VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN FUNGSI

advertisement
TESIS
VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN
GANGGUAN FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN
OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA
MENCIT (Mus musculus)
EVA RIANAH
NIM 1290761043
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
TESIS
VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN
GANGGUAN FUNGSI HATI YANG DISEBABKAN
OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA
MENCIT (Mus musculus)
Tesis ini untuk memperoleh gelar Magister
dalam bidang Ilmu Kedokteran,
Kekhususan Anti Aging Medicine pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
EVA RIANAH
NIM 1290761043
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
Lembaran Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL: 25 NOVEMBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
NIP :194606191976021001
Prof.Dr.dr.Wimpie I. Pangkahila,SpAnd,FAACS
NIP . 194612131971071001
Mengetahui,
Ketua Program Magister Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof.Dr.dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
NIP.194612131971071001
NIP:195902151985102001
iii
Tesis ini Telah Diuji dan Dinilai
Pada tanggal 25 November 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Program Pascasarjana Universitas Udayana
No: 3464/UN.14.4/HK/2014 Tanggal: 19 September 2014
Panitia Penguji Tesis adalah:
Ketua
: Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK
Anggota :
1.
2.
3.
4.
Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC.,Sp.And
Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH,Ph.D
Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK.,M.Kes.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Eva Rianah
NIM
: 1290761043
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine
Judul Tesis
: VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN
FUNGSI
HATI
YANG
DISEBABKAN
OLEH
PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA MENCIT (Mus
musculus)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 25 November 2014
Yang membuat pernyataan
( Eva Rianah )
*Coret yang tidak perlu
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Pertama-tama
perkenankanlah
penulis
memanjatkan
puji
syukur
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan
penyusunan tesis yang berjudul “Vitamin C mencegah Nekrosis dan Gangguan
Fungsi Hati yang disebabkan oleh Parasetamol Dosis Toksik pada Mencit
(Mus musculus)” dapat berjalan lancar sesuai waktu yang direncanakan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir belajar
untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu
Kedokteran Biomedik, kekhususan Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana
Universitas Udayana. Dengan selesainya laporan ini, penulis ingin manyampaikan
rasa hormat serta penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah meberikan fasilitas pendidikan dan kesempatan
kepada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. A. A Raka Sudewi, SpS(K) sebagai Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budhiarsa, MA selaku
Asdir I dan Prof. Dr. Made Sudiana Mahendra, Ph selaku Asdir II atas
kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswi di Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana.
3. Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS, Ketua Program
Studi Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine
vi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta penguji dan pembimbing
II yang banyak memberikan bimbingan, koreksi, masukan, saran ilmiah
serta memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah.
4. Prof. Dr. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK, Kepala Laboratory Animal Unit
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta
penguji dan pembimbing pembimbing I, yang telah meberikan masukan
dan saran ilmiah dan semangat untuk terus maju untuk menyelesaikan
karya ilmiah ini.
5. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And selaku penguji yang
secara teliti mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif
baik saat akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih
menyempurnakan laporan ini.
6. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH., Ph.D selaku penguji yang secara teliti
mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat
akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan
laporan ini.
7. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes. selaku penguji yang secara teliti
mengkoreksi tesis ini dan memberikan masukan yang positif baik saat
akan mulai penelitian sampai penulisan, untuk lebih menyempurnakan
laporan ini.
8. Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan seluruh staf laboratorium
Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana
yang membimbing, memberi saran, masukan sehubungan pelaksanaan
vii
pemeriksaan histopatologi serta analisanya sehingga penelitiannya dapat
berjalan lancar.
9. Drs. I
Ketut Tunas, Msi
yang sangat banyak membantu terutama
memberikan masukan, saran, terutama dalam analisis statistik sehingga
tesis ini dapat diselesaikan.
10. Para dosen dan pengajar Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, teman-teman seperjuangan dan seluruh karyawan bagian Ilmu
Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan,
penelitian dan penulisan tesis ini, dengan rendah hati saya ucapkan beribu
terimakasih.
11. Bapak I Gede Wiranata yang selalu menyumbang pikiran positif serta
memberi bantuan tanpa kenal lelah dari saat pemeliharaan tikus dan
bantuan selama pelaksanaan penelitian sehingga penelitian berjalan
lancar.
12. Suami tercinta, dr. Zulfikar Idamansyah, Sp.OG dan anak-anak ku
tersayang, Keisha Zulva Ramadhani, Nayla Salsabilla Zulva, Myiesha
Nafeeza Zulva,
yang selalu merasa kekurangan waktu, dan ikut
merasakan suka duka penulis selama menjalankan pendidikan Magister di
Program Biomedik kekhususan Anti Aging Medicine di Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Serta kedua orang tua dan saudara saya
terimakasih
atas
doa,
dukungannya
pendidikan.
viii
selama
penulis
menempuh
Tiada gading yang tak retak, tesis ini memang masih jauh dari sempurna.
Saran dari berbagai pihak akan penulis terima dengan hati terbuka untuk
kelengkapan dan lebih baiknya laporan tesis ini. Semoga semua yang baik dari
segala penjuru bersatu di dalam hati kita semua.
Akhir kata, semoga Allah Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan
berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua, amin.
Denpasar, 25 November 2014
Penulis
ix
ABSTRAK
VITAMIN C MENCEGAH NEKROSIS DAN GANGGUAN FUNGSI HATI
YANG DISEBABKAN OLEH PARASETAMOL DOSIS TOKSIK PADA
MENCIT (Mus musculus)
Parasetamol sebagai salah satu analgesik antipiretik yang sangat efektif
dalam mengurangi rasa nyeri, menurunkan demam, tidak mengiritasi lambung dan
banyak digunakan karena mudah didapatkan dan dijual tanpa harus dengan resep
dokter. Toleransi yang tinggi dan ketersediaan over-the-counter atau dapat dibeli
dimana saja, maka kejadian overdosis obat pada penggunaan akut atau kronis
sering menyebabkan kerusakan hati yang serius, terutama pada dosis harian lebih
besar dari 4 gram pada orang dewasa. Pemberian vitamin C pada manusia secara
oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu pemberian vitamin C
juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat mencegah kerusakan sel hati.
Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa pemberian vitamin C dapat
melindungi hati terhadap efek parasetamol dosis toksik.
Penelitian ini adalah merupakan animal experimental dengan Post Test Only
Control Group Design. Sebanyak 30 ekor mencit dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok kontrol (parasetamol 0,52 mg/g berat badan mencit dan plasebo),
kelompok perlakuan 1 (parasetamol 0,52 mg/g berat badan mencit dan Vitamin C
0,065 mg/g berat badan mencit), dan kelompok perlakuan 2 (parasetamol 0,52
mg/g berat badan mencit dan Vitamin C 0,13 mg/g berat badan mencit).
Penelitian ini dilakukan selama 14 hari, kemudian dilakukan pemeriksaan kadar
AST dan ALT dalam serum plasma heparin mencit serta gambaran
histopatologinya pada masing-masing kelompok yang menjadi data posttest.
Hasil Uji Shapiro-Wilk dan Levene’test menunjukkan bahwa distribusi data
ketiga kelompok normal dan varian data ketiga kelompok homogen dengan
p>0,05. Uji perbandingan antara ketiga kelompok sesudah perlakuan berupa
pemberian vitamin C menggunakan uji One Way Anova menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan secara bermakna antara rerata ketiga kelompok baik itu
penurunan kadar ALT, AST dan skor nerkrosis dengan p<0,05. Pada kelompok
perlakuan 1 dan perlakuan 2 terjadi penurunan kadar Alanine Aminotransferase
sebesar 7,68% dan 24,81%, penurunan kadar Aspartate Aminotransferase sebesar
12,18% dan 24,36% dan penurunan skor nekrosis sebesar 68,26% dan 85,02%.
Kesimpulannya adalah pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan
kadar Alanine Aminotransferase/ALT, Aspartate Aminotransferase/AST, nekrosis
sel hati pada mencit yang dipapar parasetamol dosis toksik.
Kata kunci: parasetamol, vitamin C, alanine aminotransferase/ALT, aspartate
aminotransferase/AST, nekrosis
x
ABSTRACT
VITAMIN C PREVENTED NECROSIS AND DYSFUNCTION OF LIVER
CAUSED BY PARACETAMOL TOXIC DOSES IN MICE (Mus musculus)
Paracetamol as one of analgesic antipyretic is very effective in relieving
pain, reducing fever, and minimalize irritable to the stomach. It is also widely
used because it is easily obtained without a prescription. High tolerance and
availability of over-the-counter or can be purchased anywhere, tends to correlate
to the incidence of drug overdose in acute or chronic use, which consequently
leads to serious liver damage, especially at daily doses greater than 4 grams in
adults. Administration of vitamin C in humans orally can counteract the effects of
free radical compounds. In addition, administration of vitamin C can also increase
glutathione so as to prevent damage to the liver cells. The purpose of this study
was to prove that the administration of vitamin C could protect the liver against
the effects of paracetamol toxic doses.
This study was an experimental animal with Post Test Only Control Group
Design. A total of 30 mice were divided into 3 groups: control group (paracetamol
0.52 mg/g body weight of mice and placebo), treatment group 1 (paracetamol 0.52
mg/g body weight of mice and vitamin C 0.065 mg /g body weight of mice), and
treatment group 2 (paracetamol 0.52 mg/g body weight of mice and Vitamin C
0.13 mg/g body weight of mice). The study was conducted over 14 days, then
examined the levels of AST and ALT in heparin plasma serum and
histopathologic of mice in each group for posttest data.
Results of Shapiro-Wilk test and Levene'test showed that all three groups of
data distribution was normal and variant data of the three groups were
homogeneous with p>0.05. Test comparisons among the three groups after
treatment with vitamin C using One Way Anova test showed that there were
significant differences between the mean of the three groups either decreased
levels of ALT, AST and nercrosis scores with p<0.05. In the treatment group 1
and treatment 2 decreased alanine aminotransferase levels of 7.68% and 24.81%,
decreased levels of aspartate aminotransferase by 12.18% and 24.36% and a
decrease of necrosis score 68.26% and 85.02 %.
The conclusion was that vitamin C prevented increase levels of alanine
aminotransferase/ ALT, aspartate aminotransferase/ AST, liver cell necrosis in
mice exposed to paracetamol toxic doses.
Keywords: paracetamol, vitamin C, alanine aminotransferase/ALT, aspartate
aminotransferase/AST, necrosis
xi
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR ........................................................................................................
SAMPUL DALAM ....................................................................................................
LEMBARAN PENGESAHAN ..................................................................................
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...........................................................
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................
ABSTRAK .................................................................................................................
ABSTRACT ...............................................................................................................
DAFTAR ISI ..............................................................................................................
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................
DAFTAR TABEL ......................................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................
DAFTAR SINGKATAN ...........................................................................................
i
ii
iii
v
vi
x
xi
xii
xiv
xv
xvi
xvii
BAB I
1.1
1.2
1.3
1.4
1
1
5
6
6
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ............................................................................................
Rumusan Masalah .......................................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................
2.1 Aging ...........................................................................................................
2.1.1 Teori-teori Aging ................................................................................
2.2 Antioksidan ..................................................................................................
2.3 Asam Askorbat (Vitamin C) ........................................................................
2.3.1 Manfaat Vitamin C .............................................................................
2.3.2 Sumber-sumber Vitamin C ................................................................
2.3.3 Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan .............................
2.4 Parasetamol (Asetaminofen) .......................................................................
2.5 Hati ..............................................................................................................
2.5.1 Fisiologi Hati .....................................................................................
2.5.2 Histologi Hati .....................................................................................
2.5.3 Kerusakan Hati Akut..........................................................................
2.6 Enzim Transaminase ALT dan AST ............................................................
2.7 Konversi Dosis Manusia dan Hewan ...........................................................
8
8
9
12
13
13
14
15
17
21
21
22
24
25
26
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ...
3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................
3.2 Konsep .........................................................................................................
3.3 Hipotesis Penelitian .....................................................................................
27
27
28
29
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................... 30
4.1 Rancangan Penelitian .................................................................................. 30
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... 30
xii
4.3 Populasi dan Sampel ...................................................................................
4.4 Variabel Penelitian ......................................................................................
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian .................................................................
4.6 Pemeliharaan & Perawatan Mencit Selama Penelitian ...............................
4.7 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT .........................................................
4.8 Prosedur Penelitian .....................................................................................
4.9 Prosedur Pemeriksaan Histopatologi ..........................................................
4.10 Analisis Data ...............................................................................................
31
32
33
33
34
36
36
37
BAB V
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
HASIL PENELITIAN .................................................................................
Uji Normalitas Data ....................................................................................
Uji Homogenitas Data .................................................................................
Kadar Alanine Aminotransferase ................................................................
Kadar Aspartate Aminotransfere ................................................................
Nekrosis ......................................................................................................
40
40
41
41
43
46
BAB VI
6.1
6.2
6.3
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ....................................................
Subyek Penelitian ........................................................................................
Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian .....................................
Pengaruh Pemberian Vitamin C ..................................................................
50
50
50
51
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 55
xiii
DAFTAR GAMBAR
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
3.1
4.1
4.2
4.3
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
Rumus Bangun Asam Askorbat (Vitamin C) ..................................................
Hubungan Sinergisme Sistem Antioksidan ......................................................
Rumus Bangun Asetaminofen .........................................................................
Metabolisme Asetaminofen pada proses hepatotoksis .....................................
Histologi Hepar ................................................................................................
Histologi Lobus Hati ........................................................................................
Bagan Konsep Penelitian .................................................................................
Skema Rancangan Penelitian ...........................................................................
Hubungan Antar Variabel ................................................................................
Alur Penelitian .................................................................................................
Perbandingan Kadar Alanine Aminotransferase antara Kelompok Kontrol
dengan Kelompok Perlakuan ............................................................................
Perbandingan Kadar Aspartate Aminotransferase antara Kelompok Kontrol
dengan Kelompok Perlakuan ............................................................................
Perbandingan Nekrosis antara Kelompok Kontrol dengan Kelompok
Perlakuan ..........................................................................................................
Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada
kelompok kontrol setelah perlakuan .................................................................
Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada
kelompok perlakuan 1 setelah perlakuan ..........................................................
Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis pada
kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan ..........................................................
xiv
15
16
17
20
22
23
29
31
33
36
42
44
47
47
48
48
DAFTAR TABEL
4.1
5.1
5.2
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7
5.8
Skor Nekrosis Sentrilobular ..............................................................................
Hasil Uji Normalitas Data Alanine Aminotransferase (ALT), Aspartate
Aminotransferase (AST), dan Nekrosis ............................................................
Homogenitas Kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase,
dan Nekrosis antar Kelompok Perlakuan .........................................................
Perbedaan Rerata Kadar Alanine Aminotransferase Antar Kelompok
Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C..............................
Analisis Komparasi Kadar Alanine Aminotransferase Sesudah Perlakuan
antar Kelompok ................................................................................................
Perbedaan Rerata Kadar Aspartate Aminotransferase Antar Kelompok
Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C..............................
Analisis Komparasi Kadar Aspartate Aminotransferase Sesudah Perlakuan
antar Kelompok ................................................................................................
Perbedaan Rerata Nekrosis Antar Kelompok Sesudah Diberikan
Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C .............................................................
Analisis Komparasi Nekrosis Sesudah Perlakuan antar Kelompok ..................
xv
38
40
41
41
43
44
45
46
49
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Ethical Clearance ...................................................................................
Lampiran 2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan Untuk
Konversi Dosis Manusia dan Hewan ....................................................
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ALT dan AST ..................................
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Histopatologi...........................................................
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Statistik ............................................................
Lampiran 6. Kumpulan Foto Penelitian .....................................................................
Lampiran 7. Prosedur Penanganan Hewan Coba .......................................................
xvi
58
59
60
61
62
68
71
DAFTAR SINGKATAN
ALT
AST
SGPT
SGOT
DNA
AAM
A4M
SOD
PUFAs
: Alanine Aminotransferase
: Aspartate Aminotransferase
: Serum Glutamic Piruvic Transaminase
: Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase
: Deoxy Nucleic Acid
: Anti-Aging Medicine
: American Academy of Anti-Aging Medicine
: Super Oksida Dismutase
: Poly Unsaturated Faty Acids
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penuaan atau aging process adalah suatu proses bertambah tua atau
adanya tanda-tanda penuaan setelah mencapai usia dewasa. Secara alamiah seluruh
komponen tubuh pada tahap ini tidak dapat berkembang lagi, dan mulai terjadi
penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan tersebut. Pada umumnya orang
menganggap menjadi tua memang harus terjadi dan membiarkan berbagai tanda
dan gejala penuaan yang mulai muncul. Ada banyak faktor yang menyebabkan
orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menjadi sakit dan
akhirnya membawa kepada kematian.
Anti-aging medicine menganggap dan memperlakukan penuaan sebagai
suatu penyakit yang dapat dihindari, diobati, dicegah, diperlambat, bahkan mungkin
dihambat dan kualitas hidup dipertahankan. Faktor-faktor itu dapat dikelompokkan
menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah terbentuknya
radikal bebas yang bersifat merusak sel, penurunan efisiensi mitokondria, terjadinya
ikatan glukosa-protein, penurunan kemampuan membran sel dan penurunan sistem
imun, hormon yang berkurang, proses glikolisis, metilasi, apoptosis dan gen. Faktor
eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat, stress, polusi lingkungan dan
kemiskinan (Pangkahila, 2007).
Perubahan terjadi pada tingkat seluler, organ, maupun sistem karena
proses penuaan, yang kesemuanya ini akan mengakibatkan timbulnya
1
xviii
penyakit degeneratif dan obesitas yang diakui sebagai salah satu faktor
terhadap munculnya berbagai penyakit seperti hiperkolesterol, diabetes,
penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan kanker. Kelebihan komposisi lemak
tubuh dan distribusi lemak dalam tubuh merupakan ancaman terbesar dalam
mempercepat penuaan (Goldman and Klatz, 2007).
Banyak teori yang menjelaskan
manusia dapat mengalami proses
penuaan, di antaranya teori radikal bebas, dan teori wear and tear. Menurut
teori radikal bebas, suatu organisme menjadi tua karena akumulasi kerusakan
oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas akan merusak
molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut, sehingga
menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel.
Molekul utama di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas adalah
deoxy nucleic acid (DNA), lemak, dan protein (Goldman and Klatz, 2007).
Menurut teori wear and tear, tubuh dan selnya menjadi rusak karena
terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ tubuh seperti hati,
lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan
dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan
nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi
kerusakan ini tidak terbatas pada organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel.
Teori ini menyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan
yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan. Mekanismenya
dengan merangsang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan dan
mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2007).
xix
Parasetamol/ asetaminofen merupakan salah satu analgesik antipiretik
yang efektif, menghilangkan rasa nyeri, menurunkan panas, tidak mengiritasi
lambung dan banyak digunakan karena mudah didapatkan dan dijual tanpa
harus dengan resep dokter. Parasetamol lebih dari 1 miliar tablet yang dijual
setiap tahun di Amerika Serikat saja (Nourjah et al., 2006). Toleransi yang
tinggi dan ketersediaan over-the-counter atau dapat dibeli dimana saja, maka
kejadian overdosis obat pada penggunaan akut atau kronis sering
menyebabkan kerusakan hati yang serius, terutama pada dosis harian lebih
besar dari 4 gram pada orang dewasa (Ostapowicz et al., 2002).
Diperkirakan bahwa lebih dari 56.000 kasus yang datang ke ruang
emergensi dan hampir 500 kematian terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya, akibat keracunan parasetamol (Nourjah et al., 2006). Namun,
angka ini terus meningkat. Dalam beberapa waktu terakhir, keamanan
parasetamol bahkan pada dosis terapi telah menimbulkan perdebatan (Jalan et
al., 2006). Hasil penelitian Watkins dan rekan serta studi lain telah membuka
kembali kontroversi tentang keamanan terapi parasetamol pada pengobatan
terus menerus jangka panjang (Yin et al., 2001; Watkins et al., 2006). Cidera
hati akut telah dilaporkan pada pasien dosis terapi parasetamol (Yin et al.,
2001; Watkins et al., 2006).
Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati akut disebabkan oleh
reaksi peroksidasi lipid yang meningkat pada jaringan hati (Schnellman,
2001; Bessems dan Vermeulen, 2001). Hepatotoksisitas akut parasetamol
akan ditandai dengan peningkatan serum dari enzim-enzim hati (Alanine
xx
Aminotransferase (ALT)/ Serum Glutamic Piruvic Transaminase (SGPT) dan
Aspartate
Aminotransferase
(AST)/
Serum
Glutamic
Oxaloacetic
Transaminase (SGOT) (Schellman, 2001). ALT dan AST yang paling sering
digunakan untuk penanda cidera hepatoseluler yang akut. Enzim ini, ALT
ditemukan banyak terutama di hati sedangkan AST ditemukan banyak dalam
berbagai jaringan lain seperti jantung dan otot rangka, ginjal, otak, dan lainlain (Rochiling et al., 2001).
Secara fisiologis vitamin C adalah penangkal radikal bebas yang kuat
hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma, jaringan mata, otak,
paru–paru, hati, jantung, sperma dan leukosit, dan berperan melindungi selsel dari kerusakan oksidatif termasuk mencegah mutasi DNA, dan
memperbaiki dioksidasi residu asam amino memelihara integritas protein (Yi,
2007). Penelitian yang dilakukan Adejuwon et al. (2008), melaporkan bahwa
pemberian vitamin C 100-500 mg/kg dapat melindungi kerusakan hati dari
konsumsi asetaminofen dimana vitamin C berperan menghambat radikal
bebas yang baik.
Pemberian vitamin C dengan dosis 1 mg/kg berat badan pada manusia
secara oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu
pemberian vitamin C juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat
mencegah kerusakan sel hati (Fauzi, 2008).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka jelaslah bahwa
parasetamol dapat menyebabkan nekrosis dan gangguan fungsi hati dan
vitamin C berpotensi sebagai bahan pelindung hati dari pengaruh parasetamol
xxi
tersebut. Namun, pilihan terapi untuk pengobatan dan profilaksis yang
berhubungan dengan komplikasi parasetamol sangat terbatas (James et al.,
2003). Dengan demikian, penelitian yang berhubungan dengan komplikasi
parasetamol berupa nekrosis dan gangguan fungsi hati menjadi keharusan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proteksi vitamin C
terhadap nekrosis dan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh
parasetamol yang dicobakan pada mencit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, maka
dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut :
1.
Apakah pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Alanine
Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.
2.
Apakah
pemberian
vitamin
C
dapat
mencegah
peningkatan
kadar
Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.
3.
Apakah pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati mencit yang
disebabkan parasetamol dosis toksik.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
xxii
Untuk mengetahui pengaruh proteksi vitamin C terhadap nekrosis dan
gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh parasetamol dosis toksik.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar
Alanine Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol
dosis toksik.
2. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar
Aspartate Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol
dosis toksik.
3. Untuk mengetahui pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati
mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah tentang
penggunaan vitamin C dalam melindungi hati terhadap efek parasetamol
dosis toksik.
1.4.2 Manfaat Aplikatif
xxiii
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi
masyarakat tentang manfaat penggunaan vitamin C dalam melindungi hati
terhadap efek parasetamol.
BAB II
xxiv
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Aging
Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan
fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan
berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik
seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini
atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).
Menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine), aging
adalah kelemahan dan kegagalan baik fisik maupun mental yang
berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi fisiologik,
dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat
(Klatz, 2003). Aging dapat dibagi menjadi dua konsep yang berbeda, yaitu :
usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis yaitu usia berdasarkan
urutan waktu, terhitung sejak tanggal lahir, sedangkan usia biologis
merupakan fungsi fisik dan mental seseorang, yang terkadang dapat lebih
muda atau lebih tua bila dibandingkan orang lain yang seusianya (Goldman
dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007).
Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Anti-Aging Medicine
(AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan
diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati
bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat
menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz,
8
xxv
2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai
organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh
dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, walaupun usia bertambah.
Dengan
demikian
penampilan
dan
kualitas
hidupnya
lebih
muda
dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007).
Konsep dan definisi AAM pada awalnya diperkenalkan oleh A4M (
American Academy of Anti-Aging Medicine) pada tahun 1993, definisinya
adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini,
pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula berbagai
disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang
bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat ” (Pangkahila,
2007)
2.1.1 Teori-teori Aging
Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga molekuler secara
umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu aging sebagai sesuatu yang
terprogram (programmed theory) dan aging merupakan sesuatu yang tidak
terprogram
(non-programed
theory).
Teori
terprogram
berdasarkan
pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia
diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk
sejumlah perubahan. Teori tidak-terprogram menyatakan organisme menjadi
tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan DNA oleh radikal
xxvi
bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Ada 4 teori
pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007).
Teori “wear and tear”
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung,
ginjal, kulit dan yang lainya, menurun karena toksin didalam makanan dan
lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin,
karena sinar ultraviolet dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi
kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.
Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan
berbagai hormon bagi fungsi organ
tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh
hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk
poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan
hormonya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam
jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA,
dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan
xxvii
fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut
menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.
Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena
terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu.
Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi,
karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul
menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu
elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang
elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan
kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di
dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan
protein (Suryohudoyo, 2000).
Bersamaan dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel
akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu
metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa
pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen
dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel
dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal
bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit
xxviii
dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas
(Goldman dan Klatz, 2007).
2.2 Antioksidan
Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 yaitu antioksidan
enzimatis dan antioksidan non enzimatis yang berupa mikronutrien.
Antioksidan enzimais dapat dibentuk dalam tubuh, seperti super oksida
dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan glutation reduktase.
Sedangkan antioksidan non enzimatis yang berupa mikronutrien masih dibagi
dalam 2 kelompok lagi :
1. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karetenoid, flavonoid, quinon,
dan bilirium.
2. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam,
dan protein pengikat heme.
Beta karoten merupakan scavengers oksigen tunggal, vitamin C scavengers
superoksida dan radikal bebas yang lain, sedangkan vitamin E merupakan
pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein.
Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi
Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel
dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi, 2004).
Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi : (Hariyatmi, 2004)
a.
Tipe
pemutus
rantai
reaksi
pembentuk
menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E.
xxix
radikal
bebas,
dengan
b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat
pemulung, misalnya vitamin C.
c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+ dan
Cu2+, misalnya flavonoid.
d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi
bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation
peroksidase.
Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah sebagai berikut:
a. Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal
b. Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif
c. Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik
d. Mencegah kemampuan oksigen reaktif
e. Memperbaiki kerusakan yang timbul.
2.3 Vitamin C (Asam Askorbat)
2.3.1 Manfaat Vitamin C
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan sangat penting
untuk biosintesis kolagen, karnitin dan berbagai neurotransmiter.
Kebanyakan tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat mensintesis vitamin C
untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan hewan primata
lainnya, tidak mampu mensintesis vitamin C karena tidak memiliki enzim
gulonolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar
pemakan buah. Oleh sebab itu, pada manusia dan hewan vitamin C harus
xxx
disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayur atau tablet suplemen
vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang diperoleh dari
vitamin
C,
misalnya
sebagai
anti
oksidan,
anti
atherogenik,
imunomodulator dan mencegah flu. Untuk dapat berfungsi dengan baik
sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga agar tetap
dalam kadar yang relatif tinggi dalam tubuh (Yi, 2007). Konsumsi 500 –
1000 mg vitamin C sehari sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dan
kerusakan di jaringan organ.
2.3.2 Sumber-sumber Vitamin C
Vitamin C banyak dijumpai dalam buah-buahan dan sayuran segar.
Buah yang banyak mengandung asam askorbat diantaranya adalah jeruk,
jeruk lemon, semangka, strawberi, mangga dan nanas. Sedangkan sayuran
yang banyak mengandung asam askorbat antara lain adalah sayuran yang
berwarna hijau, tomat, brokoli dan kembang kol. Kebanyakan tumbuhan
dan hewan mensintesis asam askorbat dari glukosa-D atau galaktosa-D.
Sebagian besar hewan memproduksi vitamin C yang relatif tinggi dari
glukosa yang terdapat di hati (Naidu, 2003). Asam askorbat merupakan
molekul yang labil, sehingga dapat hilang dari makanan pada saat
dimasak. Vitamin C sintetis tersedia dalam berbagai macam suplemen
bentuknya bisa bermacam macam baik dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
kunyah, bubuk kristal, dan dalam bentuk larutan. Baik vitamin C yang
alami maupun yang sintetis memiliki rumus kimia yang identik dan tidak
terdapat perbedaan aktifitas biologi dan bioavailabilitasnya (Naidu, 2003).
xxxi
2.3.3 Mekanisme Kerja Vitamin C sebagai Antioksidan
Gambar 2.1 Rumus Bangun Vitamin C (Lavoiser, 1998)
Vitamin C adalah nutrien dan vitamin yang larut dalam air dan penting
untuk kehidupan serta untuk menjaga kesehatan. Vitamin ini juga dikenal
dengan nama kimia dari bentuk utamanya yaitu asam askorbat. Vitamin C
dikenal sebagai antioksidan terlarut air paling dikenal.
Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja sebagai donor elektron, dengan
cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam Cu. Selain itu, vitamin C
juga dapat menyumbangkan elektron ke dalam reaksi biokimia intraseluler
dan ekstraseluler. Vitamin C mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif
didalam sel netrofil, monosit, protein lensa, dan retina. Vitamin ini juga dapat
bereaksi dengan Fe-feritin. Diluar sel, vitamin C mampu menghilangkan
senyawa oksigen reaktif, mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer
xxxii
elektron ke dalam tokoferol teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam
saluran pencernaan.
Gambar 2.2 Hubungan Sinergisme Sistem Antioksidan
(Helen, 2000)
Gambar 2.2 menjelaskan hubungan yang sinergisme di dalam sistem
antioksidan. Adanya suatu radikal yang masuk, pertama kali akan dinetralisir
oleh vitamin E, kemudian vitamin C dan dilanjutkan oleh mekanisme
oksidatif dari dalam tubuh, dilakukan oleh enzim, misal gluthathion. Di
dalam sistem tersebut ada saling keterkaitan antara satu dengan lain
(antioxidant network). Beberapa antioksidan penting dalam mekanisme untuk
menghambat
kerusakan
oksidatif
akibat
radikal
bebas,
diantaranya
gluthathion peroksidase, vitamin C dan vitamin E. Antioksidan bisa
dikelompokkan berdasar sumbernya menjadi antioksidan endogen dan
eksogen. Antioksidan endogen merupakan antioksidan secara alami berada
dalam sel manusia diantaranya adalah superokside dismutase (SOD), katalase
(CAT), dan gluthathion peroksidase (GPx). Antioksidan eksogen adalah
antioksidan yang berasal dari luar tubuh, berasal dari makanan sehari-hari
seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin E, ß–karoten), dan senyawa
fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin, polifenol) (Helen, 2000).
xxxiii
Sebagai zat penyapu radikal bebas, vitamin C dapat langsung bereaksi
dengan anion superoksida, radikal hidroksil, oksigen singlet dan lipid
peroksida. Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron
membentuk semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya
mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat
tidak stabil. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan
asam treonat. Oleh karena kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal
bebas, maka peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran
sel (Suhartono et al, 2007).
2.4 Parasetamol (Asetaminofen)
Parasetamol/ asetaminofen dengan rumus molekulnya C8H9NO2
mempunyai kerja yang serupa dengan fenasetin dengan khasiat analgetik dan
antipiretik yang sama (sedikit lebih lemah dari asetosal). Sifat-sifat
farmakokinetiknya lebih kurang sama dengan fenasetin, efek sampingnya
lebih ringan, khususnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euphoria
dan ketergantungan psikis. Tidak menimbulkan perdarahan lambung seperti
asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir parasetamol banyak sekali
digunakan di Indonesia sebagai analgetik-antipiretik yang aman.
Gambar 2.3 Rumus Bangun Asetaminofen (Darmansjah, 2002)
xxxiv
Namun penggunaannya tetap harus hati-hati, karena dosis 6-12 gram
sudah dapat merusak hati secara serius. Hal ini disebabkan oleh karena
terbentuknya metabolit reaktif didalam hati. Keuntungan lain dari
parasetamol dibandingkan dengan fenasetin adalah kelarutannya didalam air,
sehingga dapat digunakan dalam sediaan-sediaan cair. Parasetamol/
asetaminofen adalah suatu analgetik dan antipiretik, namun tidak memiliki
kerja anti inflamasi dan diberikan pada individu yang tidak mampu
mentoleransi hipersensitivitas. Merupakan suatu antipiretik yang paling
selektif.
Dibandingkan dengan aspirin, parasetamol diabsorpsi baik di usus,
memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit, dan tidak
menimbulkan masalah perdarahan atau toksisitas pada ginjal. Obat ini
ditoleransi dengan baik. Berbeda dengan aspirin yang dapat ditemukan dalam
ASI, maka parasetamol aman diberikan pada kehamilan. Peminum alkohol
yang berat mungkin lebih mudah mengalami toksisitas hati pada dosis
teraupetik. Nefropati analgesik seperti yang dilaporkan dengan pemakaian
fenasetin, tidak merupakan masalah pada pemakaian parasetamol. Efek anti
inflamasi dari parasetamol sendiri sangat lemah, oleh karena itu parasetamol
tidak dipergunakan sebagai antireumatik. Efek iritasi, erosi dan pendarahan
lambung tidak terlihat pada obat ini. Demikian juga gangguan pernafasan dan
keseimbangan basa.
Tanpa pengobatan yang tepat, overdosis parasetamol bisa menyebabkan
xxxv
gagal hati dan kematian dalam beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat
bervariasi. Pada dewasa, dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa
menyebabkan toksisitas. Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multipel yang
lebih kecil dengan jangka waktu pemberian 24 jam melebihi kadar tersebut,
atau bahkan pemberian jangka panjang dosis terendahnya 4 g/hari. Keracunan
yang fatal bisa terjadi pada penggunaan 12-20 tablet parasetamol dengan
kadar per tabletnya 500 mg sekaligus ditelan, bergantung kepada kapasitas
individual setiap orang. Diketahui pula bahwa waktu paruh parasetamol
dalam darah yang normal yang semula adalah 2 jam, dapat bertambah lama
menjadi 4 jam, sehingga dipakai sebagai ukuran untuk menilai derajat
keracunan (Darmansjah, 2002).
Dosis lazim oral parasetamol adalah sebesar 500-1000 mg. Dosis total
harian tidak boleh melebihi 4000 mg. Pada dosis terapeutik, parasetamol
biasanya ditoleransi dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan
reaksi alergi lain. Namun, jika dosis parasetamol melebihi dosis lazim akan
terjadi efek merugikan berupa nekrosis hati dan kemungkinan fatal serta
tergantung pada dosis (Baggish, 2005).
Parasetamol/ asetaminofen termasuk obat antipiretik analgesik yang
cukup aman dalam dosis terapi (1,2 gram/hari untuk orang dewasa). Secara
alamiah mengalami proses glukuronidasi dan sulfasi ke konjugat yang sesuai
dan bersama-sama membentuk 95% dari total metabolit yang diekskresikan.
Jalur alternatif P450-dependent GSH konjugasi menyumbang 5% sisanya.
Ketika asupan asetaminofen jauh melebihi dosis terapi, jalur glukuronidasi
xxxvi
dan sulfasi menjadi jenuh, dan jalur P450-dependent menjadi semakin
penting. Sedikit atau tidak terjadinya hepatotoksisitas, GSH hepatik tetap
tersedia untuk konjugasi. Namun, seiring dengan waktu, GSH hepatik lebih
cepat habis daripada yang dapat diregenerasi, dan reaktif, metabolit yang
toksik akan terakumulasi. Dengan tidak adanya nukleofil intraseluler seperti
GSH, metabolit reaktif ini (N-acetylbenzoiminoquinone) akan bereaksi
dengan kelompok-kelompok nukleofilik dari protein seluler, sehingga terjadi
hepatotoksisitas (Katzung, 2012).
xxxvii
Gambar 2.4 Metabolisme Asetaminofen pada proses hepatotoksis (Katzung,
2012).
2.5 Hati
2.5.1 Fisiologi Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan mempunyai fungsi yang sangat
kompleks di dalam tubuh, dengan berat 1/36 berat badan orang dewasa yaitu
xxxviii
berkisar 1200 - 1600 gr. Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang
berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8
sampai 2 mm. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Hati terdiri dari
dua lobus utama, yaitu lobus kanan yang merupakan bagian terbesar dan lobus
kiri merupakan bagian yang lebih kecil. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat
makanan, sebagian besar obat dan toksikan (Guyton, 2002).
Hepatosit (sel parenkim hati) merupakan bagian terbesar organ hati dan
bertanggung jawab terhadap peran sentralnya dalam metabolisme. Sel-sel ini
terletak diantara sinusoid yang terisi darah dan saluran empedu, sedangkan sel
Kupffer melapisi sinusoid hati dan merupakan bagian penting dari sistem
retikuloendothelial tubuh. Darah mengalir ke hati melalui vena porta dan arteri
hepatika. Vena porta membawa zat makanan karena menerima aliran darah dari
saluran cerna, limpa dan pankreas. Sedangkan sistem saluran empedu terbentuk
mulai dari kanalikuli yang kecil sekali, dan dibentuk oleh sel parenkim yang
berdekatan. Kanalikuli bersatu menjadi duktus saluran empedu interlobular, dan
saluran empedu yang lebih besar. Saluran hati yang utama membungkus duktus
kistik dari kandung empedu dan membentuk saluran empedu yang mengalir ke
dalam duodenum. Hati merupakan organ yang sangat penting sebagai pusat
metabolisme tubuh dan memiliki fungsi yang banyak dan komplek (Guyton, 2002).
2.5.2 Histologi Hati
xxxix
Histologi hati terdiri atas lobulus, yaitu lobulus anatomi dan fungsional.
Lobulus fungsional terdiri dari atas segi tiga Kierman sebagai titik tengah
dan vena centralis sebagai batas luar (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Histologi Hepar (Luiz, 2007)
Tetapi dalam mempelajari patologi maka anatomi lobulus yang lebih
penting (Gambar 4) terdiri dari:
a. Vena sentralis sebagai titik tengah yang mengalirkan darah ke vena
sublobularis dan kemudian ke vena hepatika.
b. Parenchym hati yang terdiri lagi atas selapis sel hati dan kanal empedu kecilkecil.
c. Sinusoid yang berlapiskan sel Kupffer (susunan retikuloendotelial).
d. Ruang Disse yang terletak antara sel hati dan sinusoid.
e. Segi tiga Kierman atau daerah portal sebagai batas luar lobulus.
xl
Gambar 2.6 Histologi lobus hati : Vena sentralis, Hepatosit, dan Sinusoid (Luiz,
2007)
Hati adalah alat tubuh yang tersering mengalami kerusakan dan beruntung
sekali, bahwa alat ini mempunyai cadangan fungsional yang luar biasa, hasil
percobaan pada binatang menunjukkan bahwa 10% parenkim hati saja sudah
cukup untuk mempertahankan fungsi hati normal. Pada manusia, kerusakan hati
haruslah luas sekali untuk bisa menimbulkan gejala klinik insufisiensi hepatik,
sedangkan kelainan luas akibat intoksikasi, infeksi virus, penyakit gizi dapat
menyebabkan gangguan jaringan hati yang cepat memburuk (Luiz, 2007).
2.5.3 Kerusakan Hati Akut
Pemeriksaan penanda biokimia untuk penyakit hati seperti AST dan
ALT (SGOT dan SGPT) menunjukkan adanya kerusakan hepatosit. Kadar
bilirubin serum dan alkali phosphatase yang meningkat menunjukkan
xli
adanya Kolestatis. Perkembangan penyakit atau adanya kesembuhan dapat
dipantau dengan pengukuran fungsi hati serial.
Kerusakan hati akut bisa disebabkan dibawah ini :
1.
Overdosis
2.
Infeksi
1. Overdosis
Zat yang paling banyak terbukti mempengaruhi hati adalah Parasetamol
dan karbon tetraklorida. Keduanya dimetabolisme oleh hati yang utuh,
dalam jumlah yang kecil, akan tetapi pada saat mereka berada dalam
jumlah yang tinggi mereka akan menghasilkan peningkatan metabolik
toksik, yang akan merusak hepatosit dengan pelepasan enzim dalam
jumlah besar. Kapasitas hati untuk menahan serangan akan berkurang
jika ada kerusakan hati yang mendasarinya, yang disebabkan oleh
alkohol, malnutrisi atau penyakit kronis lainnya. Beberapa tumbuhan dan
toksin-toksin jamur juga dapat menyebabkan katastropik dan kerusakan
hati fatal dalam waktu 48 jam (Navarro, 2006).
Kelompok toksin ketiga adalah kelompok yang meningkatkan
kegagalan hepatoseluler akut hanya pada individu tertentu yang peka.
Contoh yang penting adalah natrium valproat, suatu obat antikonvulsan
yang toksisitasnya meningkat pada beberapa anak-anak, dan halotan,
suatu anestetik.
2. Infeksi hati
Baik bakteri maupun virus dapat meningkatkan hepatitis infektif, yang
xlii
dapat menimbulkan banyak kematian. Yang paling umum adalah
hepatitis A, hepatitis B dan hepatitis C.
2.6 Enzim Transaminase ALT dan AST
Sel hati mengandung enzim-enzim transaminase dalam jumlah besar.
Jika sel hati mengalami kerusakan atau nekrosis, enzim- enzim tersebut akan
keluar dari sel hati sehingga kadarnya akan meningkat di dalam darah. Enzim
yang
dapat
dijadikan
indikator
kerusakan
hati
adalah
Alanin
Aminotransferase (ALT) dan Aspartat Aminotransferase (AST). Kedua
enzim ini merupakan indikator terbaik untuk mengidentifikasi kerusakan hati
karena peningkatan kedua enzim ini terjadi lebih awal dan umumnya
peningkatannya lebih drastis dari enzim lainnya.
Enzim ALT atau disebut juga Serum Glutamat Piruvat Transaminase
(SGPT) terdapat dalam sel-sel jaringan tubuh tetapi enzim ini paling banyak
ditemukan di sel-sel hati dan terikat dalam sitoplasma. Enzim ini berperan
dalam mengatalisis pemindahan gugus amino dari alanin ke asam αketoglutarat membentuk asam glutamat dan asam piruvat. Enzim ALT
merupakan indikator terbaik dalam melihat kerusakan hati karena bersifat
khas dan spesifik. Pada umumnya konsentrasi ALT lebih tinggi dibandingkan
konsentrasi AST pada penyakit hati yang parah karena enzim ALT
proporsinya lebih banyak pada organ hati dibandingkan organ tubuh lain.
Nilai normal laki-laki dewasa < 50 U/L dan perempuan dewasa < 34 U/L.
Enzim AST atau disebut juga Serum Glutamat Oksaloasetat
xliii
Transaminase (SGOT) merupakan enzim mitokondria yang berfungsi
mengatalisis pemindahan bolak-balik gugus amino dari asam aspartat ke
asam α-oksaloasetat membentuk asam glutamat dan oksaloasetat. Enzim AST
tidak spesifik sebagai indikator disfungsi hati karena banyak ditemukan pada
otot rangka, pankreas, jantung dan ginjal. Kadar enzim AST akan meningkat
apabila terjadi kerusakan sel yang akut seperti nekrosis hepatoseluler seperti
gangguan fungsi hati dan saluran empedu, penyakit jantung dan pembuluh
darah, serta gangguan fungsi ginjal dan pankreas (Fischbach, 2004).
2.7 Konversi Dosis Manusia dan Hewan
Untuk menentukan dosis ideal vitamin C dan parasetamol pada hewan
percobaan mencit menggunakan tabel konversi dosis manusia dan hewan.
Diketahui untuk mencit 20 gram didapatkan nilai konversinya terhadap
manusia 70 kg sebesar 0,0026. Dosis ideal vitamin C perhari bagi manusia
antara 500-1000 mg sedangkan dosis toksik parasetamol untuk manusia 70 kg
sebesar 4000 mg.
Maka dosis 500 mg vitamin C ekuivalen untuk mencit adalah :
= (500 mg x 0,0026)/20 gram
= 0,065 mg/g BB Mencit
Sedangkan pada dosis 1000mg vitamin C ekuivalen untuk mencit adalah :
= (1000mg x 0,0026)/20 gram
= 0,13 mg/g BB Mencit.
xliv
Untuk dosis toksik parasetamol 4 g ekuivalen mencit adalah :
= (4000 mg x 0,0026)/20 gram
= 0,52 mg /g BB Mencit.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
xlv
Beberapa orang berfikir bahwa parasetamol (asetaminofen) adalah
aman untuk dikonsumsi, tetapi hal tersebut dapat menimbulkan masalah yang
serius terhadap kerusakan hati yang berat dan bahkan sampai gagal hati yang
akut jika dikonsumsi melebihi dosis seharusnya.
Vitamin C dapat langsung menangkap radikal bebas oksigen, baik
dengan atau tanpa katalisator enzim. Reaksinya terhadap senyawa oksigen
reaktif lebih cepat dibandingkan dengan komponen lainnya. Asam askorbat
juga melindungi makro molekul penting dari oksidatif. Reaksi terhadap
radikal hidroksil terbatas hanya melalui proses difusi.
Peningkatan kadar AST, ALT dan nekrosis yang terjadi di hati
dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara
lain overdosis obat-obatan seperti parasetamol dan penyakit infeksi virus.
Sebagai zat penghambat radikal bebas, vitamin C dapat langsung
bereaksi dengan anion superoksida, radikal hidroksil, dan lipid peroksida.
Sebagai reduktor vitamin C akan mendonorkan satu elektron membentuk
semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami
reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat yang bersifat tidak stabil.
Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam
treonat. Kemampuan vitamin C sebagai penghambat radikal bebas, maka
28
peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, vitamin C dapat
melindungi hati dari kerusakan akibat pemakaian parasetamol dengan
mencegah radikal bebas dan melindungi nekrosis dan gangguan fungsi hati.
xlvi
3.2 Konsep
Vitamin C
(Asam Askorbat)
Faktor Eksternal
Faktor Internal








Genetik
Hormonal
Jenis kelamin
Usia
Makanan
Aktivitas
Penyakit
Obat
Mencit yang diberikan
Parasetamol dosis
tinggi
 Kadar AST
 Kadar ALT
 Nekrosis hati
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas, ditetapkan hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1. Pemberian
vitamin
C
dapat
mencegah
peningkatan
kadar
Alanine
Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.
xlvii
2. Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Aspartate
Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis toksik.
3. Pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati pada mencit yang
disebabkan parasetamol dosis toksik.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimental
dengan
menggunakan Posttest Only Control Group Design (Pocock, 2008).
P0
xlviii
O1
P1
Populasi
Sampel
O2
Random
P2
O3
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
P0
P1
P2
O1
O2
O3
: Perlakuan pada kelompok Kontrol yang diberikan Parasetamol 0,52 mg/g
+ Plasebo peroral.
: Perlakuan pada kelompok Perlakuan yang diberikan Parasetamol 0,52
mg/g + Vitamin C 0,065 mg/g peroral.
: Perlakuan pada kelompok Perlakuan yang diberikan Parasetamol 0,52
mg/g + Vitamin C 0,13 mg/g peroral.
: Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok Kontrol
posttest.
: Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok
Perlakuan posttest.
: Kadar AST dan ALT serta gambaran histopatologi pada kelompok
Perlakuan posttest.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
- Tempat : di Laboratory Animal Unit di bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Bali dan pemeriksaan AST dan ALT di
Laboratorium Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.
- Waktu : bulan Juli 2014 – September 2014.
4.3 Populasi dan Sampel
31
4.3.1 Populasi Penelitian
Mencit (Mus musculus) jantan dan betina berumur 6-7 minggu, dengan
berat badan 20-22 gram.
4.3.2 Kriteria Subjek
Kriteria penerimaan :
xlix
1. Mencit jantan dan betina yang telah dikondisikan dalam suhu ruangan
yang terkontrol (24 ± 2° c) dan kelembaban (65-80 %) selama 14 hari.
2. Umur 6 – 7 minggu.
3. Berat mencit 20 - 22 gram .
Kriteria drop-out :
1. Mencit mati saat penelitian berlangsung.
4.3.3 Besaran Sampel
Pada penelitian ini sampel diperhitungkan dengan Rumus Federer
(2008) jumlah sampel minimal.
Rumus Federer :
( n – 1) ( t – 1) ≥ 15
Keterangan:
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan
t = jumlah kelompok perlakuan
Dengan demikian, maka diperoleh:
(n-1) (3-1) ≥ 15
(n-1) 2 ≥ 15
(n-1) ≥ 7,5
n ≥ 8,5  9
Minimal jumlah sampel = 9, ditambah 10% untuk mengatasi dropout
menjadi 10 ekor mencit.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, jumlah sampel mencit yang
digunakan pada penelitian ini adalah 10 ekor per kelompok. Karena jumlah
l
kelompok adalah 3, maka jumlah mencit seluruhnya adalah 30 ekor.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
a. Variabel bebas : vitamin C
b. Variabel tergantung : kadar AST dan ALT , nekrosis hati
c. Variabel kendali : berat badan mencit, umur mencit
4.4.2 Hubungan Antar Variabel
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Vitamin C
Kadar AST & ALT
Nekrosis hati
Variabel Kendali
BB & umur mencit
Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel
4.4.3 Definisi Operasional Variabel
a. Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air dan sangat penting untuk
biosintesis kolagen, karnitin dan berbagai neurotransmitter. Vitamin C
dalam penelitian ini dengan sediaan dalam bentuk padat (mg/g).
b. Parasetamol adalah salah satu analgesik antipiretik yang memiliki rumus
molekul C8H9NO2. Sediaan parasetamol dalam bentuk padat (mg/g).
li
c. Alanine Aminotransferase (ALT) dan Aspartate Aminotransferase (AST)
merupakan enzim hati
yang digunakan untuk penanda
cidera
hepatoseluler (IU/l).
d. Gambaran lesi histopatologi hati berupa degenerasi difus, inti piknotik
hepatosit dengan infiltrasi limfositik dari portal triad hepatik
e. Luas nekrosis pada hati mencit dinilai secara semikuantitatif menggunakan
mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada zona 3 dalam 10 lobulus.
4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian
Bahan penelitian :
1.
Vitamin C/ asam askorbat dalam bentuk bubuk dengan dosis 0,065 mg/g
dan 0,13 mg/g.
2.
Parasetamol/ asetaminofen dosis toksik dalam bentuk bubuk dengan
dosis 0,52 mg/g.
4.6 Pemeliharaan & Perawatan Mencit Selama Penelitian
-
Mencit, umur 6-7 minggu, sehat dengan berat badan 20-22 gram.
-
Kandang percobaan dibersihkan setiap hari untuk mencegah infeksi yang
dapat terjadi akibat kotoran mencit tersebut.
-
Kandang ditempatkan dalam suhu kamar dan cahaya menggunakan sinar
matahari tidak langsung.
-
Makanan hewan percobaan diberikan dalam bentuk pelet. Makanan dan
minuman diberikan secukupnya dalam wadah terpisah dan diganti setiap
hari.
lii
4.7 Prosedur Penelitian
1.
Dipilih 30 ekor mencit, umur 6-7 minggu, sehat dengan berat badan 2022 gram.
2.
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, 10 ekor mencit per kelompok secara
acak dan dilakukan adaptasi sebelum penelitian dilakukan.
3.
Kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo dan diberikan juga 0,52
mg/g/hari parasetamol peroral 1 jam setelah pemberian plasebo tersebut
selama 14 hari.
4.
Kelompok perlakuan (P1) diberikan dosis harian vitamin C 0,065 peroral
mg/g dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian 0,52 mg/g
peroral parasetamol selama 14 hari.
5.
Kelompok perlakuan (P2) diberikan dosis harian vitamin C 0,13 mg/g
peroral dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian peroral
0,52 mg/g parasetamol selama 14 hari.
6.
Setelah 14 hari, dilakukan pemeriksaan kadar AST dan ALT dalam
serum plasma heparin mencit serta gambaran histopatologinya pada
masing-masing kelompok yang menjadi data posttest.
30 mencit yang termasuk inklusi
dilakukan adaptasi
Kontrol
Perlakuan 1
liii
Perlakuan 2
diberikan 0,52
mg/g/hari
parasetamol
peroral +
plasebo peroral
diberikan 0,52
mg/g/hari parasetamol
peroral + dosis harian
vitamin C 0,065 mg/g
peroral
diberikan 0,52
mg/g/hari parasetamol
peroral + dosis harian
vitamin C 0,13 mg/g
peroral
Setelah 14 hari diambil kadar serum
AST & ALT serta gambaran
histopatologi hati mencit
Analisis
Laporan
Gambar 4.3 Alur Penelitian
4.8 Prosedur Pemeriksaan AST dan ALT
Prinsip pengukuran aktivitas ALT dan AST adalah mengukur laju
berkurangnya jumlah NADH menjadi NAD+ pada reaksi yang terjadi antara
enzim dan substrat yang dapat diukur pada panjang gelombang 340 nm.
Sampel darah mencit disentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 15
menit untuk mendapatkan serumnya. Setelah itu, dilakukan analisis kadar
ALT dan AST. Sebanyak 100 μl serum darah mencit dicampur dengan 1000
μl reagen, kemudian diukur serapannya dengan menggunakan photometer
liv
pada panjang gelombang 340 nm.
Pengukuran aktivitas kedua enzim tersebut dilakukan dengan cara yang
sama, hanya saja reagen yang digunakan berbeda. Reagen yang digunakan
dalam pengukuran AST mengandung buffer Tris pH 7.8 (80 mmol/L), Laspartat (240 mmol/L), 2-oksoglutarat (12 mmol/L), laktat dehidrogenase
(600 U/L), malat dehidrogenase (600 U/L), dan NADH (0.18 mmol/L).
Sedangkan pereaksi yang digunakan dalam pengukuran ALT mengandung
buffer Tris (100 mmol/L),L- alanin (500 mmol/L), 2-oksoglutarat (15
mmol/L), laktat dehidrogenase (1200 U/L), dan NADH (0.18 mmol/L).
4.9. Prosedur Pemeriksaan Histopatologi
Pada hari ke-14 dilakukan pengambilan hati mencit untuk diperiksa
gambaran histopatologinya. Pengambilan hati dilakukan setelah mencit
dimatikan terlebih dulu dengan cara menempatkan hewan coba ini dalam
bejana berisi uap eter jenuh. Setelah mencit mati, diletakkan pada papan
fiksasi, kemudian dilakukan pembedahan untuk mengambil hati mencit
dengan menggunakan minor set. Organ hati yang baru diangkat ditempatkan
dalam wadah yang telah diberi label untuk masing-masing kelompok,
kemudian ditambahkan formalin 10% buffer kira-kira sampai seluruh organ
terendam dan segera ditutup rapat. Setelah itu sampel hati mencit tersebut
dibawa ke Laboratorium untuk pembuatan slide mikroskopis dan diperiksa
gambaran histopatologinya.
Luas nekrosis pada hati mencit dinilai secara semikuantitatif
lv
menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali pada zona 3
dalam 10 lobulus. Skor nekrosis sentrilobular dibedakan atas 5 yaitu:
Tabel 4.1 Skor Nekrosis Sentrilobular (Sawant, 2004)
Kriteria Nekrosis Sentrilobular
Tidak ditemukan nekrosis
Nekrosis minimal
Ringan (<1/3 lobulus mengalami nekrosis)
Sedang (<1/3 - <2/3 lobulus mengalami nekrosis)
Berat (>2/3 lobulus mengalami nekrosis)
Nekrosis masif
Skor
0
1
2
3
4
5
4.10 Analisis Data
Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan
menggunakan program SPSS for windows versi 20. Analisis data dalam
penelitian meliputi:
1. Analisis Deskriptif.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik data yang
dimiliki.
2. Uji Normalitas.
Uji normalitas data dilakukan dengan Uji Shapiro-Wilk. Data
berdistribusi normal dengan p>0,05.
3. Uji Homogenitas.
Homogenitas data dianalisis dengan Levene’s Test. Varian data homogen
dengan p>0,05.
4. Uji Komparabilitas.
lvi
Karena data berdistribusi normal dan homogen maka uji komparatif
dengan One Way Anova dilanjutkan dengan Least Significant Difference
test (LSD).
lvii
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Control Group
Design, menggunakan 30 ekor mencit berumur 6-7 minggu, berat badan 20-22
gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok
kontrol (parasetamol 0,52 mg/g dan plasebo), kelompok perlakuan 1 (parasetamol
0,52 mg/g dan Vitamin C 0,065 mg/g), dan kelompok perlakuan 2 (parasetamol
0,52 mg/g dan Vitamin C 0,13 mg/g). Dalam bab ini akan diuraikan uji normalitas
data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.
5.1 Uji Normalitas Data
Data kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan
nekrosis diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.
Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada
Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Alanine Aminotransferase (ALT), Aspartate
Aminotransferase (AST), dan Nekrosis
Kelompok Subjek
n
lviii
p
Ket.
AST kontrol
AST perlakuan 1
AST perlakuan 2
ALT kontrol
ALT perlakuan 1
ALT perlakuan 2
Nekrosis kontrol
Nekrosis perlakuan 1
Nekrosis perlakuan 2
10
10
10
10
10
10
10
10
10
0,656
0,152
0,222
0,816
0,448
0,574
0,328
0,287
0,876
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
5.2 Uji Homogenitas Data
40
Data kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan
nekrosis diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test.
Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2
berikut.
Tabel 5.2
Homogenitas Kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase,
dan Nekrosis antar Kelompok Perlakuan
Variabel
F
p
Keterangan
AST
2,558
0,096
Homogen
ALT
1,464
0,249
Homogen
Nekrosis
0,620
0,546
Homogen
5.3 Kadar Alanine Aminotransferase
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar Alanine
Aminotransferase antar kelompok sesudah diberikan perlakuan berupa
parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil analisis kemaknaan dengan uji
One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3
Perbedaan Rerata Kadar Alanine Aminotransferase Antar Kelompok Sesudah
Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C
lix
n
Rerata Kadar Alanine
Aminotransferase
(IU/L)
SB
Kontrol
10
33,45
1,15
Perlakuan 1
10
30,88
0,61
Perlakuan 2
10
25,15
0,64
Kelompok Subjek
F
p
255,92
0,001
Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar Alanine
Aminotransferase kelompok kontrol adalah
33,451,15, rerata kelompok
perlakuan 1 adalah 30,880,61, dan rerata kelopok perlakuan 2 adalah
25,150,64. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova menunjukkan
bahwa nilai F = 255,92 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata
kadar Alanine Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah diberikan
perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
ALT (IU/L)
33.45
30.88
25.15
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 5.1 Perbandingan Kadar Alanine Aminotransferase antara
Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan
lx
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji
disajikan di bawah ini.
Tabel 5.4
Analisis Komparasi Kadar Alanine Aminotransferase Sesudah Perlakuan
antar Kelompok
Kelompok
Beda Rerata (IU/L)
p
Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan 1
2,57
0,001
Berbeda
Kontrol dan Perlakuan 2
8,30
0,001
Berbeda
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
5,73
0,001
Berbeda
Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:
1. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok kontrol berbeda
bermakna dengan kelompok perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
2. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok kontrol berbeda secara
bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
3. Rerata kadar Alanine Aminotransferase kelompok perlakuan 1 berbeda
secara bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok
perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan 1).
lxi
5.4 Kadar Aspartate Aminotransferase
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata kadar Aspartate
Aminotransferase
antar
kelompok
sesudah
diberikan
perlakuan
berupa
parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One
Way Anova disajikan pada Tabel 5.5 berikut.
Tabel 5.5
Perbedaan Rerata Kadar Aspartate Aminotransferase Antar Kelompok
Sesudah Diberikan Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C
n
Rerata Kadar Aspartate
Aminotransferase
(IU/L)
SB
Kontrol
10
27,09
1,18
Perlakuan 1
10
23,79
0,69
Perlakuan 2
10
20,49
0,72
Kelompok
Subjek
F
p
136,98
0,001
Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa rerata kadar Aspartate
Aminotransferase kelompok kontrol adalah
27,091,18, rerata kelompok
perlakuan 1 adalah 23,790,69, dan rerata kelopok perlakuan 2 adalah
20,490,72. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova
menunjukkan
bahwa nilai F = 136,98 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti bahwa rerata kadar
Aspartate Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan
berbeda secara bermakna (p<0,05).
lxii
AST (IU/L)
27.09
Kontrol
23.79
20.49
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 5.2 Perbandingan Kadar Aspartate Aminotransferase antara
Kelompok Kontrol dengan Kelompok Perlakuan
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji
disajikan di bawah ini.
Tabel 5.6
Analisis Komparasi Kadar Aspartate Aminotransferase Sesudah
Perlakuan antar Kelompok
Kelompok
Beda Rerata (IU/L)
p
Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan 1
3,30
0,001
Berbeda
Kontrol dan Perlakuan 2
6,60
0,001
Berbeda
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
3,30
0,001
Berbeda
Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:
1. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol berbeda
bermakna dengan kelompok perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1
lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
lxiii
2. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol berbeda
secara
bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok
perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok kontrol).
3. Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok perlakuan 1 berbeda
secara bermakna dengan kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok
perlakuan 2 lebih rendah daripada rerata kelompok perlakuan 1).
5.5 Nekrosis
Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata Nekrosis antar kelompok
sesudah diberikan perlakuan berupa parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C. Hasil
analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.7 berikut.
Tabel 5.7
Perbedaan Rerata Nekrosis Antar Kelompok Sesudah Diberikan
Parasetamol 0,52 mg/g dan Vitamin C
n
Rerata Skor
Nekrosis
SB
Kontrol
10
3,34
0,23
Perlakuan 1
10
1,06
0,19
Perlakuan 2
10
0,50
0,29
Kelompok Subjek
F
p
394,70
0,001
Tabel 5.7 di atas, menunjukkan bahwa rerata Nekrosis kelompok kontrol
adalah 3,340,23, rerata kelompok perlakuan 1 adalah 1,060,19, dan rerata
kelopok perlakuan 2 adalah 0,500,29. Analisis kemaknaan dengan uji One Way
lxiv
Anova menunjukkan bahwa nilai F = 394,70 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti
bahwa rerata nekrosis pada ketiga kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda
secara bermakna (p<0,05).
3.34
Nekrosis
1.06
0.50
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Gambar 5.3 Perbandingan Nekrosis antara Kelompok Kontrol dengan
Kelompok Perlakuan
lxv
Gambar 5.4 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
(1/3 - 2/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok kontrol
setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b. hepatosit.
c.sinusoid
Gambar 5.5 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
(minimal - <1/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok
perlakuan 1 setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b.
vena sentralis. c. hepatosit normal. d. sinusoid
lxvi
Gambar 5.6 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
minimal pada kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan (perbesaran
400x). a. Hepatosit normal. b. sinusoid
Untuk mengetahui kelompok yang berbeda dengan kelompok kontrol perlu
dilakuan uji lanjut dengan Least Significant Difference test (LSD). Hasil uji
disajikan di bawah ini.
Tabel 5.8
Analisis Komparasi Nekrosis Sesudah Perlakuan antar Kelompok
Kelompok
Beda Rerata (IU/L)
p
Interpretasi
Kontrol dan Perlakuan 1
2,28
0,001
Berbeda
Kontrol dan Perlakuan 2
2,84
0,001
Berbeda
Perlakuan 1 dan Perlakuan 2
0,56
0,001
Berbeda
Hasil uji lanjutan di atas menunjukan bahwa:
lxvii
1. Rerata nekrosis kelompok kontrol berbeda bermakna dengan kelompok
perlakuan 1 (rerata kelompok perlakuan 1 lebih rendah daripada rerata
kelompok kontrol).
2. Rerata nekrosis kelompok kontrol berbeda secara
bermakna dengan
kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2 lebih rendah daripada
rerata kelompok kontrol).
3. Rerata nekrosis kelompok perlakuan 1 berbeda secara bermakna dengan
kelompok perlakuan 2 (rerata kelompok perlakuan 2 lebih rendah daripada
rerata kelompok perlakuan 1).
lxviii
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
6.1. Subyek Penelitian
Untuk menguji pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar Alanine
Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan nekrosis, maka dilakukan
penelitian eksperimental dengan rancangan Post Test Only Control Group
Design, menggunakan 30 ekor mencit berumur 6-7 minggu, berat badan 2022 gram sebagai sampel, yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu
kelompok kontrol (parasetamol 0,52 mg/g dan plasebo), kelompok perlakuan
1 (parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C 0,065 mg/g), dan kelompok
perlakuan 2 (parasetamol 0,52 mg/g dan vitamin C 0,13 mg/g). Mencit dipilih
karena masih termasuk dalam kingdom animalia dan kelas mamalia (kelas
yang sama dengan manusia), maka mencit ini memiliki beberapa ciri-ciri
yang sama dengan manusia dan mamalia lainnya. Tidak dibedakan antara
mencit jantan dan betina karena tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hasil over dosis parasetamol (Ostapowicz et al., 2002).
6.2 Distribusi dan Homogenitas Data Hasil Penelitian
Data hasil penelitian berupa kadar Alanine Aminotransferase, Aspartate
Aminotransferase, dan nekrosis sebelum dianalisis lebih lanjut, terlebih
dahulu diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi digunakan uji
Shapiro-Wilk, yaitu untuk mengetahui normalitas data dan uji homogenitas
50
lxix
dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa masingmasing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p > 0,05).
6.3 Pengaruh Pemberian Vitamin C
Uji perbandingan antara ketiga kelompok sesudah perlakuan berupa
pemberian vitamin C menggunakan uji One Way Anova. Rerata kadar
Alanine Aminotransferase kelompok kontrol adalah 33,451,15, rerata
kelompok perlakuan 1 adalah 30,880,61, dan rerata kelopok perlakuan 2
adalah 25,150,64. Analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova
menunjukkan bahwa nilai F = 255,92 dan nilai p = 0,001. Hal ini berarti
bahwa rerata kadar Alanine Aminotransferase pada ketiga kelompok sesudah
diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Rerata kadar Aspartate Aminotransferase kelompok kontrol adalah
27,091,18, rerata kelompok perlakuan 1 adalah 23,790,69, dan rerata
kelopok perlakuan 2 adalah 20,490,72. Analisis kemaknaan dengan uji One
Way Anova menunjukkan bahwa nilai F = 136,98 dan nilai p = 0,001. Hal
ini berarti bahwa rerata kadar Aspartate Aminotransferase pada ketiga
kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Rerata skor nekrosis kelompok kontrol adalah 3,340,23 yang
menunjukkan derajat nekrosis sedang dimana terdapat sebagian besar lobulus
mengalami nekrosis. Rerata kelompok perlakuan 1 adalah 1,060,19 yang
memperlihatkan kondisi nekrosis minimal dimana hanya didapatkan beberapa
lobulus yang mengalamai nekrosis, begitu juga rerata kelompok perlakuan 2
lxx
adalah 0,500,29 yang memperlihatkan kondisi nekrosis yang lebih sedikit
terjadi dibandingkan perlakuan 1. Analisis kemaknaan dengan uji One Way
Anova menunjukkan bahwa nilai F = 394,70 dan nilai p = 0,001. Hal ini
berarti bahwa rerata nekrosis pada ketiga kelompok sesudah diberikan
perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok
perlakuan
1
dan
perlakuan
2
terjadi
penurunan
kadar
Alanine
Aminotransferase sebesar 7,68% dan 24,81%, penurunan kadar Aspartate
Aminotransferase sebesar 12,18% dan 24,36% dan penurunan skor nekrosis
sebesar 68,26% dan 85,02% dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Hal ini disebabkan karena vitamin C merupakan penangkal radikal
bebas yang kuat hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma,
jaringan mata, otak, paru–paru, hati, jantung, sperma dan leukosit, dan
berperan melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif termasuk mencegah
mutasi DNA, dan memperbaiki dioksidasi residu asam amino memelihara
integritas protein (Yi, 2007). Penelitian yang dilakukan Adejuwon et al.
(2008),
melaporkan bahwa pemberian vitamin C 100-500 mg/kg dapat
melindungi kerusakan hati dari konsumsi asetaminofen dimana vitamin C
berperan menghambat radikal bebas yang baik.
Terdapat hubungan yang sinergisme di dalam sistem antioksidan.
Adanya suatu radikal yang masuk, pertama kali akan dinetralisir oleh vitamin
E, kemudian vitamin C dan dilanjutkan oleh mekanisme oksidatif dari dalam
tubuh, dilakukan oleh enzim, misal gluthathion. Di dalam sistem tersebut ada
lxxi
saling keterkaitan antara satu dengan lain (antioxidant network). Beberapa
antioksidan penting dalam mekanisme untuk menghambat kerusakan
oksidatif akibat radikal bebas, diantaranya gluthathion peroksidase, vitamin C
dan vitamin E. Antioksidan bisa dikelompokkan berdasar sumbernya menjadi
antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen merupakan
antioksidan secara alami berada dalam sel manusia diantaranya adalah
superokside dismutase (SOD), katalase (CAT), dan gluthathion peroksidase
(GPx). Antioksidan eksogen adalah antioksidan yang berasal dari luar tubuh,
berasal dari makanan sehari-hari seperti vitamin-vitamin (vitamin C, vitamin
E, ß–karoten), dan senyawa fitokimia (karotenoid, isoflavon, saponin,
polifenol) (Helen, 2000).
Pemberian vitamin C dengan dosis 1 mg/kg berat badan pada manusia
secara oral dapat menangkal efek senyawa radikal bebas. Selain itu
pemberian vitamin C juga dapat meningkatkan glutathion sehingga dapat
mencegah kerusakan sel hati (Fauzi, 2008).
Hepatotoksisitas parasetamol akan ditandai dengan peningkatan serum
ditandai enzim hati (ALT dan AST) (Schellman, 2001). ALT dan AST adalah
yang paling sering digunakan cedera hepatoseluler dan mewakili penanda
penanda hepatoseluler. Enzim ini, ALT terlokalisasi terutama untuk hati
sedangkan AST ditemukan dalam berbagai jaringan lain, seperti otot jantung
dan rangka, ginjal, otak, dll (Friedman et al., 1996). Dengan demikian, ALT
dianggap penanda yang paling dapat diandalkan cedera hepatoseluler sebagai
lxxii
penyakit skeletal dan jantung otot, ginjal dan otak sama-sama dapat
meningkatkan tingkat sirkulasi AST (Friedman et al., 1996).
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pemberian vitamin C didapatkan simpulan
sebagai berikut:
1.
Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Alanine
Aminotransferase/ ALT pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis
toksik.
2.
Pemberian vitamin C dapat mencegah peningkatan kadar Aspartate
Aminotransferase/ AST pada mencit yang disebabkan parasetamol dosis
toksik.
3.
Pemberian vitamin C dapat mencegah nekrosis sel hati pada mencit yang
disebabkan parasetamol dosis toksik.
7.2 Saran
Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi
optimal pemberian vitamin C terhadap penurunan kadar Alanine
Aminotransferase, Aspartate Aminotransferase, dan nekrosis.
lxxiii
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat vitamin C
untuk mencegah kerusakan hati pada manusia menggunakan
parasetamol dosis berlebih.
DAFTAR PUSTAKA
54
Adejuwon, A., Joseph, O. 2008.
Protective
Effect
of
Oral
Ascorbic Acid (Vitamin C) Against Acetaminophen-Induced Hepatic
Injury in Rats. African Journal of Biomedical Research. 11: 183-190.
Antman, E.M., Bennett, J.S., Daugherty, A. 2007. Use of Nonsteroidal AntiInflammatory Drugs: an Update for Clinicians: a Scientific Statement from
The American Heart Association. 115(12): 1634-42.
Baggish, J.S., Temple, A.R. 2005. Guidelines for The Management of
Acetaminofen Overdose. McNeil Consumer & Speciality Pharmaceuticals.
p.1-14.
Bessems, J.G., Vermeulen, N.P. 2001. Paracetamol (Acetaminophen)-Induced
Toxicity: Molecular and Biochemical Mechanisms, Analogues and
Protective Approaches. Critical Review of Toxicology. 31: 55-138.
Fauzi, T.M. 2008. “Pengaruh Pemberian Timbal Asetat dan Vitamin C Terhadap
Peroksidasi Lipid dan Kualitas Spermatozoa di dalam Sekresi Epididimis
Mencit Jantan (Mus musculus)” (Tesis). Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Fischbach, F. 2004. A Manual of Laboratory and Diagnostic Tests. 7th. Ed.
Wisconsin USA: Lippincott Williams & Wilkins. p. 386-88.
Fored, C.M., Ejerblad, E., Lindblad, P. 2001. Acetaminophen, Aspirin, and
Chronic Renal Failure. N Engl J Med. 345(25): 1801-8.
Friedman, L.S., Martin, P., u oz, S.J. 1996. Liver Function Tests and the
Objective Evaluation of the patient with Liver Disease. In: Hepatology: A
Textbook of Liver Disease. W.B. Saunders Co., Philadelphia, vol. 1, 3rd
ed., 791 – 833.
Guyton, A., Hall, J. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1103 –
1107.
Haas, D.A. 2002. An Update on Analgesics for The Management of Acute
Postoperative Dental Pain. J Can Dent Assoc. 68(8): 476-82.
lxxiv
Hariyatmi. 2004. Kemampuan Vitamin C Sebagai Antioksidan Terhadap Radikal
Bebas pada Lanjut Usia. Jurnal MIPA vol 14 No.1.Surakarta. UMS.
Hellen, W., Lynn, E. 2000. Oxidative Stress and Antioxidant, Influence on Health
and Brain Ageing. Departement of Nutrition and Dietetics, King’s College
London, UK.
Hyllested, M., Jones, S., Pedersen, J.L., Kehlet, H. 2002. Comparative Effect of
Paracetamol, NSAIDs or Their Combination in Postoperative Pain
Management: a Qualitative Review. Br J Anaesth. 199-214.
Jalan, R., Williams, R., Bernuau, J. 2006. Comment: Paracetamol: Are
Therapeutic Doses Entirely Safe?. The Lancet. 368: 2195-96.
Katzung, B.G., Correis, MA. 2012. Drug Biotransformation. In: Katzung BG,
Masters SB, Trevor AJ. Basic and Principal Pharmacology. 12th. Ed. New
York: McGraw-Hill. 60-61.
Katzung, B.G., Corelli, R.L. 2012. Therapeutic and Toxic Potential of Over-theCounter Agents. In: Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Basic and
Principal Pharmacology. 12th. Ed. New York: McGraw-Hill. p. 1115-24.
Lavoiser, A.I. 1998. Chemical and Physiological Properties of Vitamins. In:
Combs GF,Ed. The vitamins. Fundamental Aspects in Nutrition and
Health. 2nd Ed. London: Academic Press. 191-263.
Luiz, J.C. 2007. Histologi Dasar Teks dan Atlas. EGC. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.
Naidu, K.A. 2003. Vitamin C in Human Health and Disease is Still a Mystery?
An Overview. J.Nutr; 2: 7.
Navarro, V.J., Senior, J.R. 2006. Drug related hepatotoxity. N Engl J Med. 354:
731-39.
Nourjah, P., Ahmad. S.R., Karwoski. C., Willy, M. 2006. Estimates of
Acetaminophen (Paracetamol)-Associated Overdoses in the United States.
Pharmacoepidemiol Drug Saf. 15(6): 398-405.
Ostapowicz, G., Fontana, R.J., Schiodt, F.V. 2002. The US Acute Liver Failure
Study Group. Results of a prospective study of acute liver failure at 17
Tertiary Care Centers in the United States. Annuals of Internal Medicine.
137: 945-954.
lxxv
Pangkahila, W. 2007. Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup.
Anti-Aging Medicine. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal:
9, 13-23, 40-41.
Pocock, S.J. 2008. The Size of a Clinical Trial, Clinical Trials. A Practical
Approach. John Willey & Sons. 123-127.
Rochiling, F.A. 2001. Evaluation of Abnormal Liver Tests. Clin Cornerstone. 3:
1-12.
Sawant, S.P., Dnyanmote, A.V., Shankar, K., Limaye, P.B., Latendresse, J.R.,
Mahendale, H.M. 2004. Potentiation of Carbon Tetrachloride
Hepatotoxicity and Lethality in Type 2 Diabetic Rats. Joumal of
Pharmacology and Experimental Therapeutics.
Schnellman, R.G. 2001. Toxic Responses of The Kidneys. In: Casarett and
Doull’s Toxicology: The Basic Science of Poisons. 2nd ed. cGraw-Hill
Medical Division. New York. p. 491-514.
Suhartono, E., Fachir, H., Setiawan, B. 2007. Kapita Selekta Biokimia Stres
Oksidatif Dasar dan Penyakit. Universitas Lambung Mangkurat.
Banjarmasin: Pustaka Benua.
Susanti, R., Nuryanto, Salasia, S.I.O, 2002 Intoksikasi Tetrachlorodibenzo-pDioxin (TCDD): II. Efek Terhadap Histopatologis Hati, Ginjal, dan Paru
Mencit Putih (Rattus Norvegicus). UGM, 29-36.
Tjay, T.H. 2002. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi V. Cetakan 1. PT. Elex Media Komputindo Gramedia.
Jakarta. hal. 295-297.
Watkins, P.B., Kaplowitz, N., Slattery, J.T., Colonese, C.R., Colucci, S.V.,
Stewart, P.W., Harris, S.C. 2006. Aminotransferase Elevations in Healthy
Adults Receiving 4 grams of Acetaminophen Daily: a randomized
controlled trial. Journal of American Medical Association, 296: 87-93.
Whitcomb, D.C., Block, G.D. 1994. Association of Acetaminophen
Hepatotoxicity with Fasting and Ethanol Use. JAMA, 272(23):1845-50.
Yi, L., Herb, E.S., 2007. New Developments and Novel Therapeutic Perspectives
for Vitamin C. J. Nutr. 137: 2171–2184.
Yin, O.Q., Tomlinson, B., Chow, A.H., Chow, M.S. 2001. Pharmacokinetics of
Acetaminophen in Hong Kong Chinese subjects. International Journal of
Pharmacology, 222: 305-308.
lxxvi
Lampiran 1. Ethical Clearance
lxxvii
lxxviii
Lampiran 2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan
Untuk Konversi Dosis Manusia dan Hewan (Laurence &
Bacharach, 1964)
Mencit
20 gr
Mencit
1,0
20 gr
Tikus
0,14
200 gr
Marmut
0,08
400 gr
Kelinci
0,04
1,5 kg
Kucing
0,03
2 kg
Kera
0,016
4 kg
Anjing
0,008
12 kg
Manusia
0,0026
70 kg
(Kusumawati, 2004)
Tikus
200 gr
Marmut
400 gr
Kelinci
1,5 kg
Kucing
2 kg
7,0
12,25
27,8
29,7
1,0
1,74
3,9
0,57
1,0
0,25
Kera
4 kg
Anjing
12 kg
Manusia
70 kg
64,1
124,2
387,9
4,2
9,2
17,8
56,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1.9
6,1
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
0,018
0,031
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ALT dan AST
lxxix
Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Histopatologi
NO
1
DATA SKORING NEKROSIS CENTROLOBULER JARINGAN
HATI
PADA LIMA LAPANG PANDANG
KONTROL
P1
P2
I
II III IV V I
II III IV V I
II III IV V
4 3
3
4
3
2 1
1
1
0
1 1
0
0
1
lxxx
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
3
3
4
3
4
3
3
3
4
4
3
4
3
3
3
3
4
4
3
3
3
4
3
3
3
3
3
3
4
3
3
3
3
4
3
3
4
3
3
4
3
4
3
3
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
0
2
1
1
1
1
0
1
1
1
1
0
1
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
0
2
1
1
1
1
2
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
1
0
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Statistik
Uji Normalitas Data AST, ALT, dan Nekrosis
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova
lxxxi
Shapiro-Wilk
0
1
1
0
0
0
1
1
1
Statistic
AST_post
ALT_post
Nekrosis
df
Sig.
Statistic
.200
df
Sig.
*
.949
10
.656
Kontrol
.129
10
Perlakuan 1
.261
10
.051
.886
10
.152
*
.200
.200*
.200*
.200*
.155
.901
.963
.930
.942
.916
10
10
10
10
10
.222
.816
.448
.574
.328
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Kontrol
.207
.183
.181
.162
.227
10
10
10
10
10
Perlakuan 1
.224
10
.168
.911
10
.287
Perlakuan 2
.164
10
.200*
.968
10
.876
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Uji One Way Anova Data AST, ALT, dan Nekrosis Sesudah Perlakuan
Descriptives
95% Confidence
Interval for Mean
N
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
Lower
Bound
Upper
Bound
Minimu Maximu
m
m
AST_po Kontrol
st
Perlakuan 1
10 27.090
1.18287 .37406
26.2438
27.9362
25.25
28.64
10 23.789
.68826 .21765
23.2966
24.2814
22.82
24.76
Perlakuan 2
10 20.489
.71619 .22648
19.9767
21.0013
19.42
21.36
Total
30 23.789
2.87281 .52450
22.7166
24.8621
19.42
28.64
ALT_p Kontrol
ost
Perlakuan 1
10 33.452
1.15459 .36511
32.6261
34.2779
31.56
35.44
10 30.878
.61331 .19395
30.4393
31.3167
30.10
32.04
Perlakuan 2
10 25.151
.63820 .20182
24.6945
25.6075
24.28
26.22
Total
30 29.827
3.62059 .66103
28.4751
31.1789
24.28
35.44
10 3.3400
.23190 .07333
3.1741
3.5059
3.00
3.80
10 1.0600
.18974 .06000
.9243
1.1957
.80
1.40
Nekrosi Kontrol
s
Perlakuan 1
Perlakuan 2
10
.5000
.28674 .09068
.2949
.7051
.00
1.00
Total
30 1.6333
1.27044 .23195
1.1589
2.1077
.00
3.80
Test of Homogeneity of Variances
Levene Statistic
AST_post
ALT_post
Nekrosis
df1
2.558
1.464
.620
lxxxii
df2
2
2
2
Sig.
27
27
27
.096
.249
.546
ANOVA
Sum of Squares
AST_post
Between Groups
F
2
108.933
21.472
27
.795
Total
239.338
29
Between Groups
361.102
2
180.551
19.049
27
.706
380.151
29
45.259
2
22.629
1.548
27
.057
46.807
29
Within Groups
Total
Nekrosis
Mean Square
217.866
Within Groups
ALT_post
df
Between Groups
Within Groups
Total
Sig.
136.977
.000
255.915
.000
394.698
.000
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
LSD
Dependen (I)
t Variable Kelompok
AST_post Kontrol
(J)
Kelompok
Sig.
Lower
Bound
Upper Bound
3.30100
.39881
.000
2.4827
4.1193
6.60100
*
.39881
.000
5.7827
7.4193
-3.30100
*
.39881
.000
-4.1193
-2.4827
3.30000
*
.39881
.000
2.4817
4.1183
-6.60100
*
.39881
.000
-7.4193
-5.7827
-3.30000
*
.39881
.000
-4.1183
-2.4817
2.57400
*
.37564
.000
1.8033
3.3447
8.30100
*
.37564
.000
7.5303
9.0717
-2.57400
*
.37564
.000
-3.3447
-1.8033
5.72700
*
.37564
.000
4.9563
6.4977
-8.30100
*
.37564
.000
-9.0717
-7.5303
-5.72700
*
.37564
.000
-6.4977
-4.9563
Perlakuan 1
2.28000*
.10708
.000
2.0603
2.4997
Perlakuan 2
2.84000
*
.10708
.000
2.6203
3.0597
-2.28000
*
.10708
.000
-2.4997
-2.0603
.56000
*
.10708
.000
.3403
.7797
-2.84000
*
.10708
.000
-3.0597
-2.6203
-.56000
*
.10708
.000
-.7797
-.3403
Perlakuan 1
Perlakuan 1 Kontrol
Perlakuan 2
Perlakuan 2 Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 1 Kontrol
Perlakuan 2
Perlakuan 2 Kontrol
Perlakuan 1
Nekrosis Kontrol
95% Confidence Interval
*
Perlakuan 2
ALT_post Kontrol
Mean
Difference (IJ)
Std. Error
Perlakuan 1 Kontrol
Perlakuan 2
Perlakuan 2 Kontrol
Perlakuan 1
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
lxxxiii
Oneway
Descriptives
AST
N
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Total
10
10
10
30
Mean
27,0900
23,7890
20,4890
23,7893
St d. Dev iation
1,18287
,68826
,71619
2,87281
St d. Error
,37406
,21765
,22648
,52450
95% Conf idence Interv al f or
Mean
Lower Bound
Upper Bound
26,2438
27,9362
23,2966
24,2814
19,9767
21,0013
22,7166
24,8621
Minimum
25,25
22,82
19,42
19,42
Maximum
28,64
24,76
21,36
28,64
Test of Homogeneity of Variances
AST
Lev ene
St at ist ic
2,558
df 1
df 2
2
Sig.
,096
27
ANOVA
AST
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
217,866
21,472
239,338
df
2
27
29
Mean Square
108,933
,795
F
136,977
Sig.
,000
Post Hoc Tests
Multi ple Comparisons
Dependent Variable: AST
LSD
(I) Kelompok
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
(J) Kelompok
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 1
Mean
Dif f erence
(I-J)
3,30100*
6,60100*
-3,30100*
3,30000*
-6,60100*
-3,30000*
St d. Error
,39881
,39881
,39881
,39881
,39881
,39881
*. The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.
lxxxiv
Sig.
,000
,000
,000
,000
,000
,000
95% Conf idence Interv al
Lower Bound
Upper Bound
2,4827
4,1193
5,7827
7,4193
-4,1193
-2,4827
2,4817
4,1183
-7,4193
-5,7827
-4,1183
-2,4817
Oneway
Descriptives
ALT
N
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Total
Mean
33,4520
30,8780
25,1510
29,8270
10
10
10
30
St d. Dev iation
1,15459
,61331
,63820
3,62059
St d. Error
,36511
,19395
,20182
,66103
95% Conf idence Interv al f or
Mean
Lower Bound
Upper Bound
32,6261
34,2779
30,4393
31,3167
24,6945
25,6075
28,4751
31,1789
Minimum
31,56
30,10
24,28
24,28
Maximum
35,44
32,04
26,22
35,44
Test of Homogeneity of Variances
ALT
Lev ene
St at ist ic
1,464
df 1
df 2
2
Sig.
,249
27
ANOVA
ALT
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
361,102
19,049
380,151
df
2
27
29
Mean Square
180,551
,706
F
255,915
Sig.
,000
Post Hoc Tests
Multi ple Comparisons
Dependent Variable: ALT
LSD
(I) Kelompok
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
(J) Kelompok
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 1
Mean
Dif f erence
(I-J)
2,57400*
8,30100*
-2,57400*
5,72700*
-8,30100*
-5,72700*
St d. Error
,37564
,37564
,37564
,37564
,37564
,37564
*. The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.
lxxxv
Sig.
,000
,000
,000
,000
,000
,000
95% Conf idence Interv al
Lower Bound
Upper Bound
1,8033
3,3447
7,5303
9,0717
-3,3447
-1,8033
4,9563
6,4977
-9,0717
-7,5303
-6,4977
-4,9563
Oneway
Descriptives
Nekrosis
N
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Total
Mean
3,3000
1,0600
,4600
1,6067
10
10
10
30
St d. Dev iation
,10541
,18974
,18974
1,25339
St d. Error
,03333
,06000
,06000
,22884
95% Conf idence Interv al f or
Mean
Lower Bound
Upper Bound
3,2246
3,3754
,9243
1,1957
,3243
,5957
1,1386
2,0747
Test of Homogeneity of Variances
Nekrosis
Lev ene
St at ist ic
,906
df 1
df 2
2
Sig.
,416
27
ANOVA
Nekrosis
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
44,811
,748
45,559
df
2
27
29
Mean Square
22,405
,028
Post Hoc Tests
lxxxvi
F
808,749
Sig.
,000
Minimum
3,20
,80
,00
,00
Maximum
3,40
1,40
,60
3,40
Multi ple Comparisons
Dependent Variable: Nekrosis
LSD
(I) Kelompok
Kontrol
Perlakuan 1
Perlakuan 2
(J) Kelompok
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 2
Kontrol
Perlakuan 1
Mean
Dif f erence
(I-J)
2,24000*
2,84000*
-2,24000*
,60000*
-2,84000*
-,60000*
St d. Error
,07444
,07444
,07444
,07444
,07444
,07444
*. The mean dif f erence is signif icant at the .05 lev el.
Lampiran 6. Kumpulan Foto Penelitian
lxxxvii
Sig.
,000
,000
,000
,000
,000
,000
95% Conf idence Interv al
Lower Bound
Upper Bound
2,0873
2,3927
2,6873
2,9927
-2,3927
-2,0873
,4473
,7527
-2,9927
-2,6873
-,7527
-,4473
Peneliti sedang berada di Laboratory Animal Unit dan melakukan percobaan
pada mencit
Peneliti sedang melakukan pemeriksaan histologi dengan mikroskop
lxxxviii
Gambar 5.4 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
(1/3 - 2/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok kontrol
setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b. hepatosit.
c.sinusoid
Gambar 5.5 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
(minimal - <1/3 lobulus mengalami nekrosis) pada kelompok
perlakuan 1 setelah perlakuan (perbesaran 400x). a. nekrosis. b.
vena sentralis. c. hepatosit normal. d. sinusoid
lxxxix
Gambar 5.6 Gambaran histopatologi sel hepatosit yang mengalami nekrosis
minimal pada kelompok perlakuan 2 setelah perlakuan (perbesaran
400x). a. Hepatosit normal. b. sinusoid
xc
Lampiran 7. Prosedur Penanganan Hewan Coba
Percobaan di laboratorium yang menggunakan hewan coba sebagai subjek
penelitian dalam penelitian ini mencit, harus memperhatikan beberapa prinsip
dalam pemeliharaannya. Pemeliharaan yang baik diharapkan hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian dan juga dipandang dari segi etika penelitian yang
berkaitan dengan penggunaan hewan coba (ethical clearance). Beberapa prinsip
yang harus dipenuhi yaitu:
1. Pengawasan lingkungan
Prinsip yang paling penting terkait dengan lingkungan tempat
pemeliharaan hewan coba adalah suatu lingkungan yang stabil dan
sesuai dengan keperluan fisiologis jenis hewan coba. Suhu,
kelembapan dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrem harus
dihindari. Pembuatan ventilasi yang baik mendukung kelancaran
pertukaran udara, serta memungkinkan mengurangi penyebaran
penyakit. Suhu ruangan yang optimum untuk pemeliharaan mencit
berkisar antara 250 – 300 C.
2. Pengawasan kenyamanan
Kenyamanan hewan coba terkait dengan kondisi kandang tempat
pemeliharaan. Bahan kandang terbuat dari plastik yang ditutup kawat.
Prinsip yang paling penting dalam memilih bahan untuk kandang
mencit adalah mudah dibersihkan, tahan lama, tahan digigit mencit.
Kisaran ukuran kandang mencit yang umum dipakai berukuran 35 cm
xci
X 20 cm X 10 cm. Ukuran kandang tersebut cukup untuk memelihara
10 – 15 ekor mencit dalam satu kandang. Dengan asumsi memberi
ruang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi.
Sistem kandang juga dilengkapi tempat makanan dan minuman yang
mudah dijangkau oleh seluruh mencit.
3. Pengawasan nutrisi (makan dan minum)
Selama percobaan hewan coba diberikan makan dan minum dengan
kualitas yang optimum pula. Apabila hal ini tidak terpenuhi tentunya
juga akan berpengaruh terhadap kehidupan, kesehatan mencit dan bias
terhadap hasil penelitian. Misalnya mencit memerlukan makanan
dengan kandungan protein sekitar 20 %. Sehingga untuk mendapatkan
makanan dengan komposisi tersebut biasanya dipakai makanan dalam
bentuk pelet yang komposisinya sudah tertera dalam kemasannya. Air
minum bersih dan bebas dari kontaminasi harus selalu tersedia untuk
hewan coba. Alat-alat minum harus sering dicuci dan disterilkan
misalnya dua minggu sekali.
4. Pengawasan kesehatan
Kandang hewan percobaan harus selalu dijaga kebersihannya, agar
hewan berbiak dengan baik dan percobaan berhasil sesuai yang
diharapkan. Kandang mencit harus dibersihkan sekurang-kurangnya
seminggu sekali. Hal ini dilakukan untuk menghindari tumbuhnya
jamur dan bakteri yang dapat mempengaruhi kesehatan mencit.
Biasanya kandang mencit yang terbuat dari bahan plastik dapat
xcii
dibersihkan dengan mencuci kotak tersebut dan mengganti sekam yang
dipakai sebagai alas kandang.
Secara lengkap penanganan mencit yang dipakai dalam penelitian ini
dapat dijabarkan seperti di bawah ini:
1. Penanganan sebelum penelitian
Beberapa hal yang dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian terhadap
mencit antara lain:
a. Menyiapkan kandang pemeliharaan yang optimal dan nyaman bagi
mencit; terkait dengan ukuran, keadaan kandang (ventilasi cukup,
sekam padi untuk alas kandang) dan tempat makan/minum yang
mudah dijangkau oleh seluruh mencit.
b. Melakukan aklimatisasi; menyesuaikan mencit terhadap kondisi
lingkungan tempat percobaan. Aklimatisasi dilakukan pada
kandang pemeliharaan selama 14 hari sebelum pelaksanaan
penelitian.
c. Pemberian makan dan minum secara teratur.
d. Pemeriksaan kesehatan mencit; apabila ada mencit yang sakit
langsung dikeluarkan dari kelompok.
2. Penanganan selama penelitian
xciii
Selama penelitian mencit harus selalu dalam keadaan terkontrol.
Beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Kenyamanan dan kesehatan mencit; kandang mencit selama
penelitian dijaga kebersihannya dan sekam padi diganti seminggu
sekali.
b. Pemberian makan dan minum yang teratur; diberi makanan dalam
bentuk pelet secara ad libitum, mencit juga tidak boleh dalam
keadaan tanpa air minum. Air minum harus tersedia dan air tidak
terkontaminasi. Air minum diberikan dengan botol-botol plastik
dan mencit dapat minum air dari botol tersebut melalui pipa
plastik.
c. Penanganan pemberian vitamin c dan parasetamol
Mencit dibagi menjadi 3 kelompok, 10 ekor mencit per kelompok,
secara acak. Kelompok kontrol (P0) diberikan plasebo dan diberikan
juga 0,52 mg/g/hari parasetamol peroral 1 jam setelah pemberian
plasebo tersebut selama 14 hari. Kelompok perlakuan (P1) diberikan
dosis harian vitamin C 0,065 mg/g peroral dan masing-masing diberikan
1 jam sebelum pemberian 0,52 mg/g peroral parasetamol selama 14
hari. Kelompok perlakuan (P2) diberikan dosis harian vitamin C 0,13
mg/g peroral dan masing-masing diberikan 1 jam sebelum pemberian
peroral 0,52 mg/g parasetamol selama 14 hari.
3. Penanganan setelah penelitian
xciv
Setelah penelitian, dilakukan pemeriksaan kadar AST dan ALT dalam
serum plasma heparin mencit serta gambaran histopatologinya pada
masing-masing kelompok. Mencit dieutanasi dengan eter, dan
dilakukan pembedahan untuk mengambil hati mencit untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologi. Setelah mencit dieutanasi kemudian
dikubur untuk menghindari bau yang tidak sedap atau efek negatif
lainnya.
xcv
Download