Studi Embriogenesis Somatik Tiga Genotipe

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan komoditas pertanian yang
sangat penting dan multiguna. Kedelai dapat dikonsumsi langsung dan dapat
juga digunakan sebagai bahan baku agroindustri seperti tempe, tahu, tauco,
kecap, susu kedelai dan untuk keperluan industri pakan ternak.
Kebutuhan
kedelai
nasional
Indonesia
meningkat
tiap
tahunnya.
Kebutuhan yang terus meningkat tersebut belum disertai dengan peningkatan
luas tanam produksinya. Berdasarkan data Departemen Pertanian, pada tahun
2005 luas lahan pertanaman kedelai sebesar 621.541 hektar dengan produksi
sebesar 808.353 ton. Pada tahun 2006, luas lahan menurun menjadi 580.534
hektar dengan produksi yang menurun pula menjadi 747.611 ton. Data terbaru
hingga september 2007 luas tanam hanya mencapai 464.427 hektar dengan
produksi sebesar 608.263 ton. Padahal target pemerintah terhadap luas tanam
kedelai pada 2007 adalah sebesar 740.740 hektar dan produksi kedelai sebesar
950.000 ton. Akibatnya, untuk memenuhi konsumsi kedelai pada tahun 2007
sebesar 1.9 juta ton, pemerintah masih harus mengimpor sebesar 1.3 juta ton
kedelai (Departemen Pertanian 2008).
Ketersediaan kedelai yang rendah sementara permintaan yang terus
meningkat telah memacu peningkatan harga. Harga kedelai yang pada awal
Januari 2007 hanya sebesar Rp. 3.450 per kilogram, kemudian merangkak naik
pada November 2007 di kisaran Rp. 5.450 sampai Rp. 6.950 per kilogram. Pada
awal Januari 2008, harga kedelai menembus Rp. 7.500 per kilogram atau naik
sebesar 110% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun
sebelumnya (Hirawan 2008). Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk
memperbaiki tingkat produktivitas dan produksi kedelai nasional.
Salah satu strategi untuk meningkatkan produksi kedelai nasional adalah
dengan penerapan teknologi produksi dan
Peningkatan
produksi
kedelai
nasional
melalui perluasan areal tanam.
melalui
perluasan
areal
tanam
diantaranya dilakukan dengan penggunaan lahan di bawah tegakan tanaman
perkebunan, hutan tanaman industri (HTI) melalui program wana tani
(agroforestry), atau tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya.
Salah satu kendala pemanfaatan areal tersebut adalah intensitas cahaya rendah
(light deficit). Untuk tujuan ini maka diperlukan suatu varietas kedelai baru yang
toleran terhadap kondisi cekaman naungan dengan produktivitas yang tinggi.
Perakitan varietas kedelai unggul yang toleran naungan dengan
produktivitas yang tinggi dapat dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan
rekayasa genetika. Kedelai merupakan salah satu komoditas paling populer
sebagai target perbaikan mutu secara bioteknologi. Akan tetapi penelitian secara
biologi molekuler terhadap kedelai terkendala oleh kesesuaian genotipe untuk
transformasinya (Hiraga et al. 2007)
Proses perakitan kedelai transgenik mensyaratkan keberhasilan proses
regenerasi. Kedelai dapat diregenerasikan melalui dua proses yang berbeda,
yaitu melalui organogenesis (shoot morphogenesis) dan embriogenesis somatik.
Morfogenesis
tunas/organogenesis
merupakan
proses
pembentukan
dan
perkembangan tunas dari jaringan meristem tunas. Tunas selanjutnya dapat
diakarkan menjadi tanaman utuh. Embriogenesis somatik merupakan proses
regenerasi tanaman melalui pembentukan struktur menyerupai embrio (embrioid)
dari sel-sel somatik yang telah memiliki calon akar dan tunas (serupa embrio
zigotik). Kemudian tanaman utuh diperoleh dari hasil perkecambahan embrio
somatik tersebut (Barwale et al. 1986).
Hasil penelitian mutakhir menunjukkan bahwa embrio somatik kedelai
dapat diinduksi secara efisien dari kotiledon muda yang ditumbuhkan pada
medium padat yang ditambahkan dengan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D)
konsentrasi tinggi, kemudian diproliferasikan dalam media cair atau pada media
padat yang mengandung 2,4-D pada konsentrasi yang lebih rendah, setelah itu
didiferensiasikan menjadi embrio fase kotiledon tanpa penambahan auksin
eksogen. Protokol tersebut telah diaplikasikan pada kultivar-kultivar kedelai asal
Amerika Utara seperti ‘Jack’, ‘Williams’ dan ‘Fayette’ (Hiraga et al. 2007).
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kemampuan untuk membentuk
embrio somatik pada tanaman kedelai sangat dipengaruhi oleh genotipe (Parrott
et al. 1989; Bailey et al. 1993a, 1993b; Bonacin et al. 2000; Meurer 2001;
Schmidt et al. 2005). Oleh karena itu suatu jenis media yang sesuai untuk suatu
genotipe tertentu belum tentu sesuai untuk genotipe kedelai lainnya. Sehingga
suatu protokol baku yang diperlukan untuk meregenerasikan tanaman kedelai
secara embriogenesis somatik memerlukan penelitian optimasi faktor-faktor fisik,
kimiawi, dan lingkungan mikronya.
Selama ini tim peneliti perbaikan tanaman (crop improvement) kedelai
dari Departeman AGH-IPB telah berhasil mengembangkan galur-galur kedelai
harapan yang toleran terhadap naungan. Galur-galur tersebut merupakan
genotipe kedelai yang mampu tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan
baik pada kondisi cekaman intensitas cahaya rendah sehingga berpotensi untuk
dikembangkan pada lahan dengan kondisi stres naungan, misalnya di bawah
tegakan tanaman perkebunan. Genotipe Ceneng merupakan salah satu tetua
toleran naungan yang digunakan dalam pemuliaan tersebut. Sedangkan Godek
merupakan tetua lainnya yang peka terhadap stres intensitas cahaya rendah
tetapi memiliki potensi produksi yang cukup tinggi. Dari hasi persilangan kedua
tetua tersebut muncullah galur-galur harapan seperti CG30-10 dan CG76-10
(Sopandie et al. 2006).
Galur-galur harapan tersebut berpotensi untuk ditingkatkan produksinya
atau diberikan keunggulan tertentu dengan pendekatan bioteknologi. Sampai
saat ini perbaikan tanaman dengan pendekatan bioteknologi yaitu dengan
melakukan transformasi gen tertentu ke dalam genom galur-galur kedelai toleran
naungan belum dilakukan. Untuk menuju ke arah sana, suatu protokol untuk
meregenerasikan genotipe kedelai toleran dan peka naungan secara in vitro
harus dibakukan dalam perbaikan karakter secara bioteknologi. Oleh karena itu
suatu informasi dasar tentang embriogenesis somatik pada beberapa genotipe
kedelai toleran dan peka naungan tersebut sangat diperlukan.
Selain
itu
embriogenesis
somatik
dapat
digunakan
untuk
mengkarakterisasi lintasan ontogenetik yang dilalui oleh embrio melalui
pengamatan secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis
dan histologis terhadap tahapan perkembangan embrio somatik memungkinkan
kita mempelajari asal sel pembentuk embrio, mekanisme pembelahan sel yang
terjadi pada pembentukan embrio dan differensiasi jaringan yang berasal dari
massa proembriogenik menjadi embrio fase globular, hati, torpedo dan fase
kotiledon (Zimmerman 1993; dos Santos et al. 2006). Karakter-karakter tersebut
dapat digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan lintasan ontogenetik
antara genotipe kedelai yang toleran dan peka naungan.
Rumusan Masalah
Kultur in vitro beberapa genotipe kedelai toleran dan peka naungan
melalui embriogenesis somatik sangat berguna baik untuk tujuan transformasi
atau
untuk
mempelajari
karakter-karakter
morfologi,
anatomi
maupun
fisiologinya. Beberapa genotipe tanaman kedelai yang akan dikembangkan lebih
lanjut menjadi kandidat varietas unggul melalui transformasi genetik harus
diketahui respon pertumbuhannya selama proses embriogenesis berlangsung
hingga berregenerasi menjadi tanaman utuh. Adanya fenomena pengaruh
genotipe (genotype dependent) dalam proses pembentukan embrio somatik,
menyebabkan perlunya penelitian yang detail dan spesifik untuk genotipe kedelai
tertentu. Oleh karena itu penelitian untuk memperoleh protokol yang baku dalam
proses embriogenesis bagi genotipe tanaman kedelai yang ingin dikembangkan
sangat diperlukan.
Kerangka Pemikiran
Tingkat produktivitas suatu tanaman merupakan hasil interaksi faktor
genetik dengan faktor lingkungan tumbuhnya. Oleh karena itu program perakitan
suatu varietas harus diarahkan untuk beradaptasi lebih spesifik lingkungan,
karena sulitnya mendapatkan varietas-varietas yang beradaptasi luas sesuai
untuk berbagai agroekologi. Setelah itu peningkatan kemampuan produksinya
dapat dibantu secara bioteknologi dengan menerapkan metode pemulian
molekuler. Sehingga kultivar yang dihasilkan memiliki kapasitas ketahanan
terhadap cekaman lingkungan yang tinggi dan secara genetik telah ditingkatkan
kualitas dan kuantitas produksinya.
Genotipe kedelai toleran naungan hasil pemuliaan secara konvensional
yang dilakukan oleh Kelompok Peneliti untuk Perbaikan Tanaman, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, IPB, berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya
secara bioteknologi. Salah satu syarat keberhasilan pemuliaan secara
bioteknologi
(rekayasa
genetika)
adalah
adanya
metode
baku
dalam
meregenerasikan sel/jaringan transforman menjadi tanaman. Metode yang
efisien dan umum digunakan dalam menghasilkan sel target untuk transformasi
gen dan meregenerasikannya menjadi tanaman adalah embriogenesis somatik.
Permasalahan utama embriogenesis somatik kedelai adalah adanya pengaruh
genotipe (Li dan Grabau 1996; Droste et al. 2001) dan berbagai komposisi zat
pengatur tumbuh eksogen (Bonacin et al. 2000; Schmidt et al. 2005;
Radhakrishnan dan Ranjithakumari 2007) terhadap potensi embriogeniknya.
Oleh karena itu diperlukan adanya penelitian dasar embriogenesis somatik pada
galur-galur harapan yang akan ditransformasi.
Penelitian dalam tesis ini mengkaji pengaruh genotipe, zat pengatur
tumbuh
auksin
yaitu
NAA
(naphtalene
acetic
acid)
dan
2,4-D
(2,4-
dichlorophenoxyacetic acid) terhadap pembentukan kalus embriogenik dan
induksi embrio somatik fase globular disertai analisa histologinya. Selain itu juga
dilakukan penelitian pengaruh zat pengatur tumbuh NAA dan kombinasinya
dengan empat macam sitokinin (BA, Kinetin, Thidiazuron, dan Zeatin) dalam
menginduksi perkembangan (histodifferensiasi) embrio fase globular menjadi
fase kotiledon. Setelah itu dilakukan uji perkecambahan embrio fase kotiledon
pada media tanpa zat pengatur tumbuh.
Tujuan Penelitian
Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
untuk
mempelajari
potensi
embriogenesis somatik dan komposisi media yang digunakan sebagai dasar
untuk mendapatkan protokol embriogenesis somatik beberapa genotipe kedelai
toleran dan peka naungan yang dibutuhkan bagi perakitan varietas yang adaptif
terhadap intensitas cahaya rendah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari respon genotipe, pengaruh zat pengatur tumbuh auksin NAA
dan 2,4-D terhadap induksi kalus dan pembentukan kalus embriogenik tiga
genotipe kedelai toleran dan satu genotipe peka naungan secara in vitro.
2. Mempelajari respon tiga genotipe kedelai toleran dan satu genotipe peka
naungan terhadap beberapa media histodifferensiasi pada kultur asal kalus.
3. Mempelajari daya germinasi embrio somatik dan konversi tiga genotipe
kedelai toleran dan satu genotipe peka naungan menjadi plantlet .
4. Mengetahui perkembangan embrio somatik tiga genotipe kedelai toleran dan
satu genotipe peka naungan secara morfologi dan histologi dalam lingkungan
in vitro.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang
regenerasi
tiga genotipe kedelai toleran dan satu genotipe peka naungan
melalui embriogenesis somatik yang dapat dijadikan acuan untuk penelitian
selanjutnya yang terkait dengan peningkatan mutu tanaman kedelai. Selain itu
dengan penelitian ini
akan diperoleh pengetahuan tentang
bagaimana
mekanisme pembentukan embrio somatik secara morfologi dan histologi dari tiga
genotipe kedelai toleran dan satu genotipe peka naungan tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi empat percobaan:
Percobaan 1: Induksi kalus embriogenik pada tiga genotipe kedelai toleran dan
satu genotipe peka naungan
Percobaan 2: Histodifferensiasi embrio somatik tiga genotipe kedelai toleran dan
satu genotipe peka naungan
Percobaan 3: Germinasi embrio somatik tiga genotipe kedelai toleran dan satu
genotipe peka naungan
Percobaan 4: Studi histologi perkembangan embrio somatik.
Diagram alur penelitian disajikan pada gambar 1 berikut.
Tanaman sumber eksplan
4 genotipe kedelai:
Ceneng, Godek, CG76-10, CG30-10
Penanaman dalam pot
Persiapan Eksplan
Sterilisasi permukaan polong muda (14 HSA)
Percobaan 1: Uji media induksi kalus embriogenik
Faktorial 4 genotipe x 4 taraf NAA x 4 taraf 2,4-D x 10 ulangan
Media dasar MS modifikasi
Output:
Kalus embriogenik
Peubah:
1) Jumlah eksplan berkalus, 3) Bobot dan diameter kalus, 2) Warna kalus,
5) Struktur kalus, 4) Jumlah kalus yang membentuk globular
Percobaan 2: Uji media histodifferensiasi
Faktorial: 4 genotipe x 4 kombinasi hormon x 5 ulangan
Media dasar MS modifikasi
Output:
Embrio fase kotiledon
Peubah:
1) Jumlah dan prosentase embrio fase kotiledon, 2) Jumlah dan
prosentase embrio normal dan tidak normal, 3) Warna embrio, 4) Bobot
embrio
Percobaan 3: Uji media germinasi
Faktor tunggal: 4 genotipe kedelai x 3 ulangan
Media MS0
Output:
Kecambah in vitro
Peubah:
1) Daya berkecambah, 2) Persen kecambah abnormal, 3)
Laju perkecambahan, 4) Indeks vigor, 5) Potensi tumbuh
maksimum
Gambar 1
Aklimatisasi
Gambar 1 Diagram alur penelitian
Percobaan 4:
Studi Histologi
Download