KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN

advertisement
KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA
LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA
DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM
LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Oleh:
Yean Paramita Nitajohan
C64104034
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA LAMUN
Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA DENGAN
PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM LAMUN PULAU PARI,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2008
Yean Paramita Nitajohan
C64104034
RINGKASAN
YEAN PARAMITA NITAJOHAN. Kelimpahan Dinoflagellata Epibentik
pada Lamun Enhalus acoroides (L.F) Royle dalam Kaitannya dengan
Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
Jakarta. Dibimbing oleh RICHARDUS F. KASWADJI dan TUMPAK
SIDABUTAR.
Beberapa jenis dinoflagellata dalam kondisi sangat berlimpah mampu
menghasilkan racun yang berbahaya dan merusak ekosistem perairan.
Pemahaman terhadap dinoflagellata, khususnya yang menghasilkan racun, tidak
cukup jika hanya berorientasi pada dinoflagellata oseanik, tetapi juga perlu
memberikan perhatian khusus terhadap dinoflagellata epibentik. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata
epibentik yang menempel pada daun lamun Enhalus acoroides, mengkaji
keterkaitan beberapa faktor fisika-kimia terhadap kelimpahan spesies
dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun, dan mengkaji keterkaitan komunitas
dinoflagellata epibentik terhadap komunitas lamun.
Pengambilan sampel dilaksanakan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta
pada tanggal 14 Mei 2008 dan analisis plankton dilakukan pada bulan Mei-Juni
2008. Jumlah stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kerapatan ekosistem
lamun sebanyak 3 stasiun. Parameter biologi yang diukur meliputi kelimpahan
dinoflagellata epibentik dan fitoplankton serta kerapatan lamun. Parameter fisikakimia yang diukur meliputi suhu, salinitas, kedalaman, nitrat, fosfat, kecepatan
arus, dan pH. Analisis data yang digunakan meliputi kerapatan, kelimpahan,
indeks komunitas (keanekaragaman, keseragaman, dominansi, sebaran Morisita).
Untuk menduga kelimpahan dinoflagellata epibentik sebagai fungsi dari
parameter fisika-kimia maka digunakan analisis Regresi Linier Sederhana.
Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari bulan
Mei 2008 didominasi oleh Bacillariophyceae, kemudian diikuti oleh Dinophyceae,
dan Cyanophyceae. Dinoflagellata epibentik yang ditemukan sebanyak 5 genus
yaitu Prorocentrum, Ostreopsis, Gambierdiscus, Coolia, dan Amphidinium
dimana genus Prorocentrum mendominasi dengan 86,40%. Kelimpahan
dinoflagellata epibentik berkisar antara 6 – 8101 ind/cm2. Struktur komunitas
dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari memiliki indeks
keanekaragaman dengan kisaran 0,586 – 0,788, keseragaman pada kisaran 0,5630,757, dan dominansi pada kisaran 0,210-0,718. Pola persebaran dinoflagellata
epibentik cenderung mengelompok kecuali pada spesies Ostreopsis ovata yang
menyebar secara acak.
Dalam kaitannya dengan parameter fisika-kimia, didapatkan kecenderungan
yaitu dengan semakin naiknya suhu dan kecepatan arus, maka kelimpahan
dinoflagellata epibentik semakin menurun. Sebaliknya, dengan semakin naiknya
salinitas, kedalaman, dan pH, maka kelimpahan dinoflagellata epibentik semakin
meningkat. Kelimpahan dinoflagellata epibentik mempengaruhi keberadaan nitrat
dan fosfat akibat pemanfaatannya untuk pertumbuhan. Begitu juga dengan
keterkaitan antara komunitas dinoflagellata epibentik dan komunitas lamun,
dimana dengan semakin rapatnya lamun maka kelimpahan dinoflagellata
epibentik juga semakin meningkat.
KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK PADA
LAMUN Enhalus acoroides (L.F) Royle DALAM KAITANNYA
DENGAN PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM
LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Yean Paramita Nitajohan
C64104034
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
©Hak cipta milik Yean Paramita Nitajohan, tahun 2008
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
Judul
Nama
NRP
: KELIMPAHAN DINOFLAGELLATA EPIBENTIK
PADA LAMUN Enhalus acoroides (L.F)
Royle DALAM KAITANNYA DENGAN
PARAMETER FISIKA-KIMIA DI EKOSISTEM
LAMUN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU,
JAKARTA
: Yean Paramita Nitajohan
: C64104034
Disetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc
NIP. 130 367 095
Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc
NIP. 320 005 538
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc
NIP. 131 578 799
Tanggal lulus: 1 September 2008
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur pada Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi berjudul ”Kelimpahan Dinoflagellata
Epibentik pada Lamun Enhalus acoroides (L.F) Royle dalam Kaitannya dengan
Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu,
Jakarta”, dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc
selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak pengetahuan,
bimbingan, dan arahan selama proses penulisan skripsi
2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku Dosen Penguji Tamu
3. Dr. Ir. Nyoman M. N. Natih, M.Si selaku perwakilan dari Program Studi
4. P2O LIPI Ancol atas kesempatan turut serta dalam kegiatan monitoring
tahunan 2008 di Teluk Jakarta
5. Bapak Wawan Kiswara dan Bapak Arifin dari P2O LIPI atas masukan dan
bantuan selama proses pengambilan data di lapangan
6. Kedua orang tua, kakak, dan keponakan tercinta atas limpahan doa,
semangat, dan kasih sayang yang diberikan
7. Edy Setyawan atas bantuan, dukungan, semangat, dan doa selama proses
penelitian hingga penulisan skripsi
8. Teman-teman ITK 41 atas persahabatan yang indah selama menempuh
masa kuliah. Dan juga Galih Kurniawan sebagai rekan selama
melaksanakan penelitian
9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan
penulisan skripsi ini
Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2008
Yean Paramita Nitajohan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR TABEL
Halaman
........................................................................... vii
.................................................................................
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
x
............................................................................. xi
......................................................................... xii
1. PENDAHULUAN ............................................................................
1.1. Latar belakang ......................................................................... .
1.2. Tujuan ......................................................................................
1
1
3
2. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
2.1. Dinoflagellata epibentik ............................................................
2.2. Lamun .......................................................................................
2.2.1. Enhalus acoroides (L.F) Royle .........................................
2.2.2. Epifit pada lamun ..............................................................
2.3.Faktor lingkungan yang mempengaruhi dinoflagellata epibentik
dan lamun .................................................................................
2.3.1. Suhu ..................................................................................
2.3.2. Salinitas ............................................................................
2.3.3. Kedalaman ........................................................................
2.3.4. Nitrat .................................................................................
2.3.5. Fosfat ................................................................................
2.3.6. Arus ..................................................................................
2.3.7. pH .....................................................................................
4
4
8
10
11
3. BAHAN DAN METODE .................................................................
3.1. Waktu dan lokasi penelitian .....................................................
3.2. Penentuan lokasi pengambilan contoh .....................................
3.3. Alat dan Bahan .........................................................................
3.4. Pengambilan contoh .................................................................
3.4.1. Pengambilan contoh dinoflagellata epibentik ...................
3.4.2. Pengambilan contoh fitoplankton .....................................
3.4.3. Pengambilan contoh lamun ..............................................
3.4.4. Pengambilan contoh air laut .............................................
3.5. Pengukuran parameter Fisika dan Kimia .................................
3.6. Analisis plankton ......................................................................
3.6.1. Kelimpahan spesies dinoflagellata epibentik ...................
3.6.2. Kelimpahan fitoplankton ..................................................
3.6.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E), dan
Dominansi (C) dinoflagellata epibentik .............................
3.6.4. Pola persebaran dinoflagellata epibentik ..........................
3.7. Analisis perhitungan lamun .....................................................
3.7.1. Kerapatan lamun ...............................................................
12
13
13
14
14
15
15
16
17
17
17
19
19
19
20
20
21
22
22
22
23
24
26
27
27
3.8. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan
parameter fisika dan kimia ...................................................... 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 29
4.1. Gambaran umum lokasi penelitian ............................................ 29
4.2. Fitoplankton .............................................................................. 30
4.2.1. Komposisi jenis fitoplankton ............................................ 30
4.2.2. Kelimpahan fitoplankton ................................................... 31
4.3. Dinoflagellata epibentik ............................................................ 34
4.3.1. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik .......................... 34
4.3.2. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik ..... 35
4.3.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi
dinoflagellata epibentik ..................................................... 39
4.3.4. Pola persebaran komunitas dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun ..................................................................... 40
4.3.5. Keterkaitan antara setiap parameter fisika-kimia dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik ..................................... 42
4.3.5.1. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan
dinoflagellata epibentik .......................................... 42
4.3.5.2. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik ................................................. 44
4.3.5.3. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik ................................................. 45
4.3.5.4. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik
dengan nitrat ............................................................. 48
4.3.5.5. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik
dengan fosfat ............................................................. 49
4.3.5.6. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan
dinoflagellata epibentik .......................................... 51
4.3.5.7. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik ................................................................... 53
4.4. Komunitas lamun ..................................................................... 55
4.4.1. Kerapatan lamun Enhalus acoroides ................................ 55
4.5. Keterkaitan kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan kerapatan
lamun ........................................................................................ 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 59
5.1. Kesimpulan ............................................................................... 59
5.2. Saran .......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
........................................................................... 61
.......................................................................................... 65
RIWAYAT HIDUP
.............................................................................. 82
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Karakteristik beberapa spesies dinoflagellata epibentik di perairan laut .. 7
2. Alat dan bahan penelitian
................................................................. 19
3. Parameter fisika-kimia beserta satuan dan metode
............................ 22
4. Nilai Indeks Morisita dinoflagellata epibentik beserta χ2 hitung, χ2 tabel,
dan pola sebaran ................................................................................ 40
5. Kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides (ind/m2) di semua stasiun
ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................... 55
DAFTAR GAMBAR
1. Peta lokasi dan stasiun penelitian
Halaman
....................................................... 18
2. Contoh bentuk plot stasiun pengamatan (acak) di komunitas lamun
.. 21
3. Komposisi jenis fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan
Mei 2008 ............................................................................................ 30
4. Kelimpahan fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan
Mei 2008 ............................................................................................ 32
5. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik pada lamun Enhalus acoroides
di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 34
6. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik pada lamun
Enhalus acoroides di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................ 36
7. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
dinoflagellata epibentik di Pulau Pari, bulan Mei 2008 ..................... 39
8. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di
ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 .................................... 43
9. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik
di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 45
10. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 .................... 47
11. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan nitrat
di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 49
12. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan fosfat
di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............................... 50
13. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............... 52
14. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik di
ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................... 54
15. Keterkaitan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ............... 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di ekosistem lamun
Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 65
2. Kelimpahan dinoflagellata epibentik (ind/cm2) pada daun
lamun Enhalus acoroides, di ekosistem lamun Pulau Pari,
bulan Mei 2008 ............................................................................. 66
3. Genus dan kelimpahan fitoplankton (ind/l) di ekosistem lamun
Pulau Pari, bulan Mei 2008 ........................................................... 68
4. Jumlah tegakan (individu) lamun Enhalus acoroides di ekosistem
lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008 ................................................ 70
5. Data pengukuran panjang, lebar, dan luas permukaan daun Enhalus
acoroides
..................................................................................... 71
6.
Contoh gambar spesies dinoflagellata epibentik yang ditemukan
di ekosistem lamun Pulau Pari ...................................................... 74
7.
Contoh gambar fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun
Pulau Pari ...................................................................................... 76
8. Gambar lamun Enhalus acoroides
................................................ 78
9. Deskripsi spesies dinoflagellata epibentik (Fukuyo, 1981)
.......... 79
1. PENDAHULUAN
Kehidupan di laut sangat bergantung pada fitoplankton sebagai kelompok
produsen primer. Fitoplankton menjadi mata rantai pertama dari rantai pangan
primer yang mampu membentuk zat organik dari zat anorganik (Raymont, 1981).
Diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan anggota
utama fitoplankton dan terdapat di seluruh perairan laut. Beberapa jenis
dinoflagellata dalam kondisi sangat berlimpah dan menghasilkan racun dapat
berbahaya dan merusak ekosistem perairan. Dengan kondisi demikian dibutuhkan
perhatian khusus untuk pencegahan dan penanggulangan lebih lanjut sehingga
dampaknya tidak sampai meluas ke skala perikanan dan kelautan yang lebih besar
serta sektor-sektor kehidupan yang lain.
1.1. Latar belakang
Pemahaman terhadap dinoflagellata, khususnya yang menghasilkan racun,
tidak cukup jika hanya berorientasi pada dinoflagellata oseanik, tetapi juga perlu
memberikan perhatian khusus terhadap dinoflagellata epibentik. Dalam keadaan
blooming, dinoflagellata epibentik dapat merugikan dan menyebabkan perubahan
warna air laut menjadi merah, merah kecoklatan hijau atau kuning hijau, bahkan
putih, dan peristiwa tersebut dapat disebut dengan istilah Harmful Algal Bloom
(HAB). Lebih lanjut lagi, beberapa spesies dinoflagellata epibentik seperti
Gambierdiscus toxicus, Prorocentrum sp., Ostreopsis sp., Amphidinium sp., dan
Coolia monotis diketahui dapat menghasilkan racun Ciguatera yang dapat masuk
ke dalam rantai makanan di perairan melalui konsumsi ikan dan berpotensi
menyebabkan penyakit Ciguatera Shellfish Poison (CSP) pada manusia akibat
memakan ikan yang terakumulasi racun tersebut. CSP telah dikenal sebagai
penyakit berbahaya yang telah ditemukan di Samudera Pasifik, Samudra Hindia
dan Laut Karibia (Ruff dan Lewis, 1994).
Ekosistem padang lamun merupakan tempat yang dapat memberikan
perlindungan dan tempat menempel berbagai jenis organisme epifit meskipun
tidak ada hubungan trofik dengan padang lamun tersebut sehingga akan
meningkatkan keragaman dalam komunitas (Den Hartog, 1970). Kepadatan
padang lamun akan meningkatkan kelimpahan organisme yang hidup di dalamnya
karena semakin bertambahnya sarana fisik yang berfungsi sebagai tempat
hidupnya, banyaknya ragam habitat mikro, sedimen yang stabil, sumber bahan
makanan, dan sarana bersembunyi dari serangan pemangsa. Namun dengan
adanya keberadaan dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun, apalagi sampai
terjadi blooming, akan menyebabkan masalah yang lebih rumit. Dampak seperti
reduksi penetrasi cahaya dan kondisi anoksik yang diikuti dengan menurunnya
kapasitas fotosintesis dan biomassa daun pada hamparan lamun, akan berakibat
pada kerusakan ekosistem lamun sebagai penghasil produktivitas primer di laut
(GEOHAB, 2001).
Penelitian mengenai fitoplankton banyak dilakukan di Pulau Pari, Kepulauan
Seribu, namun belum banyak yang mengkaji keberadaan fitoplankton beracun,
khususnya dinoflagellata epibentik yang hidup menempel pada substrat hidup,
seperti lamun. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian mengenai studi
dinoflagellata epibentik yang berpotensi menghasilkan racun, perlu dilakukan
sebagai acuan informasi dan upaya pencegahan lebih dini terhadap dampak
negatif yang diakibatkan oleh dinoflagellata epibentik tersebut. Keterkaitan
antara sebaran beberapa spesies dinoflagellata epibentik dengan parameter
oseanografi (fisika-kimia) juga perlu dikaji lebih dalam guna memberikan
informasi penting mengenai kelimpahan, komposisi, dan pola sebaran spesies
dinoflagellata epibentik serta pengaruhnya terhadap kehidupan ekologis di
ekosistem lamun.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik yang
menempel pada daun lamun Enhalus acoroides.
2. Mengkaji keterkaitan beberapa faktor fisika-kimia terhadap kelimpahan
dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun.
3. Mengkaji keterkaitan komunitas dinoflagellata epibentik terhadap
komunitas lamun.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Fitoplankton laut adalah tumbuhan laut berukuran renik yang bebas melayang
dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis. Fitoplankton terdiri dari satu
sel, tidak dapat berpindah tempat sendiri kecuali karena pergerakan air, sebagian
besar dari kelas alga dan bakteri, bergerak dengan flagella dan cilia, dan
berukuran kurang dari 1 µm sampai dengan lebih dari 1 mm (Sumich, 1992).
Fitoplankton merupakan organisme produser di laut. Menurut Odum (1998),
fitoplankton dapat berperan sebagai salah satu dari parameter ekologi yang dapat
menggambarkan bagaimana kondisi ekologis suatu perairan dan merupakan salah
satu parameter tingkat kesuburan suatu perairan. Kelompok utama fitoplankton
di laut terdiri dari diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae)
(Nybakken, 1992).
Dinoflagellata merupakan jenis terbanyak dari fitoplankton laut setelah
diatom. Dinoflagellata merupakan fitoplankton bersel tunggal, diameter
berukuran 20-200 μm dan mempunyai flagella untuk bergerak. Banyak
diantaranya yang dapat berfotosintesis dengan kloropas yang menyatu dengan
strukturnya. Broekhuizen dan Oldman (2002) in Faust et al. (2005) menyatakan,
dinoflagellata rata-rata tumbuh lebih lambat pada kondisi konsentrasi nutrien
rendah dibandingkan kelompok alga yang lain. Umumnya lingkungan laut
dengan turbulensi rendah dan nutrien tinggi lebih disukai dinoflagellata.
2.1. Dinoflagellata epibentik
Dinoflagellata epibentik merupakan istilah untuk dinoflagellata yang
hidupnya menempel pada subsrat hidup yang ada di perairan laut. Dinoflagellata
epibentik umumnya hidup dan menetap di pasir, detritus yang mengapung,
menempel di permukaan makroalga dan lamun, serta sisanya kadang berenang
bebas tetapi masih dekat dengan permukaan tempat berasosiasi (Anderson dan
Lobel, 1987). Faust (2000) menambahkan bahwa dengan keberadaannya yang
bisa ditemukan di berbagai tempat tersebut, maka dinoflagellata epibentik
mempunyai sifat ekologi yang kompleks. Dinoflagellata epibentik secara spesifik
berasosiasi dengan lamun dan makroalga dimana konsentrasi nutrien yang tinggi
tersedia untuk tumbuh (Steidinger, 1983 in Anderson dan Lobel, 1987).
Spesies dinoflagellata epibentik meliputi Gambierdiscus toxicus,
Prorocentrum sp., Ostreopsis sp., Amphidinium sp., dan Coolia monotis
(Ballantine et al. (1985), Carlson dan Tindall (1985), Bomber dan Aikman (1989),
Bourdeau et al. (1995), Faust (1995), in Vila et al., 200l). Semua spesies tersebut
dapat melakukan fotosintesis. Spesies dinoflagellata epibentik dapat dikatakan
bersifat autotrof, tetapi tiga diantaranya, yaitu Ostreopsis, Gambierdiscus, dan
Prorocentrum merupakan mixotrof, yaitu hidup sebagai autotrof dan heterotrof
(Faust, 2000). Selanjutnya Jacobson dan Anderson (1986) in Faust (2000)
menambahkan bahwa mixotrof dapat dijelaskan sebagai suatu fenomena yang
dapat menyediakan energi untuk pertumbuhan sel, dan sebagai upaya
perkembangan potensial pada dinoflagellata pada saat kondisi nutrien sedikit di
perairan laut.
Blooming dinoflagellata epibentik terjadi ketika spesies tersebut tumbuh dan
berkembang sangat pesat dengan jumlah yang melebihi rata-rata produksi bulanan
dalam keadaan normal serta berlangsung dalam waktu singkat (beberapa hari).
Blooming menyebabkan perubahan warna air laut menjadi merah, merah
kecoklatan hijau atau kuning hijau, bahkan putih. Blooming tersebut juga dapat
menghasilkan racun dan dapat mengurangi oksigen di perairan setempat, maka
peristiwa tersebut dapat disebut dengan istilah Harmful Algal Bloom (HAB).
Adanya HAB akan mengakibatkan kematian massal pada ikan dan biota lainnya,
mencemari makanan laut dengan racun, yang selanjutnya menyebabkan masalah
kesehatan manusia secara serius dan berlanjut pada perubahan ekosistem secara
global (GEOHAB, 2001).
Semua spesies dinoflagellata epibentik dapat berpotensi menghasilkan racun.
Penelitian yang dilakukan Nakajima et al. (1981), Tindall et al. (1984), Yasumoto
(1987), in Anderson dan Lobel (1987) mendapatkan hasil bahwa banyak
dinoflagellata di daerah tropis yang hidup atau berasosiasi dengan makroalga,
lamun atau permukaan lain adalah beracun. Survei terhadap dinoflagellata
epibentik dari Okinawa, Jepang, menunjukkan adanya racun di semua (sembilan)
spesies yang diamati (Anderson dan Lobel, 1987). Lebih lanjut, spesies-spesies
tersebut menghasilkan toksin polyeter (ciguatoxin dan maitotoxin) yang dapat
masuk ke dalam rantai makanan di perairan dan menyebabkan penyakit
Ciguatera Shellfish Poison (CSP) pada manusia akibat memakan ikan yang
terakumulasi oleh racun tersebut (Steidinger, 1983 in Vila et al., 200l). Penyakit
CSP tersebut menyerang pencernaan dan lebih parah lagi, mengakibatkan
kematian.
Setiap spesies dinoflagellata epibentik memiliki karakter tersendiri dalam hal
potensi racun yang dihasilkan, keberadaannya di alam, dan respon terhadap
lingkungan. Karakteristik yang dimiliki beberapa spesies dinoflagellata epibentik
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik beberapa spesies dinoflagellata epibentik di perairan laut
Spesies Dinoflagellata
Deskripsi
Epibentik
- Umumnya melimpah pada saat kondisi angin
yang lemah, laut yang tenang, dan transparansi
air yang meningkat (Popowski et al., 2001 in
Delgado et al., 2006)
- Menyukai habitat yang lebih banyak dipengaruhi
air laut dengan salinitas tinggi dan menghindari
habitat dekat mulut sungai atau dengan run off
tinggi (Taylor, 1985 in Anderson dan Lobel,
Gambierdiscus toxicus
1987)
- Jarang ditemukan pada kedalaman perairan yang
dangkal atau pada tempat dengan intensitas
cahaya tinggi (Yasumoto, 1978 in Anderson dan
Lobel, 1987)
- Menghasilkan protein larut ciguatoksin,
penyebab penyakit Ciguatera
- Memiliki distribusi yang luas di perairan seluruh
dunia, dari daerah beriklim subtropis sampai
tropis
- Mampu berfotosintesis dan jarang membentuk
Red Tide (Fukuyo, 1981), berasosiasi dengan
sedimen, detritus, patahan karang, pasir,
permukaan makroalga, dan alga yang melayang.
• P. lima
- Menghasilkan racun Diarrheic Shellfish
Poison (DSP) (Yasumoto et al., 1987 in
Delgado et al., 2005) dan Okadaic acid (OA)
(Murakami et al., 1982 in Delgado et al.,
2005)
-Toksisitas meningkat dalam kondisi suhu,
Prorocentrum sp.
salinitas, dan intensitas cahaya yang tinggi
(Jackson et al., 1993 in Delgado et al., 2005)
- Menghasilkan kista yang beristirahat pada
kondisi yang kurang baik (Faust, 1990 in
Hurbungs et al., 2001)
• P. rhathymum
- Menghasilkan racun Okadaic acid (OA)
(Nakajima et al., in Faust 2000)
- Dapat berenang bebas dan beradaptasi di
perairan dengan karakteristik kimia berbeda
(Anderson dan Lobel, 1987)
• P. concavum
- Menghasilkan racun Okadaic acid (OA)
(Dickey et al., 1990 in Hurbungs et al., 2001)
- Tidak hanya ditemukan menempel pada substrat
Ostreopsis sp.
tetapi seringkali ditemukan menetap pada
Amphidinium sp.
Coolia monotis
sedimen
- Lebih menyukai habitat perairan yang
dipengaruhi guncangan atau pergerakan air
(Vila et al., 200l)
- Menghasilkan senyawa palytoxin (PTX) yang
beracun dan larut dalam air (Usami et al., 1995
in Rhodes et al., 2000).
• O. lenticularis
-Pemicu penyakit Ciguatera
• O. ovata
- Menghasilkan senyawa toksin yang larut
dalam air dingin (Taylor, 1985 in Hurbungs
et al., 2001)
- Menghasilkan racun dengan aktivitas haemolitik
yang kuat (Nakajima et al.,1981 in Anderson
dan Lobel, 1987)
• A. klebsii
-Berpotensi menghasilkan ichthyotoxin yang
kuat
• A. carterae
-Menghasilkan haemolitik dan mungkin
menyebabkan penyakit Ciguatera (Taylor,
1985 in Hurbungs et al., 2001)
- Dapat hidup pada kisaran temperatur yang luas
(Anderson dan Lobel, 1987)
- Lebih menyukai habitat perairan yang tenang
(Vila et al., 200l).
- Salah satu spesies yang tidak beracun atau
sedikit beracun dan haemolitik (Hurbungs et al.,
2001)
Koloni dinoflagellata epibentik beracun yang berasosiasi dengan lamun
maupun makroalga, berbeda dalam hal komposisi spesies dan konsentrasi sel pada
setiap lokasi yang berbeda (Tindall dan Morton 1998, in Vila et al., 200l).
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi koloni substrat yang ditempeli,
maupun kondisi lingkungan di sekitarnya. Variabilitas dinoflagellata epibentik
beracun dihubungkan dengan perubahan alami dan antropogenik yang
mempengaruhi koloni substrat yang ditempeli, seperti suhu, turbulensi, nutrien,
perubahan dalam substrat, sumber air tawar, gelombang, masukan zat kapur pada
karang mati dan lamun, begitu juga dengan efek badai dan front dingin yang kuat
(Taylor (1985), Diogene (1992), Grzebyk (1994), in Delgado et al., 2006).
2.2. Lamun
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang dapat menyesuaikan diri untuk
hidup terbenam di dalam air laut. Lamun biasanya terdapat dalam jumlah yang
melimpah dan membentuk padang yang luas di perairan tropik. Sifat lingkungan
pantai, terutama dekat estuari, cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan
lamun. Faktor lingkungan seperti gelombang, sedimentasi, pemanasan air,
pergantian pasang surut dan curah hujan mempengaruhi adaptasi lamun
(Romimohtarto dan Juwana, 2001). Lamun umumnya dapat tumbuh pada semua
tipe dasar laut, namun padang lamun yang luas hanya dapat dijumpai pada tipe
dasar laut yang berlumpur pasir dan tebal. Padang lamun sering ditemukan di
perairan laut diantara hutan mangrove dan terumbu karang.
Jumlah jenis tumbuhan berbunga (angiospermae) di laut tidak banyak yaitu
sekitar 52 jenis. Di Indonesia hanya terdapat 12 jenis yang tergolong dalam tujuh
marga. Ke tujuh marga lamun di Indonesia terdiri dari 3 marga dari suku
Hydrocharitaceae yaitu Enhalus, Thallassia, dan Halophila, serta 4 marga dari
suku Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassodendron (Tomascik et al, 1997).
Menurut Den Hartog (1970), tumbuhan lamun mempunyai beberapa sifat yang
memungkinkannya untuk hidup di laut, yaitu:
1.
Mampu hidup di media asin
2. Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam
3. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik
4. Mampu melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam
5. Mampu bertahan dalam kondisi lingkungan laut yang dangkal
Komunitas lamun akan membentuk suatu tipe vegetasi diantara beberapa
spesies di dalamnya. Vegetasi yang terdiri dari asosiasi dua jenis lamun yang
sering terjadi yaitu Enhalus acoroides-Thalassia hemprichii, Cymodocea
rotundata-Halophila ovalis, Halophila ovalis-Halodule uninervis, dan Thalassia
hemprichii-Cymodocea rotundata (Nienhuis et al., 1991).
Jenis lamun yang umumnya membentuk vegetasi monospesifik adalah
Thalassia hemprichii, Thallassodendron ciliatum, Enhalus acoroides, Cymodocea
sp., Syringodium isoetifolium, Halodule sp., Halophila sp. (Nienhuis et al., 1991).
2.2.1. Enhalus acoroides (L. F) Royle
Menurut Den Hartog (1970), Enhalus acoroides dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Divisi : Spermathophyta
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Helobiae
Suku : Hydrocharitaceae
Sub Suku : Hydrocharitoideae
Marga : Enhalus
Jenis : Enhalus acoroides (L. F) Royle
Secara morfologi, Enhalus acoroides mempunyai akar rimpang berdiameter
13,15-17,20 mm yang tertutup rapat dengan rambut-rambut yang kaku dan keras.
Akar berbentuk seperti tali, banyak dan tidak bercabang, panjangnya antara 18,50157,65 mm dan diameter antara 3,00-5,00 mm. Bentuk daun seperti sabuk,
tepinya rata, dan ujungnya tumpul, panjang antara 65,0-160,0 cm dan lebar antara
1,2-2,0 cm (Kiswara, 1992). Gambar bentuk dan morfologi tumbuhan lamun
Enhalus acoroides dapat dilihat pada Lampiran 8.
E. acoroides umumnya hidup berdekatan dengan mangrove (Nienhuis et al.,
1991). Vegetasi murni dibentuk oleh spesies ini dan ditemukan berdekatan
dengan spesies lain. E. acoroides hidup di zona intertidal sampai kedalaman 6
meter. Seringkali mendiami daerah-daerah yang masih terendam air pada saat
surut di daerah litoral. Biasanya daun-daunnya tertutupi lapisan tipis partikel
sedimen. Spesies ini tidak akan ditemui jika banyak sungai bermuara di pesisir
tersebut (Den Hartog, 1970).
Dari hasil penelitian Kiswara (1992) di rataan terumbu Pulau Pari, dinyatakan
bahwa E. acoroides tumbuh pada dasar lumpur, pasir dan pasir berkoral yang
selalu tergenang air. Tumbuhnya berpencar dalam kelompok-kelompok kecil
terdiri dari beberapa individu atau kumpulan-kumpulan individu yang rapat,
berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan
Halophila ovalis. Di rataan terumbu Pulau Pari yang merupakan daerah pasang
surut, kelimpahan E. acoroides rendah.
2.2.2. Epifit pada lamun
Lamun memproduksi sejumlah besar bahan organik sebagai substrat untuk
algae, epifit, mikroflora dan fauna. Di daerah padang lamun, organisme
melimpah, karena lamun digunakan sebagai perlindungan dan persembunyian dari
predator dan kecepatan arus yang tinggi dan juga sebagai sumber bahan makanan
baik daunnya maupun epifit atau detritus. Epifit pada padang lamun selain
penting sebagai penghasil sedimen utama, juga untuk meningkatkan produktivitas
di ekosistem lamun. Daun lamun memungkinkan ditempeli epifit dan asosiasi
biota lain karena mempunyai permukaan yang luas.
Menurut Nagle (1968) in Harlin (1980), faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan epifit pada lamun adalah:
1.
Tipe substrat (pasir dan lumpur)
2.
Kedalaman zona fotik (proses fotosintesis)
3.
Pergerakan air yang besar (gelombang dan pasut)
4.
Pertukaran nutrien dengan lamun
5.
Sumber karbon organik (bakteri dan alga heterotrofik)
Banyaknya organisme yang terdapat di padang lamun mendorong ikan dan
berbagai spesies dari crustacea terutama udang karang mencari makan di padang
lamun, meskipun kehadiran mereka bukan hanya untuk mencari makan tetapi juga
untuk berlindung dan sebagai tempat asuhan serta memenuhi siklus hidupnya
(Tomascik et al., 1997).
Dinoflagellata epibentik berasosiasi dengan lamun, bertujuan untuk
memperoleh substansi organik dan nutrien lain yang biasanya dikeluarkan oleh
lamun, yang nantinya digunakan untuk pertumbuhan. Di ekosistem lamun,
individu dinoflagellata epibentik bersaing dengan organisme heterotropik dalam
memperebutkan sumber makanan yang sama (Bochstahler dan Coats, 1993 in
Faust, 2000).
Dinoflagellata epibentik menempel pada daun lamun sehingga akan cenderung
mengikuti naik dan turunnya air. Dalam hal ini lamun dan dinoflagellata
epibentik lebih berinteraksi di permukaan/kolom air.
2.3. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dinoflagellata epibentik dan
lamun
Dinoflagellata epibentik merupakan jenis fitoplankton yang keberadaannya
dipengaruhi dan saling berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya dalam
tumbuh dan mempertahankan hidupnya. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan dinoflagellata epibentik sebagai fitoplankton yang
menempel di lamun seperti berikut ini:
2.3.1. Suhu
Menurut Pescod (1973), suhu air mempengaruhi sifat fisika, kimia, dan
biologi perairan. Kenaikan suhu akan mempengaruhi kecepatan metabolisme dan
respirasi organisme air yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen.
Suhu akan mempengaruhi keberadaan fitoplankton di suatu tempat. Adanya
fluktuasi suhu akan menyebabkan turunnya kelimpahan kelompok fitoplankton.
Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30 oC
(Effendi, 2003). Suhu optimum bervariasi pada masing-masing jenis fitoplankton.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh adanya intensitas cahaya dan konsentrasi
nutrien. Bagi lamun suhu mempengaruhi proses-proses fisiologi seperti
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi.
2.3.2. Salinitas
Salinitas adalah jumlah semua garam dalam air setelah semua karbonat diubah
menjadi oksida-oksidanya, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan
dinyatakan dalam satuan perseribu (Effendi, 2003). Menurut Nontji (2006),
salinitas berpengaruh penting terhadap organisme dalam mempertahankan tekanan
osmosis antara protoplasma dengan perairan. Salinitas tinggi akan mengakibatkan
tekanan osmosis tubuh terhadap lingkungan meningkat sehingga energi yang
diperlukan untuk menyesuaikan diri juga meningkat.
Salinitas berpengaruh langsung terhadap laju pembelahan sel, distribusi, dan
produktivitas fitoplankton. Fitoplankton laut dapat berkembang secara optimum
pada salinitas 35o/oo (Millero dan Sohn, 1992).
Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan
pertumbuhan. Lamun akan hidup secara optimal pada salinitas kurang lebih 3334 o/oo (Nybakken, 1992).
2.3.3. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat mempengaruhi penetrasi cahaya matahari
menembus kolom perairan yang nantinya akan mempengaruhi laju fotosintesis.
Menurut Nybakken (1992), fitoplankton dapat melakukan aktivitas produksi
hanya pada kedalaman penetrasi cahaya. Dengan semakin bertambahnya
kedalaman, maka penetrasi dan intensitas cahaya akan semakin berkurang.
Erfteimeijer (1993) mengemukakan bahwa lamun dapat ada pada zona
intertidal sampai kedalaman lebih dari 40 meter. Distribusi kedalaman lamun
tergantung dari hubungan beberapa faktor, seperti gelombang, arus, turbiditas, dan
penetrasi cahaya.
2.3.4. Nitrat
Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan dan perkembangan
fitoplankton. Nitrat digunakan sebagai salah satu bahan pembentukan protein dan
metabolisme seluler. Ketersediaan nitrat juga menentukan perkembangan lamun
di komunitasnya.
Mackentum (1969) menyatakan bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh
fitoplankton laut adalah 0,203 – 0,790 mg/l. Effendi (2003) menambahkan
bahwa kadar nitrat yang melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya
eutrofikasi perairan, yang selanjutnya mempercepat pertumbuhan alga dan
tumbuhan air secara cepat (blooming).
2.3.5. Fosfat
Sumber utama fosfat di laut berasal dari sungai, penguraian sisa organisme
dan pengadukan di dasar laut (Odum, 1998). Selain itu juga berasal dari
pelapukan batuan yang masuk ke laut terutama melalui transportasi sungai,
degradasi bahan organik, serta buangan limbah deterjen dari daratan juga akan
menghasilkan fosfat (Sanusi, 2006).
Mackentum (1969) menjelaskan bahwa senyawa ortofosfat merupakan kadar
pembatas bila kadarnya di bawah 0,009 mg/l, sementara pada kadar lebih dari 1
mg/l fosfat dapat menimbulkan blooming. Terjadinya blooming tersebut akan
merangsang perairan menjadi bersifat anaerob yang akan menyebabkan kematian
massal organisme perairan.
Jika konsentrasi fosfat di kolom air padang lamun cukup tinggi karena
menerima masukan unsur hara dari luar perairan padang lamun (dekat sungai),
maka dapat memacu perkembangan epifit yang hidup di daun lamun.
2.3.6. Arus
Pergerakan fitoplankton sangat tergantung dari pergerakan air . Arus perairan
dapat membantu penyebaran dan migrasi horizontal fitoplankton. Keberadaan
padang lamun dapat mengurangi pengaruh arus, sehingga mengurangi transpor
sedimen.
Arus perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifitik
dan partikel halus sedimen yang terperangkap diantara alga epifitik. Hicks (1986)
dan Armonies (1988) in Susetiono (1994) membuktikan bahwa laju penempelan
biota terhadap lamun dipengaruhi oleh adanya gaya-gaya hidrodinamika di dalam
massa air seperti arus dan gelombang yang menyebabkan pengadukan sedimen.
2.3.7. pH
pH perairan merupakan aktivitas ion hidrogen dan digambarkan sebagai
logaritma dari timbal balik aktivitas ion hidrogen dalam mol per liter pada
temperatur tertentu. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
aktivitas biologis seperti fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan
keberadaan ion-ion dalam perairan (Pescod, 1973).
Perubahan nilai pH air laut mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas
biologis. Kisaran pH yang baik untuk fitoplankton adalah pH yang mendekati
basa. Perairan dengan pH tinggi merupakan perairan yang produktif dan dapat
mengubah bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat
diasimilasikan oleh fitoplankton (Musa, 1992 in Widhiasari, 2003).
3. BAHAN DAN METODE
Secara umum, kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu
pengambilan data di lapangan dan analisis di laboratorium. Pengambilan data di
lapangan meliputi pengukuran parameter fisika-kimia perairan dan pengambilan
sampel air, dinoflagellata epibentik, fitoplankton, dan lamun. Analisis plankton
dan nutrien (nitrat dan fosfat), masing-masing dilakukan di Laboratorium BioMikro dan Laboratorium Produktivitas Perairan dan Lingkungan, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor.
3.1. Waktu dan Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2008. Pengambilan data
dilakukan di ekosistem lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Terdapat 3
stasiun dalam penelitian ini (Gambar 1).
3.2. Penentuan lokasi pengambilan contoh
Lokasi pengambilan contoh ditentukan dengan pengamatan secara visual.
Dari pengamatan tersebut ditentukan tiga lokasi stasiun berdasarkan kerapatan
lamun, yaitu Stasiun 1 (jarang), Stasiun 2 (sedang), dan Stasiun 3 (rapat). Ketiga
stasiun tersebut diambil secara tegak lurus garis pantai dan menuju ke arah laut
lepas secara berurutan. Penentuan tersebut dilakukan dengan pertimbangan
bahwa terdapat perbedaan kondisi ekologi, seperti persaingan ruang, pemanfaatan
nutrien, dan pengaruh fisika-kimia lingkungan di setiap lokasi lamun yang
berbeda.
INSER
T
Gambar 1. Peta lokasi dan stasiun penelitian.
3.3. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Alat dan bahan penelitian
Parameter
Sampel plankton
Sampel lamun
Alat dan bahan
Plankton Net, saringan, ember, botol sampel, formalin
5%, plastik bening, mikroskop binokular, gelas beker,
pipet tetes, Sedgwick-Rafter cell, buku identifikasi
Fukuyo (1981) dan Yamaji (1966)
Transek kuadrat 50 x 50 cm2, plastik bening, gunting,
meteran jahit, kalifer
Sampel air (kimia)
Botol polyetilen, cool box
Suhu
Termometer Hg
Salinitas
Refraktometer
Kedalaman
Tongkat berskala
Arus
Floating droadge, stopwatch, kompas
Fosfat
Spektrofotometer
Nitrat
Spektrofotometer
pH
Indikator Lakmus
Posisi stasiun
GPS
Lain-lain
Kertas label, sabak, pensil, Masker-Snorkel, kamera
digital, dan kertas saring
3.4. Pengambilan contoh
3.4.1. Pengambilan contoh dinoflagellata epibentik
Pengambilan sampel dinoflagellata epibentik yang menempel pada daun
Enhalus acoroides dilakukan mengikuti metode yang diperkenalkan oleh
Yasumoto et al. (1980). Sampel dinoflagellata diambil dengan cara menggunting
daun sampai ke pangkalnya dari satu individu lamun di setiap plot stasiun lamun.
Daun Enhalus kemudian dimasukkan dalam kantong plastik beserta contoh air
yang berada di sekitarnya. Setelah itu dikocok selama 2 - 4 menit untuk
mendapatkan sampel dinoflagellata yang terlepas dari daun lamun. Kantong
plastik kemudian diberi label untuk menandai setiap stasiun. Contoh air dari hasil
kocokan tadi kemudian disaring menggunakan plankton net dengan mata jaring 20
µm dan dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin
sampai dengan konsentrasi akhir 5%. Sampel daun lamun diambil kemudian
diukur panjang dan lebar daun pada kedua sisinya untuk menghitung luas
permukaan daun guna menentukan perhitungan kelimpahan dinoflagellata
epibentik.
3.4.2. Pengambilan contoh fitoplankton
Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan pada tiga titik di setiap stasiun.
Titik-titik tersebut mewakili setiap tempat di ujung dan tengah pada setiap stasiun.
Air pada kolom perairan diambil sebanyak 20 liter dengan ember kemudian
disaring dengan menggunakan plankton net. Hasil saringan tadi selanjutnya
dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan menggunakan larutan formalin
sampai dengan konsentrasi akhir 5%.
3.4.3.Pengambilan contoh lamun
Untuk mendapatkan contoh lamun digunakan metode kuadrat secara random
pada setiap stasiun di komunitas lamun. Transek kuadrat 50 x 50 cm2 ditempatkan
secara random/acak dengan cara melempar transek tersebut di sembarang tempat di
setiap stasiun pengamatan dan selanjutnya dilakukan penghitungan terhadap
kerapatan lamun. Pelemparan dan penempatan transek dilakukan sampai 10 kali
sehingga dihasilkan 10 plot pada satu stasiun. Penentuan dan contoh bentuk plot
stasiun dapat dilihat pada Gambar 2.
Metode dan bentuk plot ini sekaligus digunakan untuk pengambilan sampel
dinoflagellata epibentik pada setiap plot stasiun. Selain daun Enhalus diambil
untuk penentuan perhitungan kelimpahan dinoflagellata, juga dilakukan
pengamatan terhadap kerapatan (density) lamun dengan cara menghitung jumlah
tegakan individu lamun Enhalus pada tiap plot di setiap stasiun.
Pantai
Plot 50x50 cm2
Laut
Gambar 2. Contoh bentuk plot stasiun pengamatan (acak) di komunitas lamun.
3.4.4. Pengambilan contoh air laut
Contoh air laut diambil dan dimasukkan dalam botol sampel 500 ml. Label
yang bertuliskan keterangan lokasi stasiun, ditempelkan pada setiap botol sampel.
Kemudian botol sampel yang berisi contoh air tersebut disimpan dalam cool box
dan disaring dengan kertas saring sewaktu berada di daratan. Contoh air digunakan
untuk analisis kandungan nitrat dan fosfat.
3.5. Pengukuran parameter Fisika dan Kimia
Pengukuran parameter fisika seperti suhu, salinitas, kedalaman, dan arus, serta
parameter kimia seperti pH dilakukan secara insitu pada saat pengambilan sampel.
Pengukuran terhadap parameter kimia yang lain seperti nitrat dan fosfat dilakukan
di laboratorium.
Parameter fisika dan kimia yang diukur dengan satuan dan metode yang
digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Parameter fisika-kimia beserta satuan dan metode
Parameter
Satuan
Metode
FISIKA
Suhu
0
Salinitas
o
C
-
/oo
-
m
-
m/s
Eularian
Fosfat
mg/l
Ascorbic Acid
Nitrat
mg/l
Brucine
-
-
Kedalaman
Arus
KIMIA
pH
3.6. Analisis plankton
3.6.1. Kelimpahan spesies dinoflagellata epibentik
Pencacahan spesies dinoflagellata epibentik dilakukan sama halnya dengan
pencacahan fitoplankton pada umumnya. Fraksi dari sampel yang telah diencerkan
selanjutnya ditempatkan pada Sedgwick-Rafter sebanyak 1 ml dan diamati dengan
menggunakan mikroskop untuk menentukan jenis dan jumlah spesies. Jenis
spesies dinoflagellata epibentik diidentifikasi menggunakan buku identifikasi
Fukuyo (1981). Hasil cacahan spesies selanjutnya dihitung berdasarkan luas
permukaan daun dan dinyatakan dalam ind/cm2. Nilai kelimpahan yang didapat
nantinya dikonversi dengan cara mengalikan nilai kelimpahan dengan masingmasing jumlah tegakan lamun satu plot pada tiap stasiun. Perhitungan kelimpahan
dinoflagellata epibentik diperoleh dengan menggunakan rumus berikut :
………………………………………………
(1)
dimana: N = Jumlah individu per cm2
n = Jumlah dinoflagellata epibentik tercacah
Vp = Volume air pengenceran (60 ml)
Vt = Volum air yang tersaring (30 ml)
L = Luas permukaan daun lamun cm2
3.6.2. Kelimpahan fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton dinyatakan dalam ind/l. Cacahan jenis-jenis
fitoplankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwick-Rafter melalui suatu fraksi
sebanyak 1 ml yang diambil dari sampel yang telah mengalami pengenceran
sebanyak 60 ml. Kemudian fitoplankton diamati di bawah mikroskop dan
ditentukan jenis-jenis spesies di dalamnya menggunakan buku identifikasi Yamaji
(1966). Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung kelimpahan
fitoplankton dengan menggunakan rumus berikut:
………....................................................
dimana: N = Jumlah individu per liter
n = Jumlah fitoplankton tercacah
Vp = Volume air pengenceran ( 60 ml)
Vt = Volum air yang tersaring ( 30 ml)
Vd =Volume air yang disaring (20 liter)
(2)
3.6.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Keseragaman (E), dan Dominansi (C)
dinoflagellata epibentik
Kemantapan struktur komunitas dinoflagellata epibentik dapat dilihat melalui
perhitungan Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks
Dominansi (C).
Perhitungan Indeks Keanekaragaman didasarkan pada rumus Shannon dan
Weaver (1963) in Parsons et al. (1984), dengan formula sebagai berikut:
…………………………….
(3) dimana: H' = Indeks keanekaragaman
ni = Jumlah sel dinoflagellata epibentik jenis ke-i
N = Jumlah total sel dinoflagellata epibentik
Semakin tinggi H' maka komunitas biota akan semakin beragam dengan semua
spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas. Semakin rendah H', dapat
dikatakan jumlah spesies yang terdapat dalam komunitas tersebut sedikit.
Kriteria Indeks Keanekaragaman (H') adalah sebagai berikut :
H' ≤ 1
: keanekaragaman rendah
1 < H' ≤ 3
: keanekaragaman sedang
H' > 3
: keanekaragaman tinggi
Untuk melihat keseragaman populasi dinoflagellata epibentik pada setiap
pengambilan sampel dilakukan perhitungan Indeks Keseragaman, yaitu:
…………………………………………………….
dimana: E = Indeks keseragaman
H = Indeks Diversitas
(4)
Hmaks= logS
S = Jumlah spesies
Keseragaman jenis menunjukkan keseimbangan komposisi individu tiap spesies
yang terdapat dalam suatu komunitas. Nilai E berkisar antara 0-1. Jika nilai E
mendekati 0, maka semakin kecil suatu keseragaman komunitas yang diindikasikan
dengan adanya dominasi jenis-jenis tertentu. Menurut Odum (1998), keseragaman
yang semakin besar berarti ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif baik. Hal
ini terjadi bila didapat E mendekati 1.
Untuk mengetahui adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi
digunakan Indeks Dominansi Simpson, yaitu:
……………………………………………………..
(5)
dimana: C = Indeks Dominansi Simpson
ni = Jumlah sel dinoflagellata epibentik jenis ke-i
N = Jumlah total sel dinoflagellata epibentik
Tidak adanya spesies tertentu yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya
mengindikasikan kondisi struktur komunitas yang stabil dengan keseragaman
spesies tinggi. Jika terdapat kecenderungan spesies tertentu yang mendominasi
spesies yang lain, menandakan suatu keseragaman spesies rendah. Bisa dikatakan
struktur komunitas dalam keadaan labil (Odum, 1998).
Kriteria Indeks Dominansi (C) adalah sebagai berikut :
0 < C ≤ 0,5
: dominansi rendah
0,5 < C ≤ 0,75 : dominansi sedang
0,75 < C ≤ 1
: dominansi tinggi
3.6.4. Pola persebaran dinoflagellata epibentik
Pola dispersi atau persebaran plankton dapat mempengaruhi struktur
komunitasnya di alam. Pola dispersi atau persebaran dinoflagellata epibentik
dapat ditentukan dengan menggunakan Indeks Morisita, dapat ditentukan dengan
rumus:
……………………………………….
(6)
dimana: Id= Indeks dispersi Morisita
n = Jumlah stasiun pengambilan contoh
N= Jumlah individu total yang diperoleh
X= Jumlah individu tiap stasiun
Kemudian ditentukan kriteria pola dispersi berdasarkan Brower dan Zar (1989):
Id<1 : Pola dispersi seragam
Id=1 : Pola dispersi acak
Id>1 : Pola dispersi mengelompok
Pengujian dari kebenaran nilai di atas, dapat digunakan uji statistik khi kuadrat
sebagai berikut:
…………………………………….. (7)
Nilai khi kuadrat dari perhitungan di atas dibandingkan dengan khi kuadrat
tabel statistik dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (α =0,05). Jika nilai
χ2 hitung lebih kecil dari nilai χ2 tabel, maka berarti tidak ada perbedaan yang nyata
dengan persebaran acak. Sebaliknya, jika nilai χ2 hitung lebih besar dari nilai χ2
tabel, maka berarti terdapat perbedaan nyata dengan persebaran acak, yaitu pola
persebaran mengelompok atau seragam.
3.7. Analisis perhitungan lamun
3.7.1. Kerapatan lamun
Kerapatan lamun merupakan total individu dalam suatu luas area yang diukur
dalam transek. Dapat dihitung dengan rumus:
………………………………………. ………………
(8)
dimana : D = kerapatan pada satuan luas (ind/m2)
∑ N = jumlah individu/tegakan lamun pada transek
A = luas transek kuadrat (m2)
3.8. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan
parameter fisika dan kimia
Untuk mencari keterkaitan yang sesuai antara kelimpahan dinoflagellata
epibentik dengan setiap parameter fisika dan kimia, dapat ditentukan berdasarkan
kecenderungan yang didapatkan dari grafik hubungan regresi yang diolah
menggunakan microsoft office excel.
Secara statistik fungsi hubungan yang umum digunakan adalah Regresi Linear
Sederhana (Walpole, 1992), dapat ditentukan dengan rumus:
y = a + bx
dimana : y = kelimpahan total
x = parameter fisika-kimia
a, b = konstanta
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan pengambilan data di lapangan dan analisis di laboratorium
menghasilkan data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan pembahasan
mengenai parameter biologi dan fisika-kimia yang terdapat di lokasi penelitian.
Parameter biologi yang dibahas meliputi fitoplankton, dinoflagellata epibentik,
komunitas lamun, dan keterkaitan antara kerapatan lamun dan kelimpahan
dinoflagellata epibentik. Parameter fisika-kimia yang dibahas adalah keterkaitan
antara parameter yang diukur dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik.
4.1. Gambaran umum lokasi penelitian
Gugus Pulau Pari terletak pada bagian paling selatan dari pulau-pulau di
Kepulauan Seribu, sekitar 40 km sebelah barat laut kota Jakarta, dengan batas-batas
yang terletak pada 05o46'15" LS - 05o59'30" LS dan 106o26'00" BT - 106o34'22"
BT. Gugus Pulau Pari merupakan sekumpulan dari pulau-pulau seperti : Pulau
Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, Pulau Tengah, dan Pulau Pari. Terdapat
delapan goba yang mengelilingi gugusan Pulau Pari, antara lain : Goba Soa Besar,
Goba Kuanji, Goba Lapangan Pasir, Goba Ciaris, Goba Besar I, Goba Besar II,
Goba Kurungan, dan Goba Buntu. Gugus Pulau Pari merupakan formasi karang
yang keadaan pantainya datar dan rendah.
Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau
Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km, lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian
terpanjang sekitar 400 m. Perairan Pulau Pari dikelilingi oleh padang lamun
dengan jenis yang bermacam-macam, seperti : Cymodocea rotundata, Enhalus
acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan
T
Thallassia
heemprichii. Penelitian dilakukan di ekkosistem lam
mun Pulau Paari bagian
uttara. Jenis lamun yang mendominas
m
si di bagian utara
u
adalahh Enhalus acoroides
yang tumbuh sampai ke rataan
r
terumbbu Pulau Parri. Keadaann dasar dari daerah
d
raataan terumbbu umumnyaa berupa pasir lumpur. Tiga
T lokasi sstasiun penellitian
(S
Stasiun 1, 2, dan 3) masiing-masing bberada pada posisi : 05o51'20.6"
5
LS-106o37'04.1" BT; 05o51'115.7" LS-1066o37'04.3" BT;
B dan 05o51'13.9" LS106o37'04.4" BT.
4.2. Fitoplan
nkton
4.2.1. Komp
posisi jenis fitoplankton
f
n
Hasil peneelitian menun
njukkan adaanya 3 klas yang
y
ditemukkan di stasiuun
penelitian, yaaitu Bacillariiophyceae (336 marga), Cyanophycea
C
ae (1 marga), dan
D
Dinophyceae
(8 marga). Komposisi masing-mas
m
ing jenis klaas tersebut addalah
922,76% untukk Bacillariopphyceae, 2,331% untuk Cyanophycea
C
ae, dan 4,93%
% untuk
D
Dinophyceae
(Gambar 3)).
G
Gambar
3. Komposisi
K
jen
nis fitoplankkton di ekosiistem lamun Pulau Pari, bulan Mei
2
2008.
Bacillariophyceae (diatom) menjadi bagian kelompok yang paling berperan
karena proporsinya yang banyak di stasiun penelitian. Diatom menjadi
fitoplankton yang mendominasi karena mempunyai kemampuan reproduksi yang
tinggi dibandingkan jenis fitoplankton yang lain. Dalam kondisi yang optimal klas
Bacillariophyceae dapat berkembang cepat dengan laju penggandaan maksimal
kurang dari 10 jam (Raymont, 1981). Beberapa jenis tertentu dari klas
Bacillariophyceae mendominasi karena mempunyai kemampuan beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan disertai dengan kemampuan yang cukup tinggi dalam
memanfaatkan nutrien yang ada di perairan.
Klas Cyanophyceae yang ditemukan dalam stasiun penelitian hanya terdiri dari
satu marga dengan jumlah individu yang rendah yaitu Trichodesmium, sehingga
klas ini kurang berperan dalam ekosistem lamun di lokasi penelitian. Menurut
Broekhuizen dan Oldman (2002) in Faust et al. (2005), dinoflagellata rata-rata
tumbuh lebih lambat pada kondisi konsentrasi nutrien rendah dibandingkan
kelompok alga yang lain. Hal ini yang membuat jumlah dinoflagellata sedikit di
suatu perairan, khususnya di stasiun penelitian ini. Tetapi, sekali bereproduksi,
dinoflagellata dapat tumbuh dan berkembang sangat pesat dalam waktu singkat dan
bila kondisinya menguntungkan bagi jenis ini maka akan menimbulkan blooming
yang dapat merugikan perairan dan biota lain di sekitarnya.
4.2.2. Kelimpahan fitoplankton
Fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri dari 45
marga, yang termasuk dalam tiga kelas, yaitu Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
dan Dinophyceae. Kelimpahan fitoplankton berkisar antara 982 – 4118 ind/l.
Gambar 4 menunjukkan bahwa klas Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang
paling tinggi di semua staasiun. Kelom
mpok dari Bacillariophyyceae didomiinasi oleh
N
Nitzschia,
Co
oscinodiscus,, Amphora, N
Navicula, daan Cocconeiss. Menurut Harlin
(11980), Nitzscchia dan Coccconeis meruupakan diatoom yang mendominasi ekosistem
e
laamun. Bacilllariophyceaee umumnya tumbuh subbur di perairaan pantai setelah
m
musim
hujan (Arinardi ett al., 1997).
di ekosistem
G
Gambar
4. Kelimpahan
K
fitoplankton
f
m lamun Pulau Pari, bulaan Mei
2
2008.
Kelimpahhan fitoplank
kton untuk m
masing-masinng Stasiun 11, 2, dan 3 ad
dalah :
nggi
982 ind/l, 2940 ind/l, dann 4118 ind/l.. Kelimpahaan fitoplanktton paling tin
berada pada Stasiun
S
3. Kelimpahan
K
y
yang
tinggi tersebut
t
dikaarenakan suh
hu dan
saalinitas padaa stasiun ini menunjukka
m
an nilai yangg optimum baagi pertumbuuhan
fiitoplankton. Suhu sebessar 30oC dann salinitas sebbesar 32o/oo dapat membberikan
kondisi yang cocok bagi peningkatan
p
n laju fotosinntesis dan perrtumbuhan
fiitoplankton. Kecepatan arus yang reendah, yaitu sebesar 0,022 m/s, juga
m
mempengaruh
hi keberadaaan fitoplanktton di Stasiuun 3. Arus yang lemah akan
a
m
memperkecil
peluang fitooplankton unntuk terdistriibusi ke temppat yang lebih jauh
karena pergerakan fitoplankton memang dipengaruhi oleh arus. Adanya
konsentrasi nutrien yang cukup tinggi, yaitu nitrat dan fosfat, masing-masing
sebesar 0,859 mg/l dan 0,052 mg/l, menyebabkan fitoplankton cepat merespon
terhadap pertambahan nutrien tersebut. Nutrien tersebut berasal dari kandungan
fosfat dan nitrat di kolom air. Fosfat dihasilkan dari degradasi bahan organik yang
dihasilkan dari lamun yang mati, sedangkan nitrat dihasilkan dari mengikat
nitrogen di udara. Selain itu, sifat stasiun lamun yang masih relatif homogen dan
dekat dengan daratan, makin menjadikan konsentrasi nutrien meningkat yang
dimungkinkan akibat limpasan dari daratan.
Klas Cyanophyceae memiliki kelimpahan terendah di semua stasiun.
Kelimpahan yang cukup tinggi dari klas ini (44 ind/l) ditemukan di Stasiun 3, di
mana stasiun ini paling jauh dari daratan sehingga salinitas lebih tinggi diantara
stasiun yang lain. Hal ini dikarenakan Trichodesmium sebagai satu-satunya jenis
fitoplankton dari klas Cyanophyceae, lebih menyukai perairan bersalinitas tinggi
sehingga selalu dijumpai agak jauh dari pantai (Praseno dan Sugestiningsih, 2000).
Secara umum kelimpahan fitoplankton berbeda pada setiap tempat akibat
perbedaan konsentrasi nutrien dan faktor lingkungan. Kelimpahan fitoplankton
akan tinggi apabila berada pada daerah yang memiliki suhu dan salinitas optimum
disertai konsentrasi nutrien yang juga relatif tinggi.
4.3. Dinoflagellata epibentik
4.3.1. Komposisi jenis dinoflagellata epibentik
Dinoflagellata epibentik yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri
dari 5 genus, meliputi Prorocentrum sp. (86,40%), Ostreopsis sp.(5,83%),
Gambierdiscus toxicus (1,47%), Coolia monotis (3,17%), dan Amphidinium sp.
( 3,12%) (Gam
mbar 5). Keeragaman geenus yang dittemukan terssebut sama dengan
d
juumlah genuss yang ditem
mukan dari hasil penelitiaan Chineah et al. (1999)) in
H
Hurbungs
et al.
a (2001) dii laguna Albion dan Hurbbungs et al. (2001) di laaguna Trou
A Biches, Mauritius.
Aux
M
G
Gambar
5. Komposisi
K
jen
nis dinoflageellata epibenntik pada lam
mun Enhaluss acoroides
d Pulau Pari, bulan Mei 2008.
di
Komposissi jenis menggindikasikann persentase keberadaan kelompok yang
y
m
menyusun
suaatu perairan. Dengan addanya kompo
osisi jenis daapat diketahuui proporsi
diinoflagellataa epibentik di
d lokasi pennelitian. Gennus Prorocenntrum tampaak
m
mendominasi
i diantara gennus yang laiin dalam stassiun penelitian. Genus ini
m
mempunyai
to
oleransi yanng luas terhaddap lingkung
gan yang berrbeda dan diianggap
penting karenna banyak sppesiesnya yanng toksik ataau berpotenssi toksik sertta tersebar
luuas. Kebanyyakan dinoflaagellata darii jenis Proroocentrum berrsifat kosmopolitan
(G
GEOHAB, 2001).
2
Kondisi liingkungan dan
d substrat hhidup (lamunn Enhalus) ddi Pulau Parii ini
teernyata sesuaai bagi pertuumbuhan dann regenerasi Prorocentruum, begitu juuga diikuti
dengan peninngkatan toksiik yang dihaasilkan dari jenis ini. Laiin halnya deengan
G
Gambierdiscu
us toxicus yaang mempunnyai kompossisi terkecil, hal ini berarrti
lingkungan tidak sesuai bagi kehidupan jenis ini. Menurut Carlson dan Tindall
(1984) in Anderson dan Lobel (1987), G. toxicus menempel pada banyak substrat
tanpa melihat strukturnya, hanya saja umumnya cenderung menghindari substrat
karang dan padang lamun. Dengan semakin sedikitnya G. toxicus yang ditemukan
maka peluang berkembangnya toksik Ciguatera juga semakin rendah. Kondisi
tersebut akan menguntungkan lingkungan di sekitarnya, mengingat Gambierdiscus
toxicus merupakan kontributor utama penyebab penyakit Ciguatera Shellfish
Poison (CSP) pada manusia akibat memakan ikan yang terakumulasi racun
tersebut. Apalagi biasanya Ciguatera dapat muncul pada daerah yang sebelumnya
belum pernah terjangkit penyakit ini, didukung dengan adanya pengrusakan
terhadap lingkungan ekosistem (Anderson dan Lobel, 1987).
4.3.2. Kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik
Kelimpahan dapat menunjukkan kondisi ekologis sebagai penentu kesuburan
suatu perairan. Nilai kelimpahan beberapa spesies dinoflagellata epibentik pada
lamun Enhalus acoroides ditunjukkan dengan Gambar 6. Dari lima genus yang
ditemukan, terdapat 11 spesies di dalamnya, yaitu Prorocentrum lima, P.
rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P. compressum, Ostreopsis
lenticularis, O. ovata, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis, Amphidinium
klebsii, dan A. carterae. Spesies-spesies tersebut ditemukan di semua stasiun
penelitian tetapi kelimpahannya berbeda pada setiap stasiun. Pada metode
pengambilan contoh dinoflagellata epibentik yang dilakukan dengan cara
mengocok, ada kemungkinan organisme yang tidak lepas dari daunnya, oleh karena
itu kelimpahan yang akan disebut berikut ini merupakan nilai minimal.
G
Gambar
6. Kelimpahan
K
beberapa
b
speesies dinoflaagellata epibeentik pada
laamun Enhalu
us acoroidess di Pulau Paari, bulan Mei 2008.
Kelimpahhan spesies dinoflagellata
d
a epibentik berkisar
b
antaara 6 – 8101 ind/cm2
Lampiran 2). Secara um
mum kelimpaahan dinoflaggellata epibeentik yang reelatif
(L
paling banyakk dijumpai berada
b
di Staasiun 3, yaituu sebesar 152259 ind/cm2. Stasiun
3 merupakan stasiun lamuun yang rapaat. Banyakn
nya lamun Ennhalus yang tumbuh,
akkan diikuti dengan
d
peninngkatan kelim
mpahan dino
oflagellata eepibentik. Seemakin
banyak substrrat hidup (laamun) maka semakin ban
nyak pilihan bagi dinoflaagellata
eppibentik untu
uk menempeel pada perm
mukaan daunn Enhalus yaang luas dan
m
memberikan
kenyamanan
k
n. Sebaliknyya, pada Stassiun 1 yang m
merupakan stasiun
s
laamun yang jaarang, kelim
mpahan dinofflagellata epiibentik renddah, yaitu sekkitar 1551
innd/cm2. Hal ini berkaitaan dengan sem
makin jarang
gnya lamun yang tumbuuh
seehingga sem
makin sedikit tempat peneempelan yan
ng cocok baggi dinoflagelllata
eppibentik.
Kelimpahhan dinoflageellata epibenntik berhubu
ungan dengann pengkayaaan nutrien
yang dipengaaruhi topograafi dan kompponen biotik
k setempat (R
Rutzler dan Feller,
F
1996 in Faustt, 2000). Jaddi, selain dippengaruhi koondisi stasiunn dengan kerrapatan
lamun yang berbeda, kelimpahan dinoflagellata epibentik juga dipengaruhi oleh
kandungan nutrien dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kandungan nutrien yang
cukup tinggi, suhu dan salinitas yang relatif stabil, serta arus yang tenang di Stasiun
3, menjadikan dinoflagellata epibentik di stasiun ini lebih cocok untuk tumbuh dan
berkembang. Sama halnya pada Stasiun 1 yang memiliki kandungan nutrien nitrat
(0,968 mg/l) dan fosfat (0,057 mg/l) yang tinggi. Hanya saja kecepatan arus
sebesar 0,056 m/s di stasiun ini lebih tinggi ditambah pula jarangnya lamun yang
tumbuh sehingga menjadikan kelimpahan dinoflagellata epibentik lebih rendah.
Prorocentrum rhathymum tampak mendominasi di Stasiun 2 dan 3.
Kelimpahan spesies ini tinggi dikarenakan habitat hidupnya yaitu selain menempel
pada permukaan daun lamun, juga seringkali ditemukan berenang bebas di sekitar
koloni substrat yang ditempeli. Selain itu P. rhathymum lebih mudah beradaptasi
di perairan dengan karakteristik kimia berbeda sehingga sering ditemukan pada
kelimpahan yang tinggi.
Kelimpahan P. rhathymum diikuti dengan melimpahnya Prorocentrum lima.
Bentuk selnya yang pipih dan lebar dengan anterior dan posterior yang datar
membuat spesies ini lebih cepat menempel dengan mudah pada permukaan daun
lamun Enhalus. P. lima dianggap sebagai spesies yang penting karena dapat
menghasilkan Okadaic acid, penyebab penyakit Diarrheic Shellfish Poison (DSP)
(Yasumoto et al., 1987 in Delgado et al., 2005). Selanjutnya Bomber et al. (1985)
in Delgado (2006) melaporkan keberadaan P. lima yang melimpah pada bulan
November sampai Mei di karang Florida, begitu juga dengan hasil penelitian Heil
et al. (1998) in Delgado (2006), yang melaporkan tentang tingginya kelimpahan
spesies ini di sepanjang pantai Australia dan berasosiasi dengan Ciguatera. Dengan
melimpahnya keberadaan jenis Prorocentrum di Stasiun 2 dan 3, mengindikasikan
bahwa konsentrasi nutrien dan kondisi lingkungan di kedua stasiun ini cukup
sesuai untuk kehidupan dinoflagellata epibentik.
Ostreopsis lenticularis memiliki kelimpahan yang tinggi di Stasiun 1. Kondisi
lingkungan Stasiun 1 dengan arus yang cukup kencang tampaknya cocok dan
nyaman bagi kehidupan jenis ini karena memang Ostreopsis menyukai habitat
perairan yang dipengaruhi guncangan atau pergerakan air, di samping
keberadaannya yang seringkali ditemukan menetap di sedimen.
Kelimpahan yang paling rendah dari semua stasiun yang diamati, adalah
kelimpahan yang dimiliki oleh spesies P. emarginatum dan diikuti spesies
Gambierdiscus toxicus. Penelitian yang dilakukan Thoha (1999), juga menemukan
keberadaan P. emarginatum di Pulau Pari. Kondisi ekosistem lamun yang dangkal
dan syarat akan intensitas cahaya yang tinggi tampaknya tidak menguntungkan
bagi pertumbuhan dan perkembangan G. toxicus, sehingga keberadaan spesies ini
sedikit melimpah di stasiun penelitian. Di samping itu, menurut Anderson dan
Lobel (1987), G. toxicus tidak ditemukan pada daerah dari dekat pantai yang
mendapatkan banyak masukan nutrien dari daratan, tetapi tumbuh subur di daerah
perairan laut yang terbuka.
4.3.3. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi dinoflagellata
epibentik
Hasil penelitian menunjukkan ditemukannya jenis-jenis spesies dinoflagellata
epibentik yang sama di setiap stasiun penelitian. Walaupun begitu, jumlah individu
pada masing-masing spesies berbeda sehingga akan didapatkan nilai indeks
keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) berbeda di setiap
stasiun. Gambar 7 memperlihatkan grafik dengan variasi nilai indeks
keanekaragam
man (H’), keeseragaman ((E), dan dom
minansi dinoflagellata eppibentik di
Pulau Pari.
G
Gambar
7. Inndeks Keaneekaragaman (H’), Keseraagaman (E), dan Dominaansi (C)
d
dinoflagellata
a epibentik ddi Pulau Parii, bulan Mei 2008.
Nilai indeeks keanekarragaman berrkisar antara 0,586 – 0,7888. Nilai ind
deks
keseragaman berkisar anttara 0,563- 00,757, dan niilai indeks doominansi beerkisar
anntara 0,210- 0,718. Indeeks keanekarragaman speesies dinoflaggellata epibeentik di
ketiga stasiunn berada dalaam kisaran rendah. Hal ini berarti baahwa jumlah
h spesies
diinoflagellataa epibentik relatif sedikitt dan diikuti dengan pem
merataan pen
nyebaran
juumlah indiviidu yang ren
ndah dalam kkomunitas. Nilai
N
indeks keseragamaan di ketiga
sttasiun cukupp tinggi dalam
m komunitas. Hal ini meenandakan kkeseimbangaan
komposisi inddividu menu
uju kondisi ekosistem yanng cukup baaik.
Nilai indeeks dominannsi pada Stasiun 2 relatif lebih tinggi daripada staasiun yang
laain dalam koomunitas dann menunjukkkan struktur komunitas yyang cenderuung labil
akkibat dominaansi spesies--spesies terteentu (Odum,, 1998).
4.3.4. Pola persebaran komunitas dinoflagellata epibentik di ekosistem lamun
Tabel 4 menunjukkan nilai indeks Morisita untuk setiap spesies dinoflagellata
epibentik di ekosistem lamun, Pulau Pari. Kisaran nilai indeks Morisita berkisar
antara 0,986 – 1,582.
Dengan hasil perhitungan yang menunjukkan nilai indeks Morisita lebih dari
satu (Id>1), maka dapat ditentukan bahwa setiap spesies dinoflagellata epibentik
memiliki pola sebaran mengelompok di dalam habitatnya, kecuali spesies O. ovata
dengan nilai indeks Morisita kurang dari satu (Id<1).
Tabel 4. Nilai Indeks Morisita dinoflagellata epibentik beserta χ2 hitung, χ2 tabel,
dan pola sebaran.
Spesies
Id
χ2 hitung
χ2 tabel
Pola sebaran
Prorocentrum lima
P. rhathymum
P. concavum
P. emarginatum
P. compressum
Ostreopsis lenticularis
O. ovata
Gambierdiscus toxicus
Coolia monotis
Amphidinium klebsii
A.carterae
1,342
1,404
1,136
1,582
1,179
1,534
0,986
1,351
1,432
1,253
1,319
207,218
391,807
8,375
7,818
29,975
75,174
1,474
13,943
30,091
13,875
13,167
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
5,991
mengelompok
mengelompok
mengelompok
mengelompok
mengelompok
mengelompok
acak
mengelompok
mengelompok
mengelompok
mengelompok
Pengelompokan merupakan pola persebaran yang paling umum terjadi pada
individu dan dapat meningkatkan persaingan diantara individu dalam
memperebutkan unsur hara, makanan, atau ruangan (Odum, 1998). Persebaran
mengelompok yang terjadi pada beberapa spesies dinoflagellata epibentik
mengindikasikan bahwa spesies tersebut selalu ada dalam kelompok, sangat jarang
terlihat secara terpisah, dan umumnya dapat meningkatkan persaingan antara
individu tanpa diimbangi peningkatan daya hidup. Persebaran seperti ini
didasarkan pada hubungan kemiripan sifat dinoflagellata epibentik, kesamaan
kondisi fisika-kimia perairan tersebut, dan kondisi substrat hidup yang ditempeli
(lamun). Dinoflagellata epibentik memiliki kemiripan dalam pemenuhan sumber
kehidupan seperti nutrien, cahaya, dan ruang untuk pertumbuhannya. Di samping
itu, kondisi lingkungan yang relatif homogen dan morfologi daun lamun Enhalus
yang luas dan nyaman untuk ditempeli akan semakin memperkuat keberadaan
dinoflagellata epibentik di habitatnya.
Setelah dilakukan pengujian nilai indeks Morisita menggunakan uji Khikuadrat dengan selang kepercayaan 95% (α =0,05), maka didapatkan χ2 hitung > χ2
tabel untuk Prorocentrum lima, P. rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P.
compressum, Ostreopsis lenticularis, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis,
Amphidinium klebsii, dan A. carterae. Hal ini berarti bahwa persebaran spesiesspesies tersebut di ekosistem lamun Pulau Pari adalah berbeda nyata dengan
persebaran acak, dengan kata lain persebaran dinoflagellata epibentik bersifat
mengelompok. Berbeda dengan spesies yang lain, O. ovata memiliki persebaran
acak karena hasil uji Khi-kuadrat menunjukkan nilai χ2 hitung < χ2 tabel. Hal ini
dikarenakan spesies tersebut ditemukan pada setiap stasiun dengan fluktuasi jumlah
individu yang lebih rendah dibandingkan dengan spesies lain sehingga
menyebabkan indeks persebarannya rendah dan menyebar acak dalam habitatnya.
4.3.5. Keterkaitan antara setiap parameter fisika-kimia dengan kelimpahan
dinoflagellata epibentik
4.3.5.1. Keterkaitan antara suhu dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik
Kisaran suhu di ekosistem lamun Pulau Pari pada saat penelitian dilakukan
berkisar antara 29-31oC. Kisaran suhu tersebut tidak berbeda jauh termasuk sesuai
untuk pertumbuhan dinoflagellata epibentik, yaitu 20-30 oC, dan relatif stabil dalam
kiisaran optim
mal bagi pertuumbuhan lam
mun. Dengaan kisaran suuhu yang dem
mikian
diinoflagellataa epibentik teetap dapat hidup dan seccara aktif cennderung men
nempel
pada substrat lamun hingg
ga sampai m
melakukan reegenerasi laggi menghasillkan
sp
pesies-spesiees yang sama di habitatnnya.
Setiap speesies dari dinnoflagellata epibentik memiliki
m
respon yang berb
beda
teerhadap suhu
u di suatu peerairan. Gam
mbar 8 menuunjukkan bahhwa antara su
uhu
perairan denggan kelimpahhan dinoflaggellata epibenntik didapatkkan kecendeerungan,
yaitu dengan semakin naiiknya suhu m
maka kelimp
pahan dinoflaagellata epibbentik akan
seemakin men
nurun. Kecen
nderungan teersebut diduukung oleh hasil penelitiaan Carlson
& Tindall (19
985) in Channg et al. (20000) di daerahh tropik, yaittu di Pulau Virgin,
V
diimana beberrapa spesiess dinoflagellaata epibentikk, seperti Gaambierdiscuss toxicus
dan Ostreopsis lenticularris berkorelasi negatif deengan suhu pperairan, tetaapi juga
berkebalikan pada spesiess yang lain, seperti Coollia monotis ddan Prorocentrum
liima, dimana spesies-spessies ini berkorelasi posittif dengan suuhu perairan.
G
Gambar
8. Keterkaitan
K
a
antara
suhu ddengan kelim
mpahan dinofflagellata eppibentik di
ekosistem lam
mun Pulau P
Pari, bulan Mei
M 2008.
Adanya fluktuasi suhu selama pengukuran di ekosistem lamun menyebabkan
kelimpahan dinoflagellata epibentik menurun. Diduga beberapa spesies
dinoflagellata epibentik tidak dapat bertoleransi terhadap perbedaan suhu di lokasi
penelitian. Pada saat suhu berkisar antara 29 oC – 30 oC, kelimpahan dinoflagellata
epibentik cenderung meningkat dan pada kisaran suhu tersebut dimungkinkan
nilainya masih optimum untuk pertumbuhan spesies tersebut. Namun hal tersebut
berlanjut dengan menurunnya kelimpahan dinoflagellata pada saat suhu telah
melewati 30 oC. Pada suhu yang lebih tinggi tersebut, diduga metabolisme
dinoflagellata epibentik terganggu sehingga pertumbuhannya terhambat.
Beberapa spesies dinoflagellata epibentik, seperti G. toxicus, tumbuh pada
suhu optimum 26 oC. Pada suhu lebih dari 30 oC, dengan cepat akan membunuh
sel, dan umumnya pertumbuhannya lambat pada suhu di bawah 22 oC. Kisaran
suhu untuk pertumbuhan optimum biasanya terbatas, kemungkinan tergantung pada
kondisi asli tempat ditemukannya spesies dinoflagellata epibentik, dimana biasanya
terjadi sedikit variasi suhu (Clement, 1987). Akibat fluktuasi suhu yang terukur
selama penelitian diduga berpengaruh terhadap kemampuan tumbuhnya yang lebih
lambat sehingga kelimpahannya berkurang di suatu perairan.
4.3.5.2. Keterkaitan antara salinitas dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik
Salinitas berpengaruh penting terhadap keberadaan dinoflagellata epibentik
dalam mempertahankan tekanan osmosis antara protoplasma dengan perairan.
Pertahanan tersebut digunakan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan di
sekitarnya. Dari hasil pengukuran salinitas di ekosistem lamun, didapat kisaran
salinitas antara 30 – 32o/oo, sedangkan fitoplankton laut dapat berkembang secara
optimum pada salinitas 35 o/oo. Hal tersebut berarti nilai salinitas yang terukur
su
udah cukup sesuai untukk pertumbuhan dan perkeembangan dinoflagellataa
eppibentik. Laain halnya deengan lamunn, dimana kisaran salinittas tersebut cukup
c
reendah untuk kehidupan optimal
o
lamuun. Dampakk dari kondissi tersebut
diikhawatirkann akan menu
urunkan lajuu fotosintesiss dan pertum
mbuhan lamun di
habitatnya.
Keterkaitaan antara kelimpahan dinnoflagellata epibentik deengan salinittas dapat
G
9. Didapatkan
D
k
kecenderung
gan antara salinitas dengaan
diilihat pada Gambar
kelimpahan dinoflagellata
d
a epibentik. Kenaikan salinitas akann meningkatk
kan
kelimpahan dinoflagellata
d
a epibentik ddi perairan. Kenaikan saalinitas yangg disertai
dengan kenaikan kelimpaahan dinoflaggellata epibeentik cukup beralasan
b
dikarenakan
keberadaan beberapa dino
oflagellata eepibentik yanng lebih mennyukai saliniitas yang
tinggi. Hal inni diperkuat dengan hasiil penelitian Delgado (20006) di Cubaa, dimana
diitemukan din
noflagellata epibentik deengan kelim
mpahan rendaah akibat saliinitas dan
trransparansi air
a yang mennurun selamaa musim hujan.
G
Gambar
9. Keterkaitan
K
a
antara
salinitaas dengan keelimpahan dinoflagellata
d
a epibentik
d ekosistem lamun Pulauu Pari, bulann Mei 2008.
di
Salinitas yang
y
tinggi diketahui
d
daapat meningkkatkan toksissitas dari
diinoflagellataa epibentik, khususnya
k
spesies Proroocentrum lim
ma (Jackson et al.,
1993 in Delgado, 2005). Dengan didukung oleh kelimpahan yang banyak pada
stasiun yang juga memiliki nilai salinitas yang tinggi, dikhawatirkan toksisitas akan
semakin meningkat dan memudahkan persebaran racun Ciguatera maupun Okadaic
acid melalui akumulasi dalam tubuh ikan herbivora yang nantinya akan dikonsumsi
oleh manusia.
4.3.5.3. Keterkaitan antara kedalaman dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik
Kedalaman dapat mempengaruhi kehidupan dinoflagellata epibentik dan lamun
melalui pengaruh efisiensi penetrasi cahaya matahari yang mendukung proses
fotosintesis. Habitat lamun sebagai lokasi penelitian, merupakan perairan dangkal
sehingga kedalaman akan mempengaruhi cahaya matahari yang dengan mudah
menembus kolom perairan hingga sampai ke dasar. Tentu saja kondisi seperti ini
sangat menguntungkan biota perairan, khususnya dinoflagellata epibentik dan
lamun itu sendiri.
Nilai-nilai kedalaman yang terukur selama penelitian bisa dikatakan rendah.
Kedalaman yang terukur berkisar antara 0,23 – 1,06 meter. Hal ini nantinya
berhubungan dengan kedalaman penetrasi cahaya yang optimal pada lokasi
penelitian. Dalam hal ini cahaya bukan merupakan faktor pembatas karena dengan
cepat dapat menembus seluruh kolom perairan. Kedalaman terendah sebesar 0,23
meter, terdapat pada Stasiun 1 dengan letak yang paling dekat dengan daratan.
Kedalaman tertinggi terdapat pada Stasiun 2 (1,06 meter) dan bukan Stasiun 3
(0,92 meter) yang seharusnya lebih dalam karena semakin menjauhi pantai. Hal ini
disebabkan letak Stasiun 3 yang berada di dasar substrat yang agak tinggi karena
berdekatan dengan pulau kecil yang ditumbuhi beberapa pohon mangrove.
Berdasarkkan informassi dari Gambbar 10, didappatkan kecennderungan antara
a
kedalaman daan kelimpahaan dinoflageellata epibenntik. Peningkkatan kedalaaman akan
diiikuti dengan
n peningkataan kelimpahhan dinoflageellata epibenntik. Hubunggan ini
seesuai dengan
n pernyataann Delgado (22006), bahwaa kedalamann dimana keccerahan air
tinggi akan mempengaruh
m
hi kelimpahaan yang ting
ggi dari beberrapa spesiess
diinoflagellataa epibentik yang
y
toksik. Ditambahkan juga bahw
wa intensitass cahaya
m
matahari
yangg tinggi akann semakin m
meningkatkann toksisitas ddari dinoflag
gellata
eppibentik (Jacckson et al., 1993 in Dellgado, 2005)).
G
Gambar
10. K
Keterkaitan antara kedallaman dengaan kelimpahaan dinoflageellata
epibentik
e
di ekosistem laamun Pulau Pari, bulan Mei 2008.
Pada kedaalaman yangg rendah, inteensitas cahay
ya matahari tinggi yang sampai ke
n dapat mem
mpengaruhi akktivitas fotosintesis. Inttensitas mataahari yang
perairan akan
teerlalu tinggi dapat merussak kloropass yang dihasiilkan dinoflaagellata epibentik
seehingga akann menggangggu aktivitas fotosintesis yang berdam
mpak pada rendahnya
r
prroduktivitas dan kelimpaahan. Sedanngkan pada kedalaman
k
y
yang
lebih tinnggi,
inntensitas cah
haya mataharri cukup optiimal untuk kehidupan
k
diinoflagellataa epibentik
karena intensitas cahaya tidak
t
terlalu tinggi untuk
k aktivitas footosintesis. Dalam
D
ekosistem lamun yang menjadi obyek penelitian ini, diduga tumbuhan lamun itu
sendiri yang lebih dapat berperan dan berpengaruh terhadap kedalaman di lokasi
penelitian. Pada kedalaman yang cukup tinggi umumnya lamun tumbuh dengan
subur karena jarang terpapar langsung oleh sinar matahari yang membuatnya cepat
rusak dan mati. Apalagi ditambah kondisi lokasi penelitian yang merupakan
daerah pasang surut sehingga pada saat surut lamun akan dengan mudah terpapar
cahaya matahari yang kuat. Kondisi lamun yang rusak akan mengurangi jumlah
dinoflagellata epibentik yang menempel sehingga kelimpahannya sedikit di
perairan.
4.3.5.4. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan nitrat
Nitrat sebagai nutrien di perairan merupakan salah satu faktor yang dapat
menggerakkan pertumbuhan dinoflagellata epibentik yang menempel pada daun
lamun. Nilai konsentrasi nitrat pada saat penelitian berkisar antara 0,493 – 0,968
mg/l. Konsentrasi nitrat tersebut bukan merupakan faktor pembatas di lokasi
penelitian karena kisaran nilainya masih berada pada kondisi yang memungkinkan
untuk pertumbuhan dinoflagellata epibentik.
Secara umum terlihat bahwa ada hubungan yang negatif antara nitrat dengan
kelimpahan dinoflagellata epibentik. Hal ini sulit dijelaskan. Kemungkinannya
adalah bahwa nilai nitrat di lokasi pengamatan sudah melewati nilai maksimum
secara alami sehingga ada pergantian fungsi antara nitrat dan kelimpahan. Gambar
11 menunjukkan keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan
nitrat yang telah ditukar fungsinya. Dari keterkaitan tersebut didapatkan
kecenderungan dimana peningkatan kelimpahan dinoflagellata epibentik diikuti
dengan penurunan nitrat di perairan. Kebutuhan fitoplankton akan nitrat berbeda
dengan fosfatt, fitoplanktoon memerlukkan fosfat daan nitrat dengan perbanddingan 1:7
(S
Sverdrup, 19
972).
G
Gambar
11. K
Keterkaitan antara kelim
mpahan dinofflagellata eppibentik denggan nitrat
di
d ekosistem
m lamun Pulaau Pari, bulaan Mei 2008..
Dengan kebutuhan
k
nittrat yang lebbih banyak dibutuhkan
d
ooleh dinoflaggellata
k
n bahwa kadar nitrat akkan semakin menurun
eppibentik, tidak tertutup kemungkinan
dii perairan. Terdapat
T
suaatu kondisi ddimana nitratt akan semakkin sedikit di perairan
karena habis dikonsumsi oleh dinoflaagellata epibentik, dan daalam hal ini
keberadaan dinoflagellata
d
a epibentik mempengaru
m
uhi persediaaan nitrat di perairan
p
teersebut. Konndisi lain yan
ng juga dapaat mempengaruhi kadar nutrien di lookasi
penelitian adaalah suhu daan salinitas. Pada suhu dan
d salinitass yang tinggii toksisitas
diinoflagellataa epibentik akan
a
meninggkat yang kem
mudian diikuuti dengan penurunan
p
niitrat yang terrlarut dalam
m perairan.
4.3.5.5. Keteerkaitan anttara kelimp
pahan dinofl
flagellata epibentik den
ngan fosfat
Fosfat diggunakan olehh dinoflagelllata epibentik untuk fotoosintesis dann
m
metabolisme.
Nilai kadarr fosfat tertinnggi yang didapat
d
yaituu sebesar 0,0557 mg/l,
seedangkan kaadar fosfat teerendah yaituu sebesar 0,0042 mg/l. N
Nilai kadar foosfat
berkisar antarra 0,042 – 0,,057 mg/l. N
Nilai yang diidapat relatiff homogen dan
d
diianggap buk
kan merupakkan faktor peembatas bagii pertumbuhaan biota peraairan
karena kadarnnya masih dii atas 0,009 m
mg/l (Mackeentum, 19699).
Sama halnnya dengan nitrat,
n
secaraa umum terddapat hubunggan yang neggatif antara
foosfat dengan
n kelimpahan
n dinoflagelllata epibentik
k. Hal ini suulit dijelaskaan.
K
Kemungkinan
nnya adalah bahwa nilaii fosfat di lokkasi pengam
matan sudah melewati
m
niilai maksimuum secara allami sehinggga ada pergaantian fungsi antara fosfaat dan
kelimpahan. Berdasarkann Gambar 122, didapatkann keterkaitann antara fosffat dengan
kelimpahan dinoflagellata
d
a epibentik yyang telah diitukar fungsiinya dan meenunjukkan
kecenderungaan diantara keduanya.
k
D
Dapat
diinterrpretasikan bbahwa dengaan semakin
tinggi kelimppahan dinoflaagellata epibbentik di peraairan maka kkadar fosfat akan
seemakin men
nurun. Hal inni disebabkaan persediaann fosfat di peerairan digun
nakan
unntuk konsum
msi secara terus meneruss oleh dinoflaagellata epibbentik untukk
pertumbuhannnya.
G
Gambar
12. K
Keterkaitan antara kelim
mpahan dinofflagellata eppibentik denggan fosfat
di
d ekosistem
m lamun Pulaau Pari, bulaan Mei 2008..
Dinoflageellata epibenntik dapat meempengaruhi kadar fosfaat dengan
mun) yang naantinya
penyerapannyya melalui kolom air dann substrat hiddupnya (lam
digunakan untuk metabolisme di dalam tubuhnya. Dengan pemanfaatan dari dua
sumber tersebut maka akan mempercepat penurunan kadar fosfat di perairan.
Hubungan yang saling berkecenderungan antara kelimpahan dinoflagellata
epibentik dan fosfat juga dipengaruhi oleh kondisi abiotik yang lain yaitu suhu dan
salinitas, dimana nilai kadar fosfat terlarut akan menurun seiring dengan
meningkatnya nilai suhu dan salinitas perairan. Sementara itu toksisitas beberapa
spesies dinoflagellata epibentik juga semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhannya yang melimpah.
4.3.5.6. Keterkaitan antara kecepatan arus dengan kelimpahan dinoflagellata
epibentik
Arus permukaan berperan penting dalam persebaran spesies dinoflagellata
epibentik di perairan. Sifat dinoflagellata epibentik yang cenderung lebih suka
menempel pada substrat hidup yaitu lamun, tetap dipengaruhi oleh arus karena
kembali pada sifat dasarnya sebagai fitoplankton dimana memiliki ukuran yang
sangat kecil sehingga pergerakannya sangat tergantung pada arus di suatu perairan.
Kecepatan arus selama penelitian berkisar antara 0,020-0,056 m/detik dengan arah
arus 235o, 270o, dan 290o yang cenderung menuju ke arah barat.
Kecepatan arus relatif rendah dengan fluktuasinya yang lebih dipengaruhi oleh
dangkalnya perairan serta keberadaan komunitas lamun yang berperan dalam
meredam atau memperlambat gerak arus di perairan. Pola arah arus yang
dipengaruhi angin cenderung menuju ke arah barat. Hal ini tidak lepas dari
pengaruh waktu dilaksanakannya penelitian, yaitu pada bulan Mei, dimana pada
bulan tersebut masuk dalam musim peralihan dengan arah angin yang tidak
menentu. Pada musim peralihan, kekuatan angin jauh berkurang sehingga
menghasilkan arus yang tenang (Arinardi et al., 1997). Arus yang tenang ke arah
barat akan meembatasi perrgerakan dinnoflagellata epibentik
e
dann mencegah
persebaran yaang lebih jau
uh. Dengan adanya peng
garuh arus teenang tersebut maka
juuga akan meemperkecil trranspor sedim
men di dalam
m ekosistem
m lamun.
Gambar 13
1 menunjukkkan keterkaaitan kecepattan arus dan kelimpahan
diinoflagellataa epibentik. Didapatkann kecenderunngan diantaraa keduanya, dimana
dengan semakkin bertambaahnya keceppatan arus, maka
m
kelimpaahan dinoflaagellata
eppibentik akaan berkurangg. Diduga keerapatan lam
mun yang tingggi menyebaabkan
kecepatan aruus berkurangg. Akar-akarr lamun akann meredam ppergerakan arus
a yang
kencang sekaaligus menanngkap sedimen di sekitarrnya sehinggga dinoflagelllata
eppibentik yan
ng menempel pada daun lamun E. accoroides akan terhindar dari
d
pencucian oleeh arus dan berlanjut
b
padda kelimpahaannya yang meningkat. Jarak
padang lamunn dan tubir yang
y
cukup jauh tampaknnya juga meempengaruhhi
keberadaan dinoflagellata
d
a epibentik. Adanya jaraak tersebut aakan menyeb
babkan
arrus yang maasuk padang lamun menggalami peram
mbatan sehinngga arusnyaa kecil dan
berakibat pad
da kelimpahaan dinoflagellata epibenttik cukup tinnggi.
G
Gambar
13. K
Keterkaitan antara keceppatan arus deengan kelim
mpahan dinofflagellata
epibentik di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008.
Karakter beberapa spesies dinoflagellata epibentik juga dipengaruhi oleh
keberadaan arus di perairan. Dari nilai kelimpahan yang didapat, G.toxicus
memiliki kelimpahan yang cukup rendah karena spesies ini lebih suka menetap di
substrat dengan perairan yang dipengaruhi arus kencang. Ditemukannya spesies
Ostreopsis dengan jumlah yang cukup melimpah di dekat pantai juga disebabkan
karena kesukaan spesies tersebut yang lebih menyukai perairan yang dipengaruhi
guncangan atau pergerakan air.
4.3.5.7. Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik
Nilai pH yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7-8. Perairan laut
mempunyai sistem penyangga yang kuat untuk dapat mempertahankan kestabilan
nilai pH sehingga pH air laut tidak mudah mengalami perubahan. Hasil
pengukuran pH masih dalam kisaran yang baik untuk pertumbuhan dinoflagellata
epibentik yaitu 7 dan mendekati basa.
Keterkaitan antara pH dengan kelimpahan dinoflagellata epibentik dapat dilihat
pada Gambar 14. Semakin tinggi nilai pH di suatu perairan, kelimpahan
dinoflagellata epibentik di perairan tersebut akan bertambah pula. Dengan semakin
bertambahnya nilai pH maka perairan akan semakin produktif karena bahan
organik dalam air mudah diubah menjadi mineral-mineral yang dapat
diasimilasikan oleh dinoflagellata epibentik sehingga pemanfaatannya optimal
yang berakibat pada melimpahnya spesies-spesies dinoflagellata epibentik.
G
Gambar
14. K
Keterkaitan antara pH dengan kelim
mpahan dinofflagellata epiibentik di
ekosistem
e
laamun Pulau Pari,
P
bulan Mei
M 2008.
Perubahann nilai pH daan kelimpahhan dinoflageellata epibenntik tersebut ditentukan
olleh aktivitass biologis sep
perti fotosinttesis, suhu dan
d keberadaaan ion-ion dalam
d
perairan. Pro
oses fotosinteesis yang opptimal selamaa waktu penyinaran matahari akan
ceenderung meengurangi ko
onsentrasi C
CO2 terlarut yang
y
disertaii dengan naik
knya pH.
N
Nilai
pH peraairan juga dip
pengaruhi olleh peningkaatan suhu. Kelarutan
K
CO
O2
m
menurun
dan tekanan parrsial (pCO2) meningkat pada
p
saat suhhu perairan meningkat.
m
D
Dengan
begittu penurunan
n CO2 dalam
m air akan meenggeser reaaksi kesetimb
bangan
siistem penyanngga ke arahh kiri yang m
menyebabkaan penurunann H+, sehingga nilai
pH
H akan naik
k. Dalam hall ini peningkkatan kelimppahan dinoflaagellata epibbentik turut
seerta menyebabkan kadarr CO2 pada reaksi
r
kesetim
mbangan berrgeser ke araah kiri
seehingga ion H+ menurunn, akibatnya OH – menin
ngkat yang beerarti perairaan menjadi
leebih basa.
4.4. Komunitas lamun
4.4.1. Kerapatan lamun Enhalus acoroides
Kerapatan (density) lamun berbeda pada setiap stasiun. Kerapatan lamun
ditentukan oleh perbedaan jenis setiap lamun, perbedaan morfologi, dan struktur
komunitasnya serta faktor-faktor lingkungan tempat tumbuhnya (kedalaman,
kecerahan, dan tipe substrat) (Kiswara, 1997).
Berikut ini ditampilkan nilai kerapatan lamun Enhalus acoroides di ekosistem
lamun Pulau Pari dalam Tabel 5.
Tabel 5. Kerapatan jenis lamun Enhalus acoroides (ind/m2) di semua stasiun
ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008.
Stasiun
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10
Total
1
28 16 16 16 28 20
2
64 44 64 56 72 80
3
92 108 104 96 96 100
Sumber : Diolah dari lampiran 3 dan 4
40
32
88
36
60
112
28
68
92
12
72
120
240
612
1008
Ratarata
24
61
101
Kerapatan rata-rata jenis lamun E. acoroides berkisar antara 24 – 101 ind/m2.
Dari Tabel 5 terlihat bahwa kerapatan rata-rata tertinggi terdapat di Stasiun 3, yaitu
sebesar 101 ind/m2, dan terendah pada Stasiun 1, yaitu sebesar 24 ind/m2 . Pada
Stasiun 3, lamun tumbuh dengan lebat dan saling berdekatan karena kondisi
lingkungan yang cocok. Kondisi Stasiun 3 yang cukup dalam tetapi agak jernih
menjadikan kerapatan lamun E. acoroides lebih tinggi dibandingkan stasiun yang
lain. Bentuk morfologi daun E. acoroides yang panjang dan besar juga
menentukan kerapatan jenis lamun itu sendiri di habitatnya. Sedangkan kondisi
Stasiun 1 yang masih dipengaruhi arus dan sedimentasi dari daratan sehingga
airnya keruh, menjadikan stasiun ini memiliki kerapatan lamun yang cukup rendah.
Enhalus acoroides memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap komunitas
padang lamun di Pulau Pari karena kemampuan beradaptasinya yang besar. Jenis
ini mampu beradaptasi pada berbagai substrat dan lingkungan yang berbeda.
Toleransinya yang lebar terhadap kondisi ekologi disertai kemampuan tumbuh
yang lebih cepat daripada jenis lamun lain menjadikan E. acoroides bersifat
kosmopolitan dan tersebar cukup luas pada habitatnya di Pulau Pari.
4.5. Keterkaitan antara kelimpahan dinoflagellata epibentik dengan kerapatan
lamun
Interaksi dinoflagellata epibentik dengan permukaan substrat yang ditempeli
yaitu lamun, umumnya sangat dinamik di alam dan merupakan faktor penting
dalam perkembangbiakan dan pertahanan hidup jenis tersebut. West (1990) in
Kiswara dan Winardi (1994) menyatakan bahwa panjang daun dan kerapatan
lamun dapat mempengaruhi sebaran dan kelimpahan biota yang berasosiasi dengan
lamun, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan padang lamun sangat
menentukan distribusi dan kelimpahan biotanya.
Gambar 15 memperlihatkan kecenderungan antara kerapatan lamun dengan
kelimpahan dinoflagellata epibentik. Kelimpahan dinoflagellata epibentik akan
meningkat seiring dengan peningkatan kerapatan lamun di suatu perairan. Semakin
tinggi kerapatan lamun, semakin banyak tegakan lamun yang tumbuh maka
semakin luas permukaan daun lamun yang tersedia untuk ditempeli oleh
dinoflagellata tersebut.
G
Gambar
15. K
Keterkaitan antara kerappatan lamun dengan kelim
mpahan dinooflagellata
epibentik
e
di ekosistem laamun Pulau Pari, bulan Mei 2008.
Keterkaitaan antara kerrapatan lamuun dan kelim
mpahan dinoflagellata eppibentik
o kemamp
puan adaptassi, kompetisi, dan pengaaruh lingkunggan di
diipengaruhi oleh
seekitarnya. Kemampuan
K
adaptasi dinnoflagellata epibentik diihubungkan dengan
kemampuan masing-masi
m
ing jenis unntuk menemppel dan berkeembang. Sp
pesies
diinoflagellataa epibentik yang
y
mudah beradaptasi pada lamun dan karakteeristik
kiimia perairaan yang berbeda akan meendukung keelimpahan jeenisnya di peerairan.
K
Kompetisi
anntar spesies dinoflagellat
d
ta epibentik dalam mem
mperebutkan ruang,
caahaya, dan makanan,
m
jugga menentukkan eksistenssi dinoflagellata epibentiik yang
m
menempel
paada daun lam
mun, dimana spesies yang
g kuat akan memiliki
m
kelimpahan
yang tinggi. Selain itu, kondisi
k
fisikaa-kimia yang
g cocok untuuk pertumbuhhan lamun
dan dinoflageellata epibenntik di ekosisstem lamun yang
y
berbeda kerapatan akan
m
meningkatkan
n kelimpahaan beberapa sspesies dinofflagellata eppibentik.
Kelimpahhan dinoflageellata epibenntik berhubu
ungan erat deengan kerapaatan karena
diidukung oleh
h kestabilan substrat (daaun lamun) ittu sendiri. L
Lamun Enhaalus
accoroides denngan permukkaan daunnyya yang luas akan memberikan kondisi yang
leebih stabil daan nyaman sehingga
s
baikk untuk temppat penempeelan dinoflaggellata
epibentik. Kerapatan lamun yang tinggi akan didukung dengan tumbuhnya lamun
yang saling berdekatan, kokoh, dan memiliki perakaran yang kuat. Kondisi
tersebut tentu akan menguntungkan dinoflagellata epibentik yang menempel karena
lebih mudah dalam memperoleh cahaya untuk kebutuhan fotosintesis serta
terhindar dari pengaruh pencucian arus di sekitarnya. Faktor-faktor yang demikian
di atas diduga akan semakin meningkatkan kelimpahan dinoflagellata epibentik
yang menempel pada daun lamun.
Dengan semakin melimpahnya dinoflagellata epibentik pada ekosistem lamun
maka terdapat peluang untuk blooming pada jenis tertentu. Akibatnya akan sangat
merugikan seperti reduksi penetrasi cahaya dan kondisi anoksik yang diikuti
dengan menurunnya kapasitas fotosintesis dan biomassa daun pada hamparan
lamun. Hasil akhirnya akan berakibat pada kerusakan ekosistem lamun sebagai
penghasil produktivitas primer di laut.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Fitoplankton di ekosistem lamun Pulau Pari terdiri dari 3 klas dengan
komposisi masing-masing, yaitu Bacillariophyceae (92.76%), Cyanophyceae
(2.31%), dan Dinophyceae (4.93%). Kelimpahan fitoplankton didominasi oleh
spesies Nitzschia, Coscinodiscus, Amphora, Navicula, dan Cocconeis.
Dinoflagellata epibentik yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu
Prorocentrum lima, P. rhathymum, P. concavum, P. emarginatum, P. compressum,
Ostreopsis lenticularis, O. ovata, Gambierdiscus toxicus, Coolia monotis,
Amphidinium klebsii, dan A. carterae. Komposisi dan kelimpahan tertinggi
dimiliki oleh genus Prorocentrum, khususnya spesies Prorocentrum rhathymum.
Didapatkan kecenderungan yaitu dengan semakin naiknya suhu dan kecepatan
arus, maka kelimpahan dinoflagellata epibentik semakin menurun. Sebaliknya,
dengan semakin naiknya salinitas, kedalaman, dan pH, maka kelimpahan
dinoflagellata epibentik semakin meningkat. Kelimpahan dinoflagellata epibentik
mempengaruhi keberadaan nitrat dan fosfat akibat pemanfaatannya untuk
pertumbuhan.
Dengan semakin rapatnya lamun maka kelimpahan dinoflagellata epibentik
juga semakin meningkat. Lamun E. acoroides dengan permukaan daunnya yang
luas memberikan kondisi yang lebih stabil dan nyaman sehingga baik untuk tempat
penempelan dinoflagellata epibentik.
5.2. Saran
Saran-saran yang ingin disampaikan penulis dari penelitian yang telah
dilakukan, antara lain :
1. Hendaknya dilakukan pengkajian dengan membandingkan musim yang
berbeda sehingga didapatkan kelimpahan yang mewakili setiap musim.
2. Hendaknya dilakukan penelitian dengan kondisi lingkungan yang berbeda,
misalnya di perairan yang tenang, perairan yang telah terkena badai, dan
perairan yang dekat dengan pemukiman dan industri karena spesies
dinoflagellata epibentik umumnya sensitif terhadap lingkungan yang
berbeda.
3. Hendaknya dilakukan penelitian yang mengkaji objek yang lain, misalnya
makroalga karena sifat dinoflagellata epibentik yang suka menempel pada
berbagai substrat hidup di perairan.
4. Hendaknya dilakukan monitoring secara berkala pada lokasi perairan yang
berpotensi blooming spesies dinoflagellata epibentik beracun sebagai upaya
pencegahan dini terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D. M. dan P. S. Lobel. 1987. The continuing enigma of ciguatera.
Biological Bulletin. 172 (1): 89-107.
Arinardi, O. H., A. B. Sutomo, S. A. Yusuf, Trimaningsih, E. Asnaryanti, dan S. H.
Riyono. 1997. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di
perairan kawasan timur Indonesia. P2O-LIPI. Jakarta.
Berwick, N. L. 1983. Guidellines for the analysis of biophysical impacts to
trophical coastal marine resource. The Bombay Natural History Society
Centenary Seminar. Conversation in Developing Countries. Problem and
Prospects. Bombay. 122p.
Brower, J. E. dan J. H. Zar. 1989. Field and laboratory method for general ecology.
Wm. C. Brown Pulb. Dubuque. Iowa.
Chang, F. H., Y. Shimizu, B. Hay, R. Stewart, G. Mackay, dan R. Tasker. 2000.
Three recently recorded Ostreopsis spp. (Dinophyceae) in New Zealand:
temporal and regional distribution in the upper North Island from 1995 to
1997. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research., 34: 29-39.
Clement, M. D. 1987. Study of production and toxicity of cultured Gambierdiscus
toxicus. BioL Bull., 172: 108-121.
Delgado, G., G. Popowski, C. Garcia, N. Lagos, dan C. H. L. Devece. 2005.
Presence of DSP-toxins in Prorocentrum lima (Ehrenberg) Dodge in Cuba.
Rev. Invest. Mar. 26(3):229-234.
Delgado, G., C. H. L. Deveze, G. Popowski, L. Troccoli dan C. A. Salinas. 2006.
Epiphytic dinoflagellates associated with ciguatera in the northwestern coast
of Cuba. Rev. Biol. Trop., 54 (2): 299-310.
Den Hartog, C. 1970. Seagrasses of the world. North Holland Publishing
Company, London.
Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan
perairan. Kanisisus. Jakarta.
Erftemeijer, P. L. A. 1993. Factors limiting growth and production of tropical
seagrasses : Nutrient dynamic in Indonesian seagrass beds. Tesis.
Netherlands Institute of Ecology. Netherlands.
Faust, M. A. 2000. Dinoflagellate associations in a coral reef-mangrove ecosystem:
Pelican and associated Cays, Belize. Atoll Research Bulletin., 473:133149.
Faust, M. A., R. W. Litaker, M. W. Vandersea, S. R. Kibler, dan P. A. Tester.
2005. Dinoflagellate diversity and abundance in two belizean coral-reef
mangrove lagoons: a test of margalef’s mandala. Atoll Research Bulletin.,
534:103-131.
Fukuyo, Y. 1981. Taxonomical study on benthic dinoflagellates collected in coral
reefs. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish., 47: 967-978.
GEOHAB. 2001. Global ecology and oceanography of Harmful Algal Bloom.
Science Plan. P. Glibert and G. Pitcher (eds). SCOR and IOC, Baltimore
and Paris. 86p.
Harlin, M. M. 1980. Seagrass epiphytes dalam Handbook of Seagrass Biology. An
Ecosystem Perspective (R. C. Phillips and C. P. Mc Roy, Eds.).. Garlad
STPM Press. New York. 117-151p.
Hurbungs, M. D., N. Jayabalan dan V. Chineah. 2001. Seasonal distribution of
potentially toxic benthic dinoflagellates in the lagoon of trou aux biches,
Mauritius. AMAS. Food and Agricultural Research Council, Reduit,
Mauritius.
Kiswara, W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu pulau Pari, pulaupulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia vol. 25:31-49.Pusat
penelitian dan pengembangan oseanologi LIPI. Jakarta.
Kiswara, W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia, hal 5461. Dalam: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II, Geologi,
kimia, biologi, dan ekologi. P2O-LIPI.
Kiswara, W dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan sebaran lamun di Teluk Kuta
dan teluk Gerupuk Lombok selatan, hal.15-33. Dalam: W. Kiswara, M. K.
Moosa dan M Hutomo (Eds), Struktur komunitas biologi padang lamun di
pantai selatan Lombok dan lingkungannya. Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Mackentum, K. M. 1969. The practice of water pollution biology. United State
Department of Interior. Federal Water Pollution Control. Administration
Division of Technical Support.
Millero, F. J., dan M. L. Sohn. 1992. Chemical Oceanography. CRC press. London.
529h.
Moriber, G. 1974. Environmental science. Brooklyn College. Allyn and Bacon Inc.
Boston.
Nienhuis P, dan H. C. Mathieson. 1991. Ecosystems of the World : Intertidal and
Littoral Ecosystem. Elsevier, Amsterdam.
Nontji, A. 2006. Tiada kehidupan di bumi tanpa keberadaan plankton. Pusat
penelitian oseanografi. LIPI. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Diterjemahkan
oleh M. Eidman, Koesobiono, D. G. Bengen, M. Hutomo, dan S. Sukarjo.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Odum, E. P. 1998. Dasar-dasar ekologi : Alih bahasa Samingan, T. Edisi ketiga.
Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.
Parsons, T. R, M. Takahashi, dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographyc
Processes. Pergamon Press. 3rd Edition. New York-Toronto.
Pescod, N. B. 1973. Invesigation of rational effluent and stream for tropical
countries. AIT. Bangkok.
Praseno, D. P. dan Sugestiningsih. 2000. Retaid di Perairan Indonesia. P3O-LIPI.
Jakarta.
Raymont, J. E. G. 1981. Plankton dan produktivitas bahari. Alih bahasa :
Koesoebiono. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Rhodes, L., J. Adamson, T. Suzuki, L. Briggs, dan I. Garthwaite. 2000. Ostreopsis
siamensis and Coolia monotis in New Zealand. Journal of Marine and
Freshwater Research., 34: 371-383.
Romimohtarto, K dan S. Juwana. 2001. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang
biota laut. Djambatan . Jakarta.
Ruff, T.A. dan R.J.R. Lewis. 1994. Clinical aspects of ciguatera: An overview.
Mem. Qld. Museum, Brisbane., 35: 609–619.
Sanusi, H. S. 2006. Kimia laut: proses fisik kimia dan interaksinya dengan
lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB, Bogor.
Sumich, J. L. 1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. Wm. C. Brown
Publishers. USA.
Susetiono. 1994. Struktur dan kelimpahan meiofauna diantara Enhalus acoroides
di Pantai Kuta Lombok Tengah Dalam: W. Kasim, M. K. Moosa dan M.
Hutomo. 1994 (eds). Struktur komunitas Biologi padang lamun di Pantai
Selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Proyek pengembangan
kelautan /MREP dan Pusat Penelitian Pengembangan Oseanologi LIPI.
Jakarta. 125p.
Sverdrup, H. U., M. W. Johnson, dan R. H. Fleming. 1972. The oceans physics,
chemistry and general biology. Modern asia Edition. Prentice-Hall Inc.
New Jersey. 1087p.
Thoha, H. 1999. Struktur komunitas diatom dan dinoflagellata di perairan sekitar
pulau Pari, kepulauan Seribu. Tesis. Program Studi Biologi. Program
Pascasarjana. Universitas Indonesia. Depok.
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, dan M. K. Moosa. 1997. The ecology of the
Indonesian Seas. The Ecology of Indonesia Series. Vol. VIII. Periplus
Edition (HK) Ltd. Singapore. 1388 p.
Vila, M., E. Garces, dan M. Maso. 2001. Epiphytic dinoflagellates in the
Mediterranean Sea. Aquat Microb Ecol., 26: 51–60.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar statistika. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh
Bambang Sumantri. PT Gramedia. Jakarta. 370 hal.
Widhiasari, R. 2003. Kandungan unsur hara N dan P serta struktur komunitas
fitoplankton di perairan litoral danau Matano, Sulawesi Selatan. Skripsi.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. FPIK. IPB. Bogor.
Yamaji, I. 1966. Illustrations of the marine plankton of Japan. Hoikusha, Osaka.
Japan.
Yasumoto, T., A. Inoue, T. Ochi, K. Funmoto, Y. Oshima, Y. Fukuyo, R. Adachi,
dan R. Bagnis.1980. Environmental studies on a toxic dinoflagellate
responsible for ciguatera. Bull. Jpn. Soc.Sci. Fish., 46: 1397.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008
Arus
Fosfat (mg/l)
pH
Stasiun Suhu (oC) Salinitas (o/oo) Kedalaman (m) Nitrat (mg/l)
V(m/s) α (o)
1
31
30
0,23
0,968
0,057
0,056
270
7
2
29
31
1,06
0,493
0,042
0,022
290
7,5
3
30
32
0,92
0,859
0,052
0,02
235
8
Keterangan: Stasiun 1 = kerapatan lamun jarang
Stasiun 2 = kerapatan lamun sedang
Stasiun 3 = kerapatan lamun rapat
Lampiran 2. Kelimpahan dinoflagellata epibentik (ind/cm2) pada daun lamun Enhalus acoroides, di ekosistem lamun Pulau Pari,
bulan Mei 2008
Stasiun 1
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Spesies
Prorocentrum lima
P. rhathymum
P. concavum
P. emarginatum
P. compressum
Ostreopsis lenticularis
O. ovata
Gambierdiscus toxicus
Coolia monotis
Amphidinium klebsii
A.carterae
Jumlah
1
42
136
10
0
84
84
21
10
0
10
10
409
2
40
64
6
3
9
37
3
0
0
9
0
171
3
17
35
0
0
9
56
4
0
0
9
4
134
4
0
23
0
0
0
58
12
0
6
29
0
127
5
16
32
8
0
8
72
16
0
0
24
0
176
Plot
6
20
0
4
0
8
133
16
0
0
39
0
219
1
290
580
51
0
154
51
51
68
68
34
85
1434
2
234
234
8
0
15
15
23
53
15
8
8
611
3
199
229
0
0
40
70
20
0
50
30
0
638
4
161
195
0
0
8
25
0
17
51
8
8
474
5
455
653
10
0
0
10
0
30
40
20
0
1217
Plot
6
596
698
0
0
39
8
0
8
94
16
0
1459
7
30
45
0
15
15
15
15
15
0
30
0
181
8
8
16
0
0
8
16
8
0
0
0
0
55
9
5
15
10
0
10
10
5
0
0
5
0
61
10
3
4
3
0
0
4
1
1
0
0
0
16
Jumlah
180
371
41
18
151
485
101
27
6
156
15
1551
8
179
188
81
0
233
18
27
9
0
9
9
751
9
209
153
32
0
80
0
0
0
0
0
8
482
10
113
184
14
7
71
0
0
7
0
7
14
417
Jumlah
2492
3154
214
7
647
205
124
199
318
139
147
7647
Stasiun 2
No.
Spesies
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Prorocentrum lima
P. rhathymum
P. concavum
P. emarginatum
P. compressum
Ostreopsis lenticularis
O. ovata
Gambierdiscus toxicus
Coolia monotis
Amphidinium klebsii
A.carterae
Jumlah
7
56
41
19
0
7
7
4
7
0
7
15
164
Lampiran 2. (Lanjutan)
Stasiun 3
No.
Spesies
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Prorocentrum lima
P. rhathymum
P. concavum
P. emarginatum
P. compressum
Ostreopsis lenticularis
O. ovata
Gambierdiscus toxicus
Coolia monotis
Amphidinium klebsii
A.carterae
Jumlah
1
917
917
0
0
67
13
0
27
108
0
0
2051
2
958
1286
0
0
164
82
0
0
137
0
0
2627
3
336
981
13
0
65
52
65
65
116
26
65
1782
4
216
924
0
60
72
12
0
12
48
12
48
1404
5
182
712
0
22
65
15
7
7
44
7
44
1104
Plot
6
1227
2074
21
0
212
106
42
0
0
21
63
3767
7
139
406
32
0
75
32
0
11
0
11
11
717
8
179
243
64
0
64
13
13
13
0
0
0
589
9
157
314
0
0
146
22
0
0
0
0
0
638
10
188
244
75
0
38
19
19
0
0
0
0
582
Jumlah
4499
8101
205
82
967
366
146
134
453
77
230
15259
Lampiran 3. Genus dan kelimpahan fitoplankton (ind/l) di ekosistem lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008
No
Genus
1
2
Stasiun 1
3
Jumlah
Rata-rata
1
2
Stasiun 2
3
Jumlah
Rata-rata
1
2
Stasiun 3
3
Jumlah
Rata-rata
Jumlah
total
Rata-rata
total
188
Bacillariophyceae
1
Cocconeis
12
6
6
24
8
18
18
120
156
52
120
120
144
384
128
564
2
Fragilaria
0
0
0
0
0
72
72
18
162
54
24
36
18
78
26
240
80
3
Nitzschia
576
744
396
1716
572
432
1230
1488
3150
1050
3420
1650
1320
6390
2130
11256
3752
4
Rhizosolenia
0
0
6
6
2
18
60
0
78
26
48
72
6
126
42
210
70
5
Coscinodiscus
6
6
6
18
6
288
1686
960
2934
978
1200
228
306
1734
578
4686
1562
6
Surirella
0
0
6
6
2
0
0
6
6
2
6
18
0
24
8
36
12
7
Amphora
48
234
60
342
114
30
324
210
564
188
954
84
102
1140
380
2046
682
8
Amphiprora
0
0
6
6
2
6
18
60
84
28
18
0
6
24
8
114
38
9
Thalassiothrix
12
24
12
48
16
18
6
0
24
8
54
48
6
108
36
180
60
10
Thalassiosira
0
0
6
6
2
0
54
6
60
20
54
24
12
90
30
156
52
11
Navicula
60
54
48
162
54
18
48
192
258
86
150
102
168
420
140
840
280
12
Diatoma
6
36
0
42
14
0
0
0
0
0
108
360
12
480
160
522
174
13
Rhabdonema
0
6
0
6
2
0
24
42
66
22
54
72
12
138
46
210
70
14
Pinnularia
0
0
0
0
0
0
0
60
60
20
0
6
18
24
8
84
28
15
Melosira
6
24
12
42
14
18
0
0
18
6
0
36
6
42
14
102
34
16
Pleurosigma
6
0
0
6
2
12
6
36
54
18
12
42
0
54
18
114
38
17
Spirulina
6
12
0
18
6
0
18
18
36
12
30
24
0
54
18
108
36
18
Leptocylindrus
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
6
18
6
18
6
19
Skeletonema
18
6
0
24
8
0
24
6
30
10
42
30
12
84
28
138
46
20
Licmophora
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
6
2
6
2
21
Bacillaria
0
0
0
0
0
0
12
12
24
8
6
6
6
18
6
42
14
22
Climacosphenia
6
18
0
24
8
60
0
0
60
20
0
48
12
60
20
144
48
23
Hemidiscus
6
0
0
6
2
0
0
12
12
4
0
24
12
36
12
54
18
24
Guinardia
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
6
12
4
12
4
Stasiun 1
1
2
Stasiun 2
3
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
Stasiun 3
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
Rata-rata
Jumlah
total
24
8
132
44
24
8
60
20
Jumlah
Rata-rata
total
No
25
Genus
Cymbella
6
72
0
78
26
0
12
18
30
10
0
24
0
26
Grammatophora
0
0
6
6
2
0
6
24
30
10
0
6
18
27
Gomphonema
0
0
0
0
0
6
0
0
6
2
0
0
0
0
0
6
2
28
Isthmia
0
6
0
6
2
42
0
0
42
14
48
0
0
48
16
96
32
29
Diploneis
0
12
0
12
4
18
0
6
24
8
18
0
6
24
8
60
20
30
Triceratium
6
6
0
12
4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
12
4
31
Striatella
0
6
0
6
2
0
0
6
6
2
0
0
0
0
0
12
4
32
Stephanopyxis
0
0
6
6
2
6
0
12
18
6
0
6
6
12
4
36
12
33
Streptotheca
0
0
6
6
2
0
0
0
0
0
6
0
0
6
2
12
4
34
Synedra
0
0
0
0
0
30
0
0
30
10
24
0
6
30
10
60
20
35
Chaetoceros
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
6
2
6
2
30
48
18
96
32
198
96
36
330
110
18
48
66
132
44
558
186
60
0
120
0
40
0
90
12
0
48
54
12
144
72
48
24
162
18
6
12
18
0
186
30
62
10
450
102
150
34
Cyanophyceae
1
Trichodesmium
Dinophyceae
1
2
Protoperidinium
Peridinium
42
0
18
0
3
Gymnodinium
0
0
0
0
0
0
18
0
18
6
0
6
0
6
2
24
8
4
Alexandrium
0
0
36
36
12
6
48
108
162
54
78
0
0
78
26
276
92
5
Prorocentrum
60
0
0
60
20
6
0
42
48
16
54
18
96
168
56
276
92
6
Gonyaulax
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
36
0
0
36
12
36
12
7
Pyrocystis
0
0
0
0
0
6
0
0
6
2
0
0
0
0
0
6
2
8
Dinophysis
0
0
0
0
0
18
0
0
18
6
0
0
0
0
0
18
6
912
1338
696
2946
982
1428
3828
3564
8820
2940
6762
3186
2406
12354
4118
24120
8040
Jumlah
Lampiran 4. Jumlah tegakan (individu) lamun Enhalus acoroides di ekosistem
lamun Pulau Pari, bulan Mei 2008
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jumlah tegakan (ind)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
7
16
23
4
11
27
4
16
26
4
14
24
7
18
24
5
20
25
10
8
22
9
15
28
7
17
23
3
18
30
Lampiran 5. Data pengukuran panjang, lebar, dan luas permukaan daun Enhalus
acoroides
Stasiun 1 (jarang)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Daun
Panjang (cm)
Lebar (cm)
1
2
3
4
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
7
6
37
33
32
6
9,3
42,8
51,5
51,4
33,5
2,9
15,9
15
14,3
37,8
49,3
19
3,3
13,3
23,6
30
43,2
14,8
2,8
45,7
41,7
33,9
3,5
5,4
14,1
55,3
61,4
38,3
8,4
25,6
32
33,5
13,4
41,6
43,1
41,4
14,4
14,9
35,6
46
46,4
33,7
7,5
2,3
21,2
51
64,8
66,4
53
20,4
5,5
1,76
1,44
1,59
1,37
1,98
1,83
1,76
1,61
1,59
1,37
1,11
1,11
1,59
1,37
1,59
1,44
1,37
1,59
1,2
1,44
1,37
1,22
1,15
1,83
1,83
1,61
1,59
1,98
1,98
1,83
1,76
1,61
1,44
1,37
1,61
1,76
1,83
1,44
1,61
1,83
1,98
1,98
1,59
1,11
1,83
1,98
2,05
2,22
2,37
1,59
1,76
1,83
1,98
1,98
2,11
2,05
Luas daun (cm2)
(dua sisi)
21,12
106,56
104,94
87,68
23,76
34,04
150,66
165,83
163,45
91,79
6,44
35,30
47,70
39,18
120,20
141,98
52,06
10,49
31,92
67,97
82,20
105,41
34,04
10,25
167,26
134,27
107,80
13,86
21,38
51,61
194,66
197,71
110,30
23,02
82,43
112,64
122,61
38,59
133,95
157,75
163,94
57,02
47,38
79,03
168,36
183,74
138,17
33,30
10,90
67,42
179,52
237,17
262,94
209,88
86,09
22,55
Lampiran 5. (Lanjutan)
Stasiun 2 (sedang)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Daun
Panjang (cm)
Lebar (cm)
1
2
3
4
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
7
21,9
58
50,6
11,6
4,2
8,9
28,6
74,4
69,2
51,7
8,9
25
72,5
77,5
56,6
2
4
34,3
80
69,5
32,9
8,9
13,6
74,9
89,2
66,9
8,5
8
13,5
62
91
85,6
65,5
20,9
6
50
57,2
77,4
74,3
13
11,9
42,3
68
58,5
28
8,7
32,2
61
76
52,5
5,5
2,5
50
83,6
83,9
60,5
26,5
11,2
1,61
1,61
1,59
1,37
1,76
1,76
1,61
1,59
1,44
1,22
1,98
1,76
1,61
1,59
1,44
1,05
2,05
1,98
1,83
1,76
1,59
1,83
1,83
1,61
1,76
1,59
1,37
2,05
2,05
1,98
1,76
1,76
1,59
1,44
2,11
1,98
1,76
1,91
1,72
2
1,65
1,76
1,83
1,98
1,83
1,94
2,05
2,22
2,22
2,37
2,44
1,25
1,65
1,91
1,92
2,02
2,12
2,32
Luas daun (cm2)
(dua sisi)
705,18
1867,60
1609,08
317,84
147,84
313,28
920,92
2365,92
1992,96
1261,48
352,44
880,00
2334,50
2464,50
1630,08
42,00
164,00
1358,28
2928,00
2446,40
1046,22
325,74
497,76
2411,78
3139,84
2127,42
232,90
328,00
553,50
2455,20
3203,20
3013,12
2082,90
601,92
253,20
1980,00
2013,44
2956,68
2555,92
520,00
392,70
1488,96
2488,80
2316,60
1024,80
337,56
1320,20
2708,40
3374,40
2488,50
268,40
62,50
1650,00
3193,52
3221,76
2444,20
1123,60
519,68
Lampiran 5. (Lanjutan)
Stasiun 3 (rapat)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Daun
Panjang (cm)
Lebar (cm)
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
7
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
6
1
2
3
4
5
6
2,2
59,1
86
81,4
30,7
3,9
8
37,7
59,9
50,5
1,9
4,1
18
56,3
70,5
66
31,8
7,6
72,3
91,4
82,3
31,6
2,4
9,5
40,8
86,7
98,5
95,5
54,7
2,6
51,5
56,5
65,3
7,8
33,1
63
72,7
51
25
6,5
31,4
67,6
78
55,5
5,9
14,7
56,8
80
68,4
30,3
4,4
38,4
59,4
67
44
8,2
3,8
1,83
1,61
1,61
1,59
1,37
1,61
1,61
1,59
1,44
1,37
1,2
2,37
2,05
2,05
2,05
1,83
1,76
1,83
1,76
1,76
1,61
1,44
2,22
2,22
2,15
2,15
2,05
1,98
1,86
1,83
1,61
1,44
1,59
1,37
1,76
1,98
1,98
1,98
2,05
2,22
2,05
2,22
2,22
2,22
2,37
1,26
1,83
1,98
2,05
2,05
2,22
1,59
1,76
1,76
1,76
1,83
1,98
Luas daun (cm2)
(dua sisi)
80,52
1903,02
2769,20
2588,52
841,18
125,58
257,60
1198,86
1725,12
1383,70
45,60
194,34
738,00
2308,30
2890,50
2415,60
1119,36
278,16
2544,96
3217,28
2650,06
910,08
106,56
421,80
1754,40
3728,10
4038,50
3781,80
2034,84
95,16
1658,30
1627,20
2076,54
213,72
1165,12
2494,80
2878,92
2019,60
1025,00
288,60
1287,40
3001,44
3463,20
2464,20
279,66
370,44
2078,88
3168,00
2804,40
1242,30
195,36
1221,12
2090,88
2358,40
1548,80
300,12
150,48
Lampiran
L
6.
6 Contoh gaambar spesies dinoflag
gellata epibeentik yang ditemukan
d
d
di
ekosistem
m lamun Pullau Pari
Prorocentru
P
um rhathymuum
Sumber : dookumentasi pribadi
p
Pro
orocentrum concavum
Sum
mber : dokuumentasi prib
badi
Prorocentru
P
um lima
Sumber : dookumentasi pribadi
p
Pro
orocentrum compressum
m
Sum
mber : dokuumentasi prib
badi
Prorocentru
P
um emarginaatum
Sumber : dookumentasi pribadi
p
ambierdiscuss toxicus
Ga
Sum
mber : dokuumentasi prib
badi
Lampiran
L
6.
6 (Lanjutan
n)
Ostreopssis ovata
Sumber : dokumentaasi pribadi
Ostreopsis llenticularis
Sumber : dookumentasi pribadi
p
Amphidiinium carterrae
Sumber : dokumentaasi pribadi
Amphidinium
A
m klebsii
http://dinos.anesc.utokyyo.ac.jp/
planktton/descriptiion
m
Coolia monotis
http://diinos.anesc.uttokyo.ac.jp/pplankton/desscription
Lampiran 7. Contoh gambar fitoplankton yang ditemukan di ekosistem lamun
Pulau Pari
Cocconeis sp.
Sumber : dokumentasi
pribadi
Coscinodiscus sp.
Sumber : dokumentasi
pribadi
Climacosphenia sp.
Sumber : dokumentasi
pribadi
Nitzschia sp.
Diatoma sp.
Navicula sp.
Sumber : dokumentasi
Sumber : dokumentasi
Sumber : dokumentasi
pribadi
pribadi
pribadi
Rhabdonema sp.
Sumber : dokumentasi
Bacillaria sp.
Skeletonema sp.
Sumber : dokumentasi
pribadi
http://starcentral.mbl.edu/
microscope/portal.php
pribadi
Lampiran
L
7.
7 (Lanjutan
n)
Rhizzosolenia sp..
Sttriatella sp.
Diploneiss sp.
http://starcentral.mbl.edu/ htttp://starcenttral.mbl.edu// http://www
w.serc.si.
micrroscope/portaal.php
m
microscope/p
ortal.php
edu/labs/ph
hytoplankton/g
guide
mophora sp.
Am
mphiprora spp.
Amphora sp.
Licm
http://www.serc..si.edu/ htttp://www.seerc.si.edu/
w.serc.si.eduu/
http://www
labs//phytoplanktton/guide laabs/phytoplannkton/guide labs/phytooplankton/guuide
Prottoperidinium
m sp.
http:://dinos.anessc.utokyyo.ac.jp
D
Dinophysis sp.
s
http://dinos..anesc.utokyo.ac.jp
Gonyaulax sp.
http://dinoss.anesc.utokyo.ac.jp
p
Lampiran 8. Gambar lamun Enhalus acoroides
(a) Morfologi Enhalus acoroides
Sumber : dokumentasi pribadi
(b) Enhalus acoroides dalam transek kuadrat 50x50 cm2
Sumber : dokumentasi pribadi
Lampiran 9. Deskripsi spesies dinoflagellata epibentik (Fukuyo, 1981)
1. Prorocentrum lima
Panjang tubuh berkisar 30-40 µm dan lebar 26-30 µm. Bentuk tubuh ovoidal.
Batas tepi anterior berbentuk datar atau membentuk konkaf tanpa duri. Tubuhnya
terdiri dari dari dua katup yang berbeda bentuk dan berada di dekat lubang flagellar
dan delapan plat panjang. Kedua katup memiliki banyak pori trichocyst. Pirenoid
yang besar berada di bawah katup.
2. Prorocentrum rhathymum
Panjang tubuh berkisar 38-40 µm dan lebar 22-25 µm. Mempunyai satu duri kecil
anterior dengan sayap yang kecil berada di dekat rongga konkaf dan panjangnya
sekitar 2-3 µm. Tubuhnya berbentuk oval tampak dalam dan berbentuk ellipsoid
menuju oval jika tampak samping. Sudut anterior margin dan konkaf di bagian
tengah. Tubuhnya tertutup oleh dua katup besar dan tujuh atau delapan plat kecil yang
membentuk pori flagellar. Kedua katup memiliki banyak pori trichocyst. Selnya
memiliki nukleus pada setengah posterior.
3. Prorocentrum emarginatum
Panjang tubuh berkisar 35-36 µm dan lebar 32 µm. Sebuah duri yang kuat dengan
panjang 2 µm, tampak di belakang pada setengah bagian dari puncak sampai bawah
depresi. Badannya secara umum bisa dikatakan ovoidal jika tampak katup dan elips
jika tampak samping. Badannya tertutup oleh dua katup dan beberapa plat. Kedua
katup tersebut memiliki banyak pori trichocyst yang terletak secara radial dari tengah
dan tegak lurus ke margin katup. Kadang-kadang barisan dari pori tersebut tersusun
zig-zag atau membentuk 2 garis. Pada beberapa spesimen terdapat banyak depresi.
4. Prorocentrum concavum
Panjang tubuh berkisar 44-45 µm dan lebar 40 µm. Badan berbentuk ovoidal
tampak katup dan melebar di belakang bagian tengah. Margin anterior berbentuk
konkaf dari kedua sisi. Tidak ada duri. Tubuhnya tertutup oleh dua katup besar dan
delapan plat panjang yang membentuk dua pori. Kedua katup tersebut memiliki
depresi yang halus yang menutupi seluruh permukaan. Banyak pori trichocyst
menyebar di seluruh permukaan katup kecuali pada bagian tengah tetapi lebih padat
pada bagian margin. Dua pirenoid berbentuk kap berada pada tengah anterior dan
berada di bawah katup.
5. Prorocentrum compressum
Panjang tubuh berkisar 30-50 µm dan lebar 25-30 µm. Badan berbentuk oval
tampak katup dan berbentuk compress (mampat) jika tampak samping. Periflagellar
mempuyai lima karakteristik penonjolan anterior, dengan perluasan pada lempeng
periflagellar, seperti kerah (poros). Katup ditutupi oleh barisan pori datar yang
menyebar di sekitar depresi.
6. Ostreopsis lenticularis
Panjang tubuh dorsoventral berdiameter 60-100 µm dan transdiameter 45-80 µm.
Badannya lenticular, mengarah ke bawah dan berbentuk antero-posterior mampat
tanpa duri atau tanduk. Katup atas dan bawah hampir sama tingginya. Cingulum
terletak di bagian tengah badan. Semua plat thecal memiliki pori trichocyst dan
tambahan plat panjang yang tersebar. Badannya berisi kromatofor kecuali paruh
bawah (transparan). Nukleus yang besar dan beberapa vakuola besar merah terletak
pada bagian dorsal badan.
7. Ostreopsis ovata
Panjang tubuh dorsoventral berdiameter 50-56 µm dan transdiameter 25-35 µm.
Badannya oval dan langsing tanpa duri dan tanduk. Cingulum sempit dan dalam.
Panjang badan dan transdiameter hampir sama. Diameter dorsoventral hampir 2 kali
lebih besar dari transdiameter. Semua thecal mempunyai pori panjang yang sangat
lembut dan jika dilihat pada perbesaran rendah tampak seperti titik yang tersebar
secara jarang. Mempunyai kromatofor. Beberapa individu mempunyai vakuola
pigmen merah pada bagian dorsal dari badan.
8. Gambierdiscus toxicus
Panjang tubuh berukuran 24-60 µm, dengan transdiameter 42-140 µm dan
diameter dorsoventral 45-150 µm. Badannya membundar dan elpsoidal jika tampak
apical, mampat secara antero-posterior. Cingulumnya dalam, sempit dan menaik.
Kedua ujungnya masuk ke dalam rongga sulcus. Plat thecal memiliki banyak pori.
Mempunyai banyak kromatofor dan satu vakuola besar. Nucleus terletak di dorsal.
9. Coolia monotis
Panjang tubuh berukuran 23-40 µm, dengan transdiameter 21-38 µm dan diameter
dorsoventral 21-40µm. Badan kecil dan berbentuk seperti lensa. Apex mengarah ke
belakang, dan antapex dekat dengan daerah ventral. Epiteca agak sedikit lebih rendah
dari hipoteka. Cingulum dalam dan sempit, menaik oleh lebarnya tanpa menjalar.
Sulcusnya sempit, tertutupi oleh sayap yang keluar dari kedua sisinya. mempunyai
banyak kromatofor. Plat tecal tebal dan menghasilkan pori-pori kecil yang tersebar
jarang di seluruh permukaan tubuh.
10. Amphidinium carterae
Panjang tubuh berkisar 15-20 µm dan lebar 10-12 µm. Badannya mampat
dorsoventral, oval jika tampak katup, dan berbentuk elips jika tampak lateral.
Memiliki epicone kecil, berbentuk bulan sabit jika tampak bawah, kuat pada bagian
dasar dan datar pada bagian apex. Hipocone berbentuk ovoidal, dan mengkerucut
pada bagian anterior. Tubuhnya mengandung kromatofor besar berwarna kuning
keemasan, yang terletak di bawah periphery. Memiliki pirenoid di dekat persilangan
antara sulcus dan pelingkupnya. Nukleus terletak di antara pirenoid dan bagian
posterior dari hipocone.
11. Amphidinium klebsii
Panjang tubuh berkisar 25-53 µm dan lebar 13-32 µm. Badannya pipih
dorsoventral. Berbentuk ellipsoid sampai kuadrangular jika tampak bawah. Epicone
kecil, berbentuk bulan sabit jika tampak bawah/ventral, ramping pada bagian bawah
dan menggembung pada bagian apex. Pada bagian tengah anterior dari hipocone
terdapat partikel kecil yang tidak berwarna. Mempunyai kromatofor berwarna coklat
berbentuk batang yang meluas sampai ke periphery. Nukleus terletak pada bagian
setengah posterior pada hipocone.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur pada tanggal 30
Mei 1986. Penulis merupakan anak ke-empat dari empat
bersaudara, dari pasangan Drs. Ruslan Sukendro dan Susminiati,
S.Pd.
Lulus dari SMU Negeri 2 Lamongan pada tahun 2004,
penulis langsung melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu
Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Kelautan (HIMITEKA) sebagai pengurus Divisi Pengembangan Sumber Daya
Manusia tahun 2005-2006 dan pengurus Divisi Kewirausahaan tahun 2006-2007. Penulis
juga aktif sebagai Asisten mata kuliah Oseanografi Kimia tahun 2007-2008. Selain itu
penulis juga ikut aktif dalam Paduan Suara Fakultas, ‘Endevour’ tahun 2005-2007.
Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis menyusun skripsi dengan judul ”Kelimpahan
Dinoflagellata Epibentik pada Lamun Enhalus acoroides (L.F)
Royle dalam Kaitannya dengan Parameter Fisika-Kimia di Ekosistem
Lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta”, di bawah bimbingan Dr. Ir.
Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Ir. Tumpak Sidabutar, M.Sc.
Download