BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Perilaku Prososial 2.2.1

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
2.2.1.
Tinjauan Perilaku Prososial
Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan salah satu bentuk perilaku yang
muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial adalah tindakan yang
dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain tanpa memperdulikan
motif-motif si penolong (Asih & Pratiwi, 2010).
Adapun perbedaan perilaku prososial dengan altruism adalah
perilaku sosial ditekankan karena adanya penghargaan karena menolong,
sedangkan altruism adalah tindakan prososial sebagai tujuan itu sendiri, tanpa
memberi keuntungan bagi si altruis (Mercer & Clayton, 2012).
Sears dkk (Spica, 2008) berpendapat bahwa perilaku prososial
adalah tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri
tanpa mengharapkan sesuatu untuk diri si penolong itu sendiri. Perilaku
prososial dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Psikolog biasanya menggunakan istilah tingkah laku yang mementingkan orang
lain selain istilah tindakan yang membantu orang lain, menunjukkan bantuan
yang diberikan pada orang lain tanpa mengharapkan keinginan-keinginan
sendiri. Secara umum, istilah ini diaplikasikan pada tindakan yang tidak
menyediakan keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan
tersebut, dan bahkan mungkin mengandung derajat resiko tertentu. (Baron &
6
Byrne, 2005) Sedang istilah altruisme (altruism) kadang-kadang digunakan
secara bergantian dengan tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005).
Menurut Bar-Tal (Spica, 2008) para psikolog menggunakan teori
belajar sosial dalam mempelajari tingkah laku prososial yaitu melalui prinsipprinsip modeling dan reinforcement. Modelling adalah proses saat individu
belajar tingkah laku, khususnya tingkah laku prososial dengan mengamati dan
meniru tingkah laku orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya.
Reinforcement adalah proses penguatan yang bertujuan untuk memperkuat
tingkah laku prososial.
Sarwono (1997) menjelaskan beberapa teori psikologi yang
menjelaskan mengapa orang lain menolong:
1)
Teori Behaviorisme
Kaum behavioris murni mencoba menjawab pertanyaan ini melalui
proses kondisioning klasik dari Pavlov. Menurut pendapat mereka,
manusia menolong karena dibiasakan oleh masyarakat untuk menolong
dan untuk perbuatan itu masyarakat menyediakan ganjaran yang positif.
2)
Teori Pertukaran Sosial
Dalam perkembangannya yang lebih baru, teori Behaviorism ini tidak
hanya mengandalkan proses pembiasaan yang sederhana. Teori yang
lebih dikenal dengan sebutan teori pertukaran sosial (Social Exchange
Theory) itu dasarnya adalah prinsip sosial ekonomi, dimana setiap
tindakan yang dilakukan manusia dipertimbangkan aspek untungruginya. Tak hanya berupa material ataupun financial, melainkan pula
7
psikologis. Masih dalam Sarwono (1997), yang dimaksudkan dengan
keuntungan adalah hassl yang diperoleh lebih besar daripada usaha yang
dikeluarkan, sedangkan yang dimaksudkan dengan rugi adalah jika hasil
yang diperoleh lebih kecil dari usaha yang dikeluarkan. Berdasarkan
prinsip tersebut, setiap perilaku pada dasarnya dilaksanakan dengan
menggunakan strategi minimax, yaitu meminimalkan usaha (cost atau
ongkos) dan memaksimalkan reward agar diperoleh profit yang besar.
3)
Teori Empati
Dalam empati, fokus usaha menolong terletak pada penderitaan orang
lain, bukan pada penderitaan sendiri.
4)
Teori Norma Sosial
Menurut teori ini, perilaku orang menolong karena diharuskan oleh
norma-norma masyarakat. Terdapat tiga macam norma sosial yang biasa
dijadikan pedoman untuk berperilaku menolong, yaitu: (a)Norma Timbal
Balik, Dalam teori ini menjelaskan bahwa kita harus membalas
pertolongan dengan pertolongan; (b)Norma Tanggung Jawab Sosial, kita
wajib menolong orang lain tanpa mengharapkan balasan apapun di masa
depan. Akan tetapi penetapan tentang siapa yang sungguh-sungguh
memerlukan pertolongan tergantung kepada pemberian atribusi ekternal
terhadap orang yang bersangkutan; dan (c) Norma Keseimbangan,
Sarwono (1997) menjelaskan bahwa norma ini berlaku di dunia Timur.
Intinya adalah bahwa seluruh alam semesta harus berada dalam keadaan
yang seimbang, serasi, dan selaras.
8
5)
Teori Perkembangan Kognisi
Menurut paham ini, tingkat perkembangan kognitif (dari Piaget) akan
berpengaruh pada perilaku menolong, Pada anak-anak perilaku ini lebih
didasarkan kepada pertimbangan hasil (gain). Karena itulah banyak
orang tua jengkel melihat anaknya yang masih taman kanak-kanak
meminjamkan sepeda mainannya yang mahal kepada kawannya hanya
untuk menyenangkan hati temannya agar mendapatkan pinjaman komik
murah dari teman anak itu. Orang tua sudah berpikir untung rugi,
sementara anak hanya memikirkan untungnya saja (Sarwono, 1997).
2.1.2
Aspek-Aspek dalam Perilaku Prososial
Bringham (Spica, 2010) menyatakan bahwa perilaku prososial
meliputi beberapa aspek antara lain:
1)
Altruisme, yaitu kesediaan untuk menolong orang lain secara
sukarela tanpa mengharapkan imbalan.
2)
Murah hati, yaitu kesediaan untuk bersikap dermawan kepada
orang lain.
3)
Persahabatan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih
dekat dengan orang lain.
4)
Kerjasama, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain
demi tercapainya suatu tujuan.
5)
Menolong, yaitu kesediaan untuk membantu orang lain yang
sedang berada dalam kesulitan.
9
6)
Penyelamatan, yaitu kesediaan untuk menyelamatkan orang lain
yang membutuhkan.
7)
Pengorbanan, yaitu kesediaan untuk berkorban demi orang lain.
8)
Berbagi, yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain
dalam suasana duka.
Wispe (Farikha, 2011) menjelaskan beberapa bentuk perilaku
prososial, diantaranya :
1)
Empati
Perilaku yang didasarkan atas perasaan positif serta memahami
perasaan orang lain.
2)
Kerja Sama (Cooperating)
Kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain.
3)
Menolong (Helping)
Perilaku membantu orang lain dalam mengambil keputusannya.
4)
Memberi (Donating)
Perilaku memberikan sumbangan pada orang lain (beramal).
5)
Altruisme
Perilaku menolong orang lain tanpa imbalan, biasanya dalam
situasi yang berbahaya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
yang terdapat dalam perilaku prososial yaitu Altruism, Empati, Menolong,
Kerjasama, dan Memberi.
10
2.1.3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Dayakisni dan Hudaniah (2003) berpendapat bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, yaitu:
1)
Self-gain
Harapan
seseorang
untuk
memperoleh
atau
menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan,
pengakuan, penghargaan, pujian, atau takut dikucilkan.
2)
Personal Values and Norms
Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh
individu selama bersosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma
tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, misalnya seperti
berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya
norma timbal balik.
3)
Empathy
Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan empati ini erat kaitannya
dengan pengambilalihan peran. Prasyarat untuk mampu melakukan
empati individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan
pengambilan peran.
Sarwono (1997), menjelaskan bahwa perilaku menolong juga
dipicu oleh faktor dari luar atau dari dalam diri seseorang, dijelaskan sebagai
berikut:
11
1)
Pengaruh Situasi
a.
Bystander
Faktor utama dan pertama, menurut penelitian psikologi sosial,
yang berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong
adalah adanya orang lain yang kebetulan berada bersama kita di
tempat kejadian (bystander).
b.
Menolong jika orang lain juga menolong.
Sesuai dengan prinsip timbal balik dalam teori norma sosial,
adanya seseorang yang sedang menolong orang lain akan memicu
kita untuk juga ikut menolong (Sarwono, 1997), mengadakan
percobaan di Los Angeles. Ternyata, para pengemudi di Los
Angeles tidak mau berhenti untuk menolong seorang pengendara
wanita (anggota tim peneliti) yang mengalami (seakan-akan) ban
kempes. Akan tetapi, lebih banyak pengendara yang menolong
wanita dengan ban pecah tersebut saat ada dua orang anggota
peneliti yang menolong wanita tersebut.
c.
Desakan Waktu
Biasanya orang-orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung
untuk tidak menolong, sedangkan orang yang santai lebih besar
kemungkinannya untuk memberi pertolongan kepada yang
memerlukannya.
12
d.
Kemampuan yang Dimiliki
Kalau orang merasa mampu, ia akan cenderung menolong,
sedangkan jika merasa tidak mampu ia tidak akan menolong.
(Sarwono, 1997) mengungkapkan di Taiwan, terdapat norma
masyarakat yang mengharuskan anak-anak yang sudah dewasa
untuk mendukung ekonomi orangtuanya yang sudah lanjut usia,
tetapi hanya orang-orang yang kemampuan ekonominya cukup
yang melaksanakan ketentuan tersebut.
2)
Pengaruh dari Dalam diri
a) Perasaan
Perasaan dalam diri seseorang dapat mempengaruhi perilaku
menolong. Menurut Sarwono (1997), kurang ada konsistensi dalam
hal pengaruh perasaan yang negatif (sedih, murung, kecewa, dan
sebagainya) terhadap perilaku menolong. Sedang di pihak lain,
perasaan yang positif (gembira, senang, bahagia menunjukkan
hubungan yang lebih konsisten dengan perilaku menolong.
b) Faktor Sifat (trait)
Guagano (Sarwono, 1997) menjelaskan bahwa jawaban terhadap
pertanyaan tentang pribadi yang mau membantu orang lain tanpa
mengharapkan balasan sama sekali, kemungkinana adalah karena
adanya sifat atau trait menolong yang sudah tertanam pada orang
yang bersangkutan.
13
c) Agama
Faktor agama ternyata juga dpat mempengaruhi perilaku menolong
pada seseorang. Akan tetapi, menurut penelitian Sarwono (1997)
yang berpengaruh pada perilaku menolong bukanlah seberapa
kuatnya ketaatan beragama itu sendiri, melainkan bagaimana
kepercayaan atau keyakinan orang yang bersangkutan tentang
pentingnya menolong yang lemah seperti yang diajarkan oleh
agama.
Sejalan dengan meluasnya penelitian
terhadap tingkah laku
prososial yang melampaui pertanyaan dan penelitian awalnya, formulasi
teoritis juga meluas untuk memperhitungkan faktor-faktor tambahan yang
mempengaruhi mengapa pertolongan diberikan atau tidak diberikan (Baron &
Byrne, 2005).
Di samping model prososial dalam dunia nyata, model-model yang
menolong dalam media juga berkontribusi pada pembentukan norma sosial
yang mendukung tingkah laku prososial. (Baron & Byrne, 2005). Forge &
Phemester (Baron & Byrne, 2005) dalam penelitian lanjutannya telah
mengonfirmasikan pengaruh posited televisi pada anak-anak. Misalnya anakanak prasekolah yang menonton program prososial – seperti Mister Rogers’
Neighborhood, Sesame Street, atau Barney and Friends – lebih cenderung
berespons secara prososial daripada anak-anak yang tidak menonton acara
semacam itu.
14
Di antara fakor-faktor kepribadian lainnya yang merupakan
karakteristik dari mereka yang paling cenderung menolong orang lain adalah
kebutuhan akan persetujuan (need for approval). Individu-individu yang
tinggi kebutuhannya dalam hal ini berespons pada reward seperti pujian dan
tanda-tanda penghargaan lainnya (Baron & Byrne, 2005).
Froming,
Masby,
&
McManus (Baron &
Byrne,
2005)
mengungkapkan bahwa penelitian pada anak-anak menunjukkan bahwa
kecenderungan prososial dapat menjadi bagian dari skema diri, dan kemudian
diaplikasikan pada situasi spesifik di mana pertolongan dibutuhkan.
Baron & Byrne (2005) menjelaskan faktor disposisional yang
menyusun kepribadian altruistik (altruistic personality) sebagai berikut:
1)
Empati, yaitu kemampuan untuk merasakan keadaan emosional
orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah,
dan mengambil perspektif orang lain. Mereka yang menolong
ditemukan mempunyai empati lebih tinggi daripada mereka yang
tidak menolong (Baron dan Byrne, 2005).
2)
Tanggung
Jawab
Sosial.
Mereka
yang
paling
menolong
mengekspresikan kepercayaan bahwa setiap orang bertanggung
jawab untuk melakukan yang terbaik untuk menolong orang yang
membutuhkan.
3)
Egosentrisme rendah. Mereka yang menolong tidak bermaksud
untuk menjadi egosentris, self-absorbed, dan kompetitif.
15
2.2.
Tinjauan tentang Intensitas Penggunaan Gadget
Teknologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu techno yang berarti
keterampilan atau seni. Teknik artinya cara atau metode untuk memperoleh
keterampilan dalam bidang tertentu, sedang teknologi mempunyai arti; (1)
penerapan ilmu untuk petunjuk praktis, (2) cabang ilmu tentang penerapan
tersebut dalam praktek dan industri, dan (3) kumpulan cara untuk memenuhi
obyek dari kebudayaan (Andiyati, 2012).
Teknologi juga memudahkan manusia untuk melakukan komunikasi.,
baik komunikasi jarak jauh maupun dekat. Menurut O’Brein, perilaku manusia
sosioteknologi ada 5 komponen manusia dan teknologi dalam berinteraksi
meliputi: (1) struktur masyarakat, (2) sistem dan teknologi informasi, (3)
masyarakat dan budaya, (4) strategi komunikasi, dan (5) proses sosial (Andiyati,
2012).
Media teknologi komuni`kasi merupakan perangkat teknologi
(hardware maupun software) yang dipergunakan untuk mendukung proses
informasi dan komunikasi (Andiyati, 2012).
Dalam
perkembangannya,
teknologi saat
ini sudah beragam
bentuknya. Tidak hanya handphone, namun beragam gadget lainnya saat ini
sudah menjamur hampir di seluruh dunia. Seiring berkembangnya gadget, muncul
pula beragam bentuk media sosial yang semakin mempermudah manusia dalam
berkomunikasi maupun menjalankan aktifitas sehari-harinya.
Bagaimanapun, perkembangan teknologi sudah membawa perubahan
yang cukup dramatis bagi dunia (Gunn and Donahue, 2008).
16
Televisi sudah mendominasi dunia sejak pertengahan 1990. Saat ini,
persaingan teknologi sedang ramai dengan adanya telepon seluler, iPod, video
games, instant messanging, interactive multiplayer video games, situs nyata dunia
maya, web social networks, dan e-mail. (Brooks-Gunn and Donahue, 2008)
Media teknologi saat ini pun sudah menjadi bagian dari anak-anak di
abad-21 (Brooks-Gunn and Donahue, 2008). Tidak mengherankan, jika hal
tersebut menaikkan proporsi usia anak untuk lebih cepat menjadi dewasa. Terlihat
berdasarkan penelitian, lebih dari 80 persen anak usia 8 sampai dengan 18 tahun
sudah memiliki radio dan CD atau kaset pribadi (dimana 92 persennya
menyatakan menyukai musik jenis medium); 31 persen sudah memiliki komputer
pribadi, dimana setengahnya memiliki pemutar video didalamnya, dan 49 persen
lainnya memiliki video game konsol di kamar mereka. (Roberts and Foehr, 2008).
Perkembangan gadget tentunya akan terus berlangsung dan tidak akan berhenti di
satu titik saja. Tentunya hal tersebut membawa beberapa dampak bagi manusia
pada umumnya, anak-anak dan remaja pada khususnya.
Intensitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah
keadaan tingkatan atau ukuran intensnya sebuah penggunaan dalam keseharian.
Jika membahas perihal gadget, tentu tak terlepas dari fasilitas-fasilitas yang ada
dalam aplikasi gadget tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumen kini
dapat memilih dari berbagai perangkat yang mampu memuaskan kebutuhan
mereka untuk "kapan saja, di mana saja" akses ke berita, informasi, teman-teman
dan hiburan (Smith, 2010).
17
Nielsen (Murisha dan Gilang, 2012) telah melakukan riset terhadap
pengguna internet di Indonesia, dari riset tersebut ditemukan bahwa penggunaan
internet untuk email, mayoritas responden (76%) mengakses internet setiap hari.
Adapun untuk instant messaging, 55% responden mengatakan mengakses internet
setiap hari. Selain itu, 28% responden Indonesia juga membaca blog setiap
harinya, sedangkan untuk chatting, 34% responden Indonesia mengakses internet
setiap hari.
Horrigan (2000) menjelaskan aspek paling mendasar jika dalam
penggunaan gadget yaitu frekuensi dan lama (durasi) penggunaan yang dilakukan.
Berdasarkan dua aspek tersebutlah penulis mengadaptasi terhadap penelitian ini.
Jordan (2008) dalam penelitiannya mengemukakan beberapa faktor
yang mendukung anak dalam menggunakan gadget :
1)
Rasa tertarik anak terhadap aplikasi yang terdapat pada gadget.
Aplikasi yang terdapat pada gadget menarik anak untuk mencoba
dan kemudahan dalam mengakses membuat anak leluasa untuk
menggunakan gadget dalam mengisi waktu kesehariannya.
2)
Motivasi yang didukung oleh observasi anak terhadap orangtua
yang menggunakan gadget.
Dalam hal ini, peran orangtua dalam menggunakan gadget juga
menjadi salah satu faktor mengapa anak menggunakan gadget.
Modelling
yang
dilakukan
terhadap
orangtuanya,
semakin
mendorong anak untuk mengikuti apa yang dilakukan orangtuanya.
18
3)
Penggunaan yang dimotivasi dari observasi penggunaan gadget
pada orang dewasa.
Tak hanya orang tua, lingkungan sekitar juga menjadi salah satu
faktor motivasi anak menggunakan gadget.
4)
Motivasi yang didukung faktor interaksi.
Interaksi yang dilakukan anak dengan teman sebayanya atau
lingkungan sekitarnya yang juga menggunakan gadget juga
menjadi salah satu faktor, ditambah kebutuhan interaksi pun
menjadi motivasi anak dalam menggunakan gadget.
Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa intensitas
penggunaan gadget adalah sebuah keadaan tingkatan atau seberapa sering
seseorang menggunakan fasilitas yang ada dalam gadget dengan frekuensi waktu
tertentu. Dimana terdapat dua aspek yang paling mendasar, yaitu frekuensi dan
durasi yang nantinya akan digunakan penulis untuk menyusun skala intensitas
penggunaan gadget. Serta terdapat faktor yang mendukung anak dalam
menggunakan gadget adalah rasa tertarik/ingin tahu anak terhadap gadget,
motivasi yang didukung observasi terhadap orangtua, penggunaan gadget yang
termotivasi oleh orang dewasa, dan motivasi yang didukung faktor interaksi anak
dengan lingkungannya.
2.3.
Anak Usia Middle Childhood
Periode masa
kanak-kanak
menengah dan
akhir
melibatkan
pertumbuhan yang lambat dan konsisten. Dimana pada masa ini adalah periode
tenang sebelum terjadi pertumbuhan yang cepat pada masa remaja (Santrock,
19
2011). Dilihat dari perkembangan motoriknya, Santrock (2011) menjelaskan
bahwa selama masa kanak-kanak menengah dan akhir, perkembangan motorik
anak-anak menjadi lebih lancar dan lebih terkoordinasi daripada ketika masa
kanak-kanak awal. Ketika anak-anak bergerak menjalani tahun-tahun sekolah
dasar, mereka pun mampu memperoleh kontrol seluruh tubuh mereka dan mampu
untuk duduk dalam jangka waktu yang lebih lama. Anak-anak usia sekolah pun
dapat berkonsentrasi lebih lama dari anak-anak yang lebih muda dari mereka dan
dapat memusatkan pada informasi yang mereka perlukan dan inginkan seraya
menyaring informasi yang tidak relevan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Menurut Piaget (1952), pemikiran anak prasekolah adalah sebuah
pemikiran praoperasional. Dimana pada anak usia prasekolah tersebut, anak dapat
membentuk konsep yang stabil dan mereka mulai berpikir secara logis, namun
pemikiran mereka masih dipengaruhi oleh egosentrisme dan sistem keyakinan
magis (Santrock, 2011). Piaget mengemukakan bahwa tahap operational konkret
akan berlangsung pada sekitar usia 7-10 tahun. Ada pun pada tahap ini, anak
sudah dapat melakukan tindakan konkret, dan mereka mampu berpikir secara
logis selama mereka dapat menerapkan penalaran mereka pada contoh yang
konkret dan spesifik. (Santrock, 2011). Dimana operasi adalah suatu tindakan
mental yang dapat dibalik, sedang operasi konkret adalah tindakan yang terdapat
pada objek dan bersifat konkret dan nyata.
Pada
tahap
operasional
konkret,
anak-anak
sudah
memiliki
pemahaman yang lebih baik daripada anak-anak praoperasional mengenai konsep
spasial, sebab-akibat, pengelompokan, penalaran induktif-deduktif, konservasi,
20
serta angka (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal tersebut menjadi sebuah
kemajuan dalam perkembangan kognitif anak usia middle childhood. Selama
masa kanak-kanak menengah dan akhir, sebagian besar anak secara dramatis
meningkatkan kemampuan mereka dalam mengendalikan dan mempertahankan
perhatian (Santrock, 2011).
Santrock (2011) menjelaskan bahwa terdapat empat karakteristik
perkembangan emosional dan kepribadian pada masa kanak-kanak menengah,
yaitu:
1)
Diri
Pada masa kanak-kanak menengah, peningkatan pemahaman diri
anak meliputi faktor sosial dan psikologis. Pada usia 8-11 tahun,
anak-anak
semakin
menggambarkan
diri
mereka
dengan
karakteristik dan trait psikologis yang berlawanan dengan deskripsi
diri yang lebih konkret pada anak-anak yang lebih muda. Pada
masa ini pula anak-anak menunjukkan perspective taking, yaitu
kemampuan untuk mengasumsikan perspektif orang lain serta
memahami pikiran dan perasaan mereka. Dalam perspective taking
pula Santrock (2011) menjelaskan bahwa hal tersebut dianggap
sangat
penting
dalam
mengetahui
apakah
anak-anak
mengembangkan sikap dan periaku prososial atau antisosial.
Dimana hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan anak-anak
untuk bersimpati dengan orang lain yang membutuhkan.
21
2)
Perkembangan Emosional
Perubahan perkembangan dalam emosi meliputi peningkatan
pemahaman seseorang terhadap emosi yang kompleks seperti rasa
bangga ataupun rasa malu, pemahaman bahwa lebih dari satu emosi
yang dapat dialami dalam situasi tertentu, kecenderungan untuk
mengetahui peristiwa yang menyebabkan reaksi emosional,
kemampuan untuk menekan atau
menyembunyikan
reaksi
emosional yang negative, serta sebuah kemampuan untuk
berempati.
3)
Perkembangan Moral
Kohlberg menggambarkan tiga tingkatan pemikiran moral, dan
masing-masing ditandai dengan dua tahap, yakni:
a)
Penalaran prekonvensional. Pada tingkat ini baik dan buruk
diinterpretasikan dengan reward dan punishment.
• Tahap 1. Heteronomous Morality, merupakan tahap
pertama dalam penalaran prekonvesional dimana pada
tahap tersebut pemikiran moral terkait dengan hukuman,
sehingga pada tahap tersebut anak-anak mulai berpikir
bahwa ada hukuman untuk ketidaktaatan.
• Tahap 2. Individualism, instrumental purpose, and
exchange, pada tahap tersebut alasan individu untuk
melakukan sesuatu merupakan sebuah hal yang benar
untuk dilakukan, namun tetap membiarkan orang lain
22
melakukan hal yang sama. Sehingga mereka pun berpikir
bahwa apa yang benar melibatkan sebuah pertukaran yang
sama.
b)
Penalaran Konvensional. Pada tingkat ini anak mulai
menerapkan standar tertentu, tetapi mereka adalah standar
yang ditetapkan oleh orang lain, seperti orangtua atau
pemerintah.
• Tahap 1. Mutual interpersonal, expectation, relationship,
and interpersonal conformity. Pada tahap ini, nilai
kepercayaan,
kepedulian,
dan kepercayaan individu
kepada orang lain menjadi sebuah dasar penalaran moral.
• Tahap 2. Moralitas sistem sosial, pada tahap ini penilaian
moral didasarkan pada pemahaman tatanan sosial. hukum,
keadilan, dan tugas.
c)
Penalaran Pascakonvensional. Pada tingkat ini anak
mengakui ajaran moral alternative, mengeksplorasi pilihan,
dan kemudian memutuskan pada kode moral pribadi.
d)
Tahap 1. Kontrak sosial atau kegunaan dan hak-hak
individu, pada tahap ini alasan individual bahwa nilainilai,
ha.k-hak, dan
prinsip-prinsip
mendasari
atau
melampaui hukum.
• Tahap 2. Prinsip etika universal, pada tahap ini orangorang sudah mengambangkan sebuah standar moral
23
berdasarkan hak asasi manusia yang universal. Ketika ada
dilemma antara hukum dan hati nurani, individu mulai
untuk mengikuti hati nurani.
4)
Gender
Stereotip gender yang semakin meluas terhadap kategori
yang mencerminkan kesan dan keyakinan mengenai laki-laki dan
perempuan. Pertimbangan perilaku menolong, stereotipenya adalah
bahwa perempuan lebih baik daripada laki-laki (Santrock 2011).
Eagly dan Crowley (Santrock, 2011) mengungkapkan dalam situasi
ketika orang merasa berkompeten dalam situasi yang melibatkan
bahaya, laki-laki lebih mungkin untuk menolong dibandingkan
dengan perempuan. MacGeorge (Santrock, 2011) pun mengatakan
sebuah studi mencatat bahwa laki-laki lebih mungkin untuk
menolong ketika terdapat konteks maksulin.
Dalam perkembangan perilaku sosial dimana merujuk pada tahapan
perkembangan psikososial dari Erikson, pada usia middle childhood seorang anak
akan memasuki tahap industry versus inferiority dengan kompetensi sebagai nilai
(virtue) yang harus dicapai (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dimana pada
rentang usia tersebut, konsep diri seorang anak akan berkembang dan semakin
meluas hingga mengembangkan nilai “kompetensi” diri mereka agar terhindar
dari sifat inferiority terhadap lingkungan. Dari tahap krisis itulah rasa malu,
bersalah, empati, dan tanggung jawab semakin matang dalam diri anak. Dan hal
24
tersebut menjadi salah satu aspek sebuah sikap prososial yang terjadi dalam diri
anak.
Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak
pada usia kanak-kanak tengah sudah mulai memasuki tahap operational konkret
dimana pada tahap ini, anak sudah dapat melakukan tindakan konkret, dan mereka
mampu berpikir secara logis selama mereka dapat menerapkan penalaran mereka
pada contoh yang konkret dan spesifik. Dan hal ini berkaitan dengan mulai
berkembangnya perilaku-perilaku pada anak, dimana salah satunya adalah
perilaku prososial. Perilaku prososial merupakan perilaku meolong yang
dilakukan oleh manusia sebagai makhluk sosial tanpa mengharapkan suatu
imbalan apapun. Dimana perilaku prososial memiliki aspek-aspek antara lain
altruisme, memberi, menolong, kerjasama, dan empati.
2.4.
Kerangka Berpikir
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki keterbatasan,
sehingga manusia memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Terdapat berbagai faktor saat ini untuk seseorang melakukan perilaku
prososial, khususnya anak-anak. Salah satunya yaitu melalui media. Dimana
media saat ini sangat mudah di akses melalui teknologi gadget yang sudah
tersebar di berbagai daerah.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa adanya
hubungan antara intensitas penggunaan gadget dengan perilaku prososial pada
anak usia middle childhood.
25
Kerangka berpikir dalam penelitian ini yaitu :
Intensitas
Penggunaan
Gadget
2.5.
Perilaku Prososial Anak
Usia Middle Childhood
Hipotesis
Ada hubungan positif yang signifikan antara intensitas penggunaan gadget
dengan perilaku prososial anak usia middle childhood.
26
Download