PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BRAIN BASED LEARNING PADA PENDIDIKAN FORMAL DENGAN MENANAMKAN NILAI BUDAYA Bambang Gulyanto Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pembelajaran brain based learning pada pendidikan formal dengan menanamkan nilai budaya. Nilai-nilai budaya menciptakan masyarakat manusia untuk hidup saling menghargai dan menghormati. Akan tetapi dalam perkembangan zaman: nilai, norma dan moral mengalami kemunduran. Masyarakat manusia lebih mementingkan individu dan kelompoknya. Atas kejadian ini, dunia pendidikan yang paling disalahkan, mengapa pendidikan tidak membawa siswa menuju perubahan sikap yang lebih baik jika ditinjau dari segi nilai,norma, dan moral. Berbagai pendapat ekstrim menyatakan, pendidikan telah mencabut anak dari akar budayanya. Penyebabnya adalah pembelajaran yang monoton, mengekang, dan memposisikan anak sebagai obyek pembelajaran, bukan subyek yang aktif. Untuk mengembalikan fungsi pendidikan ke arah yang diharapkan, harus diciptakan iklim pembelajaran yang semirip mungkin dengan kehidupan nyata serta pengintegrasian kurikulum dengan hal-hal nyata dalam kehidupan. Kondisi ini akan mendorong mahasiswa untuk berkembang dan menjadi anak-anak yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sasaran penerapan brain based learning. 1 Page Kondisi saat ini yang terjadi di tempat pendidikan kadang kurang membawa suasana yang menyenangkan untuk belajar. Siswa cendrung merasa lebih asik di luar jam pelajaran, tetapi bila di dalam kelas mereka merasa terbebani. Hal ini tampak dari meriahnya sorak siswa jika mereka mendengar pengumuman hari ini tidak belajar karena guru rapat. Wajah mereka gembira seakan terlepas bebas dari belenggu. Salah satu karakteristik nilai budaya adalah mempunyai obyek yang bersifat abstrak. Sifat norma, moral dan nilai ini kurang dipahami mahasiswa terutama dalam hal nilai budaya. Tak sedikit siswa yang tidak memahami budayanya, ketikadi tanya dimana kampungnya,ia sibuk lihat kanan lihat kekirimencarijawabannya. Salah satu karakteristik nilai budaya adalah mempunyai obyek yang bersifat nilai. Sifat nilai ini banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahaminya. Tak sedikit siswa yang mengetahui apa yang harus dilakukannya, namun dalam pelaksanaannya hal tersebut tidak dilakukannya. Guru sebagai ujung tombak transformasi ilmu dan membentuk karakter pada siswa harus memiliki kreatifitas tinggi. Guru harus selalu mengupayakan pembelajaran di kelas sehingga dapat membuahkan hasil yang bermakna sesuai dengan tuntutan zaman dan kurikulum saat ini secara optimal. Secara mikro guru harus menemukan model pembelajaran yang efektif dan efisien di kelas. Bagaimana guru dapat membuat mata pelajaran yang diajarkan menjadi pelajaran favorit dan siswa berlomba-lomba menduduki kursi bagian depan untuk mengikuti pembelajaran yang kita ampu. Model pembelajaran yang dipilih haruslah menarik minat, menyenangkan dan bermakna. 1 Kata kunci : brain based learning, pendidikan formal, nilai budaya. Pendahuluan 2 2 Page Model pembelajar br ai n b as ed l ea rni n g ini diadopsi dari beberapa teori sugesti, teori brain based learning, teori triune, pilihan modalitas (visual, audiovisual dan kinestetik) dan pendidikan holistik. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, tahun 1999 di Amerika Serikat dikembangkan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut Quantum Leaning oleh Bobbi de Poerter dan Mike Hernacki. Hasil penelitian itu menunjukkan penerapan konsep Quantum Teaching berhasil mendongkrak potensi psikis siswa, terjadi peningkatan motivasi 80%, nilai belajar 73% dan memperbesar keyakinan diri 81% ( De Porter, 2004:4). Pengunaan model pembelajaran brain based learning pada pendidkan formal diharapkan dapat m e n i n g k a t k a n h a s i l b e l a j a r , memaksimalkan motivasi belajar dan diupayakan merupakan salah satu strategi pembelajaran formal yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta meningkatkan prestasi siswa sebagai acuan optimasi pembentukan karakter. Brain based learning adalah pembelajaran yang diselaraskan dengan cara kerja otak yang disain secara ilmiah untuk belajar. Sedangkan pelaksanaan model pembelajaran brain based learning dengan mengaktifkan kerja otak kanan dan otak kiri (Kotchadakdi). Selanjutnya Awalola mengungkapkan bahwa brain based learning adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa dan gurusebagai fasilitator yang berperan mendukung kognitiv siswa (dalam Anas, Z,2011) Menurut Sapa’at dalam Akbar (2008) potensi otak siswa yang tidak terbatas dapat dioptimalkan dengan merancang pembalajaran yang memadukan seluruh fungsi otak dalam belajar. Namun sangat disayangkan, potensi otak kita sebagai modalitas utama tidak diberdayakan secara optimal. Salah satu model pembelajaran yang mengoptimalkan kerja otak serta diperkirakan dapat meningkatkan hasil belajar, yaitu model pembelajaran Brain Based Learning. Menurut Jensen (2011) “Brain Based Learning adalah Pendidikan Berbasis-Otak yaitu belajar sesuai dengan cara otak dirancang secara alamiah untuk belajar”. Selain itu menurut Sapa’at dalam Jansen (2011) menyatakan bahwa “Brain based learning menawarkan sebuah konsep untuk menciptakan pembelajaran dengan berorientasi pada upaya pemberdayaan potensi otak siswa”. Adapun tiga model utama yang dapat dikembangkan dalam implementasi Brain Based Learning yaitu: (1) menciptakan lingkungan belajar yang menantang kemampuan berpikir siswa; (2) menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan; dan (3) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa Pendekatan ini mengemembangkan kemampuan otak kiri dan otak kanan. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier dan rasional, cara berpikirnya sesuai dengan ekspresi verbal, menulis, membaca, menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme. Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi. Kedua belahan otak penting artinya, orang yang sering memanfaatkan kedua belahan otak ini juga akan “seimbang” dalam setiap aspek kehidupan mereka. Belajar juga terasa sangat mudah bagi mereka karena mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak yang diperlukan setiap pekerjaan yang dihadapi. Untuk menyeimbangkan terhadap otak kiri dengan otak kanan, perlu dimasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar, semua itu menimbulkan emosi positif yang membuat otak bekerja efektif. (DePorter & Hernacki,2004). Jensen (2011) seorang ahli pembelajaran yang berbasis cara kerja otak (Brain Based Learning) mengungkapkan bahwa otak memang tidak dirancang untuk mengikuti instruksi formal. “Dalam kenyataanya, otak sama sekali tidak didesain untuk efisiensi atau ketertataan. Justeru otak berkembang paling baik melalui seleksi dan kemampuan bertahan hidup”. Semua ini diperoleh melalui pengalaman menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup. Melalui keterlibatan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah kemampuan otak bekerja makin optimal, karena sebuah persoalan yang dialami menuntut otak bekerja lebih keras. “Masalah yang dihadapi saat ini tidak dapat diselesaikan dengan tingkat pemikiran yang sama atau dengan perangkat yang sama dengan yang telah menciptakan permasalahan itu (ibid). Berdasarkan beberapa teori diatas proses pembelajaran seyogyanya menyediakan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan potensi yang dimiliki, sekolah perlu menyediakan “tempat-tempat” produktif untuk melepaskan frustrasi dan berikan perhatian. Otak manusia memiliki kemampuan yang tidak terbatas, positifnya tidak terbatas, negatifnya juga tidak terbatas. Para ahli tentang otak sepakat bahwa sampai saat ini tidak ada satu alatpun yang mampu mengukur kemampuan otak manusia. Selama ini kita lebih sering membicarakan tentang kemampuan dua sisi otak, yaitu otak kiri (logika) dan otak kanan (kreatifitas dan keimanan). Hasil kajian tentang otak menunjukkan bahwa otak bukan hanya terdiri dari dua sisi. Jensen menjelaskan ada empat bagian utama, yaitu lobus occipital (bagian belakang), lobus frontal (bagian depan), lobus parietal dan lobus temporal, dan masing-masing bagian memiliki sisi-sisi, setiap sisi dan bagian-bagian dari otak memiliki fungsi yang berbeda, kesemuanya berjalan secara sinergi. Tugas utama pendidikan bukan mengembangkan salah satu sisi otak, melainkan membangun “jembatan” atau corpus collosum di antara sisi-sisi otak. Semakin besar jembatan yang terbangun, semakin leluasa cairan otak untuk mengalir dari satu sisi ke sisi yang lain, sehingga semakin lincah dalam memberikan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Dengan demikian, yang bersangkutan akan mampu mengambil keputusan yang tepat pada saat yang tepat sebelum mengambil tindakan. Sisi-sisi yang menjadi potensi dominan dalam diri seseorang dikembangkan oleh yang bersangkutan yang didukung oleh iklim pembelajaran yang tepat. Hal inilah yang mengakibatkan bahwa setiap orang memiliki potensi (unggulan) yang berbeda. Ini fitrah, sebagaimana yang diungkapkan oleh Engku Sjafii (pendiri INS Kayu Tanam, Sumatera Barat), “dari pohon mangga jangan diminta buah rambutan”, rawatlah masing-masing dengan cara yang tepat sehingga setiap pohon menghasilkan buah yang manis dengan rasa yang beragam sesuai dengan karakternya. Bukankah keragaman rasa adalah kekayaan (dalam Anas, Z,2011) Page Penelitian ini mengunakan metode analisis dan kajian pustaka. Wacana pendidikan dan pembelajaran yang sering terjadi saat ini dianalisa kecendrungan umumnya. Wacana tersebut agar tidak berfihak pada kreatifitas dan pembiasaan karakter, kemudian diajukan pemecahannya dengan model brain based learning. 3 METODE PENELITIAN 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Belajar adalah hasil dari pembelajaran. Istilah pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instruction. Menurut Gagne, Briggs dan Wager ( dalam Winata Putra dkk, 2008) pembelajaraanya adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Dalam istilah pembelajaran, interaksi siswa tidak dibatasi oleh kehadiran guru secara fisik. Siswa dapat belajar melalui bahan ajar cetak, program radio, program televisi atau media lainnya. Tentu saja guru tetap memainkan peranan penting dalam merancang setiap kegiatan pembelajaran. 4 Page Dari penjelasan diatas pembelajaran akan berlangsung dengan efektif dan efisien apabila didukung dengan kemahiran guru mengatur srategi pembelajaran. Cara guru mengatur srategi pembelajaran sangat berpengaruh kepada cara siswa belajar. Dalam menyajikan materi pembelajaran guru jangan terpaku hanya pada satu jenis teknik saja. Hubungan manusia dan kebudayaan sangat erat kaitannya satu sama lain, secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau mahluk yang berakal. Kebudayaan berasal dari kata budaya yang merupakan bentuk kata majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Dalam bahasa Sansekerta kebudayaan disebut 4 Di dalam proses pembelajaran guru harus memiliki srategi agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan baik. Salah satu unsur dalam strategi pembelajaran adalah menguasai teknik-teknik penyajian atau metode mengajar. Belajar adalah suatu aktivitas mental (psikis) yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu relative dan berbekas (Winkell dalam Winataputra, 2007). Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksinya dalam lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan akibat belajar dapat terjadi dalam berbagai bentuk perilaku, dari ranah kognitif, afektif, dan/atau psikomotorik. Tidak terbatas hanya dalam penambahan pengetahuan saja (B.S Blom dalam Winataputra 2007). Perubahan tidak harus langsung mengikuti pengalaman belajar. Perubahan yang segera terjadi umumnya tidak dalam bentuk perilaku, tetapi terutama hanya dalam potensi seseorang untuk berprilaku. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku dalam interaksinya dengan lingkungan. Beberapa tujuan belajar antara lain : 1. Belajar bertujuan mengadakan perubahan dalam diri antara lain tingkah laku. 2. Belajar bertujuan untuk mengubah sikap dari negatif menjadi positif, tidak hormat menjadi hormat. 3. Belajar bertujuan mengubah kebiasaan buruk menjadi baik, dan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang pengetahuan misalnya tidak bisa membaca, menulis dan lain sebagainya dengan budhayah yaitu bentuk jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Pada dasarnya manusia adalah mahluk budaya yang harus nembudayakan dirinya, Manusia sebagai mahluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dan dorongan nalurinya dan mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan mempelajari keadaan sekitar dengan pengetahuan yang dimilikinya. Kebudayaan juga mengajarkan kepada manusia beberapa hal penting dalam kehidupan seperti etika sopan & santun menjadikan ciri khas kebudayaan orang Indonesia. Manusia dan kebudayaan memiliki ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Manusia atau orang dapat diartikan berbeda beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan. 5 Page Sumardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Laksono (1999) mereka mengartikan budaya sebagai “semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat”. Dengan demikian, budaya atau kebudayaan memiliki makna yang sangat luas dan 5 Menurut Koentjaraningrat (1986) budaya berasal dari kata budi dan daya (budi daya) atau daya (upaya atau power) dari sebuah budi, kata budaya digunakan sebagai singkatan dari kebudayaan dengan arti yang sama”. Dalam bahasa Inggris disebut dengan culture, berasal dari bahasa latin colere yang berarati mengolah atau megerjakan, culture diartikan sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah alam (Ibid: 182). Dalam kamus Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai “buah atau hasil pikiran/akal budi” Parsudi Suparlan dalam Nugroho,Widyo (1994) mendefenisikan budaya sebagai “seperangkat kemampuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk biososial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan dalam mewujudkan perilaku. Dalam pengertian ini kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi semua perilaku manusia. Kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk, resep, rencana, dan strategi, yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya. . Sidi Gazalba dalam Nugrogo,Widyo (1994) mengartikan budaya sebagai cara berpikir dan merasa untuk kemudian dinyatakan dalam seluruh kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam suatu ruang dan waktu tertentu. seolah tidak ada batasnya. Ia mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia yang lahir sebagai hasil olah akal dan budi, mulai yang terkecil hingga yang terbesar; mulai dari tata cara makan hingga tata cara mengelola sebuah negara. Oleh karena luasnya cakupan kebudayaan, ada sekian banyak definisi atau arti budaya yang diungkapkan para sarjana. Dalam buku Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions misalnya, David Kroeber dan Kluckhohn menghimpun sekitar 160 definisi budaya yang diungkapkan para ilmuwan. Dari sekian banyak definisi ini, tidak ada satu pun definisi yang mampu menghimpun semua kompleksitas dari budaya. Setiap definisi hanya menekankan pada satu atau beberapa aspek saja dari kebudayaan. Edward Burnett Tylor (dalam Koentjaraningrat, 1986) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kompleks pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, menurut Tylor, kebudayaan mencakup segala sesuatu yang diperoleh atau yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Hal senada diungkapkan pula oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 6 Page Irianto dalam Mawardi 2009, menyatakan setidaknya ada dua aliran dalam pendefinisian kebudayaan, yaitu positivisme dan interpretivisme. Perbedaan mendasar pada kedua aliran tersebut terletak pada paradigma tentang hubungan manusia dengan alam sekitar. Aliran positivisme memandang manusia sebagai bagian dari alam yang tunduk pada hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajari melalui pengamatan dan diatur oleh sebab-sebab eksternal. Sebaliknya aliran interpretivisme memandang manusia sebagai anggota-anggota masyarakat yang saling membagikan suatu sistem sosial dan sistem makna. Manusia menduduki posisi sentral, kenyataan dan relaitas sosial merupakan hasil ciptaan manusia yang diatur melalui sistem makna. Tulisan ini tidak mempermasalahkan perbedaan kedua aliran tersebut, justeru kedua pendapat tersebut digunakan untuk melengkapi tinjauan tentang budaya yang memang kompleks. Artinya, kedua pendapat tersebut bertujuan untuk memperkuat argument bahwa budaya merupakan unsur penting dalam membangun keharmonisan dalam kehidupan. Sejalan dengan semua pendapat tersebut, sebagai penegasan, kita dapat mengacu pada pendapat Daoed Joesoef 6 Clifford Geertz dalam Masinambaw, 1997: Penulis buku Abangan, Santri, Priyaydi dalam Masyarakat Jawa ini mengartikan kebudayaan sebagai sebuah sistem berupa konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik sehingga dengan cara inilah manusia mampu berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadap kehidupan. Di sini, Geertz menekankan kebudayaan sebagai sekumpulan ide sebagai proses kreatif dari akal budi yang diwariskan dan kemudian mewarnai kehidupan sebuah masyarakat. Walaupun definisi-definisi tentang kebudayaan memiliki perbedaan sudut pandang, akan tetapi setiap definisi menyimpulkan kesamaan, yaitu bahwa kebudayaan adalah ciptaan manusia. Dengan demikian, tidak ada budaya tanpa manusia dan tidak ada manusia tanpa budaya. Manusia dan budaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. 7 7 Page (1982) yang menyatakan: “budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia di suatu lingkungan hidup tertentu di suatu kurun tertentu”. Kebudayaan diartikan sebagai semua hal yang terkait dengan budaya. Dalam konteks ini tinjauan budaya dilihat dari tiga aspek, yaitu pertama, budaya yang universal yaitu berkaitan nilai-nilai universal yang berlaku di mana saja yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi. Kedua, budaya nasional, yaitu nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia secara nasional. Ketiga, budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masayarakat setempat. Ketiga aspek ini terkait erat dengan sistem pendidikan sebagai wahana dan proses pewarisan budaya. Kebudayaan mengambil unsur-unsur pembentuknya dari segala ilmu pengetahuan yang dianggap betul-betul penting dan sangat diperlukan dalam menginterpretasi semua yang ada dalam kehidupannya. Hal ini diperlukan sebagai modal dasar untuk dapat beradaptasi dan mempertahankan kelangsungan hidup (survive). Kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilainilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Semua konsep dan pemikiran tentang budaya tersebut menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pengetahuan yang berada di ranah pengetahuan (kognitif) dengan sikap dan perilaku yang berada di ranah keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Kebudayaan di pandang sebagai nilai-nilai yang diyakini bersama dan terinternalisasi dalam diri individu sehingga terhayati dalam setiap perilaku. Nilai-nilai yang dihayati ataupun ide yang diyakini tersebut bukanlah ciptaan sendiri dari setiap individu yang menghayati dan meyakininya, semuanya itu diperoleh melalui proses belajar. Hal ini menegaskan bahwa pembentukkan perilaku dapat berawal dari pembangunan pengetahuan (kognitif) yang dilanjutkan dengan proses pembentukkan sikap dan perilaku melalui pembiasaan, atau sebaliknya, pengetahuan dibangun diawali dengan pembangunan kepribadian atau yang sering disebut dengan belajar bagaimana belajar (learn how to learn). Semua ini menegaskan bahwa pembangunan pengetahuan (kognitif) tidak dapat dilepaskan dari pembentukan sikap dan perilaku. Dengan demikian, seyogyanya, semakin tinggi atau mendalam pengetahuan kognitif seseorang, sikap, perilaku dan kepribadiannya juga berkembang. Artinya, semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya ia makin berbudi (berakhlak mulia). Manusia yang berbudaya adalah manusia yang menunjukkan adanya konsistensi antara pengetahuan yang dimiliki dengan sikap dan perilakunya. Sikap dan perilaku tersebut diwujudkan mengacu kepada nilai-nilai yang diyakini. Jadi, manusia yang sesungguhnya manusia adalah manusia yang cerdas yang mampu menjaga tutur kata, sikap dan perilaku sehingga dapat berperan aktif dalam membangun kehidupan yang harmonis. Brobby dalam Hamdani (2010) mengemukakan suatu strategi motivasi yang digunakan guru untuk memberikan stimulus siswa/mahasiswa agar produktif dalam belajar adalah: Keterkaitan dengan kondisi lingkungan yang berisi lingkungan kondusif, kondisi tingkat kesukaran, kondisi belajar yang dengan strategi bermakna Dengan kata lain motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seorang siswa untuk berusaha mengadakan perubahaan tingkah laku yang dapat diiterpretasikan dalam tingkah laku berupa optimasi rangsangan, dorongan dan keingintahuan. Berikut ini beberapa upaya guru untuk mempertahankan dan meningkatkan motivasi belajar (Hamalik, 2001): (1) Mengkaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa, sehingga tujuan belajar menjadi menjadi tujuan siswa atau sama dengan tujuan siswa (2) Membuat pelajaran penuh arti, yaitu:(a) Mengkaitkan bahan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (b) Mengkaitkan bahan pelajaran dengan pengalaman siswa, (c) Membuat penyajian lebih menarik, yaitu dengan memilih model atau metode pembelajaran yang membuat siswa lebih perhatian. Budaya tercipta atau terwujud merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh Tuhan dengan dibekali oleh akal pikiran sehingga mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini. Disamping itu manusia juga memiliki akal, intelegensia, intuisi, perasaan, emosi, kemauan, fantasi dan perilaku. Dengan semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia bisa menciptakan kebudayaan. Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusia yang menciptakannya dan manusia dapat hidup ditengah kebudayaan yang diciptakannya. Kebudayaan akan terus hidup manakala ada manusia sebagai pendudukungnya. Ada tiga wujud kebudayaan, yaitu meliputi sebagai berikut. 8 Page Menurut J.J. Hoenigman dalam Koentraningrat (1986) wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan (wujud ideal), aktivitas (tindakan), dan artefak (karya). 1.Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. 8 1. Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan lainnya. Wujud ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Tempatnya ada di dalam kepala atau pikiran, atau bisa juga tertuang dalam tulisan-tulisan. Istilah lain yang lebih tepat untuk menggambarkan wujud ideal kebudayaan ini adalah adat atau adat istiadat. 2. Sebagai suatu kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini sering disebut juga sistem sosial atau social system, yakni tindakan berpola manusia itu sendiri. Sebagai rangkaian aktivitas manusia, sistem sosial atau wujud kebudayaan ini bersifat konkret atau nyata, terjadi setiap saat di sekitar kita, dapat diobservasi, dan dapat didokumentasikan. 3. Sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini sering disebut juga dengan kebudayaan fisik. Oleh karena sifatnya benda fisik, wujud ini sangat konkret, dapat diraba, dilihat, dan difoto. Misalnya, komputer, bangunan, dan pakaian. 9 Page Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut ahli atropologi Cateora dalamKoentraningrat(1986) yaitu : 1. Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci. 2.Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. 3.Lembaga social dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek berhubungan dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem social yang terbantuk dalam suatu Negara akan menjadi dasar dan konsep yang berlaku pada tatanan social masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota dan desa dibeberapa wilayah, wanita tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan. Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier 4. Sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi. 5.Estetika berhubungan dengan seni dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari –tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Misalkan di beberapa wilayah dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning dan buah – buahan, sebagai symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut. 9 2.Aktivitas (tindakan) adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. 3.Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. 6.Bahasa merupakan alat pengatar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah, bagian dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa memiliki sidat unik dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebu. Jadi keunikan dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain. Unsur-unsur budaya atau kebudayaan universal menurut C. Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat,1986) meliputi tujuh unsur pokok yang dimiliki setiap kebudayaan, yaitu sebagai berikut. 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi 5. Sistem mata pencaharian hidup 6. Sistem religi 7. Kesenian Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap masyarakat juga bergantung pada kebudayaannya.Setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang secara kontinyu ditaati dan diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya.Secara sadar atau tidak sadar, secara terstruktur maupun tidak terstruktur, masyarakat melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaannya. Proses mengajarkan inilah yang disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan kebudayaan. Proses tranformasi budaya dapat dilakukan melalui ucapan, sikap, atau perilaku yang sudah terpola. Dengan kata lain, transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses belajar. 10 Page Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. 10 Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organisme). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seorang manusia lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, karena itu anak menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan. Kebudayaan berasal dari kata budaya yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan. Manusia dan kebudayaan pada hakekatnya memiliki hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari seorang manusia itu adalah merupakan kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu sebagai: 1) 2) 3) 4) penganut kebudayaan pembawa kebudayaan manipulator kebudayaan, dan pencipta kebudayaan Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik dan gender. 11 Page SIMPULAN Tidak sejalannya antara tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kebijakan dengan praktik pembelajaran, menimbulkan adanya jarak atau pemisah antara pengetahuan dengan sikap dan perilaku siswa. Proses pembelajaran justru membuat anak menjadi pasif. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa anak yang baik adalah anak yang duduk, dengar, diam, lakukan apa yang diperintah saja. Kondisi ini berjalan lebih dari 90% waktu yang dialokasikan untuk belajar. Proses pembelajaran yang kaku seperti itu akan memutus hubungan antara kognitif, psikomotor, dan afektif. 11 Pendidikan sedini mungkin dapat menyediakan pelayanan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengarahkan pada persiapan menghadapi tantangan ke depan. Pendidikan mengarah pada pembentukan karakter, performa yang konkrit (observable) yang berkembang dalam tiga ranah kemampuan, yaitu: kognitif, psikomotor, dan afektif. Pengembangan kemampuan pada ketiga ranah tersebut dilihat sebagai suatu kesatuan yang saling melengkapi dan terintegrasi. Para penyelenggara pendidikan diharapkan mampu mengembangkan program dan proses pembelajaran untuk menggiring siswa agar memiliki kompetensi dan dapat menggembangkan segala apa yang telah dimilikinya, yang diperoleh selama proses belajar, sehingga bermanfaat dalam kehidupan secara akademis maupun kehidupan sehari-hari. Perlu juga ditekankan di sini bahwa dalam kehidupan nyata, antara kemampuan akademis dan non akademis menyatu secara kontinum. Untuk itu seharusnya, program dan proses pembelajaran tidak membuat dikotomi (memisahkan secara tegas) di antara keduanya. Semua ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah upaya membangun budaya suatu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang modern, maju, dan harmoni yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang diyakini bersama oleh suatu masyarakat. Sehingga tujuan pendidikan untuk mengembangkan potensi melalui pemberian ruang gerak yang seluas-luasnya kepada setiap siswa untuk tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, kreatif dan berakhlak mulia sulit tercapai. Potensi siswa akan berkembang jika pendidikan memberikan ruang yang seluas-luasnya sehingga siswa bebas berekspresi dan berkreasi. Kondisi ini akan memperkecil peluang berkembangnya sikap-sikap negatif. Untuk itu perlu dikembangkan situasi atau iklim pembelajaran yang alami, mirip dengan kehidupan nyata dan demokratis. Jika tidak demikian, anak-anak akan tercabut dari akar budayanya. Brain Based Learning menjadi salah satu model untuk mengatasi persoalan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. 2008. Pendidikan Karakter: Bagaimana Menjadi Manusia yang berkarakter Baik. Jurnal Pendidikan Nilai. 16(2) Anas,Zulfikri.2011. Pendekatan Brain Based Learning Dalam Penanaman Nilai Budaya.Universtas Negeri Semarang : Jurnal Komunitas 3 (2) De Porter, Bobbi and Hernachi, Mike (2004).QuantumTeaching,Bandung,Kaifa. Hamdani, A. 2010. Pendekatan Akademis Pendidikan Berbasis Nilai Karakter dan Budaya Mahasiswa di STIE AUB Surakarta. Jurnal Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya Jensen, Eric. 2011. Brain Based Learning, (terjemahan): Pembelajaran Berbasis Otak: Cara baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Joesoef, Daud. 1982. Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam Majalah Kebudayaan, no. 1 , tahun 1981/1982 Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Laksono, P.M. 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Mawardi. 2009. IAD – ASD – IBD. Bandung: Pustaka Setia Masinambow, E.K.M (ed). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia. Jakarta: AAI dan Yayasan Obor Indonesia Nugroho, Widyo. 1994. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Universitas Gunadarma Page 12 Susarno, L.H. 2010. Strategi Penyampaian Bahan Ajaran Melalui Pemanfaatan Metode dan Media dalam Proses Pembelajaran. Jurnal Teknologi Pendidikan. 10(1): 1-7 Winataputra, Udin S, (2007), Teori Belajar dan Pembelajaran, Jakarta : Universitas Terbuka. 12