suatu pendekatan sistem terhadap

advertisement
TELAAH HUKUM PADA PRIVATISASI BUMN
Oleh:
Wuri Adriyani
Abstract
Since 1980, privatization has been increasing world wide. In Indonesia privatization
has been beginning at 1999 after economic crisis. Its effects and limitations have been
discussed and debated by those in both the public and the private sectors. The overall program
is extremely complex and involves a number of processes in terms of preparing businesses for
sale, and technical regulatory regime. It is also argued that the impact of privatisation should
be seen on company performance and productivity, and the effects of “levelling the playing
field”.
In this paper, the issues which have emerged in the early years of transition in the
privatisation of State Owned Enterprises in Indonesia are (i) the need of adequate legal
framework to strengthen towards privatisation, and (ii) the relationship between ownership, the
shareholder, the people or the government, and (iii) the public accountability towards
privatization in the sense of social democracy which stated in article 33 of the constitution.
The paper contains six further sections: (i) the particular problems posed by
privatisation in the transitional context; (ii) the methods and definition of Persero; (iii) the
need of adequate regulatory framework towards privatization; (iv) the current regulations
towards privatization; (v) weaknesses and dilutions of the current regulations, and (vi)
conclusions.
Keywords: Indonesian State Owned Enterprises, Privatisation.
I. Pendahuluan
Privatisasi merupakan penerapan salah satu fungsi pemerintahan dalam bentuk
tindakan hukum privat (privaatelijke rechtshandeling) dari pemerintah terkait aset
negara yaitu BUMN.1 Bentuk tindakan pemerintah sebagai penguasa dalam negara
hukum harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Terkait privatisasi,
pemerintah sebagai penguasa harus bertanggungjawab terhadap segala pengelolaan aset
negara.
Pertanggungjawaban hukum dalam privatisasi tidak cukup bahwa privatisasi
harus berlandaskan pada aturan hukum yang jelas tentang prosedur privatisasinya saja,
tetapi harus pula meliputi pengaturan yang jelas terhadap hasil privatisasinya, dan
pengaturan yang tegas mengenai alasan-alasan dilakukannya privatisasi. Alasan-alasan
dilakukan privatisasi harus dapat diukur sama atau lebih kuat dari alasan negara atau
pemerintah membuat atau mempertahankan sebuah BUMN. Sebagai parameter
sederhana privatisasi secara ekonomis harus lebih menguntungkan dan tidak
menyengsarakan kehidupan ekonomis rakyat terkait kewajiban-kewajiban public
utilities pemerintah.
Pengaturan lengkap atas suatu tindakan pemerintah sebagai penguasa
diperlukan sebagai pertanggungjawaban kegiatan pemerintahan.2 Fungsi dibuatnya
aturan hukum adalah sebagai landasan kewenangan pemerintah untuk bertindak,
landasan pemerintah mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dan juga merupakan
batasan kewenangan pemerintah dalam melakukan kegiatannya.
BUMN merupakan investasi negara yang digunakan untuk mencapai tujuan
bernegara sesuai Pasal 33 UUD 1945. Sedangkan privatisasi adalah upaya pemerintah
untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN untuk mencapai tujuan akhir
sama dengan Pasal 33 yaitu kesejahteraan rakyat.
Namun privatisasi itu sendiri justru selalu dianggap mengkhawatirkan
kepentingan rakyat banyak. Bukan hanya di Indonesia saja, hampir di seluruh negara di
dunia yang akan melakukan privatisasi selalu mendapatkan pertentangan-pertentangan
baik dari sisi ekonomis maupun dari sisi hukum terkait dengan kekhawatiran akan
perlindungan hak-hak rakyat miskin. Bahkan di Australia ada proverb yang menyindir
privatisasi BUMN, “Open your mouth for the mute, for the rights of all who are
destitute. Open your mouth, judge righteously; defend the rights of the poor and
needy”.3
Alasan-alasan yang dikemukakan pemerintah untuk melakukan privatisasi pada
dasarnya sama dengan masa-masa penyederhanaan BUMN di tahun 1969, yaitu
1
Menurut PM. Hadjon dkk., dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, 2002, hal 8, bahwa fungsi-fungsi pemerintahan terdiri dari berbagai macam tindakan
pemerintahan yaitu pembuatan keputusan-keputusan, ketetapan-ketetapan yang bersifat umum, tindakantindakan hukum privat dan tindakan-tindakan nyata.
2
Pemerintahan dalam Hukum Administrasi difahami melalui dua pengertian yaitu fungsi
pemerintahan (kegiatan pemerintah), dan organisasi pemerintahan (kumpulan dari kesatuan-kesatuan
pemerintahan), PM. Hadjon dkk, Ibidem, hal 6.
3
Http//scott.yang.id.au/2004/10/Telstra Privatisation/Current Affair, 19 Oktober 2004.
1
inefisiensi dan pengurangan subsidi karena semakin beratnya beban anggaran
pemerintah. Alasan lebih modern akibat tekanan globalisasi adalah penumbuhan
persaingan sehat. Namun dari semua alasan tersebut nampaknya inefisiensi dan
pengurangan beban negara menjadi alasan utama privatisasi. Alasan privatisasi karena
inefisiensi terjadi juga di negara-negara lain, seperti disampaikan Kikeri dari Bank
Dunia yang melakukan studi privatisasi di negara maju sebagai “the principal reason
for privatization”, bahwa, evidence from a wide variety of countries shows that far too
many (state owned enterprise) SOEs have been inefficient and have incurred heavy
financial losses ... In many countries SOEs have become an unsustainable burden on
the budget and banking system, absorbing scarce public resources'.4
Selain inefisiensi, alasan kedua yang banyak diikuti adalah pengurangan beban
anggaran negara karena high cost economy.5 Alasan ini digunakan pertama kali oleh
Inggris sekitar tahun 1980an, yang melakukan privatisasi pada British Telecom. Pada
saat itu Inggris mengalami resesi dan kemudian mengadopsi kebijakan radical
economic reform yang selanjutnya disebut dengan 'Thatcher miracle'. Kebijakan
privatisasi Thacher mendapat kritikan tajam dengan menganggap bahwa pemerintahan
Thacher telah melakukan underpricing public assets to buy political support;
privatising firms with their monopoly status intact; maximise their value to buyers and
for dissipating the proceeds of privatisation through unsustainable tax cuts.6
Sedangkan hasil privatisasi Inggris menurut penelitian Kikeri kalaupun ada keuntungan
bagi konsumen dikatakan adalah sangat sedikit.7
Privatisasi diakui beberapa literatur merupakan kebijakan yang populer, sama
pupulernya dengan kebijakan nasionalisasi sekitar tahun 1950 – 1960 an. Untuk hal ini
dikatakan Quiggins terkait dengan populernya kebijakan privatisasi di Australia sekitar
tahun 1990 -2000 an sebagai berikut:
In recent years, policies of privatisation have been adopted by governments in
many countries. Australian advocates of privatisation have used the 'argument
from fashion', namely, that a policy so popular must be correct. To refute this
4
John Quiggin, The proposed privatisation of Telstra: an assessment Submission to Senate
Environment,
Recreation,
Communications
and
the
Arts
Legislation
Committee,
www.aph.gov.au/senate_communications/, 13 April 1998.
5
Contoh high cost economy yang seharusnya tidak perlu dipertahankan adalah PT Dirgantara
Indonesia, PT PLN, PT Merpati Nusantara, dan Garuda Indonesia. Sedangkan yang harus dipertahankan
agar pemerintah tetap memiliki control adalah PT Telkom dan BRI.
6
Kecenderungan BUMN sebagai solusi ketika negara tidak mampu mengatasi permasalahan
pajak uga pernah diutarakan oleh Fabrikant, Robert, dalam Pertamina: A National Company A
Developing Country, dalam Law and Public Enterprise in Asia, International Legal Center, Praeger
Publishers, New York, 1976, Hal 198, dalam pernyataannya bahwa, … state enterprise constitute a
necessary means that form part of the end; …. State enterprise are usually viewed as a (temporary)
institutional means of compensating for indigenous deficiencies of capital and entrepreneurial skills and
opportunities.The use of state enterprise may also be motivated by the absence of an effective tax
collecting apparatus, or they may be employed as a means of generating state revenues. ..... my be design
to “create” local partners for foreign investors. .. the use of state enterprise include the desire to escape
from bureaucratic controls. …..
7
John Quiggin, Loc., Cit.
2
argument, it is sufficient to note that policies of nationalisation and expanded
public ownership were equally popular in the 1950s and 1960s.8
Alasan modern lain dari privatisasi misalnya karena pengelolaan BUMN tidak
diikuti dengan implementasi Good Corporate Governance (GCG), sehingga terjadi
inefisiensi. Dalam kajian hukum hal ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab inefisiensi
BUMN justru terjadi karena tingginya konflik antara hak dan kewajiban yang kompleks
dan saling bertentangan yang dibebankan pada BUMN. Terjadinya konflik antara
kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah ekonomis dalam fungsi BUMN sebagai agent
of development, public utilities (kemanfaatan umum) dan pengendali harga.9 Konflik
antara penggunaan fasilitas pemerintah dan tekanan mencari keuntungan, berlawanan
dengan pengawasan atau birokrasi yang ketat. Privatisasi sebenarnya adalah “upaya
varian” lebih luas dari usaha-usaha pemerintah mengurangi defisit anggaran negara
karena terbelit hutang,10 bukan bertujuan memberdayakan BUMN atau persaingan
sehat.
Selain itu privatisasi tanpa transparansi akan menjadi perspektif negatif bagi
rakyat. Diletakkannya prinsip GCG pada BUMN tidak mencakup transparansi
pelaksanaan privatisasi. Dalam hukum administrasi transparansi termasuk dalam
kategori akuntabilitas pemerintahan, yang merupakan salah satu asas dalam Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) ,11 dan jaminan good governance.
Bahaya-bahaya privatisasi bagi rakyat antara lain dimungkinkan terjadinya
manipulasi keuangan negara yang sulit dideteksi. Aset nasional dengan mudah dapat
digelapkan dengan tender-tender dan biaya-biaya fiktif yang membahayakan. Padahal
dalam suatu negara hukum kesejahteraan sosial rakyat pada segi keuangan bergantung
pada penguasa,12 sebab pengelolaan keuangan negara adalah bagian dari kekuasaan
pemerintahan.13
Kasus penyimpangan dan penyelewengan aset negara pernah diindikasikan
terjadi pada proses privatisasi Indosat.14 Sebanyak 41,9 % saham PT Indosat dijual
kepada Singapore Technologies and Telemedia (ST Telemedia) melalui metode
Strategic Sale, pemerintah hanya memiliki saham sebesar 15% seri A, sedangkan
8
Ibidem.
Contoh konkrit stabilisator harga, adalah pengendalian tarif telepon dasar melalui formulasi
yang ditentukan Keputusan Menteri. Pendapat yang mendukung pada fungsi stabilisator adalah Rudhi
Prasetya dan Neil Hamilton, dalam The Regulation of Indonesia state Enterprise, Law And Public
Enterprise In Asia, International Legal Center, Praeger Publishers, New York, 1976, hal. 198, dan
Sumantoro, dalam Problema Yuridis Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Yuridika, No.7 Th. II,
Desember 1987-Januari 1988.
10
www.kompas.com/kompas-cetak/0509/24/ekonomi/2076763.htm, Sabtu 24 Septem-ber 2005
menyebutkan bahwa, untuk anggaran tahun 2006, pemerintah membutuhkan dana segar sebanyak 3,5
triliun rupiah yang diharapkan didapat dari privatisasi BUMN yang telah direncanakan diajukan ke DPR.
11
Penjelasan Pasal 53 ayat 2 UU No 5 Tahun 1986 jo UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN.
12
Bandingkan, Ibidem, Hal. 131.
13
Pasal 6 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
14
Indra Safitri di www.safitri.com.
9
3
sisanya dimiliki publik. Hasil penjualan Indosat digunakan untuk menutup defisit
keuangan negara sebesar 6 triliun rupiah.15
Indikasi penyimpangan dimulai dari keraguan pada dasar hukum penjualan
saham pemerintah di PT Indosat. Privatisasi Indosat dilaksanakan melalui:16
- Nota-nota kesepahaman dengan IMF pada sektor-sektor telekomunikasi,
pelabuhan laut, pelabuhan udara, dan perkebunan kelapa sawit.
- Tap MPRNo IV Tahun 2002 tentang Laporan Tahunan Lembaga Tinggi
Negara.
- UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas,
- UU APBN Tahun 2002,
- PP No 30 Tahun 2002 Tentang Penjualan Saham Milik Negara Republik
Indonesia Pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT INDOSAT Tbk, dan
- Master Plan BUMN 1999.
- rapat-rapat dengan Komisi IX DPR, pada tanggal 4 maret, 27 Maret, dan 19
November 2002, yang menyetujui Prinsip Pelaksanaan Privatisasi: (a) Usulan
Rencana Privatisasi Tahun 2002 akan disampaikan caseby case untuk
mendapatkan persetujuan Komisi IX DPR RI; (b) Komisi IX DPR RI
sependapat bahwa Privatisasi BUMN yang sudah diputuskan tahun 2001
yakni PT Wisma Nusantara Indonesia, PT Indofarma Tbk, PT Indosat Tbk,
PT Tambang Batubara Bukit Asam dapat terus dilanjutkan.
Indikasi lain adalah muncul dari sistem penyetoran dana hasil penjualan saham.
Total penerimaan negara harus dikurangi lebih dahulu dengan biaya-biaya17 dengan
total jumlah yang sangat besar yaitu US$18.939.987,83 dan adanya US$ 25 juta
Retention Amount yang tidak disetor sampai dengan Perubahan Anggaran Dasar PT
disetujui Depertemen Kehakiman dan HAM. Akibatnya uang yang disetor Kementrian
BUMN pada Menteri Keuangan berkurang tidak sebesar US$ 608.413.898,31 tetapi
sebesar US$ 583.413.898,31.18
Selain kekhawatiran penyimpangan dalam proses privatisasi, seringkali juga
menjadi pertanyaan mengapa harus perusahaan kompetitif yang dialihkan
kepemilikannya kepada swasta, sedangkan bidang usaha yang kompetitif hampir selalu
terkait dengan kepentingan umum atau public utilities. Dalam hal ini akan tampak
pertentangan antara kaidah ekonomis dan hukum. Unsur kompetitif adalah kaidah
ekonomi, artinya bila tidak kompetitif tidak laku dijual. Sedangkan dalam kaidah
hukum, pada unsur kompetitif melekat kebutuhan dasar rakyat, artinya semua orang
membutuhkannya. Contoh: air, listrik dan telepon jaringan adalah merupakan industri
yang kompetitif tetapi juga merupakan kebutuhan dasar dari rakyat.
Alasan monopoli pemerintah sampai saat ini adalah untuk perusahaan penghasil
laba terbesar atau industri strategis seperti PT Persero Pertamina atau sebaliknya
perusahaan dengan subsidi terbesar, misalnya perusahaan-perusahaan perintis yang
15
Hukum Online, 27 Februari 2003.
www.BUMNOnline, Kementrian Negara BUMN, Privatisasi Indosat Tahap II, hal 2.
17
Biaya privatisasi: lembaga penunjang – penasehat keuangan lokal dan asing, konsultan
hukum lokal dan asing, perpajakan, biaya notaris, biaya roadshow, biaya notaris, biaya crossing, biaya
agen escrow, serta biaya-biaya out-of-pocket sehubungan dengan Divestasi II.
18
Kementrian Negara BUMN, Loc.Cit.
16
4
tidak diminati swasta. Dalam situasi ini pemerintah sering kurang transparan, artinya
perusahaan perintis belum tentu tidak diminati swasta.
Data jumlah BUMN berdasar kelompok usahanya tercatat sebanyak 161
BUMN, yang terdiri dari 124 BUMN (78%) merupakan industri kompetitif, 11 BUMN
(6%) bersifat monopoli, 25 BUMN (15%) merupakan kombinasi kompetitif dan PSO
dan 1 BUMN (1 %) kombinasi antara monopoli dan kompetitif.19 Akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan, hampir semua industri kompetitif direncanakan akan
dilakukan privatisasi, kecuali bagi industri strategis yang menghasilkan income negara,
seperti Pertamina.
Isu-isu hukum terkait pelaksanaan program privatisasi BUMN yang dapat
ditarik adalah:20
a. Apakah privatisasi BUMN perlu diatur secara tersendiri?
b. Apakah pengaturan yang ada telah mendukung atau menghambat program
privatisasi BUMN?
II.
Urgensi Pengaturan Privatisasi BUMN
Seperti diketahui pada dasarnya privatisasi adalah cara atau tindakan yang
dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan inefisiensi perekonomian negara.
Cara atau tindakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan negara adalah suatu
kebijakan negara. Dengan demikian privatisasi adalah suatu bentuk kebijakan negara.
Thomas R. Dye terkait dengan hal ini menyebutkan bahwa ‘public policy is whatever
governments to do or not to do’.21
Ada dua tujuan penting diantara tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam
privatisasi yaitu:
1. mengurangi defisit anggaran; dan
2. menumbuhkan persaingan sehat.
Tujuan-tujuan tersebut di atas bisa dicapai melalui pembentukan perangkat
hukum, sebab hukum dapat dijadikan sebagai alat sebuah kebijakan. Hal ini dikatakan
Atiyah bahwa, Law can be used as an instrument to achieve certain purposes and
goals.22 Selain itu dikatakan bahwa jika hukum diartikan secara luas, maka hukum bisa
dijadikan alat sebuah kebijakan. Dalam tulisannya dikatakan bahwa, If, then, law very
19
Sumber: www.BUMN.go.id. Peta Posisi Karakteristik Industri BUMN pada Dokumen Master
Plan Badan Usaha Milik Negara tahun 2002-2006 memuat berbagai kebijakan Pemerintah dalam
melaksanakan reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selaras dengan kebijakan sektoral,
yang merupakan penyempurnaan terhadap dokumen serupa yang diterbitkan pada tahun-tahun
sebelumnya oleh Kementerian BUMN.
20
BUMN yang dimaksud dalam paper ini adalah BUMN Perseo, mengingat privatisasi hanya
dilakukan pada Persero. Persero adalah persero yang diatur UU BUMN, Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UU PT), dengan komposisi saham pemerintah minimal 51%. 20
21
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, third Edition, Florida State University,
Prentice Hall, 1978, hal. 3.
22
P.S. Atiyah, Law and Modern Society, Second Edition, Opus, Oxford University
Press, New York, 1995, hal 117.
5
largely an instrument of policy, a means by which goals or values can be pursued, it
remains to inquire somewhat more closely into the nature of some of these goals or
values.23
Secara khusus Atiyah menyebutkan bahwa hukum juga sangat efektif dipakai
untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomis dalam perkembangan terakhir. Dalam hal ini
dikatakan dengan memberi contoh perkembangan hukum di negara-negara sosialis
sebagai berikut:
Now much modern collectivist legislation and welfare law is clearly based on
differing economics theories, and therefore can be seen to pursue different
economic goals. We can identify here two separates strands of development.
First, there are laws which are still designed largely to give effect to private
enterprise economic goals, but which have been modified to take account of neoclassical (or modern economic theory). Secondly, there are laws which really are
based on rejection of private enterprise economics altogether. 24
Sebagai sebuah kebijakan, maka privatisasi harus mengandung parameterparameter kebijakan negara, misalnya harus meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat secara keseluruhan, dan tidak hanya mempertahankan status quo.
Kebijakan negara yang baik adalah kebijakan yang menyelesaikan masalah bangsa dan
negara, bukan hanya sebagai rational choice in competitive situations.25
Pemerintah sebagai penguasa dalam menjalankan tugas dan mengatur, harus
menggunakan wewenang yang berasal dari ketentuan undang-undang. Kewenangan
tersebut hanya ada pada pemerintah sebagai penguasa dan tidak dapat diserahkan
kepada perorangan maupun badan keperdataan biasa. Demikian pula halnya dengan
privatisasi yang murni merupakan urusan pemerintah dan bukan urusan BUMN yang
bersangkutan sebagai sebuah badan perdata. Oleh karena itu pelaksanaan privatisasi
harus diletakkan dalam peraturan perundang-undangan, selain untuk landasan
kewenangan juga sebagai konsekuensi administrasi negara dalam penyelenggaraan
tugas publik, yang menurut pendapat penulis merupakan bentuk pertanggungjawaban
hukum dari penguasa terkait aset negara, seperti telah disebut pada latar belakang.
Perlindungan aset negara yang tidak lain adalah milik rakyat terkait privatisasi
adalah sangat penting, sebab pemerintah sebagai penguasa dalam hukum administrasi
selain mempunyai kewenangan berdasar undang-undang, pemerintah juga mempunyai
kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri sesuai batas-batas kewenangannya yang
dikenal dengan istilah freis emersen atau pouvoir discretionaire. Kebebasan ini terkait
privatisasi tentu sangat bahaya, bila tidak diatur secara tegas batasan kewenangannya.
Pada sisi lain privatisasi adalah wujud dari pertumbuhan peranan negara dan
semakin kompleksnya hubungan antara kekuatan pemerintah dan swasta, atau kekuatan
publik dan privat di era global. Oleh karena itu kajian privatisasi tidak hanya
melibatkan kaidah-kaidah ekonomi, tetapi juga kaidah-kaidah hukum publik terkait
dengan tindakan penguasa seperti telah didiskripsikan di atas.
23
Ibidem., hal 126.
Ibidem., hal 132.
25
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, Op. Cit., hal. 34.
24
6
Dalam situasi demikian ada dua hal yang dapat dilakukan seorang ahli hukum
yaitu pertama, menetapkan aturan dan beberapa jenis sistem ke dalam berbagai
fenomena politik, ekonomi, dan sosial, dan kedua adalah perhatian spesifik ahli hukum
terkait masalah keadilan.26 Mengacu pendapat Friedmann, maka ada dua hal penting
terkait peran ahli hukum pada program privatisasi, yaitu bahwa privatisasi harus
berlandaskan peraturan perundangan, dan pelaksanaan privatisasi harus
berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan.
Pada kajian hukum dan ekonomi, privatisasi dikaitkan dengan sistem ekonomi
yang dianut suatu negara. Pada umumnya privatisasi dilakukan oleh negara yang
menganut sistem kapitalisme atau sistem ekonomi campuran (mixed economy).
Namun demikian pada sistem ekonomi campuran, konflik akan terjadi ketika
negara melakukan fungsinya sebagai wasit atau the state as umpire.27 Negara sebagai
kekuatan legislatif, administratif dan peradilan harus menyusun standar keadilan, bagi
sektor-sektor ekonomi yang berbeda termasuk diantaranya adalah BUMN. Melalui
fungsi negara sebagai wasit inilah pemerintah sebagai penguasa membentuk peraturan
perundangan yang melindungi rakyatnya dengan memasukkan prinsip-prinsip keadilan.
Mempertautkan privatisasi dengan prinsip-prinsip keadilan dalam suatu
kerangka hukum yang akan dipakai sebagai landasan hukum untuk melaksanakan
privatisasi adalah sesuatu yang ideal. Prinsip-prinsip keadilan tersebut paling tidak
harus meliputi kesamaan perlakuan (equality of treatment) dan impartiality antara
sektor publik dan privat, disamping menjaga kepentingan ekonomis negara dan rakyat.
Berdasarkan praktek privatisasi yang telah berjalan, banyak BUMN bermuka
dua, disatu sisi masih memonopoli bidang-bidang strategis dan vital dengan menguasai
berbagai fasilitas pemerintah, disisi lain telah berubah menjadi swasta yang harus
mencari keuntungan. Dalam hal ini kepentingan ekonomis rakyat menjadi terancam.
Sebelum privatisasi keuntungan BUMN adalah keuntungan negara yang bermanfaat
untuk rakyat banyak. Apakah setelah privatisasi keuntungan perusahan juga bermanfaat
bagi rakyat dan tidak hanya bermanfaat bagi perusahaan atau investor saja? Problem
semacam juga terjadi di Australia terkait privatisasi sebagian Telstra yang dikatakan
H.J. Askin bahwa ‘half-privatised Telstra seemingly heading towards the worst of both
worlds: neither a non-profit government organisation serving the population as a
whole, nor a commercial company acting in the best interests of all shareholders’.28
Sementara itu akibat kemajuan teknologi telah terjadi pergeseran-pergeseran
pengertian kepentingan umum atau hajat hidup orang banyak, artinya yang semula
dianggap sebagai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, akibat kemajuan
teknologi berubah menjadi industri yang kompetitif dan dianggap tidak menguasai hajat
hidup orang banyak. Padahal hal ini tidak menutup kemungkinan lain bahwa akibat
hutang pemerintah suatu sektor tidak lagi dianggap sebagai menguasai hajat hidup
26
Friedmann. W., The State and The Rule Of Law in The Mixed Economy, London, Steven
& Sons, 1971, hal 1.
27
Ibidem., Hal. 3. Fungsi ini dikemukakan oleh Friedmann sebagai fungsi keempat suatu
negara dalam sistem mixed economy. Fungsi-fungsi lain adalah the state as provider, the state as
regulator, dan the state as enterpreuneur.
28
H. J. Askin, Hawthorn dalam www.theage.com.au, 9 September 2005.
7
orang banyak, sebagai contoh adalah bidang telekomunikasi, listrik, air dan gas
(bensin).
Privatisasi bidang telekomunikasi terjadi di hampir semua negara maju di dunia
pada tahun 1990-2001, yang mengikuti pola liberalisasi Amerika. Pada tahun-tahun
tersebut ekonomi negara-negara maju mengalami resesi, yang kemudian muncul hasil
penelitian World Bank dan IMF tentang kerugian negara akibat mempertahankan
BUMN (State Owned Enterprises atau SOEs) yang menyebabkan inefisiensi ekonomi.
Oleh karena itu reformasi BUMN (SOEs) sangat diperlukan.
Seperti layaknya sebuah trend, privatisasi mendapat pertentangan yang sama
dengan privatisasi Indosat. Namun terdapat perbedaan signifikan dengan privatisasi
negara berkembang antara lain, bahwa privatisasi pada awalnya merupakan trend
negara-negara maju misalnya Inggris, Uni Eropa, untuk tujuan mengurangi kemiskinan
dunia yang di Uni Eropa dikenal dengan Millennium Development Goals, dengan
tujuan-tujuan lain yaitu mengurangi defisit anggaran dengan cara mengurangi subsidi
pada BUMN; atau mencari dana tunai dari privatisasi BUMN (reducing fiscal deficits
by reducing subsidies to SOEs or cashing privatisation receipts).29 Sedangkan untuk
negara berkembang privatisasi dilakukan hanya untuk tujuan akhirnya saja, tidak untuk
mengurangi kemiskinan dunia. Apa akibatnya bila privatisasi di negara berkembang
seperti Indonesia justru meningkatkan kemiskinan. Tentu hal ini diluar perkiraan
World Bank dan IMF.
Privatisasi di negara maju terutama Uni Eropa hampir dilakukan di semua
sektor, termasuk sektor-sektor yang terkait erat dengan public utilities antara lain: air,
pos, listrik, jasa telekomunikasi dan transportasi (water, electricity, postal and
telecommunications services and transport infrastructure).
Jaminan bahwa privatisasi akan menguntungkan rakyat dan negara memerlukan
perangkat hukum yang cukup (adequate regulatory framework). Dalam konsep negara
hukum yang diutamakan justru siapakah yang akan mengawasi atau memonitoring
bahwa privatisasi suatu BUMN telah bermanfaat bagi rakyat. Sebab tujuan privatisasi
di sebagian negara bukan hanya equality of treatment dan impartiality antara sektor
publik dan privat, tetapi lebih dari itu yaitu mencari pilihan-pilihan secara fair
kebutuhan suatu negara dengan kapasitas dan sumber daya alamnya. Hal ini dikatakan
Parlemen Uni Eropa sebagai berikut:
The Communication does not attempt to settle the debate on the advantages of
different forms of ownership of enterprises - public, private or PPP. Rather it
argues for the essential importance of looking objectively at all the options and
their sequencing and selecting the one that best meets the needs of the particular
country and field. This needs to pay careful attention to the capacity and resource
constraints of the country.30
29
- The Reform of State- Owned Enterprises in Developing Countries with focus on
public utilities: The Need to Assess All the Options, Communication From The Commission To
The Council And The European Parliament, Summary, dalam http://europa.eu.int/eurlex/en/com.
30
Ibidem.
8
Mengacu pernyataan di atas maka tujuan privatisasi di Uni Eropa sangatlah
luas, yaitu penyatuan dan perkuatan ekonomi Eropa. Bahkan Perancis ketika akan
melakukan privatisasi Gas pada tahun 2000, melakukan komunikasi lebih dahulu
dengan Komisi Uni Eropa terkait dengan peraturan persaingan sehat Uni Eropa, yang
dikutip sebagai berikut:
The question of state enterprises therefore deserves to be studied and analysed.
This is clearly reflected in current events, among which the Law of 10 February
2000 regarding electricity, the privatisation of Gaz de France which is currently
in progress, and discussions between French authorities and the Commission of
European Communities concerning privatisation and regulating competition.31
Acuan tujuan semacam ini di Indonesia tidak dipakai, tetapi nyata-nyata
merupakan dorongan IMF, World Bank dan World Trade Organisation, yang
selanjutnya untuk negara berkembang diubah menjadi “penumbuhan persaingan sehat”.
Melalui isu persaingan sehat dan globalisasi perdagangan dunia, yang dilanjutkan
dengan privatisasi, maka investor asing bisa dengan mudah masuk ke Indonesia.
Penduduk yang melebihi kapasitas keuangan negara dan teknologi yang tertinggal,
bukan merupakan jaminan bahwa privatisasi akan mengurangi kemiskinan. Pada
tataran ini ada keraguan apakah privatisasi dapat mensejahterakan rakyat.
Untuk itu perlindungan hak rakyat dalam privatisasi membutuhkan perangkat
hukum yang cukup, antar lain untuk memonitor pelaksanaan privatisasi dan hasil
privatisasinya untuk kemanfaatan rakyat.
Fungsi monitoring suatu perangkat hukum yang baik harus cukup untuk
mencegah, mengontrol dan membatasi kewenangan-kewenangan pemerintah dalam
pelaksanaan privatisasi. Oleh karenanya dukungan perangkat hukum untuk privatisasi,
tidak cukup hanya dengan perangkat hukum yang sifatnya umum semacam besluiten
van algemene strekking dalam hukum administrasi.32 Sebagai contoh adalah ketentuan
Pasal 75 UU BUMN bahwa privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsipprinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Ketentuan di atas adalah ketentuan yang berlaku bagi semua BUMN yang akan
melakukan privatisasi. Apabila ternyata privatisasi dilakukan dengan “tidak
memperhatikan”, maka apakah sanksinya? Pelaksanaan suatu peraturan yang bersifat
umum, dalam hukum privat dikenal dengan ‘asas’, memang akan sulit dideteksi. Dalam
hukum administrasi rumusan norma harus mengandung unsur mewajibkan atau
perintah, bahkan unsur larangan, yang disertai ancaman atau sanksi. Dalam hal ini
ketentuan Pasal 75 tidak disertakan sanksi. Dalam penjelasan ketentuan tersebut sama
sekali tidak menjelaskan hal-hal apa yang “harus diperhatikan”.
Kata ‘dengan memperhatikan’ dalam hukum privat mengandung arti suatu
kewajiban. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka privatisasi bisa
diajukan ke pengadilan untuk dibatalkan (vernitegbaar).33 Namun persoalan lain akan
muncul, siapakan yang berhak menggugat pembatalan. Kementrian BUMN sebagai
31
Text and Research, State Owned Enterprises, dalam http://europa.eu.int/eur-lex/en/com.
PM Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi negara, Op.Cit., Hal. 152
33
Dalam hukum privat dikenal dua sanksi hukum yaitu pembatalan dan ganti rugi.
32
9
negara, pemerintah, atau penguasa yang telah melakukan privatisasi tentu tidak bisa
menggugat dirinya sendiri. Dengan demikian kemungkinan gugatan pembatalan hanya
bisa dilakukan oleh rakyat melalui wakilnya (DPR).
Persoalan kedua adalah pemilihan kata ‘dengan memperhatikan’ terlalu kabur
maknanya, sehingga sulit dilaksanakan. Memperhatikan bisa berarti bermacam-macam,
misalnya mengindahkan, mengacu atau berpedoman. Dalam hukum administrasi norma
yang demikian disebut dengan norma yang kabur (vage normen). Dalam tataran ini
harus ada parameter hal-hal apa dikatakan ‘memperhatikan’ dan hal-hal apa dikatakan
‘tidak memperhatikan’. Selain itu persoalan ketiga adalah pada ketentuan tersebut
kekaburan juga terdapat pada kata ‘prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran’ yang tidak dijelaskan dalam
penjelasan undang-undang.
Begitu luasnya cakupan perangkat hukum yang cukup untuk melakukan
privatsasi terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah pada pengelolaan aset
negara. Kesuksesan pelaksanaan tergantung pada ada tidaknya perangkat hukum yang
cukup (adequate). Kecukupan harus juga meliputi hal-hal ke depan yang dimungkinkan
terjadi. Misalnya bila suatu saat pengelolaan suatu perusahaan hasil privatisasi ternyata
merugikan kepentingan rakyat banyak, atau menyebabkan inefisiensi pada
perekonomian nasional, atau perusahaan privatisasi ternyata kembali menguasai hal-hal
yang di masa mendatang dianggap sebagai public utilities. Pertanyaannya adalah
apakah layak bila pemerintah melakukan intervensi kembali, yang tentunya dengan
alasan kepentingan umum atau nasional. Ataukah akan dibuat dasar hukum lagi di masa
mendatang untuk intervensi tersebut. Bila situasi semacam itu terjadi, maka sejarah
kembali berputar untuk kebijakan nasionalisasi.
Pergeseran-pergeseran seperti ini tentu saja dan sangat mungkin terjadi bila
kepentingan umum itu sendiri tidak jelas batasan pengertiannya. Kemajuan teknologi
berperan penting mendorong terjadinya pergeseran ini. Sebagai contoh adalah
pergeseran pengertian yang semula secara universal diakui sebagai public utilities
dalam telekomunikasi yang dialami Amerika Serikat. Perubahan sistem cable menjadi
microwave transmission pada telepon telah merubah arti utilities, dan oleh karenanya
sebagian monopoli AT&T dikurangi dan terhadapnya dilakukan cross subsidy dan pada
akhirnya dilakukan privatisasi.34 Dengan demikian unsur-unsur non yuridis yang
mempengaruhi privatisasi adalah IMF, World Bank, globalisasi, resesi ekonomi,
terakhir adalah kemajuan teknologi.
Unsur-unsur non yuridis ini telah mengaburkan makna kepentingan umum.
Pada tataran ini seharusnya dibedakan secara tegas antara kondisi Indonesia dengan
kondisi negara maju. Dalam arti bahwa apakah tepat bila kita mengadopsi konsep
privatisasi negara-negara maju35 untuk Indonesia, di mana perkembangan teknologi
hanya bisa dinikmati oleh dan untuk strata masyarakat tertentu.
Khusus mengenai privatisasi public utilities di negara majupun banyak
mengalami perdebatan, seperti dikutip sebagai berikut:
34
AT&T (AS) sampai dengan tahun 1950 masih mendapatkan hak natural monopoly dan
memperoleh subsidi, tetapi pada tahun 1963 Microwave Communication Incorporated (MCI)
mengajukan petisi pada pemerintah AS untuk diijinkan melakukan bisnis telekomunikasi.
35
AS, Inggris dan Uni Eropa.
10
Public utilities36 are something of a special case, and of growing importance in
the debate. They are frequently characterised by natural monopolies, and each
field has specific characteristics (and specialised language) that make the debate
complex. The importance of the regulatory framework is, however, particularly
evident for all public utilities. In general, the key issues are about the access,
affordability and quality of each service - with realistic target levels varying
greatly according to the characteristics of a country, particularly its level of
development - and quality and efficiency of management.37
Pertanyaan yang patut diajukan terkait hal ini adalah apakah public utilities
sama dengan kepentingan umum? Public utilities lebih tepat diartikan sebagai
kemanfaatan umum, tetapi dalam public utilities terkait public interest atau kepentingan
umum.
Menurut Kuntjoro Purbopranoto, kepentingan umum berarti sangat luas yaitu
meliputi kepentingan nasional dalam arti kepentingan bangsa, masyarakat dan negara
yang meliputi kepentingan individu, golongan dan daerah.38 Dalam kamus bahasa
belanda maupun literatur Belanda istilah van het algemeen belang diterjemahkan
menjadi kepentingan umum, yang dalam hal ini dikaitkan dengan pengertian untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.39 Sedangkan dalam peraturan perundangundangan, kepentingan umum pada UUPA dikaitkan dengan kegiatan untuk
kepentingan bersama dari rakyat, kepentingan bersama bangsa dan negara, dan
kepentingan pembangunan;40 kepentingan umum dalam PTUN dikaitkan dengan suatu
keadaan yang mendesak untuk kepentingan umum, seperti bencana alam atau keadaan
luar biasa yang membahayakan.41
Tugas pemerintah sebagai penguasa, dimana rakyat bergantung, terkait
kebijakan privatisasi yang dibuatnya adalah mengambil langkah-langkah yang
menjamin bahwa sistem dan hukum yang diterapkan, yang dibuat oleh pemerintah atas
nama negara, berjalan dengan baik dan berlandaskan pada good governance. Adapun
bentuk adequate regulatory framework yang baik dan dapat mencakup seluruh
permasalahan terkait ‘aset negara’ adalah undang-undang.
Sebagai ilustrasi beberapa negara yang mengatur kebijakan privatisasi dengan
undang-undang tersendiri adalah Sri Lanka, Republik Malawi, Hongaria. Sri Lanka
melaksanakan program privatisasi sejak tahun 1996 dengan UU No.1 Tahun 1996
36
Public utilities di UE adalah water, electricity, postal and telecommunications services dan
transport infrastructure.
37
- The Reform of State- Owned Enterprises in Developing Countries with focus on public
utilities, Loc.Cit.
38
Ibrahim, R, Prospek BUMN Dan Kepentingan Umum, Op.Cit., hal 39. dikutip dari Kuntjoro
Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Ichtiar,
Jakarta, 1962, hlm. 22 – 23.
39
Untuk pengertian ini juga diacu Ibrahim, R, Loc.Cit., dikutip dari Ronald Z. Titahelu,
Penetapan Asas-asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-besar Kemakmuran
Rakyat Suatu Kajian Filsafati dan Teoretik tentang Pengaturan dan Penggunaan Tanah di Indonesia,
Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1993, hlm. 175.
40
Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA.
41
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN.
11
tentang Public Enterprises Reform Commission of Sri Lanka, sedangkan Republik
Malawi, pelaksanaan privatisasi dipayungi UU No. 7 Tahun 1997 tentang Public
Entreprise (Privatisation) Act 1996 dan Public Entreprise (Privatization) Regulations
1997, 42 dan ACT XXXIX OF 1995 on the Sale of State-Owned Entrepreneurial Assets
untuk Hongaria.43
Berbeda dengan Australia, masing-masing privatisasi diatur secara tersendiri
sesuai sektor usahanya. Misalnya Telstra adalah perusahaan telekomunikasi milik
negara, khusus untuk privatisasinya diatur dengan Telstra (Dilution of Public
Ownership) Bill 1996 yang merupakan amandemen dari The Telstra Corporation Act
1991.44 Sedangkan di Singapore perubahan bentuk BUMN ke perusahaan swasta atau
sebaliknya tampak tidak menjadi persoalan mendasar, dan selalu dimungkinkan,
mengingat Singapore adalah City Country. Pengaturan perubahan-perubahan bentuk
tersebut diatur menjadi satu dalam Companies Act.
III. Pengaturan Privatisasi BUMN
Privatisasi BUMN diatur dalam satu bagian khusus dari UU BUMN, mulai
Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 Bagian III Bab VIII tentang Restrukturisasi dan
Privatisasi. Pengaturan ini hanya terdiri dari 13 pasal 6 bagian.
Selain pengaturan, pada bagain ini akan dibahas sekaligus kelemahankelemahan pengaturan BUMN, dimana privatisasi sesungguhnya memerlukan
pengaturan dalam bentuk undang-undang tersendiri terkait dengan pertanggungjawaban
publik pada pengelolaan aset negara.
Aturan-aturan hukum di atas dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan yang
terdiri dari:
1. PP No 12 Tahun 1998 Tentang Perusahaan Perseroan (Persero).
2. PP No 45 Tahun 2001 Tentang Perubahan PP No 12 Tahun 1998 Tentang
Perusahaan Perseroan (Persero).
3. PP No 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan
(Persero).
4. Keppres No 122 Tahun 2001 Tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha
Milik Negara.
5. Keppres No 7 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor
122 Tahun 2001 Tentang Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara.
6. KepMen BUMN No. Kep-93/M-Mbu/2002 Tentang Penetapan Master Plan Badan
Usaha Milik Negara Tahun 2002-2006.
42
Sumber: www.priu.gov.lk., www.treausury.gov.lk.
Sumber: www.apvrt.hu/english/m2.html
44
Sumber: www.telstra.com., www.aph.gov.au/senate_communications.
43
12
Kelemahan pengaturan ditunjukkan mulai dari definisi privatisasi dalam Pasal 1
angka 12 UU BUMN yang menyebutkan bahwa privatisasi adalah penjualan saham
Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan
masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
“Meningkatkan kinerja” bisa diukur dalam ilmu ekonomi, tetapi “memperbesar
manfaat bagi negara dan masyarakat” dapat dimuati kepentingan politis. Demikian juga
halnya dengan pengaturan maksud dan tujuan dalam Pasal 74 UU BUMN, yang
menyebutkan tentang “menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif“ atau
“menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar”. Pengaturan
demikian merupakan vage normen yang sulit diterjemahkan.
Pengaturan berikutnya adalah mengenai positive dan negative list. Pasal 76 ayat
1 UU BUMN mengatur bahwa BUMN yang akan diprivatisasi harus merupakan:
a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau
b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
Dalam Penjelasan Pasal 76 ayat 1 UU BUMN disebutkan bahwa:
Industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya
dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata
lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang
swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak
semata-mata dikhususkan untuk BUMN.
Industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor
usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat
cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti
teknologinya.
Sedangkan pengaturan negative list dimulai dari Penjelasan Umum UU BUMN
yang menyebutkan bahwa, privatisasi hanya bisa dilakukan sepanjang di sektor
kegiatan BUMN tersebut tidak dilarang oleh undang-undang untuk dilakukan
privatisasi. Pasal 77 mengatur bahwa Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan
keamanan negara;
c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas
khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat;
d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk
diprivatisasi.
Kelemahan kedua pengaturan di atas adalah pada kemungkinan adanya sektor
usaha yang kompetitif dan perubahan teknologi cepat tetapi terkait dengan kepentingan
masyarakat, misalnya air atau listrik. Jelas untuk dua aturan ini telah terjadi konflik
norma.
13
Kelemahan berikut juga ditunjukkan pada pengaturan cara-cara privatisasi
dalam Pasal 82 UU BUMN yang menentukan bahwa:
(1) Privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaanperusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah.
(2) Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah
ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan,
selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
Tindakan seleksi berdasar kriteria yang ditentukan, rekomendasi Menteri
Keuangan, sosialisasi kepada masyarakat dan dikonsultasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), merupakan pengaturan yang terlalu sederhana bila dikaitkan
dengan aset negara.45 DPR tidak perlu menyetujui privatisasi, karena diatur bahwa
pemerintah hanya berkonsultasi dengan DPR. Dalam tataran ini tentu rakyat terpaksa
harus setuju dengan privatisasi dan apapun yang dilakukan pemerintah sebagai
penguasa terhadap BUMN. Apalagi dalam penjelasan undang-undang terhadap pasal
ini dikatakan ‘cukup jelas’.
Kelemahan berikutnya adalah mengenai Komite Privatisasi. Dalam Pasal 79 UU
BUMN, Komite Privatisasi yang beranggotakan menteri-menteri adalah wadah
koordinasi yang bertanggung jawab pada Presiden.Dalam penjelasan undang-undang
tidak dijelaskan apa maksud dari wadah koordinasi ini. Karakter khusus dari lembaga
ini adalah bahwa Komite diberi kebebasan untuk mengundang, meminta masukan,
dan/atau bantuan instansi pemerintah atau pihak lain yang dipandang perlu terkait
dengan pelaksanaan tugasnya. Pengaturan ini termasuk vage normen, apa maksud kata
“mengundang”, sangatlah tidak mengikat dan bukan suatu kewajiban. Bahkan dengan
“pihak lain yang dipandang perlu”, cakupannya bisa sangat luas atau sebaliknya sangat
sempit.
Selain itu keanggotaan Komite Privatisasi yang hanya beranggotakan para
menteri terkait, menujukkan kekuasaan yang absolut pada pemerintah dalam
privatisasi. Kekuasaan tersebut meliputi:46
a.
menetapkan BUMN yang akan diprivatisasi;
b.
menetapkan metode privatisasi yang akan digunakan;
c.
menetapkan jenis serta rentangan jumlah saham yang akan dilepas;
d.
menetapkan rentangan harga jual saham;
e.
menyiapkan perkiraan nilai yang dapat diperoleh dari program privatisasi
suatu BUMN.
Mengacu Pasal 81, maka tanggung jawab atas pelaksanaan privatisasi
sepenuhnya ada pada Menteri antara lain menetapkan BUMN mana saja yang akan
diprivatisasi, metode privatisasi, jumlah saham yang akan dilepas, harga saham, dan
perkiraan pendapatan negara dari privatisasi.
45
Menurut Mawardi Simatupang, dalam BUMN Pasca UU BUMN, BUMN Indonesia, isu,
kebijakan dan strategi, Elexmedia Komputindo, Gramedia, Jakarta, hal. 68, aset BUMN pada Desember
2002 diperkirakan mencapai 800 triluin rupiah.
46
Pasal 81 UU BUMN.
14
IV. Kendala – kendala Hukum Program Privatisasi
Kendala-kendala program privatisasi lebih banyak berasal dari aspek hukum
daripada berasal dari aspek ekonomis ataupun politis.
Kendala-kendala program privatisasi dimulai dari landasan filosofis BUMN
Pasal 33 UUD 1945 sampai dengan pengaturan-pengaturan pelaksanaannya. Oleh
karena itu kajian pada bagian ini akan dikaji lebih dahulu kendala-kendala penerapan
hukum pada Pasal 33 dalam kegiatan ekonomi.47
Pasal 33 adalah pasal yang kabur yang mungkin disebut meta-meta norma yang
sangat abstrak dan sulit diterjemahkan. Kekaburan utama terkait privatisasi dapat
dilihat pada ayat 2 dan 4 aturan ini yaitu pada kata-kata cabang produksi yang penting
bagi negara; menguasai hajat hidup orang banyak; dikuasai oleh negara, dan demokrasi
ekonomi.
Kata ‘dikuasai negara’ sering disalah artikan sebagai ‘negara menguasai’,
yang lebih condong berarti negara sebagai ‘penyelenggara’, ‘pelaku ekonomi’
(ondernemer, enterpreuner), sehingga negara dianggap sebagai ‘pemilik’. Kata
‘dikuasasi negara’ seharusnya lebih ditekankan pada arti negara sebagai ‘pengatur’
(regulator) atau ‘pengontrol’. Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie, konsep Pasal 33
adalah konsep ‘negara pengurus” (welfare state) yang merupakan masukkan dari
Muhammad Hatta.48 Dalam konsep negara pengurus, negara memang diharapkan turut
bertanggung jawab untuk mengintervensi pasar, mengurus kemiskinan, dan memelihara
orang miskin.49 Hal inilah yang menjadi dasar pencantuman Pasal 33 dan 34 dalam
UUD 1945, dalan bab XIV dengan judul Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan
Sosial. Dengan demikian pencapaian kesejahteraan sosial, tidak semata-mata menjadi
tanggung jawab rakyat, tetapi juga tanggung jawab pemerintah karena rakyat dalam
segi keuangan bergantung pada pemerintah sebagai penguasa.
Konsep ‘negara pengurus’ ala Jimly ini bertentangan dengan program
privatisasi yang berasal dari konsep negara kapitalis. Sedangkan demokrasi ekonomi,
menurut Jimly Asshiddiqie, berkenaan dengan gagasan kedaulatan rakyat Indonesia
dalam kehidupan bernegara. Dikatakan bahwa:
47
Rumusan Pasal 33 UUD 1945 beserta amandemennya adalah sebagai berikut:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasasi oleh negara.
(3)
Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang-undang.
48
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat
Studi Hukum tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 55, footnote.
49
Ibidem.
(1)
(2)
15
Bangsa Indonesia tidak perlu menolak kapitalis secara ekstrim, tetapi juga tidak
perlu menolak sosialisme secara ekstrim. Karena dalam kenyataannya, kedua
sistem berpikir tersebut terus menerus saling pengaruh mempengaruhi satu sama
lain, dan selalu ada upaya umat manusia dalam perkembangan sejarah untuk
merumuskan jalan ketiga (the third way) yang dikembangkan dengan istilah
social democracy.50
Persoalannya adalah apakah program privatisasi bisa dilaksanakan dengan
demokrasi ekonomi Indonesia yang bisa berkembang menjadi social democracy
tersebut, dimana privatisasi tidak bisa lepas dari sistem ekonomi kapitalis murni yang
berasas liberal. Tetapi apabila konsep ‘negara pengurus’ termasuk didalamnya negara
sebagai regulator, maka program privatisasi tidak bertentangan dengan Pasal 33.
Demikian halnya dengan kekaburan makna ‘cabang produksi yang penting bagi
negara’ dan ‘hajat hidup orang banyak’, sampai sekarang sulit diterjemahkan.
Privatisasi terkait dengan ‘cabang produksi yang penting bagi negara’ atau ‘hajat hidup
orang banyak’, yang harus dikuasai negara, merupakan sebuah peluang dan dilemma,
tergantung pada pengartian kata ‘dikuasai’ di atas. Pada dasarnya privatisasi adalah
upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan, baik oleh pemerintah ataupun
swasta.51 Dengan demikian sangatlah sulit melaksanakan program privatisasi dengan
sistem ekonomi suatu negara yang belum jelas ditetapkan. Dalam situasi semacam ini
maka dilema penguasaan negara akan terus bergeser sesuai dengan kondisi keuangan
negara dan trend privatisasi sebagai pemecah masalah keuangan negara.
Kata ‘dikuasasi’ pada Pasal 33 dan empat macam larangan privatisasi bagi
Persero, dalam Pasal 77 UU BUMN sebenarnya dapat dipakai sebagai negative list
yang cukup. Tetapi karena sifat pengaturannya abstrak dan terlalu umum, maka selain
menjadi peluang juga dapat menjadi kendala pelaksanaan program privatisasi.
Seharusnya UU BUMN sebagai peraturan di bawah konstitusi, menterjemahkan Isi
Pasal 33 dengan ketentuan yang tidak bersifat abstrak atau umum, sebab UU BUMN
adalah undang-undang yang mengatur sektor ekonomi. Sedangkan Pasal 33 adalah
landasan seluruh peraturan perekonomian negara.
Ketentuan-ketentuan yang masih bersifat abstrak dan tidak tegas pada
pengaturan tentang privatisasi dalam UU BUMN antara lain dapat dilihat pada
penggunaan kata-kata berikut:
 Pasal 74: menciptakan struktur dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
Persero berdaya saing; meningkatkan peran serta masyarakat dalam
Persero.
 Pasal 75: memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
 Pasal 77: kegiatan kepentingan masyarakat.
 Pasal 80: mengundang pihak yang dipandang perlu.
 Pasal 84: benturan kepentingan.

Pasal 85: wajib menjaga kerahasiaan informasi sepanjang informasi belum
terbuka.
50
51
Ibidem., hal. 56.
Bismar Nasution, TEMPO Interaktif, Jakarta 17 April 2004.
16
Selain kelemahan pada penggunaan kata, yang berakibat peluang dan kendala
program privatisasi, dengan jumlah hanya 13 pasal untuk sebuah kebijakan pemerintah
terkait aset negara yang jumlahnya sangat besar, tentunya pengaturan ini tidak cukup,
apalagi bila dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban publik pada rakyat melalui
wakilnya. Tidak ada satu peraturanpun yang mengatur mengenai hal itu. Apabila hal ini
dibandingkan dengan privatisasi Telstra (Australia), untuk satu perusahaan harus ada
satu Bill tersendiri yang mendapat persetujuan parlemen.
Terkait dengan hal ini Bismar Nasution mengatakan bahwa Indonesia
memerlukan landasan hukum untuk pembangunan ekonominya. Landasan hukum
dibutuhkan sebagai salah satu cara memberikan kontribusi sistem. Sistem hukum yang
buruk dapat menyebabkan terjadinya krisis ekonomi, disamping penurunan market
discipline atau moral hazard di berbagai sektor ekonomi dan politik. 52
Secara keseluruhan melihat pada susunan atau kerangka pengaturan privatisasi
yang ada dalam UU BUMN yang ada saat ini dapat dikatakan sebagai undang-undang
dalam undang-undang. Penempatan pengaturan ini tidak tepat. Sebab privatisasi
bukan bagian dari kepengurusan (beheren) perusahaan, tetapi sebuah kebijakan terkait
aset negara.
Berbeda hal ini dengan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan
pembubaran BUMN yang murni urusan beheren atau kepengurusan perusahaan,
sehingga pelaksanaannya cukup diatur PP. Selain itu penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, dan pembubaran, adalah masih dalam batas kewenangan pemerintah.
Sedangkan privatisasi tidak murni lagi urusan pemerintah, tetapi lebih bersifat
kenegaraan, sebab menyangkut jual beli aset negara yang seharusnya memerlukan
persetujuan DPR, seperti yang dipraktikan Australia dalam privatisasi Telstra atau
Inggris dalam privatisasi British Telecom. Privatisasi sama sekali tidak terkait dengan
hak dan kewajiban perusahaan, tetapi merupakan penyerahan kontrol negara pada
swasta yang kemungkinan besar tidak bisa dijustifikasi melalui Pasal 33.
V. Penutup
1.
Kesimpulan
a. Privatisasi BUMN perlu diatur dalam undang-undang tersendiri, sebab
privatisasi bukan perbuatan beheren atau beschiking terkait kepengurusan
perusahaan, tetapi terkait dengan perbuatan jual-beli aset negara, sehingga
memerlukan dukungan persetujuan rakyat melalui DPR.
b. Perangkat hukum yang ada saat ini telah mencoba memperbaiki perangkat
hukum lama yang masih tersebar, tetapi itupun tidak lengkap dan tidak cukup
efektif, sebab:
52
Bismar Nasution, Loc. Cit.
17
i. Banyaknya aturan hukum yang tergolong meta norma dengan penggunaan
kata yang abstrak, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran hukum.
ii. Perangkat hukum yang ada memberikan kewenangan absolut pemerintah,
akibatnya terjadi kekhawatiran pada pelaksanaan program privatisasi
BUMN kearah pelaksanaan yang tidak fair,
c. Pengaturan privatisasi seharusnya mencakup pengaturan pertanggungjawaban
pengelolaan aset negara.
2.
Saran
a. Mengingat pentingnya pengamanan aset negara bagi rakyat dan dukungan
perangkat hukum yang cukup dalam pelaksanaan privatisasi, maka privatisasi
memerlukan pengaturan tersendiri dalam bentuk undang-undang.
b. Mengingat program privatisasi terkait asset negara yang tidak sedikit
jumlahnya, selain harus dilakukan dengan transparan, privatisasi memerlukan
persetujuan DPR.
c. Agar transparansi dalam pelaksanaan program privatisasi tetap terjamin,
diperlukan keterlibatan lembaga-lembaga independen dari luar pemerintah
untuk turut serta dalam persiapan dan proses pelaksanaan privatisasi.
Daftar Bacaan
18
Buku dan makalah:
Askin, A.J., dalam www.theage.com.au, Hawthorn, Melbourne, Australia, 9
September 2005.
Atiyah, P.S., Law and Modern Society, Second Edition, Opus, Oxford University
Press, New York, 1995.
Bismar Nasution, TEMPO Interaktif, Jakarta, 17 April 2004.
Fabrikant, Pertamina: A National Company A Developing Country, dalam Law and
Public Enterprise in Asia, International Legal Center, Praeger Publishers, New
York, 1976.
Friedmann. W., The State and The Rule Of Law in The Mixed Economy, London,
Steven & Sons, 1971.
Hadjon, PM., dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, 2002.
Ibrahim, R, Prospek BUMN Dan Kepentingan Umum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997.
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,
Pusat Studi Hukum tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.
John Quiggin, The proposed privatisation of Telstra: an assessment, Submission to
Senate Environment, Recreation, Communications and the Arts Legislation
Committee, www.aph.gov.au/senate_communications/, 13 April 1998.
Sugiharto dkk, BUMN Indonesia, Isu, Kebijakan Dan Strategi, Kantor Kementrian
BUMN, Elex Media Komputindo, Gramedia, Cetakan I, Jakarta, 2005.
Rudhi Prasetya, Neil Hamilton, The Regulation of Indonesia state Enterprise, Law And
Public Enterprise In Asia, International Legal Center, Praeger Publishers,
New York, 1976.
Sumantoro, Problema Yuridis Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Yuridika,
No.7 Th. II, Desember 1987-Januari 1988.
Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, third Edition, Florida State University,
Prentice Hall, 1978.
The Reform of State- Owned Enterprises in Developing Countries with focus on public
utilities: The Need to Assess All the Options, Communication From The
Commission To The Council And The European Parliament, Summary, dalam
www.oecd.org.
Undang-undang:
UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA.
UU No. 5 Tahun 1986 Jo UU No 9 Tahun 2004 tentang PTUN.
UU 13 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
19
Website:
http://europa.eu.int/eur-lex/en/com.
www.apvrt.hu/english/m2.html
www.aph.gov.au/senate_communications.
www.BUMNOnline.
www.BUMN.go.id.
www.kompas.com/kompas-cetak/0509/24/ekonomi/2076763.htm.
www.oecd.org.
www.privatisationmalawi.org
www.priu.gov.lk.
www.theage.com.au.
www.treausury.gov.lk.
www.telstra.com.
www.safitri.com.
20
Download