Identifikasi Indikator Kekeringan Menggunakan

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana alam merupakan fenomena yang
dapat mengancam kelangsungan hidup
makhluk hidup. Dampak negatif dari bencana
alam berpengaruh secara langsung terhadap
aktivitas makhluk hidup. Salah satu bencana
alam yang frekuensi kejadiannya tinggi
(hampir setiap tahun) adalah kekeringan.
Kemungkinan yang potensial terjadi
akibat bencana kekeringan di antaranya,
kebakaran hutan, kesulitan mendapatkan air
bersih, gagal panen bahkan rawan pangan.
Kekeringan dapat mengakibatkan kerugian
tidak hanya pada sektor pertanian dan
lingkungan hidup tetapi juga berdampak
negatif pada sektor sosial-ekonomi bahkan
dapat
mengganggu
stabilitas
politik.
Kekeringan merupakan masalah serius bagi
setiap negara termasuk Indonesia.
Beberapa wilayah di Indonesia seperti
pantai utara Jawa, Nusa Tenggara dan
Sulawesi Tenggara sangat rentan terjadi
kekeringan. Oleh karena itu, perlu penanganan
khusus untuk mengantisipasi terjadinya
kekeringan serta meminimalisir kerugian
akibat kekeringan. Langkah-langkah yang
perlu dilakukan adalah mitigasi serta adaptasi
terhadap bencana kekeringan. Pemantauan
(monitoring) merupakan salah satu upaya
dalam melakukan mitigasi. Pemantauan
dilakukan terutama pada wilayah-wilayah
yang rentan terjadi bencana kekeringan.
Kegiatan
ini
memerlukan
informasi
menyeluruh tentang prediksi dan penyebab
terjadinya bencana kekeringan.
Penelitian ini mengkaji serta menganalisis
indikator-indikator
kekeringan
yang
merupakan bagian dalam pelaksanaan mitigasi
bencana kekeringan. Konsep neraca energi
merupakan pendekatan yang dilakukan untuk
mengidentifikasi
indikator
kekeringan
berdasarkan proses secara fisis (Voght et. al.).
Deskripsi indikator kekeringan pada suatu
wilayah merupakan representasi dari nilai
Evaporative Fraction (EF), Bowen Ratio (ß)
dan dan Crop Water Stress Index (CWSI) pada
wilayah tersebut. Nilai EF, ß dan CWSI
merupakan fungsi dari radiasi netto, fluks
bahang terasa, fluks bahang tanah dan fluks
bahang penguapan. Dengan kata lain, Nilai
EF, ß dan CWSI merupakan turunan dari
komponen neraca energi.
Salah satu cara untuk mengetahui
informasi indikator kekeringan secara spasial
adalah teknik penginderaan jauh berbasis
sistem
informasi
geografi.
Dengan
menggunakan teknik penginderaan jauh
pemantauan dapat dilakukan pada luasan area
yang relatif lebih besar.
1.2. Tujuan
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
menentukan nilai Evaporative Fraction (EF),
Bowen Ratio (ß) dan Crop Water Stress Index
(CWSI) serta mengidentifikasi potensi
terjadinya atau tidak terjadinya kekeringan di
daerah pemukiman dan vegetasi berdasarkan
nilai EF, ß dan CWSI.
1.3. Hasil yang diharapkan
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bagian dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya di
bidang meteorologi terapan. Secara praktis,
penelitian ini diharapkan mampu memberikan
informasi dalam pelaksanaan mitigasi
terhadap bencana kekeringan serta dapat
menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan
untuk
mengurangi
resiko
kekeringan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Neraca Energi
Radiasi netto merupakan selisih antara
gelombang pendek dan gelombang panjang
yang datang ke permukaan bumi dengan
gelombang pendek dan gelombang panjang
yang keluar (hilang) dari permukaan bumi
(Handoko, 1995) (Gambar 1). Secara umum
neraca energi ditulis sebagai berikut:
Rn = Rs in + Rl in - Rs out - Rl out (1)
Keterangan :
Rn
: radiasi netto (W m-2 )
Rs in
: radiasi gelombang pendek
datang (+) (W m-2 )
Rl in
: radiasi gelombang panjang
datang (+) (W m-2 )
Rs out : radiasi gelombang pendek
keluar (-) (W m-2 )
Rl out : radiasi gelombang panjang
keluar (-) (W m-2 )
yang
yang
yang
yang
Rs in
Rs out
α
Rl outt
Rl in
Gambar 1. Ilustrasi neraca energi pada suatu permukaan.
Hukum Pergeseran Wien menjelaskan
bahwa panjang gelombang suatu benda pada
pancaran maksimumnya berbanding terbalik
dengan suhu mutlak permukaan tersebut.
λmaks =
2987
Ts
(2)
Keterangan :
?maks
: panjang gelombang pada pancaran
maksimum (µm)
Ts
: suhu mutlak permukaan (K)
Berdasarkan Hukum Pergeseran Wien,
radiasi matahari pada pancaran maksimum
mempunyai panjang gelombang yang jauh
lebih pendek dibandingkan dengan radiasi
bumi atau benda langit lainnya. Suhu mutlak
permukaan matahari yang relatif tinggi (6000
K) daripada suhu mutlak permukaan bumi
(300 K) menyebabkan panjang gelombang
radiasi matahari lebih pendek daripada radiasi
bumi . Jadi, radiasi gelombang pendek pada
persamaan (1) merupakan radiasi matahari
dan radiasi gelombang panjang pada
persamaan (1) merupakan radiasi bumi.
Radiasi surya yang datang sebagian akan
dipantulkan oleh permukaan (refleksi),
sebagian lagi akan diserap (absorbsi) dan
sisanya akan diteruskan (emisi). Rasio antara
radiasi gelombang pendek (radiasi surya) yang
dipantulkan permukaan dengan radiasi
gelombang pendek yang datang disebut
albedo permukaan tersebut.
a = Rs out / Rs in
(3)
Keterangan :
a
: albedo
Rs out : radiasi gelombang pendek yang
keluar (dipantulkan) (Wm-2 )
Rs in : radiasi gelombang pendek yang
datang (W m-2 )
Pada radiasi gelombang panjang, sulit
dibedakan antara radiasi yang dipantulkan
oleh permukaan dengan radiasi yang
dipancarkan oleh permukaan tersebut. Hal ini
dikarenakan permukaan juga memancarkan
radiasi gelombang panjang. Hukum StefanBoltzman menyatakan bahwa setiap benda
yang suhu permukaannya lebih dari 0 K (-273
o
C) memancarkan radiasi yang besarnya
berbanding lurus dengan pangkat empat suhu
permukaannya (Handoko, 1995). Jadi radiasi
bumi (radiasi gelombang panjang yang keluar)
ditulis sebagai berikut :
Rl out = es . s . Ts 4
(4)
Keterangan :
Rl out : radiasi gelombang panjang yang
keluar (W m-2 )
es
: emisivitas permukaan
s
: tetapan Stefan-Boltzman (5,67 . 10-8 W
m-2 K-4 )
Ts : suhu permukaan (K)
Dari persamaan (3) dan (4) maka neraca
energi (persamaan (1)) dapat ditulis sebagai
berikut (Laymon & Quattrochi, 2000) :
Rn = (1- a) Rs + Rl – e.σ.Ts 4
(5)
Radiasi netto bernilai negatif pada malam
hari. Hal ini dikarenakan radiasi surya pada
malam hari bernilai nol (Handoko, 1995).
Jumlah radiasi netto yang diterima oleh suatu
permukaan digunakan untuk memanaskan
udara (H), memanaskan tanah atau lautan (G),
penguapan atau evapotranspirasi (?E) dan
sisanya digunakan untuk fotosintesis (P) serta
proses metabolisme mahluk hidup. Energi
yang digunakan untuk fotosintesis (P) serta
proses metabolisme mahluk hidup lainnya
sangat kecil (sekitar 5 %) sehingga besarnya
energi untuk fotosintesis dapat diabaikan
(Handoko, 1995; Khomarudin, 2005).
Rn = H ± G ± ?E ± ∆P
(6)
Keterangan :
Rn : Radiasi Netto (W m-2 )
H : Fluks Bahang Terasa (Sensible Heat
Flux) (W m-2 )
G : Fluks Bahang Tanah (Soil Heat Flux)
(W m-2 )
?E : Fluks Bahang Penguapan (Latent Heat
Flux) (W m-2 )
∆P : fotosintesis (W m-2 ) (diabaikan)
2.1. Indikator Kekeringan
Voght et. al. (1998) mengklasifikasikan
indikator kekeringan menjadi tiga, yaitu :
• Indikator meteorologis;
Kekeringan
diidentifikasi
berdasarkan
nilai
Standardised
Precipitation Index (SPI). Nilai SPI
merupakan perhitungan statistik defisit
dan surplus presipitasi bulanan pada
jangka panjang (lebih dari 30 tahun).
Selain dapat mengindikasikan terjadinya
kekeringan
pada
suatu
wilayah,
perhitungan SPI juga dapat digunakan
untuk memonitor indeks kebasahan pada
suatu wilayah.
• Indikator berbasis satelit;
Identifikasi indikator kekeringan
dilakukan
berdasarkan
parameterparameter permukaan yang merupakan
turunan dari data satelit. Beberapa
parameter yang sering digunakan yaitu
indeks vegetasi seperti, Normalized
Difference Vegetation Index (NDVI),
Global Environmental Monitoring Index
(GEMI), Vegetation Condition Index
(VCI) dan Temperature Condition Index
(TCI).
Indeks vegetasi merupakan indikator
kekeringan yang efisien jika digunakan
pada wilayah kajian yang permukaannya
relatif homogen. Identifikasi indikator
kekeringan berdasarkan indeks vegetasi
berasumsi bahwa kondisi vegetasi pada
suatu wilayah berhubungan erat dengan
ketersediaan air di wilayah tersebut. Jika
suatu wilayah kondisi vegetasinya baik
maka wilayah tersebut cenderung
memiliki ketersediaan air yang cukup
baik juga. Sebaliknya, jika kondisi
vegetasi pada suatu wilayah, buruk, maka
ketersediaan air pada wilayah tersebut
juga buruk.
• Indikator berbasis proses fisik;
Identifikasi indikator kekeringan
berdasarkan
proses
secara
fisik
merupakan analisis dan kajian terhadap
transfer massa dan energi antara
permukaan dan atmosfer. Secara umum
analisis
ini
merupakan
analisis
komponen-komponen neraca energi.
Nilai Evaporative Fraction (EF),
Bowen Ratio (ß) dan dan Crop Water
Stress Index (CWSI) merupakan turunan
dari komponen-komponen neraca energi.
Tinggi rendahnya nilai EF, ß dan CWSI
pada suatu wilayah ditentukan oleh tinggi
rendahnya radiasi netto, fluks bahang
terasa, fluks bahang tanah dan fluks
bahang penguapan di wilayah tersebut.
Nilai EF, ß dan CWSI pada suatu wilayah
dapat mengindikasikan wilayah tersebut
tidak berpotensi terjadi kekeringan (no
water stress) (Gambar 2a) atau dapat juga
mengidentifikasi wilayah-wilayah yang
berpotensi terjadi kekeringan (water
stress) (Gambar 2b).
Ts rendah
Kelengasan tinggi (basah)
dT rendah
a rendah
H dan G rendah
Rn tinggi
?E tinggi
EF tinggi
ß rendah
CWSI rendah
Gambar 2a. Ilustrasi tidak terjadi potensi kekeringan (no
water stress).
Ts tinggi
Kelengasan rendah (kering)
dT tinggi
a tinggi
H dan G tinggi
Rn rendah
?E rendah
EF rendah
ß tinggi
CWSI tinggi
Gambar 2b. Ilustrasi terjadinya potensi kekeringan (water
stress).
Jika suatu wilayah memiliki kelengasan
tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan
suhu permukaan di wilayah tersebut relatif
rendah. Albedo permukaan yang rendah akan
mengakibatkan tingginya radiasi netto karena
radiasi matahari yang dipantulkan oleh
permukaan bumi rendah. Sementara itu, suhu
permukaan yang rendah akan mengakibatkan
kecilnya perbedaan antara suhu permukaan
dengan suhu udara sehingga transfer energi
untuk pemanasan tanah dan udara relatif kecil.
Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang
tanah dan fluks bahang terasa yang rendah
akan mengakibatkan fluks bahang penguapan
yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai
Bowen Ratio dan Crop Water Stress Index
yang rendah serta nilai Evaporative Fraction
yang tinggi yang mengindikasikan wilayah
tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan.
Sebaliknya, kelengasan tanah yang
rendah (kering) pada suatu wilayah akan
mengakibatkan albedo dan suhu permukaan
pada wilayah tersebut relatif tinggi. Albedo
yang tinggi akan menyebabkan rendahnya
radiasi netto. Sementara itu, suhu permukaan
yang rendah akan mengakibatkan perbedaan
yang besar antara suhu permukaan dengan
suhu udara sehingga fluks bahang tanah dan
fluks bahang terasa relatif tinggi. Akibatnya,
fluks bahang penguapan pada wilayah itu
akan rendah. Kondisi ini mengindikasikan
wilayah tersebut berpotensi terjadi kekeringan
yang direpresentasikan oleh nilai Bowen Ratio
dan Crop Water Stress Index yang tinggi serta
nilai Evaporative Fraction yang rendah.
2.3. Teknik Penginderaan Jauh
2.3.1. Definisi
Pengideraan jauh atau remote sensing
didefinisikan sebagai teknik pengukuran atau
perolehan informasi dari beberapa sifat obyek
atau fenomena dengan menggunakan alat
perekam
yang
secara
fisik
tidak
bersinggungan langsung dengan obyek atau
fenomena yang dikaji (American Society of
Photogrammetry, 1983). Penginderaan jauh
juga dapat dikatakan gabungan antara seni dan
ilmu.
Menurut Barus (2000), ciri utama
penginderaan jauh adalah kemampuannya
menghasilkan data spasial yang susunan
geometrinya mendekati keadaan sebenarnya
dengan cepat dan dalam jumlah yang relatif
besar. Data penginderaan jauh biasanya dalam
bentuk suatu gambar (image) yang
menggambarkan suatu obyek atau fenomena,
contohnya : foto udara, citra satelit.
2.3.2. Pengukuran Berbasis Data Satelit
Estimasi dan pengukuran berbasis data
satelit dapat diartikan sebagai pengukuran
energi yang dipantulkan dan atau diemisikan
oleh material permukaan seperti vegetasi,
batuan dan air pada kisaran panjang
gelombang
tertentu
dalam
spektrum
eletromagnetik (Stefanov & Netzband, 2004).
Satelit menerima spektrum elektromagnetik
ini dalam beberapa kanal sesuai dengan
karakteristik satelit tersebut. Setiap satelit
mempunyai jumlah kanal dan kisaran panjang
gelombang yang berbeda-beda. Secara umum,
kisaran panjang gelombang pada satelit adalah
gelombang cahaya tampak (visible light),
gelombang inframerah dekat (near infrared),
gelombang pendek inframerah (shortwave
infrared) dan gelombang mikro.
Indeks vegetasi seperti Normalized
Difference
Vegetation
Index
(NDVI)
merupakan salah satu parameter awal yang
dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada
daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya
tampak (0,4 sampai 0,7 µm) untuk digunakan
dalam proses fotosintesis. Sementara itu,
struktur sel daun memantulkan gelombang
inframerah dekat (0,7 sampai 1,1 µm). Oleh
karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit
merupakan penghitungan kanal cahaya
tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI
menggambarkan tingkat kehijauan biomassa
dan merupakan indikator yang baik untuk
menentukan status (kesehatan, kerapatan)
vegetasi pada suatu wilayah namun tidak
berhubungan langsung dengan ketersediaan
air tanah di wilayah tersebut (Hung, 2000).
Selain indeks vegetasi, suhu permukaan
juga dapat ditentukan dari data satelit. Suhu
permukaan adalah suhu bagian terluar dari
obyek di permukaan, misalnya, suhu
permukaan vegetasi adalah suhu kanopi. Di
daerah tropis, suhu permukaan sebagian besar
merupakan indikator fluks bahang penguapan
(Hung, 2000).
Satelit Terra MODIS menerima energi
yang dipantulkan dan atau diemisikan oleh
material permukaan dalam 36 kanal (bands)..
Setiap kanal mempunyai kisaran panjang
gelombang dan kegunaan utama yang spesifik
(Lampiran 1). Pada satelit MODIS, kanal
yang digunakan untuk menentukan nilai
NDVI adalah kanal 1 dan 2.
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Mei sampai dengan bulan September 2006 di
Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional –
Pekayon, Jakarta dan di Laboratorium
Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan
Data-data yang
penelitian ini adalah :
diperlukan
dalam
Download