PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung) SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman OLEH : SUSANTI E1A008298 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung) Disusun Oleh: SUSANTI E1A008298 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada Jum’at, 22 Februari 2013 MENGETAHUI Pembimbing I Pembimbing II Drs. Antonius Sidik M.,S.H.,MH. NIP. 19580905 198601 1 001 Sanyoto, S.H.,M.Hum. NIP. 19610123 198601 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 ii Penguji Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H. NIP. 19800812 205011 002 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini Saya: Nama : SUSANTI NIM : E1A008298 Judul :::::PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung) Menyatakan bahwa skripsi yang Saya buat ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan orang lain. Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku. Purwokerto, Februari 2013 SUSANTI NIM. E1A008298 iii ABSTRAK Putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas perkara Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2010 tentang “Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai pemohon pailit dan PT. Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya mengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebon Jeruk Cs merasa tidak puas. PT. Interkon Kebon Jeruk kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi, permohonan kasasi tersebut ditolak. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “ PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kasasi dalam perkara kepailitan dan akibat hukum ditolaknya kasasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa pertimbangan hukum hakim mahkamah agung dalam menolak permohonan kasasi tidak tepat karena debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagaiamana termaktub dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum ditolaknya kasasi tersebut PT. Interkon Kebon Jeruk pailit dan seluruh harta kekayaan PT. Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah pengawasan hakim pengawas. Kata Kunci: kasasi, kepailitan, pengadilan niaga. iv ABSTRACT Decisionof the commercial court at the Central Jakarta District Court on case No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated July 28, 2010 on "Bankruptcy" between Tomi Bungaran Cs., as applicants bankruptcy and PT. Interkon Kebon Jeruk as a defendant of bankruptcy petitioners which granted entirely applicants’s petitions have caused PT. Interkon Kebon Jeruk unsatisfied. PT.Interkon Kebon Jeruk Cs then filed cassation to the Supreme Court of the Republic of Indonesia. However, the appeal was rejected. Based on the description, the authors are interested in doing research by taking a thesis title “The Refusal of Casation Remedy with Regard to Bankrupcty Proceeding” (A Judicial Review Of Decision Number 771 K/Pdt.Sus/2010 Supreme Court)". The type of this research is normative juridical,with legislation and analysis approach. This study aims to determine the legal reasoning of the Supreme Court’s judgein rejecting the appeal in a bankruptcy case and legal consequences of the rejection. Result showed that the legal reasoning of judges in Supreme Court in rejecting an appeal is not appropriate because the debtor fulfilled the agreement aswritten in Article 70 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004. Legal consequences of the appeal rejection is PT.Interkon Kebon Jeruk was bankrupt and all assets of PT. Interkon Kebon Jeruk submitted to the curator as set forth in Article 69 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004, under the supervision of supervisory judge. Keywords: appeal, bankruptcy, commercial court. v KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrahim Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan menyelesaikan rahmat penulisan dan hukum hidayah-Nya, (skripsi) sehingga berjudul “ penulis dapat PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”. Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syaratsyarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan besar hati menerima saran dan kritik yang membangun. Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum , sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya. vi 2. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 3. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini; 4. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. 5. Bapak Tenang Haryanto, S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing Akademik. 6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 7. Seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 8. Semua aktivis atau pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 9. Seluruh keluarga besar Orang tua, kakak dan adik terimakasih atas dukungan semangat dan doanya. 10. Sahabat terbaikku Dwi Nurul Hastuti, Dwi Kantiningsih, Dwi Nanda L.H.N.K, Desy Yuliana, Uun Nur Yahya, Lia Nurjannah, Melda, Aya, Yuanita, Afib, Ida, Tika, Wiwik, Nindu, Ranggi, Nining, Putri, Dita, Febri serta seluruh teman seperjuanganku angkatan 2008, seluruh keluarga besar UKI FH Unsoed, teman-teman PLKH Pidana, Perdata, PTUN, teman-teman KKN Banjarkerta, Karanganyar, Purbalingga, dan yang tidak bisa Penulis sebut satu per satu, terimakasih atas dukungan doa dan semangatnya. vii Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum. Purwokerto, Februari 2013 Penulis, Susanti viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv ABSTRACT ....................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................................ 7 C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7 D. Kegunaan Penelitian ........................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPAILITAN 1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan ........................................... 9 2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit ............................................... 10 3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Pailit ............... 12 4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit ........................ 13 ix 5. Akibat Hukum Putusan Pailit ......................................................... 16 6. Pembuktian Sederhana ................................................................... 18 7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya ............................................. 20 B. KASASI 1. Pengertian Kasasi ........................................................................... 35 2. Alasan Kasasi ................................................................................. 36 3. Fungsi Peradilan Kasasi ................................................................. 39 C. PUTUSAN HAKIM 1. Pengertian Putusan ......................................................................... 40 2. Kekuatan Putusan .......................................................................... 40 3. Susunan dan Isi Putusan ................................................................. 41 4. Jenis-jenis Putusan ......................................................................... 42 5. Putusan Pengadilan Niaga .............................................................. 46 6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi .......................... 48 D. PERDAMAIAN (Accord) 1. Pengertian Perdamaian (Accord) ..................................................... 57 2. Pembatalan Perdamaian ................................................................... 60 3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian .......................................... 62 x BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian .................................................................................. 64 B. Metode Penelitian ............................................................................... 64 C. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 64 D. Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 65 E. Metode Penyajian Hukum .................................................................. 66 F. Metode Analisis Bahan Hukum ......................................................... 66 BAB IV HASIL DAN PENELITIAN A. Hasil Pene litian .................................................................................... 71 B. Pembahasan ......................................................................................... 130 BAB V PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................. 155 B. Saran .................................................................................................... 155 DAFTAR PUSTAKA xi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang rapi dan aman tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum yang sudah ada dan tidak melanggarnya. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. 1 Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturanaturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. Hukum materill 1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, 2002, Liberty Yogyakarta, hal.1. 2 sebagaimana terjelma dalam undang- undang atau yang bersifat tidak tertulis merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum formil (hukum acara perdata) atau adjective law. Hukum acara perdata hanya diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya 3 sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. 2 Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki, setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan. 3 Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi. 4 Hukum acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undangundang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR (Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan: “Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh dipergunakan”. 2 Ibid, hal. 2. Ibid, hal. 232. 4 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214. 3 4 Upaya hukum dalam acara perdata pada umumnya terdapat upaya hukum biasa berupa perlawanan, banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa derden verzet dan peninjauan kembali. Perkara perdata niaga maupun HKI (Hak Kekayaan Intelektual) tidak dikenal upaya hukum banding hal ini termaktub dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004, sehingga dalam perkara niaga hanya dapat dilakukan upaya hukum biasa berupa kasasi, serta upaya hukum luar biasa yang dapat berupa peninjaun kembali sedangkan upaya hukum perlawanan atau verzet hanya dikenal dalam bentuk yang lain. Kasasi diharapkan dapat menjadi jawaban yang memuaskan para pihak, karena kasasi terbatas pada pemeriksaan terhadap penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kejadian, sehingga dapat dilihat apakah dalam putusan sebelumnya telah melanggar hukum atau tidak dengan harapan dapat memberikan putusan yang memenuhi unsur kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Adapun apabila suatu pengadilan negeri menurut Mahkamah Agung salah menerapkan suatu hukum atau peraturan perundang-undangan maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 5 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan pemohon kasasi yaitu: 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang 5 K.Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal.143. 5 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang- undang Nomor 48 tahun 1998. Undang-undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Penyelesaian perkara kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu badan peradilan khusus yakni pengadilan niaga. Seseorang atau suatu badan hukum yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, harus mengetahui syarat-syarat kepailitan yang termaktub dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, apabila permohonan pernyataan Pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka permohonan pailit tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu: “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kredit urnya”. 6 Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara perdata dengan Nomor Register Perkara 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 pada tanggal 21 April 2009 telah menjatuhkan putusan atas permohonan pailit yang diajukan oleh Tomy Bungaran cs sebagai Pemohon Pailit terhadap PT.Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford Investment cs sebagai Termohon Pailit. PT.Interkon Kebon Jeruk dianggap lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor 027/ Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 Jo Nomor 019 PK/N/2006 tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2). Bahwa Putusan Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/ 2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 28 Juli 2010 Hakim Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan terhadap PT. Interkon Kebun Jeruk dalam salah satu amarnya adalah membatalkan perjanjian perdamaian yang telah disahkan dalam Putusan Nomor 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor21 K/N/2006 jo Nomor 19 PK/N/2006 tanggal 21 April 2009 dan menyatakan Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk (d/h PT. Intercon Enterprise) pailit dengan segala akibat hukumnya. Setelah dinyatakan Pailit pihak PT. Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford Investment cs mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar peraturan yang berlaku, para pemohon kasasi sangat keberatan 7 terhadap putusan pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas putusan judex facti tersebut. Mahkamah Agung atas permohonan kasasi tersebut telah menjatuhkan putusan yang is inya menolak permohonan kasasi. Berdasarkan hal-hal yang duraikan dalam latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan menulis Skripsi Putusan Mahkamah Agung mengenai ditolaknya permohonan kasasi dengan judul: PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM “ PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana penerapan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kasasi perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan? 2. Bagaimana akibat hukum kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah: 8 1. Mengetahui penerapan hukum Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan. 2. Mengetahui akibat hukum penolakan permo honan kasasi pada putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan lebih mendalam terkait proses beracara dalam kasus kepailitan. 2. Kegunaan Praktis Secara praktis diharapkan dapat menjadi wacana mengenai ilmu hukum khusunya hukum acara perdata khusus kepailitan bagi hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPAILITAN 1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan Definisi kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Menurut tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.6 Kepailitan adalah eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang 6 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.83. 10 berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah utang yang masing- masing kreditur miliki saat itu. 7 Menurut Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Kepailitan adalah suatu lembaga dalam Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam Hukum Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 8 2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan syarat kepailitan adalah sebagai berikut: a. Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur Menurut Pasal. 2 aya t (1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditur atau lebih. Undang- undang ini hanya memungkinkan seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur. Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai concursus creditorium. 9 Persyaratan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai lebih dari seorang kreditur ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit 7 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal.7. Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar Hukum Kepailitan di Indonesia. Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20. 9 Sutan Remy Sjahdeny, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.64. 8 11 kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu proprate parte. Adapun dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur ya ng bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dan debit ur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur minimal yang mempunyai utang kepada dua orang kreditur. 10 b. Syarat adanya Utang Pasal 1 angka 6 Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan mengenai utang, yaitu: “Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang- undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”. Para pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitur mempunyai utang kepadanya. Para pihak yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari kreditur, (penasihat hukum dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi, maupun Majelis Hakim peninjauan kembali. 11 Menurut Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim- lah yang harus menentukan ada atau tidak adanya keadaan berhenti membayar utang, 10 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. hal.15. 11 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68. 12 ketika mereka tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran apa yang dipakai oleh hakim untuk menentukan kapan debitur berada dalam keadaan berhenti membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan pailit. 12 c. Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya. 13 3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. 14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah: a. Debitor itu sendiri; 12 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39. Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11. 14 Munir Fuadi, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.35. 13 13 b. Satu atau lebih kreditor; c. Kejaksaan untuk kepentingan umum; d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya adalah Bank; e. Bapepam, dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. 4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Kepailitan. Prosesnya dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan niaga. Panitera pengadilan niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. b. Tahap Pemanggilan Para Pihak Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak, antara lain: 14 1) Wajib memanggil Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditur, Kejaksaan, Bapepam, atau Menteri Keuangan; 2) Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. c. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggla permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitur dan berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit dari dokter, Pengadilan dan dapat menunda penyelenggaraan sidang pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pasal 10 ayat (1) Undang- undang Kepailitan dinyatakan bahwa selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, 15 setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk: 1) Meletakan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitur; atau 2) Menunjukan Kurator sementara untuk mengawasi: a) Pengelolaan usaha Debitur; dan b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kreditur. d. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyatan pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat, murah, dan sederhana. Dahulu dalam Undang- undang Nomor 48 tahun 1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan), pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Adapun dengan pertimbangan yang rasional, Undangundang Kepailitan memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap 16 pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula: 1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum atau tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan 2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis. Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. 15 5. Akibat Hukum Putusan Pailit Akibat kepailitan diatur dalam Pasal. 21 Undang-Undang Kepailitan yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta pailit. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang 15 Jono, OP.Cit. hal. 87-91 17 lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 16 Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. 17 Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1) menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, kurator kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat 16 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal.257. Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44. 17 18 pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan. 6. Pembuktian Sederhana Membuktikan, menurut Subekti adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran persengketaan. Pada dalil-dalil dasarnya, yang esensi dikemukakan dalam suatu pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. 18 Pasal 163 HIR menyatakan: “Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”. Mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum acara pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1 Tahun 1998), kecuali dalam hal gugatan Actio Paulina. Pembuktian sederhana merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1998, yang menyatakan: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana 18 Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit), PSHK, Jakarta, 2003, hal.147. 19 bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Terkait yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai: a. Eksistensi dari satu utang debitur yang dimohonkan kepailitan yang telah jatuh tempo; dan b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditur dari debitur yang dimohonkan kepailitan. Pembuktian sederhana dalam memutuskan permohonan pernyataan pailit terdapat dala m Faillissement verordening, Undangundang Nomor 4 Tahun 1998, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Faillissement verordening menentukan pembuktian sederhana dilakukan terhadap adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan yang menunjukan debitur berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya, dan jika permohonan pernyataan pailit diajukan oleh seorang kreditur, maka terdapat hak penagihan dari kreditur ini. 20 Pendapat yang berkembang berkaitan dengan pembuktian sederhana pada masa Faillissement verordening antara lain pembuktian tentang debitur dalam keadaan berhenti membayar harus dilakukan secara sederhana (summier). Artinya, Pengadilan di dalam memeriksa permohonan pernyataan pailit tidak perlu terikat dengan sistem pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara perdata. 19 7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkaraperkara Kepailitan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan atas pertimbangan kecepatan dan efektivitas. Perkara-perkara kepailitan menurut Undangundang Kepailitan ditentukan jangka waktu pemeriksaan di tingkat pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui pengadilan tinggi, dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri. 20 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila 19 Siti Anisah, Perlindungan dan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam hukum kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 127-128 20 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal. 149. 21 dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari Pasal-pasal undang- undang tersebut merupakan hukum formil yang berisi pengaturan proses pengajuan permohona kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905 Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga. Pengadilan Niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan umum. Pembentukan pengadilan niaga ini merupkan langkah diferensial atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang- undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Undang-Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahnun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 22 yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan dalam empat lingkunga n peradilan tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undangundang. Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan khusus yang disebut pengadilan niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan Kepailitan. Keberadaan lembaga ini akan diwujudkan secara bertahap, begitu pula dengan lingkup tugas dan kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan ada yang penting lagi, tingkat kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya. Adapun untuk mengetahui landasan yuridis pembentukan pengadilan niaga dalam hubungannya dengan peraturan perundangundangan yang telah ada dapat diuraikan di bawah ini: 1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 Ayat (1) menetukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Umum dalam lingkungan: a. Peradia lan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; 23 d. Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 13 menetukan bahwa: “Badan-badan Peradilan Khusus disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat diadakan dengan Undang-Undang’. 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UUPU): Pasal 1 Ayat (1) UPPU menetukan bahwa: “Pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan Umum.” Pasal 3 UUPU menentukan bahwa: “Kekuasaaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh: a. Pengadilan Negeri; b. Pengadilan Tinggi. Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi. Pasal 8 UUPU menentukan bahwa: “Di Lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur Undang-undang”. Dalam penjelasan Pasal 8 UUPU menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Terkait dalam Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum. 24 Ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara tegas menentukan: (1) Pengadilan sebagaiman dimaksud dalam Undang- undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapnnya dilakukan dengan Undang- undang. (2) Pembentukan Pengadilan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilakukakan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Tujuan utama dibentuknya pengadilan niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Adapun selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta. Berlakunya Undang-undang Kepailitan Tahun 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk memeriksa permo honan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara 25 formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain. Pengadilan niaga selain memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-undang. Pasal 300 ayat (1) di atas memberikan kekuasaan kepada pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU, akan tetapi tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di perniagaan tersebut, hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut, hal ini disebabkan undang- undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, undang-undang yang mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara pengadilan niaga dengan pengadilan negeri. Undang-undang dibidang HAKI secara tegas menentukan bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di pengadilan niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaiakan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa di bidang HAKI. Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, Pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembnetukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan 26 kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Sebelum pengadilan niaga terbentuk, semua perkara menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menegaskan bahwa: “Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas pengadilan niaga. Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga saat ini, kewenangan mengadili (kompetensi absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan pemutusan perkara Permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama sekali pengadilan niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Pus at”. Proses pemeriksaan perkara Kepailitan, Pasal 301 Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan: (1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan majelis hakim; (2) Terkait dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada Tingkat Pertama diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal. (3) Menjalankan tugasnya, hakim pengadilan dibantu oleh seorang Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Jurusita. Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian perkara kepailitan adalah tentang keenangan pengdilan antara 27 pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri. Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU, serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menentukan bahwa: “Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah 28 memnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang ini”. Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum Pengadilan Niaga yang meliputi: (1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. (2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh. 29 (3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur. (4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta. Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga meliputi: (1) Sengketa di kewenangan bidang perniagaan Pengadilan Niaga yang pada termasuk lingkup Pengadilan Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Sengketa di kewenangan bidang perniagaan Pengadilan Niaga yang pada termasuk lingkup Pengadilan Negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah 30 hukum masing- masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5 menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah: a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan Umum; b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah- masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan; c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai Hakim pada Pengadilan. Tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai Hakim Ad Hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi 31 maupun pada peninjauan kembali (Pasal 302 Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004). Hakim- hakim yang bertugas di pengadilan niaga terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu: a. Hakim Tetap, yaitu para Hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim pengadilan niaga, b. Hakim Ad Hoc, yaitu hakim ahli yang diangkat khusus dengan suatu Keputusan Presiden untuk pengadilan niaga di Tingkat Pertama. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dikatakan dengan alasan yang cukup mendasar, yaitu untuk membantu meringankan beban-beban hakim pengadilan niaga dalam menghadapi perkara-perkara/masalahmasalah hukum yang berkaitan dengan transaksi-transaksitertentu. Selama ini pembahasan tentang peranan hakim Ad Hoc terpusat pada peranannya dalam memutuskan permohonan perkara Kepailitan. Mengembalikan kepercayaan Kreditur Asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir Hakim Ad Hoc untuk dapat menjadi bagian dari Majelis Hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. Ide awal keterlibatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum 32 (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup niaga diperlukan Hakim dalam keahlian khusus, di luar dari “Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi “Hakim Niaga”. Pengangkatan Hakim Ad Hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, yang kemudian dikuatkan kembali dengan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Selama berlakunya Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 yang kemudian disemp urnakan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengangkatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga telah dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres Nomor. 4 (empat) orang Hakim Ad Hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres Nomor 108/M/2000, berisikan pengangkatan 9 (sembilan) Hakim Ad Hoc. Penempatan Hakim Ad Hoc dalam Majelis Hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim ketua pengadilan niaga pada pengadilan niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (pemohon pailit). Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim Ad Hoc tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem Hakim Ad Hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat 33 (3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai Hakim Ad Hoc yang membedakan dengan Hakim Pengadilan Niaga yang lain adalah Hakim Ad Hoc tersebut haruslah seorang “Ahli”. Jadi, berdasarkan usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres, maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang Ahli sebagai Hakim Ad Hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “Hakim Niaga” atau “Hakim Karir”, seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenngan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi. Menurut Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan Hakim Ad Hoc (Sebagai Hakim Pengawas atau Hakim Majelis) adalah: (1) Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga, yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be reasonably), (2) Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenangan sendiri. Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check and balance.biaya atau imbala n bagi Hakim Ad Hoc tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta pailit. Dalam ketentuan akhirnya, Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur tentang ketentuan peralihan yang dimulai dari Pasal 304 Undangundang Kepailitan. 34 Pasal 304 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan bahwa: a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan perUndang-Undangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya Undang-Undang ini; b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 305 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan bahwa: “ Semua peraturan perUndang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905 : 217 juncto staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Perpu Nomor. 1 Tahun 1998 tentang perubahan Atas undang- undang tentang kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat Undang- undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini”. Berlakunya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Faillissement verodening dan Undangundang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905 35 : 217 juncto staatsblad 1906 : 348) dan Undang- undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang- undang tentang kepailitan menjadi Undang-undang (LN RI Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3778), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 21 B. KASASI 1. Pengertian Kasasi Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah belanda dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan selanjutnya oleh pemerintah belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia. Dengan demikian Indonesia menganut system “continental”. Adapun dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia dan menjaga agar hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil. Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang berarti membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pengawas tertinggi atas putusanputusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi 21 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), PT. Sof Media, Medan, 2010, hal. 229-239 36 hanya diperiksa masalah masalah hukumnya/ penerapan hukumnya. Dasar hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung, Kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”. Terkait perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, upaya hukum kasasi dapat dilakukan baik oleh debitur dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana ketentuan pasal 11 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung dan putusan atas permohonan kasasi harus di ucapakan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamh Agung (Pasal 12,13 ayat (1), (2),(3) Undang- undang Nomor 37 tahun 2004). 2. Alasan Kasasi Upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan dan merasa kurang puas terhadap putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan kembali putusan yang sudah inkracht tersebut 37 sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil bagi pihak yang yang merasa dirugikan terlebih mengenai penerapan hukumnya didalam putusan Judex Facti. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus disertai memori Kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi, jika hal ini dilalaikan maka permohonan Kasasi dianggap tidak ada. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan kasasi yang tidak mengajukan risalah yang memuat alasan-alasan kasasi permohonannya tidak dapat diterima. 22 Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Perohonan Kasasi yaitu: a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, Judex facti incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya tentang judex facti tidak kewenangannya.Sedangkan berwenang/bukan alasan kasasi merupakan disebabkan judex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam Undang-undang. Adapun ketika melampaui batas wewenang ini dapat 22 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.43. 38 juga di artikan bahwa yudex facti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh Undang-undang. c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau ( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya 39 perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. 3. Fungsi Peradilan Kasasi Setelah membicarakan justifikasi peradilan kasasi, berikut ini akan dibicarakan fungsinya ditinjau dari segi teori dan praktik. Ada beberapa fungsi pokok yang diperankan Mahkamah Agung sebagai peradilan kasasi, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah ini. 23 a. Mengoreksi kesalahan peradilan bawahan Fungsi utama peradilan kasasi, mengoreksi atau memperbaiki kesalahan peradilan bawahan (to correct error or mistake by the trial court or lower court). b. Berfungsi menghindari kesewenangan Fungsi kasasi lain, menghindari terjadinya kesewenangan (arbitary) terhadap anggota masyarakat yang timbul dari putusan pengadilan bawahan. c. Menyelesaikan kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum (General Justice Principle) yang Objektif dan Uniformitas. Suatu putusan pengadilan tidak hanya semata- mata bersifat imparsial (imparitiality) yang terebebas dari cacat berat sebelah (partiality). 23 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal.237. 40 C. PUTUSAN HAKIM 1. Pengertian Putusan Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu. 24 Menurut Darwan Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan. 25 2. Kekuatan Putusan HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan: a. Kekuatan Mengikat Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat kedua belah pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan. b. Kekuatan Pembuktian Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat 24 Abdulkadir Muhamad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. hal. 21. 25 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 205 41 digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaanya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu. c. Kekuatan Eksekutorial Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau huumnya saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia. 3. Susunan dan Isi Putusan Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaiaman putusan hakim harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR (Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27 42 RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu: a. Kepala Putusan Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala Putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan. b. Identitas Para Pihak Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak, maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada. c. Pertimbangan Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya. d. Amar Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang merupakan amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan tanggapan terhadap petitum. 26 4. Jenis-jenis Putusan Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai berikut: 26 Sudikno Mertokusmo , OP.Cit. hal.220-225. 43 1) Interlocotoir Vonis Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat berupa: a. Putusan Provisional (Tak Dim) Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, di mana gugatan pokoknya adlah “mohon cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo), sesuai Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional. b. Putusan Preparatoir Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat diterima (AT. Hamid 1984: 209). Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat 44 dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu. c. Putusan Ins idental Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah satu pihak (penggugat/tergugat), dan lain- lain sebagainya (AT. Hamid 1984: 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 UndangUndang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok, adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan. 2) Putusan Akhir Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa: a. Niet Onvankelijk Verklaart Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah sebagai berikut: a) Gugatan tidak berdasarkan hukum; b) Gugatan tidak patut; 45 c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum; d) Gugatannya salah; e) Gugatannya kabur; f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan; g) Objek gugatannya tidak jelas; h) Subjek gugatannya tidak lengkap; i) Dan lain- lain. b. Tidak berwenang mengadili Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. c. Gugatan dikabulkan Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya terbukti sebagian, mka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh pengadilan. Demikianlah misalnya putusan perkara perdata Nomor 249/Pdt.G/1988/PN.Mdn, dimana tergugat MS dihukum 46 menyerahkan tiga ekor lambur yang pernah dipinjamnya dari penggugat. Lembu tersebut ternyata sudah mati, sementara putusan tidak mengatakan atau menggantinya dengan tiga ekor lembu lainnya, atau dengan sejumlah uang tertentu. d. Gugatan ditolak Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja. 27 5. Putusan Pengadilan Niaga Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan Majelis Hakim, dalam menjalankan tugasnya hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita. Adapun apabila perkara-perkara lain telah dapat diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga. Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal (bukan Majelis Hakim). 28 Undang-undang Kepailitan tidak hanya mengatur masalah pernyataan pailit dan PKPU. Undang- undang Kepailitan juga mengatur banyak hal yang tidak terkait langsung dengan pernyataan Kepailitan dan PKPU. 29 a. Kompetensi Pengadilan 27 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 206-209 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal.152. 29 Aria Suyudi dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta. hal.49 28 47 1) Kompetensi absolut Masalah permintaan pailit adalah menjadi kompetensi absolut untuk memeriksanya. Jadi tidak ada Badan Peradilan lain di luar Peradilan umum yang berkompeten untuk memeriksanya. 2) Kompetensi Relatif Kompetensi relatif Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan pailit adalah sebagai berikut: a) Tempat kediaman Debitur Permintaan pailit dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Debitur/ si berhutang. b) Tempat kediaman terakhir Debitur Permintaan pailit dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat terakhir dari Debitur. c) Tempat Kantor Firma Permohonan Pailit terhadap persero-persero Firma diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak kantor perseroan. d) Tempat Kantor Termohon Pailit Dalam hal termohon pailit tidak mempunyai tempat tinggal di wilayah Indonesia, tetapi mempunyai pekerjaan maka permohonan pailit dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya daebitur tersebut mempunyai kantor. 48 e) Tempat kedudukan Badan Hukum Permohonan pailit terhadap perseroan terbatas, perseroan pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau lain- lain perkumpulan yang berbadan hukum dan yayasan- yayasan dilakukan kepada Pengailan Negeri tempat kediaman, tempat dimana perseroan-perseroan itu atau perkumpulan-perkumpulan itu berdomisili. f) Tempat perempuan melakukan pekerjaan/perusahaan Sehubungan dengan permintaan pailit ini dapat terjadi dilakukan oleh beberapa Pengadilan Negeri. 30 6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi Salah satu prinsip pemeriksaan tingkat kasasi diatur pada Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan, Mahkamah Agung memeriksa dan memutus perkara dengan Majelis yakni sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Putusan akhir dapat dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima (Niet Ontvankelijke Verklaren, To Declare Inadmissible). Salah satu bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi adalah putusan negatif, berupa pernyataan 30 permohonan Darwan Prinst, Op.Cit. hal. 155-156 kasasi tidak dapat diterima (niet 49 ontvankelijke verklaren). Dasar alasan pertimbangan menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima, yaitu apabila Majelis yang memeriksa perkara itu berpendapat permohonan Kasasi yang diajukan pemohon, tidak memenuhi syarat formil yang ditentukan Undang- undang. Penegakan hukum yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil, ditegaskan pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Namun perlu diingat, penerapan ketentuan ini, harus benar-benar terhadap syarat formil yang bersifat mutlak. Artinya, syarat formil yang bersangkutan tidak dapat ditoleransi penegakannya. Terdapat beberapa syarat formil permohonan kasasi yang harus dipenuhi. Sifat dari syarat formil tersebut komulatif. Supaya permohonan kasasi sah menurut hukum, harus semua syarat formil tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut tidak terpenuhi mengakibatkan permohonan kasasi mengandung cacat formil sehingga sehingga permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. 1) Permohonan kasasi dilakukan kuasa tanpa surat kuasa yang khusus memberi kuasa mengajukan kasasi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) huruf a Undangundang Mahkamah Agung, permohonan kasasi dlam perkara perdata dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau 50 wakilnya. Begitu juga dala m perkara pidana, menurut Pasal 44 ayat (1) huruf b, dapat diajukan terdakwa atau wakilnya atau oleh jaksa penuntut umum. 2) Permohona Kasasi Tidak disertai Memori Kasasi Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung menegaskan, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasanalasan kasasi. Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi, merupakan syarat formil keabsahan permoho nan kasasi. Sifatnya menurut Pasal 47 ayat (1) imperatif (mandatory). Pemohon kasasi wajib menyampaiakan memori kasasi. Tidak terpenuhinya syarat tersebut oleh pemohon mengakibatkan permohonan kasasi tidak sah (ongeldig, invalid), dan Mahkamah Agung menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima. 3) Terlambat mengajukan Memori Kasasi Selain pemohon wajib menyampaikan memori kasasi, terdapat pula syarat formil tentang batas jangka waktu menyampaikan memori kasasi itu sendiri. Syarat itu ditegaskan pada Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatakan, penyampaian memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dlam buku daftar (rgister). 51 b. Menolak Permohonan Kasasi Mengenai putusan Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan kasasi tidak memenuhi kriteria. Bentuk putusan lain yang dpat dijatuhkan Mahkamah Agung tingkat kasasi, yaitu menolak permohonan kasasi. Putusan yang menolak permohonan kasasibersifat positif, karena telah menyangkut penilaian terhadap materi pokok perkara: a. Jadi, putusan yang berbentuk menolak permohonan kasasi, telah melampaui tahap pemeriksaan dan penilaian syarat formil permohonan kasasi, b. Apabila syarat formil terpenuhi, berarti permohonan kasasi dapat diterima (otvankelijkheid, adminissibility), sehingga tahap pemeriksaan selanjutnya memeriksa dan menilai putusan judex facti, c. Pemeriksaan putusan judex facti dari segi materiil mengacu dan bertitik tolak dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi yang diajukan pemohon kasasi dalam memori kasasinya. 2) Keberatan kasasi yang diajukan, tidak tunduk pemeriksaan kasasi. a. Keberatan kasasi tentang hasil pembuktian b. Keberatan kasasi atas perubahan berita acara sidang kepada 52 c. Keberatan kasasi yang tidak ditujukan terhadap putusan judex factie dan materi poko perkara d. Keberatan kasasi berupa novum e. Kebertan yang hanya mengulang fakta-fakta yang telah diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama dan/atau tingkat banding f. Keberatan kasasi irelevan g. Keberatan kasasi terhadap tindakan pengawasan. 3) Penolakan kasasi dengan perbaikan putusan judex facti. Seperti yang dijelaskan, apabila keberatan kasasi tidak mengenai hal yang takluk kepada pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan “menolak permohonan kasasi”. Berarti, dalam hal yang demikian pada dasarnya Mahkamah agung setuju dan menguatkan putusan judex facti. Ada kalanya, memang pada dasarnya Mahkamah Agung setuju terhadap pertimbangan dan kesimpulan pokok putusan judex facti, ternyata terdapat kekeliruan atas kesalahan maupun kelalaian putusan judex facti, cuma bobot dan kualitasnya tidak sampai membatalkan putusan. Menghadapi kasus yang seperti ini Mahkamah Agung cukup dan berwenang “memperbaiki” pertimbangan dan/atau amar putusan judex facti. 53 c. Mengabulkan Permohonan Kasasi Bentuk putusan tingkat kasasi yang ketiga, mengabulkan permohonan kasasi. Berdasarkan hasil pengalaman dan pengamata, putusan kasasi yang paling dominan adalah menolak permohonan kasasi. Berkisar sekitar 80 (delapan puluh) persen. Sebesar 5 (lima) persen tidak dapat diterima karena permohonan mengandung cacat formil. Sedang selebihnya, sebesar 15 (lima belas) mengabulkan permohonan kasasi. 31 Sindiran judi dan permainan untung-untungan (gambling and a gim of chance) serta kelucuan (erratic), bis terjadi dalam peradilan kasasi. Gugatan yang terang dasar hukumnya, kemungkinan akan ditolak meskipun didukung oleh alat bukti yang kuat berdasarkan fakta- fakta yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, terkadang dasar hokum dan fakta- fakta pendukungnya tidak memenuhi batas minimal pemuktian, bias lolos dan melanggang mulaidari peradilan tingkat pertama. Banding, dan kasasi. Sehubungan dengan melekatnya faktor a game of chance and erratic yang dikemukakan di atas, menurut Yahya Harahap tidak berani mengatakan besarnya presentase pengabulan permohonan kasasi telah benar-benar objektif secara kuantitatif dan kualitatif. Kemungkinan besar angka itu bisa bergeser ke bawah dan ke atas apabila dedikasi, moral, dan profesionalisme lebih dipertajam dan lebih dicerdaskan. 31 Yahya Harahap, Op.Cit, hal.388-399 54 1) Terpenuhinya syarat formil, tahap awal ke arah pengabulan kasasi Seperti halnya putusan penolakan kasasi, tahap awal pemeriksaannya berpijak dari keabsahan permohonan. Adapun apabila pemohonan memenuhi syarat formil, baru terbukti jalur tahap selanjutnya memeriksa materi poko perkara yang tertuang dalam putusan judex facti dikaitkan dengan keberatan –keberatan yang dikemukakan dalam memori kasasi dan kontra memori kasasi (jika ada). Begitu juga halnya pada pengabulan kasasi. Harus berawal dari keabsahan formil permohonan kasasi, baru peradilan kasasi melangkah memriksa putusan judex facti dan memori kasasi (jika ada). Seperti yang dijelaskan terdahulu, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah UndangUndang Nomor 14 tahun 1985, pada dasarnya kewenangan memriksa dan menilai terpenuhi atau tidak syarat formil permohonan kasasi, telah dilimpahkan keweangannya kepada ketua pengadilan tingkat pertama. Menurut Pasal 45 a ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung, jika permohonan kasasi tidak memenuhi syarta formil, ketua pengadilan tingkat pertama mengeluarkan penetapan yang memuat dictum menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima, dan berkas perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung. 55 Bertitik tolak dari ketentuan ini, dapat dikatakan secara teoretis, semua berkas perkara kasasi yang dikirimkan ke Mahkamah Agung sudah lolos seleksi pemeriksaan syarat formil. Majelis yang memeriksa perkara itu tidak perlu lagi repot-repot meneliti keabsahan syarat formil, cukup mempercayai hasil penelitian yang dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Tanpa mengurangi pendekatan teoretis tersebut, dari segi moral dan fungsional, majelis yang memeriksa perkara itu, sebaiknya tetap melakukan control dan penelitian sewajarnya, apakah benar atau tidak terprnuhi syarat formalnya. 2) Pengabulan kasasi dibarengi pembatalandan mengadili sendiri Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi, harus dibarengi dengan tindakan hokum lain: (1) Membatalkan putusan judex facti yang dikasasi tersebut, (2) Mengadili sendiri perkara dimaksud dengan jala n menyampingkan dan menyingkirkan (set aside) putusan judex facti yang dibatalkan itu. Kala begitu, pada pengabulan permohonan kasasi terdapat rangkaian tindakan yang mesti melekat padanya yakni membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan jalan menyingkirkan dan menyampingkan putusan judex facti. Jika putusan judex facti yang dibatalkan itu 56 mengabulkan gugatan atau perlawanan penggugat/pelawan, maka konsekuensi yuridisnya putusan yang dijatuhkan pada tingkat kasasi, bias berupa alternatif: (1) Menyatakan gugatan/ perlawanan tidak dapat diterima. Apabila Mahkamah Agung berpendapat gugatan penggugat yang dikabulkan judex facti itu tidak memenuhi syarat formil melanggar yurisdiksi mengadili, error in persona, obscuur libel, nebis in idem, premature, dan sebagainya maka pembatalan itu diikuti dengan putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima. (2) Mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan Jika Mahkamah Agung berpendapat putusan judex fact i yang menolak gugatan tidak tepat, maka pembatalan yang dibarengi dengan mengadili sendiri, berisi amar mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan. (3) Menolak seluruh gugatan Kalau Mahkamah Agung berpendapat, pengabulan gugatan yag dilakukan judex facti tidak tepat, sehingga putusan tersebut dibatalkan maka putusan tersebut dibatalkan maka putusan kasasi yang harus dijatuhkan, menolak seluruh gugatan. Demikian tindakan yustisial yang diambil Mahkamah Agung pada tingkat kasasi apabila permohonan kassi dikabulkan. 57 D. PERDAMAIAN (Accord) 1. Pengertian Perdamaian Hukum Kepailitan, accord diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si pailit dengan para Kreditur, dimana diadakan suatu ketentuan bahwa si Pailit dengan membayar suatu ketentuan bahwa si pailit dengan membayar sesuatu persentase tertentu (dari utangnya), ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya. 32 Perkara kepailitan, perdamaian dapat dilakukan pasca putusan, setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, debitur berhak menawarkan perdamaian kepada semua kreditur. Lain ha lnya dengan perkara perdata (gugatan) yang disidangkan di pengadilan negeri. Di pengadilan negeri, perdamaian diadakan pra putusan, yakni diawal persidangan sampai dengan sebelum putusan diucapkan. Setelah putusan diucapkan, tidak ada lagi perdamaian, yang ada adalah eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. 33 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, perdamaian diatur dalam Pasal 144-147. Menurut Pasal 144: “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditur.” Tawaran perdamain dibuat dalam rencana perdamaian. Rencana perdamaian (composition plan) diajukan dengan delapan hari 32 33 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), 2010, PT. Sofmedia, Medan, hal. 163. Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2010, PT. Tatanusa, Jakarta. hal. 125. 58 sebelum rapat pencocokan piutan atau rapat verifikasi. Sebelum rapat verifikasi, debitur menyerahkan asli rencana perdamaian ke kepaniteraan pengadilan niaga agar dapt dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan. Salinannya wajib dikirimkan kepada masing- masing anggota panitia Kreditur sementara. Rencana perdamaian tersebut harus dibicarakan dan diambil keputusannya segera setelah verifikasi. Rapat verifikasi dapat ditunda oleh Hakim Pengawas paling lambat 21 hari: (1) Apabila dalam rapat diangkat panitia Kreditur tetap yang tidak terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia Kreditur sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditur me nghendaki dari Panitia Kreditur tetap pendapat tertulis menghendaki tentang rencana perdamaian yang diusulkan tersebut; atau (2) Rencana perdamaian tidak disediakan di kepaniteraan pengadilan niaga dalam waktu yang ditentuakn, sedangkan jumlah terbanayak Kreditur yang hadir menghendaki pengunduran rapat. 34 Kepailitan ada 2 (dua) accord, yaitu: a. Accord yang ditawarkan dalam Kepailitan, yaitu pada saat rapat verifikasi; b. Accord yang diawarkan dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu sebelum Debitur dinyatakan Pailit. 34 Ibid, hal 125-126 59 Accord yang ditawarkan oleh si Pailit itu berisi beberapa kemungkinan atau aternatif yang akan dipilih oleh para Kreditur, yaitu: a. Si Pailit menawarkan kepada Krediturnya, bahwa ia akan membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari utangnya namun tidak dalam jumlah keseluruhannya; b. Si Pailit akan menawarkan accord likuidasi (liquidatie accord), yakni si Pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para kreditur untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas (pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditur, apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si Pailit dibebaskan dari emmbayar sisa yang belum terbayar; c. Si debitur Pailit menwarkan untuk meminta Penundaan Pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk beberapa waktu. Menurut Zainal Asikin, dengan dibukanya kemungkinan untuk mengadakan accord, maka hak itu akan dapat menguntungkan kedua belah pihak , karena: a. Bagi para kreditur, jikalau harta pailit dijual/ dilelang atau dilakukan pemberesan dengan perantara hakim, dan hasilnya dibagi menurut imbangan jumlah piutang kreditur, maka belum tentu para kreditur itu akan mendapat pembayaran yang lebih tinggi seperti yang ditawarkan di dlam accord. Jadi, penawaran 60 di dalam accord mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan pembagian melalui pemberesan oleh hakim; b. Bagi Debitur Pailit, ia akan membayar sejumlah utang yang telah disetujui dalam accord yang lebih kecil dari utang sbenarnya, sedangkan sisanya tidak menjadi beban bagi Debitur untuk melunasinya. Apabila accord telah dipenuhi, maka berakhilah Kepailitan. Hal ini berbeda dengan pemberesan oleh Hakim, yakni apabila dari hasil pelelangan itu belum atau tidak cukup untuk melunasi utang- utang si Pailit secara penuh, maka sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit secara penuh, maka sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit yang pelunasannya dengan harta pailit yang masih akan ada (Pasal 1131 KUHPerdata). 35 2. Pembatalan Perdamaian Tentang pembatalan perdamaian diatur mulai Pasal 170 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa kreditur dapat menuntut suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut. Debitur wajib membuktikan bahwa perdmaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi semua kewajibannya 35 Sunarmi, Op Cit. hal. 163-164 61 paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan. Penjelasan Pasal 170 ayat (3) menentukan bahwa kelonggaran hanya dpat diberikan 1 (satu) kali dlam seluruh proses. Tuntutan Pembatalan Perdmaian wajib dia jukan dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 untuk permohonan pernyataan Pailit (Pasal 171 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Putusan Pembatalan Perdamaian diperintahkan supaya Kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang hakim pengawas , kurator, dan anggota panitia kreditur, apabila dalam kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu. hakim pengawas, kurator dan anggota panitia kreditur, apabila dalam kepailitan terdahulu ada suatu panitia seperti itu. Hakim pengawas, kurator dan anggota panitia tersebut sedapat mungkin siangkat diangkat dari mereka yang dahulu dlam kepailitan tersebut telah memangku jabatannya. Kurator wajib memberitahukan dan mengumumkan Putusan tersebut dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 36 3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian 36 Ibid, hal. 170. 62 Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1), Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub dalam bagian kedua, bagian ketiga dan abgian keempat BAB II Undang-Undang ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai pencocokan piutang terbatas pada piutang yang belum dicocokan. Kreditur yang piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk menghadiri rapat pencocokan piutang dan berhak untuk membantah piutang yang dimintakan penerimaannya (Pasal 173 Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004). Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk itu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan adalah mengikat bagi harta pailit”. Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan pemberesan harta pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Adapun apabila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi anatara para Kreditur dengan cara: a. Jika Kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka secara prorata; 63 b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada kredit ur lama, maka kreditur lama dan kreditur baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dlam perdamaian; c. Kreditur lama dan kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui. Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya (Pasal 176 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “prorata” adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing- masing, sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian berapapun (Penjelasan Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berlaku mutatis mutandis dalam hal debitur sekali lagi dinyatakan Pailit. 37 37 Ibid, hal.171 64 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom, terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum. 38 Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum. B. Metode Penelitain Berdasarkan rumusan masalah yang ada di dalam penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah Pendekatan Perudang-undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Analitis (Analytical Approach). C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Preskriptif 39 , yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum. 38 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1988, hal.13. 39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, hal.22. 65 D. Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah: a. HIR (Het Herzine Indonesich Reglement), b. KUH Perdata, c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, d. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, f. Peraturan perundang- undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek penelitian, g. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 771/Pdt.Sus/2010. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan 66 hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 3. Bahan Hukum Ters ier Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensklipodia. 40 E. Metode Penyajian Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks normatif yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada. F. Metode Analisi Bahan Hukum Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga diperlukan kegiatan penemuan hukum (Rechtsvinding). Hakim dalm menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum. 41 1. Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang 40 Amirudin, dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.32. 41 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal.76. 67 lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu secara: a. Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundangundangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme. b. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang- undang. Hakim wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. c. Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang- undangan yang berlakusehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang- undangan lainnya. d. Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan. 68 e. Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran suatu ketent uan undang- undang untuk mengetahui makna atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan. f. Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional. g. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang menjelaskan ketentuan undang- undang dengan berpedoman pada undangundang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang. h. Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari- hari. i. Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari. j. Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undangundang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apayang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang- undang itu sendiri. 69 k. Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum. l. Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. m. Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul kareananya. n. Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan. 2. Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan hakim apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi: a. Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu merupakan metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkut an. b. Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan 70 pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang- undang. c. Penyempitan Hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang ksusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. 3. Konstruksi Hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik. Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan, karena pada dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah memberikan pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada dalam masyarakat. 71 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor. 771 K/Pdt. Sus/2010, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1. Para Pihak 1.1. Pihak Pemohon 1.1.1. PT. Interkon Kebon Jeruk, yang diwakili oleh Hakim Saut Simamora, Tjio Johan Kasendra, masing- masing selaku Direktur, berkedudukan di Jl. Meruya Ilir Raya 14, Jakarta Barat, dalam hal ini memberi kuasa kepada: Robertus Ori Setianto, SH.MH. dan kawan, Advokat pada SS.co D1, Jl. Fachruddin No. 5, Jakarta Pusat, berdasarkan kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2020; 1.1.2. Octavia Widyastuti Alim, betempat tinggal di Permata Hijau Blok B/32 RT. 015/012, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Elisabeth Prayogo, bertempat tinggal di Jl. Kamboja RT. 004 RW.003, Kelurahan Cipete Selatan, Kecamatan Cila ndak, Jakarta Selatan. Swanda Salim, bertempat tinggal di Ruko Taman Komplek Grawisa Blok D No. 14 A, Jakarta Barat, Yohanes Hartanto, bertempat tinggal di Ruko Taman Kebon Jeruk Blok W IV No. 11 Jalan Raya Joglo 72 Srengseng, Jakarta Barat. Eddy Hartono, bertempat tinggal di Jl. Duri Utama Raya No. 5 RT. 003 RW. 007, Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Drs. Abdul Salam, bertempat tinggal di Komplek Moneter No. C34 RT. 005 RW. 003, Kelurahan Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat.Cornelia Tiosudarmin, bertempat tinggal di Jl.Satria II Blok D No. 81.Trio Jono, bertempat tinggal di Jl. Puri Kembangan Timur E 1 No. 45, RT. 005/RW. 005 Kelurahan Kembangan Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Ratna E Jl Tobing, bertempat tinggal di Jl. Taman Kebon Jeruk J 5/2 Rt. 002/003 Kel. Srengseng, Kec.Kembangan, Jakarta Barat. Hedy Yani, bertempat tinggal di Jl. Kebon Jeruk Baru C3 No. 8 Rt. 008/008 Kel.Kebon Jeruk, Kec. Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Lina Gozali, bertempat tinggal di Jl. Sanggrahan No.17 Rt. 001/003, Kel. Meruya Utara, Kec. Kembangan, Jakarta Barat. Liliani Wihardjo, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok I VII/44, Jakarta Barat. Meyliana Susanti Hirawan, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk I 7/62, Jakarta Barat. Herawati Santoso, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk G 1/51, Kembangan, Jakarta Barat. Sherwin A. Surja Atmadja, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk C 1/26 73 Rt. 005/09, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat. Drg. Lizza Christina, bertempat tinggal di Jl. Soka No. 3 Rt. 004/07, Kel. Tambaksari, Kec. Tambaksari, Surabaya. Waluyo Hadi P, bertempat tinggal di Gria Mas II Blok B No. 3A, Srengseng, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sajuri Kartika Isanto, bertempat tinggal di Jl.Widya Candra 8 No. 6 RT. 008/001 Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Megahartawan Santoso, bertempat tinggal di HOS Cokroaminoto No. 24 A Rt. 005/004, Gondangdia, Menteng. Lingga Iswara, bertempat tinggal di Jl. Kebon Palma Raya Blok F/33 Rt.016/020, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Bong Mei Tjen, bertempat tinggal di Jl. Widya Chandra 8 No. 6 Rt. 008/01, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. The Sui An, bertempat tinggal di Jl. Tanah Abang II No. 112 Rt. 09/03, Gambir, Jakarta Pusat. Savina Gozali, bertempat tinggal di Jl. Taman Daan Mogot IV No. 5 RT. 001/RW. 001, kesemuanya dalamhal ini memberi kuasa: Husin Helmi, SH. dan kawan, Advokat berkantor di Wisma Sejahtera Lt. 2 No. 201 A Jl. S. Parman Kav. 75, Jakarta Barat, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Juli 2010 dan tanggal 2 Agustus 2010. 1.1.3. Eddy Yowono, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk, Blok E No. 2/3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan, Jakarta 74 Barat. Yanti Husada, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk, Blok E No. 2-3 RT. 001/010 Srengseng Kembangan, Jakarta Barat. Liliany Wihardjo, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok 1-7/44 RT. 005/RW. 011, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Indriyani, bertempat tinggal di Jl. Tawakal VI/4 RT. 010 RW. 009, Kelurahan Tomang, Kecamatan Grogol, Jakarta Barat, keempatnya dalam hal ini memberi kuasa kepada: H. Turaji, SH.MM.M.Hum. dan kawan-kawan, Advokat pada Global Law Firm, berkantor di Gedung Lingga Dharma No. 17, Jl. Warung Buncit, Jakarta 12550, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 Juli 2010; 1.1.4. Rainford Investment Inc, berkedudukan Oliaji Trade Central 1st floor, Victoria Seychelles, Singapura sebuah Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Singapura, dalam hal ini memberi kuasa kepada: Silvester Manis, SH. dan kawan-kawan, Advokat pada Kantor Hukum VERITAS, berkantor di Jl. Kayu Manis Satu Lama, Palmeriam, Jakarta Timur 13140, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 30 juli 2010. Para Pemohon Kasasi dahulu Termohon Pailit. 1.2. Pihak Termohon 75 1.2.1. Tomi Bungaran dan Dra. Ida Hartono, bertempat tinggal di Puri Marina No. 8 Ancol, Jakarta Utara; 1.2.2. Bernadet Lianawaty, bertempat tinggal di Pulau Anyer II/29 Buana Taman Permata; 1.2.3. Budy Hartono, bertempat tinggal di Jl. Pintu Air II/65, Jakarta; 1.2.4. Heny Anwari, bertempat tinggal di Taman Pluit Murni I No. 2; 1.2.5. Magdalena Massie, bertempat tinggal di Menun Pumpungan 3-5, Surabaya; 1.2.6. Rocky Batiaan, bertempat tinggal di Manyar Tompotika AA 6-7 Surabaya; 1.2.7. Lie Wie-Wie Sulistyo, bertempat tinggal di Jl. Duta Indah II/25 Jakarta; 1.2.8. Harijanto Kertasasmita, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk Blok 06/20, Jakarta Barat; 1.2.9. Inggriati Selamat, bertempat tinggal di Kemanggisan Utama VIII/1; 1.2.10. Oendi Widjaja, Melinda Rosita Chandrasari, bertempat tinggal di Gempol Wetan No. 203 danTaman Kebon Jeruk KI/39; 1.2.11. So Juliata Lenny Sumampouw, bertempat tinggal di Taman Kebon Jeruk J 13/6, Jakarta Barat; 76 1.2.12. Ir. Tjandra Kumala Dewi, bertempat tinggal di Jl. Palem Raya No. 1135, Jakarta Barat, semuanya dalam hal ini memberi kuasa kepada: Horas Panjaitan, SH. Advokat berkantor di Horas Panjaitan, SH. & Rekan, Jl. Biak Blok B3 Lt. 1 (Roxi) Cideng, Gambir, Jakarta Pusat. Para Termohon Kasasi dahulu Pemohon Pailit. 2. Alasan Pengajuan Kasasi 2.1. Alasan Kasasi Pemohon I 2.1.1. Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar yang berlaku. a. Judex Facti melakukan pelanggaran berat hukum acara mengenai Intervensi. Bahwa dalam proses sidang pemeriksaan perkara Nomor 03/ Pembatalan Perdamaian/ 2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. Muncul 3 pihak berkepentingan, yang mengajukan permohonan intervensi dalam perkara a quo, yaitu: - Turut Termohon Kasasi 1 s/d Turut Termohon Kasasi 9/dahulu Pemohon Intervensi I selaku para kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi; 77 - Turut Termohon Kasasi 10 s/d Turut Termohon Kasasi 13/dahulu Pemohon Intervensi II, juga selaku para kreditur pembeli kavling Pemohon Kasasi; - Turut Termohon Kasasi 14/dahulu Pemohon Intervensi III selaku kreditur separatis Pemohon Kasasi. Ketiganya, merupakan pihak-pihak dalam Perdamaian, yang telah disahkan dalam Putusan Nomor 027/Pailit /2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21K/N/2006 jo Nomor 019PK/N/2006, tanggal 21 April 2009 (selanjutnya disebut "Perdamaian"), yang dimohonkan pembatalannya oleh Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit; Bahwa Para Turut Termohon Kasasi/Para Pemohon Intervensi selaku pihak dalam Perdamaian, sangat berkepentingan dengan permohonan pembatalan Perdamaian, yang diajukan oleh Para Termohon Kasasi; Bahwa adanya Putusan Sela untuk menentukan Para Pemohon Intervensi dapat ikut serta dalam perkara, kembali ditegaskan Mahkamah Agung RI dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II terbitan Mahkamah Agung RI 78 tahun 1998, cetakan ke-3 halaman 119 Khusus Mengenai Intervensi: Interventie (tussenkomst) terjadi: a. Apabila pihak ketiga merasa mempunyai kepentingan yang akan terganggu, jika ia tidak ikut dalam proses perkara itu; b. Misalnya dalam interventie barang milik intervenient, yang diperebutkan aleh Penggugat dan Tergugat. Untuk mendapatkan barang itu dan agar barang itu dinyatakan sebagai miliknya, maka interventie diajukan Interventie dikabulkan atau ditolak dengan putusan sela; Bahwa Pasal 299 Undang-Undang Kepailitan menyatakan: "Kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata"; Sehingga mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, permohonan intervensi dari Para Pemohon Intervensi haruslah terlebih dahulu diputus dengan Putusan Sela, apakah intervensi tersebut diterima atau tidak; Bahwa akan tetapi, Majelis Hakim dalam perkara No. 03/Pembatalan ternyata: Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst., 79 a. Sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit untuk menanggapi permohonan intervensi tersebut; b. Sama sekali tidak mempertimbangkan kepentingan Pemohon Kasasi/Termohon Pailit maupun Para Termohon Kasasi/ Pemohon Pailit dalam permohonan intervensi tersebut; c. Tidak membuat Put usan Sela apakah menerima atau menolak adanya intervensi tersebut, tetapi hanya mengeluarkan Putusan Sela berkaitan dengan adanya eksepsi Kompetensi Absolut (vide Putusan Sela Nomor.03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga. Jkt.Pst. tgt. 14 Juli 2010); Bahkan dalam Putusan Nomor. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tgl. 28 Juli 2010, Majelis Hakim Pengadilan Niaga Sama Sekali Tidak Menguraikan Adanya Permohonan Intervensi, maupun Mempertimbangkan dalil-dalil Keberatan Para Pemohon Intervensi, dengan demikian, Majelis Hakim dalam Perkara No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst, telah melakukan 80 pelanggaran hukum acara, sehingga putusan a quo cacat hukum dan haruslah dibatalkan; b. Judex Facti melanggar ketentuan hukum, dengan tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Kuasa Pemohon Pailit tidak mempunyai Legal Standing untuk memohon Pembatalan Perdamaian. Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Kuasa Hukum Para Termohon Kasasi, tidak pernah diberi kewenangan untuk mengajukan permohonan pembatalan Perdamaian; Berdasarkan 12 Surat Kuasa dari prinsipal/Pemohon Pailit asli (vide Bukti P-1), Sdr. Horas Panjaitan, SH. selaku Kuasa Hukum Pemohon Pailit, sama sekali tidak diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pembatalan perdamaian yang dihomologasi dengan Putusan No. 027/PAILIT/2006/PN.Niaga.jkt.pst. jo. Nomor. 21 K/N/2006 jo. No. 019PK/N/2006 tgl. 29 April 2009. Bahkan dalam Surat Kuasa tidak disebutkan sama sekali perdamaian, mengenai padahal permohonan permohonan pembatalan pembatalan perdamaian jelas memerlukan Surat Kuasa Khusus, 81 tidak cukup hanya dengan Surat Kuasa untuk mengajukan permohonan pailit, dengan demikian, Putusan Majelis Hakim tingkat pertama yang sama sekali tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan haruslah dibatalkan. c. Judex Facti melanggar ketentuan hukum dengan tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi mengenai Permohonan Pembatalan Perdamaian Prematur. Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama dalam Putusannya sama sekali tidak mempertimbangkan adanya Eksepsi Pemohon Kasasi, bahwa Perdamaian baru merupakan perjanjian awal, yang masih harus ditindaklanjuti pelaksanaannya penandatanganan Termohon Kasasi Akta Jual ternyata Beli, belum dengan dimana Para datang untuk menindaklanjuti Perdamaian dengan memproses Akta Jual Belinya masing- masing, meskipun telah diundang oleh Pemohon Kasasi, tetapi Para Termohon Kasasi yang tidak melaksanakan Perdamaian tersebut malah mengajukan disepakati. pembatalan Perdamaian yang telah 82 Berdasarkan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI Nomor 638K/Sip/1969 tgl. 22 Juli 1970, Putusan Majelis Hakim tingkat pertama yang tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi tersebut merupakan putusan yang kurang cukup dipertimbangkan, sehingga melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan haruslah dibatalkan. d. Judex Facti melakukan kesalahan berat penerapan hukum mengenai Pembuktian. Pertimbangan putusan Majelis tingkat Pertama halaman 37 alinea 1 dan 2: "Menimbang bahwa pertimbangan Majelis Hakim tersebut didasarkan pada bukti surat P-5 yang dikeluarkan oleh Departemen keuangan RI, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan: "Surat Keterangan bebas pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan terhadap alamat Unit tanah dan/atau bangunan Taman Kebon Jeruk Blok L.1 Nomor 8; Menimbang bahwa demikian halnya terhadap bukti surat (P8, P8a s/d P8u) dan Termohon telah dan tetap membebankan PPh kepada Para Kreditur di mana seharusnya biaya pengalihan hak, incasu PPh, 83 seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran pajak Penghasilan atas tanah." Keberatan: Bahwa Majelis Pengadilan Niaga jelas melakukan kesalahan berat penerapan hukum, dengan mendasarkan putusannya atas Surat Bukti P5, P8, P8a s/d P8u dari Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit, yang seluruhnya merupakan fotokopi yang tidak dapat menunjukkan aslinya. Bahwa selain itu, seluruh bukti a quo bukan merupakan bukti transaksi Para Termohon Kasasi, melainkan merupakan bukti milik orang lain yang telah selesai melaksanakan Perdamaian dengan Pemohon Kasasi dengan penandatanganan Akta Jual Beli dengan baik tanpa keberatan/sengketa apapun, sehingga Para Termohon Kasasi merupakan pihak ketiga yang tidak memiliki Legal Standing untuk menggunakan bukti tersebut mendalilkan adanya wanprestasi Pemohon Kasasi; Bahwa dengan 03/Pembatalan demikian, putusan Nomor. Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. didasari bukti-bukti yang tidak sah, sehingga Putusan a quo haruslah dibatalkan. 84 e. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum dengan mengabulkan tuntutan Wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak. Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga halaman 34: "Menimbang, bahwa Pemohon dalam permohonannya bertanggal 1Juni 2010 mendalilkan Termohon Pailit PT lntercon Kebon Jeruk telah melanggar isi perjanjian perdamaian dan lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam lampiran I Proposal Perdamaian tentang biaya peralihan hak yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku." Pertimbangan Putusan Majelis Pengadilan Niaga halaman 36 alinea terakhir: "Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang dibuat aleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok L.1 Nomor 8 telah membebankan dengan mencantumkan pembebanan biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- kepada Suwarno Dicky Yusuf selaku Kreditur pembeli kavling Blok L 1/8 ..." 85 Keberatan: Bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama keliru membatalkan permohonan pembatalan perdamaian yang diajukan oleh Para Termohon Kasasi atas dasar bukti P7 untuk kavling Blok L1 No. 8 rnilik orang lain, yaitu Suwarno Dicky Yusuf (Bukan Pemohon Pailit), karena Para Termohon Kasasi tidak memiliki Kuasa atau “Illegal Standing" untuk bertindak mengatas namakan Suwarno Dicky Yusuf dan transaksi Suwarno Dicky Yusuf tidak dapat digunakan untuk keuntungan Para Termohon Kasasi; Bahwa pertimbangan Putusan a quo jelas melanggar Pasal 1340 KUHPerdata, yang menyatakan sbb: "Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi pada pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat mandat karenanya ..."; Bahwa apalagi, pihak ketiga Suwarno Dicky Yusuf tersebut sama sekali tidak ada sengketa wanprestasi atau klaim apapun terhadap Pemohon Kasasi, malah Perdamaian antara Pemohon Pailit dengan pihak ketiga Suwarno Dicky Yusuf tersebut telah selesai 86 dilaksanakan dengan baik, dengan telah selesainya penandatanganan Akta Jual Beli; Bahwa dengan demikian, jelas Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah melakukan pelanggaran hukum, sehingga putusan a quo haruslah dibatalkan. f. Judex Facti melanggar hukum kepailitan dengan membatalkan Perdamaian tanpa adanya Wanprestasi, bahkan melanggar hukum menganulir butir-butir Perdamaian yang telah disepakati dan dihomologasi. Bahwa Pemohon Kasasi keberatan atas pertimbangan putusan Majelis tingkat Pertama, halaman 36 Putusan: "Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan dengan bukti surat T3.b (berupa Lampiran I Proposal perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan oleh Termohon pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian dalam hal: Adanya Termohon Pailit mewajibkan Pembayaran PPh dan; Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama, halaman 38 alinea 1-2Putusan: "Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1 87 April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian khususnya pada angka Romawi I tentang biaya peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap pembebanan jenis biaya PPh ..."; Keberatan: Bahwa Majelis Hakim tingkat Pertama jelas keliru menyatakan Pemohon Kasasi telah lalai memenuhi isi perdamaian dengan mewajibkan pembayaran PPh; Bahwa pengenaan biaya PPh adalah tercantum dalam Perdamaian yang telah disepakati dalam voting (dengan suara setuju 98,35%) dan telah dihomologasi, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian. Pasal 162 UUK menyatakan: "Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak”; Pasal 170 UUK menyatakan: 1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut; 88 2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi..." Jadi Perdamaian Pemohon Kasasi yang telah dihomologasi sah dan mengikat seluruh kreditur termasuk Para Termohon Kasasi dan berdasarkan Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan, satu-satunya alasan pembatalan perdamaian hanyalah adanya ingkar janji. Bahwa dengan demikian, butir-butir perdamaian yang telah disepakati, lebih- lebih telah dihomologasi, telah mengikat sebagai hukum, sehingga tidak dapat dibatalkan atas dasar alasan apapun; Dikuatkan Pasal1338 KUHPerdata: "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya; Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu; Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik"; Para Termohon Kasasi mengajukan permohonan pembatalan Perdamaian, dengan alasan keberatan atas butir-butir yang telah disepakati dalam Perdamaian, 89 yaitu keberatan mengenai butir biaya PPh, BPHTB (vide Lampiran I Perdamaian); Bahwa Para Termohon Kasasi mempersoalkan dan menolak jumlah besaran PPh 5% dari NJOP tahun transaksi jual beli dan menggunakannya sebagai alasan pembatalan Perdamaian, padahal ketentuan tarif tersebut jelas-jelas ditetapkan oleh Undang-Undang, bukan oleh Pemohon Pallit; Ketentuan Peraturan perUndang-Undangan mengenai jumlah PPh; Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1998 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan: 1) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; 2) Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan; 90 3) Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun yang bersangkutan". Dasar hukum yang dijadikan dasar dalil Para Termohon Kasasi pun menggunakan bukti pelaksanaan butir-butir Perdamaian Milik Pembeli Lain, yang telah selesai Akta Jual Beli dengan baik tanpa sengketa, sehingga justru membuktikan bahwa Debitur telah melaksanakan/ memenuhi Perdamaian; Majelis Hakim dalam tingkat Pertama malah menganulir begitu saja Perdamaian atas permohonan sepihak Para Termohon Kasasi yang hanya sebagian kecil peserta Perdamaian (12 dari 206 kreditur, mewakili hanya 1% dari total tagihan), yang menolak tarif yang ditetapkan undang-undang, sehingga melanggar ketentuan Pasal 162 UndangUndang Kepailitan jo. Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor. 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor.48 Tahun 1998 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari 91 Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, karenanya putusan a quo haruslah dibatalkan. g. Judex Facti melakukan kesalahan berat mengenai Penerapan hukum dengan mencampuradukan Biaya Biro Jasa Pengurusan Sertifikat dengan biaya Sertifikat menurut Undang-Undang. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman 36 alinea 3 Putusan: "Menimbang bahwa dari bukti surat P2 dihubungkan dengan bukti surat T3.b. (berupa Lampiran I Proposal perdamaian) yang merupakan satu kesatuan dalam Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dan oleh Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian dalam hal: Pembebanan biaya pengukuran yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku"; Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman 37 alinea 3-5 Putusan: "Menimbang bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan apakah biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat (Point 3) dari Lampiran I Proposal Perdamaian sesuai bukti T.3-b telah dilaksanakan sesuai Penetapan Badan 92 Pertanahan Nasional (BPN) oleh Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai berikut: Menimbang bahwa berdasarkan bukti surat (P-7a) oleh Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk telah menerima uang sejumlah Rp 592.475.000,- dari Suwarno Dicky Yusuf adalah Kreditur Pembeli Kavling yang merupakan pihak dalam Perjanjian Perdamaian telah bersesuaian dengan bukti P-7 dimana telah terjadi penambahan biaya sebaga imana termaksud pada angka 8 yang dibuat oleh Termohon berupa biaya perpanjangan SHGB dan jasa dan biaya denda keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa: Dengan Demikian: Berdasarkan bukti surat tersebut di atas telah nyata secara sederhana bahwa pelaksanaan perjanjian perdamaian telah terjadi penambahan biaya yang tidak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh PT.Interkon Kebun Jeruk yang merupakan kelalaian yang bersifat prinsip dan Eksepsional yang beralasan menurut hukum dituntut pembatalannya karena telah menyimpang dari lampiran I proposal perdamaian yang merupakan satu kesatuan dari perjanjian perdamaian tersebut." 93 Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama, halaman 38 alinea 1-2 Putusan: "Menimbang bahwa dengan demikian Termohon Pailit telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 1.2 yaitu tidak melaksanakan proposal perdamaian tanggal 1 April 2009, beserta lampiran I Proposal perdamaian khususnya pada angka Romawi I tentang biaya peralihan hak yang jumlahnya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku terhadap pembebanan jenis biaya PPh dan Biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat; Menimbang bahwa oleh karena Termohon Pailit (PT. Interkon Kebon Jeruk) telah tidak melaksanakan sesuai ketentuan peraturan perUndang-Undangan dengan membebani biaya yang tidak pernah diperjanjikan dengan kata lain telah membuat ketentuan sepihak. yang bertentangan atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, yang secara sepihak membuat ketentuan sehingga merupakan suatu perbuatan yang melanggar Undang-Undang maka kepada Termohon tidak dapat diberikan kelonggaran lagi memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan Pasal 170 ayat (3) UUK dan c PKPU dan akibat kelalaian yang 94 dllakukannya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang- undang." Keberatan: Bahwa Majelis Hakim mencampuradukkan tingkat Pertama antara telah biaya pengukuran/pemecahan Sertifikat dengan biaya jasa pengurusan Sertifikat. Patut diketahui, bahwa setiap kreditur (206) pembeli kavling tanahnya spesifik dan berbeda-beda kategori dan kondisinya (vide Proposal Perdamaian). Karenanya biaya setiap kreditur sudah pasti berbeda-beda. Ada yang Sertifikatnya sudah berakhir sehingga harus diperpanjang, ada yang sertifikatnya belum terbit (masih girik), ada yang belum dipecah dari induk, ada yang haknya belum beralih dan lain- lain; Bahwa sebagian besar pembeli yang menindaklanjuti perdamaian tidak bersedia mengurus sendiri Sertifikat kavlingnya ke Kantor Pertanahan dan meminta pada Pemohon Kasasi agar urusan tersebut diserahkan saja pada Biro Jasa. Permintaan pembeli atas jasa pengurusan tersebut jelas menimbulkan konsekwensi biaya jasa pengurusan; 95 Biaya jasa pengurusan tersebut sepenuhnya merupakan hak Biro Jasa atas permintaan pembeli sendiri, bukan biaya yang dipukulrata terhadap Pemohon Kasasi atau kreditur-kreditur lainnya. Pembeli Suwarno Dicky Yusuf termasuk yang meminta pengurusan Sertifikat dengan perantaraan Biro Jasa dan wajar karenanya membayar biaya jasa pengurusan tersebut; Para Termohon Kasasi belum datang mengurus Akta Jual Beli kavlingnya dan tidak memahami persoalan tersebut, secara keliru mencampuradukkan biaya jasa pengurusan Biro Jasa tersebut sebagai biaya Sertifikat. Sebagai pihak ketiga yang tidak berkaitan dengan Suwarno Dicky Yusuf, tanpa mengerti duduk persoalan Para Termohon Kasasi mendalilkan P-7 sebagai murni biaya Sertifikat; Biaya jasa pengurusan Biro Jasa Bukan Merupakan Obyek Perdamaian, karenanya tidak mungkin menimbulkan wanprestasi atas Perdamaian dan tidak dapat dijadikan alasan pembatalan Perdamaian; Dalil keliru pihak ketiga yang tidak mengerti persoalan tersebut malah diambil alih begitu saja oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, yang melakukan kesalahan penerapan hukum mencampuradukkan biaya jasa 96 tersebut dengan biaya sertifikat dalam Perdamaian, karenanya jelas Putusan Judex Facti telah salah menerapkan hukum dan harus dibatalkan. h. Judex Facti melakukan kesalahan penerapan hukum menyatakan bukti Pemohon Kasasi sebagat Fotokopi. Pertimbangan Judex Facti, halaman 37 alinea terakhir: "Menimbang bahwa bukti-bukti yang diajukan (T4; T5a; T5b; T5c1 s/d T5c-3; T5.d-1 s/d T5 d-3 ; T5-e-1 s/d T5-E3; T5-Fl s/d T5-F2; T5-g1 ; T5 h; T5i- l s/d T5 i-3 ; T5-j1 s/d T5-j2; T5-k1 s/d T5-k2 ; T5-L1 s/d T5L3; dan T6;T7) karena hanya Foto Copy lagi pula buktibukti tersebut tidak dapat mendukung dalil bantahan Termohon tentang tidak adanya Penambahan biaya yang dilakukan dan sebaliknya menurut Majelis Hakim telah terjadi penambahan biaya yang tidak jelas dasar perhitungan yang dilakukan oleh Termohon." Keberatan: Bahwa Judex Facti jelas melakukan kesalahan menyatakan bukti-bukti Pemohon Kasasi a quo sebagai fotokopi; Persidangan tgl. 1 Juli 2010, PEMOHON KASASI telah mencocokkan bukti T-4 dengan aslinya; 97 Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah mencocokkan bukti T-5a dan T-5b dengan aslinya; Persidangan tgl. 14 Juli 2010, Pemohon Kasasi telah mencocokkan bukti-bukti T-5.c.1 dan T5.c.2, T-5.d.1 dan T-5.d.2, T-5.e.1 dan T-5.e.2, T-5.f.1 dan T-5.f.2, T5.g.1 T-5.h, T-5.i.1 dan T-5.i.2,T-5.j.1 dan T-5.j.2, T5.k.1, T-5.1.1 dan T-5.I.2 dengan bukti yang telah dilegalisir sesuai aslinya. Sedangkan bukti T-5 lainnya merupakan bukti KTP para pembeli yang telah selesai melaksanakan Perdamaian/Akta Jual Beli/bukti mana tidak mungkin Pemohon Kasasi memiliki aslinya karena asli KTP pasti dipegang oleh para pemiliknya; Bahwa Bukti P-6 dan P-7 bukan merupakan bukti fakta, tetapi hanya bukti referensi peraturan perundangundangan mengenai PPh dan BPHTB (Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2000 dan Undang-Undang No. 71 Tahun 2008) yang aslinya ada pada Sekretariat Negara yang mengundangkan; Bahwa bukti-bukti a quo membuktikan bahwa Pemohon Kasasi selaku Debitur telah melaksanakan isi Perdamaian dengan para pembeli kavling sebagaimana disyaratkan Pasal 170 ayat (2) Undang-Undang 98 Kepailitan, sehingga permohonan pembatalan Perdamaian haruslah ditolak; Pasal 170 Undang-Undang Kepailitan menyatakan: 1) Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan, apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut; 2) Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. i. Majelis Hakim tingkat pertama melakukan pelanggaran Pasal. 172 Undang-Undang Kepailitan dalam penunjukan Kurator. j. Pertimbangan Majelis Hakim tingkat Pertama halaman 38 alinea terakhir dan halaman 39 alinea 1 Putusan: Menimbang bahwa oleh karena PT. Interkon Kebon Jeruk dinyatakan pailit, maka sesuai Pasal 15 ayat (1) UUK dan PKPU maka harus pula diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas. Menimbang, bahwa dalam permohonannya oleh Pemohon telah bermohon dengan dalam putusan perkara ini ditunjuk dan diangkat saudara Soedeson Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH yang terdaftar di Departemen Hukum sebagai Kurator. Keberatan: 99 Bahwa Judex Facti dalam mempertimbangkan dan memutus mengenai Kurator, telah mengangkat Kurator baru: Soedeson Tandra, SH, Mhum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH, tanpa pertimbangan sama sekali mengenai Kurator Pemohon Kasasi saat pailit sebelum terjadi Perdamaian, Sdr. Yan Apul, SH., hal mana secara nyata telah melanggar ketent uan Pasal 172 UUK; Pasal 172 UUK ayat (1) dan (2): 1) Dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali, dengan pengangkatan seorang Hakim Pengawas, Kurator dan anggota panitia kreditor apabila ...”. 2) Hakim Pengawas, Kurator dan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sedapat mungkin diangkat dari mereka yang dahulu dalam kepailitan tersebut telah memangku jabatannya. Dengan demikian jelas Putusan Judex Facti merupakan putusan yang melanggar hukum dan harus dibatalkan. 2.2. Alasan Kasasi Pemohon II 2.2.1. Para Pemohon Kasasi sangat kebertan terhadap Putusan Pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas Putusan Judex Facti tersebut. Putusan Pailit terhadap PT. 100 Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat. a. Putusan Pailit Majelis Hakim terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan. Putusan Judex Facti merupakan putusan yang tidak menggali, tidak mengikuti dan tidak memaha mi nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, khususnya terhadap ..para pembeli kavling sebagai masyarakat yang merasakan dampak langsung kepailitan ini; b. Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman secara jelas mewajibkan hakim untuk menggali rasa keadilan masyarakat: “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat"; c. Putusan Judex Facti telah melahirkan ketidakadilan bagi mayoritas pembeli kavling karena putusan tersebut telah membuat kekacauan dalam proses pelaksanaan Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi yang sudah disepakati sebelumnya oleh PT. lnterkon Kebon Jeruk dan kreditur; 101 d. Kondisi kekacauan yang akan terjadi setelah PT. Interkon Kebon Jeruk pailit adalah para pembeli kavling yang sudah melaksanakan penandatanganan PPJB maupun Akta Jual Beli dengan PT. Interkon Kebon Jeruk dan telah membayar pajak-pajak namun sertifikatsertifikatnya saat ini masih atas nama PT. Interkon Kebon Jeruk karena masih dalam proses di Badan Pertanahan Nasional, mau tidak mau harus kehilangan haknya karena tanah-tanah yang masih bersertifikat atas nama PT. Interkon Kebon Jeruk tersebut otomatis akan ditarik menjadi boedel pailit, untuk selanjutnya dilelang dan dibagikan secara pro rata kepada kreditur. Status Para Pembeli kavling akan berubah menjadi kreditur dan kehilangan hak atas tanah yang sudah dibelinya; e. Hal tersebut tidak adil karena pembeli kavling yang sudah melaksanakan perjanjian perdamaian bersamasama dengan PT. Interkon Kebon Jeruk dipaksa hilang hak atas tanahnya dan akan menjadi setara dengan kreditur-kreditur yang belum melaksanakan perjanjian perdamaian (Para Pemohon Pailit); f. Para Pemohon Pailit hanya segelintir kreditur (12 orang) yang berlawanan pendapat dengan mayoritas kreditur, dimana 12 orang Pemohon melawan 194 pembeli 102 kavllng (rasionya 1 % pembeli kavllng membatalkan perjanjian perdamaian yang mengakibatkan kurang lebih 99% kreditur termasuk pembeli kavling terampas haknya); g. Singkat kata Para Pemohon Pailit sendiri belum pernah melaksanakan mempailitkan kewajiban PT. tetapi Interkon malah Kebon justru Jeruk dan mengakibatkan pihak lain yang sudah melaksanakan kewajiban kehilangan haknya; h. Dengan demikian putusan Judex Facti tersebut bertentangan dengan kepentingan umum yang lebih tinggi dan jauh lebih besar yaitu hak-hak mayoritas pembeli kavling dan kreditur lain yang dirugikan dengan adanya kepailitan ini; Judex Facti sungguh telah lalai menggali rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Para pembeli kavling yang telah melaksanakan Perjanjian Perdamaian adalah masyarakat yang harus secara seksama diperhatikan oleh Judex Facti sebelum memutus perkara pailit ini, dengan adanya putusan pailit, akan terjadi ketidakadilan yang dialami oleh Pemohon Kasasi, yaitu: 103 a) Adapun dengan tidak dimungkinkannya lagi perdamaian dalam kepailitan jilid kedua (pailit karena pembatalan perdamaian), maka berdasarkan Pasal 175 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, maka tanpa ampun seluruh aset atas nama Termohon Pailit akan dilelang untuk dibagikan kepada kreditur sehingga tidak ada harapan lagi kreditur bagi Pemohon Kasasi untuk memiliki tanah, padahal Pemohon Kasasi sudah melakukan PPJB lunas ataupun AJB dan telah rnembayar pajak PPh dan BPHTB; b) PPh dan BPHTB yang disetorkan kepada Negara tidak mungkin ditarik lagi sehingga Pemohon Kasasi kehilangan uangnya; c) Para Pemohon Pailit yang tidak pernah melaksanakan perjaniian perdamaian bisa duduk setara dengan Pemohon Kasasi sebagai pembeli kavling yang telah beritikad baik melaksanakan kewajibankewajiban berdasarkan perjanjian perdamaian (kreditur konkuren yang sama haknya). Kalaupun Termohon pailit tidak menyetujui proposal perdamaian atau ingin menawar-nawar biaya, harusnya dari awal saja mereka menunjukan 104 diri sebagai pihak yang tidak menyetuj ui perjanjian perdamaian. Terkait dalam hal ini .mereka menyetujui perjanjian perdamaian, kemudian disaat para pembeli kavling lain sudah mulai melaksanakan perjanjian perdamaia n, tiba-tiba mereka yang tidak melaksanakan perjanjian perdamaian membatalkan perjanjian perdamaian yang sudah dilaksanakan oleh sebagian pembeli kavling; d) Pemohon kasasi juga merasakan ketidakadilan dengan tidak adanya perlindungan hukum sebagai konsekuensi dari putusan pailit yang dibuat oleh Judex Facti. Pemohon kasasi sudah beritikad baik melaksanakan perjanjian perdamaian bersama dengan termohon pailit, tetapi kemudian di tengah jalan dibatalkan oleh pemohon pailit yang tidak pernah Pemohon melaksanakan Pailit perianjian mengalami perdamaian. tidak adanya perlindungan terhadap kreditur walaupun dia sudah melaksanakan kewajibannya sehubungan dengan perjanjian perdamaian tersebut. Apalagi kasus pailit ini diajukan oleh para kreditur yang belum melaksanakan perjanjian; 105 e) Kalau Pemohon Pailit yang belum pernah melaksanakan perjanjian perdamaian tidak setuju terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi dengan keinginan menawar-nawar biaya, maka seharusnya jangan menggunakan instrument Undang-Undang Kepailitan karena akan berdampak negatif terhadap kreditur-kreditur lain yang sudah menjalankan perjanjian perdamaian bersama Termohon Pailit; 2.2.2. Judex Facti telah salah dalam Penerapan hukum atau melanggar hukum yang berlaku. a. Tidak adanya putusan sela atas permohonan intervensi; Atas intervensi yang diajukan oleh pemohon kasasi di tingkat pengadilan negeri, Hakim tidak pernah memberikan putusan sela atas intervensi yang diajukan; Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 305 K/Sip/1962 tgl. 9 Januari1962 dan Yurisprudensi MA RI No. 731 K/Sip/1975, tgl. 16 Desember 1976, maka atas permohonan intervensi tersebut harus dipertimbangkan dan diputus dalam suatu putusan sela; Tidak adanya putusan sela atas legal standing intervenient memiliki arti bahwa: "Majelis Hakim telah meIanggar hukum acara dan oleh karenanya putusan 106 harus dibatalkan dan selain itu hal ini berarti Majelis Hakim mengabaikan eksistensi dan kepentingan kreditur lain (para pembeli kavling). b. Bukti Fotocopy menjadi dasar mempailitkan PT. Interkon Kebon Jeruk; Judex Facti masih mempertimbangkan bukti-bukti fotocopi yang diajukan oleh Termohon Kasasi/Pemohon Pailit, padahal bukti fotocopi tersebut bisa dikonfirmasi kebenarannya pada saat sidang , baik karena tidak ada aslinya maupun tidak ada bukti lainnya yang merujuk kebenaran fotocopi tersebut; Akibatnya adalah dokumen yang putusan tidak pailit didasarkan terkonfirmasi pada kebenarannya sehingga putusan tersebut telah merobek nilai- nilai kebenarannya; Hal ini sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum di dalam hukumacara berdasarkan; Pasal 1888 KUHPerdata: "Kekuatan Pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada aktanya asli. Apabila akta yang asli itu ada maka salinansalinan serta ikhtisarikhtisarhanyalah dapat dipercaya, sekedar salinan-salinan serta ikhtisar- ikhtisar itu sesuai dengan aslinya"; 107 Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3609 K/Pdt/1985 tanggal 9 Desember 1987: "Surat bukti yang hanya berupa fotocopy dan tidak pernah ada surat aslinya oleh karena mana surat bukti tersebut harus dikesampingkan." Judex Facti yang mendasarkan pada bukti Fotocpy yang tidak terkonfirmasi kebenarannya adalah putusan yang melanggar hukum. c. Perjanjian Perdamaian sebagai Pactum Sunt Servanda tidak diakui; Majelis Hakim mempertimbangkan melanggar bahwa: hukum pactum karena sunt tidak servanda berlaku pada perdamaian yang disepakati juga oleh Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi sudah jelas bahwa PT. Interkon Kebon Jeruk tidak mempunyai biaya untuk membayar PPh sehingga berdasarkan kesepakatan di Perjanjian Perdamaian, PPh tersebut ditanggung oleh pembeli; Lampiran 1 Proposal Perdamaian; Biaya Peralihan Hak yang harus dibayarkan oleh Kreditur meliputi biaya-biaya sebagai berikut: a) BPHTB (baik tanah maupun bangunan) 108 b) PPh c) Biaya PengukuranlPemecahan Sertifikat d) dst . Jadi, PPh yang ditanggung oleh pembeli dan telah disetorkan kepada negara bukanlah pengingkaran terhadap perjanjian perdamaian. 2.3. Alasan Kasasi Pemohon III 2.3.1. Judex Facti telah salah menerapkan hukum a. Putusan Judex Facti tidak menerapkan asas memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena dalam putusannya tidak memuat dasar alasan yang jelas dan rinci dalam mempertimbangkan eksepsi Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III. Bahwa dalam mengadili Judex Facti pada "Tentang Pertimbangan Hukumnya" sampai dengan amar putusan tidak terdapat pertimbangan hukum mengenai eksepsi Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III oleh karenanya putusan yang demikian haruslah dibatalkan. Bahwa Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon 109 Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohan Intervensi III telah mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut, Eksepsi Kompetensi Relatif dan Eksepsi mengenai pokok perkara. Bahwa dalam UU No. 37 Tahun 2004 memang tidak ada aturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian eksepsi dalam perkara Niaga namun berdasarkan Pasal 299 UU No. 37 Tahun 2004 menyebutkan "Kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata". Judex facti seharusnya menyelesaikan eksepsi yang diajukan Termohon Pailit, Pemohon Intervensi I, Pemohon Intervensi II (sekarang Para Pemohon Kasasi), dan Pemohon Intervensi III menggunakan aturan Pasal 136 HIR. Berdasarkan Pasal 136 HIR cara penyelesaian eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi seharusnya diputus bersama-sama dalam Pokok Perkara. Dengan demikian, pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara dituangkan bersamaan secara keseluruhan dalam putusan akhir. (M. Yahya Harahap, S.H., 2006 hal. 428). b. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan. Bahwa salinan putusan yang dilakukan oleh Majelis a quo dalam perkara tersebut, yaitu dengan adanya 2 (dua) 110 salinan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir dalam satu nomor perkara yang sama, namun dengan pihak-pihak yang sangat berbeda. Bahwa dalam Putusan Sela, Majelis a quo mengkelompokkan pihak- pihak Pemohon Intervensi, dalam 3 (tiga) kelompok intervenient berdasarkan 3 (tiga) orang Kuasa Hukum yang mengajukannya, yaitu: a) Pemohon Intervensi Kelompok I, terdiri dari : Octavia Widyastuti Alim, Drs. Abdul Salam, Trio Jono, Elisabeth Prayogo, Sajuri Kartika Isanto, Eddy Hartono, Yohanes Hartanto, Swanda Salim, Cornelia Tiosudarmin; b) Pemohon Intervensi Kelompok II, terdiri dari : Eddy Yuwono, Yanti Husada, Liliany Wihardjo, Indriyani, PT. Sari Kebon Jeruk Permai; c) Pemohon Intervensi Kelompok III, terdiri dari: Rainford Investment Inc. Padahal masing- masing Pemohon Intervensi, walaupun ada yang memberikan kuasa kepada orang yang sarna, haruslah dipandang sebagai pihak yang berdiri sendiri, bahkan surat kuasa yang diberikan juga berbeda-beda. Perlu diingat bahwa yang mengajukan Permohonan Intervensi bukanlah Kuasa Hukum, melainkan pihak 111 yang berkepentingan, sedangkan Kuasa Hukum hanyalah mewakili pihak yang berkepentingan tersebut. Dengan demikian, seharusnya ada 15 (lima belas) Pemohon Intervensi dalam perkara ini, bukan hanya 3 Pemohon Intervensi. Bahwa keanehan dalam salinan putusan berlanjut, dengan Salinan Putusan akhir, yang bahkan tidak lagi mencantumkan ke-15 pihak Pemohon Intervensi tersebut sebagai pihak dalam perkara. Padahal dalil ke-15 Pemohon Intervensi telah diperiksa dan dipertimbangkan dalam Putusan Sela, dengan demikian ke-15 Pemohon Intervensi telah ikut masuk sebagai pihak dalam perkara. Dengan demikian, ada 2 (dua) salinan putusan dalam 1 (satu) perkara yang sama, namun memiliki pihak-pihak yang berbeda. Sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 130 K/Sip/1952, tgl. 2 juli 1955, dinyatakan bahwa: "Putusan harus menyebut pihak-pihak yang berperkara”. Jelaslah bahwa Majelis Hakim a quo telah melakukan kesalahan berat dalam pertimbangannya dan dalam membuat salinan putusan dalam perkara a quo, oleh karenanya haruslah dibatalkan. c. Berkenaan dengan penerapan Pembuktian Secara Sederhana yang dipaksakan pemberlakuannya. 112 Bahwa judex Facti telah salah dalam melaksanakan/ menerapkan hukum yang berlaku, yakni berkenaan dengan penerapan Pembuktian Secara Sederhana sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Bahwa permohonan pailit yang dilakukan oleh Termohon Kasasi didasarkan Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Sementara asas sederhana yang diterapkan dalam Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya berkenaan dengan Fakta adanya dua atau lebih kreditor dan fakta utang telah jatuh waktu dan tidak dibayar namun dalam pertimbangan hukumnya Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya untuk membuktikan wanprestasi Termohon atau tidak Pailit melakukan menggunakan asas pembuktian secara sederhana. d. Judex Facti telah salah melakukan penafsiran hukum terhadap keberadaan Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi. Perjanjian Perdamaian adalah wujud semangat win-win solution. Bahwa perjanjian perdamaian yang telah disepakati adalah wujud semangat win-win solution, dimana para pihak yang berperkara berusaha untuk saling 113 memberikan keuntungan dan menghindari terjadinya kerugian bagi salah satu pihak yang berperkara. Semangat kekeluargaan adalah motivasi yang sudah seharusnya dipupuk dan dipelihara dalam menyelesaikan suatu masalah terutama dalam lapangan hukum perdata. e. Melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Bahwa putusan Judex Facti yang mengangkat Soedeson Tandra, SH,MHum dan Drs. Joko Prabowo, SH,MH sebagai kurator melanggar ketentuan pasal 172 UU No. 37 tahun 2004, sebagaimana dikutip, sebagai berikut: "(2) Hakim Pengawas, Kurator dan anggota panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedapat mungkin diangkat dari mereka yang dahulu dalam kepailitan tersebut telah memangku jabatannya"; Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut, maka seharusnya Hakim Pengawas, Kurator dan anggota panitia kreditur diangkat dari mereka yang terdahulu memegang jabatan tersebut, kecuali tentu saja kalau ada halangan untuk itu; Judex Facti dalam putusannya, sama sekali tidak memberikan pertimbangan tentang apa alasannya tidak mengangkat Kurator yang lama, yaitu Sdr. Yan Apul, SH sebagai kurator. Memang 114 benar, kewenangan untuk mengangkat Kurator ada pada Judex Facti. Namun kewenangan tersebut tidak boleh digunakan secara sewena ngwenang, melainkan harus taat pada ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku. Tidak ada alasan sama sekali kenapa Judex Facti tidak mengangkat kurator yang lama untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan kurator yang lama, sama sekali tidak pernah dimintakan keterangan atau pendapat mengenai hal ini. f. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004. Bahwa dalam Penjelasan Undang- undang Nomor 37 tahun 2004 dijelaskan bahwa Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang didasarkan pada beberapa asas: a) Asas Keseimbangan Bahwa asas keseimbangan dalam Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas kesimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah 115 terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Pelanggaran yang dilakukan oleh judex facti jelas ternyata dengan diabaikannya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak bertikad baik yang dalam perkara a quo adalah Termohon Kasasi. Bahwa faktanya berdasarkan Proposal Perdamaian tangga l 1 April 2009 (Vide Bukti PI.II-2), Pemohon Pailit (kecuali Heny Anwari) merupakan sebagian kecil dari 206 Kreditor Termohon Pailit (Vide Bukti PI.II-3), yang artinya masih banyak kreditor lain yang bersedia tunduk untuk tetap dilakukannya perjanjian perdamaian. Fakta dan nyata bahwa itikad tidak baik Termohon Kasasi dilakukan dengan cara memanfaatkan Suwarno Dicky Yusuf untuk melakukan AJB atas tanah yang telah dibelinya selesainya/diterimanya sampai sertipikat dengan Hak Guna Bangunan atas nama Suwarno Dicky Yusuf. Dalam perjalanannya Termohon Kasasi menggunakan momentum atas biaya-biaya yang dikeluarkan dan disepakati oleh Suwarno Dicky Yusuf untuk pengurusan Akta Jual Beli dan sertifikasi 116 (pengurusan sertipikat Hak Guna Bangunan) sebagai suatu bentuk wanprestasi Termohon Pailit terhadap Perjanjian Perdamaian dengan dalil bahwa biayabiaya tersebut tidak terdapat dalam Proposal Perdamaian yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi. Faktanya biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Suwarno Dicky Yusuf benar-benar digunakan untuk pengurusan Akta Jual Beli dan pembuatan Sertipikat Hak Guna Bangunan dan proses sertifikasi sudah selesai dengan keluarnya Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor. 7643/Srengseng, Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor. 7644/ Srengseng, dan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor.7682/Srengseng (Vide Bukti PI.II7a s/d PI.II-7c). Jika memang jika biaya-biaya yang dibebankan kepada Suwarno Dicky Yusuf melanggar ketentuan yang berlaku dan Perjanjian Perdamaian seharusnya dengan diawali itikad baik Suwarno Dicky Yusuf meminta pengembalian dari Termohon Pailit. Judex Facti seharusnya mempertimbangkan adakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Termohon pailit 117 terhadap Termohon Kasasi berkaitan dengan biayabiaya yang dituduhkan oleh Termohon Kasasi. b) Pelanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi dicapai secara susah payah dengan mendatangkan investor asing (Pemohon Intervensi III) dengan maksud dan tujuan agar kelangsungan hidup Termohon Pailit tetap terjaga. Namun Judex Facti sama sekali tidak mempertimbangkan efek positif dan negatif dari dipailitkannya kembali Termohon Pailit. Judex Facti tidak mempertimbangkan keberadaan Kreditor lain yang jauh lebih banyak jumlahnya. Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 dibentuk bukan untuk mematikan dunia usaha namun untuk memberikan kepastian hukum agar Kreditor secara hukum mendapatkan jaminan terhadap piutang-piutangnya dengan dibuka pembayaran utang. peluang adanya penundaan 118 c) Pelanggaran terhadap asas Keadilan. Terkait dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Dalam pertimbangan hukumnya halaman 36 judex facti menyatakan sebagai berikut "Menimbang bahwa berdasarkan bukti P-7 yang dibuat oleh PT. Interkon Kebon Jeruk terhadap Blok L 1 Nomor 8 telah membebankan dengan mencantumkan pembebanan biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- kepada Suwarno Dicky Yusuf selaku Kreditur pembeli kavling Blok L.1/8 hal mana telah bertentangan dengan Lampiran perdamaian (Bukti T3-b) Termohon Pailit tidak / dimana proposal seharusnya membebankan atau mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku berdasarkan akta perdamaian. Bahwa kalimat: "dimana seharusnya Termohon Pailit tidak membebankan atau mengembalikan biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlak." terlihat jelas jika judex facti memberikan alternative putusan hukum yaitu dengan kalimat " atau mengembalikan 119 biaya PPh yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku". Haruskah Termohon Pailit dinyatakan pailit Hanya Lantaran Terdapat Kelebihan Biaya-Biaya ?? Alangkah lebih arif dan bijaksana kesempatan jika Termohon untuk Pailit mengembalikan diberikan biaya-biaya tersebut sebagai amanah Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 Pasal 170 ayat (3) yang menyebutkan: "Pengadilan berwenang memberikan kelonggaraan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan". Pelanggaran judex facti jelas dan nyata sebenarnya bisa diputusakan alternative yang lebih solutif yaitu dengan memberikan Mengembalikan Kelebihan kelonggaran Biaya Yang untuk Telah Dibayarkan Oleh Suwarno Dicky Yusuf Kepada Termohon Pallit. Jika Judex Facti mau memberikan kelonggaran kepada Termohon Pailit tentu Tidak Merugikan Kreditur Lain Termasuk Kreditur Yang Mengajukan Permohonan Pailit. Terlepas dari alasan tersebut di atas jika diberikan kelonggaran lebih bermanfaat oleh karena pada dasarnya tujuan 120 Putusan adalah: Keadilan, Kepastian Hukum Dan Kemanfaatan. d) Pelanggaran terhadap asas Integrasi; Asas integritas dalam Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004 mengandung pengertian bahwa system hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari system hukum perdata dan hukum acara perdata nasional. Pelanggaran Judex Facti terhadap hukum formil dan materiil secara keseluruhan ditunjukkan/hal-hal yang merupakan alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi. 3.1.2. Judex Facti telah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perUndang-Undangan. a. Amar putusan tidak mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau tidaknya Permohonan Intervensi. Permohonan Pailit diajukan Pemohon Pailit/Termohon Kasasi pada tanggal 01 Juni 2010 yang deregister oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.0 3/Pembatalan Perdamaian/ 2010/ PN.Niaga.Jkt.Pst. Sidang pertama pada tanggal 14 Juni 2010; 121 Pada tanggal 30 Juni 2010 Pemohon Intervensi Il/Pemohon Kasasi mengajukan intervensi yang pada saat itu agenda persidangan adalah Pembuktian dari Pihak Pemohon Pailit; Pada tanggal 01 Juli 2010 agenda sidang pembuktian dari Termohon Pailit dan Pemohon Intervensi; Pada tanggal 05 Juli 2010 pengajuan bukti Eksepsi Kompetensi Absolut dari pihak-pihak yang mengajukan Eksepsi Kompetensi Absolut termasuk Pemohon Kasasi; Pada tanggal 14 Juli 2010 pembacaan Putusan Sela terhadap Eksepsi Kompetensi Absolut bukan tanggal 07 Juli 2010 sebagaimana disebutkan dalam putusan halaman 2; Bahwa Putusan Sela tersebut hanya mengenai kompetensi absulut saja. Bahwa faktanya dalam Putusan Judex Facti sama sekali tidak menyebutkan tentang ditolak/diterimanya eksepsi dan Permohonan Intervensi. Hal tersebut melanggar asas bahwa amar putusan mesti dirinci sebagaimana putusan Mahkamah Agung Nomor 698 K/Sip/1969. Bahwa selanjutnya, judex facti juga telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum acara, karena 122 tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh ke-15 Pemohon Intervensi tersebut. b. Bahwa Judex Facti sama sekali tidak memberikan pertimbangan hukum terhadap eksepsi yang diajukan oleh Pemohon Intervensi II untuk Eksepsi Permohonan Pembatalan Perdamaian yang diajukan adalah Prematur. 3.1.3. Judex Facti telah melampaui batas wewenang. Bahwa pertimbangan hukum yang demikian adalah pertimbangan hukum yang keliru dan karenanya Judex Facti telah nyata-nyata melampaui batas kewenangannya dengan alasan sebagai berikut: Tuntutan tentang adanya wanprestasi adalah bukan persoalan sederhana yang memerlukan pembuktian yang lebih teliti. Bahwa konsep utama pembuktian secara sederhana digunakan manakala hanya jika dilihat secara fakta dengan bukti tertulis saja sudah bisa menunjukkan bahwa gugatan/permohonan adalah benar secara hukum. Konsep pembuktian secara sederhana lebih tepat kepada perkara-perkara voluntair yang tidak melibatkan banyak pihak sehingga pemeriksaannya dapat dilakukan dengan acara cepat; Pembuktian secara sederhana yang dianut oleh 123 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya digunakan pada saat permohonan pailit yang pertama sehingga pemeriksaannya tunduk kepada Pasal 8 ayat (4) Undangundang Nomor 37 Tahun 2004. Perkara a quo permohonan pailit ya ng diajukan oleh termohon kasasi adalah didasarkan pada tuduhan wanprestasi terhadap Perjanjian Perdamaian. Hubungan hukum antara Termohon Pailit dengan Pemohon Pailit adalah hubungan hukum yang diwadahi oleh perjanj ian. Alangkah lebih tepat jika pembuktian dilakukan dengan acara biasa yang dilakukan oleh Pengadilan Umum (masuk dalam ranah perkara perdata biasa). 3.1.4. Termohon Pailit tidak terbukti lalai dalam melaksanakan Perjanjian Perdamaian. Bahwa judex facti dalam mengabulkan Permohonan Pailit atas dasar Termohon Pailit telah lalai dengan membebankan PPh kepada Pemohon Pailit adalah keliru dengan alasan sebagai berikut: a. Tidak ada pembayaran PPh dari Pemohon Pailit untuk Pembebanan PPh. Bukti yang diajukan berkaitan dengan Pembebanan PPh yaitu Bukti P-7a yang hanya ditujukan Kepada Suwarno Dicky Yusuf. Bukan Bukti pembayaran Pemohon Pailit; 124 Bahwa pertimbangan hukum judex facti halaman 37 yang menyebutkan: "Menimbang bahwa demikian halnya terhadap bukti surat (P8, P8a s/d P8u) oleh Termohon telah dan tetap membebankan PPh kepada Kreditor dimana seharusnya biaya pengalihan hak incasu PPh seharusnya para Kreditur dibebaskan dari pembayaran Pajak Penghasilan hak atas tanah, Adalah Pertimbangan Hukum Yang Keliru Karena Bukti P8.P8a s/d P8u Hanya Berupa Foto Copy Saja oleh karena kekuatan pembuktiannya adalah terletak pada aslinya (Pasal 1888 KUHPerdata); 2.4. Alasan Pemohon Kasasi IV Putusan Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat Nomor 03/Pembatalan Perdamaian 2010/PN.Niaga.JKT.PST., tgl. 28 Juli 2010 harus dibatalkan karena bertentangan dengan hukum, tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak cukup pertimbangannya, mempertimbangkan karena dalil-dalil sama sekali pemohon tidak intervensi, sebagaimana diuraikan, sebagai berikut: 2.4.1. Melanggar Ketentuan Formalitas Salinan Putusan. Bahwa secara kasat mata terlihat dengan jelas kesalahan berat dalam penerapan formalitas salinan putusan yang dilakukan oleh Majelis a quo dalam perkara tersebut, yaitu 125 dengan adanya 2 (dua) salinan putusan, yaitu putusan sela dan putusan akhir dalam satu nomor perkara yang sama, namun dengan pihak-pihak yang sangat berbeda. 2.4.2. Tidak ada pertimbangan mengenai permohonan Intervensi dan sama sekali tidak mempertimbangkan dalil dan bukti para pemohon Intervensi. Bahwa selanjutnya, Majelis Hakim a quo juga telah melakukan kesalahan berat dalam penerapan hukum acara, karena tidak membuat pertimbangan tentang diterima atau ditolaknya permohonan intervensi yang diajukan oleh ke-15 Pemohon Intervensi tersebut. Bahwa Putusan Sela tanggal 14 Juli 2010 hanya mengenai kompetensi absolut saja, sama sekali tidak memutus apakan permohonan intervensi untuk bergabung dalam perkara a quo diterima atau ditolak. 2.4.3. Melanggar Huk um Acara Pembuktian. Bahwa putusan perkara a quo harus dibatalkan karena telah melanggar ketentuan tentang Hukum Acara Pembuktian. Hampir seluruh bukti yang diajukan oleh Para Termohon Kasasi/Pemohon Pailit adalah bukti-bukti toto copy yang tidak dikuatkan oleh keterangan saksi, Karenanya tidak memenuhi ketentuan hukum untuk dipertimbangkan sebagai alat bukti yang sah. 126 2.4.4. Pertimbangan didasarkan pada alat bukti milik orang lain. Bahwa Majelis Hakim a quo dalam pertimbangannya, mempertimbangkan bahwa bukti P-7, P-5, dan P-7a, yaitu dengan mempertimbangkan bukti tersebut, yang memuat Majelis Hakim a quo merupakan bukti pelanggaran atas Akta Perdamaian karena telah membebankan biaya PPh tidak sesuai ketentuan PerUndang-undangan yang berlaku ternyata merupakan bukti-bukti atas nama Suwarno Dicky Yusuf yang tidak merupakan pihak dalam perkara ini. Lagipula, Suwarno Dicky Yusuf juga tidak pernah dihadirkan sebagai sakasi dalam perkara ini. 2.4.5. Melanggar Ketentuan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Majelis a quo dalam putusannya, sama sekali tidak memberikan pertimbangan tentang apa alasannya tidak mengangkat Kurator yang lama, yaitu Sdr. Yan Apul, SH sebagai kurator. Memang benar, kewenangan untuk mengangkat Kurator ada pada Majelis Hakim a quo. Namun, kewenangan tersebut tidak boleh digunakan secara sewenangwenang, melainkan harus taat pada ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku; Tidak ada alasan sama sekali kenapa Majelis Hakim a quo 127 tidak mengangkat kurator yang lama untuk menyelesaikan hal ini. Bahkan kurator yang lama, sama sekali tidak pernah dimintakan keterangan atau pendapat mengenai hal ini. 2.4.6. Judex Facti telah melanggar asas-asas dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004. a. Melanggaran terhadap asas Keseimbangan b. Melanggaran terhadap asas Kelangsungan Usaha c. Melanggar terhadap asas Keadilan d. Melanggar terhadap asas Integrasi 3. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung 3.1. Menimbang,bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Mengenai alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi I, II, III dan IV. Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, sebab: Perkara ini adalah mengenai tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara seperti itu debitur 128 wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia penuhi in casu Debitur wajib membuktikan bahwa Debitor/ Termohon Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada penambahan biaya perpanjangan SHGB, jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian (P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan biaya tersebut yang melanggar is i perjanjian perdamaian dimana debitor in casu termohon pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian tesebut. 3.2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk Cs tersebut harus ditolak; 3.3. Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 37 Tahun 129 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubaha n kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangundangan lain yang bersangkutan. 4. Putusan 4.1. Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi: I. PT. Interkon Kebon Jeruk, Ii. 1. Octavia Widyastuti Alim, 2. Elisabeth Prayogo, 3. Swanda Salim, 4. Yohanes Hartanto, 5. Eddy Hartono, 6. Drs. Abdul Salam, 7. Cornelia Tiosudarmin, 8. Trio Jono, 9. Ratna E Jl Tobing, 10. Hedy Yani, 11. Lina Gozali, 12. Liliani Wihardjo, 13. Meyliana Susanti Hirawan, 14. Herawati Santoso, 15. Sherwin A. Surja Atmadja, 16. Drg. Lizza Christina, 17. Waluyo Hadi P, 18. Sajuri Kartika Isanto, 19. Megahartawan Santoso, 20. Lingga Iswara, 21. Bong Mei Tjen, 22. The Sui An, 23. Savina Gozali, Iii. 1. Eddy Yowono, 2. Yanti Husada, 3. Liliany Wihardjo, 4. Indriyani Dan Iv. Rainford Investment Inc. 4.2. Menghukum para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit, para Pemohon Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). 130 B. PEMBAHASAN 1. Penerapan Hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata Khusus Kepailitan Pengadilan Niaga sebagai extra ordinary court, oleh Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan hal- hal khusus yang merupakan lex specaialis. Antara lain mengenai upaya hukum. Sebagai speedy trial, terhadap putusan pailit, orang yang tidak puas dapat mengajukan upaya hukum. 42 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004: “Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah Agung.” Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004: “Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit”. Dasar hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi: “Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkunga n 42 Syamsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2012, Tata Nusa, Jakarta, hal.115. 131 peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain”. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang- undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat 1 tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Permohonan Kasasi yaitu: a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti incasu pengadilan niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya tentang Judex factie tidak berwenang/bukan merupakan kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti melampaui batas wewenang adalah bahwa Judex Facti telah mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam Undang-undang. Kemudian, melampaui batas wewenang ini dapat juga di artikan bahwa judex facti dalam putusannya telah mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya. b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat 132 dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh Undang-undang. c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang- undangan yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities), sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau ( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak. 43 Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa pertimbangan yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam menolak permohonan Kasasi yaitu: 43 Loc.Cit. 133 1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan kasasi tidak memenuhi kriteria; 2) Keberatan Kasasi yang diajukan tidak tunduk pada Pemeriksaan Kasasi; 3) Penolakan Kasasi dengan Perbaikan Putusan Judex Facti. 44 Syarat Formil yaitu dalam perkara ini Permohonan para Kasasi Pemohon Kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan yang dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pengadilan niaga bahwa sesudah putusan terakhir ini dijatuhkan dengan hadirnya termohon pailit dan para pemohon intervensi pada tanggal 28 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh termohon pailit dan para pemohon intervensi dengan perantara kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2010 dan tanggal 30 Juli 2010, diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5 Agustus sebagaimana ternyata dari akte permohonan 44 kasasi Nomor 54/Kas/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst yang dibuat 03/Pembatalan oleh Panitera Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemerisaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, 2007, Sinar Grafika, Jakarta, hal.393-396. 134 Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana disertai dengan Memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5 Agustus 2010; Bahwa setelah itu oleh Pemohon Pailit yang pada tanggal 9 Agustus 2010 telah diberitahukan tentang Memori Kasasi dari para Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi diajukan jawaban Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Agustus 2010; Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004: “Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit”. Pasal 46 ayat (1) Undang- undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 “ Permohonan Kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.” Menimbang, bahwa permohonan Kasasi a quo beserta alasanalasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan 135 dalam Undang- undang maka oleh karena itu permohonan Kasasi tersebut Formil dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan sebua h fakta dalam perkara ini mengenai keberatan yang diajukan para pemohon Kasasi mengajukan alasan Kasasi sebagai berikut: a) Majelis Hukum Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar yang berlaku dia ntaranya: judex facti melakukan pelanggaran berat hukum acara mengenai Intervensi, tidak mempertimbangkan Eksepsi Pemohon Kasasi, tentang Pembuktian (Foto copy dan Pembuktian sederhana), judex facti mengabulkan tuntutan wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak, judex facti tidak menerapkan asas memuat dasar alasan yang lebih rinci, melanggar ketentuan Formalitas Salinan Putusan, salah melakukan penafsiran hukum terhadap judex facti Perjanjian Perdamaian yang telah dihomologasi; b) Para pemohon Kasasi sangat keberatan terhadap Putusan Pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak dengan tegas-tegas Putusan judex facti tersebut karena Putusan terhadap Pailit terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat; 136 c) Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kurator; d) Judex Facti melanggar asas-asas dalam Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004; e) Judex Facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perUndang- undangan yaitu didalam amar Putusan tidak mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau tidaknya Permohonan Intervensi; f) Judex Facti telah melampaui batas wewenang. Bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para pemohon kasasi jelas terlihat memenuhi syarat formil dan syarat materiil dikabulkannya permohonan kasasi. Syarat materiilnya dapat dilihat dalam pertimbangan-pertimbangan alasan mengajukan permohonan kasasi sudah memenuhi kriteria sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung. Berdasarkan alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi, Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu: Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti/pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, sebab perkara ini adalah mengenai tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena 137 debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara seperti itu debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia penuhi in casu debitur wajib membuktikan bahwa debitor/ termohon Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada penambahan biaya perpanjangan SHGB (Sertipikat Hak Guna Bangunan), jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian (P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan biaya tersebut yang melanggar isi perjanjian perdamaian dimana Debitor in casu Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian tesebut. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk Cs tersebut harus ditolak; Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi 138 ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 (1) Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaianyang telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut. (2) Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi. (3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitur untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan. Bahwa perjanjian perdamaian antara Pemoho n Pailit dan Termohon Pailit yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor 027/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST jo No. 21 K/N/2006 jo No. 019 PK/N/2006tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2); Bahwa isi Perjanjian Perdamaian tersebut di atas yang telah dilanggar oleh Termohon Pailit sebagai berikut: “ Pasal 1.2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: Para pihak setuju bahwa perdamaian sebagaimana dimaksud dalam PasaI 1.1. akan 139 dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang tercantum dalam Proposal Perdamaian tertanggal 1 April 2009, beserta Lampiran I Proposal Perdamaian dan Surat dari PT. Interkon Kebon Jeruk (dalam Pailit) tertanggal 1 April 2009. Seluruh dokumen tersebut terlampir dalam Lampiran 2 Perjanjian ini”. Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peralihan Hak antara lain: (1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN); PasaI 2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: (1) Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan dan keamanan; (2) Pembangunan infrastruktur akan dimulai setelah perjanjian ini ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat. 140 Bahwa dalam pelaksanaan isi perdamaian tersebut ternyata debitor lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam proposal perdamaian, sebagai berikut: (1) Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peraliha n Hak antara lain: 1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan tarif BPHTB sebesar 5%, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak Termohon Pailit dikenakan tarif BPHTB lebih dari apa yang ditentukan oleh undangundang; Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian Perdamaian oleh Termohon Pailit dengan salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Adapun dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 (terlampir, Bukti P3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas Kavling Blok L. No.8 dengan harga seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu 141 rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir, Bukti P-5) dikenakan Biaya BPHTB sebesar Rp. 90.487.500,- (sembilan puluh juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Iebih dari 150% dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan biaya BPHTB tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam undang-undang; 2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan Undang- undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku menetapkan bahwa PPh tidak dikenakan kepada Pemohon Pailit selaku Pembeli tetapi terhadap Termohon Pailit selaku Penjual yang menerima penghasilan, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak Pemohon Pailit yang harus menanggung PPh tersebut tanpa perincian perhitungan yang sesuai dengan undang- undang tentang PPh; Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian 142 Perdamaian oleh Termohon dengan salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 terlampir, Bukti P-3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas Kavling Blok L.1 No. 8 dengan harga seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir Bukti P-5) dikenakan Biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- (sembilan puluh tiga juta empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) (Iebih dari 150 % dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan Biaya PPh tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam undang-undang; 3) Biaya Pengukuran/Pemecahan penetapan Badan Pertanahan Sertifikat sesuai dengan Nasional (BPN); Dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak 143 Pemohon Pailit harus menanggung biaya-biaya yang tidak tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tersebut. Selain itu biaya-biaya yang dikenakan tersebut tanpa perincian perhitungan apakah sesuai dengan penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau penetapan oleh Termohon Pailit sendiri; Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian butir/poin (3) hanya tercantum biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai penetapan BPN. Namun, dalam perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir, Bukti P-5) dikenakan selain biaya pengukuran/ pemecahan sertifikat, juga biaya jasa, yang meliputi biaya balik nama dan jasa, biaya perpanjangan SHGB dan jasa, biaya keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa. Adapun dalam pengurusan kavling tersebut di atas ternyata dikenakan: 1. Biaya Balik Nama dan Jasa sebesar Rp. 27.000.000,- (dua puluh tujuh juta rupiah); 2. Biaya Perpanjangan SHGB dan Jasa sebesar Rp. 56.250.000,- (lima puluh enam juta dua ratus limapuluh ribu rupiah); 3. Biaya Denda Keterlambatan Perpanjangan SHGB dan jasa sebesar Rp. 40.500.000,- (empat puluh juta lima ratus ribu rupiah); 144 Hal mana pengenaan biaya-biaya tersebut di luar apa yang secara tegas sudah dinyatakan dalam Lampiran I Proposal Perdamaian yaitu: hanya biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai penetapan BPN, tanpa tambahan biaya apapun; Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran dari Perjanjian Perdamaian yang dilakukan dengan sengaja dan itikadburuk dari Termohon Pailit; 4) Menurut ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdamaian disebutkan Termohon Pailit selaku Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan dan keamanan iniditandatangani yang dan akan dimulai dihomologasi setelah perjanjian oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat; Kenyataannya setelah perjanjian perdamaian ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat, Termohon Pailit tidak memulai pembangunan infrastruktur yang dijanjikan tersebut. Hal mana dapat dibuktikan jalan-jalan berbatu tidak diaspal, sungai/kali yang terdapat dalam perumahan Interkon Kebon Jeruk sudah dalam keadaan kritis 145 akan ambruk tidak dikerjakan oleh Termohon Pailit, meskipun sudah diberitahukan secara lisan dan tertulis kepada Termohon. Hal mana dengan terpaksa para Pemohon Pailit bersama warga yang lain harus mencari upaya sendiri memperbaikinya dan menanggulangi biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan infrastruktur tersebut secara gotong royong bersama-sama (terlampir, Buktl P-6); 5) Bahwa kelalaian atas pelaksanaan isi perjanjian perdamaian oleh Termohon Pailit bukan merupakan keterlambatan pelaksanaan, melainkan bersifat pelanggaran hukum/undangundang yang sengaja dibuat Termohon Pailit dengan menggelembungkan biaya-biaya yang seharusnya tidak ditanggung pemohon pailit; Hal mana jelas-jelas terbukti sangat merugikan para pihak yang terkait dalam perjanjian perdamaian khususnya para pembeli kavling perumahan Interkon Kebon Jeruk oleh karenanya tidak dapat ditolerir lagi, sehingga Termohon Pailit layak dan patut dipailitkan karena telah melanggar perjanjian perdamaian; 6) Bahwa para Pemohon Pailit selaku pihak terkait, dalam perjanjian perdamaian merupakan pihak yang harus dilindungi oleh hukum karena Termohon Pailit telah melanggar perjanjian perdamaian sehingga Para Pemohon Pailit berhak memohon 146 agar Termohon Pailit dipailitkan sehingga kepentingan Para Pemohon Pailit dapat dilaksanakan oleh Pengadilan dengan seadil-adilnya; Para Pemohon Pailit sangat berkeberatan dengan pengenaan biaya-biaya yang ditetapkan di luar isi perjanjian perdamaian dengan sengaja dan itikad buruk dari Termohon Pailit, sehingga Para Pemohon Pailit merasa diperas, ditindas oleh Termohon Pailit dengan biaya-biaya yang sangat besar, digelembungkan, dimanipulasi, di luar ketentuan undangundang, yang dikenakan kepada para Pemohon Pailit untuk mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali berdasarkan Perikatan untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit (dahulu PT. Intercon Enterprises). (Bukti P7). Perkara ini hakim Mahkamah Agung menilai bahwa Debitur lalai memenuhi isi perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) dan akibatnya Debitur dinyatakan Pailit. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam menolak permohonan Kasasi tidak dapat dibenarkan. Menurut Pasal 170 (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007: 147 “Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut”. Berdasarkan faktanya yang mengajukan permohonan pembatalan perdamaian adalah Horas Panjaitan , S.H (Kuasa Hukum Pemohon Pailit). Akan tetapi Horas Panjaitan, S.H sama sekali tidak memiliki wewenang mengajukan permohonan pembatalan tersebut hal ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 027/Pailit/2006/PN. Naga/Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 jo Nomor 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009. Bahwa dalam Surat Kuasanya tidak disebutkan secara tegas dan spesifik mengenai permohonan pembatalan. Bahwa benar Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan “Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perjanjian tersebut”. Bahwa ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tetaplah harus berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun ataspermohonan satu atau lebih Kreditor”; Menurut Sutan Remy Sjahdeini, SH. dalam bukunya Hukum Kepailitan, menyatakan sebagai berikut: “Sangatlah penting diketahui 148 mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan Kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka Permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga; Bahwa syarat tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu: “ Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”. Bahwa syarat tersebut sifatnya limitative dan harus dipenuhi seluruhnya. Berdasarkan faktanya: 1) Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditor; Sekilas syarat ini terpenuhi oleh karena Tommy Bungaran, Cs merupakan Kreditor dalam Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST. jo. No. 21 K/N/2006, jo No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 (Kecuali Heny Anwari), namun demikian Pemohon Pailit tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan Permohonan Pailit sebagaimana telah diuraikan dalam Eksepsi Pemohon Intervensi; 149 2) Syarat harus adanya hutang; Bahwa Pemohon Pailit mengajukan Permohonan Pailit mendasarkan pada kelalaian Termohon Pailit terhadap Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/Pailit/2006/PN.Niaga jo No. 21 K/N/2006, jo. No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 dengan alasan pada pokoknya: 1. Termohon Pailit telah membebani BPHTB, PPh, dan Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat kepada Suwarno Dicky Yusuf yang menurut Pemohon Pailit melanggar lampiran Perjanjian Perdamaian. (Kesemuanya dituduh melanggar peraturan yang berlaku); 2. Termohon Pailit tidak membangun infrastruktur; Bahwa alasan-alasan tersebut di atas bukanlah termasuk dalam kategori hutang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Sama sekali tidak ada hubungan hutang pihutang antara Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit; Syarat harus adanya hutang sarna sekali tidak terpenuhi dalam alasan Permohonan Pailit yang diajukan Pemohon Pailit. Bahwa oleh karena syarat harus adanya hutang tidak terbukti maka "Syarat hutang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih" dan "Syarat cukup satu hutang saja telah jatuh waktu dan dapat ditagih" otomatis tidak perlu dibuktikan atau pasti tidak terpenuhi; 150 Bahwa dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat Permohonan Pailit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, cukup alasan untuk menolak. permohonan pailit dari Pemohon Pailit atau setidaknya menyatakan tldak dapat diterima. 2. Akibat hukumnya, terhadap kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata Khusus Kepailitan. Akibat kepailitan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukan ke dalam harta pailit. Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht ). Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit. 45 45 Sutan Remy Sjahdeny, Loc.Cit. 151 Debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita. 46 Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1) menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit, dengan demikian, kurator kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih lanjut dalam Pasal 21 UndangUndang Kepailitan menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama kepailitan. Apabila Kepailitan dibuka kembali, maka berlaku Pasal 17 ayat (1), Pasal19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan pasal-pasal yang termaktub dalam bagian kedua, bagian ketiga dan bagian keempat BAB II Undang-Undang ini. Demikian pula berlaku ketentuan mengenai pencocokan piutang terbatas pada piutang yang belum dicocokan. Wlaupun demikian Kreditur yang piutangnya telah dicocokan wajib dipanggil juga untuk menghadiri rapat pencocokan piutang dan berhak untuk membantah piutang yang dimintakan penerimaannya (Pasal 173 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). 46 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44. 152 Pasal 174 menentukan bahwa: “Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, apabila ada alasan untuk itu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Debitur di dalam waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali Kepailitan adalah mengikat bagi harta pailit”. Setelah Kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat lagi ditawarkan perdamaian. Kurator wajib seketika memualai dengan pemberesan harta pailit (Pasal 175 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Bila kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi anatara para Kreditur dengan cara: a. Jika Kreditur lama maupun Kreditur baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit di bagi antara mereka secara prorata; b. Jika setelah terjadi pembayaran sebagian piutang kepada Kreditur lama, maka Kreditur lama dan Kreditur baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian; c. Kreditur lama dan Kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara prorata atas sisa harta pailit setelah setelah dikurangi pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b samapai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui. Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya (Pasal 176 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Yang dimaksud dengan “prorata” adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing- masing, 153 sedangkan yang dimaksud “sebagian” adalah bagian berapapun (Penjelasan Pasal 176 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berlaku mutatis mutandis dalam hal Debitur sekali lagi dinyatakan Pailit.47 Perkara perdata mengenai kepailitan yang dimohonkan kasasi oleh para pemohon dalam faktanya ditolak dengan mempertimbangkan bahwa alasan-alasan para Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti / Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang. Terkait dalam perkara ini Hakim Mahkmah Agung dalam pertimbangan hukumnya menolak permohonan kasasi para pemohon kasasi sehingga dalam perkara ini Putusan judex facti/ Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akibat Hukum dari ditolaknya Permohonan Kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk Cs mengakibatkan bahwa PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit. Akibat keputusan pailit tersebut seluruh harta kekayaan PT.Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada Kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) UndangUndang Nomor 34 Tahun 2007 dan dibawah pengawasan hakim pengawas. Hakim pengawas memiliki peranan yang sangat penting, peranan itu mulai berlaku setelah di ucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim pengawas 47 Ibid, hal.171 154 mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. 155 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN 1. Penerapan hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak Permohonan Kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 perkara perdata khusus Kepailitan tidak tepat karena Debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagiamana termaktub dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 2. Akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan perkara perdata khusus Kepailitan dengan Nomor Regis ter Perkara 771 K/Pdt.Sus/2010, maka permohonan Kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi yaitu PT. Interkon Kebon Jeruk Cs mengakibatkan PT.Interkon Kebon Jeruk Pailit dan seluruh harta kekayaan PT.Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah pengawasan hakim pengawas. B. SARAN 1. Mahkamah Agung merupakan Puncak Peradilan tertinggi hendaknya lebih cermat dan teliti dalam memutuskan suatu perkara. 2. Hakim Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan alasan-alasan Permohonan Kasasi hendaknya lebih teliti terkait dalam menelaaah suatu perkara ya ng masuk. 156 DAFTAR PUSTAKA LITERATUR Anisah, Siti, Perlindungan kepentingan kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008. Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Halim, Ridwan, Hukum Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996. Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Surabaya, 2005. Jono, Hukum Kepailitan. Sinar Grafika, Jakarta. 2008. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010. Mertokusumo, Sudik no, Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia.PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. 157 Nating, Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Pangabean P, Henry, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari-hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Prinst, Darwan, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Rony Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Saleh, Wantjik K, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997. Sinaga M, Syamsudin, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Kakarta, 2012. Sjahdeini, Remy, Sutan, Hukum Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2002. Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, 1985. Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1985. Soekarso Hendri, Sitomurang Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Shubhan, Hadi, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan), Kencana Media Group, Surabaya, 2007. Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), PT. Sofmedia, Jakarta, 2010. Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum. UII Press, Yogyakarta, 2007. Usman, Rachmadi, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2004 158 Widjaja Gunawan, Yani Ahmad, Kepailitan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Mr.Tresna, R, Komentar HIR. Pradnya Paramita, Jakarta.1972 Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ..................., Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ...................., Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman WEBSITE http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=771+K%2FPdt.Sus%2F 2010 diakses pada tanggal 1 september 2012 http://gilang-kurnia.blogspot.com/2010/12/upaya-hukum-terhadap-sengketa.html diakses pada tanggal 17 September 2012 http://click- gtg.blogspot.com/2011/04/berakhirnya-kepailitan.html diakses pada tanggal 10 September 2012 http://www.djkn.depkeu.go.id/content/article/lainnya/upaya- hukum-2.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2012. 159