2 PENDAHULUAN Mikroorganisme yang tumbuh di lingkungan ekstrim seperti kawah gunung berapi ataupun sumber air panas memiliki cara pertahanan diri agar dapat bertahan hidup. Cara yang dilakukan mikroorganisme antara lain dengan menahan masuknya senyawa anorganik toksik seperti selenium atau dengan mekanisme resistensi dalam sel mikroorganisme dengan mengubah senyawa toksik menjadi tidak toksik. Bakteri yang hidup di tempat ekstrim seperti bakteri termofilik (tahan suhu tinggi) memiliki mekanisme resistensi senyawa logam berat seperti selenium toksik sehingga bakteri termofilik tetap dapat bertahan pada lingkungan mengandung selenium (Rosen 1996). Mekanisme resistensi disebabkan adanya gen yang menyandikan protein sehingga dapat berikatan dengan senyawa selenium dan diubah menjadi kompleks selenium-protein yang tidak toksik. Kompleks selenium-protein dapat digunakan sebagai komponen sisi aktif dari enzim glutation peroksidase. Enzim ini berperan sebagai enzim antioksidan dalam melindungi sel dari radikal bebas. Radikal bebas adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki elektron tidak berpasangan. Akibatnya radikal bebas selalu mencari pasangan elektron, tetapi dengan cara radikal yaitu mengambil elektron dari molekul lain, maka itu disebut Reactive Oxygen Species (ROS). Radikal bebas dalam jumlah berlebihan di dalam tubuh akan sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein, dan jaringan lemak. Radikal bebas dapat terbentuk akibat produk sampingan hasil metabolisme ataupun karena tubuh terpapar radikal bebas melalui pernapasan (Dalimarta & Soedibyo 1998). Tubuh manusia meskipun mempunyai mekanisme antioksidan atau antiradikal bebas secara endogenik tetapi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka dibutuhkan antioksidan dari luar tubuh. Senyawa antioksidan ini akan memberikan satu atau lebih elektronnya pada radikal bebas. Jika tidak, radikal-radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan kanker. Sejumlah penelitian menggunakan biakan sel kanker telah menunjukkan bahwa apoptosis adalah mekanisme utama sehubungan dengan efek antikanker dari selenium. Studi awal mengenai apoptosis yang diinduksi selenium dilakukan menggunakan selenit dan menunjukkan adanya kerusakan oksidatif DNA sedangkan studi menggunakan selenium termetilasi membuktikan bahwa efek apoptosis dari selenium tidak berhubungan dengan efek toksiknya. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa struktur kimia senyawa selenium dan dosis pemberian merupakan penentu aktivitas biologiknya baik sebagai nutrien utama maupun senyawa bersifat kemopreventif untuk kanker, atau sebagai zat toksik (Sari 2007) . Belum diteliti mengenai adanya kemungkinan gen resistensi selenium dari bakteri termofilik. Keberadaan gen resistensi selenium perlu diketahui maka dilakukan kloning gen. DNA bakteri termofilik dipotong-potong secara spesifik dan diharapkan mewakili gen resistensi selenium. Selanjutnya fragmen DNA disisipkamkan ke dalam vektor sehingga menghasilkan vektor rekombinan. Hasil transformasi ditransfeksi ke dalam sel inang yaitu E.coli dan ditumbuhkan ke dalam media yang mengandung antibotik dan IPTG X-gal sehingga dapat diidentifikasi sel rekombinan hasil transformasi (Lampiran 1). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri termofilik yang memiliki gen penyandi resistensi selenium (Se) dari sumber air panas dan mengklon gen resistensi selenium ke dalam sel bakteri E. coli sehingga dapat diperbanyak. Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah diperolehnya informasi ilmiah tentang gen penyandi resistensi selenium. Hipotesis penelitian ini adalah gen resistensi selenium dapat diidentifikasi, diisolasi, dan diklon ke dalam sel E. coli. TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Termofilik Bakteri termofilik merupakan salah satu bakteri yang unik karena dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan bersuhu tinggi. Kisaran suhu pertumbuhan bakteri yang ekstrim dibagi tiga yaitu termofilik 45-65 ºC, ekstrim termofil 65-85 ºC, dan hipertermofil 85-110 ºC. Mikroorganisme ini dapat dengan mudah ditemukan di daerah dengan aktivitas geotermal, seperti daerah pegunungan berapi, sumber air panas, dan juga tempata cadangan minyak bumi atau batubara (Van den Burg 2003). Bakteri termofilik pertama kali diisolasi pada tahun 1879 oleh Miquel, penemu bakteri 3 yang mampu berkembang pada suhu 72 ºC (Prasetyo 2006). Bakteri ini ditemukan pada tanah, debu, kotoran badan, tempat pembuangan limbah, dan lumpur sungai. Varietas bakteri termofil di tanah yang tumbuh subur pada temperatur tinggi tetapi tidak dapat tumbuh pada suhu kamar. Bakteri ini ditemukan di gurun pasir Sahara, tetapi tidak ditemukan di tanah pada hutan yang dingin (subtropis). Tanah perkebunan yang mengandung pupuk terdapat 1-10% bakteri termofilik (Prasetyo 2006), sedangkan tanah lapang yang luas hanya mengandung 0.25% atau kurang. Tanah yang tidak ditumbuhi tanaman kemungkinan sama sekali tidak terdapat bakteri termofilik. Mikroorganisme mesofilik dan termofilik yang tersebar luas di alam umumnya terdapat pada bahan-bahan makanan, sampah dan pupuk. Temperatur optimum mesofilik untuk melakukan reproduksi meliputi suhu pada hewan berdarah panas yang mengeksresikan bakteri mesofilik dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri termofilik mampu bertahan dan berkembang biak pada suhu tinggi karena tiga faktor yaitu (1) kandungan enzim dan protein lainnya lebih stabil dan tahan terhadap panas daripada protein bakteri mesofilik yang berfungsi secara optimal pada suhu tinggi, (2) organel-organel yang menyintesis protein (ribosom dan perangkat lainnya) stabil terhadap panas, dan (3) membran lipid sel termofil kaya akan asam lemak jenuh sehingga membentuk ikatan hidrofobik yang jauh lebih kuat (Brock 1986). Keanekaragaman bakteri termofilik memberikan gambaran potensi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Bakteri termofilik dipelajari dan diteliti secara intensif karena alasan pengembangan penelitian dasar dan aplikasi bioteknologi. Bakteri termofilik berpotensi sebagai sumber enzim khas yang dapat digunakan pada proses pengolahan limbah maupun pelapukan mineral (Brock 1986). Enzim-enzim tersebut mampu bertahan dan aktif pada temperatur tinggi. Sifat seperti ini sangat dibutuhkan oleh industri-industri berbasis enzim. Pemahaman terhadap perbedaan perilaku bakteri antara yang hidup di lingkungan alami dengan lingkungan buatan (kultur laboratorium) dapat membantu untuk mengenali perbedaan perilaku hidupnya. Lingkungan ekstrim sangat disukai untuk studi ekologi karena keragaman spesies genetik yang hidup di dalamnya. Pada sumber air panas yang asam, bakteri ditemukan terutama hidup bebas di air, sedangkan pada sumber air panas netral bakteri melekat pada dinding bersilika. Bahan-bahan yang larut di dalam sumber air panas biasanya hidrogen sulfida, karbondioksida, senyawa karbon organik berberat molekul rendah seperti metana, hidrogen amonia, unsur-unsur mikro, dan anion-anion seperti klorida dan bikarbonat (Prasetyo 2006). Geobacillus sp Geobacillus merupakan genus bakteri yang mewakili lebih dari 25 jenis isolat Gramnegatif dari berbagai daerah termofilik buatan manusia dan alam di seluruh dunia. Bakteri gram negatif dilihat dari dinding selnya. Dari hasil pengujian karakteristik bakteri dengan menggunakan pewarnaan gram, bakteri ini membentuk warna merah dari pewarna safranin. Hal ini disebabkan oleh kandungan lipid yang lebih tinggi pada dinding selnya dan lipid umumnya larut dalam alkohol. Larutnya lipid oleh pemucat (alkohol) diduga memperbesar pori-pori dinding sel dan inilah yang menyebabkan proses pemucatan pada sel-sel gram negatif berlangsung cepat. Bakteri gram negatif yang telah kehilangan kompleks warna ungu dari kristal iodium akan terwarnai oleh safranin sehingga akan berwarna merah (Beishir 1991) (Gambar 1). Geobacillus dari namanya dapat diketahui memiliki bentuk bacil yang berarti batang. Oragnisme ini cenderung membentuk koloni berantai dan memiliki pH optimum 7.0 juga temperatur optimum 55-65ºC. Urutan parsial 16S rRNA dari organisme ini memiliki 97% kemiripan dengan Geobacillus stearothermophilus, salah satu kerabat terdekat genetiknya (Ren et al. 2009). Namun, uniknya di antara semua anggota ini,ada genus Geobacillus menghasilkan zat organik yang mudah menguap yang memiliki aktivitas antibiotik ampuh. Beberapa komponen yang lebih penting yaitu benzaldehida, asam asetat, butanal, asam 3metil-butanoat, asam 2-metil-butanoat, asam propanoat, dan asetil benzena. Gambar 1 Bakteri Geobacillus sp dalam pengamatan mikroskopik (Clorinda 2009). 4 Uji pada pengamatan organisme seperti Aspergillus fumigatus, Botrytis cinerea, Verticillium dahliae, dan Geotrichum candidum menghasilkan total penghambatan pertumbuhan pada paparan 48 jam untuk sel Geobacillus tertentu dan membunuh pada 72 jam paparan pada konsentrasi yang lebih tinggi pada sel bakteri. Campuran sintetis dari senyawa atsiri yang tersedia, pada rasio yang terjadi di Geobacillus sp ini menirukan bioaktivitas organisme tersebut (Ren et al. 2009). Selenium Selenium (Se) merupakan elemen mikroesensial bagi manusia dan hewan. Selenium dapat ditemukan dalam bentuk organik maupun anorganik. Bentuk anorganik Se ditemukan sebagai selenat (SeO42-), selenit (SeO43-) , dan selenium oksida (SeO2), sedangkan bentuk organik Se berikatan dengan asam amino pembentuk protein menjadi selenometionin atau selenosistein (Dilaga 1992). Se berperan penting sebagai komponen pembentuk sisi aktif, seleno group (-SeH) dari Glutation Peroksidase (GPx), Thioredoksin Reduktase (TR) dan selenoenzim lain. Efek pencegahan kanker sangat nyata terdapat pada garam Se anorganik, seleno asam amino, dan berbagai organo selenium sintetik (Lobinski et al. 2000). Sejak tahun 1980 banyak dilaporkan bukti-bukti bahwa asupan Se yang ideal berupa selenit, selenat dan selenometionin dalam tubuh dapat mencegah pertumbuhan sel kanker (Spallholz 2001). Se merupakan unsur spesifik yang bersifat toksik pada tingkat asupan tinggi dan menyebabkan gejala defisiensi bila asupan terlalu rendah. Tiga penyakit spesifik yang berkaitan dengan defisiensi Se yaitu, Keshan Disease (mengakibatkan turunnya fungsi hati dan jantung pada penderita anak-anak), Kashin Beck Disease (mengakibatkan osteoarthropaty), Myxedematous Endemic Cretinism (mengakibatkan lemah mental) (Cassaret 1986). Jumlah asupan Se disarankan rata-rata sebesar 40 µg per hari untuk dewasa (Combs dalam Dummont 2006). Kelebihan asupan Se akan berdampak buruk pada kesehatan yaitu menimbulkan kondisi yang disebut selenosis. Selenosis akan timbul pada penduduk di daerah-daerah yang mengandung kadar Se tinggi dalam tanah (lebih dari 84 mg/kg) dan juga bila asupan per hari melebihi 400 µg Se. Gejala-gejala selenosis diantaranya yaitu kerontokan rambut, kuku lepas, bercak-bercak putih pada kuku, nafas bau bawang putih, kelelahan, iritabilitas, dan kerusakan syaraf ringan (Dumont 2006). Genom Bakteri Genom bakteri terdiri dari DNA kromosom dan DNA ekstrakromosom atau plasmid. Bakteri tidak mempunyai pemisahan antara inti dan sitoplasma, maka kromosom dan plasmid kedua-duanya terdapat dalam satu ruang sitoplasma. Plasmid mempunyai ukuran yang relatif sangat kecil dibandingkan dengan kromosom (Jusuf 2001). DNA Kromosom. Selama hampir dua dekade diakui bahwa bakteri mempunyai satu kromosom yang disusun oleh satu molekul DNA berbentuk sirkular. Pada akhir dekade delapan puluhan berbagai hasil riset membuktikan adanya bakteri yang mempunyai kromosom linier, dan adanya bakteri yang mempunyai dua kromosom. Bakteri sebagian besar ditemukan mempunyai satu kromosom yang berbentuk sirkular (Jusuf 2001). Perkembangan teknik molekular telah memungkinkan untuk pemisahan molekul atau fragmen DNA berdasarkan berat molekul atau panjang rangkaian nukleotidanya. Teknik ini telah berhasil menetapkan bentuk serta ukuran kromosom berbagai spesies bakteri (Jusuf 2001). Kromosom bakteri mempunyai ukuran sekitar 1 000 kali panjang selnya. Sebagai contoh E. coli yang panjang selnya sekitar 1 sampai 2 µm, mempunyai kromosom berukuran sekitar 1360 µm. Kromosom akan dikemas menjadi bentuk yang kompak yang disebut nukleoid, dan akan menempati sekitar 10 persen dari volume sel bakteri. Studi pada E.coli menunjukkan bahwa kromosom sirkular mengalami pelipatan membentuk sejumlah simpul atau domain lipatan. Setiap simpul mengandung sekitar 40 kilo (40 000) pasang basa, dan di dalam setiap simpul terjadi pembentukan superheliks negatif. Topoisomerase akan sangat berperan dalam pembentukan superkoil ini (Jusuf 2001). DNA Plasmid. Plasmid pada bakteri merupakan DNA ekstrakromosom yang berutas ganda dan berutas sirkular (Jusuf 2001). Plasmid umumnya membawa satu atau sejumlah gen, yang dapat berupa gen pembawa sifat resisten terhadap antibiotika, penyandi enzim restriksi, atau penyandi enzim yang terlibat dalam pembentukan toksin atau antibiotika. 5 Sifat plasmid yang terpenting yaitu adanya daerah yang berfungsi sebagai origin replikasi (titik ORI) yang memungkinkan plasmid memperbanyak diri tanpa bergantung pada proses replikasi DNA kromosom. Segmen DNA asing yang diselipkan pada plasmid maka segmen DNA asing tersebut juga turut diperbanyak pada saat plasmid memperbanyak diri sehingga plasmid dapat digunakan sebagai vektor untuk pengklonan gen. Keberadaan plasmid dalam sel tidak mutlak karena suatu sel dapat kehilangan plasmid tanpa mengganggu kemampuan hidupnya; sedangkan kromosom keberadaannya mutlak karena sel tidak akan hidup tanpa kromosom (Jusuf 2001). sentrifugasi. Setelah sentrifugasi, tiga lapisan dihasilkan. Fase cairan paling atas adalah fase yang mengandung asam nukleat, fase paling bawah adalah fase larutan organik, sedangkan lapisan tengah yang merupakan perbatasan antara fase cairan dan fase organik adalah protein yang terdenaturasi. Fase paling atas dipisahkan dan DNA diendapkan dengan penambahan etanol (Boyer& Rodney 1986) (Gambar 3). Isolasi DNA Penggunaan DNA untuk keperluan analisis atau manipulasi biasanya memerlukan proses isolasi dan pemurnian. DNA diperoleh dari sel yang sangat halus (Wilson &Walker 2000). Prosedur umum isolasi DNA dibagi menjadi tiga bagian yaitu; (1) merusak membran sel dan melepas DNA ke dalam media yang terlarut serta terlindung dari degradasi, (2) pemisahan kompleks protein-DNA, dan (3) pemisahan DNA dari komponen seluler terlarut lainnya. Prosedur isolasi yang dideksripsikan adalah penggunaan enzim lisozim untuk merusak membran sel. Lisozim mengkatalisis hidrolisis ikatan glikosidik dalam dinding sel karbohidrat, yang menyebabkan kerusakan membran luar dan melepas DNA dan komponen seluler lainnya. Media untuk larutan DNA adalah bufer, larutan garam yang mengandung EDTA. Keberadaan EDTA yaitu untuk mengkelat Mg2+ yang dibutuhkan oleh enzim pendegradasi DNA (Wilson &Walker 2000). DNA bersifat ionik, lebih larut, lebih stabil dalam larutan garam daripada air destilasi. Deterjen juga terkadang digunakan pada tahap ini untuk merusak interaksi ionik antara histon yang bermuatan positif dan tulang belakang DNA yang bermuatan negatif. Deterjen yang digunakan adalah sodium dedoxil sulfat (SDS) yang bersifat anionik. SDS akan mengikat protein dan memberikan karakter anionik yang ekstensif. Selain itu, SDS juga sebagai pendenaturasi deoksiribonuklease dan protein lainnya (Gambar 2). Sebelum DNA diendapkan, larutan harus dihilangkan dari protein (deproteinasi). Hal ini dilakukan dengan penambahan kloroform/isoamilalkohol dan diikuti dengan Gambar 2 Skema pelepasan DNA dari sel. Gambar 3 Skema pemisahan dan pemekatan DNA. Pengklonan DNA Gregor Mandel telah merumuskan aturanaturan pewarisan sifat-sifat biologis pada tahun 1865 (Jusuf 2001). Sifat-sifat organisme yang dapat diwariskan diatur oleh suatu faktor yang disebut gen, yaitu suatu partikel yang berada di dalam sel pada kromosom. Gen 6 menjadi dasar pengembangan penelitian genetika seperti; pemetaan gen dan analisis posisi gen pada kromosom. Hasil penelitian telah berkembang baik dengan diketahuinya DNA sebagai material genetik, strukturnya, kode-kode genetik serta proses transkripsi dan translasi yang dapat dijabarkan. Suatu penelitian yang merupakan revolusi dalam biologi modern adalah ditemukannya metode teknologi DNA rekombinasi atau rekayasa genetika yang inti prosesnya adalah pengklonan gen yaitu suatu prosedur untuk memperoleh replika dari sel atau organisme tunggal (Mizawarti 2003). Pada prinsipnya pengklonan DNA adalah penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui perkembangbiakan sel bakteri. Hal ini dilakukan dengan memasukkan DNA rekombinan yang dihasilkan dari penggabungan tersebut ke dalam sel E.coli. Selanjutnya sel ini diinkubasi pada suhu optimal sehingga sel dapat berkembang biak secara eksponensial (Muladno 2002). Pemasukan molekul DNA ke dalam sel inang di sebut transformasi. Sel yang digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten. Sel dibuat menjadi kompeten melalui perlakuan dengan garam kalsium klorida (CaCl2) (Gambar 4). Dalam proses transformasi, sel kompeten yang dicampur dengan molekul DNA hasil penggabungan akan mengalami tiga kemungkinan, yaitu: (1) sel kompeten tidak kemasukan molekul DNA apapun (2) sel kompeten kemasukan DNA vektor yang tidak membawa gen X, dan (3) sel kompeten kemasukan DNA vektor yang membawa gen X (yaitu DNA rekombinan) (Muladno 2002). Ketiga kemungkinan dapat terjadi pada sel kompeten dapat diketahui. Tiga cawan yang berisi media padat disiapkan, yang masingmasing dilabeli A,B, dan C. Cawan A hanya berisi media padat, cawan B berisi media padat yang mengandung antibiotik, cawan C berisi media padat yang mengandung antibiotik, X-gal dan IPTG. Masing-masing cawan digunakan untuk menumbuhkan sel kompeten hasil transformasi. Ketika sel ditumbuhkan pada ketiga cawan tersebut, jumlah koloni terbanyak didapat pada cawan A, karena semua sel kompeten dapat hidup semua. Pada cawan B, jumlah koloni jauh lebih sedikit daripada jumlah koloni pada cawan A karena semua sel kompeten kosong akan mati. Hanya koloni sel pembawa DNA plasmid yang dapat hidup karena pada plasmid mengandung gen” tahan terhadap antibiotik”. Pada cawan C, jumlah koloni relatif sama dengan jumlah koloni pada cawan B tetapi ada dua macam warna koloni , yaitu putih dan biru. Adanya perbedaan warna koloni ini terjadi akibat adanya zat kimia Xgal dan IPTG yang bereaksi dengan produk gen Lac Z pada plasmid. Warna putih pada koloni diakibatkan adanya kerusakan pada sel kompeten DNA rekombinan (DNA plasmid + gen X). Adapun koloni berwarna biru berarti sel kompeten yang tumbuh di cawan ini membawa DNA plasmid saja (tidak disisipi gen X) (Muladno 2002). Secara teoritis, koloni berwarna putih dapat dipastikan merupakan sel yang membawa DNA rekombinan. Langkah berikutnya meliputi isolasi DNA rekombinan dari sel E. coli, pemotongan DNA dengan enzim restriksi yang digunakan dalam pembuatan DNA rekombinan, pemisahan DNA melalui gel elektroforesis dan visualisasi DNA (Muladno 2002). Gambar 4 Skema kloning DNA ke dalam plasmid. Elektroforesis Gel Agarosa Elektroforesis adalah proses migrasi molekul bermuatan didalam satu larutan melalui suatu medan listrik. DNA, RNA, dan protein dipisahkan dari satu campuran yang kompleks berbentuk pita (band). Migrasi dalam larutan (bufer) melalui satu matriks polimer (gel poliakrilamid, agarose, dan pati). Matrik gel dicetak didalam dua keping kaca. Migrasi tergantung pada ukuran molekul bersangkutan. Kegunaan dari elektroforesis sebagai alat analisis atau teknik preparatif untuk memurnikan molekul sebelum digunakan dalam metode-metode lain seperti 7 spektrometri massa, PCR (Polymerase Chain Reaction), pengklonan, sekuensing DNA, atau immuno-blotting yang merupakan metodemetode karakterisasi lebih lanjut (Wilson&Walker 2000). Prinsip teknik elektroforesis gel agarosa adalah molekul DNA yang bermuatan negatif di dalam medan listrik akan bermigrasi melalui matriks gel menuju kutub positif (anode). Makin besar ukuran molekulnya, makin rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen-fragmen molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui ukurannya (Wilson&Walker 2000). Pemisahan DNA atau RNA dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa. Agarosa berasal dari ekstrak rumput laut yang dimurnikan berupa polimer linier yang mengandung residu D- dan L- galaktosa yang digabung dengan ikatan α (1→ 3) dan β (1→ 4) glikosidik. Residu L-galaktosa mempunyai jembatan anhidro antara posisi ketiga dan keenam. Rantai agarosa membentuk serat-serat helik yang bergabung menjadi struktur superkoil dengan jari-jari 2030 nm (Sambrook et al. 1989). Konsentrasi gel agarosa yang digunakan dalam elektroforesis bervariasi antara 0.7%-1.5%. Konsentrasi gel 0.8%-1% sangat baik untuk memisahkan fragmen DNA atau RNA. Konsentrasi gel kurang dari 0.5% dapat meningkatkan daya pisah elektroforesis namun sangat rapuh dan sulit ditangani. Contoh sampel yang terdapat pada Gambar 1. Ethidium bromida dapat ditambahkan ke dalam suspensi DNA atau RNA untuk tujuan visualisasi hasil elektroforesis (Sambrook et al. 1989). Ethidium Bromida (EtBr) adalah molekul planar siklik yang berikatan antara pasangan basa RNA yang tertumpuk. EtBr mengikat RNA dengan sedikit atau tidak pada sekuens pilihan. Pada kejenuhan larutan berkekuatan ionik tinggi, kira-kira satu molekul ethidium disisipkan per 2.5 bp. Setelah penyisipan ke dalam heliks, pewarna terletak tegak lurus ke sumbu helikal dan membuat kontak van der waals dengan pasangan basa di atas dan di bawah (Sambrook et al. 1989). Ethidium bromida dapat digunakan untuk mendeteksi asam nukleat baik yang berikatan tunggal maupun ganda. Bufer yang dapat digunakan untuk elektroforesis adalah bufer Tris-Asetat EDTA (TAE). Jenis bufer lainnya yang dapat digunakan yaitu; TBE (Tris-Borat EDTA) dan TPE (Tris-Fosfat EDTA). Bufer elektroforesis biasanya dibuat sebagai larutan berkonsentrasi dan disimpan pada suhu ruang. Tris-Acetate EDTA (TAE) memiliki kapasitas bufer paling rendah dari bufer elektroforesis lainnya dan akan menjadi habis jika elektroforesis dilakukan untuk periode waktu yang diperpanjang(Sambrook et al. 1989). Sampel sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel dihomogenisasi dengan gel-loading buffer. Gel-loading buffer dicampur dengan sampel sebelum dimasukkan ke dalam sumur gel. Bufer ini memiliki tiga tujuan yaitu; untuk meningkatkan densitas sampel supaya memastikan bahwa RNA tenggelam ke dalam sumur gel, menambahkan warna pada sampel dengan demikian menyederhanakan proses pemasukkan, dan menahan pencelup (EtBr) dalam medan listrik sehingga bergerak ke arah anoda pada tingkat yang telah ditentukan (Sambrook et al. 1989). BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri termofilik Geobacillus sp20k dari sumber air panas di Pegunungan Kerinci, vektor plasmid, enzim ligase, enzim lisozim, enzim restriksi, bufer restriksi, etanol absolut, etanol 75%, gel agarosa, bufer TAE 1X, EtBr, media heterotrof cair, es, kalsium klorida dan akuades. Alat-alat yang digunakan antara lain High Pure PCR Template Preparation Kit, alat-alat gelas, sudip, spatula, jarum ose, mikropipet, tip, autoklaf, inkubator, oven, neraca analitik, sentrifus Eppendorf 5415C dengan jari-jari rotor 4 cm, tabung Eppendorf, dan vorteks. Metode Produksi dan Peremajaan Bakteri Termofilik Pembuatan Media Tumbuh. Media heterotrof padat dibuat dengan komposisi 3.18 gram bacto peptone, 0.78 gram triptone, 1 gram NaCl, 0.5 gram K2HPO4, 3 gram agar, dan 0.02 gram selenium oksida. Campuran itu kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, ditambah akuades hingga tepat 200 mL kemudian diaduk dan dipanaskan sampai semua bahan larut. Larutan disterilisasi dengan autoklaf pada tekanan 15 atm dan suhu 121ºC selama 15 menit. Saat