bab ii tinjauan pustaka mengenai wilayah tertinggal, kesenjangan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI WILAYAH TERTINGGAL,
KESENJANGAN WILAYAH,
DAN KETERKAITAN DESA-KOTA
Pada bab ini dilakukan tinjauan mengenai teori atau konsep yang terkait dengan
peran kota kecil dalam pengembangan wilayah tertinggal. Kota kecil disini adalah
ibukota dari pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki fungsi perkotaan. Dimulai
dengan pengertian dan isu pengembangan wilayah, lalu dilihat pengertian dan
karakteristik dari keterkaitan desa kota. dilihat pula model-model pengembangan
spasial yang ada, serta program-program pengembangan wilayah yang pernah
dijalankan di Indonesia.
2.1
Teori Pengembangan Wilayah
Secara geografis wilayah dapat diartikan sebagai suatu ruang pada permukaan bumi.
Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada tempat atau lokasi yang dilihat
secara horisontal dan vertikal. Ruang pada permukaan bumi itu adalah sejauh
manusia masih bisa menjangkaunya atau masih berguna bagi manusia. Menurut
Glasson (1974 dalam Tarigan, 2003) ada dua cara pandang yang berbeda tentang
wilayah, yaitu subyektif dan obyektif. Cara pandang subyektif wilayah adalah alat
untuk mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria tertentu atau tujuan
tertentu. Dengan demikian, banyaknya wilayah tergantung kepada kriteria yang
digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar kita bisa membedakan lokasi yang
satu dari lokasi lainnya. Hal ini diperlukan untuk membantu manusia mempelajari
dunia ini secara sistematis. Pandangan obyektif menyatakan bahwa wilayah itu
benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap wilayah.
Wilayah bisa dibedakan berdasarkan musim/temperatur yang dimilikinya atau
berdasarkan kofigurasi lahan, jenis tumbuh-tumbuhan, kepadatan penduduk, atau
gabungan dari ciri-ciri diatas.
Pengembangan wilayah ditujukan untuk pendayagunaan sumber daya melalui
pembangunan perkotaan, perdesaan dan prasarana untuk meningkatkan kondisi
sosial wilayah dengan memperkuat integritas ekonomi nasional melalui keterkaitan
(linkages), serta mengurangi kesenjangan antar wilayah (Firman, 1995). Peningkatan
kualitas
hidup
dan
kesejahteraan
wilayah
11
dapat
dilakukan
dengan
cara
memanfaatkan elemen dan proses-proses yang terjadi dalam wilayah. Bagian
terpenting dari elemen dan proses-proses dalam wilayah meliputi kawasan kota-kota
(central places) dan wilayah perdesaan yang berupa hinterland-nya (Rondinelli,
1985).
Konsep pengembangan wilayah telah melalui masa yang panjang dan telah diwarnai
oleh barbagai macam pandangan, teori dan pendekatan. Pada awalnya dikenalkan
kajian atas terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk
ruang wilayah yaitu faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya oleh Walter isard.
Hirschman kemudian memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect
dengan prinsip unbalanced development yang menyatakan bahwa perkembangan
suatu wilayah tidak akan terjadi secara bersamaan. Pertumbuhan akan dijalarkan
dari sektor-sektor utama (leading sectors) ke sektor-sektor lainnya, dan dari satu
industri ke industri lainnya. Pengaruh titik-titik tumbuh ke kawasan belakangnya
(hinterland) sangat bergantung pada adanya “favourable effects” yang menetes
(trickling down effect) ke hinterland dan “unfavourable polarization effect” sebagai
akibat daya tarik titik-titik tumbuh tersebut. Myrdal juga mengemukakan teori serupa
mengenai hubungan negara maju dan wilayah belakangnya dengan teori backwash
dan spread-effect. Pada tahun 1960-an Friedmann mengemukakan pandangannya
yang
lebih
menekankan
pada
pembentukan
hierarki
untuk
mendorong
pengembangan sistem perumahan, pandangan ini kemudian dikenal sebagai teori
pusat pertumbuhan. Pada tahun 1970-an Douglass memperkenalkan lahirnya model
keterkaitan desa kota atau rural-urban linkages dalam pengembangan wilayah.
2.1.1
Isu-Isu Pengembangan Wilayah
Terdapat berbagai isu terkait tentang pengembangan wilayah, antara lain mengenai
ketimpangan pembangunan antar daerah, tingginya urban primacy, keterkaitan
perkotaan-perdesaan yang kurang sinergis, wilayah-wilayah tertinggal dan persoalan
kemiskinan.
Seiring
dengan
perkembangan
laju
pertumbuhan
penduduk,
perkembangan pembangunan wilayah dan dinamika perkembangan pada kemajuan
pembangunan wilayah berkembang semakin kompleks. Perkembangan ini akan
mempengaruhi sistem tata wilayah antara kawasan perkotaan dan wilayah
perdesaan sebagai akibat dari adanya proses interaksi kawasan sebagai simpulsimpul kegiatan masyarakat dalam konteks struktur ruang wilayah dan sistem pusatpusat kegiatan dalam suatu wilayah (BPPT, 2004).
12
Sumodiningrat (1999 dalam BPPT, 2004) mengatakan bahwa pembangunan wilayah
meliputi pembangunan perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi dimana
kegiatan sosial dan kegiatan ekonomi ditempatkan. Pembangunan desa dan kota
harus saling mengisi. Fu-Chen Lo (1981 dalam BPPT, 2004) dan Sumodiningrat
(1999, dalam BPPT, 2004) turut menjelaskan bahwa permasalahan dan penanganan
perkotaan dan perdesaan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Kesadaran
tentang perlunya keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan pada gilirannya
melahirkan pemikiran interaksi desa-kota (rural urban-linkages) yang secara teoritis
bertujuan untuk mendorong kegiatan masyarakat di kedua kawasan tersebut dalam
satu kesatuan sistem sosial dan ekonomi yang saling menguntungkan.
2.1.1.1 Wilayah tertinggal
Wilayah tertinggal dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang relatif kurang
berkembang
dibandingkan
dengan
wilayah
lainnya
dalam
skala
nasional
berdasarkan kondisi dan fungsi inter dan intra spasial baik pada aspek alam, aspek
manusianya maupun prasarana pendukungnya (Bappenas, 2005).
Menurut kementerian percepatan pembangunan kawasan tertinggal (2004), daerah
tertinggal dicirikan oleh:
1. Daya dukung sumberdaya alam sangat rendah, kesuburan tanah yang rendah,
rawan longsor, rawan banjir, terbatasnya sumber air, daerah dengan topografi
yang terjal, atau tanah berawa/gambut
2. Sumberdaya alam dapat mempunyai potensi fisik yang besar, namun daerah
tersebut belum berkembang karena kondisi geografisnya sulit terjangkau.
Penguasaan dan penerapan teknologi relatif rendah karena keterbatasan
dukungan prasarana teknologi
3. Ketersediaan atau keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi
air bersih, air irigasi, kesehatan, pendidikan dan pelayanan lainnya menyebabkan
komunitas di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan
aktivitas ekonomi dan sosial
4. Rendahnya akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal sehingga biaya transportasi
menjadi lebih tinggi dibanding dengan nilai jual komoditi
13
5. Kualitas dan jumlah rumah penduduk belum layak. Sebaran kampung penduduk
yang terpencar dan pada daerah dengan topografi berat menyebabkan daerah
tersebut sulit dijangkau
Ketertinggalan suatu daerah dapat disebabkan karena berbagai macam faktor
seperti geografis,
sumberdaya
alam,
sumberdaya
manusia,
dan
kebijakan
pembangunan. Umumnya daerah tertinggal memang berupa daerah yang memiliki
kendala geografis karena sulitnya dijangkau oleh jaringan transportasi maupun
media
komunikasi.
Beberapa
dari
daerah
tertinggal
juga
terhambat
pembangunannya karena miskinnya sumber daya baik manusia maupun alam.
Rendahnya potensi sumberdaya alam mengakibtakan masyarakat sulit mendapatkan
mata pencaharian yang memadai. Rendahnya sumber daya manusia mengakibatkan
sulitnya masyarakat memanfaatkan potensi yang ada sehingga pengolahan tidak
dilakukan dengan baik atau justru malah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
Suatu daerah dapat juga menjadi tertinggal karena faktor kebijakan yang justru
mengecilkan
kesempatan
pemanfaatan
potensi
untuk
pengembangannya.
Keterbatasan kemampuan keuangan pemrintah, kesalahan prioritas penanganan
dan strategi atau pendekatan, tidak diakomodasikannya kelembagaan masyarakat
dalam perencanaan mengakibatkan penanganan daerah tertinggal salah sasaran
atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
2.1.1.2 Ketimpangan antar wilayah
Dalam menjelaskan keterkaitan desa-kota, Douglass menilai bahwa pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang selama ini diadopsi oleh
kebanyakan negara sedang berkembang ternyata justru menimbulkan kesenjangan.
Manfaat pembangunan ternyata lebih dirasakan oleh masyarakat perkotaan atau
kelompok masyarakat lapisan atas di perdesaan dibandingkan dengan masyarakat
desa secara keseluruhan, yang merupakan bentuk dari kesenjangan sosial dan
ekonomi kota dan desa. Kesenjangan ini datang dalam berbagai bentuk, seperti
Income, Standards of living Distribution dan delivery of services and community
facilities, Population growth, Aggregate economic development, dan lain sebagainya.
Disparitas/kesenjangan pembangunan antar wilayah antara lain dapat dilihat dari
kesenjangan dalam pendapatan perkapita, kualitas sumber daya manusia,
ketersediaan sarana dan prasarana, pelayanan sosial, dan akses ke perbankan.
14
Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama
disebabkan oleh distorsi perdagangan antar daerah, distorsi pengelolaan sumber
daya alam dan distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaanperdesaan timbul dari tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan
over concentration pertumbuhan pada kota-kota tertentu, terutama kota-kota besar
dan metropolitan, dan disisi lain tertinggalnya pertumbuhan kota-kota dibawahnya
serta desa-desa. Secara ideal, dalam suatu sistem perkotaan-perdesaan terdapat
keterkaitan dan interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara
perkotaan dan perdesaan (BPPT, 2004)
Menurut Bintoro (2002, dalam BPPT, 2004) secara empiris kesenjangan tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjangan
pendapatan antara rumah tangga di perkotan dan perdesaan
b. Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi
rumah tangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang
menjadi basis ekspor dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik)
c. Potensi regional (SDA, SDM, dana, lingkungan dan infrastruktur) yang
mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerahdaerah yang beruntung memiliki sumberdaya berbasis ekspor, maka daerahdaerah ini secara relatif lebih makmur dibandingkan dengan daerah-daerah
yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat dipasarkan keluar
d. Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan
pemasaran pada skala lokal, regional, dan global. Adanya kerangka
kelembagaan yang kokoh akan sangat mempengaruhi posisi tawar-menawar
dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2004-2009
dijabarkan berbagai masalah yang berkaitan dengan ketimpangan wilayah di
Indonesia. Salah satu masalah yang dibahas adalah pengurangan ketimpangan
pembangunan wilayah. Terjadi ketidakseimbangan Pertumbuhan Antar Kota-kota
Besar, Metropolitan dengan Kota-kota Menengah dan Kecil. Pertumbuhan perkotaan
yang tidak seimbang ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antar
wilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik, hal ini ditunjukan
oleh:
15
1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya
fringe-area terutama di kota-kota besar dan metropolitan;
2) meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban yang telah
‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan membentuk
konurbasi yang tak terkendali;
3) meningkatnya jumlah desa kota;
4) terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama
di Jawa);
5) kecenderungan perkembangan wilayah di provinsi-provinsi trans border memiliki
persentase penduduk urban yang tinggi;
6) kecenderungan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan
menurun,
sedangkan
di
daerah
sekitarnya
meningkat
(terjadi
proses
‘pengkotaan’ kawasan perdesaan).
Kecenderungan
perkembangan
semacam
ini
berdampak
negatif
terhadap
perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri, maupun kota-kota
menengah dan kecil di wilayah lain. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap
kota-kota di wilayah lain, yaitu (RPJM Nasional, 2005) :
1) tidak
meratanya
penyebaran
penduduk
perkotaan
dan
terjadinya
‘over
concentration’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jabodetabek (20%
dari total penduduk perkotaan Indonesia);
2) tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan terutama di kota-kota menengah dan
kecil dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan;
3) tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah;
4) tidak sinergisnya pengembangan peran dan fungsi kota-kota dalam mendukung
perwujudan sistem kota-kota nasional.
2.1.1
Konsep Rural-Urban Linkage
Hierarki perkotaan menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai akibat
perbedaan jumlah, jenis dan kualitas dari fasilitas yang tersedia di kota tersebut.
Perbedaan fungsi ini umumnya terkait langsung dengan perbedaan besarnya kota
dilihat dari jumlah penduduknya, juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas
pengaruh. Dilihat dari definisinya, interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya
timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang
bersangkutan melalui kontak langsung (Bintarto, 1983, dalam BPPT, 2004).
16
Sedangkan menurut IIED (2004 dalam BPPT, 2004) interaksi desa kota didefinisikan
sebagai hubungan ”across space” seperti aliran orang, benda, uang, informasi dan
hubungan antar sektor. Keterkaitan desa-kota diartikan pula sebagai aliran (publik
dan privat) modal, orang (migrasi, komuter), dan barang (perdagangan) antara
daerah perkotaan dan perdesaan (Gaile, 1992 dalam BPPT 2004).
Sistem interaksi desa-kota pada hakekatnya adalah kesatuan interaksi sistem
jaringan
pusat-pusat
pertumbuhan
dengan
lingkungannya,
yaitu
keterkaitan
subsistem wilayah dengan subsistem lingkungan fisik, lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi. Keterkaitan desa-kota bertujuan untuk membentuk kesatuan sistem
yang
saling
menguntungkan
pendukungnya.
Fokus
pada
antara
desa
keterkaitan
dan
kota
desa-kota
serta
akan
elemen-elemen
membantu
dalam
memahami terjadinya perubahan proses sosial dan ekonomi masyarakat menuju
terjadinya komersialisasi dan modernisasi pembangunan (Unwin, 1989, Rondinelli
dan Ruddle, 1978, dalam BPPT 2004). Keterkaitan antara desa-kota antara lain
terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa
pelayanan perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan
barang hasil produksi perdesaan (Lo dan Salih dalam Tarigan, 2003).
Rondinelli (1985) mengemukakan jenis keterkaitan antara desa dan kota seperti
yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel II.1
Klasifikasi Utama Keterkaitan Dalam Pembangunan Wilayah
Type of linkage
Elemen
keterkaitan fisik
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
keterkaitan ekonomi
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
keterkaitan mobilitas
penduduk
ƒ
ƒ
ƒ
jalan
jalur kereta
jalur udara
jalur laut
ketergantungan ekologis
Pola pemasaran
Aliran barang mentah dan
Intermediate
Keterkaitan produksi
Pola konsumsi dan belanja
Income dan Capital Flows
Sektoral dan Interregional
Commodity Flows
“Cross Linkages”
pola migrasi
komuter
17
Type of linkage
Elemen
keterkaitan teknologi
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
keterkaitan interaksi
sosial
keterkaitan penyediaan
pelayanan
ƒ
keterkaitan politik,
administratif dan
organisasional
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ketergantungan teknologi
sistem irigasi
sistem telekomunikasi
pola kunjungan
pola kekeluargaan
ritual dan aktivitas religius
Interaksi kelompok sosial
jaringan dan alur energi
jaringan kredit dan finansial
pendidikan dan pelatihan
sistem penyediaan sarana
kesehatan
pola pelayanan jasa, profesional,
dan komersial
sistem jasa transport
hubungan struktural
aliran keuangan pemerintahan
keterkaitan organisasional
pola pengawasan otoritas
pola transaksi interyurisdiksi
pola pengambilan keputusan
politis informal
Sumber : Rondinelli, 1985
Menurut Douglass (1996), yang terjadi saat ini dalam hubungan desa-kota di negaranegara maju pertumbuhan ekonomi selalu datang dari pusat-pusat pertumbuhan di
beberapa
wilayah
perkembangan
rural
inti
perkotaan
periphery.
yang
Setiap
memberikan
perkotaan
keuntungan
mengatur
kepada
wilayah-wilayah
perdesaan untuk melayani kepentingan kota, untuk mendatangkan arus perputaran
modal, brain drain, dan transfer sumber daya dari pertumbuhan wilayah perdesaan.
Kota-kota besar secara aktif mengeksploitasi wilayah-wilayah perdesaan, dimana
sebenarnya kemiskinan di desa dan migrasi desa-kota tidak berasal dari isolasi
perdesaan, namun dari hubungan yang erat antara perkotaan dengan perdesaan.
Dikemukakan pula bahwa dari wilayah perdesaan sering terjadi transfer hasil panen
atau sumber-sumber daya ekonomi yang berlebihan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar di perkotaan. Dari sini kemudian timbul teori ketergantungan.
18
Tabel II.2
Keterkaitan Fungsi Desa-Kota dan Ketergantungan
Fungsi sistem perkotaan
Saling
Ketergantungan
Fungsi sistem perdesaan
Pusat perdagangan hasil
pertanian dan produk
perdesaan lainnya dengan
keterkaitannya dengan
daerah lain
Layanan pendukung
pertanian : sarana produksi,
jasa perbaikan alat
pertanian, kredit, informasi
metode berproduksi (inovasi)
o
Perubahan volume produksi
dan peningkatan produktivitas
produk pertanian dan produk
perdesaan lainnya
o
o
Pasar produk non pertanian :
− Produk pertanian olahan
− Pelayanan publik
(kesehatan, pendidikan,
administrasi
o
Intensifikasi pertanian yang
dipengaruhi oleh:
− Infrastruktur perdesaan
− Insentif produksi
(harga,dll)
− Pendidikan dan
peningkatan kapasitas
untuk mengadopsi dan
mengadaptasi inovasi
Peningkatan pendapatan
masyarakat perdesaan
sehingga meningkatkan
permintaan terhadap barang
dan jasa non pertanian
o
Industri berbasis pertanian
(untuk menciptakan
sebanyak mungkin nilai
tambah bagi daerah
o
Produksi komoditas yang
potensial untuk dilakukan
pengolahan, dan diversifikasi
pertanian
o
Lapangan kerja di luar
pertanian
o
Semua fungsi diatas
o
o
Sumber :Douglass (1996:10)
Dalam perekonomian yang sederhana, masyarakat perdesaan memproduksi dan
menjual hasil pertaniannya secara mandiri ke wilayah-wilayah sekitarnya yang relatif
berdekatan, atau kepada para pedagang yang menjual kembali secara langsung
atau dengan sedikit pengolahan ke berbagai pasar. Sebaliknya, petani dan nelayan
di wilayah perdesaan juga membutuhkan barang dan jasa yang tidak bisa
dihasilkannya sendiri yang diproduksi di perkotaan, seperti sabun, minyak, atau
pakaian. Menurut Pradhan (2003), forward linkage merupakan bentuk keterkaitan
ekonomi dimana terjadi aliran baran dari pusat kota ke tempat yang lain termasuk
juga permukiman-permukiman yang berkembang di perdesaan dan pusat yang lebih
besar. Backward linkage merupakan bentuk keterkaitan dimana terjadi aliran bahan
mentah atau barang setengah jadi dari produsen menuju ke pusat-pusat kota.
Interaksi wilayah perdesaan tidak selalu hanya terjadi dengan wilayah perkotaan
yang terdekat, karena interaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi
19
yang terjadi di antara kedua wilayah tersebut. Hans-Dieter Evans dalam BPPT, 2004
mengatakan bahwa kota-kota global sesungguhnya hanya merupakan hubungan
antar bagian kota dengan bagian kota lain di dunia. Demikian pula interaksi suatu
wilayah perdesaan dapat terjadi lebih erat dengan wilayah perkotaan yang jaraknya
lebih jauh daripada dengan desa atau kota-kota di sekitarnya.
Terdapat model keterkaitan desa-kota menurut pengamatan pada kawasan
perkotaan di asia tenggara dan asia lainnya yang disusun pada era tujuh puluhan.
Model ini didasari oleh pandangan dualisme antara utara-selatan dan antara sektor
ekonomi formal-informal. Komponen-komponen dalam model ini adalah :
1. Pasar dunia (PD) :
Negara maju pembeli hasil primer dari negara berkembang, dan pengekspor
barang industri teknologi maju
2. Sektor formal perkotaan (UF)
:
Didominasi oleh enklave sektor ekonomi modern modal asing dan domestik, baik
di bidang industri maupun oerdagangan
3. Sektor informal perkotaan (UI)
:
Terdiri dari berbagai kegiatan ekonomi skala kecil, tradisional termasuk
pedagang pasar, kaki lima, buruh harian, tambal ban
4. Sektor perdesaan berorientasi ekspor (RX)
:
Kegiatan ekonomi perkebunan besar dan pertambangan sumber daya alam yang
telah dikembangkan sejak masa kolonial
5. Sektor kegiatan ekonomi tradidional di perdesaan (RP) :
Didominasi oleh hubungan client-patron antara buruh tani dan pemilik lahan
pertanian, atau petani kecil dengan pedagang pengumpul dan tengkulak
20
Gambar 2.1
Model Keterkaitan Desa Kota Fu-Chen Lo
Keterangan :
1. modal asing dalam sektor sumber daya alam dan tanaman perkebunan komersial
2. ekspor produksi primer
3. modal asing pada sektor industri modern
4. substitusi impor industrialisasi modern
5. pengeluaran untuk pembangunan perdesaan
6. migrasi dari perdesaan ke perkotaan
7. uang yang dikirim dari pekerja di kota pada keluarga di desa
8. hubungan client-patron antara buruh dan pemilik lahan pertanuan, antara petani dan tengkulak
Sumber : Fu. 1981 dalam Sugiana, 2003
Model ini menggunakan pembagian utara-selatan dan menjabarkan kondisi yang
tidak seimbang (assymmetric) antara desa dan kota di Indonesia. Hubungan utaraselatan berkembang oleh adanya kerjasama investasi antara modal asing dan
domestik di bidang eksploitasi sumber daya alam, tanaman perkebunan komersial
untuk ekspor, dan produksi barang modal untuk substitusi impor menggunakan
teknologi
maju
(Sugiana,
2003).
Pendekatan
interaksi
desa-kota
dalam
pengembangan wilayah diperlukan untuk mengurangi kesenjangan desa-kota.
Pendekatan ini ditujukan untuk mengintegrasikan pusat kota, desa dan wilayah
21
belakangnya (hinterlands), membangun kapasitas perkotaan untuk mendorong
ekonomi perdesaan, dan meningkatkan akses masyarakat desa kepada pelayanan
dan fasilitas perkotaan (Rondinelli dan Evans, 1983, dalam Douglass 1996).
Menurut Pradhan (2003), keterkaitan desa-kota meliputi tiga aspek utama yaitu
urban center beserta struktur, fungsi dan distribusi spasialnya, sistem penggunaan
sumber daya dari hinterland, yaitu daerah ruralnya, dan servis dan institusi yang
memfasilitasi keterkaitan antara wilayah urban dan rural tersebut. Ketiga komponen
ini memiliki keterkaitan yang erat satu sama lainnya.
Gambar 2.2
Urban-rural Relation dan Elemen-Elemennya
Urban Center
Barang
Jasa
Teknologi
Ide
pekerjaan
Rural Hinterland
Jalan dan
Transportasi
Sistem Institusi
Bahan mentah
Produksi pertanian
Kerajianan tangan
Tenaga kerja
modal
Sumber : Pradhan 2003
2.1.1.2 Kota dan Desa
Terdapat beragam definisi mengenai kota yang didasarkan atas berbagai teori dan
sudut pandang. menurut definisi universal kota adalah sebuah area urban yang
berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk,
kepentingan, atau status hukum. Kota juga merupakan lokasi dengan konsentrasi
penduduk/ permukiman, kegiatan sosial ekonomi yang heterogen dan intensif (bukan
22
ekstraktif atau pertanian), pemusatan, koleksi, dan distribusi bagi pelayanan jasa
baik pemerintahan, sosial, dan ekonomi.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan
ekonomi. Menurut UU no 32 tahun 2004, Kawasan perkotaan dapat berbentuk :
a.
Kota sebagai daerah otonom;
b.
bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;
c.
bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri
perkotaan.
Salah satu bentuk strategi pengembangan perkotaan secara nasional adalah
National Urban Development Strategy (NUDS). Pada tahun 1985 NUDS disusun
sebagai kerangka pertumbuhan sistem perkotaan agar dalam mengalokasikan
sumberdaya
potensi
pembangunan
dicapai
efisiensi
yang
terpadu,
berkesinambungan dan merata. NUDS mengamati bahwa isu kunci untuk
memahami pengelolaan perkotaan saat ini adalah tidak optimalnya kota-kota
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan kegiatan di wilayah nasional, regional,
maupun propinsi/kabupaten untuk menjadi mesin pendorong pengembangan daerah
sekitarnya, hal ini sering disebut sebagai dengan kurang optimalnya fungsi eksternal
kota. Kegagalan ini lebih menyebabkan backwash effect daripada trickling down
effect dari pembangunan perkotaan yang berukuran besar sehingga cenderung
menyedot sumberdaya di sekitarnya. Sehingga kota-kota tersebut membesar secara
fisik, sosial, dan ekonomi, sedangkan kota-kota kecil dan sedang serta perdesaan
mengalami stagnasi dan kemunduran. Hal ini berdampak pula pada rendahnya minat
investor terhadap pengembangan ekonomi daerah menengah, kecil, dan perdesaan.
Studi lebih lanjut dengan NUDS ini dinamakan NUDS-2 pada tahun 1999. Menurut
penelitian ini maka klasifikasi kota-kota di Indonesia didekati dengan besaran
penduduk sebagai berikut:
1. Kota kecil; adalah kota dengan jumlah penduduk di bawah 100.000 jiwa
2. Kota sedang; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000-500.000
jiwa
23
3. Kota besar; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000-1.000.000
jiwa
4. Kota metropolitan; adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000
jiwa
Hal ini serupa dengan kriteria kawasan perkotaan yang ditetapkan dalam PP No 47
tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, yang mengklasifikasikan tipologi
kota-kota sebagai berikut
i)
Kota Kecil : jumlah penduduk 20.000-100.000
ii)
Kota Menengah : Jumlah Penduduk 100.000-500.000
iii)
Kota Besar : Jumlah penduduk 500.000-1.000.000
iv)
Kota Metropolitan : Jumlah Penduduk diatas 1.000.000-5.000.000 jiwa
Pada
dasarnya,
pengembangan
perkotaan
tidak
dapat
dipidahkan
dari
pengembangan wilayah. Kota-kota mempunyai peranan penting baik dalam berbagai
lingkup pengembangannya, baik nasional, propinsi, maupun lokal.
Menurut NUDS-2, kota kecil memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan lokal, serta
sebagai pusat jasa dan dagang atau industri lokal. Keterkaitan antar kota yang
dimiliki berupa keterkaitan dengan sentra produksi dalam kawasan strategis.
Prinsip-prinsip umum pengelolaan kota kecil antara lain :
-
Pengelolan ruang dilakukan secara terpadu dan komprehensif berdasarkan
jumlah penduduk dan dengan pengaturan zoning regulation
-
Pembangunan jaringan infrastruktur dan prasarana perkotaan
-
Mendorong dukungan atau peran serta masyarakat untuk pembangunan
infrastruktur dan sentra produksi.
Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari perkembangan wilayah sekitarnya.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Kawasan perdesaan adalah kawasan di luar kawasan perkotaan
yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Pengelolaan kawasan perdesaan
terutama diarahkan untuk meningkatkan produktivitas kawasan perdesaan tersebut
sesuai dengan jenis kegiatan yang dikembangkan.
24
2.2
Peran Kota Kecil dalam Pengembangan Wilayah Sekitarnya
Kota kecil digolongkan berdasarkan beragam ukuran-ukuran berupa populasi,
fasilitas, serta skala pelayanannya. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan
mengenai apakah kota kecil dapat membantu perkembangan wilayah perdesaan
sekitarnya
dalam
4
komponen
vital
pembangunan
yaitu
perencanaan
pengembangan wilayah yang terintegrasi, lokasi jasa dan pelayanan untuk
pengembangan perdesaan, keterkaitan antara wilayah desa-kota, dan pemasaran
dari produk dari kota maupun dari perdesaan (Pradhan, 2003).
Pendapat-pendapat para ahli mengenai peran kota kecil ini dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama yaitu kelompok
berpandangan optimis yang menyetujui bahwa perkembangan kota kecil sebagai
pusat pelayanan tidak dapat terhindarkan dari pembangunan perdesaan. Kelompok
berikutnya berpandangan pesimis dan beranggapan bahwa kota kecil tidak mampu
untuk memajukan perkembangan perdesaan. Di antara kedua pandangan ekstrim ini
muncul pandangan yang mengatakan bahwa setiap kota kecil memiliki potensi yang
berbeda, dengan fungsi dan peran yang berbeda pada setiap area. Kelompok
pandangan ketiga ini disebut kelompok intermediate, berpendapat bahwa jika potensi
dari
kota
kecil
ditelaah,
beberapa
di
antaranya
akan
dapat
membantu
pengembangan daerah perdesaannya.
Dalam pandangan optimis, Kota kecil berperan sebagai market town yang memiliki
peran sosial dan ekonomi terhadap masyarakat perdesaan. Masyarakat perdesaan
di sini merupakan pengguna dari fungsi pasar dan pelayanan yang tersedia di kota
kecil. Kunci dari pertumbuhan ekonomi internal adalah kedekatan hubungan antara
market town dan wilayah perdesaan, tumbuhnya market center menstimulasikan
produksi efisien dan pertukaran barang melalui akses yang siberikan untuk
masyarakat perdesaan menuju pusat pusat pelayanan (Carter, 1983 dalam Pradhan
2003). Pandangan optimis ini di antaranya diutarakan oleh Rondinelli dan Ruddle
pada tahun 1976 dalam Urban Function for Rural Development (UFRD) yang
mengemukakan tujuh indikator dalam melihat keterkaitan desa-kota.
Pandangan pesimis diutarakan oleh Dias (1984, dalam Pradhan 2003), yang
mengatakan bahwa investasi harus dilakukan langsung pada fasilitas dan pelayanan
25
di wilayah perdesaan agar bisa mendapat dampak dari pengembangan perdesaan.
Pandangan ini dikemukakan karena dalam penelitiannya ditemukan bahwa kota kecil
tidak mampu mendorong pembangunan wilayah perdesaan. Meski demikian, rural
center atau pusat wilayah perdesaan dikatakan merupakan tempat yang tepat untuk
meletakkan pelayanan yang dapat diakses oleh masyarakat banyak. Menurut de
Jong (1988 dalam Sugiana, 2003) terdapat 3 peran pokok dari kota sedang dan kecil,
yaitu:
1. Sebagai
pusat
pelayanan
dan
perbelanjaan
kebutuhan
masyarakat
perdesaan di sekitarnya
2. Sebagai simpul pelayanan wilayah yang berfungsi mengurangi beban migrasi
desa-kota ke wilayah metropolitan
3. Sebagai pendukung dan tempat pemasaran untuk kegiatan pertanian
2.3
Spatial Development Model
Model pengembangan spasial bersifat mengidentifikasi suatu kumpulan vocal points
yang dinamis atau pusat pertumbuhan yang dapat membangkitkan pertumbuhan
pada pusat itu sendiri serta dengan hinterlandnya. Beberapa model pengembangan
spasial atau regional telah dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir. Terdapat
persamaan di antara model-model ini dalam tujuannya untuk mengoperasikan
hubungan yang efektif dan seimbang antara daerah perdesaan dan perkotaan.
2.3.1
Growth Centre/Growth Poles
Growth pole merupakan metode pembangunan wilayah kutub-kutub pertumbuhan,
dengan harapan akan terjadinya penetesan (trickle down effect) dari kutub pusat
pertumbuhan ke wilayah hinterland-nya. Pusat pertumbuhan memiliki empat ciri,
yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai
ekonomi, adanya multiplier effect, adanya konsentrasi geografis, dan bersifat
mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Pendekatan growth pole telah
terbukti tidak begitu efektif. Berkembangnya kota sebagai pusat pusat pertumbuhan
temyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah, tetapi justru menimbulkan efek
pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backwash effect). Sebaliknya,
terjadi urban bias akibat kecenderungan pembangunan yang mendahulukan
pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Dampak
lain yang terjadi yaitu backwash effect, yaitu terjadi transfer neto sumberdaya dari
wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar besaran.
26
2.3.2
Agropolitan
Friedman & Douglas (1975 dalam Mariani, 2004) menawarkan konsep agropolitan
sebagai solusi atas terjadinya pembangunan yang tidak berimbang antara wilayah
perkotaan
dan
perdesaan.
Konsep
pengembangan
agropolitan
merupakan
pendekatan pengembangan suatu kawasan pertanian perdesaan yang mampu
memberikan berbagai pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di
kawasan produksi pertanian sekitarnya. Kawasan ini berfungsi baik untuk pelayanan
yang berhubungan dengan sarana produksi, jasa distribusi maupun pelayanan sosial
ekonomi lainnya, sehingga masyarakat yang bersangkutan tidak perlu lagi pergi ke
kota. Konsep ini dijalankan melalui Program Pengembangan Agropolitan dengan
mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem
dan usaha agribisnis dalam suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya
saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan
oleh masyarakat serta difasilitasi oleh pemerintah. Konsep agropolitan terdiri dari
distrik-distrik agropolitan dan distrik agropolitan yang didefinisikan sebagai kawasan
pertanian perdesaan yang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa per km2.
Pembangunan dengan pendekatan agropolitan membutuhkan perhatian khusus
terhadap 3 isyu penting, yaitu : akses terhadap lahan pertanian dan air, devolusi
terhadap kewenangan politis dan administratif pada tingkat lokal, dan perubahan
kebijakan pembangunan nasional sehubungan dengan variasi produsi pertanian.
(Douglass, 1999). Agropolitan dinilai sangat relevan dengan wilayah perdesaan
karena pada umumnya sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam memang
merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat perdesaan
(Rustiadi, 2003 dalam Mariani, 2004). Dalam konsep ini pembangunan perdesaan
secara baik dapat dilakukan dengan mengaitkan wilayah perdesaan dengan
pembangunan wilayah perkotaan pada tingkat lokal. Hanya saja, keterkaitan yang
sifatnya berjenjang mulai dari desa-kota kecil-kota menengah-kota besar harus
diikuti oleh kebijakan pembangunan yang terdesentralisasi, bersifat bottom up dan
mampu melakukan upaya pemberdayaan terhadap masyarakat perdesaan untuk
mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya oleh kaum elit dari luar desa (Mariani,
2004).
27
Dibalik keidealan yang disajikan oleh konsep agropolitan ini juga bukannya tanpa
celah, terjadi kegagalan-kegagalan yang banyak ditemui dalam kasus di negaranegara berkembang termasuk Indonesia. Kegagalan ini disebabkan antara lain oleh
(Mariani, 2004):
•
Program pembangunan desa tidak mempunyai biaya yang cukup dan kurang
terkoordinasikan.
•
Konsep ini dianggap sebagai “kebijaksanaan tambahan” sehingga tidak
dilaksanakan secara utuh.
•
Pembangunan desa dianggap sebagai suatu proyek percobaan yang kurang
berarti atau dianggap sebagai proses yang wajar dan akan berjalan dengan
sendirinya.
•
Kecenderungan pengambil keputusan masih berada di pemerintahan pusat.
•
Sedikitnya perhatian dari pemerintah.
2.3.3
Regional Cluster Network Model
Pendekatan regional cluster network menganjurkan sistem perencanaan yang lebih
terdesentralisasi untuk mendorong dinamika keterkaitan desa-kota. Pendekatan ini
bersifat lebih bervariasi dan multi-stranded untuk pengembangan wilayah yang
berpegang pada pengintegrasian perdesaan dengan pembangunan perkotaan pada
skala lokal. Pendekatan ini merekomendasikan satu set intervensi kebijakan
tersusun dan terpisah yang mengijinkan terjadinya variasi dalam potensi sumberdaya
alam, ketenagakerjaan baik di sektor perkotaan maupun perdesaan, dan kebutuhan
dan potensi pembangunan lokal.
Konsep network ini didasarkan pada tiga pertimbangan utama. Pertama, karena
besarnya variasi keterkaitan desa-kota antara hinterland dengan kota utamanya,
dapat diambil keuntungan dari desa dan kota yang membentuk cluster. Keuntungan
ini diakibatkan keragaman dan sifat komplementer yang terjadi antara masingmasing pusat dan hinterlandnya. Pengembangan wilayah tidak hanya bergantung
pada satu pusat. Hubungan antar pusat bersifat lebih horizontal, komplementer dan
timbal balik.
28
Tabel II.3
Perbandingan Growth Pole dan Regional Cluster Model
Komponen
Basic
Sector
Urban
System
Urban Rural
Relations
Planning
Style
Major Policy
Areas
Growth Pole/Center Model
urban based manufacturing;
biasanya terfokus pada industri
'propulsive' dalam skala besar
dan unit produksi 'footloose' yang
berpusat di luar wilayah
Regional Cluster/Network Model
semua sektor, tergantung kepada
kemampuan dan kondisi lokal; diberi
penekanan pada perusahaan berbasis
lokal dengan ukuran kecil aau
menengah
berhierarki, terpusat pada satu
pusat dominan, biasanya dilihat
berdasarkan ukuran populasi
dikaitkan dengan asumsi dari
central place theory
horisontal, terdiri atas sejumlah pusat
dan hinterland-nya, masing-masing
dengan spesialisasi masing-masing
dan keuntungan komparatif
proses difusi yang yang bergerak
turun dari hierarki urban dan
keluar dari kota ke wilayah rural
peripherynya. Rural area
merupakan pihak yang
diuntungkan secara pasif dari
'trickle down' pertumbuhan area
urban
biasanya bersifat top-down via
agen perencanaan sektoral dan
kantor-kantor lapangannya.
Wilayah memiliki batasan yang
berkabut yang ditentukan oleh
interaksi ekonomi
lahan aktivitas urban-rural yang
kompleks, dengan dorongan
pertumbuhan yang timbul dari baik
area urban atupun rural dengan
intensitas yang meningkat sepanjang
pemukiman dan koridor transportasi
regional.
insentif desentralisasi industri :
tax holiday, industrial estates,
jalan transportasi truk nasional
diversifikasi agrikultur, agro-industri,
manufaktur berbasis sumber daya,
jasa urban, pelatihan SDM
menggambarkan kebutuhan akan
sistem perencanaan yang
terdesentralisasi, dengan integrasi dan
koordinasi dari multi sektor dan
aktivitas urban-rural pada tingkat lokal
Sumber : Douglass, 1996
Pertimbangan kedua yaitu karena sebenarnya cluster-cluster ini sudah ada meskipun
dalam bentuk yang belum sempurna. Interaksi antara kota dan desa membentuk
jaringan yang terlokalisasi dengan beragam tingkat intensitas lintas wilayah dan lebih
luas lagi dari itu. Cluster ini dapat diidentifikasi dan dibatasi berdasarkan aliran
eksisting dari barang dan orang antar permukiman. Pada kasus Indonesia regional
networks dapat diidentifikasi dengan menggunakan data yang menunjukkan
frekuensi bus, truk, dan pergerakan kendaraan antar permukiman (Douglass 1984).
Pertimbangan yang ketiga adalah dengan cluster yang terhubung dengan baik dan
permukiman perdesaan dan perkotaan yang berinteraksi tinggi dapat lebih baik
daripada kutub pertumbuhan tunggal. Kebaikan ini dinilai dari kemampuannya untuk
menyediakan suatu tingkat aglomerasi dan keragaman ekonomi yang berperan
sebagai antipoda terhadap pertumbuhan dari wilayah metropolitan. Berkurangnya
29
jarak tempuh antar permukiman dimungkinkan dengan keberadaan sistem
transportasi dan komunikasi. Pada kenyataannya implementasi konsep ini jarang
dilakukan secara menyeluruh. Penerapan konsep ini hanya pernah dilakukan secara
parsial karena terbentur dengan banyaknya kendala yang dihadapi dalam
implementasi kebijakan yang disarankan (Sugiana, 2003).
2.3.4
Rural development through secondary cities
Model pendekatan pembangunan ini menyatakan bahwa dibutuhkan urban centre
dalam ukuran yang berbeda dalam suatu wilayah yaitu kota-kota sekunder. Dalam
model pengembangan ini, kota-kota sekunder diharapkan untuk berfungsi sebagai
lokasi yang sesuai pengembangan perdesaan melalui kegiatan-kegiatan berikut
i.
desentralisasi pelayanan publik
ii. pusat kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan pelayanan lainn yang
menawarkan pelbagai jenis variasi atas barang konsumsi, komersil, dan jasa
melalui usaha kecil dan kegiatan informal yang ekstensif
iii. menjadi pemasaran regional atas distribusi, transfer, penyimpanan, kredit, dan
pelayanan keuangan
iv. tenpat tumbuhnya industri manufaktur skala kecil dan menengah
v. pusat produksi pertanian dan penyediaan pelayanan pertanian
vi. sumber pekerja off-farm dan sumber pendapatan suplementer bagi masyarakat
perdesaan melalui remittance atau migrasi
vii. titik pusat jaringan komunikasi dan transportasi dengan wilayah penunjang
(hinterland) ke kota atau wilayah lain
viii. pusat penyerapan migran perdesaan dan memberikan tempat tinggal permanen
kepada migran, sehingga menciptakan distribusi yang lebih seimbang dari
populasi perkotaan
ix. pusat transformasi sosial
x. menyalurkan difusi inovasi dan merubah penyebaran keuntungn pembangunan
perkotaan, stimulasi ekonomi perdesaan dan integrasi atas urban centres dan
permukiman perdesaan di dalam suatu wilayah melalui keterkaitan sosial,
ekonomi, dan administratif.
Pendekatan ini dijalankan dengan cara memperkuat kota sekunder yang telah ada
dalam memenuhi kesenjangan fungsional dan meng-upgrade kota kecil menjadi kota
menengah. Diberi penekanan terhadap difersifikasi dan penguatan basis ekonomi
30
pada pusat pelayanan perdesaan dan market town. Tindakan kolektif ini dapat
memperkuat kapasitas pengembangan kota sekunder untuk melayani area
perdesaan.
2.4
Program pengembangan wilayah di Indonesia
Telah banyak program pengembangan wilayah dilaksanakan di Indonesia yang
dilakukan dengan beragam pendekatan dan metode. Sebelum merebaknya
desentralisasi dan otonomi daerah, pendekatan pengembangan wilayah di indonesia
banyak dilakukan dengan pandangan Top-Down, dimana keputusan dan kekuasaan
dipegang oleh pemerintah pusat. Bagaimanapun, baik pada masa sebelum
desentralisasi maupun sesudahnya kesemua program ini dilakukan dengan tujuan
yang sama, yaitu demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.4.1
Poverty Alleviation of Rural Urban Linkages (PARUL)
Poverty Alleviation Through Rural-Urban Linkages yang diprakarsai oleh BAPPENAS
ini memperkenalkan pendekatan yang dipengaruhi oleh pasar atas pengembangan
ekonomi lokal melalui pendirian organisasi kerjasama publik-privat yang berfokus
pada komoditas pada daerah dan propinsi terpilih dibawah pengawasan pemerintah
lokal,
terutama
lembaga
perencanaan
lokal.
PARUL
merupakan
program
percontohan pengurangan kemiskinan dan pengembangan ekonomi lokal dengan
pendekatan pasar, melalui penguatan keterkaitan desa-kota. Proyek PARUL
mengadopsi beberapa strategi untuk memperkuat keterkaitan desa-kota yaitu :
(1) strategi berorientasi sektor untuk mempromosikan pengembangan ekonomi
lokal untuk eksport dan berfokus pada pengklusteran aktivitas ekonomi yang
terkait dengan komoditas eksport
(2) mengaplikasikan pendekatan market-driven pada pengembangan ekonomi
lokal dan mengkaitkan produsen skala kecil kepada pasar yang lebih luas
melalui kolaborasi dengan perusahaan berskala besar.
(3) Pembentukan kerjasama publik-privat untuk merumuskan
action-plan,
mengerahkan sumber daya dan mengimplementasikan rencana untuk
mempromosikan pengembangan ekonomi lokal.
(4) Mendorong petani, nelayan, serta pengusaha kecil dan menengah melalui
partisipasi dalam kerjasama publik-privat untuk memfasilitasi kerjasama
antara pemerintah, perusahaan swasta, petani, dan komunitas lokal dalam
mendesain dan mengimplementasikan tindakan dan insiatif.
31
Sasaran jangka panjang atau dampak yang diharapkan yaitu untuk mendorong pola
perkembangan yang lebih merata antara wilayah perdesaan dan perkotaan dan
perkembangan ekonomi wilayah terutama wilayah tertinggal, serta meningkatkan
pendapatan masyarakat miskin di perdesaan dan perkotaan.
2.4.2
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu atau biasa disebut KAPET adalah suatu
program pemerintah yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu
wikayah tertentu yang memiliki sumber daya potensial dan meemrlukan investasi
yang cukup besar. KAPET dijalankan pada wilayah dengan batas-batas tertentu
dengan harapan dapat menjadi kawasan andalan pusat pertumbuhan ekonomi
melalui pemberian berbagai paket insentif baik fiskal maupun non-fiskal. Insentif ini
diberikan kepada pengusaha yang beroperasi di KAPET berupa fasilitas perpajakan,
kepabeanan, kemudahan adminsitrasi dan perijinan. Program KAPET yang sudah
berjalan meliputi kawasan Biak-Timika, Manado-Bitung, Pare-pare, Pulau Seram,
Mbay, Batui, BENAVIQ (Betano Natarbura-Viqueque), Bima, BUKARI (Buton, Kolaka,
Kendari).
Dalam pengembangan KAPET selama ini yang terjadi ternyata justru relokasi industri,
dimana industri yang dikembangkan tidak berkaitan dengan potensi sumber daya
lokal (foot loose industry). Pola-pola pengembangan KAPET ini terbukti hanya
menciptakan perekonomian daerah yang dualistis dan menimbulkan disparitas
ekonomi. Di satu sisi berkembang sektor modern yang sangat eksklusif dan dikuasai
oleh pengusaha-pengusaha luar, sementara di sisi lain terdapat sektor tradisional
yang terbelakang dan justru menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat
lokal. Pengembangan KAPET ke depan yang diharapkan adalah bersifat inklusif bagi
daerah yang bersangkutan, yaitu pengembangan kawasan industri yang bersifat
local resources based sedemikian rupa sehingga pengembangan KAPET benarbenar bermanfaat bagi modernisasi perekonomian rakyat banyak di daerah-daerah.
(Syahrani dalam FRONTIR, Maret 2001)
32
2.5
Indikator keterkaitan desa-kota
Terdapat banyak pendapat mengenai berbagai jenis keterkaitan desa-kota. Preston
(1975) sebagai contohnya, telah menetapkan kategori utama interaksi antara desa
dan kota yaitu :
•
Transfer orang atau migrasi baik dalam jarak jauh maupun dekat
•
Aliran barang, pelayanan dan energi
•
Aliran uang melalui perdagangan, pajak, dan pembayaran dana-dana
•
Transfer aset, yaitu hak properti, alokasi investasi dan barang dalam berbagai
bentuk
•
Aliran informasi berupa informasi teknis atau isu sosial
Berdasarkan peran dari market center Harris dan Harris (1984, dalam Pradhan,
2003) mengklasifikasikan bentuk keterkaitan desa-kota menjadi keterkaitan generatif
dan keterkaitan eksploitatif. Keterkaitan generatif
market
center
berkontribusi
dalam
merupakan keterkaitan dimana
meningkatkan
surplus
investasi
untuk
menstimulus pertumbuhan ekonomi di hinterland, sedangkan keterkaitan eksploitatif
merupakan
keterkaitan
dimana
keberadaan
market
center
mengeksploitasi
penggunaan sumber daya di wilayah hinterland. Pendapat lain mengenai bentuk
keterkaitan desa-kota dikeluarkan oleh Asian Development Bank yang membaginya
menjadi lima bentuk, yaitu:
•
keterkaitan produksi
•
keterkaitan konsumsi
•
keterkaitan tabungan dan investasi
•
keterkaitan tenaga kerja
•
keterkaitan sektor luar negeri.
Menurut Pradhan (2003), terdapat delapan bentuk keterkaitan desa-kota yaitu
keterkaitan spasial, ekonomi, sosial budaya, teknologi, finansial, politik, keterkaitan
administrasi dan organisasi, serta keterkaitan penyediaan pelayanan. Penggolongan
ini tidak jauh berbeda dengan indikator keterkaitan desa kota yang diungkapkan oleh
Rondinelli pada tahun 1985 dalam proyek Urban Function in Rural Development
(UFRD). Rondinelli mengklasifikasikan bentuk keterkaitan desa-kota berdasarkan
aspek yang mempengaruhinya. Terdapat tujuh bentuk keterkaitan yang diidentifikasi,
yaitu keterkaitan fisik, keterkaitan ekonomi, keterkaitan mobilitas penduduk,
33
keterkaitan teknologi, keterkaitan sosial, keterkaitan penyediaan pelayanan, dan
keterkaitan politik.
Ketujuh indikator keterkaitan desa-kota yang dikemukakan oleh Rondinelli, masingmasing memiliki berbagai komponen dan pengaruh, serta pola keterkaitan spasial
yang berbeda dengan manfaat yang beragam terhadap suatu wilayah. Ketujuh
keterkaitan ini tidaklah mutlak dapat dilakukan dan berguna sebagai alat
pengindikasian tingkat
keterkaitan segala
wilayah. Setiap wilayah memiliki
karekteritiknya masing-masing. Maka dari itu variabel yang digunakan sebagai
indikator keterkaitan desa-kota pada studi kasus Kabupaten Garut bagian selatan
adalah sebagai berikut :
34
Tabel II.4
Indikator Identifikasi Keterkaitan Desa dan Kota
Jenis keterkaitan
Keterkaitan fisik
Variabel
Ketersediaan jaringan jalan
Karakterisik geologis
Keterkaitan ekonomi
Sektor dominan
Keterkaitan internal
Keterkaitan eksternal
Keterkaitan mobilitas
penduduk
Keterkaitan interaksi
sosial
Keterkaitan
penyediaan pelayanan
Pola migrasi dan komuter
Pola aktivitas sosial
Sistem telekomunikasi
Sumber energi
Keterkaitan politik,
administratif dan
organisasional
Sarana pendidikan
Sarana kesehatan
Sarana perdagangan dan jasa
Sarana perhubungan
Hubungan struktural
Pendanaan
Kriteria
Tipe permukaan jalan
Kondisi permukaan jalan
Daerah rawan bencana
Kawasan lindung
PDRB
Distribusi pemasaran
Jenis barang
Distribusi pemasaran
Jenis barang
Pergerakan manusia
Interaksi kelompok sosial
Aktivitas ritual dan keagamaan
Keberadaan jaringan telekomunikasi
Keberadaan pembangkit listrik dan
jaringannya
Keberadaan fasilitas
Keberadaan fasilitas
Keberadaan fasilitas
Ketersediaan transportasi umum
Organisasi pemerintah atau non- pemerintah
yang mengelola masing-masing kecamatan
Perimbangan dana
35
Indikator
Hierarki jalan
jalan beraspal/diperkeras
permukaan jalan dalam kondisi baik
Luas dan lokasi
Keberadaan
Location quotient
Jangkauan pemasaran
Asal-Tujuan pemasaran
Jangkauan pemasaran
Asal-Tujuan pemasaran
Asal dan Tujuan migrasi
Besar migrasi harian/bulanan
Asal dan Tujuan komuter
Besar komuter harian/bulanan
Keberadaan kelompok sosial
Keberadaan aktivitas ritual dan keagamaan
Cakupan pelayanan
Telepon, Telepon selular, dan pos
Sistem pelayanan
Jangkauan pelayanan
Jangkauan pelayanan
Jangkauan pelayanan
Pola Pergerakan Masyarakat
Tupoksi
Alokasi dana
Download