BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Strategi Kreatif dalam Iklan 2.1.1 • Daya Tarik dalam Iklan Pendekatan yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen dan/atau untuk mempengaruhi perasaan mereka terhadap produk, jasa atau ide. • Daya tarik periklanan dapat juga disebut sesuatu yang menggerakkan seseorang menyatakan apa yangmereka perlu atau ingikan, dan meningkatkan ketertarikan mereka. 2.1.2 Proses Kreatif dalam Iklan Proses di mana para praktisi kreatif mengkonsep sebuah iklan mulai dari mempelajari produk atau jasa yang akan diiklankan. Di dalam proses ini seorang kreatif mulai memunculkan ide–ide yang nantinya akan dipakai pada sebuah iklan. Adapun Jenis kreatif iklan dibagi menjadi : • Berdasarkan fungsi nya yaitu USP ( Unique Selling Preposition ) yaitu menyatakan keunggulan produknya berdasarkan atribut produk yang unik, yang memberikan suatu manfaat yang nyata bagi konsumen. Contoh : Iklan PONDS gold radiance menceritakan bahwa produknya memiliki semua manfaat anti aging dan khasiat dari partikel emas 9 • Berorientasi pada symbol atau pengalaman : 1. Brand Image yaitu mengembangkan citra atau identitas bagi suatu merek dengan mengasosiasikan produk tersebut dengan simbol-simbol tertentu. 2. Emotion yaitu Upaya meraih emosi audience dengan berbagai daya tarik daya tarik roman, nostalgia, gairah, kesenangan, kegembiraan, rasa takut, rasa bersalah, rasa muak, dan penyesalan . 3. Resonance yaitu : Iklan meresonansikan (pola-pola) pengalaman hidup khalayak. Iklan gema (resonansi) tidak berfokus pada pernyataan produk atau citra merek tetapi lebih pada mencari-cari keadaan atau situasi saat ini hingga menemukan lawan berimbang dalam pengalaman riil atau imaginasi khalayak sasaran. Contoh : Iklan obat jerawat 2.2 Teori Sosial Kognitif 2.2.1 Historical Influences Meskipun Bandura6 mengembangkan dan memperluas teori social kognitif, teori sebelumnya mengakui pentingnya lingkungan sosial pada motivasi atau serupa dengan yang ditekankan oleh Bandura. Berikut adalah teori imitasi dan teori belajar sosial menurut Rotter. _______________ 6 Bandura,A.1962. Social learning through imitation. dalam M.R Jones (Ed),Nebraska symposium on motivation.Vol 10. Lincoln : University of Nebraska Press. 10 2.2.2 Theories Of Imitation Dari zaman Yunani kuno, imitasi telah dianggap sebagai pengaruh penting terhadap perilaku (Rosenthal & Zimmerman, 1978) 7 . Menurut bahasa Yunani, mimesis (meniru) mengacu pada pembelajaran melalui mengamati tindakan orang lain dan model abstrak dengan mencontohkan gaya bahasa dan moral. Teori imitasi dibagi menjadi tiga yaitu, Instinct, Developmental Phenomenon, Generalized Response Class, atau Instrumental Behavior. Instinct Pada awal abad kedua puluh, ide yang populer adalah bahwa orang memiliki naluri alami untuk meniru tindakan orang lain (Tarde, 1903). James (1890) percaya bahwa imitasi adalah naluri. James percaya bahwa naluri meniru itu meliputi gerak-gerik, bahasa, keterampilan motorik, dan perilaku terbuka. Dia merasa bahwa imitasi adalah pengaruh sosialisasi yang kuat tapi dia memberikan penjelasan yang samar tentang mengapa orang meniru. _______________ 7 Bandura,A.1962. Social learning through imitation. dalam M.R Jones (Ed),Nebraska symposium on motivation.Vol 10. Lincoln : University of Nebraska Press. 11 Developmental Phenomenon Psikolog perkembangan Jean Piaget (1962) menyimpulkan dimana perkembangan manusia dipengaruhi oleh perkembangan dan pertumbuhan schema, yaitu struktur kognitif yang mempengaruhi pemikiran dan tindakannya. Schema ini mempengaruhi cara seseorang bereaksi terhadap suatu hal, merefleksikan total pengetahuan seseorang dan terus berkembang seiring bertambahnya pengalaman dan pengetahuan manusia tersebut. Generalized Response Class Humphrey (1921) percaya bahwa imitasi adalah lingkaran reaksi di mana setiap respon muncul sebagai stimulus untuk respon berikutnya. Maka akan terbentuk rangkaian respons yang semakin lebih kompleks. Skinner (1953) melihat imitasi merupakan generalized response class. Sebuah tindakan dimodelkan sebagai suatu stimulus. Imitasi terjadi ketika seorang pengamat menanggapi (meniru) dan diperkuat. Anak-anak akan meniru perilaku model (misalnya, orang tua, rekan-rekan). Instrumental Behavior Miller dan Dollard (1941) mendefinisikan imitasi sebagai, ketika dua orang melakukan hal yang sama dan dihubungkan karena persamaan tersebut, bukan karena seseorang dibantu untuk meniru orang lain. Match Dependent Behavior akan terjadi jika sesorang yang ditiru adalah orang yang lebih mahir daripada orang yang menirunya. Cthnya adalah seorang guru yang ditirukan oleh muridnya. Miller dan Dollard konsep 12 tentang imitasi seperti yang dipelajari perilaku instrumental merupakan kemajuan penting dalam studi imitasi, tapi pandangan ini mempunyai masalah. tanggapan yang baru tidak dapat diciptakan melalui imitasi; imitasi merupakan perilaku kinerja yang dipelajari. Social Learning Theory Rotter (1954) merumuskan teori bahwa teori pembelajaran berhubungan dengan kepribadian. Titik kuncinya adalah bahwa, "modus utama atau dasar berperilaku dipelajari dalam situasi sosial dan erat dengan kebutuhan akan kepuasan mereka dengan mediasi orang lain". Teori ini terdiri dari empat variabel dasar: Behavior Potential, Expectancy, Reinforcement Value, dan Psychological Situation. 2.2.3 Theoretical Framework Reciprocal Interactions Bandura (1986) mendefinisikan triadic reciprocality sbb: “Dalam sudut pandang kognitif, seseorang tidak digerakkan oleh kekuatan dari dalam atau dibentuk oleh kekuatan dari luar, tapi dibentuk oleh tiga faktor timbal balik yaitu tingkah laku, kognitif seseorang, dan lingkungan. Learning and Motivation Seseorang hanya akan bisa belajar dari hal-hal yang telah ia pernah lakukan dan pelajari sebelumnya. Seseorang hanya dapat dikatakan belajar apabila ia telah merealisasikan teori yang ia tahu ke dalam aksi nyata. Motivasi adalah kunci untuk menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. 13 Enactive and Vicarious Learning Enactive Learning adalah belajar dari pengalaman, dibutuhkan tindakan nyata untuk melakukan sesuatu dan menanggung segala konsekuensinya. Cara untuk sukses dipelajari dan diingat, sedangkan cara yang mengarah pada kegagalan dibuang. Vicarious Learning adalah belajar dengan cara seolah-olah mengalaminya sendiri, dimana murid mencoba untuk mempraktekkan apa yang diajarkan oleh gurunya pada saat yang diajarkan untuk meminimalisasikan hal-hal negative terjadi jika ia hanya menyimpan info dan tidak mempraktekkannya. Cth: latihan fingering pada alat musik gitar atau piano. 2.2.4 Modeling Process Functions of Modeling Modeling mengacu pada perubahan perilaku, kognitif, dan afektif yang dihasilkan dari mengamati satu atau lebih model (Bandura, 1969, 1989; Rosenthal & Bandura, 1978; Schunk, 1987). Pemodelan meyajikan fungsi yang berbeda, yaitu: Inhibition / Disinhibition, , Response facilitation, dan Observational learning. 14 Characteristics of Effective Models Competence Seseorang yang menjadi model, haruslah seseorang yang kompeten di bidangnya. Seseorang yang lebih mampu akan diminta untuk menjadi model untuk menerangkan suatu hal. Kesamaan Persepsi Menempatkan seseorang yang lebih baik sebagai contoh untuk ditiru. Belajar dari kesalahan yang sudah pernah dilakukan. Belajar dengan cara membandingkan pekerjaan yang sekarang dengan pekerjaan yang sebelumnya. Belajar dengan cara membandingkan pekerjaan dengan orang lain. Kredibilitas Mencontohkan hal yang baik dan memberikan penjelasan mengapa seseorang melakukan suatu hal. Antusiasme Membangun iklim yang postif dan bersemangat dalam tim untuk menaruh suatu motivasi yang besar sehingga semua anggota mengerjakan suatu hal dengan rasa antusias. 15 Functions of Modeled Consequences Model akan memberikan kita suatu gambaran tentang suatu konsekuensi dari setiap pekerjaan yang kita kerjakan, sehingga membuat kita tahu, mana pekerjaan yang akan mendatangkan hadiah/imbalan, dan mana pekerjaan yang akan mendatangakan hukuman. Hal ini hanya bisa dipelajari dalam pengajaran yang timbal balik dalam suatu dialog antara guru dengan murid. Dimana guru bertugas untuk menerangkan, menjawab pertanyaan, membuat kesimpulan, dan memperkirakan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan pokok bahasan. Guru berusaha mendorong murid untuk berani mengungkapkan pendapatnya dan tidak takut akan kesalahan yang lazim dibuat, karena terkadang banyak siswa yang tidak berani mengeluarkan pendapatnya karena takut salah. Singkatnya seorang guru harus menjadi fasilitator untuk perkembangan sang murid, agar sang murid memiliki inisiatif dan tidak perlu selalu dibimbing dalam melakukan sesuatu. Reciprocal Teaching Sebagai contoh dari sebuah prosedur pelajaran yang mempekerjakan secara extensif kegunaan model guru dan teman sebaya disebut reciprocal teaching, terjadi pembelajaran dialog antara guru-siswa dan siswa-siswa (Palincsar, 1986; Palincsar & Brown, 1984; Rosenshine & Meister, 1994). 16 2.2.5 Proses Kognitif Sosial Teori sosial kognitif pandangan self-regulation terdiri dari tiga proses: self- monitoring, self-assessment, dan self-reaksi (Bandura, 1986; Kanfer & Gaelick, 1986; Schunk, 1994; Schunk & Zimmerman, 2003; Zimmerman, 1990). Self-observasi mengacu pada sengaja memperhatikan aspek perilaku seseorang (Mace, Belfiore, & Hutchinson, 2001). Self-observasi sangat penting untuk menentukan penyelesaian pada suatu kegiatan. Self-observasi dapatmembuat motivasi meningkat karena ketika orang menyadari apa yang mereka lakukan. Cyclical Nature of Self-Regulation Teori sosial kognitif menekankan interaksi pribadi, perilaku, dan faktor lingkungan (Bandura, 1986,1997 Schunk & Zimmerman, 2003; Zimmerman, 2000 Zimmerman & Schuk, 2004). Self-regulasi biasanya berubah selama belajar dan harus dipantau. pemantauan tersebut menyebabkan perubahan dalam strategi individu, kognisi, perasaan, dan perilaku. Tahap kontrol Kinerja (kehendak) melibatkan prosesproses yang terjadi selama belajar dan mempengaruhi perhatian dan tindakan. Self-regulasi yang efektif memerlukan motivasi dan tujuan yang harus dicapai (Bandura, 1986; Kanfer & Kanfer, 1991; Zimmerman, 1989,200) Siswa harus mengatur bukan hanya tindakan mereka tetapi juga kognisi mereka yang berhubungan dengan prestasi, perilaku, niat, dan perasaan. 17 Social and Self Origins of Compatence Schunk dan Zimmerman (1996,1997). Pada tahap awal, pelajar memperoleh strategi belajar paling cepat dari mengajar, pemodelan, struktur tugas, dan dorongan (Zimmerman & Rosenthal, 1974). Pada tingkat pengamatan, banyak peserta didik mendapatkan hal-hal pentingdari strategi belajar dari mengamati model, kebanyakan dari mereka perlu berlatih untuk menggabungkan keterampilan. Sumber belajar dan pengaruh diri pada tingkat kedua (Zimmerman & Schunk, 2004). Tingkat, ketiga mengendalikan diri, ditandai oleh kemampuan pelajar untuk menggunakan strategi independen. Peserta didik memulai penggunaan strategi dan menyesuaikannya dengan kondisi tanpa bantuan dari model 2.2.6 Social Motivation Tiga topik relevan pada motivasi sosial; Group Motivation, Collective Efficacy, serta Conformity and Compliance. Group Motivation Hal-hal yang harus diperhatikan ketika sedang membangun motivasi untuk suatu kelompok adalah rancanglah tugas yang dapat diselesaikan jika kelompok mengerjakannya dengan cermat dan tekun. Pastikan bahwa semua orang di dalam kelompok terlibat dan memiliki tanggung jawab sendiri-sendiri yang harus mereka kerjakan tanpa mengurangi keutuhan kelompok. Pastikan bahwa kelompok ini memiliki tujuan akhir dan sedang menuju ke arah yang dituju tsb. 18 Perhatikan kemajuan dan sediakan umpan balik bagi kelompok untuk mendorong mereka mencapai tujuan akhir mereka. Collective Efficacy Collective efficacy, mengacu pada self-efficacy dalam grup, kelompok, atau badan sosial yang lebih besar (Bandura, 1997), meliputi kemampuan persepsi para anggota individu dan persepsi anggota kelompok terhadap efektivitas hubungan antara tugas-tugas, keterampilan, dan peran. Conformity and Compliance Kesesuaian Kesesuaian sangat penting di sekolah seperti yang diajarkan pada siswa untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan dan norma-norma sosial (Wentzel, 1996). Asch membentuk kelompok tujuh sampai sembilan orang dewasa, salah satunya adalah peserta yangtidak tahu apa-apa (yang lainnya bekerjasama dengan peneliti). Mereke diberikan eksperimen visual dan membandingkan panjang baris. Kepatuhan Orang-orang memiliki motivasi sosial yang kuat untuk mematuhi figur otoritas. Beberapa ketaatan kepada otoritas diperlukan karena tanpa itu masyarakat tidak dapat berfungsi secara efektif. Siswa harus berperilaku baik, menyelesaikan tugas mereka, dan mematuhi peraturan dan prosedur. Dari perspektif sosial kognitif, pengaruh penting lainnya adalahharapan siswa mengenai hasil dari tindakan mereka. 19 pada kepatuhan 2.3 Komunikasi Sebagai Realitas Sosial 2.3.1 Komunikasi dan Kontruksi Sosial atas Realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckman8 pertama kali memperkenalkan istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann pertama kali memperkenalkan istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Tesis utama dari Berger adalah manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Masyarakat tidak lain adalah produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap penghasilnya. Sebaliknya, manusia adalah hasil atau produk dari masyarakat. Seseorang baru menjadi seorang pribadi yang beridentitas sejauh ia tetap tinggal di dalam masyarakatnya. Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan, Berger menyebutnya sebagai momen. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupu fisik. _____________________ 8 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES 20 Adalah sudah sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam suatu dunia. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisasi yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas sui generis. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya, atau kebudayaan non-materil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia. Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami setiap orang. 21 Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Realitas itu bukanlah sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan, tidak juga sesuatu yang dibentuk secara ilmah. Tapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Oleh karena itu, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa memiliki konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. Paradigma konstruktivis melihat bagaimana suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Nah, dalam hal ini pula komunikasi dilihat sebagai faktor konstruksi itu sendiri. 22 Ketika manusia coba memahami tentang realitas sosial tadi melalui fase eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi maka pada hakikatnya manusia dalam proses komunikasi. Komunikasi di sini tidak dilihat dari perspektif paradigma transimisi. Komunikasi dilihat lebih kepada bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya manusia tersebut sebagai realitas sosial tadi. Komunikasi yang terjadi dalam tataran komunikasi simbolik. Masih ingat pembahasan teori interaksionisme simbolik? Teori tersebut berada pada ranah paradigma konstruktivisme ini. Bahasa, sebagai alat komunikasi manusia pada hakikatnya tercipta berkat proses konstruksi sosial tadi. Manusia menciptakan bahasa dan bahasa pula yang menciptakan manusia. Keduanya melakukan proses yang dialektis. Dan begitu pula seterusnya. 2.3.2. Realitas Sosial Segala sesuatu pasti akan menghampiri masa transisi ( perubahan ), sedangkan yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri”. itulah peribahasa klasik yang tetap relevan hingga masa dewasa saat ini. Tak terkecuali dengan disiplin sosiologi yang tetap meneruskan keeksistensiannya dalam pelbagai perubahan. Dan semua perubahan yang dialami oleh ilmu sosiologi itu sendiri, didasari oleh tuntutan zaman yang semakin menunjukan taringnya dalam menentukan integritas sebuah literatur sosial. Kecerdasan ideologi manusia 23 modern saat ini pun yang menjadi motivasi primer dalam pengembangan kekompleksitasan institusi sosial. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. Realitas sosial berbeda dari individu biologis kognitif realitas atau kenyataan, dan terdiri dari prinsip-prinsip sosial yang diterima dari suatu komunitas. Sebagian ulama seperti John Searle percaya bahwa realitas sosial dapat dibentuk secara terpisah dari setiap individu atau ekologi sekitarnya (bertentangan dengan pandangan psikologi persepsi termasuk JJ Gibson, dan orang-orang yang paling ekologis teori ekonomi) . Yang paling terkenal prinsip realitas sosial adalah “kebohongan besar”, yang menyatakan bahwa kebohongan yang luar biasa lebih mudah untuk meyakinkan orang-orang yang kurang heboh daripada kebenaran. Banyak contoh dari politik dan teologi, e.g. klaim bahwa Kaisar Romawi ternyata adalah seorang “dewa”, menunjukkan bahwa prinsip ini dikenal dengan efektif propagandis dari awal kali, dan terus diterapkan hingga hari ini, misalnya model propaganda Noam Chomsky dan Edward S. Herman, yang mendukung ‘kebohongan besar’ tesis dengan lebih spesifik. Masalah realitas sosial telah 24 diperlakukan secara mendalam oleh para filsuf dalam tradisi fenomenologis, terutama Alfred Schütz, yang menggunakan istilah dunia sosial untuk menunjuk ini tingkat realitas yang berbeda. Sebelumnya, subjek telah dibahas dalam sosiologi serta disiplin ilmu lainnya. Herbert Spencer, misalnya, istilah superorganik untuk membedakan tingkat sosial realitas di atas biologis dan psikologis Saat ini, berdasarkan realitas yang ada, sudah jelas bahwa kita berada pada gelombang ketiga, dimana kita hidup di zaman yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang memicu terjadinya ledakan informasi. Ledakan informasi yang terjadi membawa berubahan besar dalam kehidupan umat manusia. Kita telah mengalami masa peralih dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi.Contoh realitas sosial adalah konflik, kematian, proses hukum, kriminalitas, olah raga, seni budaya, krisis ekonomi dan lain-lain. Sedangkan realitas personal contohnya adalah mimpi dan hal-hal privacy lainnya yang tidak diperkenankan menjadi bahan dasar penulisan berita. Itu berarti jurnalisme tidak mungkin menjadikan realitas personal sebagai bahan penulisan berita karena hakikat jurnalisme adalah sosial untuk kepentingan publik. Seorang sosiolog harus bisa menyingkap berbagai tabir dan mengungkap tiap helai tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga. Syaratnya, sosiolog tersebut harus mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara 25 ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif. Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian kepada realitas sosial pada tingkatan mikrosubyektif dan sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai “Behavior”. Paradigma ilmu sosial pada dasarnya mengakar kuat pada disiplin ilmu lainnya : disiplin komunikasi, filsafat, antropologi dan disiplin sosiologi itu sendiri. Dari cabang paradigma tersebut kemudian diformulasikan sehingga membentuk beragam definisi yang berasal dari fakta sosial itu sendiri. Sosial berbudaya , sosial berpolitik, sosial beragama, dsb. Semuanya itu dikembangkan oleh pengkajian ilmiah para sosiolog terdahulu yang dilestarikan dalam bentuk tulisan maupun lisan secara turun-temurun sehingga melahirkan reward bagi aspek perkembangan zaman. 26 2.3.3 Konstruksi Realitas Oleh Media Massa Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality) menjadi terkenal ketika diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Kedua pemikir ini hanya meneruskan apa yang digagas oleh Giambitissta Vico yang kemudian banyak disebut sebagai cikal bakal konstruktivisme. Menurut Hamad (2004: 11-13 ) tentang proses konstruksi realitas,prinsipnya setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa,keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal-hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksi realitas. Laporan tentang kegiatan orang berkumpul di sebuah lapangan terbuka guna mendengarkan pidato politik pada musim pemilu,misalnya adalah hasil konstruksi realitas mengenai peristiwa yang lazimnya disebut kampanye pemilu itu. Begitulah setiap hasil laporan adalah hasil konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa,maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna.Dengan demikian seluruh isi media tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (Constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. 27 Dalam proses konstruksi realitas,bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas.Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi.Dalam konteks media massa ,keberadaan bahasa ini tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan sebuah realitas melainkan bisa menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas realitas media yang akan muncul di benak khalayak.Oleh karena persoalan makna itulah,maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas,terlebih atas hasilnya (makna atau citra). Penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya.Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari uraian tersebut maka media telah menjadi sumber informasi yang dominan tidak saja bagi individu tetapi juga bagi masyarakat dalam memperoleh gambaran realitas mengenai suatu peristiwa. Ada dua konsep dalam melihat realitas yang direfleksikan media. Pertama, konsep media secara aktif yang memandang media sebagai partisipan yang turut mengkonstruksi pesan sehingga muncul pandangan bahwa tidak ada realitas sesungguhnya dalam media.Kedua,konsep media secara pasif yang memandang media hanya sebagai saluran yang menyalurkan pesan-pesan sesungguhnya,dalam 28 hal ini media berfungsi sebagai sarana yang netral,media menampilkan suatu realitas apa adanya. Dalam konteks ini,maka konsep media secara aktif menjadi relevan dalam kaitannya dengan permasalahn yang akan diteliti. Hal ini juga sesuai dengan paradigm konstruksionis yang digunakan,yang memandang media dilihat bukan sebagai saluran yang bebas atau netral melainkan sebagai subyek yang mengkonstruksi realitas,dimana para pekerja yang terlibat dalam memproduksi pesan juga menyertakan pandangan,bias dan pemihakannya. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu,yang diwujudkan dalam teks berita.Berita dalam pandangan konstruksi social,bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Disini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi,wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas.Hasildari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. (Eriyanto,2004:17). 29 Sobur (2001:91) 9 menulis istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman (1996) melalui bukunya “ The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sociological of Knowledge”, dan kemudian diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia dibawah judul “Tafsir Sosial atas Kenyataan : Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan “ (1990). Dalam buku tersebut mereka menggambarkan proses social melalui tindakan dan interaksinya,dimana individu secara intens menciptkana suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas social dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas,yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara,pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik secara spesifik. Menurut Berger dan Luckmann, realitas social dikonstruksi melalui eksternalisasi,obyektivasi,dan internalisasi. Konstruksi social,dalam pandangan mereka,tidak berlangsung dalam ruang hampa,namun sarat dengan kepentingankepentingan. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri individu dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia. _________________________ 9 Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos, M.Si Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2008 : Konstruksi Sosial Media Massa, Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi dan Keputusan Konsumen serta Kritik terhadap PETER L. BERGER & THOMAS LUCKMANN 30 Internalisasi adalah proses dimana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga social atau organisasi social tempat individu menjadi anggotanya. Sedangkan obyektivasi adalah interaksi social yang terjadi dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses intitusionalisasi. 2.4 Konstruksi Realitas dalam iklan Selama ini iklan televisi telah banyak menumbuhkan kegairahan sosiologis dalam interaksi sosial di antara anggota masyarakat, sebagaimana parodi-parodi (bagian dari interaksi verbal) yang terdengar di masyarakat. Misal, “ BEJO: Berani Jujur, Ojo Dumeh ( Iklan Bintang Toedjoe Tolak Angin ), “ah teori’ (iklan sampho Clear), ‘pas susunya’(Torabika) dll. Iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media (khususnya televisi) di dalam mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu, media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media, dengan atau setelah diubah citranya. Kemudian media memindahkannya lagi melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat Sebagai contoh, iklan televisi Bintang Toedjoe Tolak Angin, edisi ‘Jokowi KW’(BEJO). Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari kisah Gubernur DKI Jakarta yaitu Joko Widodo 31 (Jokowi ) yang gemar melakukan kegiatan blusukan, kemudian ada kata-kata yang diperdengarkan, “ BEJO ( Berani Jujur dan Ojo Dumeh)” sebagai tagline utamanya. Realitas sosial yang menunjukkan bahwa Jokowi KW jika masuk angin pada saat melakukan blusukan minum Bintang Toedjoe Tolak Angin adalah sebuah realitas media yang sengaja dikonstruksi oleh pembuat naskah iklan dan pemesan iklan melalui penciptaan realitas baru, yaitu Bintang Toedjoe Tolak Angin cara cepat menghilangkan masuk angina dan orang yang meminum Tolak Angin tersebut Berani Jujur dan Ojo Dumeh ( BEJO ). Namun, pada kenyataan lain bahwa tidak semua realitas sosial dapat dikonstruksi oleh iklan televisi. Ada banyak keputusan pemirsa, justru diskenario oleh faktor lain yang berasa dari luar pengaruh konstruksi iklan dan media massa, seperti teman, orang tua, salesman, kebutuhan yang mendesak, kebiasaan dan fanatisme, tidak ada pilihan dan lain sebagainya. Iklan adalah bagian dari masyarakat kapitalis yang oleh Al Ries dan Jack Trout, diartikan sebagai ‘pencipta ilusi’. Apabila Konstruksi sosial dilihat sebagai bagian dari hegemoni ‘penguasa ekonomi’ terhadap masyarakat pemirsa. Konsteks ini terlihat jelas di saat gagasan konstruksi sosial menjadi bagian dari kekuatan kapitalis, sehingga hegemoni juga dapat dilihat sebagai bagian dari alat kapitalis dalam mengkonstruksi ideologi masyarakat tentang diri dan kebutuhan hidupnya. Jika demikian masa depan kapitalisme akan semakin terjamin dan akan tercipta masyarakat kapitalis. 32 Beberapa temuan penting yang berhasil diungkap dalam buku ini antara lain tentang realitas sosial media massa, di mana realitas sosial iklan televisi yang dikonstruksi oleh pencipta iklan televisi melalui media massa, dapat dibagi menjadi tiga lapisan. Lapisan-lapisan tersebut terdiri dari lapisan realitas teknologi, realitas ikonis (realitas pencitraan) dan realitas verbal atau bahasa. Lapisan realitas teknologi merupakan fenomena bahwa teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat. Di dalam duni pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat dengan apa yang diistilahkan dengan theater of mind. Sebagaimana gambaran gambaran realitas dalam iklan televisi. Suatu contoh, ketika iklan Sampo Clear menggunakan iklan dengan gaya seperti adegan dalam film Matrix, di mana seorang pemuda bersampho Clear dapat menghindari tembakan peluru dengan lekukan tubuh yang fleksibel, maka seluruh adegan dalam iklan tersebut begitu mengagumkan pemisa karena mampu membawa kepada kesan dunia lain yang maha dahsyat. Ruang pengetahuan yang dikonstruksi oleh iklan televisi, di mana manusia mendiami suatu ruang realitas, sehingga perbedaan antara yang nyata dan fantasi menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam duina maya dan khayal. Televisi dan informasi lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia. Dalam lapisan realitas pencitraan, terdapat upaya upaya mempengaruhi pemirsa melalui pencitraan. Iklan televisi membentuk realitas melalu pencitraan terhadap produk. Pencitraan dilakukan dengan memberi nilai tertentu terhadap produk yang diiklankan, antara lain dengan menggunakan ikon-ikon budaya modern dan kelas sosial atas, agar 33 dapat menggambarkan atau menyetarakan produk yang diiklankan dengan ikon kemodernan dan ikon kelas sosial tersebut. Citra adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Namun sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat tergantung pada banyak faktor, terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana seorang copywriter (penyusun naskah iklan) mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas, sedangkan pemirsa tetap merasakan bahwa realitas itu di alami dalam dunia rasionalnya. Pada lapisan realitas verbal, apa yang ada dalam berbagai makna iklan sesungguhnya adalah realitas bahasa itu sendiri. Ketika akan menciptakan realitas barang, maka bahasa dapat digunakan untuk ‘penggambaran’ realitas itu, namun di saat akan menciptakan citra realitas terhadap suatu barang, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga digunakan tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut. Sistem tanda bahasa digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan televisi yang umumnya berdurasi dalam ukuran detik, memanfaatkan sistem tanda untuk memperjelas makna citra yang dikonstruksikan. Sistem tanda bahasa ini (penanda atau tertanda) yang digunakan oleh iklan televisi, baik verbal maupun visual dalam berbagai model simulasi, telah berhasil membangun imajinasi pemirsa tentang realitas sosial, walaupun realitas itu bersifat semu, hiperrealitas dan hanya ada di dalam media. 34 Realitas sosial iklan televisi memiliki lapisan-lapisan makna sebagaimana disebutkan diatas. Kemudian hubungan satu dengan lapis dengan lapis lain, membutuhkan proses decoding. Kemudian temuan berikutnya adalah tentang proses konstruksi sosial media massa, di mana realitas iklan televisi dibentuk oleh beberapa kelompok yang mengatur konten media massa, yaitu biro iklan, perusahaan pemesan iklan dan pemirsa iklan televisi itu sendiri. Kelompok- kelompok ini disebut dengan agen-agen sosial. Agen-agen sosial inilah yang menentukan corak dan bentuk siaran media massa dan iklan televisi melalui tahap-tahap konstruksi sosial, dimana dalam tahapan itu realitas sosial iklan televisi di bentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan di antara agen-agen sosial tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dengan konstruksi sosial, bahwa eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi iklan televisi berjalan dalam proses simultan, sehingga makna-makna iklan televisi terbentuk dalam pencitraan iklan televisi. Kemudian terbentuk realitas makna pencitraan dalam dunia iklan televisi, sebagai refleksi dari dunia sosial di sekitarnya. Pada akhirnya, makna-makna itu diangkat dan direproduksi kembali oleh iklan televisi, sebagai realitas sosial baru. Temuan yang ketiga adalah tentang makna realitas sosial media massa, di mana pemirsa melakukan decoding makna konten siaran media massa (konten iklan televisi). Proses decoding itu menghasilkan makna yang berbeda-beda, karena pemirsa iklan televisi berasal dari ruang dan kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Sehingga makna 35 realitas sosial iklan televisi, dipahami secara berbeda berdasarkan ruang dan kelompok sosial. Namun di satu sisi iklan televisi adalah totalitas dimana iklan televisi menjadi bahasa universal, menggunakan ikon budaya universal yang dapat menyatukan umat manusia tanpa batas. Sedangkan di sisi lain iklan adalah diferensiasi, yakni ketika harus menunjukkan bahwa bahasa universal atau ikon budaya universal yang melekat pada iklan itu memiliki kelebihan, keunggulan maupun keuntungan tertentu, maka iklan televisi telah menunjukkan di dalam totalitasnya ada perbedaan, ada difeensiasi yang menjadi “muatan” khusus dalam iklan televisi tersebut. Kajian dalam penelitian ini akan memberikan pengetahuan tentang konsep : proses terjadinya konstruksi sosial, konsep tentang bentuk atau ciri realitas sosial yang dibangun dalam media televisi, khususnya iklan televisi, serta konsep makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial media massa yang dibangun iklan televisi. Lalu kajian buku ini pula telah mengoreksi gagasan konstruksi sosial atas realitas sosial Bergerr dan Luckman (1966). Ketika citra media massa melalui iklan televisi ikut membentuk pengetahuan individu terhadap sebuah produk, kekuatan pencitraan media massa televisi ikut membentuk bangunan pencitraan yang telah dibuat oleh pencipta iklan televisi. Faktor media massa televisi dalam konstruksi sosial ini, tidak pernah terpikirkan oleh Berger dan Luckmann dalam gagasan konstruksi sosialnya, karena pada saat teori itu 36 dibangun konsteks sosial tak pernah melihat bahwa media massa akan berkembang di kemudian hari seramai saat ini. Walaupun sejak semula disadari bahwa individu bukan “kotak kosong”, kekuatan konstruksi sosial media massa, tetap saja memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan masyarakat. Sehingga yang terjadi pada pemirsa iklan televisi, bahwa realitas iklan televisi membentuk pengetahuan pemirsa tentang citra sebuah produk. Bahwa kemudian keputusan konsumen memilih atau tidak memilih suatu produk, semata-semata bukan karena spesifik telah terjadi, namun sebenarnya keputusan itu terjadi karena peran konstruksi sosial media massa yang diskenario oleh pencipta iklan televisi. Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, di mana konstruksi sosial berrlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, kiai kepada santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anakanaknya, anak-anak remaja kepada anak-anak yang lebih muda, dan sebagainya. Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kemandulan atau dengan kata lain tak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat transisi-modern di Amerika telah habis dan berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. 37 Hubungan-hubungan sosial primer dan semisekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann menjadi tak bermakna lagi. 2.5 Analisis Framing Analisis framing adalah salah satu metode penelitian yang termasuk baru dalam dunia ilmu komunikasi. Para ahli menyebutkan bahwa analisis framing ini merupakan perpanjangan dari analisis wacana yang dielaborasi terus menerus ini, menghasilkan suatu metode yang up to date untuk memahami fenomena-fenomena media mutakhir. Analisis framing merupakan suatu ranah studi komunikasi yang menonjolkan pendekatan multidisipliner dalam menganalisis pesan-pesan tertulis maupun lisan. Konsep framing atau frame sendiri bukan berasal dari ilmu komunikasi, melainkan dari ilmu kognitif (psikologis). Dalam prakteknya, analisis framing juga memungkinkan disertakannya konsep-konsep sosiologis, politik dan kultural untuk menganalisis fenomena-fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat benarbenar dipahami dan diapresiasi berdasarkan konteks sosiologis, politis atau kultural yang melingkupinya 2.5.1 Framing dan Realitas Framing itu pada akhimya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Apa yang kita tahu tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana kita melakukan frame atas peristiwa itu yang 38 memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. 2.5.2 Model Robert Entman Framing didefinisikan Entman sebagai proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan/bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain-lain. Seperti telah diungkapkan pada penjelasan di atas, model ini digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada isu lain. 39 Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan bagian mana yang ditonjolkan/dianggap penting oleh pembuat teks. Kata penonjolan dapat didefinisikan: membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, dan lebih mudah diingat oleh khalayak. Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam: menempatkan satu aspek informasi lebih menonjol dibanding yang lain, lebih mencolok, melakukan pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungakan dengan aspek budaya yang akrab di benak khalayak. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Seleksi isu berkaitan dengan aspek pemilihan fakta. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh khalayak. Pola penonjolan tersebut pada dasarnya tidak dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana: upaya menyuguhkan pada publik tentang pandangan tertentu agar pandangannya lebih diterima. Kata penonjolan (salience) didefinisikan sebagai membuat informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas penerima akan lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan. Bagian informasi dari teks dapat dibuat lebih menonjol dengan cara penempatannya atau pengulangan atau mengasosiasikan dengan simbol-simbol budaya yang sudah dikenal. 40 Bagaimanapun, tingkat penonjolan teks dapat sangat tinggi bila teks itu sejalan dengan skemata system keyakinan penerima. Skemata serta konsep-konsep tersebut erat hubungannya dengan kategori, scripts, dan stereotype, yang merupakan kumpulan ide di dalam mental yang memberi pedoman seseorang untuk memproses informasi. Karena penonjolan merupakan sebuah produk interaksi antara teks dan penerima, maka kehadiran frame dalam teks tidak akan menjamin pengaruhnya terhadap pemikiran khalayak. Proses pemilihan fakta, bukan semata-mata sebagai bagian dari teknis jurnalistik, tetapi juga politik pemberitaan. Yakni, bagaimana dengan cara dan strategi tertentu media secara tidak langsung telah mendefinisikan realitas. 2.5.3 Seleksi Isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu. 2.5.4 Penonjolan Aspek Tertentu dari isu Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. 41 Dalam konsepsi Entman, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penjelasan, evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana dan menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan. Konsep framing, dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of a communication text. 2.5.5 Tabel Konsepsi Entman Define Problems Bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? (Pendefinisian masalah) Sebagai apa? Atau masalah apa? Diagnose Causes Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh apa? (Memperkirakan masalah atau sumber Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah) masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah? Make Moral Judgement Nilai moral apa yang disajikan untuk (Membuat keputusan moral) menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk (Menekankan penyelesaian) mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah? 42 Analisis framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi) informasi dari sebuah lokasi, seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel. Framing secara esensial meliputi penseleksian dan penonjolan. Membuat frame adalah menseleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikan penanganannya. 43