BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI WILAYAH TERTINGGAL, KESENJANGAN WILAYAH, DAN KETERKAITAN DESA-KOTA Pada bab ini dilakukan tinjauan mengenai teori atau konsep yang terkait dengan peran kota kecil dalam pengembangan wilayah tertinggal. Kota kecil disini adalah ibukota dari pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki fungsi perkotaan. Dimulai dengan pengertian dan isu pengembangan wilayah, lalu dilihat pengertian dan karakteristik dari keterkaitan desa kota. dilihat pula model-model pengembangan spasial yang ada, serta program-program pengembangan wilayah yang pernah dijalankan di Indonesia. 2.1 Teori Pengembangan Wilayah Secara geografis wilayah dapat diartikan sebagai suatu ruang pada permukaan bumi. Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat secara horisontal dan vertikal. Ruang pada permukaan bumi itu adalah sejauh manusia masih bisa menjangkaunya atau masih berguna bagi manusia. Menurut Glasson (1974 dalam Tarigan, 2003) ada dua cara pandang yang berbeda tentang wilayah, yaitu subyektif dan obyektif. Cara pandang subyektif wilayah adalah alat untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau tujuan tertentu. Dengan demikian, banyaknya wilayah tergantung kepada kriteria yang digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar kita bisa membedakan lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Hal ini diperlukan untuk membantu manusia mempelajari dunia ini secara sistematis. Pandangan obyektif menyatakan bahwa wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah. Wilayah bisa dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimilikinya atau berdasarkan kofigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk, atau gabungan dari ciri-ciri diatas. Pengembangan wilayah ditujukan untuk pendayagunaan sumber daya melalui pembangunan perkotaan, perdesaan dan prasarana untuk meningkatkan kondisi sosial wilayah dengan memperkuat integritas ekonomi nasional melalui keterkaitan (linkages), serta mengurangi kesenjangan antar wilayah (Firman, 1995). Peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan wilayah 11 dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan elemen dan proses-proses yang terjadi dalam wilayah. Bagian terpenting dari elemen dan proses-proses dalam wilayah meliputi kawasan kota-kota (central places) dan wilayah perdesaan yang berupa hinterland-nya (Rondinelli, 1985). Konsep pengembangan wilayah telah melalui masa yang panjang dan telah diwarnai oleh barbagai macam pandangan, teori dan pendekatan. Pada awalnya dikenalkan kajian atas terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah yaitu faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya oleh Walter isard. Hirschman kemudian memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect dengan prinsip unbalanced development yang menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah tidak akan terjadi secara bersamaan. Pertumbuhan akan dijalarkan dari sektor-sektor utama (leading sectors) ke sektor-sektor lainnya, dan dari satu industri ke industri lainnya. Pengaruh titik-titik tumbuh ke kawasan belakangnya (hinterland) sangat bergantung pada adanya “favourable effects” yang menetes (trickling down effect) ke hinterland dan “unfavourable polarization effect” sebagai akibat daya tarik titik-titik tumbuh tersebut. Myrdal juga mengemukakan teori serupa mengenai hubungan negara maju dan wilayah belakangnya dengan teori backwash dan spread-effect. Pada tahun 1960-an Friedmann mengemukakan pandangannya yang lebih menekankan pada pembentukan hierarki untuk mendorong pengembangan sistem perumahan, pandangan ini kemudian dikenal sebagai teori pusat pertumbuhan. Pada tahun 1970-an Douglass memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa kota atau rural-urban linkages dalam pengembangan wilayah. 2.1.1 Isu-Isu Pengembangan Wilayah Terdapat berbagai isu terkait tentang pengembangan wilayah, antara lain mengenai ketimpangan pembangunan antar daerah, tingginya urban primacy, keterkaitan perkotaan-perdesaan yang kurang sinergis, wilayah-wilayah tertinggal dan persoalan kemiskinan. Seiring dengan perkembangan laju pertumbuhan penduduk, perkembangan pembangunan wilayah dan dinamika perkembangan pada kemajuan pembangunan wilayah berkembang semakin kompleks. Perkembangan ini akan mempengaruhi sistem tata wilayah antara kawasan perkotaan dan wilayah perdesaan sebagai akibat dari adanya proses interaksi kawasan sebagai simpulsimpul kegiatan masyarakat dalam konteks struktur ruang wilayah dan sistem pusatpusat kegiatan dalam suatu wilayah (BPPT, 2004). 12 Sumodiningrat (1999 dalam BPPT, 2004) mengatakan bahwa pembangunan wilayah meliputi pembangunan perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi dimana kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi ditempatkan. Pembangunan desa dan kota harus saling mengisi. Fu-Chen Lo (1981 dalam BPPT, 2004) dan Sumodiningrat (1999, dalam BPPT, 2004) turut menjelaskan bahwa permasalahan dan penanganan perkotaan dan perdesaan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Kesadaran tentang perlunya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan pada gilirannya melahirkan pemikiran interaksi desa-kota (rural urban-linkages) yang secara teoritis bertujuan untuk mendorong kegiatan masyarakat di kedua kawasan tersebut dalam satu kesatuan sistem sosial dan ekonomi yang saling menguntungkan. 2.1.1.1 Wilayah tertinggal Wilayah tertinggal dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang relatif kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah lainnya dalam skala nasional berdasarkan kondisi dan fungsi inter dan intra spasial baik pada aspek alam, aspek manusianya maupun prasarana pendukungnya (Bappenas, 2005). Menurut kementerian percepatan pembangunan kawasan tertinggal (2004), daerah tertinggal dicirikan oleh: 1. Daya dukung sumberdaya alam sangat rendah, kesuburan tanah yang rendah, rawan longsor, rawan banjir, terbatasnya sumber air, daerah dengan topografi yang terjal, atau tanah berawa/gambut 2. Sumberdaya alam dapat mempunyai potensi fisik yang besar, namun daerah tersebut belum berkembang karena kondisi geografisnya sulit terjangkau. Penguasaan dan penerapan teknologi relatif rendah karena keterbatasan dukungan prasarana teknologi 3. Ketersediaan atau keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi air bersih, air irigasi, kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya menyebabkan komunitas di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial 4. Rendahnya akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal sehingga biaya transportasi menjadi lebih tinggi dibanding dengan nilai jual komoditi 13 5. Kualitas dan jumlah rumah penduduk belum layak. Sebaran kampung penduduk yang terpencar dan pada daerah dengan topografi berat menyebabkan daerah tersebut sulit dijangkau Ketertinggalan suatu daerah dapat disebabkan karena berbagai macam faktor seperti geografis, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kebijakan pembangunan. Umumnya daerah tertinggal memang berupa daerah yang memiliki kendala geografis karena sulitnya dijangkau oleh jaringan transportasi maupun media komunikasi. Beberapa dari daerah tertinggal juga terhambat pembangunannya karena miskinnya sumber daya baik manusia maupun alam. Rendahnya potensi sumberdaya alam mengakibtakan masyarakat sulit mendapatkan mata pencaharian yang memadai. Rendahnya sumber daya manusia mengakibatkan sulitnya masyarakat memanfaatkan potensi yang ada sehingga pengolahan tidak dilakukan dengan baik atau justru malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Suatu daerah dapat juga menjadi tertinggal karena faktor kebijakan yang justru mengecilkan kesempatan pemanfaatan potensi untuk pengembangannya. Keterbatasan kemampuan keuangan pemrintah, kesalahan prioritas penanganan dan strategi atau pendekatan, tidak diakomodasikannya kelembagaan masyarakat dalam perencanaan mengakibatkan penanganan daerah tertinggal salah sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. 2.1.1.2 Ketimpangan antar wilayah Dalam menjelaskan keterkaitan desa-kota, Douglass menilai bahwa pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang selama ini diadopsi oleh kebanyakan negara sedang berkembang ternyata justru menimbulkan kesenjangan. Manfaat pembangunan ternyata lebih dirasakan oleh masyarakat perkotaan atau kelompok masyarakat lapisan atas di perdesaan dibandingkan dengan masyarakat desa secara keseluruhan, yang merupakan bentuk dari kesenjangan sosial dan ekonomi kota dan desa. Kesenjangan ini datang dalam berbagai bentuk, seperti Income, Standards of living Distribution dan delivery of services and community facilities, Population growth, Aggregate economic development, dan lain sebagainya. Disparitas/kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain dapat dilihat dari kesenjangan dalam pendapatan perkapita, kualitas sumber daya manusia, ketersediaan sarana dan prasarana, pelayanan sosial, dan akses ke perbankan. 14 Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh distorsi perdagangan antar daerah, distorsi pengelolaan sumber daya alam dan distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaanperdesaan timbul dari tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over concentration pertumbuhan pada kota-kota tertentu, terutama kota-kota besar dan metropolitan, dan disisi lain tertinggalnya pertumbuhan kota-kota dibawahnya serta desa-desa. Secara ideal, dalam suatu sistem perkotaan-perdesaan terdapat keterkaitan dan interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara perkotaan dan perdesaan (BPPT, 2004) Menurut Bintoro (2002, dalam BPPT, 2004) secara empiris kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : a. Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjangan pendapatan antara rumah tangga di perkotan dan perdesaan b. Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik) c. Potensi regional (SDA, SDM, dana, lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerahdaerah yang beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerahdaerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar d. Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional, dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009 dijabarkan berbagai masalah yang berkaitan dengan ketimpangan wilayah di Indonesia. Salah satu masalah yang dibahas adalah pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah. Terjadi ketidakseimbangan Pertumbuhan Antar Kota-kota Besar, Metropolitan dengan Kota-kota Menengah dan Kecil. Pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antar wilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik, hal ini ditunjukan oleh: 15 1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe-area terutama di kota-kota besar dan metropolitan; 2) meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban yang telah ‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk konurbasi yang tak terkendali; 3) meningkatnya jumlah desa kota; 4) terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa); 5) kecenderungan perkembangan wilayah di provinsi-provinsi trans border memiliki persentase penduduk urban yang tinggi; 6) kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat (terjadi proses ‘pengkotaan’ kawasan perdesaan). Kecenderungan perkembangan semacam ini berdampak negatif terhadap perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri, maupun kota-kota menengah dan kecil di wilayah lain. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap kota-kota di wilayah lain, yaitu (RPJM Nasional, 2005) : 1) tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ‘over concentration’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek (20% dari total penduduk perkotaan Indonesia); 2) tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama di kota-kota menengah dan kecil dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan; 3) tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah; 4) tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung perwujudan sistem kota-kota nasional. 2.1.1 Konsep Rural-Urban Linkage Hierarki perkotaan menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai akibat perbedaan jumlah, jenis dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota tersebut. Perbedaan fungsi ini umumnya terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota dilihat dari jumlah penduduknya, juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh. Dilihat dari definisinya, interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung (Bintarto, 1983, dalam BPPT, 2004). 16 Sedangkan menurut IIED (2004 dalam BPPT, 2004) interaksi desa kota didefinisikan sebagai hubungan ”across space” seperti aliran orang, benda, uang, informasi dan hubungan antar sektor. Keterkaitan desa-kota diartikan pula sebagai aliran (publik dan privat) modal, orang (migrasi, komuter), dan barang (perdagangan) antara daerah perkotaan dan perdesaan (Gaile, 1992 dalam BPPT 2004). Sistem interaksi desa-kota pada hakekatnya adalah kesatuan interaksi sistem jaringan pusat-pusat pertumbuhan dengan lingkungannya, yaitu keterkaitan subsistem wilayah dengan subsistem lingkungan fisik, lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Keterkaitan desa-kota bertujuan untuk membentuk kesatuan sistem yang saling menguntungkan pendukungnya. Fokus pada antara desa keterkaitan dan kota desa-kota serta akan elemen-elemen membantu dalam memahami terjadinya perubahan proses sosial dan ekonomi masyarakat menuju terjadinya komersialisasi dan modernisasi pembangunan (Unwin, 1989, Rondinelli dan Ruddle, 1978, dalam BPPT 2004). Keterkaitan antara desa-kota antara lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi perdesaan (Lo dan Salih dalam Tarigan, 2003). Rondinelli (1985) mengemukakan jenis keterkaitan antara desa dan kota seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel II.1 Klasifikasi Utama Keterkaitan Dalam Pembangunan Wilayah Type of linkage Elemen keterkaitan fisik keterkaitan ekonomi keterkaitan mobilitas penduduk jalan jalur kereta jalur udara jalur laut ketergantungan ekologis Pola pemasaran Aliran barang mentah dan Intermediate Keterkaitan produksi Pola konsumsi dan belanja Income dan Capital Flows Sektoral dan Interregional Commodity Flows “Cross Linkages” pola migrasi komuter 17 Type of linkage Elemen keterkaitan teknologi keterkaitan interaksi sosial keterkaitan penyediaan pelayanan keterkaitan politik, administratif dan organisasional ketergantungan teknologi sistem irigasi sistem telekomunikasi pola kunjungan pola kekeluargaan ritual dan aktivitas religius Interaksi kelompok sosial jaringan dan alur energi jaringan kredit dan finansial pendidikan dan pelatihan sistem penyediaan sarana kesehatan pola pelayanan jasa, profesional, dan komersial sistem jasa transport hubungan struktural aliran keuangan pemerintahan keterkaitan organisasional pola pengawasan otoritas pola transaksi interyurisdiksi pola pengambilan keputusan politis informal Sumber : Rondinelli, 1985 Menurut Douglass (1996), yang terjadi saat ini dalam hubungan desa-kota di negaranegara maju pertumbuhan ekonomi selalu datang dari pusat-pusat pertumbuhan di beberapa wilayah perkembangan rural inti perkotaan periphery. yang Setiap memberikan perkotaan keuntungan mengatur kepada wilayah-wilayah perdesaan untuk melayani kepentingan kota, untuk mendatangkan arus perputaran modal, brain drain, dan transfer sumber daya dari pertumbuhan wilayah perdesaan. Kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi wilayah-wilayah perdesaan, dimana sebenarnya kemiskinan di desa dan migrasi desa-kota tidak berasal dari isolasi perdesaan, namun dari hubungan yang erat antara perkotaan dengan perdesaan. Dikemukakan pula bahwa dari wilayah perdesaan sering terjadi transfer hasil panen atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar di perkotaan. Dari sini kemudian timbul teori ketergantungan. 18 Tabel II.2 Keterkaitan Fungsi Desa-Kota dan Ketergantungan Fungsi sistem perkotaan Saling Ketergantungan Fungsi sistem perdesaan Pusat perdagangan hasil pertanian dan produk perdesaan lainnya dengan keterkaitannya dengan daerah lain Layanan pendukung pertanian : sarana produksi, jasa perbaikan alat pertanian, kredit, informasi metode berproduksi (inovasi) o Perubahan volume produksi dan peningkatan produktivitas produk pertanian dan produk perdesaan lainnya o o Pasar produk non pertanian : − Produk pertanian olahan − Pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, administrasi o Intensifikasi pertanian yang dipengaruhi oleh: − Infrastruktur perdesaan − Insentif produksi (harga,dll) − Pendidikan dan peningkatan kapasitas untuk mengadopsi dan mengadaptasi inovasi Peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan sehingga meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa non pertanian o Industri berbasis pertanian (untuk menciptakan sebanyak mungkin nilai tambah bagi daerah o Produksi komoditas yang potensial untuk dilakukan pengolahan, dan diversifikasi pertanian o Lapangan kerja di luar pertanian o Semua fungsi diatas o o Sumber :Douglass (1996:10) Dalam perekonomian yang sederhana, masyarakat perdesaan memproduksi dan menjual hasil pertaniannya secara mandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya yang relatif berdekatan, atau kepada para pedagang yang menjual kembali secara langsung atau dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar. Sebaliknya, petani dan nelayan di wilayah perdesaan juga membutuhkan barang dan jasa yang tidak bisa dihasilkannya sendiri yang diproduksi di perkotaan, seperti sabun, minyak, atau pakaian. Menurut Pradhan (2003), forward linkage merupakan bentuk keterkaitan ekonomi dimana terjadi aliran baran dari pusat kota ke tempat yang lain termasuk juga permukiman-permukiman yang berkembang di perdesaan dan pusat yang lebih besar. Backward linkage merupakan bentuk keterkaitan dimana terjadi aliran bahan mentah atau barang setengah jadi dari produsen menuju ke pusat-pusat kota. Interaksi wilayah perdesaan tidak selalu hanya terjadi dengan wilayah perkotaan yang terdekat, karena interaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi 19 yang terjadi di antara kedua wilayah tersebut. Hans-Dieter Evans dalam BPPT, 2004 mengatakan bahwa kota-kota global sesungguhnya hanya merupakan hubungan antar bagian kota dengan bagian kota lain di dunia. Demikian pula interaksi suatu wilayah perdesaan dapat terjadi lebih erat dengan wilayah perkotaan yang jaraknya lebih jauh daripada dengan desa atau kota-kota di sekitarnya. Terdapat model keterkaitan desa-kota menurut pengamatan pada kawasan perkotaan di asia tenggara dan asia lainnya yang disusun pada era tujuh puluhan. Model ini didasari oleh pandangan dualisme antara utara-selatan dan antara sektor ekonomi formal-informal. Komponen-komponen dalam model ini adalah : 1. Pasar dunia (PD) : Negara maju pembeli hasil primer dari negara berkembang, dan pengekspor barang industri teknologi maju 2. Sektor formal perkotaan (UF) : Didominasi oleh enklave sektor ekonomi modern modal asing dan domestik, baik di bidang industri maupun oerdagangan 3. Sektor informal perkotaan (UI) : Terdiri dari berbagai kegiatan ekonomi skala kecil, tradisional termasuk pedagang pasar, kaki lima, buruh harian, tambal ban 4. Sektor perdesaan berorientasi ekspor (RX) : Kegiatan ekonomi perkebunan besar dan pertambangan sumber daya alam yang telah dikembangkan sejak masa kolonial 5. Sektor kegiatan ekonomi tradidional di perdesaan (RP) : Didominasi oleh hubungan client-patron antara buruh tani dan pemilik lahan pertanian, atau petani kecil dengan pedagang pengumpul dan tengkulak 20 Gambar 2.1 Model Keterkaitan Desa Kota Fu-Chen Lo Keterangan : 1. modal asing dalam sektor sumber daya alam dan tanaman perkebunan komersial 2. ekspor produksi primer 3. modal asing pada sektor industri modern 4. substitusi impor industrialisasi modern 5. pengeluaran untuk pembangunan perdesaan 6. migrasi dari perdesaan ke perkotaan 7. uang yang dikirim dari pekerja di kota pada keluarga di desa 8. hubungan client-patron antara buruh dan pemilik lahan pertanuan, antara petani dan tengkulak Sumber : Fu. 1981 dalam Sugiana, 2003 Model ini menggunakan pembagian utara-selatan dan menjabarkan kondisi yang tidak seimbang (assymmetric) antara desa dan kota di Indonesia. Hubungan utaraselatan berkembang oleh adanya kerjasama investasi antara modal asing dan domestik di bidang eksploitasi sumber daya alam, tanaman perkebunan komersial untuk ekspor, dan produksi barang modal untuk substitusi impor menggunakan teknologi maju (Sugiana, 2003). Pendekatan interaksi desa-kota dalam pengembangan wilayah diperlukan untuk mengurangi kesenjangan desa-kota. Pendekatan ini ditujukan untuk mengintegrasikan pusat kota, desa dan wilayah 21 belakangnya (hinterlands), membangun kapasitas perkotaan untuk mendorong ekonomi perdesaan, dan meningkatkan akses masyarakat desa kepada pelayanan dan fasilitas perkotaan (Rondinelli dan Evans, 1983, dalam Douglass 1996). Menurut Pradhan (2003), keterkaitan desa-kota meliputi tiga aspek utama yaitu urban center beserta struktur, fungsi dan distribusi spasialnya, sistem penggunaan sumber daya dari hinterland, yaitu daerah ruralnya, dan servis dan institusi yang memfasilitasi keterkaitan antara wilayah urban dan rural tersebut. Ketiga komponen ini memiliki keterkaitan yang erat satu sama lainnya. Gambar 2.2 Urban-rural Relation dan Elemen-Elemennya Urban Center Barang Jasa Teknologi Ide pekerjaan Rural Hinterland Jalan dan Transportasi Sistem Institusi Bahan mentah Produksi pertanian Kerajianan tangan Tenaga kerja modal Sumber : Pradhan 2003 2.1.1.2 Kota dan Desa Terdapat beragam definisi mengenai kota yang didasarkan atas berbagai teori dan sudut pandang. menurut definisi universal kota adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Kota juga merupakan lokasi dengan konsentrasi penduduk/ permukiman, kegiatan sosial ekonomi yang heterogen dan intensif (bukan 22 ekstraktif atau pertanian), pemusatan, koleksi, dan distribusi bagi pelayanan jasa baik pemerintahan, sosial, dan ekonomi. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Menurut UU no 32 tahun 2004, Kawasan perkotaan dapat berbentuk : a. Kota sebagai daerah otonom; b. bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; c. bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Salah satu bentuk strategi pengembangan perkotaan secara nasional adalah National Urban Development Strategy (NUDS). Pada tahun 1985 NUDS disusun sebagai kerangka pertumbuhan sistem perkotaan agar dalam mengalokasikan sumberdaya potensi pembangunan dicapai efisiensi yang terpadu, berkesinambungan dan merata. NUDS mengamati bahwa isu kunci untuk memahami pengelolaan perkotaan saat ini adalah tidak optimalnya kota-kota berfungsi sebagai pusat pertumbuhan kegiatan di wilayah nasional, regional, maupun propinsi/kabupaten untuk menjadi mesin pendorong pengembangan daerah sekitarnya, hal ini sering disebut sebagai dengan kurang optimalnya fungsi eksternal kota. Kegagalan ini lebih menyebabkan backwash effect daripada trickling down effect dari pembangunan perkotaan yang berukuran besar sehingga cenderung menyedot sumberdaya di sekitarnya. Sehingga kota-kota tersebut membesar secara fisik, sosial, dan ekonomi, sedangkan kota-kota kecil dan sedang serta perdesaan mengalami stagnasi dan kemunduran. Hal ini berdampak pula pada rendahnya minat investor terhadap pengembangan ekonomi daerah menengah, kecil, dan perdesaan. Studi lebih lanjut dengan NUDS ini dinamakan NUDS-2 pada tahun 1999. Menurut penelitian ini maka klasifikasi kota-kota di Indonesia didekati dengan besaran penduduk sebagai berikut: 1. Kota kecil; adalah kota dengan jumlah penduduk di bawah 100.000 jiwa 2. Kota sedang; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000-500.000 jiwa 23 3. Kota besar; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000-1.000.000 jiwa 4. Kota metropolitan; adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa Hal ini serupa dengan kriteria kawasan perkotaan yang ditetapkan dalam PP No 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, yang mengklasifikasikan tipologi kota-kota sebagai berikut i) Kota Kecil : jumlah penduduk 20.000-100.000 ii) Kota Menengah : Jumlah Penduduk 100.000-500.000 iii) Kota Besar : Jumlah penduduk 500.000-1.000.000 iv) Kota Metropolitan : Jumlah Penduduk diatas 1.000.000-5.000.000 jiwa Pada dasarnya, pengembangan perkotaan tidak dapat dipidahkan dari pengembangan wilayah. Kota-kota mempunyai peranan penting baik dalam berbagai lingkup pengembangannya, baik nasional, propinsi, maupun lokal. Menurut NUDS-2, kota kecil memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan lokal, serta sebagai pusat jasa dan dagang atau industri lokal. Keterkaitan antar kota yang dimiliki berupa keterkaitan dengan sentra produksi dalam kawasan strategis. Prinsip-prinsip umum pengelolaan kota kecil antara lain : - Pengelolan ruang dilakukan secara terpadu dan komprehensif berdasarkan jumlah penduduk dan dengan pengaturan zoning regulation - Pembangunan jaringan infrastruktur dan prasarana perkotaan - Mendorong dukungan atau peran serta masyarakat untuk pembangunan infrastruktur dan sentra produksi. Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari perkembangan wilayah sekitarnya. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan adalah kawasan di luar kawasan perkotaan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pengelolaan kawasan perdesaan terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas kawasan perdesaan tersebut sesuai dengan jenis kegiatan yang dikembangkan. 24 2.2 Peran Kota Kecil dalam Pengembangan Wilayah Sekitarnya Kota kecil digolongkan berdasarkan beragam ukuran-ukuran berupa populasi, fasilitas, serta skala pelayanannya. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan mengenai apakah kota kecil dapat membantu perkembangan wilayah perdesaan sekitarnya dalam 4 komponen vital pembangunan yaitu perencanaan pengembangan wilayah yang terintegrasi, lokasi jasa dan pelayanan untuk pengembangan perdesaan, keterkaitan antara wilayah desa-kota, dan pemasaran dari produk dari kota maupun dari perdesaan (Pradhan, 2003). Pendapat-pendapat para ahli mengenai peran kota kecil ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama yaitu kelompok berpandangan optimis yang menyetujui bahwa perkembangan kota kecil sebagai pusat pelayanan tidak dapat terhindarkan dari pembangunan perdesaan. Kelompok berikutnya berpandangan pesimis dan beranggapan bahwa kota kecil tidak mampu untuk memajukan perkembangan perdesaan. Di antara kedua pandangan ekstrim ini muncul pandangan yang mengatakan bahwa setiap kota kecil memiliki potensi yang berbeda, dengan fungsi dan peran yang berbeda pada setiap area. Kelompok pandangan ketiga ini disebut kelompok intermediate, berpendapat bahwa jika potensi dari kota kecil ditelaah, beberapa di antaranya akan dapat membantu pengembangan daerah perdesaannya. Dalam pandangan optimis, Kota kecil berperan sebagai market town yang memiliki peran sosial dan ekonomi terhadap masyarakat perdesaan. Masyarakat perdesaan di sini merupakan pengguna dari fungsi pasar dan pelayanan yang tersedia di kota kecil. Kunci dari pertumbuhan ekonomi internal adalah kedekatan hubungan antara market town dan wilayah perdesaan, tumbuhnya market center menstimulasikan produksi efisien dan pertukaran barang melalui akses yang siberikan untuk masyarakat perdesaan menuju pusat pusat pelayanan (Carter, 1983 dalam Pradhan 2003). Pandangan optimis ini di antaranya diutarakan oleh Rondinelli dan Ruddle pada tahun 1976 dalam Urban Function for Rural Development (UFRD) yang mengemukakan tujuh indikator dalam melihat keterkaitan desa-kota. Pandangan pesimis diutarakan oleh Dias (1984, dalam Pradhan 2003), yang mengatakan bahwa investasi harus dilakukan langsung pada fasilitas dan pelayanan 25 di wilayah perdesaan agar bisa mendapat dampak dari pengembangan perdesaan. Pandangan ini dikemukakan karena dalam penelitiannya ditemukan bahwa kota kecil tidak mampu mendorong pembangunan wilayah perdesaan. Meski demikian, rural center atau pusat wilayah perdesaan dikatakan merupakan tempat yang tepat untuk meletakkan pelayanan yang dapat diakses oleh masyarakat banyak. Menurut de Jong (1988 dalam Sugiana, 2003) terdapat 3 peran pokok dari kota sedang dan kecil, yaitu: 1. Sebagai pusat pelayanan dan perbelanjaan kebutuhan masyarakat perdesaan di sekitarnya 2. Sebagai simpul pelayanan wilayah yang berfungsi mengurangi beban migrasi desa-kota ke wilayah metropolitan 3. Sebagai pendukung dan tempat pemasaran untuk kegiatan pertanian 2.3 Spatial Development Model Model pengembangan spasial bersifat mengidentifikasi suatu kumpulan vocal points yang dinamis atau pusat pertumbuhan yang dapat membangkitkan pertumbuhan pada pusat itu sendiri serta dengan hinterlandnya. Beberapa model pengembangan spasial atau regional telah dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir. Terdapat persamaan di antara model-model ini dalam tujuannya untuk mengoperasikan hubungan yang efektif dan seimbang antara daerah perdesaan dan perkotaan. 2.3.1 Growth Centre/Growth Poles Growth pole merupakan metode pembangunan wilayah kutub-kutub pertumbuhan, dengan harapan akan terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub pusat pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya. Pusat pertumbuhan memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect, adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Pendekatan growth pole telah terbukti tidak begitu efektif. Berkembangnya kota sebagai pusat pusat pertumbuhan temyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah, tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Sebaliknya, terjadi urban bias akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Dampak lain yang terjadi yaitu backwash effect, yaitu terjadi transfer neto sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar besaran. 26 2.3.2 Agropolitan Friedman & Douglas (1975 dalam Mariani, 2004) menawarkan konsep agropolitan sebagai solusi atas terjadinya pembangunan yang tidak berimbang antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Konsep pengembangan agropolitan merupakan pendekatan pengembangan suatu kawasan pertanian perdesaan yang mampu memberikan berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kawasan produksi pertanian sekitarnya. Kawasan ini berfungsi baik untuk pelayanan yang berhubungan dengan sarana produksi, jasa distribusi maupun pelayanan sosial ekonomi lainnya, sehingga masyarakat yang bersangkutan tidak perlu lagi pergi ke kota. Konsep ini dijalankan melalui Program Pengembangan Agropolitan dengan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis dalam suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat serta difasilitasi oleh pemerintah. Konsep agropolitan terdiri dari distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan yang didefinisikan sebagai kawasan pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2. Pembangunan dengan pendekatan agropolitan membutuhkan perhatian khusus terhadap 3 isyu penting, yaitu : akses terhadap lahan pertanian dan air, devolusi terhadap kewenangan politis dan administratif pada tingkat lokal, dan perubahan kebijakan pembangunan nasional sehubungan dengan variasi produsi pertanian. (Douglass, 1999). Agropolitan dinilai sangat relevan dengan wilayah perdesaan karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan (Rustiadi, 2003 dalam Mariani, 2004). Dalam konsep ini pembangunan perdesaan secara baik dapat dilakukan dengan mengaitkan wilayah perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Hanya saja, keterkaitan yang sifatnya berjenjang mulai dari desa-kota kecil-kota menengah-kota besar harus diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdesentralisasi, bersifat bottom up dan mampu melakukan upaya pemberdayaan terhadap masyarakat perdesaan untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya oleh kaum elit dari luar desa (Mariani, 2004). 27 Dibalik keidealan yang disajikan oleh konsep agropolitan ini juga bukannya tanpa celah, terjadi kegagalan-kegagalan yang banyak ditemui dalam kasus di negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Kegagalan ini disebabkan antara lain oleh (Mariani, 2004): • Program pembangunan desa tidak mempunyai biaya yang cukup dan kurang terkoordinasikan. • Konsep ini dianggap sebagai “kebijaksanaan tambahan” sehingga tidak dilaksanakan secara utuh. • Pembangunan desa dianggap sebagai suatu proyek percobaan yang kurang berarti atau dianggap sebagai proses yang wajar dan akan berjalan dengan sendirinya. • Kecenderungan pengambil keputusan masih berada di pemerintahan pusat. • Sedikitnya perhatian dari pemerintah. 2.3.3 Regional Cluster Network Model Pendekatan regional cluster network menganjurkan sistem perencanaan yang lebih terdesentralisasi untuk mendorong dinamika keterkaitan desa-kota. Pendekatan ini bersifat lebih bervariasi dan multi-stranded untuk pengembangan wilayah yang berpegang pada pengintegrasian perdesaan dengan pembangunan perkotaan pada skala lokal. Pendekatan ini merekomendasikan satu set intervensi kebijakan tersusun dan terpisah yang mengijinkan terjadinya variasi dalam potensi sumberdaya alam, ketenagakerjaan baik di sektor perkotaan maupun perdesaan, dan kebutuhan dan potensi pembangunan lokal. Konsep network ini didasarkan pada tiga pertimbangan utama. Pertama, karena besarnya variasi keterkaitan desa-kota antara hinterland dengan kota utamanya, dapat diambil keuntungan dari desa dan kota yang membentuk cluster. Keuntungan ini diakibatkan keragaman dan sifat komplementer yang terjadi antara masingmasing pusat dan hinterlandnya. Pengembangan wilayah tidak hanya bergantung pada satu pusat. Hubungan antar pusat bersifat lebih horizontal, komplementer dan timbal balik. 28 Tabel II.3 Perbandingan Growth Pole dan Regional Cluster Model Komponen Basic Sector Urban System Urban Rural Relations Planning Style Major Policy Areas Growth Pole/Center Model urban based manufacturing; biasanya terfokus pada industri 'propulsive' dalam skala besar dan unit produksi 'footloose' yang berpusat di luar wilayah Regional Cluster/Network Model semua sektor, tergantung kepada kemampuan dan kondisi lokal; diberi penekanan pada perusahaan berbasis lokal dengan ukuran kecil aau menengah berhierarki, terpusat pada satu pusat dominan, biasanya dilihat berdasarkan ukuran populasi dikaitkan dengan asumsi dari central place theory horisontal, terdiri atas sejumlah pusat dan hinterland-nya, masing-masing dengan spesialisasi masing-masing dan keuntungan komparatif proses difusi yang yang bergerak turun dari hierarki urban dan keluar dari kota ke wilayah rural peripherynya. Rural area merupakan pihak yang diuntungkan secara pasif dari 'trickle down' pertumbuhan area urban biasanya bersifat top-down via agen perencanaan sektoral dan kantor-kantor lapangannya. Wilayah memiliki batasan yang berkabut yang ditentukan oleh interaksi ekonomi lahan aktivitas urban-rural yang kompleks, dengan dorongan pertumbuhan yang timbul dari baik area urban atupun rural dengan intensitas yang meningkat sepanjang pemukiman dan koridor transportasi regional. insentif desentralisasi industri : tax holiday, industrial estates, jalan transportasi truk nasional diversifikasi agrikultur, agro-industri, manufaktur berbasis sumber daya, jasa urban, pelatihan SDM menggambarkan kebutuhan akan sistem perencanaan yang terdesentralisasi, dengan integrasi dan koordinasi dari multi sektor dan aktivitas urban-rural pada tingkat lokal Sumber : Douglass, 1996 Pertimbangan kedua yaitu karena sebenarnya cluster-cluster ini sudah ada meskipun dalam bentuk yang belum sempurna. Interaksi antara kota dan desa membentuk jaringan yang terlokalisasi dengan beragam tingkat intensitas lintas wilayah dan lebih luas lagi dari itu. Cluster ini dapat diidentifikasi dan dibatasi berdasarkan aliran eksisting dari barang dan orang antar permukiman. Pada kasus Indonesia regional networks dapat diidentifikasi dengan menggunakan data yang menunjukkan frekuensi bus, truk, dan pergerakan kendaraan antar permukiman (Douglass 1984). Pertimbangan yang ketiga adalah dengan cluster yang terhubung dengan baik dan permukiman perdesaan dan perkotaan yang berinteraksi tinggi dapat lebih baik daripada kutub pertumbuhan tunggal. Kebaikan ini dinilai dari kemampuannya untuk menyediakan suatu tingkat aglomerasi dan keragaman ekonomi yang berperan sebagai antipoda terhadap pertumbuhan dari wilayah metropolitan. Berkurangnya 29 jarak tempuh antar permukiman dimungkinkan dengan keberadaan sistem transportasi dan komunikasi. Pada kenyataannya implementasi konsep ini jarang dilakukan secara menyeluruh. Penerapan konsep ini hanya pernah dilakukan secara parsial karena terbentur dengan banyaknya kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan yang disarankan (Sugiana, 2003). 2.3.4 Rural development through secondary cities Model pendekatan pembangunan ini menyatakan bahwa dibutuhkan urban centre dalam ukuran yang berbeda dalam suatu wilayah yaitu kota-kota sekunder. Dalam model pengembangan ini, kota-kota sekunder diharapkan untuk berfungsi sebagai lokasi yang sesuai pengembangan perdesaan melalui kegiatan-kegiatan berikut i. desentralisasi pelayanan publik ii. pusat kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan pelayanan lainn yang menawarkan pelbagai jenis variasi atas barang konsumsi, komersil, dan jasa melalui usaha kecil dan kegiatan informal yang ekstensif iii. menjadi pemasaran regional atas distribusi, transfer, penyimpanan, kredit, dan pelayanan keuangan iv. tenpat tumbuhnya industri manufaktur skala kecil dan menengah v. pusat produksi pertanian dan penyediaan pelayanan pertanian vi. sumber pekerja off-farm dan sumber pendapatan suplementer bagi masyarakat perdesaan melalui remittance atau migrasi vii. titik pusat jaringan komunikasi dan transportasi dengan wilayah penunjang (hinterland) ke kota atau wilayah lain viii. pusat penyerapan migran perdesaan dan memberikan tempat tinggal permanen kepada migran, sehingga menciptakan distribusi yang lebih seimbang dari populasi perkotaan ix. pusat transformasi sosial x. menyalurkan difusi inovasi dan merubah penyebaran keuntungn pembangunan perkotaan, stimulasi ekonomi perdesaan dan integrasi atas urban centres dan permukiman perdesaan di dalam suatu wilayah melalui keterkaitan sosial, ekonomi, dan administratif. Pendekatan ini dijalankan dengan cara memperkuat kota sekunder yang telah ada dalam memenuhi kesenjangan fungsional dan meng-upgrade kota kecil menjadi kota menengah. Diberi penekanan terhadap difersifikasi dan penguatan basis ekonomi 30 pada pusat pelayanan perdesaan dan market town. Tindakan kolektif ini dapat memperkuat kapasitas pengembangan kota sekunder untuk melayani area perdesaan. 2.4 Program pengembangan wilayah di Indonesia Telah banyak program pengembangan wilayah dilaksanakan di Indonesia yang dilakukan dengan beragam pendekatan dan metode. Sebelum merebaknya desentralisasi dan otonomi daerah, pendekatan pengembangan wilayah di indonesia banyak dilakukan dengan pandangan Top-Down, dimana keputusan dan kekuasaan dipegang oleh pemerintah pusat. Bagaimanapun, baik pada masa sebelum desentralisasi maupun sesudahnya kesemua program ini dilakukan dengan tujuan yang sama, yaitu demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2.4.1 Poverty Alleviation of Rural Urban Linkages (PARUL) Poverty Alleviation Through Rural-Urban Linkages yang diprakarsai oleh BAPPENAS ini memperkenalkan pendekatan yang dipengaruhi oleh pasar atas pengembangan ekonomi lokal melalui pendirian organisasi kerjasama publik-privat yang berfokus pada komoditas pada daerah dan propinsi terpilih dibawah pengawasan pemerintah lokal, terutama lembaga perencanaan lokal. PARUL merupakan program percontohan pengurangan kemiskinan dan pengembangan ekonomi lokal dengan pendekatan pasar, melalui penguatan keterkaitan desa-kota. Proyek PARUL mengadopsi beberapa strategi untuk memperkuat keterkaitan desa-kota yaitu : (1) strategi berorientasi sektor untuk mempromosikan pengembangan ekonomi lokal untuk eksport dan berfokus pada pengklusteran aktivitas ekonomi yang terkait dengan komoditas eksport (2) mengaplikasikan pendekatan market-driven pada pengembangan ekonomi lokal dan mengkaitkan produsen skala kecil kepada pasar yang lebih luas melalui kolaborasi dengan perusahaan berskala besar. (3) Pembentukan kerjasama publik-privat untuk merumuskan action-plan, mengerahkan sumber daya dan mengimplementasikan rencana untuk mempromosikan pengembangan ekonomi lokal. (4) Mendorong petani, nelayan, serta pengusaha kecil dan menengah melalui partisipasi dalam kerjasama publik-privat untuk memfasilitasi kerjasama antara pemerintah, perusahaan swasta, petani, dan komunitas lokal dalam mendesain dan mengimplementasikan tindakan dan insiatif. 31 Sasaran jangka panjang atau dampak yang diharapkan yaitu untuk mendorong pola perkembangan yang lebih merata antara wilayah perdesaan dan perkotaan dan perkembangan ekonomi wilayah terutama wilayah tertinggal, serta meningkatkan pendapatan masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan. 2.4.2 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau biasa disebut KAPET adalah suatu program pemerintah yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wikayah tertentu yang memiliki sumber daya potensial dan meemrlukan investasi yang cukup besar. KAPET dijalankan pada wilayah dengan batas-batas tertentu dengan harapan dapat menjadi kawasan andalan pusat pertumbuhan ekonomi melalui pemberian berbagai paket insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Insentif ini diberikan kepada pengusaha yang beroperasi di KAPET berupa fasilitas perpajakan, kepabeanan, kemudahan adminsitrasi dan perijinan. Program KAPET yang sudah berjalan meliputi kawasan Biak-Timika, Manado-Bitung, Pare-pare, Pulau Seram, Mbay, Batui, BENAVIQ (Betano Natarbura-Viqueque), Bima, BUKARI (Buton, Kolaka, Kendari). Dalam pengembangan KAPET selama ini yang terjadi ternyata justru relokasi industri, dimana industri yang dikembangkan tidak berkaitan dengan potensi sumber daya lokal (foot loose industry). Pola-pola pengembangan KAPET ini terbukti hanya menciptakan perekonomian daerah yang dualistis dan menimbulkan disparitas ekonomi. Di satu sisi berkembang sektor modern yang sangat eksklusif dan dikuasai oleh pengusaha-pengusaha luar, sementara di sisi lain terdapat sektor tradisional yang terbelakang dan justru menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat lokal. Pengembangan KAPET ke depan yang diharapkan adalah bersifat inklusif bagi daerah yang bersangkutan, yaitu pengembangan kawasan industri yang bersifat local resources based sedemikian rupa sehingga pengembangan KAPET benarbenar bermanfaat bagi modernisasi perekonomian rakyat banyak di daerah-daerah. (Syahrani dalam FRONTIR, Maret 2001) 32 2.5 Indikator keterkaitan desa-kota Terdapat banyak pendapat mengenai berbagai jenis keterkaitan desa-kota. Preston (1975) sebagai contohnya, telah menetapkan kategori utama interaksi antara desa dan kota yaitu : • Transfer orang atau migrasi baik dalam jarak jauh maupun dekat • Aliran barang, pelayanan dan energi • Aliran uang melalui perdagangan, pajak, dan pembayaran dana-dana • Transfer aset, yaitu hak properti, alokasi investasi dan barang dalam berbagai bentuk • Aliran informasi berupa informasi teknis atau isu sosial Berdasarkan peran dari market center Harris dan Harris (1984, dalam Pradhan, 2003) mengklasifikasikan bentuk keterkaitan desa-kota menjadi keterkaitan generatif dan keterkaitan eksploitatif. Keterkaitan generatif market center berkontribusi dalam merupakan keterkaitan dimana meningkatkan surplus investasi untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi di hinterland, sedangkan keterkaitan eksploitatif merupakan keterkaitan dimana keberadaan market center mengeksploitasi penggunaan sumber daya di wilayah hinterland. Pendapat lain mengenai bentuk keterkaitan desa-kota dikeluarkan oleh Asian Development Bank yang membaginya menjadi lima bentuk, yaitu: • keterkaitan produksi • keterkaitan konsumsi • keterkaitan tabungan dan investasi • keterkaitan tenaga kerja • keterkaitan sektor luar negeri. Menurut Pradhan (2003), terdapat delapan bentuk keterkaitan desa-kota yaitu keterkaitan spasial, ekonomi, sosial budaya, teknologi, finansial, politik, keterkaitan administrasi dan organisasi, serta keterkaitan penyediaan pelayanan. Penggolongan ini tidak jauh berbeda dengan indikator keterkaitan desa kota yang diungkapkan oleh Rondinelli pada tahun 1985 dalam proyek Urban Function in Rural Development (UFRD). Rondinelli mengklasifikasikan bentuk keterkaitan desa-kota berdasarkan aspek yang mempengaruhinya. Terdapat tujuh bentuk keterkaitan yang diidentifikasi, yaitu keterkaitan fisik, keterkaitan ekonomi, keterkaitan mobilitas penduduk, 33 keterkaitan teknologi, keterkaitan sosial, keterkaitan penyediaan pelayanan, dan keterkaitan politik. Ketujuh indikator keterkaitan desa-kota yang dikemukakan oleh Rondinelli, masingmasing memiliki berbagai komponen dan pengaruh, serta pola keterkaitan spasial yang berbeda dengan manfaat yang beragam terhadap suatu wilayah. Ketujuh keterkaitan ini tidaklah mutlak dapat dilakukan dan berguna sebagai alat pengindikasian tingkat keterkaitan segala wilayah. Setiap wilayah memiliki karekteritiknya masing-masing. Maka dari itu variabel yang digunakan sebagai indikator keterkaitan desa-kota pada studi kasus Kabupaten Garut bagian selatan adalah sebagai berikut : 34 Tabel II.4 Indikator Identifikasi Keterkaitan Desa dan Kota Jenis keterkaitan Keterkaitan fisik Variabel Ketersediaan jaringan jalan Karakterisik geologis Keterkaitan ekonomi Sektor dominan Keterkaitan internal Keterkaitan eksternal Keterkaitan mobilitas penduduk Keterkaitan interaksi sosial Keterkaitan penyediaan pelayanan Pola migrasi dan komuter Pola aktivitas sosial Sistem telekomunikasi Sumber energi Keterkaitan politik, administratif dan organisasional Sarana pendidikan Sarana kesehatan Sarana perdagangan dan jasa Sarana perhubungan Hubungan struktural Pendanaan Kriteria Tipe permukaan jalan Kondisi permukaan jalan Daerah rawan bencana Kawasan lindung PDRB Distribusi pemasaran Jenis barang Distribusi pemasaran Jenis barang Pergerakan manusia Interaksi kelompok sosial Aktivitas ritual dan keagamaan Keberadaan jaringan telekomunikasi Keberadaan pembangkit listrik dan jaringannya Keberadaan fasilitas Keberadaan fasilitas Keberadaan fasilitas Ketersediaan transportasi umum Organisasi pemerintah atau non- pemerintah yang mengelola masing-masing kecamatan Perimbangan dana 35 Indikator Hierarki jalan jalan beraspal/diperkeras permukaan jalan dalam kondisi baik Luas dan lokasi Keberadaan Location quotient Jangkauan pemasaran Asal-Tujuan pemasaran Jangkauan pemasaran Asal-Tujuan pemasaran Asal dan Tujuan migrasi Besar migrasi harian/bulanan Asal dan Tujuan komuter Besar komuter harian/bulanan Keberadaan kelompok sosial Keberadaan aktivitas ritual dan keagamaan Cakupan pelayanan Telepon, Telepon selular, dan pos Sistem pelayanan Jangkauan pelayanan Jangkauan pelayanan Jangkauan pelayanan Pola Pergerakan Masyarakat Tupoksi Alokasi dana