UJI EFEKTIVITAS ANTELMINTIK DEKOKTA DAUN BINAHONG

advertisement
UJI EFEKTIVITAS ANTELMINTIK DEKOKTA DAUN
BINAHONG (Anredera cordifolia (tenore) steenis)
TERHADAP Acrais suum, Goeze SECARA IN VITRO
Karya Tulis Ilmiah
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi
Program Studi D III Farmasi
Oleh :
SUDIRRO DWI SANTOSO
NIM.13DF277047
PROGRAM STUDI DIII FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
ABSTRAK
Antekmintik Effectivity Test Of Decocta Binahong Leaf ( Anredera cordifoia tenore
steenis ) To Ascaris suum, Goeze in vitro1
Sudirro Dwi Santoso2 Via Fitria., M.Si 3
Anna L Yusuf., S.Far.,Apt4
It has conducted the research of antelmintik effectivity test of decocta binahong leaf (
Anredera cordifoia tenore steenis) to Ascaris suum, Goeze in vitro. The aim of the research
to determine whether decocta binahong leaf have an antelmintik effect to worm Ascaris
suum, Goeze.
The research carried out by the in vitro method, using 60 worms Ascaris suum,
Goeze. for teh third times trial. It is divided into 3 groups. The first group is negatif control
group, this group given only aquadest solution and NaCl 0.9%. the second group is positive
control group test, given piperazine citrate solution and NaCl 0.9%. and the third group is
control group test, given decocta binahong leaf various concentrations and NaCl 0.9% each
group of worns put in a beaker containing four worms, then the worms was observed every
30 minutes.
The test result of an Anova Two Way show that concentrate decocta binahong leaf (
Anredera cordifoia tenore steenis ) consists of 40% to 80% as controlling group test had
meaningful different (p<0.05) to aquadest solution and NaCl 0.9% as negative control and all
control test had meaningful different (p<0.05) to piperazine citrate as positive control.
Concentrate of decocta binahong leaf (p<0.05) consists of 20%, 40%, and 80% had
antelmintik effectivity to the dead time of worm Ascaris suum, Goeze in vitro.
Keywords
: binahong leaf ( Anredera cordifoia tenore steenis ), Antelmintik,
suum, Goeze
Information
: 1 Title, 2 Student Name, 3 Name Of Supervisor I, 4 Name Of Supervisor II
vii
Ascaris
INTISARI
UJI EFEKTIVITAS ANTELMINTIK DEKOKTA DAUN BINAHONG
(Anredera cordifoia tenore steenis) TERHADAP WAKTU PARALISIS
ATAU KEMATAN CACING GELANG BABI (Ascaris suum, Goeze)
SECARA IN VITRO1
Sudirro Dwi Santoso2 Via Fitria., M.Si 3
Anna L Yusuf., S.Far.,Apt4
Telah dilakukan penelitian Uji efektivitas antemlintik dekokta daun
binahong (Anredera cordifolia tenore steenis) terhadap Ascars suum,
Goeze secara in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
dekokta daun binahong (Anredera cordifolia tenore steenis) memliki efek
antelmintik terhadap cacing Ascaris suum, Goeze secara in vitro.
Penelitan ini dilaksanakan dengan metode in vitro, menggunakan
60 ekor cacing Ascaris suum Goeze, untuk 3 kali percobaan. Dibagi
kedalam 3 kelompok, kelompok pertama adalah kelompok kontrol negatif
kelompok yang hanya diberi larutan aquadest dan NaCl 0.9%, kelompok
kedua adalah kelompok kontrol positif yang diberi larutan Piperazin Sitrat
dan NaCl 0,9% dan kelompok ketiga adalah kelompok kontrol uji diberi
dekokta daun binahong berbagai konsentrasi dan NaCl 0,9%. Tiap
kelompok cacing dimasukan kedalam gelas kimia yang berisi larutanlarutan percobaan, satu gelas kimia berisi 4 ekor cacing, kemudian cacing
diamati setiap 30 menit.
Hasil uji Anova Two Way menunjukan bahwa dekokta daun
binahong (Anredera cordifolia tenore steenis) konsentrasi, 40% dan 80%
sebagai kelompok kontrol uji mempunyai perbedaan bermakna (p<0,05)
terhadap larutan aquadest dan NaCl 0,9% sebagai kontrol negatif dan
semua kontrol uji mempunyai perbedaan bermakna (p<0.05) terhadap
Piperazin Sitrat sebagai kontrol positif. dekokta daun binahong (Anredera
cordifolia tenore steenis) konsentrasi 20 %, 40% dan 80% memiliki
efektivitas antelmintik terhadap cacing Ascaris suum, Goeze secara in
vitro.
Kata Kunci
Keterangan
: Daun Binahong (Anredera cordifolia tenore steenis),
Antelmintik, Ascaris suum, Goeze
: 1 Judul, 2 Nama Mahasiswa, 3 Nama Pembimbing I, 4
Nama Pebimbing II
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit askariasis merupakan penyakit yang sering dianggap tidak
penting atau disepelekan oleh masyarakat. Padahal penyakit ini sangat
berbahaya karena lebih dari 60.000 orang mati dalam per tahun akibat
penyakit ini. Oleh karena itu pada penelitian kali ini berhubungan dengan
askariasis.
Pada penelitian kali ini menggunakan sampel cacing Ascaris suum,
Goeze
karena
lumbricoides
mempunyai
yaitu
Ascaris.
genus
yang
sama
Tidak
menggunakan
dengan
Ascaris
cacing
Ascaris
lumbricoides karena sulit mendapatkan cacing tersebut dari dalam usus
halus dan hopes manusia.
Allah SWT befirman dalam Q.S Lukmanayat 10:
“ ‫اء ِمن ََوأ َ ْنزَ ْلنَا‬
ٍ ‫”…ك َِر‬
ِ ‫يمزَ ْو ٍجكُ ِلِّ ِم ْن ِفي َهافَأ َ ْن َبتْنَا َما ًءالسَّ َم‬
“ Dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuh kapadanya
segala macam tumbuh – tumbuhan yang baik”. ( QS. Lukman : 10).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT tidak menciptakan
segala sesuatu yang ada di bumi dengan sia – sia, semua yang ada di
bumi pasti memiliki manfaat salah satunya adalah tumbuhan yang bias
dijadikan obat yaitu tumbuhan binahong. Dalam sebuah hadit’s juga
dikatakan
‫ وال تتداووا بالحرام‬، ‫ فتداووا‬، ‫ وجعل لكل داء دواء‬، ‫إن هللا أنزل الداء والدواء‬
“Sesungguhnya allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian
pula allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya .Maka berobatlah
2
kalian
dan
janganlah
berobat
dengan
yang
haram
“(HR.
Abu
DawuddariDarda’ radhiallahu ‘anhu).
Penggunaan obat-obatan yang berasal dari alam akhir-akhir ini
semakin diminati oleh masyarakat. Itu hasil penelitian pendahuluan,
dinyatakan bahwa pada daun binahong terkandung senyawa aktif salah
satunya saponin. Saponin memiliki efek antelmintik dengan menghambat
kerja enzim kolinesterase (Kuntari, 2008). Pada penelitian kali ini ingin
mengetahui dapat tidaknya daun binahong untuk anti antelmintik karena
tanaman binahong dapat mengobati berbagai macam penyakit ringan
maupun berat dan mengandung senyawa aktif saponin yang memiliki
efek antelmintik Dan belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti
dekokta daun binahong sebagai antelmintik.
B. Batasan Masalah
1. Sampel yang digunakan yaitu dekokta daun binahong
2. Pengujian dilakukan secara in vitro
C. Rumusan Masalah
Apakah dekokta daun binahong (anredera cordifolia (tenore) steenis)
memiliki pengaruh daya antelmintik terhadap cacing babi (Ascaris suum,
Goeze)?
D. Tujuan Penlitian
Apakah dekokta daun binahong mempunyai efek antelmintik dan
dapat menentukan konsentrasi yang terbaik.
3
E. Manfaat Penelitian
Mengetahui efek antelmintik dekokta daun banihong terhadap waktu
paralisis atau kematian cacing gelang babi in vitro. Sebagai dasar bahan
penelitian lanjutan. Memberi kemungkinan untuk dibuatnya preparat obat
antelmintik baru dari dekokta daun banihong Memberikan informasi ilmiah
kepada masyarakat tentang manfaat daun banahong sebagai terapi
antelmintik.
4
F. Keaslian Penelitian
Tabel 1.1 Tabel Keaslian Penelitian
Nama
Judul
TahunPenelitia
Peneliti
Penelitian
n
Via Fitria
Uji
2014
Teratogenik
Ekstrak
daun
binahong
Kesamaan
Sama
–
sama
Perbedaan
Tidak menguji
menggunakan
teratogenik ekstrak
daun binahong
daun binahong
(Anrederacordifo
lia (tenore) pada
tikus wistar
Eka
Aktivitas anti
Sama-sama
Perbedaan dengan
Kumalasari,
fungi ekstrak
2011
menggunakan zat
jurnal Eka
Nanik
etanol
aktif pada binahong
Kumalasari, Nanik
Sulistyani
batangbinahong
Sulistyani yaitu
(Anrederacordifo
meneliti aktivitas anti
lia (tenore)
fungi ekstrak etanol
Steen.) terhadap
batang binahong
Candida
albicansserta
skrining
fitokimia.
A.D
Efek Antelmintik
Rahmalia
2010
Sama-sama
Perbedaan dengan
Infusa Biji
menguji Efek
jurnal A.D Rahmalia
Kedelai Putih
Antelmintik
yaitu sediaan infusa
(Glycine max (L)
Biji Kedelai Putih
Merril) Terhadap
(Glycine max (L)
Waktu Kematian
Merril)
Cacing Gelang
Babi (Acaris
suum Goeze) In
Vitro
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tanaman Binahong
Gambar 2.1 Daun Binahong
klasifikasikan sebagai berikut :
Regnum `
: Plantae
Divisio
: Spermatopphyta
Sub divisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledoneae
Familia
: Basellaceae
Genus
: Anredera
Species
: Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis
a. Deskripsi Tanaman Binahong
Tanaman binahong (Andredera cordifolia (Ten.) Steen.)
adalah tanaman yang berupa tumbuhan menjalar, berumur
panjang, bisa mencapai kurang lebih 5 meter. Tanaman binahong
berbatang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah,
permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang
melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan
bertekstur kasar. Tanaman binahong mempunyai daun dengan
6
ciri – ciri tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling,
berwarna hijau, bentuk jantung, panjang 5 – 10 cm, lebar 3 – 7
cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk,
tepi rata, permukaan licin, dan bisa dimakan.Tanaman binahong
berbunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang,
muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputihan
berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0.5
– 1 cm, berbau harum. Rimpang tanaman binahong berbentuk
rimpang, berdaging lunak. Perkembangbiakan secara generatif
(biji), namun lebih sering
berkembangbiak secara vegetatif
melalui akar rimpangnya (Fitria,2014).
b. Sinonim dan Nama Daerah
Sinonim Anredera Cordifolia antara lain Boussingaultia
gracillis Miers, Boussingaultia cordifolia Ten., danBoussingaultia
basselloides Auct. nun Humb (Lemmens & Bunyapraphatsara
2003), Binahong, gondola (Sunda), gondola (Bali), lembayung
(Minangkabau), uci-uci (Jawa), kandula (Madura), tatabuwe
(Sulawesi Utara).
c. Kandungan Kimia Daun Binahong
Daun
binahong
mengandung
flavonoid,
kuinon,
tanin,
saponin, steroid, monotervenoid, seskuiterpenoid, sedangkan
rizomanya mengandung flafonoid, polifenol, saponin, tanin,
steroid.
7
1) Flavonoid
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan
senyawa C6-C3-C6.Artinya kerangka karbonnya terdiri atas
dua gugus C6 (cincin benzene tersubstitusi) disambungkan
oleh rantai alifatik tiga-karbon.Flavonoid umumnya terdapat
pada tumbuhan sebagai glikosida.Gugus gulabersenyawa
pada satu atau lebih grup hidroksi fenolik.Gugus hidroksi
selalu terdapat pada karbon no 5 dan no 7 pada cincin A,
pada cincin B gugusan hidroksil atau alkosil terdapat pada
karbon no 3 dan no 4.Flavonoid terdapat pada seluruh bagian
tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar.
(Robinson, T. 1995)
Flavonoid terdapat pada tumbuhan sebagai campuran
dan jarang sekali ditemukan flavonoid tunggal dalam jaringan
tumbuhan, flavonoid biasanya berikatan dengan gula sebagai
glikosida.Molekul yang berkaitan dengan gula tadi disebut
aglikon.Di alam leebih hampir 500 aglikon dan kurang lebih
200 flavonoid. (Sirait,2007)
Golongan flavonoid dapat dibedakan berdasarkan cincin
heterosiklik, oksigen tambahan dan gugus hidroksi yang
tersebar menurut pola yang berbeda. Penggolongan jenis
flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula berdasarkan
sifat kelarutan, reaksi kimia dan pemeriksaan kromatografi.
Masing – masing di identifikasi dengan membandingkan data
kromatografi dan data spectrum dengan menggunakan
senyawa
pembanding
yang
sudah
dikenal.
Flavonoid
mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat
pada
seluruh
dunia
tumbuhan
dari
fungus
sampai
angiospermae, Pada tumbuhan tinggi flavonoid terdapat baik
8
dalam bagian tumbuhan vegetatif maupun dalam bunga,
Sebagai figmen warna, flavonoid berperan jelas dalam
menarik burung dan serangga penyerbuk bunga (Sirait,2007).
2) Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan dan sterol yang
telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan.Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti
sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan hemolisis sel darah. Kemampuan
menurunkan tegangan permukaan ini
disebabkan molekul
saponin terdiri dari hidrofob dan hidrofil. Bagian hidrofob
adalah aglikonnya, bagian hidrofil adalah glikonnya, Aglikon
dari saponin disebut sapogenin dan sapogenin sukar larut
dalam air. Saponin dapat berupa senyawa yang mempunyai
satu rantai gula atau dua rantai gula yang sebagian
bercabang, banyak saponin yang mempunyai satuan gula
sampai lima dan komponen yang umum adalah asam
glikuronat.(Harbone, J. B., 1987)
3) Tanin
Tanin
merupakan
semua
senyawa
alam
yang
mempunyai sifat fisika kimia berdekatan dengan senyawa
yang dapat digunakan untuk penyamakan kulit. Sipat utama
dari tanin adalah kemampuannya bergabung dengan protein
dari polimer-polimer lain seperti selulosa dan pectin, hal inilah
yang penting pada penyamakan yaitu pada pembentukan
suatu gabungan dari tannin dan kolagen ada kulit.Selain itu
sifat
ini
penting
bagi
inhibisi
enzim
sebagai
akibat
daripenggabungan tanin dengan protein.Sifat-sifat pengelat
dari tanin disebabkan oleh presipitasi akibat penggabungan
9
tanin dengan protein yang terdapat dalam ludah yang
kemudian bisa kehilanga sifat lubrikannya.(Harbone, J. B.,
1987)
Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh,
dalam
angiospermae
terdapat
khusus
dalam
jaringan
kayu.Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk
kopolimer yang mantap dan tidak larut air. Secara kimia
terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar hamper tidak
merata dalam dunia tumbuhan.Tanin terkondensasi terdapat
didalam paku – pakuan dan gimnospermae, serta tersebar
luas dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan
berkayu.Sebaliknya
tanin
terhidrolisis
penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua (Harbone, J.
B.,1987).
Tanin terhidrolisis terutama terdiri dari dua kelas, dan
yang paling sederhana ialah depsida galoilglukosa. Pada
senyawa ini inti yang berupa glukosa dikelilingi oleh lima
gugus ester galoil atau lebih. Tanin jenis elagitanin, inti
molekulnya berupa senyawa polimer asam galat, yaiu asam
heksahidroksidifenat yang beikatan dengan glukosa. Bila
dihidrolisis elagitanin akan menghasilkan asam elagat
(Harbone, J. B., 1987).
4) Triterpenoid-Steroid
Terpen merupakan senyawa hasil kondensasi linear
asam astat dengan dua atom karbon. Asam asetat melalui
bagian cara akan menjadi beberapa sam malonat yang
akhirnya
menjadi
beberapa
senyawa
terpen.
Terpen
merupakan kelipatan lima atau isoprene dan kerangka
10
karbonnya dibangun oleh penyambung dua atau lebih satuan
C5 ini. (Harbone, J B., 1987).
Kata triterpenoid mencakup sejumlah besar senyawa
tumbuhan, dan istilah ini digunakan untuk menjukan bahwa
secara biosintesis semua senyawa tumbuhan itu berasal dari
senyawa yang sama. Jadi, semua triterpenoid berasal dari
molekul isoprene CH2–C(CH2)-CH=CH2
dan kerangka
karbonnya dibngun oleh penyambung dua atau lebih satuan
C5 in.Kemudian senyawa itu dipilah – pilah menjadi beberapa
golongan berdasarkan jumlah satuan ysng terdapat dalam
senyawa tersebut atau: satu (C5) / isoprene, dua (C10) /
mono terpenoid, tiga(C15) / seskui terpenoid, empat (C20) /
diterpenoid, enam (C30) triterpenoid, atau delapan (C40)/
tetraterpenoid, dan (Cn) / poliisoprena. (Robinson, T.1995).
Kebanyakan teriterpenoid alam mempunyaistruktur siklik
dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih ( hidroksi dan
karbonil) sehingga pada langkah akhir sintesa terjadi siklinasi
dan oksidasi atau pengubahan struktur lainnya. Secara kimia
triterpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat di
dalam sitoplasma sel tumbuahan .(Robinson, T.1995)
Steroid
adalah
senyawa
metabolit
sekunder yang
mengandung jumlah atom karbon 27. Pada umumnya steroid
ditemukan pada jaringan hewan, misalnya kolesterol dan
jaringan tumbuhan dikenal dengan nama sitosterol. Steroid
bersifat senyawa non polar sehingga mudah sekali larut
dalam pelarut non polar dan tidak larut dalam air dan juga
pelarut polar, contoh senyawa yang mengandung steroid
adalah kolesterol. (Robinson, T. 1995)
11
d. Khasiat Tanaman Binahong
Secara empiris, masyarakat Indonesia memanfaatkan daun
binahong
untuk
mempercepat
pemulihan
setelah
oprasi,
melahirkan, khitan, radang usus, melancarkan dan menormalkan
tekanan darah, tukak lambung, asam urat, pengobatan diabetes,
menambah dan mengembalikan vitalitas daya tahan tubuh, wasir,
memperlancar buang air besar, sariawan, pusing-pusing, sakit
perut dan batuk. Pada pengobatan tradisional di Kolombia dan
Taiwan, rebusan air daun binahong digunakan untuk mengobati
diabetes dan sebagai nalgesik, (Lemmens & Bunyapraphatsara
2003).
Penelitian terhadap daun binahong masih jarang dan belum
banyak dipublikasikan.Akan tetapi spesies Anredera diketahui
memiliki efek menyembuhkan luka dan aktivitas inflamasi.
Ekstrak daun binahong memiliki kandungan saponin, tanin yang
dapat berefek untuk antelmintik oleh karena itu pada penelitian
kali ini menggunakan daun binahong.
2. Ektraksi
Ekstraksi adalah penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair.
Ekstrak
adalah
sediaan
kental
yang
diperoleh
dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia
hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua
pelarut diuapkan serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian
sehingga memenuhi baku yang telah di tetapkan.
a.
Metode ekstraksi dingin
Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan dan
12
pengadukan
pada
temperature
ruangan
(kamar).
Secara
teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsif metode pencapaian
konsentrasi
dilakukan
pada
keseimbangan.
pengadukan
yang
Manserai
kontinyu.
kinetik
berarti
Remaserasi
berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilkukann
enyaringan
maserasi
pertama,
dan
seterusnya
(Ditjen
POM,2000)
Perkolasi
Perkolasi merupakan proses penyaringan srbuk simplisia
dengan pelarut yang selau baru sampai di dapatkan ekstraksi
yang sempurna (exhaustive extraction) dan dilakukan pada suhu
ruangan. Tahapan dari perkolasi meliputi tahan pengebangan
bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan / penampungan ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
(Ditjen POM,2000)
b.
Metode ekstraksi panas
Ekstraksi dengan cara soxhlet
Bahan yang akan disari berada dalam suatu kantong
ekstrak (kertas saring) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas
yang bekerja kontinyu. Wadah gelas yang didalamnya terdapat
kantong yang berisi simplisia tadi diletakan diantara labu suling
dan suatu pendingin alir balik dengan dihubungkan melalui pipet.
Labu tersebut berisi bahan pelarut yang menguap dan jika diberi
pemanasan, pelarut tersebut akan menguap mencapai kedalam
pendingin
alirab
balik
melalui
pipa
pipet,
pelarut
itu
berkondensasi didalamnya, menetes ke bahan yang disari.
Larutan berkumpul di dalam wadah gelas dan setelah mencapai
13
tinggi maksimum secara otomatis ditarik ke wadah gelas dan ke
dalam labu, dengan demikian at yang tersari terkumpul ke dalam
labu tersebut (Voight,1995)
Ekstraksi dengan cara refluks
Refluks
merupakan
proses
pemisahan
dengan
cara
memanaskan simplisia dalam pelarut yang sesuai pada titik didih
pelarutnya.pelarut akan dipanaskan hingga menguap dan uap
tersebut akan mengalami kondensasi saat mengalami kondensor
dan akan turun kembali ke dalam labu. Pelarut tersebut akan
melarutkan kembali zat aktif yang terdapat di dalam simplisia.
Proses ini berlangsung secara terus menerus hingga pelarut
mencapai keadaan jenuh. Pada umumnya, pergantian pelarut
dilakukan selama 3-4 kli setiap 3 jam. Dibandingkan dengan
ekstraksi dengan alat soxhlet, refluks memerlukan pelarut dengan
jumlah yang lebih banyak karena pada cara ini, pelarut akan
mengalami kejenuhan. Namun, waktu ekstraksi yang dibutuhkan
refluks relative lebih singkat bila dibandingkan dngan alat Soxhlet
(Ditjen POM 2000)
Ekstraksi dengan cara digesti
Digesti
dan
maserasi
kinetic
(dengan
pengadukan
kontinyu) pada temperature yang lebih tinggi dari temperature
ruangan
(kamar),
yaitu
secara
umum
temperature 40 – 50 0C. (Ditjen POM,2000)
dilakukan
pada
14
Ekstraksi dengan cara dekok
Dekok adalah infuse pada waktu yang lebih lama kurang
lebih 30 menit dan temperature sampai titik didih air. (Ditjen
POM,2000)
3. Askariasis
Ascarisis adalan infeks cacing karena Ascaris lumbricoides
(Zulkoni, 2010)
1.
Etologi
Penyebab penyakit askariasis adalah cacing Ascaris
lumbricoides. Manusia merupakan hospes dari cacing ini
(Margono dkk, 2003).
a.
Aspek Klinis
Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan
erat dengan respons umum hospes, efek migrasi larva,
efek mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi.Selama
larva mengalami siklus dalam jumlah yang besar dapat
menimbulkan pneumonitis.Larva yang menembus jaringan
dan masuk ke dalam alveoli dapat mengakibatkan
kerusakan epitel bronkus (Onggowaluyo, 2002).Apabila
terjadi reinfeksi dan migrasi larva ulang maka jumlah larva
yang sedikit pun dapat menimbulkan reaksi jaringan yang
hebat.Hal ini terjadi dalam hati dan paru-paru disertai oleh
infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epitel.Keadaan ini
disebut pneumonitis askariasis.Selanjutnya, disertai reaksi
alergik yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan demam
(39 – 40 C). Adanya gambaran infiltrat pulmoner yang
bersifat sementara, akan hilang dalam beberapa minggu
dan berhubungan dengan eosinofilia perifer. Keadaan ini
15
disebut sindrom Loeffler. Selain ditemukan kristal CharcotLeyden dan eosinofil, spudium juga dapat mengandung
larva. Hal ini penting untuk keperluan diagnosis, yaitu
dengan pemeriksaan bilas lambung.Cacing dewasa yang
ditemukan
dalam
jumlah
besar
(hiperinfeksi)
dapat
mengakibatkan kekurangan gizi.Kasus ini biasanya terjadi
pada anak-anak. Cairan tubuh cacing dewasa dapat
menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip
demam tifoid yang disertai alergi seperti urtikaria, edema di
wajah, konjungtivitis, dan iritasi pada alat pernapasan
bagian atas (Onggowaluyo, 2002)
Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak
dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing
dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan serius.
Migrasi cacing dewasa bisa disebabkan oleh adanya
rangsangan. Efek migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi
usus, masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas,
dan organ-organ lainnya. Migrasi sering juga terjadi keluar
melalui anus, mulut, dan hidung (Onggowaluyo, 2002)
b.
Diagnosis
Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat
dengan
menemukan
larva dalam spudium atau bilas
lambung.Sindrom Loeffler yang spesifik sering terlihat. Di sisi
lain, selama fase intestinal diagnosis dapat dibuat dengan
menemukan telur dan cacing dewasa dalam tinja. Telur cacing ini
dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan basah
langsung atau sediaan basah dari sedimen yang sudah
dikonsentrasikan.Cacing dewasa dapat ditemukan dengan
pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya
16
melalui mulut karena muntah atau melalui anus bersama
dengan tinja (Onggowaluyo, 2002).
c.
Komplikasi
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan
terjadinya reaksi alergi yang berat dan pneumonitis,
bahkan dapat menyebabkan pneumonia (Pohan,2007)
d.
Prognosis
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa
yang bermigrasi, prognosis askariasis baik (Pohan, 2007)
4. Cacing Gelang Babi (Ascaris suum, Goeze)
Gambar 2.2 Ascaris suum, Goeze
Penulis menggunakan cacing Ascaris suum, Goeze karena sulit
mengambil cacing Ascaris lumbricoides dalam keadaan hidup secara
langsung dari tubuh penderita askariasis. Selain itu, morfologi Ascaris
suum, Goeze hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn dan
Ascaris suum, Goeze juga dapat menginfeksi manusia ( Mahmudah,
2010 ).
17
1.
Taksonomi Ascaris suum, Goeze :
Kingdom
: Animalia
Subkingdom
: Metazoa
Filum
: Nemathelminthes
Kelas
: Nematoda
Subkelas
: Scernentea
Bangsa
: Ascaridia
Superfamili
: Ascaridoidea
Famili
: Ascarididae
Marga
: Ascaris
Spesies
: Ascaris suum, Goeze
( Kusumamihardja, 1992 )
2.
Morfologi Ascaris suum, Goeze :
Cacing Ascaris suum, Goeze merupakan cacing gelang parasit yang
hidup di usus halus babi.Cacing ini juga dapat menginfeksi
manusia, sapi, kambing, domba, anjing, dan sebagainya
(Miyazaki, 1991). Bahwa pada ayam yang terinfeksi Ascaris
suum terjadi lesi hepatik karena migrasi larvanyaYoshihara
(2008). Cacing Ascaris suum, Goeze memiliki panjang antara
12-50 cm, tubuhnya simetris bilateral dan gilig (Subroto, 2001).
Cacing ini secara morfologi hampir sama dengan Ascaris
lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan
gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan
cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides (Miyazaki,
1991).
3.
Siklus Hidup
(Mahmudah, T. R,2010) daur hidup dalam perjalanan infeksi
antara A.lumbricoides dan A.suum juga hampir sama dengan
18
sedikit perbedaan. Cacing dewasa Ascaris suum memproduksi
telur setelah 2-3 bulan. Telur ini tertelan kemudian sampai pada
saluran cerna dan menetas menjadi larva. Larva cacing ini tdak
melakukan penetrasi langsung setelah menempel pada dinding
saluran cerna, tetapi hanya transit sebentar pada usus halus
dan melakukan penetrasi pada mukosa caecum dan kolon
bagian atas. Kmudian cacing ini terakumulasi di hati sampai 48
jam. Dari sini larva masuk ke pembuluh porta, bermigras
mengikuti aliran darah sampai ke bronkus paru, larva kemudian
tertelan , menetap di usus halus dan menjadi paten dalam
waktu 6-8 minggu sampai selanjutnya dapat memulai siklus
baru dengan penetasan telur oleh cacing dewasa yang
dikeluarkan melalui feses Menurut (Mahmudah, T. R 2010)
hospes utama A.suum adalah babi, meskipun dapat pula
menjadi parasit dalam tubuh manusia, sapi, kambing, domba,
anjing dan lain-lain, dengan distribusi yang luas diseluruh dunia.
5. Antelmintik
Antelmintik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk
memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau
jaringan tubuh (Syarif, Amir, dkk 2007). Obat-obat yang digunakan
untuk membasmi cacing ini antara lain (Pohan,2007) :
a. Piperazin
Efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan E.vermicularis.
Mekanisme kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing
terhadap asetilkolin paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh
peristaltik usus.Absorpsi melalui saluran cerna, ekskresi melalui
urine.(Anonim.2010). Satu tablet obat ini mengandung 250 atau
19
500 mg piperazin. Efek sampingnya adalah pusing, rasa
melayang, gangguan penglihatan, dan gangguan saluran cerna.
b. Pirantel pamoat
Pirantel
pamoat
memiliki
efek
menghambat
enzim
kolinesterase. Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 10
mg/kg berat badan, maksimum 1 gram. Efek sampingnya adalah
rasa mual, diare, pusing, ruam kulit, dan demam.
6. In Vivo, In Situ, In Vitro, dan in silico
a. In vivo
Dengan hewan utuh, parameternya perubahan kelakuan atau
gejala, tahu parameter biokimia. Perlakuan prikebinatangan.In vivo
bisa dikatakan sebagai melihat nasib obat dalam tubuh.
b. In situ
Dengan hewan utuh umumnya teranastesi sasaran perlakuan
bisa dibilang pengamatannya pada organ tertentu parameternya
perubahan organ tersebut. Induksi sakit atau perubahan obat bisa
oral atau cara pemberiannya lain atau lokal pada organ tersebut.
Obat yang diujikan langsung disuntikan. Misalnya peristaltik usus
c. In vitro
In vitro adalah eksperimen yang diluar tubuh hewan dengan
organ atau sel terisolasi, keadan dijaga agar tetap hidup dan
dalam suasana fisiolagis selama pengamatan. Perludilakukan
kajian sifat organ atau sel, larutan fisiolagis yang digunakan
tergantung sifat organ atau sel dan tujuan eksperimen. Parameter
pengamatan terhadap perubahan organ atau sel, diperlu proses
dan alat khusus seperti alat bedah, ruang steril atau kerja
asepstik,organ bath, pencacat dengan atau tanpa amplifier.
20
d. In silico
Kehidupan atau gambaran yang disimulasikan dalam gambar
dikomputer yang terdapat ramalan efek atau kajian. Pengamatan
perubahan gambaran dengan pengkuran tertentu. Digunakan
dalam pengembangan obat dengan struktur analogi (Andreanus.
2009).
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Pada penelitian jurnal Eka Kumalasari dan Nanik Sulistyani dengan
judul
Aktivitas
antifungi
ekstrak
etanol
batang
binahong
(Anrederacordifolia (tenore) Steen.) terhadap Candida albicans serta
skrining fitokimia tahun 2011 memilki kesamaan yaitu sama-sama
menggunakan zat aktif pada binahong dan perbedaannya dengan jurnal
Eka Kumalasari, Nanik Sulistyani yaitu meneliti aktivitas anti fungi ekstrak
etanol batang binahong
Pada penelitian jurnal A.D Rahmalia dengan judul Efek Antelmintik
Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine max (L) Merril) Terhadap Waktu
Kematian Cacing Gelang Babi (Acaris suum Goeze) In Vitro tahun 2010
memiliki kesamaan yaitu Sama-sama menguji Efek Antelmintik dan
Perbedaan dengan jurnal A.D Rahmalia yaitu sediaan infusa Biji Kedelai
Putih (Glycine max (L) Merril).
Pada penelitian jurnal Via Fitria dengan judul Uji Teratogenik Ekstrak
daun binahong ( Anredera cordifolia ( tenore ) steenis ) pada tikus wistar
tahun 2014 memiliki kesamaan yaitu sama - sama mengunakan daun
binahong dan perbedaan dengan jurnal Via Fitria yaitu daun binahong
dan tidak menguji teratogenik ekstrak daun binahong.
21
C. Kerangka Berpikir
input
DAUN BINAHONG
proses
-
PENYIAPAN BAHAN
PEMBUATAN DEKOKTA
UJI ANTELMINTIK
output
WAKTU TERJADINYA PARALISIS PADA
ASCARIS SUUM, GOEZE
EVALUASI
Gambar 2.3 kerangka berpikir
D. Hipotesis
Karena memiliki zat aktif seponin dekokta daun banihong memiliki
pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.
Semakin tinggi konsentrasi dekokta daun banihong, semakin cepat waktu
kematian cacing Ascaris suum, Goeze in vitro.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran, Q.S Lukman10
Andreanus, A.Soemardji, 2009, “Metode Farmakologi Toksikologi”, Bagian
I, Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung.
Ditjen POM., 1995, Materia Medika Indonesia, jilid VI, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta., 321-325, 336-337.
Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia edisi IV, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta 1033-1049.
Farnsworth, N. R., 1966, Biological Phytochemical Screening of Plant,
Journal of Pharm. Sci., vol. 55, 244-269.
Gunawan (2009). Kemoterafika Antiparasit. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia 3 (1): 37-40.
Gunawan D, Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Penebar
Swadaya : Jakarta.
Harborne, J. B. (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah Padmawinata K
dan Soediro I, Edisi II. Bandung: Penerbit ITB, Bandung, 1-38 47-57,
69-110, 123-169.
Kumalasari Eka &Nanik Sulistyani. (2011) Aktivitas Anti Fungi Ekstrak
Etanol Batang Binahong (Anredera cordifolia (tenore) steen.)
Terhadap Candida albicans Serta Skrining Fitokimia, Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Kuntari T. 2008. Daya Antelmintik air rebusan daun ketepeng (Cassia ala
ta L) terhadap cacing tambang anjing in vitro Yogyakarta :
Universitas Islam Indonesia.
Lasut, Virginia N. 2012 “Uji Efektivitas Daya Antelmintik Infus Daun
Ketepeng Cina (Cassia alata L.) Terhadap Cacing Gelang
Ascarisum lumbricoides Secara In Vitro, FMIPA UNSRAT Manado.
35
Lemmens, R. H. M. J. And Bunyapraphatsara N. (Eds)., 2003, Plants
Resources of South-East Asia No.12 (3) : Medicinal and Poisonous
Plants 3. Backhuys Publ., Leiden. 72-73.
Margono, S.S., Abidin, S.A.N. 2003. Nematoda usus in Parasitologi
Kedokteran Jakarta ; Gaya baru, pp : 11-8.
Miyazaki I. 1991.An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses. Tokyo:
International Medical foundation of Japan.
Pohan, H. T. 2006. Penyakit Cacing yang ditularkan melalui Tanah in
Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, p : 1786.
Rahmalia, A.D (2010) Efek Antelmintik Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine
max (L) Merril) Terhadap Waktu Kematian Cacing Gelang Babi
(Ascarissum Goeze) In Vitro, Universitas Sebelas Maret.
Robinson. T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Keenam
Terjemahan Prof. Dr. Kosasih Padmawinata. ITB, Bandung, 139181, 191-216.
Sarintas PS, Chitkara RW : Askariasis and hookworm.Semin Repir Infect
1997;12:130.
Sirait M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi .Bandung : Insitut
Teknologi Bandung, 129-156, 170, 213-217.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat – Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI.Jakarta : PT
Elex Media Komputido : hal 193
Waluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi) :
Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Penerbit Buku
FKUI : Jakarta.
Zulkoni, A. 2010. Parasitologi. Nuha Medika, Jogyakara.
36
Download