MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) RAKHMI WALIDAINI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) RAKHMI WALIDAINI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN RAKHMI WALIDAINI. Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara). Dibimbing oleh ENDES N. DAHLAN dan HARYANTO R. PUTRO. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki peran penting dalam perlindungan sistem tata air serta pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Kawasan ini memiliki nilai manfaat air sebesar Rp 4,341 milyar/tahun (Darusman 1993). Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi sistem tata air adalah melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Keberlanjutan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan bahan pertimbangan untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme, keterlibatan para pihak serta mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. Penelitian ini dilakukan di TNGGP dan sekitarnya pada bulan SeptemberNovember 2011. Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi lapang dan wawancara semi terstruktur dengan narasumber kunci dan anggota kelompok tani. Narasumber dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif dan analisis para pihak berdasarkan Groenendjik (2003). Selain itu, mekanisme yang berjalan dilihat berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008. Selanjutnya, dibentuk forum independen yang mengelola insentif dari para pemanfaat jasa lingkungan air TNGGP. Dana kompensasi yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjalankan program kerja serta manajemen Forpela TNGGP. Keterlibatan para pihak dilihat berdasarkan keikutsertaan para pihak dalam mekanisme. Pihak yang terlibat pada awal penginisiasian mekanisme antara lain: BB TNGGP, ESPUSAID, RCS, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan Dirjen PJLKKHL. Pihak yang terlibat dalam penerapan mekanisme antara lain: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, KSM Cinagara Asri, Forpela TNGGP, Mapala UI, YBUL, dan pemanfaat-pemanfaat air (PT Rejosari Bumi, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara dan Pusdiklat Karya Nyata). Mekanisme ini termasuk mekanisme “PES-like” karena memenuhi hampir semua kriteria Wunder (2005). Namun, berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, mekanisme PJL di desa Tangkil dan Cinagara lebih terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP. Kata kunci: mekanisme, pembayaran jasa lingkungan, air, TNGGP SUMMARY RAKHMI WALIDAINI. Payment for Environmental Water Service Mechanism in Gede Pangrango National Park, West Java (Case Study in Tangkil and Cinagara Villages). Under supervision of ENDES N. DAHLAN and HARYANTO R. PUTRO. Gede Pangrango National Park (GPNP) has an important role in protection water system and surrounding community empowerment. This area has a value of water benefits of Rp 4,341 billion/year (Darusman 1993). One of the ways is conducted to protect water system is through the payment for environmental services. Sustainability of this mechanism is expected to enhance the position of the GPNP as a provider of environmental water service and consideration for managing the use of environmental water services in protected area. The purpose of this research is to know about the payment of environmental water service mechanism, the involvement of all stakeholders, and to evaluate the payment of environmental water service mechanism in GPNP. This research conducted in GPNP and its surrounding in SeptemberNovember 2011. Data collected through the study of literature, field observation and semi structured interview with key speakers and members of farmer groups. Key speakers were selected by purposive considering the level of their knowledge of the mechanism. Data analyzed with descriptive qualitative analysis and stakeholder analysis based on the Groenendjik (2003). Besides, this mechanism views based on the definition of Wunder (2005) and other literature. This mechanism is based on letter of Dirjen PHKA number SE.3/IVSET/2008. Next, was formed an independent forum which manage the incentive of the water service users in GPNP. Collected compensation fund then used to carry out the work program and management of Forpela GPNP. The involvement of the stakeholders are based on their participation in the mechanism. Stakeholdes involved at the beginning are TNGGP office, ESP-USAID, RCS, Agency of PSDA, Agency of ESDM, Agency of Agriculture and Forestry, and Dirjen PJLKKHL. Stakeholders involved in the implementation of the mechanism, such as: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, KSM Cinagara Asri, Forpela TNGGP, Mapala UI, YBUL, and water service users (Rejosari Bumi company, Pacul Mas Tani company, BPKH Cinagara, STPP Cinagara and Pusdiklat Karya Nyata). This mechanism include to “PES-like” mechanism because it fulfilled almost all criteria of Wunder (2005). However, based on the development of mechanism that occurs in the field, the mechanism in Tangkil and Cinagara villages more visible community empowerment as an effort to collaborate with various stakeholders, whereas conservation efforts done by GPNP officer as GPNP area manager. Keywords: mechanism, payment for environmental services, water, GPNP PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2012 Rakhmi Walidaini E34070012 Judul Skripsi : Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) Nama : Rakhmi Walidaini NIM : E34070012 Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. NIP. 19501226 198003 1 002 Ir. Haryanto R. Putro, MS. NIP. 19600928 198503 1 004 Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003 Tanggal lulus: i KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB. Skripsi ini menguraikan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Skripsi ini lebih memfokuskan wilayah kajian pada desa Tangkil dan Cinagara. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan taman nasional menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pengelolaan jasa lingkungan hutan khususnya air. Selain itu, mekanisme ini diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan pusat pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan. Adanya keterlibatan para pihak diharapkan mampu mendukung keberlanjutan mekanisme ini. Oleh karena itu, skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengelola dan pihak terkait dalam pengelolaan jasa lingkungan air yang lebih baik di masa mendatang. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS yang telah memberikan bimbingan hingga skripsi ini terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Bogor, Maret 2012 Penulis ii RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 12 Juli 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Imam Satriyo dan Ibu Ibnatul Ukhro. Penulis memulai jenjang pendidikan di TK Taman Putra tahun 1992-1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di SDN Jatiasih VI dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan di SMPN 9 Bekasi pada tahun 2001 dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 113 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota periode 2008/2009 dan 2009/2010. Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) Tapak. Penulis mengikuti kegiatan Eksplorasi Flora, Fauna dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau, Banten tahun 2009 dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2010 di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong-CA Burangrang tahun 2009 dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2010. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) dibimbing oleh Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Ir. Haryanto R. Putro, MS. iii UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya yang begitu besar. Seraya mengucap alhamdulillah, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Mama Ibnatul Ukhro, Papa Imam Satriyo, Niesfi Isbania, kakek Husin Abubakar, nenek Takyum atas semua doa, kasih sayang, dukungan moril dan materiil, serta pelajaran hidup yang diberikan. 2. Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, MSc sebagai ketua sidang dan Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagai perwakilan dosen penguji dari Fakultas Kehutanan yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Seluruh staf Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atas izin, bantuan dan informasi yang telah diberikan selama penelitian. 5. Bapak Usep Suparman (Forpela TNGGP/RCS), Bapak I Nyoman Sukarata dan Bapak I Made Soewecha (Forpela TNGGP/PT Rejosari Bumi unit Tapos), Bapak Idham Arsyad (ESP-USAID), Ibu Sondang R. Situmorang (PHKA), Bapak Suharso (BPKH Cinagara), Bapak Kenedy Putra (STPP Cinagara), Bapak Yono (PT Pacul Mas Tani), Bapak H. Bambang (Pusdiklat Karya Nyata), Mas Firmansyah (Mapala UI), Pak Mulyono (KT Saluyu), Bapak Manta (KT Saluyu), anggota KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri yang telah berkenan menjadi narasumber dan memberikan banyak informasi dan bantuan kepada penulis selama penelitian. 6. Bapak Adang (KT Garuda Ngupuk) beserta keluarga atas bantuan dan informasi yang diberikan kepada penulis selama penelitian. 7. Ibu Nur dan Bapak Eko (KSM Cinagara Asri) atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. 8. Staf desa Tangkil dan Cinagara atas izin dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian. iv 9. Staf TU DKSHE yang telah banyak membantu administrasi penelitian. 10. Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menempuh perkuliahan. 11. Bapak Memen Suparman dan Ibu Cucu Suharyati atas doa, bantuan, informasi dan motivasi kepada penulis. 12. Andita Chairunnisa, Spetriani, Neina Febrianti, Retno Hastiti, Woro Probowati, Mettha Christiani, Fela Aditina, atas doa, motivasi, bantuan, dan persahabatan. 13. Nini Sriani, Dewanti Pratiwi, Risa Agustina, serta Teman-teman KSHE’44 KOAK (Angkatan Helarctos malayanus). Teman-teman di Rumah Hamasah, dan Wisma Blobo atas dukungan, bantuan, persahabatan dan kebersamaannya selama ini. 14. Septian Wiguna atas doa, bantuan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini. 15. Semua pihak yang yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dan tidak dapat disebutkan satu per satu. v DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ...........................................................................................................v DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ix BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1 1.2 Tujuan ............................................................................................................2 1.3 Manfaat Penelitian .........................................................................................2 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................................2 1.5 Kerangka Pemikiran .......................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5 2.1 Jasa Lingkungan .............................................................................................5 2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan ........................................................................5 2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan ......10 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP ....................................................11 2.5 Penelitian Terdahulu ....................................................................................12 2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP ...................................................................12 2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS) ................................................................................13 BAB III METODE PENELITIAN .....................................................................16 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................................16 3.2 Alat dan Obyek Penelitian ...........................................................................16 3.3 Metode Pengumpulan Data ..........................................................................16 3.3.1 Studi literatur.........................................................................................16 3.3.2 Observasi lapang dan wawancara .........................................................17 3.4 Metode Analisis Data ...................................................................................19 3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif ..................................................................19 3.4.2 Analisis para pihak ................................................................................20 vi BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .......................................23 4.1 Penyedia Jasa Lingkungan ...........................................................................23 4.1.1 Kawasan TNGGP ..................................................................................23 4.1.2 Desa penyangga kawasan TNGGP .......................................................23 4.2 Pemanfaat Jasa Lingkungan Air...................................................................27 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................28 5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP..........................28 5.1.1 Latar belakang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air ................28 5.1.2 Penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan air ..................................30 5.1.3 Skema pembayaran jasa lingkungan air ................................................33 5.1.4 Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara ..........................................................................37 5.1.5 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air ................39 5.2 Keterlibatan Para Pihak ................................................................................42 5.2.1 Identifikasi para pihak ...........................................................................42 5.2.2 Peranan para pihak ................................................................................43 5.2.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak .....................................45 5.2.4 Hak dan kewajiban para pihak ..............................................................50 5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP ...........55 5.3.1 Berdasarkan definisi Wunder (2005) ....................................................57 5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme ...............................................61 5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP .....................................................................67 5.4.1 Permasalahan.........................................................................................67 5.3.4 Solusi yang ditawarkan .........................................................................71 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................74 6.1 Kesimpulan ..................................................................................................74 6.2 Saran .............................................................................................................75 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................76 LAMPIRAN ..........................................................................................................81 vii DAFTAR TABEL No. Halaman 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data ................................................18 2 Kepentingan (interest) masing-masing pihak .................................................21 3 Penggunaan lahan di desa Tangkil tahun 2010 ...............................................24 4 Penduduk desa Tangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2010 ...............24 5 Penduduk desa Tangkil berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2010 .............24 6 Penggunaan lahan desa Cinagara tahun 2007 .................................................25 7 Penduduk desa Cinagara berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2007 ...........26 8 Penduduk desa Cinagara berdasarkan mata pencaharian tahun 2007 .............26 9 Jumlah pemanfaat air yang terdaftar sebagai anggota Forpela TNGGP .........27 10 Pemanfaatan air dari kawasan TNGGP oleh para pemanfaat .........................27 11 Nilai iuran pokok dan iuran wajib keanggotaan Forpela TNGGP ..................31 12 Jumlah kontribusi dari masing-masing pemanfaat air ....................................32 13 Besaran, pengelolaan serta peruntukan iuran yang ada di masyarakat ...........32 14 Pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP ................................................33 15 Jenis kegiatan dan bantuan dalam penerapan pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara..................................................37 16 Peranan masing-masing pihak.........................................................................44 17 Kepentingan (interest) masing-masing pihak .................................................45 18 Hak dan kewajiban pemanfaat air berdasarkan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU dengan BB TNGGP ........................................................................52 19 Hak dan kewajiban BB TNGGP dan Forpela TNGGP berdasarkan MoU kemitraan tentang pemanfaatan air dari kawasan TNGGP .............................53 20 Hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara ........................54 21 Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP ..............................................................................64 viii DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.........................................................4 2 Pembagian skema PES ......................................................................................6 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten . ....................13 4 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung .........................................................................................................15 5 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak ......................................................................................21 6 Skema pendanaan jasa lingkungan air di TNGGP ..........................................34 7 Skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP .......................................35 8 Bantuan yang diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu, desa Tangkil. Ket: (a) Domba; (b) Mesin mikrohidro ............................................38 9 Bantuan berupa WC umum di desa Cinagara .................................................41 10 Klasifikasi para pihak......................................................................................43 11 Diagram matriks tingkat kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak .............................................................48 ix DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1 Panduan wawancara lembaga pemerintahan .....................................................82 2 Panduan wawancara LSM .................................................................................83 3 Panduan wawancara Pemanfaat air ...................................................................84 4 Panduan wawancara masyarakat .......................................................................85 5 Panduan wawancara ketua kelompok tani ........................................................86 6 Lokasi-lokasi penelitian....................................................................................87 7 Masukan pemanfaat air untuk pengelola TNGGP ketika proses pembentukan Forpela...............................................................................................................88 8 Daftar pemanfaat yang memanfaatkan air dari kawasan TNGGP (di sekitar desa Tangkil dan Cinagara)..............................................................................89 9 Daftar perusahaan pemanfaat air bersih di sekitar lokasi penelitian................89 10 Skoring masing-masing pihak..........................................................................90 11 Rekomendasi Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP...............94 12 MoU kerjasama antara Forpela dengan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango..............................................................................................95 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki peran penting dalam perlindungan sistem tata air serta pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan Forpela TNGGP (2009), kawasan ini merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS tersebut adalah DAS Citarum (sub DAS Cikundul dan Cilaku), DAS Ciliwung, DAS Cisadane (sub DAS Cisadane Hulu), dan DAS Cimandiri (sub DAS Cimandiri Hulu dan Cicatih). CI Indonesia (2009), menyatakan bahwa daerah hulu yang didominasi oleh hutan memiliki peran penting sebagai daerah tangkapan air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi serta fungsi lainnya. Puspaningsih (1999) menyebutkan pula bahwa daerah hulu memiliki fungsi lindung, fungsi hidrologis dan merupakan daerah resapan air untuk konsumsi daerah hilir. Selain itu, daerah hulu merupakan daerah pertanian bagi masyarakat hulu itu sendiri. Kawasan TNGGP memiliki nilai manfaat dari fungsi hidrologis yang berjalan. Darusman (1993), menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. Selain itu, terdapat 11 desa dan 83 pemanfaat yang memiliki jaringan air langsung ke kawasan ini (USAID 2009). Keberlangsungan sistem tata air sangat bergantung pada kelestarian ekosistem hutan (Suprayitno 2008). Perubahan yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak pada sistem tata air yang mengalir pada daerah hilir. Dampak pada daerah hilir antara lain banjir, penurunan debit air untuk irigasi, kurangnya pasokan air minum, serta perubahan kualitas dan kuantitas air (CI Indonesia 2009). Selain itu, industri dan pemanfaat air yang berada di sekitar kawasan TNGGP akan terkena dampak pengurangan debit air untuk kebutuhan mereka. Perlindungan sistem tata air pada kawasan TNGGP tidak dapat dilakukan sendiri. Hal tersebut memerlukan peran serta dari masyarakat, khususnya masyarakat desa penyangga kawasan TNGGP. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan. 2 Mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES) dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Mekanisme yang dilakukan di TNGGP bertujuan untuk membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui pengembangan inkubasi usaha terpadu (Forpela TNGGP 2009). Keberlanjutan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan pusat pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan. Selain itu, penerapan dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan air tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 2. Mengetahui keterlibatan para pihak dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 3. Mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah informasi mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan air serta penerapannya di TNGGP. Bagi para pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana evaluasi serta dapat menghasilkan sebuah rekomendasi bagi proses perumusan kebijakan dan peraturan perundangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terfokus pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan di kawasan TNGGP. Hal-hal yang diteliti meliputi: latar belakang mekanisme, penetapan nilai kompensasi, skema pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan, para pihak yang terlibat, peranan para pihak, tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak, serta hak dan kewajiban para pihak. Selain itu, penelitian ini 3 juga melihat perkembangan mekanisme yang ada serta kendala dan solusi yang ditawarkan. Lokasi penelitian difokuskan pada desa Tangkil (KT Garuda Ngupuk dan Saluyu) dan Cinagara (KSM Cinagara Asri), pemanfaat air dan pihak lain yang berada di sekitar lokasi tersebut (meliputi resort Tapos, Cimande, dan Bodogol). 1.5 Kerangka Pemikiran Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang harus dijawab antara lain: 1. Bagaimana sejarah dan proses berjalannya mekanisme PJL di kawasan tersebut? Apa saja hal yang disepakati para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Apa saja norma dan peraturan yang diacu para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Sejauh mana perkembangan mekanisme PJL yang berlangsung di kawasan tersebut? Apa saja output yang diharapkan? 2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam mekanisme PJL di kawasan tersebut? Apakah keterlibatan para pihak tersebut sudah tepat atau masih terdapat pihak lain yang seharusnya dilibatkan dalam mekanisme tersebut? Selain itu, apa peranan, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat? Bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak serta penegakan mekanisme yang berjalan? 3. Apakah mekanisme yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip PJL dan masih tergolong mekanisme PJL? Apa saja kendala yang dihadapi selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Apa solusi dan rekomendasi untuk halhal tersebut? Pertanyaan penelitian tersebut tergambar dalam bagan alir kerangka pemikiran penelitian (Gambar 1). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui analisis deskriptif menggunakan triangulasi data (poin 1 dan 3) serta analisis para pihak (poin 2). Sebelumnya dilakukan wawancara kepada pihakpihak terkait serta penelusuran dokumen yang berhubungan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 4 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) Daerah tangkapan air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi serta merupakan daerah pertanian bagi masyarakat hulu itu sendiri Masyarakat desa Tangkil dan Cinagara (desa penyangga TNGGP) Nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. Banjir; penurunan debit air untuk irigasi serta industri; kurangnya pasokan air minum, serta perubahan kualitas dan kuantitas air. Pemanfaat air dari kawasan TNGGP - membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP - meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui pengembangan inkubasi usaha terpadu. Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) Norma, yang meliputi : -Peraturan-peraturan terkait -Perjanjian-perjanjian para pihak yang diacu bagi pelaksanaan mekanisme Ya Organisasi, yang meliputi : -Pihak-pihak yang terkait -Peran para pihak -Penegakan mekanisme (insentif, disinsentif) Kinerja mekanisme PJL berdasarkan : -Realita di lapangan -Studi Literatur -Manfaat bagi kedua belah pihak Tidak Mekanisme non PJL Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jasa Lingkungan Jasa lingkungan definisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami (Sutopo 2011). Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya (DPR RI 2007). Leimona et al. (2011) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Wunder (2005), membagi produk jasa lingkungan hutan atau kawasan konservasi dalam empat kategori, yaitu: 1. Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage) 2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection) 3. Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) 4. Keindahan bentang alam (landscape beauty) 2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan Pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi tawar jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelola penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem (Suprayitno 2008). Wunder (2005) menyatakan pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) sebagai “a voluntary transaction where a well-defined ES (or land-use likely to secure that service) is being ‘bought’ by a (minimum one) ES buyer from (minimum one) ES provider if and only if ES provider secures ES provision (conditionally)....” Berdasarkan definisi tersebut, terlihat adanya beberapa pihak yang berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan, yaitu penyedia jasa, pembeli jasa serta perantara diantara keduanya. 6 Wunder (2008) membagi skema PES menjadi tiga bagian, yaitu skema PES murni, skema “PES-like”, dan insentif ekonomi lainnya (Gambar 2). Skema “PES-like “ lebih banyak diterapkan dibandingkan dengan skema PES murni. Skema “PES-like” memenuhi kriteria-kriteria PES menurut Wunder (2005) tetapi tidak semua kriteria. Sumber: Wunder (2008) Gambar 2 Pembagian skema PES. CIFOR (2008) menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang membuat skema “PES-like” lebih dominan dibandingkan skema PES murni. Hal-hal tersebut diilustrasikan dengan membahas masing-masing kriteria, yaitu: 1. Pertama, PES memiliki konsep sukarela, kerangka negosiasi, dimana hal ini membedakan PES dari pendekatan “command and control”. Hal ini mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus. 2. Kedua, jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan untuk menyediakan jasa seringkali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dan bahkan kadang tidak mungkin, khususnya ketika hal itu berasal dari proses hidrologi. 3. Ketiga, terdapat minimum satu pembeli jasa 4. Keempat, terdapat minimum satu penyedia jasa. Bagaimanapun, pada praktiknya beberapa inisiatif dibiayai oleh donor lain daripada pembeli jasa, sementara yang lainnya membayar penyedia jasa tetapi menggunakan 7 sumberdaya tersebut untuk aktivitas proyek dibandingkan pembayaran kepada penyedia jasa. 5. Kelima, pada skema PES, pembayaran oleh pengguna tergantung pada keberlanjutan penyediaan jasa. Kriteria persyaratan ini sangat sulit dilakukan, dan di beberapa negara berkembang, bisnis ini seperti fitur PES, dimana hal itu berarti “anda membayar apa yang anda dapatkan”, meningkatkan substansi resistensi politik. Wunder (2008) menyebutkan bahwa kelima kriteria PES digunakan di beberapa skema yang sebenarnya, tetapi penerapan dari skema “PES-like” memenuhi hampir keseluruhan kriteria-lebih banyak jumlahnya. Beberapa skema PES berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM). Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini didukung oleh dukungan politik, tetapi mungkin akan membahayakan keefektifan dalam mencapai tujuan lingkungan mereka. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. Secara pribadi, komunitas dan masyarakat lokal menyediakan, pilihan-pilihan penggunaan lahan biasanya secara hukum kurang dibatasi, sehingga PES dapat diaplikasikan untuk mempengaruhi pilihan manajemen sumberdaya secara sukarela. Kawasan konservasi, bagaimanapun, sudah diutamakan untuk dijaga secara ketat, dimana pada dasarnya membuat PES tidak dapat digunakan. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) juga menyebutkan, pembayaran di kawasan konservasi bisa disesuaikan dalam kasus-kasus khusus berikut: (a) dalam penggunaan kawasan konservasi secara berkelanjutan dimana jarak yang legal atau toleransi dari pilihan penggunaaan lahan berada (pilot PES berada pada pengaturan-pengaturan tertentu); (b) ketika kawasan konservasi sudah 8 dideklarasikan “di atas” tanah-tanah pribadi atau komunal sebelumnya, atau (c) ketika potensi “command and control” secara de facto mendekati nol. Bagaimanapun, walau dibawah keadaan yang bertentangan, insentif dari konteks PES di kawasan konservasi berpotensi untuk dapat ditingkatkan. Misalnya, aksi dari pembayaran penghuni liar illegal yang tidak menebang menciptakan dilema keadilan, tuntutan hukunan bagi yang suka menentang (mendorong harapan bahwa menghindari aktivitas-aktivitas ilegal layak mendapat kompensasi) dan “magnet” efek demografi (pembayaran bahkan menarik lebih banyak penghuni liar). Penggunaan PES sebagai cara untuk meningkatkan nilai baru bagi manajemen kawasan konservasi mungkin adalah sebuah pilihan, tetapi hal tersebut tidak jauh berbeda dari ide asli PES sebagai kompensasi penyedia jasa yang menanggung biaya konservasi. Ketika pendekatan “command and control” dan PES dapat dikombinasikan di beberapa kasus (Wunder & WertzKanounnikoff 2009). Rosa et al. (2003) menekankan bahwa prinsip yang paling penting dalam menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari (Leimona et al. 2011). Landell-Mills dan Porras (2002) menjelaskan beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di dunia, yaitu: 1. Direct negotiation, yaitu transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Pada umumnya, hal ini tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan. Hal ini seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transaction. Dalam proses ini, fasilitator berperan agar mengurangi biaya transaksi dengan cara mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko 9 kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada. 3. Pooled transaction, yaitu pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. 4. Joint venture, yaitu mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut. Imbalan tersebut berbentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain. 5. Retail based traders, yaitu imbalan jasa lingkungan yang terdapat pada produk pasar dan jasa. 6. Internal traiding, yaitu transaksi antar departemen dalam suatu organisasi. 7. Over the conter traders/users fees. Jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu dalam menjalankan mekanisme ini. Cahyono dan Suyanto (2006) menyatakan, imbal jasa multifungsi DAS mensyaratkan pemanfaat jasa membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa. Selain itu, jasa yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa harus disepakati terlebih dahulu. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa. Gouyon (2004), membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu : 1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan. 2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan. 3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik. Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu : 1. Jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya. 10 2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel). 3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel. 4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik. 2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mendasari mekanisme pembayaran jasa lingkungan menurut RCS (2008), diantaranya : 1. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 70 menyebutkan bahwa (1) masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan; (2) pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang yang berdaya guna dan berhasil guna; (3) serta dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan. 2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 7 menyebutkan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya, pasal 27 menyebutkan bahwa pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. 3. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. 4. PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 5. SK Menhut Nomor 456/Menhut-II/2004, tentang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap masyarakat desa di luar hutan. Prasetyo et al. (2009) menyebutkan peraturan perundang-undangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan, antara lain : 1. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang mengatur kewenangan dalam pengelolaan lingkungan. Pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berkewajiban 11 mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 2. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 3. PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Pasal 1 ayat 6 menyebutkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Disebutkan lebih lanjut pada pasal 22, pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Disebutkan dalam pasal 33 ayat 1 bahwa obyek pajak pengambilan dan pemanfaatan air (air bawah tanah dan air permukaan) adalah pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan. Pasal 34 menyebutkan subyek dan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan. 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP Darusman (1993), menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. USAID (2006) menyatakan bahwa keberadaan TNGGP memiliki peranan penting bukan hanya untuk wilayah hulu tetapi juga bagi wilayah hilir seperti Jakarta dan sekitarnya. Manfaat kawasan ini sebagai daerah tangkapan air yang penting bagi kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor dan DKI Jakarta; penyerap dan penyimpan karbon; penyeimbang iklim mikro; pengatur tata air; wisata alam; penelitian dan pendidikan. Jasa ekosistem kawasan hutan ini secara terus menerus menopang kehidupan manusia dan pembangunan. USAID (2006) lebih lanjut menjelaskan, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan TNGGP. Pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa 12 lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air. 2.5 Penelitian Terdahulu 2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP Karya ilmiah mengenai peningkatan kualitas jasa lingkungan TNGGP melalui Payment for Environmental Services (PES), pernah dilakukan oleh Sudrajat et al. (2009). Sudrajat et al. (2009) menyebutkan bahwa pemilik villa, perkebunan teh dan instansi pembangkit listrik pun harus turut membayar jasa air dari TNGGP yang dimanfaatkan. Dana yang diperoleh dari hasil pembayaran jasa lingkungan tersebut dikelola oleh suatu badan/lembaga yang dibentuk khusus untuk mengatasi masalah lingkungan. Dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk pengelolaan TNGGP untuk penjagaan kualitas lingkungan di kawasan. Lebih lanjut lagi, Sudrajat et al. (2009) menyebutkan pembayaran jasa lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk biaya reboisasi, manajemen pengelolaan, biaya informasi, dan biaya promosi. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kualitas lingkungan TNGGP tetap terjaga. Selain itu, manfaat jasa yang dihasilkan oleh TNGGP dapat terus ditingkatkan. Artinya, pembayaran jasa lingkungan berkorelasi positif dengan peningkatan jasa lingkungan. Penelitian lainnya mengenai pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut adalah Sutopo (2011). Penelitian ini ditekankan pada pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang mengambil lokasi studi di DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini menyebutkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mencapai 54,3% dan sebanyak 61,1% perusahaan pemanfaat air minum bersedia membayar jasa lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga mengasilkan rataan kesediaan perusahaan membayar (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3. 13 2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS) Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan penerapan dari program pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir. Mekanisme ini diagggap penting diterapkan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, penerapan dari program tersebut tidak mudah. PT KTI sebagai perusahaan air kemudian siap mendanai penerapan tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3. Kelompok Tani LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Industri PT KTI FKDC Keterangan : PDAM Sektor Swasta PLN : Komunikasi dan Fasilitasi : MoU dan PES : Air dan Pembayarannya Sumber: Budhi et al. (2007) Gambar 3 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Penerapan mekanisme ini telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan 14 dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan penerapan pembayaran jasa lingkungan. Namun, penerapan tersebut menemui beberapa hambatan. Hambatan tersebut yaitu konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru. Hal ini dikarenan adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan. Penerapan yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran. Hak dan kewajiban tiap para pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat diuji coba pada skala nasional. Lokasi lain yang menjadi penerapan mekanisme ini adalah DAS Wai Besai Sumberjaya, Lampung. Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai deforestasi yang tidak terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996. Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara (Suyanto & Khususiyah 2006). Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pemdapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani. LPM Equator (2011) menyatakan proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus dipenuhi dalam pengembangannya. Mekanisme yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu 15 contoh penerapan pembayaran jasa lingkungan yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4). Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro PLTA Pembayaran jasa lingkungan riparian melalui dinas pertanian dan kehutanan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan) Masyarakat hulu DAS Way Besai Masyarakat peduli sungai RUPES (intermediary) Pelaksanaan kontrak dimana masyarakat hulu berhasil menurunkan sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif Gambar 4 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung. 16 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data dilaksanakan di beberapa lokasi yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP. Lokasi-lokasi penelitian antara lain Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP, ESP-USAID, Sekretariat Mapala UI, PT Rejosari Bumi unit Tapos, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara, Pusdiklat Karya Nyata serta desa Tangkil dan Cinagara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2011. Lokasi-lokasi penelitian tersaji pada Lampiran 6. 3.2 Alat dan Obyek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perekam suara, kamera, panduan wawancara, serta alat tulis. Sedangkan obyek penelitian yang dikaji antara lain para pihak serta peranan masing-masing pihak yang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP. 3.3 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur, observasi lapang dan wawancara. Metode-metode tersebut digunakan secara kombinasi untuk mendapatkan data di semua lokasi penelitian. 3.3.1 Studi literatur Studi literatur dilakukan melalui penelusuran dokumen, pustaka, serta datadata pendukung lainnya yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP. Data-data tersebut diantaranya: 1. Perjanjian kerjasama kemitraan antara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP 2. Perjanjian kerjasama kemitraan antara TNGGP dengan pemanfaat air yang belum menjadi anggota Forpela TNGGP 3. Perjanjian kesepakatan bersama antara Forpela TNGGP dengan enam desa penyangga TNGGP yang tergabung dalam Model Desa Konservasi (MDK) 17 4. Perjanjian kesepakatan bersama masyarakat kampung Gunung Batu desa Tangkil dalam pengelolaan saluran air dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) 5. Surat Edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi 6. Laporan evaluasi kemitraan TNGGP 7. Laporan dan data Forpela TNGGP 8. Kondisi umum masyarakat desa Tangkil dan Cinagara 9. Penelusuran dokumen terkait lainnya. 3.3.2 Observasi lapang dan wawancara Observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP, para pihak yang terkait serta peranan para pihak tersebut dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Selain itu, observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui perkembangan mekanisme pembayaran yang dilakukan. Wawancara dilakukan pada narasumber kunci (key person) yang memiliki peranan penting dan terlibat langsung dalam mekanisme (direct players). Narasumber dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme. Purposif sampling, didasarkan pada kriteria yang ditetapkan sesuai dengan pertanyaan penelitian (Mack et al. 2005). Narasumber yang diwawancarai berjumlah 17 orang. Tujuan dan katakteristik responden penelitian (seperti ukuran dan keanekaragaman populasi) menentukan siapa dan berapa banyak responden yang harus dipilih. Walaupun memungkinkan, tidak diharuskan untuk mengumpulkan data dari semua anggota kelompok untuk mendapatkan hasil yang valid (Mack et al. 2005). Narasumber tersebut terdiri dari lima orang perwakilan BB TNGGP, satu orang perwakilan Forpela TNGGP, satu orang perwakilan ESP-USAID, satu orang perwakilan Mapala UI, lima orang perwakilan pemanfaat air, dan empat orang perwakilan kelompok tani. Wawancara juga dilakukan kepada anggota kelompok tani yang berada di desa Tangkil dan Cinagara yang terlibat dalam mekansime pembayaran jasa lingkungan air. Anggota kelompok tani yang diwawancarai dipilih secara purposif 18 dengan mempertimbangkan informasi dari ketua kelompok tani. Jumlah responden yang diwawancarai 24 orang. Responden tersebut terdiri dari 10 orang anggota KT Garuda Ngupuk, 7 orang Anggota KSM Cinagara Asri, 3 orang anggota kelompok sanitasi, dan 4 orang masyarakat umum. Jenis dan metode pengunpulan data selengkapnya tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data No Jenis Data 1 Keterlibatan para pihak : - Identifikasi para pihak - Peranan dan fungsi para pihak - Tingkat kepentingan serta pengaruh para pihak - Hak dan kewajiban para pihak serta pemenuhan hak dan kewajiban tersebut 2 Skema PJL di TNGGP : - Latar belakang - Dasar, cara perhitungan, dan proses penetapan nilai imbal jasa yang disepakati - Peraturan dari mekanisme yang berjalan - Skema PJL - Penegakan aturan (monev, pemberian sanksi, dan lain-lain) 3 Evaluasi mekanisme PJL: - Perkembangan mekanisme PJL yang dilakukan - Permasalahan yang timbul dan solusinya Sumber Data Data Pokok ï‚· BB TNGGP ï‚· Forpela TNGGP ï‚· ESP-USAID ï‚· RCS ï‚· Mapala UI ï‚· PT Rejosari Bumi ï‚· PT Pacul Mas Tani ï‚· BPKH Cinagara ï‚· STPP Cinagara ï‚· Pusdiklat Karya Nyata ï‚· KT Saluyu ï‚· KT Garuda Ngupuk ï‚· KSM Cinagara Asri ï‚· BB TNGGP ï‚· Forpela TNGGP ï‚· ESP-USAID ï‚· RCS ï‚· Mapala UI ï‚· PT Rejosari Bumi ï‚· PT Pacul Mas Tani ï‚· BPKH Cinagara ï‚· STPP Cinagara ï‚· Pusdiklat Karya Nyata ï‚· KT Saluyu ï‚· KT Garuda Ngupuk ï‚· KSM Cinagara Asri ï‚· BB TNGGP ï‚· Forpela TNGGP ï‚· ESP-USAID ï‚· RCS ï‚· Mapala UI ï‚· PT Rejosari Bumi ï‚· PT Pacul Mas Tani ï‚· BPKH Cinagara ï‚· STPP Cinagara ï‚· Pusdiklat Karya Nyata ï‚· KT Saluyu ï‚· KT Garuda Ngupuk ï‚· KSM Cinagara Asri Metode Pegumpulan Data Studi Literatur, observasi lapang, dan wawancara Studi Literatur dan wawancara Wawancara, Observasi lapang, Studi Literatur 19 Tabel 1 (Lanjutan) No Jenis Data 4 Sumber Data Metode Pegumpulan Data Data Pendukung ï‚· Kantor desa Tangkil ï‚· Kantor desa Cinagara Kondisi monografi masyarakat Studi Literatur 3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menganalisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang terjadi di kawasan TNGGP. Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1992). Reduksi data untuk menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan. Evaluasi mekanisme yang ada dilihat dengan metode triangulasi, yaitu dengan mengecek kesesuaian antara data yang ada di dokumen terkait, pengamatan lapang serta hasil wawancara. Selain itu, mekanisme yang berjalan dilihat berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Kesesuaian antara mekanisme yang ada dengan literatur dilakukan untuk melihat apakah mekanisme yang ada termasuk mekanisme PJL atau mekanisme lainnya. Evaluasi terhadap mekanisme tersebut juga dianalisis secara deskriptif kualitatif. Kerr dan Jindal (2007) menyatakan metode kualitatif menyediakan pengertian yang mana konteks ini dapat dipahami dan digunakan untuk mengungkap aspek penting dari sebuah proyek. Peneliti kualitatif biasanya kurang menempatkan penekanan pada pengukuran dan lebih kepada proses dan pemahaman secara tajam serta faktor-faktor penentu keberhasilan proyek, biasanya dengan menekankan perspektif yang beragam dari berbagai pihak. Sebuah analisis kualitatif cenderung kurang memikirkan tentang penerapan hasil yang spesifik untuk lokasi proyek lainnya, tetapi lebih memfokuskan pada generalisasi pelajaran yang dapat diterapkan untuk proyek lainnya. 20 3.4.2 Analisis para pihak Analisis terhadap keterlibatan para pihak dilakukan untuk mengetahui peran dan fungsi dari masing-masing pihak. Keterlibatan para pihak dianalisis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Groenendjik (2003). Proses indentifikasi para pihak merupakan proses awal dalam metode ini. Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian para pihak menjadi pihak primer dan sekunder. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan para pihak dengan mekanisme yang ada. Atribut kunci dari masing-masing pihak kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Atribut kunci yang dimaksud adalah kepentingan (interest). Selain itu, dimasukkan pula atribut lainnya yaitu pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance). Masing-masing pihak memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis. Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mendukung tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau kebalikannya. Pengaruh (influence) adalah kewenangan para pihak untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan. Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada mekanisme. Oleh karena itu, tingkat kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas dari mekanisme. Kepentingan dari tiap para pihak yang diidentifikasi tersaji pada Tabel 2. 21 Tabel 2 Kepentingan (interest) masing-masing pihak Kepentingan (Interest) Potensi dampak terhadap proyek * Pihak primer Tingkat kepentingan relatif * Pihak 1 ..... Pihak n Pihak sekunder Pihak 1 ...... Pihak n Keterangan : Tanda positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?) diisi pada kolom potensi dampak, sedangkan kolom tingkat kepentingan relatif diisi dengan skala 0-5 berdasarkan kebijakan dan tujuan mekanisme (Groenendjik 2003). Keberhasilan suatu mekanisme juga tergantung pada kebenaran asumsi yang dibuat oleh masing-masing pihak serta resiko yang dihadapi oleh mekanisme tersebut. Resiko-resiko tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kombinasi pengaruh dan kepentingan masing-masing pihak akan menghasilkan identifikasi asumsi dan resiko masing-masing pihak. Kombinasi tersebut dibuat pada satu diagram matriks (Gambar 5). Posisi masing-masing pihak pada suatu kuadran tertentu akan mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan. Selain itu, posisi tersebut juga dapat mengindikasikan peluang kerjasama antar pihak untuk mendukung mekanisme yang ada. High AA ï‚· Pihak 4 B ï‚· Pihak 1 ï‚· Pihak 1 Importance Low D ï‚· Pihak 2 C ï‚· Pihak 4 influence ï‚· Pihak 3 High Gambar 5 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak. Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan pihak kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari masingmasing kotak adalah sebagai berikut : 22 A. Para pihak dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan pihak-pihak tersebut memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka. B. Para pihak dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan pihak-pihak ini. C. Para pihak yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak-pihak ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan. Selain itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen dengan hati-hati. Pihak-pihak ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan. D. Para pihak pada kuadran ini memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap mekanisme. Pihak-pihak tersebut mungkin memerlukan monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah. Pihak-pihak pada kuadran ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung. 23 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Penyedia Jasa Lingkungan 4.1.1 Kawasan TNGGP Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak diantara 106°51’-107°02’ BT dan 6°51’ LS. Kawasan ini awalnya memiliki luas 15.196 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 174/KptsII/tanggal 10 Juni 2003, kawasan ini diperluas menjadi ± 21.975 ha. Saat ini luasan kawasan TNGGP adalah 22.851,03 ha (Juanda 2010). Juanda (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim SchmidtFerguson, curah hujan di dalam kawasan TNGGP termasuk ke dalam Tipe A. Kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata hujan tahunan antara 3.000-4.200 mm. Sebagian besar kawasan ini merupakan akuifer daerah air tanah langka dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki kekerasan keterusan yang sangat beragam. Umumnya air tanah tidak tertekan dengan debit air kurang dari 5 liter/detik (Juanda 2010). Menurut USAID (2009), terdapat puluhan sungai yang berhulu di kawasan TNGGP. Kawasan ini juga merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) (Forpela 2009). Air yang dihasilkan dari kawasan ini mengairi 10.998 ha sawah dan dimanfaatkan oleh 184.000 KK di 149 desa (USAID 2009). Selain itu, air tersebut juga dimanfaatkan oleh hotel dan restoran yang berada di sekitar kawasan. 4.1.2 Desa penyangga kawasan TNGGP 4.1.2.1 Desa Tangkil Desa Tangkil memiliki luas 644,27 ha. Desa ini berbatasan dengan desa Lemah Duhur di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan desa Cinagara, sebelah barat dengan desa Pasir Muncang, dan sebelah timur dengan kawasan TNGGP. Penggunaan lahan di desa Tangkil tersaji pada Tabel 3. 24 Tabel 3 Penggunaan lahan di desa Tangkil tahun 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Penggunaan Lahan Perumahan Sawah Perkebunan/ladang Perikanan Jalan Desa Pemakaman Perkantoran Umum Lapangan Olah Raga Bangunan Pendidikan Bangunan Peribadatan Lainnya Jumlah Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010) Luas Lahan (Ha) 169 199 179 1,5 32 5,6 1 1,5 6 2,5 47,17 644,27 Penggunaan lahan yang mendominasi desa Tangkil adalah sawah dan kebun/ladang yaitu berturut-turut sebesar 199 ha dan 179 ha. Hal ini sesuai dengan mata pencaharian penduduk desa Tangkil di sektor pertanian (Tabel 4). Tabel 4 Penduduk desa Tangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2010 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Mata Pencaharian Petani Buruh Tani Pedagang Pegawai Negeri Sipil Wiraswasta Pegawai Swasta Karyawan Pabrik Buruh Bangunan Pengrajin Penjahit Tukang Ojek Bengkel Supir Angkot Pensiunan Lainnya Jumlah Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010) Jumlah Penduduk (jiwa) 629 1200 350 11 60 30 150 276 128 15 560 4 10 6 763 4.192 Penduduk desa Tangkil berjumlah 8.720 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1.360 jiwa/km2. Penduduk desa Tangkil terdiri dari 4.343 laki-laki dan 4.377 perempuan. Tingkat pendidikan masyarakat desa Tangkil sebagian besar tamat sekolah dasar yaitu 2.530 orang. Tingkat pendidikan masyarakat desa Tangkil selengkapnya pada Tabel 5. Tabel 5 Penduduk desa Tangkil berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2010 No. 1 2 3 Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Jumlah Penduduk (Jiwa) 1522 2530 330 25 Tabel 5 (Lanjutan) No. 4 5 6 7 8 Tingkat Pendidikan Tamat SLTA/sederajat Tamat D1/D2/D3 Tamat S1 Tamat S2 Tamat S3 Jumlah Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010) Jumlah Penduduk (Jiwa) 285 13 10 4.690 Desa Tangkil memiliki kelompok tani bernama KT Garuda Ngupuk dan KT Saluyu. Kelompok tani ini merupakan mitra kerja Forpela TNGGP dalam melaksanakan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut. 4.1.2.2 Desa Cinagara Desa Cinagara memiliki luas 496,52 Ha. Desa ini berbatasan dengan desa Tangkil di sebelah utara, desa Pasir Buncir di sebelah selatan, desa Muara Jaya di sebelah barat dan kawasan TNGGP di sebelah timur. Penggunaan lahan di desa Cinagara tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Penggunaan lahan desa Cinagara tahun 2007 Luas Lahan Ha 1 Jalan 2 2 Sawah dan Ladang 298,50 3 Bangunan Umum 1,00 4 Empang/ Kolam 2,50 5 Perumahan/ pemukiman 33,00 6 Perkuburan 3,00 7 Kehutanan 150,00 8 Lain-lain 6,52 Jumlah 496,52 Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalam Iskandar (2008) No. Penggunaan % 0,40 60,12 0,20 0,50 6,65 0,60 30,20 1,31 100,00 Penggunaan lahan terbesar di desa Cinagara adalah sawah dan ladang sebesar 298,5 Ha (60,12%) yang terdiri dari beberapa peruntukan jenis tanaman. Jenis tanaman yang ditanam pada areal tersebut diantaranya padi (260 ha), jagung, tomat, kacang panjang, terong, buncis, ketimun, pisang, pepaya, salak, kelapa dan kopi. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah untuk bangunan umum yang hanya sebesar satu ha (0,2%). Penduduk di desa Cinagara berdasarkan data monografi desa (2007) diacu dalam Iskandar (2008) berjumlah 9.622 orang. Penduduk desa Cinagara terdiri atas 5.023 orang laki-laki (52,20%) dan 4.599 orang perempuan (47,80%) dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.176 KK. 26 Penduduk desa Cinagara yang tercatat berdasarkan tingkat pendidikan adalah 1.955 orang (Monografi desa 2007 diacu dalam Iskandar 2008). Tingkat pendidikan penduduk desa Cinagara terbagi dua, yaitu tingkat pendidikan umum dan tingkat pendidikan khusus. Tingkat pendidikan penduduk desa Cinagara tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Penduduk desa Cinagara berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2007 No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Orang Persentase 1 Lulusan Pendidikan Umum a) TK 75 b) SD 135 c) SMP/SLTP 225 d) SMA/SLTA 125 e) Akademi/D1-D3 35 f) Sarjana (S1-S3) 10 2 Lulusan Pendidikan Khusus a) Pondok Pesantren 75 b) Madrasah 525 c) Pendidikan Keagamaan 725 d) Kursus/Keterampilan 25 Jumlah 1.955 Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalam Iskandar (2008) 3,84 6,91 11,51 6,39 1,79 0,51 3,84 26,85 37,08 1,28 100,00 Jumlah penduduk Desa Cinagara yang tercatat dalam monografi desa tahun 2007 menurut pekerjaannya berjumlah 1.365 orang yang terbagi dalam beberapa jenis pekerjaan yang disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Penduduk desa Cinagara berdasarkan mata pencaharian tahun 2007 Jumlah Penduduk Orang Persentase (%) 1 Pegawai Negeri Sipil 25 1,83 2 ABRI 5 0,37 3 Swasta 425 31,14 4 Petani 375 27,47 5 Pertukangan 75 5,49 6 Buruh Tani 435 31,87 7 Pensiunan 15 1,10 8 Pemulung 10 0,73 Jumlah 1.365 100,00 Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalam Iskandar (2008) No. Mata Pencaharian Sebagian besar penduduk yang tercatat memiliki pekerjaan di sektor pertanian baik sebagai petani 375 orang (27,47%) dan sebagai buruh tani 435 orang (31,87%). Sebanyak 8.257 orang (85,81%) lainnya masuk dalam kelompok 27 penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan atau yang mempunyai pekerjaan yang berbeda dengan kategori pada Tabel 8. Banyaknya penduduk desa Cinagara yang bermatapencaharian di bidang pertanian, membuat desa ini memiliki kelompok tani. Kelompok tani tersebut bernama KSM Cinagara Asri. Kelompok tani tersebut merupakan mitra kerja Forpela TNGGP dalam melakukan penerapan program pembayaran jasa lingkungan. 4.2 Pemanfaat Jasa Lingkungan Air USAID (2009) menyebutkan, berdasarkan hasil rapat revitalisasi Forpela TNGGP selama tahun 2009, tercatat pemanfaat air dari kawasan adalah 103 pemanfaat baik komersial maupun non komersial. Informasi mengenai pemanfaat air dari kawasan TNGGP tersaji dalam Tabel 9. Tabel 9 Jumlah pemanfaat air yang terdaftar sebagai anggota Forpela TNGGP PemanfaatAir (2006) Komersial Non-Komersial Bogor 13 4 Cianjur 18 5 Sukabumi 5 2 Jumlah 36 11 Total 47 Sumber : USAID (2006) dan Forpela TNGGP (2006) Wilayah Pemanfaat Air (2009) Komersial Non-Komersial 30 9 44 9 19 2 83 20 103 Pemanfaat-pemanfaat air yang berada di wilayah resort Tapos, Cimande, dan Bodogol antara lain PT Rejosari Bumi unit Tapos, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara, serta Pusdiklat Karya Nyata. Pemanfaatan air dari kawasan taman nasional oleh para pemanfaat tersaji pada Tabel 10. Tabel 10 Pemanfaatan air dari kawasan TNGGP oleh para pemanfaat Jenis Panjang Sumber Pipa PT Rejosari Bumi Sungai 2,16 km PT Pacul Mas Tani Sungai 5 km BPKH Cinagara Sungai 5 km STPP Cinagara Sungai 5 km Pusdiklat Karya Nyata Sungai 1 km Sumber : USAID (2006) dan Forpela TNGGP (2006) Pemanfaat Diameter Pipa 3 inchi 3 inchi 3 inchi 3 inchi 3 inchi Ukuran Bak Air 10 x 20 x 1 m3 5 x 6 x 1 m3 3 x 2 x 2 m3 3 x 2 x 2 m3 3 x 3 x 1 m3 Pemanfaatan air dari dalam kawasan taman nasional diambil melalui aliran sungai yang kemudian ditampung dengan bak-bak penampungan untuk kegiatan industri dan kegiatan non komersial lainnya. 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP 5.1.1 Latar belakang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki potensi untuk pengembangan jasa lingkungan air. Berdasarkan penelitian Darusman (1993), nilai manfaat air yang disediakan TNGGP sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. USAID (2009) menyatakan pengembangan potensi TNGGP harus segera dilakukan. Hal ini dikarenakan tingginya laju pertumbuhan penduduk di sekitar taman nasional. Selain itu, di bagian hilir membutuhkan air dalam volume yang lebih banyak dengan kualitas yang sesuai untuk air minum. Kecenderungan permintaan air yang lebih tinggi ini berdampak bagi kelestarian ekosistem hutan sebagai sumber airnya. Pemanfaatan jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP masih belum memberikan kontribusi bagi kawasan. USAID (2006) menyatakan pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air. Selain itu, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (USAID 2006). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan persepsi diantara para pihak. Para pemanfaat jasa (air) beranggapan telah memberikan kontribusi kepada pemerintah melalui pajak daerah. Berdasarkan PP Nomor 65 tahun 2001, pasal 34 (1) dan (2), disebutkan bahwa subyek dan wajib pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan (DPR RI 2001). Pemanfaatan air yang dilakukan di kawasan konservasi seharusnya tidak termasuk pada kontribusi pajak daerah, melainkan kontribusi untuk kegiatan konservasi. 29 Jasa lingkungan air juga belum dinilai secara bijak oleh para pemanfaat air yang ada di sekitar TNGGP. Hal-hal tersebut kemudian mendasari adanya pertemuan yang difasilitasi oleh dinas PSDA. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pemanfaat air dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, diambil kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah akan mengambil kontribusi berupa pajak ketika pemanfaat air mengambil air melalui sumur bor dan berada di luar kawasan konservasi. Pembangunan komitmen para pemanfaat air di sekitar kawasan TNGGP dimulai dengan kegiatan inventarisasi pemanfaat air. Selanjutnya, dilakukan pertemuan-pertemuan untuk membangun komitmen para pemanfaat. Namun, hal tersebut belum sampai pada rancangan mekanisme insentif. Balai Besar TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP memiliki harapan dan keinginan untuk mengajak peran serta pemanfaat jasa lingkungan untuk melakukan upaya konservasi kawasan TNGGP. Sesuai dengan surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi, bahwa UPT taman nasional dapat melakukan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan air dari dalam kawasan melalui kerjasama dengan mitra kerja (Dirjen PHKA 2008). Selain itu, Balai Besar TNGGP tidak dapat mengelola insentif dari para pemanfaat air. Hal-hal tersebut kemudian mendasari pembentukan suatu badan atau lembaga independen. Badan atau lembaga ini nantinya akan mengelola insentif dari para pemanfaat jasa lingkungan TNGGP khususnya air. Proses pembentukan badan atau lembaga ini difasilitasi oleh USAID dan RCS. USAID melalui Environmental Services Programme (ESP) mengembangkan program watershed management. Salah satu program watershed management tersebut adalah membangun sebuah kelembagaan dalam pengelolaan jasa lingkungan air. Proses pembentukan lembaga independen tersebut diawali dengan menginventarisasi ulang para pemanfaat air di sekitar TNGGP. Selanjutnya, dilakukan pertemuan dengan para pemanfaat jasa lingkungan air yang berada di sekitar kawasan TNGGP. Pada tahap ini, dilakukan sosialisasi mengenai rencana pembangunan insentif pengembangan jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 30 Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa masukan dari para pemanfaat air untuk Balai Besar TNGGP (Lampiran 7). Pertemuan ini juga menghasilkan komitmen dari para pemanfaat air untuk membentuk sebuah forum. Forum ini diharapkan dapat menjadi media koordinasi dan komunikasi antara para pemanfaat air dan Balai Besar TNGGP. Tahap selanjutnya adalah pembentukan kelompok kerja di masing-masing wilayah administrasi TNGGP. Setelah kelompok kerja dibentuk, dilakukan pemetaan terhadap bak penampungan air dan perusahaan pemanfaat air. Setelah peta penyebaran pemanfaat air dibuat, para pemanfaat air TNGGP membentuk Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP. Keanggotaan Forpela TNGGP terdiri dari beberapa unsur. Pasal 12 dalam AD/ART Forpela TNGGP menyebutkan bahwa anggota Forpela TNGGP adalah pemanfaat air yang terdiri dari lembaga/perusahaan/lapisan masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. Selain itu, anggota Forpela TNGGP juga dapat berasal dari kalangan profesional, pemerhati, dan pihak lain yang peduli terhadap pemanfaatan jasa lingkungan air. 5.1.2 Penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan air Nilai pembayaran jasa lingkungan air dapat ditetapkan melalui beberapa cara. Pada umumnya, nilai pembayaran jasa lingkungan air ditetapkan berdasarkan nilai ekonomi air. Penghitungan nilai air dapat dilakukan melalui pendekatan valuasi air atau perhitungan debit. Fauzi (2006) menyatakan, pendekatan yang biasa digunakan untuk menghitung nilai air bersih atau irigasi adalah metode kontingensi. Lebih lanjut lagi, Fauzi (2006) menjelaskan, metode kontingensi menghitung nilai air dengan mengukur kesediaan konsumen untuk membayar (Willingness to Pay). Willingness to Pay (WTP) adalah jumlah maksimal seseorang bersedia membayar untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Sisi lain dari WTP adalah Willingness to Accept (WTA). Willingness to Accept adalah jumlah minimum pendapatan seseorang bersedia menerima penurunan kualitas lingkungan. Besaran WTA dapat mencapai 2-5 kali lebih besar dibandingkan WTP. 31 Selain metode kontingensi, nilai air dapat dihitung berdasarkan debit dan tarif air permukaan. Berdasarkan Perda Jawa Barat Nomor 6 tahun 2002, nilai perolehan air permukaan ditetapkan sebesar Rp 500/m3. Nilai tersebut jika dikalikan dengan jumlah air yang mengalir, akan menghasilkan nilai ekonomi air. Sutopo (2011) menyebutkan perusahaan-peusahaan AMDK di sekitar Tangkil dan Cinagara bersedia untuk membayar jasa lingkungan (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan masyarakat menerima PJL sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3. Nilai rataan tersebut dapat digunakan sebagai dasar perhitungan pembayaran jasa lingkungan. Forpela TNGGP dengan BB TNGGP tidak memakai metode valuasi ekonomi dikarenakan ingin membuat sebuah konsep partisipatif. Konsep ini mendorong anggota khususnya untuk mau memberikan kontribusi. Jika Forpela TNGGP memakai konsep perhitungan debit dan nilai ekonomi air dengan memaksakan pembayaran kepada para pemanfaat, dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan sumberdaya air. Para pemanfaat akan menekan jumlah air yang seharusnya disediakan kawasan untuk pemenuhan kebutuhan usaha maupun rumah tangga. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, maka proses partisipasi yang diharapkan tidak akan terjadi. Nilai pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota Forpela TNGGP. Forpela TNGGP mencoba membangun inisiatif para pemanfaat untuk memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang mereka sepakati. Nilai kontribusi tersebut kemudian ditetapkan sebagai iuran pokok dan iuran wajib anggota. Besaran nilai iuran tersebut tersaji pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai iuran pokok dan iuran wajib keanggotaan Forpela TNGGP Pemanfaat Air Iuran Pokok*) Iuran Wajib**) Komersial Rp 500.000-5.000.000,Rp 50.000-200.000,Non-Komersial Rp 50.000-200.000,Rp 20.000-100.000,Keterangan : Tanda *) menyatakan bahwa iuran ini dibayarkan satu bulan setelah menjadi anggota Forpela TNGGP; tanda **) menyatakan bahwa iuran dibayarkan anggota setiap bulan (USAID 2009). Besarnya nilai kontribusi yang diberikan para pemanfaat tergantung pada kondisi, sifat pemanfaatan, dan kebijakan perusahaan/instansi. Pemanfaat 32 komersial merupakan perusahaan-perusahaan maupun instansi yang memanfaatkan air untuk keperluan usaha (Lampiran 8). Pemanfaat non komersial merupakan masyarakat desa yang memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari dan pertanian. Kontribusi dari masing-masing pemanfaat dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah kontribusi dari masing-masing pemanfaat air No. 1 Pemanfaat Air PT Rejosari Bumi Iuran Pokok Rp 6.000.000 2 3 4 PT Pacul Mas Tani BPKH Cinagara STPP Cinagara - 5 Pusdiklat Karya Nyata Sumber: Data diolah (2011) - Iuran Wajib Rp 6.000.000/ tahun Rp 600.000/ tahun Rp 200.000500.000/tahun - Keterangan Sampai tahun 2011 Belum berpartisipasi Tahun 2007-2009 Tahun 2007- 2009 Belum berpartisipasi Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa pemanfaat air yang belum memberikan kontribusi. Hal tersebut terjadi karena beberapa alasan. Sebagai contoh, STPP Cinagara merasakan kesulitan untuk memberikan kontribusi karena tidak memiliki anggaran khusus untuk pembayaran iuran keanggotaan. STTP Cinagara menggunakan air dari kawasan TNGGP untuk keperluan rumah tangga instansi. PT Pacul Mas Tani menolak memberikan kontribusi selama tidak ada kegiatan dan upaya konservasi yang jelas dari Forpela TNGGP. Selain pemanfaat komersial, terdapat pula pemanfaat non komersial yang berasal dari masyarakat. Masyarakat melakukan pembayaran iuran melalui kelompok tani atau perangkat desa. Besarnya iuran dari masyarakat dan peruntukannya tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Besaran, pengelolaan serta peruntukan iuran yang ada di masyarakat Pemanfaat Masyarakat desa Tangkil Besarnya Iuran Rp 15.000,-/bulan Rp 15.000,- atau 5 kg gabah atau 2,5 kg beras/4 bulan (pasca panen) Rp 5.000,-/bulan Masyarakat Rp 1.000,-/bulan desa Cinagara Sumber: Data diolah (2011) Pengelola KT Garuda Ngupuk KT Garuda Ngupuk Perangkat desa (ulu-ulu) Kelompok sanitasi Peruntukan Pengelolaan mikro hidro Pengelolaan saluran air Bojong, Cioray, dan Jogjogan Perawatan saluran air Pemeliharaan WC umum 33 Pada umumnya masyarakat membayarkan iuran seperti yang ada pada Tabel 13. Iuran-iuran tersebut kemudian dikelola untuk masing-masing peruntukan. Pengelolaan iuran seperti yang terdapat di Tabel 13 tidak dilakukan oleh Forpela TNGGP melainkan langsung dikelola masyarakat melalui kelompok tani/lainnya. Berdasarkan pernyataan keuangan Forpela (2010) menyebutkan bahwa jumlah dana kompensasi yang terkumpul sampai tahun 2010, tercatat Rp 8.000.000. Pernyataan keuangan Forpela tersaji pada Tabel 14. Tabel 14 Pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP Tahun Pemasukan Pengeluaran 2009 40.000.000 18.500.000 2010 8.000.000 12.000.000 Sumber: Pernyataan keuangan Forpela TNGGP tahun 2009 dan 2010 Saldo 21.500.000 17.000.000 Tabel 14 menunjukkan pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP antara tahun 2009-2010. Dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. 5.1.3 Skema pembayaran jasa lingkungan air Pada tahun 2006, ESP-USAID bekerjasama dengan BB TNGP dan RCS melakukan inisiatif pengembangan program skema jasa lingkungan (PES) di kawasan TNGGP. Skema ini bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya air melalui pengembangan kemitraan dengan para pemanfaat jasa lingkungan air disekitar kawasan konservasi untuk mendukung konservasi berkelanjutan (Forpela 2009). Skema pembayaran jasa lingkungan air diawali dengan pengumpulan dana kompensasi dari para pemanfaat air oleh Forpela TNGGP. Pemanfaat-pemanfaat air berperan sebagai pembeli jasa lingkungan air (buyer). Forpela TNGGP berperan sebagai perantara (intermediary) dalam mekanisme ini. Forpela TNGGP mencari informasi, bernegosiasi dengan pihak lainnya dan menyelesaikan proses transaksi dengan pihak-pihak terkait. Skema pendanaan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan di kawasan TNGGP tersaji pada Gambar 6. 34 Pemanfaat Air dari kawasan TNGGP Perusahaan Swasta Instansi Pemerintah Iuran Pokok dan Iuran Wajib; In-kind CSR Masyarakat Forum Peduli Air TNGGP (Dewan Eksekutif dan Korwil) ESP, RCS, BB TNGGP Program Kerja Kegiatan Rehabilitasi dan Konservasi kawasan BB TNGGP Kolaborasi Program Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat ESP, RCS, YBUL, Mapala UI Keterangan:  Alur Pendanaan -ïƒ Fasilitasi KT Garuda Nupuk, KT Saluyu, KSM Cinagara Asri Gambar 6 Skema pendanaan jasa lingkungan air di TNGGP. Gambar 6 menunjukkan dana kompensasi berasal dari iuran pokok, iuran wajib, dan in-kind CSR dari para pemanfaat air yang dikumpulkan melalui Forpela. Dana kompensasi tersebut kemudian digunakan untuk menjalankan program kerja yang telah disepakati. Program kerja yang disepakati terbagi menjadi tiga komponen pokok. Komponen-komponen tersebut adalah kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan taman nasional, kolaborasi program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa penyangga. Selain itu, dana tersebut juga digunakan untuk administrasi dan manajemen Forpela TNGGP. Secara bertahap, BB TNGGP dan ESP-USAID mengembangkan mekanisme pembayaran jasa lingkungan untuk membiayai kegiatan konservasi kawasan TNGGP (USAID 2006). Skema pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di kawasan TNGGP ditunjukkan pada Gambar 7. 35 Hutan dan lahan masyarakat Memperbaiki kualitas air, mengurangi sedimentasi PDAM, perkebunan, pabrik, hotel, masyarakat hilir, wisatawan user fee, in-kind/ Rehabilitasi, restorasi, praktek pertanian ramah lingkungan MoU, Perda, Perbup, pengurangan pajak, donor ($$) Perdes Kegiatan : kepastian Pemilik/pengelola hutan/BB TNGGP/jaringan masyarakat DAS/LSM CSR, hak kelola masyarakat, pelatihan, pelayanan kesehatan, pendidikan, Fund raising M&E Komite Para Pihak TNGP, Forum DAS administrasi TA kampanye, patroli Sumber: RCS (2008) Gambar 7 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP. Gambar 7 menunjukkan bahwa skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP dimulai dari adanya peranan dari lahan masyarakat hulu dan hutan (kawasan TNGGP) untuk memperbaiki kualitas air dan mengurangi sedimentasi. Jasa air tersebut dimanfaatkan oleh para pemanfaat air. Selanjutnya, dana yang terkumpul tersebut digunakan untuk melakukan kegiatan maupun program kerja seperti pada Gambar 6. Para pihak seperti BB TNGGP dan masyarakat yang berada di wilayah hulu melakukan upaya rehabilitasi, restorasi dan praktik pertanian ramah lingkungan. Hal ini dilakukan untuk menjaga peranan dari lahan masyarakat hulu dam hutan (kawasan TNGGP). Hubungan dan kesepakatan para pihak terhadap pembayaran jasa lingkungan air diatur dalam MoU dan kesepakatan lainnya. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan taman nasional meliputi kegiatan seperti pengamanan kawasan patroli dan penanaman. Kegiatan ini merupakan penerapan rencana kerja yang disepakati. Selain itu, dibuat juga pembibitan tanaman-tanaman endemik yang ada di TNGGP, seperti rasamala 36 (Altingia excelsa) dan puspa (Schima walichii). Pusat pembibitan ini berada di desa Pancawati. Taman pengembangan Nasional skema Gunung Gede pembayaran jasa Pangrango lingkungan (TNGGP) air yang memiliki berbeda. Pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan air dilakukan pada tingkat taman nasional. Pengembangan tersebut belum mencapai pada tingkatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Empat DAS yang berhulu di kawasan TNGGP masih tergabung dalam satu skema pembayaran jasa lingkungan air yang sama. Hal ini dapat menimbulkan dampak berbeda jika dilihat dari karakteristik dan urgentitas pengelolaan masing-masing DAS. Selain itu, hubungan yang dibangun dari skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP belum mencakup hubungan hulu-hilir dalam arti luas. Hal ini dikarenakan penyedia maupun pemanfaat air dari kawasan TNGGP masih berada dalam ruang lingkup wilayah hulu dari suatu DAS. Pemanfaat air merupakan para pihak yang memanfaatkan air secara langsung dari kawasan taman nasional. Di lokasi lain, pembayaran jasa lingkungan air di DAS Cidanau misalnya, pemanfaat air berada di wilayah hilir yaitu kota Cilegon. Leimona et al. (2010) menyebutkan DAS Cidanau merupakan satu-satunya penyedia air untuk rumah tangga dan hampir 100 industri yang beroperasi di Cilegon. Salah satu industri tersebut adalah PT KTI yang merupakan satu-satunya pembeli jasa lingkungan air DAS Cidanau. Pengembangan skema pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP, pada dasarnya bertujuan untuk mendukung upaya konservasi taman nasional oleh berbagai pihak. Tujuan tersebut diturunkan pada tujuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air TNGGP. Tujuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan di TNGGP adalah untuk membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui inkubasi usaha terpadu. Berdasarkan proses dan skema yang dijalankan di TNGGP, mekanisme tersebut termasuk kedalam intermediary-based transaction. Landell-Mills dan Porras (2002) menyebutkan, dalam proses intermediary-based transaction, fasilitator berperan mengurangi biaya transaksi dengan mencari informasi, 37 bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada. 5.1.4 Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara Penerapan pembayaran jasa lingkungan air dilakukan secara kolaborasi oleh Forpela TNGGP dan pihak lainnya. Kolaborasi tersebut antara lain dilakukan Forpela TNGGP dengan ESP-USAID, RCS, Mapala UI, dan YBUL. Berdasarkan Forpela TNGGP (2009) terdapat beberapa program kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit), Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan kapasitas kelembagaan Forpela TNGGP, Program peningkatan kerjasama kemitraan pengelolaan sumberdaya air, Program pemberian susu pasteurisasi dan gemar menanam untuk siswa-siswi Sekolah Dasar di desa penyangga, dan Program studi banding dalam penerapan pembiayaan jasa lingkungan. Beberapa program Forpela TNGGP dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Desa Tangkil dan Cinagara merupakan dua dari enam MDK (Model Desa Konservasi) yang dicanangkan taman nasional. Program yang dilakukan di dua desa tersebut yaitu Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit) dan Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkann hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi kegiatan pelatihan-pelatihan usaha dan sekolah lapang serta pemberian bantuan untuk inkubasi usaha masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan melalui kelompok-kelompok tani yang ada di kedua desa. Kegiatan pelatihan dan pemberian bantuan di kedua desa tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 No. 1 Jenis kegiatan dan bantuan dalam penerapan pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara Pelaksana kegiatan KT Garuda Ngupuk desa Tangkil Kegiatan Pelatihan pembuatan pupuk, sumur resapan, sanitasi lingkungan, PLTMH (pelatihan mikrohidro), budidaya jamur, tumbuhan obat, serta beternak kelinci dan domba Bantuan yang diberikan 30 ekor domba dan dana sebesar Rp 800.000,-; PLTMH; kelinci; benih sengon dan gmelina. 38 Tabel 15 (Lanjutan) No. 2 Pelaksana kegiatan KT Saluyu desa Tangkil KSM Cinagara Asri desa Cinagara Kegiatan Sekolah lapang dan pelatihan pembuatan kripik wortel 3 Pelatihan usaha perikanan, peternakan kambing, kelinci, dan tanaman hias. Selain itu, dilakukan pelatihan sanitasi lingkungan di kampung Pojok. Sumber: Data diolah (2011) Bantuan yang diberikan Domba dan kelinci bantuan pembuatan 2 unit WC umum Pelatihan-pelatihan seperti pada Tabel 15 bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Selain itu, diharapkan pelatihan tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah usaha bagi anggota kelompok tani di kedua desa. Apabila usaha ini berjalan, maka diharapkan akan menjadi mata pencaharian tambahan dan meningkatkan tingkat kesejahteraan anggota kelompok tani di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu. Bantuan tersebut diberikan oleh YBUL atas inisiasi dari Mapala UI, ESP, dan Forpela TNGGP. Mapala UI menyampaikan kebutuhan masyarakat tersebut kepada ESP. Berdasarkan hasil pembicaraan dengan ESP, informasi tersebut kemudian disampaikan ke YBUL. Bantuan ini bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas. Pengembangan listrik berbasis komunitas ini diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Mesin mikrohidro tersebut diletakkan di saluran air jogjogan dengan ketinggian 2,5 meter. Mesin tersebut kemudian dikelola oleh anggota kelompok tani Garuda Ngupuk sesuai dengan naskah kesepahaman. Bantuan yang diberikan kepada masyarakat tersaji pada Gambar 8. (a) (b) Gambar 8 Bantuan yang diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu, desa Tangkil. Ket: (a) Domba; (b) Mesin mikrohidro. 39 Masyarakat kampung Gunung Batu diberikan benih sengon (Paraserienthes falcataria) dan gmelina (Gmelina arborea) untuk ditanam disekitar rumah dan daerah penyangga kawasan. Pemberian bantuan benih dilakukan pada November 2009. Program Bank Bibit tidak terlihat di kedua desa selama pengambilan data. Adanya beberapa kendala di kedua desa yang menyebabkan program ini tidak berjalan. Selain bantuan dan pelatihan tersebut, masyarakat diberikan uang sebesar Rp 25.000/kegiatan yang diikuti. Pemberian imbalan melalui penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan tersebut tergolong pemberian imbalan non finansial. Hal ini dikarenakan imbalan yang diberikan berupa kegiatan pelatihan dan bantuan bukan berupa dana. Sependapat dengan Gouyon (2004), bahwa pemberian imbalan non finansial dilakukan melalui penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan. 5.1.5 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air Forpela TNGGP menerapkan perioditas kegiatan 3 tahunan dan periode terakhir berakhir di tahun 2009 (Forpela TNGGP 2009). Kegiatan tiga tahunan berikutnya disusun dalam sebuah Rencana Strategis (Renstra) Forpela TNGGP 2010-2013. Kegiatan pemberian bantuan dan pelatihan-pelatihan di desa Tangkil dan Cinagara berlangsung antara tahun 2007-2009. Tidak ada kurun waktu perjanjian secara khusus untuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan air itu sendiri. Kurun waktu perjanjian yang diacu merujuk pada MoU antara pemanfaat air dengan Forpela TNGGP, dan antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP. Antara rentang tahun 2009-2011, belum ada kegiatan yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Saat ini, Forpela TNGGP masih melakukan pengumpulan dana dari para pemanfaat air. Dana tersebut belum disalurkan untuk program di desa Tangkil dan Cinagara. Dana tersebut lebih banyak dialokasikan untuk membantu kegiatan taman nasional seperti pengamanan kawasan dan program kerja Forpela TNGGP lainnya. Forpela TNGGP (2010) menyebutkan, di tahun 2010, sebagian besar penerapan kegiatan Forpela TNGGP merupakan lanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Program-program tersebut antara lain: penguatan kapasitas keanggotaan Forpela TNGGP wilayah Cianjur, sosialisasi 40 program susunisasi dan bibit pohon, serta peningkatan kapasitas SDM pengelola pemberdayaan masyarakat melalui TOT petugas kehutanan. Proses pengumpulan dana dari para pemanfaat hingga saat ini masih sulit dilakukan. Sebanyak dua dari lima pemanfaat air yang diwawancarai belum bersedia memberikan kontribusi. Pemanfaat-pemanfaat bersedia membayarkan kontribusi apabila Forpela TNGGP melakukan kegiatan-kegiatan lingkungan atau pemberdayaan masyarakat secara nyata. Selain itu, beberapa pemanfaat juga merasa kesulitan memberikan kotribusi dikarenakan belum adanya anggaran khusus untuk pembayaran iuran keanggotaan. Pemanfaat-pemanfaat juga mempertanyakan transparansi keuangan Forpela TNGGP. Pemanfaat yang telah memberikan kontribusi berupa iuran keanggotaan, tidak diberikan kwitansi pembayaran. Selain itu, pemanfaat (khususnya yang memberikan kontribusi) tidak diberikan salinan laporan keuangan Forpela TNGGP. Dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab pemanfaat pada akhirnya enggan memberikan kontribusi. Kelompok tani yang dibentuk ketika penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air hampir bubar. Mereka tidak melakukan kegiatan terkait pembayaran jasa lingkungan. Hal ini berdampak bagi pengelolaan bantuanbantuan yang diberikan. Bantuan domba yang diberikan di lokasi tersebut masih terkelola dengan baik. Domba-domba tersebut dititipkan pada beberapa warga. Akan tetapi, terdapat pengelolaan bantuan yang tidak berjalan sesuai naskah kesepahaman. Contohnya pada pengelolaan PLTMH di kampung Gunung Batu desa Tangkil. Sebagian besar anggota kelompok tani tidak bersedia membayar iuran untuk pengelolaan PLTMH dikarenakan alat pembangkit listrik tersebut tidak berfungsi. PLTMH diberikan oleh YBUL pada November 2009 untuk digunakan sebagai pembangkit listrik untuk kebutuhan masyarakat kampung Gunung Batu. Hal ini dikarenakan warga kampung Gunung Batu hidup tanpa adanya aliran listrik. Namun, yang terjadi, PLTMH tersebut tidak mampu mengaliri listrik ke 80 KK yang ada di kampung Gunung Batu. Hal ini terjadi karena penempatan 41 PLTMH di lokasi tersebut dianggap kurang tepat, debit yang digunakan untuk memutar turbin sudah cukup. Namun, ketinggian tempat tidak memadai untuk mengoperasikan PLTMH. Ketinggian tempat hanya 2,5 meter, sedangkan ketinggian minimal untuk pengoperasian PLTMH adalah 6 meter. Hal tersebut membuat PLTMH hanya mampu mengaliri kebutuhan listrik untuk 20 KK. Adanya konflik yang terjadi di masyarakat kampung gunung batu sendiri, pada akhirnya menyebabkan PLTMH tersebut tidak digunakan. Kondisi masyarakat kampung gunung batu berpendidikan rendah sehingga sering terjadi kecemburuan sosial. Selain itu, masyarakat kampung gunung batu juga kurang memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok. Kondisi yang demikian menyulitkan kelompok untuk mensosialisasikan program bantuan yang datang termasuk dari Forpela TNGGP/ESP-USAID. Bantuan yang diterima masyarakat kampung Pojok desa Cinagara berupa dua unit WC umum juga tidak digunakan. Iuran yang diperuntukkan untuk pengelolaan bantuan tersebut tidak dijalankan warga. Hal ini mengakibatkan fasilitas umum tersebut tidak bisa difungsikan lagi untuk keperluan MCK masyarakat. Masyarakat kampung Pojok pada akhirnya kembali melakukan kegiatan MCK di aliran sungai Cinagara. Gambar 9 Bantuan berupa WC umum di desa Cinagara. Program Bank Bibit tidak terlihat di kedua desa selama pengambilan data. Adanya beberapa kendala di kedua desa yang menyebabkan program ini tidak berjalan. Berdasarkan hasil wawancara, anggota kelompok tani di kampung Gunung Batu hanya diberikan benih untuk kemudian ditanam di sekitar rumah dan daerah penyangga taman nasional. Namun, sampai saat ini, hanya beberapa warga yang kemudian menjadikan benih tersebut menjadi bibit tanaman. Bibit tanaman tersebut pada saat ini belum mencapai hasil (panen). 42 Rencana peraturan mengenai pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi tidak jadi disusun oleh Dirjen PJLKKHL. Hal ini menyebabkan, sampai saat ini aturan yang diacu dalam pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP hanya berdasarkan surat edaran Dirjen PHKA, perjanjian-perjanjian kerjasama, naskah kesepahaman serta peraturan perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum. 5.2 Keterlibatan Para Pihak 5.2.1 Identifikasi para pihak Para pihak didefinisikan sebagai semua pihak baik individu maupun suatu kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan dan penerapan dari suatu mekanisme (Groenendjik 2003). Proses indentifikasi para pihak merupakan proses awal dalam analisis para pihak. Proses identifikasi dimulai dengan mendaftar semua pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP antara lain: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara, BB TNGGP, Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, Mapala UI, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (Dirjen PJLKKHL), Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (Dinas PSDA) Kab. Bogor, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Dinas ESDM) Kab. Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, YBUL, dan pemanfaat-pemanfaat air (PT Rejosari Bumi, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara dan Pusdiklat Karya Nyata). Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian para pihak menjadi pihak primer dan sekunder. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan para pihak dengan mekanisme yang ada. Pihak primer didefinisikan sebagai pihak yang terlibat langsung dan mengharapkan manfaat dari suatu mekanisme. Pihak lain di luar stakeholder primer yang masih terlibat dalam mekanisme disebut pihak sekunder (Groenendjik 2003). Berdasarkan hasil identifikasi, pihak-pihak yang termasuk dalam pihak primer dan sekunder tersaji pada Gambar 10. 43 Pihak sekunder Pihak Primer • KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara; para pemanfaat air; perusahaan AMDK; dan BB TNGGP • Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, YBUL, Mapala UI, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan BPDAS Citarum-Ciliwung Gambar 10 Klasifikasi para pihak. Gambar 10 menunjukkan pihak primer pada umumnya merupakan pembeli dan penyedia jasa lingkungan. Sesuai dengan definisi pembayaran jasa lingkungan menurut Wunder (2005), transaksi pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh minimum satu penyedia jasa dan minimum satu pembeli jasa lingkungan. Selain itu, terdapat pula perusahaan-perusahaan AMDK di sekitar lokasi penelitian (Lampiran 9). Namun, pihak ini belum terlibat dalam mekanisme. Pihak sekunder yang teridentifikasi merupakan pihak yang terlibat selain pihak primer dalam mekanisme. Gambar 10 menunjukkan, pada umumnya, pihak sekunder merupakan lembaga pemerintahan maupun LSM. Berdasarkan identifikasi hasil wawancara, pihak yang menjadi pihak sekunder dalam mekanisme ini adalah Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, YBUL, Mapala UI. Selain pihak-pihak tersebut, Direktorat Jenderal PJLKKHL dan Dinas PSDA, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Dinas ESDM) Kab. Bogor, dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor juga termasuk ke dalam pihak sekunder dalam mekanisme. BPDAS Citarum-Ciliwung termasuk kedalam pihak sekunder, tetapi pihak ini belum terlibat dalam mekanisme. 5.2.2 Peranan para pihak Peranan masing-masing pihak yang terlibat dilihat berdasarkan tingkatan para pihak seperti pihak primer dan sekunder. Secara umum, berdasarkan hasil identifikasi, para pihak terbagi menjadi menjadi empat kategori utama yaitu sebagai penyedia jasa lingkungan, pembeli jasa lingkungan, perantara, dan pembuat kebijakan. Peranan masing-masing pihak tersaji pada Tabel 16. 44 Tabel 16 Peranan masing-masing pihak No. 1 Peranan Penyedia jasa lingkungan air 2 Pembeli jasa lingkungan air 3 Perantara 4 Pembuat kebijakan Para Pihak KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara, dan BB TNGGP Pemanfaat-pemanfaat air dari kawasan TNGGP (yang tergabung dalam Forpela TNGGP) Pembeli potensial: perusahaan AMDK di sekitar lokasi penelitian Forpela TNGGP, ESP-USAID, RCS, Mapala UI Perantara potensial: BPDAS Citarum-Ciliwung BB TNGGP, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan Sumber: Data diolah (2011) Penyedia jasa lingkungan berperan untuk menjaga kelestarian daerah hulu agar jasa lingkungan yang ditransaksikan dapat tersedia secara berkelanjutan. Pembeli jasa lingkungan berperan sebagai pihak yang memberikan insentif kepada penyedia jasa dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Secara khusus, peranan sebagai perantara tersebut terbagi lagi menjadi peranan yang lebih spesifik. Hal ini terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan. Forpela TNGGP berperan sebagai wadah mediasi dan fasilitasi proses yang ada. Forpela TNGGP sebagai sebagai wadah yang berperan untuk mengumpulkan dana kompensasi dari para pemanfaat. Selain itu, Forpela TNGGP juga berperan sebagai inisiator. Forpela TNGGP menginisiasi upaya-upaya yang mungkin bisa dikembangkan khususnya bagi masyarakat untuk mendorong kelestarian kawasan konservasi. ESP-USAID berperan sebagai fasilitator ke kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara melalui kegiatan penguatan kapasitas. RCS berperan memfasilitasi pendistribusian dana Forpela TNGGP untuk diterapkan di tingkat kawasan dan masyarakat daerah penyangga. Kedua lembaga ini juga berperan dalam inisiasi pembentukan Forpela TNGGP. Mapala UI berperan untuk memfasilitasi kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara. Mapala UI memfasilitasi kebutuhan anggota KT dengan pihak-pihak yang bersedia mendukung. YBUL berperan untuk menyalurkan bantuan infrakstuktur (pengembangan PLTMH) kepada masyarakat kampung Gunung Batu desa Tangkil. 45 Direktorat Jenderal PJLKKHL, BB TNGGP, serta dinas terkait memiliki peranan untuk mengatur jalannya mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada di kawasan TNGGP melalui kebijakan yang dibuat. Selain itu, BB TNGGP berperan mengawasi berjalannya kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan taman nasional. Dinas PSDA juga mendorong untuk mensinergiskan pengelolaan sumber daya air di luar dan di dalam kawasan konservasi. Pihak yang berpotensi untuk terlibat secara langsung belum memiliki peranan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada. Namun, pihak-pihak ini memiliki potensi peran yang kemudian dapat dikembangkan dalam pelaksanaan mekanisme ini. Perusahaan-perusahaan AMDK yang terdapat di sekitar lokasi penelitian berpotensi untuk berperan sebagai pembeli jasa lingkungan air. BPDAS Citarum-Ciliwung berpotensi untuk berperan sebagai fasilitator dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS. Namun, potensi peranan ini juga harus dipertimbangkan dengan tingkat ketertarikan pihak ini terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berlangsung. 5.2.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mendukung tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau kebalikannya (Groenendjik 2003). Kepentingan dari masing-masing pihak kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Kepentingan (interest) dari tiap para pihak yang diidentifikasi tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Kepentingan (interest) masing-masing pihak Para Pihak KT Saluyu KT Garuda Ngupuk Kepentingan (Interest) Pihak primer Pendampingan kepada KT Peningkatan kesejahteraan Hutan tetap lestari Pemilihan sub usaha yang sesuai dengan masyarakat 1. Peningkatan kesejahteraan 2. Kepercayaan untuk mengelola bantuan 3. Program baru yang dijalankan sebagai penerapan mekanisme 1. 2. 3. 4. Potensi dampak terhadap proyek * Prioritas kepentingan relatif* -/+ -/+ + - 1 -/+ -/+ - 1 46 Tabel 17 (Lanjutan) Para Pihak Kepentingan (Interest) KSM Cinagara Asri 1. Pemahaman mengenai program yang dijalankan 2. Kompensasi untuk masyarakat yang melakukan penanaman 3. Peningkatan kualitas SDM 1. Kebutuhan air terpenuhi 2. Pelestarian kawasan TNGGP 3. Peninjauan pemanfaaat lain 4. Ikut serta dalam usaha penyelamatan lingkungan 1. Kebutuhan air terpenuhi 2. Ikut serta dalam mekanisme 1. Monitoring secara berkala 2. Kontribusi para pemanfaat 3. Kelestarian kawasan TNGGP 4. Kesejahteraan masyarakat desa penyangga Pihak sekunder 1. Pemahaman menyeluruh terhadap mekanisme 2. Kesejahteraan masyarakat desa penyangga 3. Bantuan sosialisasi mekanisme dari BB TNGGP 4. Kontribusi dari pemanfaat 5. Kejelasan peran masing-masing pihak 1. Lembaga independent yang mengatur mekanisme 2. Program berjalan baik 1. Payung hukum yang jelas terkait mekanisme 2. Dukungan program yang sinergis dengan visi misi RCS 1. Aplikasi energi terbarukan untuk masyarakat pedesaan 2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui energi terbarukan 1. Penguatan KT di kedua desa 2. Kesejahteraan masyarakat meningkat 1. Optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi 1. Memfasilitasi pengelolaan sumberdaya air 2. Mengembalikan kondisi dan fungsi sungai sebagai sumber air untuk menunjang daya dukung lingkungan 3. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan peran swasta 1. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan energi 2. Peningkatan upaya konservasi lingkungan dan perlindungan masyarakat Pemanfaatpemanfaat air Perusahaan AMDK BB TNGGP Forpela TNGGP ESP-USAID RCS YBUL Mapala UI Dirjen PJLKKHL Dinas PSDA Kab. Bogor Dinas ESDM Kab. Bogor Potensi dampak terhadap proyek * - Prioritas kepentingan relatif* 1 ? ? + + -/+ + 1 + -/+ -/+ + -/+ 1 - 2 1 -/+ ? + -/+ + 3 + -/+ 3 + + 4 -/+ -/+ + 4 + 3 2 ? + -/+ + 5 47 Tabel 17 (Lanjutan) Para Pihak Potensi dampak terhadap proyek * + Kepentingan (Interest) Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor BPDAS CitarumCiliwung Prioritas kepentingan relatif* 1. Optimalisasi perlindungan dan 3 pemanfaatan sumberdaya alam 2. Peningkatan pengetahuan, sikap, ? keterampilan SDM 1. Pengembangan kelembagaan dan + 3 kemitraan pengelolaan DAS 2. Pengembangan model pengelolaan ? DAS Keterangan : Tanda positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?) diisi pada kolom potensi dampak, sedangkan kolom tingkat kepentingan relatif diisi dengan skala 0-5 berdasarkan kebijakan dan tujuan mekanisme (Groenendjik 2003). Tabel 17 menunjukkan bahwa terdapat banyak kepentingan para pihak yang belum diakomodasi oleh mekanisme yang ada. Kepentingan para pihak yang dapat terakomodasi oleh mekanisme yang ada umumnya berkaitan kesesuaian antara program kerja para pihak dan mekanisme yang ada. Kepentingan yang berkaitan dengan hasil yang diharapkan dari mekanisme, seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat, belum terakomodasi secara jelas. Hal ini mengindikasikan hasil dari mekanisme yang berjalan belum terukur secara jelas. Selanjutnya, dimasukkan pula atribut lainnya yaitu pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance). Masing-masing pihak memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis. Groenendjik (2003) mendefinisikan pengaruh (influence) sebagai kewenangan para pihak untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan. Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada mekanisme (Groenendjik 2003). Oleh karena itu, tingkat kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas dari mekanisme. Tingkat pengaruh dan kepentingan dari masing-masing pihak tersaji pada Gambar 11. 48 Gambar 11 Diagram matriks tingkat kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak. Gambar 11 merupakan pemetaan para pihak berdasarkan tingkat pengaruh dan kepentingan. Pemetaan tersebut didasarkan pada hasil skoring (Lampiran 10). Groenendjik (2003) menyatakan bahwa kuadran A, B, dan C merupakan pihak kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi masingmasing kuadran pada Gambar 12 yaitu: 1. Kuadran A mengimplikasikan para pihak dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Pihak-pihak yang terdapat dalam kuadran ini adalah KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri, para pemanfaat air, perusahaan AMDK, ESPUSAID, dan RCS. Penyedia jasa (KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri) dan pembeli jasa (pemanfaat air dan perusahaan AMDK), memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap mekanisme. Hal ini dikarenakan pihak-pihak tersebut merupakan subyek dari mekanisme yang ada. Selain itu, mekanisme ini merupakan cara untuk mengakomodasi kebutuhan 49 (kepentingan) mereka. Namun, di sisi lain, pihak-pihak tersebut tidak memiliki pengaruh yang tinggi terhadap mekanisme. Pihak-pihak ini bukan merupakan pengatur regulasi mekanisme. Mereka tidak dapat mengupayakan tindakan apapun apabila mekanisme ini mengalami gangguan dalam pelaksanaannya. ESP-USAID dan RCS memiliki kepentingan tinggi karena pihak ini merupakan inisiator dalam pembentukan mekanisme yang ada. Sama halnya dengan penyedia dan pembeli jasa, pihak ini memiliki tingkat pengaruh yang rendah. Walaupun pihak ini merupakan inisiator pembentukan mekanisme, tetapi pihak ini bukan merupakan pengatur regulasi mekanisme. Groenendjik (2003) menyebutkan pihak-pihak dalam kuadran ini memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka. 2. Kuadran B mengimplikasikan para pihak dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap keberhasilan mekanisme. Pihak-pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah BB TNGGP, Forpela TNGGP, Dirjen PJLKKHL, Dinas PSDA, Distanhut, dan BPDAS CitarumCiliwung. Pihak-pihak dalam kuadran ini merupakan pembuat dan pengatur regulasi terhadap mekanisme yang ada. Regulasi merupakan titik awal dari penerapan mekanisme. Tingkat kepentingan pihak yang berada di kuadran ini juga tergolong tinggi terhadap mekanisme. Kepentingan pihak yang berada di kuadran ini secara umum berkaitan dengan program pelestarian lingkungan (DAS maupun kawasan taman nasional) dan pemberdayaan masyarakat yang terakomodasi dari mekanisme ini. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan pihak-pihak ini (Groenendjik 2003). 3. Kuadran C mengimplikasikan para pihak yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah Dinas ESDM. Pihak ini memiliki tingkat pengaruh yang tinggi tetapi memiliki tingkat kepentingan yang rendah. Dalam kaitannya dengan tingkat kepentingan, pihak ini tidak memiliki hubungan langsung dengan mekanisme. Namun, kedudukan dinas ini sebagai lembaga pemerintahan, memiliki kewenangan untuk membuat dan mengatur regulasi. Apabila kepentingan pihak ini tidak sejalan dengan mekanisme yang ada, pihak 50 ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan (Groenendjik 2003). Oleh karena itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen terhadap pihak ini. 4. Para pihak pada kuadran D memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap mekanisme. Pihak yang terdapat pada kuadran ini adalah YBUL dan Mapala UI. Pihak ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung. Pihak ini hanya berperan sebagai fasilitator dan donor serta tidak memiliki kepentingan khusus terhadap mekanisme. Pihak ini juga tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap mekanisme. Dapat dikatakan, pihak ini berada di luar mekanisme yang berjalan. Pihak ini mungkin memerlukan monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah (Groenendjik 2003). 5.2.4 Hak dan kewajiban para pihak Hak dan kewajiban para pihak dilihat berdasarkan dokumen terkait dan hasil wawancara terhadap para pihak. Dokumen terkait yang diacu antara lain Naskah Kesepahaman Pengelolaan PLTMH, rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan secara terpadu dan berkelanjutan, AD/ART Forpela TNGGP, MoU Pemanfaat air dengan TNGGP, dan MoU kemitraan pemanfaatan air antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP. Pengacuan terhadap dokumen-dokumen tersebut dikarenakan dalam mekanisme ini, belum terdapat perjanjian langsung antara anggota kelompok-kelompok tani dengan pemanfaat-pemanfaat air. Berdasarkan Naskah Kesepahaman Pengelolaan PLTMH, masyarakat desa Tangkil menyepakati hal-hal berikut: 1. Mendukung dan menjadikan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebagai upaya mendorong upaya konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan dan bermanfaat bagi masyarakat lokal. 2. Menyepakati nilai iuran/kontribusi/kompensasi dari hasil pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro sebesar Rp 15.000,-/bulan masingmasing pintu (rumah). Dana tersebut akan diperuntukkan untuk kegiatan pengelolaan dan perawatan perangkat PLTMH (turbin, dinamo) dan bangunan fisik pendukungnya (bendungan, saluran air, bak penampungan, jaringan listrik, dan rumah turbin). 51 3. Menunjuk dua orang warga masyarakat kampung Gunung Batu yang diperuntukkan untuk pengelolaan dan perawatan perangkat PLTMH yang ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan dan musyawarah bersama. Selain berdasarkan naskah kesepahaman pengelolaan PLTMH, anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara juga menyepakati untuk mendukung dan menjadikan rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan secara terpadu dan berkelanjutan sebagaimana terlampir sebagai salah satu acuan dalam penyusunan, perencanaan, pengembangan dan pembangunan daerah yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Kesepakatan ini tercantum dalam MoU antara Forpela TNGGP dengan enam MDK tentang Pengembangan Desa Produktif Unggulan Bagi Peningkatan Ekonomi Masyarakat. Melalui kedua kesepakatan tersebut anggota KT Saluyu dan KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, serta KSM Cinagara Asri desa Cinagara berkewajiban untuk mengelola bantuan yang diberikan dan mendukung pembangunan MDK. Hak masyarakat memang tidak secara langsung terungkap dari kedua kesepakatan tersebut. Namun, jika dilihat dari kedua kesepakatan tersebut, anggota ketiga KT tersebut memiliki hak untuk menerima bantuan PLTMH dan mengembangkan desa Tangkil dan Cinagara sebagai desa produktif unggulan untuk peningkatan ekonomi mereka. Selain anggota kelompok tani, pemanfaat-pemanfaat air baik yang sudah terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP ataupun belum terdaftar memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU Pemanfaat air dengan TNGGP. Hak dan kewajiban para pemanfaat air tersebut tersaji pada Tabel 18. 52 Tabel 18 Pihak yang terlibat Pemanfa at air* Pemanfa at air* Hak dan kewajiban pemanfaat air berdasarkan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU dengan BB TNGGP Hak** Kewajiban** Keterangan - Hak mendapatkan fasilitas dari dewan pengurus - Hak memilih dan dipilih sebagai pengurus - Hak menyampaikan pendapat - Hak mengikuti rapat tahunan Forpela TNGGP - Membayar iuran anggota - Menjaga citra Forpela TNGGP - Mematuhi AD/ART Forpela TNGGP - Mendukung pelaksanaan program Forpela TNGGP *Sudah terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP **Tercantum dalam Anggaran Dasar Forpela TNGGP *Belum terdaftar menjadi anggota Forpela TNGGP dan memiliki MoU dengan BB TNGGP **Tercantum dalam MoU antara Pemanfaat Air dengan BB TNGGP - Memanfaatkan air yang bersumber dari kawasan TNGGP - Memasang dan memelihara instalasi air - Memperoleh dukungan administrasi dan perizinan untuk pelaksanaan kegiatan yang telah dirancang bersama - Bersama-sama BB TNGGP melakukan pengamanan instalasi air yang dipasang di dalam kawasan - Menyusun rencana kerja - Melaksanakan rencana kerja yang telah ditetapkan - Memberikan sebagian air yang dimanfaatkan kepada masyarakat sekitarnya - Membantu secara partisipatif dalam upaya perlindungan dan pelestarian kawasan TNGGP dalam bentuk: 1) melaporkan setiap pelanggaran/gangguan terhadap kawasan TNGGP yang ditemui, dilihat, dan/atau didengar kepada petugas TNGGP; 2) bersama-sama petugas TNGGP ikut serta melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap gangguan kawasan TNGGP; 3) menyebarluaskan informasi tentang upaya konservasi; 4) menanam pohon jenis lokal TNGGP dalam rangka perlindungan tata air di kawasan TNGGP - Melaporkan hasil kegiatan secara tertulis tiap enam bulan kepada BB TNGGP - Wajib menjadi anggota Forpela TNGGP Sumber: AD/ART Forpela TNGGP (2006) dan MoU antara BB TNGGP dengan desa Pasir Buncir (2008). Tabel 18 menggambarkan adanya perbedaan hak dan kewajiban pemanfaat air dikarenakan status keanggotaan dalam Forpela TNGGP yang berbeda. Pemanfaat yang telah menjadi anggota Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban sebagai anggota sebuah organisasi. Pemanfaat air yang belum menjadi anggota Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban terhadap BB TNGGP 53 selaku pihak yang memberikan izin pemanfaatan air. BB TNGGP dan Forpela TNGGP memiliki hak dan kewajiban yang tercantum dalam MoU kemitraan pemanfaatan air. Hak dan kewajiban tersebut tersaji pada Tabel 19. Tabel 19 Hak dan kewajiban BB TNGGP dan Forpela TNGGP berdasarkan MoU kemitraan tentang pemanfaatan air dari kawasan TNGGP No. Pihak yang terlibat 1 BB TNGGP 2 Forpela TNGGP Hak Kewajiban - Mendapat dukungan dari Forpela TNGGP dalam rangka kegiatan: 1) Pengkajian dan pengembangan pemanfaatan air dari kawasan TNGGP; 2) Pengamanan, rehabilitasi, dan konservasi, di kawasan TNGGP; 3) Pelaksanaan kegiatan yang menunjang pelestarian TNGGP dan peningkatan peran serta masyarakat; 4) Sosialisasi dan penyuluhan KSDAE kepada masyarakat di daerah penyangga TNGGP; 5) Memperkuat kapasitas para pemanfaat air yang berasal dari kawasan TNGGP dalam rangka mendukung program pelestarian kawasan. - Memanfaatkan hasil kegiatan kemitraan ini - Dapat memberi rekomendasi bagi calon pemanfaat air kepada BB TNGGP - Dapat menggunakan iuran anggota dan sumber pendanaan lainnya yang tidak mengikat dalam rangka pelaksanaan RKL dan RKT - Menilai dan mengesahkan RKL dan RKT - Memfasilitasi kegiatan pengembangan pemanfaatan air dari kawasan TNGGP - Melakukan pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan Forpela TNGGP - Menyusun RKL dan RKT - Melaksanakan RKL dan RKT yang telah disahkan - Mengkoordinir dan memungut iuran dari anggota Forpela TNGGP - Memberikan dukungan kepada BB TNGGP dalam setiap program yang tercantum pada hak BB TNGGP - Berkoordinasi dengan BB TNGGP dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan program yang tercantum pada hak BB TNGGP - Melaporkan secara tertulis setiap hasil kegiatan Forpela TNGGP Sumber: MoU kemitraan BB TNGGP dan Forpela TNGGP (2008) Selain berdasarkan MoU dan Naskah kesepahaman yang dibuat, hak dan kewajiban masing-masing pihak juga dilihat berdasarkan hasil wawancara. Hasil wawancara mendifinisikan para pihak beserta hak dan kewajiban masing-masing 54 pihak yang tidak tercantum dalam MoU. Tabel 20 menjelaskan hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara. Tabel 20 Hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara No. 1 2 Pihak yang terlibat Anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri Pemanfaat air Hak Mendapatkan dan mengelola bantuan 3 BB TNGGP 4 Forpela TNGGP 5 ESP-USAID 6 RCS - 7 Mapala UI - Mendapatkan pasokan air untuk kebutuhan mereka Mendapatkan bantuan dari berbagai pihak untuk menjaga kelestarian kawasan TNGGP Forpela TNGGP dapat memanfaatkan potensi sumberdaya air yang ada di kawasan TNGGP, dengan aturan main yang telah disepakati. - Kewajiban Membayar iuran air yang telah disapakati, memelihara bantuan yang diberikan, menjaga kelestarian kawasan TNGGP. Membayar iuran, menjaga jaringan air, melakukan upaya konservasi dan menjaga kelestarian sumber air. Mengawasi serta memberikan monitoring dan evaluasi kepada para pihak khususnya pemanfaat air Memberikan kontribusi dalam upaya pelestarian dan perlindungan kawasan TNGGP dengan berbagai pogram. Memfasilitasi mekanisme yang berlangsung tetapi tidak langsung berhubungan dengan mekanisme yang ada. Mensosialisasikan peran Forpela TNGGP kepada para pihak serta fundraising untuk sinergitas program RCS dengan Forpela TNGGP. Mendampingi dan memberikan motivasi kepada masyarakat di saat ada program yang datang kepada masyarakat. Sumber: Data diolah (2011) Berdasarkan MoU dan hasil wawancara, terdapat beberapa perbedaan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Berdasarkan hasil wawancara, para pihak mendefinisikan hak dan kewajiban masing secara luas. Berbeda dengan hasil wawancara, MoU menjelaskan hak dan kewajiban para pihak dengan lebih rinci. Disamping itu, terdapat beberapa pihak yang tidak tercantum pada MoU maupun naskah kesepahaman. Pihak-pihak tersebut merupakan pihak-pihak yang berperan sebagai perantara dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Para pihak tersebut mendefinisikan hak dan kewajiban mereka melalui wawancara. 55 Proses pemenuhan hak dan kewajiban tersebut dilihat dari keterlibatan masing-masing pihak dan apa yang terjadi selama mekanisme ini berjalan. Secara umum, pemenuhan hak masing-masing pihak sudah terpenuhi. Anggota kelompok tani telah menerima bantuan; para pemanfaat (anggota Forpela TNGGP dan bukan anggota) dapat memanfaatkan air dari kawasan TNGGP sesuai dengan ketentuan yang ada; dan BB TNGGP mendapat bantuan pengamanan dan konservasi kawasan dari masyarakat, pemanfaat, dan Forpela TNGGP. Berbeda dengan pemenuhan hak, pemenuhan kewajiban para pihak tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran iuran dari para pemanfaat dan masyarakat tidak berjalan lancar. Dua dari lima pemanfaat yang diwawancarai, belum memberikan kontribusi berupa iuran kepada Forpela TNGGP. Selain itu, anggota KT Garuda Ngupuk, desa Tangkil juga tidak lagi menjalankan iuran pengelolaan PLTMH. Pihak lainnya yang menjadi perantara dalam mekanisme ini juga dirasa kurang memberikan fasilitasi maupun monitoring kepada pihak lainnya sebagai salah satu dari kewajiban mereka. Proses pemenuhan kewajiban para pihak tersebut kemudian menjadikan mekanisme ini kurang berjalan dengan baik. 5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP Forpela TNGGP menginginkan masyarakat diberdayakan melalui penguatan peran agar dapat berpartisipasi dengan tidak selalu reaktif, khususnya menyangkut kebijakan pemberdayaan ekonomi kemasyarakatan (USAID 2009). USAID (2009) juga menyebutkan Forpela TNGGP berupaya menciptakan peluang dan terobosan baru, khususnya dalam menciptakan keseimbangan baru dalam sistem ekonomi pedesaan yang kondusif bagi tumbuhnya usaha mikro, kecil dan menengah yang mandiri. Forpela TNGGP mencoba mengembangkan dan menerapkan pendekatan PJL secara menyeluruh yang sesuai untuk pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) dan menekankan pada keseimbangan upaya pengentasan kemiskinan dengan konservasi, serta mempertimbangkan keadilan sosial dan kesetaraan. USAID (2009) menyatakan bahwa Forpela TNGGP memiliki skema PJL yang berbeda, yaitu skema yang melakukan upaya konservasi taman nasional 56 serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Skema ini dijalankan melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga. Salah satu caranya adalah dengan membangun pusat pembibitan tanaman atau usaha produktif unggulan yang bisa menunjang peningkatan perekonomian masyarakat. Hal ini dilakukan dengan harapan pada masa mendatang masyarakat sejahtera dan hutan tetap lestari. Kegiatan pembayaran jasa lingkungan dapat diberikan secara langsung melalui pemberdayaan atau penguatan masyarakat, keamanan kepemilikan tanah (land tenure security), dan konservasi ekosistem alam tempat masyarakat miskin di daerah penyangga bergantung. Forpela (2009) menyebutkan, secara singkat, skema PJL yang dikembangkan untuk (1) membantu menunjukkan nilai konservasi vs konversi; pengaruh kebijakan-kebijakan terhadap perencanaan dan proyek-proyek yang ada; (2) sebagai dana konservasi; (3) membantu menciptakan pasar yang mendukung tumbuhnya permintaan atas jasa-jasa yang ada; dan (3) pengurangan kemiskinan; kesetaraan (Forpela 2009). Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa ingkungan air dilakukan secara kualitatif. Kerr dan Jindal (2007) menyatakan metode kualitatif menyediakan pengertian yang mana konteks ini dapat dipahami dan digunakan untuk mengungkap aspek penting dari sebuah proyek. Peneliti kualitatif biasanya kurang menempatkan penekanan pada pengukuran dan lebih kepada proses dan pemahaman secara tajam serta faktor-faktor penentu keberhasilan proyek, biasanya dengan menekankan perspektif yang beragam dari berbagai pihak. Sebuah analisis kualitatif cenderung kurang memikirkan tentang penerapan hasil yang spesifik untuk lokasi proyek lainnya, tetapi lebih memfokuskan pada generalisasi pelajaran yang dapat diterapkan untuk proyek lainnya. Evaluasi terhadap mekanisme PJL dilakukan berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya serta perkembangan yang terjadi pada mekanisme itu sendiri. 57 5.3.1 Berdasarkan definisi Wunder (2005) Konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dievaluasi berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Wunder (2005), mengklasifikasikan lima kriteria untuk mendeskripsikan prinsip-prinsip pembayaran jasa lingkungan, yaitu transaksi secara sukarela; jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik; pembeli jasa lingkungan; penyedia jasa lingkungan; serta jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia. Berdasarkan lima kriteria tersebut, perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP dapat terdefinisi sebagai berikut: 1. Transaksi secara sukarela Transaksi secara sukarela didefinisikan sebagai perjanjian tanpa tekanan, yang dibedakan melalui “command and control” (Prasetyo et al. 2009). Dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP, transaksi antara penyedia dan pembeli jasa dapat dikatakan sebagai transaksi yang bersifat sukarela. Belum terdapat aturan yang secara jelas mengikat para pemanfaat air dari kawasan taman nasional untuk memberikan kontribusi berupa iuran maupun retribusi. Aturan yang dijadikan acuan hanya berupa MoU kerjasama kemitraan antara Forpela TNGGP dengan BB TNGGP serta AD/ART Forpela TNGGP. Pemanfaat air yang tergabung dalam keanggotaan Forpela TNGGP memberikan kontribusi secara sukarela. Walaupun terdapat beberapa kesepakatan yang diacu dalam mekanisme ini, dalam pelaksanaannya tetap menggunakan prinsip sukarela. Transaksi yang dilakukan antara pemanfaat dan penyedia jasa didasarkan pada kesadaran para pemanfaat akan kebutuhan sumberdaya air. Pemanfaat air memberikan apresiasi terhadap penyedia jasa dengan memberikan kontribusi melalui keanggotaan Forpela TNGGP. Transaksi dilakukan dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan masyarakat dan inkubasi usaha untuk masyarakat. Transaksi tersebut diatur dalam naskah kesepahaman dan rencana aksi pembangunan model desa konservasi melalui pengembangan desa produktif unggulan antara MDK dan Forpela TNGGP. 2. Jasa lingkungan yang terdefinisi secara baik Jasa lingkungan yang didefinisikan dalam mekanisme ini adalah nilai dan jasa ekosistem hutan untuk menghasilkan air. Kawasan TNGGP berperan 58 menghasilkan air bagi 103 pemanfaat air baik komersial maupun non komersial (USAID 2009). Pemanfaat air mengambil air langsung dari kawasan ini untuk kebutuhan usaha mereka. Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima pemanfaat air, empat dari lima pemanfaat telah mengetahui peran kawasan TNGGP untuk menghasilkan air. Sebanyak empat pemanfaat dapat menjelaskan manfaat air tersebut bagi perusahaan/instansi mereka. Selain para pemanfaat, anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara secara umum telah mengetahui peranan hutan dalam menghasilkan air. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 19 dari 24 orang responden mengetahui dan dapat menyebutkan manfaat hutan untuk menghasilkan air. Responden juga dapat menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menjaga ketersediaan air. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, sebagian masyarakat belum merubah perilaku mereka terhadap sumber air yang berasal dari kawasan TNGGP. Sebagian masyarakat kampung Pojok desa Cinagara khususnya masih melakukan kegiatan MCK di sungai Cinagara. Disamping itu, dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan, belum dilakukan pengukuran secara pasti terhadap debit air yang diterima oleh para pemanfaat. Mereka berpendapat bahwa air yang disediakan oleh alam dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, dua pemanfaat juga menganggap mereka memasang instalasi air sendiri untuk memperoleh air. Hal ini menyebabkan dua dari lima pemanfaat yang diwawancarai pada akhirnya belum mengambil inisiatif untuk memberikan kontribusi terhadap jasa air yang dihasilkan hutan. Sejalan dengan pendapat Chomitz dan Kumari (1998) bahwa meskipun diketahui hutan mampu menyediakan jasa lingkungan air, tetapi hubungan antara hutan dan jasa lingkungan air baik secara kualitatif maupun kuantitatif seringkali tidak dipahami. 3. Pembeli jasa lingkungan Pembeli dan penjual jasa lingkungan merupakan yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya yang menghasilkan jasa (Prasetyo et al. 2009). Menurut Leimona et al. (2011), pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan 59 potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pembeli jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah para pemanfaat air dari kawasan TNGGP. Pembeli jasa yang terdefinisi merupakan pemanfaat yang telah bergabung dengan Forpela TNGGP atau pemanfaat lain yang memiliki MoU kemitraan dengan pihak BB TNGGP. Pemanfaat lainnya yang berada di luar kedua hal tersebut belum menjadi pembeli jasa. Dalam mekanisme ini, pembeli jasa belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kontribusi dana untuk penerapan mekanisme. Ada pihak lain seperti ESP-USAID dan YBUL yang menjadi donor dalam penerapan mekanisme ini. Hal ini sependapat dengan Wunder (2005) yang menyebutkan bahwa kontribusi dana seringkali berasal dari donor daripada pemanfaat jasa lingkungan. 4. Penyedia jasa lingkungan Penyedia jasa lingkungan adalah (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki ijin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi berwenang (Leimona et al. 2011). Penyedia jasa yang terdefinisi dalam mekanisme ini adalah ekosistem hutan TNGGP yang berperan dalam menghasilkan jasa air. BB TNGGP selaku pengelola kawasan seharusnya menjadi merupakan penyedia jasa lingkungan dalam mekanisme ini. Namun, BB TNGGP tidak dapat mengelola dana kontribusi dari pemanfaat-pemanfaat air. Penyedia jasa seringkali terlihat tidak jelas (Wunder 2005). Kemudian, dilakukan pendekatan lain oleh Forpela TNGGP. Forpela TNGGP dan BB TNGGP mencoba menfasilitasi daerah penyangga kawasan untuk mendukung perlindungan dan pelestarian kawasan konservasi. Hal ini kemudian menempatkan anggota KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk dan KSM Cinagara Asri dan MDK lainnya sebagai penyedia jasa. Ketua maupun anggota kelompok-kelompok tani tersebut belum memahami tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Responden yang terdiri dari anggota KT hanya mengetahui sebatas iuran yang harus dijalankan dan program 60 pelatihan-pelatihan usaha yang telah dijalankan. Sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Mayoritas anggota KT di kedua desa merupakan petani sawah dan ladang. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan. Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dilakukan melalui inkubasi usaha. 5. Jaminan ketersediaan jasa lingkungan oleh penyedia Wunder (2005) menyebutkan bahwa kriteria yang paling sulit untuk dilaksanakan adalah adalah persayaratan: banyak mekanisme yang kurang monitoring atau tidak termonitor sama sekali, pembayaran dilakukan di awal perjanjian, para pihak dibuat percaya terhadap mekanisme daripada benar-benar melakukan monitoring terhadap ketersediaan jasa. Forpela TNGGP menerapkan perioditas kegiatan 3 tahunan dan periode terakhir berakhir di tahun 2009 (Forpela TNGGP 2009). Selama kurun waktu tersebut penyedia jasa seharusnya dapat memberikan jaminan ketersediaan jasa kepada para pemanfaat. Prasetyo et al. (2009) menyatakan, pembayaran jasa lingkungan dapat terus berlangsung, jika dan hanya jika penyedia jasa menyediakan jasa secara terus menerus. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pemanfaat, jasa lingkungan air tersebut masih tersedia dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para pemanfaat. Namun, baik penyedia dan pemanfaat kurang melakukan kontribusi terhadap mekanisme itu sendiri. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan tersebut berjalan dengan sendirinya tanpa adanya penegakan mekanisme, seperti disinsentif pembayaran. Wunder (2008) menyebutkan, beberapa skema pembayaran jasa lingkungan berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM). Hal ini dikarenakan pendekatan yang dilakukan saat penerapan mekanisme ini adalah melalui pemberian bantuan kepada anggota kelompok tani. Pendekatan yang dilakukan belum pada tingkat reward and punishment. Penyedia jasa belum dituntut untuk menyediakan jasa terlebih dahulu sebelum jasa itu dibayarkan. Selain itu, pembayaran (pemberian bantuan) dilakukan pada masa awal mekanisme. 61 Berdasarkan pengertian Wunder (2005) tersebut, mekanisme yang berjalan di kawasan TNGGP memenuhi empat dari lima kriteria. Lebih lanjut lagi, Wunder (2008) menyebutkan bahwa mekanisme yang memenuhi hampir semua kriteria termasuk pada mekanisme “PES-like”. Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Dalam mekanisme ini, terdapat dua instansi pemerintah yang berperan sebagai pembeli jasa lingkungan. Selain itu, ekosistem kawasan TNGGP juga dikelola oleh pemerintah (BB TNGGP). Wunder (2008) menyebutkan, skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini yang coba dijalankan di TNGGP. USAID (2009) menyatakan bahwa Forpela TNGGP memiliki skema yang berbeda, yaitu skema yang melakukan upaya konservasi taman nasional serta memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. Skema ini dijalankan melalui pengembangan potensi lokal desa penyangga dengan menekankan adanya manfaat berkelanjutan yang diperoleh masyarakat desa penyangga. Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. 5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme Evaluasi terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP dilihat dari beberapa aspek berdasarkan perkembangannya. Aspek-aspek tersebut antara lain: kenggotaan Forpela, pendanaan, skema, program kerja, serta manfaat bagi masing-masing pihak. Keanggotaan Forpela terdiri dari pemanfaat-pemanfaat air yang mengambil air langsung dari kawasan TNGGP. Pasal 12 AD/ART Forpela menyebutkan bahwa pemanfaat-pemanfaat tersebut terdiri dari lembaga, perusahaan, lapisan masyarakat yang berkepentingan terhadap pemanfataan jasa lingkungan (air) di kawasan TNGGP (Forpela TNGGP 2006). Berdasarkan rekapitulasi anggota Forpela tahun 2009, di sekitar resort Tapos, Cimande, dan Bodogol terdapat 28 62 pemanfaat air (Forpela TNGGP 2009). Namun, ketika diambil sampel sebanyak lima pemanfaat dari 28 pemanfaat di ketiga lokasi tersebut, dua pemanfaat menyebutkan bahwa mereka belum menjadi anggota Forpela. Berdasarkan hasil wawancara, dua pemanfaat tersebut juga mengaku belum memberikan kontribusi berupa iuran kepada Forpela TNGGP. Rekapitulasi keanggotaan Forpela TNGGP seharusnya dapat dilakukan setiap tahun. Hal ini menyangkut kondisi para pemanfaat dan kontribusi yang diberikan. Pemanfaat air yang sudah bangkrut atau tidak mau memberikan kontribusi akan mempengaruhi manajemen dan pendanaan Forpela TNGGP itu sendiri. Pasal 12 AD/ART Forpela TNGGP juga menyebutkan bahwa pemanfaat air di wilayah TNGGP wajib menjadi anggota Forpela TNGGP. Pada pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut apakah pemanfaat air yang mengambil air melalui mata air di daerah penyangga TNGGP wajib menjadi anggota Forpela. Sutopo (2011) menyebutkan potensi air bersih yang bersumber dari mata air di daerah penyangga TNGGP, kuantitas dan kualitas airnya sangat dipengaruhi oleh curah hujan, morfologi, dan tumbuhan penutupnya. Oleh karena itu, pemanfaat-pemanfaat yang mengambil air dari mata air di daerah penyangga kawasan seharusnya berkontribusi dalam upaya konservasi kawasan. Berdasarkan penelitian Sutopo (2011), terdapat tujuh perusahaan AMDK yang memanfaatkan air dari mata air di sekitar kecamatan Caringin. Perusahaan-perusahaan ini bersedia memberikan kontribusi melalui mekanisme PJL. Pendanaan Forpela TNGGP berasal dari iuran pokok dan iuran wajib yang dibayarkan anggota Forpela. Selain itu, sumber dana juga dapat berasal dari sumbangan sukarela atau hibah. Berdasarkan pernyataan keuangan Forpela TNGGP (2010) disebutkan bahwa jumlah dana kompensasi yang terkumpul sampai tahun 2010, tercatat Rp 8.000.000 dan saldo keuangan Forpela TNGGP sebesar Rp 17.000.000. Apabila dikurangi dengan pengeluaran tahun sebelumnya seharusnya jumlah tersebut menjadi Rp 17.500.000. Tidak terdapat keterangan mengenai hal ini. Hal ini dikarenakan dalam pernyataan keuangan yang diacu, tidak terdapat rincian pengeluaran untuk pembiayaan kegiatan maupun program kerja Forpela. Apabila dihitung berdasarkan bantuan yang diberikan kepada 63 kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, dana yang dikeluarkan menjadi lebih besar dibandingkan dengan apa yang tercantum pada pernyataan keuangan. Selain itu, tidak terdapat rincian cost-sharing dengan pihak lain seperti ESPUSAID dan YBUL dalam pemberian bantuan terkait PJL di desa Tangkil dan Cinagara. ESP-USAID selaku partner sharing Forpela TNGGP dalam pemberian bantuan, tidak menyebutkan besaran cost-sharing yang dikeluarkan untuk membiayai program tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa mereka memberikan sharing lebih kepada hal teknis. Tidak dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk teknis seperti apa sharing tersebut diberikan. Hal-hal tersebut juga dipertanyakan para pemanfaat yang memberikan kontribusi kepada Forpela TNGGP. Mereka mengeluhkan transparansi keuangan Forpela TNGGP. Tidak terdapat catatan keuangan untuk para pemanfaat yang telah memberikan kontribusi maupun yang belum berkontribusi. Selain itu, bukti pembayaran tidak diberikan kepada para pemanfaat air yang telah berkontribusi. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila Forpela TNGGP merupakan lembaga/forum yang memiliki akuntabilitas yang baik. Skema pembayaran jasa lingkungan air yang dibuat dalam mekanisme ini masih menyangkut skema yang umum. Pada skema, hal-hal menyangkut teknis di lapang ketika penerapan belum terlihat. Misalnya: program rehabilitasi yang dilakukan sepeti apa, dilakukan dimana, berapa luasan tempat dilakukan rehabilitasi tersebut, dsb. Hak dan kewajiban para pihak khususnya pembeli, penyedia dan perantara diantara keduanya tidak terlihat dalam skema. Selain itu, aliran dana dari pemanfaat dan ditujukan untuk apa saja dana tersebut tidak terlihat pada skema. Skema juga tidak mengakomodasi aliran dana dari pemanfaat kepada pemerintah daerah, khususnya yang melalui pajak air. Pemanfaat air dari mata air (air permukaan) yang berada di luar kawasan tetapi berada di desa penyangga seharusnya membayarkan pajak air melalui pemerintah daerah. Aliran air tersebut pada dasarnya juga berasal dari fungsi ekosistem TNGGP. Skema tidak memperlihatkan aliran dana dari pemerintah daerah kepada BB TNGGP selaku pengelola kawasan maupun kepada masyarakat desa penyangga. Bersdasarkan PP 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah 64 daerah menerima 70% dari pajak air permukaan dan air tanah dari propinsi (DPR RI 2001). Pasal 78 menyebutkan bahwa desa (masyarakat) menerima 10% dari pemerintah kabupaten atas hasil penerimaan pajak kabupaten. Pajak air yang dibayarkan pemanfaat ke pemerintah daerah seharusnya dapat disalurkan ke masyarakat melalui Forpela. Forpela seharusnya dapat mengelola hasil penerimaan pajak air yang diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat desa penyangga kawasan yang menjadi mitra Forpela. Hal ini dilakukan agar aliran dana dari pemerintah daerah melalui pajak daerah (pajak air) dikelola dengan jelas. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP memiliki kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan dan literatur yang ada, kelebihan dan kekurangan mekanisme tersebut tersaji pada Tabel 21. Tabel 21 Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP Kelebihan Dapat mengajak lebih dari satu pemanfaat untuk berkontribusi dalam mekanisme ï‚· Bertujuan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa penyangga melalui inkubasi usaha terpadu ï‚· Bantuan yang diberikan bersifat non finansial dan tidak langsung berupa dana ï‚· Dapat mengajak peran serta banyak pihak sebagai fasilitator serta donor untuk costsharing ï‚· Kekurangan ï‚· Hanya mengajak pemanfaat yang mengambil air langsung dari kawasan ï‚· Penerapan program di dua desa tidak berjalan baik ï‚· Pembagian cost-sharing dari pemanfaat dan lembaga donor tidak jelas ï‚· Peranan para pihak dalam mekanisme belum terlihat jelas pada penerapan mekanisme, peran Forpela terlihat dominan. Sumber: Data diolah (2011) Berdasarkan Forpela TNGGP (2009) terdapat beberapa program kerja Forpela, antara lain: Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit), Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat, Progam peningkatan kapasitas kelembagaan Forpela TNGGP, Program peningkatan kerjasama kemitraan pengelolaan sumberdaya air, Program pemberian susu pasteurisasi dan gemar menanam untuk siswa-siswi Sekolah Dasar di desa penyangga, dan Program studi banding dalam penerapan pembiayaan jasa lingkungan (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan dokumen tahunan Forpela TNGGP (2009, 2010) maupun hasil wawancara, tidak terdapat penjelasan 65 mengenai program kerja apa saja yang terkait dengan mekanisme PJL di TNGGP. Evaluasi terhadap program kerja Forpela TNGGP hanya sebatas program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara. Program yang dilakukan di desa Tangkil dan Cinagara yaitu Program pembangunan pusat pembibitan pohon (Bank Bibit) dan Program peningkatan partisipasi dan peluang usaha produktif masyarakat (Forpela TNGGP 2009). Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, program yang dijalankan di kedua desa meliputi kegiatan pelatihan-pelatihan usaha dan sekolah lapang serta pemberian bantuan untuk inkubasi usaha masyarakat. Pelatihan-pelatihan usaha bertujuan untuk mengembangkan kapasitas SDM di kedua desa. Bantuan mesin mikrohidro bertujuan untuk mengembangkan sarana listrik berbasis komunitas yang dikelola secara swadaya oleh warga. Pengembangan listrik berbasis komunitas ini diharapkan dapat membantu masyarakat kampung Gunung batu yang keadaannya masih belum memiliki sarana listrik. Pemberian bantuan berupa 2 unit WC umum di kapung Pojok bertujuan untuk mengurangi aktifitas MCK warga di sungai Cinagara. Namun, pada akhirnya, bantuan-bantuan tersebut tidak berjalan. Kinerja mekanisme PJL di TNGGP juga dilihat berdasarkan manfaat yang diterima masing-masing pihak, terutama penyedia dan pembeli jasa lingkungan air. Bagi para pemanfaat air, manfaat mekanisme PJL tidak terlalu dirasakan. Hal ini dikarenakan pemanfaat merasa debit air sebelum dan sesudah mekanisme PJL stabil, sehingga adanya mekanisme PJL tidak terlalu berpengaruh terhadap debit air yang disediakan. Debit air masih mencukupi kebutuhan para pemanfaat. Namun, manfaat lain yang dapat dirasakan para pemanfaat adalah dapat berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan (konservasi kawasan TNGGP) dan pemberdayaan masyarakat di sekitar taman nasional. BB TNGGP selaku pengelola TNGGP belum merasakan manfaat langsung dari mekanisme PJL. BB TNGGP tidak berhak memungut iuran kepada para pengguna air dari dalam kawasan selama belum ada peraturan yang jelas. Oleh karena itu, selama pemanfaat air dari kawasan memberikan kontribusi untuk konservasi, hal itu yang kemudian menjadi manfaat bagi taman nasional. Melalui PJL, kontribusi hidrologis dari taman nasional agar dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Selain itu, mekanisme ini dapat membangun kesadaran masyarakat 66 untuk mendukung program-program pelestarian kawasan. BB TNGGP juga berharap, melalui mekanisme ini, gangguan terhadap hutan bisa diminimalisasi. Selain itu, diharapkan adanya peningkatan kesejahteraan dan kualitas masyarakat yang ada di sekitar taman nasional. Kelompok tani Garuda Ngupuk, Saluyu, dan Cinagara Asri selaku penerima bantuan dalam mekanisme ini mengakui bahwa manfaat yang dirasakan lebih kepada pengetahuan dan pengalaman tentang berorganisasi. Manfaat secara materi (peningkatan kesejahteraan) maupun modal usaha masih belum dirasakan. Dua dari tiga kelompok tani mengakui bahwa dalam pelaksanaan program di kedua desa banyak penyimpangan yang harus dibenahi, seperti adanya pengalihan bantuan ke kelompok lain, modal usaha yang tidak turun, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian membuat manfaat dari mekanisme PJL itu sendiri tidak tampak oleh kelompok tani. Budhi et al. (2008) menjelaskan bahwa konsep PJL berbeda dengan pendekatan konservasi, yang bergantung pada peraturan untuk melindungi kelestarian lingkungan tanpa insentif ekonomi. PJL berbeda dengan pendekatan konservasi yang menggabungkan antara tujuan konservasi dengan tujuan pengembangan lainnya. Berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme PJL itu sendiri seringkali tidak muncul. Penerapan (program kerja) yang dilakukan berbeda dengan penerapan konsep PJL di lokasi lain. Di beberapa lokasi penerapan PJL seperti Cidanau dan Sumberjaya, kelompok tani sebagi kelompok target diharuskan untuk melakukan penanaman (pada umumnya kopi multistrata) untuk mempertahankan kelestarian daerah hulu. Hal ini dilakukan karena suplai air bagi daerah hilir yang menjadi pembeli jasa tergantung dari kelestarian wilayah hulu. Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan aiur yang dilakukan di TNGGP terlihat sebagai upaya pengelolaan daerah penyangga. Bismark dan Sawitri (2007) menyatakan bahwa pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk meningkatkan potensi manfaat jasa lingkungan dan nilai ekonomi lahan masyarakat. Pengelolaan daerah penyangga di desa Tangkil dan Cinagara dilakukan melalui upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP 67 selaku pengelola kawasan TNGGP. Di lokasi penerapan PJL lainnya (misal: Cidanau dan Sumberjaya), kegiatan pemberdayaan masyarakat dan upaya konservasi wilayah hulu dilakukan secara bersamaan. Adanya kerjasama antara BB TNGGP dengan masyarakat desa penyangga dalam melakukan upaya konservasi akan membuat penerapan mekanisme ini lebih baik. Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu: jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya; informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel); kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel; selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau kritik. Apabila keempat hal tersebut dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam mekanisme ini, maka mekanisme ini akan berjalan lebih baik. 5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP 5.4.1 Permasalahan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapang, terdapat beberapa permasalahan yang terjadi pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dijalankan. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya: 1. Payung hukum yang diacu Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP mengacu pada surat edaran Dirjen PJLKKHL. Selain aturan tersebut, belum terdapat payung hukum yang jelas mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Selanjutnya, aturan yang dijadikan acuan dalam mekanisme ini adalah surat edaran dirjen PHKA, perjanjian-perjanian kerjasama, naskah kesepahaman, serta peraturan perundangan lain terkait pemanfaatan air secara umum. Terdapat beberapa hal yang saling bersinggungan dalam perjanjian kerjasama antara BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan BB TNGGP dengan pemanfaat air. BB TNGGP membuat MoU kerjasama pemanfaatan air dari kawasan kepada pemanfaat dengan proses tertentu. Di sisi lain, BB TNGGP juga membuat MoU 68 kemitraan dengan Forpela TNGGP. Hal ini kemudian menjadi masalah ketika pemanfaat air tersebut belum menjadi anggota Forpela TNGGP. Pemanfaat air harus membuat perjanjian kerjasama dengan BB TNGGP terlebih dahulu. Apabila pemanfaat kemudian menjadi anggota Forpela TNGGP, maka kesepakatan mana yang harus diacu oleh pemanfaat menjadi suatu hal yang saling bersinggungan. 2. Kinerja Forpela TNGGP Kinerja Forpela TNGGP dinilai beberapa pihak belum optimal. Forpela TNGGP yang terdiri dari para pemanfaat air dirasakan kurang dapat merangkul komitmen dari para pemanfaat air untuk berkontribusi. Selain itu, sistem keuangan Forpela TNGGP juga menjadi suatu permasalahan dalam penerapannya. Beberapa pihak menilai belum adanya transparansi keuangan dari Forpela TNGGP itu sendiri. Hal ini berdampak pada pemanfaat yang berkomitmen memberikan kontribusi pada akhirnya mempertanyakan kinerja Forpela TNGGP. 3. Peranan masing-masing pihak yang belum dijalankan Para pihak yang terlibat (langsung atau tidak langsung) belum sepenuhnya menyadari peranannya dalam mekanisme yang ada. Hal ini kemudian berdampak bagi kinerja masing-masing pihak dalam mekanisme yang ada. Contohnya, anggota kelompok tani, mereka belum menyadari perannya sebagai penyedia jasa lingkungan yang kemudian seharusnya menjaga wilayah mereka agar jasa lingkungan air dapat terus tersedia. Mereka hanya mengetahui untuk tidak melakukan penebangan di dalam kawsan konservasi. Mereka belum melakukan teknik pertanian untuk meningkatkan penyediaan jasa lingkungan seperti agroforestri atau kebun multistrata. Selain itu, peranan dari pihak yang seharusnya melakukan pendampingan terhadap anggota kelompok tani juga belum dijalankan dengan baik. Akibat yang terjadi adalah tidak berjalannya program maupun kelompok tani yang ada. Contohnya terjadi pada KT Saluyu antara tahun 2008-2009. Pendampingan terhadap kelompok dirasakan baru setengah perjalanan. Selanjutnya, kelompok ditinggal begitu saja tanpa pendampingan. Hal ini berdampak pada kehancuran kelompok dan program yang ada. 69 4. Komitmen para pemanfaat Berdasarkan hasil wawancara, dua dari lima pemanfaat belum ingin berkomitmen untuk mengikuti mekanisme PJL ini. Selain itu, para pemanfaat juga menganggap kontribusi yang dikeluarkan cukup pada awal mula keanggotaan Forpela TNGGP. 5. Pemilihan lokasi penerapan mekanisme PJL Pemilihan lokasi penerapan seharusnya berkaitan dengan keadaan masyarakat sebagai penyedia jasa dan jasa lingkungan yang didefinisikan itu sendiri. Lokasi penerapan seharusnya mampu mengakomodasi ketersediaan jasa lingkungan yang ada melalui pengelolaan dari kelompok tani. Pemilihan lokasi penerapan menjadi suatu permasalahan ketika penguatan kapasitas kelompok masyarakat di lokasi tersebut belum dilakukan. Kelompok tani dirasakan belum siap menerima bantuan dan menjalankan mekanisme yang ada. Selain itu, adanya konflik diantara masyarakat itu sendiri menjadi salah satu hambatan. Hal ini kemudian berdampak kepada pengelolaan bantuan yang diberikan dan pemahaman masyarakat mengenai program yang berjalan. 6. Pemilihan bantuan yang diberikan kepada masyarakat Bantuan yang diberikan tepat sasaran apabila disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Anggota kelompok tani di kedua desa mayoritas merupakan petani sawah dan ladang. Bantuan yang diberikan seharusnya tidak jauh dari sektor pertanian sehingga mereka dapat mengelola bantuan tersebut dengan baik. Namun, bantuan yang diberikan berupa domba dan kelinci. Anggota kelompok tani banyak yang tidak mengetahui bagaimana beternak domba dan kelinci. Pada akhinyra domba-domba yang diberikan belum mencapai panen maksimal dan kelinci banyak yang terserang penyakit hingga mati. Selain itu, bantuan berupa mesin mikrohidro yang diberikan kepada warga kampung Gunung Batu (KT Garuda Ngupuk) juga menjadi permasalahan. Warga kampung Gunung Batu merasa bantuan mesin mikrohidro yang diberikan tidak dapat berfungsi untuk warga. Warga sebenarnya menginginkan untuk dibuatkan jaringan PLN saja daripada mengahabiskan dana yang besar untuk PLTMH tetapi alat tersebut tidak dapat digunakan warga. PLTMH hanya mampu mengaliri listrik untuk 20 KK sedangkan warga kampung Gunung Batu berjumlah 80 KK. 70 Pelatihan usaha yang diberikan kepada anggota kelompok tani juga dirasakan kurang sesuai. Anggota kelompok tani Saluyu diberikan pelatihan untuk membuat kerupuk wortel. Jika dilihat dari bahan baku, usaha ini nantinya tidak bisa dijalankan oleh warga. Warga cukup kesulitan untuk memperoleh bahan baku untuk usaha tersebut. Adanya hal-hal yang bertentangan antara pihak yang menerima bantuan dengan pihak yang menyalurkan bantuan menjadikan bantuan yang diberikan kurang tepat sasaran. Hal yang terjadi kemudian adalah pengelolaan bantuan yang kurang maksimal. 7. Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak Proses penyampaian informasi ke berbagai pihak juga dinilai kurang maksimal. Banyak pihak yang belum memahami mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada di kawasan TNGGP. BB TNGGP (2011), menyebutkan salah satu kendala yang dihadapi oleh BB TNGGP dengan Forpela TNGGP dan pemanfaat air sebagai mitra adalah kurangnya komunikasi antara BB TNGGP dengan para mitra. Penyampaian informasi mengenai mekanisme yang dijalankan juga tidak sampai ke masyarakat. Mayoritas anggota kelompok tani yang diwawancarai mayoritas asing dengan istilah pembayaran jasa lingkungan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok tani, sebanyak 17 dari 24 orang responden yang secara umum mengetahui penerapan mekanisme ini. Responden tidak mengetahui secara rinci mengenai mekanisme ini. Responden hanya mengetahui adanya bantuan yang diberikan dan kewajiban membayar iuran yang harus dijalankan. Konsep pembayaran jasa lingkungan air mulai dari awal proses hingga penerapan tidak dipahami responden. Dua dari tiga ketua kelompok tani yang diwawancarai pun menyatakan kurang paham tentang konsep pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan. Ketua kelompok tani hanya menjalankan penerapan mekanisme tersebut. Proses penyampaian informasi yang kurang baik kemudian menjadikan konflik diantara para pihak. Hal ini kemudian membuat para pemanfaat belum ingin berkomitmen melakukan kontribusi, adanya konflik antar kelompok tani 71 karena adanya pelimpahan bantuan dan program ke kelompok lain, serta banyak pihak yang tidak mengetahui perkembangan mekanisme yang dijalankan. 8. Monitoring dan evaluasi yang kurang berjalan baik Monitoring dan evaluasi (monev) yang kurang berjalan dengan baik menjadi salah satu hambatan terhadap mekanisme itu sendiri. Adanya monev yang baik memungkinkan keberlanjutan mekanisme ke arah yang lebih baik. Melalui monev, keterlibatan para pihak dalam mekanisme serta perkembangan yang terjadi dapat terus terpantau. Dalam mekanisme ini, hal tersebut terlihat masih kurang dilakukan. Hal ini berdampak pada keterlibatan para pihak yang kurang terkontrol dan perkembangan mekanisme yang dipertanyakan banyak pihak. 5.3.4 Solusi yang ditawarkan Beberapa pihak menginginkan solusi untuk permasalahan-permasalahan tersebut dengan mengadakan pertemuan atau musyawarah besar (Mubes). Musyawarah ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengevaluasi mekanisme yang ada. Pada kesempatan tersebut, para pihak yang terlibat dan berpotensi terlibat dalam mekanisme ini diundang. Mubes ini sebaiknya difasilitasi oleh pihak yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para pihak yang sudah terlibat, misalnya Dirjen PHKA. Hal ini dilakukan agar evaluasi dapat berjalan baik dan para pihak tunduk kepada hasil evaluasi. Selain itu, mubes tersebut dapat menjadi salah satu sarana untuk menyampaikan perkembangan mekanisme, penguatan komitmen dari masing-masing pihak, menguatkan proses penyampaian informasi kepada pihak terkait serta merumuskan strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di waktu mendatang. Musyawarah besar tersebut juga dapat menjadi dapat menjadi sarana untuk mengevaluasi kinerja Forpela TNGGP sebagai perantara utama dalam mekanisme ini. Hal ini dilakukan agar dapat dilakukan pembenahan atau tindakan lain apabila para pihak menilai kinerja Forpela TNGGP kurang baik. Beberapa pihak juga menginginkan adanya peraturan mengenai pemanfaatan jasa lingkungan air dan pengembangannya. Peraturan ini dibuat sebagai acuan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan. 72 Peraturan ini nantinya diharapkan mampu menertibkan para pemanfaat air yang belum memberikan kontribusi. Solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan merekomendasikan skema serta program kerja baru dalam penerapan mekanisme PJL di TNGGP. Skema mekanisme PJL di TNGGP dibuat lebih spesifik (Lampiran 11) dengan menyertakan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dan cara lain untuk meningkatkat partisipasi masyarakat desa penyangga dalam upaya konservasi TNGGP. Selain itu, perjanjian kerjasama antar pihak dibuat dengan lebih rinci dengan menyertakan skema-skema pembayaran dan rincian pembiayaan untuk penerapan mekanisme PJL di desa penyangga. Program kerja yang dapat dilakukan sebagai alternatif solusi antara lain penguatan kapasitas kelompok tani dan pengajuan alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL. Penguatan kapasitas kelompok tani diawali dengan pendampingan secara intensif ke kelompok tani. Dalam pendampingan tersebut, anggota kelompok diberikan pengetahuan mengenai konsep PJL, peran dan fungsi kawasan TNGGP serta dampak yang akan terjadi jika upaya konservasi TNGGP tidak dilakukan secara bersama-sama. Selanjutnya, anggota kelompok tani diikutsertakan untuk memikirkan apa yang harus dilakukan anggota kelompok, alternatif bantuan atau usaha apa yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka dan sejalan dengan upaya konservasi kawasan TNGGP. Anggota kelompok tani diharapkan dapat menjadi subyek dan dilibatkan secara aktif dalam mekanisme ini. Hal ini akan memberikan dampak positif dalam penerapan mekanisme. Anggota kelompok tani yang diberikan pemahaman terhadap mekanisme ini akan bertanggungjawab terhadap jaminan ketersediaan jasa lingkungan air. Namun, hal ini juga harus diakomodasi dengan perjanjian kerjasama yang jelas antar pihak. Alternatif penggunaan lahan pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui mekanisme PJL dapat dilakukan dengan membuat kebun lindung atau kebun multistrata. Anggota kelompok tani di desa Tangkil dan Cinagara, pada umumnya merupakan petani sawah atau petani ladang. Petani ladang menanam singkong di lahan pribadi atau lahan HGU (Hak Guna Usaha) yang 73 berada pada kelerengan yang cukup. Hal ini jika dibiarkan terus menerus dapat membayahakan masyarakat yang bermukim di bawahnya. Kebun lindung didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan berbasis pohon yang dikelola oleh masyarakat yang dapat menambah pendapatan dan memberikan fungsi lindung atau layanan lingkungan yang sama dengan yang diberikan oleh hutan (Suyanto & Khususiyah 2006). Lebih lanjut lagi, Suyanto dan Khususiyah (2006) menjelaskan bahwa fungsi lindung hutan yang dapat diperoleh dari kebun lindung baik sebagian maupun keseluruhan. Fungsi tersebut adalah fungsi konservasi tanah dan air, mempertahankan cadangan karbon, dan keanekaragaman hayati. Kebun lindung pada umumnya menggabungkan antara tanaman yang memiliki nilai IDA rendah, sedang, dan tinggi. Nilai IDA digunakan untuk melihat seberapa dalam penyebaran akar suatu jenis tanaman (Buana et al. 2005). Contoh kasus penerapan kebun lindung ini berada di Sumberjaya, Lampung. Petani kopi di lokasi tersebut menanam kopi dengan menggabungkannya dengan tanaman lainnya. Kopi memiliki nilai IDA yang rendah, sedangkan jenis pohon buah-buahan dan pohon penghasil kayu atau pohon bermanfaat lainnya memiliki nilai IDA yang lebih tinggi. Apabila jenis pohon-pohon tersebut ditanam dengan kopi (kebun kopi multistrata), maka akan menghasilkan nilai IDA yang beragam. Dengan demikian, sistem tersebut memiliki nilai konservasi tanah dan air yang lebih besar dan dapat digunakan untuk pencegahan erosi permukaan tanah, jaring penyelamat hara, serta pencegahan longsor. 74 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap mekansime pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP, terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Selanjutnya, dibentuk forum independent yang mengelola insentif dari para pemanfaat jasa lingkungan air TNGGP. Dana kompensasi yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjalankan program kerja yang meliputi rehabilitasi dan konservasi kawasan taman nasional, kolaborasi program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa penyangga serta administrasi dan manajemen Forpela TNGGP. 2. Keterlibatan para pihak dilihat berdasarkan keikutsertaan para pihak dalam mekanisme. Pada awal penginisiasian mekanisme BB TNGGP, ESP-USAID, RCS, Dinas Pengelolaan Sumberdaya Air (Dinas PSDA) Kab. Bogor, Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (Dinas ESDM) Kab. Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab. Bogor, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (Dirjen PJLKKHL) merupakan pihak yang terlibat. Selanjutnya, pihak-pihak yang terlibat dalam penerapan mekanisme yang ada antara lain: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk desa Tangkil, KSM Cinagara Asri desa Cinagara, Forpela TNGGP, Mapala UI, YBUL, dan pemanfaat-pemanfaat air (PT Rejosari Bumi, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara dan Pusdiklat Karya Nyata). 3. Konsep mekanisme PJL yang dilakukan di TNGGP berdasarkan pengertian Wunder (2005), termasuk mekanisme “PES-like” karena memenuhi hampir semua kriteria. Namun, berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, penerapan mekanisme PJL di desa Tangkil dan Cinagara lebih terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan 75 kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP. 6.2 Saran Masukan yang dapat direkomendasikan kepada para pihak terkait dalam kaitannya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP, diantaranya: 1. Perlu dilakukan pengkajian ulang (evaluasi) terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan. Evaluasi sebaiknya dilakukan oleh dirjen PHKA. Hal ini terkait dengan keterlibatan dan penerapan peranan para pihak, pendekatan pengembangan mekanisme (skala DAS atau kawasan taman nasional), dan penerapan mekanisme yang dilakukan. Pengkajian ini dilakukan agar mekanisme yang ada dapat mengakomodasi semua pihak. 2. Perlu dilakukan kerjasama dengan pihak terkait untuk merumuskan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan. Perumusan ini dilakukan agar tujuan yang diinginkan mekanisme dapat tercapai. 76 DAFTAR PUSTAKA [BB TNGGP] Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2011. Laporan Evaluasi Kegiatan Kemitraan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Cianjur: Kementrian Kehutanan [tidak dipublikasikan]. Budhi GS, Kuswanto SA, Iqbal M. 2008. Concept and Implementation of PES Program in the Cidanau Watershed : A Lesson Learned For Future Environmental Policy. Analisis Kebijakan Pertanian 6 (1): 37-55. Bismark M, Sawitri R. 2007. Pengembangan Dan Pengelolaan Daerah Penyangga Kawasan Konservasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian 2007. Buana Y, Suyanto S, Hairiah K. 2005. Kebun Lindung: Kajian Ekologis dan Sosio Ekonomi di Lampung Barat, Sumatera. Agrivita 27 (3): 170-181. Cahyono SA, Suyanto. 2006. Imbal Jasa Multifungsi DAS untuk Mendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah Seminar Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu; Bogor 21 September 2006. Chandler FJC, Suyanto. Tidak Ada Tahun. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi Penyediaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Bogor: World Agroforestry Center (ICRAF-South East Asia). Chomitz KM, Kumari K. 1998. The Domestic Benefits Of Tropical Forests: A Critical Review. World Bank Research Observer 13(1): 13–35. [CI Indonesia] Conservation International Indonesia. 2009. Promoting Ecosystem Services Value from Hydrological Processes in the Gedepahala Biodiversity Corridor : “Understanding the Hydrological Processes to Build a Payment for Environmentas Sevices (PES) Scheme”. Jakarta: CI Indonesia. [CIFOR] Center of International Forestry Research. 2008. Introduction to Payment for Ecosystem Services. Bogor: CIFOR. Darusman D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia; Bandung 2829 Juli 1993. 77 [Dirjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2008. Surat Edaran Nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Jakarta: Departemen Kehutanan. [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Jakarta: DPRRI. [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta: DPR RI. [DPRD] Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat. 2002. Peraruran Daerah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pengairan. Bandung: DPRD Jawa Barat. Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [FORPELA TNGGP] Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2006. Profil Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Bogor: Forpela. [FORPELA TNGGP] Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2009. Laporan Tahunan Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 2009. Bogor: Forpela. [FORPELA TNGGP] Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2010. Laporan Tahunan Forum Peduli Air Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 2010. Bogor: Forpela [tidak dipublikasikan]. Gouyon A. 2004. Imbalan bagi Masyarakat Miskin Dataran Tinggi terhadap Jasa Lingkungan: Sebuah Tinjauan tentang Inisiatif dari Negara-Negara Maju. Bogor: RUPES-ICRAF. Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools, A Reference Book. Netherlands: ITC, Enschede. Iskandar MI. 2008. Optimalisasi Penggunaan Input dan Analisis Finansial Usaha Pembesaran Ikan Nila dan Kolam Air Deras di Desa Cinagara, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 78 Juanda N. 2010. Estimasi Nilai Klaim Kerusakan Hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan Metode Habitat Equivalency Analysis (HEA) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Intitut Pertanian Bogor. Kepala Desa Tangkil. 2010. Laporan Kinerja Kepala Desa Tangkil Tahun 2010. Bogor: Desa Tangkil Kecamatan Caringin [tidak dipublikasikan]. Kerr J, Jindal R. 2007. Impact Evaluation of PES Programs. Di dalam: Colby M, editor. USAID PES Sourcebook: Lessons And Best Practices For ProPoor Payment For Ecosystem Services. Blacksburg, Virginia: USAID. Landell-Mills N, Porras IT. 2002. Silver bullet or fools’ gold? A global review of markets for forest environmental servicesand their impoact on the poor. London: IIED. Leimona B, Pasha R, Rahadian NP. 2010. The livelihood impacts of incentive payments for watershed management in Cidanau watershed, West Java, Indonesia. Di dalam: Tacconi L, Mahanty S, Suich H, editor. Payments for Environmental Services, Forest Conservation and Climate Change Livelihoods in the REDD?. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited. Hlm 106-129. Leimona B, Munawir, Ahmad NR. 2011. Gagasan Kebijakan Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. Bogor: RUPES- ICRAF. [LPM] Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Equator. 2011. Laporan Proses Pengembangan Mekanisme PES. Bogor: LPM Equator. Mack N, Woodsong C, MacQueen KM, Guest G, Namey E. 2005. Qualitative Research Methods: A Data Collector’s Field Guide. North Carolina: FHI. Miles MB, Huberman AM. 1992. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: SAGE. Prasetyo FA, Suwarno A, Purwanto, Hakim R. 2009. Making Policies Work for Payment for Environmental Services (PES): An Evaluation of the Experience of Formulating Conservation Policies in District of Indonesia. Journal of Sustainable Forestry 28: 415-433. 79 Puspaningsih N. 1999. Studi Perencanaan Pengelolaan Lahan di Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. Manajemen Hutan Tropika V (II) : 4553. Rosa H, Barry D, Kandel S, Dimas L. 2004. Compensation for Environmental Services and Rural Communities: Lessons from the Americas. Presented at the International Conference on Natural Assets, Tagaytay City, Philippines, January 2003 and Revised July 2004. Working paper series number 96. [RCS] Raptor Conservation Society. 2008. Dokumen Rencana Aksi Strategis Perlindungan dan Perbaikan Daerah Resapan Mata Air Batu Karut oleh Multipihak Sukabumi Jawa Barat. Sukabumi: RCS-USAID. [RUPES] Rewards for, Use of and shared investment in Pro-poor Environmental Services scheme. 2010. Where We Work: Brief Profiles of RUPES Action Research Sites. Bogor: RUPES-ICRAF. Sudrajat A, Yunita N, Haqq K. 2009. Program Kreativitas Mahasiwa-GT (PKMGT): Peningkatan Kualitas Jasa Lingkungan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Melalui Payment for Environmental Services (Pembayaran Jasa Lingkungan). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suprayitno. 2008. Bahan Bacaan: Teknik Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam. Bogor: Pusat Diklat Departemen Kehutanan. Sutopo MF. 2011. Pengembangan Kebijakan Pembayaran Jasa Lingkungan dalam Pengelolaan Air Minum (Studi Kasus DAS Cisadane Hulu) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Suyanto S, Khususiyah N. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Agro Ekonomi 24 (1): 95-113. [USAID] United States Agency International Development. 2006. Kemitraan Pengguna Air untuk Konservasi TNGP. Jakarta: ESP-USAID. [USAID] United States Agency International Development. 2007. Laporan Studi PES untuk Mengembangkan Skema PES di DAS Deli, Sumatra Utara dan DAS Progo, Jawa Tengah. Jakarta: ESP-USAID. [USAID] United States Agency International Development. 2009. Imbal Jasa Lingkungan di Beberapa Daerah Aliran Sungai. Jakarta: ESP-USAID. 80 Waage S, Stewart E. 2007. The New Market for Environmental Services: A Corporate Manager’s Guide to Trading in Air, Climate, Water and Biodiversity Assets. San Fransisco: Bussiness for Social Responsibility. Wunder S. 2005. Payments for Environmental Services : Some Nuts and Bolts. CIFOR Occasional Paper 42 : 1-24. Bogor: CIFOR. Wunder S. 2008. Necessary Conditions for Ecosystem Service Payments. Conference Paper on Economics and Conservation in the Tropics: A Strategic Dialogue January 31–February 1, 2008. CSF, Moore Foundation, and Resources for the Future. Wunder S, Wertz-Kanounnikoff S. 2009. Payments for Environmental Services: Guidance Paper for the Scientific and Technical Advisory Panel (STAP). GEF Council. 81 LAMPIRAN 82 Lampiran 1 Panduan wawancara lembaga pemerintahan a. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 1. Sejauh mana Anda mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme PJL ini? Siapa saja pihak-pihak tersebut? 2. Bagaimana alur dalam mekanisme PJL itu berlangsung? 3. Apakah sudah ada peraturan pemerintah yang digunakan sebagai payung hukum dari mekanisme ini? Peraturan apa saja yang digunakan? 4. Bagaimana pendapat Anda mengenai mekanisme PJL? b. Pertanyaan terkait kepentingan 5. Apa yang Anda harapkan dari mekanisme PJL ini? Bagaimana instansi/lembaga Anda berencana mewujudkannya? 6. Apa manfaat yang Anda rasakan dari berjalannya mekanisme PJL ini? 7. Sumberdaya/komitmen apa yang dipunyai Anda untuk bersedia (atau tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 8. Apakah minat Anda yang mungkin bertentangan dengan mekanisme ini? 9. Bagaimana pandangan Anda terhadap LSM/masyarakat/swasta? c. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 10. Dalam mekanisme PJL ini apa peran dan fungsi lembaga Anda? 11. Sejauh ini bagaimana fungsi dan peran tersebut bermanfaat bagi mekanisme PJL? 12. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja hak dan kewajiban Anda? 13. Menurut Anda apa saja dampak positif dan negatif yang ditimbulkan dari mekanisme tersebut? 14. Apa hambatan-hambatan yang Anda yang ditemui dalam penerapan mekanisme PJL ini? 15. Apa harapan Anda ke depannya terhadap mekanisme PJL ini? 83 Lampiran 2 Panduan wawancara LSM a. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 1. Mengapa Anda menginisiasi TNGGP sebagai lokasi penerapan mekanisme PJL? 2. Sejauh mana Anda mengetahui pihak-pihak yang berpotensi untuk terlibat dalam mekanisme PJL ini? Siapa saja pihak-pihak tersebut? 3. Bagaimanakah cara Anda mengajak stakeholder lain untuk berpartisipasi? 4. Bagaimana alur mekanisme PJL tersebut berlangsung? 5. Bagaimanakah proses penetapan jumlah dana yang dikompensasikan? Apakah metode tertentu seperti metode valuasi ekonomi? 6. Adakah peraturan pemerintah yang dijadikan payung hukum untuk mekanisme PJL ini? b. Pertanyaan terkait kepentingan 7. Apa yang Anda harapkan dari mekanisme PJL ini? 8. Apa manfaat yang Anda rasakan dari berjalannya mekanisme PJL ini? 9. Sumberdaya apa yang dipunyai Anda untuk bersedia (atau tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 10. Apakah minat Anda yang mungkin bertentangan dengan mekanisme ini? 11. Bagaimana pandangan Anda terhadap swasta/pemerintah/masyarakat? c. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 12. Apakah peranan dan fungsi dari lembaga Anda pada mekanisme PJL ini? 13. Apa saja Hak dan Kewajiban dari lembaga Anda dalam mekanisme ini? Kegiatan apa saja yang dirancang untuk dilakukan demi berjalannya mekanisme ini? 14. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam mekanisme PJL ini? 15. Apa hambatan-hambatan yang Anda yang ditemui selama penerapan mekanisme PJL ini? Apa saja solusi yang diambil? 16. Apa harapan Anda ke depannya terhadap mekanisme PJL ini? 84 Lampiran 3 Panduan wawancara Pemanfaat air a. Pertanyaan umum mengenai TNGGP 1. Apa peran penting TNGGP yang Anda ketahui? Apakah manfaat air dari TNGGP untuk perusahaan Anda? 2. Dari peran penting tersebut apakah upaya konservasi perlu dilakukan? Mengapa? 3. Bagaimana menurut Anda mengenai kondisi dari TNGGP saat ini? b. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 4. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme PJL? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan? 5. Apa alasan Anda mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 6. Berapakah dana yang Anda keluarkan untuk dana kompensasi PJL ini? Bagaimana cara penetapan besarnya dana tersebut? Apakah jumlah dana tersebut sesuai dengan keinginan Anda? c. Pertanyaan terkait kepentingan 7. Apa yang Anda harapkan dari mekanisme PJL ini? 8. Apa manfaat yang Anda rasakan dari berjalannya mekanisme PJL ini? 9. Sumberdaya/komitmen apa yang dipunyai Anda untuk bersedia (atau tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 10. Apakah minat Anda yang mungkin bertentangan dengan mekanisme ini? 11. Bagaimana pandangan Anda terhadap LSM/pemerintah/masyarakat? d. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 12. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Anda harus lakukan sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya? 14. Apa saja keuntungan yang Anda rasakan setelah terlibat dalam mekanisme PJL ini? 15. Apa hambatan-hambatan yang Anda rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini? Solusi apa yang diambil untuk mengatasi hambatan tersebut? 16. Apa harapan Anda ke depannya terhadap mekanisme PJL ini? 85 Lampiran 4 Panduan wawancara masyarakat a. Pertanyaan umum 1. Apakah mata pencaharian utama dan sampingan Anda saat ini? 2. Berapa jumlah tanggungan Anda? 3. Apakah pendidikan terakhir Anda? 4. Berapa penghasilan rata-rata Anda per bulan? 5. Berapa rata-rata pengeluaran Anda sebulan? Untuk keperluan apa? 6. Apakah Anda mempunyai sejumlah lahan? Berapa hektar? Digunakan untuk apa? Bagaimana status lahan tersebut? b. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 7. Apakah Anda mengetahui jasa lingkungan dari hutan/tegakan berkayu? 8. Bagaimana perilaku Anda terhadap mata air dan aliran sungai sekitar rumah Anda? 9. Apakah Anda mengetahui tentang Pembayaran Jasa Lingkungan di desa ini? 10. Apakah Anda menerima sejumlah pembayaran jasa lingkungan? Berapa besar? sejak kapan? 11. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme PJL yang ada saat ini di desa Anda? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan? 12. Apa alasan Anda mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Anda harus lakukan sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya? 14. Apa hambatan-hambatan yang Anda rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini? 15. Apa harapan Anda ke depannya terhadap mekanisme PJL ini? 86 Lampiran 5 Panduan wawancara ketua kelompok tani a. Pertanyaan terkait mekanisme PJL 1. Bagaimanakah pandangan Anda mengenai lingkungan sekitar? 2. Siapakah yang memberikan informasi/pengetahuan mengenai mekanisme PJL yang ada saat ini di desa Anda? Dalam bentuk apa informasi tersebut? Informasi apa saja yang disampaikan? 3. Bagaimana latar belakang keterlibatan dan proses keterlibatan kelompok tani ini dalam mekanisme PJL? 4. Apa alasan Anda mau berpartisipasi dalam mekanisme PJL ini? 5. Bagaimana pandangan Anda mengenai mekanisme PJL? 6. Bagaimana alur mekanisme PJL tersebut berlangsung? b. Pertanyaan terkait kepentingan 7. Apa yang Anda harapkan dari mekanisme PJL ini? 8. Apa manfaat yang Anda rasakan dari berjalannya mekanisme PJL ini? 9. Sumberdaya/komitmen apa yang dipunyai Anda untuk bersedia (atau tidak) dipertukarkan dalam mekanisme ini? 10. Apakah minat Anda yang mungkin bertentangan dengan mekanisme ini? 11. Bagaimana pandangan Anda terhadap LSM/pemerintah/swasta? c. Pertanyaan terkait evaluasi mekanisme PJL 12. Bagaimana proses monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam mekanisme PJL ini? 13. Dalam perjanjian mekanisme PJL apa saja yang Anda harus lakukan sebagai kewajiban untuk menjalani mekanisme tersebut? Dan apakah ada kegiatan lainnya? 14. Apa saja keuntungan yang Anda rasakan setelah terlibat dalam mekanisme PJL ini? 15. Apa hambatan-hambatan yang Anda rasakan selama mengikuti mekanisme PJL ini? 16. Apa harapan Anda kedepannya terhadap mekanisme PJL ini? 87 Lampiran 6 Lokasi-lokasi penelitian Lokasi-lokasi penelitian 87 Sumber: USAID (2009) 88 Lampiran 7 Masukan pemanfaat air untuk pengelola TNGGP ketika proses pembentukan Forpela Faktor-faktor Penyebab yang Terjadi di Lingkup Para Pemanfaat Air di TNGGP 1. TNGGP merupakan menara air bagi tiga kabupaten 2. Belum adanya distribusi pipa kepada masyarakat yang ada di sekitar peruahaan secara merata, sehingga menyebabkan masih adanya desa yang kekurangan air. 3. Perda No. 65, disebutkan adanya kewajiban memberikan kontribusi pajak kepada pemerintah bagi pengguna air komersial 4. Pemanfaat menanyakan siapa yang berhak mengeluarkan SIPA terutama pemanfaatan air dari kawasan konservasi. 5. Masih terlihatnya penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan. 6. Masih terlihatnya para pemanfaat air yang memberikan kontribusi tanpa ada yang memfasilitasi. 7. Peraturan Daerah tentang pengelolaan jasa lingkungan yang belum jelas. 8. MoU yang dibuat antara pemanfaat dan pengelola TNGGP bukan untuk berkewajiban memberikan kontribusi. 9. Belum adanya forum independent yang memfasilitasi para pemanfaat air. 10. Harus ada pengecekan ulang aliran sungai yang ada di kawasan TNGGP. 11. Belum terlaksananya kerjasama diantara para pihak sehingga menimbulkan perbedaan persepsi. 12. Sebagian pemanfaat air masih belum mendapatkan izin pemanfaatan air bersih dari kawasan TNGGP. 13. Belum terbentuknya kerjasama partisipatif dengan masyarakat sekitar dalam upaya konservasi. 14. Kurangnya kerjasama yang baik antar institusi, terutama untuk menjaga kualitas air. 15. Belum adanya pengecekan ulang dari pemerintah daerah tentang pemanfaatan air yang dilakukan para pemanfaat. Harapan dan Tindakan yang Sudah Dilakukan oleh Para Pemanfaat air di TNGGP 1.Adanya penegakan hukum yang konsisten. 2. Adanya bentuk kemitraan dengan aparat pemerintahan setempat. 3. Adanya sebuah forum untuk mengkomunikasikan dan memfasilitasi berbagai permasalahan dengan semua pihak. 4. Adanya sebuah mekanisme kerjasama tentang pengaturan kontribusi air, sehingga terkoordinasi dengan baik 5. Adanya PERDA tentang jasa lingkungan air. 6. Adanya sebuah pengakuan legal, sehingga semua pihak memiliki kewajiban yang sama. 7. Adanya upaya penghijauan secara partisipatif. 8. Adanya sebuah forum yang independent. 9. Adanya sebuah support, peran, serta keterkaitan dalam upaya pengelolaan air, baik dari pemilik dana, pengguna air, dan pemerintah. 10. Semua pihak harus memberikan kontribusi sehingga air tetap terjaga dan terpelihara. 11. Adanya analisis dampak lingkungan. 12. Adanya izin penggunaan air. 13. Kemudahan mendapatkan air dari kawasan TNGGP. 14. Sudah melakukan kegiatan penanaman di lahan-lahan kritis secara partisipatif 15. Sudah tersedia pembibitan pohon tersendiri yang dilakukan para pemanfaat air. 16. Adanya pengukuran debit air yang digunakan para pemanfaat. 17. Sudah melakukan kegiatan pembinaan 18. MoU yang jelas 19. Para pemanfaat air (sektor swasta) diajak menjaga kelestarian hutan dengan membuat kesepakatan bersama. Sumber: Hasil observasi dan kuisioner RCS dan ESP-USAID 89 Lampiran 8 Daftar pemanfaat yang memanfaatkan air dari kawasan TNGGP (di sekitar desa Tangkil dan Cinagara) No. Resort Pemanfaat 1 Alesscia Farm 2 Ibu Ida 3 PT Rejosari Bumi 4 PT Prestine Aqua 5 Peternakan Bunikasih Tapos 6 Romo (Sukaresmi) 7 Jepri (Sukaresmi) 8 Desa Bojong Murni 9 Desa Cileungsi 10 Desa Citapen 11 PT Pacul Tani 12 Peternakan Hendro Cimande 13 Bapak Suryo 14 Peternakan Dodi Sumber: Forpela TNGGP (2009) No. 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Resort Bodogol Pemanfaat Santa Monica Yayasan Batase PT Pasekon Peternakan Fajar Padepokan Walisongo Pusdiklat Karya Nyata RM Desa Bumbu Desa Pancawati Desa Nanggerang Desa Pasir Buncir STTP Cinagara BBDAPK Cinagara Peternakan Wangunjaya Yayasan Dua’pa Lampiran 9 Daftar perusahaan pemanfaat air bersih di sekitar lokasi penelitian 1 Budi Kosasih Lokasi Mata Air Caringin 2 Syahril Caringin 120 3 PT Aqua Asia Irinda dan CV MAP Bojong Murni 120 4 Buana Tirta Abadi Caringin 400 5 Super Wahana Techno, Sinar Mas Group Tirta Sariaji PDAM Tirta Pakuan Caringin 200 No. 6 7 Nama Perusahaan Debit (m3/hari) 120 Keterangan AMDK; izin ESDM terbit tanggal 30 Mei 2008 AMDK; izin ESDM terbit tanggal 19 Oktober 2004 Sejak tahun 2000 dan 2006. Pada tahun 2008 pindah ke Caringin mendirikan AMDK AMDK; izin ESDM terbit tanggal 25 Juli 2008 AMDK; izin ESDM terbit tanggal 04 Desember 2007 Caringin 120 Ciburial, 10.638 Air bersih dan air minum; izin Tangkil, ESDM terbit tanggal 27 Mei Caringin 2008 Sumber: Dinas ESDM (2010) dan hasil penelitian Sutopo (2011) diacu dalam Sutopo (2011) 90 Lampiran 10 Skoring masing-masing pihak No. 1 Para Pihak Masyarakat desa Tangkil dan Cinagara Skoring Pengaruh = 1 Kepentingan = 5 2 Pemanfaat air Pengaruh = 2 Kepentingan = 5 3 Perusahaan AMDK Pengaruh = 2 Kepentingan = 5 90 Keterangan Masyarakat memiliki pengaruh yang rendah terhadap mekanisme. Masyarakat tidak dilibatkan terlalu jauh dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat hanya dapat menjalankan mekanisme yang ada tanpa dapat menolak atau mencegah hal-hal buruk terjadi pada mekanisme. Misalnya: Anggota KSM Cinagara Asri, desa Cinagara tidak dapat berbuat apa-apa ketika proses pendampingan dan penyaluran bantuan dialihkan ke KT Garuda Ngupuk, desa Tangkil. Masyarakat memiliki kepentingan yang sangat tinggi terhadap mekanisme. Hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan bantuan dari penerapan mekanisme. Selain itu, proses berjalannya mekanisme ini merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat menjadi sangat penting untuk dilibatkan karena masyarakat memiliki interaksi terhadap daerah hulu yang tinggi. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan (daerah hulu) juga diharapkan dapat diminimalisasi melalui mekanisme ini. Pemanfaat air memiliki pengaruh yang masih tergolong rendah. Kontribusi yang dilakukan para pemanfaat air dalam mekanisme ini belum terlalu memberikan pengaruh nyata terhadap mekanisme itu sendiri. Kontribusi untuk impelementasi mekanisme (bantuan) lebih banyak berasal dari lembaga donor ataupun anggaran pemerintah. Pemanfaat air memiliki kepentingan yang sangat tinggi terhadap mekanisme. Pemanfaat air membutuhkan pasokan air untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Minat pemanfaat air terhadap usaha perbaikan lingkungan melalui mekanisme ini juga tinggi. Hal ini juga didasari agar sumber air untuk pasokan air mereka tetap terjaga dan mereka tidak kekurangan air. beberapa pemanfaat menyebutkan bahwa melalui mekanisme ini mereka justru lebih hemat dalam membayar penggunaan air jika dibandingkan dengan keikutsertaan mereka di PLN atau PDAM. Pengaruh dari perusahaan AMDK tergolong rendah. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan AMDK tersebut belum terlibat dalam mekanisme yang ada sehingga mereka juga belum terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Apabila perusahaan-perusahaan tersebut sudah terlibat dalam mekanisme, maka pengeruh mereka mungkin dapat memiliki nilai yang lebih tinggi. Kepentingan perusahaan-perusahaan AMDKI berada pada level yang paling tinggi. Perusahaan-perusahaan tersebut sangat bergantung pada pasokan air untuk menjalankan usahanya. Ketertarikan perusahaan-perusahaan AMDK terhadap mekanisme ini juga tergolong tinggi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Sutopo (2011) yang menyebutkan sebanyak 61,1% perusahaan AMDK di wilayah sub DAS Cisadane Hulu bersedia membayar jasa lingkungan. Perusahaan-perusahaan AMDK tersebut akan mengupayakan kelestarian sumber air untuk memenuhi kebutuhan air mereka. 91 Lampiran 9 (Lanjutan) No. 4 Para Pihak BB TNGGP Skoring Pengaruh = 4 Kepentingan = 4 5 Forpela TNGGP Pengaruh = 3 Kepentingan = 4 6 ESP-USAID Pengaruh = 2 Kepentingan = 3 7 RCS Pengaruh = 2 Kepentingan = 3 91 Keterangan BB TNGGP memiliki pengaruh yang tergolong tinggi dalam mekanisme ini. BB TNGGP memiliki kewenangan pengelolaan wilayah di kabupaten/antar kabupaten. Selain itu, BB TNGGP memiliki kewenangan untuk mengeluarkan MoU kerjasama dengan para pihak uuntuk melaksanakan mekanisme ini. MoU tersebut merupakan dasar perjanjian yang diacu dalam mekanisme ini. BB TNGGP memiliki kepentingan yang tinggi terhadap mekanisme ini. BB TNGGP, melalui mekanisme ini memiliki tujuan untuk melestarikan kawasan taman nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di desa penyangga kawasan taman nasional. Forpela TNGGP memiliki pengaruh yang tergolong sedang. Kewenangan yang dilakukan Forpela dilihat dari penetapan nilai kontribusi yang dilakukan para pemanfaat air. Forpela juga membuat rencana penerapan mekanisme yang berjalan melalui kolaborasi program, kegiatan rehabilitasi kawasan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Forpela memiliki kewenangan di dalam mekanisme ini terutama yang berhubungan dengan para pemanfaat air dan penerapan mekanisme di tingkat masyarakat. Forpela TNGGP memiliki kepentingan yang tergolong tinggi. BB TNGGP telah menginisiasi pembentukan forum ini untuk memfasilitasi para pemanfaat air dari kawasan TNGGP untuk memberikan kontribusi. Forum ini kemudian mengelola kontribusi tersebut dan menyalurkannya melalui penerapan program. Jika forum ini tidak ada/tidak berjalan, maka penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada di TNGGP tidak akan berjalan dengan baik. ESP-USAID memiliki pengaruh yang tergolong rendah. ESP-USAID merupakan mitra kerja Forpela dalam penerapan mekanisme yang berjalan. Selain itu, lembaga ini merupakan fasilitator masyarakat desa. Namun, dalam proses pengambilan keputusan ESP-USAID tidak banyak terlibat secara langsung. Ketertarikan lembaga ini terhadap mekanisme tergolong sedang. Hal ini terkait dengan program dari lembaga ini mengenai pengembangan jasa lingkungan. Di satu sisi, lembaga ini memang memiliki ketertarikan terhadap pngembangan jasa lingkungan. Namun, di sisi lain, hal itu juga terkait dengan pelaksanaan program lembaga ini. Pengaruh LSM ini tergolong rendah dalam mekanisme. RCS pada awalnya hanya bertindak sebagai fasilitator dan lembaga donor untuk pembentukan Forpela. Setelah forum tersebut terbentuk, dalam proses pengambilan keputusan tidak lagi melibatkan RCS. Ketertarikan LSM ini terhadap mekanisme yang berjalan tergolong sedang. LSM ini tertarik dengan mekanisme yang berjalan dan juga merupakan mitra kerja Forpela dalam penerapan mekanisme yang ada. Selain itu, mekanisme ini juga mendukung program kerja RCS. Salah satu program kerja RCS adalah program pengembangan masyarakat. Dalam program tersebut terdapat anakan program yaitu pengembangan MDK, pengembangan jasa lingkungan, dan rehabilitasi (Kementrian Kehutanan 2008). Program-program tersebut sejalan dengan penerapan mekanisme yang ada. 92 Lampiran 10 (Lanjutan) No. 8 Para Pihak YBUL Skoring Pengaruh = 1 Kepentingan = 2 9 Mapala UI Pengaruh = 1 Kepentingan = 2 10 Dirjen PJLKKHL Pengaruh = 5 Kepentingan = 4 11 Dinas PSDA Pengaruh = 4 Kepentingan = 3 12 Dinas ESDM Pengaruh = 4 92 Keterangan YBUL memiliki pengaruh yang tergolong rendah dalam mekanisme ini. Yayasan ini tidak terlibat secara langsung dalam mekanisme. Yayasan ini tidak berpengaruh pada proses pengambilan keputusan dalam mekanisme yang ada. Hal ini dikarenakan yayasan ini hanya bertindak sebagai donor untuk memberikan bantuan PLTMH kepada masyarakat. Kepentingan yayasan ini tergolong rendah. Hal ini dikarenakan yayasan ini hanya berperan sebagai pemberi bantuan PLTMH kepada masyarakat. Bantuan tersebut merupakan salah satu penerapan dari mekanisme yang ada. Namun, yayasan ini memiliki ketertarikan terhadap penggunaan alternatif energi terbarukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Mapala UI memiliki pengaruh yang tergolong rendah dalam mekanisme. Mapala UI hanya bertindak sebagai fasilitator dan tidak terlibat langsung dalam mekanisme yang berjalan. Mapala tidak berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan. Tingkat kepentingan Mapala UI juga tergolong rendah. Mapala UI berkepentingan untuk membantu penguatan kapasitas kelompok tani yang dibentuk di kedua desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Dalam mekanisme ini, hal-hal tersebutlah yang coba dicapai Mapala UI melalui kegiatan fasilitasi yang dilakukan. Hal-hal terkait mekanisme mulai dari pembentukan Forpela hingga penerapan mekanisme secara langsung tidak melibatkan Mapala UI. Dirjen PJLKKHL memiliki kewenangan di tingkat nasional dalam hirarki kewenangan. Direjen PJLKKHL juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan surat edaran kepada UPT taman nasional untuk dapat melakukan kerjasama kemitraan dalam pengelolaan jasa lingkungan air. Surat ini yang kemudian menjadi dasar acuan dalam mekanisme ini. Dirjen PJLKKHL memiliki kepentingan yang hampir sama dengan BB TNGGP. Kelestarian kawasan taman nasional merupakan hal yang diprioritaskan oleh Dirjen PJLKKHL. Dinas PSDA memiliki kewenangan di tingkat kabupaten. Dinas ini memiliki kewenangan untuk membuat aturan mengenai pemanfaatan air di tingkat kabubaten (PERDA). Dalam mekanisme ini, dinas PSDA memfasilitasi pembuatan aturan dimana Pemerintah Daerah akan mengambil kontribusi berupa pajak ketika pemanfaat air mengambil air melalui sumur bor dan berada di luar kawasan konservasi Dinas PSDA memiliki minat terhadap pengelolaan sumberdaya air yang tergolong sedang. Di tingkat kabupaten, dinas ini juga memiliki program terkait dengan lingkungan (pengelolaan SD air). Program-program tersebut dapat berjalan sesuai maupun berlainan dengan mekanisme yang ada. Dinas ESDM memiliki kewenangan di tingkat kabupaten dalam kaitannya dengan pengembangan energi dan sumberdaya mineral. 93 Lampiran 10 (Lanjutan) No. Para Pihak Skoring Kepentingan = 1 13 Dinas Pertanian dan Kehutanan Pengaruh = 4 Kepentingan = 3 14 BPDAS CitarumCiliwung Pengaruh = 4 Kepentingan = 3 Keterangan Dinas ESDM memiliki kepentingan yang tergolong rendah dengan mekanisme ini. Dinas ini tidak memiliki hubungan langsung dengan jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan. Adapun program yang dijalankan terkait lingkungan, lebih banyak mengenai energi dan sumberdaya mineral. Selain itu, peranan lembaga ini belum terlalu jelas terlihat pada mekanisme yang berjalan. Dinas Pertanian dan Kehutanan memiliki kewenangan di tingkat kabupaten. Dinas ini memiliki kewenangan untuk membuat aturan terkait pertanian dan kehutanan di tingkat kabubaten (PERDA). Dinas Pertanian dan Kehutanan memiliki minat terhadap mekanisme yang tergolong sedang. Dinas ini memiliki kepentingan untuk mengoptimalkan perlindungan dan pemanfaatan terhadap sumberdaya alam. Kepentingan tersebut sejalan dengan mekanisme karena mekanisme ini dijalankan di kawasan taman nasional. BPDAS Citarum-Ciliwung memiliki pengaruh yang hampir sama dengan BB TNGGP. Pengaruh tersebut terkait dengan wilayah pengelolaan DAS yang memiliki cakupan wilayah antar kabupaten/propinsi. Wilayah pengelolaan yang luas memungkinkan lembaga ini untuk membuat keputusan yang mempengaruhi keseluruhan wilayah pengelolaannya. Dalam mekanisme yang berjalan, lembaga ini dapat mempengaruhi keputusan yang diambil di wilayah hulu dan hilir. Namun, dalam mekanisme yang berjalan di TNGGP, lembaga ini belum dilibatkan secara langsung. Hal ini juga dikarenakan, pendekatan mekanisme yang digunakan di TNGGP adalah pendekatan kawasan taman nasional, belum melalui pendekatan DAS. BPDAS Citarum-Ciliwung memiliki kepentingan yang tergolong sedang. Belum diketahui secara lebih lanjut apakah lembaga ini akan ikut berpartipasi dalam mekanisme atau tidak. Hal ini dikarenakan lembaga ini juga memiliki program-program terkait lingkungan dan pengelolaan DAS. Apabila kemudian lembaga ini dapat berpartisipasi dalam mekanisme, hal ini akan membantu proses fasilitasi dan pengembangan hubungan hulu-hilir dalam mekanisme. 93 93 Lampiran 11 Rekomendasi skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP LSM dan Akademisi Desa Penyangga TNGGP BB TNGGP Kelompok Tani Rehabilitasi dan Konservasi kawasan TNGGP Program Dana Kompetitif Perkebunan multistrata yang dikelola masyarakat desa penyangga Jasa air Forpela TNGGP Pemanfaat air dari kawasan TNGGP dan wilayah penyangga Perusahaan AMDK Perusahaan non AMDK Lembaga Donor Lainnya Instansi Desa/masyarakat PDAM Keterangan: PEMDA Pelanggan PDAM Forum Pelanggan PDAM : Alur mekanisme PJL : Fasilitasi 93 94 Lampiran 12 MoU kerjasama antara Forpela dengan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango 94 95 Lampiran 12 (Lanjutan) 95 96 Lampiran 12 (Lanjutan) 96 97 Lampiran 12 (Lanjutan) 97 98 Lampiran 12 (Lanjutan) 98 99 Lampiran 12 (Lanjutan) 99