Dari Polusi, Hinggap Penyakit

advertisement
C4-C5
Dari Polusi, Hinggap Penyakit
AMSTON PROBEL (TEMPO)
iap kali berangkat atau pulang
kantor, Herwanto selalu geram.
Pegawai swasta itu mengomel
soal kondisi lalu lintas Jakarta yang
macet dan ruwet.“Apalagi jika melihat angkutan umum ngetem seenaknya,” kata pria 30 tahun itu. Perjalanan dari rumahnya di bilangan Ciputat sampai di kantornya di Gambir bisa memakan waktu nyaris dua
jam. Ditambah dengan perjalanan,
total perjalanan bisa empat jam.“Bisa tua di jalan,”katanya.
Lama-lama, Herwanto stres juga
menghadapi kondisi ini. Kegeramannya semakin bertambah jika hujan turun.Waktu tempuh perjalanan
pun semakin lama. “Hidup bisa habis di jalanan,”katanya.
Tak hanya itu, Herwanto juga mulai khawatir akan kondisi badannya.
Selain capek menyetir, polusi asap
kendaraan yang terhirup membuat
tubuhnya tak sehat.“Saya takut, tua
nanti ada penyakit dalam yang
hinggap,”ujarnya.
Polusi memang berbahaya bagi
kesehatan tubuh. Ada beberapa penyakit yang bisa dipicu oleh pencemaran udara. Penelitian Universitas
Duisburg-Essen, Jerman, melihat
pengaruh polusi udara pada tekanan darah. Mereka menemukan hubungan jangka panjang bahwa polusi udara meningkatkan tekanan
darah tinggi (hipertensi).
Menurut dr Santoso Karo Karo,
SpJP, ahli jantung dari Rumah Sakit
Harapan Kita, Jakarta, stres yang
muncul—di antaranya karena macet—bisa menjalar menjadi penyakit
jantung. “Pasien penyakit jantung
saya 60 persen di antaranya stres,”
kata Santoso. “Meski stres bukan
faktor utama penyebab penyakit
jantung, tapi stres paling banyak
dialami orang,”katanya di Jakarta.
Santoso menjelaskan, saat stres,
jaringan hipotalamus dalam otak
akan memicu hormon stres. Akibatnya, denyut jantung terpicu naik dan
meningkatkan tekanan darah. Dua
hal ini mengakibatkan cedera pada
dinding arteri dan pembentukan
pembekuan dalam pembuluh darah,
serta aterosklerosis (pengerasan
pembuluh darah arteri). Bagi penderita jantung yang akut, stres ini bisa
memicu pecahnya pembuluh darah.
“Pecahnya pembuluh darah ini bisa
menyebabkan kematian,”katanya.
Dr Barbara Hoffman, kepala unit
epidemologi lingkungan dan klinis
di Universitas Duisburg-Essen, menulis, tekanan darah tinggi bisa menaikkan risiko pengerasan arteri,
yang berhubungan dengan penyakit
kardiovaskuler, seperti serangan
jantung dan stroke.
Penelitian lain dari North ShoreLong Island Jewish Health System
menyatakan bahwa partikel halus
polusi yang masih melekat di udara
dapat meningkatkan risiko serangan jantung mendadak. Penelitian itu
membandingkan data tingkat polusi
udara di New York City dengan
8.216 kasus sakit jantung yang terjadi pada 2002-2006. Mereka menemukan kenaikan polutan sebesar 10
mikrogram per meter kubik dalam
udara. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan jumlah penderita gangguan jantung sebesar 4-10 persen.
T
SUBEKTI (TEMPO)
babkan kemacetan. Pakar
matematika ini menggunakan data M42 untuk menciptakan model matematika
aliran lalu lintas.
Wilson menemukan satu
aktivitas kecil, seperti mobil
berganti lajur, dapat menyebabkan kendaraan di sekitar
mobil itu melambat. Proses
“berhenti atau melambat
dan memacu kendaraan” ini
membuat perjalanan menjadi lebih lambat. “Proses ini
dimulai dari kegiatan kecil.
Bila kendaraan terpaksa
berhenti, efeknya bisa mempengaruhi 50 mil,”katanya.
Hasil penelitian ini tidak
mengejutkan Andrew Howard, Kepala Keamanan Jalan Asosiasi Automobil. Menurut dia, pengendara dapat
mencapai tujuan mereka lebih cepat bila berkendara lebih lambat.“Keuntungan didapat bila semua orang berada dalam kecepatan 50 mil
per jam, yang akan lebih cepat sampai, ketimbang pada
kecepatan 70 mil per jam
melambat dan mengebut lagi,” kata Howard. Bila berada pada kecepatan konstan, ia melanjutkan, bahan
bakar akan lebih hemat dan
perjalanan bakal lebih cepat.
Wilson berharap penelitiannya lebih lanjut dapat
memprediksi kondisi jalanan
pada waktu tertentu. “Yang
penting di sini, bukan memperpendek waktu tempuh,
melainkan membuat perjalanan lebih konsisten supaya
pengguna jalan bisa dengan
akurat memperkirakan waktu tempuh dari titik A ke titik B.” ● AMANDRA MM | PELBAGAI SUMBER
Walaupun kenaikan itu masih di bawah ambang batas keamanan standar Environmental Protection Agency (EPA), yakni 35 mikrogram per
meter kubik udara.“Keterkaitan ini
akan lebih kuat di kala musim panas,” kata penulis studi Dr Robert
Silverman, associate professor bidang Emergency Medicine, yang juga direktur riset pada Department
of Emergency Medicine at Long Island Jewish Medical Center. Pasalnya, pada musim panas, orang lebih
suka keluar ruangan, sehingga ter-
papar polutan.
Bukan hanya penyakit kardiovaskuler. Usus buntu diduga juga berkaitan dengan paparan polutan. Dr
Gilaad G. Kaplan dari University of
Calgary mengidentifikasi lebih dari
5.000 orang yang dioperasi di Calgary antara 1999 dan 2006. Kaplan
menggunakan data dari Environment Canada’s National Air Pollution Surveillance (NAPS) yang mengumpulkan data polusi tingkat per
jam mulai ozon, nitrogen dioksida,
sulfur dioksida, karbon monoksida,
GUNAWAN WICAKSONO (TEMPO)
Gejala Polusi di Dalam Ruangan
encemaran udara atau polusi
tak hanya terjadi di luar ruangan. Di dalam ruangan,
udara juga bisa tercemar. Bau dan
residu dari bahan kimia rumah tangga, produk pembersih, serta pestisida dapat menyebabkan polusi
udara dalam ruangan. Polusi juga
disebabkan oleh udara dalam ruangan yang buruk.
Bagaimana mendeteksi polusi dalam ruangan? Ada gejala fisik yang
menunjukkan udara dalam ruangan
P
sudah tercemar. Berikut ini gejala
yang bisa menunjukkan pencemaran udara.
■ Tubuh terasa lelah atau pusing
■ Mual
■ Tenggorokan atau hidung gatal
■ Sering sakit kepala
■ Asma dan gangguan pernapasan
lainnya
● NUR ROCHMI I HEALTDAY NEWS
hingga berbagai partikel dari berbagai ukuran.
Kaplan membandingkan rata-rata kandungan ozon lima hari sebelum masuk ke rumah sakit. Pada pasien usus buntu, paparan ozonnya 15
persen lebih tinggi dibanding pada
saat usus buntu tak kumat. Temuan
serupa tampak untuk polutan belerang dioksida, nitrogen dioksida,
dan partikel lain. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan paparan
polusi udara, terutama ozon, yang
bisa memicu timbulnya penyakit
lainnya lewat peradangan. “Ini
mungkin yang menjelaskan mengapa polusi udara bisa meningkatkan
risiko radang usus buntu,” kata
Kaplan.
Temuan terbaru efek buruk polusi
ditengarai bisa menyebabkan kanker payudara. Penelitian gabungan
dari beberapa universitas yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Health Perspectives menunjukkan risiko kanker payudara naik sekitar 25 persen seiring dengan naiknya pencemaran nitrogen dioksida
(NO2) sebesar 5 ppb (part per billion).
Dr Mark Goldberg, salah satu peneliti, menggunakan peta pencemaran NO2 yang biasa muncul dari
knalpot kendaraan di Montreal. Peta
yang digunakan pada 2005-2006,
1996, dan 1986. Mereka juga memetakan tempat tinggal penderita kanker payudara pada 1996-1997. Riset
yang didanai oleh Canadian Cancer
Society dan Canadian Institutes of
Health Research itu menunjukkan
bahwa di daerah yang terpapar polusi, lebih banyak penduduknya
yang terkena kanker payudara.
Tapi, kata Goldberg, ini tak bisa
langsung diartikan NO2 sebagai penyebab kanker payudara. Dr France
Labreche dari Universite de Montreal, yang ikut dalam penelitian, menyatakan, beberapa studi yang diterbitkan di Amerika juga telah menunjukkan kemungkinan kaitan antara kanker dan polusi udara.“Tapi
tak ada jaminan polusi udara selalu
menyebabkan kanker payudara,”
katanya. ● NUR ROCHMI I HEALTDAY NEWS I SCIENCEDAILY
Download