burning skripsi ii - Fakultas Hukum UNSOED

advertisement
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
SUSANTI
E1A008298
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
Disusun Oleh:
SUSANTI
E1A008298
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada Jum’at, 22 Februari 2013
MENGETAHUI
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Antonius Sidik M.,S.H.,MH.
NIP. 19580905 198601 1 001
Sanyoto, S.H.,M.Hum.
NIP. 19610123 198601 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
ii
Penguji
Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H.
NIP. 19800812 205011 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya:
Nama
: SUSANTI
NIM
: E1A008298
Judul
:::::PENOLAKAN
PERMOHONAN
KASASI
DALAM
PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
Menyatakan bahwa skripsi yang Saya buat ini adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan
orang lain.
Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Februari 2013
SUSANTI
NIM. E1A008298
iii
ABSTRAK
Putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas
perkara Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
tertanggal 28 Juli 2010 tentang “Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai
pemohon pailit dan PT. Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya
mengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebon
Jeruk Cs merasa tidak puas. PT. Interkon Kebon Jeruk kemudian mengajukan
upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi,
permohonan kasasi tersebut ditolak. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik
melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “ PENOLAKAN
PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan
Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.
Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi dalam perkara kepailitan dan akibat hukum ditolaknya kasasi
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa pertimbangan
hukum hakim mahkamah agung dalam menolak permohonan kasasi tidak tepat
karena debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagaiamana termaktub dalam
Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum
ditolaknya kasasi tersebut PT. Interkon Kebon Jeruk pailit dan seluruh harta
kekayaan PT. Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana
termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
dibawah pengawasan hakim pengawas.
Kata Kunci: kasasi, kepailitan, pengadilan niaga.
iv
ABSTRACT
Decisionof the commercial court at the Central Jakarta District Court
on case No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated July 28,
2010 on "Bankruptcy" between Tomi Bungaran Cs., as applicants bankruptcy and
PT. Interkon Kebon Jeruk as a defendant of bankruptcy petitioners which granted
entirely applicants’s petitions have caused PT. Interkon Kebon Jeruk unsatisfied.
PT.Interkon Kebon Jeruk Cs then filed cassation to the Supreme Court of the
Republic of Indonesia. However, the appeal was rejected. Based on the
description, the authors are interested in doing research by taking a thesis title
“The Refusal of Casation Remedy with Regard to Bankrupcty Proceeding” (A
Judicial Review Of Decision Number 771 K/Pdt.Sus/2010 Supreme Court)".
The type of this research is normative juridical,with legislation and
analysis approach. This study aims to determine the legal reasoning of the
Supreme Court’s judgein rejecting the appeal in a bankruptcy case and legal
consequences of the rejection. Result showed that the legal reasoning of judges in
Supreme Court in rejecting an appeal is not appropriate because the debtor
fulfilled the agreement aswritten in Article 70 paragraph (1) of Law No. 37 Year
2004. Legal consequences of the appeal rejection is PT.Interkon Kebon Jeruk was
bankrupt and all assets of PT. Interkon Kebon Jeruk submitted to the curator as
set forth in Article 69 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004, under the
supervision of supervisory judge.
Keywords: appeal, bankruptcy, commercial court.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah
melimpahkan
menyelesaikan
rahmat
penulisan
dan
hukum
hidayah-Nya,
(skripsi)
sehingga
berjudul
“
penulis
dapat
PENOLAKAN
PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah
Agung)”.
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syaratsyarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari
begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan
besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.
Penulisan hukum (skripsi)
ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari
bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua
pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan
pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1.
Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum , sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam
meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya.
vi
2.
Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini;
3.
Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya
skripsi ini;
4.
Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
5.
Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6.
Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
7.
Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8.
Semua aktivis atau pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
9.
Seluruh keluarga besar Orang tua, kakak dan adik terimakasih atas dukungan
semangat dan doanya.
10. Sahabat terbaikku Dwi Nurul Hastuti, Dwi Kantiningsih, Dwi Nanda
L.H.N.K, Desy Yuliana, Uun Nur Yahya, Lia Nurjannah, Melda, Aya,
Yuanita, Afib, Ida, Tika, Wiwik, Nindu, Ranggi, Nining, Putri, Dita, Febri
serta seluruh teman seperjuanganku angkatan 2008, seluruh keluarga besar
UKI FH Unsoed, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, teman-teman
KKN Banjarkerta, Karanganyar, Purbalingga, dan yang tidak bisa Penulis
sebut satu per satu, terimakasih atas dukungan doa dan semangatnya.
vii
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang
telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi)
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan
akademis, praktisi serta masyarakat umum.
Purwokerto, Februari 2013
Penulis,
Susanti
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KEPAILITAN
1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan ........................................... 9
2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit ............................................... 10
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Pailit ............... 12
4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit ........................ 13
ix
5. Akibat Hukum Putusan Pailit ......................................................... 16
6. Pembuktian Sederhana ................................................................... 18
7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya ............................................. 20
B. KASASI
1. Pengertian Kasasi ........................................................................... 35
2. Alasan Kasasi ................................................................................. 36
3. Fungsi Peradilan Kasasi ................................................................. 39
C. PUTUSAN HAKIM
1. Pengertian Putusan ......................................................................... 40
2. Kekuatan Putusan .......................................................................... 40
3. Susunan dan Isi Putusan ................................................................. 41
4. Jenis-jenis Putusan ......................................................................... 42
5. Putusan Pengadilan Niaga .............................................................. 46
6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi .......................... 48
D. PERDAMAIAN (Accord)
1. Pengertian Perdamaian (Accord) ..................................................... 57
2. Pembatalan Perdamaian ................................................................... 60
3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian .......................................... 62
x
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian .................................................................................. 64
B. Metode Penelitian ............................................................................... 64
C. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 64
D. Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 65
E. Metode Penyajian Hukum .................................................................. 66
F. Metode Analisis Bahan Hukum ......................................................... 66
BAB IV HASIL DAN PENELITIAN
A. Hasil Pene litian .................................................................................... 71
B. Pembahasan ......................................................................................... 130
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................................. 155
B. Saran .................................................................................................... 155
DAFTAR PUSTAKA
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang
secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia
tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan
kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat
menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi
permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat
penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang
rapi dan aman
tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum
dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum
yang sudah ada dan tidak melanggarnya. Hukum bukanlah semata-mata
sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan
untuk dilaksanakan dan ditaati. 1
Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni
hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturanaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan
kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan
aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan
mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. Hukum materill
1
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, 2002, Liberty
Yogyakarta, hal.1.
2
sebagaimana terjelma dalam undang- undang atau yang bersifat tidak tertulis
merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam
pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau
hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan
kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain
atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada
pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill
perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan
hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum
formil (hukum acara perdata) atau adjective law. Hukum acara perdata hanya
diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di
samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi
sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya
3
sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan
menghakimi
sendiri
ini
tidak
dibenarkan
dalam
hal
kita
hendak
memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. 2
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan
keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang,
agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki,
setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau
alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan. 3
Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan
Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan
dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan
ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi. 4 Hukum
acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undangundang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR
(Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan:
“Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik
dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk
memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan
upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh
dipergunakan”.
2
Ibid, hal. 2.
Ibid, hal. 232.
4
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi,
Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214.
3
4
Upaya hukum dalam acara perdata pada umumnya terdapat upaya
hukum biasa berupa perlawanan, banding, kasasi dan upaya hukum luar
biasa berupa derden verzet dan peninjauan kembali. Perkara perdata niaga
maupun HKI (Hak Kekayaan Intelektual) tidak dikenal upaya hukum banding
hal ini termaktub dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang
Kepailitan Nomor 37 tahun 2004, sehingga dalam perkara niaga hanya dapat
dilakukan upaya hukum biasa berupa kasasi, serta upaya hukum luar biasa
yang dapat berupa peninjaun kembali sedangkan upaya hukum perlawanan
atau verzet hanya dikenal dalam bentuk yang lain.
Kasasi diharapkan dapat menjadi jawaban yang memuaskan para
pihak, karena kasasi terbatas pada pemeriksaan terhadap penerapan hukum
dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kejadian, sehingga dapat
dilihat apakah dalam putusan sebelumnya telah melanggar hukum atau tidak
dengan harapan dapat memberikan putusan yang memenuhi unsur kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Adapun apabila suatu pengadilan negeri
menurut Mahkamah Agung salah menerapkan suatu hukum atau peraturan
perundang-undangan maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi
tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 5
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan
secara limitatif alasan-alasan pemohon kasasi yaitu:
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
5
K.Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal.143.
5
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan
dari Undang- undang Nomor 48 tahun 1998. Undang-undang tersebut perlu
dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat
sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang
piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Penyelesaian perkara
kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu
badan peradilan khusus yakni pengadilan niaga.
Seseorang atau suatu badan hukum yang mengajukan permohonan
pernyataan pailit, harus mengetahui syarat-syarat kepailitan yang termaktub
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, apabila
permohonan pernyataan Pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka
permohonan pailit tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Pasal 2 ayat
(1) Undang- undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kredit urnya”.
6
Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan
mengadili
Perkara
perdata
dengan
Nomor
Register
Perkara
27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 pada tanggal 21
April 2009 telah menjatuhkan putusan atas permohonan pailit yang diajukan
oleh Tomy Bungaran cs sebagai Pemohon Pailit terhadap PT.Interkon Kebun
Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford
Investment cs sebagai Termohon Pailit. PT.Interkon Kebon Jeruk dianggap
lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan berdasarkan
putusan Nomor 027/ Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 Jo
Nomor 019 PK/N/2006 tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2).
Bahwa Putusan Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/
2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 28 Juli 2010 Hakim Pengadilan Negeri Niaga
Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan terhadap PT. Interkon Kebun Jeruk
dalam salah satu amarnya adalah membatalkan perjanjian perdamaian yang
telah disahkan dalam Putusan Nomor 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo
Nomor21 K/N/2006 jo Nomor 19 PK/N/2006 tanggal 21 April 2009 dan
menyatakan Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk (d/h PT. Intercon
Enterprise) pailit dengan segala akibat hukumnya. Setelah dinyatakan Pailit
pihak
PT. Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy
Yuwono cs dan Rainford Investment cs mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Niaga Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum
dan melanggar peraturan yang berlaku, para pemohon kasasi sangat keberatan
7
terhadap putusan pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu
menolak dengan tegas-tegas putusan judex facti tersebut. Mahkamah Agung
atas permohonan kasasi tersebut telah menjatuhkan putusan yang is inya
menolak permohonan kasasi.
Berdasarkan hal-hal yang duraikan dalam latar belakang tersebut
penulis tertarik untuk meneliti dan menulis Skripsi Putusan Mahkamah
Agung mengenai ditolaknya permohonan kasasi dengan judul:
PENOLAKAN
PERMOHONAN
KASASI
DALAM
“
PERKARA
KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771
K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana penerapan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara
Perdata khusus Kepailitan?
2. Bagaimana akibat hukum kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771
K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:
8
1. Mengetahui penerapan hukum Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam
perkara perdata khusus kepailitan.
2. Mengetahui akibat hukum penolakan permo honan kasasi pada putusan
Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan
lebih mendalam terkait proses beracara dalam kasus kepailitan.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis diharapkan dapat menjadi wacana mengenai ilmu hukum
khusunya hukum acara perdata khusus kepailitan bagi hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEPAILITAN
1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan
Definisi kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini”.
Menurut tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit.6 Kepailitan adalah eksekusi massal yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan
melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit,
baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama
kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan
dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan adalah
suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang
6
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002, hal.83.
10
berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang
berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit
mempunyai piutang dan untuk jumlah utang yang masing- masing kreditur
miliki saat itu. 7 Menurut Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar
Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Kepailitan adalah suatu
lembaga dalam Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok
dalam Hukum Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 8
2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan
syarat kepailitan adalah sebagai berikut:
a. Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur
Menurut Pasal. 2 aya t (1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu
syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditur
atau lebih. Undang- undang ini hanya memungkinkan seorang debitur
dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur.
Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai
concursus creditorium. 9
Persyaratan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai
lebih dari seorang kreditur ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH
Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit
7
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal.7.
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar Hukum Kepailitan di Indonesia.
Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20.
9
Sutan Remy Sjahdeny, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.64.
8
11
kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu
proprate parte. Adapun dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa
besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur ya ng
bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dan
debit ur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang menjadi kreditur
dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur minimal yang
mempunyai utang kepada dua orang kreditur. 10
b. Syarat adanya Utang
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan
mengenai utang, yaitu:
“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,
baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari
atau kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang- undang
dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan debitur”.
Para pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat
membuktikan bahwa debitur mempunyai utang kepadanya. Para pihak
yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari kreditur, (penasihat hukum
dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik
Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi, maupun Majelis
Hakim peninjauan kembali. 11
Menurut Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim- lah yang harus
menentukan ada atau tidak adanya keadaan berhenti membayar utang,
10
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004. hal.15.
11
Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68.
12
ketika mereka tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran apa yang dipakai oleh
hakim untuk menentukan kapan debitur berada dalam keadaan berhenti
membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan pailit. 12
c. Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah
dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau
majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat
ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut
debitur untuk memenuhi prestasinya. 13
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah
pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa
disebut sebagai pihak penggugat. 14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan permohonan
kepailitan adalah:
a. Debitor itu sendiri;
12
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39.
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11.
14
Munir Fuadi, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999, hal.35.
13
13
b. Satu atau lebih kreditor;
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya adalah Bank;
e. Bapepam, dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik.
4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit
Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Kepailitan. Prosesnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit
Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua
pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan
permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama
dengan tanggal pendaftaran.
b. Tahap Pemanggilan Para Pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita
melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:
14
1) Wajib memanggil Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh Kreditur, Kejaksaan, Bapepam, atau Menteri
Keuangan;
2) Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh Debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi.
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat
paling
lambat
7
hari
sebelum
sidang
pemeriksaan
pertama
diselenggarakan.
c. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggla permohonan
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan
menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitur dan
berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit
dari dokter, Pengadilan dan dapat menunda penyelenggaraan sidang
pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan.
Pasal 10 ayat (1) Undang- undang Kepailitan dinyatakan bahwa
selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,
15
setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri
Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
1) Meletakan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
Debitur; atau
2) Menunjukan Kurator sementara untuk mengawasi:
a) Pengelolaan usaha Debitur; dan
b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang
kreditur.
d. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyatan
pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat
merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat,
murah, dan sederhana. Dahulu dalam Undang- undang Nomor 48 tahun
1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan),
pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan
pernyataan pailit. Adapun dengan pertimbangan yang rasional, Undangundang Kepailitan memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana
pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap
16
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat
pula:
1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum atau tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit
wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada
Debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit,
Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah
tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. 15
5. Akibat Hukum Putusan Pailit
Akibat kepailitan diatur dalam Pasal. 21 Undang-Undang Kepailitan
yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan
segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang
telah dimasukan ke dalam harta pailit.
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai
perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang
15
Jono, OP.Cit. hal. 87-91
17
lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke
macht).
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur
tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan
kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut
dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan
dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu
kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 16 Debitur pailit tetap
berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya
tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. 17
Menurut
Pasal
24
Undang-Undang
Kepailitan,
dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam
kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk
kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1)
menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan
dan pemberesan harta pailit, kurator kehilangan hak menguasai harta
yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta
kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih
lanjut dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa
harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat
16
Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal.257.
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.
17
18
pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya
selama kepailitan.
6. Pembuktian Sederhana
Membuktikan, menurut Subekti adalah meyakinkan hakim
tentang
kebenaran
persengketaan.
Pada
dalil-dalil
dasarnya,
yang
esensi
dikemukakan
dalam
suatu
pembuktian
adalah
untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang
berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang
didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. 18 Pasal 163
HIR menyatakan:
“Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak,
atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya
itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
Mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum
acara pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1
Tahun 1998), kecuali dalam hal gugatan Actio Paulina. Pembuktian
sederhana merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor
4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1998, yang menyatakan:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
18
Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit), PSHK,
Jakarta, 2003, hal.147.
19
bahwa
persyaratan
untuk
dinyatakan
pailit
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Terkait yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan
fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya
jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan
pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai:
a. Eksistensi dari satu utang debitur yang dimohonkan kepailitan yang telah
jatuh tempo; dan
b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dari debitur yang dimohonkan
kepailitan.
Pembuktian
sederhana
dalam
memutuskan
permohonan
pernyataan pailit terdapat dala m Faillissement verordening, Undangundang Nomor 4 Tahun 1998, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004. Faillissement verordening menentukan pembuktian sederhana
dilakukan terhadap adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan
yang menunjukan debitur berada dalam keadaan telah berhenti
membayar utang-utangnya, dan jika permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh seorang kreditur, maka terdapat hak penagihan dari
kreditur ini.
20
Pendapat yang berkembang berkaitan dengan pembuktian
sederhana pada masa Faillissement verordening antara lain pembuktian
tentang debitur dalam keadaan berhenti membayar harus dilakukan
secara sederhana (summier). Artinya, Pengadilan di dalam memeriksa
permohonan pernyataan pailit tidak perlu terikat dengan sistem
pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara
perdata. 19
7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya
Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkaraperkara Kepailitan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya
berdasarkan
peraturan
pemerintah,
didasarkan
atas
pertimbangan
kecepatan dan efektivitas. Perkara-perkara kepailitan menurut Undangundang Kepailitan ditentukan jangka waktu pemeriksaan di tingkat
pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap
putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi
ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui pengadilan tinggi,
dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila
dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. 20
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang- undang
Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila
19
Siti Anisah, Perlindungan dan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam hukum kepailitan
di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 127-128
20
Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal. 149.
21
dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari
Pasal-pasal undang- undang tersebut merupakan hukum formil yang berisi
pengaturan proses pengajuan permohona kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat
kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang- undang Nomor 37
Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905
Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga.
Pengadilan Niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa
perkembangan
sejarah
peradilan
di
Indonesia
telah
mengalami
peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan
pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan
umum.
Pembentukan pengadilan niaga ini merupkan langkah diferensial
atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang- undang Nomor 35
Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan niaga
tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan
pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahnun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
22
yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan
dalam empat lingkunga n peradilan tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undangundang.
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan
khusus yang disebut pengadilan niaga tersebut akan khusus bertugas
menangani permintaan pernyataan Kepailitan. Keberadaan lembaga ini
akan diwujudkan secara bertahap, begitu pula dengan lingkup tugas dan
kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau
diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan ada yang penting lagi, tingkat
kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.
Adapun untuk mengetahui landasan yuridis pembentukan
pengadilan niaga dalam hubungannya dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dapat diuraikan di bawah ini:
1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 Ayat (1) menetukan
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Umum dalam
lingkungan:
a. Peradia lan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
23
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 13 menetukan bahwa: “Badan-badan Peradilan Khusus
disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat
diadakan dengan Undang-Undang’.
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(UUPU):
Pasal 1 Ayat (1) UPPU menetukan bahwa: “Pengadilan adalah
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan
Umum.”
Pasal 3 UUPU menentukan bahwa: “Kekuasaaan Kehakiman di
Lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi.
Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi. Pasal 8
UUPU menentukan bahwa: “Di Lingkungan Peradilan Umum dapat
diadakan pengkhususan yang diatur Undang-undang”. Dalam penjelasan
Pasal 8 UUPU menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan
pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan
Peradilan Umum, misalnya pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan
Pengadilan Ekonomi”. Terkait dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun
1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan
Khusus di lingkungan Peradilan Umum.
24
Ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
secara tegas menentukan:
(1) Pengadilan sebagaiman dimaksud dalam Undang- undang ini, selain
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,
berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang
perniagaan yang penetapnnya dilakukan dengan Undang- undang.
(2) Pembentukan Pengadilan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dilakukakan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumberdaya yang diperlukan.
Tujuan utama dibentuknya pengadilan niaga ini adalah agar
dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para
pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka dan efektif,
sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan
usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Adapun selain itu
sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam
proses penyelesaian utang-piutang swasta.
Berlakunya
Undang-undang
Kepailitan
Tahun
1998
telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk
memeriksa permo honan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga
sebagai pengadilan
yang
memiliki
kewenangan
untuk
menerima
Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara
25
formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak
Pengadilan lain. Pengadilan niaga selain memeriksa dan memutuskan
permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan
memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
dilakukan dengan Undang-undang.
Pasal 300 ayat (1) di atas memberikan kekuasaan kepada
pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang
perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU, akan tetapi tidak terdapat
penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di perniagaan tersebut,
hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut, hal ini
disebabkan undang- undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan
demikian, undang-undang yang mengatur hal tersebut kelak, hendaknya
harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan
yurisdiksi dalam mengadili antara pengadilan niaga dengan pengadilan
negeri.
Undang-undang dibidang HAKI secara tegas menentukan
bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di
pengadilan niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga
selain menyelesaiakan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan PKPU,
juga menyelesaikan sengketa di bidang HAKI. Untuk pertama kali dengan
undang-undang ini, Pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Pembnetukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap
dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan
26
kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Sebelum pengadilan niaga
terbentuk, semua perkara menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menegaskan
bahwa:
“Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor
1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 4
Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan
memutus perkara yang menjadi lingkup tugas pengadilan niaga.
Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga saat ini,
kewenangan mengadili (kompetensi absolut) hanyalah meliputi
pemeriksaan dan pemutusan perkara Permohonan Kepailitan
dan PKPU saja, dan untuk pertama sekali pengadilan niaga
dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri
Jakarta Pus at”.
Proses pemeriksaan perkara Kepailitan, Pasal 301 Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan:
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama
dengan majelis hakim;
(2) Terkait dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada Tingkat
Pertama diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.
(3) Menjalankan tugasnya, hakim pengadilan dibantu oleh seorang
Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Jurusita.
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian
perkara kepailitan adalah tentang keenangan pengdilan antara
27
pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru
pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan
di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada
perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan
antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini
terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan
seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh
kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut
menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri.
Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada
mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara
kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada
mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU,
serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga
berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
yang menentukan bahwa:
“Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan
Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat
perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang
yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah
28
memnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2
Ayat (1) Undang-Undang ini”.
Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan
Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula
Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk
memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat
klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP
Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP
Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan
Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri
Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum Pengadilan
Niaga yang meliputi:
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung
Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian
Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan
meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
29
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah
Istemewa Yogyakarta.
Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga meliputi:
(1) Sengketa
di
kewenangan
bidang
perniagaan
Pengadilan
Niaga
yang
pada
termasuk
lingkup
Pengadilan
Negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan
Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan
tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Sengketa
di
kewenangan
bidang
perniagaan
Pengadilan
Niaga
yang
pada
termasuk
lingkup
Pengadilan
Negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan
Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri
Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah
30
hukum masing- masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5
menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya
Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung,
dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat
diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), adalah:
a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan
Umum;
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang
masalah- masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan;
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai
Hakim pada Pengadilan.
Tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang
yang ahli, sebagai Hakim Ad Hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi
31
maupun pada peninjauan kembali (Pasal 302 Undang- undang Nomor
37 Tahun 2004).
Hakim- hakim yang bertugas di pengadilan niaga terdiri dari 2
(dua) macam, yaitu:
a. Hakim Tetap, yaitu para Hakim yang diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim pengadilan
niaga,
b. Hakim Ad Hoc, yaitu hakim ahli yang diangkat khusus dengan
suatu Keputusan Presiden untuk pengadilan niaga di Tingkat
Pertama.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dikatakan dengan alasan yang
cukup mendasar, yaitu untuk membantu meringankan beban-beban
hakim pengadilan niaga dalam menghadapi perkara-perkara/masalahmasalah hukum yang berkaitan dengan transaksi-transaksitertentu.
Selama ini pembahasan tentang peranan hakim Ad Hoc terpusat pada
peranannya dalam memutuskan permohonan perkara Kepailitan.
Mengembalikan
kepercayaan
Kreditur
Asing
dalam
proses
penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan
dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir Hakim Ad Hoc untuk
dapat menjadi bagian dari Majelis Hakim yang memeriksa suatu
perkara di Pengadilan Niaga. Ide awal keterlibatan Hakim Ad Hoc di
pengadilan niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa
pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum
32
(generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada
lingkup niaga diperlukan Hakim dalam keahlian khusus, di luar dari
“Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk
menjadi “Hakim Niaga”.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, yang kemudian dikuatkan
kembali dengan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Selama berlakunya Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 yang
kemudian disemp urnakan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004, Pengangkatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga telah
dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama,
Keppres Nomor. 4 (empat) orang Hakim Ad Hoc untuk masa jabatan 3
(tiga) tahun. Kedua, Keppres Nomor 108/M/2000, berisikan
pengangkatan 9 (sembilan) Hakim Ad Hoc. Penempatan Hakim Ad
Hoc dalam Majelis Hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim
ketua pengadilan niaga pada pengadilan niaga yang bersangkutan,
dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang
berperkara (pemohon pailit).
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam
Pasal 283 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka bila
tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim Ad Hoc tidak
bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem
Hakim Ad Hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat
33
(3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai Hakim Ad Hoc
yang membedakan dengan Hakim Pengadilan Niaga yang lain adalah
Hakim Ad Hoc tersebut haruslah seorang “Ahli”. Jadi, berdasarkan
usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres, maka di
Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang Ahli sebagai Hakim
Ad Hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “Hakim
Niaga” atau “Hakim Karir”, seperti mempunyai kemampuan
pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenngan
Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.
Menurut Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa
kemungkinan pengangkatan Hakim Ad Hoc (Sebagai Hakim
Pengawas atau Hakim Majelis) adalah:
(1) Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan
penetapan Ketua Pengadilan Niaga, yang selayaknya diberikan
jika wajar (should not be reasonably),
(2) Hanya
dengan
penetapan
Ketua
Pengadilan
Niaga
atas
kewenangan sendiri.
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup
terdapat check and balance.biaya atau imbala n bagi Hakim Ad Hoc
tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta pailit. Dalam
ketentuan akhirnya, Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur
tentang ketentuan peralihan yang dimulai dari Pasal 304 Undangundang Kepailitan.
34
Pasal 304 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan
bahwa:
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah
diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan
peraturan perUndang-Undangan di bidang Kepailitan sebelum
berlakunya Undang-Undang ini;
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 305 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan
bahwa:
“ Semua peraturan perUndang-undangan yang merupakan
pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan
(Faillissements verordening staatsblad 1905 : 217 juncto
staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Perpu Nomor. 1
Tahun 1998 tentang perubahan Atas undang- undang tentang
kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat Undang- undang
ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan
dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan
Undang-Undang ini”.
Berlakunya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut dan
menyatakan tidak berlaku lagi Faillissement verodening dan Undangundang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang
kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 yang menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- undang
tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905
35
: 217 juncto staatsblad 1906 : 348) dan Undang- undang Nomor
4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas undang- undang tentang kepailitan
menjadi Undang-undang (LN RI Tahun 1998 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3778), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. 21
B. KASASI
1. Pengertian Kasasi
Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah belanda
dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan
selanjutnya oleh pemerintah belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia.
Dengan demikian Indonesia menganut system “continental”. Adapun
dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan
Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia
dan menjaga agar hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan
adil.
Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang berarti
membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagai pengawas tertinggi atas putusanputusan
pengadilan-pengadilan
lain,
tetapi
tidak
berarti
merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat
kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi
21
Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), PT. Sof Media, Medan, 2010, hal. 229-239
36
hanya diperiksa masalah masalah hukumnya/ penerapan hukumnya. Dasar
hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur
dalam Pasal 20 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48
tahun 2009 yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan
tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung,
Kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”.
Terkait
perkara
kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang, upaya hukum kasasi dapat dilakukan baik oleh debitur
dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama,
juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit sebagaimana ketentuan pasal 11 ayat (3)
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Sidang pemeriksaan atas
permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal
permohonan
kasasi diterima
Mahkamah
Agung
dan
putusan
atas permohonan kasasi harus di ucapakan paling lambat 60 hari setelah
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamh Agung (Pasal 12,13
ayat (1), (2),(3) Undang- undang Nomor 37 tahun 2004).
2. Alasan Kasasi
Upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan
oleh pihak yang merasa dirugikan dan merasa kurang puas terhadap
putusan
Judex
facti,
agar
hakim
Mahkamah
Agung
dapat
mempertimbangkan kembali putusan yang sudah inkracht tersebut
37
sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil bagi pihak yang yang
merasa dirugikan terlebih mengenai penerapan hukumnya didalam putusan
Judex Facti. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus disertai
memori Kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi, jika hal ini
dilalaikan maka permohonan Kasasi dianggap tidak ada. Yurisprudensi
tetap Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan kasasi yang tidak
mengajukan risalah yang memuat alasan-alasan kasasi permohonannya
tidak dapat diterima. 22
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat
(1) yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Perohonan Kasasi
yaitu:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini
tendens kepada kompetensi
relatif
(relatieve
competentie) dan
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, Judex facti
incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya
tentang judex
facti tidak
kewenangannya.Sedangkan
berwenang/bukan
alasan
kasasi
merupakan
disebabkan judex
facti
melampaui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili
tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam
Undang-undang. Adapun ketika melampaui batas wewenang ini dapat
22
Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.43.
38
juga di artikan bahwa yudex facti dalam putusannya telah mengabulkan
lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Hakikat
salah menerapkan
hukum dapat
diartikan
secara
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari
penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens
kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai
serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh
Undang-undang.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat
yang
diwajibkan
oleh
peraturan
perundang-undangan
yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya
39
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak.
3. Fungsi Peradilan Kasasi
Setelah membicarakan justifikasi peradilan kasasi, berikut ini
akan dibicarakan fungsinya ditinjau dari segi teori dan praktik. Ada
beberapa fungsi pokok yang diperankan Mahkamah Agung sebagai
peradilan kasasi, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah ini. 23
a.
Mengoreksi kesalahan peradilan bawahan
Fungsi utama peradilan kasasi, mengoreksi atau memperbaiki
kesalahan peradilan bawahan (to correct error or mistake by the trial
court or lower court).
b.
Berfungsi menghindari kesewenangan
Fungsi kasasi lain, menghindari terjadinya kesewenangan
(arbitary) terhadap anggota masyarakat yang timbul dari putusan
pengadilan bawahan.
c. Menyelesaikan kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum
(General Justice Principle) yang Objektif dan Uniformitas.
Suatu putusan pengadilan tidak hanya semata- mata bersifat
imparsial (imparitiality) yang terebebas dari cacat berat sebelah
(partiality).
23
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal.237.
40
C. PUTUSAN HAKIM
1. Pengertian Putusan
Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan
Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif
memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim
berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan
gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud
supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan
memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu. 24 Menurut Darwan
Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
pengadilan. 25
2. Kekuatan Putusan
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur
tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:
a. Kekuatan Mengikat
Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat
kedua belah pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak
kepada putusan menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba
memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.
b. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis,
yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat
24
Abdulkadir Muhamad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
1990. hal. 21.
25
Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 205
41
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin
diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaanya.
Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan
putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.
c. Kekuatan Eksekutorial
Suatu
putusan
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan
suatu
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak
berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau huumnya saja,
melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara
paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah
cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau
dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak
atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim
mempunyai
kekuatan
eksekutorial,
yaitu
kekuatan
untuk
dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa
oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi
putusan-putusan pengadilan di Indonesia.
3. Susunan dan Isi Putusan
Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang bagaiaman putusan hakim
harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR
(Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27
42
RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri
dari 4 bagian, yaitu:
a. Kepala Putusan
Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan
yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala Putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada
putusan.
b. Identitas Para Pihak
Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak,
maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara
lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada.
c. Pertimbangan
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan
tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang
hukumnya.
d. Amar
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang
merupakan amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan
tanggapan terhadap petitum. 26
4. Jenis-jenis Putusan
Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai
berikut:
26
Sudikno Mertokusmo , OP.Cit. hal.220-225.
43
1) Interlocotoir Vonis
Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum
merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat
berupa:
a. Putusan Provisional (Tak Dim)
Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera
mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya
alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri
menggugat suaminya, di mana gugatan pokoknya adlah “mohon
cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah
melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu,
maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar
nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan
cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang
untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo), sesuai Pasal 235
HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.
b. Putusan Preparatoir
Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan
putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan
pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat
diterima (AT. Hamid 1984: 209). Dalam praktek seringkali terjadi
perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat
44
dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus
mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.
c. Putusan Ins idental
Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara
insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah
satu pihak (penggugat/tergugat), dan lain- lain sebagainya (AT.
Hamid 1984: 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan
putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara
tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan
permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 UndangUndang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan
banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok,
adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.
2) Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:
a. Niet Onvankelijk Verklaart
Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni
putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat
tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil
keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah
sebagai berikut:
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;
b) Gugatan tidak patut;
45
c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
d) Gugatannya salah;
e) Gugatannya kabur;
f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g) Objek gugatannya tidak jelas;
h) Subjek gugatannya tidak lengkap;
i) Dan lain- lain.
b. Tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun
kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan
menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan
dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan
terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya terbukti sebagian,
mka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat
dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan
ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya
kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh
pengadilan. Demikianlah misalnya putusan perkara perdata Nomor
249/Pdt.G/1988/PN.Mdn,
dimana
tergugat
MS
dihukum
46
menyerahkan tiga ekor lambur yang pernah dipinjamnya dari
penggugat. Lembu tersebut ternyata sudah mati, sementara putusan
tidak mengatakan atau menggantinya dengan tiga ekor lembu
lainnya, atau dengan sejumlah uang tertentu.
d. Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan
pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu
dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja. 27
5. Putusan Pengadilan Niaga
Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat
pertama dengan Majelis Hakim, dalam menjalankan tugasnya hakim
pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera
pengganti dan juru sita. Adapun apabila perkara-perkara lain telah dapat
diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga. Ketua Mahkamah
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal (bukan Majelis
Hakim). 28 Undang-undang Kepailitan tidak hanya mengatur masalah
pernyataan pailit dan PKPU. Undang- undang Kepailitan juga mengatur
banyak hal yang tidak terkait langsung dengan pernyataan Kepailitan dan
PKPU. 29
a. Kompetensi Pengadilan
27
Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 206-209
Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal.152.
29
Aria Suyudi dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,
Jakarta. hal.49
28
47
1) Kompetensi absolut
Masalah permintaan pailit adalah menjadi kompetensi absolut untuk
memeriksanya. Jadi tidak ada Badan Peradilan lain di luar Peradilan
umum yang berkompeten untuk memeriksanya.
2) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan
pailit adalah sebagai berikut:
a) Tempat kediaman Debitur
Permintaan pailit dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Debitur/ si
berhutang.
b) Tempat kediaman terakhir Debitur
Permintaan pailit dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat terakhir dari Debitur.
c) Tempat Kantor Firma
Permohonan Pailit terhadap persero-persero Firma diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak kantor
perseroan.
d) Tempat Kantor Termohon Pailit
Dalam hal termohon pailit tidak mempunyai tempat tinggal di
wilayah
Indonesia,
tetapi
mempunyai
pekerjaan
maka
permohonan pailit dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya daebitur tersebut mempunyai kantor.
48
e) Tempat kedudukan Badan Hukum
Permohonan
pailit
terhadap
perseroan
terbatas,
perseroan
pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau lain- lain
perkumpulan yang berbadan hukum dan yayasan- yayasan
dilakukan kepada Pengailan Negeri tempat kediaman, tempat
dimana perseroan-perseroan itu atau perkumpulan-perkumpulan
itu berdomisili.
f) Tempat perempuan melakukan pekerjaan/perusahaan
Sehubungan dengan permintaan pailit ini dapat terjadi dilakukan
oleh beberapa Pengadilan Negeri. 30
6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi
Salah satu prinsip pemeriksaan tingkat kasasi diatur pada Pasal
40 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan, Mahkamah
Agung memeriksa dan memutus perkara dengan Majelis yakni
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Putusan akhir dapat
dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima (Niet
Ontvankelijke Verklaren, To Declare Inadmissible).
Salah satu bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah
Agung pada tingkat Kasasi adalah putusan negatif, berupa
pernyataan
30
permohonan
Darwan Prinst, Op.Cit. hal. 155-156
kasasi
tidak
dapat
diterima
(niet
49
ontvankelijke verklaren). Dasar alasan pertimbangan menjatuhkan
putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima,
yaitu apabila Majelis yang memeriksa perkara itu berpendapat
permohonan Kasasi yang diajukan pemohon, tidak memenuhi syarat
formil yang ditentukan Undang- undang.
Penegakan hukum yang menyatakan permohonan kasasi tidak
dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil, ditegaskan
pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Namun
perlu diingat, penerapan ketentuan ini, harus benar-benar terhadap
syarat formil yang bersifat mutlak. Artinya, syarat formil yang
bersangkutan tidak dapat ditoleransi penegakannya.
Terdapat beberapa syarat formil permohonan kasasi yang harus
dipenuhi. Sifat dari syarat formil tersebut komulatif. Supaya
permohonan kasasi sah menurut hukum, harus semua syarat formil
tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut tidak terpenuhi
mengakibatkan permohonan kasasi mengandung cacat formil
sehingga sehingga permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
1) Permohonan kasasi dilakukan kuasa tanpa surat kuasa yang
khusus memberi kuasa mengajukan kasasi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) huruf a Undangundang Mahkamah Agung, permohonan kasasi dlam perkara
perdata dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau
50
wakilnya. Begitu juga dala m perkara pidana, menurut Pasal 44
ayat (1) huruf b, dapat diajukan terdakwa atau wakilnya atau oleh
jaksa penuntut umum.
2) Permohona Kasasi Tidak disertai Memori Kasasi
Pasal
47
ayat
(1)
Undang-Undang
Mahkamah
Agung
menegaskan, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon
wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasanalasan kasasi. Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi,
merupakan syarat formil keabsahan permoho nan kasasi. Sifatnya
menurut Pasal 47 ayat (1) imperatif (mandatory). Pemohon kasasi
wajib menyampaiakan memori kasasi. Tidak terpenuhinya syarat
tersebut oleh pemohon mengakibatkan permohonan kasasi tidak
sah (ongeldig, invalid), dan Mahkamah Agung menyatakan
permohonan kasasi tidak dapat diterima.
3) Terlambat mengajukan Memori Kasasi
Selain pemohon wajib menyampaikan memori kasasi, terdapat
pula syarat formil tentang batas jangka waktu menyampaikan
memori kasasi itu sendiri. Syarat itu ditegaskan pada Pasal 47
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatakan,
penyampaian memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dlam buku daftar
(rgister).
51
b. Menolak Permohonan Kasasi
Mengenai putusan Mahkamah Agung menolak permohonan
kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan
kasasi tidak memenuhi kriteria.
Bentuk putusan lain yang dpat dijatuhkan Mahkamah Agung
tingkat kasasi, yaitu menolak permohonan kasasi. Putusan yang
menolak
permohonan
kasasibersifat
positif,
karena
telah
menyangkut penilaian terhadap materi pokok perkara:
a. Jadi, putusan yang berbentuk menolak permohonan kasasi,
telah melampaui tahap pemeriksaan dan penilaian syarat formil
permohonan kasasi,
b. Apabila syarat formil terpenuhi, berarti permohonan kasasi
dapat diterima (otvankelijkheid, adminissibility), sehingga
tahap pemeriksaan selanjutnya memeriksa dan menilai putusan
judex facti,
c. Pemeriksaan putusan judex facti dari segi materiil mengacu
dan bertitik tolak dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi
yang diajukan pemohon kasasi dalam memori kasasinya.
2) Keberatan
kasasi
yang
diajukan,
tidak
tunduk
pemeriksaan kasasi.
a. Keberatan kasasi tentang hasil pembuktian
b. Keberatan kasasi atas perubahan berita acara sidang
kepada
52
c. Keberatan kasasi yang tidak ditujukan terhadap putusan judex
factie dan materi poko perkara
d. Keberatan kasasi berupa novum
e. Kebertan yang hanya mengulang fakta-fakta yang telah
diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama dan/atau tingkat
banding
f. Keberatan kasasi irelevan
g. Keberatan kasasi terhadap tindakan pengawasan.
3) Penolakan kasasi dengan perbaikan putusan judex facti.
Seperti yang dijelaskan, apabila keberatan kasasi tidak mengenai
hal yang takluk kepada pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung
menjatuhkan putusan “menolak permohonan kasasi”. Berarti,
dalam hal yang demikian pada dasarnya Mahkamah agung setuju
dan menguatkan putusan judex facti. Ada kalanya, memang pada
dasarnya Mahkamah Agung setuju terhadap pertimbangan dan
kesimpulan pokok putusan judex facti, ternyata terdapat
kekeliruan atas kesalahan maupun kelalaian putusan judex facti,
cuma bobot dan kualitasnya tidak sampai membatalkan putusan.
Menghadapi kasus yang seperti ini Mahkamah Agung cukup dan
berwenang “memperbaiki” pertimbangan dan/atau amar putusan
judex facti.
53
c. Mengabulkan Permohonan Kasasi
Bentuk putusan tingkat kasasi yang ketiga, mengabulkan
permohonan kasasi. Berdasarkan hasil pengalaman dan pengamata,
putusan kasasi yang paling dominan adalah menolak permohonan
kasasi. Berkisar sekitar 80 (delapan puluh) persen. Sebesar 5 (lima)
persen tidak dapat diterima karena permohonan mengandung cacat
formil. Sedang selebihnya, sebesar 15 (lima belas) mengabulkan
permohonan kasasi. 31
Sindiran judi dan permainan untung-untungan (gambling and a
gim of chance) serta kelucuan (erratic), bis terjadi dalam peradilan
kasasi. Gugatan yang terang dasar hukumnya, kemungkinan akan
ditolak meskipun didukung oleh alat bukti yang kuat berdasarkan
fakta- fakta yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, terkadang dasar
hokum dan fakta- fakta pendukungnya tidak memenuhi batas
minimal pemuktian, bias lolos dan melanggang mulaidari peradilan
tingkat pertama. Banding, dan kasasi. Sehubungan dengan
melekatnya faktor a game of chance and erratic yang dikemukakan
di atas, menurut Yahya Harahap tidak berani mengatakan besarnya
presentase pengabulan permohonan kasasi telah benar-benar objektif
secara kuantitatif dan kualitatif. Kemungkinan besar angka itu bisa
bergeser ke bawah dan ke atas apabila dedikasi, moral, dan
profesionalisme lebih dipertajam dan lebih dicerdaskan.
31
Yahya Harahap, Op.Cit, hal.388-399
54
1) Terpenuhinya syarat formil, tahap awal ke arah pengabulan kasasi
Seperti
halnya
putusan
penolakan
kasasi,
tahap
awal
pemeriksaannya berpijak dari keabsahan permohonan. Adapun
apabila pemohonan memenuhi syarat formil, baru terbukti jalur
tahap selanjutnya memeriksa materi poko perkara yang tertuang
dalam putusan judex facti dikaitkan dengan keberatan –keberatan
yang dikemukakan dalam memori kasasi dan kontra memori
kasasi (jika ada).
Begitu juga halnya pada pengabulan kasasi. Harus berawal dari
keabsahan formil permohonan kasasi, baru peradilan kasasi
melangkah memriksa putusan judex facti dan memori kasasi (jika
ada). Seperti yang dijelaskan terdahulu, sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah UndangUndang Nomor 14 tahun 1985, pada dasarnya kewenangan
memriksa dan menilai terpenuhi atau tidak syarat formil
permohonan kasasi, telah dilimpahkan keweangannya kepada
ketua pengadilan tingkat pertama. Menurut Pasal 45 a ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Agung, jika permohonan kasasi
tidak memenuhi syarta formil, ketua pengadilan tingkat pertama
mengeluarkan penetapan yang memuat dictum menyatakan
permohonan kasasi tidak dapat diterima, dan berkas perkaranya
tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
55
Bertitik tolak dari ketentuan ini, dapat dikatakan secara teoretis,
semua berkas perkara kasasi yang dikirimkan ke Mahkamah
Agung sudah lolos seleksi pemeriksaan syarat formil. Majelis
yang memeriksa perkara itu tidak perlu lagi repot-repot meneliti
keabsahan syarat formil, cukup mempercayai hasil penelitian
yang dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Tanpa
mengurangi pendekatan teoretis tersebut, dari segi moral dan
fungsional, majelis yang memeriksa perkara itu, sebaiknya tetap
melakukan control dan penelitian sewajarnya, apakah benar atau
tidak terprnuhi syarat formalnya.
2) Pengabulan kasasi dibarengi pembatalandan mengadili sendiri
Pasal
50
ayat
(2)
Undang-Undang
Mahkamah
Agung
mengabulkan permohonan kasasi, harus dibarengi dengan
tindakan hokum lain:
(1) Membatalkan putusan judex facti yang dikasasi tersebut,
(2) Mengadili
sendiri
perkara
dimaksud
dengan
jala n
menyampingkan dan menyingkirkan (set aside) putusan judex
facti yang dibatalkan itu.
Kala begitu, pada pengabulan permohonan kasasi terdapat
rangkaian
tindakan
yang
mesti
melekat
padanya
yakni
membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara
tersebut dengan jalan menyingkirkan dan menyampingkan putusan
judex facti. Jika putusan judex facti yang dibatalkan itu
56
mengabulkan gugatan atau perlawanan penggugat/pelawan, maka
konsekuensi yuridisnya putusan yang dijatuhkan pada tingkat
kasasi, bias berupa alternatif:
(1) Menyatakan gugatan/ perlawanan tidak dapat diterima.
Apabila Mahkamah Agung berpendapat gugatan penggugat
yang dikabulkan judex facti itu tidak memenuhi syarat formil
melanggar yurisdiksi mengadili, error in persona, obscuur
libel, nebis in idem, premature, dan sebagainya maka
pembatalan itu diikuti dengan putusan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.
(2) Mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan
Jika Mahkamah Agung berpendapat putusan judex fact i yang
menolak gugatan tidak tepat, maka pembatalan yang dibarengi
dengan mengadili sendiri, berisi amar mengabulkan sebagian
atau seluruh gugatan.
(3) Menolak seluruh gugatan
Kalau Mahkamah Agung berpendapat, pengabulan gugatan yag
dilakukan judex facti tidak tepat, sehingga putusan tersebut
dibatalkan maka putusan tersebut dibatalkan maka putusan
kasasi yang harus dijatuhkan, menolak seluruh gugatan.
Demikian tindakan yustisial yang diambil Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi apabila permohonan kassi dikabulkan.
57
D. PERDAMAIAN (Accord)
1. Pengertian Perdamaian
Hukum Kepailitan, accord diartikan sebagai suatu perjanjian
perdamaian antara si pailit dengan para Kreditur, dimana diadakan
suatu ketentuan bahwa si Pailit dengan membayar suatu ketentuan
bahwa si pailit dengan membayar sesuatu persentase tertentu (dari
utangnya), ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya. 32 Perkara
kepailitan, perdamaian dapat dilakukan pasca putusan, setelah
debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, debitur berhak
menawarkan perdamaian kepada semua kreditur. Lain ha lnya dengan
perkara perdata (gugatan) yang disidangkan di pengadilan negeri. Di
pengadilan negeri, perdamaian diadakan pra putusan, yakni diawal
persidangan sampai dengan sebelum putusan diucapkan. Setelah
putusan diucapkan, tidak ada lagi perdamaian, yang ada adalah
eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 33
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, perdamaian diatur
dalam Pasal 144-147.
Menurut Pasal 144:
“Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian
kepada semua Kreditur.”
Tawaran perdamain dibuat dalam rencana perdamaian. Rencana
perdamaian (composition plan) diajukan dengan delapan hari
32
33
Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), 2010, PT. Sofmedia, Medan, hal. 163.
Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2010, PT. Tatanusa, Jakarta. hal. 125.
58
sebelum rapat pencocokan piutan atau rapat verifikasi. Sebelum
rapat verifikasi, debitur menyerahkan asli rencana perdamaian ke
kepaniteraan pengadilan niaga agar dapt dilihat dengan cuma-cuma
oleh setiap orang yang berkepentingan. Salinannya wajib dikirimkan
kepada masing- masing anggota panitia Kreditur sementara. Rencana
perdamaian tersebut harus dibicarakan dan diambil keputusannya
segera setelah verifikasi. Rapat verifikasi dapat ditunda oleh Hakim
Pengawas paling lambat 21 hari:
(1) Apabila dalam rapat diangkat panitia Kreditur tetap yang tidak
terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia Kreditur
sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditur me nghendaki
dari Panitia Kreditur tetap pendapat tertulis menghendaki
tentang rencana perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
(2) Rencana
perdamaian
tidak
disediakan
di
kepaniteraan
pengadilan niaga dalam waktu yang ditentuakn, sedangkan
jumlah
terbanayak
Kreditur
yang
hadir
menghendaki
pengunduran rapat. 34
Kepailitan ada 2 (dua) accord, yaitu:
a.
Accord yang ditawarkan dalam Kepailitan, yaitu pada saat rapat
verifikasi;
b.
Accord
yang
diawarkan
dalam
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang, yaitu sebelum Debitur dinyatakan Pailit.
34
Ibid, hal 125-126
59
Accord yang ditawarkan oleh si Pailit itu berisi beberapa
kemungkinan atau aternatif yang akan dipilih oleh para Kreditur,
yaitu:
a.
Si Pailit menawarkan kepada Krediturnya, bahwa ia akan
membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari
utangnya namun tidak dalam jumlah keseluruhannya;
b.
Si Pailit akan menawarkan accord likuidasi (liquidatie accord),
yakni si Pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para
kreditur untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas
(pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditur,
apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si Pailit
dibebaskan dari emmbayar sisa yang belum terbayar;
c. Si debitur Pailit menwarkan untuk meminta Penundaan
Pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk
beberapa waktu.
Menurut Zainal Asikin, dengan dibukanya kemungkinan untuk
mengadakan accord, maka hak itu akan dapat menguntungkan
kedua belah pihak , karena:
a. Bagi para kreditur, jikalau harta pailit dijual/ dilelang atau
dilakukan pemberesan dengan perantara hakim, dan hasilnya
dibagi menurut imbangan jumlah piutang kreditur, maka belum
tentu para kreditur itu akan mendapat pembayaran yang lebih
tinggi seperti yang ditawarkan di dlam accord. Jadi, penawaran
60
di dalam accord mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan
pembagian melalui pemberesan oleh hakim;
b. Bagi Debitur Pailit, ia akan membayar sejumlah utang yang
telah disetujui dalam accord yang lebih kecil dari utang
sbenarnya, sedangkan sisanya tidak menjadi beban bagi Debitur
untuk melunasinya. Apabila accord telah dipenuhi, maka
berakhilah Kepailitan. Hal ini berbeda dengan pemberesan oleh
Hakim, yakni apabila dari hasil pelelangan itu belum atau tidak
cukup untuk melunasi utang- utang si Pailit secara penuh, maka
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit secara penuh, maka
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit yang pelunasannya
dengan harta pailit yang masih akan ada (Pasal 1131
KUHPerdata). 35
2. Pembatalan Perdamaian
Tentang pembatalan perdamaian diatur mulai Pasal 170
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa kreditur dapat
menuntut suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai
memenuhi isi perdamaian tersebut. Debitur wajib membuktikan
bahwa perdmaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi semua kewajibannya
35
Sunarmi, Op Cit. hal. 163-164
61
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian
kelonggaran tersebut diucapkan. Penjelasan Pasal 170 ayat (3)
menentukan bahwa kelonggaran hanya dpat diberikan 1 (satu) kali
dlam seluruh proses. Tuntutan Pembatalan Perdmaian wajib dia jukan
dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13
untuk permohonan pernyataan Pailit (Pasal 171 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004).
Putusan
Pembatalan
Perdamaian
diperintahkan
supaya
Kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim
pengawas , kurator, dan anggota panitia kreditur, apabila dalam
kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu. hakim pengawas,
kurator dan anggota panitia kreditur, apabila dalam kepailitan
terdahulu ada suatu panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator dan
anggota panitia tersebut sedapat mungkin siangkat diangkat dari
mereka yang dahulu dlam kepailitan tersebut telah memangku
jabatannya. Kurator wajib memberitahukan dan mengumumkan
Putusan tersebut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 36
3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian
36
Ibid, hal. 170.
62
Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),
Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub
dalam bagian kedua, bagian ketiga dan abgian keempat BAB II
Undang-Undang ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai
pencocokan piutang terbatas pada piutang yang belum dicocokan.
Kreditur yang piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk
menghadiri rapat pencocokan piutang dan berhak untuk membantah
piutang yang dimintakan penerimaannya (Pasal 173 Undang- undang
Nomor 37 Tahun 2004).
Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk
itu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu
antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan
adalah mengikat bagi harta pailit”.
Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi
ditawarkan perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan
pemberesan harta pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004). Adapun apabila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi
anatara para Kreditur dengan cara:
a. Jika Kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat
pembayaran, hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka
secara prorata;
63
b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada kredit ur
lama, maka kreditur lama dan kreditur baru berhak menerima
pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dlam
perdamaian;
c. Kreditur lama dan kreditur baru berhak memperoleh pembayaran
secara prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi
pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai
dipenuhinya seluruh piutang yang diakui.
Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak
diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya
(Pasal 176 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud
dengan “prorata” adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang
masing- masing, sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian
berapapun (Penjelasan Pasal 176 huruf
a dan huruf
b Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004). Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 176 berlaku mutatis mutandis dalam hal debitur sekali
lagi dinyatakan Pailit. 37
37
Ibid, hal.171
64
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis
Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom,
terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum. 38
Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata
hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum.
B. Metode Penelitain
Berdasarkan rumusan masalah yang ada di dalam penelitian ini, pendekatan yang
dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statue Approach) dan
Pendekatan Analitis (Analytical Approach).
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Preskriptif 39 , yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan
cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.
38
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1988,
hal.13.
39
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, hal.22.
65
D. Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan
pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa
yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer yang digunakan adalah:
a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),
b. KUH Perdata,
c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang,
d. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,
f. Peraturan perundang- undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek
penelitian,
g. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 771/Pdt.Sus/2010.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan
66
hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.
3. Bahan Hukum Ters ier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum), ensklipodia. 40
E. Metode Penyajian Hukum
Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks
normatif yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang
disusun secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh
dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan
pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.
F. Metode Analisi Bahan Hukum
Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung
diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga
diperlukan kegiatan penemuan hukum (Rechtsvinding).
Hakim dalm menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum
atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum. 41
1. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang
40
Amirudin, dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003, hal.32.
41
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal.76.
67
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
undang-undang.
Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode
yaitu secara:
a. Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundangundangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar
menerapkan silogisme.
b. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran
yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang
terdapat pada undang- undang. Hakim wajib menilai arti kata yang lazim
dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.
c. Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran yang
menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan
hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum.
Karena, terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan
bagian dari keseluruhan sistem perundang- undangan yang berlakusehingga
tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat
dengan peraturan perundang- undangan lainnya.
d. Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang
dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau
terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
68
e. Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran
suatu ketent uan undang- undang untuk mengetahui makna atau yang
didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.
f. Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan
jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang
timbul dari perjanjian internasional.
g. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang
menjelaskan ketentuan undang- undang dengan berpedoman pada undangundang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan
undang-undang.
h. Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau
lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau
makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna
yang dilazimkan dalam percakapan sehari- hari.
i. Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas
ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau
makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
j. Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undangundang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di
dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran
dengan cara lain selain dari apayang telah ditentukan pengertiannya di
dalam undang- undang itu sendiri.
69
k. Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah
yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika
penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
l. Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu
atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan
lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari dari disiplin
ilmu yang berbeda-beda.
m. Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna yang
harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak
dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul kareananya.
n. Interpretasi
dalam
Perjanjian
Internasional
yaitu
penafsiran
dalam
perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi,
pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.
2. Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan hakim
apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara
khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi:
a. Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu merupakan
metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu perkara ke dalam
lingkup
pengaturan
yang
sebenarnya
tidak
dimaksudkan
untuk
menyelesaikan perkara yang bersangkut an.
b. Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan
atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan
70
pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur
dalam undang- undang.
c. Penyempitan Hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya
umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang ksusus
dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
3. Konstruksi Hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk
pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk menyusun bahan
hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang
baik.
Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara
kualitatif, dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan,
karena pada dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah
memberikan pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada
dalam masyarakat.
71
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor.
771 K/Pdt. Sus/2010, yang akan diuraikan sebagai berikut:
1.
Para Pihak
1.1.
Pihak Pemohon
1.1.1. PT. Interkon Kebon Jeruk, yang diwakili oleh Hakim
Saut Simamora, Tjio Johan Kasendra, masing- masing
selaku Direktur, berkedudukan di Jl. Meruya Ilir Raya 14,
Jakarta Barat, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
Robertus Ori Setianto, SH.MH. dan kawan, Advokat pada
SS.co D1, Jl. Fachruddin No. 5, Jakarta Pusat, berdasarkan
kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2020;
1.1.2. Octavia Widyastuti Alim, betempat tinggal di Permata
Hijau Blok B/32 RT. 015/012, Kelurahan Grogol Utara,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Elisabeth
Prayogo, bertempat tinggal di Jl. Kamboja RT. 004
RW.003, Kelurahan Cipete Selatan, Kecamatan Cila ndak,
Jakarta Selatan. Swanda Salim, bertempat tinggal di Ruko
Taman Komplek Grawisa Blok D No. 14 A, Jakarta Barat,
Yohanes Hartanto, bertempat tinggal di Ruko Taman
Kebon Jeruk Blok W IV No. 11 Jalan Raya Joglo
72
Srengseng, Jakarta Barat. Eddy Hartono, bertempat tinggal
di Jl. Duri Utama Raya No. 5 RT. 003 RW. 007, Kelurahan
Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Drs.
Abdul Salam, bertempat tinggal di Komplek Moneter No.
C34 RT. 005 RW. 003, Kelurahan Kembangan Selatan,
Kecamatan
Kembangan,
Jakarta
Barat.Cornelia
Tiosudarmin, bertempat tinggal di Jl.Satria II Blok D No.
81.Trio Jono, bertempat tinggal di Jl. Puri Kembangan
Timur E 1 No. 45, RT. 005/RW. 005 Kelurahan
Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.
Ratna E Jl Tobing, bertempat tinggal di Jl. Taman Kebon
Jeruk J 5/2 Rt. 002/003 Kel. Srengseng, Kec.Kembangan,
Jakarta Barat. Hedy Yani, bertempat tinggal di Jl. Kebon
Jeruk Baru C3 No. 8 Rt. 008/008 Kel.Kebon Jeruk, Kec.
Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lina Gozali, bertempat tinggal
di Jl. Sanggrahan No.17 Rt. 001/003, Kel. Meruya Utara,
Kec. Kembangan, Jakarta Barat. Liliani Wihardjo,
bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok I VII/44,
Jakarta Barat. Meyliana Susanti Hirawan, bertempat
tinggal di Taman Kebon Jeruk I 7/62, Jakarta Barat.
Herawati Santoso, bertempat tinggal di Taman Kebon
Jeruk G 1/51, Kembangan, Jakarta Barat. Sherwin A. Surja
Atmadja, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk C 1/26
73
Rt. 005/09, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Drg.
Lizza Christina, bertempat tinggal di Jl. Soka No. 3 Rt.
004/07, Kel. Tambaksari, Kec. Tambaksari, Surabaya.
Waluyo Hadi P, bertempat tinggal di Gria Mas II Blok B
No. 3A, Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sajuri
Kartika Isanto, bertempat tinggal di Jl.Widya Candra 8
No. 6 RT. 008/001 Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Megahartawan Santoso, bertempat tinggal di
HOS Cokroaminoto No. 24 A Rt. 005/004, Gondangdia,
Menteng. Lingga Iswara, bertempat tinggal di Jl. Kebon
Palma Raya Blok F/33 Rt.016/020, Kedoya Selatan, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat. Bong Mei Tjen, bertempat tinggal di
Jl. Widya Chandra 8 No. 6 Rt. 008/01, Senayan, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan. The Sui An, bertempat tinggal di Jl.
Tanah Abang II No. 112 Rt. 09/03, Gambir, Jakarta Pusat.
Savina Gozali, bertempat tinggal di Jl. Taman Daan Mogot
IV No. 5 RT. 001/RW. 001, kesemuanya dalamhal ini
memberi kuasa: Husin Helmi, SH. dan kawan, Advokat
berkantor di Wisma Sejahtera Lt. 2 No. 201 A Jl. S. Parman
Kav. 75, Jakarta Barat, berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 30 Juli 2010 dan tanggal 2 Agustus 2010.
1.1.3. Eddy Yowono, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk,
Blok E No. 2/3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan, Jakarta
74
Barat. Yanti Husada, bertempat tinggal di Taman Kebon
Jeruk, Blok E No. 2-3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan,
Jakarta Barat. Liliany Wihardjo, bertempat tinggal di
Taman Kebon Jeruk Blok 1-7/44 RT. 005/RW. 011,
Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta
Barat. Indriyani, bertempat tinggal di Jl. Tawakal VI/4 RT.
010 RW. 009, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol,
Jakarta Barat, keempatnya dalam hal ini memberi kuasa
kepada: H. Turaji, SH.MM.M.Hum. dan kawan-kawan,
Advokat pada Global Law Firm, berkantor di Gedung
Lingga Dharma No. 17, Jl. Warung Buncit, Jakarta 12550,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Juli 2010;
1.1.4. Rainford Investment Inc, berkedudukan Oliaji Trade
Central 1st floor, Victoria Seychelles, Singapura sebuah
Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum
Singapura, dalam hal ini memberi kuasa kepada: Silvester
Manis, SH. dan kawan-kawan, Advokat pada Kantor
Hukum VERITAS, berkantor di Jl. Kayu Manis Satu Lama,
Palmeriam, Jakarta Timur 13140, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 30 juli 2010.
Para Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit.
1.2. Pihak Termohon
75
1.2.1. Tomi Bungaran dan Dra. Ida Hartono, bertempat tinggal
di Puri Marina No. 8 Ancol, Jakarta Utara;
1.2.2. Bernadet Lianawaty, bertempat tinggal di Pulau Anyer
II/29 Buana Taman Permata;
1.2.3. Budy Hartono, bertempat tinggal di Jl. Pintu Air II/65,
Jakarta;
1.2.4. Heny Anwari, bertempat tinggal di Taman Pluit Murni I
No. 2;
1.2.5. Magdalena
Massie,
bertempat
tinggal
di
Menun
Pumpungan 3-5, Surabaya;
1.2.6. Rocky Batiaan, bertempat tinggal di Manyar Tompotika
AA 6-7 Surabaya;
1.2.7. Lie Wie-Wie Sulistyo, bertempat tinggal di Jl. Duta Indah
II/25 Jakarta;
1.2.8. Harijanto Kertasasmita, bertempat tinggal di Taman
Kebon Jeruk Blok 06/20, Jakarta Barat;
1.2.9. Inggriati Selamat, bertempat tinggal di Kemanggisan
Utama VIII/1;
1.2.10. Oendi Widjaja, Melinda Rosita Chandrasari, bertempat
tinggal di Gempol Wetan No. 203 danTaman Kebon Jeruk
KI/39;
1.2.11. So Juliata Lenny Sumampouw, bertempat tinggal di
Taman Kebon Jeruk J 13/6, Jakarta Barat;
76
1.2.12. Ir. Tjandra Kumala Dewi, bertempat tinggal di Jl. Palem
Raya No. 1135, Jakarta Barat, semuanya dalam hal ini
memberi kuasa kepada: Horas Panjaitan, SH. Advokat
berkantor di Horas Panjaitan, SH. & Rekan, Jl. Biak Blok
B3 Lt. 1 (Roxi) Cideng, Gambir, Jakarta Pusat.
Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit.
2.
Alasan Pengajuan Kasasi
2.1. Alasan Kasasi Pemohon I
2.1.1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus
perkara
telah
melakukan
beberapa
kesalahan
penerapan hukum dan melanggar yang berlaku.
a. Judex Facti melakukan pelanggaran berat hukum acara
mengenai Intervensi.
Bahwa dalam proses sidang pemeriksaan perkara
Nomor
03/
Pembatalan
Perdamaian/
2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Muncul 3 pihak berkepentingan,
yang mengajukan permohonan intervensi dalam perkara
a quo, yaitu:
-
Turut Termohon Kasasi 1 s/d Turut Termohon
Kasasi 9/dahulu Pemohon Intervensi I selaku para
kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;
77
-
Turut Termohon Kasasi 10 s/d Turut Termohon
Kasasi 13/dahulu Pemohon Intervensi II, juga selaku
para kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi;
-
Turut
Termohon
Kasasi
14/dahulu
Pemohon
Intervensi III selaku kreditur separatis Pemohon
Kasasi.
Ketiganya,
merupakan
pihak-pihak
dalam
Perdamaian, yang telah disahkan dalam Putusan Nomor
027/Pailit
/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst
jo
Nomor
21K/N/2006 jo Nomor 019PK/N/2006, tanggal 21
April 2009 (selanjutnya disebut "Perdamaian"), yang
dimohonkan pembatalannya oleh Para Termohon
Kasasi/Pemohon Pailit;
Bahwa Para Turut Termohon Kasasi/Para Pemohon
Intervensi selaku pihak dalam Perdamaian, sangat
berkepentingan
dengan
permohonan
pembatalan
Perdamaian, yang diajukan oleh Para Termohon
Kasasi;
Bahwa adanya Putusan Sela untuk menentukan Para
Pemohon Intervensi dapat ikut serta dalam perkara,
kembali ditegaskan Mahkamah Agung RI dalam
Pedoman
Pelaksanaan
Tugas
dan
Administrasi
Pengadilan Buku II terbitan Mahkamah Agung RI
78
tahun 1998, cetakan ke-3 halaman 119 Khusus
Mengenai Intervensi: Interventie (tussenkomst) terjadi:
a. Apabila
pihak
ketiga
merasa
mempunyai
kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut
dalam proses perkara itu;
b. Misalnya
dalam
interventie
barang
milik
intervenient, yang diperebutkan aleh Penggugat dan
Tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar
barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka
interventie diajukan Interventie dikabulkan atau
ditolak dengan putusan sela;
Bahwa
Pasal
299
Undang-Undang
Kepailitan
menyatakan: "Kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini maka hukum acara yang berlaku adalah
hukum acara perdata";
Sehingga mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut,
permohonan intervensi dari Para Pemohon Intervensi
haruslah terlebih dahulu diputus dengan Putusan Sela,
apakah intervensi tersebut diterima atau tidak;
Bahwa akan tetapi, Majelis Hakim dalam perkara No.
03/Pembatalan
ternyata:
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.,
79
a. Sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para
Termohon Kasasi/Pemohon Pailit untuk menanggapi
permohonan intervensi tersebut;
b. Sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para
Termohon
Kasasi/
Pemohon
Pailit
dalam
permohonan intervensi tersebut;
c. Tidak membuat Put usan Sela apakah menerima atau
menolak adanya intervensi tersebut, tetapi hanya
mengeluarkan Putusan Sela berkaitan dengan adanya
eksepsi Kompetensi Absolut (vide Putusan Sela
Nomor.03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.
Jkt.Pst. tgt. 14 Juli 2010);
Bahkan
dalam
Putusan
Nomor.
03/Pembatalan
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tgl. 28 Juli 2010,
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Sama Sekali Tidak
Menguraikan Adanya Permohonan Intervensi, maupun
Mempertimbangkan
dalil-dalil
Keberatan
Para
Pemohon Intervensi, dengan demikian, Majelis Hakim
dalam
Perkara
No.
03/Pembatalan
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst, telah melakukan
80
pelanggaran hukum acara, sehingga putusan a quo cacat
hukum dan haruslah dibatalkan;
b. Judex Facti melanggar ketentuan hukum, dengan tidak
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa
Kuasa Pemohon Pailit tidak mempunyai Legal Standing
untuk memohon Pembatalan Perdamaian.
Bahwa
Majelis
Hakim
tingkat
Pertama
dalam
Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan
Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Kuasa Hukum Para
Termohon Kasasi, tidak pernah diberi kewenangan
untuk
mengajukan
permohonan
pembatalan
Perdamaian;
Berdasarkan 12 Surat Kuasa dari prinsipal/Pemohon
Pailit asli (vide Bukti P-1), Sdr. Horas Panjaitan, SH.
selaku Kuasa Hukum Pemohon Pailit, sama sekali tidak
diberi
wewenang
untuk
mengajukan
permohonan
pembatalan perdamaian yang dihomologasi dengan
Putusan No. 027/PAILIT/2006/PN.Niaga.jkt.pst. jo.
Nomor. 21 K/N/2006 jo. No. 019PK/N/2006 tgl. 29
April 2009. Bahkan dalam Surat Kuasa tidak disebutkan
sama
sekali
perdamaian,
mengenai
padahal
permohonan
permohonan
pembatalan
pembatalan
perdamaian jelas memerlukan Surat Kuasa Khusus,
81
tidak
cukup
hanya
dengan
Surat
Kuasa
untuk
mengajukan permohonan pailit, dengan demikian,
Putusan Majelis Hakim tingkat pertama yang sama
sekali tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon
Kasasi telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku
dan haruslah dibatalkan.
c. Judex Facti melanggar ketentuan hukum dengan tidak
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi mengenai
Permohonan Pembatalan Perdamaian Prematur.
Bahwa
Majelis
Hakim
tingkat
Pertama
dalam
Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan
adanya Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Perdamaian
baru merupakan perjanjian awal, yang masih harus
ditindaklanjuti
pelaksanaannya
penandatanganan
Termohon
Kasasi
Akta
Jual
ternyata
Beli,
belum
dengan
dimana
Para
datang
untuk
menindaklanjuti Perdamaian dengan memproses Akta
Jual Belinya masing- masing, meskipun telah diundang
oleh Pemohon Kasasi, tetapi Para Termohon Kasasi
yang tidak melaksanakan Perdamaian tersebut malah
mengajukan
disepakati.
pembatalan
Perdamaian
yang
telah
82
Berdasarkan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI
Nomor 638K/Sip/1969 tgl. 22 Juli 1970, Putusan
Majelis
Hakim
tingkat
pertama
yang
tidak
mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi tersebut
merupakan
putusan
yang
kurang
cukup
dipertimbangkan, sehingga melanggar ketentuan hukum
yang berlaku dan haruslah dibatalkan.
d. Judex Facti melakukan kesalahan berat penerapan
hukum mengenai Pembuktian.
Pertimbangan putusan Majelis tingkat Pertama halaman
37 alinea 1 dan 2:
"Menimbang bahwa pertimbangan Majelis Hakim
tersebut didasarkan pada bukti surat P-5 yang
dikeluarkan oleh Departemen keuangan RI, Direktorat
Jenderal Pajak menyatakan: "Surat Keterangan bebas
pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan
terhadap
alamat
Unit
tanah
dan/atau
bangunan Taman Kebon Jeruk Blok L.1 Nomor 8;
Menimbang bahwa demikian halnya terhadap bukti
surat (P8, P8a s/d P8u) dan Termohon telah dan tetap
membebankan PPh kepada Para Kreditur di mana
seharusnya
biaya
pengalihan
hak,
incasu
PPh,
83
seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran
pajak Penghasilan atas tanah."
Keberatan:
Bahwa Majelis Pengadilan Niaga jelas melakukan
kesalahan berat penerapan hukum, dengan mendasarkan
putusannya atas Surat Bukti P5, P8, P8a s/d P8u dari
Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit, yang seluruhnya
merupakan fotokopi yang tidak dapat menunjukkan
aslinya.
Bahwa selain itu, seluruh bukti a quo bukan merupakan
bukti transaksi Para Termohon Kasasi, melainkan
merupakan bukti milik orang lain yang telah selesai
melaksanakan Perdamaian dengan Pemohon Kasasi
dengan penandatanganan Akta Jual Beli dengan baik
tanpa
keberatan/sengketa
apapun,
sehingga
Para
Termohon Kasasi merupakan pihak ketiga yang tidak
memiliki Legal Standing untuk menggunakan bukti
tersebut mendalilkan adanya wanprestasi Pemohon
Kasasi;
Bahwa
dengan
03/Pembatalan
demikian,
putusan
Nomor.
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst.
didasari bukti-bukti yang tidak sah, sehingga Putusan a
quo haruslah dibatalkan.
84
e. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum
dengan mengabulkan tuntutan Wanprestasi oleh pihak
ketiga yang tidak berhak.
Pertimbangan
Putusan
Majelis
Pengadilan
Niaga
halaman 34:
"Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya
bertanggal 1Juni 2010 mendalilkan Termohon Pailit PT
lntercon Kebon Jeruk telah melanggar isi perjanjian
perdamaian dan lalai melaksanakan apa yang ditetapkan
dalam lampiran I Proposal Perdamaian tentang biaya
peralihan hak yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku."
Pertimbangan
Putusan
Majelis
Pengadilan
Niaga
halaman 36 alinea terakhir:
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang dibuat
aleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok L.1
Nomor 8 telah membebankan dengan mencantumkan
pembebanan biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- kepada
Suwarno Dicky Yusuf selaku Kreditur pembeli kavling
Blok L 1/8 ..."
85
Keberatan:
Bahwa
Majelis
Hakim
Tingkat
Pertama
keliru
membatalkan permohonan pembatalan perdamaian yang
diajukan oleh Para Termohon Kasasi atas dasar bukti P7 untuk kavling Blok L1 No. 8 rnilik orang lain, yaitu
Suwarno Dicky Yusuf (Bukan Pemohon Pailit), karena
Para Termohon Kasasi tidak memiliki Kuasa atau
“Illegal Standing" untuk bertindak mengatas namakan
Suwarno Dicky Yusuf dan transaksi Suwarno Dicky
Yusuf tidak dapat digunakan untuk keuntungan Para
Termohon Kasasi;
Bahwa pertimbangan Putusan a quo jelas melanggar
Pasal 1340 KUHPerdata, yang menyatakan sbb:
"Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat
membawa rugi pada pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak
ketiga mendapat mandat karenanya ...";
Bahwa apalagi, pihak ketiga Suwarno Dicky Yusuf
tersebut sama sekali tidak ada sengketa wanprestasi atau
klaim
apapun
terhadap
Pemohon
Kasasi,
malah
Perdamaian antara Pemohon Pailit dengan pihak ketiga
Suwarno
Dicky
Yusuf
tersebut
telah
selesai
86
dilaksanakan dengan baik, dengan telah selesainya
penandatanganan Akta Jual Beli;
Bahwa
dengan
demikian,
jelas
Majelis
Hakim
Pengadilan Niaga telah melakukan pelanggaran hukum,
sehingga putusan a quo haruslah dibatalkan.
f. Judex Facti melanggar hukum kepailitan dengan
membatalkan Perdamaian tanpa adanya Wanprestasi,
bahkan
melanggar
hukum
menganulir
butir-butir
Perdamaian yang telah disepakati dan dihomologasi.
Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas pertimbangan
putusan Majelis tingkat Pertama, halaman 36 Putusan:
"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan
dengan bukti surat T3.b (berupa Lampiran I Proposal
perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan
oleh
Termohon
pailit
telah
lalai
memenuhi
isi
perdamaian dalam hal: Adanya Termohon Pailit
mewajibkan Pembayaran PPh dan;
Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama, halaman
38 alinea 1-2Putusan:
"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit
telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu
tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1
87
April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian
khususnya pada angka Romawi I tentang biaya
peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap
pembebanan jenis biaya PPh ...";
Keberatan:
Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama jelas keliru
menyatakan Pemohon Kasasi telah lalai memenuhi isi
perdamaian dengan mewajibkan pembayaran PPh;
Bahwa pengenaan biaya PPh adalah tercantum dalam
Perdamaian yang telah disepakati dalam voting (dengan
suara
setuju
98,35%)
dan
telah
dihomologasi,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Proposal
Perdamaian.
Pasal 162 UUK menyatakan:
"Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua
Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan,
dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah
mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak”;
Pasal 170 UUK menyatakan:
1) Kreditor
dapat
menuntut
pembatalan
suatu
perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor
lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;
88
2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian
telah dipenuhi..."
Jadi
Perdamaian
Pemohon
Kasasi
yang
telah
dihomologasi sah dan mengikat seluruh kreditur
termasuk Para Termohon Kasasi dan berdasarkan Pasal
170 Undang-Undang Kepailitan, satu-satunya alasan
pembatalan perdamaian hanyalah adanya ingkar janji.
Bahwa dengan demikian, butir-butir perdamaian yang
telah disepakati, lebih- lebih telah dihomologasi, telah
mengikat
sebagai
hukum, sehingga
tidak
dapat
dibatalkan atas dasar alasan apapun;
Dikuatkan Pasal1338 KUHPerdata:
"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya;
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup
untuk
itu;
Persetujuan-persetujuan
harus
dilaksanakan dengan itikad baik";
Para
Termohon
Kasasi
mengajukan
permohonan
pembatalan Perdamaian, dengan alasan keberatan atas
butir-butir yang telah disepakati dalam Perdamaian,
89
yaitu keberatan mengenai butir biaya PPh, BPHTB
(vide Lampiran I Perdamaian);
Bahwa Para Termohon Kasasi mempersoalkan dan
menolak jumlah besaran PPh 5% dari NJOP tahun
transaksi jual beli dan menggunakannya sebagai alasan
pembatalan
Perdamaian,
padahal
ketentuan
tarif
tersebut jelas-jelas ditetapkan oleh Undang-Undang,
bukan oleh Pemohon Pallit;
Ketentuan Peraturan perUndang-Undangan mengenai
jumlah PPh; Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun
2008
tentang
Perubahan
Ketiga
atas
Peraturan
Pemerintah No. 48 tahun 1998 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan;
2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai
berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual
Objek Pajak tanah dan/atau bangunan;
90
3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak
menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak
Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan".
Dasar hukum yang dijadikan dasar dalil Para
Termohon
Kasasi
pun
menggunakan
bukti
pelaksanaan butir-butir Perdamaian Milik Pembeli
Lain, yang telah selesai Akta Jual Beli dengan baik
tanpa sengketa, sehingga justru membuktikan bahwa
Debitur telah melaksanakan/ memenuhi Perdamaian;
Majelis Hakim dalam tingkat Pertama malah
menganulir begitu saja Perdamaian atas permohonan
sepihak Para Termohon Kasasi yang hanya sebagian
kecil peserta Perdamaian (12 dari 206 kreditur,
mewakili hanya 1% dari total tagihan), yang
menolak tarif yang ditetapkan undang-undang,
sehingga melanggar ketentuan Pasal 162 UndangUndang Kepailitan jo. Pasal 170 Undang-Undang
Kepailitan jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor.
71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Pemerintah Nomor.48 Tahun 1998 tentang
Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari
91
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan,
karenanya putusan a quo haruslah dibatalkan.
g. Judex Facti melakukan kesalahan berat mengenai
Penerapan hukum dengan mencampuradukan Biaya
Biro Jasa Pengurusan Sertifikat dengan biaya Sertifikat
menurut Undang-Undang.
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman
36 alinea 3 Putusan:
"Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan
dengan bukti surat T3.b. (berupa Lampiran I Proposal
perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan
oleh
Termohon
Pailit
telah
lalai
memenuhi
isi
perdamaian dalam hal:
Pembebanan biaya pengukuran yang tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang
berlaku";
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman
37 alinea 3-5 Putusan:
"Menimbang bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan
apakah biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat (Point
3) dari Lampiran I Proposal Perdamaian sesuai bukti
T.3-b telah dilaksanakan sesuai Penetapan Badan
92
Pertanahan Nasional (BPN) oleh Majelis Hakim
mempertimbangkan sebagai berikut:
Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat (P-7a) oleh
Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk telah menerima
uang sejumlah Rp 592.475.000,- dari Suwarno Dicky
Yusuf
adalah
Kreditur
Pembeli
Kavling
yang
merupakan pihak dalam Perjanjian Perdamaian telah
bersesuaian dengan bukti P-7 dimana telah terjadi
penambahan biaya sebaga imana termaksud pada angka
8
yang
dibuat
oleh
Termohon
berupa
biaya
perpanjangan SHGB dan jasa dan biaya denda
keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa:
Dengan Demikian:
Berdasarkan bukti surat tersebut di atas telah nyata
secara
sederhana
bahwa
pelaksanaan
perjanjian
perdamaian telah terjadi penambahan biaya yang tidak
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang dilakukan oleh PT.Interkon Kebun Jeruk yang
merupakan
kelalaian
yang
bersifat
prinsip
dan
Eksepsional yang beralasan menurut hukum dituntut
pembatalannya karena telah menyimpang dari lampiran
I proposal perdamaian yang merupakan satu kesatuan
dari perjanjian perdamaian tersebut."
93
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman
38 alinea 1-2 Putusan:
"Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit
telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu
tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1
April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian
khususnya pada angka Romawi I tentang biaya
peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap
pembebanan
jenis
biaya
PPh
dan
Biaya
pengukuran/pemecahan Sertifikat;
Menimbang bahwa oleh karena Termohon Pailit (PT.
Interkon Kebon Jeruk) telah tidak melaksanakan sesuai
ketentuan
peraturan
perUndang-Undangan
dengan
membebani biaya yang tidak pernah diperjanjikan
dengan kata lain telah membuat ketentuan sepihak. yang
bertentangan
atau
melanggar
ketentuan
peraturan
perundang-undangan, yang secara sepihak membuat
ketentuan sehingga merupakan suatu perbuatan yang
melanggar Undang-Undang maka kepada Termohon
tidak dapat diberikan kelonggaran lagi memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan Pasal 170 ayat
(3) UUK dan c PKPU dan akibat kelalaian yang
94
dllakukannya melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan undang- undang."
Keberatan:
Bahwa
Majelis
Hakim
mencampuradukkan
tingkat
Pertama
antara
telah
biaya
pengukuran/pemecahan Sertifikat dengan biaya jasa
pengurusan Sertifikat. Patut diketahui, bahwa setiap
kreditur (206) pembeli kavling tanahnya spesifik dan
berbeda-beda kategori dan kondisinya (vide Proposal
Perdamaian). Karenanya biaya setiap kreditur sudah
pasti berbeda-beda. Ada yang Sertifikatnya sudah
berakhir sehingga harus diperpanjang, ada yang
sertifikatnya belum terbit (masih girik), ada yang belum
dipecah dari induk, ada yang haknya belum beralih dan
lain- lain;
Bahwa sebagian besar pembeli yang menindaklanjuti
perdamaian tidak bersedia mengurus sendiri Sertifikat
kavlingnya ke Kantor Pertanahan dan meminta pada
Pemohon Kasasi agar urusan tersebut diserahkan saja
pada
Biro
Jasa.
Permintaan
pembeli
atas
jasa
pengurusan tersebut jelas menimbulkan konsekwensi
biaya jasa pengurusan;
95
Biaya jasa pengurusan tersebut sepenuhnya merupakan
hak Biro Jasa atas permintaan pembeli sendiri, bukan
biaya yang dipukulrata terhadap Pemohon Kasasi atau
kreditur-kreditur lainnya. Pembeli Suwarno Dicky
Yusuf termasuk yang meminta pengurusan Sertifikat
dengan perantaraan Biro Jasa dan wajar karenanya
membayar biaya jasa pengurusan tersebut;
Para Termohon Kasasi belum datang mengurus Akta
Jual Beli kavlingnya dan tidak memahami persoalan
tersebut, secara keliru mencampuradukkan biaya jasa
pengurusan Biro Jasa tersebut sebagai biaya Sertifikat.
Sebagai pihak ketiga yang tidak berkaitan dengan
Suwarno Dicky Yusuf, tanpa mengerti duduk persoalan
Para Termohon Kasasi mendalilkan P-7 sebagai murni
biaya Sertifikat;
Biaya jasa pengurusan Biro Jasa Bukan Merupakan
Obyek
Perdamaian,
karenanya
tidak
mungkin
menimbulkan wanprestasi atas Perdamaian dan tidak
dapat dijadikan alasan pembatalan Perdamaian;
Dalil keliru pihak ketiga yang tidak mengerti persoalan
tersebut malah diambil alih begitu saja oleh Majelis
Hakim Tingkat Pertama, yang melakukan kesalahan
penerapan
hukum
mencampuradukkan
biaya
jasa
96
tersebut dengan biaya sertifikat dalam Perdamaian,
karenanya jelas Putusan Judex Facti telah salah
menerapkan hukum dan harus dibatalkan.
h. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum
menyatakan bukti Pemohon Kasasi sebagat Fotokopi.
Pertimbangan Judex Facti, halaman 37 alinea terakhir:
"Menimbang bahwa bukti-bukti yang diajukan (T4;
T5a; T5b; T5c1 s/d T5c-3; T5.d-1 s/d T5 d-3 ; T5-e-1
s/d T5-E3; T5-Fl s/d T5-F2; T5-g1 ; T5 h; T5i- l s/d T5
i-3 ; T5-j1 s/d T5-j2; T5-k1 s/d T5-k2 ; T5-L1 s/d T5L3; dan T6;T7) karena hanya Foto Copy lagi pula buktibukti tersebut tidak dapat mendukung dalil bantahan
Termohon tentang tidak adanya Penambahan biaya yang
dilakukan dan sebaliknya menurut Majelis Hakim telah
terjadi penambahan biaya yang tidak jelas dasar
perhitungan yang dilakukan oleh Termohon."
Keberatan:
Bahwa
Judex
Facti
jelas
melakukan
kesalahan
menyatakan bukti-bukti Pemohon Kasasi a quo sebagai
fotokopi;
Persidangan tgl. 1 Juli 2010, PEMOHON KASASI telah
mencocokkan bukti T-4 dengan aslinya;
97
Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah
mencocokkan bukti T-5a dan T-5b dengan aslinya;
Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah
mencocokkan bukti-bukti T-5.c.1 dan T5.c.2, T-5.d.1
dan T-5.d.2, T-5.e.1 dan T-5.e.2, T-5.f.1 dan T-5.f.2, T5.g.1 T-5.h, T-5.i.1 dan T-5.i.2,T-5.j.1 dan T-5.j.2, T5.k.1, T-5.1.1 dan T-5.I.2 dengan bukti yang telah
dilegalisir sesuai aslinya. Sedangkan bukti T-5 lainnya
merupakan bukti KTP para pembeli yang telah selesai
melaksanakan Perdamaian/Akta Jual Beli/bukti mana
tidak mungkin Pemohon Kasasi memiliki aslinya karena
asli KTP pasti dipegang oleh para pemiliknya;
Bahwa Bukti P-6 dan P-7 bukan merupakan bukti fakta,
tetapi hanya bukti referensi peraturan perundangundangan mengenai PPh dan BPHTB (Undang-Undang
Nomor. 20 tahun 2000 dan Undang-Undang No. 71
Tahun 2008) yang aslinya ada pada Sekretariat Negara
yang mengundangkan;
Bahwa bukti-bukti a quo membuktikan bahwa Pemohon
Kasasi
selaku
Debitur
telah
melaksanakan
isi
Perdamaian dengan para pembeli kavling sebagaimana
disyaratkan
Pasal
170
ayat
(2)
Undang-Undang
98
Kepailitan,
sehingga
permohonan
pembatalan
Perdamaian haruslah ditolak;
Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan menyatakan:
1) Kreditor
dapat
menuntut
pembatalan
suatu
perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor
lalai memenuhi isi perdamaian tersebut;
2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian
telah dipenuhi.
i.
Majelis Hakim tingkat pertama melakukan pelanggaran
Pasal.
172
Undang-Undang
Kepailitan
dalam
penunjukan Kurator.
j. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama halaman
38 alinea terakhir dan halaman 39 alinea 1 Putusan:
Menimbang bahwa oleh karena PT. Interkon Kebon
Jeruk dinyatakan pailit, maka sesuai Pasal 15 ayat (1)
UUK dan PKPU maka harus pula diangkat Kurator dan
seorang Hakim Pengawas.
Menimbang,
bahwa
dalam
permohonannya
oleh
Pemohon telah bermohon dengan dalam putusan
perkara ini ditunjuk dan diangkat saudara Soedeson
Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH
yang terdaftar di Departemen Hukum sebagai Kurator.
Keberatan:
99
Bahwa Judex Facti dalam mempertimbangkan dan
memutus mengenai Kurator, telah mengangkat Kurator
baru: Soedeson Tandra, SH, Mhum dan Drs. Joko
Prabowo, SH,MH, tanpa pertimbangan sama sekali
mengenai Kurator Pemohon Kasasi saat pailit sebelum
terjadi Perdamaian, Sdr. Yan Apul, SH., hal mana
secara nyata telah melanggar ketent uan Pasal 172 UUK;
Pasal 172 UUK ayat (1) dan (2):
1) Dalam
putusan
pembatalan
perdamaian
diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali,
dengan pengangkatan seorang Hakim Pengawas,
Kurator dan anggota panitia kreditor apabila ...”.
2) Hakim Pengawas, Kurator dan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sedapat mungkin diangkat
dari mereka yang dahulu dalam kepailitan tersebut
telah memangku jabatannya.
Dengan demikian jelas Putusan Judex Facti merupakan
putusan yang melanggar hukum dan harus dibatalkan.
2.2. Alasan Kasasi Pemohon II
2.2.1. Para Pemohon Kasasi sangat kebertan terhadap
Putusan Pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan
oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas Putusan
Judex Facti tersebut. Putusan Pailit terhadap PT.
100
Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan yang tidak adil
bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat.
a. Putusan Pailit Majelis Hakim terhadap PT. Interkon
Kebon Jeruk sama sekali tidak mencerminkan rasa
keadilan. Putusan Judex Facti merupakan putusan yang
tidak menggali, tidak mengikuti dan tidak memaha mi
nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat, khususnya terhadap ..para pembeli kavling
sebagai masyarakat yang merasakan dampak langsung
kepailitan ini;
b.
Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman secara jelas mewajibkan hakim untuk
menggali rasa keadilan masyarakat:
“Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat";
c. Putusan Judex Facti telah melahirkan ketidakadilan bagi
mayoritas pembeli kavling karena putusan tersebut telah
membuat
kekacauan
dalam
proses
pelaksanaan
Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi yang
sudah disepakati sebelumnya oleh PT. lnterkon Kebon
Jeruk dan kreditur;
101
d. Kondisi kekacauan yang akan terjadi setelah PT.
Interkon Kebon Jeruk pailit adalah para pembeli kavling
yang sudah melaksanakan penandatanganan PPJB
maupun Akta Jual Beli dengan PT. Interkon Kebon
Jeruk dan telah membayar pajak-pajak namun sertifikatsertifikatnya saat ini masih atas nama PT. Interkon
Kebon Jeruk karena masih dalam proses di Badan
Pertanahan Nasional, mau tidak mau harus kehilangan
haknya karena tanah-tanah yang masih bersertifikat atas
nama PT. Interkon Kebon Jeruk tersebut otomatis akan
ditarik menjadi boedel pailit, untuk selanjutnya dilelang
dan dibagikan secara pro rata kepada kreditur. Status
Para Pembeli kavling akan berubah menjadi kreditur
dan kehilangan hak atas tanah yang sudah dibelinya;
e. Hal tersebut tidak adil karena pembeli kavling yang
sudah melaksanakan perjanjian perdamaian bersamasama dengan PT. Interkon Kebon Jeruk dipaksa hilang
hak atas tanahnya dan akan menjadi setara dengan
kreditur-kreditur yang belum melaksanakan perjanjian
perdamaian (Para Pemohon Pailit);
f. Para Pemohon Pailit hanya segelintir kreditur (12 orang)
yang berlawanan pendapat dengan mayoritas kreditur,
dimana 12 orang Pemohon melawan 194 pembeli
102
kavllng (rasionya 1 % pembeli kavllng membatalkan
perjanjian perdamaian yang mengakibatkan kurang
lebih 99% kreditur termasuk pembeli kavling terampas
haknya);
g. Singkat kata Para Pemohon Pailit sendiri belum pernah
melaksanakan
mempailitkan
kewajiban
PT.
tetapi
Interkon
malah
Kebon
justru
Jeruk
dan
mengakibatkan pihak lain yang sudah melaksanakan
kewajiban kehilangan haknya;
h. Dengan
demikian
putusan
Judex
Facti
tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih
tinggi dan jauh lebih besar yaitu hak-hak mayoritas
pembeli kavling dan kreditur lain yang dirugikan
dengan adanya kepailitan ini;
Judex Facti sungguh telah lalai menggali rasa keadilan
dalam masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Para
pembeli
kavling
yang
telah
melaksanakan
Perjanjian Perdamaian adalah masyarakat yang harus
secara seksama diperhatikan oleh Judex Facti sebelum
memutus perkara pailit ini, dengan adanya putusan
pailit, akan terjadi ketidakadilan yang dialami oleh
Pemohon Kasasi, yaitu:
103
a) Adapun
dengan
tidak
dimungkinkannya
lagi
perdamaian dalam kepailitan jilid kedua (pailit
karena pembatalan perdamaian), maka berdasarkan
Pasal 175 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka
tanpa ampun seluruh aset atas nama Termohon Pailit
akan dilelang untuk dibagikan kepada kreditur
sehingga tidak ada harapan lagi kreditur bagi
Pemohon Kasasi untuk memiliki tanah, padahal
Pemohon Kasasi sudah melakukan PPJB lunas
ataupun AJB dan telah rnembayar pajak PPh dan
BPHTB;
b) PPh dan BPHTB yang disetorkan kepada Negara
tidak mungkin ditarik lagi sehingga Pemohon Kasasi
kehilangan uangnya;
c) Para
Pemohon
Pailit
yang
tidak
pernah
melaksanakan perjaniian perdamaian bisa duduk
setara dengan Pemohon Kasasi sebagai pembeli
kavling yang telah beritikad baik melaksanakan
kewajibankewajiban
berdasarkan
perjanjian
perdamaian (kreditur konkuren yang sama haknya).
Kalaupun
Termohon
pailit
tidak
menyetujui
proposal perdamaian atau ingin menawar-nawar
biaya, harusnya dari awal saja mereka menunjukan
104
diri sebagai pihak yang tidak menyetuj ui perjanjian
perdamaian.
Terkait
dalam
hal
ini
.mereka
menyetujui perjanjian perdamaian, kemudian disaat
para pembeli kavling lain sudah mulai melaksanakan
perjanjian perdamaia n, tiba-tiba mereka yang tidak
melaksanakan perjanjian perdamaian membatalkan
perjanjian perdamaian yang sudah dilaksanakan oleh
sebagian pembeli kavling;
d) Pemohon kasasi juga merasakan ketidakadilan
dengan tidak adanya perlindungan hukum sebagai
konsekuensi dari putusan pailit yang dibuat oleh
Judex Facti. Pemohon kasasi sudah beritikad baik
melaksanakan
perjanjian
perdamaian
bersama
dengan termohon pailit, tetapi kemudian di tengah
jalan dibatalkan oleh pemohon pailit yang tidak
pernah
Pemohon
melaksanakan
Pailit
perianjian
mengalami
perdamaian.
tidak
adanya
perlindungan terhadap kreditur walaupun dia sudah
melaksanakan kewajibannya sehubungan dengan
perjanjian perdamaian tersebut. Apalagi kasus pailit
ini diajukan oleh para kreditur yang belum
melaksanakan perjanjian;
105
e) Kalau
Pemohon
Pailit
yang
belum
pernah
melaksanakan perjanjian perdamaian tidak setuju
terhadap
perjanjian
perdamaian
yang
telah
dihomologasi dengan keinginan menawar-nawar
biaya,
maka
seharusnya
jangan
menggunakan
instrument Undang-Undang Kepailitan karena akan
berdampak negatif terhadap kreditur-kreditur lain
yang sudah menjalankan perjanjian perdamaian
bersama Termohon Pailit;
2.2.2. Judex Facti telah salah dalam Penerapan hukum atau
melanggar hukum yang berlaku.
a. Tidak adanya putusan sela atas permohonan intervensi;
Atas intervensi yang diajukan oleh pemohon kasasi di
tingkat
pengadilan
negeri,
Hakim
tidak
pernah
memberikan putusan sela atas intervensi yang diajukan;
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.
305 K/Sip/1962 tgl. 9 Januari1962 dan Yurisprudensi
MA RI No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16 Desember 1976,
maka
atas
permohonan
intervensi
tersebut
harus
dipertimbangkan dan diputus dalam suatu putusan sela;
Tidak
adanya
putusan
sela
atas
legal
standing
intervenient memiliki arti bahwa: "Majelis Hakim telah
meIanggar hukum acara dan oleh karenanya putusan
106
harus dibatalkan dan selain itu hal ini berarti Majelis
Hakim mengabaikan eksistensi dan kepentingan kreditur
lain (para pembeli kavling).
b. Bukti Fotocopy menjadi dasar mempailitkan PT. Interkon Kebon
Jeruk;
Judex
Facti masih
mempertimbangkan
bukti-bukti
fotocopi yang diajukan oleh Termohon Kasasi/Pemohon
Pailit, padahal bukti fotocopi tersebut bisa dikonfirmasi
kebenarannya pada saat sidang , baik karena tidak ada
aslinya maupun tidak ada bukti lainnya yang merujuk
kebenaran fotocopi tersebut;
Akibatnya
adalah
dokumen
yang
putusan
tidak
pailit
didasarkan
terkonfirmasi
pada
kebenarannya
sehingga putusan tersebut telah merobek nilai- nilai
kebenarannya;
Hal ini sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum di
dalam hukumacara berdasarkan;
Pasal 1888 KUHPerdata:
"Kekuatan Pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada
aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada maka salinansalinan serta ikhtisarikhtisarhanyalah dapat dipercaya,
sekedar salinan-salinan serta ikhtisar- ikhtisar itu sesuai
dengan aslinya";
107
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3609
K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987:
"Surat bukti yang hanya berupa fotocopy dan tidak
pernah ada surat aslinya oleh karena mana surat bukti
tersebut harus dikesampingkan."
Judex Facti yang mendasarkan pada bukti Fotocpy yang
tidak terkonfirmasi kebenarannya adalah putusan yang
melanggar hukum.
c. Perjanjian Perdamaian sebagai Pactum Sunt Servanda tidak
diakui;
Majelis
Hakim
mempertimbangkan
melanggar
bahwa:
hukum
pactum
karena
sunt
tidak
servanda
berlaku pada perdamaian yang disepakati juga oleh
Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam perjanjian
perdamaian yang telah dihomologasi sudah jelas bahwa
PT. Interkon Kebon Jeruk tidak mempunyai biaya untuk
membayar PPh sehingga berdasarkan kesepakatan di
Perjanjian Perdamaian, PPh tersebut ditanggung oleh
pembeli;
Lampiran 1 Proposal Perdamaian;
Biaya Peralihan Hak yang harus dibayarkan oleh Kreditur
meliputi biaya-biaya sebagai berikut:
a)
BPHTB (baik tanah maupun bangunan)
108
b)
PPh
c)
Biaya PengukuranlPemecahan Sertifikat
d)
dst .
Jadi, PPh yang ditanggung oleh pembeli dan telah
disetorkan
kepada
negara
bukanlah
pengingkaran
terhadap perjanjian perdamaian.
2.3. Alasan Kasasi Pemohon III
2.3.1. Judex Facti telah salah menerapkan hukum
a. Putusan Judex Facti tidak menerapkan asas memuat
dasar alasan yang jelas dan rinci.
Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena
dalam putusannya tidak memuat dasar alasan yang jelas
dan rinci dalam mempertimbangkan eksepsi Termohon
Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II
(sekarang
Para
Pemohon
Kasasi),
dan
Pemohon
Intervensi III. Bahwa dalam mengadili Judex Facti pada
"Tentang Pertimbangan Hukumnya" sampai dengan
amar putusan tidak terdapat pertimbangan hukum
mengenai eksepsi Termohon Pailit, Pemohon Intervensi
I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon
Kasasi), dan Pemohon Intervensi III oleh karenanya
putusan yang demikian haruslah dibatalkan. Bahwa
Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon
109
Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan
Pemohan Intervensi III telah mengajukan Eksepsi
Kompetensi Absolut, Eksepsi Kompetensi Relatif dan
Eksepsi mengenai pokok perkara. Bahwa dalam UU No.
37 Tahun 2004 memang tidak ada aturan khusus yang
mengatur tentang penyelesaian eksepsi dalam perkara
Niaga namun berdasarkan Pasal 299 UU No. 37 Tahun
2004 menyebutkan "Kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku
adalah Hukum Acara Perdata". Judex facti seharusnya
menyelesaikan eksepsi yang diajukan Termohon Pailit,
Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang
Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III
menggunakan aturan Pasal 136 HIR. Berdasarkan Pasal
136 HIR cara penyelesaian eksepsi lain diluar Eksepsi
Kompetensi seharusnya diputus bersama-sama dalam
Pokok Perkara. Dengan demikian, pertimbangan dan
amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara
dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan
akhir. (M. Yahya Harahap, S.H., 2006 hal. 428).
b. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.
Bahwa salinan putusan yang dilakukan oleh Majelis a
quo dalam perkara tersebut, yaitu dengan adanya 2 (dua)
110
salinan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir
dalam satu nomor perkara yang sama, namun dengan
pihak-pihak yang sangat berbeda. Bahwa dalam Putusan
Sela, Majelis a quo mengkelompokkan pihak- pihak
Pemohon
Intervensi,
dalam
3
(tiga)
kelompok
intervenient berdasarkan 3 (tiga) orang Kuasa Hukum
yang mengajukannya, yaitu:
a) Pemohon Intervensi Kelompok I, terdiri dari : Octavia
Widyastuti Alim, Drs. Abdul Salam, Trio Jono,
Elisabeth Prayogo, Sajuri Kartika Isanto, Eddy
Hartono, Yohanes Hartanto, Swanda Salim, Cornelia
Tiosudarmin;
b) Pemohon Intervensi Kelompok II, terdiri dari : Eddy
Yuwono, Yanti Husada, Liliany Wihardjo, Indriyani,
PT. Sari Kebon Jeruk Permai;
c) Pemohon Intervensi Kelompok III, terdiri dari:
Rainford Investment Inc.
Padahal masing- masing Pemohon Intervensi, walaupun
ada yang memberikan kuasa kepada orang yang sarna,
haruslah dipandang sebagai pihak yang berdiri sendiri,
bahkan surat kuasa yang diberikan juga berbeda-beda.
Perlu diingat bahwa yang mengajukan Permohonan
Intervensi bukanlah Kuasa Hukum, melainkan pihak
111
yang berkepentingan, sedangkan Kuasa Hukum hanyalah
mewakili pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan
demikian, seharusnya ada 15 (lima belas) Pemohon
Intervensi dalam perkara ini, bukan hanya 3 Pemohon
Intervensi. Bahwa keanehan dalam salinan putusan
berlanjut, dengan Salinan Putusan akhir, yang bahkan
tidak
lagi
mencantumkan
ke-15
pihak
Pemohon
Intervensi tersebut sebagai pihak dalam perkara. Padahal
dalil ke-15 Pemohon Intervensi telah diperiksa dan
dipertimbangkan dalam Putusan Sela, dengan demikian
ke-15 Pemohon Intervensi telah ikut masuk sebagai
pihak dalam perkara. Dengan demikian, ada 2 (dua)
salinan putusan dalam 1 (satu) perkara yang sama,
namun memiliki pihak-pihak yang berbeda. Sesuai
dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 130
K/Sip/1952, tgl. 2 juli 1955, dinyatakan bahwa: "Putusan
harus menyebut pihak-pihak yang berperkara”. Jelaslah
bahwa Majelis Hakim a quo telah melakukan kesalahan
berat dalam pertimbangannya dan dalam membuat
salinan putusan dalam perkara a quo, oleh karenanya
haruslah dibatalkan.
c.
Berkenaan dengan penerapan Pembuktian Secara
Sederhana yang dipaksakan pemberlakuannya.
112
Bahwa judex Facti telah salah dalam melaksanakan/
menerapkan hukum yang berlaku, yakni berkenaan
dengan penerapan Pembuktian Secara Sederhana
sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-undang
Nomor 37 tahun 2004. Bahwa permohonan pailit
yang dilakukan oleh Termohon Kasasi didasarkan
Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004. Sementara asas sederhana yang diterapkan
dalam Undang- undang Nomor
37 Tahun 2004
hanya berkenaan dengan Fakta adanya dua atau
lebih kreditor dan fakta utang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar namun dalam pertimbangan hukumnya
Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya untuk
membuktikan
wanprestasi
Termohon
atau
tidak
Pailit
melakukan
menggunakan
asas
pembuktian secara sederhana.
d. Judex Facti telah salah melakukan penafsiran hukum
terhadap keberadaan Perjanjian Perdamaian yang telah
dihomologasi.
Perjanjian Perdamaian adalah wujud semangat win-win
solution.
Bahwa
perjanjian
perdamaian
yang
telah
disepakati adalah wujud semangat win-win solution, dimana
para pihak yang berperkara berusaha untuk saling
113
memberikan
keuntungan
dan
menghindari
terjadinya
kerugian bagi salah satu pihak yang berperkara. Semangat
kekeluargaan adalah motivasi yang sudah seharusnya
dipupuk dan dipelihara dalam menyelesaikan suatu masalah
terutama dalam lapangan hukum perdata.
e.
Melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.
Bahwa
putusan
Judex
Facti
yang
mengangkat
Soedeson Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo,
SH,MH sebagai kurator melanggar ketentuan pasal 172
UU No. 37 tahun 2004, sebagaimana dikutip, sebagai
berikut: "(2) Hakim Pengawas, Kurator dan anggota
panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat
mungkin diangkat dari mereka yang dahulu dalam
kepailitan tersebut telah memangku jabatannya";
Bahwa sesuai dengan
ketentuan
tersebut,
maka
seharusnya Hakim Pengawas, Kurator dan anggota
panitia kreditur diangkat dari mereka yang terdahulu
memegang jabatan tersebut, kecuali tentu saja kalau ada
halangan untuk itu; Judex Facti dalam putusannya,
sama sekali tidak memberikan pertimbangan tentang
apa alasannya tidak mengangkat Kurator yang lama,
yaitu Sdr. Yan Apul, SH sebagai kurator. Memang
114
benar, kewenangan untuk mengangkat Kurator ada
pada Judex Facti. Namun kewenangan tersebut tidak
boleh digunakan secara sewena ngwenang, melainkan
harus
taat
pada
ketentuan
hukum
dan
perundangundangan yang berlaku. Tidak ada alasan
sama sekali kenapa Judex Facti tidak mengangkat
kurator yang lama untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan
kurator yang lama, sama sekali tidak pernah dimintakan
keterangan atau pendapat mengenai hal ini.
f. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004.
Bahwa dalam Penjelasan Undang- undang Nomor 37
tahun
2004
dijelaskan
bahwa
Undang-undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang didasarkan pada beberapa asas:
a) Asas Keseimbangan
Bahwa asas keseimbangan dalam Undang-undang
Nomor 37 tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan
yang merupakan perwujudan dari asas kesimbangan,
yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di
lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah
115
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
Pelanggaran yang dilakukan oleh judex facti jelas
ternyata
dengan
diabaikannya
penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang
tidak bertikad baik yang dalam perkara a quo adalah
Termohon Kasasi. Bahwa faktanya berdasarkan
Proposal Perdamaian tangga l 1 April 2009 (Vide
Bukti PI.II-2), Pemohon Pailit (kecuali Heny
Anwari) merupakan sebagian kecil dari 206 Kreditor
Termohon Pailit (Vide Bukti PI.II-3), yang artinya
masih banyak kreditor lain yang bersedia tunduk
untuk tetap dilakukannya perjanjian perdamaian.
Fakta dan nyata bahwa itikad tidak baik Termohon
Kasasi
dilakukan
dengan
cara
memanfaatkan
Suwarno Dicky Yusuf untuk melakukan AJB atas
tanah
yang
telah
dibelinya
selesainya/diterimanya
sampai
sertipikat
dengan
Hak
Guna
Bangunan atas nama Suwarno Dicky Yusuf. Dalam
perjalanannya
Termohon
Kasasi
menggunakan
momentum atas biaya-biaya yang dikeluarkan dan
disepakati oleh Suwarno Dicky Yusuf untuk
pengurusan
Akta
Jual
Beli
dan
sertifikasi
116
(pengurusan sertipikat Hak Guna Bangunan) sebagai
suatu bentuk wanprestasi Termohon Pailit terhadap
Perjanjian Perdamaian dengan dalil bahwa biayabiaya tersebut tidak terdapat dalam Proposal
Perdamaian
yang
merupakan
bagian
tidak
terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian yang telah
dihomologasi.
Faktanya
biaya-biaya
yang
dikeluarkan oleh Suwarno Dicky Yusuf benar-benar
digunakan untuk pengurusan Akta Jual Beli dan
pembuatan Sertipikat Hak Guna Bangunan dan
proses sertifikasi sudah selesai dengan keluarnya
Sertipikat
Hak
Guna
Bangunan
Nomor.
7643/Srengseng, Sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor. 7644/ Srengseng, dan Sertipikat Hak Guna
Bangunan Nomor.7682/Srengseng (Vide Bukti PI.II7a s/d PI.II-7c). Jika memang jika biaya-biaya yang
dibebankan
kepada
Suwarno
Dicky
Yusuf
melanggar ketentuan yang berlaku dan Perjanjian
Perdamaian seharusnya dengan diawali itikad baik
Suwarno Dicky Yusuf meminta pengembalian dari
Termohon
Pailit.
Judex
Facti
seharusnya
mempertimbangkan adakah perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Termohon pailit
117
terhadap Termohon Kasasi berkaitan dengan biayabiaya yang dituduhkan oleh Termohon Kasasi.
b) Pelanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 terdapat
ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor
yang prospektif tetap dilangsungkan. Perjanjian
Perdamaian yang telah dihomologasi dicapai secara
susah payah dengan mendatangkan investor asing
(Pemohon Intervensi III) dengan maksud dan tujuan
agar kelangsungan hidup Termohon Pailit tetap
terjaga. Namun Judex Facti sama sekali tidak
mempertimbangkan efek positif dan negatif dari
dipailitkannya kembali Termohon Pailit. Judex Facti
tidak mempertimbangkan keberadaan Kreditor lain
yang jauh lebih banyak jumlahnya. Undang-Undang
Nomor. 37 Tahun 2004 dibentuk bukan untuk
mematikan dunia usaha namun untuk memberikan
kepastian hukum agar Kreditor secara hukum
mendapatkan jaminan terhadap piutang-piutangnya
dengan
dibuka
pembayaran utang.
peluang
adanya
penundaan
118
c) Pelanggaran terhadap asas Keadilan.
Terkait dalam kepailitan asas keadilan mengandung
pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan
dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Dalam pertimbangan hukumnya
halaman 36 judex facti menyatakan sebagai berikut
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang
dibuat oleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok
L
1
Nomor
8
telah
membebankan
dengan
mencantumkan pembebanan biaya PPh sebesar Rp.
93.487.500,- kepada Suwarno Dicky Yusuf selaku
Kreditur pembeli kavling Blok L.1/8 hal mana telah
bertentangan
dengan
Lampiran
perdamaian
(Bukti
T3-b)
Termohon
Pailit
tidak
/
dimana
proposal
seharusnya
membebankan
atau
mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai dengan
ketentuan perundangan yang berlaku berdasarkan
akta
perdamaian.
Bahwa
kalimat:
"dimana
seharusnya Termohon Pailit tidak membebankan
atau mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlak." terlihat
jelas jika judex facti memberikan alternative putusan
hukum yaitu dengan kalimat " atau mengembalikan
119
biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku". Haruskah Termohon
Pailit dinyatakan pailit Hanya Lantaran Terdapat
Kelebihan Biaya-Biaya ?? Alangkah lebih arif dan
bijaksana
kesempatan
jika
Termohon
untuk
Pailit
mengembalikan
diberikan
biaya-biaya
tersebut sebagai amanah Undang-Undang Nomor.
37
Tahun
2004
Pasal
170
ayat
(3)
yang
menyebutkan: "Pengadilan berwenang memberikan
kelonggaraan kepada Debitor untuk memenuhi
kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan".
Pelanggaran judex facti jelas dan nyata sebenarnya
bisa diputusakan alternative yang lebih solutif yaitu
dengan
memberikan
Mengembalikan
Kelebihan
kelonggaran
Biaya
Yang
untuk
Telah
Dibayarkan Oleh Suwarno Dicky Yusuf Kepada
Termohon Pallit. Jika Judex Facti mau memberikan
kelonggaran kepada Termohon Pailit tentu Tidak
Merugikan Kreditur Lain Termasuk Kreditur Yang
Mengajukan Permohonan Pailit. Terlepas dari alasan
tersebut di atas jika diberikan kelonggaran lebih
bermanfaat oleh karena pada dasarnya tujuan
120
Putusan adalah: Keadilan, Kepastian Hukum Dan
Kemanfaatan.
d) Pelanggaran terhadap asas Integrasi;
Asas integritas dalam Undang-Undang Nomor. 37
Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa system
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan
satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata
dan hukum acara perdata nasional. Pelanggaran
Judex Facti terhadap hukum formil dan materiil
secara
keseluruhan
ditunjukkan/hal-hal
yang
merupakan alasan-alasan kasasi dari Pemohon
Kasasi.
3.1.2.
Judex Facti telah lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perUndang-Undangan.
a.
Amar
putusan
tidak
mencantumkan
mengenai
ditolaknya Eksepsi dan diterima atau tidaknya
Permohonan Intervensi.
Permohonan
Pailit
diajukan
Pemohon
Pailit/Termohon Kasasi pada tanggal 01 Juni 2010
yang
deregister
oleh
Pengadilan
Niaga
pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.0 3/Pembatalan
Perdamaian/ 2010/ PN.Niaga.Jkt.Pst.
Sidang pertama pada tanggal 14 Juni 2010;
121
Pada tanggal 30 Juni 2010 Pemohon Intervensi
Il/Pemohon Kasasi mengajukan intervensi yang pada
saat itu agenda persidangan adalah Pembuktian dari
Pihak Pemohon Pailit;
Pada tanggal 01 Juli 2010 agenda sidang pembuktian
dari Termohon Pailit dan Pemohon Intervensi;
Pada tanggal 05 Juli 2010 pengajuan bukti Eksepsi
Kompetensi
Absolut
dari
pihak-pihak
yang
mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut termasuk
Pemohon Kasasi;
Pada tanggal 14 Juli 2010 pembacaan Putusan Sela
terhadap Eksepsi Kompetensi Absolut bukan tanggal
07 Juli 2010 sebagaimana disebutkan dalam putusan
halaman 2;
Bahwa Putusan Sela tersebut hanya mengenai
kompetensi absulut saja. Bahwa faktanya dalam
Putusan Judex Facti sama sekali tidak menyebutkan
tentang ditolak/diterimanya eksepsi dan Permohonan
Intervensi. Hal tersebut melanggar asas bahwa amar
putusan
mesti
dirinci
sebagaimana
putusan
Mahkamah Agung Nomor 698 K/Sip/1969. Bahwa
selanjutnya, judex
facti juga
telah
melakukan
kesalahan berat dalam penerapan hukum acara, karena
122
tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau
ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh
ke-15 Pemohon Intervensi tersebut.
b. Bahwa Judex Facti sama sekali tidak memberikan
pertimbangan hukum terhadap eksepsi yang diajukan
oleh
Pemohon
Intervensi
II
untuk
Eksepsi
Permohonan Pembatalan Perdamaian yang diajukan
adalah Prematur.
3.1.3. Judex Facti telah melampaui batas wewenang.
Bahwa pertimbangan hukum yang demikian adalah
pertimbangan hukum yang keliru dan karenanya Judex
Facti
telah
nyata-nyata
melampaui
batas
kewenangannya dengan alasan sebagai berikut:
Tuntutan
tentang
adanya
wanprestasi
adalah
bukan
persoalan sederhana yang memerlukan pembuktian yang
lebih teliti. Bahwa konsep utama pembuktian secara
sederhana digunakan manakala hanya jika dilihat secara
fakta dengan bukti tertulis saja sudah bisa menunjukkan
bahwa gugatan/permohonan adalah benar secara hukum.
Konsep pembuktian secara sederhana lebih tepat kepada
perkara-perkara voluntair yang tidak melibatkan banyak
pihak sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan dengan
acara cepat; Pembuktian secara sederhana yang dianut oleh
123
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya digunakan
pada saat permohonan pailit yang pertama sehingga
pemeriksaannya tunduk kepada Pasal 8 ayat (4) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004. Perkara a quo permohonan
pailit ya ng diajukan oleh termohon kasasi adalah didasarkan
pada tuduhan wanprestasi terhadap Perjanjian Perdamaian.
Hubungan hukum antara Termohon Pailit dengan Pemohon
Pailit adalah hubungan hukum yang diwadahi oleh
perjanj ian. Alangkah lebih tepat jika pembuktian dilakukan
dengan acara biasa yang dilakukan oleh Pengadilan Umum
(masuk dalam ranah perkara perdata biasa).
3.1.4. Termohon Pailit tidak terbukti lalai dalam melaksanakan
Perjanjian Perdamaian.
Bahwa judex facti dalam mengabulkan Permohonan Pailit
atas dasar Termohon Pailit telah lalai dengan membebankan
PPh kepada Pemohon Pailit adalah keliru dengan alasan
sebagai berikut:
a. Tidak ada pembayaran PPh dari Pemohon Pailit untuk
Pembebanan PPh. Bukti yang diajukan berkaitan dengan
Pembebanan PPh yaitu Bukti P-7a yang hanya ditujukan
Kepada Suwarno Dicky Yusuf. Bukan Bukti pembayaran
Pemohon Pailit;
124
Bahwa pertimbangan hukum judex facti halaman 37 yang
menyebutkan: "Menimbang bahwa demikian halnya
terhadap bukti surat (P8, P8a s/d P8u) oleh Termohon
telah dan tetap membebankan PPh kepada Kreditor
dimana seharusnya biaya pengalihan hak incasu PPh
seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran
Pajak Penghasilan hak atas tanah, Adalah Pertimbangan
Hukum Yang Keliru Karena Bukti P8.P8a s/d P8u Hanya
Berupa
Foto
Copy
Saja
oleh
karena
kekuatan
pembuktiannya adalah terletak pada aslinya (Pasal 1888
KUHPerdata);
2.4. Alasan Pemohon Kasasi IV
Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nomor
03/Pembatalan Perdamaian 2010/PN.Niaga.JKT.PST., tgl. 28
Juli 2010 harus dibatalkan karena bertentangan dengan
hukum, tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak cukup
pertimbangannya,
mempertimbangkan
karena
dalil-dalil
sama
sekali
pemohon
tidak
intervensi,
sebagaimana diuraikan, sebagai berikut:
2.4.1. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan.
Bahwa secara kasat mata terlihat dengan jelas kesalahan
berat dalam penerapan formalitas salinan putusan yang
dilakukan oleh Majelis a quo dalam perkara tersebut, yaitu
125
dengan adanya 2 (dua) salinan putusan, yaitu putusan sela
dan putusan akhir dalam satu nomor perkara yang sama,
namun dengan pihak-pihak yang sangat berbeda.
2.4.2.
Tidak
ada
pertimbangan
mengenai
permohonan
Intervensi dan sama sekali tidak mempertimbangkan
dalil dan bukti para pemohon Intervensi.
Bahwa selanjutnya, Majelis Hakim a quo juga telah
melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum acara,
karena tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau
ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh ke-15
Pemohon Intervensi tersebut. Bahwa Putusan Sela tanggal
14 Juli 2010 hanya mengenai kompetensi absolut saja, sama
sekali tidak memutus apakan permohonan intervensi untuk
bergabung dalam perkara a quo diterima atau ditolak.
2.4.3. Melanggar Huk um Acara Pembuktian.
Bahwa putusan perkara a quo harus dibatalkan karena
telah
melanggar
ketentuan
tentang
Hukum
Acara
Pembuktian. Hampir seluruh bukti yang diajukan oleh
Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit adalah bukti-bukti
toto copy yang tidak dikuatkan oleh keterangan saksi,
Karenanya tidak memenuhi ketentuan hukum untuk
dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah.
126
2.4.4. Pertimbangan didasarkan pada alat bukti milik orang
lain.
Bahwa Majelis Hakim a quo dalam pertimbangannya,
mempertimbangkan bahwa bukti P-7, P-5, dan P-7a, yaitu
dengan mempertimbangkan bukti tersebut, yang memuat
Majelis Hakim a quo merupakan bukti pelanggaran atas
Akta Perdamaian karena telah membebankan biaya PPh
tidak sesuai ketentuan PerUndang-undangan yang berlaku
ternyata merupakan bukti-bukti atas nama Suwarno Dicky
Yusuf yang tidak merupakan pihak dalam perkara ini.
Lagipula, Suwarno Dicky Yusuf juga tidak pernah
dihadirkan sebagai sakasi dalam perkara ini.
2.4.5. Melanggar Ketentuan Pasal 172 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004.
Majelis a quo dalam putusannya, sama sekali tidak
memberikan pertimbangan tentang apa alasannya tidak
mengangkat Kurator yang lama, yaitu Sdr. Yan Apul, SH
sebagai kurator. Memang benar, kewenangan untuk
mengangkat Kurator ada pada Majelis Hakim a quo.
Namun, kewenangan tersebut tidak boleh digunakan
secara sewenangwenang, melainkan harus taat pada
ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku;
Tidak ada alasan sama sekali kenapa Majelis Hakim a quo
127
tidak mengangkat kurator yang lama untuk menyelesaikan
hal ini. Bahkan kurator yang lama, sama sekali tidak
pernah dimintakan keterangan atau pendapat mengenai hal
ini.
2.4.6. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004.
a. Melanggaran terhadap asas Keseimbangan
b. Melanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha
c. Melanggar terhadap asas Keadilan
d. Melanggar terhadap asas Integrasi
3. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung
3.1. Menimbang,bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung berpendapat:
Mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II, III dan
IV. Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena
Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dalam
putusannya
yang
mengabulkan
permohonan
Pemohon
seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku, sebab:
Perkara
ini
adalah
mengenai
tuntutan
pembatalan
atas
perdamaian yang telah disahkan oleh karena debitor lalai memenuhi
isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1)
Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara seperti itu debitur
128
wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia penuhi in casu Debitur
wajib
membuktikan
bahwa
Debitor/
Termohon
Pailit
tidak
membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada penambahan
biaya perpanjangan SHGB, jasa dan denda keterlambatan atas
perpanjangan dimaksud sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan
2 Proposal Perdamaian (P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2,
T.3b), akan tetapi ternyata di persidangan Debitor/Termohon Pailit
tidak dapat membuktikan tentang tidak adanya penambahan biaya
dimaksud, bahkan sebaliknya sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah
terbukti adanya penambahan biaya tersebut yang melanggar is i
perjanjian perdamaian dimana debitor in casu termohon pailit telah
lalai memenuhi isi perdamaian tesebut.
3.2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
ternyata bahwa putusan Judex
Facti/Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk
Cs tersebut harus ditolak;
3.3. Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon
Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi ditolak, maka
para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi
harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun
129
2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubaha n kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan.
4. Putusan
4.1. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: I. PT.
Interkon Kebon Jeruk, Ii. 1. Octavia Widyastuti Alim, 2. Elisabeth
Prayogo, 3. Swanda Salim, 4. Yohanes Hartanto, 5. Eddy Hartono, 6.
Drs. Abdul Salam, 7. Cornelia Tiosudarmin, 8. Trio Jono, 9. Ratna E
Jl Tobing, 10. Hedy Yani, 11. Lina Gozali, 12. Liliani Wihardjo, 13.
Meyliana Susanti Hirawan, 14. Herawati Santoso, 15. Sherwin A.
Surja Atmadja, 16. Drg. Lizza Christina, 17. Waluyo Hadi P, 18.
Sajuri Kartika Isanto, 19. Megahartawan Santoso, 20. Lingga Iswara,
21. Bong Mei Tjen, 22. The Sui An, 23. Savina Gozali, Iii. 1. Eddy
Yowono, 2. Yanti Husada, 3. Liliany Wihardjo, 4. Indriyani Dan Iv.
Rainford Investment Inc.
4.2.
Menghukum para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit, para Pemohon
Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
130
B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam
Perkara Perdata Khusus Kepailitan
Pengadilan Niaga sebagai extra ordinary court, oleh Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan hal- hal khusus yang merupakan
lex specaialis. Antara lain mengenai upaya hukum. Sebagai speedy trial,
terhadap putusan pailit, orang yang tidak puas dapat mengajukan upaya
hukum. 42
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah
Agung.”
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan
yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan
pernyataan pailit”.
Dasar
hukum
Pengadilan
Kasasi
yang
dilakukan
oleh
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi:
“Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkunga n
42
Syamsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2012, Tata Nusa, Jakarta, hal.115.
131
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang- undang
Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat 1 tentang Mahkamah Agung yang
menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Permohonan Kasasi yaitu:
a)
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini
tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti
incasu pengadilan niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya
tentang Judex
factie tidak
berwenang/bukan
merupakan
kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti
melampaui
batas
wewenang adalah
bahwa Judex
Facti telah
mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan
dalam Undang-undang. Kemudian, melampaui batas wewenang ini
dapat juga di artikan bahwa judex facti dalam putusannya telah
mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat
gugatannya.
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat
132
dari
penerapan
hukum
yang
berlaku.
Sedangkan melanggar
hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah
dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang
digariskan oleh Undang-undang.
c)
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. 43
Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa pertimbangan
yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam menolak permohonan
Kasasi yaitu:
43
Loc.Cit.
133
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan
kasasi tidak memenuhi kriteria;
2) Keberatan Kasasi yang diajukan tidak tunduk pada Pemeriksaan
Kasasi;
3) Penolakan Kasasi dengan Perbaikan Putusan Judex Facti. 44
Syarat Formil yaitu dalam perkara ini Permohonan para Kasasi
Pemohon Kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan
kepada pihak lawan yang dengan saksama, diajukan dalam tenggang
waktu
dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan
dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan
sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan
hakim pengadilan niaga bahwa sesudah putusan terakhir ini dijatuhkan
dengan hadirnya termohon pailit dan para pemohon intervensi pada
tanggal 28 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh termohon pailit dan
para pemohon intervensi dengan perantara kuasanya, berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2010 dan tanggal 30 Juli 2010,
diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 4 Agustus
2010 dan tanggal 5 Agustus sebagaimana ternyata dari akte
permohonan
44
kasasi
Nomor
54/Kas/Pembatalan
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
jo
Nomor
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst
yang
dibuat
03/Pembatalan
oleh
Panitera
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemerisaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, 2007, Sinar Grafika, Jakarta, hal.393-396.
134
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan
mana disertai dengan Memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5
Agustus 2010;
Bahwa setelah itu oleh Pemohon Pailit yang pada tanggal 9
Agustus 2010 telah diberitahukan tentang Memori Kasasi dari para
Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi diajukan jawaban
Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Agustus 2010;
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan
yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan
kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan
pernyataan pailit”.
Pasal 46 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1985 jo
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009
“ Permohonan Kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara
tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama
yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan
yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.”
Menimbang, bahwa permohonan Kasasi a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
135
dalam Undang- undang maka oleh karena itu permohonan Kasasi
tersebut Formil dapat diterima.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus
Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010
ditemukan sebua h fakta dalam perkara ini mengenai keberatan yang
diajukan para pemohon Kasasi mengajukan alasan Kasasi sebagai
berikut:
a) Majelis Hukum Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah
melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar
yang berlaku dia ntaranya: judex facti melakukan pelanggaran
berat hukum acara mengenai Intervensi, tidak mempertimbangkan
Eksepsi Pemohon Kasasi, tentang Pembuktian (Foto copy dan
Pembuktian sederhana), judex facti mengabulkan tuntutan
wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak, judex facti tidak
menerapkan asas memuat dasar alasan yang lebih rinci,
melanggar ketentuan Formalitas Salinan Putusan,
salah
melakukan
penafsiran
hukum
terhadap
judex facti
Perjanjian
Perdamaian yang telah dihomologasi;
b) Para pemohon Kasasi sangat keberatan terhadap Putusan Pailit
untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak
dengan tegas-tegas Putusan judex facti tersebut karena Putusan
terhadap Pailit terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan
yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat;
136
c) Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kurator;
d) Judex Facti melanggar asas-asas dalam Undang-Undang Nomor.
37 Tahun 2004;
e) Judex Facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perUndang- undangan yaitu didalam amar Putusan tidak
mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau
tidaknya Permohonan Intervensi;
f)
Judex Facti telah melampaui batas wewenang.
Bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para
pemohon kasasi jelas terlihat memenuhi syarat formil dan syarat
materiil dikabulkannya permohonan kasasi. Syarat materiilnya dapat
dilihat
dalam
pertimbangan-pertimbangan
alasan
mengajukan
permohonan kasasi sudah memenuhi kriteria sebagaimana termaktub
dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Berdasarkan alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi, Hakim
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu:
Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
oleh karena judex facti/pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan
Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, sebab perkara ini adalah mengenai
tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena
137
debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara
seperti itu debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia
penuhi in casu debitur wajib membuktikan bahwa debitor/ termohon
Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada
penambahan biaya perpanjangan SHGB (Sertipikat Hak Guna
Bangunan), jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud
sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian
(P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata
di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan
tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya
sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan
biaya tersebut yang melanggar isi perjanjian perdamaian dimana
Debitor in casu Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian
tesebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
ternyata bahwa putusan Judex
Facti/Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk
Cs tersebut harus ditolak;
Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi
138
ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para
Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
(1) Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaianyang telah
disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
(2) Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.
(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitur
untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.
Bahwa perjanjian perdamaian antara Pemoho n Pailit dan
Termohon Pailit yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor
027/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST jo No. 21 K/N/2006 jo No.
019 PK/N/2006tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2);
Bahwa isi Perjanjian Perdamaian tersebut di atas yang telah
dilanggar oleh Termohon Pailit sebagai berikut:
“ Pasal 1.2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: Para pihak setuju
bahwa perdamaian sebagaimana dimaksud dalam PasaI 1.1. akan
139
dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
tercantum dalam Proposal Perdamaian tertanggal 1 April 2009,
beserta Lampiran I Proposal Perdamaian dan Surat dari PT. Interkon
Kebon Jeruk (dalam Pailit) tertanggal 1 April 2009. Seluruh dokumen
tersebut terlampir dalam Lampiran 2 Perjanjian ini”.
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peralihan
Hak antara lain:
(1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan penetapan
Badan Pertanahan Nasional (BPN);
PasaI 2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan:
(1) Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di
antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman,
pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan
fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan
pemeliharaan kebersihan dan keamanan;
(2) Pembangunan infrastruktur akan dimulai setelah perjanjian ini
ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga
Jakarta Pusat.
140
Bahwa dalam pelaksanaan isi perdamaian tersebut ternyata debitor
lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam proposal perdamaian,
sebagai berikut:
(1) Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya
Peraliha n Hak antara lain:
1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan
Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea
Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan tarif
BPHTB sebesar 5%, namun dalam pelaksanaan perjanjian
perdamaian tersebut ternyata Pihak Termohon Pailit dikenakan
tarif BPHTB lebih dari apa yang ditentukan oleh undangundang;
Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat
setelah Perjanjian Perdamaian oleh Termohon Pailit dengan
salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian.
Adapun dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 (terlampir, Bukti P3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November
2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris
PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno
Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas
Kavling Blok L. No.8 dengan harga seluruhnya Rp.
60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu
141
rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di
Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan
bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor:
SPP/TKJ/00831.85/IV/96.
Namun,
dalam
perincian
perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling
Blok L.1 No. 8 (terlampir, Bukti P-5) dikenakan Biaya BPHTB
sebesar Rp. 90.487.500,- (sembilan puluh juta empat ratus
delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Iebih dari 150%
dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan biaya BPHTB
tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian
Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam
undang-undang;
2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan
ketentuan Undang- undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku menetapkan bahwa PPh tidak
dikenakan kepada Pemohon Pailit selaku Pembeli tetapi
terhadap Termohon Pailit selaku Penjual yang menerima
penghasilan, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian
tersebut
ternyata
Pihak
Pemohon
Pailit
yang
harus
menanggung PPh tersebut tanpa perincian perhitungan yang
sesuai dengan undang- undang tentang PPh; Hal mana dapat
dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian
142
Perdamaian oleh Termohon dengan salah satu pihak yang
terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Dalam Akta Jual Beli No.
8/2009 terlampir, Bukti P-3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti
P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri
Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon
Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli
dilakukan atas Kavling Blok L.1 No. 8 dengan harga
seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan
Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di
bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di
bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam
perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit
atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir Bukti P-5) dikenakan
Biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- (sembilan puluh tiga juta
empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) (Iebih
dari 150 % dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan
Biaya PPh tersebut di atas merupakan pelanggaran dari
Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang
ditentukan dalam undang-undang;
3) Biaya
Pengukuran/Pemecahan
penetapan
Badan
Pertanahan
Sertifikat
sesuai
dengan
Nasional
(BPN);
Dalam
pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak
143
Pemohon Pailit harus menanggung biaya-biaya yang tidak
tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tersebut.
Selain itu biaya-biaya yang dikenakan tersebut tanpa perincian
perhitungan
apakah
sesuai
dengan
penetapan
Badan
Pertanahan Nasional (BPN) atau penetapan oleh Termohon
Pailit sendiri;
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian butir/poin (3) hanya
tercantum biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai
penetapan BPN. Namun, dalam perincian perhitungan yang
diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8
(terlampir, Bukti P-5) dikenakan selain biaya pengukuran/
pemecahan sertifikat, juga biaya jasa, yang meliputi biaya
balik nama dan jasa, biaya perpanjangan SHGB dan jasa, biaya
keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa. Adapun dalam
pengurusan kavling tersebut di atas ternyata dikenakan:
1. Biaya Balik Nama dan Jasa sebesar Rp. 27.000.000,- (dua
puluh tujuh juta rupiah);
2. Biaya
Perpanjangan
SHGB
dan
Jasa
sebesar
Rp.
56.250.000,- (lima puluh enam juta dua ratus limapuluh ribu
rupiah);
3. Biaya Denda Keterlambatan Perpanjangan SHGB dan jasa
sebesar Rp. 40.500.000,- (empat puluh juta lima ratus ribu
rupiah);
144
Hal mana pengenaan biaya-biaya tersebut di luar apa yang
secara tegas sudah dinyatakan dalam Lampiran I Proposal
Perdamaian yaitu: hanya biaya pengukuran/pemecahan
sertifikat sesuai penetapan BPN, tanpa tambahan biaya
apapun;
Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran dari Perjanjian
Perdamaian yang dilakukan dengan sengaja dan itikadburuk
dari Termohon Pailit;
4) Menurut ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdamaian disebutkan
Termohon Pailit selaku Pihak Pertama akan melakukan
pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana
dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan
Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan
dan
keamanan
iniditandatangani
yang
dan
akan
dimulai
dihomologasi
setelah
perjanjian
oleh
Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat;
Kenyataannya setelah perjanjian perdamaian ditandatangani
dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat,
Termohon Pailit tidak memulai pembangunan infrastruktur
yang dijanjikan tersebut. Hal mana dapat dibuktikan jalan-jalan
berbatu tidak diaspal, sungai/kali yang terdapat dalam
perumahan Interkon Kebon Jeruk sudah dalam keadaan kritis
145
akan ambruk tidak dikerjakan oleh Termohon Pailit, meskipun
sudah
diberitahukan
secara
lisan
dan
tertulis
kepada
Termohon. Hal mana dengan terpaksa para Pemohon Pailit
bersama warga yang lain harus mencari upaya sendiri
memperbaikinya dan menanggulangi biaya yang dikeluarkan
untuk perbaikan infrastruktur tersebut secara gotong royong
bersama-sama (terlampir, Buktl P-6);
5)
Bahwa kelalaian atas pelaksanaan isi perjanjian perdamaian
oleh
Termohon
Pailit
bukan
merupakan
keterlambatan
pelaksanaan, melainkan bersifat pelanggaran hukum/undangundang
yang
sengaja dibuat Termohon Pailit dengan
menggelembungkan
biaya-biaya
yang
seharusnya
tidak
ditanggung pemohon pailit;
Hal mana jelas-jelas terbukti sangat merugikan para pihak
yang terkait dalam perjanjian perdamaian khususnya para
pembeli kavling perumahan Interkon Kebon Jeruk oleh
karenanya tidak dapat ditolerir lagi, sehingga Termohon Pailit
layak dan patut dipailitkan karena telah melanggar perjanjian
perdamaian;
6) Bahwa para Pemohon Pailit selaku pihak terkait, dalam
perjanjian perdamaian merupakan pihak yang harus dilindungi
oleh hukum karena Termohon Pailit telah melanggar perjanjian
perdamaian sehingga Para Pemohon Pailit berhak memohon
146
agar Termohon Pailit dipailitkan sehingga kepentingan Para
Pemohon Pailit dapat dilaksanakan oleh Pengadilan dengan
seadil-adilnya;
Para Pemohon Pailit sangat berkeberatan dengan pengenaan
biaya-biaya yang ditetapkan di luar isi perjanjian perdamaian
dengan sengaja dan itikad buruk dari Termohon Pailit,
sehingga Para Pemohon Pailit merasa diperas, ditindas oleh
Termohon Pailit dengan biaya-biaya yang sangat besar,
digelembungkan, dimanipulasi, di luar ketentuan undangundang, yang dikenakan kepada para Pemohon Pailit untuk
mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali berdasarkan
Perikatan untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon
Jeruk yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit dengan
Termohon Pailit (dahulu PT. Intercon Enterprises). (Bukti P7).
Perkara ini hakim Mahkamah Agung menilai bahwa Debitur
lalai memenuhi isi perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 170
ayat (1) dan akibatnya Debitur dinyatakan Pailit. Berdasarkan hasil
penelitian dapat dilihat bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam
menolak permohonan Kasasi tidak dapat dibenarkan.
Menurut Pasal 170 (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007:
147
“Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang
telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian
tersebut”.
Berdasarkan
faktanya
yang
mengajukan
permohonan
pembatalan perdamaian adalah Horas Panjaitan , S.H (Kuasa Hukum
Pemohon Pailit). Akan tetapi Horas Panjaitan, S.H sama sekali tidak
memiliki wewenang mengajukan permohonan pembatalan tersebut hal
ini
dapat
dilihat
dalam
Putusan
Nomor
027/Pailit/2006/PN.
Naga/Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 jo Nomor 019 PK/N/2006
tanggal 29 April 2009. Bahwa dalam Surat Kuasanya tidak disebutkan
secara tegas dan spesifik mengenai permohonan pembatalan. Bahwa
benar Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan
“Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah
disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perjanjian tersebut”.
Bahwa ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
tetaplah harus berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37
Tahun 2004 yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri
maupun ataspermohonan satu atau lebih Kreditor”;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, SH. dalam bukunya Hukum
Kepailitan, menyatakan sebagai berikut: “Sangatlah penting diketahui
148
mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu
apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan
permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat
tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan Kepailitan tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut, maka Permohonan tersebut tidak
akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga;
Bahwa syarat tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu:
“ Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Bahwa syarat tersebut sifatnya limitative dan harus dipenuhi
seluruhnya.
Berdasarkan faktanya:
1)
Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditor;
Sekilas syarat ini terpenuhi oleh karena Tommy Bungaran, Cs
merupakan Kreditor dalam Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.
027/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST.
jo.
No.
21
K/N/2006, jo No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 (Kecuali
Heny Anwari), namun demikian Pemohon Pailit tidak mempunyai
legal standing untuk mengajukan Permohonan Pailit sebagaimana
telah diuraikan dalam Eksepsi Pemohon Intervensi;
149
2) Syarat harus adanya hutang;
Bahwa
Pemohon
Pailit
mengajukan
Permohonan
Pailit
mendasarkan pada kelalaian Termohon Pailit terhadap Perjanjian
Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/Pailit/2006/PN.Niaga jo
No. 21 K/N/2006, jo. No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009
dengan alasan pada pokoknya:
1.
Termohon Pailit telah membebani BPHTB, PPh, dan Biaya
Pengukuran/Pemecahan Sertifikat kepada Suwarno Dicky
Yusuf yang menurut Pemohon Pailit melanggar lampiran
Perjanjian Perdamaian. (Kesemuanya dituduh melanggar
peraturan yang berlaku);
2.
Termohon Pailit tidak membangun infrastruktur;
Bahwa alasan-alasan tersebut di atas bukanlah termasuk dalam
kategori hutang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 37 tahun 2004. Sama sekali tidak ada hubungan hutang
pihutang antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit;
Syarat harus adanya hutang sarna sekali tidak terpenuhi dalam alasan
Permohonan Pailit yang diajukan Pemohon Pailit. Bahwa oleh karena
syarat harus adanya hutang tidak terbukti maka "Syarat hutang harus
telah jatuh waktu dan dapat ditagih" dan "Syarat cukup satu hutang
saja telah jatuh waktu dan dapat ditagih" otomatis tidak perlu
dibuktikan atau pasti tidak terpenuhi;
150
Bahwa dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat Permohonan
Pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004, cukup alasan untuk menolak. permohonan
pailit dari Pemohon Pailit atau setidaknya menyatakan tldak dapat
diterima.
2. Akibat hukumnya, terhadap kasasi yang ditolak dalam perkara
Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata Khusus Kepailitan.
Akibat kepailitan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan
yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kepailitan
mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak
perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah
dimasukan ke dalam harta pailit. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan
dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan
hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan
orang tua (ouderlijke macht ). Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan
debitur. Debitur tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah
kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu
menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut
pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu
kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 45
45
Sutan Remy Sjahdeny, Loc.Cit.
151
Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi
tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah
disita. 46 Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan pernyataan
pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak
tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari
pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1) menerangkan bahwa kuratorlah
yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit,
dengan demikian, kurator kehilangan hak menguasai harta yang masuk
dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada
di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 UndangUndang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta
kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta
semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan.
Apabila Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1),
Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub dalam
bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat BAB II Undang-Undang
ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai pencocokan piutang terbatas
pada piutang yang belum dicocokan. Wlaupun demikian Kreditur yang
piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk menghadiri rapat
pencocokan piutang dan berhak untuk membantah piutang yang dimintakan
penerimaannya (Pasal 173 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
46
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.
152
Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk itu,
semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu antara
pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan adalah
mengikat bagi harta pailit”.
Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan
perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan pemberesan harta
pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
Bila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi anatara para
Kreditur dengan cara:
a. Jika Kreditur lama maupun Kreditur baru belum mendapat pembayaran,
hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka secara prorata;
b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada Kreditur lama,
maka Kreditur lama dan Kreditur baru berhak menerima pembayaran
sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian;
c. Kreditur lama dan Kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara
prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi pembayaran
sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai dipenuhinya seluruh
piutang yang diakui.
Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan
untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya (Pasal 176
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “prorata”
adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing- masing,
153
sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian berapapun (Penjelasan
Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berlaku mutatis
mutandis dalam hal Debitur sekali lagi dinyatakan Pailit.47
Perkara perdata mengenai kepailitan yang dimohonkan kasasi oleh
para pemohon dalam faktanya ditolak dengan mempertimbangkan bahwa
alasan-alasan para Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena
judex facti / Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.
Terkait dalam perkara
ini
Hakim
Mahkmah Agung dalam
pertimbangan hukumnya menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi
sehingga dalam perkara ini Putusan judex facti/ Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Akibat Hukum dari ditolaknya Permohonan Kasasi
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk
Cs mengakibatkan bahwa PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit. Akibat keputusan
pailit tersebut seluruh harta kekayaan PT.Interkon Kebon Jeruk diserahkan
kepada Kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) UndangUndang Nomor 34 Tahun 2007 dan dibawah pengawasan hakim pengawas.
Hakim pengawas memiliki peranan yang sangat penting, peranan itu mulai
berlaku setelah di ucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim pengawas
47
Ibid, hal.171
154
mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan
dan pemberesan.
155
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Penerapan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak Permohonan
Kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 perkara perdata khusus
Kepailitan tidak tepat karena Debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian
sebagiamana termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004.
2. Akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan perkara
perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Regis ter Perkara 771
K/Pdt.Sus/2010, maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh para
Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk Cs mengakibatkan
PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit dan seluruh harta kekayaan PT.Interkon
Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah
pengawasan hakim pengawas.
B. SARAN
1. Mahkamah Agung merupakan Puncak Peradilan tertinggi hendaknya
lebih cermat dan teliti dalam memutuskan suatu perkara.
2. Hakim Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan alasan-alasan
Permohonan Kasasi hendaknya lebih teliti terkait dalam menelaaah suatu
perkara ya ng masuk.
156
DAFTAR PUSTAKA
LITERATUR
Anisah, Siti, Perlindungan kepentingan kreditor dan Debitor dalam Hukum
Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008.
Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia
(1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
Halim, Ridwan, Hukum Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1996.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta,
2004.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media,
Surabaya, 2005.
Jono, Hukum Kepailitan. Sinar Grafika, Jakarta. 2008.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta,
2010.
Mertokusumo, Sudik no, Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 2002.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia.PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1990.
157
Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Pangabean P, Henry, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan
ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Rony Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1988.
Saleh, Wantjik K, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.
Sinaga M, Syamsudin, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Kakarta, 2012.
Sjahdeini, Remy, Sutan, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2002.
Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, 1985.
Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1985.
Soekarso Hendri, Sitomurang Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Shubhan, Hadi, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan),
Kencana Media Group, Surabaya, 2007.
Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), PT. Sofmedia, Jakarta, 2010.
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum. UII Press, Yogyakarta, 2007.
Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta. 2004
158
Widjaja Gunawan, Yani Ahmad, Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Mr.Tresna, R, Komentar HIR. Pradnya Paramita, Jakarta.1972
Indonesia,
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
..................., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
...................., Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
WEBSITE
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=771+K%2FPdt.Sus%2F
2010 diakses pada tanggal 1 september 2012
http://gilang-kurnia.blogspot.com/2010/12/upaya-hukum-terhadap-sengketa.html
diakses pada tanggal 17 September 2012
http://click- gtg.blogspot.com/2011/04/berakhirnya-kepailitan.html diakses pada
tanggal 10 September 2012
http://www.djkn.depkeu.go.id/content/article/lainnya/upaya- hukum-2.html
diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.
159
Download