensitas cahaya. Pepohonan karet berumur 1, 3 dan 4 tahun menyebabkan naungan 25, 67. dan 72% terhadap lapangan terbuka (Sukaesih, 2002). Naungan paranet 25, 50, dan 75% dalam penelitian ini memberi naungan 36, 54, dan 79% (Lampiran 11 dan 13). Dengan demikian naungan paranet 50% setara dengan naungan pada pepohonan karet berumur 1 - 3 tahun, sedangkan paranet 75% mendekati naungan pada pohon karet berumur 4 tahun. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet secara rata-rata ditampilkan pada Tabel 20. Perhitungan naungan aktual dipaparkan pada Lampiran 11 dan 13. Pada jam 07.30 intensitas cahaya sekitar pada juni 2002 adalah sekitar 0.854 kal cm-2 mnt-1. Dengan demikian intensitas di bawah naungan paranet 25%, 50%, dan 75% adalah masing-masing 0.547, 0.393, dan 0.179 kal cm-2. Tabel 20. Intensitas cahaya di luar dan di dalam paranet (kal cm-2 mnt-1) Naungan Paranet (%) Meneruskan cahaya (%) kontrol Juni 2002 (percobaan I) Januari 2003 (Percobaan II) Pagi 07.30 Siang 13.30 Sore 16.30 Pagi 07.30 Siang 13.30 Sore 16.30 100 0.854 1.087 0.340 0.681 1.157 0.499 25 64 0.547 0.696 0.218 0.436 0.740 0.319 50 46 0.393 0.500 0.156 0.313 0.532 0.230 88 75 21 0.179 0.228 0.071 0.143 0.243 0.105 Kedelai termasuk tanaman C3. Dibanding tanaman C4, tanaman C3 bersifat responsif terhadap konsentrasi CO2, tetapi kurang responsif terhadap cahaya (Taiz dan Zeiger, 1991). Meskipun begitu, kedelai memiliki persyaratan intensitas cahaya yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangannya Menurut White dan Izquierdo (1993), radiasi optimum untuk fotosintesis sekitar 0.3 – 0.8 kal cm-2 mnt-1 dan fotosintesis maksimum tercapai pada intensitas cahaya 0.430 kal cm-2 mnt-1. Dari data di atas bisa disimpulkan bahwa pada naungan paranet 75% intensitas radiasi matahari tidak pernah mencapai optimum untuk fotosintesis sepanjang hari saat-saat pagi, siang, dan sore. Sementara itu, naungan paranet 25% dan 50% menyebabkan fotosintesis tidak mencapai optimum hanya pada sore. Karena itu bisa disimpulkan bahwa masa yang menentukan penurunan produksi biji per tanaman adalah pada sore hari. Selain paranet, bagian tanaman yang terletak di atas juga menjadi penaung bagi daun di bawahnya. Percobaan I dan II pada penelitian 1 disertasi ini membahas tentang adaptasi yang bersifat resistensi elastis, khususnya untuk perlakuan 25% dan 50%. Naungan 25% dan 50% tidak menyebabkan intensitas radiasi turun sampai level yang tidak optimum pada pagi setelah jam 07.30 dan siang hari khususnya daun di bagian atas. Cekaman intensitas cahaya matahari pada daun bagian atas hanya terjadi pada sore hari. Pada pagi dan siang hari cekaman kekurangan intensitas cahaya sebenarnya dihilangkan untuk daun bagian atas. Klungkung Hijau (P) menunjukkan keunggulan dalam produktivitas biji pada kondisi normal maupun naungan. Karena itu Klungkung Hijau bisa dipertimbangkan untuk digunakan sebagai varietas unggul bagi lahan-lahan ternaungi apabila syarat-syarat perumbuhan lain cukup baik. Percobaan II pada penelitian 2 maupun 3 mengkaji cekaman defisit cahaya ekstrim (gelap) dalam waktu 3 hari. Cekaman ini bisa menyebabkan strain plastis bahkan kerusakan dan kematian. Perlakuan gelap pada umur 23 hari selama 3 hari menyebabkan 1 (11%) tanaman Godek (peka) mati. Adanya kematian ini menunjukkan mungkin ada kerusakan permanen yang sangat besar dan tidak dapat disembuhkan. Sementara itu, tanaman yang lain juga mengalami strain plastis yang sama besar dengan Godek walau tidak mengalami 89 kematian. Tanaman yang tetap hidup pada perlakuan gelap 3 hari memiliki resistensi plastis yang besar sehingga tidak terjadi strain yang menyebabkan kematian. Tanaman yang bisa lolos dari kematian dengan perlakuan gelap selama 3 hari juga berarti mampu bertahan dalam kondisi strain besar baik plastis maupun elastis, kemudian pulih lagi setelah cekaman dihilangkan. Beberapa daun tua menguning dan gugur, tetapi setelah dipindahkan ke tempat cahaya normal daun menjadi hijau kembali dan daun baru yang hijau muncul pada pucuk. Fenomena ini menunjukkan adanya penyembuhan karena adanya daun-daun baru membuka atau diferensiasi sel. Respon tanaman terhadap defisit cahaya yang dikenakan pada tanaman sejak tanam menunjukkan kemampuan adaptasinya. Kedelai yang ditanam pada naungan yang lebih berat mempunyai batang lebih panjang, kecil dan lemah sehingga mudah roboh. Naungan paranet 75% mungkin menyebabkan strain elastis yang berarti tanaman bisa tumbuh normal kembali bila dikembalikan kepada lingkungan bercahaya normal. Namun perlakuan naungan paranet 75% yang terus menerus (sejak tanam sampai panen) menyebabkan kelaparan (starvation) sehingga tanaman lemah, jumlah daun sedikit dan produksi biji sedikit. Tanaman mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan melalui kemampuan dalam menyeimbangkan anatomi, morfologi, dan fisiologi. Pada kondisi cahaya kurang tanaman menaikkan rasio tajuk/akar dan bagian yang menangkap cahaya, tetapi menurunkan bagian yang berhubungan dengan reduksi karbon (Taiz dan Zeiger, 1991). Mekanisme morfogenetik berlangsung dengan perpaduan faktor genetik dan lingkungan. Gen menentukan jenis enzim yang dapat dibuat sel, sedangkan lingkungan menentukan transkripsi dan transisi informasi genetik menjadi enzim yang berfungsi dan bekerja efektif (Salisbury dan Ross, 1992). Tanaman merespon defisit cahaya dengan mengubah anatomi dan morfologinya sehingga efisien dalam menangkap dan memanfaatkan cahaya. Agar kekurangan cahaya yang diterima tanaman tidak besar, tanaman memiliki mekanisme penghindaran. Dalam mekanisme penghindaran ini daun lebih tipis dan bobot spesifik daun turun. Sementara itu, kerapatan bulu daun menurun pada perlakuan naungan terjadi pada beberapa genotipe saja. Dibandingkan dengan genotipe peka naungan (Godek, Klungkung Hijau, dan MLG 2999) maka genotipe yang toleran naungan (Ceneng, Pangrango, B613, dan Tampomas) secara rata-rata memiliki respon yang sama dalam mekanisme penghindaran, kecuali pada 90 variabel ketebalan daun. Karena itu persentase perubahan ketebalan daun bisa menjadi penciri ketahanan terhadap intensitas cahaya rendah dengan memberi naungan paranet 50%. Menurut Gardner et al (1990) semakin tipis daun semakin besar penyerapan cahaya per unit volume dan semakin dekat jarak yang harus dilalui untuk pertukaran gas sehingga efisien dalam fotosintesis, terutama dalam aspek penggunaan cahaya yang langka. Semua genotipe yang diuji menunjukkan peningkatan kandungan klorofil a dan b daun pada perlakuan naungan. Sampai perlakuan naungan paranet 75%, pertambahan tingkat naungan menyebabkan peningkatan kandungan klorofil a maupun b. Namun pada perlakuan gelap selama 3 hari klorofil a maupun klorofil b mengalami penurunan. Jadi pada naungan 75% tanaman bisa mempunyai kemampuan menghindar melalui peningkatan kandungan klorofil a dan b. Tetapi, pada perlakuan gelap total selama 3 hari kemampuan penghindaran itu hilang. Menurut Newcomb (1990) klorofil bisa berkurang atau hancur karena usang atau cekaman lingkungan, tetapi bisa diperbarui setiap saat. Perbaikan atau penambahan klorofil baru tersebut memerlukan cahaya sebagai pemicu pembentukannya. Karena itu kerusakan klorofil pada saat gelap 3 hari bisa mengalami penyembuhan. Cahaya rendah (naungan 50%) sudah cukup untuk menstimulasi pembentukan klorofil. Hal ini sesuai dengan Khumaida (2003) yang melaporkan bahwa cahaya pada naungan 50% sudah cukup memicu pembentukan gen yang berkaitan dengan kompleks pemanen cahaya (LHCP) di mana klorofil yang terdapat di dalamnya. Perlakuan gelap selama 3 hari yang dikuti oleh variasi cahaya normal maupun gelap tidak menyebabkan perubahan morfologi yang lebih nyata dibanding dengan perlakuan naungan terus-menerus sejak tanam. Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa setiap minggu terjadi penambahan daun yang mekar sempurna 1 – 2 pada suatu pucuk. Ini berarti pada saat diberi perlakuan gelap, daun yang jadi sampel pengamatan sudah terbentuk dengan anatomi dan morfologi yang sudah hampir tetap, tetapi belum mekar sempurna. Selanjutnya, tebal dan luas daun tergantung kepada pembesaran sel yang disebabkan oleh tekanan hidrostatis setelah air berdifusi ke dalam sel. Kandungan sukrosa diduga berpengaruh terhadap besarnya air yang berdifusi. Semakin besar konsentrasi sukrosa dalam sel maka air yang berdifusi juga semakin besar. Karena itu pada kondisi perlakuan terang sel cenderung lebih besar. 91 BSD dipengaruhi oleh tambahan bobot hasil fotosintesis baik sukrosa maupun pati. Hal ini terlihat pada selisih bobot yang cukup besar (sekitar 50%) antara kondisi terang dan gelap. Menurut Biswal dan Biswal (1999) sinyal cekaman cahaya diterima oleh kloroplas. Cekaman yang lama direspon tanaman dengan membentuk protein baru yang berperan penting dalam pengubahan morfologi dan anatomi. Karena itu terdapat selang waktu antara peneriman sinyal dan respon yang berhubungan dengan mekanisme adaptasi baik secara penghindaran maupun toleransi. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi cekaman cahaya memerlukan waktu sekitar 8 hari. Namun, Weston (2000) menunjukkan bahwa cekaman cahaya 6 hari cukup bisa merubah anatomi Arabidopsis. Mekanisme adaptasi juga bisa diperoleh melalui mekanisme toleransi. Pada perlakuan naungan 50% sejak tanam sampai panen, Ceneng (toleran naungan) cenderung mampu mempertahankan aktivitas enzim tetap tinggi dibanding dengan Godek. Menurut Levitt (1980) tanaman yang beradaptasi dengan defisit cahaya bisa memiliki mekanisme toleransi melalui kemampuan mempertahankan kerusakan kerja enzim-enzim fotosintesis. Hasil penelitian ini menunjukkan aktivitas enzim rubisco dan SPS cenderung lebih tinggi pada Ceneng daripada pada Godek saat dinaungi. Enzim-enzim fotosintesis yang lain juga diperkirakan tetap beraktivitas lebih tinggi pada Ceneng karena terbukti hasil sukrosa dan patinya lebih tinggi. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa naungan bisa menurunkan kandungan karbohidrat (pati, sukrosa, dan gula) pada padi (Sopandie et al, 2003b), kapas (Zhao dan Oosterhuis, 1998), dan gandum (Judel dan Mengel 1982). Padi peka mengalami persentase penurunan karbohidrat lebih besar daripada padi toleran naungan (Sopandie et al, 2003b). Taiz dan Zeiger (1991) menunjukkan bahwa tanaman yang beradaptasi terhadap naungan bisa mempertahankan protein terlarut dan aktivitas rubisco tetap tinggi. Pada padi penurunan intensitas cahaya menyebabkan penurunan kandungan dan aktivitas rubisco (Murchi et al. 2002) Pada penelitian ini protein terlarut daun pada kedelai ternaungi menurun. Namun persentase penurunan pada Ceneng 1% sedangkan pada Godek (27%). Akumulasi pati bisa menghambat fotosintesis pada kedelai (Shibels, 1987; White dan Izquierdo, 1993). Akumulasi pati berbanding terbalik dengan aktivitas SPS. Karena itu, 92 aktivitas enzim SPS yang lebih tinggi akan mengurangi akumulasi pati dan selanjutnya meningkatkan laju fotosintesis. Naungan paranet 50% menyebabkan penurunan kadar N daun yang lebih besar pada Ceneng (toleran), yaitu 26% dibandingkan Godek (peka), yaitu 3%. Karena persentase N protein terlarut terhadap kontrol lebih tinggi pada Ceneng dibandingkan Godek, maka bisa disimpulkan bahwa Ceneng memanfaatkan kandungan N daun lebih efisien daripada Godek pada kondisi ternaungi. Ceneng bisa mengurangi absorbsi N dan memanfaatkan N yang terabsorbsi secara efisien membentuk protein terlarut. Berbeda dengan perlakuan naungan yang menyebabkan klorofil meningkat, perlakuan gelap 3 hari menyebabkan kandungan klorofil a maupun b menurun. Penurunan ini terjadi pada perlakuan gelap yang didahului oleh perlakuan cahaya normal (TTG) maupun yang didahului gelap dan normal (GTG). Kandungan klorofil a maupun b mengalami kenaikan setelah ditempatkan pada naungan 50% (TGN). Penempatan pada cahaya normal setelah gelap (TGT) tidak selalu menyebabkan penyembuhan (kenaikan) kandungan klorofil a maupun b. Ini berarti pembentukan klorofil baru cukup memerlukan intensitas cahaya rendah untuk pemicunya sebagaimana disampaikan oleh Khumaida (2002). Sementara itu, peningkatan kandungan klorofil pada perlakuan naungan sejak tanam menunjukkan adanya adaptasi terhadap naungan, sedangkan pada perlakuan gelap 3 hari belum menunjukkan adaptasi. Lautt (2003) menggunakan kandungan gula dan pati daun padi yang ditempatkan pada ruangan gelap untuk menduga tingkat respirasi gelap. Hasilnya menunjukkan bahwa padi peka naungan mengalami penurunan gula dan pati lebih besar daripada padi toleran naungan. Pada penelitian disertasi ini gelap juga menyebabkan penurunan kandungan gula dan pati yang antar kelompok ketenggangan tidak berbeda besarnya persentase. Jadi pada kondisi gelap selama 3 hari, respirasi menggunakan karbohidrat baik berupa pati maupun gula. Godek (peka) mengalami penurunan karbohidrat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan Gardner et al (1990) yang menyatakan bahwa tanaman yang cocok dan beradaptasi untuk intensitas cahaya tinggi memiliki respirasi gelap lebih tinggi dibanding yang beradaptasi dengan naungan. Feng et al (2004) juga menunjukkan bahwa tanaman toleran naungan memiliki respirasi gelap lebih rendah. 93 Pengurangan pati pada tanaman yang ditempatkan pada ruang gelap selama 3 hari pada percobaan ini bisa disebabkan oleh pemakaian cadangan pati di batang dan daun, maupun oleh pengurangan penimbunan karbohidrat hasil fotosintesis. Hall dan Rao (1999) menyatakan bahwa pati bisa dipecah menjadi gula yang selanjutnya digunakan dalam respirasi gelap yang menghasilkan energi untuk metabolisme tanaman. Setelah dikembalikan pada lingkungan cahaya normal atau naungan paranet 50% terdapat kecenderungan umtuk pulih (sembuh) menghasilkan karbohidrat seperti pada kontrol. Ini berarti perlakuan gelap selama 3 hari mungkin tidak menyebabkan sistem reaksi yang berhubungan dengan fotosintesis. Yang mengalami kerusakan hanyalah klorofil seperti dipaparkan sebelumnya. Enzim rubisco juga tidak mengalami kerusakan. Aktivitas enzim ini bersifat dinamis tergantung ketersediaan cahaya. Pada cahaya normal aktivitas rubisco lebih tinggi dibanding gelap. Genotipe toleran (terutama Ceneng) menunjukkan aktivitas rubisco yang lebih tinggi daripada genotipe peka (Godek) pada kondisi tercekam cahaya karena naungan 50%, baik pada perlakuan singkat (3 hari) maupun lama (selama 30 hari terus menerus sejak tanam). Perlakuan gelap 3 hari sebelumnya berarti tidak mengubah adaptasi melalui mekanisme toleransi pada variabel aktivitas rubisco. Secara umum bisa disimpulkan bahwa perlakuan gelap 3 hari sebanyak satu kali (TTG) tidak berbeda nyata dengan perlakuan gelap 3 hari dua kali (GTG) kecuali terhadap kandungan klorofil. Begitu juga perlakuan naungan 50% yang didahului dengan gelap tiga hari tidak berbeda dengan naungan 50% terus-menerus. Ini berarti gelap 3 hari tidak menyebabkan respon untuk adaptasi dalam jangka waktu pengamatan pendek. 94 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 8 genotipe yang diuji Klungkung Hijau memiliki produktivitas tertinggi baik pada situasi cahaya cukup maupun cahaya kurang akibat naungan 25% dan 50% dibanding genotipe yang lain. Selain Klungkung, Pangrango juga menunjukkan hasil biji yang tinggi pada kondisi normal dan ternaungi. Dengan perlakuan naungan 50% terbukti bahwa Ceneng konsisten toleran, sedangkan Godek konsisten peka. Genotipe lain yang toleran adalah Pangrango, Wilis dan Tampomas. Klungkung Hijau dan MLG299 yang sebelumnya digolongkan peka ternyata toleran, sedangkan B613 yang sebelumnya digolongkan toleran, ternyata peka. Genotipe toleran menunjukkan persentase penurunan produktivitas yang tidak berbeda nyata dibanding kelompok peka intenstas cahaya rendah. Persentase penurunan terkecil terdapat pada Ceneng (toleran), sedangkan terbesar pada Godek (peka). Perubahan karakter struktur daun, terutama pada peningkatan kandungan klorofil daun baik pada genotipe toleran maupun peka mengarah kepada mekanisme penghindaran. Perubahan karakter daun sebagai respon terhadap cekaman intensitas cahaya rendah tidak berbeda nyata antar kelompok ketahanan kecuali ketebalan daun. Ketebalan daun pada kelompok toleran mengalami penurunan lebih besar secara nyata dibanding kelompok peka. Variabel ini bisa menjadi penciri bagi ketahanan terhadap intensitas cahaya rendah. Dengan berdasarkan variabel ketebalan daun maka kelompok toleran memiliki perubahan karakter daun yang lebih besar dalam rangka mekanisme penghindaran lebih baik terhadap defisit cahaya. Perbedaan nyata banyak terjadi bila perbandingan dilakukan antara Ceneng (toleran) dan Godek (peka). Karena itu Ceneng dan Godek bisa digunakan untuk studi mekanisme adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah. Ceneng juga bisa digunakan sebagai sumber gen toleran naungan. Dari segi fisiologi, Ceneng menunjukkan mekanisme toleransi lebih baik dibanding Godek ditinjau dari kandungan karbohidrat, aktivitas enzim, dan respirasi gelap. Ceneng (T) mengalami perubahan (penurunan) kandungan sukrosa, pati serta aktivitas enzim SPS dan rubisco lebih kecil dibanding Godek (P) setelah diberi perlakuan gelap. Kemampuan memanfaatkan N untuk pembentukan protein juga lebih baik pada Ceneng daripada Godek. 95 Persentase penurunan aktivitas rubisco akibat naungan 50% juga lebih rendah pada Ceneng daripada Godek setelah keduanya diberi perlakuan gelap 3 hari (penyembuhan). Laju respirasi gelap pada Godek (P) lebih tinggi dibanding pada genotipe lain, terutama pada pemanfaatan pati daun dan karbohidrat batang. Saran Klungkung Hijau menunjukkan produktivitas biji yang tinggi pada situasi cahaya normal (cukup) maupun ternaungi. Karena itu Klungkung Hijau bisa dikembangkan pada lahan ternaungi apabila kondisi lain sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangkan varietas Klungkung Hijau. Ceneng (T) dan Godek (P) bisa menjadi model bagi studi mekanisme adapatasi terhadap intensitas cahaya rendah. Sementara itu, Ceneng juga bisa digunakan sebagai sumber gen toleran dalam program pemuliaan. Ceneng (toleran) menunjukkan kemampun mempertahankan N protein terlarut tetap tinggi dibanding Godek (peka). Karena itu aktivitas enzim nitrat reduktase (NR) pada Ceneng diduga lebih tinggi daripada Godek. Untuk itu perlu penelitian tentang aktivitas NR yang bisa membuktikan kebenaran dugaan tersebut. Pilihan sampel daun juga menentukan ketelitian dan ketepatan penelitian ini. Seyogyanya sampel daun dipilih pada daun yang telah membuka sempurna nomor 2 dan 3. Hal ini bisa menghindarkan sampel daun dari naungan daun lebih muda di atasnya. Pada penelitian ini perlakuan gelap 3 hari pada umur 23 HST bisa menyebabkan kematian sebanyak 11% pada Godek (peka). Karena itu penggelapan bisa menjadi prosedur yang efektif untuk pengujian dan penggolongan ketenggangan terhadap intensitas cahaya rendah. Lamanya penggelapan bisa ditambah lebih dari 3 hari, yaitu menjadi 3, 6, dan 9 hari. Pada penelitian ini naungan paranet 50% tidak menyebabkan beda nyata pada parameter fisiologi. Perbedaan nyata mungkin bisa terjadi apabila pengambilan sampel dilakukan lebih pagi dari jam 10,00. Pada penelitian ini perlakuan gelap dalam waktu singkat (3 hari) tidak berpengaruh terhadap karakteristik daun karena daun yang diamati sudah terbentuk saat diberi perlakuan. Namun, pengaruh itu mungkin ada pada daun yang akan terbentuk kemudian. Untuk itu 96 perlu dilakukan penelitian pada daun yang belum terbentuk untuk mengetahui pengaruh perlakuan gelap. 97 DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto, T., B. Santoso, Marwoto, Suyanto, dan Sumarno. 1997. Keragaan Paket Teknologi Produksi Kedelai di Lahan Sawah dalam M. Syam, Hermanto, A. Mussaddah, dan Sunihardi hal: 1291 – 1308. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 5. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian, Bogor. Adisarwanto, T., N saleh, Marwoto, dan N. Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Apriyantono, A., D. Ferdiaz, N.l. Puspitasari, Sudaemawati, S. Budiyanto, 1990. Petunjuk Laboratorium Analisa Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Asadi, B., D.M.Arsyad, H. Zahara, dan Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran naungan. Bul. Agrobio 1 (2):15-20. Baharsjah, Y.S., D. Suardi, dan I. Las. 1985. Hubungan iklim dengan pertumbuhan Kedelai. dalam S. Somaatmaja, M.Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (eds.) Kedelai hal. 87-102. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman. Bogor. Bell, G. and T.K. Danneberger 1999. Temporal shade on creeping bentgrass turf. Crop Sci 39:1142-1146 Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia 2004. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Biswal, B. and U.C. Biswal. 1999. Photosynthesis under Stress: Stress Signal and Adaptive Response of Chloroplast in M Pessarakli. pp 315-325. Handbook of Plant and Crop Stress. Marcel Dekker. New York. Bolhar-Nordenlampf and Draxler G. 1993. Functional Leaf Anatomy in DO Hall, JMO Seurlock and HR Bolhar-Nordenlampf. pp 91-112. Photosynthesis and Production in Changing Environment. Chapman & Hall. London. Callan and Kennedy.1995. Intercropping strokes aster (Strokesia laevis (Hill)) E. Greene. Crop Sci :35-1110-1115 Chaturvedi, G.S., P.C. Ram, A.K.Singh, P.Ram, K.T. Ingram, B.B.Singh,R.K.Singh, and V.P.Singh. 1994. Carbohydrate status of rainfed lowland rices in relation to submergence, drought and shade tolerance. In Lucknow, V.P. pp 104-122. Physiology of Stress Tolerance in Rice. India-IRRI Philippines Chomchalow, C.N. and L.P. Laosuwan. 1993. Soybean in Asia. Food and Agricultural Organization of The United Nation Organization. Bangkok. 98 Cure, J.B.,C.D. Raper, R.P. Patterson, and W.P. Robarge. 1985. Dinitrogen fixation in soybean in response to leaf water stress and seed growth rate. Crop Sci 25:52-58 Dennis, F.G. 1988. Flowering in M.B. Tesar. Physiological Basis of Crop Growth and Development. Am. Soc. Agron. Madison. Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. Pokok-pokok Kebijakan dan Langkah Strategis Pembangunan Tanaman Pangan. Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan. Departemen Pertanian RI. Jakarta. Elfarisna. 2000. Adaptasi Kedelai terhadap Naungan. Studi Morfologi dan Anatomi. Tesis Magister Sains, Pascasarjana IPB. Feng, Y.L., K.F. Cao, and Y.L. Zhang. 2004. Photosynthetic characteristic, dark respiration, and leaf mass per unit area in seedling of four tropical tree species grown under three irradiance. Photosynthetica 42:431-437. Field, T.S., T. Brodribb, and N.M. Holbrook. Acclimation of leaf anatomy, photosynthetic light use, and xylem hydraulics to light in Amborella trichopoda. Int. J. Plant Sci 162: 999 – 1008. Gardner, F.P., R.B. Pearce, and R.L. Mitchell. 1990. Physiology of Crop Plant. Iowa State Univ Pr. Ames. Givnish, T.J. 1988. Adaptation to sun and shade : a whole plant perspective. Aust. J. Plant Physiol 15:63-92 Hale, M.G. and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plant under Stress. J Wiley. New York. Hall, D.O. and K.K. Rao. 1999. Photosynthesis. Cambridge Univ Pr. Cambridge, UK. Handayani, T. 2003. Pola Pewarisan Sifat Toleran terhadap Intensitas Cahaya Rendah pada Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) dengan Penciri Spesifik Karakter Anatomi, Morfologi, dan Molekuler. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Institut Pertanian Bogor. Hang, A.N., D.E. McCloud, K.J. Boote, and W.G. Duncan. 1984. Shade effects on growth, partitioning, and yield components of peanuts. Crop Sci 24:109-115 Harper, J.E. 1987. Nitrogen Metabolism in J.R. Wilcox. Pp 497-522. Soybean: Improvement,Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Harn, C.E., Khayat dan J.Dale. 1993. Expression dynamics of gene encoding key carbon metabolism enzyme during sink to source transition of developing leaves. Plant Cell Physiol. 34:1045-1053 99 Hidayat, O. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai dalam S. Somaatmaja, M.Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (eds.) Kedelai. hal. 73-86. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman. Bogor. Hidema, J. A. Makino, T. Mae and K. Ojune. 1992. Change in the level of chlorophyll and light harvesting chlorophyll a/b protein of photosynthesis II in rice. Plant Cell Physiol. 33: 1209-1214 Holbrook, G.P., W.J. Campbell, A. Rowland, and G. Bowes. 1994. Interspesific variation in the light/dark modulation of ribulose 1,5 bisphosphate carboxylase-oxygenase activity in soybean. J. Exp. Bot. 45:1119-1126 Huber, S.C. and D.W. Israel. 1982. Biochemical basis for partitioning of photosynthetically fixed carbon between starch and sucrose in soybean (Glycine max Merr.) leaves. Plant Physiol. 69:691-696. Iowa State University. 1994. How A Soybean Plant Develops. Iowa State University Cooperative Extension Service. Ames. Johnston, M and L.C. Onwueme. 1998. Effect of shade on photosynthetic pigments in tropical root crops:yam, taro, tannia, cassava, and sweet potato. Exp. Agric 34:304312 Judel, G.K. and K. Mengel. 1982. Effect of shading on nonstructural carbohydrate and their turnover in culms and leaves during the grainfilling period of spring wheat. Crop Sci 22:958-1004 Kerstiens. 1998. Shade tolerance as a predictors of responses to elevated CO2 in tree. Physiologia Plantarum 102:472-480 Khumaida, N. 2002. Studies on Adaptability of Soybean and Upland Rice to Shade Stress . Disertasi. The University of Tokyo. Lautt, B.S. 2003. Fisiologi Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan: Tinjauan Karakteristik Fotosintesis dan Respirasi. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Institut Pertanian Bogor. Lautt, B.S., M.A. Chozin, D. Sopandie, dan L.K. Darusman. 2000. Perimbangan PatiSukrosa dan Aktivitas Enzim Sukrosa Fosfat Sintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7 (2):31-34 Lawlor, R.S. 1987. Photosynthesis:Metabolisme, Control, and Physiology. J Wiley New York. 262p 100 Lersten, N.K. and J. B. Carlson. 1987. Vegetative Morphology in J.R. Wilcox (ed). pp 51 – 94. Soybean Improvemnet, Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Levitt, J. 1980. Responses of plants to environmental stresses. Vol II. Water, Radiation, Salt, and Other Stresses. Academic Pr. New York. Madore, M. A. 1997. Photosynthesis and Carbohydrate Formation in M. Pessarakli. pp 837-893. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York. Madore, M.A. 1999. Carbohydrate synthesis and Crop Metabolism in M. Pessarakli. pp 257-272. Handbook of Plant and Crop Stress. Marcel Dekker. New York. Mae, T., A, Makino, and K.Ohira. 1983. Changes in the Amounts of Ribulose Bisphosphate carboxylase synthesized and degraded during the life span of rice leaf (Oriza sativa L.). Plant Cell Physiol. 24 (6): 1079 – 1086. Manwan, I dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan Penyebaran Produksi Kedelai dalam B. Amang, M.H Sawit, dan A. Rachman (ed) hal. 151-236. Ekonomi Kedelai . IPB Press. Bogor Marchner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Pr. New York. Masaya, P and J.W. White. 1993. Adaptation to photoperiod and temperature in A.V. Schoonhoven and O. Voysest (eds). pp 445-500. Common Beans:Research for Crop Improvement. CAB International. Wallingford. Mohr, H. and P. Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer. Berlin. Mullet, J. 1990. Moleculer Biology of Photosynthesis in Higher Plants in D.T Dennis and D.H. Turpin. pp 198-211. Plant Physiology, Biochemistry, and Moleculer Biology.Longman Scientific and Technical. Essex, England. Murty, K.S. and Sahu, G. 1987. Impact of low-light stress on growth and yield of rice. Proc. Intl. Workshop on the Impact of Wheather Parameters on Growth and Yield of Rice. 7-10 Apr 1986. International Rice Research Institut. Los Banos, Philipines Newcomb, W. 1990. Plastid Structure and Development in D.T Dennis and D.H. Turpin.pp193-197. Plant Physiology, Biochemistry, and Moleculer Biology. Longman Scientific and Technical. Essex, England. Okada, K.I., K.Yasunori, S. Kazuhiko, M. Tadahiko, and K. Sakae. 1992. Effect of light on degradation of chlorophyll and protein during senescence of detaches rice leaves. Plant Cell. Physiol. 33:1183-1191. Portis, A.R. 1992. Regulation of Ribulose 1,5- Bisphosphate Carboxylase/ Oxygenase Activity. . Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol 43: 415-437 101 Purcell, L.C., C.A. King, and R.A. Ball. 2000. Soybean cultivar differences in ureides and relationship to drought tolerant nitrogen fixation and manganese nutrition. Crop Sci 40:1062-1070. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi. 1995. Daftar Komposisi Zat Gizi Pangan Indonsia. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Pushpakamuri, R. and V.K. Sasidhar. 1996. Dry Matter Production and Uptake of Nutrients by Yam and Arvids as influenced by Shade Intensities.Tropical Tuber Crops Science. Raper, C.D. dan P.J. Kramer. 1987. Stress Physiology. in J.R. Wilcox (ed). pp 589-641. Soybean:Improvement,Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Reed, A.J., G.W. Singletary, J.R. Schussler, D.R. Williamson, and A.L. Christy. 1988. Shading effects on dry matter and nitrogen partitioning, kernel number, and yield of maize. Crop Sci 28:819 – 825. Sakamoto, C.M. and R.H. Shaw. 1967. Apparent photosynthesis in field soybean communities. Agron. J. 59: 73-75. Salisburry, F.B. dan C.W. Ross. 1992. Plant Physiology. Wadsworth. Belmont. Schoefs, B. and M Bertrand. 1997. Chlorophyll Biosynthesis. in M. Pessarakli. pp 49-65. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York Shibels, R., J. Secor, and D.M. Ford. 1987. Carbon Assimilation and Metabolism in J.R. Wilcox (ed). pp 535-588. Soybean:Improvement, Production, and Uses. Am. Soc. Agron. Madison. Smith, B. 1997. Photosynthesis, Respiration, and Growth. in M. Pessarakli. pp 811-817. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti, dan Sahardi. 2003a. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 10:71-75. --------------------------------, S. Tjitrosemito, dan Sahardi. 2003b. Keefektifan uji cepat ruang gelap untuk seleksi ketenggangan terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10: 91-95 Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, dan N. Khumaida. 2005. Fisiologi, Genetik dan Molekuler Adaptasi Kedelai terhadap Intensitas Cahaya Rendah: Pengembangan Varietas Unggul Kedelai Sebagai Tanaman Sela. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 102 Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, E. Sulistyono, dan N. Heryani. 2001. Pengembangan Kedelai sebagai Tanaman Sela: Fisiologi dan Pemuliaan untuk Toleransi terhadap Naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sopandie, D., Trikoesoemaningtyas, E. Sulistyono, dan N. Heryani. 2002. Pengembangan Kedelai sebagai Tanaman Sela: Fisiologi dan Pemuliaan untuk Toleransi terhadap Naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing X. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Steel, R.G.D. and J.H.Torrie. 1960. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. McGraw-Hill Book. Stier, J.C., J.N. Roghs, J.R. Crum, and P.E. Rieke. 1999. Flurprimedol effect on kentucky bluegrass under reduced irradiance. Crop Sci 39:1423-1430. Sukaesih, E. 2002. Studi Karakter Iklim Mikro pada Berbagai Tingkat Naungan Pohon Karet dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan 20 Genotipe Kedelai. Sekripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suhartina. 2003. Perkembangan dan Diskripsi Varietas Unggul Kedelai 1918 – 2002. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang. Sumarno, F. Dauphin, A. Rachim, N. Sunarlim, B. Santoso, H. Kuntyastuti, dan Harnoto. 1989. Analisis Kesenjangan Hasil Kedelai di Jawa. Pusat Palawija. Bogor. Sunarlim, N. 1985. Pengaruh naungan terhadap pertumbuhan, hasil, dan komponen hasil kedelai. Seminar Balittan Bogor vol.2 hal 213-224 Suwignyo, R.A., A. Nose, Y. Kawamitsu, M. Tsuchiya and K.Wasano. 1995. Effect of manipulation of source and sink on carbon exchangerate and some enzymes of sucrose metabolism in leaves of soybean [Glycine max (L) Merr.]. Plant Cell Physiol. 36:1439-1446. Taiz, L. and E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. Benyamin Cumming. Redwood. Tomkins, J.P. and E.R. Shipe. 1996. Soybean growth and agronomic performance in response to the long juvenile trait. Crop Sci 36:1144-1149. Udvardi, M.K. dan D.A. Day. 1997. Metabolite transport across symbiotic membranes of legume nodules. in R.L. Jones, C.R. Somerville, and V. Walbot. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol 48: 493-523 Vivekanandan. M. and V. C. Saralabai. 1997. Light Activation of Photosynthetic Enzyme. in M. Pessarakli. pp 367-378. Handbook of Photosynthesis. Marcel Dekker. New York 103 Vu, C.V., L.H.Allen, and G. Bowes. 1983. Effect of light and elevated atmospheric CO2 on the ribulose bisphosphate carboxylase activity and ribulose bisphosphate level of soybean leaves. Plant. Physiol.73:729-73 Weston, E., K.Thorogood, G. Vinti. 2000. Light quantity controls leaf-cell and chloroplast development. Planta 211: 807-815 White, J.W. and J. Izquierdo. 1993. Physiology of Yield Potential and Stress Tolerance. in A.V. Schoonhoven and O. Voysest (eds). pp 287-382. Common Beans:Research for Crop Improvement. CAB International. Wallingford. Wiebel, J., E.K. Chacko and P. Ludders. 1994. Influence of irradiance on photosynthesis, morphology, and growth of mangosteen seedling. Tree Physiol. 14:263-274 Widjaja, E. 1996. Biometrik II: Anatomi dan Morfologi Daun, Batang, dan Akar. Program Studi Biologi Fmipa-IPB. Bogor. Wilson, K. and K.H. Goulding. 1987. Principles and Techniques of Practical Biochemistry. Edward Arnold. London. 395 pp Yoshida, S.,D.A. Forno, J.H.Coock, K.A.Games. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. International Rice Research Institute. Manila. Zhao, D. and D.Oosterhuis.1998. Cotton responses to shade at different growth stages:nonstructural carbohydrate composition. Crop Sci. 38:1196-1203 104 LAMPIRAN 105 Lampiran 1. Produksi biji beberapa genotipe kedelai pada lahan di bawah pohon karet di Sukabumi (g/10 tanaman) Genotipe Kontrol Karet 1 tahun (Naungan 25%) Karet 3 tahun (Naungan 67%) Karet 4 tahun (Naungan 72%) Sicinang 78.00 23.30 (30) 2.13 (3) 0.77 (1) Pangrango 66.30 19.53 (29) 3.16 (5) 1.33 (2) Mlg 3072 98.20 23.30 (24) 7.50 (8) 0.57 (1) B 618 80.96 30.13 37) 3.40 (4) 0.80 (1) B 613 56.57 38.33 (68) 8.67 (15) 0.47 (1) Ceneng 56.70 41.77 (74) 8.10 (14) 4.90 (9) Sindoro 114.80 45.00 (39) 2.73 (2) 0.50 (0) Srijono 60.00 24.17 (40) 6.67 (11) 1.20 (2) Arksoy 52.27 40.87 (78) 2.67 (5) 6.63 (13) Klungkung hijau 64.30 22.97 (36) 0.43 (1) 5.40 (8) Godek 61.20 28.97 (47) 5.83 (10) 5.43 (9) Mlg 2999 82.33 33.00 (40) 2.83 (3) 0.90 (1) Mlg 3541 76.60 30.00 (39) 3.83 (5) 5.57 (7) Tampomas 67.67 73.30 (108) 5.37 (8) 2.70 (4) Taro A 63.47 18.83 (30) 1.77 (3) 0.37 (1) Kipas Putih 83.07 24.60 (30) 10.53 (13) 0.80 (1) Wilis 84.13 27.20 (32) 6.70 (8) 0.90 (1) Sumber: Sukaesih (2002) 106 Lampiran 2. Denah percoban I di kebun Cikabayan – Bogor dan naungan paranet di lapang. kontrol (tanpa naungan) Gi-3 Gi-2 Gi-1 Naungan paranet 75% Gi-3 Gi-2 Gi-1 Naungan paranet 25% Gi-3 Gi-2 Gi-1 Naungan paranet 50% Gi-3 Gi-2 Gi-1 Keterangan: - Gi -1 artinya genotipe i ulangan 1, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8 - Gi -2 artinya genotipe i ulangan 2, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8 - Gi –3 artinya genotipe i ulangan 3, sedangkan i = 1, 2, 3 ,………,8 - Paranet 25%, 50%, dan 75% artinya menahan cahaya matahari berturut-turut 25%, 50%, dan 75% - Percobaan IA dan IB pada penelitian 1, percobaan I pada penelitian 2 dan 3 Naungan paranet 25 % 107 Lampiran 3. Denah percobaan II di kebun Cikabayan – Bogor G1T1 G1T5 G2T5 G1T4 G3T1 G4T2 G2T3 G1T2 G4T2 G4T1 G1T5 G2T3 G3T2 G4T5 G3T2 G4T4 G4T3 G3T4 G1T4 G1T3 G1T5 G1T1 G2T1 G1T2 G3T4 G3T3 G4T3 G4T5 G2T2 G2T5 G4T5 G3T1 G4T4 G2T1 G3T5 G4T3 G1T1 G3T2 G4T1 G2T4 G2T5 G2T2 G4T4 G2T3 G3T1 G1T3 G4T1 G3T5 G3T5 G3T4 G2T4 G4T2 G3T3 G2T2 G1T3 G1T2 G1T4 G3T3 G2T1 G2T4 Keterangan: Percobaan II pada penelitian 2 dan 3 G1 = genotipe Ceneng (toleran) G2 = genotipe Pangrango (toleran) G3 = genotipe B613 (toleran) G4 = genotipe Godek (peka) T1 = TTT= perlakuan terang/ normal terus-menerus (kontrol) T2 = TTG = perlakuan terang/ normal terus-menerus sampai hari ke-29, lalu gelap selama 3 hari T3 = TGT = perlakuan terang sampai hari ke-26, lalu gelap 3 hari, kemudian terang 3 hari T4 = GTG =perlakuan terang/ normal sampai hari ke-23 , lalu gelap 3 hari, terang 3 hari, dilanjutkan gelap lagi selama 3 hari T5 = TGN = perlakuan terang/ normal sampai hari ke-26, lalu gelap 3 hari, dilanjutkan naungan 50% Sampel pada semua perlakuan diambil pada hari ke-32 dengan keadaan sesuai perlakuan saat itu. Sampel TGT diambil pada saat terang, TTG dan GTG pada gelap, dan TGN pada saat naungan 50%. 108 Lampiran 4. Jadwal perlakuan pada variasi pergiliran gelap-terang (percobaan II pada penelitian 2 dan Percobaan II pada penelitian 3). Jenis Pengambilan sampel (HST) P e r l a k u a n Kontrol normal sampai hari ke-23 normal normal normal 32 TTG normal sampai hari ke-23 normal normal gelap 32 TGT normal sampai hari ke-23 normal gelap normal 32 GTG normal sampai hari ke-23 gelap normal gelap 32 TGN normal sampai hari ke-23 normal gelap naungan 32 23 3 3 3 --- 0-23 23-26 26-29 29-32 --- Lamanya (hari) Masa (HST) Keterangan: Normal artinya kondisi biasa, yaitu siang terang dan malam gelap Sampel pada semua perlakuan diambil pada hari ke-32 dengan keadaan sesuai perlakuan saat itu. Sampel TGT diambil pada saat terang, TTG dan GTG pada gelap, dan TGN pada saat naungan 50%. 109 Lampiran 5. Prosedur analisis laboratorium dan biokimia a. Metode pengukuran mesofil parenchyma dan palisade (Widjaya, 1996) Bahan yang digunakan antara lain: daun kedelai, Eau de javille (50 g CaCl3 + 100 g KCO3 + aquades sampai 1 liter), aquades, gliserin 10 %, methyl green 0.5 % dalam asam asetat 10 % dan cat kuku bening. Alat yang digunakan yaitu: jarum preparat, kuas gambar, cawan petri, sliding microtome. Urutan prosedur pengerjaan adalah sebagai berikut. Sampel daun dipotong-potong dengan ukuran 2 x 0.5 cm. Sampel kemudian dibekukan dengan cara meletakkannya secara tegak lurus pada wadah yang disediakan untuk membekukan preparat. Lalu ditambahkan air setetes demi setetes sehingga seluruh permukaan preparat tertutup es. Sampel yang telah dibekukan kemudian diiris dengan menggunakan sliding microtome dengan ketebalan 10 µm. Hasil potongan kemudian diletakkan ke dalam cawan petri dengan bantuan kuas gambar. Selanjutnya ditetesi beberapa tetes eau de jeville (50 g CaCl3 + 100 g KCO3 atau NaCO3 ) dalam larutan aquades dan dipanaskan pada lampu spiritus. Irisan yang berwarna hijau berubah menjadi putih. Pemanasan dihentikan setelah irisan berwarna putih dan kemudian dicuci dengan aquades. Irisan kemudian ditetesi asam asetat 10 % dan dicuci berkali-kali dengan aquades untuk menghilangkan eau de javille dan asam asetat. Setelah irisan bersih dari asam dan eau de javille, ditetesi dengan methyl green dan didiamkan beberapa detik. Bila irisan dengan methyl green masih mengeluarkan warna coklat, dicuci kembali dengan asam asetat dan aquades. Setelah irisan terwarnai, lalu dicuci kembali dengan aquades. Irisan diletakkan di atas object glass (gelas objek) yang telah diberi gliserin 10 % dan ditutup dengan cover glass (gelas penutup). Untuk menghindari penguapan gliserin, sekeliling gelas penutup (cover glass) ditutup dengan cat kuku bening. Preparat selanjutnya diamati di bawah mikroskop. b. Metode pengukuran stomata (Widjaya, 1996) Daun kedelai dikerik dibagian atasnya untuk mendapatkan lapisan epidermis bagian bawah. Epidermis diwarnai dengan safranin dan dicuci dengan aquades. Epidermis yang telah dicuci diletakkan pada kertas saring dan diletakkan pada gelas objek yang telah ditetesi 110 dengan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup. Sekeliling gelas penutup (cover glass) ditutup dengan cat kuku bening untuk menghindarkan hilangnya gliserin. Stomata diamati di bawah mikroskop c. Metode analisa klorofil a dan b (Yoshida, 1976) Daun segar sebanyak 2 gram dipotong kecil dan dihancurkan sampai halus dengan mortar, lalu ditambahkan aseton secukupnya dan diaduk. Ekstraknya dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml. Kemudian ditambahkan aseton 80% ke dalam labu ukur sampai mencapai 100 ml. Larutan diambil 5 ml untuk dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml lalu diencerkan dengan aquades sampai volume 50 ml. Absorbansi ekstrak tersebut diukur pada 663 nm dan 645 nm dengan spektrofotometer. Kandungan khlorofil ditentukan dengan persamaan berikut: Kl. a = 0.0127 x D663 - 0.00269 x D645 Kl. b = 0.0229 x D645 - 0.00460 x D663 d. Analisis kandungan karbohidrat (Harn et al., 1993) Daun kedelai dipotong kecil dan dibekukan. Daun kedelai kemudian dimasukkan ke dalam etanol 80 % yang mendidih selama 5 jam dalam soxhlet untuk mengekstraksi gula terlarut. Setelah seluruh alkohol menguap, ekstrak yang tersisa dilalukan pada C18 - Prep Sep Columns (Biorad). Sukrosa, glukosa dan fruktosa dipisahkan dengan menggunakan HPLC yang dilengkapi dengan Aminex HPX-42C Columns (Bio Rad) dan dibaca menggunakan refractive index detector. Konsentrasi sukrosa dinyatakan dengan mg/g bobot basah e. Analisis pati (Huber dan Israel, 1982) Sebanyak 0.5 g bobot basah daun diekstrak dengan etanol 80 % dan dipanaskan hingga pigmen yang ada pada jaringan keluar. Ekstraknya disentrifugasi dan disuspensikan dengan menambahkan 2 ml 0.2 N KOH dan direndam dalam air mendidih selama 30 menit. Setelah dingin, pH diatur sampai 5.5 dengan 1 M asam asetat Pada ekstraknya ditambahkan amyloglucosidase dengan volume yang sama (400 unit/ ml dalam 0.1 buffer sitrat ph 5.5). Setelah itu diinkubasi pada suhu 45 C selama 4-6 jam. 111 Setelah inkubasi tabung diletakkan di dalam air mendidih selama 1 menit dan superna-tannya dianalisis dengan metode Fulin Wu untuk menentukan kadar glukosa. Kandungan pati dinyatakan sebagai glukosa/gram bobot basah. f. Analisis enzim sukrosa fosfat sintase (Suwignyo et al., 1995) Jaringan daun yang telah disimpan dalam nitrogen cair, dihancurkan dengan mortar dalam medium (8.0 ml medium/ gram bobot basah) yang mengandung 50 mM HEPES NaOH; pH 7.5; 5 mM MgCl2 , 1 mM EDTA, 2.5 ml DTT, 2 % PEG 20 000 dan 1 % BSA. Campuran kemudian disaring dengan 2 lapis Miracloth dan disentrifugasi pada 38 000 g selama 10 menit. Pada supernatan ditambahkan 70 µ l berisi 7.5 mM UDP-glukosa, 7.5 mM fruktosa-6fosfat, 5 mM MgCl2 , 50 mM HEPES NaOH, pH 7.5. Campuran tersebut lalu diinkubasi selama 10 menit pada 25o C. Kemudiaan reaksi dihentikan dengan menambahkan 70 µl NaOH 1 M. Fruktosa-6-fosfat yang tidak bereaksi dihancurkan dengan meletakkan tabung reaksi pada air mendidih selama 10 menit. Setelah dingin ditambahkan 0.25 ml 0.1 % resorcinol dalam 95 % etanol dan 0.75 ml 30 % HCl dan diinkubasi pada 80o C selama 8 menit. Setelah kembali ke suhu ruang, aktivitas enzim diukur dengan spektrofotometer pada λ = 520 nm. Aktivitas enzim dinyatakan dalam satuan mM/g bobot basah. g. Analisis aktivitas enzim rubisco (Holbrook et al., 1994) Daun kedelai dihomogenasi dengan bantuan nitrogen cair dalam medium bebas CO2, yang berisi 100 mM TRIS HCl, 5 mM MgCl2, 5mM dithiothreitol, 10 mM isoascorbic acid, 1.5 % PVP 40 pada pH 8.0 (buffer A). Homegenat disentrifugasi pada microcen-trifuge selama 1 menit pada 13000 g. Supernatan hasil sentrifugasi digunakan untuk pengujian aktivitas awal rubisco dan aktivitas total rubisco. Sebanyak 10 µl supernatan diinkubasi pada medium buffer B (50 mM Tris-HCl, 5 mM MgCl2 , 5 mM DTT, 10 mM isoascorbic acid, 20 mM NaH14C03 , (0.5 Ci Mol) dan direaksikan dengan 1 mM RuBP pada pH 8.0. Sebelum pengujian aktivitas total rubisco, ekstrak diaktivasi terlebih dahulu selama 5 menit dengan buffer B. Setelah aktivasi ekstrak direaksikan dengan 1 mM RuBP selama 30 detik. Reaksi dihentikan dengan 0.1 ml 6 N 112 HCOOH dalam methanol. NaH14C03 yang tidak bereaksi dilepas ke udara melalui pemanasan. Aktivitas rubisco dihitung berdasarkan radioaktif dan perbandingan dengan larutan standar. h. Analisis kandungan N daun (Mae et al., 1993). Daun yang telah dibekukan dalam N cair dihomogenasi dengan 50 mM buffer Naphosphate (pH 7.4). Perbandingan daun : buffer adalah 1 : 5. Homegenat disaring melalui empat lapis kain kasa, kemudian filtratnya disentrifugasi selama 50 menit pada 37000 g. Supernatan yang terbentuk digunakan untuk menentukan N terlarut daun dan pemisahan berikutnya. Sebagian supernatan dipresipitasikan dengan 15 % (w/v) trichloro-acetic acid dengan volume yang sama dan disimpan pada 0 C selama 30 menit. Hasil presipitasi dipisahkan dengan sentrifugasi dan dicuci dengan ethanol. Fraksi ini digunakan untuk menentukan kandungan protein N terlarut dengan reagen Nessler. Total N daun diukur dengan menggunakan reagen Nessler setelah sampel daun diberi H2SO4-H2O2.. N tak larut dan N terlarut TCA ditentukan sebagai berikut: N tak larut = N total daun - N terlarut N terlarut bukan protein = N terlarut - protein N terlarut i. Analisis gula total (Apriyantono et al, 1990). 1.0 g sampel kering dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml. 10 ml air ditambahkan ke dalam tabung dan diaduk. Kemudian ditambahkan 13 ml asam perkhlorat 52 % dan diaduk selama 20 menit. Setelah diaduk lalu disaring dan dimasukkan ke dalam labu takar, diberi air sampai sampai 250 ml. 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan 5 ml pereaksi Anthrone secara cepat dan diaduk secara merata. Dalam keadaan tertutup tabung reaksi direndam dalam air 100o C selama 12 menit lalu didinginkan cepat dengan air mengalir. Absorbansnya dibaca pada 630 nm. Kandungan gula total dibandingkan dengan larutan standar. j. Analisis karbohidrat total (Apriyantono et al, 1990). 113 10 ml ekstrak sampel seperti pada analisis gula total di atas diencerkan menjadi 100 ml dengan air. Tahap berikutnya sama dengan penetapan kadar gula di atas. Karbohidrat total dinyatakan dengan rumus. Total karbohidrat = 25 x b . axW W = bobot sampel, a = absorbans gula satandar, b = absorbans sampel. k. Analisis pati total (Apriyantono et al, 1990). 0.2 g sampel dalam bentuk tepung dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 ml. Sampel dibasahi dengan 2 tetes etanol 80%, diberi air 5 ml dan diaduk. Ditambahkan 25 ml etanol 80% (v/v) panas, diaduk dan dibiarkan selama 5 menit, lalu disentrifus. Supernatan didekantasi. Ekstraksi diulang dengan 30 ml etanol 80%. Ke dalam residu ditambahkan 5 ml air dan 6.5 ml asam perkhlorat 52% dan diaduk di atas magnetic stirrer selama 5 menit, dibiarkan, lalu diaduk lagi selama 15 menit. Supernatan didekantasi dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Pengekstrakan diulang lagi. Semua supernatan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. 1 ml filtrat dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml air dan 10 ml pereaksi Anthrone. Setelah diaduk merata dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit lalu didinginkan. Absorbansnya dibaca pada 607 nm. Kandungan pati ditentukan dengan membandingkan dengan larutan standar. 114 Lampiran 6. Kelembaban udara pada empat tingkat naungan pada Juni 2002 (Percobaan IA atau MT-1 penelitian 1 dan percobaan I penelitian 2) Tingkat naungan Pagi Siang Sore (%) (07.30) (13.30) (16.30) 0 25 84 84 70 67 73 75 50 75 82 82 67 70 74 76 Lampiran 7. Rata-rata suhu dan kelembaban udara di lokasi percobaan pada April – Mei 2004 (percobaan II penelitian 2 dan percobaan II penelitian 3) Lokasi Waktu pengamatan Udara terbuka (kontrol) Paranet 50% Ruangan gelap Suhu (o C) Kelembaban Jam 12.00 Suhu (o C) Kelembaban Jam 07.00 27.8 81 29.0 85 27.3 91 35.0 63 34.0 66 29.0 85 Suhu (o C) Kelembaban 31.0 78 31.8 77 29.1 82 Jam 07.00 115 Lampiran 8. Rekapitulasi hasil analisis ragam untuk beberapa variabel pada percobaan split plot (percobaan I-A dan I-B penelitian 1, percobaan I penelitian 2, dan percobaan I penelitian 3) F hitung Variabel KTGPU Naungan Genotipe KTGAP KK NxG Percobaan IA (MT-1) dan IB (MT-2) Penelitian 1 Produktivitas MT-1 67.07** 7.74** 1.42 7.50 7.57 30.82 Produktivitas MT-2 142.67** 7.97** 0.68 2.00 2.82 18.98 Percobaan I pada Penelitian 2 Tebal daun 54.44** 2.44* 1.53 0.002 0.0003 21.24 Luas daun 49.97** 13.77** 1.50 796.13 233.49 13.76 Bobot sepesifik daun 46..09** 3.69** 2.02* 0.0030 0.0017 21.52 Kerapatan bulu 16.67** 22.15** 2.97** 20.28 6.96 19.13 Kerapatan stomata 90.18** 2.09 1.06 853.67 857.33 12.11 Klorofil a 49.36** 3.23** 0.59 0.21. 0.08 16.89 Klorofil b 75.22** 2.95** 0.49 0.05 0.01 16.74 Rasio Klorofil a/b 13.97** 0.79 0.67 0.16 0.03 7.39 Percobaan I pada Penelitian 3 Sukrosa 3.12 0.22 2.77 3755.25 808.58 18.54 Pati 1.67 1.73 0.02 1.96 1.50 46.08 SPS 1.20 5.69 4.54 4386.08 1652.75 13.54 Aktivitas rubisco 5.51 0.00 1.50 0.0005 0.0039 58.89 N total 6.43 0.97 4.22 16.06 22.83 11.73 11.65* 6.36 6.32 20.89 9.47 28.57 N protein terlarut 0.22 1,79 0.21 2.21 1.99 73.24 N tak larut 0.06 0.23 0.11 12.06 39.11 20.88 N terlarut bukan protein 6.00 5.77 4.36 9.32 16.15 45.44 N terlarut Keterangan: Tanda **) artinya nyata pada taraf 1%., *) nyata pada taraf 5% 116 Lampiran 9. Rekapitulasi hasil analisis ragam beberapa variabel pada percobaan variasi pergiliran gelap-terang pada percobaaan II penelitian 2 dan penelitian 3 dengan rancangan acak lengkap F hitung Variabel Variasi Pergiliran Genotipe KTG KK VxG Percobaan II pada Penelitian 2 Tebal daun 3.67* 0.89 0.92 0.0014 23.33 Luas daun 1.28 5.87 1.12 450.57 17.49 17.19** 10.63** 1.19 2945.16 29.45 Kerapatan bulu 0.34 5.46** 0.38 8634.73 45.72 Kerapatan stomata 0.12 1.65 0.55 2945.16 29.45 Klorofil a 7.85** 1.20 1.26 0.06 17.86 Klorofil b 8.22** 0.98 1.18 0.01 19.60 0.79 4.9** 0.56 0.07 9.96 Bobot sepesifik daun Rasio Klorofil a/b Percobaan II pada Penelitian 3 Gula 13.30** 0.83 0.27 18.14 30.70 Pati 24.70** 0.36 0.88 656.19 22.39 Karbohidrat Batang 4.08** 0.76 1.78 2.92 23.31 Aktivitas rubisco 7.85** 1.35 0.79 0.00017 49.40 Keterangan: Tanda **) artinya nyata pada taraf 1%., *) nyata pada taraf 5% 117 Lampiran 10. Intensitas radiasi matahari di wilayah Darmaga (kal cm-2 hari-1) Tahun 2002 Tgl Mei Jun Jul Agst Sept Tahun 2003 Nop Des Jan Peb 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 246 287 221 282 284 198 230 189 146 139 315 138 298 321 307 275 318 331 272 309 273 218 284 244 246 284 245 273 265 257 222 185 253 248 174 181 232 244 202 251 260 186 167 189 199 203 224 273 262 244 260 247 248 213 230 227 220 248 233 233 216 202 213 188 268 294 177 230 257 233 226 141 252 164 192 222 215 246 295 222 279 289 253 270 272 252 229 270 259 238 276 294 281 254 308 340 349 316 331 270 262 324 240 316 317 349 368 339 309 293 242 248 305 310 288 269 319 308 317 334 291 323 271 341 369 356 343 296 314 375 352 325 296 294 345 343 330 317 311 344 367 304 319 321 358 324 257 326 345 287 289 270 330 394 373 317 226 217 312 278 273 338 207 313 320 331 211 310 298 389 178 316 247 297 237 245 297 354 241 269 218 227 287 335 386 328 328 372 231 171 329 374 251 311 258 204 224 301 256 240 261 242 309 220 289 232 255 211 220 142 139 142 278 143 156 141 178 213 214 298 411 426 369 309 397 260 396 424 392 404 340 378 368 382 277 184 332 273 321 146 143 208 157 252 234 jml rata2 7917 255 6752 225 7418 239 9391 303 9748 325 8520 284 7982 258 8983 6099 290 218 7663 247 mak min 331 138 273 167 295 141 368 240 375 257 394 178 386 139 426 141 338 141 Sumber: Stasiun Badan Meteorologi dan Geofisika Darmaga, Bogor 283 246 244 200 144 179 179 164 243 305 330 160 150 352 249 176 267 223 157 144 149 247 240 255 254 156 159 244 Mar 352 144 148 145 251 288 223 251 214 226 239 296 286 280 225 247 141 196 338 277 145 311 194 222 336 316 318 218 286 258 258 207 323 118 118 Lampiran 11. Intensitas radiasi matahari pada bulan Juni 2003 (MT-2) jam 12.00 (kal cm-2 mnt-1) Naungan Paranet 25% Diterima % masuk % Naungan Tanggal Kontrol 25 Juni 1.3190 26 Juni 0.8893 0.597 28 juni 1.0604 29 juni nn nn Kontrol Naungan Paranet 50% Diterima % masuk % Naungan nn 0.8803 0.378 42.9 67 32.9 0.3171 ##### ##### 0.590 56 44.3 1.2871 0.483 38 1.4672 0.882 60 39.9 0.6425 0.502 1 juli 1.7057 1.145 67 32.9 1.4699 2 juli 1.0437 0.635 61 39.2 0.5862 jumlah rata2 7.4853 1.248 189.2 38 5.1830 0.864 Naungan Paranet 75% Diterima % masuk % Naungan 0.8045 0.1254 15.6 84.4 0.9658 0.3522 36.5 63.5 62.5 1.0520 0.1445 13.7 86.3 78 21.9 1.9052 0.2147 11.3 88.7 0.58 39 60.6 1.3559 0.7667 56.5 43.5 0.264 45 55.0 0.8066 0.1063 13.2 86.8 257.1 51 6.890 1.148 Rata2 intensitas radiasi pada siang hari = (1.248 + 0.864 + 1.148)/3 = 1.087 kal cm-2 mnt-1 57.1 Kontrol 453.2 76 119 119 Lampiran 12. Data intensitas cahaya pada Januari 2003 (kal cm-2 mnt-1) Siang siang siang % % meneruskan Kontrol N 50% meneruskan % Kontrol N 75% meneruskan Tanggal Kontrol N 25% Pagi Sore 12 Januari 0.445 0.309 69.362 0.428 0.171 39.896 2.070 0.373 18.023 0.616 0.432 14 Januari 1.549 1.039 67.083 0.603 0.245 40.714 1.861 0.342 18.399 0.705 0.802 12 Januari 0.968 0.588 60.747 1.118 0.588 52.557 1.254 0.235 18.705 0.803 0.397 17 Januari 1.431 0.926 64.758 0.839 0.350 41.707 1.867 0.329 17.639 0.726 0.648 21 Januari 1.256 0.791 62.994 0.719 0.287 39.944 0.945 0.166 17.560 0.554 0.218 Rat-rata 1.130 0.731 65 0.741 0.328 43 1.599 0.289 18 0.681 0.499 Rata-rata intensitas siang hari pada Januari 2003 = (1.130 + 0.741 + 1.599)/3 = 1.157 kal cm-2 mnt-1 Rata-rata intensitas pagi hari pada Januari 2003 = 0.681 kal cm-2 mnt-1 Rata-rata intensitas sore hari pada Januari 2003 = 0.499 kal cm-2 mnt-1 Rata-rata naungan paranet 25% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (65+62)/2 = 64 % Rata-rata naungan paranet 50% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (43+49)/2 = 46 % Rata-rata naungan paranet 75% dari data percobaan 1 dan percobaan 2 meneruskan cahaya= (18+24)/2 = 21 % 120 121 Lampiran 13. Pengaruh naungan terhadap produktivitas biji, tebal daun, luas daun, kerapatan bulu, kerapatan stomata, dan kandungan klorofil daun Perlakuan naungan Genotipe Kontrol Naungan 25% Naungan 50% Naungan 75% Produktivitas pada MT-1 (g/tanaman) 12.15 a 11.26 a 8.70 b 3.12 c Produktivitas pada MT-2 (g/tanaman) 11.60 a 11.19 a 10.89 a 2.14 b Tebal Daun (mm) 0.12 a 0.09 b 0.07 b 0.06 b Luas Daun (cm2) 107 b 124 ab Bobot Spesifik Daun (g/dm2) 0.24 a 0.22 a 0.20 a Kerapatan bulu (bulu/10 mm2) 16 a 15 ab 12 b Kerapatan stomata (stomata/ mm2) 298 a 264 b Klorofil a (mg/g) 1.25 c 1.48 bc Klorofil b (mg/g) 0.50 c 0.63 bc Rasio Klorofil a/b) 2.43 a 2.26 ab 131 a 240 c 1.79 b 0.75 b 2.33 ab 82 c 0.11 b 12 b 165 d 2.18 a 1.00 a 2.12 b Ket: Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari 8 genotipe (Ceneng, B613, Pangrango, Tampomas, Wilis, MLG299, Klungkung Hijau dan Godek) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8. Pengaruh interaksi yang nyata ditunjukkan pada Lampiran 18 dan 20 122 Lampiran 14. Produktivitas biji, tebal daun, dan luas daun 8 genotipe kedelai Genotipe Produktivitas biji (g/tanaman) MT-1 MT-2 Tebal daun Luas daun (mm) (cm2) Ceneng (T) B 613 (T) 8.89 bcd 6.87 d 7.99 c 7.39 c 0.10 a 0.09 ab 121 ab 127 a Pangrango (T) 9.63 bc 10.07 b 0.08 b 111 bc Tampomas (T) 7.97 bcd 8.41 c 0.08 b 110 bc Wilis (M) 7.34 cd 8.67 c 0.09 ab 115 ab Mlg 2999 (P) 7.09 d 8.28 c 0.08 b 79 d Klungkung (P) 13.53 a 11.44 a 0.09 ab 129 a Godek (P) 10.12 b 8.21 c 0.08 b 98 c Ket: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. T= Toleran, P = Peka. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat tingkat naungan (kontrol, naungan 25%, 50%, dan 75%) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8. Pengaruh interaksi yang nyata ditunjukkan pada Lampiran 18 dan 20 Lampiran 15. Bobot spesifik daun, kerapatan bulu, kandungan klorofil daun 8 genotipe kedelai BSD Kerapatan bulu Klorofil a Klorofil b (g/dm2) (bulu/10 cm2) (mg/g) (mg/g) Ceneng (T) B 613 (T) 0.23 a 0.22 ab 10 de 19 a 1. 91 a 1.75 abc 0.82 a 0.77 ab Pangrango (T) 0.17 c 13 c 1.57 c 0.67 bc Tampomas (T) 0.20 bc 18 ab 1.53 c 0.67 bc Wilis (M) 0.19 bc 13 c 1.50 c 0.64 c Mlg 2999 (P) 0.16 c 9e 1.85 ab 0.77 ab Klungkung (P) 0.19 bc 12 cd 1.64 bc 0.71 bc Godek (P) 0.19 bc 16 b 1.66 abc 0.72 abc Ket: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. T= Toleran, P = Peka. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat tingkat naungan (kontrol, naungan 25%, 50%, dan 75%) 123 sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 8 Pengaruh interaksi yang nyata ditunjukkan pada Lampiran 18 dan 20 Lampiran 16. Pengaruh variasi pergiliran gelap – terang terhadap tebal daun, bobot spesifik daun, kandungan klorofil, gula daun, pati daun, karbohidrat batang, dan aktivitas rubisco TTT (Kontrol) TTG TGT GTG TGN Tebal daun (mm) 0.19 a 0.16 ab 0.18 a 0.14 b 0.14 b Bobot spesifik daun (g/dm2) 0.78 a 0.54 c 0.75 a 0.61 bc 0.62 b Klorofil a (mg/g) 1.59 a 1.21 bc 1.36 b 1.09 c 1.40 ab Klorofil b (mg/g) 0.63 a 0.48 bc 0.52 b 0.40 c 0.54 b Gula daun (mg/g BK) 18.9 a 8.6 b 16.6 a 9.7 b 15.6 a Pati daun (mg/g BK) 155 a 7.4 c 137 ab 78 c 128 b Karbohidrat batang (mg/g BK 8.6 a 7.0 bc 7.4 ab 5.9 c 7.8 ab 0.148 a 0.060 b 0.143 a 0.063 b 0.114 a Genotipe Aktivitas rubisco (nmolCO2/g/menit) Ket: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari empat genotipe (Ceneng, B613, Pangrango, dan Godek) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 9. TTG=Terang-Terang-Gelap, TGT=Terang-Gelap- Terang, GTG=Gelap-Terang-Gelap, TGN=Terang-Gelap-Naungan 50%. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran Lampiran 17. Pengaruh genotipe terhadap bobot spesifik daun, kerapatan bulu dan rasio klorofil a/b Bobot spesifik (g/dm2) Kerapatan bulu ( bulu/10 cm2) Rasio klorofil a/b Ceneng (T) 0.66 b 14 b 2.79 a B613 (T) 0.76 a 28 a 2.66 ab Pangrango (T) 0.62 b 20 b 2.51 b Godek (P) 0.60 b 19 b 2.47 b Genotipe Ket: Huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Angka yang tertera merupakan rata-rata dari lima perlakuan variasi pergiliran terang-gelap (TTT, TTG, TGT, GTG, 124 dan TGN) sebagai uji lanjut berdasarkan hasil analisis ragam pada Lampiran 9. T= Toleran, P = Peka. Sampling pada saat perlakuan urutan terakhir pada masing-masing variasi pergiliran 125 Lampiran 18. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap bobot spesifik daun Ket: Huruf yang sama pada genotipe yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% Lampiran 19. Pengaruh tingkat naungan paranet terhadap kerapatan bulu daun. Ket: Huruf yang sama pada genotipe yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 126 Lampiran 20. Tinggi tanaman 8 genotipe kedelai pada 7 MST (cm) Genotipe Kontrol Naungan 25% Paranet 50% Paranet 75% 1. Ceneng 51 a 75 a (147 ) 110 b (216) 147 c (288) 2. Klungkung 50 a 69 b (138) 102 c (204) 108 c (216) 3. B 613 42 a 70 ab (167) 97 bc (231) 133 c (317) 4. Wilis 46 a 68 (148) b 87 (189) c 131 d (285) 5. Tampomas 67 a 100 (149) ab 132 (197) bc 153 c (228) 6. Pangrango 43 a 63 (147) ab 103 (240) b 148 c (344) 7. Mlg 2999 53 a 71 (134) ab 115 (217) bc 165 c (311) 8. Godek 51 a 71 a (139) 134 (263) b 163 c (320) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 127 Lampiran 21. Jumlah buku 8 genotipe kedelai pada 7 MST Genotipe Naungan 25% Paranet 25% Paranet 50% Paranet 75% 1. Ceneng 12.3 a 12.3 a (100) 11.3 ab (92) 10.0 b (81) 2. Klungkung 14.0 a 14.0 a (100) 15.7 b (112) 12.3 c (88) 3. B 613 12.0 a 12.0 a (100) 11.7 a (98) 9.0 b (75) 4. Wilis 12.3 a 13.3 a (110) 12.7 a (103) 10.0 b (81) 5. Tampomas 12.3 a 12.3 a (100) 11.0 ab (89) 9.7 b (79) 6. Pangrango 13.0 a 13.0 a (100) 13.7 a (105) 10.3 b (79) 7. Mlg 2999 13.0 a 13.0 a (100) 13.7 a (105) 11.0 b (85) 8. Godek 14.7 a 14.7 a (100) 15.0 a (102) 11.3 b (80) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 128 Lampiran 22. Jumlah daun 8 genotipe kedelai pada 7 MST Genotipe Naungan 25% Paranet 25% Paranet 50% Paranet 75% 1. Ceneng 30.7 a 25 .0 a (81) 24.3 ab (79) 14 b (46) 2. Klungkung 38.3 a 33.7 a (88) 36.0 a (94) 17.7 b (46) b 3. B 613 22.3 a 21.7 a (97) 19 a (85) 13.7b (61) 4. Wilis 31.0 a 26.3 a (85) 20.3 b (65) 9.0 c (29) 5. Tampomas 19.3 b 22.7 a (118) 20.0 ab (104) 11.7 c (61) 6. Pangrango 31.0 a 7. Mlg 2999 32.3 a 27.0 ab (87) 26.7 b (83) 25.3 b (82) 27.0 b (84) 12.3 c (40) 16.3 c (50) 8. Godek 37.7 a 33.7 ab 28.3 b 18.3 c (89) (75) (49) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 129 Lampiran 23. Bobot akar 8 genotipe kedelai pada saat panen (g) Genotipe Naungan 25% Paranet 25% Paranet 50% Paranet 75% 1. Ceneng 1.8 a 100 1.43 ab (79) 1.05 b (58) 0.08 c (4) 2. Klungkung 3.18 a 2.84 ab (89) 1.63 b (51) 0.14 c (4) 3. B 613 1.26 a 0.7 b (56) 0.61 b (48) 0.07 c (6) 4. Wilis 2.02 a 1.93 a (96) 1.67 a (83) 0.08 b (4) 5. Tampomas 0.91 a 0.93 a (102) 0.79 a (87) 0.07 b (8) 6. Pangrango 2.21 a 1.54 ab (70) 0.92 b (42) 0.14 c (6) 7. Mlg 2999 1.96 a 1.59 a (81) 0.72 b (37) 0.13 b (7) 8. Godek 2.85 a 2.23 ab (78) 1.45 b (51) 0.1 c (4) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 130 Lampiran 24. Bobot bintil akar 8 genotipe saat panen (g) Genotipe Naungan 25% Paranet 25% Paranet 50% Paranet 75% 1. Ceneng 0.85 a 079 ab (73) 0.55 b (65) 0.01 c (1) 2. Klungkung 1.65 a 1.5 ab (91) 0.75 bc (45) 0.05 c (3) 3. B 613 0.53 a 0.45 a (85) 0.36 a (68) 0b (0) 4. Wilis 0.83 a 0.79 a (95) 0.61 a (73) 0.01 b (1) 5. Tampomas 0.55 a 0.55 a (100) 0.52 a (95) 0b (0) 6. Pangrango 1.0 a 0.82 a (82) 0.29 b (29) 0.02 b (2) 7. Mlg 2999 1.01 a 0.86 a (85) 0.43 b (43) 0.05 c (5) 8. Godek 1.40 a 1.37 a (98) 0.85 a (61) 0.01 b (1) Ket: Angka dalam kurung menunjukkan persentase terhadap kontrol. Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5% 131 Glosari 132 Adaptasi : penyesuaian terhadap lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan akhirnya meneruskan sifat penye-suaiannya kepada keturunannya Cahaya normal : kondisi cahaya alamiah, terang pada siang hari dan gelap pada malam hari, serta variasi intensitas cahaya sesuai dengan siklus diurnal siang-malam. Rata-rata intensitas cahaya pada jam 07.30 adalah 0.681 kal cm-2 mnt-1; jam 13.30 sebesar 1.1567 kal cm-2 mnt-1 dan jam 16.30 sebesar 0.499 kal cm-2 mnt-1. Cekaman : Stres atau faktor lingkungan apapun di luar organisme yang secara potensial tidak cocok (mengganggu) organisme tersebut sehingga fungsi normalnya terganggu DMRT : Duncan’s Multiple Range Test, Uji beda berganda Duncan Fotofosforilasi : produksi ATP dari ADP dan fosfat anorganik dengan menggunakan elektron fotosintesis yang dirangsang oleh cahaya sebagai sumber energi Fotosintesis : proses biokimia yang menggunakan energi matahari untuk menyintesis karbohidrat dari karbondioksida dan air dalam kloroplas tumbuhan Fotomorfogenesis : pembentukan struktur yang dipengaruhi oleh cahaya Galur : sekelompok tanaman kedelai yang berasal dari satu biji atau satu batang tanaman Intensitas cahaya : energi cahaya yang megenai suatu area per satuan waktu Kultivar : suatu macam varietas yang diperoleh melalui pemuliaan yang dipertahankan dengan pembudidayaan Paranet : sarana penaung terbuat dari pita plastik hitam yang dijalin dengan benang plastik menjadi lembaran. Tingkat naungan ditentukan oleh kerapatan diantara pita plastiknya Pati : polisakarida hexosa yang terdiri atas inti amilosa dikelilingi amilopektin, terhidrolisa ke maltosa dan glukosa, disimpan dalam tumbuhan dalam bentuk butiran sebagai molekul cadangan Penghindaran Ruang gelap kemampuan adaptasi dengan cara menjauhkan atau menghindarkan : jaringan dari cekaman suatu ruangan kedap cahaya sehingga tercipta suatu keadaan gelap : sepanjang hari (siang maupun malam) Oksidasi molekul organik dalam sel untuk melepaskan energi dan