Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan

advertisement
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
FLUKTUASI KUALITAS GARAM RAKYAT
PADA BERBAGAI KERAGAAN SUMBERDAYA MANUSIA
DAN SUMBERDAYA ALAM
Makhfud Efendy, 1dan Rahmad Fajar Sidik2
1)
Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura
Jl Raya Telang Kamal PO BOX 2 Kamal Bangkalan Madura 69162
E-mail: [email protected]
2)
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura
Jl Raya Telang Kamal PO BOX 2 Kamal Bangkalan Madura 69162
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Keberhasilan inisiasi Program Swasembada Garam Nasional 2012 ditandai
dengan pencapaian produksi garam 2.978.616 ton dari kebutuhan garam nasioal
1.440.000 ton sehingga pada tahun 2012 terjadi surplus produksi garam 1.538.616 ton.
Namun demikian muncul persoalan baru karena kualitas garam yang diproduksi belum
memenuhi standar mutu SNI sehingga serapan garam rakyat untuk kebutuhan konsumsi
belum maksimal, terlebih untuk pemenuhan kebutuhan industri. Kualitas garam yang
dihasilkan dari tiga sentra produksi garam di Pulau Madura (Sumenep, Pamekasan, dan
Sampang) berbeda. Bahkan, kualitas garam rakyat di sentra garam Kabupaten
Pamekasan tidak homogen.Garam di Desa Lembung Kecamatan Galis memiliki kadar
NaCl tertinggi sebesar 95,35% NaCl terendah dari Desa Konang Kecamatan Galis
85,58%. Faktor Sumberdaya Manusia (adat kebiasaan dalam produksi), dan Faktor
Sumberdaya Alam (sumber air laut yang dipakai dan jenis tanah) sangat mempengaruhi
kualitas garam yang diproduksi. Sebagian besar petani melakukan pencampuran air
limbah produksi garam dengan air bahan baku (colokan, cengean: madura red; back
mixing: english red) atau bahkan kristalisasi total, dengan alasan agar mampu
memproduksi garam dalam jumlah yang banyak. Sumber air laut kebanyakan diperoleh
dari sungai utama, diurut dari kadar Cl tertinggi hingga terendah yaitu sungai Baddurih
(kadar Cl =31,7722), Majungan (kadar Cl =29,5016), Tanjung (kadar Cl =27,8006)
Bunder (kadar Cl =24,8220), dan Padelegan (kadar Cl = 21,8434).
Kata Kunci: fluktuasi kualitas garam, keragaan sumberdaya manusia&sumberdaya
alam
PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia akan garam untuk konsumsi rumah tangga, industri
makanan minuman, dan non pangan diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2011, kebutuhan garam untuk industri makanan dan minuman meningkat
menjadi 1,4 juta ton, sedangkan demandindustri non pangan sebesar 1,6 juta ton.
Kapasitas produksi garam dalam negeri pertahun rata-rata hanya mencapai 1,2 juta ton.
Kesenjangan antara kebutuhan garam (market demand) dan kapasitas produksi garam
nasional mendorong pemerintah untuk mengimpor garam. Impor garam dipenuhi dari
690
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
negara, seperti Australia, India, dan Cina, dengan total impor selama bulan Januari
sampai denganbulan Nopember 2010 sebanyak 1,8 juta ton (BPS, 2010).
Menurut Kadin Indonesia, ketergantungan terhadap garam impor cukup besar,
baik secara kualitas maupun nilai ekonomisnya. Pada tahun 2009, impor garam sebesar
1,6 juta ton (garam konsumsi rumah tangga dan aneka industri 0,2 juta ton dan industri
Chlor Alkali Plan (CAP) 1,4 juta ton)dengan nilai tidak kurang dari satu triliun rupiah.
Nilai tersebut sangat fantastik dan sekaligus menjadi ironi di negara kepulauan dengan
potensi lahan pergaraman yang cukup luas. Semestinya, jika Indonesia mampu
mengoptimalkan potensi lahan tambak, maka produksi garam nasional akan meningkat,
sehingga dapat mengurangi ketergantungan garam impor. Implikasi lanjut dari hal
tersebut, jika tercapai,akan dapat menghemat devisa negara dan membuka lapangan
kerja yang besar.
Berpijak pada kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan
swasembada garam konsumsi pada tahun 2012 dan garam industri pada tahun 2015
melalui program Inisiasi Swasembada Garam Nasional (IGSN). Program tersebut
bertujuan meningkatkan produksi garam dalam negeri terutama yang terdapat disentrasentra garam nasional seperti; Kabupaten Pamekasan, Sampang, Sumenep, Indramayu,
Cirebon, Pati, Rembang, beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT.
Sebagai sentra utama produksi dan lahan tambak garam nasional, Kabupaten
Pamekasan memiliki peran vital bagi keberhasilan program tersebut. Pengelolaan lahan
tambak garam di Kabupaten Pamekasan secara umum terbagi dua, yaitu pengelolaan
oleh PT Garam maupun perusahaan garam swasta dan pengelolaan oleh perseorangan
yang dikenal lahan garam rakyat. Luas lahan tambak garam yang dikelola perusahaan
sebesar 980,0 ha (52,44%), sedangkan sisanya 47,56 persen (888,70 ha) merupakan
lahan tambak garam rakyat. Lahan tambak garam rakyat terdapat di tiga Kecamatan
yaitu Galis, Pademawu, dan Tlanakan. Luas lahan tambak garam rakyat terluas terdapat
di Kecamatan Galis mencapai 353 ha, sedangkan Kecamatan Tlanakan merupakan
wilayah dengan luas lahan tambak garam rakyat tersempit sebesar 35 ha. Dari luasan
lahan tambak sebesar 888,7 ha, pada musim kemarau normal mampu dihasilkan garam
sebesar 88 ribu-98 ribu ton. Pendeknya masa produksi akibat curah hujan yang tinggi
pada musim kemarau mengakibatkan penurunan produksi garam. Penurunan signifikan
produksi garam rakyat di Kabupaten Pamekasan terjadi pada musim 2010. Pada tahun
tersebut produksi garam yang dihasilkan oleh lahan tambak garam rakyat hanya sebesar
225 ton.
Masalah utama pengembangan garam rakyat dapat diklasifikasi menjadi dua
masalah besar, yaitu masalah sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber
daya alam, meliputi kualitas air laut yang digunakan sebagai bahan membuat garam,
kecocokan sumber daya lahan, dan cuaca. Semua hal tersebut tidak dapat diubah oleh
manusia karena merupakan rahmat Allah Yang Maha Kuasa, namun demikian
perbaikan teknologi produksi dan infrastruktur bisa memperbaiki berbagai kekurangan,
691
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
utamanya dari peningkatan kapasitas dan kualitas produksi garam. Untuk memperbaiki
teknologi produksi garam rakyat, terkait erat dengan perubahan cara berpikir dan
bertindak masyarakat petani garam. Berbagai kebiasaan buruk yang sudah dilakukan
secara turun temurun sangat sulit untuk diubah.
Beberapa kebiasaan buruk dalam memproduksi garam adalah: 1) proses
kristalisasi yang terlalu dini, padahal konsentrasi air belum memenuhi 25 oBe, hal ini
dilakukan karena petani ingin segera panen garam. Kebiasaan ini menyebabkan muncul
beberapa kebiasaan buruk lainnya yaitu; melakukan back mixing dengan cara colokan
atau cengean agar air lebih cepat tua. 2) proses kristalisasi yang berlebihan dengan
sengaja panen pada saat konsentrasi air >30 oBe, dengan maksud agar kristal garam
lebih banyak. 3) menggunakan penjernih air yang mengandung senyawa berbahaya,
misalnya trusi.
Untuk itu, berbagai usaha peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan
petani garam melalui berbagai pelatihan banyak dijalankan melalui beberapa kegiatan
pada Kementerian terkait. Sebagai contoh adalah beberapa pelatihan dalam scheme
PUGAR dari Kementerian Kelautan.Diperlukan suatu contoh yang baik dalam hal
metode produksi yang mudah dilakukan dengan kapasitas produksi tinggi dan kualitas
yang cukup baik.
METODE
Berbagai data permasalahan yang berkenaan dengan adat kebiasaan rakyat
memproduksi garam diperoleh dengan metode wawancara/kuesioner dengan petani dan
pakar garam diPamekasan. Kadar NaCl dan kualitas air dilakukan dengan metode
pengukuran langsung menggunakan peralatan AAS (di Universitas Trunojoyo Madura)
dan XRF (di Universitas Negeri Malang). Data jenis dan kualitas tanah serta pH dari
kristaliser juga diukur secara langsung di Universitas Trunojoyo Madura. Kelengkapan
data-data mengenai sumber daya alam diperoleh melalui data-data sekunder melalui
studi literatur dan penelitian sebelumnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor Sumberdaya Alam;
Menurut Dradjid (2007) faktor-faktor teknis yang mempengaruhi produksi
garam mencakup; air laut, keadaan cuaca, kondisi tanah/lahan tambak, pengaruh air dan
teknik pungutan.
a. Air Laut
Mutu air laut (terutama dari segi kadar garamnya termasuk kontaminasi dengan
air sungai), sangat mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk pemekatan
(penguapan).
692
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
b. Keadaan Cuaca
 Panjang kemarau berpengaruh langsung kepada “kesempatan” yang diberikan
kepada kita untuk membuat garam dengan pertolongan sinar matahari.
 Curah hujan (intensitas) dan pola hujan distribusinya dalam setahun rata-rata
merupakan indikator yang berkaitan erat dengan panjang kemarau yang
kesemuanya mempengaruhi daya penguapan air laut.
 Kecepatan angin, kelembaban udara dan suhu udara sangat mempengaruhi
kecepatan penguapan air, dimana makin besar penguapan maka makin besar
jumlah kristal garam yang mengendap.
c. Tanah

Sifat porositas tanah mempengaruhi kecepatan perembesan (kebocoran) air laut
kedalam tanah yang di peminihan ataupun di meja.

Bila kecepatan perembesan ini lebih besar daripada kecepatan penguapannya,
apalagi bila terjadi hujan selama pembuatan garam, maka tidak akan dihasilkan
garam.

Jenis tanah mempengaruhi pula warna dan ketidakmurnian (impurity) yang
terbawa oleh garam yang dihasilkan.
d. Pengaruh air

Pengaturan aliran dan tebal air dari peminihan satu ke berikutnya dalam kaitannya
dengan faktor-faktor arah kecepatan angin dan kelembaban udara merupakan
gabungan penguapan air (koefisien pemindahan massa).

Kadar/kepekatan air tua yang masuk ke meja kristalisasi akan mempengaruhi
mutu hasil.

Pada kristalisasi garam konsentrasi air garam harus antara 25–29°Be. Bila
konsentrasi air tua belum mencapai 25°Be maka gips (Kalsium Sulfat) akan
banyak mengendap, bila konsentrasi air tua lebih dari 29°Be magnesium akan
banyak mengendap.
e. Cara pungutan garam
Segi ini meliputi jadwal pungutan, umur kristalisasi garam dan jadwal pengerjaan
tanah meja (pengerasan dan pengeringan). Demikian pula kemungkinan dibuatkan
alas meja dari kristal garam yang dikeraskan, makin keras alas meja makin baik.
Pungutan garam ada 2 sistem :
 Sistem Portugis
Pungutan garam di atas lantai garam, yang terbuat dari kristal garam yang dibuat
sebelumnya selama 30 hari, berikut tiap 10 hari dipungut.
693
Juni, 2013

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Sistem Maduris
Pungutan garam yang dilakukan di atas lantai tanah, selama antara 10– 15 hari
garam diambil di atas dasar tanah.
f. Air Bittern
Air Bittern adalah air sisa kristalisasi yang sudah banyak mengandung garam-garam
magnesium (pahit). Air ini sebaiknya dibuang untuk mengurangi kadar Mg dalam
hasil garam, meskipun masih dapat menghasilkan kristal NaCl. Sebaiknya kristalisasi
garam di meja terjadi antara 25–29°Be, sisa bittern ≥ 29°Be dibuang.
Perbandingan Kualitas Air Sungai/Sumber Air Laut;
Tabel 1 Kualitas Air 5 Sungai Pemasok Air Bahan Baku Produksi Garam
Konsentrasi (gr/l)
Ion Kimia
Badduri Manjungan Padelegan Tanjung Bunder
Klorida Cl
31,7722
29,5016
21,8434 27,8006 24,8220
Natrium Na
11,7884
9,1944
9,5750
10,5939 10,1261
Magnesium Mg 2,1716
1,9936
2,0693
1,8357
2,0138
Kalsium Ca
0.3969
0.3838
0.3965
0.4131
0.3626
Kalium K
0,4869
0,3538
0,4245
0,4752
0,4584
Sumber : Hasil analisis (2012)
Nilai logam (Na, Mg, Ca dan K) dan klorida adalah ion penentu salinitas yang
utama dari air laut. Oleh karenanya, pengujian sampel air laut dari lima Sungai pemasok
air baku untuk produksi garam difokuskan pada lima jenis ion tersebut diatas. Sungaisungai di Pamekasan yang menjadi pemasok air baku garam yang diuji nilai ion-ion
penentu salinitasnya adalah sungai Baduri, Majugan, Padelegan, Tanjung dan Bunder.
Dari urutan data-data diatas, nampak bahwa sungai Baduri lebih tinggi
kandungan logam Na, Mg dan K daripada sungai lainnya, artinya sungai tersebut
memiliki kandungan ion-ion penentu salinitas paling tinggi.Sedangkan sungai
Majungan mengandung logam Na dan K lebih rendah daripada empat sungai lainnya
tetapi nilai Mg masih lebih tinggi daripada sungai Tanjung.
Sungai Badduri memiliki nilai ion penentu salinitas paling tinggi dimungkinkan
karena lokasinya yang sangat dekat dengan muara laut. Sedangkan nilai ion penentu
salinitas sungai Manjungan menjadi paling rendah dimungkinkan karena sungai
Majungan memiliki karakteristik jauh beda daripada empat sungai yang lain. Sungai
tersebut adalah yang paling besar berdasarkan ukuran debit air,sungai Majungan lebih
besar daripada empat sungai lain dan mengalir jauh dari hulu di daerah
pegununganBlumbunganmelalui Pamekasan Kota sampai ke hilir di daerah Majungan.
Air pada sungai Majungan senantiasa bergerak sedangkan yang lain relatif diam. Oleh
karenanya, reaksi pengenceran dari air terhadap ion-ion penentu salinitas menjadi lebih
besar daripada yang lainnya, sehingga relatif lebih rendah salinitasnya.
694
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Perbandingan Jenis Tanah
Tabel 2 Perbedaan Tekstur Tanah Lahan Pegaraman PT Garam
Lokasi Lahan Pegaraman
Tekstur Tanah
Luas (Ha)
Sumenep
Lempung
2.620
Pamekasan
Tanah pasir
980
Sampang
Tanah lempung
1.100
Gersik Putih
Tanah pasir
640
Sumber :PT Garam (2013)
Perbandingan Kualitas Garam
Tabel 3 Kadar NaCl dan impuritas garam rakyat Pamekasan
Garam
Kecamatan
Desa
Konsentrasi Air Tua
Jenis
tanah
NaCl
(%)
K
(%)
Ca
(%)
Mg
(%)
Al
(%)
Si
(%)
Cu
(%)
Tlanakan
Branta
Pesisir
21,0
Silt
89,26
1,40
4,68
0,70
0,30
0,48
0,03
Pademawu
Baddurih
19,0
Silt
91,47
1,70
2,66
0,95
0,28
0,26
0,03
Pademawu
Baddurih
23,0
Silt
90,67
1,60
3,35
0,85
0,30
0,21
0,02
Pademawu
Pagagan
24,0
Silt
89,65
1,40
2,47
0,88
0,20
Pademawu
Pagagan
22,0
Silt
90,41
1,80
3,77
Pademawu
Pagagan
23,0
Silt
91,06
1,40
3,17
0,81
Pademawu
Majungan
25,0
Silt
91,32
1,80
3,01
1,20
0,29
Pademawu
Padelengan
23,0
Silt
90,09
1,00
4,78
0,67
0,30
Pademawu
Tanjung
24,0
Silt
87,45
2,65
3,14
1,00
2,00
Pademawu
Padelengan
24,0
Silt
91,50
1,60
2,08
0,90
Pademawu
Padelengan
27,0
Silt
93,24
0,46
1,83
0,70
Galis
Polagan
24,0
Silt
95,35
0,18
2,36
Trace
Trace
Trace
0,05
Galis
Lembung
23,0
Silt
92,09
1,00
2,28
Trace
Trace
Trace
0,03
Galis
Lembung
24,0
Silt
90,14
1,50
4,20
0,96
0,20
Galis
Lembung
24,0
Silt
91,83
1,30
2,90
0,90
0,20
Trace
0,03
Galis
Polagan
23,0
Silt
91,87
2,51
1,20
0,88
0,20
Trace
0,05
Galis
Polagan
24,0
Silt
90,94
1,50
3,14
0,83
0,20
Galis
Konang
25,0
Silt
85,58
2,82
2,03
4,10
Pademawu
Bunder
21,0
Silt
92,00
0,86
2,70
Pademawu
Bunder
22,0
Silt
89,35
1,50
4,23
0,99
Pademawu
Tanjung
21,0
Silt
90,24
1,80
3,77
1,20
Pademawu
20,0
Silt
90,76
1,50
3,13
Pademawu
Tanjung
Pademawu
Timur
20,0
Silt
89,48
1,60
4,71
0,72
Galis
Pandan
25,0
Silt
86,29
2,47
2,27
Galis
Pandan
26,0
Silt
88,79
3,30
2,62
Trace
Trace
Trace
0,03
Trace
Trace
0,04
Trace
Trace
0,03
Trace
0,03
Trace
0,30
Trace
Trace
0,03
0,03
0,10
0,03
0,16
0,03
0,22
0,19
Trace
0,03
0,03
0,07
0,30
0,24
0,06
0,35
0,52
0,11
Trace
0,03
Trace
0,10
Trace
Trace
0,06
1,33
Trace
Trace
0,06
1,10
Trace
Trace
0,07
Trace
Trace
0,10
Trace artinya seharusnya ada, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil, atau dapat dikatakan tidak
dapat dideteksi oleh alat yang digunakan
695
0,31
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Faktor Sumberdaya Manusia
Faktor Sumberdaya Manusia (adat kebiasaan dalam produksi), sangat
mempengaruhi kualitas garam yang diproduksi. Sebagian besar petani melakukan
pencampuran air limbah produksi garam dengan air bahan baku (colokan/cengean:
madura red; back mixing: english red). Selain itu karena faktor tergesa-gesa ingin cepat
panen, maka petani cenderung memaksakan “mengkristalisasi” air yang belum cukup
tua.
(1) Usia Petani Garam;
Usia petani garam diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu (a) usia 15-50 tahun,
(b) usia 51-60 tahun, dan (c) <15 tahun atau >60 tahun. Pertimbangan klasifikasi
tersebut didasarkan pada kemampuan fisik dan mental. Usaha produksi garam
merupakan pekerjaan yang memerlukan curahan tenaga kerja yang intensif. Faktor
usia berperan penting dalam keberhasilan produksi. Usia produkstif merupakan
kondisi ideal bagi petani dalam menekuni usaha garam. Usia produktif adalah usia
pada kisaran 15-50 tahun. Pada usia ini, petani garam diyakini memiliki kemampuan
fisik dan mental pada kondisi yang baik. Petani garam pada rentang usia 50-60
tahun merupakan golongan dengan fisik yang berkurang walaupun sebagai pribadi
telah kaya dengan pengalaman usaha garam. Sedangan petani garam dengan usia
diatas 60 tahun digambarkan telah menurun kemampuan fisik dan mentalnya.
Hasil survey menunjukkan sebesar 74,77 % petani garam di Kabupaten Pamekasan
merupakan tenaga kerja produktif (kisaran usia produktif 15-50 tahun). Hanya 25,3
% petani garamyang tergolong tua/non produktif yang masih melakukan kegiatan
usahatani. Fakta ini mengindikasikanbahwa pelaku usaha garam rakyat merupakan
personal yang telah melakukan kegiatan usahatani secara mantap, baik dari segi
pengalaman teknis maupun kemampuan mental dan fisik.
Gambar 1. Usia Petani Garam Kabupaten Pamekasan (Sumber: Data Primer, 2012)
696
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Dilihat dari sebaran wilayahnya, 69,20 % usia petani garam di Kecamatan Galis
berada pada usia 15-50 tahun. Hanya 29,60 % petani garam di Kecamatan Galis
yang berada pada rentang usia 51-60 tahun. Kondisi ini serupa dengan kecamatan
Pademawu dan Talanakan. Di Kecamatan Pademawu, Sebagian besar petani garam
(80,16%) berada pada usia produktif. Sedangkan petani garam pada kisaran umur
51-60 sebesar 18,62 %. Secara umum dengan melihat sebaran usia petani garam di 3
kecamatan sentra menunjukkan indikator positif bagi upaya peningkatan produksi
garam rakyat (Tabel 5).
Tabel 5 Sebaran Usia Petani Garam di Sentra Garam
KECAMATAN
USIA
Galis
Pademawu
Tlanakan
15-50 tahun
69.20%
80.16%
80.00%
51-60 tahun
29.60%
18.62%
20.00%
<15 atau>60 tahun
1.20%
1.21%
0.00%
Jumlah
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber : Data Primer (2012)
(2) Tingkat Pendidikan Petani Garam;
Pendidikan baik formal maupun non formal berhubungan erat dengan kemampuan
mencari dan menelaah informasi, daya terima terhadap perubahan teknologi dan
kemampuan mengatasi permasalahan di lapang serta kemampuan membangun
jejaring dan membaca peluang pasar. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap
kemampuan mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Meskipun demikian,
pendidikan tidak berdiri sendiri dalam penentuan keputusan yang diambil petani
tetapi berkaitan dengan faktor-faktor yang lain.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, hanya 25,9 % petani garam yang berpendidikan
menengah-sarjana. Sebagian besar petani garam hanyaberbekal pendidikan dasar/SD
(75,21 %). Sedangkan prosentase petani garam yang tidak bersekolah atau
menyelesaikan pendidikan dasarnya sebesar 1,59%. Secara umum, kondisi ini
menggambarkan bahwa kualitas dasar petani garam di Kabupaten Pamekasan secara
umum masih rendah (Gambar 2). Dengan rata-rata petani garam hanya berbekal
berpendidikan dasar, disatu pihak petani garam sudah memiliki kemampuan bacatulis-berhitung. Tetapi dengan distribusi tingkat pendidikan tersebut dan
perkembangan globalisasi yang cepat, secara umum kondisi pendidikan petani
garam relatif rendah. Rendahnya kualitas SDM petani garam dapat berpengaruh
terhadap rendahnya daya serap inovasi teknologi, akses terhadap informasi, dan
efisiensi alokasi faktor produksi usahatani. Kondisi ini menyebabkan produktivitas
dan nilai tambak produk garam rakyat rendah dan memberi efek pada rendahnya
pendapatan dan kesejahteraan petani garam. Dalam jangka panjang, kondisi ini
menyebabkan daya tarik terhadap usaha sektor garam menjadi rendah.
697
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Gambar 2. Usia Petani Garam Kabupaten Pamekasan (Sumber: Data Primer, 2012)
Dilihat dari sebaran wilayahnya, 80,40% petani garam di Kecamatan Galis
berpendidikan SD, 18,40% berpendidikan SMP-sarjana dan hanya 1,2% petani
garam yang tidak bersekolah. Kondisi pendidikan SDM garam yang lebih baik
terdapat di Kecamatan Pademawu. Di Kecamatan Pademawu sebesar 63,97% petani
garam berpendidikan SD. Sedangkan yang berpendidikan menengah sampai sarjana
sebesar 34,01%. 100 % petani garam di Kecamatan Tlanakan hanya berbekal
pendidikan dasar. Secara umum dengan melihat tingkat pendidikan petani garam di
3 kecamatan sentra menunjukkan indikator negatif (kurang sesuai) bagi upaya
peningkatan produksi garam rakyat (Tabel 6).
Tabel 6 Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Garam di Sentra Garam
KECAMATAN
TINGKAT
PENDIDIKAN
Galis
Pademawu
Tlanakan
SMP-Sarjana
18.40%
34.01%
0.00%
SD
80.40%
63.97%
100.00%
Tidak Sekolah
1.20%
2.02%
0.00%
Jumlah
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber : Data Primer (2012)
Rendahnya tingkat pendidikan petani garam menegaskan bahwa upaya pembinaan
petani garam ke depan masih membutuhkan pendampingan dan pembinaan yang
lebih intensif. Pendampingan dan pembinaan terhadap petani garam diperlukan
untuk meningkatkan pengetahuan petani garam dalam menyerap informasi pasar,
mempercepat diseminasi teknologi, kemampuan membangun kerjasama (jejaring
usaha), dan pengalokasian faktor produksi usaha garam secara lebih efisien.
698
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
(3) Pengalaman Usaha Petani Garam;
Pengalaman usaha menentukan tingkat kemantapan dan intensitas hubungan pelaku
usaha terhadap komoditi yang dipilihnya. Semakin lama petani garam menekuni
usaha tersebut menunjukkan semakin tingginya pengalaman berusaha garam. Petani
garam dengan pengalaman usahatani yang lama telah merasakan periode suram dan
emas komoditi yang diproduksinya. Nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman
tersebut menjadi faktor pendorong bagi petani dalam membuat judgement tentang
prospek tidaknya komoditi usahatani yang ditekuninya. Pengalaman tersebut juga
mengajarkan petani berbagai faktor teknis dan non teknis yang menjadi key success
factordalam usahataninya. Secara umum, semakin lama pengalaman usahatani
seorang petani garam berarti semakin mantap dalam mengambil keputusan usaha.
Lama usahatani juga dapat diduga berhubungan erat dengan pendapat petani garam
terhadap komoditi tersebut.
Melihat indikator lama usahataninya, sebagian besar petani garam di Kabupaten
Pamekasan merupakan petani mantap pengalaman usahataninya. 94,22% petani
garam telah menekuni usaha garam rakyat lebih dari lebih dari 5 tahun. Sedangkan
petani garam dengan pengalaman usaha antara 3-5 tahun sebesar 4,89%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani garam, lamanya seorang petani garam
menekuni usahanya bukan semata-mata karena profitable-nya komoditi, tetapi
disebabkan faktor eksternal lainnya, yaitu belum adanya komoditi pengganti yang
menarik secara ekonomis, tidak adanya mata pencaharian lainnya, pekerjaan turun
temurun, dan adanya harapan harga komoditi tersebut naik.
Dilihat dari sebaran wilayahnya, 95,60% petani garam di Kecamatan Galis memiliki
pengalaman usaha garam lebih dari 5 tahun. Kondisi ini serupa dengan Kecamatan
Pademawu (92,17%) dan Kecamatan Tlanakan (100%). Secara umum dengan
melihat pengalaman usaha garam di 3 kecamatan sentra menunjukkan indikator
positif (sesuai) bagi upaya peningkatan produksi garam rakyat (Tabel 7).
699
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Gambar 3 Pengalaman Usaha Petani Garam Kabupaten Pamekasan
Sumber: Data Primer (2012)
Tabel 7 Sebaran Tingkat Pendidikan Petani Garam di Sentra Garam
KECAMATAN
PENGALAMAN
USAHA
Galis
Pademawu
Tlanakan
>5 tahun
95.60%
92.71%
100.00%
5-3 tahun
4.40%
5.67%
0.00%
<3 tahun
0.00%
1.62%
0.00%
Jumlah
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber : Data Primer (2012)
Tingginya pengalaman petani dalam menekuni usaha garam menunjukkan sebagian
besar petani garam telah kaya pengalaman usaha garam. Hal yang seharusnya
dijadikan faktor pendorong adalah bagaimana mensintesis pengalaman tersebut
untuk melakukan evaluasi dan perbaikan pada sejumlah faktor produksi sehingga
dapat lebih efisien, meningkat produktivitas, dan pendapatan usahataninya.
(4) Motif Usaha Petani Garam;
Didasarkan pada tipe orientasi usaha, motif seseorang memilih pekerjaan sebagai
petani garam dapat dikelompokkan dalam tiga hal yaitu motif bisnis, pekerjaan
turun-temurun, dan tidak ada pekerjaan lain. Pada petani garam dengan motif
bisnis/ekonomis memiliki pekerjaan produksi garam karena pertimbangan ekonomis
dan meyakini komoditi tersebut profitable dan mampu memberikan pendapatan
usaha yang layak. Karena orientasinya bisnis, maka petani digambarkan dalam
pengembalikan keputusannya senantiasa mempertimbangkan aspek ekonomis.
Terhadap inovasi teknologi, petani dengan orientasi bisnis lebih bersifat terbuka dan
aktif mencari akses ke berbagai sumber. Petani garam tipe turun-temurun
700
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
melakukan pekerjaan tersebut karena faktor lingkungan keluarga. Umumnya petani
tipe ini mengadapatasi setiap perubahan yang ada di lingkungannya. Jika
lingkungannya berubah/dinamis, maka petani tipe ini akan juga berubah. Tetapi jika
lingkungan stagnan, maka petani tersebut akan stagnan pula. Petani yang memilih
usaha garam karena tidak ada alternatif lain, umumnya cenderung pasif, stagnan,
dan tidak terbuka terhadap inovasi dan kemajuan. Sebagian besar (62,95%) petani
garam di Kabupaten Pamekasan menekuni usaha garam karena faktor turuntemurun. Umumnya petani garam mewarisi pekerjaan tersebut dari
orangtua/keluarganya. Hanya 32,87% petani garam yang berorientasi bisnis. Dari
hasil survei dan wawancara dengan petani garam, petani dengan orientasi bisnis
akan ekspansif (sewa lahan oarang lain) ketika menilai prospek usaha garam
menguntungkan. Hasil survei menunjukkan 4,18 %petani menekuni usaha garam
rakyat karena tidak ada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan atau sesuai
keinginannya (Gambar 4).
Sumber: Data Primer, 2012
Gambar 4. Motif Usaha Petani Garam Kabupaten Pamekasan
Dilihat dari sebaran wilayahnya, 32,40 % petani garam diGalis yang memilih usaha
garam karena pertimbangan bisnis. Kondisi ini serupa dengan petani garam di
Kecamatan Pademawu (31,98%). Seluruh petani garam di Kecamatan Tlanakan
memilih usaha garam karena pertimbangan ekonomis. Hal sangat wajar, mengingat
sebagian besar merupakan penyewa dan mengembangkan garam di Kecamatan
Tlanakan.
701
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Tabel 8 Sebaran Motif Usaha Petani Garam di Sentra Garam
KECAMATAN
MOTIF USAHA
Galis
Pademawu
Tlanakan
Bisnis
32.40%
31.98%
100.00%
Turun-Temurun
62.80%
64.37%
0.00%
Tidak ada Kerja Lain
4.80%
3.64%
0.00%
Jumlah
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber : Data Primer (2012)
Tingginya motif petani dalam menekuni usaha garam (Tabel 8) karena faktor turuntemurun, menunjukkan bahwa faktor lingkungan keluarga petani dan lingkungan
sekitar tambak garam merupakan faktor penentu. Berkaca pada kondisi ini, upaya
perbaikan produktivitas dan inovasi teknologi harus intensif dilakukan pada
lingkungan masyarakat sentra garam. Karena sebagian besar bukan merupakan
petani yang aktif dan terbuka terhadap inovasi. Pembinaan dan pendampingan perlu
dilakukan secara terus-menerus terhadap lingkungan petambak garam diperlukan
untuk mengubah mindset dan pola perilaku petani garam agar lebih rasional,
ekonomis dan maju di masa mendatang.
(5) Persepsi Petani Terhadap Prospek Usaha Garam;
Persepsi merupakan proses kognitif yang dialami setiap oarang dalam memahami
informasi tentang lingkungan usahanya baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi merupakan bentuk penfasiran
unik terhadap situasi (Toha, 1999). Proses pembentukan persepsi menurut Asngari
(1984) sebagai berikut; Infomasi yang sampai kepada petani garam menyebabkan
yang bersangkutan membentuk persepsi, dimulai proses pemilihan/menyaring
informasi; menyusun informasi menjadi suatu kesatuan makna dan kemudian
melakukan interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi tersebut. Menurut
Asngari (1984), pada fase interpretasi ini, pengalaman petani pada masa silam
memegang peranan yang penting. Sebagai contoh, kegagalan panen pada musim
sebelumnya, baik akibat harga anjlok pada masa panen atau gagal produksi karena
cuaca, akan membentuk persepsi bahwa usaha yang ditekuninya kurang prospektif,
kondisi ini berlaku sebaliknya.
Pada kegiatan survei ini, persepsi petani garam terhadap prospek usaha garam
dikategorikan tiga yaitu; optimis, netral, dan pesimis. Petani dengan persepsi netral
memandang bahwa usaha garam rakyat cenderung fifty-fifty, petani dengan persepsi
optmis memandang usaha garam sering menguntungkan, sedangkan petani dengan
persepsi pesimis berpandangan sebaliknya. Hasil survei(Gambar 5) menunjukkan
sebagian besar (70,72%) petani garam di Kabupaten Pamekasan memiliki persepsi
positif/optmis terhadap propspek usaha garam rakyat. 28,88% petani garam
berpandangan usaha tersebut relatif netral/fifty-fifty dan hanya 0,4% yang
702
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
memandang usaha garam rakyat rugi. Kondisi survei ini cukup mengherankan
karena fakta di lapangan menunjukkan harga garam yang diterima petani jauh
dibawah harga ketetapan pemerintah. Hasil wawancara dengan petani garam
menunjukkan kondisi tahun 2012 sebagian besar petani mengalami penurunan
keuntungan karena tidak efektifnya kebijakan harga garam. Memori tentang harga
garam yang baik pada musim 2010-2011 khususnya diduga berpengaruh kuat
membentuk persepsi positif petani garam tentang prospek usahanya dan menghapus
memori negatif di musim 2012. Kondisi seperti ini juga sering terjadi pada petani
tembakau di Kabupaten Pamekasan. Harga komoditi yang meroket pada satu musim
akan memberikan persepsi positif dan dapat menghapus memori negatif pada
beberapa musim sebelumnya.
Gambar 5 Persepsi Petani Garam Terhadap Prospek Usaha (Sumber: Data Primer,
2012)
Dilihat dari sebarannya (Tabel 9), persepsi positif terhadap prospek usaha garam
tertinggi terdapat di Kecamatan Tlanakan. Di Kecamatan Pademawu 78,14 % petani
garam yang optimis terhadap prospek usahanya dan hanya 21,86%yang memandang
prospeknya cenderung netral. Sedangkan di Kecamatan Galis sebagai sentra terbesar
garam Kabupaten Pamekasan, petani garam yang memiliki persepsi optimis
terhadap usaha garam sebesar 62,8%.
Tabel 9 Persepsi Petani terhadap Prospek Usaha Garam di Sentra Garam
KECAMATAN
PROSPEK USAHA
Galis
Pademawu
Tlanakan
Optimis
62.80%
78.14%
100.00%
Netral
36.40%
21.86%
0.00%
Pesimis
0.80%
0.00%
0.00%
Jumlah
100.00%
100.00%
100.00%
Sumber: Data Primer (2012)
703
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
(6) Dukungan Anggota Keluarga terhadap Usaha Garam;
Dukungan keluarga memegang peranan penting bagi keberhasilan usaha garam.
Dukungan secara fisik dalam bentuk curahan tenaga kerja dalam keluarga akan
membantu petani dalam kegiatan produksi, sehingga biaya yang harus dikeluarkan
petani garam untuk biaya tenaga kerja luar keluarga akan berkurang. Dukungan lain
adalah dukungan nonfisik berupa suasana dan kondisi yang mendukung kepala
keluarga dalam berproduksi garam. Dukungan non fisik/moril berpengaruh tidak
langsung terhadap aktivitas dan kenyamanan kerja kepala keluarga dalam menekuni
usaha garam. Usaha garam rakyat merupakan usaha yang relatif intensif tenaga kerja
terutama pada awal pengolahan lahan tambak, pembuatan meja peminihan, dan
saluran air. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang banyak memakan
tenaga kerja. Bagi usahatani garam, biaya tenaga kerja untuk kegiatan awal
tergolong pengeluaran yang besar. Kegiatan lainnya yang banyak menguras tenaga
kerja adalah kegiatan pengarungan dan pengangkutan garam dari lokasi tambak ke
titik pengumpul (collecting point). Pada dua kegiatan tersebut umumnya petani
garam memenuhinya dari tenaga kerja luar keluarga. Sebagian besar dukungan
keluarga terhadap usaha garam merupakan dukungan moril (72,91%) dan hanya
26,29% bentuk dukungannya berupa dukungan fisik-moril semata. Kondisi
mengindikasikan bahwa keterlibatan kepala keluarga terutama laki-laki sangat
dominan dalam usaha garam. Peranan perempuan relatif jarang terlihat.
Implikasinya, kebutuhan tenaga kerja luar keluarga dalam proses produksi garam
relatif besar dan beban pengeluaran tunai petani untuk membiayai tenaga kerja luar
keluarga cukup besar. Bentuk dukungan keluarga petani terhadap usaha garam
terlihat pada gambar, sedangkan sebaran tingkat dukungan keluarga terhadap usaha
garam di masing-masing kecamatan terlihat pada tabel.
Tabel 10 Dukungan Anggota Keluarga terhadap Usaha di Sentra Garam
Galis
Pademawu
Tlanakan
Indikator
Nilai
%
Nilai
%
Nilai
%
Fisik-Moril
35
14.00%
94
38.06%
5 100.00%
Moril
214
85.60%
152
61.54%
0
0.00%
Pasif-Apatis
1
0.40%
1
0.40%
0
0.00%
Jumlah
250 100.00%
247 100.00%
5 100.00%
Sumber: Data Primer (2012)
704
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Gambar 6 Dukungan anggota keluarga Terhadap Usaha Garam (Sumber:
Data Primer,2012)
(7) Sumber Modal Usaha Petani Garam;
Modal merupakan salah satu faktor produksi dalam sauatu kegiatan usaha, tetapi
dapat juga berarti kekayaan usaha tersebut. Modal yang dipakai petani pada
dasarnya dapat berasal dari modal pribadi dan modal dari pihak lain. Modal pribadi
merupakan modal yang dimiliki dan dinivetasikan oleh pelaku usaha. Sedangkan
modal dari pihak lain adalah modal dari luar pemilik yang diinvetasikan dalam
kegiatan usaha tersebut. Pada lingkungan perdesaan, dimana akses pelaku usaha
kecil seperti petani garam terhadap lembaga keuangan/perbankan relatif sulit maka
sumber permodalan berasal dari tengkulak. Hasil survei menunjukkan sebagai besar
(64,14%) modal usaha petani garam di Kabupaten Pamekasan berasal dari petani
sendiri (swadaya), dan 35,86% modal usaha petani berasal dari pinjaman pada pihak
luar. Dari prosentase tersebut, 29,68 % modal usaha petani garam berasal dari
tengkulak dan hanya 6,18%yang mendapatkan pinjaman modal dari pemerintah.
Sumber modal usaha petani garam di Kabupaten Pamekasan terlihat pada gambar.
705
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Gambar 7. Sumber Modal Usaha Petani Garam (Sumber: Data Primer, 2012)
Dilihat dari sebaran wilayahnya, 69,64%petani garam di Kecamatan Pademawu
mendapatkan modal usaha dari swadaya sendiri, 24,7%dari tengkulak dan hanya
5,67%yang berasal dari pinjaman bank. Di Kecamatan Galis, Jumlah petani garam
yang mendapatkan modal usaha dari pihak luar sebesar 40,8%yaitu berasal dari
tengkulak 34%dan 6,8%dari pinjaman bank. Gambaran sumber modal usaha di
kedua sentra garam terbesar di Kabupaten Pamekasan meski menunjukkan masih
dominannya modal swadaya, tetapi hal yang perlu dicermati adalah masih tingginya
sumber modal pihak luar yang berasal dari tengkulak. Pinjaman dari tengkulak
meskipun menyajikan kemudahan prosedur tetapi umumnya memiliki tingkat bunga
tinggi dan sangat membebani petani garam. Sebaran modal usaha petani garam di
Kabupaten Pamekasan terlihat pada tabel.
KESIMPULAN
Faktor Sumberdaya Manusia (adat kebiasaan dalam produksi), dan Faktor
Sumberdaya Alam (sumber air laut yang dipakai dan jenis tanah) berpengaruh terhadap
kualitas garam yang diproduksi
DAFTAR PUSTAKA
Alimaturahim, F. 2009. Parameter fisika dan kimia yang mempengaruhi perairan.
Fakultas Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar
Aslan. 2000. StudiEvaluasi Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Dati II Demak
dengan Menggunakan Pendekatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis di Daerah Pesisir Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Skripsi
(tidak dipublikasikan).Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.Bogor
706
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan
Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Darmadi. 2010. Salinitas Laut. Ilmu Kelautan. Univerasitas Padjadjaran
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta
Hadi, A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Kraus, E.H.,Hunt W.F.,and Ramsdell, L.S 1951, Mineralogy An Introduction to the
Study of Minerals and Crystals, Mc Graw Hill Book Company, Inc. New
York
Mannar, MG and Dunn, JT. 1995. Salt Iodization for the Elimination of Iodine
Deficiency.International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders.
UNICEF, New York, ISBN 90-70785-13-7, 132pp.
Mintardjo, K, A. Sunaryanto, Utaminingsih, Hermiyaningsih. 1984. Persyaratan
Tanah dan Air untuk Tambak. Dirjen Perikanan. Jakarta
Najmudin, Dudu. 2003. Evaluasi Perencanaan Tata Ruang Lahan Tambak dengan
Menggunakan Pendekatan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis di Daerah Pesisir Kabupaten Ciamis Jawa Barat.
Skripsi.( tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.Bogor
Purbani, D. 2006. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Badan Riset Kelautan dan
Perikanan Pati. Pati.
Ramesh, R dan Rajkumar.1996 Coastal Aquaculture Site Selection and Planning in
Tamil Nadu using Remote Sensing and GIS. Asian Pasific remote Sensing dan
GIS Journal. Vol.9. No.1
Sabatin, O. 2000. Salt Production and Processing in Jordan. In Proceedings, 8th
World Salt Symposium (Salt 2000), R Geertman, ed. Elsevier Science B.V.,
Amsterdam, Vol. 1, pp 555-557
Soerawidjaja. 2002. Produk-produk Anorganik dari Air Laut dan Air Asin Daratan.
Prosiding seminar IGSN 2010. Jakarta
Supratno, T. 2006. Evaluasi Lahan Tambak Wilayah Pesisir Jepara Untuk
Pemanfaatan Budidaya Ikan Kerapu.Tesis.Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro Semarang.Semarang
707
Download