BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Manajemen Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional (2001), mendis- kripsikan bahwa dalam paradigma baru manajemen manajemen pendidikan menegaskan fungsi-fungsi pendidikan yang disentralisasikan ke sekolah sebagai berikut: a) Perencanaan b) Kurikulum c) Pembelajaran d) Ketenagaan e) Fasilitas f) Keuangan g) Peserta didik h) Hubungan Sekolah dengan Masyarakat i) Iklim Sekolah. Mulyasa (2004), mendeskripsikan pengertian manajemen pendidikan adalah proses pengembangan kegiatan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Proses pengendalian kegiatan kelompok tersebut mencakup perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), dan pengawasan (controlling) sebagai suatu proses untuk menjadikan visi menjadi aksi. Lebih lanjut, Rivai dan Murni (2012), sebagaimana halnya pada manajemen secara umum, manajemen pendidikan meliputi empat hal pokok, yaitu: perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan, penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau pengawasan pendidikan. Secara umum terdapat sepuluh komponen utama pendidikan, yaitu: peserta didik, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, paket instruksi 11 pendidikan, metode pengajaran, kurikulum pendidikan, alat instruksi dan alat penolong instruksi, fasilitas pendidikan, anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan. Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam penyelenggaraan pendidikan dalam mencapai sasaran pendidikan yang diharapkan. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya. Kegiatan pendidikan adalah pelaksanaan dari penyelenggaraan pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh organisasi penyelenggara pendidikan dengan memerhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam perencananaan dalam rangka mencapai hasil pendidikan yang optimal. Pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan dan semua komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran menghasilkan output secara optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan. Terkait dengan keempat pengertian tersebut, manajemen pendidikan merupakan proses kerja sama untuk mencapai tujuan. Dalam lingkup pendidikan di sekolah, kegiatan manajemen dalam bentuk penataan 12 yang meliputi mengatur, memimpin, mengelola, merencanakan, melaksanakan dan mengawasi sumber daya yang terdiri dari pendidik, peserta didik, dan masyarakat pengguna jasa pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang dipercaya menghasilkan kualitas lebih baik. Manajemen pendidikan pada hakikat- nya menyangkut tujuan pendidikan, manusia yang melakukan kerjasama, proses sistemik dan sistematik, serta sumber-sumber yang didayagunakan secara dinamis. 2.2 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) 2.2.1 Sejarah MBS di Indonesia Mengenal dan mendalami lebih jauh tentang MBS, sebagai bagian dari pelaku di bidang pendidikan setidaknya kita mengetahui sejarah dan perjalanan yang cukup panjang perkembangan MBS yang ada di Indonesia hingga sekarang ini. Dilihat dari perjalanannya, kebijakan MBS di Indonesia secara relatif sungguh-sungguh baru dimulai sejak tahun 1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM). Dana bantuan ini disetor langsung ke rekening sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan di atasnya (Dinas Diknas). Memasuki tahun anggaran 2003, dana BOMM diubah namanya menjadi Dana Rintisan untuk Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), khususnya untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Program ini sejalan dengan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 13 2004 tentang Otonomi Daerah di bidang pendidikan dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2010-2014. Berangkat dari pengalaman di Amerika Serikat, agaknya diperlukan waktu cukup lama bagi manajemen sekolah di Indonesia untuk secara sungguh-sungguh dilaksanakan secara berbasis pada pendekatan MBS (Danim, 2007). 2.2.2 Pengertian MBS Depdiknas (2001), memberi batasan Manajemen Berbasis sekolah sebagai “bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan, yang ditandai adanya kewenangan pengambilan keputusan yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka kebijakan nasional”. Sejalan dengan pengertian di atas, UU No. 20 Tahun 2003 pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1 menyatakan: “Manajemen Berbasis Sekolah atau Madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan pendidik dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Mulyono (2008), mengemukakan bahwa MBS merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produktif. MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada sekolah, dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi 14 diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. MBS merupakan suatu ide tentang pengambilan keputusan pendidikan yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah. Pemberdayaan sekolah dengan memberikan otonomi yang lebih besar, di samping menunjukkan sikap tanggap pemerintah terhadap tuntutan masyarakat juga merupakan sarana peningkatan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBS adalah suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan berkaitan dengan pendidikan yang diletakkan pada tempat paling dekat dengan proses belajar mengajar. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas; sedangkan sekolah berarti lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat untuk menerima dan memberikan pelajaran (KBBI, 2008). Berdasarkan makna leksikal tersebut, maka Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran. Terkait dengan makna tersebut, MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi murid. Hal ini juga berpotensi untuk 15 meningkatkan kinerja staf, menawarkan partisipasi langsung kepada kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman kepada masyarakat terhadap pendidikan. 2.2.3 Tujuan MBS Rohiat (2008), mengemukakan tujuan dari MBS adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Kinerja sekolah meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini: Kualitas dan Inovasi Konteks Input Proses Output Produktivitas Outcome Efektivitas Efisiensi Internal Efisiensi Eksternal Gambar 2.1 Kinerja Sekolah Terkait dengan MBS, Umiarso dan Gojali (2010), mendeskripsikan bahwa tujuan utama Manajemen 16 Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Tujuan utama penerapan MBS menurut Rivai dan Murni (2012) adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah pelaksanaan proses dan pusat men menjadi lebih efisien. sehingga manaje- Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu, untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya MBS bertujuan untuk: a) Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia; b) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama; c) Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan 17 d) Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan, yaitu dengan memandirikan sekolah untuk mengelola lembaga bersama pihak-pihak terkait (guru, peserta didik, masyarakat, wali murid, dan instansi lain). Dengan demikian, sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu instruksi dan sosialisasi dari pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dalam memajukan pendidikan. Masyarakat dapat mengembangkan suatu visi pendidikan sesuai dengan kondisi setempat dan melaksanakannya secara mandiri. 2.2.4 Manfaat MBS MBS umum dipandang sebagai pengoperasian alternatif dari yang selama sekolah pola ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan daerah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar kepada kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi murid. Dengan demikian MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. 18 Penerapan MBS (Rivai dan Murni, 2013) yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat dari MBS, antara lain: a) Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan mutu pembelajaran. b) Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pen- ting. c) Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran. d) Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah. e) Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah. f) Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level. 2.2.5 Komponen-komponen MBS Komponen-komponen MBS meliputi Manajemen, Proses Belajar Mengajar, Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya dan Administrasi, dan masing-masing komponen dapat diuraikan seperti tabel di bawah ini: Tabel 2.1 Komponen-komponen MBS Manajemen Menyediakan manajemen/ organisasi kepemimpinan sekolah Proses Belajar Mengajar Sumber Daya Manusia Meningkatkan mutu belajar murid Menyebarkan staf dan menempatkan personel yang dapat memenuhi semua kebutuhan murid Sumber Daya dan Administrasi Mengidentifikasi dan mengalokasikan sumber daya sesuai dengan kebutuhan 19 Tabel 2.1 (lanjutan) Komponen-komponen MBS Manajemen Proses Belajar Mengajar Sumber Daya Manusia Sumber Daya dan Administrasi Mengelola alokasi dana sekolah Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan Menyusun kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan para murid Memilih staf yang memiliki wawasan MBS Mengelola operasional sekolah Menawarkan pengajaran yang efektif Menyediakan Menyediakan kegiatan untuk dukungan pengembangan administratif profesi pada semua staf Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait (school community) Menyediakan Menjamin program kesejahteraan pengembangan staf dan murid pribadi murid Mendorong partisipasi masyarakat Mengelola pemeliharaan gedung dan sarana lainnya Mengatur pembahasan tentang kinerja sekolah Menjamin terpeliharanya sekolah yang akuntabel Sumber : Rivai dan Murni, 2012. 2.2.6 Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan MBS, terdapat empat prinsip yang dapat dipahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan, (Rivai dan Murni, 2012). 20 a. Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orang tua murid. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan: a) melibatkan semua pihak, khususnya guru dan orang tua; b) membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya; c) menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah. b. Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah diharapkan memiliki sistem pengembangan sumber 21 daya manusia (SDM) melalui berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting diharapkan dimiliki oleh seluruh staf adalah: a) pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah; b) memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, benchmarking, SWOT, dan lain-lain. c. Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar dapat dengan mudah memeroleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Di samping itu, ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi dan akuntabilitas sekolah. Informasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan kemampuan guru dan prestasi murid. d. Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan peng- hargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier 22 warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan murid. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan etos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan diupayakan bersifat adil dan merata. Dalam panduan MBS untuk sekolah dasar, dijelaskan tentang sepuluh prinsip MBS (Depdiknas 2001). Prinsip-prinsip tersebut yaitu : a) Keterbukaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara terbuka dengan sumber daya manusia di sekolah dan masyarakat (kepala sekolah, pendidik, siswa, dan tokoh masyarakat); b) Kebersamaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan bersama oleh sekolah dan masyarakat; c) Berkelanjutan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara berkelanjutan tanpa dipengaruhi pergantian pimpinan sekolah; d) Menyeluruh, artinya manajemen berbasis sekolah yang disusun hendaknya mencakup semua komponen yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan; e) Pertanggungjawaban, artinya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dapat dipertanggungjawabkan ke masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan; f) Demokratis, artinya keputusan yang diambil dalam manajemen berbasis sekolah hendaknya dilaksanakan atas dasar musyawarah antara komponen sekolah dan masyarakat; g) Kemandirian sekolah, artinya sekolah memiliki prakarsa, inisiatif dan inovatif dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan; h) Berorientasi pada mutu, artinya berbagai upaya yang dilakukan selalu didasarkan pada peningkatan mutu; i) Pencapaian standar pelayanan minimal secara total, bertahap dan berkelanjutan; j) Pendidikan untuk semua, artinya semua anak memiliki hak memperoleh pendidikan yang sama. Dalam implementasi di sekolah, prinsip-prinsip MBS di atas dimaksudkan untuk memenuhi tercapainya standar pelayanan minimal terhadap pengguna jasa pendidikan. Bahkan dari uraian prinsip-prinsip 23 MBS sebagaimana tertuang di atas prinsip-prinsip tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengelolaan manajemen sekolah, keterkaitan antara prinsip yang satu dengan yang lain memberikan arti bagi penguatan pengelolaan sekolah, sekolah diharapkan mampu berkreasi melalui ide-ide kreatif yang dapat membangkitkan gairah kerja dan motivasi sumber daya sekolah dalam rangka pencapaian tujuan sekolah secara optimal. 2.2.7 Karakteristik MBS MBS yang telah dilaksanakan merupakan bentuk operasional desentralisasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Hal ini diharapkan dapat membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas kinerja sekolah, dengan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Sebab peserta didik biasanya datang dari berbagai latar yang berbeda, salah satu perhatian sekolah sebaiknya ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, sekolah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan kualitas, serta bertangungjawab kepada masyarakat dan pemerintah. Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. Karakteristik dasar MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta 24 didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya kerjasama yang baik dan profesional. Menurut Levacic, seperti yang dikutip oleh Bafadhal (2003), bahwa dalam MBS ada tiga karakteristik yang menjadi ciri khas dan harus dikedepankan dari yang lain pada manajemen tersebut: Pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan kepada para stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikpendidikan, mencakup kurikulum, kepegawaian, keuangan, sarana prasarana, dan penerimaan siswa baru. Ketiga, walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesantralisasikan kepada sekolah-sekolah, namun diperlukan regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Menurut Edmon, seperti yang dikutip oleh Suryosubroto (2004), mengemukakan berbagai indikator yang menunjukkan karakteristik dari konsep MBS, antara lain: a. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib; b. Sekolah memiliki visi dan target mutu yang ingin dicapai; c. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat; d. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi; e. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutsn IPTEK; f. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademis dan administratif, serta pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu; dan g. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid serta masyarakatnya. 25 Saud, seperti yang dikutip oleh Mulyasa (2004), mengatakan bahwa berdasarkan pelaksanaan di negara maju, MBS mempunyai beberapa karakteristik dasar, yaitu pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya teamwork yang tinggi dan profesional. Pada tataran ini, apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Karakteristik MBS dapat dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, kegiatan belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia, dan sumber daya serta pengelolaan administrasi yang baik. Adapun karakteristik sekolah yang melaksanakan manajemen berbasis sekolah dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 2.2 Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS Organisasi Sekolah Menyediakan manajemen/ organisasi/ kepemimpinan Transformasional Kegiatan Belajar Mengajar Meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Sumber Daya Manusia Sumber Daya dan Administrasi Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber 26 Tabel 2.2 (lanjutan) Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS Organisasi Sekolah Kegiatan Belajar Mengajar dalam mencapai tujuan sekolah. Sumber Daya Manusia Sumber Daya dan Administrasi peserta didik. daya tersebut sesuai dengan kebutuhan. Mengelola sekolah secara efektif dan efisien. Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Memilih staf yang memiliki wawasan MBS. Mengelola kegiatan operasional sekolah. Menyelenggarakan kegiatan pembelajaran yang efektif. Menyediakan Menyediakan kegiatan untuk dukungan pengembangan administratif. profesi pada semua staf. Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat. Menyediakan program pengembangan yang diperlukan peserta didik. Menjamin kesejahteraan staf dan peserta didik. Menggerakkan partisipasi masyarakat. Berperan serta dalam memotivasi siswa Menyelenggarakan forum/diskusi untuk membahas kemajuan kinerja sekolah. Mengelola dan memelihara gedung dan sarana sekolah. 27 Tabel 2.2 (lanjutan) Karakteristik sekolah yang melaksanakan MBS Organisasi Sekolah Kegiatan Belajar Mengajar Sumber Daya Manusia Sumber Daya dan Administrasi Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggungjawab kepada masyarakat dan sekolah. Sumber: Rivai dan Murni, (2013). Mengadopsi dari: Focus on school: the Future Organization of Education Service for Student. Australia: Departement of Education 2.2.8 Implementasi MBS dalam pengelolaan sekolah Kesadaran masyarakat terhadap urgensi pendidikan semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini dapat diindikasikan dengan animo masyarakat yang semakin banyak mempercayakan anaknya untuk bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu. Sebagian besar masyarakat sadar bahwa untuk menghadapi tantangan yang semakin berat disebabkan oleh perubahan dan tantangan zaman adalah kesiapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang bermutu dan mampu memberikan layanan yang maksimal kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan menjadi lembaga pendidikan tujuan bahkan idola yang dipercaya masyarakat untuk mendidik anak-anaknya. Di era yang kompetitif ini bukan hanya instansi bersifat komersial saja yang dituntut untuk mening28 katkan layanan yang maksimal, akan tetapi lembaga pendidikan juga dituntut untuk bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain guna menawarkan jasa yang mempunyai kesesuaian dan keserasian dengan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan. Sehingga lembaga pendidikan diharapkan memiliki sistem manajemen pendidikan yang baik dan berkualitas untuk menghadapi kompetitor lain di era kompetitif ini. Artinya, apabila pendidikan akan dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen yang terlibat dalam kegiatan perlu dikenali. Untuk itu, diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem (Nanang, 2001). Sistem di sini merupakan suatu mekanik dalam suatu anatomi pendidikan. Implementasi MBS pada hakikatnya adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada sekolah dengan tujuan akhir meningkatkan mutu hasil penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat menghasilkan prestasi yang sebenarnya melalui proses manajerial yang berkualitas. Melalui peningkatan kinerja dan partisipasi semua stakeholder-nya, maka sekolah pada semua jenjang dan jenis pendidikan dengan sifat otonomistisnya akan menjadi suatu instansi pendidikan yang organik, demokratis, kreatif, dan inovatif, serta unik dengan karakternya masing-masing untuk melakukan pembaharuan sendiri (Umiarso dan Gojali, 2010). Sejalan dengan konteks di atas, sekolah memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Menurut Syaiful Sagala, kekuasaan yang dimiliki sekolah antara lain mengambil keputusan berkaitan dengan serta 29 pengelolaan kurikulum; keputusan berkaitan dengan rekrutmen serta pengelolaan guru dan pegawai administrasi; serta keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Adapun komponen yang didesentralisasikan adalah manajemen kurikulum, manajemen tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen pendanaan/keuangan, serta manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat. Secara visualistis, implementasi MBS tersebut dapat dilihat pada skema sebagai berikut: Input Implementasi Manajemen Kurikulum, Tenaga Kependidikan, Kesiswaan, Keuangan, dan Hubungan Sekolah dengan Masyarakat Proses Output Proses Pembelajaran Prestasi Belajar Siswa yang Meningkat Gambar 2.2 Bagan Implementasi MBS Implementasi MBS dalam suatu lembaga pendidikan akan menjadi lebih baik apabila lembaga tersebut melakukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan hasil. Rivai dan Murni (2012), mengemukakan bahwa untuk mengelola sekolah di era kompetitif ini, kepala sekolah harus tampil sebagai kordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang 30 memiliki perbedaan di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui perencanaan dan pelaksanaan MBS yang didukung penerapan prinsip-prinsip pengelolaan mutu secara total. Terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan MBS, Rivai dan Murni (2012) menegaskan bahwa perencanaan merupakan proses penyusunan sesuatu yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan pelaksanaan dari perencanaan tersebut dapat disusun berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan pembuat perencanaan. Namun, yang lebih utama adalah perencanaan harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran. Berdasarkan hal tersebut, aspek-aspek yang perlu direncanakan diharapkan dapat memenuhi standar kompetensi yang terfokus pada hasil pengelolaan sekolah yang bermutu, dengan demikian untuk mencapai kompetensi tersebut diperlukan evaluasi hasil dari pelaksanaan implementasi MBS yang sudah dilakukan. Pengelolaan lembaga pendidikan berkaitan dengan MBS juga perlu memerhatikan evaluasi (feed back) dari berbagai pihak. Kriteria yang efektif digunakan untuk mengevaluasi kegiatan manajerial pendidikan adalah yang berfokus pada outcome-nya (hasil akhir). Lemahnya evaluasi dapat menjadi permasalahan serius dalam suatu kegiatan kelembagaan, dalam ranah pendidikan evaluasi sangat diperlukan untuk mengetahui apakah program yang telah direncanakan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sering 31 diasumsikan bahwa MBS akan bernilai hanya karena isi program tampak penting. MBS memerlukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tingkat ketercapaian tujuan. 2.2.9 Sekolah Potensial Sekolah potensial merupakan suatu satuan pendidikan yang belum memenuhi standar nasional pendidikan. Adapun definisi sekolah potensial yang dikutip oleh Riza Sativa dalam situs (http://oryzasativa135rsh.blogspot.com/2011/01/sekolah-bertarafinternational-sbi-dan.html) yaitu: “Sekolah potensial, yaitu sekolah yang masih relatif banyak kekurangan/kelemahan untuk memenuhi kriteria sekolah yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam UUSPN Tahun 2003 pasal 35 maupun dalam PP No. 19 Tahun 2005. Ditegaskan dalam penjelasan PP No.19 Tahun 2005 pasa 11 ayat 2 dan 3 bahwa kategori sekolah potensial adalah sekolah yang belum memenuhi (masih jauh) dari SNP.” Karena sekolah potensial tersebut belum dan masih jauh dari standar nasional pendidikan, maka untuk mengetahui karakteristik sekolah tersebut, berikut ada beberapa kriteria sekolah potensial yaitu: a) Sekolah negeri maupun swasta; b) Memiliki rata-rata UN yang lebih rendah daripada rata-rata UN untuk kriteria sekolah standar nasional (SSN), misalnya untuk penetapan SSN tahun 2006 persyaratan UN tahun 2004 minimal 6,33 dan UAN tahun 2005 6,50. Sedangkan untuk penetapan SSN tahun 2007 UN tahun 2005 minimal 6,35 dan UN tahun 2006 minimal 6,75; 32 c) Termasuk sekolah yang tergolong ketagori cukup atau kurang di kabupaten/kota yang bersangkutan, yaitu memiliki karakteristik cukup atau kurang terhadap 8 SNP (Standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan kependidikan, standar manajemen, standar pembiayaan, dan standar penilaian) atau di bawah nilai baik dan amat baik. Hal ini dibuktikan dengan penilaian kinerja sekolah yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota; d) Bukan sekolah yang didukung oleh yayasan yang memiliki pendanaan yang kuat, baik dari dalam maupun luar negeri; dan e) Sekolah dengan nilai akreditasi di bawah A. 2.2.10 Sekolah Standar Nasional (SSN) Sekolah Standar Nasional (SSN) adalah sekolah yang sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar tenaga pendidik dan kependidikan, standar manajemen, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Pengertian delapan standar nasional pendidikan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan; 2) Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus di- 33 penuhi oleh siswa pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu; 3) Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan; 4) Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan; 5) Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi; 6) Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelengaraan pendidikan; 7) Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun; 8) Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar siswa. 34