PeNdeKataN HuKuM terHadaP PeMBaNGuNaN

advertisement
PENDEKATAN HUKUM TERHADAP PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN MELALUI PENGATURAN TANGGUNG
JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Budi Santoso*
Abstract
Abstrak
The lack of contribution of multinational
companies to sustainable development
leads to the society urging multinational
companies to implement corporate social
responsibility (CSR). In the eye of law, CSR
regulations constitues as legal tool that can
be utilised as a soft approach to support
sustainable development.
Kontribusi perusahaan multinasional
terhadap pembangunan berkelanjutan
dirasakan masih kurang. Banyak
pihak kemudian menuntut perusahaan
multinasional melaksanakan tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR). Oleh karena
itu, pengaturan CSR dalam konteks hukum
merupakan suatu piranti hukum lunak yang
dapat dijadikan sebagai pendekatan untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kata Kunci: tanggung jawab sosial perusahaan, pembangunan berkelanjutan.
A. Pendahuluan
Kemajuan dan kemakmuran negara
sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya
pembangunan yang dilaksanakan. Masalah
pembangunan internasional, yang terutama
berhubungan dengan pembangunan ekonomi
di negara-negara miskin dan negara-negara
berkembang seringkali berbenturan dengan
kepentingan perusahaan multinasional untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dan kepentingan lingkungan alam untuk
pemanfaatan bagi generasi mendatang.
Perusahaan-perusahaan multinasional
di bidang pertambangan, misalnya telah
banyak mengeruk keuntungan dari negaranegara dimana mereka beroperasi. Dunia
sangat mengenal bagaimana perusahaan
*
multinasional pertambangan seperti Newmont, Freeport, Chevron, Exxon Mobil, dan
sebagainya telah menjadi raksasa-raksasa
bisnis yang menguasai tambang-tambang
potensial di berbagai negara berkembang.
Sebagai contoh, dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, Exxon Mobil memperoleh keuntungan sebesar US$40,6 miliar.
Nilai penjualan Exxon Mobil mencapai
US$404
miliar,
melampaui
Produk
Domestik Bruto (PDB) dari 120 negara di
dunia. Perusahaan minyak Amerika Serikat
lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan
yang diperolehnya sepanjang tahun 2007
mencapai US$18,7 miliar. Sedangkan perusahaan Royal Dutch Shell dari Belanda
menyebutkan nilai keuntungan yang mereka
Dosen Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang (e-mail: [email protected]).
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
peroleh dalam waktu setahun mencapai
US$31 miliar.1
Nilai penjualan yang diperoleh perusahaan-perusahaan minyak dari negaranegara maju ini tidaklah sebanding dengan
PDB beberapa negara sedang berkembang
atau negara-negara dunia ketiga, tempat
perusahaan-perusahaan tersebut menjalankan kegiatan eksplorasinya. Sebagai contoh,
hingga akhir tahun 2007, PDB Indonesia
belum sanggup menembus US$400 miliar,
untuk triwulan ke III tahun 2007 saja hanya
mencapai Rp2.901 triliun (kurang lebih
setara US$322 miliar).2
Laporan Tahunan The United Nations
Development Program (UNDP) tahun 2006
menyebutkan bahwa 40 persen populasi
penduduk di dunia adalah miskin, yaitu 2,5
miliar manusia hidup di bawah US$2 sehari.
Total pendapatan dari mereka sebanding
dengan 5 persen pendapatan global, sementara 10 persen populasi orang terkaya memiliki harta kekayaan sebanding dengan
sekitar 54 persen pendapatan global. Lebih
dari 800 juta orang kelaparan dan kekurangan gizi, lebih dari 1,1 miliar orang tidak memiliki akses air minum dan setiap jam sebanyak 1.200 anak-anak meninggal dunia
karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Walaupun ekonomi global dan kemajuan teknologi berkembang cepat, banyak
orang di negara-negara dunia ketiga tidak
dapat menikmati tujuan dari globalisasi.3
Salah satu faktor yang menyebabkan
kondisi tersebut terjadi adalah karena banyak
1
2
3
165
perusahaan-perusahaan multinasional cenderung hanya mengeksploitasi sumbersumber daya alamnya tanpa diimbangi
dengan usaha-usaha untuk memperbaikinya.
Selain itu, masyarakatnya pula cenderung
terabaikan, sangat kurang upaya perusahaan
bagi meningkatkan taraf hidup masyarakat
tersebut. Tak heran, pengelolaan perusahaan
lebih memprioritaskan pada usaha untuk
memaksimalkan keuntungannya. Oleh
karena itu, strategi bisnis perusahaan
seringkali dipandang lebih berdimensi
jangka pendek untuk mewujudkan tujuan
memaksimalkan shareholder value dan
terkadang mengabaikan dampak sosial dan
lingkungan.
Akibatnya, muncul banyak tuntutan
tentang peranan dan aktivitas perusahaan
terutama terkait dengan masalah kesenjangan sosial ekonomi antara perusahaan dengan
kehidupan masyarakat sekitarnya. Mereka
berpandangan bahwa perusahaan tidaklah
sekedar sebuah entitas ekonomi yang hanya
mengejar keuntungan, tetapi juga merupakan suatu institusi sosial yang berada dalam
suatu komunitas sosial dan membawa serta
tanggungjawab sosial perusahaan (corporate
social responsibility).
Dalam konteks pembangunan internasional, perusahaan-perusahaan multinasional, khususnya yang bergerak dalam
bidang pertambangan, dituntut untuk mempunyai andil dalam pembangunan sosial
dan pelestarian lingkungan alam sekitarnya.
Seringkali mereka dianggap sebagai pihak
PAB Online, “Indonesia Sudah Tergadai”, http://web.pab-indonesia.com/index2.php?option=com_content&do_
pdf, diakses 3 Juni 2011.
Ibid.
UNDP, “Annual Report 2006”, http://www.undp.org/publications/annualreport2006/index.shtml, diakses 8 Juni
2011.
166 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
yang harus bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan tempat dimana mereka
menjalankan kegiatan operasinya. Tidak
sedikit laporan tentang kerusakan lingkungan yang terkait dengan kegiatan
operasional suatu perusahaan pertambangan
multinasional.
Berdasarkan kondisi pembangunan
yang terjadi, khususnya pembangunan di
negara-negara miskin dan negara-negara
berkembang, dikaitkan dengan kegiatan
operasional perusahaan multinasional dan
dampaknya terhadap pembangunan sosial
dan lingkungan sekitarnya, maka beberapa
organisasi pembangunan dunia, Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia dalam
beberapa dekade terakhir ini terus mempromosikan pentingnya perusahaan-perusahaan multinasional menjalankan praktik
tanggung jawab sosial perusahaannya.4
Keseluruhannya telah berhasil meyakinkan
sebagian perusahaan-perusahaan bahwa
mereka mempunyai tanggung jawab karena
perusahaan merupakan sebuah ‘corporate
citizens’ yang tidak hanya bertujuan untuk
menciptakan keuntungan.5
Organisasi-organisasi internasional telah banyak membuat instrumen-instrumen
yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan dalam bentuk, misalnya OECD
Guidelines for Multinational Enterprises
2000. Instrumen-instrumen internasional
tersebut di atas tidaklah akan efektif jika
tidak ada peran dari negara-negara untuk
ikut serta mempromosikan praktek tanggung tanggung jawab sosial sebagai sesuatu
yang penting untuk dilaksanakan oleh
perusahaan. Pemerintah Indonesia, misalnya,
telah memasukkan ketentuan mengenai
tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam
pengaturan undang-undang, yakni UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, sebagai sesuatu yang bersifat wajib
untuk dilaksanakan (mandatory).
Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk menegaskan gagasan-gagasan
yang telah muncul mengenai pentingya
pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu pendekatan hukum terhadap pembangunan internasional, khususnya CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Tulisan ini
secara berurutan menguraikan mengenai
konsep pembangunan internasional yang
berkelanjutan, peranan CSR terhadap
pembangunan internasional, dan diakhiri
dengan pengaturan CSR melalui instrumeninstrumen internasional serta penutup.
B. Konsep Pembangunan Internasional
yang Berkelanjutan
Pembangunan diartikan sebagai proses
yang memfasilitasi setiap orang dan semua
masyarakat dalam memperoleh manfaat
pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan
politik.6 Oleh karena itu, pembangunan
Vivos menyebutnya dengan istilah “the role of multilateral development institutions”. Lihat dalam Rhys Jenkins, “Globalization, Corporate Social Responsibility and Poverty”, International Affairs, Volume 81, Nomor 3,
2005, hlm. 530.
5
Jennifer A. Zerk, 2006, Multinationals and Corporate Social Responsibility: Limitations and Opportunities in
International Law, Cambridge University Press, New York, hlm. 58.
6
Pasal 1 Declaration on the Right to Development 1986.
4
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
adalah sebuah proses yang komprehensif,
yang bertujuan untuk meningkatkan
standar hidup semua orang.7 Hal tersebut
diantaranya dilakukan melalui kegiatankegiatan dalam rangka mengurangi
kemiskinan, meningkatkan taraf kesehatan
dan pendidikan masyarakat, dan sebagainya.
Itulah yang merupakan tujuan fundamental
masyarakat internasional, seperti yang
dinyatakan dengan jelas dalam United
Nations Charter.8
Kegiatan dan proses pembangunan
telah dianggap sebagai hak negara untuk
membangun.9 Bagaimana dan dengan cara
apa pembangunan itu dilakukan adalah
kehendak bebas masing-masing negara.
Namun demikian, hak negara untuk membangun ini tentunya akan bersinggungan
dengan standar lingkungan hidup internasional. Oleh karena itu, perlu adanya
integrasi antara kepentingan lingkungan
hidup dengan pembangunan. Integrasi
ini kemudian telah melahirkan sebuah
konsep, yaitu pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).10 Istilah pembangunan berkelanjutan merupakan konsep
baru yang terkait dengan konsep pembangunan. Makna keterkaitan ini dapat
dihubungkan dengan masalah efisiensi
dan keadilan. Melakukan efisiensi untuk
memperbesar hasil pembangunan, dan
9
7
8
10
11
12
13
167
melakukan keadilan (equity) untuk pendistribusian yang layak serta menjaga keberkelanjutan pemanfaatannya.11
Definisi pembangunan berkelanjutan
dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian internasional dan instrumen lainnya.
Menurut the World Commission on Environment and Development (WCED), sebagaimana disebutkan dalam 1987 Brundland
Report, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang
berusaha memenuhi keperluan hari ini,
tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi keperluan
mereka.12 Pengertian ini menunjukkan
bahwa pemanfaatan sumber daya alam
tidak hanya untuk memenuhi keperluan
generasi sekarang tapi tentunya juga harus
memperhatikan kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
The Word Summit on Sustainable Development (WSSD) yang diselenggarakan
di Johannesburg, Afrika, tahun 2002 telah
mempertegas mengenai paradigma pembangunan internasional, yaitu bahwa pembangunan haruslah dilandasi konsep pembangunan berkelanjutan sebagai pendekatan
baru berdasarkan pertimbangan keterkaitan
dan ketergantungan antara pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial, dan
pembangunan lingkungan alam sekitar.13
Pembukaan Declaration on the Right to Development 1986.
Pasal 55 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945.
Asif dan Ziegler, 2007, International Economic Law, Sweet & Maxel, London, hlm. 496.
Ibid., hlm. 498.
Daud Silalahi, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Berbasis
Pembangunan Sosial dan Ekonomi”, Makalah, Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 2003,
hlm. 14.
Claire dan Khalfan, 2004, Sustainable Development Law: Principles, Practices and Prospects, Oxford University Press, Oxford, hlm. 18.
Ibid., hlm. 26.
168 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
Dari kedua pengertian di atas, dapat
dianalisis bahwa terdapat dua konsep penting yang terkait dengan proses pembangunan. Pertama, konsep kebutuhan,
terutama kebutuhan dasar generasi sekarang.
Kedua, ide keterbatasan yang didasarkan
pada pertimbangan kemajuan teknologi
dan organisasi masyarakat untuk menetapkan daya dukung lingkungan hidup
yang mampu menopang kehidupan generasi
sekarang dan generasi yang akan datang.
Pembahasan konsep pembangunan
berkelanjutan dianggap sebagai koreksi
terhadap kelemahan konsep pembangunan
yang didasarkan pada model pertumbuhan
ekonomi (economic growth model) yang
dianut dalam konsep pembangunan Eropa
setelah Perang Dunia Kedua.14 Dalam
model-model ekonomi klasik, pendapatan
merupakan hasil dari tiga faktor produksi
utama, yaitu sumber daya alam, tenaga
kerja, dan modal. Sedangkan para ekonom
neo klasik menganggap bahwa sumber daya
alam merupakan faktor produksi yang
melimpah dan mudah tercipta kembali,
sehingga peranannya dapat diabaikan
dan hanya tenaga kerja dan modal yang
dianggap menentukan tinggi rendahnya
produksi nasional. Hal tersebut berbeda
dengan pandangan yang dikemukakan
Keynes. Menurutnya, agar pembangunan
dapat berlangsung untuk jangka panjang,
maka sumber daya alam harus dianggap
sebagai barang langka (a scarcity of natural
resources). Walaupun demikian, Keynes
tetap saja menganggap bahwa sumber
daya alam tidak berperan dalam produksi
nasional.15
Paradigma yang terdapat pada teoriteori ekonomi tersebut terbukti ampuh
dalam meningkatkan angka pertumbuhan
ekonomi, terutama bagi negara-negara
maju. Namun demikian, bersamaan dengan
kemajuan di bidang ekonomi, banyak orang
mulai tidak puas dengan pola pembangunan yang diterapkan dan mempertanyakan
keberhasilan pembangunan itu sendiri. Pola
pembangunan yang dilaksanakan tersebut
dianggap telah melampaui batas kegunaannya dan bahkan menuju ke arah yang
merugikan umat manusia. Berkurangnya
sumber daya alam dan munculnya berbagai
jenis pencemaran dianggap akan menghambat pembangunan pada masa depan.16
Saat banyak pihak mengkhawatirkan
dampak negatif dari pola pembangunan
tersebut, paradigma ekonomi pun mulai
bergeser. Asumsi bahwa sumber daya alam
melimpah dan mudah tercipta kembali sudah tidak tepat lagi. Kekhawatiran tersebut
kemudian memunculkan pola pembangunan
yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment).17 Walaupun demikian, Konferensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pembangunan dan lingkungan lingkup
tahun 1992 telah memberi kritik terhadap
konsep pembangunan yang berwawasan
lingkungan yang dianggap gagal karena
Daud Silalahi, Op.cit., hlm. 1.
Anggito Abimanyu, 1997, Pembangunan Berkelanjutan dan Perencanaan Energi Masa Depan, Mencari
Paradigma Baru Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta, hlm. 212.
16
Ibid.
17
Ibid., hlm. 213. Lihat juga dalam Thomas H. Tietenberg, 1996, Environmental and Natural Resources Economics, Pearson Addison Wesley, Boston.
14
15
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
tidak membawa perubahan yang signifikan. Contohnya, kemajuan ilmu dan
teknologi baru dianggap tidak membawa
keadilan bagi negara-negara sedang berkembang, sebab sekitar 70 persen penduduk
dunia yang berada di negara-negara
sedang berkembang hanya memperoleh
30 persen dari pendapatan dunia dan hal
itu bisa memunculkan ketidakadilan yang
berkelanjutan.18
Oleh karena itu, menurut konsep
pembangunan berkelanjutan, pembangunan
tidaklah hanya bagi mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth). Pertumbuhan
ekonomi yang dicapai melalui peningkatan
produksi barang dan jasa secara melimpah
haruslah seimbang dengan aspek kepentingan lingkungan dan aspek kepentingan
sosial, terutama yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat miskin. Pembangunan ekonomi, pembangunan sosial,
dan perlindungan lingkungan tersebut saling
berkaitan dan merupakan pilar pendukung
bagi pembangunan berkelanjutan.
C. Peranan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan terhadap Pembangunan
Perusahaan-perusahaan multinasional
merupakan pelaku pembangunan yang
sangat kuat dibandingkan dengan pelaku
pembangunan yang lainnya. Ukuran kapitalnya yang luar biasa besar dan kepentingan
untuk selalu menghasilkan keuntungan
dalam jangka panjang menyebabkan
169
perusahaan-perusahaan tersebut haruslah
terlibat dalam model pembangunan yang
berkelanjutan.19 Kekuatan kapital perusahaan-perusahaan besar di dunia tersebut
telah menjadikan mereka memiliki pengaruh
besar dalam ekonomi dunia. Perusahaanperusahaan tersebut dengan kuat telah
mempengaruhi arus ekonomi politik baik
di negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara maju.20
Perusahaan multinasional yang memiliki jaringan perusahaan di berbagai
negara tentunya mempunyai peran dan
pengaruh terhadap roda pembangunan di
berbagai negara. Berbagai kegiatan usahanya telah juga memberi dampak positif
bagi peningkatan pendapatan suatu negara
selain juga sebaliknya telah dianggap
sebagai salah satu pelaku pembangunan
yang harus bertanggung jawab terhadap
kerusakan lingkungan, misalnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, tidaklah berlebihan sekiranya masyarakat internasional
menuntut perusahaan-perusahaan multinasional untuk menjalankan praktek
tanggung jawab sosial.
Secara filosofis, konsep tanggung
jawab sosial perusahaan (CSR) hendak
melihat perusahaan sebagai agen moral.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah
perusahaan seharusnya menjunjung tinggi
moralitas. Parameter keberhasilan suatu
perusahaan dalam sudut pandang CSR
adalah mengutamakan prinsip moral dan
Daud Silalahi, 2003, Loc.cit.
Michael Hopkins, 2007, Corporate Social Responsibility and International Development, Eartscan, London,
hlm. 3 dan 7.
20
S. Zadek, 2001, Third Generation Corporate Citizenship, The Foreign Policy Centre, London, hlm. 4. Lihat
juga J. Bendell, “Barricades and Boardrooms: A Contemporary History of the Corporate Accountability Movement”, Paper, Technology, Business and Society Program Paper Number 13, UNRISD, Jenewa, 2004, hlm. 11.
18
19
170 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
etis, yaitu mencapai suatu hasil terbaik tanpa
merugikan masyarakat.
CSR mempunyai hubungan dengan
memperlakukan stakeholders perusahaan
secara etik atau dalam cara yang bertanggung jawab. “Secara etik atau bertanggung
jawab” artinya memperlakukan stakeholders dengan cara-cara yang dapat diterima
oleh komunitas masyarakat bersangkutan.
Keberadaan stakeholders ada di dalam
maupun di luar perusahaan. Tujuan yang
lebih luas dari tanggung jawab sosial adalah
untuk menciptakan standar-standar hidup
yang lebih tinggi dan semakin tinggi, sambil
memelihara profitabilitas perusahaan, untuk
orang-orang, baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan itu.21 Pemahaman
lainnya mengenai CSR dikemukakan oleh
the World Business Council for Sustainable
Development (WBCSD), yaitu bahwa
CSR merupakan komitmen dunia usaha
untuk terus menerus bertindak secara etis,
berbisnis secara legal dan berkontribusi
untuk peningkatan ekonomi, bersamaan
dengan peningkatan kualitas hidup pekerja
dan keluarganya sekaligus juga peningkatan
kualitas komunitas lokal dan masyarakat
secara lebih luas.22 Sedangkan Bank Dunia
mendefinisikan CSR sebagai komitmen
dunia usaha untuk mengembangkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
bersama dengan para pekerja, wakil-wakil
komunitas, dan masyarakat setempat secara
keseluruhan untuk meningkatkan kualitas
hidup yang saling menguntungkan bagi
bisnis dan pembangunan.23
Pemahaman CSR telah menimbulkan
berbagai teori yang kontroversi, rumit dan
tidak jelas.24 Dua teori yang paling sering
dikemukakan terkait CSR adalah shareholder theory dan stakeholder theory.
Menurut shareholder theory, CSR nampak
hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan
ekonomi sebuah perusahaan, yaitu memperoleh keuntungan saja. Satu-satunya tanggung jawab sosial perusahaan adalah meningkatkan keuntungan sebesar mungkin
bagi pemegang saham. Hanya aspek
ekonomi dari interaksi antara perusahaan
dan masyarakat yang dipertimbangkan.
Oleh karena itu, usulan-usulan mengenai
aktivitas sosial akan diterima hanya jika
hal itu sesuai dengan upaya meningkatkan
keuntungan perusahaan. Teori ini telah lama
diterima dan dipraktikkan oleh perusahaan.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
oleh Windsor bahwa motif utama untuk
menciptakan kekayaan secara progresif
telah mendominasi konsepsi managerial
perusahaan tentang tanggung jawab.25
Kelompok ini bisa disebut sebagai kelompok
arus utama dan yang paling dominan
dalam perdebatan tanggungjawab sosial
perusahaan.
Sedangkan
menurut
Stakeholder
Theory, hubungan antara bisnis dan masya-
Michael Hopkins, 2007, Op.cit., hlm. 15-16.
WBCSD, 1999, Corporate Social Responsibility, WBCSD Publications, Jenewa, hlm. 3.
23
Y. Wibisono, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR; Corporate Social Responsibility, Fascho Publishing,
Gresik, hlm. 7.
24
E. Garriga dan D. Mele, “Corporate Social Responsibility Theories: Mapping the Territory” Journal of Business
Ethics, Nomor 53, 2004, hlm. 51.
25
D. Windsor, “The Future of Corporate Social Responsibility”, International Journal of Organizational Analysis,
Volume 9, Nomor 3, 2003, hlm. 226.
21
22
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
rakat adalah tidak bisa dilepaskan dari
nilai-nilai etik. Perusahaan harus juga
memperhatikan kepentingan stakeholders’
dalam kegiatannya, diantaranya para pekerja, pemasok, konsumen dan komunitas
masyarakat dimana perusahaan menjalankan usahanya. Hal ini menimbulkan sebuah
visi mengenai CSR dari perspektif etik.
Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus
menerima tanggung jawab sosial sebagai
kewajiban etik melampaui pertimbanganpertimbangan lainnya. Sally Wheeler menyebutnya sebagai Aristotelian Ethics.26 Hal
ini sedikitnya karena tiga alasan: Pertama,
perusahaan sesungguhnya dibentuk dan
dikelola oleh individu atau orang yang
berasal dari civil society; Kedua, akumulasi
modal perusahaan tidak mungkin terjadi
tanpa keberadaan civil society yang
merupakan pasar mereka; Ketiga, aktivitas
perusahaan memiliki dampak terhadap
masyarakat.
Sebagai harapan publik yang terus
meningkat terhadap peranan perusahaan
dalam masyarakat, sejumlah perusahaan
mencari cara-cara untuk memasukkan konsep dan program CSR ke dalam strategistrategi bisnis mereka dalam jangka panjang
yang bermanfaat untuk kepentingan bisnisnya dan juga masyarakat. Walaupun telah
diperdebatkan bahwa bertanggungjawab
secara sosial tidak selalu bermanfaat untuk
asfek finansial sebuah perusahaan, namun
terdapat contoh-contoh perusahaan yang
telah memperoleh keuntungan kembali
manakala perusahaan bersangkutan men-
171
jalankan bisnis yang bertanggungjawab
secara sosial dan lingkungan.27 Untuk alasan
tersebut, pendukung CSR mempercayai
bahwa sebagai pelengkap terhadap atau
dalam ketiadaan peraturan perundangan,
pengaturan CSR mungkin bisa menjadi
suatu cara yang berpengaruh terhadap
perusahaan-perusahaan untuk ikut serta
memperbaiki dampak negatif pembangunan
dan berkontribusi secara aktif terhadap
pembangunan berkelanjutan.
Badan-badan pembangunan internasional dan juga Bank Dunia telah melihat
bahwa implementasi CSR oleh perusahaanperusahaan multinasional sebagai suatu
mekanisme yang berpotensi untuk mewujudkan pembangunan internasional yang
lebih baik.28 Hipotesis bahwa inisiatifinisiatif CSR oleh perusahaan-perusahaan
multinasional dapat memberikan suatu kontribusi terhadap pembangunan internasional
yang positif bukan tidak berdasar. Umumnya, para pihak yang mempercayai bahwa
program-program CSR bisa berkontribusi
positif terhadap pembangunan menjelaskan
manfaat-manfaat dari program-program
CSR baik bagi perusahaan bersangkutan
maupun bagi pembangunan internasional,
khususnya pembangunan di negara-negara
sedang berkembang dan negara-negara
miskin.
Jika ditinjau dari sudut kemanfaatan
program-program CSR terhadap perusahaan
yang melaksanakannya, sekurang-kurangnya
terdapat empat manfaat CSR. Pertama, CSR
dapat membantu perusahaan-perusahaan
Sally Wheeler, 2007, Corporations and the Third Way, Hart Publishing, Oregon, hlm. 59.
Lihat dalam L. Sharp-Paine, 2003, Value Shift, McGraw-Hill, New York.
28
J.G. Frynas, “The False Development Promise of Corporate Social Responsibility: Evidence From Multinational Oil Companies”, International Affairs, Volume 8, Nomor 3, 2005, hlm. 582.
26
27
172 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
untuk menangani resiko dan memperbaiki
reputasi serta citra publik mereka dengan
cara memperkuat hubungan antara perusahaan-perusahaan dengan masyarakat
dimana mereka berusaha.29 Kegiatan usaha
perusahaan yang memberikan manfaat
kepada masyarakat dapat meningkatkan
keterlibatan masyarakat sekaligus terbangunnya sikap positif masyarakat luas.
Kesatuan perusahaan dengan masyarakat ini
adalah kunci untuk mendapatkan keadaan
perusahaan yang stabil dan bisnis yang
menguntungkan.
Mungkin juga suatu perusahaan melaksanakan program-program CSR dalam
usaha untuk mendapatkan penerimaan
dan dukungan masyarakat untuk aktivitasaktivitas mereka. Hal ini penting karena
walaupun perusahaan-perusahaan mungkin
mempunyai hak berdasarkan hukum untuk
menjalankan usahanya, mereka mungkin
tidak mendapatkan penerimaan oleh
masyarakat sekitarnya. Ini dapat menjadi
biaya yang mahal untuk sebuah perusahaan,
terutama jika kegiatan-kegiatan usaha
mereka diganggu.
Kedua, CSR dapat meningkatkan performa keuangan perusahaan disebabkan
oleh kecenderungan bertambahnya orang
banyak untuk membuat keputusan-keputusan investasi yang sadar dari segi sosial.30
Investasi yang beretika telah mengalami
suatu kenaikan yang tinggi. Menurut
Hopkins, diperkirakan US$1,4 triliun dalam
bentuk aset kini diinvestasikan dalam
portofolio-portofolio tanggungjawab sosial
dan lingkungan di perusahaan Amerika.31
Ketiga, tanggung jawab sosial perusahaan memberi perusahaan-perusahaan
suatu keunggulan kompetitif, terutamanya
apabila bersaing untuk memperoleh
kontrak-kontrak. Sebagai contoh, Frynas
memperhatikan bahwa di sejumlah negaranegara produsen minyak, perusahaan-perusahaan minyak yang bertanggungjawab
secara sosial telah didukung oleh negara
untuk memperoleh konsesi minyak dan gas.
Pula, perusahaan-perusahaan menengah
dan kecil yang telah berkomitmen lebih
besar bagi melaksanakan aktivitas-aktivitas
bisnis yang bertanggungjawab secara sosial
dan lingkungan diberi rantaian penjualan
oleh pembeli-pembeli internasional.32
Keempat, CSR dapat membantu perusahaan-perusahaan mempekerjakan orangorang berbakat tinggi.33 The Millenium
Poll on Corporate Social Responsibility
mendapati bahwa 20-39% responden condong bagi mengganjar atau menghukum
perusahaan mereka sendiri berdasarkan
kadar tanggung jawab sosialnya.34 Salah
satu cara yang dilakukan oleh orang-orang
berbakat tinggi bagi memberi ganjaran atau
menghukum perusahaan mereka sendiri
Michael Hopkins, “Corporate Social Responsibility: An Issues Paper”, Working Paper No. 27, Policy Integration Department, World Commission on the Social Dimension of Globalization, International Labour Office,
Jenewa, 2004, hlm. 3.
30
Zadek, 2001, Op.cit., hlm. 25.
31
Michael Hopkins, 2004, Op.cit., hlm. 4.
32
J.G. Frynas, 2005, Op.cit., hlm. 584.
33
Ibid., hlm. 586.
34
The Prince of Wales Business Leaders Forum, “The Millennium Poll on Corporate Social Responsibility”,
Executive Briefing, Environics International Ltd. in cooperation with The Prince of Wales Business Leaders
Forum and The Conference Board, November 2003.
29
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
adalah mereka akan tetap bekerja atau
meninggalkan pekerjaannya. Oleh karena
itu, disebabkan biaya yang tinggi dalam
rekrutmen pekerja, perusahaan-perusahaan
yang mengamalkan tanggung jawab sosial
bisa lebih efisien karena mereka tidak akan
mengalami tingkat penggantian pekerja yang
tinggi. Juga, Frynas mengemukakan bahwa
CSR secara potensial dapat menjadikan
pekerjanya merasa lebih positif mengenai
perusahaan tempat mereka bekerja.35
Uraian di atas jelas menggambarkan
bahwa CSR telah memberi dampak positif
atau manfaat terhadap perusahaan. Walaupun
demikian, kebanyakan penyokong CSR
lebih meminati manfaat CSR terhadap
pem-bangunan. CSR dapat membantu perusahaan-perusahaan memaksimumkan investasi asing (foreign direct investment).36
Sebagai contoh, Fox et al. mengklaim
negara-negara dapat memastikan bahwa
investor-investor asing berperan untuk
pembangunan dalam bentuk penciptaan
lapangan kerja, transfer pengetahuan dan
teknologi, dan penyediaan infrastruktur
melalui penerimaan kebijakan-kebijakan
berkaitan dengan praktek CSR. Contohcontoh kebijakan investasi internal antaranya syarat-syarat mengenai transfer teknologi, hubungan-hubungan dengan ekonomi
lokal dan perundingan dengan masyarakat
lokal.37
Program-program CSR yang semakin
maju dipraktikkan oleh perusahaan-per-
173
usahaan telah mampu membuat satu sumbangan yang lebih besar terhadap pembangunan. Program-program CSR telah
bergerak dari inisiatif-inisiatif kedermawanan (contohnya menyumbang peralatan
kedokteran untuk sebuah rumah sakit) ke
arah investasi dalam proyek-proyek yang
tertumpu pada berkelanjutan.38
Walaupun demikian, hal itu tidak bermakna bahwa semua bentuk kedermawanan patut ditinggalkan. Dalam beberapa kasus, sumbangan-sumbangan kedermawanan
masih merupakan suatu cara yang efektif
bagi perusahaan-perusahaan untuk membuat
satu sumbangan berharga kepada masyarakat,
terutamanya jika perusahaan-perusahaan
memberi sumbangan-sumbangan untuk
badan-badan yang sedang melaksanakan
proyek-proyek pembangunan yang telah
dirancang baik. Di pihak lain, hadiahhadiah yang diberikan secara terus kepada
masyarakat kini dipandang sebagai cara
yang kurang efektif bagi perusahaanperusahaan untuk menyumbang kepada
pembangunan berkelanjutan karena manfaat
jenis kedermawanan ini pada umumnya tidak
long-lived.
Dalam beberapa kasus, contohnya apabila negara-negara dikelola oleh pemerintah yang lemah, perusahaan-perusahaan
mungkin lebih berkemampuan menyumbang kepada pembangunan daripada pemerintah. Untuk tujuan ini, UNCTAD memberi
ulasan bahwa di negara-negara dengan
J.G. Frynas, 2005, Op.cit., hlm. 586.
Department for International Development (DFID), 2003, DFID and Corporate Social Responsibility, Multinational Enterprises Engagement Team at DFID, London.
37
Tom Fox, Halina Ward, dan Bruce Howard, 2002, Public Sector Roles in Strengthening Corporate Social
Responsibility: A Baseline Study, International Institute for Environment and Development (IIED), World Bank,
Washington D.C., hlm. 10.
38
J.G. Frynas, 2005, Op.cit., hlm. 598.
35
36
174 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
kompetitif yang lemah, CSR mensyaratkan
sebuah perusahaan harus memberi perhatian
khusus kepada kepentingan-kepentingan
stakeholder’s yang dapat terkena dampak
buruk oleh operasi-operasi bisnis perusahaan
berkenaan.39
D. Pengaturan CSR Melalui Instrumen
Internasional dan Domestik
Ketentuan hukum internasional menyatakan bahwa perusahaan multinational
bukan ‘subyek’ dalam sistem hukum
internasional. Secara historis diyakini
bahwa hanya negara yang dapat menjadi
‘subyek’ hukum internasional.40 Walaupun
demikian, dalam perkembangannya dewasa
ini telah banyak peranan dan kontribusi
perusahaan multinasional dalam masyarakat internasional, termasuk dampak aktivitas
perusahaan tersebut terhadap kualitas
pembangunan internasional.
Pendapat berbagai pihak umumnya
tidak meyakini jika dampak dari aktivitas
perusahaan multinasional dapat dikontrol
dengan baik. Hal ini karena perusahaan
multinasional dengan mudah dapat menghindari hukum negara melalui mobilitas
dan kelonggaran struktur dan organisasi
mereka. Manakala tiap-tiap negara berhak
untuk mengontrol perusahaan multinasional yang didirikan atau dijalankan di
dalam wilayahnya, banyak negara tersebut
mungkin tidak mempunyai kemauan politik
untuk berbuat demikian dengan baik,
sehingga hal ini meningkatkan perbedaan
dalam standar-standar sosial dan lingkungan
antara negara-negara.
Perbedaan tersebut dieksploitasikan
oleh beberapa perusahaan multinasional
untuk kepentingan bisnisnya, yaitu mereka
akan menjalankan aktivitasnya di negaranegara dimana biaya-biaya produksinya
rendah yang disebabkan oleh standar dan
perundangan yang kurang mendukung.41
Oleh karena itu, gerakan tanggung jawab
sosial perusahaan internasional telah
dikemukakan sebagai jawaban terhadap
jurang perbedaan dalam sistem perundangan tiap-tiap negara ini.
Gerakan tanggung jawab sosial
perusahaan telah mempunyai pengaruh
yang penting pada bidang sosial dan
politik dalam menentang dampak negatif
dari kegiatan perusahaan multinasional.
Organisasi-organisasi internasional dan badan-badan pembangunan internasional telah
secara aktif mengkampanyekan tanggung
jawab sosial perusahaan dalam beberapa
dekade ini. Organisasi dan badan internasional tersebut antara lain Bank Dunia,
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB),
Badan Pembangunan Internasional Kanada
(CIDA), Kantor untuk Pembangunan
Internasional Inggris (DFID) dan sebagainya.42 Keseluruhannya telah berhasil meyakinkan sebagian perusahaan-perusahaan bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab karena perusahaan ialah sebagai
UNCTAD, “The Social Responsibility of Transnational Company”, Paper, United Nations, New York, 1997,
hlm. 7.
40
I. Seidl-Hohenveldern, 1987, Corporations in and Under International Law, Grotius Publications, Cambridge,
hlm. 1.
41
Jennifer A. Zerk, 2006, Op.cit., hlm. 1-2.
42
Rhys Jenkins, 2005, Op.cit., hlm. 529.
39
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
‘corporate citizens’ yang tidak hanya
bertujuan untuk menciptakan keuntungan.43
Sampai kini, negara-negara dan organisasi-organisasi internasional telah mendokumenkan kebijakan-kebijakan, prinsipprinsip dan aspirasi berkaitan tanggung
jawab sosial perusahaan dalam bentuk ‘soft
law’.44 Di antara contoh ‘soft law’ penting
berkaitan tanggung jawab sosial perusahaan
adalah OECD Guidelines for Multinational
Enterprises 2000, ILO Tripartite Declaration on the Declaration of Principles
concerning Multinational Enterprises and
Social Policy 1977, UN Secretary General’s
Global Compact dan UN Norms on the
Responsibili­ties of Transnational Corporations and other Business Enterprises
with Regard to Human Rights’ (‘the UN
Norms’).45
Sebagai contoh, OECD Guidelines
for Multinational Enterprises mengandung
bagian mengenai ‘Kebijakan Umum’ yang
merupakan hasil perjanjian negara-negara
anggotanya mengenai kewajiban sosial
untuk perusahaan-perusahaan multinasional. Menurut ‘Kebijakan Umum’ ini,
perusahaan multinasional harus membuat
kebijakan-kebijakan dalam negara-negara tempat dimana mereka berkegiatan
dan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan para pemegang kepentingan
lainnya (stakeholders). Dalam hal ini,
perusahaan harus:46
175
1. Berkontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan dengan
satu paradigma untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
2. Menghormati hak asasi manusia, yaitu
untuk mereka yang terkena dampak
oleh aktivitas-aktivitas perusahaan
multinasional.
3. Secara aktif melakukan kegiatankegiatan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kerjasama erat
dengan masyarakat berkenaan.
4. Secara aktif mengupayakan peningkatan kemampuan modal sosial,
khususnya dengan mewujudkan
peluang pekerjaan dan memberikan
peluang pelatihan untuk pekerja.
5. Tidak mencari atau menerima pengecualian yang tidak diatur dalam
perundangan yang berkaitan dengan
lingkungan, kesehatan, keamanan,
pekerja, pajak, insentif keuangan, atau
bidang-bidang lainnya.
6. Mendukung dan menjalankan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang
baik (good corporate governance).
7. Membuat dan menjalankan sistem
manajemen secara baik untuk membangun suatu hubungan atau interaksi yang saling percaya antara perusahaan dengan masyarakat dimana
mereka beroperasi.
8. Membangun kesadaran pekerja
atas kebijakan-kebijakan perusahaan
melalui penyebaran atau sosialisasi
kebijakan-kebijakan tersebut, termasuk melalui program-program
pelatihan.
Jennifer A. Zerk, 2006, Op.cit., hlm. 58.
‘Soft law’ dalam konteks hukum internasional merujuk kepada prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang telah disepakati antara negara-negara, atau telah disebarluaskan oleh institusi internasional, tetapi tidak diberi mandat
oleh hukum tunduk tunduk kepada suatu kewajiban hukum. Standar ‘soft law’ diberi beberapa istilah , lazimnya
‘codes of practices’, ‘guidelines’, ‘recommendations’ atau ‘declarations’. Tetapi, apa pun istilahnya, pematuhannya adalah ‘sukarela’. Lihat dalam Jennifer A. Zerk, 2006, Op.cit., hlm. 70.
45
Jennifer A. Zerk, 2006, Loc.cit.
46
OECD, 2008, OECD Guidelines for Multinational Enterprises, OECD Publishing, Paris.
43
44
176 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
9. Tidak melakukan tindakan diskriminasi atau pendisiplinan terhadap
pekerja yang membuat laporan-laporan dengan itikad baik kepada manajemen atau pihak pemerintah mengenai praktek-praktek yang melanggar
hukum, peraturan, atau kebijakan
perusahaan.
10.Membangun kesadaran mitra bisnis,
termasuk pemasok dan subkontraktor
untuk menjalankan prinsip-prinsip
perilaku perusahaan (principles of
corporate conduct).
11.Menghindarkan dari pelibatan-pelibatan yang tidak benar dalam aktivitas-aktivitas politik setempat.
Contoh lainnya adalah UN Global
Compact, yang mengandung standar yang
lebih khusus, yaitu berkaitan dengan
bidang-bidang hak asasi manusia, pekerja,
lingkungan, dan anti korupsi. UN Global
Compact meminta perusahaan-perusahaan
multinasional untuk mendukung dan membuat satu panduan nilai-nilai utama dalam
bidang-bidang hak asasi manusia, standar
pekerja, lingkungan, dan anti korupsi. 47
Bahkan dalam lingkup domestik,
terdapat negara yang mewajibkan tanggung
jawab sosial untuk dilaksanakan oleh
perusahaan-perusahaan, apalagi perusahaan
multinasional. Indonesia, misalnya, telah
mengatur tanggung jawab sosial perusahaan
sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan
(mandatory), yakni melalui Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25
tentang Penanaman Modal.
Dari uraian di atas, jelas bahwa
ruang lingkup tanggung jawab sosial
dari perusahaan multinasional terdiri dari
bidang ekonomi, sosial dan lingkungan
yang dilandasi oleh etika atau moral, yaitu
perusahaan multinasional harus menjalankan aktivitas bisnisnya secara jujur dan
selaras dengan standar aktivitas bisnis.48
Tiap-tiap standar tanggung jawab
sosial perusahaan internasional mengandung satu kenyataan pasti bahwa tidak terdapat kewajiban-kewajiban secara hukum
untuk menjalankannya.49 Walaupun demikian, pendapat bahwa standar internasional
sebagai ‘non-binding’ tidak bermaksud
bahwa kandungannya tidak penting secara
hukum. Misalnya, Rio Declaration 1992,
walaupun dari segi bentuknya adalah standar ‘soft law’, namun kini beberapa
prinsipnya telah meluas dianggap sebagai
sebagian dari hukum kebiasaan (customary
law).50
Hukum kebiasaan mempunyai potensi
baik untuk mengembangkan kewajibankewajiban ‘home states’ untuk membuat
pengaturan dan pengawasan terhadap
perusahaan multinasional secara baik
maupun untuk mengenakan kewajibankewajiban langsung baru pada perusahaan
multinasional untuk membangun tanggung
jawab sosial perusahaan. Walaupun demikian
United Nations Global Compact, “The Ten Principles”, http://www.unglobalcompact.org/AboutTheGC/TheTenPrinciples/index.html, diakses 12 Agustus 2011.
48
Peter T. Muchlinski, 2007, Multinational Enterprises and the Law, Oxford University Press, New York, hlm.
104.
49
Sebagai contoh lihat dalam OECD Guidelines for Multinational Enterprises.
50
P. Birnie & A. Boyle, 2002, International Law and the Environment, Oxford University Press, Oxford, hlm.
109.
47
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
hambatan utama supaya pengaturan tanggung jawab sosial perusahaan internasional
untuk perusahaan multinasional dapat
berjalan baik adalah bukan secara hukum
tetapi secara politik. Apakah standar
tanggung
jawab
sosial
perusahaan
internasional – termasuk ‘soft law’ dalam
hukum internasional – telah bergerak ke
depan atau tidak tergantung pada bagaimana negara-negara menjawab harapan
moral, lingkungan, dan sosial terhadap
perusahaan multinasional dan kebutuhan
perundang-undangan baru.51
E. Penutup
Keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan internasional menuntut daya
dukung yang kuat dari para pelakunya,
tidak hanya negara dan organisasi
internasional, tetapi juga dari sektor swasta,
terutama perusahaan multinasional. Hal
177
ini karena perusahaan multinasional mempunyai kekuatan dan pengaruh yang besar
dalam proses pembangunan internasional.
Sebagai salah satu institusi hukum yang
hidup dalam masyarakat, perusahaan
multinasional mempunyai tanggung jawab
sosial untuk menghindarkan dampak
buruk dari aktivitas-aktivitas bisnisnya.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau
corporate social responsibility (CSR)
dianggap sebagai sebuah jawaban bagi
keberhasilan pembangunan internasional
yang berkelanjutan. Namun demikian, agar
CSR ini dapat dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional secara lebih
“memaksa”, maka adalah penting untuk
membuat pengaturan-pengaturan CSR,
baik dalam lingkup internasional maupun
nasional. Oleh itu, CSR semestinya dapat
dijadikan sebagai suatu pendekatan hukum
bagi pembangunan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abimanyu, Anggito, 1997, Pembangunan
Berkelanjutan dan Perencanaan Energi
Masa Depan, Mencari Paradigma
Baru Pembangunan Indonesia, CSIS,
Jakarta.
Asif dan Ziegler, 2007, International
Economic Law, Sweet & Maxel,
London.
Birnie, P., dan Boyle, A., 2002, International Law and the Environment,
Oxford University Press, Oxford.
Claire dan Khalfan, 2004, Sustainable
Development Law: Principles, Prac Jennifer A. Zerk, 2006, Op.cit., hlm. 103.
51
tices and Prospects, Oxford University
Press, Oxford.
Department for International Development
(DFID), 2003, DFID and Corporate
Social Responsibility, Multinational
Enterprises Engagement Team at
DFID, London.
Fox, Tom, Ward, Halina, dan Howard,
Bruce, 2002, Public Sector Roles in
Strengthening Corporate Social Responsibility: A Baseline Study, International Institute for Environment and
Development (IIED), World Bank,
Washington D.C.
178 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 - 237
Hopkins, Michael, 2007, Corporate Social
Responsibility
and
International
Development, Eartscan, London.
Muchlinski, Peter T., 2007, Multinational
Enterprises and the Law, Oxford
University Press, New York.
OECD, 2008, OECD Guidelines for
Multinational Enterprises, OECD
Publishing, Paris.
Seidl-Hohenveldern, I., 1987, Corporations
in and Under International Law,
Grotius Publications, Cambridge.
Sharp-Paine, L., 2003, Value Shift, McGrawHill, New York.
Tietenberg, Thomas H., 1996, Environmental
and Natural Resources Economics,
Pearson Addison Wesley, Boston.
WBCSD,
1999,
Corporate
Social
Responsibility, WBCSD Publications,
Jenewa.
Wheeler, Sally, 2007, Corporations and
the Third Way, Hart Publishing,
Oregon.
Wibisono, Y., 2007, Membedah Konsep
dan Aplikasi CSR; Corporate Social
Responsibility, Fascho Publishing,
Gresik.
Zadek, S., 2001, Third Generation Corporate
Citizenship, the Foreign Policy Centre,
London.
Zerk, Jennifer A., 2006, Multinationals
and Corporate Social Responsibility:
Limitations and Opportunities in
International
Law,
Cambridge
University Press, New York.
B.Artikel Jurnal
Frynas, J.G., “The False Development Promise of Corporate Social Responsibility: Evidence From Multinational
Oil Companies”, International Affairs,
Volume 8, Nomor 3, 2005.
Garriga, E. dan Mele, D., “Corporate Social
Responsibility Theories: Mapping the
Territory” Journal of Business Ethics,
Nomor 53, 2004.
Jenkins, Rhys, “Globalization, Corporate
Social Responsibility and Poverty”,
International Affairs, Volume 81,
Nomor 3, 2005.
Windsor, D., “The Future of Corporate
Social Responsibility”, International
Journal of Organizational Analysis,
Volume 9, Nomor 3, 2003.
C. Makalah
Bendell, J., “Barricades and Boardrooms:
A Contemporary History of the
Corporate Accountability Movement”,
Paper, Technology, Business and
Society Program Paper Number 13,
UNRISD, Jenewa, 2004.
Hopkins, Michael, “Corporate Social
Responsibility: An Issues Paper”,
Working Paper No. 27, Policy Integration Department, World Commission on the Social Dimension of
Globalization, International Labour
Office, Jenewa, 2004.
Silalahi, Daud, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Rangka Pengelolaan
Sumber Daya Alam yang Berbasis
Pembangunan Sosial dan Ekonomi”,
Makalah, Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII, Denpasar, 2003.
The Prince of Wales Business Leaders
Forum, “The Millennium Poll on
Corporate Social Responsibility”,
Executive Briefing, Environics International Ltd. in cooperation with The
Santoso, Pendekatan Hukum Terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Prince of Wales Business Leaders
Forum and The Conference Board,
November 2003.
UNCTAD, “The Social Responsibility
of Transnational Company”, Paper,
United Nations, New York, 1997.
D.Artikel Internet
PAB Online, “Indonesia Sudah Tergadai”,
http://web.pab-indonesia.com/index2.
php?option=com_content&do_pdf,
diakses 3 Juni 2011.
UNDP, “Annual Report 2006”, http://
179
w w w. u n d p . o r g / p u b l i c a t i o n s /
annualreport2006/index. shtml, diakses
8 Juni 2011.
United Nations Global Compact, “The
Ten
Principles”,
http://www.
unglobalcompactorg/AboutTheGC/
TheTenPrinciples/index.html, diakses
12 Agustus 2011.
E. Produk Hukum
Declaration on the Right to Development
1986.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945.
Download