PADJADJARAN LAW REVIEW Vol, 1/2013

advertisement
PADJADJARAN
LAW REVIEW
Vol, 1/2013
Dewan Redaksi
Mitra Bestari:
Susi Dwi Harijanti, SH., LL, M., Ph.D.
Bilal Dewansyah, S.H., M.H.
Redaktur:
Adityo Bagus Rihandono
Bonar Bintang
Ilham Magribi
Hanief Hayatul Fajr
Reihan Faiz
Diterbitkan Oleh:
Padjadjaran Law Research & Debate Society
www.pleads.org.
@pleads_
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Energi dan Pasal UUD 1945 ................................................................................................... 1
Bagir Manan
Perkembangan
Hukum
Lingkungan
Intemaxional
dan
Relevansinya
dengan
Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru ...................................................................... 17
Idris
Implementasi UU nomor 2 tahun 2012 Dalam Hal Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Infrastruktur Migas .................................................................................... 43
Ida Nurlinda
Akuntabilitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Rangka Pelaksanaan
Fungsi Legislasi studi Terhadap DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis) .......... 62
Inna Jonaenah, Rahayu Prasetyaninging, Aisyah Ramadhania
Politik Hukum dalam Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi, Menuju
Juristocracy? ......................................................................................................................... 90
M. Adnan Yazar Zuhikar
Penataan Kelembagaan Negara Politik Hukum Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Kewenangan Kearah Judicial of Politics ? ....................................................................... 113
Neneng Widasari
Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Kerangka Negara
Demokratis .......................................................................................................................... 125
Aisyah Ramadhania
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Energi dan Pasal 33 UUD 1945
Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.CL.
A. Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah ahli dan pengamat di luar
Pemerintah berpandangan, sistem ekonomi Indonesia menjadi bagian dari sistem
Ekonomi Liberal (secara lebih luas disebut Neo Liberal atau Neolib). Secara
sederhana esensi yang dipersoalkan antara Neo-lib dan non Neo-lib, antara lain
adalah pasar versus negara (pasar yang menentukan atau negara yang
menentukan).Pandangan ini lebih lanjut berpendapat, sistem ekonomi Liberal
atau Neo-lib bertentangan dengan asas-asas perekonomian yang dikehendaki
UUD 1945yang mesti disusun menurut tatanan demokrasi ekonomi, kekeluargaan
atau gotong royong. Lebih jauh penyimpangan itu mempunyai refleksi terhadap
cita-cita kesejahteraan atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Seandainya pengamatan para ahli dan pengamat tersebut mengandung
kebenaran, hal itu sangat prinsipil ditinjau dari UUD 1945. Penulis bukanlah
ekonomi dan masalah-masalah kesejah-teraan sosial atau keadilan sosial. Tetap
isebagai ahli hukum yang mempelajari konstitusi merasa perlu menyampaikan
catatan kons-titusional mengenai perekonomian nasional dan paham keadilan
sosial menurut UUD 1945. Bukan sesuatu yang baru, tetapi sekedar ulang kaji
terhadap pokok persoalan yang sudah menjadi communis opinio doctor umbahkan
dihafal banyak orang. Namun, walaupun UUD 1945 memberi tempat pada peran
negara dan para Penyusun UUD 1945 (Pendiri RI) dengan tegas menolak
kapitalisme, liberalisme, individualisme, apakah hal itu dapat diartikan serta merta
menolak sistem pasar bebas (free market completion) peran swasta dalam
mengelola perekonomian?1
1
Neo liberals insisted that market was superior to any form of government intervention inensuring theas a
whole. Therefore the roleof the state should be limited to providing and environment in which the market
can operate effectively by protecting proverty rights, enforcing contractual obligations, and providing basic
sapety and secunty of its peoples, Pamela D. TolerUnderstanding Socialism, 2011, hlm 244
1
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
B. Cita-cita Sosial dan Ekonomi Indonesia merdeka
Seluruh the founding father dan the framers of the constitution (UUD
1945) sepakat, Indonesia merdeka bertujuan mewujudkan kesejahteraan
umum, sebesar-besarnya kemakmuran atas dasar keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Untuk mewujudkan tujuan itu, disepakati tata kehidupan politik,
ekonomi, sosial dan lain-lain, yang tidak disusun dan dilaksanakan atas dasar
negara kekeluargaan (Soekarno – Supomo) atau kolektivisme (Hatta). Salah satu
perwujudan dasar kekeluargaan atau kolektivisme yaitu mengenai paham
demokrasi yang sekaligus mencakup demokrasi dalam makna politik dan
ekonomi. Soekarno mengutarakan sebutan politicke – economische democratie
yaitu demokrasi yang disertai sociale rechtsvaardigheid (politik yang disertai
keadilan/kesejahteraan sosial) atau demokrasi yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial. Hatta sejak masih masa pergerakan menekankan pentingnya
demokrasi ekonomi. Berulang-ulang beliau menyatakan demokrasi politik tidak
akan menjamin keadilan tanpa disertai demokrasi ekonomi. Walaupun begitu,
Hatta sama sekali tidak menolak peran swasta, termasuk asing sepanjang dalam
penilikan pemerintah.
C. UUD 1945, Pasal 33
Pasal 33 adalah dasar perekonoomian nasional.
Setelah Perubahan, Pasal 33 berbunyi:
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bernama berdasar atas asas
kekeluargaan
2) Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4) Pereknomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
2
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undangundang.
Tidak ada perubahan terhadap ayat (1), (2), dan (3). Tambahan ayat (4)
hanya menegaskan mengenai asas yang telah terkandung dalam ayat (1) yaitu asas
kekeluargaan. Jadi, bukan suatu muatan baru. Ayat (5) hanya sebagai pasal yang
menunjuk undang-undang organik sebagai peraturan pelaksanaan.
Sebelum perubahan penjelasan Pasal 33 (3 ayat) berbunyi:
“Dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggotaanggota masyarakat. kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang seorang. Sebab iru kekeluargaan. Bandun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah koperasi.”
“perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi
semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang
banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang
banyak boleh ada ditangan orang seorang.”
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah
pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan unruk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sumber lain yang bersifat historis sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (1) ,
(2) dan (3) adalah hasil kerja “Panitia Keuangan dan Perekonomian” (Panitia
dibentuk dalam Sidang BPUPKI, 1945) yang diketuai Mohammad Hatta,2 sebagai
berikut:
Soal Perekonomian Indonesia Merdeka
“Orang Indonesia hidup dalam tolong-menolong!
Perekonomian Indonesia Merdeka akan berdasar kepada
cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama, jang akan
2
Anggota-anggota : Suratman, Margono, Sutardjo, Samsi, Rooseno, Surjo Amidjojo, Dewantara Kusuma
Atmadja, Dasaad, Oei Tiong Hauw, Asikin, Dahler, Besar, Yamin, Baswedan, Namun, Mohammad Yamin
menolak sebagai anggota Panitia Keuangan dan Perekomian.
3
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
diselenggarakan berangsur-angsurdengan mengembangkan
kooperasi”.
“Pada dasarnya, perusahaan yang besar-besar yang
menguasai hidup orang banyak, tempat beribu-ribu orang
menggantungkan nasibnya orang banyak, tempat beriburibu menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya,
mestinya di bawah kekuasaan Pemerintah.
Adalah bertentangan dengan keadilan sosial, apabil buruk baiknya
perusahaan itu serta nasib beribu-ribu orang yang bekerja didalamnya diputuskan
oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan sematamata. Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur, dengan berpedoman
kepada keselamatan rakyat. Bangunan kooperasi dengan diawasi dan juga disertai
dengan kapital oleh Pemerintah adalah bangunan yang sebaik-baiknya bagi
perusahaan besar-besar. Semakin besar perusahaan dan semakin banyak jumlah
orang yang menggantungkan dasar hidupnya kesana, semakin besar mestinya
pesertaan Pemerintah. Dengan sendirinya perusahaan besar-besar itu merupai
bangunan korporasi publik. Itu tidak berarti, bahwa pimpinannya harus bersifat
birokrasi. Perusahaan dan birokrasi adalah dua hal yang sangat bertentangan.”
“Tanah, sebagai faktor produksi yang terutama dalam masyarakat
Indonesia, haruslah di bawah kekuasaan negara. Tanah tidak boleh menjadi alat
kekuasaan orang-orang untuk menindas dan memeras hidup orang lain.”
“Perusahaan tambang yang besar dan yang serupa dengan itu dijalankan
sebagai usaha negara, sebab ia dikerjakan oleh orang banyak dan cara
mengusahakannya mempunyai akibat terhadap kemakmuran dan kesehatan
rakyat. Dan tanahnya serta isinya negara yang punya. Tetapi cara menjalankan
eksploitasi itu bisa diserahkan kepada badan yang bertanggung jawab kepada
Pemerintah menurut peraturan yang ditetapkan.”
“ini tentang ideologi perekonomian, yang hanya dapat diselenggarakan
berangsur-angsur dengan didikan pengetahuan, organisasi, idealisme dan rohani
kepada orang banyak.”
4
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Mendahului hasil kerja Panitia diatas, Soekarno dalam sidang BPUPKI
tanggal 1 Juni 1945 mengutarakan:
“.... bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup,
yakni politieke economische democratie3 yang mampu
mendatangkan
kesejahteraan sosial.”
“.... marilah kita terima prinsip hal social rechtsvaardigheid4ini, yaitu
bukan saja persaman politik, saudara-saudara, tetapi di atas lapangan ekonomi kita
harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama sebaik baiknya”
Supomo pada tanggal 31 Mei 1945 mengutarakan:
“sekarang tentang perhubungan antara negara dan perekonomian, dalam
negara yang berdasar integralisik, yang berdasar persatuan , maka dalam lapangan
ekonomi akan dipakai sistem “sosalisme negara: (staatssocialisme). Perusahaanperusahaan yang penting akan diurus oleh egara sendiri, akan tetapi pada
hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan
apa uang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah
daerah atau yang akan diserahkan kepada sesuatu badan hukum privat atau kepada
seseorang, itu semua tergantung daipada kepentingan negara, kepentingan rakyat
seluruhnya. Dalam negara Indonesia baru, dengan sendirinya menurut keadaan
sekarang , perusahaan-perusahaan sebagai lalu lintas, electriciteit, perusahaan alas
rimba harus diurus oleh negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambangtambang yang penting untuk negara sendiri. Melihat sifat masyarakat Indonesia
sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinyat tanah pertanian menjadi
lapangan hidup dari kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian
itu tetap dipegang oleh kaum tani.”
“Dalam lapangan ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan juga oleh
karena kekeluargaan itu sifat masyarakat Timur, yang harus kita pelihara sebaik-
3
4
Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
Keadilan sosial
5
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
baiknya. Sistem tolong-menolong, sistem kooperasi hendaknya dipakai sebagai
salah satu dasar ekonomi Negara Indonesia.”
Tanpa mengurangi pendapat-pendapat di atas, sampai sekarang tidak
diperdebatkan mengenai peranan Mohammad Hatta sebagai peletak dasar Pasal
33. Sejak masa pergerakan Mohammad Hatta terus menerus menganjurkan dan
memperjuangkan sistem ekonomi nasional yang tidak berdasarkan individualisme
dan kapitalisme. Salah satu risalah yang ditulis Mohammad Hatta yang sangat
terkenal adalah “Demokrasi Kita” (1960). Dalam kalian dengan demokrasi
Mohammad Hatta menulis:
“demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan
persaudaraan”
“Disebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi.
Kalau ada. sebab itu, cita-cita demokrasi Indonesia ialah demokrasi sosial,
meliputi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia. Cita-cita
keadilan, yang terbangun di muka dijadikan program untuk dilaksanakan di dalam
praktik hidup nasional di kemudian hari.”
“Jika ditilik benar-benar, ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita
demokasi sosial itu dalam kalbu pemimpin-pemimpin Indonesia waktu itu:
Pertama; paham sosialis barat, yang menarik perhatian mereka karena
dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya
Kedua; ajaran islam yang menuntut kebenaran dan keadilan ilahi dalam
masyarakat serta persaudaraan, antara manusia sebagai makhluk Tuhan, sesuai
dengan sifat Allah yang Pengasih dan Penyayang.
Ketiga;
Pengetahuan
bahwa
masyarakat
Indonesia
berdasarkan
kolektivisme5
Mengenai asas kekeluargaan, Mohammad Hatta menulis:
“Asas kekeluargaan itu ialah koperasi”.
“Hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus
mencerminkan orang-orang bersaudaran, satu keluarga”
5
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, BP.2004
6
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
“Rasa solidaritas dan diperkuat. Anggota dididik menjadi orang yang
mempunyai indivialitas, insyaf akan harga dirinya. Apabila ia insyaf akan harga
dirinya sebagai anggota koperasi, tekadnya akan kuat untuk membela kepentingan
koperasinya. Ingatannya akan tertuju akan kemajuan bersama,sebagai anggotaanggota koperasi.”
"Individualitas lain sekali dengan individualisme. Individualisme adalah
setiap orang mengutamakan diri sendiri dan mendahulukan kepentingan diri
sendiri dari kepentingan orang lain."
"Individualitas
menjadi seorang anggota koperasi sebagai pembela danpejuang yang giat
bagi koperasinya. Dengan naik dan majukoperasinya kedudukannya sendiri akan
ikut naik dan maju. Dalampelajaran dan usaha koperasi, di bidang manapun juga,
ditanamkemauan dan kepercayaan diri sendiri dalam persekutuan untuk
melaksanakan"self-help" dan oto aktivitas guna kepentingan bersama".
Mengenai peran swasta, Mohammad Hatta menulis:
“Antara aktivitas koperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas
Pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat
dikerjakan oleh swasta. Pengusaha swasta bangsa kita sendiri atau oleh golongan
swasta Indonesia yang bekerja dibawah penilikan pemerintah dan daam bidang
dan syarat yang ditentukan Pemerintah.”
Baik bunyi Penjelasan, rumusan Panitia Perekonomian dan Keuangan,
serta pendapat-pendapat dalam sidang BPUPKI dan PPKI, dapat ditarik beberapa
prinsip yang mendasari dan semestinya dijalankan dalam melaksanakan Pasal 33
atas dasar berupa prinsip :
Pertama; Pasala 33 merupakan konsekuansi dari
kehendak tidaka
menjalakan sistem ekonomi kapitalis dalam sistem perekonomian Indonesia
merdeka.
Kedua; Pasal 33 bertujuan membangun sistem perekonomian nasinal
yang menjamin terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat atas dasara
sociale rechtsvaardigheid atau keadilan social bagis seluruh rakyat Indonesia.
7
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Ketiga, Pasal 33 menghendaki perekonomian nasional dijalankan
menurutdasar-dasar demokrasi ekonomi, atau demokrasi sosial (kolektivisme)
ataudemokrasi sosial ekonomi (sociaal economische democratie).
Keempat;
sesuai
dengan
asas
demokrasi
ekonomi,
sistem
perekonomiandijalankansebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan yang
berwujud dalam bentuk usaha koperasi
Kelima; Pasal 33 menghendaki negara turut serta dalam usaha-usaha
perekonomian nasional dengan menguasai atau setidak-tidaknya mengaturdan
mengawasi. Dengan perkataan lain, mekanisme ekonomi tidak dijalankan atas
dasar mekanisme pasar bebas yang merupakan sistem ekonomi kapitalis, Cabangcabang ekonomi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat
banyak dikuasai oleh negara.
Keenam; Pasal 33 tidak melarang usaha orang seorang (non
pemerintah),yaitu usaha swasta dalam negeri dan asing untuk usahausahaperekonomian yang tidak penting bagi negara atau tidak menyangkut hajat
hidup orang banyak atau sepanjang usaha-usaha tersebut tidak bertentangan
dengan upaya mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat demi keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
D. Energi dan Pasal 33 UUD 1945
Tidak ada sebutan “energi” dalam UUD 1945. Sebutan energi muncul
sebagai
praktek
ketatanegaraan
(praktek
pemerintahan).
Untuk
satu
pemerintahan.(pernah) dipergunakan sebutan: Departemen Pertambangan,
Departemen
Pertambangan
dan
Energi.
Sekarang
dipergunakan
sebutan:Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (populer disebut
ESDM).6Mungkin sebutan“energi” lebih tepat. Selain mencerminkan sifat dan
fungsi sebutan "energi" lebih luas dari sebutan barang tambang (pertambangan).
Tetapi juga tidak boleh terlalu luas (meluas). Kayu atau arang kayu juga suatu
bahan
6
Penggunaan sebutan "pertambangan didapati pada salah satu rumusan Panitia Perekonomian, 1945.
Sepanjang menyangkut sebutan "UU Pertambangan" merupakan tiruan dari "mijnwet" atau “mejnbesluit”
8
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Telah dicatat di muka, ayat (3) UUD 1945 menyebutkan: "Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ada dua konsep dasar Pasal 33 ayat (1) yaitu :
Pertama: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan
airdikuasai negara (bumi dikuasai negara, air dikuasai negara, kekayaan alam
dalam bumi dan air dikuasai negara).
Kedua; bumi, air, dan kekayaan alam yang kuasai negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Dalam kaitan organisasi negara (staatsorganisatie), pengertian Bumi
danair tidak dapat dipisahkan dari konsep wilayah negara (state territory) dikuasai
negara. Begitu pula pengertianair yang termasuk wilayah negara RI alam dalam
kekayaan alam yang terkandung didalamnya" adalah kekayaan wilayah,wilayah
negara Republik Indonesia. Karena bertalian dengan konsep negara UU Agraria
menambahkan ruang angkasa (menurut hukum, wilayah negara terdiri dari
daratan, perairan dan udara di atas wilayah daratan dan perairan)7.
Bagi ahli-ahli hukum angkasa (lebih luas dari pengertian hukum udara),
sebutan "ruang angkasa" berlebihan. Dalam makna wilayah, lebih tepat
ruangudara Menurut hukum, pengertian ruang udara" yaitu ruang dalam batas
atmosfir.
1. Pasal 1 ayat (2) “Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi. air,
dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”
7
Pasal 2 ayat (1) : “Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal yang
dimaksud dalam Pasal 1 (maksudnwa Pasal 1 UU Agraria, Pen), bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
9
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
a. Konsep "dikuasai oleh negara"
Apakah yang dimaksud: "dikuasai oleh negara dan mengapa harus
dikuasai oleh negara?"
UU Agraria, menjelaskan makna dikuasai negara sebagai berikut
(1) Konsep "dikuasai negara" bukan konsep "domein" yang berlaku di
masaHindia
Belanda
(Agrarischwet
Agrarischebesluit).
Disebutkan:
“Asasdomein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia danasas
(daripada) negara yang merdeka dan modern”.
(2) Selanjutnya dijelaskan: "Adalah lebih tepat, jika negara sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan
Penguasa ... sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan "dikuasai"
dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki", akan tetapi adalah pengertian yang
memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia itu"
Catatan: Ditinjau dari teori hukum, asas domein adalah konsep
hukum
keperdataan (civielrechtelijk). Dikuasai oleh negara adalah konsep
hukum publik (publiekrechtelijk). Penjelasan ini agak kontroversial. Menurut
teori
hukum, kekuasaan publik yang dikuasai hukum publik adalah
"prevail,
karena itu dapat mengkesampingkan hak-hak keperdataan seperti
hak milik atau karena. Atas dasar itu, negara, baik berdasarkan ketertiban umum
publiek orde) atau kepentingan umum (publiek belangen) dapat mencabut hakhk keperdataan (onteigening). Karena itu, sebenarnya konsep "dikuasai negara
bukanlah sekedar meniadakan asas domein (hak milik negara atas dasar hukum
keperdataan), tetapi menyangkut dasar hubungan rakyat dengan tanah dan air
serta kekayaan didalamnya. menurut cara berpikir hukum atau masyarakat adat
seperti cara berpikir komunal, kekeluargaan, hak ulayat.
(3) substansi hak menguasai negara meliputi
a, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaannya;
b. bentukan dan mengatur hak-hak yang dapat di punyai ata (bagian dari)
bumi air, dan ruang angkasa
10
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa;
Memperhatikan substansi-substansi di atas, menunjukan,secara derivatif
hak menguasai negara dapat diturunkan kepada subyek hukum
lain (selain
negara). Hak-hak derivatif tersebut dapat berubah sifat dari hak-hak yang bersifat
publik (oleh negara), menjadi hak-hak keperdataan (di tangan subyek hukum non
negara). Dikatakan "dapan, karena dimungkinkan hak-hak derivatif itu tetap
bersifat publik atau sekurang- kurangnya dapat dilekati dengan hak-hak publik
(termasuk fungsi publik). Di masa lalu, kita mengenal bentuk badan usaha yang
disebut konsesi, yangdiberi (dilimpahi) wewenang publik tertentu, seperti
membuat peraturan umumyang berlaku dalam lingkungan wilayah konsesi.
Praktek yang berlakusekarang, hak derivatif yang diberikan padasubyek hukum
(orangperseorangan
atau
badan
hukum)
lebih
bersifat
hak-hak
keperdataan.Sebagai hak keperdataan (hak subyektif atau hak obyektif),
menimbulkan berbagai konsekuensi hukum.
Pertama; hapusnya hak menguasai negara akibat perubahan sifat hak
menjadi hak keperdataan.
Kedua; hak-hak keperdataan yang diperoleh subyek akibat derivasi dari
hak publik negara (hak menguasai negara)melahirkan hak-hak turutan lain seperti
hak mengalihkan, hak menjaminkan, hak memperoleh sebesar-besarnya laba atau
manfaat dan lain-lain. Semuanya berada di luar jangkauan hak menguasai negara.
Suatu cara agar hak menguasai negara tetap berlaku, pemberian hak derivative
tidak didasarkan pada perjanjian tetapi perizinan, cq. beschikking.
Dari dua hal di atas, tidak mengherankan apabila berbagai pemegang hak
derivatif yang menjelma menjadi hak-hak dalam lapangan hukum keperdataan
tersebut, menyebabkan terlepasnya peran negara atas dasar hak menguasai negara,
kecuali terhadap hak-hak yang diperjanjikan atau diisyaratkan undang-undang
atau kewajiban-kewajiban menurut undang-undang (seperti membayar pajak).
idak ada kewajiban hukum bagi pemegang hak tersebut untuk mewujudkan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
11
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
b. Konsep kekayaan alam
yang terkandung dalam bumi, air, dan
"ruangangkasa”.
Paling tidak, ada dua persoalan hukum mengenai kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi, air, dan "ruang angkasa".Pertama; makna "kekayaan
alam yang terkandung dalam bumi, air, dan"ruang angkasa".
Kekayaan alam dalam bumi mencakup bumi daratan dan bumi dibawah
air. Kekayaan di dalam air meliputi air, benda-benda atau bahan didalam air dan
di dasar air (bukan dalam tanah di bawah air). Air bukan saja tempat bagi
keberadaan kekayaan alam. Air itu sendiri adalah kekayaan alam termasuk
sebagai sumber energi. Kekayaan alam di ruang angkasa, cq. ruang udara meliputi
udara, matahari, angin (sumber daya energi angin) tidak dapat dikuasai negara.
Energi yang bersumber dari air di laut dan yang berada di ruang udara tidak dapat
dikuasai negara, tetapi dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.Hukum Internasional mengakui hak berdaulat (sovereign rights) negara
pantai pada zone ekonomi eksklusif ZEE) Bukan kedaulatan (sovereignty). Hak
berdaulat adalah “preferensi” yang diberikan kepada negara pantai untuk
melakukan eksploitasi dalam wilayah ZEE (sudah berada di luar batasteritorial
laut negara yang bersangkutan).
Kekayaan alam tidak hanya terbatas pada bahan atau kekuatan sebagai
sumber energi atau yang dapat menjadi sumber energi. Kekayaan alam seperti
ikan atau biota-biota laut yang dapat dimanfaatkan atau memberi manfaat bukan
sumber atau bahan energi. Sepanjang kekayaan alam itu adadalam bumi, air, dan
ruang angkasa" RI, termasuk yang dikuasai negara atau dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Kedua: makna energi dikuasai negara
Telah dikemukakanenergi adalah kekayaan alam. Energi dapatterkandung
dalam bumi, air, ruang angkasa (ruang udara).
Kecuali energi tertentu, semua energi dikuasai negara. Menurut para
Founding Fathers / Framers of the Constitution, ada beberapa faktor, energi harus
dikuasai negara.
Pertama; energi merupakan hajad hidup rakyat banyak.
Kedua; merupakansesuatu yang penting bagi negara.
12
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Ketiga;
merupakan
sumber
utamamewujudkan
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
E. Das Sollen atau Das Sein
Apakah dasar perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial yang
dikehendaki Founding Fathers atau the Framers of the constitution, hanya sekedar
das sollen yang lekang dek paneh dan lapuak dek hujan dalamperkataan lain,
dasar-dasar tersebut tidak sesuai dengan das sein baik tatanan kehidupan domèstik
maupun internasional?
Dasar ekonomi kekeluargaan atau demokrasi ekonomi baik secara teoritik
maupun praktek memiliki landasan untuk dilaksanakan (applicability).Seperti
dikatakan Hatta, paling tidak, ada tiga dasar demokrasi yang akan dijalankan di
Indonesia,
Pertama: atas dasar sosialisme demokratis yang berkembang dan
dijalankan pada negara-negara Eropah Barat (non komunis)Konsep ini berjalan
disejumlah negara seperi Inggris. Jerman, negara-negara skandinavia.
Kedua; atas dasar adat-istiadat Indonesia seperti permusyawaratan dan
gotong royong.
Ketiga: atas dasar Islam (dianut bagian terbesar rakyatIndonesia) yang
menghendaki keadilan dalam segal aaspek kehidupan(termasuk ekonomi).
Dapat pula ditambahkan faktor-faktor lain.
Pertama:demokrasi ekonomi bertolak dari kenyataan sosial rakyat
Indonesia yang dihadapi, seperti ketiadaan modal, keterbelakangan, dan
kemiskinan. Karena itu pembangunan atas dasar ekonomi koperasi tidak bertolak
dari pemilikan modal perorangan tetapi modal bersama (sebagai hasil gotong
royong).
Kedua:demokrasi ekonomi bukan sistem ekonomi negara (state
economy), karena itutetap membuka peluang bagi usaha perorangan (swasta)
untuk lapangan lapangan ekonomi yang tidak penting bagi negara dan tidak
menguasai hajat hidup rakyat banyak. Lapangan ini seperti berkali-kali dikatakan
Hatta masih sangat luas.
13
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Kalau demikian, mengapa ada pendapat atau kesan dasar-dasar demokrasi
ekonomi tidak dijalankan. Sebaliknya yang terjadi adalah liberalisasi yang
menunjukkan kapitalisme yang makin menguat.
Kebangkitan ekonomi yang memberi peran utama kepada swasta(pemilik
modal) telah dimulai sejak masa Orde Baru
Pertama; pengaruh global. Pada akhir abad ke-20 di negara-negara maju
timbulgelombang privatisasi dengan alasan efisiensi dan mengurangi beban sosial
pemerintah (akibat konsep negara kesejahteraan) yang makin berat. Dikehendaki,
kaum swasta (pemilik modal) juga turut serta mewujudkan dan memelihara
kesejahteraan umum. Hal semacam ini diikuti oleh berbagai negara yang sedang
membangun termasuk Indonesia. Sayangnya ada perbedaan cara memaknai
privatisasi. Di negara-negara maju, privatisasi tetap sebagai bagian dan konsep
negara kesejahteraan. Namun negara tidak lagi menjadi operator utama ekonomi,
tetapi lebih mengutamakan sebagai regulator untuk menjamin agar privatisasi
tetap dalam kerangka kesejahteraan umum, seperti penguatan undang-undang anti
monopoli, anti kartelisme, pengaturan harga dan pemasaran, dan lain-lain. Jadi,
pada dasarnya, negara tetap berperan besar dalam menjalankan ekonomi dengan
cara yang berbeda. Di Indonesia terkesan, privatisasi dimaknai negara melepaskan
segala kewajiban dan tanggung jawab. Bahkan berusaha memberikan berbagai
kemudahan yang berlebihan tanpa imbangan kewajiban usaha swasta terhadap
kesejahteraan rakyat banyak. Buahnya adalah kaum pemilik modal makin kaya
dan kaum miskin makin miskon.
Kedua, sebagai tindak lanjut privatisasi adalah ekonomi pasar (market
ekonomy). Ada keyakinan, dengan membiarkan swasta bersaing, akan terjadi
efisiensi dan memberi keuntungan pada masyarakat dalam bentuk seperti barangbarang berkualitas dengan harga yang makin murah. Dapat saja hal semacam itu
terjadi. Tetapi dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, sulit bagi rakyat banyak
memperoleh manfaat dan mekanisme ekonomi semacam itu.Selain itu, ada
kekuatan antar pemilik modal yang berlomba lomba menguasai sebanyakbanyaknya segala sektor ekonomi (horizontal dan vertikal), menyebabkan peri
kehidupan ekonomi hanya ada segelintir orang yang tidak memberi kesempatan
pemerataan kekayaan pada sebanyak-banyaknya orang. Situasi makin rumit
14
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
ketika pemilik modal berkolusi dengan pengambil keputusan(seperti perizinan,
persetujuan), perbankan, perpajakan, pertanahan dan lain-lain. Ada kemungkinan
sebagian besar yang ditanamkan pemilik modal adalahuang rakyat yang
disalurkan melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank. Bahkan pinjaman
luar negeri memerlukan jaminan pemerintah (negara).Seandainya ini benar, maka
privatisasi adalah semu belaka atau suatu perbuatanpura-pura belaka. Lebih jauh,
persaingan tidak hanya terjadi antar pemilik modal yang kaya (kaum kapitalis).
Para kapitalis menjadi pesaing kaum kecil dengan mematikan usaha-usaha kecil
atau usaha tradisional. Atas nama modernisasi,pasar-pasar tradisional tempat
rakyat kecil bemiaga dihancurkan melalui mall raksasa. Konglemerasi terjadi
disegala sektor. Sistem politik yang korupmenyebabkan para pengejar kekuasaan
makin terjalin menyesuaikan diri dengan para kapitalis
Ketiga pergeseran dari konsep kekeluargaan atau gotong royong, menjadi
orientasi kapital yang berpusar pada ketersediaan uang. Perubahan orientasi ini
mengakibatkan hanya pemilik uang atau yang memiliki akses mendapatkan modal
yang akan berpeluang memantaatkan semua kegiatan ekonomi
yang
menguntungkan (prom motive). Sebagian besar rakyat hanyalah sebagai obyek
ekonomi belaka. Orientasi kapital membawa pula orientasi pada modal asing
dalam bentuk pinjaman dan penanaman modal asing. Kenyataan menunjukkan
ketergantungan pada pinjaman dan penanaman modal asing makin dominan.
Keberhasilan mendatangkan sebanyak-banyaknya pinjaman dan penanaman
modal asing dipandang sebagai satu keberhasilan pemerintah atau dibanggakan.
Pada saat ini makin banyak sektor ekonomi dikuasaiasing ditambah pula
penguasaan oleh kapitalis domestik.
Keempat pergeseran-pergeseran tersebut Pertama, Kedua, dan Ketiga
berdampak pada pengembangan koperasi sebagai badan usaha demokrasi
ekonomi. Para pemilik modal lebih memilih bentuk badan usaha perseroan
daripada koperasi. Koperasi dipandang sebagai badan usaha yang tidak dapat
mendukung sistem ekonomi atas dasar kapital dan pasar. Pilihan terhadap bentuk
perseroan acapkali dikuatkan pula oleh undang-undang. Pemerintah juga berperan
mengucilkan peran koperasi. Koperasi bukan ditempatkan sebagai usaha ekonomi
tetapi lebih diperlakukan sebagai suatu bentuk birokrasi.Koperasi tidak menjadi
15
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
tumpuan ekonomi rakyat sehingga tidak menjadi kekuatan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan umum (keadilan sosial). Karena itu tidak heran kalau
ada persoalan korupsi yang melibatkan koperasi.Koperasi terlepas dari demokrasi
ekonomi.
Berbagai faktor di atas, menguatkan dugaan. Di satu pihak terjadi
penyimpangan terhadap cita-cita ekonomi dan kesejahteraan yang dikehendaki
UUD. Di pihak lain berkembang kapitalisme liberalisme dalam tata kehidupan
ekonomi dan sosial, yang berujung pada jurang yang makin dalam antara
sekelompok kecil orang yang menguasai sumber daya ekonomi dengan sebagian
besar rakyat yang tetap miskin dan terbelakang.
Sesuai dengan rubrik bagian ke-3 tulisan ini “apakah pergeseran dasardasar ekonomi dan sosial yang terjadi sekarang ini suatu kemestian,
sehinggadasar-dasar ekonomi dan sosial dalam UUD 1945 hanyalah sebuah das
Sollen bahkan ilusi belaka, atau sebaliknya; dasar-dasar ekonomi dan sosial
yangdijalankan merupakan penyimpangan nyata terhadap UUD 1945 yang perlu
diluruskan.
Persoalannya: "bagaimana meluruskan berbagai penyimpangantersebut?"
Secara filosofi, perlu suatu upaya menemukan kembali UUD 1945.Secara praktis
diperlukan tindakan komprehensif dan fundamental (radikal) menata kembali
semua kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat banyak. Hal ini tidak hanya
memerlukan pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang akuntabel dan sehati
dengan rakyat banyak.
16
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional dan Relevansinya
dengan Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru
Dr. Idris, S.H., MA.1
A. Pendahuluan
Hukum Lingkungan Internasional (International Environmental Law)
adalah nama mata kuliah di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
yang berada pada Bagian Hukum dan Pembangunan/Masyarakat yang membina
Program KeKhususan (PK) Hukum Lingkungan dan Tata Ruang. Mata Kuliah
tersebut diberikan kepada mahasiswa Semester Genap sebagai mata kuliah wajib
PK itu. Mata Kuliah ini mempunyai sejarah penting dengan perkembangan
Universitas Padjadjaran sendiri sampai sekarang dengan tokohnya Mochtar
Kusumaatmadja sehingga menjadikan Universitas ini dikenal sebagai Universitas
yang concern terhadap perkembangan hukum daan lingkungan hidup. Penulis
sendiri diberi kepercayaan oleh Bagian tersebut untuk mengajar mata kuliah ini
sejak tahun 1999 dengan alasan bahwa penulis tertarik untuk mendalami mata
kuliah tersebut dan ingin terus menjadikan mata kuliah ini menjadi bencmark
sekaligus memperkuat PIP (Pola Ilmiah Pokok) Universitas Padjadjaran.. Mata
kuliah ini mempunyai
nilai “sui generis” yang memerlukan kesadaran
pengajarnya untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang mungkin
berbeda dengan misalnya maata kuliah hukum perkawinan atau hukum pidana.
Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional ini sudah dibuatkan GarisGaris Besar Program Pengajaran (GBPP) bagi kepentingan pengajaran dan
pendidikan di Fakultas Huku Universitas Padjadjaran. Mata kuliah ini
mencerminkan gerak dinamis masyarakat internasional baik diwakili negaranegara, subyek hukum internasional laainnya, maupun
lembaga swadaya
masyarakat internasional yang secara terus-menerus “berteriak” pentingnya
melindungi dan melestarikan lingkungan hidup global karena menyangkut
keberlangsungan hidup masyarakat dunia dan pemanfaatan secara bijak sumber
1
Dr. Idris, S.H., MA., Dosen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Ketua Bagian
Hukum Internasional (2010-2013).
17
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
daya alam bagi pembangunan nasional dan internasional. Oleh karena itu, muatan
materi dalam GBPP tersebut harus selalu di update sebagai bentuk perhatian
terhadap perkembangan current issues lingkungan global dan juga mengajak
mahasiswa untuk mengkritisi materi kuliah tersebut sesuai dengan perkembangan
sekarang dan yang akan dataang, seperti semakin berkembangnya principles of
sustainable development dan energy crisis.2
B. UNPAD dan Perhatiannya Terhadap Lingkungan Global
Universitas Padjadjaran sebagai perguruan tinggi negeri di Indonesia
mempunyai perhatian dan sejarah penting terhadap lingkungan global (global
environment), sehingga melakukan upaya-upaya secara akademik memberikan
kesadaran kepada masyarakat Indonesia dan dunia tentang pentingya
pembangunan nasional yang pro-lingkungan yang baik dn benar karena
Universitas
Padjajdjaran
untuk
pertama
kalinya
di
Indonesia
pernah
menyelenggarakan “Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manusia dan
Pembangan Nasional” pada tanggal 15-18 Mei 1972 atas prakasa Rektor (waktu
itu) Prof Mochtar Kusumaatmadja dan Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran
dibawah pimpinan Prof Otto Soemarwoto. Dalam Seminar tersebut dirintis usaha
pengembangan tata pendekatan dan pembahasan masalah lingkungan secara
interdisipliner dan multidisipliner, seperti beragamnya judul yang disampaikan
dalam Seminar di Universitas Padjadjaran tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Kebijakan Dasar Pembangunan Nasional oleh Prof Dr. Widjojo Nitisastro,
Menteri Ekuin/Ketua BAPPENAS;
2. Prinsip-prinsip dan Konsepsi Ekologi sebagai Dasar Pengelolaaan
Lingkungan Oleh Prof. Dr. Dody A. Tisna Amidjaja, Rektor Institut
Teknologi Bandung (ITB);
2
Dalam rangka Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sekarang sdang disusun di fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, istilah GBPP/SAP akan diganti dengan istikah RPKPS (Rencama Program
Kegiatan dan Pembelajaran Semester) yang juga akan mempengaruhi pengurangan/penggabungan
beberapa mata kuliah, sehingga nanti mungkin mata kuliah akan berkurang tetapi bobot SKS bertambah.
Dengan KBK juga dimungkinkan adanya beberapa mata kuliah baru yang sejalan dengan kebutuhan market
dan stakeholder, sehingga tulisan ini mempunyai nilai futuristik yang kira-kira mata kuliah apa yang
diperlukan di masa-masa yang akan datang dan mata kuliah apa yang perlu di ‘parkir’.
18
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
3. Permasalahan Lingkungan oleh Prof. Dr. Ir. Otto Soemarwoto, Guru Besar
Tataguna Biologi/Direktur Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran;
4. Sistem Nilai dan Pendidikan tentang Lingkungan Hidup Manusia oleh Dr.
Soedjatmoko, Penasihat Teknis/Ahli Bidang Sosial-Budaya BAPPENAS;
5. Masalah Teknologi dan Pembinaan Lingkungan oleh Ir. Rachmat
Wirdisuria, Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen PUTL;
6. Masalah Populasi dalam rangka Pembangunan dan Lingkungan oleh Dr.
N. Iskandar, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
(UI);
7. Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia: Beberapa
Pikiran dan Saran oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Guru Besar
dalam Ilmu Hukum Internasional/Rektor Universitas Padjadjaran.
Makalah Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup Manusia:
Beberpa Pikiran dan Saran yang disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja
adalah bentuk nyata pemikiran seorang pakar hukum internasional dan sekaligus
sebagai negarawan untuk pertama kalinya disuarakan di bumi Indonesia mengenai
pentingnya hukum lingkungan. Oleh karena itu, tidak dapat diragukan lagi bahwa
Prof. Mochtar Kusumaatmadja adalah ilmuan pertama yang memperkenalkan
hukum lingkungan di Indonesia, sehingga kemudian dikembangkan beliau
menjadi mata kuliah di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran baik mata kuliah
huku lingkungan maupun hukum lingkungan internasional.
Seminar di Universitas Padjadjaran tersebut menegaskan betapa eratnya
hubungan pembangunan hukum lingkungan dengan pembangunan nasional,
sehingga apa yang sekarang dikenal dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ( principles of sustainable development ) yang secara internasional
baru mulai muncul pada tahun 1987, yaitu ketika World Commission on
Environment and Development membuat laporan yang dikenal dengan
Brundtland Report tentang pengertian pembangunan berkelanjutan tersebut,
sebenarnya Prof. Mochtar Kusumaatmadja telah memulai ide-idenya tersebut.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja ketika itu Rektor Universitas Padjajadran dan
setahun kemudian diangkat menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet
19
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Pembangunan II. Rektor Universitas Padjadjaran diganti oleh Prof. Drs.
Hindersah Wiratmadja yang dilantik pada tangga; 26 september 1974 oleh
Menteri P dan K yang pada waktu pelantikan tersebut meminta setiap Universitas
termasuk Universitas Padjadjaran mengembangkan “Pola Ilmiah Pokok” (PIP)
sebagai ciri kekhasannya. Setelah melalui kajian, akhirnya sidang, Senat Guru
Besar berkeimpulan secara bulat bahwa: ”Universitas Padjadjaran telah memiliki
modal yang kuat dalam pengembangan Hukum dan Ekologi, selagi
pendekatannya secara konseptual telah memperoleh apresiasi secara luas baik
pada tingkat nasional maupun dalam forum Internasional”.
Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, maka disetujui bahwa PIP
Universitas Padjadjaran adalah “Pembinaan Hukum dan Lingkungan Hidup
dalam Pembangunan Nasional”, yang kemudian dipercayakan kepada 3 orang
Guru Besar untuk kajian selanjutnya. Dalam menyempurnakan PIP Unpad
tersebut, 3 Guru Besar membuat karya tulisnya sebagai berikut:
1. ”Pola Ilmiah Pokok Universitas Padjadjaran” oleh Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja;
2. Pengembangan Hukum dan Lingkungan Hidup dalam Pembangunan
Nasional oleh Prof.Dr.Ir.Otto Soemarwoto;
3. Binamulia Hukum, Sejahtera, dan Ekosistem oleh Prof.Dr.Didi Atmadilaga.
Setelah melalui kajiannya oleh 3 Guru Besar itu akhirnya PIP UNPAD
dirumuskan dan disahkan yang berbunyi: “BINAMULIA HUKUM DAN
LINGKUNGAN HIDUP DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL.” Sejarah
PIP UNPAD ini perlu penulis ungkapkan dalam tulisan ini karena perkembangan
hukum lingkungan internasional tidak dapat dilepaskan dari peran para pendahulu
UNPAD yang sangat berjasa , sehingga UNPAD sekarang harus semakin
memperlihatkan “kekuatannya” di bidang ini sejalan dengan UNPAD akan
menuju World Class University. 3UNPAD harus sering mengadakan kegiatan
seminar dan konferensi nasional dan internasional tentang persoalan lingkungan
3
UNPAD menurut catatan sminar tentang KBK tahun 2013 mendapat akreditasi B karena masih banyak
prodi akreditasi B dan masih ada prodi akreditasi C ,sedangkan Fakultas Hukum sendiri akreditasi A. Ini
menjadi pekerjaan tidak ringan oleh pimpinan dan semua pihak untuk memperbaikinya baik internal
maupun eksternal ,sehingga UNPAD akreditasi A.
20
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
global untuk memperkuat PIP tersebut, bahkan harus ada mata kuliah yang
relevan dengan PIP itu beberapa fakultas/program studinya.
C. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional
Hukum lingkungan internasional adalah bagian atau cabang dari
perkembangan hukum internasional (internasional law). Penggunaan istilah
hukum lingkungan internasional (internasional environment law) bermula dari
perkembangan istilah hukum internasional itu sendiri, sehingga sumber –sumber
hukum lingkungan internasional tidak lepas dari sumber- sumber hukum
internasional yang selalu mengacu pada pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional.4
Sumber-sumber
hukum
lingkungan
internasional
terus
berkembang baik melalui berbagai perjanjian-perjanjian internasional ,hukum
kebiasaan internasional ,prinsip-prinsip hukum umum , putusan pengadilan , dan
ajaran sarjana terkemuka/doktrin. Dalam perkembangan hukum lingkungan
internasional tersebut tidak bisa dari persoalan sumber daya alam dunia yang
tersebar di seluruh Negara-negara yang semakin hari semakin berkurang sejalan
dengan pembangunan dan jumlah penduduk dunia yang makin banyak.
4
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang berbunyi sebagai berikut:
“The court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted
to it, shall apply:
a.international conventions, whether general or particular .establising rules expressly recognized by the
contesting states.
b.international cusom, as evidence of a general practice accepted as law;
c.the general principles of law recognized by civilized nations;
d.subject to the provisions of Article 59 ,judicial decisions and teachings of the most highly qualified
publicists of the various nations ,as subsidiary means for the determination of rules of law.[Article 59: The
decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case)
2.This provision shall not prejudice the power of the court to decide a case ex aequo et bono, if the parties
agree thereto”.
Ada beberapa ahli yang mengkritisi bahwa pasal 38 ini tidak mencantumkan resolusi –resolusi Majelis
Umum PBB ,jus cogens,soft law intruments seperti deklarasi- deklarasi, atau menempatkan putusan
pengadilan menjadi sumber hukum tambahan. Penulis berpendapat bahwa sebenarnya resolusi- resolusi
MU PBB seperti Resolusi MU PBB No 2625 tahun 1970 atau soft law instruments seperti prinsip 21
Deklarasi Stockholm 1972 sudah dapat menjadi bagian dari hukum kebiasaan interansional (customary
international law) dan prinsip-prinsip hukum umum, sedangkan jus cogens sudah banyak yang tercantum
dalam perjanjian –perjanjian internasional ,seperti Prinsip Non-Use of Force, Prinsip Non-Intervensi dalam
Pasal 2 Piagam PBB ,prinsip prohibition of aggression /genocide/slavery dalam Statuta Roma 1998 atau
Principle Of freedom di laut lepas menurut UNCLOS 1982.
21
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Mata kuliah hukum lingkungan internasional sama dengan mata kuliah
mata kuliah lain yang substansinya hukum internasional, seperti pendapat sebagai
berikut “ the expression international environment law simply to encompass the
corpus of international law relevant to environment issues, in the same way that
use of the term law of the sea, human right law, and international economic law
is widely accepted…it has become common practice to refer to international
environment law in this way.”5
Perkembangan Hukum lingkungan internasional yang sekarang sedang
menjadi topic pembahasan di setiap Negara adalah istilah “sustainable
development
atau
dalam
bahasa
Indonesianya
adalah
pembangunan
berkelanjutan”. Istilah ini akan terkait dengan semua aspek yang namanya
pembangunan dan itu mungkin terkait dengan kegiatan eksploitasi minyak,gas,
pertambangan, kemaritiman, ekonomi, dan lain-lain. Prinsip pembangunan
berkelanjutan (principle of sustainable development ) menjadi topik pembahasan
masyarakat internasional di berbagai pertemuan ilmiah dikarenakan lingkungan
hidup global (global environment) dan sumber daya alam dunia (world natural
resources ) semakin terancam oleh pembangunan ekonomi (economic
development ) yang dilakukan oleh manusia. Merasa khawatir sumber daya alam
untk memenuhi generasi yang akan datang, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) membentuk Komisi Dunia tentang Lingkungan dan pembangunan (the
World Commission on Environment and Development )tahun 1983 yang dipimpin
oleh Mantan PM Norwegia Brundtland. Komisi ini membuat laporannya dalam
sebuah dokumen yang berjudul “Masa Depan Kita Bersama” (Our Common
Future )yang di dalamnya ada pengertian konsep pembangunan berkelanjutan ,
yaitu “sustainable development as development that meets the needs of the present
generation without compromising the ability of the future generations to meet
their own needs” artinya pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang
5
Patricia W Birnie and Alan E Boyle, International Law &the Environment, Clarendon Press,Oxford
,1992,hlm.2.
22
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.6
Pembangunan berkelanjutan sebenarnya secara konsep sudah dimulai dari
adanya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations
Conference on the Human Environment –UNCHE) yang diselenggarakan pada
tanggal 5-16 juni 1972 di Stockholm. Konferensi ini menghasilkan Declaration
on the Human Environment yang disebutnya sebagai a first step in developing
international law yang memuat 26 prinsip yang dalam prinsip 1 dan 2 sudah
memberikan pentingnya menjaga sumber daya alam untuk kepentingan generasi
sekarang dan mendatang ,PBB kembali mengadakan konferensi yang dikenal
dengan KTT Bumi (Earth Summit) atau United Nations Conference on the
Environment and Development). Deklarasi Rio yang memuat 27 Prinsip tersebut
menegaskan sekali prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini dibahas lagi dalam KTT
Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (the World Summit on Sustainable
Development ) pada tanggal 4 September 2002 di Johannesburg Afrika Selatan,
sehingga dikenal hasilnya disebut Johannesburg Declaration on Sustainable
Development, Dalam deklarasi ini masyarakat internasional berkomitmen secara
serius untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup
dunia tida rusak, sumber daya alam tidak habis, dan membangunan dunia lebih
baik untuk kepentingan generasi yang akan datang.7
Buku “Energy and Natural Resources Law” misalnya memberikan
pernyataan dalam pembukannya bahwa :” the theme of the book is that not only
6
Philipe Sands, Op.Cit,hlm 11. Menurut Laporan Brudtland tersebut disebutkan beberapa tujuan penting
yang merefleksikan konsep pembangunan berkelanjutan ,yaitu : reviving growth and changing its quality;
meeting essential needs for jobs ,food, energy, water, and sanitation; ensuring a sustainable level of
population ; conserving and enhancing the resource base; reorienting technology and managing risk ; and
merging environment and economics in decision-making. Buku Philipe Sands ini begitu komprehensif yang
membahas perkembangan hukum lingkungan internasional mulai dari sengketa Bering Sea Fur Seals
Arbitration (UK v US) tahun 1893 ,perlunya perjanjian internasional tentang perlindungan burung yang
melalui kongres lahir Convention to Protect Birds Useful to Agriculture tahun 1902 ,sampai investasi asing
yang bersentuhan langsung dengan hukum lingkungan dan sumber daya alam, sehingga tidak jarang
menimbulkan masalah pencemaran/ perusakan lingkungan hidup.
7
Graham Mayeda, “Where Should Johannesburg Take Us? Ethical and Legal Approaches to Sustainable
Development in the Context of International Environmental Law” Colo. Journal of International Law and
Policy, No. 15:1,hlm.30.
23
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
are energy and natural resources law interrelated ,but so too are the topics that
comprise energy law and natural resources law. Energy law addresses all the
component parts of the energy fuel cycle as well as the market and government
policies that overseas this cycle. Natural resources law consists of public lands
and resources law, environmental law, environmental assessment ,mineral laws
,timber law ,and water law.”8 Dalam buku “Principles of International
Development Law” seolah menunjukkan ada mata kuliah hukum pembangunan
internasional ,tetapi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran mata kuliah
tersebut tidak ada , sehingga buku itu perlu dipelajari. Buku itu dalam daftar isinya
mengaitkan dengan new international economic order , permanent sovereignty
over natural resources ,the charter of economic rights and Duties of States ,UN
Code of Conduct on Transnational Corporation ,dan lain-lain.9 Demikian juga
dengan buku baru yang berjudul “sustainable development “ principles, Practices
&Prospects, memberikan inspirasi kepada penulis bahwa di Negara lain sudah
ada materi ajar hukum pembangunan berkelanjutan ,sehingga apa salahnya materi
tersebut dijadikan mata kuliah di Fakultas Hukum Univeristas Padjadjaran. Buku
tersebut dalam daftar isinya mengemukakan sejarah perkembangan konsep
pembangunan berkelanjutan mulai dari konferensi Stockholm 1972 sampai
praktiknya di beberapa Negara. Buku ini wajib dipelajari dan dihubungkan
dengan pembangunan di Indonesia.10
Konferensi internasional yang dianggap sebagai awal perkembangan
aturan atau norma internasionak berkenaan dengan lingkungan adalah konferensi
yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikenal Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on Human
Environment) yang diadakan pada tanggal 5-16 juni 1972 di Stockholm Swedia.
Konferensi Stockholm 1972 ini menghasilkan beberapa dokumen penting
bagi awal perkembangan hukum lingkungan internasional, yaitu sebagai berikut:
8
Jan G. Laitos and Joseph P.Tomain, Energy and Natural Resources Law in a Nutshell, St.Paul Minn, West
Publishing Co., 1992 ,hlm V.
9
Milan Bulajic,Principles of International Development Law, Martinus Nijhoff Publishers, Yugoslavia,hlm
5-7.
10
Marie-Claire Cordonier Segger and Ashfaq Khalfan, Sustainable Development law, Oxford University
Press, First pubished 2004,
24
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
1. Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia (Declaration on the Human
Environment )yang terdiri dari 26 prinsip:
2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi;
3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan untuk menunjang
pelaksanaan Rencana Aksi tersebut yang terdiri atas:
a. Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup;
b. Sekretariat yang diketuai oleh seorang Direktur Eksekutif;
c. Dana Lingkungan Hidup;
d. Badan Koordinasi lingkungan hidup atau UNEP (United Nations
Environmental Program) yang berkedudukan di Nairobi Kenya.
4. Konferensi menetapkan setiap tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan
Hidup Sedunia” (World Environment Day).
Dalam konferensi tersebut terdapat pandangan berupa deklarasi Negara
peserta yang menilai hasil-hasil Konferensi ,seperti dari Canada, Chile, Egypt,
India, Kenya, Pakistan, Sudan, United Kingdom, Yugoslavia, menilainya sebagai
“a first step in developing international environmental law” .11 Perkembangan
hukum lingkungan international setelah konferensi Stockholm 1972 sangat
progresif sejalan dengan semakin sadarnya masyarakat internasional terhadap
pentingnya keseimbangan antara kebutuhan hidup masyarakat dunia dengan
perlindungan dan pelestarian lingkungan global (global environment). Setelah
materi tentang hasil- hasil Konferensi Stockholm 1972 habis, dilanjutkan materi
lain yang jauh lebih banyak, yaitu materi tentang hasil-hasil Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT Bumi atau Earth Summit) di Rio de Janeiro tanggal 3-14 Juni 1992
yang juga dikenal Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan
(United Nations Conference on Environment and Development-UNCED). KTT
Bumi 1992 ini menghasilkan beberapa dokumen internasional penting yang
sifatnya lebih legally binding, yaitu sebagai berikut:
1. Agenda 21 yang berisi tentang implementasi komprehensif pembangunan
berkelanjutan (sustainable development);
11
St.Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan Buku I:Umum,Penerbit Binacipta,1985,hlm.213-214.
25
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
2. United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim);
3. United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi PBB tentang
Keanekaragaman Hayati);
4. Rio Declaration on Environment and Development (Deklarasi Rio tentang
Lingkungan dan Pembangunan);
5. Statement of Principles on the management ,conservation, and sustainable
development of all types of forests (Pernyataan Prinsip-Prnsip tentang
Pengelolaan, Konservasi, dan Pembangunan berkelanjutan semua jenis
hutan);
Deklarasi Rio 1992 merupakan bentuk penyempurnaan dari Deklarasi
Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio ini mempunyai kekuatan sendiri bagi materi
hukum lingkungan internasional karena ia memberikan dasar atau konsep-konsep
tentang pembangunan berkelanjutan. Deklarasi Rio sifatnya non-legally binding,
tetapi mempunyai pengaruh besar bagi setiap kebijakan pembangunan di setiap
Negara karena prinsip-prinsip Deklarasi Rio ingin mengintegrasikan kepentingan
pembangunan dan perlindungan bagi kepentingan generasi sekarang maupun
yang akan datang, yang dikenal dengan konsep-konsep pembangunan
berkelanjutan yang sekarang sudah menjadi prinsip pembangunan berkelanjutan
bahkan sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional, sehingga yang
semula softlaw (nonlegally binding) menjadi hardlaw (legally binding).12
Perkembangan hukum lingkungan internasional yang didalamnya juga
terkait dengan disiplin ilmu lain berlanjut di tahun 2002 yang disebut forum
World Summit for Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg Afrika
Selatan. Konferensi tahun 2002 yang diadakan oleh PBB tersebut ini tidak
menghasilkan perjanjian internasional yang harus diratifikasi Negara-negara,
tetapi WSSD ini menghasilkan dokumen Johannesburg Declaration on
Sustainable Development. PBB kembali menyelenggarakan konferensi yang
12
Putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) tahun 1997 tentang kasus GabcikopoNagymaros Project antara Hongaria dan Slovakia.
26
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
dikenal dengan nama Rio+20 yang maksudnya 20 tahun sejak tahun 1992 pada
Earth Summit di Rio Janeiro Brasil. Konferensi PBB Rio+20 mengahasilkan
dokumen yang bernama the Future We Want.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan
aspek lingkungan yang tidak ada dalam GBPP/SAP Hukum Lingkungan
Internasional,sehingga perlu dibentuk beberapa mata kuliah sebagai berikut:13
1. Hukum Sumber Daya Alam (Natural Resources Law);14
2. Hukum Perminyakan dan Gas (Oil and Gas Law);
3. Hukum Nuklir (Nuclear Law);
4. Hukum Energi (Energy Law);
5. Hukum Pertambangan (Mining Law)
6. Hukum Lingkungan Regional terutama di Negara-negara Eropa dan
ASEAN;
7. Hukum Kemaritiman (Maritime Law) yang aturan- aturannya dibuat
oleh Organisasi Maritim Internasional (International Maritime
Organisation/IMO) yang berkdudukan di London;
8. Hukum Perubahan Iklim(Climate Change Law)
9. Hukum Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity Law)
10. Studi kasus hukum lingkungan internasional (Case Study).15
D. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional Dan Relevansinya
Dengan Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru
Setiap Negara adalah berdaulat untuk mengatur persoalan dalam
negerinya termasuk mengatur persoalan dalam negerinya temasuk mengatur
13
Dalam rangka Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ,istilah GBPP/SAP akan digantikan dengan istilah
RPKPS (Rancangan Program Kegiatan dan Pembelajaran Semester), dan dengan KBK tersebut beberapa
mata kuliah yang ada sekarang ini akan berkurang karena mungkin digabung dan juga mungkin akan ada
beberapa mata kuliah baru sesuai dengan kebutuhan market atau stakeholder. Oleh karena itu, adanya
usulan pembentukan mata kuliah baru akan relevan dengan KBK tersebut. Usulan mata kuliah baru diluar
usulan tersebut adalah mata kuliah hukum antikorupsi/hukum pemberantasan korupsi, hukum perburuhan
internasional, atau bahkan hukum olah raga (sport law) sejalan dengan ramainya dunia persepakbolaan
nasional dan internasional (FIFA dan liga-liga Eropa).
14
Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Alam baru dibuat GBPP/SAP tahun 2007 oleh prakarsa Prof.Dr.Etty
R.Agoes yang berada dibawah PK Hukum Internasional.
27
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
pengelolaan kekayaan sumber daya alamnya. Pengakuan bahwa setiap Negara
mempunyai kedaulatan penuh terhadap sumber daya alamnya adalah berdasarkan
hukum internasional yang terdapat dalam sumber hukum internasional. Sumber
hukum internasional sebagaimana diatur oleh Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional. Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut menjelaskan
bahwa sumber hukum internasional mengacu kepada perjanjian internasional,
kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, keputusan pengadilan dan
ajaran sarjana terkemuka dan berbagai bangsa. Dalam bebrbagai sumber hukum
internasional tersebut telah diatur bahwa setiap Negara mempunyai kedaulatan
dan jurisdiksi atas persoalan dalam negerinya dan sumber daya alamnya.
Perjanjian Internasional dalam bentuknya sangat beragam, yaitu mulai dari
Piagam (Charter), Statuta (Statute), Traktat (Treaty), konvensi (convention),
Kovenan (covenant) ,Protocol (protocol), dan lain-lain. Bentuk-bentuk perjanjian
ini sering disebut sebagai “hard law” karena harus diratifikasi oleh suatu Negara
apabila Negara
tersebut ingin terikat oleh perjanjian-perjanjian itu, atau
perjanjian internasional baru akan mengikat suatu Negara apabila sudah
diratifikasinya. Sedangkan benuk-bentuk perjanjian atau lebih tepat kesepakatan
yang sering disebut “soft law” adalah deklarasi (declaration), resolusi-resolusi
Majelis Umum PBB.
Sumber hukum internasional yang mengatur kedaulatan Negara atas
sumber daya alam belum ada dalam bentuk treaty atau hard law tersebut, tetapi
baru terdapat dalam resolusi yang dibuat oleh Majelis Umum PBB ,seperti
Resolusi Majelis Umum PBB yang mengatur kedaulatan Negara atas sumber daya
alam itu adalah Resolusi No 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962 tentang
Permanent Sovereignty over Natural Resources. Resolusi tentang kedaulatan
permanent atas sumber daya alam setiap Negara ini berkembang mulai
pembentukan PBB sendiri sampai terus disempurnakan oleh setiap Negara yang
mungkin suatu saat akan diatur oleh sebuah konvensi atau treaty. Resolusi Majelis
Umum PBB ini memang tidak mengikat secara hukum, tetapi lebih mempunyai
kekuatan moral (moral force). Resolusi Majelis Umum PBB berbeda dengan
resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB (Security Council) yang
suatu resolusi Majelis Umum PBB itu telah dipraktikan oleh setiap Negara dan
28
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
memenuhi suruhan kaidah serta kepentingan umum, maka resolusi tersebut akan
di laksanakan dan ditaati oleh setiap Negara, seperti Resolusi Majelis Umum PBB
tanggal 10 Desember 1948 tentang Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights) yang sekarang menjadi kekuatan bagi
Negara untuk melaksanakan ketentuan Deklarasi tersebut ke dalam hukum
nasionalnya, seperti Indonesia sudah mempunyai UU No 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Kebiasaan Internasional sebagai contoh lain yang dapat dijadikan sebagai
sumber hukum internasional karena diterima sebagai norma hukum sebagaimana
pendapat hakim Mahkamah Internasional, seperti dalam kasus-kasus Nicaragua
vs US (ICJ 1986) Mahkamah menyatakan bahwa :”… the principle of non-use of
force may thus be regarded as a principle of customary international law… an
opinion juris sive necessitates …..General Assembly resolution and particularly
resolution 2625 …… the Court also found that the US had infringed Nicaragua’s
sovereignty …..in breach of its obligation under customary international law not
use force against another state, the law of the Charter concerning the prohibition
of the use of force in itself constitutes a conspicuous example of a rule in
international law having the character of jus cogens…. Bahwa prinsip larangan
penggunaan kekuatan itu adalah sebuah prinsip hukum kebiasaan internasional
dan memenuhi unsur psikologis…..opinion juris sive necessitastis karena itu AS
melanggar kedaulatan Nikaragua karena melanggar kewajiban berdasarkan
hukum kebiasaan internasional untuk tidak menggunakan kekuatan kepada
Negara lain bahkan prinsip larangan penggunaan kekuatan tersebt dalam Piagam
PBB telah mempunyai karakter jus cogens ,yaitu bahwa setiap Negara terikat
untuk menghormati dan melaksanakan prinsip non-use of force tanpa perlu apakah
Negara itu terikat oleh perjanjian atau tidak.16
Konsep pembangunan berkelanjutan ini ternyata telah dipraktikkan oleh
Negara-negara sebagai upaya untuk melindungi dan melestarikan sumber daya
alam serta lingkungannya karena perkembangan isu-isu lingkungan global
16
DJ Harris, Cases and Materials on International Law, Fourt Edition, Sweet & Maxwell, London
,1991.hlm.825.
29
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
tentang pembangunan berkelanjutan tersebut menjadi isu sentral dalam
konferensi-konferensi international yang digagas oleh PBB , yaitu dengan adanya
KTT Bumi pada tanggal 5-11 Juni 1992 di Rio de Janeiro yang menghasilkan
beberapa dokumen hukum lingkungan internasional yang penting, yaitu Konvensi
Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati sebagai sumber hukum
internasional dalam bentuk “hard law” yang mengikat Negara-negara kalau sudah
meratifikasinya dan bentuk “soft law” Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan
dan Pembangunan yang isinya antara lain menegaskan dan menyempurnakan
Deklarasi Stockholm 1972 termasuk memperkuat konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut ditegaskan kembali
dalam Konferensi
KTT Bumi + 10 tahun di Jannesburg tahun 2002 yang
menghasilkan Deklarasi Johannesburg tentang Pembangunan Berkelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi praktik Negara-negara
tersebut sekarang menjadi bentuk hukum kebiasaan internasional (customary
international law) karena Hakim Mahkamah Internasional (International Court of
Justice ) Weeramantry memberikan pendapat terpisah (separate opinion) dalam
kasus Gabcikopo-Nagymaros antara Hungaria dan Slovakia (Case concerning
Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia) tahun 1997 sebagai
berikut:
“That principle is the principle of sustainable development which
according to this opinion is more than a more concept , but is itself a recognized
principle of contemporary international law.
Hakim Weeramantry memberikan pendapat terpisah (separate
opinion) dalam kasus Gabcikopo-Nagymaros Project antara Hungaria dan
Slovakia tanggal 25 September 1997 menyatakan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan bukan hanya konsep hukum semata, tetapi ia diakui sebagai prinsip
hukum kebiasaan international kontemporer (…. but is itself a recognized
principle of contemporary international law), artinya prinsip pembangunan
berkelanjutan mengikat setiap negara untuk dilaksanakan tanpa melihat apakah
30
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Negara tersebut sebagai Negara peserta atau tidak terhadap sebuah perjanjian
internasional.17
Resolusi MU PBB tahun 1962 itu menurut Philippe Sands disebut sebagai
a landmark resolution yang disetujui oleh masyarakat internasional melalui MU
PBB karena “….. when it resolved that the rights of peoples and nations to
permanent sovereignty over their natural wealth and resources must be exercised
in the interest of their national development of the well-being of the people of the
state concerned….”The resolution reflects the rights to permanent sovereignty
over national resources as an international legal right and has been accepted by
some
international
tribunals
as
reflecting
customary
international
law.....Resolusi tersebut telah menegaskan hak rakyat dan bangsa terhadap
kedaulatan tetap atas kekayaan alamnya dan harus dilaksanakan untuk
kepentingan pembangunan nasionalnya serta kesejahteraan rakayat Negara
tersebut. Resolusi itu telah mencerminkan hak atas kedaulatan tetap atas sumber
daya alam nasionalnya sebagai hak menurut hukum internasional dan kedaulatan
permanent itu telah diterima oleh peradilan internasional sebagai yang
mencerminkan hukum kebiasaan internasional (customary international law). Ini
berarti bahwa meskipun tidak ada sebuah treaty atau convention tentang
kedaulatan tetap atas sumber daya alam yang mempunyai kekuatan hukum secara
hard law, dengan adanya bahwa kedaulatan permanent atas sumber daya alam
sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional, maka setiap Negara terikat untuk
menghormati terhadap kedaulatan Negara itu atas sumber daya alamnya dan tidak
boleh Negara lain melakukan intervensi atau ikut campur terhadap kedaulatan
tersebut kecuali berdasarkan kesepakatan bersama. Kedaulatan Negara atas
sumber kekayaan alamnya sebagai bentuk hukum kebiasaan internasional adalah
berdasarkan putusan pengadilan internasional atas kasus Texaco Overseas
. Idris, “Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan dan Implikasinya Bagi Pengelolaan Sumber Daya
Alam Hayati Perikanan dan kehutanan Indonesia”,UNPAD Journal of International Law, Vol 6 No 1 April
2007 , Department of International Law , Faculty of Law Padjadjaran University ,hlm 90-103.
17
31
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Petroleum Co and California Asiatic Oil Co. v. Libya tahun 1977 dan kasus
Kuwait v. American Independence Oil Co. tahun 1982.18
Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1962 itu yang mengatur bahwa setiap
Negara mempunyai kedaulatan permanent atas sumber daya alamnya tidak berarti
mutlak sepenuh harus dikerjakan oleh Negara yang bersangkutan, tetapi pada
praktiknya setiap Negara terutama Negara-negara berkembang menyerahkan
sepenuhnya pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam kepada perusahaan
asing karena mereka mempunyai modal dan sumber daya manusianya. PT
Freeport itu sudah beroperasi di Timika Papua sejak tahun 1967 berdasarkan
kontrak karya yang dibuat oleh Pemerintah Orde Baru Presiden Soeharto yang
kemudian diperpanjang sejak tahun 1995 sampai 20 tahun kemudian. Dapat
dibayangkan berapa kekayaan alam di Papua itu karena meski sudah dieksplorasi
dan dieksplorasi sumber tambang dan emas tersebut sejak tahun 1967 sampai
sekarang masih terus perusahaan asing itu beroperasi bahkan sampai tahun 2015.
Sungguh suatu kekayaan sumber daya alam di Indonesia yang luar biasa,
sementara banyak pihak menilai bahwa kerja sama antara Indonesia dengan
perusahaan asing sangat merugikan keuangan negara. Oleh karena itu, tidak heran
hampir hari masyarakat Indonesia baik masyarakat setempat di Papua , para polisi
LSM, akademisi maupun organisasi masyarakat lainnya sering mengajukan protes
supaya kontrak kerja itu dapat ditinjau kembali karena masyarakat Indonesia
menilai tidak adil.19
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio secara
esensi adalah sama, tetapi ada penambahan kata developmental yang berarti
pembangunan karena didasarkan pada tahun 1990-an itu muncul konsep
pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan lingkungan dengan
pembangunan atau sebaliknya mengintegrasikan lingkungan ke dalam
pembangunan. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio
1992 mengandung 2 (dua) elemen atau unsur penting yang satu sama lain tidak
18
Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, Second Edition ,Cambridge
University,Press,USA,2003,hlm 236-245.
19
Mochtar Kusumaatmadja,Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan ,Penerbit Alumni,2006,hlm 3.
32
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
dapat dipisahkan ,yaitu “the sovereign right of states of exploit their own natural
resources”, dan “the responsibility or obligation not to cause damage to the
environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdiction.”,
yaitu elemen pertama “kedaulatan Negara untuk mengeksploitasi sumber daya
alamnya”, dan elemen kedua “bertanggungjawab atau berkewajiban untuk tidak
merugikan lingkungan Negara lain atau area yang berada di luar batas-batas
jurisdiksi nasional , yaitu seperti antartika, laut lepas bahwa zona ekonomi
ekslusif. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 atau Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992
tersebut semula adalah bentuk “soft law” karena tidak memerlukan ratifikasi
hanya bersifat mengikat secara moral, tetapi sekarang kedua prinsip tersebut
mengikat setiap negara karena sudah menjadi bagian dari hukum kebiasaan
internasional (customary international law) berdasarkan pendapat Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) dalam kasus Advisory Opinion on
the Legality of the Threat or Use of Nuclear Weapons tahun 1996.20
Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992
yang mempunyai dua elemen tersebut terutama elemen kedua, yaitu tanggung
jawab Negara dalam mengelola lingkungan hidupnya untuk tidak merugikan
Negara lain sebenarnya kedua prinsip tersebut diilhami dari pendapat hakim
beberapa kasus seperti pendapat pengadilan arbitrase dalam kasus Trail Smelterf
(Kanada v. AS) tahun 1941 yang menyatakan :”……under the principle of
imternational law….. no state has the right to use or permit the use of territory in
such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another of the
properties or persons therein, when the case is of serious consequence and the
injurty is established by clear and convincing evidence”. Putusan kasus yang
menjadi landmark case dalam hukum lingkungan international tersebut
menggambarkan prinsip bertetangga baik (principle of good neighbourliness)
yang merupakan salah satu prinsip penting dalam hukum international yang
sekarang termaktub dalam Pasal 74 Piagam PBB. Prinsip bertetangga baik
tersebut merupakan bagian penting dari pelaksanaan prinsip kedaulatan Negara
karena menurut Mahkamah International dalam kasus Corfu Channel antara
20
Philippe Sands ,op.cit.hlm 236
33
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Inggris dan Albania tahun 1949 menegaskan bahwa “the principle of sovereignty
embodies the obligation of every state not to alow its territory to be used for acts
contrary to the rights of other states,”
bahwa prinsip kedaulatan Negara
mencakup kewajiban setiap Negara untuk tidak mengizinkan wilayahnya
digunakan melakukan perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan hak-hak
Negara lain.
Persetujuan Kayu Tropis Internasional (International Tropical Timber
Agreement ) tahun 1983 menyatakan bahwa “the sovereignty of producing
members over their natural resources …..” bahwa kayu tropis itu berada dalam
kedaulatan negara atas sumber daya alam tersebut. Konvensi Perubahan Iklim
tahun 1992 menyatakan : “the principle of sovereignty of states in international
co-operation to address climate change” bahwa adalah suatu prinsip kedaulatan
Negara dalam kerja sama internasional terhadap perubahan iklim, kemudian
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati tahun 1992 menegaskan: “that states
have sovereign rights…..over their natural resources and that the authority to
determine access to genetic resources rests with the national governments and is
subject to national legislation”, yaitu maksudnya bahwa setiap Negara
mempunyai hak berdaulat atas sumber daya alamnya dan kewenangan itu dapat
menentukan akses terhadap sumber daya genetic yang ada di pemerintah itu dan
tunduk pada hukum nasionalnya.
Penanganan persoalan lingkungan hidup secara global memerlukan kerja
sama internasional. Oleh karena itu, kerja sama internasional itu diwujudkan
dalam bentuk aturan-aturan hukum lingkungan internasional. Phillipe Sands
dalam bukunya Principles of International Environmental Law mengungkapkan
bahwa: “the growth international environmental issues is reflected in the large
body of principles and rules of international environmental law which apply
bilaterally, regionally and globally; and reflects international interdependence in
a globalizing world”. Mahkamah Internasional tahun 1996 mengakui sebagai
berikut:”….for the first time , that there existed rules of general international
environmental law and that a general obligation of states to ensure that activities
within their jurisdiction and control respect the environment of other states or of
34
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
areas beyond national control is now part of the corpus of international law
relating to the environment”, Since then,specific treaty rules have become more
complex and technical, environmental issues have ben increasingly integrated
into other subject area including trade, investment, intellectual property, human
rights, and armed conflict. International environmental law is influenced by a
range of non-legal factors: science,economic,and social.21
E. Pembentukan Beberapa Mata Kuliah Baru yang terkait dengan Hukum
Lingkungan International
Pembentukan beberapa mata kuliah yang terkait dengan perkembangan
hukum lingkungan internasional tersebut cukup relevan karena didasarkan pada
perkembangan hukum lingkungan internasional itu sendiri melalui berbagai
perjanjian internasional baik uang sifatnya hardlaw maupun softlaw. Beberapa
mata kuliah yang penulis usulkan tersebut di atas sudah menjadi mata kuliah di
universitas negara lain. Oleh karena itu pembentukan beberapa mata kuliah
tersebut perlu dikembangkan di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
mengingat perkembangan hukum lingkungan internasional sangat pesat dan
mempunyai pengaruh besar bagi keberlanjutan bumi dan kekayaan alam yang
tekandung dalamnya. Perkembangan hukum lingkungan internasional dapat
dibagi menjadi berbagai persetujuan multilateral maupun persetujuan regional di
beberapa kawasan. Pembagian perkembangan perjanjian internasional dalam
bidang lingkungan hidup tersebut adalah sebagai berikut:
1.Perjanjian- perjanjian hukum internasional dalam benttuk hardlaw atau legally
binding instruments:
a. Pengaturan Internasional yang terkait dengan sumber daya alam (natural
resources) : misalnya General Assembly Resolution 1803 (XVI) 14 December 1962 on
Permanent Sovereignty over Natural Resources. Sumber hukum internasional yang
mengatur sumber daya alam tersebut dikaji dalam mata kuliah Hukum Sumber Daya atau
Natural Resources Law. Di universitas luar negeri ada mata kuliah yang terkait langsung
21
Philippe Sands ,Principles of International Environmental Law ,Second Edition ,Cambridge University
Press,London ,2003,hlm 3-4.
35
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
dengan sumber daya alam, tetapi dikaji dalam mata kuliah tersendiri ,yaitu mining law,
oil and gas law.
b. Pengaturan Internasional yang terkait dengan laut (sea,marine, atau
sejenisnya ): seperti Konvensi Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of
the Sea) 1982 yang sudah menjadi bagian utama dari mata kuliah Hukum Laut
Internasional. Di samping itu banyak perjanjian internasional terkait dengan laut yang
dibuat Organisasi Maritim Internasional (IMO) seperti SOLAS (International
Convention for the Safety of Life at Sea ) 1974, CLC (International Convention on Civil
Liability for Oil Pollution Damage) 1969, MARPOL (International Convention for the
Prevention of Pollution by Ships ) 1973/1978, sehingga penulis mengusulkan dibentuk
mata kuliah baru, yaitu Hukum Kemaritiman (Maritime Law).
c. Pengaturan Internasional yang berhubungan dengan iklim/udara, seperti
Convention for the Protection of the Ozone Layer (Vienna) 27 March 1985, Protocol on
Substances that Deplete the Ozone Layer (Montreal) 16 September 1987 (Montreal
protocol 1987), United Nations Framework Convention on Climate Change (New York )
9 May 1992 ,dan Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change (Kyoto) 11 December 1997, in force 16 February 2005 (Kyoto Protocol 1997) ,
Perjanjian internasional ini sebaiknya dipelajari lebih mendalam dalam mata kuliah
Hukum Perubahan Iklim (Climate Change Law), mengingat dunia sekarang sedang di
bawah ancaman serius pemanasan global.
d. Pengaturan Internasional yang berhubungan dnegan keanekaragaman
hayati (biological diversity) ,seperti : Convention on Wetlands of International
Importance especially as Waterfoul Habitat (Ramsar) 2 February 1971 , in force 21
December 1975 (Ramsar Convention 1971) and its Protocols ;nited Nations Convention
on Biological Diversity (Rio de Janeiro ) 5 June 1992 , in force 29 December 1993
(Biodiverisity Convention 1992), dan Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention
on Biological Diversity (Montreal) 29 January 2000 , in force 11 September 2003
(Biosafety Protocol), dan perkembangan pembahasan para pihak (COP) tentang liability
and redress. Materi perjanjian internasional ini cukup kompleks dan menyangkut
Indonesia sebagai megadiversity , sehingga perlu dibuat mata kuliah yang bernama
hukum keanekaragaman hayati atau biological diversity law.
36
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
e. Pengaturan internasional yang berhubungan dengan perdagangan, seperti
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora
(Washington) 3 March 1973 , in force 1 July 1975 (CITES 1973) its Protocols, Agreement
Establishing the World Trade Organization (Marrakesh) 15 April 1994, in force I
January 1995; Convention on the Prior Informed Consent Procedure for Certain
Hazardous Chemicals and Pesticiders in International Trade (Rotterdam) 11 September
1998 (Chemical Convention 1998/PIC Convention 1998.) Banyak perjanjian-perjanjian
internasional tentang perdagangan yang langsung terkait dengan persoalan lingkungan
hidup yang sekarang sering disebut MEAs (Multilateral Environmental Agreements).
Materi perdagangan dan lingkungan hidup selama ini terdapat dalam materi muatan mata
kuliah Hukum Lingkungan Internasional ,tetapi tidak menjadi bagian materi dari mata
kuliah Hukum Perdagangan atau Ekonomi Internasional (Nanti akan dikonfirmasikan
dengan dosen terkait, apakah perlu dijadikan mata kuliah tersendiri atau tidak).
f. Pengaturan Internasional yang berhubungan nuklir, seperti Convention on
Civil Liability for Nuclear Damage (Vienna) 29 May 1963, in force 12 November 1977
(Vienna Convention 1963); Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the Atmosphere, in
Outer Space and under Water (Moscom) 5 August 1963, in force 10 October 1963
(Nuclear Test Ban Treaty 1963); Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons
(London, Moscom ,Washington) 1 July 1968, in force 5 March 1970 (NPT 1968), Treaty
on the Prohibition of the Emplacement of Nuclear Weapons and Other Weapons of Mass
Destruction on the Seabed and the Ocean Floor and in the Subsoil thereof, 11 February
1971, in force 18 May 1972 (Nuclear Weapons Treaty 1971). Beberapa perjanjian
internasional yang mengatur nuklir tersebut perlu dibahas di perguruan tinggi, sehingga
nanti diusulkan akan keluar dalam bentuk kuliah , yaitu berupa hukum nuklir (Nuclear
Law) karena menyangkut banyak aspek lainnya dan harus menjadi kajian mengingat
ancaman bahayanya bagi manusia dan alam.
2. Perjanjian –perjanjian hukum lingkungan internasional dalam bentuk
softlaw atau non-legally binding instruments, tetapi sering menjadi hukum
kebiasaan internasional ,seperti Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Johannesburg
2002 , dan banyak resolusi Majelis Umum PBB. Beberapa Deklarasi dan Resolusi
tersebut meminta semua negara untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, yaitu
37
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
pembangunan yang mengintegrasikan dengan perlindungan lingkungan, sehingga perlu
dipelajari dalam bentuk mata kuliah Hukum Pembangunan Berkelanjutan (the Law of
Sustainable Development ). Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ini terus
berkembang dan dilaksanakan oleh setiap negara yang telah mempunyai komitmen untuk
mengintegrasikan
pembangunan
dan
perlindungan
lingkungan.
Prinsip-prinsip
pembangunan perlu dikaji lebih jauh dan dibahas dengan mahasiswa. Materi ini masih
bagian dari materi kuliah hukum lingkungan internasional dan tidak cukup waktu untuk
dibahas mendetail dengan mahasiswa karena mata kuliah tersebut berbobot 2 SKS. Oleh
karena itu , penulis mengusulkan dibentuk mata kuliah baru , yaitu hukum pembangunan
berkelanjutan atau the law of sustainable development.22
3. Perjanjian –perjanjian internasional tentang lingkungan yang berlaku pada
suatu kawasan tertentu (Regional) baik softlaw maupun hardlaw, seperti negara-negara
anggota Perkumpulan Negara- negara Asia Tenggara atau ASEAN (Association of South
East Asia Nations) yang didalamnya banyak terdapat perjanjian atau kesepakatan
ASEAN tentang pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Pengaturan hukum
lingkungan di kawasan Uni Eropa sangat lengkap, sehingga bagus untuk dipelajari, dan
beberapa negara-negara yang tergabung dalam organisasi regional lainnya, seperti Timur
Tengah, Afrika (Organization of African Unity-OAU), Amerika (Organization of
American States-OAS), Pasifik , Mediterania, dan lain-lain. Oleh karena itu, materi
tersebut perlu dikaji dalam suatu mata kuliah, yaitu Hukum Lingkungan Regional. Dalam
mata kuliah Hukum Lingkungan Regional juga akan mencakup materi muatan perjanjianperjanjian yang dibuat secara bilateral, seperti Canada-US Agreement Concerning the
Transboundary Movement of hazardous Waste (Ottawa) 28 October 1986, in force 8
November 1986 dan Mexico-United States Agreement for Co-operation on Environmntal
Programmers and Transboundary Problems (Washington), 12 November 1986, in force
29 January 1987. Materi mata kuliah ini penting kalau dihubungkan dengan banyaknya
kasus pengiriman atau pembuangan limbah berbahaya dari Singapore ke wilayah
Indonesia.
Ada satu buku yang berjudul Sustainable Development Law Principles ,Practices & Prospect”, MarieClaire Cordonier Segger and Ashfaq Khalifan ,Oxford University Press, 2004 .
22
38
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Hukum
Lingkungan
Internasional
adalah
cabang
dari
Hukum
Internasional seperti cabang-cabang Hukum Internasional lainnya, yaitu Hukum
Laut Internasional , Hukum Perjanjian Internasional , Hukum Organisasi
Internasional, Hukum Udara dan Ruang Angkasa , dan Studi Kasus Hukum
International. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional sebenarnya sudah
dimulai sejak sebelum dan sesudah pembentukan Piagam PBB (Charter of United
Nations ), yaitu sejak tahun 1945 karena sudah banyak berbagai aturan
internasional berkaitan dengan lingkungan hidup, tetapi perkembangan pesatnya
dimulai sejak ada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia tanggal
5-16 Juni 1972 di Stockholm yang melahirkan beberapa prinsip hukum dan
kelembagaan internasional. Sekarang Hukum Lingkungan Internasional baik
dalam bentuk perjanjian hardlaw maupun softlaw berkembang sangat pesat dan
luas sejalan dengan aktivitas manusia di muka bumi ini. Perkembangan berikut
terjadi tahun 1992,2002, dan 2012 yang melahirkan dokumen the Future We
Want.
Hukum Lingkungan Internasional menjadi mata kuliah wajib Program
kekhususan Hukum Lingkungan dan Tata Ruang yang sudah dibuatkan GBPP,
tetapi dalam perkembangannya di forum internasional banyak yang belum masuk
ke GBPP tersebut ,sehingga perlu dibentuk mata kuliah baru, seperti Hukum
Pertambangan (Mining law),Hukum Perminyakan dan Gas (Oil and Gas Law),
Hukum Maritim (Maritime law), Hukum Nuklir (Nuclear Law), Hukum
Perubahan Iklim (Climate Change Law), Hukum Keanekaragaman Hayati
(Biological Diversity Law). Di luar konteks hukum lingkungan internasional
,perlu dipertimbangkan untuk pembentukan mata kuliah baru, misalnya hukum
antikorupsi/hukum pemberantasan korupsi, hukum perburuhan internasional
,bahkan sampai hukum olah raga (sport law).
39
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
2. Saran
Pembentukan mata kuliah baru itu relevan dengan perkembangan hukum
lingkungan internasional dan juga sebagai bentuk kepekaan terhadap isu-isu
global dan kebutuhan pasar, tetapi tidak semudah itu karena menyangkut banyak
aspek,seperti kesiapan sumber daya manusia yang berkualitas dan perpustakaan,
serta minat mahasiswanya. Oleh karena itu, pembentukan beberapa mata kuliah
baru di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran memerlukan kajian lagi, supaya
ada manfaatnya bagi semua pihak, apalagi sekarang UNPAD /Fakultas sedang
menyusun KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KKNI (Kerangka
kualifikasi
Nasional
Indonesia
)
yang
didalamnya
ada
kompetensi
utama/pendukung /tambahan bagi lulusan berkualitas yang diterima oleh
stakeholder tersebut. KBK tersebut ada relevansi dengan pembentukan mata
kuliah baru tersebut yang harus memperhatikan semua aspek terkait sebagai upaya
meningkatkan kualitas lulusan peguruan tinggi. Terima kasih.
40
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the law of the sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United
Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Keanekaragaman Hayati);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pengesahan United
Nations Convention Framework Convention on Climate Change (Konvensi
Kerangka Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dan
Peraturan Pelaksanaanya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protocol to the United Nations Convention Framework Convention on Climate
Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan
Convention on Biological Diversity (Protocol Kartagena tentang Keamanan
Hayati atas Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman
Hayati)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
B. Buku :
Bulajic, Milac, Principles of International Development Law . Martinus Nijhoff
Publishers, 1986;
41
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Birnie, Patricia W., and Boyle, Alan E. International Law & the Environment, Clarendon
Press, Oxford 1992.
Daud Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara
Regional , Lawencon , Bandung 2006.
Laitos, Jan G., and Toamain, Joseph P. Energy and Natural Resources Law in a Nutshell,
St. Paul Minn, West Publishing Co., 1992.
Mochtar kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , Binacipta , Bandung, 1990.
Marie-Claire Cordonier Segger and Ashfaq Khalfan , Sustainable Development Law,
Oxford University Press, First Pubished 2004,
Sands, Philippe , Principles of international environmental law, second edition,
Cambridge University Press , London , 2003.
St. Munadjat Danusaputro , Hukum lingkungan Buku I : umum, Penerbit Binacipta, 1985.
Schrijver, Nico, Sovereignty Over Natural Resources, Cambridge Studies in International
and Comparative Law, 1997;
Stephen Pope, Mike Appleton, Elizabeth- Anne Wheal , The Green Book, the Essential AZ Guide to the Environment, London-Sydney, 1991;
Weiss, Edith Brown, Environmental Change and International Law : New Challenges
and Dimensions, UN University Press ,1989;
C. Jurnal/Artikel:
Graham Mayeda, “Where Should Johannesburg Take Us? Ethical and Legal Approaches
to Sustainable Development in the Context of International Environmental Law”,
Colo journal of international law and policy, no. 15:1.
Milan Bulajic, Principles of International Development Law, Martinus Nijhoff
Publishers, Yugoslavia, hlm 5-7.
42
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Implementasi Undang-Undang No 2 Tahun 2012
Dalam Hal Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan Infrastruktur Migas1
Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.2
Abstrak
Masuknya kegiatan pembangunan infrastruktur migas ke dalam kriteria
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus dipandang sebagai upaya serius
pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sesungguhnya. Untuk itu,
implementasinya perlu didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam industri migas.
Namun demikian, sifat kekhususan dari industri migas yang bersifat segera dan
situasional bukan menjadi dasar untuk mengabadikan suatu rencana tata ruang dan
rencana pembangunan, sehingga UU Pengadaan Tanah bertentangan dengan UU
Penataan Ruang. Mekanisme peninjauan kembali rencana tata ruang dapat menjadi
solusinya.
Kata kunci : Pengadaan Tanah, Industri Migas, Kepentingan Umum, Sistem Hukum
A. Latar Belakang
Kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur minyak dan gas
bumi (migas) selama ini mengacu pada ketentuan Undang-Undang No 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas)jo PP No 35
Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Kegiatan
pengadaan tanah untuk sektor ini tidak diatur oleh ketentuan mengenai pengadaan
1
2
43
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
tanah untuk kepentingan umum karena memang tidak termasuk ke dalam kategori
kepentingan umum.
Pasal 34 UU Migas menegaskan bahwa manakala Badan Usaha/Badan Usaha
Tetap (BU/BUT) yang bergerak di kegiatan migas memerlukan tanah dalam
wilayah kerjanya, maka BU/BUT tersebut wjib menyelesaikan hak atas tanah
tersebut dengan pemiliknya dengan cara jual-beli, tukar-menukar, ganti rugi yang
layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemegang hak atau pemakai
tanah di atas tanah negara. selanjutnya Pasal 35 UU Migas menegaskan bahwa
pemegang hak atas tanah wajib mengizinkan BU/BUT untuk melakukan eksplorasi
dan eksploitasi di atas tanah terssebut jika hak atas tanahnya telah diselesaikan.
Dengan demikian cara-cara yang dipergunakan oleh BU/BUT di bidang migas
untuk memperleh tanah, selama ini digunakan dengan cara-cara hubungan hukum
keperdataan (jual-beli, tukar-menukar, dsb).
Namun dengan diundangkannya Undang-Undang No 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU
Pengadaan Tanah) pada tanggal 14 Januari 2012, kegiatan pembangunan
infrasturktur migas dan panas bumi termasuk ke dalam kegiatan pengadaan tanah
untuk kepentingan umum (Pasal 10 huruf e). Dengan demikian segenap aturan
mengenai pengadaan tanah yang terdapat dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2012
otomatis berlaku pula dalam hal pengadaan tanah untuk kegaitan migas dan panas
bumi.
Implementasi ketentuan-ketentuan hukum dari UU No 2 Tahun 2012
untuk pembangunan infrastruktur migas, tentu tidaklah mudah mengingat sifat dan
karakteristik kegiatan migas yang spesifik, mengandung ketidak-pastian yang
tinggi, sehingga penyediaan tanahnya pun tidak dapat ditentukan secara pasti sejak
awal. Jika berdasarkan studi seismik suatu wilayah mengandung kandungan migas,
maka eksplorasi harus sesegera mungkin sdilakukan (kurang dari 120 hari). Dengan
demikian dapat dikatakan pengadaan tanah untuk migas bersifat sesegera dan
sangat situasional.
44
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Sementara itu jika dihitung menurut UU Pengadaan Tanah,waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pengadaan tanah adalah lebih dari 458 hari kerja, dari
sejak pendataan awal lokasi rencana pembangunan hingga pelepasan oyek
pengadaan tanah, belum lagi jika tanah itu berada di kawasan hutan, maka
diperlukan tambahan waktu lagi untuk sekitar 215 hari kerja untuk memperoleh izin
pinjam pakai kawasan hutan. Waktu yang cukup lama bagi industri migas untuk
memperoleh tanah, yang bersifat segera dan situasional.
Permasalahan lain yang muncul dalam pengadaan tanah untuk kegiatan migas
sehbungan dengan berlakunya UU Pengadaan Tanah adalah adanya ketentuan Pasal
7 ayat (1), yang menegaskan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
peyelenggaraannya harus sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
b. Renana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. Rencana Kerja setiap instansi yang memerlukan tanah
Namun khusus untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas dan panas
bumi, pengadaan tanahnya dikecualikan oleh ayat (2) Pasal 7 tersebut, yaitu cukup
mengacu pada rencana strategis dan rencana kerja instansi yang memerlukan tanah.
Pengecualian ini dilakukan, mengingat sifat industri migas yang tidak dapat
ditentukan seara pasti sejak awal, bersifaat segera dan sangat situasional. Demikian
alasan pembuat undang-undang atas pengecualian tersebut. Namun, dapat
diperkirakan permasalahan akan timbul dalam pelaksanaannya jika RTRW suatu
wilayah
dan
Rencana
Pembangunan
Nasional/Daerah
diabaikan
dalam
pembangunan infrasturktur migas, padahal pembangunan infrastuktur migas
mempunyai dampak yang cukup signifikan baik pelestarian lingkungan dan
perubahan bentangan alam/ruang.
Kedua permasalahan di atas harus segera diantisipasi dan dicarikan solusi
pemecahannya, mengingat UU Pengadaan Tanah ini telah berlaku sejak tangga; 14
Januri 2012. Di sisi lain, industri migas perlu terus didorong pertumbuhannya
mengingat hingga saat ini masih terjadi krisis pasokan migas di Indonesia untuk
45
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
memenuhi kebutuhan pasar domestik, karena produksi tidak dapat mengejar
pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang sangat cepat, sementara infrastuktur
tidak tersedia dengan memadai. Di sisi lain, migas masih menjadi sumber energi
utama dan masih menopang 25% penerimaan negara3.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas,penulis seara khusus merumuskan 2 masalah
medasar dari implementasi UU Pengadaan Tanah dalam hal pengadaan tanah untuk
infrastuktur migas, yaitu:
a. Apakah tepat memasukkan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan
infrastruktur migas sebagai suatu kepentingan umum?
b. Bagaimanakah solusi yang dapat dilakukan jika pembangunan infrastutur
migas tidak sejalan dengan RTRW suatu wilayah dan Rencana
Pembangunan Nasional/Daerah?
C. Metode Penelitian
Sebagaimana ditegaskan pada footnote no 1, artikel ini berasal dari hasil
penelitian penulis yang telah disempurnakan. Penelitiannya menggunakan metode
pendekatan yuridis normatif yaitu dengan titik berat penelitian pada data sekunder.
Baik data sekunder yang berbentuk bahan hukum primer (peraturan perundangundangan), bahan hukum sekunder (bahan kepustakaan/literatur) maupun bahan
hukum tersier (kamus hukum). Data primer berupa data lapangan yang diperoleh
melalui wawancara dengan narasumber yang kewenangan dan/atau kepakarannya
terkait dengan materi penelitian, berfungsi melengkapi data sekunder yang telah
diperoleh.
Sifat penelitian yang digunakan pada penelitian sebagai bahan artikel ini
adalah deskriptif analitis, dalam arti bersifat memaparkan data penelitian (baik
primer maupun sekunder). Data penelitian dianalisis secara juridis kualitatif dengan
menitikberatkan pada daya abstraksi teoritis atas peraturan perundang-undangan
3
Deputi bidang Umum BP Migas, Pengadaan Tanah pada Kegiatan Usaha Hulu Migas,
Makalah pada Rapat Koordinasi Pertanahan BP Migas-KKKS, Yogyakarta 17 April 2012: hlm.
4.
46
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
dan kepustakaan yang terkait dengan implementasi pengadaan tanah dalam
pembangunan infrastruktur migas. Daya abstraksi teoritis dilakukan dengan
menggunakan metode-metode penemuan hukum berupa penafsiran hukum dan
konstuksi hukum.
D. Kegiatan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Migas sebagai
Suatu Kepentingan Umum
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Ketentuan konstitusi ini menjadi dasar hukum dari
segala kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia, termasuk
migas. Penguasaan oleh Negara semata-mata ditujukan untuk mewujudkan
kemakmuran rakyat, sehingga penyelenggaran kegiatan usaha migas yang diatur
dalam UU No 22 Tahun 2001 pun dilakukan atas dasar asas ekonomi kerakyatan,
keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan pemerataan, kemakmuran bersama
dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum
serta berwawasan lingkungan4. Asas-asas penyelenggaraan kegiatan usaha migas
ini diperlukan untuk mengatur pemanfaatan migas yang merupakan barang publik
yang termasuk ke dalam kategori sumber daya alam milik masyarakat (common
property resources)5 Indonesia, agar pemanfaatannya dapat mewujudkan
kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia.
Penguasaan oleh negara atas sumber daya alam menjadi prinsip dasar
dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagai modal untuk
melaksanakan kegiatan pembangunan. Dalam hal pembangunan itu ditujukan untuk
kepentingan umum, maka peran Negara menjadi sangat vital dan sentral. Definisi
kepentingan umum itu sendiri beragam. Dalam UU No 2 Tahun 2012, kepentingan
umum didefinisikan sebagai kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk
4
Pasal 2 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan Analisis,
Penerbit Development Studies Fondation Pertamina, Jakarta, 2009: hlm. 3
5
47
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
kemakmuran rakyat6. Sementara Theo Huijbers7 menegaskan kepentingan umum
sebagai kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan yang memiliki ciri-ciri
tertentu antara lain menyangkut perlindungan hak-hak individu sebagai warga
negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan dan pelayanan publik.
Pemahaman-pemahanan ini menunjukan bahwa kepentingan umum merupakan
sesuatu yang abstrak dan kompleks untuk diimplementasikannya. Oleh sebab itu ,
terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sewajarnya dilakukan oleh
pemerintah.
Dalam hal pengadaan tanah, Maria S.W. Sumardjono8 berpendapat, masalah
kepentingan umum dapat dijabarkan melalui 2 (dua) cara yaitu, pertama, berupa
perdoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan
berdasarkan alasan kepentingan umum
melalui berbagai istilah. Dikarenakan
berupa pedoman, maka hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan
suatu proyek memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai kepentingan umum.
Kedua, penjabaran kepentingan umum dilakukan dalam suatu daftar kegiatan.
Dalam prakteknya, kedua cara tersebut sering dilakukan secara bersamaan.
Di Amerika Serikat, pada masa awal pembangunan negara itu, kepentingan
umum (public use) didefinisikan secara luas yaitu sepanjang suuatu kegiatan
berdampak pada perluasan kerja, peningkatan aktivitas perdagangan dan industri,
dan pengembangan sumber daya alam, maka hal itu merupakan kegiatan yang
termasuk kategori kepentingan umum. Namun, ketika kemudian berkembang
kekhawatiran bahwa hal itu akan mendesak perlindungan individu, muncul
penafsiran yang sempit atas pengertian kepentingan umum, yaitu sebagai hak
masyarakat untuk menggunakan hasil kegiatan tersebut dengan pelayanan publik.
Ecendrungan terakhir, suatu pembangunan dikategorikan untuk kepentingan
umum, manakala dimaksudkan untuk pembangunan di bidang kesehatan,
6
Pasal 1 angka (6) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum
7
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, 1982: hlm 76.
8
Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi, Kompas,
Jakarta, 2005: hlm. 107
48
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
keamanan, atau kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditetaka oleh badan
legislatif amerika serikat9.
Dalam
kegiatan
pembangunan
infrastruktur
untuk
industri
migas,
kategorisasi sebagai pembangunan untuk kepentingan umum merupakan hal yang
tepat karen hasil dari industri migas selain sebagai penyumbang terbesar devisa
Indonesia, juga untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan rakyat banyak. Selain
itu, migas merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan (unrenewable
resources) sehingga penguasaannya harus dilakukan oleh negara, agar
pemanfaatannya tepat sasaran.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 002/PUU-I/2003 tentang pengujian
atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, kewenangan negara yang bersumber
pada hak menguasai negara diperluas meliputi wewenang merumuskan kebijakan
(beleid),
melakukan
pengaturan
(regelendaad),
melakukan
pengurusan
(bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad), dan melakukan pengawasan
(toezichthoudendaad)10. Dengan demikian, kewenangan negara tersebut tidak
sebatas wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) UUPA semata.
Dalam pasa 2 ayat (2) UUPA, fungsi hak menguasai negara lebih difokuskan
kepada fungsi penguasaan. Fungsi penguasaan ini pula terdapat dalam makna hak
menguasai negara yang tercantum dalam UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan,
UU No 4 tahun 2007 tentang sumber daya air dan UU No 4 tahun 2009 tentang
pertambangan mineral dan batubara.
Kewenangan negara yang diperluas berdasarkan keputusan Mahkamah
Konstitusi No 002/PUU-I/2003 tentang pengujian atas UU No 22 tahun 2001
tentang migas tersebut akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan keputusan
Mahkamah Konstitusi No 3/PUU-VIII/2010 tentnag pengujian atas UndangUndang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
9
Ibid, hlm. 108
Muhammad Bakri, Pengakuan semu Hak Ulayat dalam Hukum Agraria Nasional, Makalah
Semiloka Nasional "Konflik Perkebunan: Mencari Solusi yang Berkeadilan dan Mensejahterakan
Rakyat Kecil", FH Unibraw Malang, 24-25 Mei 2012: hlm. 4
10
49
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Kecil11, yang menyatakan bahwa kalimat “sebesar-besarnya kemakmura rakyat”
dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dimaknai kedalam 4 tolak ukur, yaitu:
a. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat ;
b. Pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat ;
c. Partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam
d. Penghormatan terhadap rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan
sumber daya alam
Perpaduan antara perluasan makna “kewenangan penguasaan negara” dan
makna “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang ditafsirkan Mahkamah Konstitusi
dalam kedua putusan tersebut diatas memberi aktualisasi pemaknaan hak
menguasai negara atas sumber daya alam, termasuk migas. Menetapkan pengadaan
tanah untuk pembangunan infrastruktur migas sebagai suatu kepentingan umum
merupakan langkah yang tepat, namun demikian dalam pelaksanaannya tentulah
tidak mudah. Dalam hal menetapkan ruang lingkup kewenangan, maka kelima
kewenangan negara atas sumber daya alam yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi
di
atas,
yaitu
merumuskan
kebijakan
(beleid),
melakukan
pengaturan
(regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan
(beheerdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad), untuk sumber
daya migas sejalan dengan tujuan yang terdapat dalam UU No 22 tahun 2001
tentang migas, maka titik beratnya lebih pada fungsi pengelolaan (beheerdaad)
secara langsung atas sumber daya migas12 hal ini dimaksudkan agar tujuan
mewujudkan kesejahteraan rakyat lebih nyata terwujud. Untuk itu, kegiatan
pembangunan infrastrktur migas pun sudah tepat masuk kategori kepentingan
umum agar negara lebih mudah melakukan fungsi pengelolaannya.
Untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah pengadaan tanah dengan baik
kedalam kegiatan pembangunan infrastrktur migas sebagai bagian dari kepetingan
11
Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Penerbit
LoGoz_Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Unpad, Bandung,
2013: hlm. 13
12
Maria S. w. Sumardjono, Memaknai Kembali Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan Tindak Lanjutnya, Kuliah Inagurasi sebagai Anggota
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta 3 September 2013: hlm. 20
50
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
umum, maka asas-asas pengadaan tanah harus dikedepankan dan menjadi acuan
utama dalam mmengimplementasikan UU Pengadaan Tanah, sebagaimana
tercantum dalam pasal 2 UU No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yaitu asas-asas kemanusiaan, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlangsungan, dan keselarasan. Asas-asas hukum tersebut berperan penting
untuk mengaktualisasikan kaidah-kaidah hukum baik yang terdapat dalam UU No
2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, maupun kaidah-kaidah dalam UU No 22 tahun 2001 tentang migas agar
keduanya dapat berjalan selaras dan harmonis untuk mewujudkan kemakmuran
rakyat.
Asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, merupakan
latar belakang peraturan konkret yang terdapat didalam dan dibelakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan
hakim, yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifatsifat umum dalam peraturan konkret tersebut13. Dengan pengertian tersebut, maka
asas-asas hukum dalam pengadaan tanah sebagaimana diuraikan diatas seharusnya
menjadi landasan atas berbagai kegiatan penyediaan tanah untuk mendukung
berbagai kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan
infrastruktur untuk industri migas, karena pembangunan infrastruktur pada
hakekatnya merupakan pembangunan dari masyarakat (asal tanahnya) dan
kemudian kelak setelah proyek tersebut selesai akan dimanfaatkan pula oleh
masyarakat14. Namun demikian, mengacu pada asas hukum saja tentu tidak cukup
karena dala kenyataannya dalam tataran pelaksanannya, pengadaan tanah untuk
kegiatan migas cukup kompleks.
Kompleksitas permasalahan tersebut nampak pada upaya memperoleh tanah.
Dalam UU No 22 tahun 2001 tentang migas, pasal 33 menegaskan bahwa kegiatan
13
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996: hlm
5.
14
Ida Nurlinda, Konflik dan/atau sengketa dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum Pasca Berlakunya UU No, 2 tahun 2012, Universitas Airlangga, Surabaya, 27 September
2012: him. 2
51
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
usaha migas yang dilakukan di wilayah hukum pertambangan Indonesia, yang hak
atas wilayah kerjanya meliputi kandungan bumi, tidak termasuk didalamnya hak
atas (kerak) bumi. Mengingat lokasi/titik pembangunan infrastuktur migas sulit
untuk dipindahkan, maka perusahaan migas yang akan melaksanakan kegiatannya,
dapat memindahkan bangunan, tempat umum, sarana dan prasarana umum yang
ada diatasnya, dengan syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari instansi
pemerintah yang berwenang, karena hal ini merupakan fasilitas yang disediakan
pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas dan mempunyai fungsi sosial,
seperti jalan, pasar, tempat pemakaman, taman, dan tempat ibadah. Sementara itu,
khusus untuk pemakaman, tempat yang dianggap suci dan tanah milik masyarakat
adat, sebelum meminta izin dari instansi pemerintah yang berwenang, perlu terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari masyarakat setempat (masyarakat adat).
Selanjutnya jika perusahaan migas akan menggunakan bidang-bidang atas
tanah seseorang atau tanah negara yang berada dalam wilayah kerjanya, maka
perusahaan migas tersebut wajib untuk terlebih dahulu menyelesaikan hak atas itu
dengan pemegang hak tas tanahnya, atau dengan pemakaian tanah diatas tanah
negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan
cara musyawarah dan mufakat dengan cara jual-beli, tukar-menukar ganti rugi yng
layak, pengakuan atau bentuk lainnya kepada pemegang hak atau pemakaian tanah
diatas tanah negara. pengakuan dalam hal ini dimaksudkan sebagai pengakuan atas
adatnya hak ulayat jika tanah itu merupakan tanah masyarakat hukum adat, dan
penyelesaiannya pun dilakukan berdasarkan atas hukum adat yang berlaku bagi
masyarkat hukum adat yang bersangkutan. Dengan dmikian, penyelesaian hak-hak
atas tanah yang dibutuhkan oleh perusahaan migas dilakukan dalam koridor rezim
hukum perdata. Baik pemilik tanah maupun perusahaan migas berlaku sebagai
subyek-subyek hukum perdata yang melakukan perbuatan – perbuatan hukum
dalam hal jual-beli tanah.
Dalam kenyataannya, ketentuan-ketentuan usaha migas yang terkait dengan
aspek pertanahan, yaitu yang tertera pada pasal 33 sampai dengan pasal 37 UU
Migas, tidaklah mudah untuk dilaksanakan. Ketentuan pasal 37 UU Migas yang
menyatakan akan adanya peraturan pemerintah (PP) mengenai tata-cara
52
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
penyelesaian penggunaan tanah hak atau tanah negara yang dipergunakan untuk
usaha/kegiatan migas, hingga saat ini belum juga ada. Dengan demikian uusan
pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas selalu menemui
hambatan dan kendala misalnya pemegang hak atas tanah yang bersikukuh tidak
mau melepaskan hak atas tanahnya, permintaan harga tanah (ganti kerugian) yang
tidak wajar, pemblokiran akses masuk ke lokasi kegiatan migas dsb, sehingga pada
akhirnya mengganggu kegiatan operasi migas itu sendiri.
Untuk mengatasi permasalahan ini lah, kemudian pemerintah berinisiatif
memasukkan kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas ke
dalam kategori kepentingan umum, sehingga pengadaan tanahnya dilakukan oleh
pemerintah secara langsung, bukan oleh perusahaan-perusahaan migas. Dengan
asumsi bahwa jika dikategorikan sebagai kepentingan umum, maka pengadaan
tanah akan jauh lebih mudah dan lancar.
Dalam pasal 12 ayat (1) UU Pengadaan Tanah ditegaskan bahwa
pembangunan untuk kepentingan umum (termasuk untuk pembangunan
infrastruktur migas) wajib diselenggarakan oleh pemerintah, dan dapat bekerja
sama dengan BUMN, BUMD ataupun badan usaha swasta. Dengan demikian,
untuk usaha kegiatan migas meskipun pada awalnya dlakukan oleh pemerintah,
namun dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak swasta yaitu
perusahaan-perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha migas. Untuk itu, UU
No 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum di tindaklanjuti
oleh peraturan presiden (perpres) no 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan
pengadaan tanah bagi pemmbangunan untuk kepentingan umum. Peraturan
pelakasanaan UU No 2 tahun 2012 memang tidak dibuat dalam bentuk Peraturan
Pemerintah, karena diharapkan pada kenyataannya di lapangan, tidak banyak
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut. Kalaupun terdapat peraturan
pelaksana, maka peraturan pelaksana tersebut diharapkan hanya merupakan aturan
yang memuat hal-hal yang teknis secara komprehensif.
Selanjutnya dalam tataran peraturan teknis perpres no 71 tahun 2012 tersebut
di tindaklanjuti oleh peraturan kepala BPN (perbankan) no 5 tahun 2012 tentang
petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan tanah; dan terkait dengan pembiayaannya
53
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
di tindaklanjuti oleh peraturan menteri dalam negeri (PMDN) no 72 tahun 2012
tentang buaya operasional dan biaya pendukung penyelenggaraan pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD); serta di tindaklanjuti juga oleh peraturan
menteri keuangan (PMK) no 13/PMK.02/2013 tentang biaya operasional dan biaya
pendukung penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN).
E. Alternatif Solusi Pembangunan Infrastruktur Migas Agar Sejalan dengan
RTRW Suatu Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah
Dalam pasal 1 angka 5 UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang,
ditegaskan bahwa penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hakekat
pengaturan penataan ruang adalah untuk mengharmoniskan lingkungan alam dan
lingkungan buatan yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan, serta memberikan perlindungan terhadap fungsi
nuang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat
pemanfaatan ruang. Dengan hakekat tersebut, maka penyelenggaraan penataan
ruang ditujukan untuk mewujudkan terciptanya ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman. produktif dan berkelanjutan. Sejalan dengan arah tersebut di atas, Pasal 2
PP No. 15 Tahun 2010 tentang. Penyelenggaraan Penataan Ruang, menjelaskan
bahwa pengaturan penataan ruang perlu diselenggarakan untuk:
a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang;
b. Memberikan kepastian hukum bagi seluruh pemangku kepentingan dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan kewajibannya dalam
penataan ruang dan
c. Mewujudkan keadilan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh
aspek penyelenggaraan penataan ruang
54
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Dalam literatur-literatur hukum, ketertiban, kepastian hukum dan keadilan
merupakan tujuan hukum. Untuk terwujudnya hukum yang ideal, maka hukum
harus memenuhi ketiga tujuan hukum ini, meskipun pada kenyataannya antara
ketiga tujuan hukum ini seringkali bertolak belakang. Tujuan hukum tidak dapat
dilepaskan dari tujuan akhir dari kehidupan bermasyarakat, yang tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup suatu
masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan15. Dengan demikian
dalam hal penataan ruang, penyelenggaraannya perlu diatur dalam bentuk hukum
agar terwujud keertiban, kepastian dan keadilan dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan nang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Setiap orang maupun badan hukum merupakan subyek hukum, untuk itu
perlu terlibat secara aktif dalam proses penataan ruang. Baik orang tersebut sebagai
bagian
dari
masyarakat,
sebagai
pengusaha
maupun
sebagai
Pemerintah/Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan penataan
ruang diatur hak, kewajiban dan peran dari masyarakat tersebut. Dalam Pasal 60
UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang ditegaskan bahwa hak setiap orang
dalam penyelenggaraan penataan ruang. Di samping hak-hak tersebut, Pasal 61 UU
No. 26 tahun 2007 menegaskan bahwa setiap orang mempunyai kewajiban dalam
penyelenggaraan penataan ruang, yaitu:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan
sebagai kewajiban setiap orang/subyek hukum untuk memiliki izin
pemanfaatan ruang dari instansi yang berwenang menerbitkan izin sebelum
pemanfaatan ruang dilaksanakan.
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang.
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang
15
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hrukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000: hlm. 52
55
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
Kewajiban-kewajiban di atas membawa konsekuensi hukum jika terjadi
pelanggaran atas hal tersebut. Dalam hal ini, sanksi yang diberikan oleh Pasal 62 jo
Pasal 63 UU Penataan Ruang adalah sanksi administratif. Sanksi administratif
tersebut dapat berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan,
penghentian sementara pelayanan umum, penutupan lokasi pencabutan izin,
pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi ruang, dan/atau denda
administratif16. Sanksi-sanksi tersebut pengenaannya dapat diterapkan baik secara
alternatif maupun kumulatif dari berbagai altematif sanksi administratif di atas.
Pengenaan sanksi administratif harus ditetapkan berdasarkan kriteria besar atau
kecilnya dampak yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan nuang, nulai
manfaat pemberian sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran penataan ruang,
dan/atau kerugian publik yang ditimbulkan akibat pelanggaran penataan ruang17.
Penetapan kriteria tersebut penting ditentukan agar sanksi administratif dapat
berdampak pada timbulnya ketertiban kepastian hukum dan sekaligus keadilan
dalam pemanfaatan ruang wilayah di Indonesia Pengenaan sanksi administrasi pada
kewajiban yang tertera pada Pasal 61 UU Penataan Ruang merupakan kaidah dasar
bagi semua subyek hukum yang melakukan hubungan hukum terkait dengan
pemanfaatan ruang. Berbagai kewajiban yang dibebankan kepada subyek hukum
sebagaimana tertera pada Pasal 61 UU Penataan Ruang seyogianya memperhatikan
pula berbagai peraturan perundang-undangan yang materi muatannya terkait
dengan kewajiban dalam hal pemanfaatan ruang.
Arahan-arahan penyelenggaraan penataan ruang tersebut di atas pun tentunya
harus berlaku pula pada kegiatan penyelenggaraan penataan ruang di bidang
pembangunan mdustri migas. Kegiatan industri migas sangat berpotensi pada
16
Lihat Pasal 63 UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo Pasal 182 ayat (3) PP No 15
tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
17
Pasal IE7 PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelengaraan Penataan Ruang
56
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
keseimbangan fungi pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam
sekitarnya. karena sangat berpotensi berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan di sekitar pembangunan infrastruktur migas; bahkan seharusnya kaidahkadiah perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lebih diperhatikan
dibanding dengan kegiatan-kegiatan pemanfaatan ruang lainnya. Namun dalam UU
Pengadaan
Tanah,
kaidah-kaidah
penataan
ruang
ini
dimungkinkan
dikesampingkan dalam hal pembangunan infrastruktur migas. Sesuatu yang pada
hakekatnya bertentangan dengan kewajiban pemanfaatan ruang itu sendiri
sebagaimana telah ditegaskan pada Pasal 61 UU Penataan Ruang.
Pasal 7 ayat (I) UU No. 2 tahun 2012 menegaskan bahwa pengadaan tanah
bagi pembangunan untuk kepentingan umum harus dilakukan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Pembangunan Nasional/Dacrah. Rencana
Strategis dan Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah. Ketentuan ini
sudah sejalan dengan arahan kaidah-kaidah yang terdapat dalam UU No. 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang. Namun Pasal 7 ayat (2) UU No. 2 tahun 2012
tersebut melemahkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No 2 tahun 2012 dengan
menyatakan bahwa jika pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum itu berupa pembangunan untuk infrastruktur migas (kegiatan eksplorasi,
eksploitasi, transmisi, dan/atau distribusi), maka pengadaan tanahnya cukup
dilakukan sesuai dengan Rencana strategis dan Rencana Kera Instansi yang
membutuhkan tanah saja. Dengan kata lain, tidak perlu memperhatikan
kesesuaiannya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan/atau Rencana
Pembangunan Nasional/Daerah. Oleh pembuatan peraturan UU No. 2 tahun 2012,
hal tersebut didasarkan atas pemikiran dan pertimbangan bahwa karakteristik
kegiatan migas mengandung unsur ketidak-pastian yang sangat tinggi. Kebutuhan
tanah untuk kegiatan pembangunan infrastruktur migas seperti eksplorasi,
eksploitasi, transmisi dan/atau distribusi migas, tidaklah dapat ditentukan secara
pasti lokasinya sejak awal, sehingga membutuhkan fleksibelitas dalam perencanaan
untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pengendalian migas sebagai sumber alam
serta sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan sekaligus vital sebagai
sumber devisa Negara.
57
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Dalam kerangka sistem hukum Indonesia, UU No. 2 tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum jelas menabrak
prinsip hukum sebagai suatu sistem18, karena substansi Pasal 7 ayat (2) UU No. 2
tahun 2012 bertentangan dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
khususnya ketentuan mengenai kewajiban dalam hal pemanfaatan ruang
sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penataan Ruang, dengan ancaman sanksi
administratif bagi barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut bahkan Pasal 69
UU Penataan Ruang memungkinkan penerapan sanksi pidana atas tindakan tidak
mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sehingga mengakibatkan
perubahan fungsi nuang Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 3
tahun dan denda maksimal Rp 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah). Dapatkah
ancaman sanksi administratif dan/atau ancaman sanksi pidana atas kewajiban
penaatan ruang tersebut diperkecualikan bagi pembangunan infrastruktur migas?
Tentu tidak mudah menerima logika berfikir hukum seperti demikian karena pada
hakekatnya dalam ketentuan hukum, perkecualian haruslah dihindarkan.
Dalam pemahaman hukum sebagai suatu sistem, tentu pengecualian demikian
tidakah dapat dibenarkan setiap pengecualian atas suatu sistem hukum dapat
berakibat sistem hukum itu menjadi tidak ajeg, padahal suatu sistem hukum harus
konsisten Ketidak-ajegan dalam suatu sistem hukum, justru harus dihindari. Sistem
hukum merupakan satu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem
yang lebih kecil, yang pada hakikatnya merupakan suatu sistem yang tersendiri
pula19. Diantara sub sub sistem itu tidak boleh berkonflik, tidak boleh bertentangan.
Dengan demikian, dalam sistem hukum Indonesia, antara sub sistem hukum agraria
(dalam hal ini sub sistem hukum pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
18
Maria S.W. Sumardjono, Anatomi UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tinjauan Filosofis, Yuridis dan Sosiologis; makalah
pada Seminar Mengulas UU No. 2 tahun 2012 dalam Relevansinya dengan Perkembangan Migas,
Yogyakarta, 28 Maret 2012: hlm 2
19
Lili Rasjidi dan LB Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu sistem, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2003: hlm 151
58
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
kepentingan umum) tidak boleh bertentangan dengan sub sistem hukum penataan
ruang.
Permintaan kekhususan dari para pelaku di bidang industri migas dalam hal
pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur migas, di satu sisi memang
dapat difahami. Namun di sisi lain, pelanggaran atas keutuhan suatu sistem hukum
juga sesuatu yang harus dihindari demi terciptanya sistem hukum nasional yang
harmonis. Untuk itu, sebenarnya UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
membuka pintu akan adanya mekanisme peninjauan kembali atas suatu rencana tata
ruang, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 26 tahun 2007. Ketentuan Pasal
16 tersebut memungkinkan suatu rencana tata ruang untuk ditinjau kembali, dengan
rekomendasi berupa rencana tata ruang yang telah ada perlu direvisi, atau rencana
tata ruang yang ada dapat tetap berlaku sesuai dengan masa berlaku yang telah
ditetapkan, yaitu masing-masing 20 tahun untuk Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan untuk Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Jika atas suatu rencana tata ruang yang ada itu
berdasarkan peninjauan kembali perlu direvisi, maka UU Penataan Ruang
menegaskan peninjauan kembali tersebut dalam kurun waktu 1 kali dalam 5 tahun.
F. Penutup
Masuknya kegiatan pembangunan untuk infastruktur migas ke dalam kategori
kepentingan umum, secara logika hukum dapat dibenarkan, sepanjang untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari asas penguasaan
sumber daya alam (termasuk migas) oleh Negara. Untuk itu asas-asas hukum dalam
UU Migas perlu diselaraskan dengan asas-asas hukum dalam UU Pengadaan Tanah
demi memudahkan, memperlancar dan mewujudkan akuntabilitas dan transparansi
dalam proses pengadaan tanah itu sendiri. Mengingat sifat pengadaan tanah pada
kegiatan migas yang segera dan situasional.
Terkait dengan penataan nuang. Pasal 7 ayat (2) UU Pengadaan Tanah pada
shakekatnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 61 UU No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Hal ini terkait dengan ketentuan bahwa pengadaan tanah
untuk pembangunan infrastruktur migas tidak perlu memperhatikan Rencana Tata
59
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Ruang Wilayah dan Rencana Pembangunan Nasional/Daerah. Hal ini jelas
bertentangan dengan keutuhan hukum sebagai suatu sistem. Solusi untuk
mengatasinya adalah dengan menggunakan mekanisme peninjauan kembali
rencana tata ruang.
DAFTAR PUSTAKA
Anatomi UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, Tinjauan Filosofis, Yuridis dan sosiologis, makalah pada
Seminar Mengulas UU No. 2 uhun 2012 dalam Relevansinya dengan
Perkembangan Migas. Yogyakarta, 28 Maret 2012
Deputi bidang Umum BP Migas. Pengadaan Tanah pada Kegiawrn Unaha Hubu Migas,
Makalah pada Rapat Koordinasi Perunahan BP Migas-KKKS. Yogyakarta 17
April 2012
Ida Nurlinda, Konflik daniatau sengketa dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Umum. Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum Pasca No tahun 2012, Universitas Airlangga, Surabaya, 27
September 2012
Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria. Penerbit LoGoz
asama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fak Hukum
Unpad, Bandung, 2013
Lili Rasjid, Lili dan L B. wryasa Putra, Hukan sebagai suatu sisum, Mandar Maju. cetakan
ketiga, Bandung, 2003
Maria s w. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan implementasi,
Kompas, Jakarta, 2005
Memaknai Kembali Memaknai Kembali Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan Tindak Lanjutnya, Kuliah inagurasi
60
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
sebagai Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta 3 September
2013
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hakum Sian Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum. Penerbit Alunni, Bandung, 2000
Muhammad Bakri, Pengakuan semu Hak Ulayat dalam Hukum Agruria Nasional.
Makalah pada Semiloka Nasional "Konflik Perkebunan: Mencari solusi yang
Berkeadilan dan Mensejahterakan Rakyat Kecil", FH Unibraw Malang, 24-25 Mei
2012
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1996
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan sejarah, Kanisius, Jakarta, 1982
Widjajono Partowidagdo, Migas dan Energi di Indonesia: Permasalahan dan Analisis
Kebijakan, Development Studies Foundation Pertamina, Jakarta, 2009
61
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Akuntabilitas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Fungsi Legislasi
(Studi Terhadap DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis)
Inna Junaenah, S.H., M.H.1, Rahayu Prasetyaningsih, SH., M.H2., Aisyah
Ramadhania
Abstrak
Peraturan Perundang-undangan menempatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai badan representasi yang menjadi unsur pemerintahan daerah. Di antara
fungsi yang dimilikinya adalah fungsi legislasi. Citra yang berkembang saat ini adalah
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada
Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah. Hal ini perlu dibuktikan dengan mengambil
contoh pencapaian produktifitas pembentukan peraturan daerah dari pengalaman
beberapa Kabupaten Ciamis dan Kota Bandung. Pencapaian produktifitas tersebut tidak
saja berhenti pada pemetaannya, melainkan adalah menelusuri apa landasan pemikiran
fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu adalah perlu digali apa saja faktorfaktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi.
Untuk menjawab demikian, dilakukan pendekatan penelusuran dan analisa terhadap
peraturan perundang-undangan. Selain itu dilakukan pula verifikasi terhadap beberapa
hal mengenai inisiatif DPRD dalam mengajukan Raperda. Penelitian menunjukkan
bahwa landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota adalah
berdasarkan pada pendekatan fungsi legislasi pada suatu elected representative dan
akuntabilitas. Dalam pendekatan ini walaupun terdapat dinamika peran wakil rakyat
dalam rangka hubungannya dengan yang diwakili, namun keterwakilannya dapat
1
2
Penulis merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
Penulis merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
62
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
"ditagih". Sementara itu dari pendekatan landasan akuntabilitas diperoleh suatu deskripsi
bahwa akuntabilitas DPRD digolongkan menjadi akuntabilitas secara kolektif dan
akuntabilitas secara individu. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang akuntabilitas
anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi, terlebih dahulu sorotan utama
pada DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis dalam penelitian ini, baru dapat
terekam terhadap jumlah produk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka
pelaksanaan fungsi legislasi. Melihat inisiatif DPRD yang dicontohkan di Kota Bandung
dan Kabupaten Ciamis masih di bawah 50 persen dari keseluruhan Perda yang ditetapkan
pada periode 2009-2014 ini. Adapun pengungkapan komposisi latar belakang yang
berasal dari profil singkat masing-masing masih berada di permukaan saja untuk melihat
dan mengukur akuntabilitas anggota DPRD secara individu. Atas dasar itulah dalam
penelitian ini masih menyisakan kelemahan yang barangkali dapat diperkaya oleh
peneltian-penelitian berikutnya Akuntabilitas secara individu perlu lebih jauh ditelusuri
untuk diketahui sampai bagaimana pola rekruitmen dan kemungkinan ideal anggota
DPRD dalam menjaga moral dan etika penyelenggaran negara.
Keywords: Akuntabilitas. DPRD
A. Pendahuluan
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan negara pada umumnya ditujukan pada
sejauh mana kineria pemerintahan dalam arti sempit dapat mempertanggungjawabkan
kewajibannya, yang disampaikan kepada organisasi eksternalnya seperti auditor,
legislatif, atau publik secara meluas. Namun demikian dalam hal ini akuntabilitas
hendak digali dari suatu badan yang justru merepresentasikan rakyat, dalam hal ini
DPRD, untuk menerima pertanggungjawaban kineria dari Kepala Daerah. UndangUndang Pemerintahan Daerah memosisikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Dengan kedudukan demikian,
terdapat hak rakyat untuk memperoleh akuntabilitas dari wakil-wakil yang
mewakilinya sehingga keterwakilannya bukan merupakan suatu perwakilan yang
"buta" dari pertanggungjawaban.
63
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Baik dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah3 maupun dalam Undang
Undang MD34, ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Dari kedudukannya sebagain
lembaga perwakilan rakyat dan unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah,
terutama fungsi legislasi dijabarkan ke dalam tugas dan wewenang DPRD untuk
membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan
bersama. Dengan berbagai ketentuan demikian, bagi suatu lembaga perwakilan
rakyat, fungsi, tugas dan wewenang, dan hak dan kewajiban tersebut lebih terukur
untuk melihat akuntabilitas kinerja DPRD.
Bagaimana contoh pencapaian produktifitas pembentukan peraturan daerah?
Dari pengalaman beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat ditunjukkan bahwa
Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada
Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah5. Hal ini pun didorong oleh program
legislasi daerah yang untuk Kabupaten/Kota di Jawa Barat selama periode 2009-2014,
terdapat tidak kurang dari 10 (sepuluh) Raperda setiap tahunnya. 6 Kota Bandung
termasuk yang cukup sedikit mengajukan Prolegda, rata-rata sekitar 10-15 Raperda,
sedangkan daerah yang termasuk paling banyak pengajuannya adalah Kabupaten
Ciamis, yakni sekitar 22 Rancangan.7 Bagaimanapun, akurasi terhadap pemetaan
perbandingan tersebut harus digali dan dielaborasi lebih jauh dalam penelitian.
Elemen ini pun bertambah penting dengan pendekatan Persentase jumlah
perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD terhadap jumlah total perda yang
dihasilkan sebagai salah satu indikator dalam Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 8.
3
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Tentang Majelis
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Dan Dewan Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Perwakilan Rakyat Daerah, sering disebut UU
MD3 HAM
5
Ma'mun, Diskusi informal. Bagian Fasilitasi Perundang-undangan Biro Hukum dan sekretariat Daerah
Provinsi Jawa Barat, 12 Juli 2013
6
Ibid.
7
Ibid.
Maswadi Rauf (et al), Menakar Demokasi di Indonesia. Indeks Demokrasi Indonesia 2009,UNDP
Indonesia, 2011. hlm. 28
8
64
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Sebagai alah satu aspek kelembagaan dalam IDI, peran DPRD ini didasar pada
pemikiran bahwa "civil liberties dan political rights sebagai pilar dari konsep
demokrasi tidak mungkin akan dapat teraktualisasikan secara maksimal tanpa
didukung oleh lembaga-lembaga demokrasi.”9
Dalam tulisan ini hendak diajukan pertanyaan mengenai: Apa landasan
pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota? Apa saja faktor-faktor
penunjang akuntabilitas anggota DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi pertanyaan
yang demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk legislasi? Atas mengemukakan
landasan
pemikiran
fungsi
legislasi
oleh
DPRD
Kabupaten/Kota
dan
mengidentifikasi kualifikasi anggota DPRD dan merumuskan akuntabilitas anggota
DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi.
Menginspirasi tulisan ini, telah ada hasil penelitian terdahulu yang menjadi
bahan utama, yaitu Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang.
Akuntabilitas Penyelenggara Negara, yang disusun oleh Susi Dwi Harijanti beserta
Tim. Dalam NA ini dikemukakan bahwa akuntabilitas badan perwakilan harus
berbeda dengan akuntabilitas lembaga ekskutif maupun yudikatif. Yang cukup
mendasari perbedaan tersebut adalah bahwa mekanisme akuntabilitas
kinerja
menurut Susi Dwi Harijanti dkk. sebenarnya dapat lebih mudah karena hal tersebut
dapat dijalankan sehari-hari.10
Untuk memosisikan suatu persepsi, dari NA ini dikemukakan penggolongan
akuntabilitas dari Bovens berdasarkan the nature of forum the natur of actor, the
nature of conduct, dan the nature of obligation. Berikut diuraikan:
1) Based on the nature of the forum (to whom is account to be rendered: the
problem of many eyes)
9
Ibid., hlm. 20
10
Susi Dwi Harijanti dkk. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Akuntabilitas Arena
Penyelenggara Negara, Kerja sama antara Kedeputian Bidang Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hlm, I45
65
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
ï‚·
Political accountability (elected representatives, political parties, voters
media)
ï‚·
Legal accountability (courts)
ï‚·
Administrative accountability (auditors, inspectors, and controllers)
ï‚·
Professional accountability (professional peers)
ï‚·
Social accountability (interest groups, charities and ther stakeholder
2) Based on the nature of the actor (the problem of many hands)
ï‚·
Corporate accountability (the organisation as actor)
ï‚·
Hierarchial accountability (one for all)
ï‚·
Collective accountability (all for one)
ï‚·
Individual accountability (each for himself)
3) Based on the nature of the conduct
ï‚·
Financial accountability
ï‚·
Procedural accountability
ï‚·
Product accountability
4) Based on the nature of the obligation
ï‚·
Vertical accountability
ï‚·
Diagonal accountability
ï‚·
Horizontal accountability”.11
Berdasarkan penggolongan di atas, dilihat dari hakikat forumnya (based on
the nature of the forum), akuntabilitas DPRD termasuk akuntabilitas politik. Hal ini
sejalan dengan pencantuman variabel peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai salah satu komponen dalam rangka penilaian Indeks Demokrasi
Indonesia 2010. Dikatakan Maswadi Rauf dkk. Bahwa pentingnya efektifivitas
pelaksanaan fungsi parlemen/DPRD dalam rangka konsolidasi demokrasi adalah
"karena parlemen merupakan representasi kedaulatan rakyat untuk
mewujudkan supremasi kekuasaan sipil. Parlemen yang efektif, yakni yang
11
Susi Dwi Harijanti dkk. Naskah Akademik, Ibid. hlm. 12-13
66
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
memprioritaskan kepentingan masyarakat, diindikasikan oleh antara lain adanya
tingkat partisipasi dan kontestasi politik yang tinggi; berjalanya mekanisme check and
balance akuntabilitas politik yang tinggi; dan adanya hubungan yang kuat antara
politisi dengan konstituen”12
Kedua, dilihat dari hakikat pelakunya (based on the nature of the actor)
akuntabilitas DPRD termasuk kepada Corporate accountability (the organisationas
actor). Penggolongan tersebut didekati dan fungsi legislasi sebagai fungsi utama
kelembagaan DPRD. Fungsi ini di antaranya ditegaskan bahwa DPRD memiliki
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan13. Sebagai pelaksanaan fungsi ini, DPRD
mempunyai tugas dan wewenang yang ditegaskan dalam UU Pemerintahan Daerah
yaitu "a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat
persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD
bersama dengan kepala daerah14; serupa dengan rumusan demikian, dalam UU MD3
disebutkan pula bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas dan wewenang a)
membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota. b) membahas
dan memberika persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;15
Ketiga, dilihat dari hakikat apa yang dilaksanakan (based on the nature of the
conduct), akuntabilitas DPRD termasuk Product accountability. Jika melihat
keberadaan produk legislasi saja, dapat berarti suatu Perda merupakan inisiatif
eksekutif ataupun Dewan, sepanjang melalui proses pembahasan dan persetujuan
DPRD. Bagaimanapun hal ini dapat diperkuat dengan penggunaan persentase jumlah
12
Maswadi Rauf, Indeks Demokrasi Indonesia 2010, Kebebasan Yang Bertanggungjawab hlm. 29
diunduh dari Substansial sebuah Tantangan, http://www.undp.or.id/pubs/docsIDI%202010.pdf
26/11/2013 14:59:46
13
Pasal 41 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 292 dan Pasal 343 ayat (1)
UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
14
15
Pasal 42 ayat 1
Pasal 344 ayat (1) UU MD3
67
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD terhadap jumlah total perda yang
dihasilkan sebagai Indikator 21 dari Indeks Demokrasi Indonesia16.
Keempat, dilihat dari hakikat kewajiban (based on the nature of the
obligation), akuntabilitas DPRD termasuk termasuk horizontal accountability DPRD.
Pemahaman mengenai akuntabilitas horizontal ini memiliki dua sisi, yaitu dalam
rangka hubungan dengan Kepala Daerah dan dengan konstituen. Dalam arti kerangka
hubungan DPRD dengan Kepala Daerah dilihat dari pengertian normative bahwa
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.17 Di samping itu, pengertian pemerintahan daerah itu sendiri
dalam
UU
Pemerintahan
Daerah
adalah
"Pemerintahan
daerah
adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan”.18 Kesetaraan hubungan DPRD dengan Kepala
Daerah turut juga dapat memunculkan keharusan akuntabilitas ecara horizontal untuk
dapat saling mengontrol dan mengimbangi.
B. Fungsi Legislasi Dan Akuntabilitas Badan Representasi
Rousseau berpandangan bahwa Negara bertahan hidup tidak oleh hukum atau
undang-undang, tetapi oleh kekuasaan legislative.19 Badan pembuat undang undang,
yaitu legislatif, dipilih dan dibentuk oleh masyarakat walaupun dipandang
mempunyai kekuasaan tertinggi, ia tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap
hidup dan nasib orang-orang yang bersekutu dan tidak pula ia boleh menyerahkan hak
legislatif yang diperoleh dari masyarakat tadi kepada pihak lain.20
Yang menjadi esensi dari pemikiran di atas adalah bahwa suatu badan
representasi rakyat memegang peran untuk membentuk hukum, yang dalam batasan
materi tertentu dapat diklasifikasikan sesuai dengan tingkatan satuan pemerintahan.
Misalnya, dalam konteks negara kesatuan yang diakui sebagai badan legislasi hanya
16
Maswadi Rauf, Indeks Demokrasi Indonesia 2010, op cit, hlm 33
Pasal 1 Angka 4 UU No. J2 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
18
Pasal 1 Angka 2 UU No 32 Tahun 2004
19
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Penanjian Sosial), diterjemahkan ke dalama Inggris
dengan judul The Social Contract or Principles of Political Rights oleh G.D.H. Cole dan diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero, penyunting. Nino, Cet.1, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm.151
20
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Edisi Revisi Cetakan VI, Mizan, Noer, Bandung,
2000, hlm. 121.
17
68
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
ada satu, yaitu parlemen pada pemerintah pusat, sedangkan pada satuan pemerintahan
di bawahnya bukan merupakan lembaga legislasi, karena merupakan bagian dari
unsur pemerintahan daerah. Maka dari itu materi pembentukan hukumnya memiliki
batasan tertentu,
Yang tidak kalah sentral ketika membicarakan hubungan antara rakyat dengan
wakilnya adalah fungsi legislasi yang dimiliki oleh suatu badan perwakilan Gilbert
Abcarian, yang dikutip oleh Eddy Pumama mengemukakan teori yang mengenai
empat macam tipe hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya, yaitu:
a. Si wakil bertindak sebagai "wali" (trustee), Diartikan bahwa si wakil bebas
bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangan sendiri tanpa
perlu berkonsultasi dengan yang diwakilinya.
b. Si wakil bertindak sebagai utusan" (delegate). Dalam hal ini si wakil dalam
melakukan tugasnya selalu mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang
diwakilinya
c. Si wakil bertindak sebagai "politico Menurut tipe ini si wakil kadang-kadang
bertindak sebagai wali (trustee) dan adakalanya bertindak sebagai utusan
(delegate). Tindakannya tergantung pada issue (materi) yang dibahas.
d. Si wakil bertindak sebagai "partisan". Dalam tipe ini si wakil bertindak sesuai
dengan keinginan atau program partai (organisasi) si wakil. Setelah si oleh
pemilihnya (yang diwakilinya), lepaslah hubungan dengan pemilih dan
mulailah dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan21
22
Teori tersebut mencerminkan suatu dinamika pelaksanaan penyerapan
kedaulatan rakyat. Di dalamnya perlu dicatat bahwa penting bagi rakyat yang diwakili
untuk "menagih" amanat kepada wakilnya, baik secara kolektif (kelembagaan)
maupun secara individual. Hal ini dikuatkan dengan catatan Rousseau bahwa
"walaupun telah menyerahkan sebagian kekuasaannya, sekutu bersangkutan masih
terus mempunyai hak untuk menuntut berlakunya hukum ini''.23 Menyambung hal
21
Ibid., hlm. 13-14
Eddy Pumama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 12-13
23
Deliar Noer, Pemikiran... op cit, hlm. 3
22
69
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
tersebut Frans Magnis mengemukakan bahwa control para warga negara berlangsung
melalui dua sarana secara langsung melalui pemilihan para wakil dan secara tidak
langsung melalui keterbukaan (publicity) pemerintahan24
Di sinilah letak pentingnya akuntabilitas jika menghendaki suatu tatanan
masyarakat yang demokratis. Pengertian dari World Bank pun dapat ditambahkan
bahwa accountability is "ability or the "possibility" that some or something or counted
up”.25 Sederhananya, dalam pemahaman can be "accounted for yang paling sempit,
semua akuntabilitas pemerintahan menyiratkan keharusanuntuk mengkodifikasikan
ke dalam suatu pembukuan. Misalnya ketika membangun jalan tol sekian kilometer,
berapa banyak biayanya. Dengan demikian akuntabilitas bagi suatu badan
representasi sangat penting untuk menjaga kualitas fungsinya dan untuk memantau
bahwa amanat yang diwakilinya terlaksana. Indikasi-indikasi kualitas yang demikian
dibutuhkan dilihat dari hubungan representasi, seperti teori mandat atau teori
perwakilan.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas, akuntabilitas dari suatu badan
representasi tercermin dari dua aspek yaitu secara kolegial dan secara individu.
Pertama secara kolegial badan representasi yang memiliki fungsi legislasi
dituntut akuntabilitasnya berupa produk hukum yang dihasilkan. Hal itu seharusnya
yang lebih mudah diidentifikasi untuk melihat apakah badan representasi tersebut
bekerja melalui penyelenggaraan pembahasan rancangan produk hukum. Kedua,
secara individu anggota suatu badan representasi perlu diminta akuntabilitasnya
sepanjang dalam rangka menjalankan tugas dan wewenang. Bagaimana Misalnya,
peran aktif seorang anggota council dalam menuangkan gagas ketika membentuk
produk legislasi. Yang minimal adalah bagaimana paling prosentasi kehadirannya
dalam sidang-sidang pembahasan.
24
Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm 291
World Bank, Social Accounttability in the Public Sector, The Intemational Bank for Reconstruction
and DevelopmentThe World Bank, Washington-USA, 2005, hlm. 4
25
70
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
C. Pengaturan dan Potret Akuntabilitas DPRD Kota Bandung dan Kabupaten
Ciamis
1. Pengaturan Akuntabilitas DPRD
Beragamnya jenis akuntabilitas kinerja dalam peraturan perundangundangan menyebabkan banyaknya mekanisme dan bentuk akuntabilitas
kineria lembaga penyelenggara negara yang ada.26 Hal ini menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
mekanisme
akuntabilitas
kinerja
lembaga
penyelenggara yang sudah diatur tidak mencerminkan akuntabilitas kinerja
kepada publik.27 Berdasarkan hal itu Kedeputian Pengawasan dan
Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
(PAN) menyusun Naskah Akademik RUU Akuntabilitas Penyelenggara
Negara Menambahkan pandangan di atas, secara hirarkis dapat dilihat pula
beberapa ketentuan yang mengarah pada kebutuhan akuntabilitas. Dari
ketentuan Pasal 18 UUD 1945 sebelum dan sesudah Perubahan di antaranya
ditemukan kemungkinan suatu DPRD memiliki fungsi legislasi, yaitu dari
unsur 1) otonom, 2) dibentuk badan perwakilan daerah; dan 3) sendi
permusyawaratan.28
Pencantuman
ketentuan
dasar
mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demikian ternyata telah
diekspresikan ke dalam suatu komitmen secara intemasional pada Tahun
1993. International Union of Local Authority (IULA) telah menyatakan
suatu deklarasi bahwa hak dan kewajiban pemerintah daerah "to regulate
and manage public affairs” demi kepentingan masyarakat di daerahnya.29
26
Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik ..., op.cit., hlm. 168.
27
Ibid., hlm. 169.
Ali Abdurahman, Inna Junaenah, dan Rahayu Prasetianingsih, Aspek dan Variabel Indeks otonomi
Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18, 18A, dan 18B Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan,
Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2012, hlm. 48
28
“International Union of Local Authority (IULA) Declaration: “Article 2 : Concept of local selfgovernment: 1. Local self-government denot right and duty of to and manage public affairs under their
own responsibility and in the interests of the local population.”
29
71
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Suatu representative bodies kemudian merupakan turunan dari pelaksanaan
hak otonomi tersebut, yang anggota-anggotanya dipilih secara periodic.30
Dalam rangka pelaksanaan hak untuk mengatur dan mengurus
itulah, suatu representative bodies memiliki fungsi legislasi.
Baik dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah31maupun dalam
Undang-Undang MD3332, ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Sebagai
cerminan dari fungsi legislasi pula, tugas tersebut diturunkan ke dalam hakhak anggota yaitu untuk a)mengajukan rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota; b) mengajukan pertanyaan c) menyampaikan usul dan
pendapat, dan d) terhadap imunitas.33
Selama menjalankan kewajibannya, anggota DPRD wajib mematuhi
kode yang berisi norma norma yang disusun oleh DPRD Kabupaten/Kota
itu sendiri. Norma-norma tersebut ditujukan supaya anggota DPRD terjaga
martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitasnya.34
Persyaratan seseorang untuk dapat diajukan sebagai calon anggota
DPRD baru dapat ditemukan dalam berbagai ketentuan di UU Pemilu.
Namun demikian, baik dalam UU Pemilu Tahun 200835 maupun UU
penggantinya, UU Nomor 8 Tahun 2012.36
Art 2 (2) : “this right shall be exercised by individuals and representative bodies freely eleted on a
periodical basis by equal, universal suffrage, and their chief executives shall be so elected or shall be
appointed with the participation of the eleted body.
30
31
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 TAHUN 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
sering disebut UU MD3.
33
Pasal 350 UU MD3 dan Pasal 44 UU Pemerintahan Daerah.
32
34
Pasal 377 UU MD3.
Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
36
Pasal 12 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
35
72
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Pengaturan yang mengkerucut mengenai keharusan akuntabilitas
dapat didekati dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (dalam Bab ini disebut UU Anti KKN). Mulai dari
ketentuan umum terdapat pengertian bahwa "Penyelenggara Negara adalah
Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif,
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”.37 Pengertian tersebut tidak konsisten dengan
ketentuan dalam berbagai Pasalnya. Misalnya, Pasal 2 tidak menyebutkan
secara eksplisit mengenai DPRD sebagai salah satu satu penyelenggara
negara, yang diharuskan menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara
dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan
tercela lainnya. Hanya saja kemungkinan tersebut dapat tercakup di
ketentuan angka 6, yaitu bahwa “... Pejabat negara yang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku"; dan Angka 7, yaitu
"Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan
Negara
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan yang berlaku". Di luar UU tersebut, ditemukan
penegasan DPRD sebagai salah satu penyelenggara pemerintahan daerah
secara khusus yaitu dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.38
Penegasan ini berkesinambungan dengan salah satu asas yang harus
dipatuhi baik dalam UU No. 28 Tahun 1999 Anti KKN39 maupun UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.40 Sebagai penguatan, dalam
Penjelasan UU No. 28 Tahun 1999 ditemukan bahwa "Yang dimaksud
dengan “Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
37
Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999.
Pasal 19 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
39
Pasal 3 angka 7 No. 28 Tahun 1999 tentang KKN.
40
Pasal 20 huruf g UU No. 32 Tahun 2004.
38
73
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku"
Sayangnya akuntabilitas DPRD tidak termasuk yang dieksplisitkan
dalam PP Nomor 3 Tahun 2007, khususnya laporan yang disampaikan
kepada pemerintah. Di dalamnya tidak menyebutkan misalnya keharusan
penyampaian pelaksanaan Prolegda, atau misalnya jumlah Perda yang
sedang dan sudah ditetapkan dalam tahun penyelenggaraan laporan.
Terdapat instrumen pengukuran yang lain yang secara terpisah dapat
ditelusuri lebih lanjut, misalnya EKPPD dan EKPOD yang dilakukan oleh
Kementerian Dalam Negeri.41 Hanya saja, kekurangan penelusuran
tersebut masih menjadi kekurangan dalam penelitian ini, karena tidak
termasuk dalam indikator yang dianalisis.
Walaupun masih dalam rancangan, asas akuntabilitas dalam RUU
Tentang Akuntabilitas Kineria Penyelenggara Negara dapat dijadikan
pendekatan singkat mengenai apa yang dimaksud dengan akuntabilitas,
terutama ketika menjelaskan pengertian asas akuntabilitas. Dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.42
RUU ini membedakan akuntabilitas kinerja di lingkungan kelembagaan
perwakilan rakyat dengan kelembagaan yudikatif serta kelembagaan
pemerintah.
41
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah selanjutnya disingkat EKPPD adalah suatu
proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan
daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Sementara itu, Evaluasi Kemampuan
Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang selanjutnya disingkat EKPOD, adalah suatu proses pengumpulan
dan analisis data sistematis terhadap kemampuan adalah aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum,
dan daya saing daerah. Kedua instrumen evaluasi tersebut berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Daerah.
42
Angka 7 Pasal 2 RUU Tentang Akuntabilitas Kineria Penyelenggara Negara, Draft RUU Akuntabilitas
..., op.cit.
74
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Akuntabilitas kinerja kelembagaan perwakilan rakyat dapat
diwujudkan dalam bentuk pemyataan, gagasan, usulan pemikiran, anggapan
atau pandangan atas suatu peristiwa, tanggapan atas aspirasi publik, dan
kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi.43 Dalam Penjelasannya dikatakan
kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi (dapat dicontohkan) berupa
keberhasilan DPR dalam mewujudkan Undang-Undang sebagaimana
diusulkan dalam program legislasi nasional.
Di ayat (2) dikehendaki bahwa perwujudan akuntabilitas kinerja
disajikan dalam bentuk laporan akuntabilitas kerja44 yang meliputi
akuntabilitas politik dan akuntabilitas manajerial.45 Pertama, akuntabilitas
politik dapat diwujudkan dengan pengungkapan pelaksanaan tanggung
jawab dan pencapaian kinerja.46 Kedua, akuntabilitas kinerja lembaga pada
aspek akuntabilitas manajerial dapat diwujudkan dengan pengungkapan
pencapaian kinerja dengan berbagai indikator kinerja yang menggambarkan
hasil.47 Akuntabilitas kerja tersebut lembaga perwakilan rakyat dengan
kedua lingkup wajib dilaksanakan oleh lembaga kepada publik dan lembaga
lainnya secara periodik.48
2. Potret Akuntabilitas DPRD Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis
Sebagaimana telah disebutkan di Bab awal, dari pengalaman
beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Barat ditunjukkan bahwa Rancangan
Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD lebih sedikit daripada
Raperda atas prakarsa Pemerintah Daerah.49 Terhadap keterangan
demikian pada Bagian ini akan dikemukakan pencapaian produktivitas
pembentukan peraturan daerah dari Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis
43
Pasal 12 ayat (1) RUU Akuntabilitas.
Pasal 12 ayat (2) RUU Akuntabilitas.
45
Pasal 13 RUU Akuntabilitas
46
Pasal 14
47
Pasal 15
48
Pasal 18
49
Ma'mun, Diskusi informal ... op.cit.
44
75
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
dalam pemetaan rata-rata produk Perda di Provinsi Jawa Barat dari masa
jabatan DPRD periode 2009-2014.
Dari situs Kementerian Dalam Negeri ditunjukkan beberapa daerah
dengan produktivitas Perda yang rendah (di bawah 20), sedang (20-40),
tinggi (40-80), dan tertinggi (di atas 80). Ternyata Kabupaten/Kota yang
menempati produktivitas Perda yang tertinggi ditunjukkan oleh Kota
Bandung (99 Perda) dan kabupaten bandung (99 perda). Sementara itu
kabupaten/kota yang menempati produktivitas perda yang rendah
ditunjukkan oleh kabupaten bekasi (11 perda), kota banjar (11 perda), dan
kabupaten cianjur (14 perda). Bagaimanapun, dapat dicatat bahwa
diasumsikan pada tahun pertama masa jabatan belum terdapat inisiatif
DPRD untuk membentuk Perda. Namun demikian hal itu dapat
direpresentasikan ke dalam bentuk-bentuk fungsi legislasi yang lainnya,
misalnya
terdapat
pembahasan
yang
didalamnya
memungkinkan
tereksplorasi gagasan-gagasan dan kehadiran. Berikutnya, akan dielaborasi
jumlah Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dibandingkan dengan
pencapaian penetapan serta sekilas keseluruhan profil anggota masingmasing DPRD.
Jumlah Perda di Kota Bandung yang berasal dari inisiatif DPRD
periode 2009-2014 dibandingkan dengan pencapaian penetapan DPRD
sejumlah 4 inisiatif dengan rincian:
2009
Jumlah Perda yang ditetapkan
99
Inisiatif DPRD
1
0
2010
29
2011 2012
2013
Jumlah
14
20
27
9
*
1
3
4
Dari keterangan di atas jelas bahwa jumlah produk Peraturan Daerah
di luar perkiraan sebelunnyaa. Walaupun diperoleh informasi bahwa pada
tahun 2013 Prolegda yang dirancang oleh Kota Bandung relatif paling
76
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
sedikit,secara keseluruhan pada masa periode 2009-2014 ini DPRD telah
membahas dan menyetujui Rapera dengan jumlah yang tertinggi se-Provinsi
Jawa Barat, untuk kemudian ditetapkan mencapai 99 Perda. Dari situasi ini
tampaknya aktivitas fungsi legislasi dalam bentuk aktivitas pembahasan dan
eksplorasi gagasan cukup tinggi. Secara kontras terdapat kenyataan lain
yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan inisiatif DPRD untuk
mengajukan Raperda sangat rendah, yaitu hanya 4 Perda. Pada tahun 2009
diasumsikan belum terdapat inisiatif DPRD dengan pertimbangan bahwa di
tahun pertama tersebut, belum disusun Prolegda hasil masa jabatan periode
ini. Dengan demikian, kalaupun diperhitungkan dari Perda yang belumm
dapat diidentifikasi, maka maksimal ditambah 5, inisiatif DPRD hanya
mencapai 10 inisiatif dari 70 Perda yang diterapkan. Hal tersebut
menunjukkan kesenjangan inovasi dan kreativitas DPRD baik secara
kolegial maupun secara individu dibandingkan dengan kecakapan eksekutif
daerah.50
Lalu bagaimana kesenjangan tersebut dapat terjadi? Salah satu yang
dapat diperkirakan adalah dengan melihat profil singkat para anggotanya
sebagai berikut:
Representasi Anggota DPRD
Kota Bandung Berdasarkan
Latar Belakang Pendidikan
SLTA
S1
S2
50
Penyebutan eksekutif daerah hanya dikarenakan sebagai kebiasaan oleh praktisi pemerintahan daerah.
Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menggradasi pemahaman arti keberadaan legislatif daerah. Dalam
konteks negara kesatuan, CF Strong menegaskan hanya terdapat lembaga legislatif, yaitu di Pusat.
77
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Latar belakang pendidikan sebagaimana ditunjukkan di atas
tampaknya tidak begitu menunjukkan korelasi pengaruh strata pendidikan
terhadap akuntabilitas anggota DPRD dari aspek inovasi dan kreativitas
untuk menginisiasi Raperda. Walaupun lebih dari sebagian berlatar
belakang pendidikan Sarjana, ditambah dengan keberadaan lulusan
Magister, hal tersebut tidak signifikan untuk menjadi faktor utama
pendorong penguatan fungsi legislasi dari sisi ini.
Dalam daftar Peraturan Daerah pada situs Kemendagri, dari
Kabupaten Ciamis jumlah dua tahun Perda khusus Periode 2009-2013 tidak
begitu rinci, kecuali hanya didapati sebagai berikut:
2009
Jumlah Perda yang ditetapkan
37
6
28
4
Inisiatif DPRD
6
2010
2011 2012
2013
*
28
Jumlah
9
*
14
2
18
Pada tahun 2013 ini terdapat 12 Raperda inisiatif Dewan yang
sedang dalam proses pembahasan, sedangkan inisiatif dari eksekutif
sejumlah 7.51 Selain itu terdapat juga sejumlah 6 Naskah Akademik sebagai
pelaksanaan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2012-2013 yang sedang
dalam kajian tim ahli.52
Yoyong sopyan53 mengatakan bahwa Anggota DPRD Ciamis
termasuk yang eksis, dalam arti aktif dalam pelaksanaan fungsi legislasi.
Menurutnya hal ini kemungkinan terpengaruh dari masing-masing anggota
51
Yoyong Sopyan, Kasubag Perundang-undangan pada Bagian Rapat dan Perundang-undangan
Sekretariat DPRD Kabupaten Ciamis.
52
Ibid.
53
Ibid.
78
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
yang
berlatar
belakang
akademisi.
Jika
diperkirakan
demikian,
kemungkinan hal itu terpengaruh di antaranya oleh pemetaan latar belakang
profil anggota. Profil singkat para anggota DPRD Kabupaten Ciamis dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
Prosentase Anggota DPRD
Berdasarkan Pendidikan
SLTA
Sarjana
Sebaran Latar Belakang Profesi Anggota
DPRD Kabupaten Ciamis 2009-2014
birokrat
akademisi
guru
profesional
aktivis/politisi
wiraswasta
Kedua Bagan di atas menunjukkan sebaran latar belakang
pendidikan dan latar belakang profesi anggota DPRD Kabupaten Ciamis.
Bagan pertama menunjukkan bahwa lebih dari setengah anggota DPRD
Kabupaten Ciamis memiliki latar belakang pendidikan SLTA/Sederajat.
Untuk sebuah kota kecil, prosentasi ini perlu diperhitungkan. Hal ini dapat
berarti bahwa walaupun berpendidikan berasal dari perguruan tinggi
Bandung, mereka kembali untuk mengembangkan dan memikirkan
79
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
daerahnya. Bagan kedua menunjukkan bahwa dari latar belakang profesi
anggota DPRD Kabupaten Ciamis, anggota yang berlatar belakang
aktivis/politisi dengan wiraswasta cukup berimbang. Dalam melihat
kreativitas anggota Dewan yang bermuara pada jumlahh Perda inisiatif, hal
ini
perlu
diapresiasi
sebagai
suatu
pencapaian
yang
progresif.
Bagaimanapun, angka tersebut masih belum mencapai setengah dari
keseluruhan Perda yang telah ditetapkan.
Di kedua contoh profil singkat anggota-anggota DPRD Kota
Bandung dan kabupaten Ciamis, sesungguhnya syarat formal calon anggota
DPRD sudah tepenuhi. Disamping itu, komposisi yang berlatar pendidikan
sarjana pun sudah mencapai sebagian, bahkan ada yang lebih dari
setengahnya. Pemenuhan syarat secara formal yang demikian lebih tampak
menunjukan suatu kriteria prosedural administratif saja.54 Akan tetapi hal
itu tidak cukup karena harus dibuktikan sejauhmana DPRD melaksanakan
kesungguhannya sebagai wakil rakyat dalam hal ini fungsi legislasi. Dapat
saja secara kolektif kinerja DPRD dalam mengeluarkan produk Peraturan
Daerah Tinggi, namun di antara kehadiran dan partisipasi sebagian
anggotanya ada yang rendah. Di samping kemungkinan itu dapat saja terjadi
seperti apa yang ditunjukkan oleh DPRD Kota Bandung, yaitu produk Perda
tinggi, namun inisiatif DPRD untuk mengajukan Rancangan Perda sangat
rendah. Bagaimanapun kenyataannya diakui bahwa salah satu pendorong
profil tersebut adalah dari pola rekruitmen oleh partai, khususnya ketika
menciptakan kader-kader; balik laki-laki maupun perempuan.
Paling sedikit, dua hal yang dapat dicatat sebagai faktor yang
berpengaruh terhadap akuntabilitas DPRD yaitu:
a) dari faktor penghasilan dan tunjangan, ternyata diikuti dengan potongan
yang cukup besar, seperti arisan istri anggota-anggota Dewan, iuran
partai, hutang kampanye, yayasan purnabakti, dll.55 Dengan seperti itu,
Inna Junaenah, “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan Menjadi Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat''. Jurnal Konstitusi volume 10 Nomor 2013, hlm. 513.
55
Ibid., hlm. 194-196
54
80
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
gairah para anggota DPRD adalah bagaimana caranya untuk
mendapatkan
tambahan
penghasilan
dari
tunjangan-tunjangan,
sehingga dimunculkan kreatifitas untuk menganggarkan berbagai
macam tunjangan.
b) Terdapat pandangan sebagian anggota Dewan bahwa kehadiran di
kantor tidak harus setiap hari seperti pegawai negeri. Hal seperti ini
keliru, sebab bagaimanapun kebutuhan menjalankan fungsi legislasi
begitu besar, sehingga dengan sendirinya seharusnya curahan
pemikiran dan tenaga, khususnya dalam fungsi legislasi ini pun besar.
Gejala demikian oleh I Gde Pantja Astawa diidentifikasi dengan
mengemukakanfaktor-faktor yang berpengruh pada inisiatif Dewan.
Dikatakan sebagai berikut:
“Pertama, dari sisi Pemerintahan Daerah ( yang seringkali
mengambil prakarsa dalam pengajuan usul
Raperda), efektivitas
penggunaan Hak inisiatif disebabkan berikut:
a. Sebagai pihak yang merumuskan kebijakan dan menjalankan roda
pemerintahan, pemegangan kekuasaan eksekutif daerah mengetahui
dan mengalami secara lebih konkret berbagai akan perlunya Perda
untuk menjalankan kebijakan dan penyelenggaraaan pemerintahan
daerah;
b. Eksekutif Daerah lebih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan
tenaga-tenaga dengan keahlian khusus untuk menyusun Raperda yang
mengatur bidang-bidang tertentu dan kompleks;
c. Tata kerja Eksekutif daerah memungkinkan keputusan diambil lebih
cepat dibandingkan dengan CDPRD yang bersifat kolegial.
Kedua, dari sisi DPRD, kesulitan penggunaan ataupun pelaksanaan
Hak Inisiatif disebabkan antara lain:
a. Sifat
keanggotaan
dan
tugas-tugas
yang diemban
mendorong
keanggotaan Dewan menjadi generalis sehingga tidak begitu mudah
81
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
merumuskan brbagai Raperda yang kadang-kadang begitu spesifik dan
kompleks substansinya;
b. Forum DPRD bersifat kolegial, segala keputusan hanya dapat dicapai
melalui
tata
cara
yang
mencerminkan
kolegialitas
sehingga
membutuhkan waktu lebih panjang;
c. Kesiapan individual anggota belum merata, baik yang berkenaan dengan
penguasaan materi dan wawasan maupun pengalaman parlementer yang
ajan menunjang tugas-tugas mereka;
d. Kadang-kadang ada pula sikap “terlalu mempercayakan kepada
Pemerintah daerah”, sehingga peran Pemerintah Daerah yang selalu
menonjol”.56
Di antara lesson learned yang dapat diambil adalah dari contoh
keberadaan suatu elected representative adalah di Malaysia, dari
pengamatan Mohd Shukri Hanapi.57 Dikatakannya bahwa kecenderungan
anggota council di tingkat local authority di Malaysia baru-baru ini adalah
dari kaum cerdik pandai. Anggota council tidak saja terdiri dari perwakilan
partai politik, tetapi juga diluar itu dapat saja dari akademisi dan yang
berlatar belakangan birokrat. Hanya saja yang menjadi catatan, siapapun
yang terpilih menjadi anggota council pasti merupakan “sombebody”.
Seseorang ini dalam arti lebih berkecenderungan sebagai orang yang
memiliki kedekatan dengan akses kekuasaan.
Keberadaan sebuah partai politik tidak dapat dipungkiri sebagai
sebuah mesin yang menjalankan suatu badan perwakilan, baik di tingkat
pemerintah pusat maupun daerah. Sekalipun dalam negara yang berbentuk
federal, misalnya Amerika, mesin politik berada dibalik kekuasaan pada
banyak “mayor cities”.58 Bagaimanapun keberadaan partai politik begitu
penting dan pengaruhnya begitu besar, namun elektabilitasnya pun harus
senantiasa dievaluasi. Dapat saja mereka terpilih dari sebagian saja, karena
56
I Gde Pantia Astawa, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), makalah, tidak
dipublikasikan, 2010.
57
Mohd Shukri Hanapi, Ph.D Candidate, University Sains Malaysia, diskusi personal. 13 Oktober 2013.
58
Steven W. Schmidt et. AI., American Government and Politics Today, 1997-1998 Edition, Wadsworth
Publishing Company, 1997, Belmont-USA, hlm. 654.
82
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
sebagaian masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya akibat distrust.
Barangkali kedepan perlu dipikirkan perubahan konstelasi politik di DPRD
dengan mengambil pelajaran dari komposisi di Badan Permusyarawatan
Desa (BPD). Dalam UU Pemda, anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun
Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau
pemuka masyarakat lainnya.59 Mengenai bagaimana cara pengisian jabatan
maajlis syura ini, Al-Maudidi menyebutkan adalah melalui pemilihan
umum.60 Dituliskan oleh Ija Suntana, terhadap hal ini tidak dapat ditawar
lagi bahwa syarat-syarat mereka adalah memiliki kemampuan wawasan
yang lebih di antara orang-orang yang mewakilinya. Di samping itu, mereka
harus benar-benar dipilih oleh masyarakat.61
D. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada Bab-Bab sebelumnya,
beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. Landasan pemikiran fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota adalah
berdasarkan pada pendekatan fungsi legislasi pada suatu elected
representative dan akuntabilitas. Dari pendekatan fungsi legislasi pada suatu
elected representative didapati suatu gambaran bahwa fungsi legislasi
merupakan fungsi yang sentral bagi suatu badan perwakilan. Dalam hal ini
ketentuan normatif mengenai fungsi pengawasan dan fungsi anggaran tidak
menjadi sentra tulisan ini. Dalam pendekatan ini walaupun terdapat dinamika
peran wakil rakyat dalam rangka hubungannya dengan yang diwakili, namun
keterwakilannya dapat “ditagih”. Sementara itu dari pendekatan landasan
akuntabilitas diperoleh suatu deskripsi bahwa akuntabilitas DPRD sebagai
lembaga perwakilan berbeda dengan akuntabilitas lembaga eksekutif maupun
yudikatif. Dengan fungsi legislasi, akuntabilitas DPRD digolongkan menjadi
akuntabilitasa secara kolektif dan akuntabilitas secara individu. Indikator
59
Pasal 30 ayat (2), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa.
Ibid, hlm. 65
61
Ibid, hlm. 65
60
83
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
akuntabilitas DPRD dilihat dari jumlah produk legislasi yang dihasilkan dan
lebih penting adalah yang menjadi inisiatifnya. Sementara itu akuntabilitas
DPRD secara individu ditunjukkan dari partisipasinya dalam menyampaikan
gagasan, inisiatif, dan kehadirannya dalam sidang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penunjang akuntabilitas anggota DPRD
dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi, dapat dikemukakan bahwa secara
normatif norma mengenai akutabilitas anggota DPRD masih dalam
pemikiran
di
Rancangan
Udnang-Undang
tentang
Akuntabilitas
Penyelenggara Negara. Terhadap sorotan utama pada DPRD Kota Bandung
dan Kabupaten Ciamis dalam tulisan ini, baru dapat terekam terhadap jumlah
produk Perda yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka pelaksanaan
fungsi legislasi. Adapun jika norma tersebut akan disahkan, melihat inisiatif
DPRD yang dicontohkan di Kota Bandung dan Kabupaten Ciamis masih di
bawah 50 persen dari keseluruhan Perda yang ditetapkan pada periode 20092014 ini. Walaupun masih memungkinkan terjadi pencapaian yang progresif,
namun tampaknya tidak akan dapat mengejar prosentase tersebut.
Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akuntabiilitas
anggota DPRD dalam pelaksanaan fungsi legislasi perlu “ditagih” dengan alasan
di antaranya karena terdapat hubungan antara wakil rakyat dengan yang
diwakilinya dan alasan kedudukannya sebagai salah satu unsur pemerintahan
daerah. Terhadap sorotan utama pada DPRD Kota Bandung dan Kabupaten
Ciamis dalam penelitian ini, baru dapat terekam terhadap jumlah produk Perda
yang berasal dari inisiatif DPRD dalam rangka pelaksanaan fungsi legislasi.
Adapun pengungkapan komposisi latar belakang yang berasal dari profil singkat
masing-masing masih berada di permukaan saja untuk melihat dan mengukur
akuntabilitas anggota DPRD secara individu.
Atas dasar itulah dalam penelitian ini masih menyisakan kelemahan yang
barangkali dapat diperkaya oleh penelitian-penelitian berikutnya. Di antara
kelemahan yang dapat menjadi bahan bagi studi lanjutan adalah bahwa
akuntabilitas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Rangka
Pelaksanaan Fungsi Legislasi, dalam arti secara individu perlu ditelusuri lebih
84
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
lanjut dengan keterangan yang lebih mendalam. Kalaupun tercapai target tersebut,
dievaluasi mengenai sistem rekruitmen seperti apa yang lebih tepat untuk
dikembangkan. Bahkan lebih jauh, di luar standar-standar yang dapat dinormakan
secara tertulis, perlu dikembangkan standar moral yang dapat direkomendasikan.
Hal ini penting, mengingat bahwa seperti standar moral seorang hakim saja
dibutuhkan suatu konsep self restrain. Seorang hakim idealnya sudah selesai
dengan kepentingan dirinya sendiri, tantangan bagi seorang wakil rakyat adalah
sesuatu yang memungkinkan paradooks; di satu sisi dibutuhkan curahan
perhatiannya bagi aspirasi rakyat, di satu sisi dibutuhkan tenaga yang kreatif,
enerjik, dan produktif. Tuntutan situasi yang kedua itulah yang sulit dicapai
karena jarang pada usia produktif, seseorang telah selesai dengan dirinya. Untuk
hal-hal inilah dibutuhkan penelitian tersendiri. Akuntabilitas secara individu perlu
lebih jauh dditelusuri untuk dikehatui sampai bagaimana pla rekruitmen dan
kemungkinan ideal anggota DPRD dalam menjaga moral dan etika peyelenggara
negara.
85
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 beserta Perubahannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
IULA World Wide Declaration of Local Self-Government adopted by the IULA Council,
Toronto, June 1993
B. Buku
Anwar Shah, (Ed.), Performance Accountability and Combating Corruption, The World
Bank, Washington, 2007.
Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Edisi Revisi), Cetakan Vl, Mizan,
Bandung, 2000.
86
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007.
Frans Magnis-Soeseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
Ija Suntana, Model Kekuasaan Legislatif Dalam Sistem Ketatanegaraan Islam. Refika
Aditama, Bandung, 2007.
Rousseau, Jean Jacques., Du Contract Social (Perjanjian Sosial), diterjemahkan ke dalam
Bahasa Inggris dengan judul The Social Contract, or Principles of Political Rights
oleh G.D.H. e dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero,
penyunting, Nino, Cet.1 Visimedia, Jakarta, 2007.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 1984
Steven W. Schmidt et. Al., American Government and Politics Today, 1997-1998
Edition, Wadsworth Publishing Company, 1997, Belmont-USA. World Bank,
Social Accountability in the Public sector, The International Bank for
Reconstruction and Development The World Bank, Washington-USA, 2005.
C. Makalah/Jurnal/Penelitian
Ali Abdurahman, Inna Junaenah, dan Rahayu Prasetianingsih, Aspek dan Variabel Indeks
Otonomi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Pasal 18, 18A, dan18B UndangUndang Dasar 1945 Perubahan, Penelitian, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, 2012, hlm. 48.
http://www.dprd-bandung.go.id/categoryblog/17-h-edwin-senjaya-se.html, diakses pada
24 November 2013
http:/www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/#, diakses pada tanggal 24 November
http:/kpu-ciamiskab.go.id.index.php/profil-anggota-kabupatenciamis/daerah-pemilihanciamis-ii/68-ohan-hidayat, diakses 23 November 2013.
87
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
http://kpu-ciamiskab.go.id/index.php/profil-anggota-dprd-kabupatenciamis/daerahpemilihan-ciamis-vl97-wowo-kustiwa, diakses 23 November 2013
I Gde Pantja Astawa, Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
makalah, tidak dipublikasikan, 2010
Inna Junaenah. “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan
Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” Jurnal Konstitusi Volume 10
Nomor 3, September 2013, hlm. 513
Ma'mun, Diskusi informal, Bagian Fasilitasi Perundang-undangan Biro Hukum dan
HAM sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat, 12 Juli 2013
Maswadi Rauf (et al), Indeks Demokrasi Indonesia 2010. Kebebasan Yang
Bertanggungjawab dan Substansial, Sebuah Tantangan, hlm. 29, diunduh dari
http://www.undporid/pubs/docs/IDI%202010.pdf, 26/11/2013 14:59:46
, Menakar Demokrasi di Indonesia; Indeks Demokrasi Indonesia
2009, UNDP Indonesia, 2011, hlm. 28
Mohd Shukri Hanapi, Ph.D Candidate, University Sains Malaysia, diskusi personal, 13
Oktober 2013
M. Tatang Abudin, S.H., Kasubag Persidangan Bagian Hukum dan Persidangan
Sekretariat DPRD Kota Bandung, 25-26 November 2013
RUU Tentang Akuntabilitas Kinerja Penyelenggara Negara, Draft RUU Akuntabilitas
Kineria Penyelenggara Negara Kelompok Kerja Interdep 10 Mei 2010 dalam
http://www.kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/RUU%20Akuntabilitas%20Penyelengga
ra%20Negara%[Compatibility%20Mode].pdf pada tanggal 15/07/2013 4:41:05
Susi Dwi Harijanti dkk., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Akuntabilitas
Kinerja Penyelenggara Negara, Kerja sama antara Kedeputian Bidang
Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi, 2011, hlm. 14
88
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Yoyong Sopyan, Kasubag Perundang-undangan pada Bagian Rapat dan Perundangndangan Sekretariat DPRD Kabupaten Ciamis.
89
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Politik Hukum dalam Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi, Menuju
Juristocracy?
M. Adnan Yazar Zulfikar1
Abstrak
UUD 1945 mengalami perubahan sebanyak empat kali merespon reformasi pada
tahun 1998 yang lahir akibat kesewenang-wenangan pemerintahan pada masa orde baru.
Kesewenang-wenangan tersebut lahir akibat kekuasaan yang terlalu besar pada
kekuasaan eksekutif (executive heavy). Perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya
mekanisme check and balances dalam bingkai paham konstitusionalisme melahirkan
sebagai lembaga baru diantaranya adalah mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
yang memiliki kewenangan menguji undang undang terhadap Undang-Undang Dasar
memiliki kekuasaan otoritatif untu menafsirkan UUD 1945. Kekuasaan besar tersebut
pada
prakteknya dijalankan tidak dengan paham konstitusionalisme sehingga dalam
beberapa putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuasaan yang begitu besar untuk
menentukan kebijakan negara. Politik hukum Mahkamah Konstitusi memiliki kekuasaan
yang begitu besar untuk menentukan kebijakan negara. Politik hukum Mahkamah
Konstititusi dalam menjalankan penafsiran terhadap konstitusi justru mengarahkan
struktur ketatanegaraan Indonesia kearah juristocracy.
A. Pendahuluan
Generasi sekarang tidak dapat mengikat generasi yang akan datang2,
melalui kalimat tersebut Sri Soemantri berusaha menggambarkan bahwa
perubahan konstitusi merupakan sebuah keniscayaan. Sakralisasi konstitusi oleh
pemerintah yang memiliki kekuasaan besar pada masa orde baru berakhir dengan
1
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengen NPM 110110100117, yang
sekarang menjabat sebagai ketua umum PLEADS (Padjadjaran Law Research & Debate Society).
2
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung:Alumni,2006), hlm. 272.
90
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
perubahan konstitusi sebagai respon terhadap reformasi pada tahun 1998.
Sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, kekuasaan pemerintah dikatakan
begitu besar (executive heavy) dengan beberapa alasan, yaitu3 : (1) Struktur UUD
1945 sebelum perubahan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada
Presiden, tidak hanya memegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan dan
kepala negara, tetapi juga kekuasaan membentuk undang-undang (legislasi); (2)
UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup memuat sistem check and balances
sehingga kekuasaan Presiden yang besar tidak mendapat perimbangan; (3) UUD
1945 sebelum perubahan menjadi instrument politik yang ampuh untuk
membenarkan otoritarianisme oleh pemerintah.
Menanggapi keadaan tersebut perubahan UUD 1945 akhirnya dilakukan
dalam bingkai perwujudan paham konstitusionalisme. Konstitusionalisme
terwujud dalam kekuasaan negara yang terbatas sehingga tidak terjadi
kesewenang-wenangan dan terdapat perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dalam rangka mewujudkan paham konstitusionalisme tersebut, rangkaian
perubahan UUD 1945 pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melahirkan
berbagai lembaga baru yang diantaranya adalah Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), Komisi Yudisial (KY) dan tentu saja Mahkamah Konstitusi. Semua organ
konstitusional
tersebut
dibentuk
dalam
rangka
mewujudkan
struktur
ketatanegaraan yang lebih berimbang, dan tidak terjadi polarisasi kekuasaan.
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk dengan beberapa kewenangan salah
satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sehingga terdapat kesesuaian antara undang-undang dengan Undang-Undang
Dasar. Hal tersebut juga mencegah UUD kembali diselewengkan untuk
kepentingan penguasa. Kewenangan menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar menunjukkan Mahkamah Konstitusi terbentuk sebagai control
terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pembuatan undang-undang.
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar oleh Mahkamah
Konstitusi memberikan kekuasaan inherent kepada Mahkamah Konstitusi untuk
3
Abudul Mukhtie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta-Yogyakarta: Konstitusi
Press dan Citra Media, 2006), hlm. 11-13.
91
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
menafsirkan Undang-Undang Dasar. Dalam hal undang-undang yang diujikan
tidak sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas UUD, maka undangundang tersebut akan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan
Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan undang-undang dan menafsirkan
konstitusi adalah kekuasaan yang besar, kekuasaan tersebut dapat menentukan
arah kebijakan negara yang telah disusun oleh lembaga legislatif dan eksekutif
dalam bentuk undang-undang, bahkan menentukan arah kebijakan negara yang
telah disusun oleh pembuat konstitusi dalam UUD 1945.
Kekuasaan Mahkamah yang besar tersebut harus dijalankan dalam bingkai
paham konstitusionalisme, karena sebagai bagian dari organ negara, Mahkamah
Konstitusi harus juga tunduk terhadap paham konstitusionalisme, bukan hanya
kekuasaan legislatif atau eksekutif yang dapat corrupt, kekuasaan yudikatif pun
dapat menjadi tirani jika memiliki kekuasaan yang besar dan tidak dijalankan
dengan paham konstitusionalisme.
B. Undang-Undang Dasar 1945
1. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Bagir Manan membagi dua arti konstitusi, yaitu konstitusi dalam arti sempit
dan konstitusi dalam arti luas. Konstitusi dalam arti sempit sama dengan (adalah)
UUD. Konstitusi dalam arti luas tidak hanya UUD, melainkan mencakup pula
(ketentuan) konstitusi di luar UUD yaitu kebiasaan – kebiasaan ketatanegaraan
(konvensi), dan putusan – putusan hakim.4
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara.5 Berdasarkan urutan peraturan perundang –
undangan, UUD adalah sumber hukum negara tertinggi, yang bermakna6 :
(1) Semua pembuatan peraturan perundang – undangan harus bersumber dari
asas, kaidah, cita dasar, dan tujuan UUD.
4
Bagir Manan, Membedah UUD 1945, Universitas Brawijaya Press, Malang, 2012, hlm. 3.
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm.29.
6
Bagir Manan, Op. Cit., hlm. 6.
5
92
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
(2) Penerapan UUD didahulukan dari peraturan perundang – undangan lain.
(3) Semua peraturan perundang – undangan lain tidak boleh bertentangan
dengan UUD.
Konstitusi
merupakan
produk
dari
paham
kontitusionalisme.
Konstitusionalisme seperti dikemukakan oleh Friedrich dalam Jimly Asshidiqie,
didefinisikan sebagai “an institusionalised system of effective, regularized
restraints upon governmental action” (suatu sistem yang terlembagakan,
menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan – tindakan
pemerintahan), sehingga persoalan yang paling penting dalam setiap konstitusi
adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintahan.7
Konstitusi sebagai produk konstitusionlaisme memiliki materi muatan
sebagai berikut
(1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negaranya;
(2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifta
fundamental; dan
(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental.8
2. Pembentukan Konstitusi
Pembentukan konstitusi akan sangat berkaitan dengan pembentukan negara,
bahkan menurut Sri Soemantri negara dan konstitusi merupakan dua lembaga
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya. 9 Konstitusi
menggambarkan cita pembentukan negara. Bangsa Indonesia sendiri dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, menuangkan tujuan pembentukan negara
Indonesia.10
7
Jimly Asshidiqie, Op. Cit, hlm. 17.
Steenbek dalam Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),
hlm. 1.
9
Ibid, hlm. 1-2.
10
C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 88.
8
93
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Berkaitan dengan pembentukan konstitusi, John Wheeler membedakan
antara amandemen konstitusi (constitusional amendment) dengan revisi konstitusi
(constitutional revision), ia mengartikan ‘constitutional amandment’ sebagai
perubahan dalam bagian yang terbatas dengan menambahkan satu atau beberapa
ketentuan yang terbatas pula pada konstitusi, sedangkan ‘constitutional revision’
diartikan sebagai pertimbangan ulang terhadap keseluruhan atau kebanyakan
bagian dari konstitusi.11 Namun Francois Venter menolak pembedaan tersebut
dengan argumentasi pembentukan konstitusi (constitution making) mencakup
amandemen dan revisi terhadap konstitusi.12
Proses pembentukan konstitusi (constitution making) dilakukan oleh suatu
badan pembentuk konstitusi (constitution making body). Pembentukan konstitusi
menurut Bonime-Blanc adalah proses pembuatan kebijakan dimana elit politik
menentukan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah, beserta hak dan
kewajiban masyarakat.13 Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Gabriel L.
Negretto yang menyatakan bahwa pembentukan konstitusi melibatkan
sekelompok aktor politik yang merancang suatu dokumen tertulis untuk mengatur
cara kerja pemerintah.14
3. Penerapan Konstitusi
Setelah proses pembentukan hukum, terdapat proses penerapan hukum.
Begitu juga dengan konstitusi, setelah proses pembentukan konstitusi, terdapat
proses penerapan konstitusi. Konstitusi sebagai hukum positif yang menjadi
sumber dari hukum positif lainnya harus ditegakkan atau dipertahankan agar
konstitusi tersebut dapat terwujud dalam kenyataan.15 Penerapan suatu aturan
hukum dilakukan dalam rangka mempertahankan hukum akibat terjadi
pelanggaran (ketidaksesuaian) atas suatu aturan hukum.16 Penegakan hukum
John Wheeler dalam Denny Indrayana, “Indonesia Constitutional Reform 1999-2002”, Kompas, Jakarta,
2008, hlm. 35.
12
Ibid, hlm. 35.
13
Ibid, hlm. 35.
14
Ibid, hlm. 35.
11
15
16
Sebagaimana pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengartikan hukum sebagai keseluruhan asas dan
kaidah termasuk di dalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah tersebut di dalam
kenyataan.
94
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
menurut Bagir Manan seperti dikutip Rahayu Prasetianingsih merupakan suatu
bentuk konkret penerapan hukum dalam masyarakat.17
Metode yang digunakan untuk menerapkan hukum adalah dengan
melakukan penemuan hukum, ada dua metode utama yang dilakukan hakim
dalam penerapan hukum, yaitu penafsiran dan konstruksi hukum.18 Berkaitan
dengan penerapan hukum terutama konstitusi melalui metode penafsiran,
keberadaan pengadilan konstitusional membawa pemikiran bahwa pengadilan
merupakan penafsir otoriatif terutama dalam perkara – perkara konstitusional,
pengadilan mengesahkan dan melegitimasi pelaksanaan kekuasaan oleh eksekutif
dan legislative.19 Namun pengadilan bukan satu – satunya lembaga yang
berwenang melakukan penerapan konstitusi dengan menafsirkan konstitusi,
menurut Heinrich Scholler, para legislator (lembaga legislative) juga berwenang
menafsirkan konstitusi.20 Secara umum Bagir Manan menyatakan bahwa hukum
positif ditegakkan atau dipertahankan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadilan.21
Penerapan hukum harus dilakukan dengan tata cara tertentu, untuk
menghindari tindakan sewenang – wenang dari yang berwenang melaksanakan
atau mempertahankan hukum.22 Tata cara tersebut tercermin dalam asas – asas
dan kaidah hukum acara yang berlaku dalam proses penegakan maupun penerapan
hukum pada umumnya.
17
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm.
50.
18
Rahayu Prasetianingsih, “Negara Hukum dan Penegakan Hukum (Pengantar)”, dalam: Susi Dwiharijanti
(Ed), Negara Hukum yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H.
Bagir Manan, S.H., M.CL.), PSKN FH UNPAD, Jakarta, 2011, hlm. 553.
19
Sujit Choudry dalam Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah Konstitusi Menuju
Keadilan Substantif, Jurnal Konstitusi, Volume II, No. 1, (Juni, 2011), hlm. 136.
20
Ibid. Begitu juga dengan lembaga eksekutif, mereka memiliki wewenang menafsirkan konstitusi dalam
rangka menjalankan tugas dan wewenangnya agar berkesesuaian dengan konstitusi.
21
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 6.
22
Ibid, hlm. 50.
95
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
4. Politik Hukum Konstitusi
Politik hukum menurut Padmo Wahjono adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.23 Menurut
Mahfud MD politik hukum adalah pilihan tentang hukum – hukum yang akan
dicabut atau tidak akan diberlakukan.24 Politik hukum yang menurut Soedarto
adalah kebijakan negara yang tertuang dalam peraturan – peraturan, meliputi
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.25 Menurut
Abdul Hakim Garuda Nusantara politik hukum juga meliputi penegasan fungsi
lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya.26
Politik hukum yang salah satu ruang lingkupnya adalah pembentukan
hukum, juga berhubungan dengan pembentukan konstitusi. Menurut Anis Ibrahim
terdapat asumsi dasar bahwa legislasi (proses pembentukan hukum) dalam
melahirkan hukum positif (in abstracto) akan sesuai dan selalu dipengaruhi oleh
konfigurasi politik tertentu yang berinteraksi dalam proses tersebut.27
Berhubungan dengan hal tersebut, Ferdinand Lessale melihat konstitusi
dalam pengertian sosiologis dan politis sebagai sintesis antara faktor – faktor
kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat, yaitu misalnya raja, parlemen,
cabinet, kelompok penekan, partai politik, dan sebagainya.28
Aktor pembentuk konstitusi tentu memiliki kehendak politik dalam
pembentukan konstitusi, kehendak – kehendak tersebut kemudian seringkali
disebut sebagai original intent dari suatu konstitusi. Menurut Lord Bryce, motif
politik yang menonjol dalam penyusunan Undang – Undang Dasar diantaranya
adalah keinginan untuk menjamin hak – hak rakyat dan mengendalikan tingkah
laku penguasa, serta keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan yang
23
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). Hlm.
160.
24
Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), hlm 3.
25
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, Dasar – Dasar Politik Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004),
hlm. 26.
26
Ibid, hlm. 31.
27
Anis Ibrahim, Legislasi dan Demokrasi, (Malang: Intrans Publishin, 2008), hlm 2.
28
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 43.
96
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah kemungkinan perbuatan sewenang
– wenang dari penguasa di masa depan.29
C. Mahkamah Konstitusi
1. Prinsip Dasar Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman bersama
bersama dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji undang – undang
terhadap Undang – Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, maka Mahkamah
Konstitusi harus tunduk pada prinsip – prinsip peradilan yang baik yang berlaku
secara universal bagi pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power).30 Berikut
prinsip – prinsip peradilan yang menurut penulis seharusnya dipatuhi oleh
Mahkamah Konstitusi:
a. Supremasi Konstitusi
Prinsip supremasi konstitusi pada dasarnya menghendaki konstitusi menjadi
pedoman tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Prinsip ini mendudukan
Mahkamah Konstitusi sebagai satu – satunya lembaga yang mempunyai
kekuasaan tertinggi untuk mengawal agar konstitusi dapat ditegakkan dan
dijalankan secara konsisten (the guardian of constitution).31 Isi UUD 1945
beserta semua original intent-nya menjadi dasar dalam pembuatan Mahkamah
Konstitusi.32
29
Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm. 65 - 66
Firmansyah Arifin (et.al), Menggapai keadilan Konstitusi: Suatu Rekomendasi Untuk Revisi UU
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2008), hlm. 10.
31
Ibid.
32
Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2010), hlm. 283.
3030
97
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
b. Independensi dan Imparsialitas
Prinsip independensi menghendaki tidak adanya campur tangan dari
kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam pengambilan keputusan, termasuk
bebas dari campur tangan kekuasaan kehakiman itu sendiri.33 Sedangkan prinsip
tidak memihak menghendaki hakim tidak memihak kepada siapapun. Sehingga
dalam mengadili perkara terhindar dari benturan kepentingan (conflict of
interest), dan proses pengadilan dapat berjalan secara fair dan objektif.34
Imparsialitas bukan hanya harus dilakukan oleh hakim, tetapi juga harus dapat
dilihat. Salah satunya prinsip imparsialitas dapat terlihat dalam asas Nemo Judex
In Causa Sua, asas ini menghendaki hakim tidak memutus hal – hal yang
berkaitan dengan kepentingannya sendiri.35 Terdapat adagium hukum yang
mengatakan, tidak seorang hakim pun dapat berlaku adil dalam memutus perkara
yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
c. Akuntabilitas
Prinsip akuntabilitas/pertanggungjawaban dapat dimaknai merupakan
salah satu cara untuk menciptakan check and balances, sekaligus mekanisme
untuk menilai seluruh pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang pemegang
mandate kekuasaan, baik secara individual hakim maupun secara institusional
lembaga pengadilan.36 Prinsip akuntabilitas akan memperkuat prinsip
independensi, karena independensi hakim dan pengadilan tanpa akuntabilitas
berpotensi terjerumus pada perilaku yang korup. Konsep akuntabilitas mencakup
masalah manajemen anggaran, manajemen personalia, manajemen perkara, dan
putusan. Prinsip akuntabilitas ini diperlukan untuk meminimalisir tindakan di
luar batas kekuasaan atau penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).37
Beberapa asas yang berkaitan dengan prinsip akuntabilitas dalam konteks
putusan hakim diantaranya: (1) Asas Non-Ultra Petita, yaitu dalam melakukan
33
Firmansyah Arifin (et.al), Op. Cit, hlm. 11.
Ibid.
35
Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Loc. Cit.
36
Firmansyah Arifin (et.al), Op. Cit. hlm. 12.
37
Ibid.
34
98
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
pengujian konstitusionalitas, Mahkamah Konstitusi tidak boleh membuat ultra
petita (putusan yang tidak diminta oleh pemohon) sebab dengan ultra petita
berarti MK mengintervensi ranah legislative. Meskipun terdapat pendapat yang
menyatakan ultra petita boleh, jika norma yang diuji berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan
dengan
norma
lainnya,
namun
menurut
Mahfud
MD
pembetulan/revisi terhadap norma terkait biarkan dilaksanakan oleh lembaga
legislative melalui legislative review.38; (2) Asas Negatif Legislator, Mahkamah
Konstitusi merupakan negative legislator, artinya tugas Mahkamah Konstitusi
sebagai pengadilan bukan membuat hukum, melainkan membatalkan hukum.39
Dalam melakukan pengujian konstitusionalitas UU, MK tidak boleh membuat
putusan yang bersifat mengatur, misalnya putusan disertai dengan isi, cara, dan
lembaga yang harus mengatur kembali isi UU yang dibatalkan tersebut.40
2. Hak Menguji Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan yang paling besar dari sebuah pengadilan adalah membatalkan
hukum, yaitu dengan cara membatalkan sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh
cabang kekuasaan legislatif atau eksekutif.41 Kekuasaan membatalkan sebuah
peraturan ini dapat dilaksanakan melalui sebuah hak untuk menguji
(toetsingrecht). Pengujian dalam arti toetsingrecht menurut Sri Soemantri adalah
memeriksa, menilai, dan memutuskan terhadap tingkat konstitusionalitas suatu
peraturan perundang – undangan terhadap peraturan perundang – undangan yang
derajatnya lebih tinggi oleh suatu lembaga negara yang oleh Undang – Undang
Dasar dan/atau oleh undang-undang diberikan kewenangan.42 Dalam hal ini hak
menguji yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi adalah pengujian undang –
undang terhadap Undang –Undang Dasar.
38
Ibid, hlm. 281.
Lihat Robert Schutze, European Constitutional Law, (United States of America: Cambridge University
Press, 2012), hlm. 262.
40
Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Loc. Cit.
41
Robert Schutze, European Constitutional Law, (United States of America Cambridge University Press,
2012), hlm. 262.
42
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia Tiga Dekade Pengujian
Peraturan Perundang – undangan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm, 39.
39
99
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Pengujian dalam istilah judicial review oleh Gerhard van der Schyff
dikatakan “entails measuring the congruency or compability of what may be
termed common or ordinary legal norms with higher legal norms”. Menurut
Schyff peraturan yang lebih tinggi determinan terhadap validitas peraturan
dibawahnya.43 Istilah judicial review lebih spesifik dari toetsingrecht, judicial
review telah merujuk kepada lembaga yang melakukan pengujian, yaitu badan
peradilan.44 Berdasarkan lembaga yang melakukan pengujian, selain judicial
review, terdapat juga mekanisme political review atau legislative review jika
pengujian dilakukan oleh badan legislatif sebagai badan politik, dan executive
review jika pengujian dilakukan oleh badan eksekutif.45
Selain itu, kita juga mengenal istilah constitutional review yaitu pengujian
konstitusionalitas. Artinya pengujian ini menggunakan batu uji konstitusi, Jimly
Asshidiqie mengemukakan istilah pengujian legalitas untuk membedakan
pengujian undang – undang dengan batu uji konstitusi, dan pengujian peraturan
perundang – undangan dengan batu uji undang – undang.46 Pengujian undang –
undang terhadap Undang – Undang Dasar yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi dapat disebut hak menguji, judicial review, maupun constitusional
review. Namun penulis akan menggunakan istilah yang paling popular digunakan,
yaitu judicial review.
Terdapat persyaratan agar kewenangan judicial review dapat dijalankan,
persyaratan tersebut seringkali berbeda antara satu negara dengan negara lainnya,
namun secara umum persyaratannya adalah sebagai berikut:47
- Legal Standing;
- Di luar persoalan politik (political question);
- Kematangan Perkara (ripeness);
- Kelanjutan kelangsungan kerugian (mootness).
43
Gerhard van der Schyff, Judicial Review Of Legislation A Comparative Study of the United Kingdom,
the Netherlands and South Africa, (United Kingdom: University Of Baltimore, 2010), hlm. 5.
44
Pengertian judicial review dapat dilihat juga di Munir Fuady, Op. Cit, hlm. 81; Zainal Arifin Hoesein,
Loc. Cit.
45
Jimly Asshidiqie, Hukum Acara Pengujian Undang – Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 12; lihat juga Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Op. Cit., hlm. 64-65.
46
Ibid, hlm. 5-6.
47
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 95.
100
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Political Question merupakan konsep tentang pembatasan pengadilan
untuk mencampuri atau memutuskan tentang masalah – masalah politik, karena
masalah politik seharusnya diselesaikan oleh lembaga politik (seperti badan
eksekutif atau legislatif) dan hal seperti itu bukan urusan pengadilan.48
Persyaratan bahwa yang dimohonkan bukanlah masalah politik dimaksudkan agar
pengadilan tidak terlibat langsung dengan masalah politik praktis. Karena itu,
terhadap hal – hal yang sangat kental unsur politik praktisnya, atau terhadap
masalah yang bersangkutan dengan suatu “kebijakan” atas hal – hal yang sensitif
bagi suatu negara seperti urusan politik luar negeri, tidak dapat dimintakan
judicial review.49
3. Penafsiran Konstitusi
Penafsiran atau interpretasi adalah usaha memberi makna suatu atau
sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan
suatu persoalan hukum (rechtsvragen), perbedaan nomra, atau suatu sengketa
hukum.50 Penafsiran konstitusi menjadi salah satu alat bagi hakim konstitusi untuk
memberikan keadilan atau memutus perkara. Dengan kekuasaannya ini, hakim
dapat menjalankan fungsinya dengan baik, namun demikian berpotensi juga
melakukan kesewenang – wenangan.51
Pada prinsipnya suatu judicial review yang dilakukan oleh badan
pengadilan merupakn usaha menafsirkan konstitusi oleh badan pengadilan
tersebut, untuk kemudian hasil tafsirannya diterapkan ke dalam suatu fakta dalam
suatu undang – undang. Apabila undang – undang tersebut dianggap bertentangan
dengan konstitusi hasil tafsirannya, maka undang – undang tersebut akan
dibatalkan.52
Satjipto Raharjo mengutip pendapat Fitzgerald mengemukakan, secara
garis besar interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu:53
(1) Interspretasi harfiah; dan
48
Ibid.
Ibid, hlm. 97.
50
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 73.
51
Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi…, Op. Cit., hlm. 137.
52
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 99.
53
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 95.
49
101
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
(2) Interpretasi fungsional.
Interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang semata – mata
menggunakan kalimat – kalimat dari peraturan sebagai pegangannya. Dengan kata
lain, interpretasi harfiah merupakan interpretasi yang tidak keluar dari litera legis.
Interpretasi fungsional disebut juga dengan interpretasi bebas. Disebut bebas
karena penafsiran ini tidak mengikatkan diri sepenuhnya kepada kalimat dan kata
– kata peraturan (literal egis). Dengan demikian, penafsiran ini mencoba untuk
memahami maksud sebenarnya dari suatu peraturan dengan menggunakan
berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan kejelasan yang lebih
memuaskan.
Terdapat 2 (dua) aliran penafsiran konstitusi yakni originalism dan non –
originalism. Originalism, adalah prinsip penafsiran yang mencoba untuk mencari
tahu atau maksud berdasarkan makna asli dari perumus konstitusi. Sedangkan,
non-originalism adalah prinsip penafsiran yang mencoba mencari tahu makna
konstitusi berdasarkan kondisi pada saat itu obyeknya bukan hanya teks akan
tetapi subyek yang melakukan interpretasi melihat keadaan pada saat itu. Aliran
non-originalism sering disebut sebagai aliran yang menganggap bahwa konstitusi
memiliki makna yang dinamis atau sering disebut sebagai “living constitution”.
Penafsiran non-originalism merupakan bentuk penafsiran progresif, cara
berhukum yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Progresivitas adalah cara
berhukum yang sangat menggantungkan keadilan kepada individu hakim, oleh
karena itu dalam teori hukum progresif individu penegak hukum yang etik dan
bijak menjadi suatu condition sine qua non. Hukum progresif menempatkan
dedikasi para pelaku (actor) hukum di garda depan.54
Selain dilakukan dengan berbagai metode, penafsiran konstitusi termasuk
penafsiran dalam rangka mengembangkan UUD 1945 menjadi the living
constitution harus dilakukan dalam batas – batas landasan dan cita-cita bernegara.
Dalam konteks UUD 1945, penafsiran tidak boleh menyimpangi dasar – dasar
54
M. Syamsudin, Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara Berbasis Hukum Progresif,
Jurnal Hukum UII Edisi Khusus, Vol. 18, (Oktober, 2011), hlm. 137.
102
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
demokrasi, negara hukum, asas-asas ke-Indonesiaan, dan tujuan bernegara.55
Penafsiran sebagai salah satu bentuk penerapan hukum harus dilakukan dengan
tata cara tertentu, untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari yang
berwenang melaksanakan atau mempertahankan hukum.56 Judicial review yang
berkonsekuensi pada dilakukannya penafsiran konstitusi harus dilakukan dalam
rangka paham konstitusionalisme, kekuasaan mana pun yang ada di negara tidak
dapat bertindak melebihi batas kekuasaannya, karena konstitusionalisme adalah
paham mengenai pembatasan terhadap kekuasaan negara dan perlindungan HAM.
Mahkamah Konstitusi sabagai salah satu cabang kekuasaan yang ada di Negara
Republik Indonesia, harus tetap tunduk dan terikat dengan paham tersebut.57
D. Juristocracy, Arah Politik Hukum Penafsiran Konstitusi Oleh Mahkamah
Konstitusi?
1. Politik Hukum Pembentukan Konstitusi Oleh MPR
Pembentukan konstitusi mencakup pembuatan konstitusi dan perubahan
konstitusi. Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, ada tiga macam
konstitusi yang pernah dibuat dan diberlakukan, yaitu: (1) UUD 1945; (2)
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS); (3) UUD Sementara 1950; (4) UUD
1945, yang berlaku lagi sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.58 UUD
1945 yang diberlakukan kembali pun pernah mengalami 4 kali perubahan
(constitutional amendment)59 sejak tahun 1999-2002.
MPR beserta pihak yang dilibatkan dalam perubahan konstitusi sebagai
badan pembentuk konstitusi (Constitutional Making Body), baik dalam
Bagir Manan, Membedah UUD…, Op. Cit., hlm. 10.
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia…, Op. Cit., hlm. 50.
57
Rahayu Prasetianingsih, Penafsiran Konstitusi…, Op. Cit., hlm. 156.
58
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2008),
hlm. 147.
59
Jika merujuk kepada pendapat John Wheeler yang mengartikan Constitutional Amandment sebagai
perubahan dalam bagian yang terbatas dengan menambahkan satu atau beberapa ketentuan yang terbatas
pula pada konstitusi, sedangkan Constitutional Revision diartikan sebagai pertimbangan ulang terhadap
keseluruhan atau kebanyakan bagian dari konstitusi. Maka perubahan konstitusi yang dilakukan pada tahun
1999-2002 dapat digolongkan Constitutional Amandment jika perubahan konstitusi sebanyak 4 kali tersebut
dianggap sebagai proses yang terpisah, artinya setiap tahun MPR sebagai badan pembentuk konstitusi
melakukan constitutional amendment. Namun perubahan konstitusi tahun 1999-2002 pun dapat
digolongkan sebagai Constitutional Revision jika perubahan konstitusi sebanyak 4 kali dianggap sebagai
kesatuan proses perubahan konstitusi yang dilakukan secara bertahap tahun demi tahun dari 1999-2002.
55
56
103
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
pembuatan maupun perubahan UUD 1945 tentu memiliki kebijakan-kebijakan
yang dituangkan dalam proses perubahan konstitusi tersebut. Kebijakan yang
dituangkan MPR selaku badan pembentuk konstitusi meliputi mareri muatan
konstitusi, yaitu kebijakan seputar jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak
warga negaranya, susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
fundamental, dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental, dan pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat
fundamental. Segala kebijakan yang dituangkan MPR adalah dalam rangka
mewujudkan paham konstitusionalisme, yang menghendaki adanya pembatasan
kekuasaan secara efektif terhadap pemerintahan, bukan hanya pemerintah dalam
arti eksekutif tetapi juga pembatasan kekuasaan terhadap pemerintahan dalam arti
luas mencakup legislative, eksekutif, dan yudikatif. Kebijakan-kebijakan dalam
perubahan konstitusi tersebut menjadi paradigma yang merupakan politik hukum
pembentukan konstitusi saat itu.
Politik hukum yang terbentuk dalam proses perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 adalah politik hukum untuk mewujudkan paham konstitusionalisme.
Sistem check and balances pun dikuatkan dalam konstitusi. Sebelum perubahan
UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dikatakan berada dalam
keadaan executive heavy, salah satunya dikarenakan konstitusi tidak cukup
memuat check and balances antar cabang pemerintahan.60 Setelah perubahan
UUD 1945 format dan mekanisme check and balances diperkuat dengan adanya
pengujian pengaturan perundangan-undangan sesuai penjenjangannya dengan
baik.61 Politik hukum lainnya adalah munculnya berbagai lembaga yang dibuat
untuk memperkuat demokrasi, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
yang pembentukannya dicantumkan dalam konstitusi. Dengan hadirnya berbagai
lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dijalankan sebagaimana
yang dikehendaki UUD 1945 dengan paham konstitusionalise agar tidak terjadi
overlapping kewenangan.
60
Puguh Windrawan, Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga: Fenomena Kekuasaan ke Arah
Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol. IX, No. 4, (Desember, 2002), hlm. 616.
61
Mohammad Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum…, Op. Cit., hlm. 144.
104
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
2. Politik Hukum Penerapan Konstitusi Oleh Makamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar tentu saja memiliki
kekuasaan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar tentu saja memiliki
kekuasaan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar. Meskipun lembaga lain
seperti legislatif dan eksekutif juga dapat melakukan penafsiran terhadap
konstitusi dalam konteks pembuatan kebijakan maupun peraturan, namun
peraturan maupun kebijakan (dalam hal ini undang-undang) dapat saja
diajukan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya Mahkamah
Konstitusi yang kemudian memiliki otoritas untuk menafsirkan UndangUndang Dasar dan menentukan apakah undang-undang yang diajukan
konstitusional atau inkonstitusional.
Mahkamah Konstitusi dalam hal ini berperan sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang memiliki kekuasaan untuk melakukan
penerapan hukum, lebih khusus lagi konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai
the guardian of constitution memiliki peran besar dalam penerapan konstitusi.
Dalam kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, Mahkamah Konstitusi akan menafsirkan konstitusi sebagai salah satu
bentuk penerapan konstitusi.
Dalam penerapan konstitusi yang dilakukan Mahkamah Konstitusi
melalui penafsirannya terdapat politik penerapan hukum yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi. Dalam praktek penafsiran konstitusi oleh Mahkamah
Konstitusi tidak jarang terdapat politik hukum yang justru berbeda bahkan
bertentangan dengan politik hukum pembentuk konstitusi. Berikut beberapa
penafsiran konstitusi yang dinilai tidak sesuai dengan politik hukum
pembentuk konstitusi :
1) Pengujian Perpu
Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang menguji Perpu. Dalam putusan perkara tersebut
105
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangannya sendiri, dimana
menurut Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan menguji undang – undang terhadap Undang – Undang Dasar,
namun melalui penafsiran yang dilakukan oleh hakim konstitusi yang
mempersamakan Perpu dengan undang – undang maka Mahkamah
Konstitusi menjadi berwenang melakukan pengujian Perpu terhadap
Undang – Undang Dasar. Padahal jika kita kembali kepada pengaturan
konstitusional yang dibuat oleh pembentuk konstitusi, Perpu telah
memiliki mekanisme pengujiannya sendiri dengan legislative review.
Seperti yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) bahwa Perpu harus
mendapatkan persetujuan dari DPR dalam persidangan berikutnya, jika
tidak maka Peraturan Pemerintah tersebut harus dicabut.
Dengan
penafsirannya,
Mahkamah
Konstitusi
memperluas
kewenangannya dan menyebabkan overlapping pengujian Perpu yang
sebelumnya telah ada pengujiannya melalui wewenang DPR dalam
melakukan legislative review terhadap Perpu. Hal tersebut tidak sesuai
dengan politik hukum pembentuk konstitusi yang menghendaki adanya
penegasan fungsi lembaga negara dan pembagian kewenangan organ
negara yang jelas di dalam konstitusi.
2) Pengujian Piagam ASEAN
Dalam pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang
Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations
(Piagam ASEAN), Mahkamah Konstitusi memeriksa dan menolak
permohonan dari pemohon. Perlu diketahui sebelumnya bahwa menurut
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi terdapat 3 jenis putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a) Putusan menyatakan amar putusan tidak dapat diterima jika pemohon
dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat.
b) Putusan menyatakan permohonan dikabulkan jika permohonan
beralasan dan substansi bertentangan dengan UUD 1945 dan jika
dalam hal pembentukan undang – undang yang dimohonkan tidak
106
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
memenuhi ketentuan pembentukan undang – undang menurut UUD
1945.
c) Putusan menyatakan permohonan ditolak, jika undang – undang yang
diujikan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam perkara pengujian piagam ASEAN seharusnya Mahkamah
Konstitusi memberikan putusan permohonan tidak dapat diterima, bukan
permohonan ditolak. Perbedaannya adalah putusan tidak dapat diterima
menunjukan bahwa permohonan tidak memenuhi syarat. Dalam Undang
– Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – Undang
Nomor 24 Tahun 2003 disyaratkan bahwa dalam permohonan diantaranya
harus ada penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
mengadili perkara yang dimohonkan. Dalam hal syarat tersebut tidak
terpenuhi, artinya Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan
dalam mengadili perkara yang dimohonkan maka putusannya harus
berbunyi permohonan tidak dapat diterima, dan diputus sejak sidang
pendahuluan.
Putusan Mahkamah Konstitusi menolak permohonan, artinya Mahkamah
Konstitusi telah masuk ke pokok perkara dan menganggap undang –
undang yang diujikan tidak bertentangan dengan Undang – Undang Dasar.
Putusan tersebut secara tidak langsung, menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi menerima syarat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili permohonan pengujian perjanjian internasional tersebut. dalam
putusan menolak permohonan pengujian piagam ASEAN tersebut
terdapat dissenting opinion62 dari hakim konstitusi Maria Farida dan
Hamdan Zoelva yang menyatakan bahwa Piagam ASEAN bukan objek
pengujian yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Undang – Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam
ASEAN merupakan kebijakan politik luar negeri dari negara dan tidak
62
Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dari pendapat mayoritas hakim yang menjadi putusan
resmi majelis hakim.
107
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
seharusnya menjadi objek pengujian pengadilan, karena pengesahan
Piagam ASEAN merupakan kebijakan sensitive yang kental urusan politik
praktisnya. Pengesahan Piagam ASEAN merupakan political question
yang penyelesaiannya seharusnya dilakukan oleh lembaga politik yaitu
badan eksekutif atau legislative.
3) Pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial
Dalam perkara nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Mahkamah
Konstitusi membatalkan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi
hakim konstitusi, artinya Mahkamah Konstitusi menolak pembatasan
terhadap kewenangannya sendiri.
Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi melakukan ultra-petita dimana
perkara ini sebenarnya diajukan oleh hakim mahkamah agung yang
mempersoalkan pasal mengenai pengawasan Komisi Yudisial dan
beberapa pasal lain mengenai pelaksanaan pengawasan Komisi Yudisial.
Dalam sidang pendahuluan Mahkamah Konstitusi sudah tepat dengan
menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing untuk permohonan
yang berkaitan dengan hakim konstitusi, karena pemohon tidak
mengalami kerugian konstitusional atas itu. Namun dalam putusan justru
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim yang menjadi objek
pengawasan Komisi Yudisial tidak termasuk di dalamnya hakim
konstitusi, sehingga Mahkamah Konstitusi membatalkan pengawasan
Komisi Yudisal terhadap dirinya sendiri dan justru menolak permohonan
hakim mahkamah agung dengan menyatakan Komisi Yudisial berwenang
mengawasi hakim mahkamah agung. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
melanggar asas non-ultra petita.
Selain asas tersebut di atas, dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi juga
melanggar asas Nemo Judex In Causa Sua, dimana hakim tidak boleh
memeriksa perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Sesuai dengan
adagium tidak ada seorang pun hakim yang dapat berlaku adil dalam
memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri, timbul
pertanyaan
apakah
Mahkamah
Konstitusi
menjalankan
prinsip
108
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
imparsialitas dalam pengujian perkara ini? Conflict of interest adalah
sesuatu yang kasat mata, namun perlu ditekankan lagi bahwa imparsialitas
bukan hanya harus dilaksanakan tetapi juga harus dapat dirasakan dan
dapat dilihat.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak sejalan dengan politik hukum
perubahan UUD 1945 yang menghendaki adanya mekanisa check and
balances dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Dalam kurun
beberapa tahun kemudian baru disadari dampak tiadanya pengawasan
terhadap hakim konstitusi dengan munculnya kasus korupsi Akil Mochtar
yang terbukti kemudian dalam menjalankan tugasnya sering melanggar
kode etik hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial.
3. Juristocracy dalam Penafsiran Hukum
Terdapat pergeseran politik hukum dalam pembentukan konstitusi oleh MPR
dan penerapan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi. DPR selaku lembaga
yang memiliki wewenang untuk melakukan pengujian (legislative review)
terhadap Perpu tidak dapat bertindak apa pun terhadap tindakan Mahkamah
Konstitusi menguji Perpu atas dasar penafsiran Mahkamah Konstitusi sendiri
terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir otriatif dari
konstitusi pun menempatkan diri pada posisi yang sentral dalam penentuan
kebijakan negara ketika Mahkamah Konstitusi menerima perkara pengujian
pengesahan piagam ASEAN yang merupakan kebijakan sensitif dari negara,
para pakar hukum berada pada posisi yang rancu ketika Mahkamah Konstitusi
menolak permohonan pengujian piagam ASEAN, namun bukan tidak
mungkin kemudian aka nada lagi warga negara yang menguji sebuah
perjanjian internasional dan kembali diterima Mahkamah Konstitusi yang
permohonannya kemudian dikabulkan. Mahkamah Konstitusi berada pada
posisi menentukan arah kebijakan negara. Selain itu pembuat undang-undang,
yaitu DPR dan Presiden kebingungan ketika kemudian muncul kasus korupsi
oleh hakim konstitusi yang diidentifikasi akibat ketiadaan pengawasan
terhadap Mahkamah Konstitusi. Legislator tidak dapat menghidupkan
kembali pengawasan tersebut dengan norma yang telah dibatalkan oleh
109
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat terakhir dan mengikat, sehingga
akhirnya Presiden mengeluarkan Perpu yang secara rancu membuat sebuah
lembaga baru untuk mengawasi Mahkamah Konstitusi dan memasukan
sedikit peran Komisi Yudisial di dalamnya.
Dari pemaparan di atas terlihat bagaimana kekuasaan menafsirkan konstitusi
merupakan kekuasaan yang besar, dan dapat disalahgunakan jika dilakukan
tanpa pengawasan. Puguh Windrawan menjelaskan fenomena Mahkamah
Konstitusi dengan istilah constitutional heavy.63 Namun menurut penulis jika
penafsiran konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dilakukan terus dengan
melanggar prinsip – prinsip pengadilan dan paham konstitusionalisme seperti
dijelaskna di atas, maka struktur ketatanegaraan Indonesia menuju kea rah apa
yang disebut Ran Hirschl sebagai juristocracy yang merupakan konsekuensi
dari judicial review64, yaitu kekuasaan berada pada tangan para hakim.
E. Penutup
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang melakukan penerapan
konstitusi, dalam penerapan konstitusi terkandung politik hukum tertentu. Dalam
beberapa putusan diketahui, arah politik penerapan konstitusi yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi berbeda bahkan bertentangan dengan arah politik hukum
pembentukan konstitusi oleh MPR yang menghendaki adanya check and balances
sehingga terjadi keseimbangan dalam struktur ketatanegaraan dan menghendaki
terwujudnya paham konstitusionalisme yang menghendaki ada pembatasan
kekuasaan yang efektif terhadap organ – organ negara sehingga tidak terjadi
kesewenang – wenangan.
63
Baca Puguh Wardana, Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan ke Arah
Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi Vol. 9 No. 4 (Desember, 2012), hlm. 41-69.
64
Ran Hirschl, The Political Origins Of the New Constitutionalism, Indiana Journal Of Global Studies, Vol
11, hlm. 71-108.
110
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Mukhtie Fadjar, 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, JakartaYogyakarta: Konstitusi Press dan Citra Media, 2006.
Anis Ibrahim, 2008. Legislasi dan Demokrasi, Malang: Intrans Publishing.
Bagir Manan, 2012. Membedah UUD 1945, Malang: Universitas Brawijaya Press.
C. S. T. Kansil, 2002. Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2, Jakarta: Rineka Cipta.
Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Denny Indrayana, 2008. “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002”, Jakarta:
Kompas
Firmansyah Arifin (et.al), 2008. Menggapai keadilan Konstitusi (Suatu Rekomendasi
Untuk Revisi UU Mahkamah Konstitusi), Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional.
Gerhard van der Schyff, 2010. Judical Review Of Legislation A Comparative Study of the
United Kingdom, the Netherlands and South Africa, University Of Baltimore,
United Kingdom
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Jimly Asshidiqie, 2011. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press.
Mexsasai Indra, 2011. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Refika
Aditama.
Mohammad Mahfud MD, 2011. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Munir Fuady, 2009. Teori Negara Hukum Modern, Bandung: Refika Adiatama, Bandung.
Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Padmo Wahjono, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia
Robert Schutze, 2012. European Constitutional Law, United States of America:
Cambridge University Press
Satjipto Rahardjo, 2006. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung.
111
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Sri Soemantri, 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.
Susi Dwiharijanti (Ed), 2011. Negara Hukum yang Berkeadilan (Kumpulan Pemikiran
Dalam Rangka Purnabakti Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H., M. CL.), Jakarta:
PSKN FH UNPAD.
Zainal Arifin Hoesein, 2009. Judical Review di Mahkamah Agung Republik Indonesia
Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
B. Jurnal
M. Syamsudin, 2011. Rekonstruksi Perilaku Etik Hakim dalam Menangani Perkara
Berbasis Hukum Progresif, Jurnal Hukum UII Edisi Khusus, Vol. 18, Oktober
2011.
Puguh Windrawan, 2002. Pergeseran Kekuasaan Tipologi Ketiga; Fenomena Kekuasaan
ke Arah Constitutional Heavy, Jurnal Konstitusi, Vol. IX, No. 4, Desember 2002,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
Ran Hirschl, The Political Origins Of the New Constitutionalism, Indiana Journal Of
Global Studies, Vol 11.
Sujit Choudry dalam Rahayu Prasetianingsih, 2011. Penafsiran Konstitusi Oleh
Mahkamah Konstitusi Menuju Keadilan Substantif, Jurnal Konstitusi, Volume II,
No. 1, Juni 2011, Jakarta: Mahkamah Konstitusi.
112
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Penataan Kelembagaan Negara: Politik Hukum Mahkamah Konstitusi Di
Indonesia, Kewenangan Kearah Judicialization Of Politics?1
Neneng Widasari2
Abstrak
Kehadiran Mahkamah Konstitusi tidak terbatas sebagai The guardian of
constitution ataupun The protector of human rights. Kehadiran Mahkamah Konstitusi
dalam kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah
masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar
hukum, termasuk kekerasan. Pemaknaan lain terhadap kehadiran Mahkamah Konstitusi
tersebut sekaligus menimbulkan asumsi bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran
yang lebih penting dalam setiap perdebatan politik dan kebijakan publik yang secara
tradisional melekat pada cabang- cabang kekuasaan politik yang dipilih secara langsung
oleh rakyat. Oleh sebab itulah Judicialiation of politics muncul bukan sebagai sebab
karena hadirnya Mahkamah Konstitusi, justru Judicialiation of politics ada memang
dirancang sebagai politik hukum dibentuknya Mahkamah Konstitusi.
Keyword:
Kekuasaan
Kehakiman,
Mahkamah
Konstitusi
Politik
Hukum, Judicialiation of politics.
1
Tulisan disampaikan pada kegiatan Law Research Institute Conference, Padjadjaran Law Research and
Debate Society, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2013.
2
Penulis adalah mahasiswi program kekhususan Hukum Tata Negara dengan NPM
110110090342,
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,
sebagai anggota pusat kajian tata
negara(PAKTA). 103
113
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
A. Pendahuluan
Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah judul Artikel " Political
Judicialization Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia" yang
ditulis oleh Wicaksana Dramanda, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
2013. Dalam makalahnya tersebut Wicaksana Dramanda menyampaikan bahwa
dalam
perspektif
kekuasaan
kehakiman
sebagai
lembaga
independen, kewenangan seperti judicial review sengketa hasil pemilu, tuntutan
pembubaran suatu partai politik bahkan sengketa terhadap kewenangan lembaga
negara,
membuka peluang bagi pengadilan untuk dapat mengadili perkara-
perkara politis yang sangat mungkin menjadikan pengadilan sebagai objek
politicking.
Adanya ketergantungan kepada pengadilan untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan
publik, dan kontroversi-kontroversi politik. Hal ini berbanding lurus dengan
fungsi inti dari cabang kekuasaan kehakiman sebagai pelindung hak-hak individu
yang mungkin terancam oleh kepentingan mayoritas. Aharon Barak mengatakan
bahwa fungsi kekuasaan kehakiman adalah untuk menjaga konstitusi dan
demokrasi.3Dalam kerangka berfikir lain menurut Philip A. Talmadge fungsi
cabang kekuasaan kehakiman adalah untuk menyelesaikan sengketa yang teriadi
di tengah masyarakat agar tidak terjadi tindakan penyelesaian sengketa melalui
hal-hal diluar hukum, termasuk kekerasan.4 Dengan demikian, pengadilan
menjadi harapan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan yang
mendasar atau bahkan permasalahan yang membingungkan.
Kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung(dan badan peradilan di bawahnya) dan oleh sebuah Mahkamah
3
Dengan Frasa Asli "All of us (all branches of government, all parties and factions, all institutions) must
protect our young democracy. This protective role is conferred on the judiciary as a whole, and on
the Supreme Court in particular. Once again we. the judges of this generation, are charged with
watching over our basic values and protecting them against those who challenge them".
4
Dengan Frasa Asli "The most significant court function is dispute resolution; courts are designed to
resolve disputes so that the litigants do not resort to private remedies, including violence, to vindicate
their interests. In this process, courts assign culpability for behaviors and offer redress to litigants
adversely affected by the culpable conduct of others”.
114
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Konstitusi,5 menjadikan Indonesia sebagai negara yang menjalankan system
bifurkasi dalam ranah kekuasaan kehakimannya. Munculnya Mahkamah
Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung sebagai pemangku kekuasaan
kehakiman tentunya dengan banyak makna.
Jimly Asshiddiqie katakan
pemisahan ini dilakukan karena Mahkamah Agung lebih merupakan pengadilan
keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan
dengan lembaga pengadilan hukum (court of law)6 terhadap sengketa yang
bersifat ketatanegaraan.
Pemaknaan lain terhadap kehadiran Mahkamah
Konstitusi tersebut sekaligus menimbulkan asumsi bahwa Mahkamah Konstitusi
memiliki peran yang lebih penting dalam setiap perdebatan politik dan kebijakan
publik yang secara tradisional melekat pada cabang-cabang kekuasaan politik
yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi yang meningkatkan penggunaan
hukum, wacana hukum, serta proses litigasi yang ditempuh oleh berbagai aktor
politik termasuk politisi, gerakan sosial, maupun individu. Terhadap kehadiran
Mahkamah Konstitusi itulah kemudian penulis memberi respon,
apakah
sesungguhnya keberadaannya di Indonesia memang dikehendaki untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan politik? Pertanyaan tersebutlah yang akan
coba penulis jawab dalam pembahasan selanjutnya.
B. Judicialization of Politics sebagai model Politik Hukum
Menurut Moh. Mahfud MD Ruang lingkup dari politik hukum adalah
pembangunan hukum yang berintikan pembuatan pembaruan materi-materi
hukum dan agar sesuai dengan kebutuhan, serta pelaksanaan ketentuan hukum
yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
5
Pasal 24 ayat UUD 1945 berbunyi "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.”, Perpustakaan Nasional RI
6
Jimly Asshiddiqie, Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Kuliah
Umum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, (Surakarta, Kamis, 2 September, 2004.) HIm
18.
115
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
hukum.7 Sedangkan Bagir Manan katakan bahwa ruang lingkup politik hokum,
adalah
politik
pembentukan
hokum
(kebijaksanaan
berkenaan
dengan
penciptaan, pembaruan dan pengembangan hukum), serta politik penegakan
hukum dan terakhir terkait struktur hukum (legal structure), substansi hukum
(legal substance), dan budaya hokum (legal culture). Artinya model atau bentuk
politik hukum dibentuknya sebuah lembaga negara dapat terlihat dari, apakah
sebuah lembaga negara tersebut dibuat sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan
dalam hal ini dapat ditentukan oleh faktor-faktor yang juga memunculkan politik
hukum. Faktor-faktor tersebut menunut Bagir Manan adalah dasar dan corak
politik, tingkat perkembangan masyarakat, susunan masyarakat, serta pengaruh
global.8
Pengaruh global diawal abad ke-21 adalah adanya fenomena
ketergantungan kepada
pengadilan untuk
menyelesaikan
permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan moralitas, kebijakan publik, dan
kontroversi-kontroversi politik. Kewenangan untuk mengadili kontroversikontroversi politik tersebut telah mengubah pengadilan menjadi sebuah institusi
politik. Fenomena ini teriadi karena menurut Hirschl, Hukum Tata Negara adalah
bentuk lain dari politik.9 Untuk menjawab fenomena tersebut, ahli- ahli hukum
di Amerika dan Eropa mendefinisikan fenomena tersebut sebagai "political
on" atau "judicialization of politics".
Secara sederhana dapat kita nyatakan bahwa judicialization of politics
adalah sebuah ekspansi dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili
perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka
membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan
mayoritas.10 Dalam konteks demikian judicialization of politics yang berkembang
karena disebabkan wacana dan aktivitas pengadilan,
termasuk warga negara secara individu.
dan oleh aktor politik
Selanjutnya dalam prespektif
pembahasan Politik Hukum, Padmo Wahjono sebagaimana dikutip Mahfud MD
7
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia-edisi revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Hlm.17
8
Sebagaimana disampaikan oleh Indra Perwira dalam Kuliah Politik Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung.
9
Sebagaimana disampaikan oleh Indra Perwira dalam Kuliah Politik Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung
10
Ibid.
116
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
katakan bahwa politik hukum merupakan kebijakan dasar yang menentukan
arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.11 Dalam konteks
kebijakan dasar, judicialization of politics masuk kedalam lingkup pembahasan
politik hukum sebagai pembaruan materi-materi hukum agar sesuai dengan
kebutuhan.
C. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ke arah Judicialization of Politics?
Mahkamah Konstitusi12sebagai salah satu puncak pelaksana kekuasaan
kehakiman13
di Indonesia menjadikannya salah satu pusat kekuasaan
suprastruktur politik di Indonesia dan merupakan lembaga negara yang juga
pelaksana kedaulatan rakyat yang ditentukan menurut Pasal 1 Ayat (1) UUD
1945.14 Namun demikian bukan berarti tidak ada pembatasan dalam kewenangan
Mahkamah Konstitusi, pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi melalui
kewenangannya yang dicantumkan dalam Konstitusi diperlukan agar tidak
disalahgunakan.15 Adapun kewenangan MK yang ditentukan dalam Pasal 24 C
ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
11
Opcit. Mahfud MD
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai pentingnya suatu
Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi dalam era reformasi telah
inm 1minggi negara dan supremasi telah beralih Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam
era reformasi,
pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul
kembali. Perubahan UUD 194s yang terjadi dalam cra telah menyebabkan MPR tidak lagi
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beraliln dari supremasi MPR
kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah
mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi
kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling
mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan
agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada
peraturan di bawah undang-undang(UU) melainkan juga atas UU terhadap UUD. Kewenangan
melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar
Mahkamah Agung Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di
samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan.
13
Sebagaimana Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
14
Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaran di Indonesia,
(Bandung CV Utomo, 2007), Hlm. 124
15
Nimatul Huda, Pembatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian UndangUndang, Jumal Konstitusi, volume IV No. 2. November 2011, PSHK UII, Hlm. 6
12
117
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dan
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UndangUndang Dasar”.
Secara keseluruhan,
kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi terkait erat dengan persoalan konstitusional, yaitu pelaksanaan
ketentuan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wewenang
memutus pengujian konstitusionalitas undang-undang menjamin bahwa undangundang yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara benar-benar
merupakan pelaksanaan dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Wewenang
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
Undang-Undang Dasar, menjamin mekanisme ketatanegaraan yang dijalankan
oleh setiap lembaga negara dan antarlembaga negara dilaksanakan sesuai
ketentuan UUD 1945.
Wewenang
selanjutnya
adalah
memutus
pembubaran
partai
politik. Partai politik adalah salah satu bentuk pelaksanaan kebebasan berserikat
yang tidak dapat dilepaskan dari jaminan kebebasan hati nurani dan kebebasan
menyampaikan pendapat. Kebebasan- kebebasan tersebut menjadi prasyarat
tegaknya demokrasi. Oleh karena itu partai politik memiliki peran penting dalam
negara demokrasi karena partai politiklah yang pada prinsipnya akan membentuk
pemerintahan.16 Maka keberadaan partai politik harus dijamin dan tidak dapat
dibubarkan oleh kekuasaan pemerintah. Jika pemerintah, yang pada prinsipnya
dibentuk oleh suatu partai politik, memiliki wewenang membubarkan partai
politik lain, dapat terjadi penyalahgunaan untuk membubarkan partai politik
saingannya.17 Dengan demikian wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus
16
Lihat Harold J.Laski, A Grammar of Politic, Eleventh Impression,( London : George Allen & Unwin Ltd,
1951), hlm.312
17
Pembahasan mengenai hal ini dapat dibaca pada Jimly Asshidiqie, Kebebasan Berserikat, Pembubaran
Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,( Jakarta: Konstitusi Press,2005).
118
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
pembubaran partai politik adalah untuk menjamin pelaksanaan demokrasi dan
mekanisme ketatanegaraan sesuai UUD 1945.
Salah satu proses demokrasi yang utama adalah penyelenggaraan
pemilihan umum. Mekanisme ini menentukan pengisian jabatan-jabatan penting
dalam lembaga negara,
yaitu anggota DPR,
anggota DPD,
anggota
DPRD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Agar hasil pemilu benar-benar mencerminkan pilihan rakyat18 sebagai
pemilik
kedaulatan
pemilu
harus
dilaksanakan
secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Salah satu wujud prinsip
tersebut
adalah
penyelenggaraan
pemilu
tidak
diselenggarakan
oleh
pemerintah, tetapi oleh komisi tersendiri yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Selain itu, jika terjadi perselisihan hasil pemilu antara peserta dan
penyelenggara pemilu, harus diputus melalui mekanisme peradilan agar benarbenar obyektif, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pemerintah, peserta, maupun
penyelenggara pemilu. Di sinilah pentingnya wewenang Mahkamah Konstitusi
memutus perselisihan hasil pemilu untuk menjamin hasil pemilu benar-benar
sesuai dengan pilihan rakyat.
Diantara kewenangan-kewenangan yang disebutkan diatas penulis akan
coba mengkaji kewenangan yang telah dilaksanakan mahkamah konstitusi untuk
menilai apakah memang kewenangan Mahkamah Konstitusi mengarah pada
judicialization of politics.
Pertama, dalam melaksanakan kewenangan Pengujian undang-undang
Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan yang berkorelasi terhadap
keberlakuan suatu materi undang-undang,
dengan implikasi yaitu kekuatan
hukum sebagian substansi atau seluruh materi undang-undang tidak memiliki
daya ikat.19 Putusan terhadap keberlakuan suatu materi rumusan undang-undang
diberikan melalui penafsiran/interpretasi terhadap UUD 1945. Sehingga jelas
Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi undang-
18
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam sejarah: Telaah Perbandingan
Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 25-26; Lihat pula Maclver, The
Modem State. First Edition, (London: Oxford University Press, 1955), hlm. 396-397.
19
Pasal 57 ayat(1) dan(2) jo Pasal 58 Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, beserta perubahannya.
119
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama Presiden
dalam penyelenggaraan negara.20
Sebagai contoh pada perkara No. 33/PUU-IX/2011 dengan diterimanya
permohonan pengujian ini maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
dirinya berwenang menguji undang-undang yang meratifikasi perianjian
internasional.
Disisi lain kewenangan membentuk perjanjian internasional
menurut C.F. Strong adalah kekuasaan yang digunakan untuk melaksanakan
Diplomatic Power yaitu yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar
negeri21 Artinya nyata-nyata ini merupakan pilihan presiden yang dibentuk dan
dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan politis sebagai politik luar
negeri Indonesia dengan negara-negara asia tenggara lainnya yang menjadi
anggota ASEAN. Ekspansi dari lembaga kekuasaan kehakiman untuk mengadili
perkara mengenai kebijakan publik yang memiliki unsur politis dalam rangka
membatasi kewenangan cabang kekuasaan lain yang merepresentasikan
mayoritas merupakan sebuah bentuk Judicialization of Politics.22 Melalui putusan
ini MK telah dengan pasti menjadikan Judicial Reveiw sebagai ruang/pintu masuk
dilakukannya judicialization of politics,
dan hal ini menggindikasikan
diperbolehkannya masuk perkara bersifat politis ke MK.
Kedua,
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yang
diperluas hingga dilaksanakannya penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum
kepala daerah(PHPUD) oleh Mahkamah Konstitusi. Titik awal dilaksanakannya
penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah (PHPUD) oleh
Mahkamah
Konstitusi
dilakukan
setelah
Pemilihan
kepala
daerah
(Pilkada) dimasukkan pada rezim pemilu dan menjadi Pemilihan Umum Kepala
daerah (Pemilukada).23 Pemilukada merupakan pengembalian hak-hak dasar
20
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), Hlm. 32
21
C.F.Strong, Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative Study of Their History
And Existing Form, (London: Sid And Jackson Ltd, 1973), Hlm. 104.105
22
Loc.cit. Wicaksana Dramanda.
23
Perubahan rezim pemilihan kepala daerah yang semula diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah(UU 32/2004) kedalam Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang
penyelenggaraan pemilihan umum(UU 22/2007). pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2007, sebagai berikut: " Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Setelah
120
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
masyarakat daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka
rekrutmen pimpinan daerah sehingga dapat mendinamisasi kehidupan demokrasi
di tingkat lokal.24 Dengan masuknya sengketa hasil pemilihan umum daerah yang
merupakan mekanisme pengisian jabatan politik,
telah menjadikan MK
melakukan judicialization of politics.
Terakhir kewenangan Mahkamah Konstitusi menyelesaikan sengketa
kewenangan antar lembaga negara sebenarnya dapat dilihat sebagai upaya
penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi-institusi demokrasi
berdasarkan prinsip supremasi hukum.
Sebelum terbentuknya Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan
institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik.25
Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga
lain, atau tenjadi pertentangan antar lembaga atau institusi yang melahirkan krisis
konstitusional.
Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan
kotraproduktif terhadap pengembangan budaya demokrasi. Namun secara pas
kewenangan ini merupakan bentuk judicialization of politics.
D. Penutup
Kebijakan dasar dapat terlibat ketika pemerintah ataupun perumus
Undang- Undang Dasar menetapkan Perubahan Ketiga telah memilh apakah
dalam kekuasaan kehakiman yang akan dibentuk hanya akan menyelesaikan
perkara pidana, perdata, administrasi melalui Mahkamah Agung dan lingkungan
peradilan
dibawahnya,
atau
memasukan
kedalamnya
permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan moralitas kebijakan publik,
dan
kontroversi-kontroversi politik, atau membentuk satu lembaga lain untuk
menyelesaikan
menyelesaikan
24
25
permasalahan
tersebut.
Memilih
permasalahan-permasalahan
yang
lembaga
mana
berkaitan
yang
dengan
itu terjadi perubahan penamaan yang semula pemilihan kepala daerah atau Pilkada menjadi Pemilihan
Umum Kepala Daerah atau Pemilukada.
Nurhidayatuloh, Pilkada Langsung sebagai Proses Demokratisasi Pendidikan Politik Masyarakat
Lokal, Jumal Konstitusi, volume III No. 1, Juni 2010, PSHK UII. Hlm. 3
Jimly Asshidiqie. Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi,2008,Hlm.23
121
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
moralitas, kebijakan publik, dan kontroversi-kontroversi politik merupakan
sebuah kebijakan dasar yang kemudian menentukan arah, bentuk, maupun isi
dari hukum yang dibentuk melalui Undang-undang Dasar.
Dari perspektif Ruang lingkup Politik hukum serta mempertimbangkan
faktor-
faktor yang mempengaruhi Politik Hukum itu sendiri maka dapat
dikatakan bahwa kemunculan Mahkamah.Konstitusi di Indonesia melalui
kewenangannya yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum khususnya
pelaksanaan pemilihan umum di daerah serta menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negara memang telah menjadikan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga Negara dibidang Kekuasaan Kehakiman yang menyelesaikan
perkara-perkara politik yang terjadi di tengah masyarakat agar tidak terjadi
tindakan penyelesaian sengketa melalui hal-hal diluar hukum,
termasuk
kekerasan.
Judicialiation of politics justru muncul bukan sebagai sebab kehadiran
Mahkamah Konstitusi, justru Judicialiation of politics ada memang dirancang
sebagai politik hukum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Sehingga kehadiran
Mahkamah Konstitusi seharusnya memberikan penegasan fungsi MA sebagai
pengadilan keadilan (court of justice),
sehingga MA dapat berkonsentrasi
menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi
setiap warganegara.
122
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen, Perpustakaan Nasional RI
Undang-undang No.
24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
beserta
perubahannya.
B. Buku
C.F. Strong, 1973. Modern Political Constitutions: An Introduction to The Comparative
Study of Their History And Eristing Form, London: Sidgwick And Jackson Ltd.
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, 2006.
Mahkamah Konstitusi Memahami
Keberadaannya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Jimly Asshiddiqie, 2005.
Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik,dan
Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press.
Jimly Asshiddiqie,
1996.
Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam
Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press.
Lihat
Harold
J.Laski,
1951.
A
Grammar
of
Politic.
Eleventh
Impression, London: George Allen & Unwin Ltd.
Lodewijk Gultom, 2007. Eksistensi Maikamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaran
di Indonesia, Bandung: CV Utomo.
Maclver, 1955. The Modern State. First Edition, London: Oxford University Press.
Mahfud MD, 2011. Politik Hukum di Indonesia-edisi revisi, Jakarta: Rajawali Pers.
123
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
C. Artikel
Jimly Asshiddiqie, 2004.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia,
Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, Kamis, 2 September, 2004.
------------------------, 2008. Gagasan Dasar Tentang Konstitusi Dan Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi.
Ni’matul Huda,
2011.
Pembatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Pengujian Undang-Undang, Jurnal Konstitusi, Volume IV No. 2, November 2011,
PSHK UII
Nurhidayatuloh, 2010. Pilkada Langsung sebagai Proses Demokratisasi Pendidikan
Politik Masyarakat Lokal, Jurnal Konstitusi, Volume III No. 1, Juni 2010, PSHK
UII
Wicaksana Dramanda, 2013. Political Judicialization Dalam sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
124
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Pengisian Jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Kerangka
Negara Demokratis
Aisyah Ramadhania1
Abstrak
Indonesia harus mengakomodir keberagaman daerah dan menuangkannya ke
dalam konstitusi sebagai supreme law of the land. Keberagaman daerah yang mencakup
daerah istimewa dan daerah khusus tidaklah merusak tatanan Bhineka Tunggal Ika.
Yogyakarta memiliki keistimewaan berdasarkan fakta historis yang menimbulkan corak
berbeda dalam negara yang demokratis, salah satunya adalah pengisian jabatan Gubernur
dan Wakil Gubernur yang bercorak monarki.
Kata kunci : demokratis, Gubernur,Yogyakarta.
A. Pendahuluan
Keberagaman daerah di Indonesia telah di akomodir dalam UndangUndang Dasar 1945 (selanjutnya akan disebut dengan UUD 1945), namun pasca
perubahan UUD 1945, daerah-daerah yang beragam tersebut diakui melalui
penegasan daerah yang khusus dan istimewa dalam konstitusi. Penegasan ini
menimbulkan banyak diskursus di dalam ketatanegaraan di Indonesia, salah satu
diskursus terkait daerah khusus dan istimewa adalah pengangkatan Sri Sultan
Hamengkubuwono yang menjadi anomali pengisian jabatan kepala daerah di
negara demokratis.
1
Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan NPM 110110100026,
yang sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen PPSDMO PLEADS (Padjadjaran Law Research &
Debate Society)
125
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
B. Pembahasan
Asal mula Yogyakarta menjadi salah satu daerah istimewa di wilayah
Negara Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari fakta historis, bahwa
secara de facto dan de jure Kesultanan Yogyakarta adalah wilayah yang merdeka
dan terlepas dari kekuasaan Hindia Belanda. Bergabungnya Yogyakarta ke dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan pernyataan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX tanggal 5 September 1945 yang kemudian dikenal dengan
“Maklumat
Kasultanan
Ngayogyakarto,
Ngayogyakarto”.
Dalam
Maklumat
Kasultanan
secara eksplisit menyatakan bahwa Negeri Ngajogjakarta
Hadiningrat (Yogyakarta) yang bersifat kerajaan adalah bagian dari Negara
Republik Indonesia yang merupakan daerah istimewa,
oleh karena itu
pemerintahan dan kekuasaan-kekuasaan lain di Yogyakarta menjadi urusan
Yogyakarta sendiri2. Kemudian Yogyakarta menjadi sebuah Provinsi Istimewa
Yogyakarta berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1990 dan berlaku pada
tanggal 15 Agustus 1950.
Selama proses perumusan UUD 1945,
perumus UUD 1945 telah
mengakomodir daerah - daerah istimewa yang ada di Indonesia di dalam
konstitusi. Hal ini tercantum dalam pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang
menyatakan : "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan
bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam system pemerintahan
negara, dan hak-hal asal – usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa."
Mr. Soepomo sebagai salah satu perumus UUD 1943 menjelaskan
maksud dari “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”
yaitu :
“Hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus
diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama, daerah
kerajaan (Kooti), baik di Djawa maupun diluar djawa, daerah-daerah yang dalam
2
Dictum 1 Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Dictum 1 Amanat Kadipaten Paku
Alaman
126
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
bahasa belandanya dinamakan zelfbesturende landschappen. Kedua, daerahdaerah kecil yang mempunyai susunan asli ialah Dorfgeminschaften, daerahdaerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli,
gampong di Aceh. Maksud panitia ialah hendaknya adanya daerah-daerah
istimewa tadi ialah daerah kerajaan (zelfbsturende landschappen) dan desa-desa
itu dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli."3
Pasca amandemen UUD 1945, banyak terdapat pasal di UUD 1945 yang
mengalami perubahan baik penambahan ataupun pengurangan. Setelah
perubahan, pasal mengalami perubahan. Perubahan pasal 18 UUD 1945 tidak
hanya sekedar mengalami penambahan pasal tetapi memuat berbagai konsep atau
paradigma baru atau paradigma yang lebih tegas dibandingkan pasal 18 yang
lama4. 18B ayat (1) UUD 1945 berbunyi : “ Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur oleh undang-undang". Kalimat “hak-hak asal-usul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa" tidak lagi digunakan. Penghapusan kalimat
tersebut dapat mereduksi nilai-nilai historis daerah istimewa di Indonesia,
termasuk Yogyakarta namun UUD 1945 tetap mengakomodir keberadaan daerah
yang bersifat istimewa di Indonesia.
Dalam Pasal 18 ayat(4)
"Gubernur,
UUD 1945 yang menyatakan bahwa
bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis,” Ketentuan
pemilihan yang diharuskan bersifat demokratis ini dijabarkan oleh UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pemilihan
itu diharuskan dilakukan secara langsung oleh rakyat. Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 memuat tentang tata cara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah beserta penyelenggaraannya. Dalam undang-undang ini kepala daerah dan
3
RM B. Kusumah, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: FH UI,2004), hlm 362-363
4
Bagir Manan, Menyongsong ajar Otonomi Daerah, cetakan keempat,(Yogyakarta : Pusham FH UII,
2000), hlm X
127
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pelaksanaan pemilhan
kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan wewenang Pemerintah Daerah.
Permerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi
luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas,daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan
dan keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.5
Dalam rangka mengakui satuan pemerintahan yang bersifat istimewa,
Yogyakarta melalui Undang-Undang No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki mekanisme tersendiri untuk memilih
gubemur secara demokratis,
yaitu gubernur harus bertahta Sri Sultan
Hamengkubuwo dan wakil gubemur bertahta sebagai Adipati Paku Alam yang
untuk dikukuhkan. Sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
Gubemur
dipilih secara demokratis.
Selain Daerah Istimewa Yogyakarta, daerah-daerah berotonomi khusus
lainnya telah memiliki pengaturannya sendiri. DKI Jakarta diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007
No.93;TLN 4744), kekhususan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh(LN
2006 No 62 TLN 4633). Sementara itu, kekhususan Provinsi Papua diatur dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 No.135 dan Tambahan Lembaran Negara
5
J. Kaloh, Mencari Bentuk otonomi Daerah, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm 72
128
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. Tahun 2008 (LN Tahun 2008
No. 57 dan TLN No. 4843).
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam wawancara dengan Jawa
Pos National Network (JPNN) mengatakan bahwa:
“Keistimewaan jogia ini, kalau definisi monarki yang sederhana itu kan,
goverment by the one, jadi dari raja secara turun temurun, kan seperti itu. Di satu
pihak ada demokrasi, ada tuntutan dari UUD pasal 18, mengatakan dipilih secara
demokratis.
Itu bukan kata presiden,
tapi UUD.
Jadi presiden
mempertimbangkan kondisi monarki dengan amanat UUD itu, itu yang akan
dibahas dan belum disimpulkan.”6
Pendapat yang menyatakan bahwa Gubemur harus dipilih secara
demokratis berdasarkan amanat konstitusi pasal 18 ayat tidaklah salah
Namun,
ketentuan pasal 18B ayat(1) konstitusi menyatakan bahwa Negara
mengakui dan menghormati pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
istimewa. Berdasarkan penafsiran gramatikal, diletakannya pasal lafal "Negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” setelah pasal
18 ayat(4)
menunjukan bahwa Negara mengizinkan dan mengakui adanya
pengecualian dalam pengelolaan pemerintahan daerah, terutama diperuntukan
bagi daerah khusus atau daerah istimewa.
Di Indonesia terdapat daerah dengan otonomi khusus lainnya yaitu
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dikarenakan kekhususan yang melekat pada DKI
Jakarta sebagai ibukota Negara. Kekhususan tersebut juga berdasarkan pengakuan
oleh pasal 18B ayat(1) UUD 19457. Sama dengan konsep kekhususan yang
diusung oleh DKI Jakarta,
keistimewaan Yogyakarta merupakan hal yang
konstitusional.
6
7
http://jpnn.com/read/2010/01/78528
Rusdianto S, Polemik Keistimewaan Yogyakarta.FH Universitas Narotama Surabaya,hlm 16
129
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
C. Penutup
Yogyakarta bukanlah suatu daerah yang menganut bentuk pemerintahan
monarki absolut yang tidak dapat dikontrol oleh masyarakat. Gubernur dapat
dikontrol oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat dan
gubernur tetap bertanggung jawab langsung kepada Presiden, hal ini sesuai
dengan Maklumat Kasultanan Ngayogyakarto pada 5 September 1945.
Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY menjadi ciri
tersendiri yang dimiliki oleh Daerah Istimewa Yogyakarta, tanpa mengurangi
sedikitpun nilai-nilai demokrasi yang diamanatkan oleh konstitusi.
130
Padjadjaran Law Review I, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, 2000. Menyongsong Ajar Otonomi Daerah, cetakan keempat, Yogyakarta
: Pusham FH UII
Dictum 1 Amanat Kasultanan Yogyakarta 5 September 1945 dan Dictum 1 Amanat
Kadipaten Paku Alaman
J.Kaloh, 2007. Mencari Bnetuk Otonomi Daerah, Jakarta: Rineka Cipta.
Rusdianto S. Polemik Keistimewaan Yogyakarta. FH Universitas Narotama Surabaya
RM.A. B. Kusumah, 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: FH UI
131
Download