PADJADJARAN LAW REVIEW Vol, 1/2013 Dewan Redaksi Mitra Bestari: Susi Dwi Harijanti, SH., LL, M., Ph.D. Bilal Dewansyah, S.H., M.H. Redaktur: Adityo Bagus Rihandono Bonar Bintang Ilham Magribi Hanief Hayatul Fajr Reihan Faiz Diterbitkan Oleh: Padjadjaran Law Research & Debate Society www.pleads.org. @pleads_ DAFTAR ISI Daftar Isi Energi dan Pasal UUD 1945 ................................................................................................... 1 Bagir Manan Perkembangan Hukum Lingkungan Intemaxional dan Relevansinya dengan Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru ...................................................................... 17 Idris Implementasi UU nomor 2 tahun 2012 Dalam Hal Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur Migas .................................................................................... 43 Ida Nurlinda Akuntabilitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Fungsi Legislasi studi Terhadap DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis) .......... 62 Inna Jonaenah, Rahayu Prasetyaninging, Aisyah Ramadhania Politik Hukum dalam Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi, Menuju Juristocracy? ......................................................................................................................... 90 M. Adnan Yazar Zuhikar Penataan Kelembagaan Negara Politik Hukum Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Kewenangan Kearah Judicial of Politics ? ....................................................................... 113 Neneng Widasari Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Kerangka Negara Demokratis .......................................................................................................................... 125 Aisyah Ramadhania Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Energi dan Pasal 33 UUD 1945 Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.CL. A. Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah ahli dan pengamat di luar Pemerintah berpandangan, sistem ekonomi Indonesia menjadi bagian dari sistem Ekonomi Liberal (secara lebih luas disebut Neo Liberal atau Neolib). Secara sederhana esensi yang dipersoalkan antara Neo-lib dan non Neo-lib, antara lain adalah pasar versus negara (pasar yang menentukan atau negara yang menentukan).Pandangan ini lebih lanjut berpendapat, sistem ekonomi Liberal atau Neo-lib bertentangan dengan asas-asas perekonomian yang dikehendaki UUD 1945yang mesti disusun menurut tatanan demokrasi ekonomi, kekeluargaan atau gotong royong. Lebih jauh penyimpangan itu mempunyai refleksi terhadap cita-cita kesejahteraan atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Seandainya pengamatan para ahli dan pengamat tersebut mengandung kebenaran, hal itu sangat prinsipil ditinjau dari UUD 1945. Penulis bukanlah ekonomi dan masalah-masalah kesejah-teraan sosial atau keadilan sosial. Tetap isebagai ahli hukum yang mempelajari konstitusi merasa perlu menyampaikan catatan kons-titusional mengenai perekonomian nasional dan paham keadilan sosial menurut UUD 1945. Bukan sesuatu yang baru, tetapi sekedar ulang kaji terhadap pokok persoalan yang sudah menjadi communis opinio doctor umbahkan dihafal banyak orang. Namun, walaupun UUD 1945 memberi tempat pada peran negara dan para Penyusun UUD 1945 (Pendiri RI) dengan tegas menolak kapitalisme, liberalisme, individualisme, apakah hal itu dapat diartikan serta merta menolak sistem pasar bebas (free market completion) peran swasta dalam mengelola perekonomian?1 1 Neo liberals insisted that market was superior to any form of government intervention inensuring theas a whole. Therefore the roleof the state should be limited to providing and environment in which the market can operate effectively by protecting proverty rights, enforcing contractual obligations, and providing basic sapety and secunty of its peoples, Pamela D. TolerUnderstanding Socialism, 2011, hlm 244 1 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 B. Cita-cita Sosial dan Ekonomi Indonesia merdeka Seluruh the founding father dan the framers of the constitution (UUD 1945) sepakat, Indonesia merdeka bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum, sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan itu, disepakati tata kehidupan politik, ekonomi, sosial dan lain-lain, yang tidak disusun dan dilaksanakan atas dasar negara kekeluargaan (Soekarno – Supomo) atau kolektivisme (Hatta). Salah satu perwujudan dasar kekeluargaan atau kolektivisme yaitu mengenai paham demokrasi yang sekaligus mencakup demokrasi dalam makna politik dan ekonomi. Soekarno mengutarakan sebutan politicke – economische democratie yaitu demokrasi yang disertai sociale rechtsvaardigheid (politik yang disertai keadilan/kesejahteraan sosial) atau demokrasi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial. Hatta sejak masih masa pergerakan menekankan pentingnya demokrasi ekonomi. Berulang-ulang beliau menyatakan demokrasi politik tidak akan menjamin keadilan tanpa disertai demokrasi ekonomi. Walaupun begitu, Hatta sama sekali tidak menolak peran swasta, termasuk asing sepanjang dalam penilikan pemerintah. C. UUD 1945, Pasal 33 Pasal 33 adalah dasar perekonoomian nasional. Setelah Perubahan, Pasal 33 berbunyi: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bernama berdasar atas asas kekeluargaan 2) Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4) Pereknomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 2 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang. Tidak ada perubahan terhadap ayat (1), (2), dan (3). Tambahan ayat (4) hanya menegaskan mengenai asas yang telah terkandung dalam ayat (1) yaitu asas kekeluargaan. Jadi, bukan suatu muatan baru. Ayat (5) hanya sebagai pasal yang menunjuk undang-undang organik sebagai peraturan pelaksanaan. Sebelum perubahan penjelasan Pasal 33 (3 ayat) berbunyi: “Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggotaanggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab iru kekeluargaan. Bandun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.” “perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada ditangan orang seorang.” “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan unruk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sumber lain yang bersifat historis sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (1) , (2) dan (3) adalah hasil kerja “Panitia Keuangan dan Perekonomian” (Panitia dibentuk dalam Sidang BPUPKI, 1945) yang diketuai Mohammad Hatta,2 sebagai berikut: Soal Perekonomian Indonesia Merdeka “Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong! Perekonomian Indonesia Merdeka akan berdasar kepada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, jang akan 2 Anggota-anggota : Suratman, Margono, Sutardjo, Samsi, Rooseno, Surjo Amidjojo, Dewantara Kusuma Atmadja, Dasaad, Oei Tiong Hauw, Asikin, Dahler, Besar, Yamin, Baswedan, Namun, Mohammad Yamin menolak sebagai anggota Panitia Keuangan dan Perekomian. 3 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 diselenggarakan berangsur-angsurdengan mengembangkan kooperasi”. “Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya orang banyak, tempat beriburibu menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, mestinya di bawah kekuasaan Pemerintah. Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabil buruk baiknya perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja didalamnya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan sematamata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman kepada keselamatan rakyat. Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana, semakin besar mestinya pesertaan Pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu merupai bangunan korporasi publik. Itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan.” “Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-orang untuk menindas dan memeras hidup orang lain.” “Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa dengan itu dijalankan sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan rakyat. Dan tanahnya serta isinya negara yang punya. Tetapi cara menjalankan eksploitasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada Pemerintah menurut peraturan yang ditetapkan.” “ini tentang ideologi perekonomian, yang hanya dapat diselenggarakan berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani kepada orang banyak.” 4 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Mendahului hasil kerja Panitia diatas, Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 mengutarakan: “.... bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politieke economische democratie3 yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” “.... marilah kita terima prinsip hal social rechtsvaardigheid4ini, yaitu bukan saja persaman politik, saudara-saudara, tetapi di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama sebaik baiknya” Supomo pada tanggal 31 Mei 1945 mengutarakan: “sekarang tentang perhubungan antara negara dan perekonomian, dalam negara yang berdasar integralisik, yang berdasar persatuan , maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “sosalisme negara: (staatssocialisme). Perusahaanperusahaan yang penting akan diurus oleh egara sendiri, akan tetapi pada hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa uang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan kepada sesuatu badan hukum privat atau kepada seseorang, itu semua tergantung daipada kepentingan negara, kepentingan rakyat seluruhnya. Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan sekarang , perusahaan-perusahaan sebagai lalu lintas, electriciteit, perusahaan alas rimba harus diurus oleh negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambangtambang yang penting untuk negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinyat tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani.” “Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan juga oleh karena kekeluargaan itu sifat masyarakat Timur, yang harus kita pelihara sebaik- 3 4 Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Keadilan sosial 5 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 baiknya. Sistem tolong-menolong, sistem kooperasi hendaknya dipakai sebagai salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia.” Tanpa mengurangi pendapat-pendapat di atas, sampai sekarang tidak diperdebatkan mengenai peranan Mohammad Hatta sebagai peletak dasar Pasal 33. Sejak masa pergerakan Mohammad Hatta terus menerus menganjurkan dan memperjuangkan sistem ekonomi nasional yang tidak berdasarkan individualisme dan kapitalisme. Salah satu risalah yang ditulis Mohammad Hatta yang sangat terkenal adalah “Demokrasi Kita” (1960). Dalam kalian dengan demokrasi Mohammad Hatta menulis: “demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan” “Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau ada. sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial, meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita keadilan, yang terbangun di muka dijadikan program untuk dilaksanakan di dalam praktik hidup nasional di kemudian hari.” “Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia waktu itu: Pertama; paham sosialis barat, yang menarik perhatian mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya Kedua; ajaran islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan, antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang. Ketiga; Pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme5 Mengenai asas kekeluargaan, Mohammad Hatta menulis: “Asas kekeluargaan itu ialah koperasi”. “Hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudaran, satu keluarga” 5 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, BP.2004 6 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 “Rasa solidaritas dan diperkuat. Anggota dididik menjadi orang yang mempunyai indivialitas, insyaf akan harga dirinya. Apabila ia insyaf akan harga dirinya sebagai anggota koperasi, tekadnya akan kuat untuk membela kepentingan koperasinya. Ingatannya akan tertuju akan kemajuan bersama,sebagai anggotaanggota koperasi.” "Individualitas lain sekali dengan individualisme. Individualisme adalah setiap orang mengutamakan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan diri sendiri dari kepentingan orang lain." "Individualitas menjadi seorang anggota koperasi sebagai pembela danpejuang yang giat bagi koperasinya. Dengan naik dan majukoperasinya kedudukannya sendiri akan ikut naik dan maju. Dalampelajaran dan usaha koperasi, di bidang manapun juga, ditanamkemauan dan kepercayaan diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan"self-help" dan oto aktivitas guna kepentingan bersama". Mengenai peran swasta, Mohammad Hatta menulis: “Antara aktivitas koperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas Pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat dikerjakan oleh swasta. Pengusaha swasta bangsa kita sendiri atau oleh golongan swasta Indonesia yang bekerja dibawah penilikan pemerintah dan daam bidang dan syarat yang ditentukan Pemerintah.” Baik bunyi Penjelasan, rumusan Panitia Perekonomian dan Keuangan, serta pendapat-pendapat dalam sidang BPUPKI dan PPKI, dapat ditarik beberapa prinsip yang mendasari dan semestinya dijalankan dalam melaksanakan Pasal 33 atas dasar berupa prinsip : Pertama; Pasala 33 merupakan konsekuansi dari kehendak tidaka menjalakan sistem ekonomi kapitalis dalam sistem perekonomian Indonesia merdeka. Kedua; Pasal 33 bertujuan membangun sistem perekonomian nasinal yang menjamin terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat atas dasara sociale rechtsvaardigheid atau keadilan social bagis seluruh rakyat Indonesia. 7 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Ketiga, Pasal 33 menghendaki perekonomian nasional dijalankan menurutdasar-dasar demokrasi ekonomi, atau demokrasi sosial (kolektivisme) ataudemokrasi sosial ekonomi (sociaal economische democratie). Keempat; sesuai dengan asas demokrasi ekonomi, sistem perekonomiandijalankansebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan yang berwujud dalam bentuk usaha koperasi Kelima; Pasal 33 menghendaki negara turut serta dalam usaha-usaha perekonomian nasional dengan menguasai atau setidak-tidaknya mengaturdan mengawasi. Dengan perkataan lain, mekanisme ekonomi tidak dijalankan atas dasar mekanisme pasar bebas yang merupakan sistem ekonomi kapitalis, Cabangcabang ekonomi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara. Keenam; Pasal 33 tidak melarang usaha orang seorang (non pemerintah),yaitu usaha swasta dalam negeri dan asing untuk usahausahaperekonomian yang tidak penting bagi negara atau tidak menyangkut hajat hidup orang banyak atau sepanjang usaha-usaha tersebut tidak bertentangan dengan upaya mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat. D. Energi dan Pasal 33 UUD 1945 Tidak ada sebutan “energi” dalam UUD 1945. Sebutan energi muncul sebagai praktek ketatanegaraan (praktek pemerintahan). Untuk satu pemerintahan.(pernah) dipergunakan sebutan: Departemen Pertambangan, Departemen Pertambangan dan Energi. Sekarang dipergunakan sebutan:Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (populer disebut ESDM).6Mungkin sebutan“energi” lebih tepat. Selain mencerminkan sifat dan fungsi sebutan "energi" lebih luas dari sebutan barang tambang (pertambangan). Tetapi juga tidak boleh terlalu luas (meluas). Kayu atau arang kayu juga suatu bahan 6 Penggunaan sebutan "pertambangan didapati pada salah satu rumusan Panitia Perekonomian, 1945. Sepanjang menyangkut sebutan "UU Pertambangan" merupakan tiruan dari "mijnwet" atau “mejnbesluit” 8 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Telah dicatat di muka, ayat (3) UUD 1945 menyebutkan: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ada dua konsep dasar Pasal 33 ayat (1) yaitu : Pertama: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan airdikuasai negara (bumi dikuasai negara, air dikuasai negara, kekayaan alam dalam bumi dan air dikuasai negara). Kedua; bumi, air, dan kekayaan alam yang kuasai negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dalam kaitan organisasi negara (staatsorganisatie), pengertian Bumi danair tidak dapat dipisahkan dari konsep wilayah negara (state territory) dikuasai negara. Begitu pula pengertianair yang termasuk wilayah negara RI alam dalam kekayaan alam yang terkandung didalamnya" adalah kekayaan wilayah,wilayah negara Republik Indonesia. Karena bertalian dengan konsep negara UU Agraria menambahkan ruang angkasa (menurut hukum, wilayah negara terdiri dari daratan, perairan dan udara di atas wilayah daratan dan perairan)7. Bagi ahli-ahli hukum angkasa (lebih luas dari pengertian hukum udara), sebutan "ruang angkasa" berlebihan. Dalam makna wilayah, lebih tepat ruangudara Menurut hukum, pengertian ruang udara" yaitu ruang dalam batas atmosfir. 1. Pasal 1 ayat (2) “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi. air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional” 7 Pasal 2 ayat (1) : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 1 (maksudnwa Pasal 1 UU Agraria, Pen), bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. 9 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 a. Konsep "dikuasai oleh negara" Apakah yang dimaksud: "dikuasai oleh negara dan mengapa harus dikuasai oleh negara?" UU Agraria, menjelaskan makna dikuasai negara sebagai berikut (1) Konsep "dikuasai negara" bukan konsep "domein" yang berlaku di masaHindia Belanda (Agrarischwet Agrarischebesluit). Disebutkan: “Asasdomein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia danasas (daripada) negara yang merdeka dan modern”. (2) Selanjutnya dijelaskan: "Adalah lebih tepat, jika negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa ... sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki", akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu" Catatan: Ditinjau dari teori hukum, asas domein adalah konsep hukum keperdataan (civielrechtelijk). Dikuasai oleh negara adalah konsep hukum publik (publiekrechtelijk). Penjelasan ini agak kontroversial. Menurut teori hukum, kekuasaan publik yang dikuasai hukum publik adalah "prevail, karena itu dapat mengkesampingkan hak-hak keperdataan seperti hak milik atau karena. Atas dasar itu, negara, baik berdasarkan ketertiban umum publiek orde) atau kepentingan umum (publiek belangen) dapat mencabut hakhk keperdataan (onteigening). Karena itu, sebenarnya konsep "dikuasai negara bukanlah sekedar meniadakan asas domein (hak milik negara atas dasar hukum keperdataan), tetapi menyangkut dasar hubungan rakyat dengan tanah dan air serta kekayaan didalamnya. menurut cara berpikir hukum atau masyarakat adat seperti cara berpikir komunal, kekeluargaan, hak ulayat. (3) substansi hak menguasai negara meliputi a, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya; b. bentukan dan mengatur hak-hak yang dapat di punyai ata (bagian dari) bumi air, dan ruang angkasa 10 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa; Memperhatikan substansi-substansi di atas, menunjukan,secara derivatif hak menguasai negara dapat diturunkan kepada subyek hukum lain (selain negara). Hak-hak derivatif tersebut dapat berubah sifat dari hak-hak yang bersifat publik (oleh negara), menjadi hak-hak keperdataan (di tangan subyek hukum non negara). Dikatakan "dapan, karena dimungkinkan hak-hak derivatif itu tetap bersifat publik atau sekurang- kurangnya dapat dilekati dengan hak-hak publik (termasuk fungsi publik). Di masa lalu, kita mengenal bentuk badan usaha yang disebut konsesi, yangdiberi (dilimpahi) wewenang publik tertentu, seperti membuat peraturan umumyang berlaku dalam lingkungan wilayah konsesi. Praktek yang berlakusekarang, hak derivatif yang diberikan padasubyek hukum (orangperseorangan atau badan hukum) lebih bersifat hak-hak keperdataan.Sebagai hak keperdataan (hak subyektif atau hak obyektif), menimbulkan berbagai konsekuensi hukum. Pertama; hapusnya hak menguasai negara akibat perubahan sifat hak menjadi hak keperdataan. Kedua; hak-hak keperdataan yang diperoleh subyek akibat derivasi dari hak publik negara (hak menguasai negara)melahirkan hak-hak turutan lain seperti hak mengalihkan, hak menjaminkan, hak memperoleh sebesar-besarnya laba atau manfaat dan lain-lain. Semuanya berada di luar jangkauan hak menguasai negara. Suatu cara agar hak menguasai negara tetap berlaku, pemberian hak derivative tidak didasarkan pada perjanjian tetapi perizinan, cq. beschikking. Dari dua hal di atas, tidak mengherankan apabila berbagai pemegang hak derivatif yang menjelma menjadi hak-hak dalam lapangan hukum keperdataan tersebut, menyebabkan terlepasnya peran negara atas dasar hak menguasai negara, kecuali terhadap hak-hak yang diperjanjikan atau diisyaratkan undang-undang atau kewajiban-kewajiban menurut undang-undang (seperti membayar pajak). idak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak tersebut untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 11 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 b. Konsep kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan "ruangangkasa”. Paling tidak, ada dua persoalan hukum mengenai kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan "ruang angkasa".Pertama; makna "kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan"ruang angkasa". Kekayaan alam dalam bumi mencakup bumi daratan dan bumi dibawah air. Kekayaan di dalam air meliputi air, benda-benda atau bahan didalam air dan di dasar air (bukan dalam tanah di bawah air). Air bukan saja tempat bagi keberadaan kekayaan alam. Air itu sendiri adalah kekayaan alam termasuk sebagai sumber energi. Kekayaan alam di ruang angkasa, cq. ruang udara meliputi udara, matahari, angin (sumber daya energi angin) tidak dapat dikuasai negara. Energi yang bersumber dari air di laut dan yang berada di ruang udara tidak dapat dikuasai negara, tetapi dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Hukum Internasional mengakui hak berdaulat (sovereign rights) negara pantai pada zone ekonomi eksklusif ZEE) Bukan kedaulatan (sovereignty). Hak berdaulat adalah “preferensi” yang diberikan kepada negara pantai untuk melakukan eksploitasi dalam wilayah ZEE (sudah berada di luar batasteritorial laut negara yang bersangkutan). Kekayaan alam tidak hanya terbatas pada bahan atau kekuatan sebagai sumber energi atau yang dapat menjadi sumber energi. Kekayaan alam seperti ikan atau biota-biota laut yang dapat dimanfaatkan atau memberi manfaat bukan sumber atau bahan energi. Sepanjang kekayaan alam itu adadalam bumi, air, dan ruang angkasa" RI, termasuk yang dikuasai negara atau dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Kedua: makna energi dikuasai negara Telah dikemukakanenergi adalah kekayaan alam. Energi dapatterkandung dalam bumi, air, ruang angkasa (ruang udara). Kecuali energi tertentu, semua energi dikuasai negara. Menurut para Founding Fathers / Framers of the Constitution, ada beberapa faktor, energi harus dikuasai negara. Pertama; energi merupakan hajad hidup rakyat banyak. Kedua; merupakansesuatu yang penting bagi negara. 12 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Ketiga; merupakan sumber utamamewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. E. Das Sollen atau Das Sein Apakah dasar perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial yang dikehendaki Founding Fathers atau the Framers of the constitution, hanya sekedar das sollen yang lekang dek paneh dan lapuak dek hujan dalamperkataan lain, dasar-dasar tersebut tidak sesuai dengan das sein baik tatanan kehidupan domèstik maupun internasional? Dasar ekonomi kekeluargaan atau demokrasi ekonomi baik secara teoritik maupun praktek memiliki landasan untuk dilaksanakan (applicability).Seperti dikatakan Hatta, paling tidak, ada tiga dasar demokrasi yang akan dijalankan di Indonesia, Pertama: atas dasar sosialisme demokratis yang berkembang dan dijalankan pada negara-negara Eropah Barat (non komunis)Konsep ini berjalan disejumlah negara seperi Inggris. Jerman, negara-negara skandinavia. Kedua; atas dasar adat-istiadat Indonesia seperti permusyawaratan dan gotong royong. Ketiga: atas dasar Islam (dianut bagian terbesar rakyatIndonesia) yang menghendaki keadilan dalam segal aaspek kehidupan(termasuk ekonomi). Dapat pula ditambahkan faktor-faktor lain. Pertama:demokrasi ekonomi bertolak dari kenyataan sosial rakyat Indonesia yang dihadapi, seperti ketiadaan modal, keterbelakangan, dan kemiskinan. Karena itu pembangunan atas dasar ekonomi koperasi tidak bertolak dari pemilikan modal perorangan tetapi modal bersama (sebagai hasil gotong royong). Kedua:demokrasi ekonomi bukan sistem ekonomi negara (state economy), karena itutetap membuka peluang bagi usaha perorangan (swasta) untuk lapangan lapangan ekonomi yang tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup rakyat banyak. Lapangan ini seperti berkali-kali dikatakan Hatta masih sangat luas. 13 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Kalau demikian, mengapa ada pendapat atau kesan dasar-dasar demokrasi ekonomi tidak dijalankan. Sebaliknya yang terjadi adalah liberalisasi yang menunjukkan kapitalisme yang makin menguat. Kebangkitan ekonomi yang memberi peran utama kepada swasta(pemilik modal) telah dimulai sejak masa Orde Baru Pertama; pengaruh global. Pada akhir abad ke-20 di negara-negara maju timbulgelombang privatisasi dengan alasan efisiensi dan mengurangi beban sosial pemerintah (akibat konsep negara kesejahteraan) yang makin berat. Dikehendaki, kaum swasta (pemilik modal) juga turut serta mewujudkan dan memelihara kesejahteraan umum. Hal semacam ini diikuti oleh berbagai negara yang sedang membangun termasuk Indonesia. Sayangnya ada perbedaan cara memaknai privatisasi. Di negara-negara maju, privatisasi tetap sebagai bagian dan konsep negara kesejahteraan. Namun negara tidak lagi menjadi operator utama ekonomi, tetapi lebih mengutamakan sebagai regulator untuk menjamin agar privatisasi tetap dalam kerangka kesejahteraan umum, seperti penguatan undang-undang anti monopoli, anti kartelisme, pengaturan harga dan pemasaran, dan lain-lain. Jadi, pada dasarnya, negara tetap berperan besar dalam menjalankan ekonomi dengan cara yang berbeda. Di Indonesia terkesan, privatisasi dimaknai negara melepaskan segala kewajiban dan tanggung jawab. Bahkan berusaha memberikan berbagai kemudahan yang berlebihan tanpa imbangan kewajiban usaha swasta terhadap kesejahteraan rakyat banyak. Buahnya adalah kaum pemilik modal makin kaya dan kaum miskin makin miskon. Kedua, sebagai tindak lanjut privatisasi adalah ekonomi pasar (market ekonomy). Ada keyakinan, dengan membiarkan swasta bersaing, akan terjadi efisiensi dan memberi keuntungan pada masyarakat dalam bentuk seperti barangbarang berkualitas dengan harga yang makin murah. Dapat saja hal semacam itu terjadi. Tetapi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, sulit bagi rakyat banyak memperoleh manfaat dan mekanisme ekonomi semacam itu.Selain itu, ada kekuatan antar pemilik modal yang berlomba lomba menguasai sebanyakbanyaknya segala sektor ekonomi (horizontal dan vertikal), menyebabkan peri kehidupan ekonomi hanya ada segelintir orang yang tidak memberi kesempatan pemerataan kekayaan pada sebanyak-banyaknya orang. Situasi makin rumit 14 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 ketika pemilik modal berkolusi dengan pengambil keputusan(seperti perizinan, persetujuan), perbankan, perpajakan, pertanahan dan lain-lain. Ada kemungkinan sebagian besar yang ditanamkan pemilik modal adalahuang rakyat yang disalurkan melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Bahkan pinjaman luar negeri memerlukan jaminan pemerintah (negara).Seandainya ini benar, maka privatisasi adalah semu belaka atau suatu perbuatanpura-pura belaka. Lebih jauh, persaingan tidak hanya terjadi antar pemilik modal yang kaya (kaum kapitalis). Para kapitalis menjadi pesaing kaum kecil dengan mematikan usaha-usaha kecil atau usaha tradisional. Atas nama modernisasi,pasar-pasar tradisional tempat rakyat kecil bemiaga dihancurkan melalui mall raksasa. Konglemerasi terjadi disegala sektor. Sistem politik yang korupmenyebabkan para pengejar kekuasaan makin terjalin menyesuaikan diri dengan para kapitalis Ketiga pergeseran dari konsep kekeluargaan atau gotong royong, menjadi orientasi kapital yang berpusar pada ketersediaan uang. Perubahan orientasi ini mengakibatkan hanya pemilik uang atau yang memiliki akses mendapatkan modal yang akan berpeluang memantaatkan semua kegiatan ekonomi yang menguntungkan (prom motive). Sebagian besar rakyat hanyalah sebagai obyek ekonomi belaka. Orientasi kapital membawa pula orientasi pada modal asing dalam bentuk pinjaman dan penanaman modal asing. Kenyataan menunjukkan ketergantungan pada pinjaman dan penanaman modal asing makin dominan. Keberhasilan mendatangkan sebanyak-banyaknya pinjaman dan penanaman modal asing dipandang sebagai satu keberhasilan pemerintah atau dibanggakan. Pada saat ini makin banyak sektor ekonomi dikuasaiasing ditambah pula penguasaan oleh kapitalis domestik. Keempat pergeseran-pergeseran tersebut Pertama, Kedua, dan Ketiga berdampak pada pengembangan koperasi sebagai badan usaha demokrasi ekonomi. Para pemilik modal lebih memilih bentuk badan usaha perseroan daripada koperasi. Koperasi dipandang sebagai badan usaha yang tidak dapat mendukung sistem ekonomi atas dasar kapital dan pasar. Pilihan terhadap bentuk perseroan acapkali dikuatkan pula oleh undang-undang. Pemerintah juga berperan mengucilkan peran koperasi. Koperasi bukan ditempatkan sebagai usaha ekonomi tetapi lebih diperlakukan sebagai suatu bentuk birokrasi.Koperasi tidak menjadi 15 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 tumpuan ekonomi rakyat sehingga tidak menjadi kekuatan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial). Karena itu tidak heran kalau ada persoalan korupsi yang melibatkan koperasi.Koperasi terlepas dari demokrasi ekonomi. Berbagai faktor di atas, menguatkan dugaan. Di satu pihak terjadi penyimpangan terhadap cita-cita ekonomi dan kesejahteraan yang dikehendaki UUD. Di pihak lain berkembang kapitalisme liberalisme dalam tata kehidupan ekonomi dan sosial, yang berujung pada jurang yang makin dalam antara sekelompok kecil orang yang menguasai sumber daya ekonomi dengan sebagian besar rakyat yang tetap miskin dan terbelakang. Sesuai dengan rubrik bagian ke-3 tulisan ini “apakah pergeseran dasardasar ekonomi dan sosial yang terjadi sekarang ini suatu kemestian, sehinggadasar-dasar ekonomi dan sosial dalam UUD 1945 hanyalah sebuah das Sollen bahkan ilusi belaka, atau sebaliknya; dasar-dasar ekonomi dan sosial yangdijalankan merupakan penyimpangan nyata terhadap UUD 1945 yang perlu diluruskan. Persoalannya: "bagaimana meluruskan berbagai penyimpangantersebut?" Secara filosofi, perlu suatu upaya menemukan kembali UUD 1945.Secara praktis diperlukan tindakan komprehensif dan fundamental (radikal) menata kembali semua kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak. Hal ini tidak hanya memerlukan pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang akuntabel dan sehati dengan rakyat banyak. 16 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional dan Relevansinya dengan Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru Dr. Idris, S.H., MA.1 A. Pendahuluan Hukum Lingkungan Internasional (International Environmental Law) adalah nama mata kuliah di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang berada pada Bagian Hukum dan Pembangunan/Masyarakat yang membina Program KeKhususan (PK) Hukum Lingkungan dan Tata Ruang. Mata Kuliah tersebut diberikan kepada mahasiswa Semester Genap sebagai mata kuliah wajib PK itu. Mata Kuliah ini mempunyai sejarah penting dengan perkembangan Universitas Padjadjaran sendiri sampai sekarang dengan tokohnya Mochtar Kusumaatmadja sehingga menjadikan Universitas ini dikenal sebagai Universitas yang concern terhadap perkembangan hukum daan lingkungan hidup. Penulis sendiri diberi kepercayaan oleh Bagian tersebut untuk mengajar mata kuliah ini sejak tahun 1999 dengan alasan bahwa penulis tertarik untuk mendalami mata kuliah tersebut dan ingin terus menjadikan mata kuliah ini menjadi bencmark sekaligus memperkuat PIP (Pola Ilmiah Pokok) Universitas Padjadjaran.. Mata kuliah ini mempunyai nilai “sui generis” yang memerlukan kesadaran pengajarnya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang mungkin berbeda dengan misalnya maata kuliah hukum perkawinan atau hukum pidana. Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional ini sudah dibuatkan GarisGaris Besar Program Pengajaran (GBPP) bagi kepentingan pengajaran dan pendidikan di Fakultas Huku Universitas Padjadjaran. Mata kuliah ini mencerminkan gerak dinamis masyarakat internasional baik diwakili negaranegara, subyek hukum internasional laainnya, maupun lembaga swadaya masyarakat internasional yang secara terus-menerus “berteriak” pentingnya melindungi dan melestarikan lingkungan hidup global karena menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat dunia dan pemanfaatan secara bijak sumber 1 Dr. Idris, S.H., MA., Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Ketua Bagian Hukum Internasional (2010-2013). 17 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 daya alam bagi pembangunan nasional dan internasional. Oleh karena itu, muatan materi dalam GBPP tersebut harus selalu di update sebagai bentuk perhatian terhadap perkembangan current issues lingkungan global dan juga mengajak mahasiswa untuk mengkritisi materi kuliah tersebut sesuai dengan perkembangan sekarang dan yang akan dataang, seperti semakin berkembangnya principles of sustainable development dan energy crisis.2 B. UNPAD dan Perhatiannya Terhadap Lingkungan Global Universitas Padjadjaran sebagai perguruan tinggi negeri di Indonesia mempunyai perhatian dan sejarah penting terhadap lingkungan global (global environment), sehingga melakukan upaya-upaya secara akademik memberikan kesadaran kepada masyarakat Indonesia dan dunia tentang pentingya pembangunan nasional yang pro-lingkungan yang baik dn benar karena Universitas Padjajdjaran untuk pertama kalinya di Indonesia pernah menyelenggarakan “Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan Pembangan Nasional” pada tanggal 15-18 Mei 1972 atas prakasa Rektor (waktu itu) Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran dibawah pimpinan Prof Otto Soemarwoto. Dalam Seminar tersebut dirintis usaha pengembangan tata pendekatan dan pembahasan masalah lingkungan secara interdisipliner dan multidisipliner, seperti beragamnya judul yang disampaikan dalam Seminar di Universitas Padjadjaran tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Kebijakan Dasar Pembangunan Nasional oleh Prof Dr. Widjojo Nitisastro, Menteri Ekuin/Ketua BAPPENAS; 2. Prinsip-prinsip dan Konsepsi Ekologi sebagai Dasar Pengelolaaan Lingkungan Oleh Prof. Dr. Dody A. Tisna Amidjaja, Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB); 2 Dalam rangka Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sekarang sdang disusun di fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, istilah GBPP/SAP akan diganti dengan istikah RPKPS (Rencama Program Kegiatan dan Pembelajaran Semester) yang juga akan mempengaruhi pengurangan/penggabungan beberapa mata kuliah, sehingga nanti mungkin mata kuliah akan berkurang tetapi bobot SKS bertambah. Dengan KBK juga dimungkinkan adanya beberapa mata kuliah baru yang sejalan dengan kebutuhan market dan stakeholder, sehingga tulisan ini mempunyai nilai futuristik yang kira-kira mata kuliah apa yang diperlukan di masa-masa yang akan datang dan mata kuliah apa yang perlu di ‘parkir’. 18 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 3. Permasalahan Lingkungan oleh Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, Guru Besar Tataguna Biologi/Direktur Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran; 4. Sistem Nilai dan Pendidikan tentang Lingkungan Hidup Manusia oleh Dr. Soedjatmoko, Penasihat Teknis/Ahli Bidang Sosial-Budaya BAPPENAS; 5. Masalah Teknologi dan Pembinaan Lingkungan oleh Ir. Rachmat Wirdisuria, Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen PUTL; 6. Masalah Populasi dalam rangka Pembangunan dan Lingkungan oleh Dr. N. Iskandar, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI); 7. Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa Pikiran dan Saran oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Guru Besar dalam Ilmu Hukum Internasional/Rektor Universitas Padjadjaran. Makalah Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberpa Pikiran dan Saran yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja adalah bentuk nyata pemikiran seorang pakar hukum internasional dan sekaligus sebagai negarawan untuk pertama kalinya disuarakan di bumi Indonesia mengenai pentingnya hukum lingkungan. Oleh karena itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa Prof. Mochtar Kusumaatmadja adalah ilmuan pertama yang memperkenalkan hukum lingkungan di Indonesia, sehingga kemudian dikembangkan beliau menjadi mata kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran baik mata kuliah huku lingkungan maupun hukum lingkungan internasional. Seminar di Universitas Padjadjaran tersebut menegaskan betapa eratnya hubungan pembangunan hukum lingkungan dengan pembangunan nasional, sehingga apa yang sekarang dikenal dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ( principles of sustainable development ) yang secara internasional baru mulai muncul pada tahun 1987, yaitu ketika World Commission on Environment and Development membuat laporan yang dikenal dengan Brundtland Report tentang pengertian pembangunan berkelanjutan tersebut, sebenarnya Prof. Mochtar Kusumaatmadja telah memulai ide-idenya tersebut. Prof. Mochtar Kusumaatmadja ketika itu Rektor Universitas Padjajadran dan setahun kemudian diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet 19 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Pembangunan II. Rektor Universitas Padjadjaran diganti oleh Prof. Drs. Hindersah Wiratmadja yang dilantik pada tangga; 26 september 1974 oleh Menteri P dan K yang pada waktu pelantikan tersebut meminta setiap Universitas termasuk Universitas Padjadjaran mengembangkan “Pola Ilmiah Pokok” (PIP) sebagai ciri kekhasannya. Setelah melalui kajian, akhirnya sidang, Senat Guru Besar berkeimpulan secara bulat bahwa: ”Universitas Padjadjaran telah memiliki modal yang kuat dalam pengembangan Hukum dan Ekologi, selagi pendekatannya secara konseptual telah memperoleh apresiasi secara luas baik pada tingkat nasional maupun dalam forum Internasional”. Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, maka disetujui bahwa PIP Universitas Padjadjaran adalah “Pembinaan Hukum dan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional”, yang kemudian dipercayakan kepada 3 orang Guru Besar untuk kajian selanjutnya. Dalam menyempurnakan PIP Unpad tersebut, 3 Guru Besar membuat karya tulisnya sebagai berikut: 1. ”Pola Ilmiah Pokok Universitas Padjadjaran” oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja; 2. Pengembangan Hukum dan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional oleh Prof.Dr.Ir.Otto Soemarwoto; 3. Binamulia Hukum, Sejahtera, dan Ekosistem oleh Prof.Dr.Didi Atmadilaga. Setelah melalui kajiannya oleh 3 Guru Besar itu akhirnya PIP UNPAD dirumuskan dan disahkan yang berbunyi: “BINAMULIA HUKUM DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL.” Sejarah PIP UNPAD ini perlu penulis ungkapkan dalam tulisan ini karena perkembangan hukum lingkungan internasional tidak dapat dilepaskan dari peran para pendahulu UNPAD yang sangat berjasa , sehingga UNPAD sekarang harus semakin memperlihatkan “kekuatannya” di bidang ini sejalan dengan UNPAD akan menuju World Class University. 3UNPAD harus sering mengadakan kegiatan seminar dan konferensi nasional dan internasional tentang persoalan lingkungan 3 UNPAD menurut catatan sminar tentang KBK tahun 2013 mendapat akreditasi B karena masih banyak prodi akreditasi B dan masih ada prodi akreditasi C ,sedangkan Fakultas Hukum sendiri akreditasi A. Ini menjadi pekerjaan tidak ringan oleh pimpinan dan semua pihak untuk memperbaikinya baik internal maupun eksternal ,sehingga UNPAD akreditasi A. 20 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 global untuk memperkuat PIP tersebut, bahkan harus ada mata kuliah yang relevan dengan PIP itu beberapa fakultas/program studinya. C. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Hukum lingkungan internasional adalah bagian atau cabang dari perkembangan hukum internasional (internasional law). Penggunaan istilah hukum lingkungan internasional (internasional environment law) bermula dari perkembangan istilah hukum internasional itu sendiri, sehingga sumber –sumber hukum lingkungan internasional tidak lepas dari sumber- sumber hukum internasional yang selalu mengacu pada pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional.4 Sumber-sumber hukum lingkungan internasional terus berkembang baik melalui berbagai perjanjian-perjanjian internasional ,hukum kebiasaan internasional ,prinsip-prinsip hukum umum , putusan pengadilan , dan ajaran sarjana terkemuka/doktrin. Dalam perkembangan hukum lingkungan internasional tersebut tidak bisa dari persoalan sumber daya alam dunia yang tersebar di seluruh Negara-negara yang semakin hari semakin berkurang sejalan dengan pembangunan dan jumlah penduduk dunia yang makin banyak. 4 Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang berbunyi sebagai berikut: “The court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a.international conventions, whether general or particular .establising rules expressly recognized by the contesting states. b.international cusom, as evidence of a general practice accepted as law; c.the general principles of law recognized by civilized nations; d.subject to the provisions of Article 59 ,judicial decisions and teachings of the most highly qualified publicists of the various nations ,as subsidiary means for the determination of rules of law.[Article 59: The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case) 2.This provision shall not prejudice the power of the court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto”. Ada beberapa ahli yang mengkritisi bahwa pasal 38 ini tidak mencantumkan resolusi –resolusi Majelis Umum PBB ,jus cogens,soft law intruments seperti deklarasi- deklarasi, atau menempatkan putusan pengadilan menjadi sumber hukum tambahan. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya resolusi- resolusi MU PBB seperti Resolusi MU PBB No 2625 tahun 1970 atau soft law instruments seperti prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 sudah dapat menjadi bagian dari hukum kebiasaan interansional (customary international law) dan prinsip-prinsip hukum umum, sedangkan jus cogens sudah banyak yang tercantum dalam perjanjian –perjanjian internasional ,seperti Prinsip Non-Use of Force, Prinsip Non-Intervensi dalam Pasal 2 Piagam PBB ,prinsip prohibition of aggression /genocide/slavery dalam Statuta Roma 1998 atau Principle Of freedom di laut lepas menurut UNCLOS 1982. 21 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Mata kuliah hukum lingkungan internasional sama dengan mata kuliah mata kuliah lain yang substansinya hukum internasional, seperti pendapat sebagai berikut “ the expression international environment law simply to encompass the corpus of international law relevant to environment issues, in the same way that use of the term law of the sea, human right law, and international economic law is widely accepted…it has become common practice to refer to international environment law in this way.”5 Perkembangan Hukum lingkungan internasional yang sekarang sedang menjadi topic pembahasan di setiap Negara adalah istilah “sustainable development atau dalam bahasa Indonesianya adalah pembangunan berkelanjutan”. Istilah ini akan terkait dengan semua aspek yang namanya pembangunan dan itu mungkin terkait dengan kegiatan eksploitasi minyak,gas, pertambangan, kemaritiman, ekonomi, dan lain-lain. Prinsip pembangunan berkelanjutan (principle of sustainable development ) menjadi topik pembahasan masyarakat internasional di berbagai pertemuan ilmiah dikarenakan lingkungan hidup global (global environment) dan sumber daya alam dunia (world natural resources ) semakin terancam oleh pembangunan ekonomi (economic development ) yang dilakukan oleh manusia. Merasa khawatir sumber daya alam untk memenuhi generasi yang akan datang, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk Komisi Dunia tentang Lingkungan dan pembangunan (the World Commission on Environment and Development )tahun 1983 yang dipimpin oleh Mantan PM Norwegia Brundtland. Komisi ini membuat laporannya dalam sebuah dokumen yang berjudul “Masa Depan Kita Bersama” (Our Common Future )yang di dalamnya ada pengertian konsep pembangunan berkelanjutan , yaitu “sustainable development as development that meets the needs of the present generation without compromising the ability of the future generations to meet their own needs” artinya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang 5 Patricia W Birnie and Alan E Boyle, International Law &the Environment, Clarendon Press,Oxford ,1992,hlm.2. 22 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.6 Pembangunan berkelanjutan sebenarnya secara konsep sudah dimulai dari adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on the Human Environment –UNCHE) yang diselenggarakan pada tanggal 5-16 juni 1972 di Stockholm. Konferensi ini menghasilkan Declaration on the Human Environment yang disebutnya sebagai a first step in developing international law yang memuat 26 prinsip yang dalam prinsip 1 dan 2 sudah memberikan pentingnya menjaga sumber daya alam untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang ,PBB kembali mengadakan konferensi yang dikenal dengan KTT Bumi (Earth Summit) atau United Nations Conference on the Environment and Development). Deklarasi Rio yang memuat 27 Prinsip tersebut menegaskan sekali prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini dibahas lagi dalam KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (the World Summit on Sustainable Development ) pada tanggal 4 September 2002 di Johannesburg Afrika Selatan, sehingga dikenal hasilnya disebut Johannesburg Declaration on Sustainable Development, Dalam deklarasi ini masyarakat internasional berkomitmen secara serius untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup dunia tida rusak, sumber daya alam tidak habis, dan membangunan dunia lebih baik untuk kepentingan generasi yang akan datang.7 Buku “Energy and Natural Resources Law” misalnya memberikan pernyataan dalam pembukannya bahwa :” the theme of the book is that not only 6 Philipe Sands, Op.Cit,hlm 11. Menurut Laporan Brudtland tersebut disebutkan beberapa tujuan penting yang merefleksikan konsep pembangunan berkelanjutan ,yaitu : reviving growth and changing its quality; meeting essential needs for jobs ,food, energy, water, and sanitation; ensuring a sustainable level of population ; conserving and enhancing the resource base; reorienting technology and managing risk ; and merging environment and economics in decision-making. Buku Philipe Sands ini begitu komprehensif yang membahas perkembangan hukum lingkungan internasional mulai dari sengketa Bering Sea Fur Seals Arbitration (UK v US) tahun 1893 ,perlunya perjanjian internasional tentang perlindungan burung yang melalui kongres lahir Convention to Protect Birds Useful to Agriculture tahun 1902 ,sampai investasi asing yang bersentuhan langsung dengan hukum lingkungan dan sumber daya alam, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah pencemaran/ perusakan lingkungan hidup. 7 Graham Mayeda, “Where Should Johannesburg Take Us? Ethical and Legal Approaches to Sustainable Development in the Context of International Environmental Law” Colo. Journal of International Law and Policy, No. 15:1,hlm.30. 23 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 are energy and natural resources law interrelated ,but so too are the topics that comprise energy law and natural resources law. Energy law addresses all the component parts of the energy fuel cycle as well as the market and government policies that overseas this cycle. Natural resources law consists of public lands and resources law, environmental law, environmental assessment ,mineral laws ,timber law ,and water law.”8 Dalam buku “Principles of International Development Law” seolah menunjukkan ada mata kuliah hukum pembangunan internasional ,tetapi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mata kuliah tersebut tidak ada , sehingga buku itu perlu dipelajari. Buku itu dalam daftar isinya mengaitkan dengan new international economic order , permanent sovereignty over natural resources ,the charter of economic rights and Duties of States ,UN Code of Conduct on Transnational Corporation ,dan lain-lain.9 Demikian juga dengan buku baru yang berjudul “sustainable development “ principles, Practices &Prospects, memberikan inspirasi kepada penulis bahwa di Negara lain sudah ada materi ajar hukum pembangunan berkelanjutan ,sehingga apa salahnya materi tersebut dijadikan mata kuliah di Fakultas Hukum Univeristas Padjadjaran. Buku tersebut dalam daftar isinya mengemukakan sejarah perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan mulai dari konferensi Stockholm 1972 sampai praktiknya di beberapa Negara. Buku ini wajib dipelajari dan dihubungkan dengan pembangunan di Indonesia.10 Konferensi internasional yang dianggap sebagai awal perkembangan aturan atau norma internasionak berkenaan dengan lingkungan adalah konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on Human Environment) yang diadakan pada tanggal 5-16 juni 1972 di Stockholm Swedia. Konferensi Stockholm 1972 ini menghasilkan beberapa dokumen penting bagi awal perkembangan hukum lingkungan internasional, yaitu sebagai berikut: 8 Jan G. Laitos and Joseph P.Tomain, Energy and Natural Resources Law in a Nutshell, St.Paul Minn, West Publishing Co., 1992 ,hlm V. 9 Milan Bulajic,Principles of International Development Law, Martinus Nijhoff Publishers, Yugoslavia,hlm 5-7. 10 Marie-Claire Cordonier Segger and Ashfaq Khalfan, Sustainable Development law, Oxford University Press, First pubished 2004, 24 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 1. Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia (Declaration on the Human Environment )yang terdiri dari 26 prinsip: 2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi; 3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan untuk menunjang pelaksanaan Rencana Aksi tersebut yang terdiri atas: a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup; b. Sekretariat yang diketuai oleh seorang Direktur Eksekutif; c. Dana Lingkungan Hidup; d. Badan Koordinasi lingkungan hidup atau UNEP (United Nations Environmental Program) yang berkedudukan di Nairobi Kenya. 4. Konferensi menetapkan setiap tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia” (World Environment Day). Dalam konferensi tersebut terdapat pandangan berupa deklarasi Negara peserta yang menilai hasil-hasil Konferensi ,seperti dari Canada, Chile, Egypt, India, Kenya, Pakistan, Sudan, United Kingdom, Yugoslavia, menilainya sebagai “a first step in developing international environmental law” .11 Perkembangan hukum lingkungan international setelah konferensi Stockholm 1972 sangat progresif sejalan dengan semakin sadarnya masyarakat internasional terhadap pentingnya keseimbangan antara kebutuhan hidup masyarakat dunia dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan global (global environment). Setelah materi tentang hasil- hasil Konferensi Stockholm 1972 habis, dilanjutkan materi lain yang jauh lebih banyak, yaitu materi tentang hasil-hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT Bumi atau Earth Summit) di Rio de Janeiro tanggal 3-14 Juni 1992 yang juga dikenal Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development-UNCED). KTT Bumi 1992 ini menghasilkan beberapa dokumen internasional penting yang sifatnya lebih legally binding, yaitu sebagai berikut: 1. Agenda 21 yang berisi tentang implementasi komprehensif pembangunan berkelanjutan (sustainable development); 11 St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I:Umum,Penerbit Binacipta,1985,hlm.213-214. 25 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 2. United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim); 3. United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati); 4. Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan); 5. Statement of Principles on the management ,conservation, and sustainable development of all types of forests (Pernyataan Prinsip-Prnsip tentang Pengelolaan, Konservasi, dan Pembangunan berkelanjutan semua jenis hutan); Deklarasi Rio 1992 merupakan bentuk penyempurnaan dari Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio ini mempunyai kekuatan sendiri bagi materi hukum lingkungan internasional karena ia memberikan dasar atau konsep-konsep tentang pembangunan berkelanjutan. Deklarasi Rio sifatnya non-legally binding, tetapi mempunyai pengaruh besar bagi setiap kebijakan pembangunan di setiap Negara karena prinsip-prinsip Deklarasi Rio ingin mengintegrasikan kepentingan pembangunan dan perlindungan bagi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang, yang dikenal dengan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan yang sekarang sudah menjadi prinsip pembangunan berkelanjutan bahkan sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional, sehingga yang semula softlaw (nonlegally binding) menjadi hardlaw (legally binding).12 Perkembangan hukum lingkungan internasional yang didalamnya juga terkait dengan disiplin ilmu lain berlanjut di tahun 2002 yang disebut forum World Summit for Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg Afrika Selatan. Konferensi tahun 2002 yang diadakan oleh PBB tersebut ini tidak menghasilkan perjanjian internasional yang harus diratifikasi Negara-negara, tetapi WSSD ini menghasilkan dokumen Johannesburg Declaration on Sustainable Development. PBB kembali menyelenggarakan konferensi yang 12 Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tahun 1997 tentang kasus GabcikopoNagymaros Project antara Hongaria dan Slovakia. 26 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 dikenal dengan nama Rio+20 yang maksudnya 20 tahun sejak tahun 1992 pada Earth Summit di Rio Janeiro Brasil. Konferensi PBB Rio+20 mengahasilkan dokumen yang bernama the Future We Want. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan aspek lingkungan yang tidak ada dalam GBPP/SAP Hukum Lingkungan Internasional,sehingga perlu dibentuk beberapa mata kuliah sebagai berikut:13 1. Hukum Sumber Daya Alam (Natural Resources Law);14 2. Hukum Perminyakan dan Gas (Oil and Gas Law); 3. Hukum Nuklir (Nuclear Law); 4. Hukum Energi (Energy Law); 5. Hukum Pertambangan (Mining Law) 6. Hukum Lingkungan Regional terutama di Negara-negara Eropa dan ASEAN; 7. Hukum Kemaritiman (Maritime Law) yang aturan- aturannya dibuat oleh Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organisation/IMO) yang berkdudukan di London; 8. Hukum Perubahan Iklim(Climate Change Law) 9. Hukum Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity Law) 10. Studi kasus hukum lingkungan internasional (Case Study).15 D. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Dan Relevansinya Dengan Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru Setiap Negara adalah berdaulat untuk mengatur persoalan dalam negerinya termasuk mengatur persoalan dalam negerinya temasuk mengatur 13 Dalam rangka Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ,istilah GBPP/SAP akan digantikan dengan istilah RPKPS (Rancangan Program Kegiatan dan Pembelajaran Semester), dan dengan KBK tersebut beberapa mata kuliah yang ada sekarang ini akan berkurang karena mungkin digabung dan juga mungkin akan ada beberapa mata kuliah baru sesuai dengan kebutuhan market atau stakeholder. Oleh karena itu, adanya usulan pembentukan mata kuliah baru akan relevan dengan KBK tersebut. Usulan mata kuliah baru diluar usulan tersebut adalah mata kuliah hukum antikorupsi/hukum pemberantasan korupsi, hukum perburuhan internasional, atau bahkan hukum olah raga (sport law) sejalan dengan ramainya dunia persepakbolaan nasional dan internasional (FIFA dan liga-liga Eropa). 14 Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam baru dibuat GBPP/SAP tahun 2007 oleh prakarsa Prof.Dr.Etty R.Agoes yang berada dibawah PK Hukum Internasional. 27 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 pengelolaan kekayaan sumber daya alamnya. Pengakuan bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap sumber daya alamnya adalah berdasarkan hukum internasional yang terdapat dalam sumber hukum internasional. Sumber hukum internasional sebagaimana diatur oleh Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut menjelaskan bahwa sumber hukum internasional mengacu kepada perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, keputusan pengadilan dan ajaran sarjana terkemuka dan berbagai bangsa. Dalam bebrbagai sumber hukum internasional tersebut telah diatur bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan dan jurisdiksi atas persoalan dalam negerinya dan sumber daya alamnya. Perjanjian Internasional dalam bentuknya sangat beragam, yaitu mulai dari Piagam (Charter), Statuta (Statute), Traktat (Treaty), konvensi (convention), Kovenan (covenant) ,Protocol (protocol), dan lain-lain. Bentuk-bentuk perjanjian ini sering disebut sebagai “hard law” karena harus diratifikasi oleh suatu Negara apabila Negara tersebut ingin terikat oleh perjanjian-perjanjian itu, atau perjanjian internasional baru akan mengikat suatu Negara apabila sudah diratifikasinya. Sedangkan benuk-bentuk perjanjian atau lebih tepat kesepakatan yang sering disebut “soft law” adalah deklarasi (declaration), resolusi-resolusi Majelis Umum PBB. Sumber hukum internasional yang mengatur kedaulatan Negara atas sumber daya alam belum ada dalam bentuk treaty atau hard law tersebut, tetapi baru terdapat dalam resolusi yang dibuat oleh Majelis Umum PBB ,seperti Resolusi Majelis Umum PBB yang mengatur kedaulatan Negara atas sumber daya alam itu adalah Resolusi No 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 tentang Permanent Sovereignty over Natural Resources. Resolusi tentang kedaulatan permanent atas sumber daya alam setiap Negara ini berkembang mulai pembentukan PBB sendiri sampai terus disempurnakan oleh setiap Negara yang mungkin suatu saat akan diatur oleh sebuah konvensi atau treaty. Resolusi Majelis Umum PBB ini memang tidak mengikat secara hukum, tetapi lebih mempunyai kekuatan moral (moral force). Resolusi Majelis Umum PBB berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB (Security Council) yang suatu resolusi Majelis Umum PBB itu telah dipraktikan oleh setiap Negara dan 28 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 memenuhi suruhan kaidah serta kepentingan umum, maka resolusi tersebut akan di laksanakan dan ditaati oleh setiap Negara, seperti Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948 tentang Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang sekarang menjadi kekuatan bagi Negara untuk melaksanakan ketentuan Deklarasi tersebut ke dalam hukum nasionalnya, seperti Indonesia sudah mempunyai UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebiasaan Internasional sebagai contoh lain yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum internasional karena diterima sebagai norma hukum sebagaimana pendapat hakim Mahkamah Internasional, seperti dalam kasus-kasus Nicaragua vs US (ICJ 1986) Mahkamah menyatakan bahwa :”… the principle of non-use of force may thus be regarded as a principle of customary international law… an opinion juris sive necessitates …..General Assembly resolution and particularly resolution 2625 …… the Court also found that the US had infringed Nicaragua’s sovereignty …..in breach of its obligation under customary international law not use force against another state, the law of the Charter concerning the prohibition of the use of force in itself constitutes a conspicuous example of a rule in international law having the character of jus cogens…. Bahwa prinsip larangan penggunaan kekuatan itu adalah sebuah prinsip hukum kebiasaan internasional dan memenuhi unsur psikologis…..opinion juris sive necessitastis karena itu AS melanggar kedaulatan Nikaragua karena melanggar kewajiban berdasarkan hukum kebiasaan internasional untuk tidak menggunakan kekuatan kepada Negara lain bahkan prinsip larangan penggunaan kekuatan tersebt dalam Piagam PBB telah mempunyai karakter jus cogens ,yaitu bahwa setiap Negara terikat untuk menghormati dan melaksanakan prinsip non-use of force tanpa perlu apakah Negara itu terikat oleh perjanjian atau tidak.16 Konsep pembangunan berkelanjutan ini ternyata telah dipraktikkan oleh Negara-negara sebagai upaya untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam serta lingkungannya karena perkembangan isu-isu lingkungan global 16 DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Fourt Edition, Sweet & Maxwell, London ,1991.hlm.825. 29 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 tentang pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi isu sentral dalam konferensi-konferensi international yang digagas oleh PBB , yaitu dengan adanya KTT Bumi pada tanggal 5-11 Juni 1992 di Rio de Janeiro yang menghasilkan beberapa dokumen hukum lingkungan internasional yang penting, yaitu Konvensi Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati sebagai sumber hukum internasional dalam bentuk “hard law” yang mengikat Negara-negara kalau sudah meratifikasinya dan bentuk “soft law” Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan yang isinya antara lain menegaskan dan menyempurnakan Deklarasi Stockholm 1972 termasuk memperkuat konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut ditegaskan kembali dalam Konferensi KTT Bumi + 10 tahun di Jannesburg tahun 2002 yang menghasilkan Deklarasi Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi praktik Negara-negara tersebut sekarang menjadi bentuk hukum kebiasaan internasional (customary international law) karena Hakim Mahkamah Internasional (International Court of Justice ) Weeramantry memberikan pendapat terpisah (separate opinion) dalam kasus Gabcikopo-Nagymaros antara Hungaria dan Slovakia (Case concerning Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia) tahun 1997 sebagai berikut: “That principle is the principle of sustainable development which according to this opinion is more than a more concept , but is itself a recognized principle of contemporary international law. Hakim Weeramantry memberikan pendapat terpisah (separate opinion) dalam kasus Gabcikopo-Nagymaros Project antara Hungaria dan Slovakia tanggal 25 September 1997 menyatakan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan bukan hanya konsep hukum semata, tetapi ia diakui sebagai prinsip hukum kebiasaan international kontemporer (…. but is itself a recognized principle of contemporary international law), artinya prinsip pembangunan berkelanjutan mengikat setiap negara untuk dilaksanakan tanpa melihat apakah 30 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Negara tersebut sebagai Negara peserta atau tidak terhadap sebuah perjanjian internasional.17 Resolusi MU PBB tahun 1962 itu menurut Philippe Sands disebut sebagai a landmark resolution yang disetujui oleh masyarakat internasional melalui MU PBB karena “….. when it resolved that the rights of peoples and nations to permanent sovereignty over their natural wealth and resources must be exercised in the interest of their national development of the well-being of the people of the state concerned….”The resolution reflects the rights to permanent sovereignty over national resources as an international legal right and has been accepted by some international tribunals as reflecting customary international law.....Resolusi tersebut telah menegaskan hak rakyat dan bangsa terhadap kedaulatan tetap atas kekayaan alamnya dan harus dilaksanakan untuk kepentingan pembangunan nasionalnya serta kesejahteraan rakayat Negara tersebut. Resolusi itu telah mencerminkan hak atas kedaulatan tetap atas sumber daya alam nasionalnya sebagai hak menurut hukum internasional dan kedaulatan permanent itu telah diterima oleh peradilan internasional sebagai yang mencerminkan hukum kebiasaan internasional (customary international law). Ini berarti bahwa meskipun tidak ada sebuah treaty atau convention tentang kedaulatan tetap atas sumber daya alam yang mempunyai kekuatan hukum secara hard law, dengan adanya bahwa kedaulatan permanent atas sumber daya alam sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional, maka setiap Negara terikat untuk menghormati terhadap kedaulatan Negara itu atas sumber daya alamnya dan tidak boleh Negara lain melakukan intervensi atau ikut campur terhadap kedaulatan tersebut kecuali berdasarkan kesepakatan bersama. Kedaulatan Negara atas sumber kekayaan alamnya sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional adalah berdasarkan putusan pengadilan internasional atas kasus Texaco Overseas . Idris, “Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan Implikasinya Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Perikanan dan kehutanan Indonesia”,UNPAD Journal of International Law, Vol 6 No 1 April 2007 , Department of International Law , Faculty of Law Padjadjaran University ,hlm 90-103. 17 31 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Petroleum Co and California Asiatic Oil Co. v. Libya tahun 1977 dan kasus Kuwait v. American Independence Oil Co. tahun 1982.18 Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1962 itu yang mengatur bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan permanent atas sumber daya alamnya tidak berarti mutlak sepenuh harus dikerjakan oleh Negara yang bersangkutan, tetapi pada praktiknya setiap Negara terutama Negara-negara berkembang menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam kepada perusahaan asing karena mereka mempunyai modal dan sumber daya manusianya. PT Freeport itu sudah beroperasi di Timika Papua sejak tahun 1967 berdasarkan kontrak karya yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru Presiden Soeharto yang kemudian diperpanjang sejak tahun 1995 sampai 20 tahun kemudian. Dapat dibayangkan berapa kekayaan alam di Papua itu karena meski sudah dieksplorasi dan dieksplorasi sumber tambang dan emas tersebut sejak tahun 1967 sampai sekarang masih terus perusahaan asing itu beroperasi bahkan sampai tahun 2015. Sungguh suatu kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang luar biasa, sementara banyak pihak menilai bahwa kerja sama antara Indonesia dengan perusahaan asing sangat merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, tidak heran hampir hari masyarakat Indonesia baik masyarakat setempat di Papua , para polisi LSM, akademisi maupun organisasi masyarakat lainnya sering mengajukan protes supaya kontrak kerja itu dapat ditinjau kembali karena masyarakat Indonesia menilai tidak adil.19 Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio secara esensi adalah sama, tetapi ada penambahan kata developmental yang berarti pembangunan karena didasarkan pada tahun 1990-an itu muncul konsep pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan lingkungan dengan pembangunan atau sebaliknya mengintegrasikan lingkungan ke dalam pembangunan. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 mengandung 2 (dua) elemen atau unsur penting yang satu sama lain tidak 18 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, Second Edition ,Cambridge University,Press,USA,2003,hlm 236-245. 19 Mochtar Kusumaatmadja,Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan ,Penerbit Alumni,2006,hlm 3. 32 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 dapat dipisahkan ,yaitu “the sovereign right of states of exploit their own natural resources”, dan “the responsibility or obligation not to cause damage to the environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”, yaitu elemen pertama “kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya”, dan elemen kedua “bertanggungjawab atau berkewajiban untuk tidak merugikan lingkungan Negara lain atau area yang berada di luar batas-batas jurisdiksi nasional , yaitu seperti antartika, laut lepas bahwa zona ekonomi ekslusif. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 atau Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 tersebut semula adalah bentuk “soft law” karena tidak memerlukan ratifikasi hanya bersifat mengikat secara moral, tetapi sekarang kedua prinsip tersebut mengikat setiap negara karena sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional (customary international law) berdasarkan pendapat Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam kasus Advisory Opinion on the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons tahun 1996.20 Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992 yang mempunyai dua elemen tersebut terutama elemen kedua, yaitu tanggung jawab Negara dalam mengelola lingkungan hidupnya untuk tidak merugikan Negara lain sebenarnya kedua prinsip tersebut diilhami dari pendapat hakim beberapa kasus seperti pendapat pengadilan arbitrase dalam kasus Trail Smelterf (Kanada v. AS) tahun 1941 yang menyatakan :”……under the principle of imternational law….. no state has the right to use or permit the use of territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another of the properties or persons therein, when the case is of serious consequence and the injurty is established by clear and convincing evidence”. Putusan kasus yang menjadi landmark case dalam hukum lingkungan international tersebut menggambarkan prinsip bertetangga baik (principle of good neighbourliness) yang merupakan salah satu prinsip penting dalam hukum international yang sekarang termaktub dalam Pasal 74 Piagam PBB. Prinsip bertetangga baik tersebut merupakan bagian penting dari pelaksanaan prinsip kedaulatan Negara karena menurut Mahkamah International dalam kasus Corfu Channel antara 20 Philippe Sands ,op.cit.hlm 236 33 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Inggris dan Albania tahun 1949 menegaskan bahwa “the principle of sovereignty embodies the obligation of every state not to alow its territory to be used for acts contrary to the rights of other states,” bahwa prinsip kedaulatan Negara mencakup kewajiban setiap Negara untuk tidak mengizinkan wilayahnya digunakan melakukan perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan hak-hak Negara lain. Persetujuan Kayu Tropis Internasional (International Tropical Timber Agreement ) tahun 1983 menyatakan bahwa “the sovereignty of producing members over their natural resources …..” bahwa kayu tropis itu berada dalam kedaulatan negara atas sumber daya alam tersebut. Konvensi Perubahan Iklim tahun 1992 menyatakan : “the principle of sovereignty of states in international co-operation to address climate change” bahwa adalah suatu prinsip kedaulatan Negara dalam kerja sama internasional terhadap perubahan iklim, kemudian Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati tahun 1992 menegaskan: “that states have sovereign rights…..over their natural resources and that the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation”, yaitu maksudnya bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat atas sumber daya alamnya dan kewenangan itu dapat menentukan akses terhadap sumber daya genetic yang ada di pemerintah itu dan tunduk pada hukum nasionalnya. Penanganan persoalan lingkungan hidup secara global memerlukan kerja sama internasional. Oleh karena itu, kerja sama internasional itu diwujudkan dalam bentuk aturan-aturan hukum lingkungan internasional. Phillipe Sands dalam bukunya Principles of International Environmental Law mengungkapkan bahwa: “the growth international environmental issues is reflected in the large body of principles and rules of international environmental law which apply bilaterally, regionally and globally; and reflects international interdependence in a globalizing world”. Mahkamah Internasional tahun 1996 mengakui sebagai berikut:”….for the first time , that there existed rules of general international environmental law and that a general obligation of states to ensure that activities within their jurisdiction and control respect the environment of other states or of 34 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 areas beyond national control is now part of the corpus of international law relating to the environment”, Since then,specific treaty rules have become more complex and technical, environmental issues have ben increasingly integrated into other subject area including trade, investment, intellectual property, human rights, and armed conflict. International environmental law is influenced by a range of non-legal factors: science,economic,and social.21 E. Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru yang terkait dengan Hukum Lingkungan International Pembentukan beberapa mata kuliah yang terkait dengan perkembangan hukum lingkungan internasional tersebut cukup relevan karena didasarkan pada perkembangan hukum lingkungan internasional itu sendiri melalui berbagai perjanjian internasional baik uang sifatnya hardlaw maupun softlaw. Beberapa mata kuliah yang penulis usulkan tersebut di atas sudah menjadi mata kuliah di universitas negara lain. Oleh karena itu pembentukan beberapa mata kuliah tersebut perlu dikembangkan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mengingat perkembangan hukum lingkungan internasional sangat pesat dan mempunyai pengaruh besar bagi keberlanjutan bumi dan kekayaan alam yang tekandung dalamnya. Perkembangan hukum lingkungan internasional dapat dibagi menjadi berbagai persetujuan multilateral maupun persetujuan regional di beberapa kawasan. Pembagian perkembangan perjanjian internasional dalam bidang lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut: 1.Perjanjian- perjanjian hukum internasional dalam benttuk hardlaw atau legally binding instruments: a. Pengaturan Internasional yang terkait dengan sumber daya alam (natural resources) : misalnya General Assembly Resolution 1803 (XVI) 14 December 1962 on Permanent Sovereignty over Natural Resources. Sumber hukum internasional yang mengatur sumber daya alam tersebut dikaji dalam mata kuliah Hukum Sumber Daya atau Natural Resources Law. Di universitas luar negeri ada mata kuliah yang terkait langsung 21 Philippe Sands ,Principles of International Environmental Law ,Second Edition ,Cambridge University Press,London ,2003,hlm 3-4. 35 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 dengan sumber daya alam, tetapi dikaji dalam mata kuliah tersendiri ,yaitu mining law, oil and gas law. b. Pengaturan Internasional yang terkait dengan laut (sea,marine, atau sejenisnya ): seperti Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 yang sudah menjadi bagian utama dari mata kuliah Hukum Laut Internasional. Di samping itu banyak perjanjian internasional terkait dengan laut yang dibuat Organisasi Maritim Internasional (IMO) seperti SOLAS (International Convention for the Safety of Life at Sea ) 1974, CLC (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage) 1969, MARPOL (International Convention for the Prevention of Pollution by Ships ) 1973/1978, sehingga penulis mengusulkan dibentuk mata kuliah baru, yaitu Hukum Kemaritiman (Maritime Law). c. Pengaturan Internasional yang berhubungan dengan iklim/udara, seperti Convention for the Protection of the Ozone Layer (Vienna) 27 March 1985, Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer (Montreal) 16 September 1987 (Montreal protocol 1987), United Nations Framework Convention on Climate Change (New York ) 9 May 1992 ,dan Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Kyoto) 11 December 1997, in force 16 February 2005 (Kyoto Protocol 1997) , Perjanjian internasional ini sebaiknya dipelajari lebih mendalam dalam mata kuliah Hukum Perubahan Iklim (Climate Change Law), mengingat dunia sekarang sedang di bawah ancaman serius pemanasan global. d. Pengaturan Internasional yang berhubungan dnegan keanekaragaman hayati (biological diversity) ,seperti : Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfoul Habitat (Ramsar) 2 February 1971 , in force 21 December 1975 (Ramsar Convention 1971) and its Protocols ;nited Nations Convention on Biological Diversity (Rio de Janeiro ) 5 June 1992 , in force 29 December 1993 (Biodiverisity Convention 1992), dan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Montreal) 29 January 2000 , in force 11 September 2003 (Biosafety Protocol), dan perkembangan pembahasan para pihak (COP) tentang liability and redress. Materi perjanjian internasional ini cukup kompleks dan menyangkut Indonesia sebagai megadiversity , sehingga perlu dibuat mata kuliah yang bernama hukum keanekaragaman hayati atau biological diversity law. 36 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 e. Pengaturan internasional yang berhubungan dengan perdagangan, seperti Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora (Washington) 3 March 1973 , in force 1 July 1975 (CITES 1973) its Protocols, Agreement Establishing the World Trade Organization (Marrakesh) 15 April 1994, in force I January 1995; Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain Hazardous Chemicals and Pesticiders in International Trade (Rotterdam) 11 September 1998 (Chemical Convention 1998/PIC Convention 1998.) Banyak perjanjian-perjanjian internasional tentang perdagangan yang langsung terkait dengan persoalan lingkungan hidup yang sekarang sering disebut MEAs (Multilateral Environmental Agreements). Materi perdagangan dan lingkungan hidup selama ini terdapat dalam materi muatan mata kuliah Hukum Lingkungan Internasional ,tetapi tidak menjadi bagian materi dari mata kuliah Hukum Perdagangan atau Ekonomi Internasional (Nanti akan dikonfirmasikan dengan dosen terkait, apakah perlu dijadikan mata kuliah tersendiri atau tidak). f. Pengaturan Internasional yang berhubungan nuklir, seperti Convention on Civil Liability for Nuclear Damage (Vienna) 29 May 1963, in force 12 November 1977 (Vienna Convention 1963); Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in Outer Space and under Water (Moscom) 5 August 1963, in force 10 October 1963 (Nuclear Test Ban Treaty 1963); Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (London, Moscom ,Washington) 1 July 1968, in force 5 March 1970 (NPT 1968), Treaty on the Prohibition of the Emplacement of Nuclear Weapons and Other Weapons of Mass Destruction on the Seabed and the Ocean Floor and in the Subsoil thereof, 11 February 1971, in force 18 May 1972 (Nuclear Weapons Treaty 1971). Beberapa perjanjian internasional yang mengatur nuklir tersebut perlu dibahas di perguruan tinggi, sehingga nanti diusulkan akan keluar dalam bentuk kuliah , yaitu berupa hukum nuklir (Nuclear Law) karena menyangkut banyak aspek lainnya dan harus menjadi kajian mengingat ancaman bahayanya bagi manusia dan alam. 2. Perjanjian –perjanjian hukum lingkungan internasional dalam bentuk softlaw atau non-legally binding instruments, tetapi sering menjadi hukum kebiasaan internasional ,seperti Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Johannesburg 2002 , dan banyak resolusi Majelis Umum PBB. Beberapa Deklarasi dan Resolusi tersebut meminta semua negara untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, yaitu 37 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 pembangunan yang mengintegrasikan dengan perlindungan lingkungan, sehingga perlu dipelajari dalam bentuk mata kuliah Hukum Pembangunan Berkelanjutan (the Law of Sustainable Development ). Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini terus berkembang dan dilaksanakan oleh setiap negara yang telah mempunyai komitmen untuk mengintegrasikan pembangunan dan perlindungan lingkungan. Prinsip-prinsip pembangunan perlu dikaji lebih jauh dan dibahas dengan mahasiswa. Materi ini masih bagian dari materi kuliah hukum lingkungan internasional dan tidak cukup waktu untuk dibahas mendetail dengan mahasiswa karena mata kuliah tersebut berbobot 2 SKS. Oleh karena itu , penulis mengusulkan dibentuk mata kuliah baru , yaitu hukum pembangunan berkelanjutan atau the law of sustainable development.22 3. Perjanjian –perjanjian internasional tentang lingkungan yang berlaku pada suatu kawasan tertentu (Regional) baik softlaw maupun hardlaw, seperti negara-negara anggota Perkumpulan Negara- negara Asia Tenggara atau ASEAN (Association of South East Asia Nations) yang didalamnya banyak terdapat perjanjian atau kesepakatan ASEAN tentang pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Pengaturan hukum lingkungan di kawasan Uni Eropa sangat lengkap, sehingga bagus untuk dipelajari, dan beberapa negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional lainnya, seperti Timur Tengah, Afrika (Organization of African Unity-OAU), Amerika (Organization of American States-OAS), Pasifik , Mediterania, dan lain-lain. Oleh karena itu, materi tersebut perlu dikaji dalam suatu mata kuliah, yaitu Hukum Lingkungan Regional. Dalam mata kuliah Hukum Lingkungan Regional juga akan mencakup materi muatan perjanjianperjanjian yang dibuat secara bilateral, seperti Canada-US Agreement Concerning the Transboundary Movement of hazardous Waste (Ottawa) 28 October 1986, in force 8 November 1986 dan Mexico-United States Agreement for Co-operation on Environmntal Programmers and Transboundary Problems (Washington), 12 November 1986, in force 29 January 1987. Materi mata kuliah ini penting kalau dihubungkan dengan banyaknya kasus pengiriman atau pembuangan limbah berbahaya dari Singapore ke wilayah Indonesia. Ada satu buku yang berjudul Sustainable Development Law Principles ,Practices & Prospect”, MarieClaire Cordonier Segger and Ashfaq Khalifan ,Oxford University Press, 2004 . 22 38 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 F. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Hukum Lingkungan Internasional adalah cabang dari Hukum Internasional seperti cabang-cabang Hukum Internasional lainnya, yaitu Hukum Laut Internasional , Hukum Perjanjian Internasional , Hukum Organisasi Internasional, Hukum Udara dan Ruang Angkasa , dan Studi Kasus Hukum International. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional sebenarnya sudah dimulai sejak sebelum dan sesudah pembentukan Piagam PBB (Charter of United Nations ), yaitu sejak tahun 1945 karena sudah banyak berbagai aturan internasional berkaitan dengan lingkungan hidup, tetapi perkembangan pesatnya dimulai sejak ada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm yang melahirkan beberapa prinsip hukum dan kelembagaan internasional. Sekarang Hukum Lingkungan Internasional baik dalam bentuk perjanjian hardlaw maupun softlaw berkembang sangat pesat dan luas sejalan dengan aktivitas manusia di muka bumi ini. Perkembangan berikut terjadi tahun 1992,2002, dan 2012 yang melahirkan dokumen the Future We Want. Hukum Lingkungan Internasional menjadi mata kuliah wajib Program kekhususan Hukum Lingkungan dan Tata Ruang yang sudah dibuatkan GBPP, tetapi dalam perkembangannya di forum internasional banyak yang belum masuk ke GBPP tersebut ,sehingga perlu dibentuk mata kuliah baru, seperti Hukum Pertambangan (Mining law),Hukum Perminyakan dan Gas (Oil and Gas Law), Hukum Maritim (Maritime law), Hukum Nuklir (Nuclear Law), Hukum Perubahan Iklim (Climate Change Law), Hukum Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity Law). Di luar konteks hukum lingkungan internasional ,perlu dipertimbangkan untuk pembentukan mata kuliah baru, misalnya hukum antikorupsi/hukum pemberantasan korupsi, hukum perburuhan internasional ,bahkan sampai hukum olah raga (sport law). 39 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 2. Saran Pembentukan mata kuliah baru itu relevan dengan perkembangan hukum lingkungan internasional dan juga sebagai bentuk kepekaan terhadap isu-isu global dan kebutuhan pasar, tetapi tidak semudah itu karena menyangkut banyak aspek,seperti kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas dan perpustakaan, serta minat mahasiswanya. Oleh karena itu, pembentukan beberapa mata kuliah baru di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran memerlukan kajian lagi, supaya ada manfaatnya bagi semua pihak, apalagi sekarang UNPAD /Fakultas sedang menyusun KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KKNI (Kerangka kualifikasi Nasional Indonesia ) yang didalamnya ada kompetensi utama/pendukung /tambahan bagi lulusan berkualitas yang diterima oleh stakeholder tersebut. KBK tersebut ada relevansi dengan pembentukan mata kuliah baru tersebut yang harus memperhatikan semua aspek terkait sebagai upaya meningkatkan kualitas lulusan peguruan tinggi. Terima kasih. 40 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the law of the sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Keanekaragaman Hayati); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dan Peraturan Pelaksanaanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Convention Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Convention on Biological Diversity (Protocol Kartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. B. Buku : Bulajic, Milac, Principles of International Development Law . Martinus Nijhoff Publishers, 1986; 41 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Birnie, Patricia W., and Boyle, Alan E. International Law & the Environment, Clarendon Press, Oxford 1992. Daud Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional , Lawencon , Bandung 2006. Laitos, Jan G., and Toamain, Joseph P. Energy and Natural Resources Law in a Nutshell, St. Paul Minn, West Publishing Co., 1992. Mochtar kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , Binacipta , Bandung, 1990. Marie-Claire Cordonier Segger and Ashfaq Khalfan , Sustainable Development Law, Oxford University Press, First Pubished 2004, Sands, Philippe , Principles of international environmental law, second edition, Cambridge University Press , London , 2003. St. Munadjat Danusaputro , Hukum lingkungan Buku I : umum, Penerbit Binacipta, 1985. Schrijver, Nico, Sovereignty Over Natural Resources, Cambridge Studies in International and Comparative Law, 1997; Stephen Pope, Mike Appleton, Elizabeth- Anne Wheal , The Green Book, the Essential AZ Guide to the Environment, London-Sydney, 1991; Weiss, Edith Brown, Environmental Change and International Law : New Challenges and Dimensions, UN University Press ,1989; C. Jurnal/Artikel: Graham Mayeda, “Where Should Johannesburg Take Us? Ethical and Legal Approaches to Sustainable Development in the Context of International Environmental Law”, Colo journal of international law and policy, no. 15:1. Milan Bulajic, Principles of International Development Law, Martinus Nijhoff Publishers, Yugoslavia, hlm 5-7. 42 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Implementasi Undang-Undang No 2 Tahun 2012 Dalam Hal Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Infrastruktur Migas1 Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.2 Abstrak Masuknya kegiatan pembangunan infrastruktur migas ke dalam kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus dipandang sebagai upaya serius pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. Untuk itu, implementasinya perlu didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam industri migas. Namun demikian, sifat kekhususan dari industri migas yang bersifat segera dan situasional bukan menjadi dasar untuk mengabadikan suatu rencana tata ruang dan rencana pembangunan, sehingga UU Pengadaan Tanah bertentangan dengan UU Penataan Ruang. Mekanisme peninjauan kembali rencana tata ruang dapat menjadi solusinya. Kata kunci : Pengadaan Tanah, Industri Migas, Kepentingan Umum, Sistem Hukum A. Latar Belakang Kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak dan gas bumi (migas) selama ini mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas)jo PP No 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan pengadaan tanah untuk sektor ini tidak diatur oleh ketentuan mengenai pengadaan 1 2 43 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 tanah untuk kepentingan umum karena memang tidak termasuk ke dalam kategori kepentingan umum. Pasal 34 UU Migas menegaskan bahwa manakala Badan Usaha/Badan Usaha Tetap (BU/BUT) yang bergerak di kegiatan migas memerlukan tanah dalam wilayah kerjanya, maka BU/BUT tersebut wjib menyelesaikan hak atas tanah tersebut dengan pemiliknya dengan cara jual-beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara. selanjutnya Pasal 35 UU Migas menegaskan bahwa pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan BU/BUT untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah terssebut jika hak atas tanahnya telah diselesaikan. Dengan demikian cara-cara yang dipergunakan oleh BU/BUT di bidang migas untuk memperleh tanah, selama ini digunakan dengan cara-cara hubungan hukum keperdataan (jual-beli, tukar-menukar, dsb). Namun dengan diundangkannya Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah) pada tanggal 14 Januari 2012, kegiatan pembangunan infrasturktur migas dan panas bumi termasuk ke dalam kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum (Pasal 10 huruf e). Dengan demikian segenap aturan mengenai pengadaan tanah yang terdapat dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012 otomatis berlaku pula dalam hal pengadaan tanah untuk kegaitan migas dan panas bumi. Implementasi ketentuan-ketentuan hukum dari UU No 2 Tahun 2012 untuk pembangunan infrastruktur migas, tentu tidaklah mudah mengingat sifat dan karakteristik kegiatan migas yang spesifik, mengandung ketidak-pastian yang tinggi, sehingga penyediaan tanahnya pun tidak dapat ditentukan secara pasti sejak awal. Jika berdasarkan studi seismik suatu wilayah mengandung kandungan migas, maka eksplorasi harus sesegera mungkin sdilakukan (kurang dari 120 hari). Dengan demikian dapat dikatakan pengadaan tanah untuk migas bersifat sesegera dan sangat situasional. 44 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Sementara itu jika dihitung menurut UU Pengadaan Tanah,waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengadaan tanah adalah lebih dari 458 hari kerja, dari sejak pendataan awal lokasi rencana pembangunan hingga pelepasan oyek pengadaan tanah, belum lagi jika tanah itu berada di kawasan hutan, maka diperlukan tambahan waktu lagi untuk sekitar 215 hari kerja untuk memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan. Waktu yang cukup lama bagi industri migas untuk memperoleh tanah, yang bersifat segera dan situasional. Permasalahan lain yang muncul dalam pengadaan tanah untuk kegiatan migas sehbungan dengan berlakunya UU Pengadaan Tanah adalah adanya ketentuan Pasal 7 ayat (1), yang menegaskan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum peyelenggaraannya harus sesuai dengan: a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); b. Renana Pembangunan Nasional/Daerah; c. Rencana Strategis; dan d. Rencana Kerja setiap instansi yang memerlukan tanah Namun khusus untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas dan panas bumi, pengadaan tanahnya dikecualikan oleh ayat (2) Pasal 7 tersebut, yaitu cukup mengacu pada rencana strategis dan rencana kerja instansi yang memerlukan tanah. Pengecualian ini dilakukan, mengingat sifat industri migas yang tidak dapat ditentukan seara pasti sejak awal, bersifaat segera dan sangat situasional. Demikian alasan pembuat undang-undang atas pengecualian tersebut. Namun, dapat diperkirakan permasalahan akan timbul dalam pelaksanaannya jika RTRW suatu wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah diabaikan dalam pembangunan infrasturktur migas, padahal pembangunan infrastuktur migas mempunyai dampak yang cukup signifikan baik pelestarian lingkungan dan perubahan bentangan alam/ruang. Kedua permasalahan di atas harus segera diantisipasi dan dicarikan solusi pemecahannya, mengingat UU Pengadaan Tanah ini telah berlaku sejak tangga; 14 Januri 2012. Di sisi lain, industri migas perlu terus didorong pertumbuhannya mengingat hingga saat ini masih terjadi krisis pasokan migas di Indonesia untuk 45 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 memenuhi kebutuhan pasar domestik, karena produksi tidak dapat mengejar pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang sangat cepat, sementara infrastuktur tidak tersedia dengan memadai. Di sisi lain, migas masih menjadi sumber energi utama dan masih menopang 25% penerimaan negara3. B. Perumusan Masalah Berdasarkan paparan di atas,penulis seara khusus merumuskan 2 masalah medasar dari implementasi UU Pengadaan Tanah dalam hal pengadaan tanah untuk infrastuktur migas, yaitu: a. Apakah tepat memasukkan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas sebagai suatu kepentingan umum? b. Bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan jika pembangunan infrastutur migas tidak sejalan dengan RTRW suatu wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah? C. Metode Penelitian Sebagaimana ditegaskan pada footnote no 1, artikel ini berasal dari hasil penelitian penulis yang telah disempurnakan. Penelitiannya menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan titik berat penelitian pada data sekunder. Baik data sekunder yang berbentuk bahan hukum primer (peraturan perundangundangan), bahan hukum sekunder (bahan kepustakaan/literatur) maupun bahan hukum tersier (kamus hukum). Data primer berupa data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang kewenangan dan/atau kepakarannya terkait dengan materi penelitian, berfungsi melengkapi data sekunder yang telah diperoleh. Sifat penelitian yang digunakan pada penelitian sebagai bahan artikel ini adalah deskriptif analitis, dalam arti bersifat memaparkan data penelitian (baik primer maupun sekunder). Data penelitian dianalisis secara juridis kualitatif dengan menitikberatkan pada daya abstraksi teoritis atas peraturan perundang-undangan 3 Deputi bidang Umum BP Migas, Pengadaan Tanah pada Kegiatan Usaha Hulu Migas, Makalah pada Rapat Koordinasi Pertanahan BP Migas-KKKS, Yogyakarta 17 April 2012: hlm. 4. 46 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 dan kepustakaan yang terkait dengan implementasi pengadaan tanah dalam pembangunan infrastruktur migas. Daya abstraksi teoritis dilakukan dengan menggunakan metode-metode penemuan hukum berupa penafsiran hukum dan konstuksi hukum. D. Kegiatan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Migas sebagai Suatu Kepentingan Umum Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Ketentuan konstitusi ini menjadi dasar hukum dari segala kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia, termasuk migas. Penguasaan oleh Negara semata-mata ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat, sehingga penyelenggaran kegiatan usaha migas yang diatur dalam UU No 22 Tahun 2001 pun dilakukan atas dasar asas ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan4. Asas-asas penyelenggaraan kegiatan usaha migas ini diperlukan untuk mengatur pemanfaatan migas yang merupakan barang publik yang termasuk ke dalam kategori sumber daya alam milik masyarakat (common property resources)5 Indonesia, agar pemanfaatannya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia. Penguasaan oleh negara atas sumber daya alam menjadi prinsip dasar dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal untuk melaksanakan kegiatan pembangunan. Dalam hal pembangunan itu ditujukan untuk kepentingan umum, maka peran Negara menjadi sangat vital dan sentral. Definisi kepentingan umum itu sendiri beragam. Dalam UU No 2 Tahun 2012, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk 4 Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan Analisis, Penerbit Development Studies Fondation Pertamina, Jakarta, 2009: hlm. 3 5 47 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 kemakmuran rakyat6. Sementara Theo Huijbers7 menegaskan kepentingan umum sebagai kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri tertentu antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai warga negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan dan pelayanan publik. Pemahaman-pemahanan ini menunjukan bahwa kepentingan umum merupakan sesuatu yang abstrak dan kompleks untuk diimplementasikannya. Oleh sebab itu , terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sewajarnya dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal pengadaan tanah, Maria S.W. Sumardjono8 berpendapat, masalah kepentingan umum dapat dijabarkan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama, berupa perdoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Dikarenakan berupa pedoman, maka hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai kepentingan umum. Kedua, penjabaran kepentingan umum dilakukan dalam suatu daftar kegiatan. Dalam prakteknya, kedua cara tersebut sering dilakukan secara bersamaan. Di Amerika Serikat, pada masa awal pembangunan negara itu, kepentingan umum (public use) didefinisikan secara luas yaitu sepanjang suuatu kegiatan berdampak pada perluasan kerja, peningkatan aktivitas perdagangan dan industri, dan pengembangan sumber daya alam, maka hal itu merupakan kegiatan yang termasuk kategori kepentingan umum. Namun, ketika kemudian berkembang kekhawatiran bahwa hal itu akan mendesak perlindungan individu, muncul penafsiran yang sempit atas pengertian kepentingan umum, yaitu sebagai hak masyarakat untuk menggunakan hasil kegiatan tersebut dengan pelayanan publik. Ecendrungan terakhir, suatu pembangunan dikategorikan untuk kepentingan umum, manakala dimaksudkan untuk pembangunan di bidang kesehatan, 6 Pasal 1 angka (6) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum 7 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982: hlm 76. 8 Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2005: hlm. 107 48 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 keamanan, atau kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditetaka oleh badan legislatif amerika serikat9. Dalam kegiatan pembangunan infrastruktur untuk industri migas, kategorisasi sebagai pembangunan untuk kepentingan umum merupakan hal yang tepat karen hasil dari industri migas selain sebagai penyumbang terbesar devisa Indonesia, juga untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan rakyat banyak. Selain itu, migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan (unrenewable resources) sehingga penguasaannya harus dilakukan oleh negara, agar pemanfaatannya tepat sasaran. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003 tentang pengujian atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai negara diperluas meliputi wewenang merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad)10. Dengan demikian, kewenangan negara tersebut tidak sebatas wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) UUPA semata. Dalam pasa 2 ayat (2) UUPA, fungsi hak menguasai negara lebih difokuskan kepada fungsi penguasaan. Fungsi penguasaan ini pula terdapat dalam makna hak menguasai negara yang tercantum dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 4 tahun 2007 tentang sumber daya air dan UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Kewenangan negara yang diperluas berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003 tentang pengujian atas UU No 22 tahun 2001 tentang migas tersebut akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 tentnag pengujian atas UndangUndang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau 9 Ibid, hlm. 108 Muhammad Bakri, Pengakuan semu Hak Ulayat dalam Hukum Agraria Nasional, Makalah Semiloka Nasional "Konflik Perkebunan: Mencari Solusi yang Berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil", FH Unibraw Malang, 24-25 Mei 2012: hlm. 4 10 49 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Kecil11, yang menyatakan bahwa kalimat “sebesar-besarnya kemakmura rakyat” dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai kedalam 4 tolak ukur, yaitu: a. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat ; b. Pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat ; c. Partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam d. Penghormatan terhadap rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam Perpaduan antara perluasan makna “kewenangan penguasaan negara” dan makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang ditafsirkan Mahkamah Konstitusi dalam kedua putusan tersebut diatas memberi aktualisasi pemaknaan hak menguasai negara atas sumber daya alam, termasuk migas. Menetapkan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas sebagai suatu kepentingan umum merupakan langkah yang tepat, namun demikian dalam pelaksanaannya tentulah tidak mudah. Dalam hal menetapkan ruang lingkup kewenangan, maka kelima kewenangan negara atas sumber daya alam yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi di atas, yaitu merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad), untuk sumber daya migas sejalan dengan tujuan yang terdapat dalam UU No 22 tahun 2001 tentang migas, maka titik beratnya lebih pada fungsi pengelolaan (beheerdaad) secara langsung atas sumber daya migas12 hal ini dimaksudkan agar tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat lebih nyata terwujud. Untuk itu, kegiatan pembangunan infrastrktur migas pun sudah tepat masuk kategori kepentingan umum agar negara lebih mudah melakukan fungsi pengelolaannya. Untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah pengadaan tanah dengan baik kedalam kegiatan pembangunan infrastrktur migas sebagai bagian dari kepetingan 11 Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Penerbit LoGoz_Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2013: hlm. 13 12 Maria S. w. Sumardjono, Memaknai Kembali Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan Tindak Lanjutnya, Kuliah Inagurasi sebagai Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta 3 September 2013: hlm. 20 50 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 umum, maka asas-asas pengadaan tanah harus dikedepankan dan menjadi acuan utama dalam mmengimplementasikan UU Pengadaan Tanah, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yaitu asas-asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlangsungan, dan keselarasan. Asas-asas hukum tersebut berperan penting untuk mengaktualisasikan kaidah-kaidah hukum baik yang terdapat dalam UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, maupun kaidah-kaidah dalam UU No 22 tahun 2001 tentang migas agar keduanya dapat berjalan selaras dan harmonis untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan latar belakang peraturan konkret yang terdapat didalam dan dibelakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim, yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifatsifat umum dalam peraturan konkret tersebut13. Dengan pengertian tersebut, maka asas-asas hukum dalam pengadaan tanah sebagaimana diuraikan diatas seharusnya menjadi landasan atas berbagai kegiatan penyediaan tanah untuk mendukung berbagai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan infrastruktur untuk industri migas, karena pembangunan infrastruktur pada hakekatnya merupakan pembangunan dari masyarakat (asal tanahnya) dan kemudian kelak setelah proyek tersebut selesai akan dimanfaatkan pula oleh masyarakat14. Namun demikian, mengacu pada asas hukum saja tentu tidak cukup karena dala kenyataannya dalam tataran pelaksanannya, pengadaan tanah untuk kegiatan migas cukup kompleks. Kompleksitas permasalahan tersebut nampak pada upaya memperoleh tanah. Dalam UU No 22 tahun 2001 tentang migas, pasal 33 menegaskan bahwa kegiatan 13 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996: hlm 5. 14 Ida Nurlinda, Konflik dan/atau sengketa dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Pasca Berlakunya UU No, 2 tahun 2012, Universitas Airlangga, Surabaya, 27 September 2012: him. 2 51 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 usaha migas yang dilakukan di wilayah hukum pertambangan Indonesia, yang hak atas wilayah kerjanya meliputi kandungan bumi, tidak termasuk didalamnya hak atas (kerak) bumi. Mengingat lokasi/titik pembangunan infrastuktur migas sulit untuk dipindahkan, maka perusahaan migas yang akan melaksanakan kegiatannya, dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum yang ada diatasnya, dengan syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari instansi pemerintah yang berwenang, karena hal ini merupakan fasilitas yang disediakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas dan mempunyai fungsi sosial, seperti jalan, pasar, tempat pemakaman, taman, dan tempat ibadah. Sementara itu, khusus untuk pemakaman, tempat yang dianggap suci dan tanah milik masyarakat adat, sebelum meminta izin dari instansi pemerintah yang berwenang, perlu terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari masyarakat setempat (masyarakat adat). Selanjutnya jika perusahaan migas akan menggunakan bidang-bidang atas tanah seseorang atau tanah negara yang berada dalam wilayah kerjanya, maka perusahaan migas tersebut wajib untuk terlebih dahulu menyelesaikan hak atas itu dengan pemegang hak tas tanahnya, atau dengan pemakaian tanah diatas tanah negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan cara musyawarah dan mufakat dengan cara jual-beli, tukar-menukar ganti rugi yng layak, pengakuan atau bentuk lainnya kepada pemegang hak atau pemakaian tanah diatas tanah negara. pengakuan dalam hal ini dimaksudkan sebagai pengakuan atas adatnya hak ulayat jika tanah itu merupakan tanah masyarakat hukum adat, dan penyelesaiannya pun dilakukan berdasarkan atas hukum adat yang berlaku bagi masyarkat hukum adat yang bersangkutan. Dengan dmikian, penyelesaian hak-hak atas tanah yang dibutuhkan oleh perusahaan migas dilakukan dalam koridor rezim hukum perdata. Baik pemilik tanah maupun perusahaan migas berlaku sebagai subyek-subyek hukum perdata yang melakukan perbuatan – perbuatan hukum dalam hal jual-beli tanah. Dalam kenyataannya, ketentuan-ketentuan usaha migas yang terkait dengan aspek pertanahan, yaitu yang tertera pada pasal 33 sampai dengan pasal 37 UU Migas, tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ketentuan pasal 37 UU Migas yang menyatakan akan adanya peraturan pemerintah (PP) mengenai tata-cara 52 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara yang dipergunakan untuk usaha/kegiatan migas, hingga saat ini belum juga ada. Dengan demikian uusan pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas selalu menemui hambatan dan kendala misalnya pemegang hak atas tanah yang bersikukuh tidak mau melepaskan hak atas tanahnya, permintaan harga tanah (ganti kerugian) yang tidak wajar, pemblokiran akses masuk ke lokasi kegiatan migas dsb, sehingga pada akhirnya mengganggu kegiatan operasi migas itu sendiri. Untuk mengatasi permasalahan ini lah, kemudian pemerintah berinisiatif memasukkan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas ke dalam kategori kepentingan umum, sehingga pengadaan tanahnya dilakukan oleh pemerintah secara langsung, bukan oleh perusahaan-perusahaan migas. Dengan asumsi bahwa jika dikategorikan sebagai kepentingan umum, maka pengadaan tanah akan jauh lebih mudah dan lancar. Dalam pasal 12 ayat (1) UU Pengadaan Tanah ditegaskan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum (termasuk untuk pembangunan infrastruktur migas) wajib diselenggarakan oleh pemerintah, dan dapat bekerja sama dengan BUMN, BUMD ataupun badan usaha swasta. Dengan demikian, untuk usaha kegiatan migas meskipun pada awalnya dlakukan oleh pemerintah, namun dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha migas. Untuk itu, UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum di tindaklanjuti oleh peraturan presiden (perpres) no 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pemmbangunan untuk kepentingan umum. Peraturan pelakasanaan UU No 2 tahun 2012 memang tidak dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah, karena diharapkan pada kenyataannya di lapangan, tidak banyak peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Kalaupun terdapat peraturan pelaksana, maka peraturan pelaksana tersebut diharapkan hanya merupakan aturan yang memuat hal-hal yang teknis secara komprehensif. Selanjutnya dalam tataran peraturan teknis perpres no 71 tahun 2012 tersebut di tindaklanjuti oleh peraturan kepala BPN (perbankan) no 5 tahun 2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah; dan terkait dengan pembiayaannya 53 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 di tindaklanjuti oleh peraturan menteri dalam negeri (PMDN) no 72 tahun 2012 tentang buaya operasional dan biaya pendukung penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD); serta di tindaklanjuti juga oleh peraturan menteri keuangan (PMK) no 13/PMK.02/2013 tentang biaya operasional dan biaya pendukung penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). E. Alternatif Solusi Pembangunan Infrastruktur Migas Agar Sejalan dengan RTRW Suatu Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah Dalam pasal 1 angka 5 UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, ditegaskan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hakekat pengaturan penataan ruang adalah untuk mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta memberikan perlindungan terhadap fungsi nuang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat pemanfaatan ruang. Dengan hakekat tersebut, maka penyelenggaraan penataan ruang ditujukan untuk mewujudkan terciptanya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman. produktif dan berkelanjutan. Sejalan dengan arah tersebut di atas, Pasal 2 PP No. 15 Tahun 2010 tentang. Penyelenggaraan Penataan Ruang, menjelaskan bahwa pengaturan penataan ruang perlu diselenggarakan untuk: a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; b. Memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam penataan ruang dan c. Mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang 54 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Dalam literatur-literatur hukum, ketertiban, kepastian hukum dan keadilan merupakan tujuan hukum. Untuk terwujudnya hukum yang ideal, maka hukum harus memenuhi ketiga tujuan hukum ini, meskipun pada kenyataannya antara ketiga tujuan hukum ini seringkali bertolak belakang. Tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan akhir dari kehidupan bermasyarakat, yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup suatu masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan15. Dengan demikian dalam hal penataan ruang, penyelenggaraannya perlu diatur dalam bentuk hukum agar terwujud keertiban, kepastian dan keadilan dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan nang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Setiap orang maupun badan hukum merupakan subyek hukum, untuk itu perlu terlibat secara aktif dalam proses penataan ruang. Baik orang tersebut sebagai bagian dari masyarakat, sebagai pengusaha maupun sebagai Pemerintah/Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan penataan ruang diatur hak, kewajiban dan peran dari masyarakat tersebut. Dalam Pasal 60 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditegaskan bahwa hak setiap orang dalam penyelenggaraan penataan ruang. Di samping hak-hak tersebut, Pasal 61 UU No. 26 tahun 2007 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai kewajiban dalam penyelenggaraan penataan ruang, yaitu: a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan sebagai kewajiban setiap orang/subyek hukum untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari instansi yang berwenang menerbitkan izin sebelum pemanfaatan ruang dilaksanakan. b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang. c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang 15 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hrukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000: hlm. 52 55 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum. Kewajiban-kewajiban di atas membawa konsekuensi hukum jika terjadi pelanggaran atas hal tersebut. Dalam hal ini, sanksi yang diberikan oleh Pasal 62 jo Pasal 63 UU Penataan Ruang adalah sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi pencabutan izin, pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi ruang, dan/atau denda administratif16. Sanksi-sanksi tersebut pengenaannya dapat diterapkan baik secara alternatif maupun kumulatif dari berbagai altematif sanksi administratif di atas. Pengenaan sanksi administratif harus ditetapkan berdasarkan kriteria besar atau kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan nuang, nulai manfaat pemberian sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran penataan ruang, dan/atau kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang17. Penetapan kriteria tersebut penting ditentukan agar sanksi administratif dapat berdampak pada timbulnya ketertiban kepastian hukum dan sekaligus keadilan dalam pemanfaatan ruang wilayah di Indonesia Pengenaan sanksi administrasi pada kewajiban yang tertera pada Pasal 61 UU Penataan Ruang merupakan kaidah dasar bagi semua subyek hukum yang melakukan hubungan hukum terkait dengan pemanfaatan ruang. Berbagai kewajiban yang dibebankan kepada subyek hukum sebagaimana tertera pada Pasal 61 UU Penataan Ruang seyogianya memperhatikan pula berbagai peraturan perundang-undangan yang materi muatannya terkait dengan kewajiban dalam hal pemanfaatan ruang. Arahan-arahan penyelenggaraan penataan ruang tersebut di atas pun tentunya harus berlaku pula pada kegiatan penyelenggaraan penataan ruang di bidang pembangunan mdustri migas. Kegiatan industri migas sangat berpotensi pada 16 Lihat Pasal 63 UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo Pasal 182 ayat (3) PP No 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang 17 Pasal IE7 PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang 56 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 keseimbangan fungi pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam sekitarnya. karena sangat berpotensi berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan di sekitar pembangunan infrastruktur migas; bahkan seharusnya kaidahkadiah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lebih diperhatikan dibanding dengan kegiatan-kegiatan pemanfaatan ruang lainnya. Namun dalam UU Pengadaan Tanah, kaidah-kaidah penataan ruang ini dimungkinkan dikesampingkan dalam hal pembangunan infrastruktur migas. Sesuatu yang pada hakekatnya bertentangan dengan kewajiban pemanfaatan ruang itu sendiri sebagaimana telah ditegaskan pada Pasal 61 UU Penataan Ruang. Pasal 7 ayat (I) UU No. 2 tahun 2012 menegaskan bahwa pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum harus dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Pembangunan Nasional/Dacrah. Rencana Strategis dan Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah. Ketentuan ini sudah sejalan dengan arahan kaidah-kaidah yang terdapat dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Namun Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 tahun 2012 tersebut melemahkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No 2 tahun 2012 dengan menyatakan bahwa jika pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum itu berupa pembangunan untuk infrastruktur migas (kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transmisi, dan/atau distribusi), maka pengadaan tanahnya cukup dilakukan sesuai dengan Rencana strategis dan Rencana Kera Instansi yang membutuhkan tanah saja. Dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan kesesuaiannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan/atau Rencana Pembangunan Nasional/Daerah. Oleh pembuatan peraturan UU No. 2 tahun 2012, hal tersebut didasarkan atas pemikiran dan pertimbangan bahwa karakteristik kegiatan migas mengandung unsur ketidak-pastian yang sangat tinggi. Kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas seperti eksplorasi, eksploitasi, transmisi dan/atau distribusi migas, tidaklah dapat ditentukan secara pasti lokasinya sejak awal, sehingga membutuhkan fleksibelitas dalam perencanaan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pengendalian migas sebagai sumber alam serta sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan sekaligus vital sebagai sumber devisa Negara. 57 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Dalam kerangka sistem hukum Indonesia, UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum jelas menabrak prinsip hukum sebagai suatu sistem18, karena substansi Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 tahun 2012 bertentangan dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya ketentuan mengenai kewajiban dalam hal pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penataan Ruang, dengan ancaman sanksi administratif bagi barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut bahkan Pasal 69 UU Penataan Ruang memungkinkan penerapan sanksi pidana atas tindakan tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan perubahan fungsi nuang Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah). Dapatkah ancaman sanksi administratif dan/atau ancaman sanksi pidana atas kewajiban penaatan ruang tersebut diperkecualikan bagi pembangunan infrastruktur migas? Tentu tidak mudah menerima logika berfikir hukum seperti demikian karena pada hakekatnya dalam ketentuan hukum, perkecualian haruslah dihindarkan. Dalam pemahaman hukum sebagai suatu sistem, tentu pengecualian demikian tidakah dapat dibenarkan setiap pengecualian atas suatu sistem hukum dapat berakibat sistem hukum itu menjadi tidak ajeg, padahal suatu sistem hukum harus konsisten Ketidak-ajegan dalam suatu sistem hukum, justru harus dihindari. Sistem hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan suatu sistem yang tersendiri pula19. Diantara sub sub sistem itu tidak boleh berkonflik, tidak boleh bertentangan. Dengan demikian, dalam sistem hukum Indonesia, antara sub sistem hukum agraria (dalam hal ini sub sistem hukum pengadaan tanah bagi pembangunan untuk 18 Maria S.W. Sumardjono, Anatomi UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tinjauan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis; makalah pada Seminar Mengulas UU No. 2 tahun 2012 dalam Relevansinya dengan Perkembangan Migas, Yogyakarta, 28 Maret 2012: hlm 2 19 Lili Rasjidi dan LB Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu sistem, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2003: hlm 151 58 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 kepentingan umum) tidak boleh bertentangan dengan sub sistem hukum penataan ruang. Permintaan kekhususan dari para pelaku di bidang industri migas dalam hal pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas, di satu sisi memang dapat difahami. Namun di sisi lain, pelanggaran atas keutuhan suatu sistem hukum juga sesuatu yang harus dihindari demi terciptanya sistem hukum nasional yang harmonis. Untuk itu, sebenarnya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang membuka pintu akan adanya mekanisme peninjauan kembali atas suatu rencana tata ruang, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 26 tahun 2007. Ketentuan Pasal 16 tersebut memungkinkan suatu rencana tata ruang untuk ditinjau kembali, dengan rekomendasi berupa rencana tata ruang yang telah ada perlu direvisi, atau rencana tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlaku yang telah ditetapkan, yaitu masing-masing 20 tahun untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Jika atas suatu rencana tata ruang yang ada itu berdasarkan peninjauan kembali perlu direvisi, maka UU Penataan Ruang menegaskan peninjauan kembali tersebut dalam kurun waktu 1 kali dalam 5 tahun. F. Penutup Masuknya kegiatan pembangunan untuk infastruktur migas ke dalam kategori kepentingan umum, secara logika hukum dapat dibenarkan, sepanjang untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari asas penguasaan sumber daya alam (termasuk migas) oleh Negara. Untuk itu asas-asas hukum dalam UU Migas perlu diselaraskan dengan asas-asas hukum dalam UU Pengadaan Tanah demi memudahkan, memperlancar dan mewujudkan akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengadaan tanah itu sendiri. Mengingat sifat pengadaan tanah pada kegiatan migas yang segera dan situasional. Terkait dengan penataan nuang. Pasal 7 ayat (2) UU Pengadaan Tanah pada shakekatnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Hal ini terkait dengan ketentuan bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas tidak perlu memperhatikan Rencana Tata 59 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah. Hal ini jelas bertentangan dengan keutuhan hukum sebagai suatu sistem. Solusi untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan mekanisme peninjauan kembali rencana tata ruang. DAFTAR PUSTAKA Anatomi UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Tinjauan Filosofis, Yuridis dan sosiologis, makalah pada Seminar Mengulas UU No. 2 uhun 2012 dalam Relevansinya dengan Perkembangan Migas. Yogyakarta, 28 Maret 2012 Deputi bidang Umum BP Migas. Pengadaan Tanah pada Kegiawrn Unaha Hubu Migas, Makalah pada Rapat Koordinasi Perunahan BP Migas-KKKS. Yogyakarta 17 April 2012 Ida Nurlinda, Konflik daniatau sengketa dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Umum. Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Pasca No tahun 2012, Universitas Airlangga, Surabaya, 27 September 2012 Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria. Penerbit LoGoz asama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fak Hukum Unpad, Bandung, 2013 Lili Rasjid, Lili dan L B. wryasa Putra, Hukan sebagai suatu sisum, Mandar Maju. cetakan ketiga, Bandung, 2003 Maria s w. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan implementasi, Kompas, Jakarta, 2005 Memaknai Kembali Memaknai Kembali Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan Tindak Lanjutnya, Kuliah inagurasi 60 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 sebagai Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta 3 September 2013 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hakum Sian Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum. Penerbit Alunni, Bandung, 2000 Muhammad Bakri, Pengakuan semu Hak Ulayat dalam Hukum Agruria Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional "Konflik Perkebunan: Mencari solusi yang Berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil", FH Unibraw Malang, 24-25 Mei 2012 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, Kanisius, Jakarta, 1982 Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan Analisis Kebijakan, Development Studies Foundation Pertamina, Jakarta, 2009 61 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Akuntabilitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Fungsi Legislasi (Studi Terhadap DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis) Inna Junaenah, S.H., M.H.1, Rahayu Prasetyaningsih, SH., M.H2., Aisyah Ramadhania Abstrak Peraturan Perundang-undangan menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai badan representasi yang menjadi unsur pemerintahan daerah. Di antara fungsi yang dimilikinya adalah fungsi legislasi. Citra yang berkembang saat ini adalah Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah. Hal ini perlu dibuktikan dengan mengambil contoh pencapaian produktifitas pembentukan peraturan daerah dari pengalaman beberapa Kabupaten Ciamis dan Kota Bandung. Pencapaian produktifitas tersebut tidak saja berhenti pada pemetaannya, melainkan adalah menelusuri apa landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu adalah perlu digali apa saja faktorfaktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Untuk menjawab demikian, dilakukan pendekatan penelusuran dan analisa terhadap peraturan perundang-undangan. Selain itu dilakukan pula verifikasi terhadap beberapa hal mengenai inisiatif DPRD dalam mengajukan Raperda. Penelitian menunjukkan bahwa landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota adalah berdasarkan pada pendekatan fungsi legislasi pada suatu elected representative dan akuntabilitas. Dalam pendekatan ini walaupun terdapat dinamika peran wakil rakyat dalam rangka hubungannya dengan yang diwakili, namun keterwakilannya dapat 1 2 Penulis merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Penulis merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 62 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 "ditagih". Sementara itu dari pendekatan landasan akuntabilitas diperoleh suatu deskripsi bahwa akuntabilitas DPRD digolongkan menjadi akuntabilitas secara kolektif dan akuntabilitas secara individu. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi, terlebih dahulu sorotan utama pada DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis dalam penelitian ini, baru dapat terekam terhadap jumlah produk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Melihat inisiatif DPRD yang dicontohkan di Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis masih di bawah 50 persen dari keseluruhan Perda yang ditetapkan pada periode 2009-2014 ini. Adapun pengungkapan komposisi latar belakang yang berasal dari profil singkat masing-masing masih berada di permukaan saja untuk melihat dan mengukur akuntabilitas anggota DPRD secara individu. Atas dasar itulah dalam penelitian ini masih menyisakan kelemahan yang barangkali dapat diperkaya oleh peneltian-penelitian berikutnya Akuntabilitas secara individu perlu lebih jauh ditelusuri untuk diketahui sampai bagaimana pola rekruitmen dan kemungkinan ideal anggota DPRD dalam menjaga moral dan etika penyelenggaran negara. Keywords: Akuntabilitas. DPRD A. Pendahuluan Akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara pada umumnya ditujukan pada sejauh mana kineria pemerintahan dalam arti sempit dapat mempertanggungjawabkan kewajibannya, yang disampaikan kepada organisasi eksternalnya seperti auditor, legislatif, atau publik secara meluas. Namun demikian dalam hal ini akuntabilitas hendak digali dari suatu badan yang justru merepresentasikan rakyat, dalam hal ini DPRD, untuk menerima pertanggungjawaban kineria dari Kepala Daerah. UndangUndang Pemerintahan Daerah memosisikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Dengan kedudukan demikian, terdapat hak rakyat untuk memperoleh akuntabilitas dari wakil-wakil yang mewakilinya sehingga keterwakilannya bukan merupakan suatu perwakilan yang "buta" dari pertanggungjawaban. 63 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Baik dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah3 maupun dalam Undang Undang MD34, ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Dari kedudukannya sebagain lembaga perwakilan rakyat dan unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama fungsi legislasi dijabarkan ke dalam tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Dengan berbagai ketentuan demikian, bagi suatu lembaga perwakilan rakyat, fungsi, tugas dan wewenang, dan hak dan kewajiban tersebut lebih terukur untuk melihat akuntabilitas kinerja DPRD. Bagaimana contoh pencapaian produktifitas pembentukan peraturan daerah? Dari pengalaman beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat ditunjukkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah5. Hal ini pun didorong oleh program legislasi daerah yang untuk Kabupaten/Kota di Jawa Barat selama periode 2009-2014, terdapat tidak kurang dari 10 (sepuluh) Raperda setiap tahunnya. 6 Kota Bandung termasuk yang cukup sedikit mengajukan Prolegda, rata-rata sekitar 10-15 Raperda, sedangkan daerah yang termasuk paling banyak pengajuannya adalah Kabupaten Ciamis, yakni sekitar 22 Rancangan.7 Bagaimanapun, akurasi terhadap pemetaan perbandingan tersebut harus digali dan dielaborasi lebih jauh dalam penelitian. Elemen ini pun bertambah penting dengan pendekatan Persentase jumlah perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD terhadap jumlah total perda yang dihasilkan sebagai salah satu indikator dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 8. 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Tentang Majelis 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Dan Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Perwakilan Rakyat Daerah, sering disebut UU MD3 HAM 5 Ma'mun, Diskusi informal. Bagian Fasilitasi Perundang-undangan Biro Hukum dan sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, 12 Juli 2013 6 Ibid. 7 Ibid. Maswadi Rauf (et al), Menakar Demokasi di Indonesia. Indeks Demokrasi Indonesia 2009,UNDP Indonesia, 2011. hlm. 28 8 64 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Sebagai alah satu aspek kelembagaan dalam IDI, peran DPRD ini didasar pada pemikiran bahwa "civil liberties dan political rights sebagai pilar dari konsep demokrasi tidak mungkin akan dapat teraktualisasikan secara maksimal tanpa didukung oleh lembaga-lembaga demokrasi.”9 Dalam tulisan ini hendak diajukan pertanyaan mengenai: Apa landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota? Apa saja faktor-faktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi pertanyaan yang demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk legislasi? Atas mengemukakan landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota dan mengidentifikasi kualifikasi anggota DPRD dan merumuskan akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Menginspirasi tulisan ini, telah ada hasil penelitian terdahulu yang menjadi bahan utama, yaitu Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang. Akuntabilitas Penyelenggara Negara, yang disusun oleh Susi Dwi Harijanti beserta Tim. Dalam NA ini dikemukakan bahwa akuntabilitas badan perwakilan harus berbeda dengan akuntabilitas lembaga ekskutif maupun yudikatif. Yang cukup mendasari perbedaan tersebut adalah bahwa mekanisme akuntabilitas kinerja menurut Susi Dwi Harijanti dkk. sebenarnya dapat lebih mudah karena hal tersebut dapat dijalankan sehari-hari.10 Untuk memosisikan suatu persepsi, dari NA ini dikemukakan penggolongan akuntabilitas dari Bovens berdasarkan the nature of forum the natur of actor, the nature of conduct, dan the nature of obligation. Berikut diuraikan: 1) Based on the nature of the forum (to whom is account to be rendered: the problem of many eyes) 9 Ibid., hlm. 20 10 Susi Dwi Harijanti dkk. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Akuntabilitas Arena Penyelenggara Negara, Kerja sama antara Kedeputian Bidang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hlm, I45 65 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 ï‚· Political accountability (elected representatives, political parties, voters media) ï‚· Legal accountability (courts) ï‚· Administrative accountability (auditors, inspectors, and controllers) ï‚· Professional accountability (professional peers) ï‚· Social accountability (interest groups, charities and ther stakeholder 2) Based on the nature of the actor (the problem of many hands) ï‚· Corporate accountability (the organisation as actor) ï‚· Hierarchial accountability (one for all) ï‚· Collective accountability (all for one) ï‚· Individual accountability (each for himself) 3) Based on the nature of the conduct ï‚· Financial accountability ï‚· Procedural accountability ï‚· Product accountability 4) Based on the nature of the obligation ï‚· Vertical accountability ï‚· Diagonal accountability ï‚· Horizontal accountability”.11 Berdasarkan penggolongan di atas, dilihat dari hakikat forumnya (based on the nature of the forum), akuntabilitas DPRD termasuk akuntabilitas politik. Hal ini sejalan dengan pencantuman variabel peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai salah satu komponen dalam rangka penilaian Indeks Demokrasi Indonesia 2010. Dikatakan Maswadi Rauf dkk. Bahwa pentingnya efektifivitas pelaksanaan fungsi parlemen/DPRD dalam rangka konsolidasi demokrasi adalah "karena parlemen merupakan representasi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan supremasi kekuasaan sipil. Parlemen yang efektif, yakni yang 11 Susi Dwi Harijanti dkk. Naskah Akademik, Ibid. hlm. 12-13 66 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 memprioritaskan kepentingan masyarakat, diindikasikan oleh antara lain adanya tingkat partisipasi dan kontestasi politik yang tinggi; berjalanya mekanisme check and balance akuntabilitas politik yang tinggi; dan adanya hubungan yang kuat antara politisi dengan konstituen”12 Kedua, dilihat dari hakikat pelakunya (based on the nature of the actor) akuntabilitas DPRD termasuk kepada Corporate accountability (the organisationas actor). Penggolongan tersebut didekati dan fungsi legislasi sebagai fungsi utama kelembagaan DPRD. Fungsi ini di antaranya ditegaskan bahwa DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan13. Sebagai pelaksanaan fungsi ini, DPRD mempunyai tugas dan wewenang yang ditegaskan dalam UU Pemerintahan Daerah yaitu "a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah14; serupa dengan rumusan demikian, dalam UU MD3 disebutkan pula bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang a) membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota. b) membahas dan memberika persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;15 Ketiga, dilihat dari hakikat apa yang dilaksanakan (based on the nature of the conduct), akuntabilitas DPRD termasuk Product accountability. Jika melihat keberadaan produk legislasi saja, dapat berarti suatu Perda merupakan inisiatif eksekutif ataupun Dewan, sepanjang melalui proses pembahasan dan persetujuan DPRD. Bagaimanapun hal ini dapat diperkuat dengan penggunaan persentase jumlah 12 Maswadi Rauf, Indeks Demokrasi Indonesia 2010, Kebebasan Yang Bertanggungjawab hlm. 29 diunduh dari Substansial sebuah Tantangan, http://www.undp.or.id/pubs/docsIDI%202010.pdf 26/11/2013 14:59:46 13 Pasal 41 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 292 dan Pasal 343 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 14 15 Pasal 42 ayat 1 Pasal 344 ayat (1) UU MD3 67 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD terhadap jumlah total perda yang dihasilkan sebagai Indikator 21 dari Indeks Demokrasi Indonesia16. Keempat, dilihat dari hakikat kewajiban (based on the nature of the obligation), akuntabilitas DPRD termasuk termasuk horizontal accountability DPRD. Pemahaman mengenai akuntabilitas horizontal ini memiliki dua sisi, yaitu dalam rangka hubungan dengan Kepala Daerah dan dengan konstituen. Dalam arti kerangka hubungan DPRD dengan Kepala Daerah dilihat dari pengertian normative bahwa DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.17 Di samping itu, pengertian pemerintahan daerah itu sendiri dalam UU Pemerintahan Daerah adalah "Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.18 Kesetaraan hubungan DPRD dengan Kepala Daerah turut juga dapat memunculkan keharusan akuntabilitas ecara horizontal untuk dapat saling mengontrol dan mengimbangi. B. Fungsi Legislasi Dan Akuntabilitas Badan Representasi Rousseau berpandangan bahwa Negara bertahan hidup tidak oleh hukum atau undang-undang, tetapi oleh kekuasaan legislative.19 Badan pembuat undang undang, yaitu legislatif, dipilih dan dibentuk oleh masyarakat walaupun dipandang mempunyai kekuasaan tertinggi, ia tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap hidup dan nasib orang-orang yang bersekutu dan tidak pula ia boleh menyerahkan hak legislatif yang diperoleh dari masyarakat tadi kepada pihak lain.20 Yang menjadi esensi dari pemikiran di atas adalah bahwa suatu badan representasi rakyat memegang peran untuk membentuk hukum, yang dalam batasan materi tertentu dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkatan satuan pemerintahan. Misalnya, dalam konteks negara kesatuan yang diakui sebagai badan legislasi hanya 16 Maswadi Rauf, Indeks Demokrasi Indonesia 2010, op cit, hlm 33 Pasal 1 Angka 4 UU No. J2 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 18 Pasal 1 Angka 2 UU No 32 Tahun 2004 19 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Penanjian Sosial), diterjemahkan ke dalama Inggris dengan judul The Social Contract or Principles of Political Rights oleh G.D.H. Cole dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero, penyunting. Nino, Cet.1, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm.151 20 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Edisi Revisi Cetakan VI, Mizan, Noer, Bandung, 2000, hlm. 121. 17 68 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 ada satu, yaitu parlemen pada pemerintah pusat, sedangkan pada satuan pemerintahan di bawahnya bukan merupakan lembaga legislasi, karena merupakan bagian dari unsur pemerintahan daerah. Maka dari itu materi pembentukan hukumnya memiliki batasan tertentu, Yang tidak kalah sentral ketika membicarakan hubungan antara rakyat dengan wakilnya adalah fungsi legislasi yang dimiliki oleh suatu badan perwakilan Gilbert Abcarian, yang dikutip oleh Eddy Pumama mengemukakan teori yang mengenai empat macam tipe hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, yaitu: a. Si wakil bertindak sebagai "wali" (trustee), Diartikan bahwa si wakil bebas bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya. b. Si wakil bertindak sebagai utusan" (delegate). Dalam hal ini si wakil dalam melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya c. Si wakil bertindak sebagai "politico Menurut tipe ini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali (trustee) dan adakalanya bertindak sebagai utusan (delegate). Tindakannya tergantung pada issue (materi) yang dibahas. d. Si wakil bertindak sebagai "partisan". Dalam tipe ini si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program partai (organisasi) si wakil. Setelah si oleh pemilihnya (yang diwakilinya), lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan21 22 Teori tersebut mencerminkan suatu dinamika pelaksanaan penyerapan kedaulatan rakyat. Di dalamnya perlu dicatat bahwa penting bagi rakyat yang diwakili untuk "menagih" amanat kepada wakilnya, baik secara kolektif (kelembagaan) maupun secara individual. Hal ini dikuatkan dengan catatan Rousseau bahwa "walaupun telah menyerahkan sebagian kekuasaannya, sekutu bersangkutan masih terus mempunyai hak untuk menuntut berlakunya hukum ini''.23 Menyambung hal 21 Ibid., hlm. 13-14 Eddy Pumama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 12-13 23 Deliar Noer, Pemikiran... op cit, hlm. 3 22 69 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 tersebut Frans Magnis mengemukakan bahwa control para warga negara berlangsung melalui dua sarana secara langsung melalui pemilihan para wakil dan secara tidak langsung melalui keterbukaan (publicity) pemerintahan24 Di sinilah letak pentingnya akuntabilitas jika menghendaki suatu tatanan masyarakat yang demokratis. Pengertian dari World Bank pun dapat ditambahkan bahwa accountability is "ability or the "possibility" that some or something or counted up”.25 Sederhananya, dalam pemahaman can be "accounted for yang paling sempit, semua akuntabilitas pemerintahan menyiratkan keharusanuntuk mengkodifikasikan ke dalam suatu pembukuan. Misalnya ketika membangun jalan tol sekian kilometer, berapa banyak biayanya. Dengan demikian akuntabilitas bagi suatu badan representasi sangat penting untuk menjaga kualitas fungsinya dan untuk memantau bahwa amanat yang diwakilinya terlaksana. Indikasi-indikasi kualitas yang demikian dibutuhkan dilihat dari hubungan representasi, seperti teori mandat atau teori perwakilan. Berdasarkan berbagai pandangan di atas, akuntabilitas dari suatu badan representasi tercermin dari dua aspek yaitu secara kolegial dan secara individu. Pertama secara kolegial badan representasi yang memiliki fungsi legislasi dituntut akuntabilitasnya berupa produk hukum yang dihasilkan. Hal itu seharusnya yang lebih mudah diidentifikasi untuk melihat apakah badan representasi tersebut bekerja melalui penyelenggaraan pembahasan rancangan produk hukum. Kedua, secara individu anggota suatu badan representasi perlu diminta akuntabilitasnya sepanjang dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang. Bagaimana Misalnya, peran aktif seorang anggota council dalam menuangkan gagas ketika membentuk produk legislasi. Yang minimal adalah bagaimana paling prosentasi kehadirannya dalam sidang-sidang pembahasan. 24 Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 291 World Bank, Social Accounttability in the Public Sector, The Intemational Bank for Reconstruction and DevelopmentThe World Bank, Washington-USA, 2005, hlm. 4 25 70 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 C. Pengaturan dan Potret Akuntabilitas DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis 1. Pengaturan Akuntabilitas DPRD Beragamnya jenis akuntabilitas kinerja dalam peraturan perundangundangan menyebabkan banyaknya mekanisme dan bentuk akuntabilitas kineria lembaga penyelenggara negara yang ada.26 Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar mekanisme akuntabilitas kinerja lembaga penyelenggara yang sudah diatur tidak mencerminkan akuntabilitas kinerja kepada publik.27 Berdasarkan hal itu Kedeputian Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) menyusun Naskah Akademik RUU Akuntabilitas Penyelenggara Negara Menambahkan pandangan di atas, secara hirarkis dapat dilihat pula beberapa ketentuan yang mengarah pada kebutuhan akuntabilitas. Dari ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum dan sesudah Perubahan di antaranya ditemukan kemungkinan suatu DPRD memiliki fungsi legislasi, yaitu dari unsur 1) otonom, 2) dibentuk badan perwakilan daerah; dan 3) sendi permusyawaratan.28 Pencantuman ketentuan dasar mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demikian ternyata telah diekspresikan ke dalam suatu komitmen secara intemasional pada Tahun 1993. International Union of Local Authority (IULA) telah menyatakan suatu deklarasi bahwa hak dan kewajiban pemerintah daerah "to regulate and manage public affairs” demi kepentingan masyarakat di daerahnya.29 26 Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik ..., op.cit., hlm. 168. 27 Ibid., hlm. 169. Ali Abdurahman, Inna Junaenah, dan Rahayu Prasetianingsih, Aspek dan Variabel Indeks otonomi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012, hlm. 48 28 “International Union of Local Authority (IULA) Declaration: “Article 2 : Concept of local selfgovernment: 1. Local self-government denot right and duty of to and manage public affairs under their own responsibility and in the interests of the local population.” 29 71 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Suatu representative bodies kemudian merupakan turunan dari pelaksanaan hak otonomi tersebut, yang anggota-anggotanya dipilih secara periodic.30 Dalam rangka pelaksanaan hak untuk mengatur dan mengurus itulah, suatu representative bodies memiliki fungsi legislasi. Baik dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah31maupun dalam Undang-Undang MD3332, ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Sebagai cerminan dari fungsi legislasi pula, tugas tersebut diturunkan ke dalam hakhak anggota yaitu untuk a)mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota; b) mengajukan pertanyaan c) menyampaikan usul dan pendapat, dan d) terhadap imunitas.33 Selama menjalankan kewajibannya, anggota DPRD wajib mematuhi kode yang berisi norma norma yang disusun oleh DPRD Kabupaten/Kota itu sendiri. Norma-norma tersebut ditujukan supaya anggota DPRD terjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitasnya.34 Persyaratan seseorang untuk dapat diajukan sebagai calon anggota DPRD baru dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan di UU Pemilu. Namun demikian, baik dalam UU Pemilu Tahun 200835 maupun UU penggantinya, UU Nomor 8 Tahun 2012.36 Art 2 (2) : “this right shall be exercised by individuals and representative bodies freely eleted on a periodical basis by equal, universal suffrage, and their chief executives shall be so elected or shall be appointed with the participation of the eleted body. 30 31 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 TAHUN 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sering disebut UU MD3. 33 Pasal 350 UU MD3 dan Pasal 44 UU Pemerintahan Daerah. 32 34 Pasal 377 UU MD3. Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 36 Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 35 72 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Pengaturan yang mengkerucut mengenai keharusan akuntabilitas dapat didekati dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (dalam Bab ini disebut UU Anti KKN). Mulai dari ketentuan umum terdapat pengertian bahwa "Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.37 Pengertian tersebut tidak konsisten dengan ketentuan dalam berbagai Pasalnya. Misalnya, Pasal 2 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai DPRD sebagai salah satu satu penyelenggara negara, yang diharuskan menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Hanya saja kemungkinan tersebut dapat tercakup di ketentuan angka 6, yaitu bahwa “... Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku"; dan Angka 7, yaitu "Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku". Di luar UU tersebut, ditemukan penegasan DPRD sebagai salah satu penyelenggara pemerintahan daerah secara khusus yaitu dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.38 Penegasan ini berkesinambungan dengan salah satu asas yang harus dipatuhi baik dalam UU No. 28 Tahun 1999 Anti KKN39 maupun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.40 Sebagai penguatan, dalam Penjelasan UU No. 28 Tahun 1999 ditemukan bahwa "Yang dimaksud dengan “Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang 37 Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999. Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004. 39 Pasal 3 angka 7 No. 28 Tahun 1999 tentang KKN. 40 Pasal 20 huruf g UU No. 32 Tahun 2004. 38 73 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku" Sayangnya akuntabilitas DPRD tidak termasuk yang dieksplisitkan dalam PP Nomor 3 Tahun 2007, khususnya laporan yang disampaikan kepada pemerintah. Di dalamnya tidak menyebutkan misalnya keharusan penyampaian pelaksanaan Prolegda, atau misalnya jumlah Perda yang sedang dan sudah ditetapkan dalam tahun penyelenggaraan laporan. Terdapat instrumen pengukuran yang lain yang secara terpisah dapat ditelusuri lebih lanjut, misalnya EKPPD dan EKPOD yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.41 Hanya saja, kekurangan penelusuran tersebut masih menjadi kekurangan dalam penelitian ini, karena tidak termasuk dalam indikator yang dianalisis. Walaupun masih dalam rancangan, asas akuntabilitas dalam RUU Tentang Akuntabilitas Kineria Penyelenggara Negara dapat dijadikan pendekatan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan akuntabilitas, terutama ketika menjelaskan pengertian asas akuntabilitas. Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42 RUU ini membedakan akuntabilitas kinerja di lingkungan kelembagaan perwakilan rakyat dengan kelembagaan yudikatif serta kelembagaan pemerintah. 41 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah selanjutnya disingkat EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Sementara itu, Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang selanjutnya disingkat EKPOD, adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data sistematis terhadap kemampuan adalah aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Kedua instrumen evaluasi tersebut berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Daerah. 42 Angka 7 Pasal 2 RUU Tentang Akuntabilitas Kineria Penyelenggara Negara, Draft RUU Akuntabilitas ..., op.cit. 74 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Akuntabilitas kinerja kelembagaan perwakilan rakyat dapat diwujudkan dalam bentuk pemyataan, gagasan, usulan pemikiran, anggapan atau pandangan atas suatu peristiwa, tanggapan atas aspirasi publik, dan kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi.43 Dalam Penjelasannya dikatakan kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi (dapat dicontohkan) berupa keberhasilan DPR dalam mewujudkan Undang-Undang sebagaimana diusulkan dalam program legislasi nasional. Di ayat (2) dikehendaki bahwa perwujudan akuntabilitas kinerja disajikan dalam bentuk laporan akuntabilitas kerja44 yang meliputi akuntabilitas politik dan akuntabilitas manajerial.45 Pertama, akuntabilitas politik dapat diwujudkan dengan pengungkapan pelaksanaan tanggung jawab dan pencapaian kinerja.46 Kedua, akuntabilitas kinerja lembaga pada aspek akuntabilitas manajerial dapat diwujudkan dengan pengungkapan pencapaian kinerja dengan berbagai indikator kinerja yang menggambarkan hasil.47 Akuntabilitas kerja tersebut lembaga perwakilan rakyat dengan kedua lingkup wajib dilaksanakan oleh lembaga kepada publik dan lembaga lainnya secara periodik.48 2. Potret Akuntabilitas DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis Sebagaimana telah disebutkan di Bab awal, dari pengalaman beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat ditunjukkan bahwa Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah.49 Terhadap keterangan demikian pada Bagian ini akan dikemukakan pencapaian produktivitas pembentukan peraturan daerah dari Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis 43 Pasal 12 ayat (1) RUU Akuntabilitas. Pasal 12 ayat (2) RUU Akuntabilitas. 45 Pasal 13 RUU Akuntabilitas 46 Pasal 14 47 Pasal 15 48 Pasal 18 49 Ma'mun, Diskusi informal ... op.cit. 44 75 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 dalam pemetaan rata-rata produk Perda di Provinsi Jawa Barat dari masa jabatan DPRD periode 2009-2014. Dari situs Kementerian Dalam Negeri ditunjukkan beberapa daerah dengan produktivitas Perda yang rendah (di bawah 20), sedang (20-40), tinggi (40-80), dan tertinggi (di atas 80). Ternyata Kabupaten/Kota yang menempati produktivitas Perda yang tertinggi ditunjukkan oleh Kota Bandung (99 Perda) dan kabupaten bandung (99 perda). Sementara itu kabupaten/kota yang menempati produktivitas perda yang rendah ditunjukkan oleh kabupaten bekasi (11 perda), kota banjar (11 perda), dan kabupaten cianjur (14 perda). Bagaimanapun, dapat dicatat bahwa diasumsikan pada tahun pertama masa jabatan belum terdapat inisiatif DPRD untuk membentuk Perda. Namun demikian hal itu dapat direpresentasikan ke dalam bentuk-bentuk fungsi legislasi yang lainnya, misalnya terdapat pembahasan yang didalamnya memungkinkan tereksplorasi gagasan-gagasan dan kehadiran. Berikutnya, akan dielaborasi jumlah Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dibandingkan dengan pencapaian penetapan serta sekilas keseluruhan profil anggota masingmasing DPRD. Jumlah Perda di Kota Bandung yang berasal dari inisiatif DPRD periode 2009-2014 dibandingkan dengan pencapaian penetapan DPRD sejumlah 4 inisiatif dengan rincian: 2009 Jumlah Perda yang ditetapkan 99 Inisiatif DPRD 1 0 2010 29 2011 2012 2013 Jumlah 14 20 27 9 * 1 3 4 Dari keterangan di atas jelas bahwa jumlah produk Peraturan Daerah di luar perkiraan sebelunnyaa. Walaupun diperoleh informasi bahwa pada tahun 2013 Prolegda yang dirancang oleh Kota Bandung relatif paling 76 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 sedikit,secara keseluruhan pada masa periode 2009-2014 ini DPRD telah membahas dan menyetujui Rapera dengan jumlah yang tertinggi se-Provinsi Jawa Barat, untuk kemudian ditetapkan mencapai 99 Perda. Dari situasi ini tampaknya aktivitas fungsi legislasi dalam bentuk aktivitas pembahasan dan eksplorasi gagasan cukup tinggi. Secara kontras terdapat kenyataan lain yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan inisiatif DPRD untuk mengajukan Raperda sangat rendah, yaitu hanya 4 Perda. Pada tahun 2009 diasumsikan belum terdapat inisiatif DPRD dengan pertimbangan bahwa di tahun pertama tersebut, belum disusun Prolegda hasil masa jabatan periode ini. Dengan demikian, kalaupun diperhitungkan dari Perda yang belumm dapat diidentifikasi, maka maksimal ditambah 5, inisiatif DPRD hanya mencapai 10 inisiatif dari 70 Perda yang diterapkan. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan inovasi dan kreativitas DPRD baik secara kolegial maupun secara individu dibandingkan dengan kecakapan eksekutif daerah.50 Lalu bagaimana kesenjangan tersebut dapat terjadi? Salah satu yang dapat diperkirakan adalah dengan melihat profil singkat para anggotanya sebagai berikut: Representasi Anggota DPRD Kota Bandung Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan SLTA S1 S2 50 Penyebutan eksekutif daerah hanya dikarenakan sebagai kebiasaan oleh praktisi pemerintahan daerah. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menggradasi pemahaman arti keberadaan legislatif daerah. Dalam konteks negara kesatuan, CF Strong menegaskan hanya terdapat lembaga legislatif, yaitu di Pusat. 77 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Latar belakang pendidikan sebagaimana ditunjukkan di atas tampaknya tidak begitu menunjukkan korelasi pengaruh strata pendidikan terhadap akuntabilitas anggota DPRD dari aspek inovasi dan kreativitas untuk menginisiasi Raperda. Walaupun lebih dari sebagian berlatar belakang pendidikan Sarjana, ditambah dengan keberadaan lulusan Magister, hal tersebut tidak signifikan untuk menjadi faktor utama pendorong penguatan fungsi legislasi dari sisi ini. Dalam daftar Peraturan Daerah pada situs Kemendagri, dari Kabupaten Ciamis jumlah dua tahun Perda khusus Periode 2009-2013 tidak begitu rinci, kecuali hanya didapati sebagai berikut: 2009 Jumlah Perda yang ditetapkan 37 6 28 4 Inisiatif DPRD 6 2010 2011 2012 2013 * 28 Jumlah 9 * 14 2 18 Pada tahun 2013 ini terdapat 12 Raperda inisiatif Dewan yang sedang dalam proses pembahasan, sedangkan inisiatif dari eksekutif sejumlah 7.51 Selain itu terdapat juga sejumlah 6 Naskah Akademik sebagai pelaksanaan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2012-2013 yang sedang dalam kajian tim ahli.52 Yoyong sopyan53 mengatakan bahwa Anggota DPRD Ciamis termasuk yang eksis, dalam arti aktif dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Menurutnya hal ini kemungkinan terpengaruh dari masing-masing anggota 51 Yoyong Sopyan, Kasubag Perundang-undangan pada Bagian Rapat dan Perundang-undangan Sekretariat DPRD Kabupaten Ciamis. 52 Ibid. 53 Ibid. 78 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 yang berlatar belakang akademisi. Jika diperkirakan demikian, kemungkinan hal itu terpengaruh di antaranya oleh pemetaan latar belakang profil anggota. Profil singkat para anggota DPRD Kabupaten Ciamis dapat ditunjukkan sebagai berikut: Prosentase Anggota DPRD Berdasarkan Pendidikan SLTA Sarjana Sebaran Latar Belakang Profesi Anggota DPRD Kabupaten Ciamis 2009-2014 birokrat akademisi guru profesional aktivis/politisi wiraswasta Kedua Bagan di atas menunjukkan sebaran latar belakang pendidikan dan latar belakang profesi anggota DPRD Kabupaten Ciamis. Bagan pertama menunjukkan bahwa lebih dari setengah anggota DPRD Kabupaten Ciamis memiliki latar belakang pendidikan SLTA/Sederajat. Untuk sebuah kota kecil, prosentasi ini perlu diperhitungkan. Hal ini dapat berarti bahwa walaupun berpendidikan berasal dari perguruan tinggi Bandung, mereka kembali untuk mengembangkan dan memikirkan 79 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 daerahnya. Bagan kedua menunjukkan bahwa dari latar belakang profesi anggota DPRD Kabupaten Ciamis, anggota yang berlatar belakang aktivis/politisi dengan wiraswasta cukup berimbang. Dalam melihat kreativitas anggota Dewan yang bermuara pada jumlahh Perda inisiatif, hal ini perlu diapresiasi sebagai suatu pencapaian yang progresif. Bagaimanapun, angka tersebut masih belum mencapai setengah dari keseluruhan Perda yang telah ditetapkan. Di kedua contoh profil singkat anggota-anggota DPRD Kota Bandung dan kabupaten Ciamis, sesungguhnya syarat formal calon anggota DPRD sudah tepenuhi. Disamping itu, komposisi yang berlatar pendidikan sarjana pun sudah mencapai sebagian, bahkan ada yang lebih dari setengahnya. Pemenuhan syarat secara formal yang demikian lebih tampak menunjukan suatu kriteria prosedural administratif saja.54 Akan tetapi hal itu tidak cukup karena harus dibuktikan sejauhmana DPRD melaksanakan kesungguhannya sebagai wakil rakyat dalam hal ini fungsi legislasi. Dapat saja secara kolektif kinerja DPRD dalam mengeluarkan produk Peraturan Daerah Tinggi, namun di antara kehadiran dan partisipasi sebagian anggotanya ada yang rendah. Di samping kemungkinan itu dapat saja terjadi seperti apa yang ditunjukkan oleh DPRD Kota Bandung, yaitu produk Perda tinggi, namun inisiatif DPRD untuk mengajukan Rancangan Perda sangat rendah. Bagaimanapun kenyataannya diakui bahwa salah satu pendorong profil tersebut adalah dari pola rekruitmen oleh partai, khususnya ketika menciptakan kader-kader; balik laki-laki maupun perempuan. Paling sedikit, dua hal yang dapat dicatat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap akuntabilitas DPRD yaitu: a) dari faktor penghasilan dan tunjangan, ternyata diikuti dengan potongan yang cukup besar, seperti arisan istri anggota-anggota Dewan, iuran partai, hutang kampanye, yayasan purnabakti, dll.55 Dengan seperti itu, Inna Junaenah, “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat''. Jurnal Konstitusi volume 10 Nomor 2013, hlm. 513. 55 Ibid., hlm. 194-196 54 80 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 gairah para anggota DPRD adalah bagaimana caranya untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari tunjangan-tunjangan, sehingga dimunculkan kreatifitas untuk menganggarkan berbagai macam tunjangan. b) Terdapat pandangan sebagian anggota Dewan bahwa kehadiran di kantor tidak harus setiap hari seperti pegawai negeri. Hal seperti ini keliru, sebab bagaimanapun kebutuhan menjalankan fungsi legislasi begitu besar, sehingga dengan sendirinya seharusnya curahan pemikiran dan tenaga, khususnya dalam fungsi legislasi ini pun besar. Gejala demikian oleh I Gde Pantja Astawa diidentifikasi dengan mengemukakanfaktor-faktor yang berpengruh pada inisiatif Dewan. Dikatakan sebagai berikut: “Pertama, dari sisi Pemerintahan Daerah ( yang seringkali mengambil prakarsa dalam pengajuan usul Raperda), efektivitas penggunaan Hak inisiatif disebabkan berikut: a. Sebagai pihak yang merumuskan kebijakan dan menjalankan roda pemerintahan, pemegangan kekuasaan eksekutif daerah mengetahui dan mengalami secara lebih konkret berbagai akan perlunya Perda untuk menjalankan kebijakan dan penyelenggaraaan pemerintahan daerah; b. Eksekutif Daerah lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan tenaga-tenaga dengan keahlian khusus untuk menyusun Raperda yang mengatur bidang-bidang tertentu dan kompleks; c. Tata kerja Eksekutif daerah memungkinkan keputusan diambil lebih cepat dibandingkan dengan CDPRD yang bersifat kolegial. Kedua, dari sisi DPRD, kesulitan penggunaan ataupun pelaksanaan Hak Inisiatif disebabkan antara lain: a. Sifat keanggotaan dan tugas-tugas yang diemban mendorong keanggotaan Dewan menjadi generalis sehingga tidak begitu mudah 81 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 merumuskan brbagai Raperda yang kadang-kadang begitu spesifik dan kompleks substansinya; b. Forum DPRD bersifat kolegial, segala keputusan hanya dapat dicapai melalui tata cara yang mencerminkan kolegialitas sehingga membutuhkan waktu lebih panjang; c. Kesiapan individual anggota belum merata, baik yang berkenaan dengan penguasaan materi dan wawasan maupun pengalaman parlementer yang ajan menunjang tugas-tugas mereka; d. Kadang-kadang ada pula sikap “terlalu mempercayakan kepada Pemerintah daerah”, sehingga peran Pemerintah Daerah yang selalu menonjol”.56 Di antara lesson learned yang dapat diambil adalah dari contoh keberadaan suatu elected representative adalah di Malaysia, dari pengamatan Mohd Shukri Hanapi.57 Dikatakannya bahwa kecenderungan anggota council di tingkat local authority di Malaysia baru-baru ini adalah dari kaum cerdik pandai. Anggota council tidak saja terdiri dari perwakilan partai politik, tetapi juga diluar itu dapat saja dari akademisi dan yang berlatar belakangan birokrat. Hanya saja yang menjadi catatan, siapapun yang terpilih menjadi anggota council pasti merupakan “sombebody”. Seseorang ini dalam arti lebih berkecenderungan sebagai orang yang memiliki kedekatan dengan akses kekuasaan. Keberadaan sebuah partai politik tidak dapat dipungkiri sebagai sebuah mesin yang menjalankan suatu badan perwakilan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Sekalipun dalam negara yang berbentuk federal, misalnya Amerika, mesin politik berada dibalik kekuasaan pada banyak “mayor cities”.58 Bagaimanapun keberadaan partai politik begitu penting dan pengaruhnya begitu besar, namun elektabilitasnya pun harus senantiasa dievaluasi. Dapat saja mereka terpilih dari sebagian saja, karena 56 I Gde Pantia Astawa, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), makalah, tidak dipublikasikan, 2010. 57 Mohd Shukri Hanapi, Ph.D Candidate, University Sains Malaysia, diskusi personal. 13 Oktober 2013. 58 Steven W. Schmidt et. AI., American Government and Politics Today, 1997-1998 Edition, Wadsworth Publishing Company, 1997, Belmont-USA, hlm. 654. 82 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 sebagaian masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya akibat distrust. Barangkali kedepan perlu dipikirkan perubahan konstelasi politik di DPRD dengan mengambil pelajaran dari komposisi di Badan Permusyarawatan Desa (BPD). Dalam UU Pemda, anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya.59 Mengenai bagaimana cara pengisian jabatan maajlis syura ini, Al-Maudidi menyebutkan adalah melalui pemilihan umum.60 Dituliskan oleh Ija Suntana, terhadap hal ini tidak dapat ditawar lagi bahwa syarat-syarat mereka adalah memiliki kemampuan wawasan yang lebih di antara orang-orang yang mewakilinya. Di samping itu, mereka harus benar-benar dipilih oleh masyarakat.61 D. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada Bab-Bab sebelumnya, beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut: 1. Landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota adalah berdasarkan pada pendekatan fungsi legislasi pada suatu elected representative dan akuntabilitas. Dari pendekatan fungsi legislasi pada suatu elected representative didapati suatu gambaran bahwa fungsi legislasi merupakan fungsi yang sentral bagi suatu badan perwakilan. Dalam hal ini ketentuan normatif mengenai fungsi pengawasan dan fungsi anggaran tidak menjadi sentra tulisan ini. Dalam pendekatan ini walaupun terdapat dinamika peran wakil rakyat dalam rangka hubungannya dengan yang diwakili, namun keterwakilannya dapat “ditagih”. Sementara itu dari pendekatan landasan akuntabilitas diperoleh suatu deskripsi bahwa akuntabilitas DPRD sebagai lembaga perwakilan berbeda dengan akuntabilitas lembaga eksekutif maupun yudikatif. Dengan fungsi legislasi, akuntabilitas DPRD digolongkan menjadi akuntabilitasa secara kolektif dan akuntabilitas secara individu. Indikator 59 Pasal 30 ayat (2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Ibid, hlm. 65 61 Ibid, hlm. 65 60 83 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 akuntabilitas DPRD dilihat dari jumlah produk legislasi yang dihasilkan dan lebih penting adalah yang menjadi inisiatifnya. Sementara itu akuntabilitas DPRD secara individu ditunjukkan dari partisipasinya dalam menyampaikan gagasan, inisiatif, dan kehadirannya dalam sidang. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi, dapat dikemukakan bahwa secara normatif norma mengenai akutabilitas anggota DPRD masih dalam pemikiran di Rancangan Udnang-Undang tentang Akuntabilitas Penyelenggara Negara. Terhadap sorotan utama pada DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis dalam tulisan ini, baru dapat terekam terhadap jumlah produk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Adapun jika norma tersebut akan disahkan, melihat inisiatif DPRD yang dicontohkan di Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis masih di bawah 50 persen dari keseluruhan Perda yang ditetapkan pada periode 20092014 ini. Walaupun masih memungkinkan terjadi pencapaian yang progresif, namun tampaknya tidak akan dapat mengejar prosentase tersebut. Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akuntabiilitas anggota DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi perlu “ditagih” dengan alasan di antaranya karena terdapat hubungan antara wakil rakyat dengan yang diwakilinya dan alasan kedudukannya sebagai salah satu unsur pemerintahan daerah. Terhadap sorotan utama pada DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis dalam penelitian ini, baru dapat terekam terhadap jumlah produk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi. Adapun pengungkapan komposisi latar belakang yang berasal dari profil singkat masing-masing masih berada di permukaan saja untuk melihat dan mengukur akuntabilitas anggota DPRD secara individu. Atas dasar itulah dalam penelitian ini masih menyisakan kelemahan yang barangkali dapat diperkaya oleh penelitian-penelitian berikutnya. Di antara kelemahan yang dapat menjadi bahan bagi studi lanjutan adalah bahwa akuntabilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Fungsi Legislasi, dalam arti secara individu perlu ditelusuri lebih 84 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 lanjut dengan keterangan yang lebih mendalam. Kalaupun tercapai target tersebut, dievaluasi mengenai sistem rekruitmen seperti apa yang lebih tepat untuk dikembangkan. Bahkan lebih jauh, di luar standar-standar yang dapat dinormakan secara tertulis, perlu dikembangkan standar moral yang dapat direkomendasikan. Hal ini penting, mengingat bahwa seperti standar moral seorang hakim saja dibutuhkan suatu konsep self restrain. Seorang hakim idealnya sudah selesai dengan kepentingan dirinya sendiri, tantangan bagi seorang wakil rakyat adalah sesuatu yang memungkinkan paradooks; di satu sisi dibutuhkan curahan perhatiannya bagi aspirasi rakyat, di satu sisi dibutuhkan tenaga yang kreatif, enerjik, dan produktif. Tuntutan situasi yang kedua itulah yang sulit dicapai karena jarang pada usia produktif, seseorang telah selesai dengan dirinya. Untuk hal-hal inilah dibutuhkan penelitian tersendiri. Akuntabilitas secara individu perlu lebih jauh dditelusuri untuk dikehatui sampai bagaimana pla rekruitmen dan kemungkinan ideal anggota DPRD dalam menjaga moral dan etika peyelenggara negara. 85 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 beserta Perubahannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah IULA World Wide Declaration of Local Self-Government adopted by the IULA Council, Toronto, June 1993 B. Buku Anwar Shah, (Ed.), Performance Accountability and Combating Corruption, The World Bank, Washington, 2007. Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Edisi Revisi), Cetakan Vl, Mizan, Bandung, 2000. 86 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007. Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999 Ija Suntana, Model Kekuasaan Legislatif Dalam Sistem Ketatanegaraan Islam. Refika Aditama, Bandung, 2007. Rousseau, Jean Jacques., Du Contract Social (Perjanjian Sosial), diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul The Social Contract, or Principles of Political Rights oleh G.D.H. e dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero, penyunting, Nino, Cet.1 Visimedia, Jakarta, 2007. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 1984 Steven W. Schmidt et. Al., American Government and Politics Today, 1997-1998 Edition, Wadsworth Publishing Company, 1997, Belmont-USA. World Bank, Social Accountability in the Public sector, The International Bank for Reconstruction and Development The World Bank, Washington-USA, 2005. C. Makalah/Jurnal/Penelitian Ali Abdurahman, Inna Junaenah, dan Rahayu Prasetianingsih, Aspek dan Variabel Indeks Otonomi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18, 18A, dan18B UndangUndang Dasar 1945 Perubahan, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012, hlm. 48. http://www.dprd-bandung.go.id/categoryblog/17-h-edwin-senjaya-se.html, diakses pada 24 November 2013 http:/www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/#, diakses pada tanggal 24 November http:/kpu-ciamiskab.go.id.index.php/profil-anggota-kabupatenciamis/daerah-pemilihanciamis-ii/68-ohan-hidayat, diakses 23 November 2013. 87 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 http://kpu-ciamiskab.go.id/index.php/profil-anggota-dprd-kabupatenciamis/daerahpemilihan-ciamis-vl97-wowo-kustiwa, diakses 23 November 2013 I Gde Pantja Astawa, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), makalah, tidak dipublikasikan, 2010 Inna Junaenah. “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 3, September 2013, hlm. 513 Ma'mun, Diskusi informal, Bagian Fasilitasi Perundang-undangan Biro Hukum dan HAM sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, 12 Juli 2013 Maswadi Rauf (et al), Indeks Demokrasi Indonesia 2010. Kebebasan Yang Bertanggungjawab dan Substansial, Sebuah Tantangan, hlm. 29, diunduh dari http://www.undporid/pubs/docs/IDI%202010.pdf, 26/11/2013 14:59:46 , Menakar Demokrasi di Indonesia; Indeks Demokrasi Indonesia 2009, UNDP Indonesia, 2011, hlm. 28 Mohd Shukri Hanapi, Ph.D Candidate, University Sains Malaysia, diskusi personal, 13 Oktober 2013 M. Tatang Abudin, S.H., Kasubag Persidangan Bagian Hukum dan Persidangan Sekretariat DPRD Kota Bandung, 25-26 November 2013 RUU Tentang Akuntabilitas Kinerja Penyelenggara Negara, Draft RUU Akuntabilitas Kineria Penyelenggara Negara Kelompok Kerja Interdep 10 Mei 2010 dalam http://www.kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/RUU%20Akuntabilitas%20Penyelengga ra%20Negara%[Compatibility%20Mode].pdf pada tanggal 15/07/2013 4:41:05 Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Akuntabilitas Kinerja Penyelenggara Negara, Kerja sama antara Kedeputian Bidang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2011, hlm. 14 88 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Yoyong Sopyan, Kasubag Perundang-undangan pada Bagian Rapat dan Perundangndangan Sekretariat DPRD Kabupaten Ciamis. 89 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Politik Hukum dalam Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi, Menuju Juristocracy? M. Adnan Yazar Zulfikar1 Abstrak UUD 1945 mengalami perubahan sebanyak empat kali merespon reformasi pada tahun 1998 yang lahir akibat kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa orde baru. Kesewenang-wenangan tersebut lahir akibat kekuasaan yang terlalu besar pada kekuasaan eksekutif (executive heavy). Perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya mekanisme check and balances dalam bingkai paham konstitusionalisme melahirkan sebagai lembaga baru diantaranya adalah mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan menguji undang undang terhadap Undang-Undang Dasar memiliki kekuasaan otoritatif untu menafsirkan UUD 1945. Kekuasaan besar tersebut pada prakteknya dijalankan tidak dengan paham konstitusionalisme sehingga dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuasaan yang begitu besar untuk menentukan kebijakan negara. Politik hukum Mahkamah Konstitusi memiliki kekuasaan yang begitu besar untuk menentukan kebijakan negara. Politik hukum Mahkamah Konstititusi dalam menjalankan penafsiran terhadap konstitusi justru mengarahkan struktur ketatanegaraan Indonesia kearah juristocracy. A. Pendahuluan Generasi sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang2, melalui kalimat tersebut Sri Soemantri berusaha menggambarkan bahwa perubahan konstitusi merupakan sebuah keniscayaan. Sakralisasi konstitusi oleh pemerintah yang memiliki kekuasaan besar pada masa orde baru berakhir dengan 1 Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengen NPM 110110100117, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum PLEADS (Padjadjaran Law Research & Debate Society). 2 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung:Alumni,2006), hlm. 272. 90 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 perubahan konstitusi sebagai respon terhadap reformasi pada tahun 1998. Sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, kekuasaan pemerintah dikatakan begitu besar (executive heavy) dengan beberapa alasan, yaitu3 : (1) Struktur UUD 1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Presiden, tidak hanya memegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, tetapi juga kekuasaan membentuk undang-undang (legislasi); (2) UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup memuat sistem check and balances sehingga kekuasaan Presiden yang besar tidak mendapat perimbangan; (3) UUD 1945 sebelum perubahan menjadi instrument politik yang ampuh untuk membenarkan otoritarianisme oleh pemerintah. Menanggapi keadaan tersebut perubahan UUD 1945 akhirnya dilakukan dalam bingkai perwujudan paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme terwujud dalam kekuasaan negara yang terbatas sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam rangka mewujudkan paham konstitusionalisme tersebut, rangkaian perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melahirkan berbagai lembaga baru yang diantaranya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY) dan tentu saja Mahkamah Konstitusi. Semua organ konstitusional tersebut dibentuk dalam rangka mewujudkan struktur ketatanegaraan yang lebih berimbang, dan tidak terjadi polarisasi kekuasaan. Mahkamah Konstitusi yang dibentuk dengan beberapa kewenangan salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sehingga terdapat kesesuaian antara undang-undang dengan Undang-Undang Dasar. Hal tersebut juga mencegah UUD kembali diselewengkan untuk kepentingan penguasa. Kewenangan menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar menunjukkan Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai control terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan undang-undang. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kekuasaan inherent kepada Mahkamah Konstitusi untuk 3 Abudul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta-Yogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006), hlm. 11-13. 91 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 menafsirkan Undang-Undang Dasar. Dalam hal undang-undang yang diujikan tidak sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas UUD, maka undangundang tersebut akan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan undang-undang dan menafsirkan konstitusi adalah kekuasaan yang besar, kekuasaan tersebut dapat menentukan arah kebijakan negara yang telah disusun oleh lembaga legislatif dan eksekutif dalam bentuk undang-undang, bahkan menentukan arah kebijakan negara yang telah disusun oleh pembuat konstitusi dalam UUD 1945. Kekuasaan Mahkamah yang besar tersebut harus dijalankan dalam bingkai paham konstitusionalisme, karena sebagai bagian dari organ negara, Mahkamah Konstitusi harus juga tunduk terhadap paham konstitusionalisme, bukan hanya kekuasaan legislatif atau eksekutif yang dapat corrupt, kekuasaan yudikatif pun dapat menjadi tirani jika memiliki kekuasaan yang besar dan tidak dijalankan dengan paham konstitusionalisme. B. Undang-Undang Dasar 1945 1. Konstitusi dan Konstitusionalisme Bagir Manan membagi dua arti konstitusi, yaitu konstitusi dalam arti sempit dan konstitusi dalam arti luas. Konstitusi dalam arti sempit sama dengan (adalah) UUD. Konstitusi dalam arti luas tidak hanya UUD, melainkan mencakup pula (ketentuan) konstitusi di luar UUD yaitu kebiasaan – kebiasaan ketatanegaraan (konvensi), dan putusan – putusan hakim.4 Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.5 Berdasarkan urutan peraturan perundang – undangan, UUD adalah sumber hukum negara tertinggi, yang bermakna6 : (1) Semua pembuatan peraturan perundang – undangan harus bersumber dari asas, kaidah, cita dasar, dan tujuan UUD. 4 Bagir Manan, Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2012, hlm. 3. Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm.29. 6 Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 6. 5 92 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 (2) Penerapan UUD didahulukan dari peraturan perundang – undangan lain. (3) Semua peraturan perundang – undangan lain tidak boleh bertentangan dengan UUD. Konstitusi merupakan produk dari paham kontitusionalisme. Konstitusionalisme seperti dikemukakan oleh Friedrich dalam Jimly Asshidiqie, didefinisikan sebagai “an institusionalised system of effective, regularized restraints upon governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan – tindakan pemerintahan), sehingga persoalan yang paling penting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.7 Konstitusi sebagai produk konstitusionlaisme memiliki materi muatan sebagai berikut (1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negaranya; (2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifta fundamental; dan (3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.8 2. Pembentukan Konstitusi Pembentukan konstitusi akan sangat berkaitan dengan pembentukan negara, bahkan menurut Sri Soemantri negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. 9 Konstitusi menggambarkan cita pembentukan negara. Bangsa Indonesia sendiri dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, menuangkan tujuan pembentukan negara Indonesia.10 7 Jimly Asshidiqie, Op. Cit, hlm. 17. Steenbek dalam Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 1. 9 Ibid, hlm. 1-2. 10 C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 88. 8 93 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Berkaitan dengan pembentukan konstitusi, John Wheeler membedakan antara amandemen konstitusi (constitusional amendment) dengan revisi konstitusi (constitutional revision), ia mengartikan ‘constitutional amandment’ sebagai perubahan dalam bagian yang terbatas dengan menambahkan satu atau beberapa ketentuan yang terbatas pula pada konstitusi, sedangkan ‘constitutional revision’ diartikan sebagai pertimbangan ulang terhadap keseluruhan atau kebanyakan bagian dari konstitusi.11 Namun Francois Venter menolak pembedaan tersebut dengan argumentasi pembentukan konstitusi (constitution making) mencakup amandemen dan revisi terhadap konstitusi.12 Proses pembentukan konstitusi (constitution making) dilakukan oleh suatu badan pembentuk konstitusi (constitution making body). Pembentukan konstitusi menurut Bonime-Blanc adalah proses pembuatan kebijakan dimana elit politik menentukan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah, beserta hak dan kewajiban masyarakat.13 Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Gabriel L. Negretto yang menyatakan bahwa pembentukan konstitusi melibatkan sekelompok aktor politik yang merancang suatu dokumen tertulis untuk mengatur cara kerja pemerintah.14 3. Penerapan Konstitusi Setelah proses pembentukan hukum, terdapat proses penerapan hukum. Begitu juga dengan konstitusi, setelah proses pembentukan konstitusi, terdapat proses penerapan konstitusi. Konstitusi sebagai hukum positif yang menjadi sumber dari hukum positif lainnya harus ditegakkan atau dipertahankan agar konstitusi tersebut dapat terwujud dalam kenyataan.15 Penerapan suatu aturan hukum dilakukan dalam rangka mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran (ketidaksesuaian) atas suatu aturan hukum.16 Penegakan hukum John Wheeler dalam Denny Indrayana, “Indonesia Constitutional Reform 1999-2002”, Kompas, Jakarta, 2008, hlm. 35. 12 Ibid, hlm. 35. 13 Ibid, hlm. 35. 14 Ibid, hlm. 35. 11 15 16 Sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan asas dan kaidah termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah tersebut di dalam kenyataan. 94 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 menurut Bagir Manan seperti dikutip Rahayu Prasetianingsih merupakan suatu bentuk konkret penerapan hukum dalam masyarakat.17 Metode yang digunakan untuk menerapkan hukum adalah dengan melakukan penemuan hukum, ada dua metode utama yang dilakukan hakim dalam penerapan hukum, yaitu penafsiran dan konstruksi hukum.18 Berkaitan dengan penerapan hukum terutama konstitusi melalui metode penafsiran, keberadaan pengadilan konstitusional membawa pemikiran bahwa pengadilan merupakan penafsir otoriatif terutama dalam perkara – perkara konstitusional, pengadilan mengesahkan dan melegitimasi pelaksanaan kekuasaan oleh eksekutif dan legislative.19 Namun pengadilan bukan satu – satunya lembaga yang berwenang melakukan penerapan konstitusi dengan menafsirkan konstitusi, menurut Heinrich Scholler, para legislator (lembaga legislative) juga berwenang menafsirkan konstitusi.20 Secara umum Bagir Manan menyatakan bahwa hukum positif ditegakkan atau dipertahankan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan.21 Penerapan hukum harus dilakukan dengan tata cara tertentu, untuk menghindari tindakan sewenang – wenang dari yang berwenang melaksanakan atau mempertahankan hukum.22 Tata cara tersebut tercermin dalam asas – asas dan kaidah hukum acara yang berlaku dalam proses penegakan maupun penerapan hukum pada umumnya. 17 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 50. 18 Rahayu Prasetianingsih, “Negara Hukum dan Penegakan Hukum (Pengantar)”, dalam: Susi Dwiharijanti (Ed), Negara Hukum yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M.CL.), PSKN FH UNPAD, Jakarta, 2011, hlm. 553. 19 Sujit Choudry dalam Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Menuju Keadilan Substantif, Jurnal Konstitusi, Volume II, No. 1, (Juni, 2011), hlm. 136. 20 Ibid. Begitu juga dengan lembaga eksekutif, mereka memiliki wewenang menafsirkan konstitusi dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya agar berkesesuaian dengan konstitusi. 21 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 6. 22 Ibid, hlm. 50. 95 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 4. Politik Hukum Konstitusi Politik hukum menurut Padmo Wahjono adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.23 Menurut Mahfud MD politik hukum adalah pilihan tentang hukum – hukum yang akan dicabut atau tidak akan diberlakukan.24 Politik hukum yang menurut Soedarto adalah kebijakan negara yang tertuang dalam peraturan – peraturan, meliputi pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.25 Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara politik hukum juga meliputi penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya.26 Politik hukum yang salah satu ruang lingkupnya adalah pembentukan hukum, juga berhubungan dengan pembentukan konstitusi. Menurut Anis Ibrahim terdapat asumsi dasar bahwa legislasi (proses pembentukan hukum) dalam melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses tersebut.27 Berhubungan dengan hal tersebut, Ferdinand Lessale melihat konstitusi dalam pengertian sosiologis dan politis sebagai sintesis antara faktor – faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat, yaitu misalnya raja, parlemen, cabinet, kelompok penekan, partai politik, dan sebagainya.28 Aktor pembentuk konstitusi tentu memiliki kehendak politik dalam pembentukan konstitusi, kehendak – kehendak tersebut kemudian seringkali disebut sebagai original intent dari suatu konstitusi. Menurut Lord Bryce, motif politik yang menonjol dalam penyusunan Undang – Undang Dasar diantaranya adalah keinginan untuk menjamin hak – hak rakyat dan mengendalikan tingkah laku penguasa, serta keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang 23 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). Hlm. 160. 24 Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hlm 3. 25 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar – Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 26. 26 Ibid, hlm. 31. 27 Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi, (Malang: Intrans Publishin, 2008), hlm 2. 28 Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 43. 96 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang – wenang dari penguasa di masa depan.29 C. Mahkamah Konstitusi 1. Prinsip Dasar Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman bersama bersama dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, maka Mahkamah Konstitusi harus tunduk pada prinsip – prinsip peradilan yang baik yang berlaku secara universal bagi pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power).30 Berikut prinsip – prinsip peradilan yang menurut penulis seharusnya dipatuhi oleh Mahkamah Konstitusi: a. Supremasi Konstitusi Prinsip supremasi konstitusi pada dasarnya menghendaki konstitusi menjadi pedoman tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Prinsip ini mendudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu – satunya lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk mengawal agar konstitusi dapat ditegakkan dan dijalankan secara konsisten (the guardian of constitution).31 Isi UUD 1945 beserta semua original intent-nya menjadi dasar dalam pembuatan Mahkamah Konstitusi.32 29 Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm. 65 - 66 Firmansyah Arifin (et.al), Menggapai keadilan Konstitusi: Suatu Rekomendasi Untuk Revisi UU Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2008), hlm. 10. 31 Ibid. 32 Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 283. 3030 97 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 b. Independensi dan Imparsialitas Prinsip independensi menghendaki tidak adanya campur tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pengambilan keputusan, termasuk bebas dari campur tangan kekuasaan kehakiman itu sendiri.33 Sedangkan prinsip tidak memihak menghendaki hakim tidak memihak kepada siapapun. Sehingga dalam mengadili perkara terhindar dari benturan kepentingan (conflict of interest), dan proses pengadilan dapat berjalan secara fair dan objektif.34 Imparsialitas bukan hanya harus dilakukan oleh hakim, tetapi juga harus dapat dilihat. Salah satunya prinsip imparsialitas dapat terlihat dalam asas Nemo Judex In Causa Sua, asas ini menghendaki hakim tidak memutus hal – hal yang berkaitan dengan kepentingannya sendiri.35 Terdapat adagium hukum yang mengatakan, tidak seorang hakim pun dapat berlaku adil dalam memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. c. Akuntabilitas Prinsip akuntabilitas/pertanggungjawaban dapat dimaknai merupakan salah satu cara untuk menciptakan check and balances, sekaligus mekanisme untuk menilai seluruh pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pemegang mandate kekuasaan, baik secara individual hakim maupun secara institusional lembaga pengadilan.36 Prinsip akuntabilitas akan memperkuat prinsip independensi, karena independensi hakim dan pengadilan tanpa akuntabilitas berpotensi terjerumus pada perilaku yang korup. Konsep akuntabilitas mencakup masalah manajemen anggaran, manajemen personalia, manajemen perkara, dan putusan. Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk meminimalisir tindakan di luar batas kekuasaan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).37 Beberapa asas yang berkaitan dengan prinsip akuntabilitas dalam konteks putusan hakim diantaranya: (1) Asas Non-Ultra Petita, yaitu dalam melakukan 33 Firmansyah Arifin (et.al), Op. Cit, hlm. 11. Ibid. 35 Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Loc. Cit. 36 Firmansyah Arifin (et.al), Op. Cit. hlm. 12. 37 Ibid. 34 98 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 pengujian konstitusionalitas, Mahkamah Konstitusi tidak boleh membuat ultra petita (putusan yang tidak diminta oleh pemohon) sebab dengan ultra petita berarti MK mengintervensi ranah legislative. Meskipun terdapat pendapat yang menyatakan ultra petita boleh, jika norma yang diuji berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dengan norma lainnya, namun menurut Mahfud MD pembetulan/revisi terhadap norma terkait biarkan dilaksanakan oleh lembaga legislative melalui legislative review.38; (2) Asas Negatif Legislator, Mahkamah Konstitusi merupakan negative legislator, artinya tugas Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan bukan membuat hukum, melainkan membatalkan hukum.39 Dalam melakukan pengujian konstitusionalitas UU, MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, misalnya putusan disertai dengan isi, cara, dan lembaga yang harus mengatur kembali isi UU yang dibatalkan tersebut.40 2. Hak Menguji Mahkamah Konstitusi Kekuasaan yang paling besar dari sebuah pengadilan adalah membatalkan hukum, yaitu dengan cara membatalkan sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh cabang kekuasaan legislatif atau eksekutif.41 Kekuasaan membatalkan sebuah peraturan ini dapat dilaksanakan melalui sebuah hak untuk menguji (toetsingrecht). Pengujian dalam arti toetsingrecht menurut Sri Soemantri adalah memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas suatu peraturan perundang – undangan terhadap peraturan perundang – undangan yang derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh Undang – Undang Dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.42 Dalam hal ini hak menguji yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah pengujian undang – undang terhadap Undang –Undang Dasar. 38 Ibid, hlm. 281. Lihat Robert Schutze, European Constitutional Law, (United States of America: Cambridge University Press, 2012), hlm. 262. 40 Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Loc. Cit. 41 Robert Schutze, European Constitutional Law, (United States of America Cambridge University Press, 2012), hlm. 262. 42 Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang – undangan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm, 39. 39 99 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Pengujian dalam istilah judicial review oleh Gerhard van der Schyff dikatakan “entails measuring the congruency or compability of what may be termed common or ordinary legal norms with higher legal norms”. Menurut Schyff peraturan yang lebih tinggi determinan terhadap validitas peraturan dibawahnya.43 Istilah judicial review lebih spesifik dari toetsingrecht, judicial review telah merujuk kepada lembaga yang melakukan pengujian, yaitu badan peradilan.44 Berdasarkan lembaga yang melakukan pengujian, selain judicial review, terdapat juga mekanisme political review atau legislative review jika pengujian dilakukan oleh badan legislatif sebagai badan politik, dan executive review jika pengujian dilakukan oleh badan eksekutif.45 Selain itu, kita juga mengenal istilah constitutional review yaitu pengujian konstitusionalitas. Artinya pengujian ini menggunakan batu uji konstitusi, Jimly Asshidiqie mengemukakan istilah pengujian legalitas untuk membedakan pengujian undang – undang dengan batu uji konstitusi, dan pengujian peraturan perundang – undangan dengan batu uji undang – undang.46 Pengujian undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dapat disebut hak menguji, judicial review, maupun constitusional review. Namun penulis akan menggunakan istilah yang paling popular digunakan, yaitu judicial review. Terdapat persyaratan agar kewenangan judicial review dapat dijalankan, persyaratan tersebut seringkali berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, namun secara umum persyaratannya adalah sebagai berikut:47 - Legal Standing; - Di luar persoalan politik (political question); - Kematangan Perkara (ripeness); - Kelanjutan kelangsungan kerugian (mootness). 43 Gerhard van der Schyff, Judicial Review Of Legislation A Comparative Study of the United Kingdom, the Netherlands and South Africa, (United Kingdom: University Of Baltimore, 2010), hlm. 5. 44 Pengertian judicial review dapat dilihat juga di Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 81; Zainal Arifin Hoesein, Loc. Cit. 45 Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang – Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 12; lihat juga Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Op. Cit., hlm. 64-65. 46 Ibid, hlm. 5-6. 47 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 95. 100 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Political Question merupakan konsep tentang pembatasan pengadilan untuk mencampuri atau memutuskan tentang masalah – masalah politik, karena masalah politik seharusnya diselesaikan oleh lembaga politik (seperti badan eksekutif atau legislatif) dan hal seperti itu bukan urusan pengadilan.48 Persyaratan bahwa yang dimohonkan bukanlah masalah politik dimaksudkan agar pengadilan tidak terlibat langsung dengan masalah politik praktis. Karena itu, terhadap hal – hal yang sangat kental unsur politik praktisnya, atau terhadap masalah yang bersangkutan dengan suatu “kebijakan” atas hal – hal yang sensitif bagi suatu negara seperti urusan politik luar negeri, tidak dapat dimintakan judicial review.49 3. Penafsiran Konstitusi Penafsiran atau interpretasi adalah usaha memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum (rechtsvragen), perbedaan nomra, atau suatu sengketa hukum.50 Penafsiran konstitusi menjadi salah satu alat bagi hakim konstitusi untuk memberikan keadilan atau memutus perkara. Dengan kekuasaannya ini, hakim dapat menjalankan fungsinya dengan baik, namun demikian berpotensi juga melakukan kesewenang – wenangan.51 Pada prinsipnya suatu judicial review yang dilakukan oleh badan pengadilan merupakn usaha menafsirkan konstitusi oleh badan pengadilan tersebut, untuk kemudian hasil tafsirannya diterapkan ke dalam suatu fakta dalam suatu undang – undang. Apabila undang – undang tersebut dianggap bertentangan dengan konstitusi hasil tafsirannya, maka undang – undang tersebut akan dibatalkan.52 Satjipto Raharjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:53 (1) Interspretasi harfiah; dan 48 Ibid. Ibid, hlm. 97. 50 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 73. 51 Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi…, Op. Cit., hlm. 137. 52 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 99. 53 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 95. 49 101 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 (2) Interpretasi fungsional. Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang semata – mata menggunakan kalimat – kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan kata lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis. Interpretasi fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas karena penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata – kata peraturan (literal egis). Dengan demikian, penafsiran ini mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih memuaskan. Terdapat 2 (dua) aliran penafsiran konstitusi yakni originalism dan non – originalism. Originalism, adalah prinsip penafsiran yang mencoba untuk mencari tahu atau maksud berdasarkan makna asli dari perumus konstitusi. Sedangkan, non-originalism adalah prinsip penafsiran yang mencoba mencari tahu makna konstitusi berdasarkan kondisi pada saat itu obyeknya bukan hanya teks akan tetapi subyek yang melakukan interpretasi melihat keadaan pada saat itu. Aliran non-originalism sering disebut sebagai aliran yang menganggap bahwa konstitusi memiliki makna yang dinamis atau sering disebut sebagai “living constitution”. Penafsiran non-originalism merupakan bentuk penafsiran progresif, cara berhukum yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Progresivitas adalah cara berhukum yang sangat menggantungkan keadilan kepada individu hakim, oleh karena itu dalam teori hukum progresif individu penegak hukum yang etik dan bijak menjadi suatu condition sine qua non. Hukum progresif menempatkan dedikasi para pelaku (actor) hukum di garda depan.54 Selain dilakukan dengan berbagai metode, penafsiran konstitusi termasuk penafsiran dalam rangka mengembangkan UUD 1945 menjadi the living constitution harus dilakukan dalam batas – batas landasan dan cita-cita bernegara. Dalam konteks UUD 1945, penafsiran tidak boleh menyimpangi dasar – dasar 54 M. Syamsudin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, Jurnal Hukum UII Edisi Khusus, Vol. 18, (Oktober, 2011), hlm. 137. 102 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 demokrasi, negara hukum, asas-asas ke-Indonesiaan, dan tujuan bernegara.55 Penafsiran sebagai salah satu bentuk penerapan hukum harus dilakukan dengan tata cara tertentu, untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari yang berwenang melaksanakan atau mempertahankan hukum.56 Judicial review yang berkonsekuensi pada dilakukannya penafsiran konstitusi harus dilakukan dalam rangka paham konstitusionalisme, kekuasaan mana pun yang ada di negara tidak dapat bertindak melebihi batas kekuasaannya, karena konstitusionalisme adalah paham mengenai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan perlindungan HAM. Mahkamah Konstitusi sabagai salah satu cabang kekuasaan yang ada di Negara Republik Indonesia, harus tetap tunduk dan terikat dengan paham tersebut.57 D. Juristocracy, Arah Politik Hukum Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi? 1. Politik Hukum Pembentukan Konstitusi Oleh MPR Pembentukan konstitusi mencakup pembuatan konstitusi dan perubahan konstitusi. Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada tiga macam konstitusi yang pernah dibuat dan diberlakukan, yaitu: (1) UUD 1945; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS); (3) UUD Sementara 1950; (4) UUD 1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.58 UUD 1945 yang diberlakukan kembali pun pernah mengalami 4 kali perubahan (constitutional amendment)59 sejak tahun 1999-2002. MPR beserta pihak yang dilibatkan dalam perubahan konstitusi sebagai badan pembentuk konstitusi (Constitutional Making Body), baik dalam Bagir Manan, Membedah UUD…, Op. Cit., hlm. 10. Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 50. 57 Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi…, Op. Cit., hlm. 156. 58 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008), hlm. 147. 59 Jika merujuk kepada pendapat John Wheeler yang mengartikan Constitutional Amandment sebagai perubahan dalam bagian yang terbatas dengan menambahkan satu atau beberapa ketentuan yang terbatas pula pada konstitusi, sedangkan Constitutional Revision diartikan sebagai pertimbangan ulang terhadap keseluruhan atau kebanyakan bagian dari konstitusi. Maka perubahan konstitusi yang dilakukan pada tahun 1999-2002 dapat digolongkan Constitutional Amandment jika perubahan konstitusi sebanyak 4 kali tersebut dianggap sebagai proses yang terpisah, artinya setiap tahun MPR sebagai badan pembentuk konstitusi melakukan constitutional amendment. Namun perubahan konstitusi tahun 1999-2002 pun dapat digolongkan sebagai Constitutional Revision jika perubahan konstitusi sebanyak 4 kali dianggap sebagai kesatuan proses perubahan konstitusi yang dilakukan secara bertahap tahun demi tahun dari 1999-2002. 55 56 103 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 pembuatan maupun perubahan UUD 1945 tentu memiliki kebijakan-kebijakan yang dituangkan dalam proses perubahan konstitusi tersebut. Kebijakan yang dituangkan MPR selaku badan pembentuk konstitusi meliputi mareri muatan konstitusi, yaitu kebijakan seputar jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negaranya, susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental, dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Segala kebijakan yang dituangkan MPR adalah dalam rangka mewujudkan paham konstitusionalisme, yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan secara efektif terhadap pemerintahan, bukan hanya pemerintah dalam arti eksekutif tetapi juga pembatasan kekuasaan terhadap pemerintahan dalam arti luas mencakup legislative, eksekutif, dan yudikatif. Kebijakan-kebijakan dalam perubahan konstitusi tersebut menjadi paradigma yang merupakan politik hukum pembentukan konstitusi saat itu. Politik hukum yang terbentuk dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah politik hukum untuk mewujudkan paham konstitusionalisme. Sistem check and balances pun dikuatkan dalam konstitusi. Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dikatakan berada dalam keadaan executive heavy, salah satunya dikarenakan konstitusi tidak cukup memuat check and balances antar cabang pemerintahan.60 Setelah perubahan UUD 1945 format dan mekanisme check and balances diperkuat dengan adanya pengujian pengaturan perundangan-undangan sesuai penjenjangannya dengan baik.61 Politik hukum lainnya adalah munculnya berbagai lembaga yang dibuat untuk memperkuat demokrasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial yang pembentukannya dicantumkan dalam konstitusi. Dengan hadirnya berbagai lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dijalankan sebagaimana yang dikehendaki UUD 1945 dengan paham konstitusionalise agar tidak terjadi overlapping kewenangan. 60 Puguh Windrawan, Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga: Fenomena Kekuasaan ke Arah Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol. IX, No. 4, (Desember, 2002), hlm. 616. 61 Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Op. Cit., hlm. 144. 104 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 2. Politik Hukum Penerapan Konstitusi Oleh Makamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tentu saja memiliki kekuasaan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar tentu saja memiliki kekuasaan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar. Meskipun lembaga lain seperti legislatif dan eksekutif juga dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi dalam konteks pembuatan kebijakan maupun peraturan, namun peraturan maupun kebijakan (dalam hal ini undang-undang) dapat saja diajukan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya Mahkamah Konstitusi yang kemudian memiliki otoritas untuk menafsirkan UndangUndang Dasar dan menentukan apakah undang-undang yang diajukan konstitusional atau inkonstitusional. Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berperan sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki kekuasaan untuk melakukan penerapan hukum, lebih khusus lagi konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution memiliki peran besar dalam penerapan konstitusi. Dalam kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi akan menafsirkan konstitusi sebagai salah satu bentuk penerapan konstitusi. Dalam penerapan konstitusi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi melalui penafsirannya terdapat politik penerapan hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam praktek penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi tidak jarang terdapat politik hukum yang justru berbeda bahkan bertentangan dengan politik hukum pembentuk konstitusi. Berikut beberapa penafsiran konstitusi yang dinilai tidak sesuai dengan politik hukum pembentuk konstitusi : 1) Pengujian Perpu Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Perpu. Dalam putusan perkara tersebut 105 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangannya sendiri, dimana menurut Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar, namun melalui penafsiran yang dilakukan oleh hakim konstitusi yang mempersamakan Perpu dengan undang – undang maka Mahkamah Konstitusi menjadi berwenang melakukan pengujian Perpu terhadap Undang – Undang Dasar. Padahal jika kita kembali kepada pengaturan konstitusional yang dibuat oleh pembentuk konstitusi, Perpu telah memiliki mekanisme pengujiannya sendiri dengan legislative review. Seperti yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) bahwa Perpu harus mendapatkan persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya, jika tidak maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut. Dengan penafsirannya, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangannya dan menyebabkan overlapping pengujian Perpu yang sebelumnya telah ada pengujiannya melalui wewenang DPR dalam melakukan legislative review terhadap Perpu. Hal tersebut tidak sesuai dengan politik hukum pembentuk konstitusi yang menghendaki adanya penegasan fungsi lembaga negara dan pembagian kewenangan organ negara yang jelas di dalam konstitusi. 2) Pengujian Piagam ASEAN Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam ASEAN), Mahkamah Konstitusi memeriksa dan menolak permohonan dari pemohon. Perlu diketahui sebelumnya bahwa menurut Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terdapat 3 jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu: a) Putusan menyatakan amar putusan tidak dapat diterima jika pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat. b) Putusan menyatakan permohonan dikabulkan jika permohonan beralasan dan substansi bertentangan dengan UUD 1945 dan jika dalam hal pembentukan undang – undang yang dimohonkan tidak 106 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 memenuhi ketentuan pembentukan undang – undang menurut UUD 1945. c) Putusan menyatakan permohonan ditolak, jika undang – undang yang diujikan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara pengujian piagam ASEAN seharusnya Mahkamah Konstitusi memberikan putusan permohonan tidak dapat diterima, bukan permohonan ditolak. Perbedaannya adalah putusan tidak dapat diterima menunjukan bahwa permohonan tidak memenuhi syarat. Dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 disyaratkan bahwa dalam permohonan diantaranya harus ada penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara yang dimohonkan. Dalam hal syarat tersebut tidak terpenuhi, artinya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan dalam mengadili perkara yang dimohonkan maka putusannya harus berbunyi permohonan tidak dapat diterima, dan diputus sejak sidang pendahuluan. Putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan, artinya Mahkamah Konstitusi telah masuk ke pokok perkara dan menganggap undang – undang yang diujikan tidak bertentangan dengan Undang – Undang Dasar. Putusan tersebut secara tidak langsung, menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi menerima syarat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan pengujian perjanjian internasional tersebut. dalam putusan menolak permohonan pengujian piagam ASEAN tersebut terdapat dissenting opinion62 dari hakim konstitusi Maria Farida dan Hamdan Zoelva yang menyatakan bahwa Piagam ASEAN bukan objek pengujian yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN merupakan kebijakan politik luar negeri dari negara dan tidak 62 Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan resmi majelis hakim. 107 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 seharusnya menjadi objek pengujian pengadilan, karena pengesahan Piagam ASEAN merupakan kebijakan sensitive yang kental urusan politik praktisnya. Pengesahan Piagam ASEAN merupakan political question yang penyelesaiannya seharusnya dilakukan oleh lembaga politik yaitu badan eksekutif atau legislative. 3) Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial Dalam perkara nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi, artinya Mahkamah Konstitusi menolak pembatasan terhadap kewenangannya sendiri. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi melakukan ultra-petita dimana perkara ini sebenarnya diajukan oleh hakim mahkamah agung yang mempersoalkan pasal mengenai pengawasan Komisi Yudisial dan beberapa pasal lain mengenai pelaksanaan pengawasan Komisi Yudisial. Dalam sidang pendahuluan Mahkamah Konstitusi sudah tepat dengan menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing untuk permohonan yang berkaitan dengan hakim konstitusi, karena pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional atas itu. Namun dalam putusan justru Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim yang menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial tidak termasuk di dalamnya hakim konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi membatalkan pengawasan Komisi Yudisal terhadap dirinya sendiri dan justru menolak permohonan hakim mahkamah agung dengan menyatakan Komisi Yudisial berwenang mengawasi hakim mahkamah agung. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi melanggar asas non-ultra petita. Selain asas tersebut di atas, dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi juga melanggar asas Nemo Judex In Causa Sua, dimana hakim tidak boleh memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Sesuai dengan adagium tidak ada seorang pun hakim yang dapat berlaku adil dalam memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri, timbul pertanyaan apakah Mahkamah Konstitusi menjalankan prinsip 108 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 imparsialitas dalam pengujian perkara ini? Conflict of interest adalah sesuatu yang kasat mata, namun perlu ditekankan lagi bahwa imparsialitas bukan hanya harus dilaksanakan tetapi juga harus dapat dirasakan dan dapat dilihat. Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak sejalan dengan politik hukum perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya mekanisa check and balances dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Dalam kurun beberapa tahun kemudian baru disadari dampak tiadanya pengawasan terhadap hakim konstitusi dengan munculnya kasus korupsi Akil Mochtar yang terbukti kemudian dalam menjalankan tugasnya sering melanggar kode etik hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial. 3. Juristocracy dalam Penafsiran Hukum Terdapat pergeseran politik hukum dalam pembentukan konstitusi oleh MPR dan penerapan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. DPR selaku lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan pengujian (legislative review) terhadap Perpu tidak dapat bertindak apa pun terhadap tindakan Mahkamah Konstitusi menguji Perpu atas dasar penafsiran Mahkamah Konstitusi sendiri terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir otriatif dari konstitusi pun menempatkan diri pada posisi yang sentral dalam penentuan kebijakan negara ketika Mahkamah Konstitusi menerima perkara pengujian pengesahan piagam ASEAN yang merupakan kebijakan sensitif dari negara, para pakar hukum berada pada posisi yang rancu ketika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian piagam ASEAN, namun bukan tidak mungkin kemudian aka nada lagi warga negara yang menguji sebuah perjanjian internasional dan kembali diterima Mahkamah Konstitusi yang permohonannya kemudian dikabulkan. Mahkamah Konstitusi berada pada posisi menentukan arah kebijakan negara. Selain itu pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Presiden kebingungan ketika kemudian muncul kasus korupsi oleh hakim konstitusi yang diidentifikasi akibat ketiadaan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi. Legislator tidak dapat menghidupkan kembali pengawasan tersebut dengan norma yang telah dibatalkan oleh 109 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat terakhir dan mengikat, sehingga akhirnya Presiden mengeluarkan Perpu yang secara rancu membuat sebuah lembaga baru untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi dan memasukan sedikit peran Komisi Yudisial di dalamnya. Dari pemaparan di atas terlihat bagaimana kekuasaan menafsirkan konstitusi merupakan kekuasaan yang besar, dan dapat disalahgunakan jika dilakukan tanpa pengawasan. Puguh Windrawan menjelaskan fenomena Mahkamah Konstitusi dengan istilah constitutional heavy.63 Namun menurut penulis jika penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan terus dengan melanggar prinsip – prinsip pengadilan dan paham konstitusionalisme seperti dijelaskna di atas, maka struktur ketatanegaraan Indonesia menuju kea rah apa yang disebut Ran Hirschl sebagai juristocracy yang merupakan konsekuensi dari judicial review64, yaitu kekuasaan berada pada tangan para hakim. E. Penutup Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang melakukan penerapan konstitusi, dalam penerapan konstitusi terkandung politik hukum tertentu. Dalam beberapa putusan diketahui, arah politik penerapan konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berbeda bahkan bertentangan dengan arah politik hukum pembentukan konstitusi oleh MPR yang menghendaki adanya check and balances sehingga terjadi keseimbangan dalam struktur ketatanegaraan dan menghendaki terwujudnya paham konstitusionalisme yang menghendaki ada pembatasan kekuasaan yang efektif terhadap organ – organ negara sehingga tidak terjadi kesewenang – wenangan. 63 Baca Puguh Wardana, Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan ke Arah Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 4 (Desember, 2012), hlm. 41-69. 64 Ran Hirschl, The Political Origins Of the New Constitutionalism, Indiana Journal Of Global Studies, Vol 11, hlm. 71-108. 110 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdul Mukhtie Fadjar, 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, JakartaYogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006. Anis Ibrahim, 2008. Legislasi dan Demokrasi, Malang: Intrans Publishing. Bagir Manan, 2012. Membedah UUD 1945, Malang: Universitas Brawijaya Press. C. S. T. Kansil, 2002. Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, Jakarta: Rineka Cipta. Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Denny Indrayana, 2008. “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002”, Jakarta: Kompas Firmansyah Arifin (et.al), 2008. Menggapai keadilan Konstitusi (Suatu Rekomendasi Untuk Revisi UU Mahkamah Konstitusi), Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional. Gerhard van der Schyff, 2010. Judical Review Of Legislation A Comparative Study of the United Kingdom, the Netherlands and South Africa, University Of Baltimore, United Kingdom Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Jimly Asshidiqie, 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press. Mexsasai Indra, 2011. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Refika Aditama. Mohammad Mahfud MD, 2011. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Munir Fuady, 2009. Teori Negara Hukum Modern, Bandung: Refika Adiatama, Bandung. Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Padmo Wahjono, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia Robert Schutze, 2012. European Constitutional Law, United States of America: Cambridge University Press Satjipto Rahardjo, 2006. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung. 111 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Sri Soemantri, 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni. Susi Dwiharijanti (Ed), 2011. Negara Hukum yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL.), Jakarta: PSKN FH UNPAD. Zainal Arifin Hoesein, 2009. Judical Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Rajagrafindo Persada. B. Jurnal M. Syamsudin, 2011. Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif, Jurnal Hukum UII Edisi Khusus, Vol. 18, Oktober 2011. Puguh Windrawan, 2002. Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan ke Arah Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol. IX, No. 4, Desember 2002, Jakarta: Mahkamah Konstitusi. Ran Hirschl, The Political Origins Of the New Constitutionalism, Indiana Journal Of Global Studies, Vol 11. Sujit Choudry dalam Rahayu Prasetianingsih, 2011. Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Menuju Keadilan Substantif, Jurnal Konstitusi, Volume II, No. 1, Juni 2011, Jakarta: Mahkamah Konstitusi. 112 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Penataan Kelembagaan Negara: Politik Hukum Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, Kewenangan Kearah Judicialization Of Politics?1 Neneng Widasari2 Abstrak Kehadiran Mahkamah Konstitusi tidak terbatas sebagai The guardian of constitution ataupun The protector of human rights. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum, termasuk kekerasan. Pemaknaan lain terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi tersebut sekaligus menimbulkan asumsi bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang lebih penting dalam setiap perdebatan politik dan kebijakan publik yang secara tradisional melekat pada cabang- cabang kekuasaan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh sebab itulah Judicialiation of politics muncul bukan sebagai sebab karena hadirnya Mahkamah Konstitusi, justru Judicialiation of politics ada memang dirancang sebagai politik hukum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Keyword: Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi Politik Hukum, Judicialiation of politics. 1 Tulisan disampaikan pada kegiatan Law Research Institute Conference, Padjadjaran Law Research and Debate Society, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013. 2 Penulis adalah mahasiswi program kekhususan Hukum Tata Negara dengan NPM 110110090342, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, sebagai anggota pusat kajian tata negara(PAKTA). 103 113 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 A. Pendahuluan Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah judul Artikel " Political Judicialization Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia" yang ditulis oleh Wicaksana Dramanda, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran 2013. Dalam makalahnya tersebut Wicaksana Dramanda menyampaikan bahwa dalam perspektif kekuasaan kehakiman sebagai lembaga independen, kewenangan seperti judicial review sengketa hasil pemilu, tuntutan pembubaran suatu partai politik bahkan sengketa terhadap kewenangan lembaga negara, membuka peluang bagi pengadilan untuk dapat mengadili perkara- perkara politis yang sangat mungkin menjadikan pengadilan sebagai objek politicking. Adanya ketergantungan kepada pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik. Hal ini berbanding lurus dengan fungsi inti dari cabang kekuasaan kehakiman sebagai pelindung hak-hak individu yang mungkin terancam oleh kepentingan mayoritas. Aharon Barak mengatakan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menjaga konstitusi dan demokrasi.3Dalam kerangka berfikir lain menurut Philip A. Talmadge fungsi cabang kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan sengketa yang teriadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum, termasuk kekerasan.4 Dengan demikian, pengadilan menjadi harapan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan yang mendasar atau bahkan permasalahan yang membingungkan. Kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung(dan badan peradilan di bawahnya) dan oleh sebuah Mahkamah 3 Dengan Frasa Asli "All of us (all branches of government, all parties and factions, all institutions) must protect our young democracy. This protective role is conferred on the judiciary as a whole, and on the Supreme Court in particular. Once again we. the judges of this generation, are charged with watching over our basic values and protecting them against those who challenge them". 4 Dengan Frasa Asli "The most significant court function is dispute resolution; courts are designed to resolve disputes so that the litigants do not resort to private remedies, including violence, to vindicate their interests. In this process, courts assign culpability for behaviors and offer redress to litigants adversely affected by the culpable conduct of others”. 114 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Konstitusi,5 menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjalankan system bifurkasi dalam ranah kekuasaan kehakimannya. Munculnya Mahkamah Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung sebagai pemangku kekuasaan kehakiman tentunya dengan banyak makna. Jimly Asshiddiqie katakan pemisahan ini dilakukan karena Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law)6 terhadap sengketa yang bersifat ketatanegaraan. Pemaknaan lain terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi tersebut sekaligus menimbulkan asumsi bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran yang lebih penting dalam setiap perdebatan politik dan kebijakan publik yang secara tradisional melekat pada cabang-cabang kekuasaan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kehadiran Mahkamah Konstitusi yang meningkatkan penggunaan hukum, wacana hukum, serta proses litigasi yang ditempuh oleh berbagai aktor politik termasuk politisi, gerakan sosial, maupun individu. Terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi itulah kemudian penulis memberi respon, apakah sesungguhnya keberadaannya di Indonesia memang dikehendaki untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik? Pertanyaan tersebutlah yang akan coba penulis jawab dalam pembahasan selanjutnya. B. Judicialization of Politics sebagai model Politik Hukum Menurut Moh. Mahfud MD Ruang lingkup dari politik hukum adalah pembangunan hukum yang berintikan pembuatan pembaruan materi-materi hukum dan agar sesuai dengan kebutuhan, serta pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak 5 Pasal 24 ayat UUD 1945 berbunyi "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”, Perpustakaan Nasional RI 6 Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, (Surakarta, Kamis, 2 September, 2004.) HIm 18. 115 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 hukum.7 Sedangkan Bagir Manan katakan bahwa ruang lingkup politik hokum, adalah politik pembentukan hokum (kebijaksanaan berkenaan dengan penciptaan, pembaruan dan pengembangan hukum), serta politik penegakan hukum dan terakhir terkait struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hokum (legal culture). Artinya model atau bentuk politik hukum dibentuknya sebuah lembaga negara dapat terlihat dari, apakah sebuah lembaga negara tersebut dibuat sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan dalam hal ini dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang juga memunculkan politik hukum. Faktor-faktor tersebut menunut Bagir Manan adalah dasar dan corak politik, tingkat perkembangan masyarakat, susunan masyarakat, serta pengaruh global.8 Pengaruh global diawal abad ke-21 adalah adanya fenomena ketergantungan kepada pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik. Kewenangan untuk mengadili kontroversikontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi politik. Fenomena ini teriadi karena menurut Hirschl, Hukum Tata Negara adalah bentuk lain dari politik.9 Untuk menjawab fenomena tersebut, ahli- ahli hukum di Amerika dan Eropa mendefinisikan fenomena tersebut sebagai "political on" atau "judicialization of politics". Secara sederhana dapat kita nyatakan bahwa judicialization of politics adalah sebuah ekspansi dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan mayoritas.10 Dalam konteks demikian judicialization of politics yang berkembang karena disebabkan wacana dan aktivitas pengadilan, termasuk warga negara secara individu. dan oleh aktor politik Selanjutnya dalam prespektif pembahasan Politik Hukum, Padmo Wahjono sebagaimana dikutip Mahfud MD 7 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia-edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm.17 8 Sebagaimana disampaikan oleh Indra Perwira dalam Kuliah Politik Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. 9 Sebagaimana disampaikan oleh Indra Perwira dalam Kuliah Politik Hukum di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung 10 Ibid. 116 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 katakan bahwa politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.11 Dalam konteks kebijakan dasar, judicialization of politics masuk kedalam lingkup pembahasan politik hukum sebagai pembaruan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan. C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ke arah Judicialization of Politics? Mahkamah Konstitusi12sebagai salah satu puncak pelaksana kekuasaan kehakiman13 di Indonesia menjadikannya salah satu pusat kekuasaan suprastruktur politik di Indonesia dan merupakan lembaga negara yang juga pelaksana kedaulatan rakyat yang ditentukan menurut Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945.14 Namun demikian bukan berarti tidak ada pembatasan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi, pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya yang dicantumkan dalam Konstitusi diperlukan agar tidak disalahgunakan.15 Adapun kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 berbunyi: 11 Opcit. Mahfud MD Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah inm 1minggi negara dan supremasi telah beralih Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 194s yang terjadi dalam cra telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beraliln dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang(UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan. 13 Sebagaimana Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” 14 Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaran di Indonesia, (Bandung CV Utomo, 2007), Hlm. 124 15 Nimatul Huda, Pembatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian UndangUndang, Jumal Konstitusi, volume IV No. 2. November 2011, PSHK UII, Hlm. 6 12 117 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar”. Secara keseluruhan, kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi terkait erat dengan persoalan konstitusional, yaitu pelaksanaan ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wewenang memutus pengujian konstitusionalitas undang-undang menjamin bahwa undangundang yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar merupakan pelaksanaan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar, menjamin mekanisme ketatanegaraan yang dijalankan oleh setiap lembaga negara dan antarlembaga negara dilaksanakan sesuai ketentuan UUD 1945. Wewenang selanjutnya adalah memutus pembubaran partai politik. Partai politik adalah salah satu bentuk pelaksanaan kebebasan berserikat yang tidak dapat dilepaskan dari jaminan kebebasan hati nurani dan kebebasan menyampaikan pendapat. Kebebasan- kebebasan tersebut menjadi prasyarat tegaknya demokrasi. Oleh karena itu partai politik memiliki peran penting dalam negara demokrasi karena partai politiklah yang pada prinsipnya akan membentuk pemerintahan.16 Maka keberadaan partai politik harus dijamin dan tidak dapat dibubarkan oleh kekuasaan pemerintah. Jika pemerintah, yang pada prinsipnya dibentuk oleh suatu partai politik, memiliki wewenang membubarkan partai politik lain, dapat terjadi penyalahgunaan untuk membubarkan partai politik saingannya.17 Dengan demikian wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus 16 Lihat Harold J.Laski, A Grammar of Politic, Eleventh Impression,( London : George Allen & Unwin Ltd, 1951), hlm.312 17 Pembahasan mengenai hal ini dapat dibaca pada Jimly Asshidiqie, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,( Jakarta: Konstitusi Press,2005). 118 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 pembubaran partai politik adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan mekanisme ketatanegaraan sesuai UUD 1945. Salah satu proses demokrasi yang utama adalah penyelenggaraan pemilihan umum. Mekanisme ini menentukan pengisian jabatan-jabatan penting dalam lembaga negara, yaitu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Agar hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat18 sebagai pemilik kedaulatan pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Salah satu wujud prinsip tersebut adalah penyelenggaraan pemilu tidak diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi oleh komisi tersendiri yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Selain itu, jika terjadi perselisihan hasil pemilu antara peserta dan penyelenggara pemilu, harus diputus melalui mekanisme peradilan agar benarbenar obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, peserta, maupun penyelenggara pemilu. Di sinilah pentingnya wewenang Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil pemilu untuk menjamin hasil pemilu benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat. Diantara kewenangan-kewenangan yang disebutkan diatas penulis akan coba mengkaji kewenangan yang telah dilaksanakan mahkamah konstitusi untuk menilai apakah memang kewenangan Mahkamah Konstitusi mengarah pada judicialization of politics. Pertama, dalam melaksanakan kewenangan Pengujian undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan yang berkorelasi terhadap keberlakuan suatu materi undang-undang, dengan implikasi yaitu kekuatan hukum sebagian substansi atau seluruh materi undang-undang tidak memiliki daya ikat.19 Putusan terhadap keberlakuan suatu materi rumusan undang-undang diberikan melalui penafsiran/interpretasi terhadap UUD 1945. Sehingga jelas Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undang- 18 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 25-26; Lihat pula Maclver, The Modem State. First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hlm. 396-397. 19 Pasal 57 ayat(1) dan(2) jo Pasal 58 Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, beserta perubahannya. 119 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara.20 Sebagai contoh pada perkara No. 33/PUU-IX/2011 dengan diterimanya permohonan pengujian ini maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dirinya berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perianjian internasional. Disisi lain kewenangan membentuk perjanjian internasional menurut C.F. Strong adalah kekuasaan yang digunakan untuk melaksanakan Diplomatic Power yaitu yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri21 Artinya nyata-nyata ini merupakan pilihan presiden yang dibentuk dan dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan politis sebagai politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara asia tenggara lainnya yang menjadi anggota ASEAN. Ekspansi dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan mayoritas merupakan sebuah bentuk Judicialization of Politics.22 Melalui putusan ini MK telah dengan pasti menjadikan Judicial Reveiw sebagai ruang/pintu masuk dilakukannya judicialization of politics, dan hal ini menggindikasikan diperbolehkannya masuk perkara bersifat politis ke MK. Kedua, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang diperluas hingga dilaksanakannya penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah(PHPUD) oleh Mahkamah Konstitusi. Titik awal dilaksanakannya penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPUD) oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan setelah Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dimasukkan pada rezim pemilu dan menjadi Pemilihan Umum Kepala daerah (Pemilukada).23 Pemilukada merupakan pengembalian hak-hak dasar 20 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), Hlm. 32 21 C.F.Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study of Their History And Existing Form, (London: Sid And Jackson Ltd, 1973), Hlm. 104.105 22 Loc.cit. Wicaksana Dramanda. 23 Perubahan rezim pemilihan kepala daerah yang semula diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah(UU 32/2004) kedalam Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum(UU 22/2007). pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagai berikut: " Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Setelah 120 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 masyarakat daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah sehingga dapat mendinamisasi kehidupan demokrasi di tingkat lokal.24 Dengan masuknya sengketa hasil pemilihan umum daerah yang merupakan mekanisme pengisian jabatan politik, telah menjadikan MK melakukan judicialization of politics. Terakhir kewenangan Mahkamah Konstitusi menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara sebenarnya dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi berdasarkan prinsip supremasi hukum. Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik.25 Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau tenjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Namun secara pas kewenangan ini merupakan bentuk judicialization of politics. D. Penutup Kebijakan dasar dapat terlibat ketika pemerintah ataupun perumus Undang- Undang Dasar menetapkan Perubahan Ketiga telah memilh apakah dalam kekuasaan kehakiman yang akan dibentuk hanya akan menyelesaikan perkara pidana, perdata, administrasi melalui Mahkamah Agung dan lingkungan peradilan dibawahnya, atau memasukan kedalamnya permasalahan- permasalahan yang berkaitan dengan moralitas kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik, atau membentuk satu lembaga lain untuk menyelesaikan menyelesaikan 24 25 permasalahan tersebut. Memilih permasalahan-permasalahan yang lembaga mana berkaitan yang dengan itu terjadi perubahan penamaan yang semula pemilihan kepala daerah atau Pilkada menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah atau Pemilukada. Nurhidayatuloh, Pilkada Langsung sebagai Proses Demokratisasi Pendidikan Politik Masyarakat Lokal, Jumal Konstitusi, volume III No. 1, Juni 2010, PSHK UII. Hlm. 3 Jimly Asshidiqie. Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi,2008,Hlm.23 121 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik merupakan sebuah kebijakan dasar yang kemudian menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang dibentuk melalui Undang-undang Dasar. Dari perspektif Ruang lingkup Politik hukum serta mempertimbangkan faktor- faktor yang mempengaruhi Politik Hukum itu sendiri maka dapat dikatakan bahwa kemunculan Mahkamah.Konstitusi di Indonesia melalui kewenangannya yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum khususnya pelaksanaan pemilihan umum di daerah serta menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara memang telah menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara dibidang Kekuasaan Kehakiman yang menyelesaikan perkara-perkara politik yang terjadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum, termasuk kekerasan. Judicialiation of politics justru muncul bukan sebagai sebab kehadiran Mahkamah Konstitusi, justru Judicialiation of politics ada memang dirancang sebagai politik hukum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Sehingga kehadiran Mahkamah Konstitusi seharusnya memberikan penegasan fungsi MA sebagai pengadilan keadilan (court of justice), sehingga MA dapat berkonsentrasi menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. 122 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 DAFTAR PUSTAKA A. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, Perpustakaan Nasional RI Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, beserta perubahannya. B. Buku C.F. Strong, 1973. Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study of Their History And Eristing Form, London: Sidgwick And Jackson Ltd. Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2006. Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta. Jimly Asshiddiqie, 2005. Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press. Jimly Asshiddiqie, 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press. Lihat Harold J.Laski, 1951. A Grammar of Politic. Eleventh Impression, London: George Allen & Unwin Ltd. Lodewijk Gultom, 2007. Eksistensi Maikamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaran di Indonesia, Bandung: CV Utomo. Maclver, 1955. The Modern State. First Edition, London: Oxford University Press. Mahfud MD, 2011. Politik Hukum di Indonesia-edisi revisi, Jakarta: Rajawali Pers. 123 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 C. Artikel Jimly Asshiddiqie, 2004. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004. ------------------------, 2008. Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Ni’matul Huda, 2011. Pembatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 2, November 2011, PSHK UII Nurhidayatuloh, 2010. Pilkada Langsung sebagai Proses Demokratisasi Pendidikan Politik Masyarakat Lokal, Jurnal Konstitusi, Volume III No. 1, Juni 2010, PSHK UII Wicaksana Dramanda, 2013. Political Judicialization Dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. 124 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Kerangka Negara Demokratis Aisyah Ramadhania1 Abstrak Indonesia harus mengakomodir keberagaman daerah dan menuangkannya ke dalam konstitusi sebagai supreme law of the land. Keberagaman daerah yang mencakup daerah istimewa dan daerah khusus tidaklah merusak tatanan Bhineka Tunggal Ika. Yogyakarta memiliki keistimewaan berdasarkan fakta historis yang menimbulkan corak berbeda dalam negara yang demokratis, salah satunya adalah pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang bercorak monarki. Kata kunci : demokratis, Gubernur,Yogyakarta. A. Pendahuluan Keberagaman daerah di Indonesia telah di akomodir dalam UndangUndang Dasar 1945 (selanjutnya akan disebut dengan UUD 1945), namun pasca perubahan UUD 1945, daerah-daerah yang beragam tersebut diakui melalui penegasan daerah yang khusus dan istimewa dalam konstitusi. Penegasan ini menimbulkan banyak diskursus di dalam ketatanegaraan di Indonesia, salah satu diskursus terkait daerah khusus dan istimewa adalah pengangkatan Sri Sultan Hamengkubuwono yang menjadi anomali pengisian jabatan kepala daerah di negara demokratis. 1 Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan NPM 110110100026, yang sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen PPSDMO PLEADS (Padjadjaran Law Research & Debate Society) 125 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 B. Pembahasan Asal mula Yogyakarta menjadi salah satu daerah istimewa di wilayah Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari fakta historis, bahwa secara de facto dan de jure Kesultanan Yogyakarta adalah wilayah yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda. Bergabungnya Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikenal dengan “Maklumat Kasultanan Ngayogyakarto, Ngayogyakarto”. Dalam Maklumat Kasultanan secara eksplisit menyatakan bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat (Yogyakarta) yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara Republik Indonesia yang merupakan daerah istimewa, oleh karena itu pemerintahan dan kekuasaan-kekuasaan lain di Yogyakarta menjadi urusan Yogyakarta sendiri2. Kemudian Yogyakarta menjadi sebuah Provinsi Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1990 dan berlaku pada tanggal 15 Agustus 1950. Selama proses perumusan UUD 1945, perumus UUD 1945 telah mengakomodir daerah - daerah istimewa yang ada di Indonesia di dalam konstitusi. Hal ini tercantum dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang menyatakan : "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam system pemerintahan negara, dan hak-hal asal – usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa." Mr. Soepomo sebagai salah satu perumus UUD 1943 menjelaskan maksud dari “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” yaitu : “Hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama, daerah kerajaan (Kooti), baik di Djawa maupun diluar djawa, daerah-daerah yang dalam 2 Dictum 1 Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Dictum 1 Amanat Kadipaten Paku Alaman 126 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 bahasa belandanya dinamakan zelfbesturende landschappen. Kedua, daerahdaerah kecil yang mempunyai susunan asli ialah Dorfgeminschaften, daerahdaerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh. Maksud panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah istimewa tadi ialah daerah kerajaan (zelfbsturende landschappen) dan desa-desa itu dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli."3 Pasca amandemen UUD 1945, banyak terdapat pasal di UUD 1945 yang mengalami perubahan baik penambahan ataupun pengurangan. Setelah perubahan, pasal mengalami perubahan. Perubahan pasal 18 UUD 1945 tidak hanya sekedar mengalami penambahan pasal tetapi memuat berbagai konsep atau paradigma baru atau paradigma yang lebih tegas dibandingkan pasal 18 yang lama4. 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur oleh undang-undang". Kalimat “hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa" tidak lagi digunakan. Penghapusan kalimat tersebut dapat mereduksi nilai-nilai historis daerah istimewa di Indonesia, termasuk Yogyakarta namun UUD 1945 tetap mengakomodir keberadaan daerah yang bersifat istimewa di Indonesia. Dalam Pasal 18 ayat(4) "Gubernur, UUD 1945 yang menyatakan bahwa bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” Ketentuan pemilihan yang diharuskan bersifat demokratis ini dijabarkan oleh UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pemilihan itu diharuskan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat tentang tata cara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta penyelenggaraannya. Dalam undang-undang ini kepala daerah dan 3 RM B. Kusumah, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: FH UI,2004), hlm 362-363 4 Bagir Manan, Menyongsong ajar Otonomi Daerah, cetakan keempat,(Yogyakarta : Pusham FH UII, 2000), hlm X 127 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pelaksanaan pemilhan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan wewenang Pemerintah Daerah. Permerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.5 Dalam rangka mengakui satuan pemerintahan yang bersifat istimewa, Yogyakarta melalui Undang-Undang No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki mekanisme tersendiri untuk memilih gubemur secara demokratis, yaitu gubernur harus bertahta Sri Sultan Hamengkubuwo dan wakil gubemur bertahta sebagai Adipati Paku Alam yang untuk dikukuhkan. Sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, Gubemur dipilih secara demokratis. Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, daerah-daerah berotonomi khusus lainnya telah memiliki pengaturannya sendiri. DKI Jakarta diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No.93;TLN 4744), kekhususan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh(LN 2006 No 62 TLN 4633). Sementara itu, kekhususan Provinsi Papua diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 No.135 dan Tambahan Lembaran Negara 5 J. Kaloh, Mencari Bentuk otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm 72 128 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam wawancara dengan Jawa Pos National Network (JPNN) mengatakan bahwa: “Keistimewaan jogia ini, kalau definisi monarki yang sederhana itu kan, goverment by the one, jadi dari raja secara turun temurun, kan seperti itu. Di satu pihak ada demokrasi, ada tuntutan dari UUD pasal 18, mengatakan dipilih secara demokratis. Itu bukan kata presiden, tapi UUD. Jadi presiden mempertimbangkan kondisi monarki dengan amanat UUD itu, itu yang akan dibahas dan belum disimpulkan.”6 Pendapat yang menyatakan bahwa Gubemur harus dipilih secara demokratis berdasarkan amanat konstitusi pasal 18 ayat tidaklah salah Namun, ketentuan pasal 18B ayat(1) konstitusi menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan penafsiran gramatikal, diletakannya pasal lafal "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” setelah pasal 18 ayat(4) menunjukan bahwa Negara mengizinkan dan mengakui adanya pengecualian dalam pengelolaan pemerintahan daerah, terutama diperuntukan bagi daerah khusus atau daerah istimewa. Di Indonesia terdapat daerah dengan otonomi khusus lainnya yaitu Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada DKI Jakarta sebagai ibukota Negara. Kekhususan tersebut juga berdasarkan pengakuan oleh pasal 18B ayat(1) UUD 19457. Sama dengan konsep kekhususan yang diusung oleh DKI Jakarta, keistimewaan Yogyakarta merupakan hal yang konstitusional. 6 7 http://jpnn.com/read/2010/01/78528 Rusdianto S, Polemik Keistimewaan Yogyakarta.FH Universitas Narotama Surabaya,hlm 16 129 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 C. Penutup Yogyakarta bukanlah suatu daerah yang menganut bentuk pemerintahan monarki absolut yang tidak dapat dikontrol oleh masyarakat. Gubernur dapat dikontrol oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat dan gubernur tetap bertanggung jawab langsung kepada Presiden, hal ini sesuai dengan Maklumat Kasultanan Ngayogyakarto pada 5 September 1945. Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY menjadi ciri tersendiri yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, tanpa mengurangi sedikitpun nilai-nilai demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi. 130 Padjadjaran Law Review I, Desember 2013 DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, 2000. Menyongsong Ajar Otonomi Daerah, cetakan keempat, Yogyakarta : Pusham FH UII Dictum 1 Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Dictum 1 Amanat Kadipaten Paku Alaman J.Kaloh, 2007. Mencari Bnetuk Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta. Rusdianto S. Polemik Keistimewaan Yogyakarta. FH Universitas Narotama Surabaya RM.A. B. Kusumah, 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: FH UI 131