PERMUKIMAN – PERUMAHAN UU NO. 1 TAHUN 2011

advertisement
PERMUKIMAN – PERUMAHAN
UU NO. 1 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN
ABSTRAK
:
Bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan
kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat
melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis
kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan
fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang
mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi,
otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti.
Dasar hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4), Pasal 33 ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum;
2. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup;
3. Pembinaan;
4. Tugas dan Wewenang;
5. Penyelenggaraan Perumahan;
6. Penyelenggaraan Kawasan Permukiman;
7. Pemeliharaan dan Perbaikan;
8. Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh;
9. Penyediaan Tanah;
10. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan;
11. Hak dan Kewajiban;
12. Peran Masyarakat;
13. Larangan;
14. Penyelesaian Sengketa;
15. Sanksi Administratif;
16. Ketentuan Pidana;
17. Ketentuan Peralihan;
18. Ketentuan Penutup.
STATUS
:
- Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
- Diundangkan pada tanggal 12 Januari 2011.
PARTAI POLITIK – PERUBAHAN
UU NO. 2 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG PARTAI POLITIK
ABSTRAK
:
Bahwa dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang
efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran
Partai Politik; bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
perlu diubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat.
Dasar hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28,
Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perubahan beberapa ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
yaitu sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah;
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta pada ayat (4)
ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m;
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah;
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah;
5. Ketentuan Pasal 5 diubah;
6. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah;
7. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a);
8. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah;
9. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta ayat (2) diubah, dan di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a);
10. Ketentuan Pasal 32 diubah;
11. Ketentuan Pasal 33 ayat (1) diubah;
12. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a)
dan ayat (3b) serta ayat (4) diubah;
13. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A;
14. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah;
15. Ketentuan Pasal 39 diubah;
16. Ketentuan Pasal 45 diubah;
17. Ketentuan Pasal 47 ayat (1) diubah; dan
18. Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dihapus, di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), dan
ayat (1c).
STATUS
:
- Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
- Diundangkan pada tanggal 15 Januari 2011.
TRANSFER DANA
UU NO. 3 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG TRANSFER DANA
ABSTRAK
:
-
bahwa kegiatan transfer dana di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari
jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media transfer dana yang
digunakan, seiring dengan peningkatan transaksi transfer tersebut timbul permasalahan
yang terjadi, sehingga diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran
transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam
penyelenggaraan kegiatan transfer dana agar penyelenggaraan transfer dana yang aman,
lancar, dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan
kelancaran sistem pembayaran nasional;
‐
Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23D UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; UU No. 7 Tahun 1992; UU No. 23 Tahun 1999; UU No. 11
Tahun 2008; UU No. 8 Tahun 2010.
‐
Undang-Undang ini mengatur tentang:
Transfer Dana, dengan sistematika sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
2. Pelaksanaan Transfer Dana
3. Pembatalan Dan Perubahan Transfer Dana
4. Pengembalian Dana
5. Keterlambatan Dan Kekeliruan Transfer Dana Serta Tanggung Jawab Penyelenggara
Penerima
6. Pelaksanaan Transfer Debit
7. Biaya Transfer Dana
8. Perizinan Penyelenggara Transfer Dana
9. Pengaturan Kompensasi Berdasarkan Prinsip Syariah
10. Pemantauan
11. Alat Bukti dan Beban Pembuktian
12. Ketentuan Pidana
13. Ketentuan Peralihan
14. Ketentuan Penutup
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
Ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2011.
STATUS
:
‐
CATATAN
:
Meningkatnya arus transaksi perpindahan Dana yang terus menunjukkan peningkatan tidak
saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya merupakan
cerminan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian nasional dan iklim usaha di
Indonesia. Faktor utama dalam Transfer Dana yaitu faktor kelancaran dan kenyamanan
dalam pelaksanaan Transfer Dana, dan faktor kepastian dan pelindungan hukum bagi para
pihak terkait. Untuk mewujudkan upaya tersebut dan dalam rangka mencapai tujuan akhir
untuk menjaga keamanan dan kelancaran sistem pembayaran, perlu adanya peraturan yang
komprehensif tentang kegiatan Transfer Dana.
INFORMASI GEOSPASIAL
UU NO. 4 TAHUN 2011
2011
UNDANG – UNDANG TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL
ABSTRAK
:
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan segala kekayaan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang harus dikelola dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab untuk
menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di
masa kini maupun di masa mendatang. Dalam mengelola sumber daya
alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya
diperlukan informasi geospasial. Agar informasi geospasial dapat
terselenggara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna
sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum,
maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipandang perlu untuk
membentuk Undang-Undang tentang Informasi Geospasial.
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F, dan
Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Informasi Geospasial.
STATUS
:
CATATAN
:
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Diundangkan pada tanggal 21 April 2011.
• Hadirnya UU Informasi Geospasial merupakan satu jaminan yang
melengkapi hak dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan
kualitas pribadi dan kualitas lingkungan sosial.
• Lahirnya Undang-Undang Geospasial juga turut mendukung
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya di negeri
ini bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, di masa kini dan
masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945.
• Dalam undang-undang ini diatur mengenai apa itu data geospasial,
distribusi, bagaimana perlindungan dari penyalah gunaan data ini,
serta jaminan bagi Masyarakat untuk mendapatkan data ini secara
terbuka dan validitas yang teruji.
KEIMIGRASIAN
UU NO. 6 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN
ABSTRAK
:
Bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan
penegakan kedaulatan atas Wilayah Indonesia. Seiring meningkatnya
mobilitas penduduk dunia yang dapat menimbulkan berbagai dampak,
baik yang menguntungkan maupun yang merugikan bangsa maka
diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin
kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan
pemajuan hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
tentang Keimigrasian sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi
berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan
pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti
dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu
menjawab tantangan yang ada.
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal
28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum
2. Pelaksanaan Fungsi Keimigrasian
3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia
4. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
5. Visa, Tanda Masuk, dan Izin Tinggal
6. Pengawasan Keimigrasian
7. Tindakan Administratif Keimigrasian
8. Rumah Detensi Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi Pencegahan
dan Penangkalan
9. Penyidikan
10. Ketentuan Pidana
11. Biaya
12. Ketentuan Lain-lain
13. Ketentuan Peralihan
14. Ketentuan Penutup
STATUS
:
Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 9 Tahun 1992
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Diundangkan pada tanggal 5 Mei 2011
APBN 2011 - PEMBENTUKAN
UU NO. 11 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011
ABSTRAK
:
Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun
Anggaran 2011 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
negara, dan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2011, telah terjadi berbagai perkembangan dan perubahan
yang berdampak pada berbagai indikator ekonomi yang berpengaruh
pada pokok-pokok kebijakan fiskal dan pelaksanaan APBN Tahun
Anggaran 2011. Untuk mengatasi hal tersebut dan dalam rangka
mengamankan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2011, dipandang
perlu dilakukan penyesuaian atas berbagai sasaran pendapatan negara,
belanja negara, defisit anggaran, serta kebutuhan dan sumber-sumber
pembiayaan anggaran. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2011 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama
Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPD
Nomor 52/DPDRI/IV/2010-2011 tanggal 15 Juli 2011.
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan ayat (4), Pasal
31 ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1),ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Nomor 17
Tahun 2003; UU Nomor 27 Tahun 2009; dan UU Nomor 10 Tahun
2010
Undang-Undang ini mengatur tentang :
1. Pasal 1 angka 18, angka 21, angka 28, angka 31 dan angka 41
diubah, di antara angka 29 dan angka 30 disisipkan 1 (satu) angka
yakni angka 29a.
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) diubah, ayat (2) huruf a
angka 3 dihapus, dan ayat (2) huruf b diubah, ayat (4) tetap, dan
penjelasan ayat (4) diubah
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (2), ayat (4), ayat (8), dan ayat (9) diubah,
ayat (10) tetap, dan penjelasan ayat (10) diubah
5. Ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah
6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6)
diubah
7. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) diubah, di antara ayat (1)
dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), ayat (2) tetap,
dan penjelasan ayat (2) diubah
8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), ayat (2) tetap, dan
penjelasan ayat (2) diubah
9. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a)
10. Ketentuan Pasal 12 diubah
11. Ketentuan Pasal 13 diubah
12. Ketentuan Pasal 14 diubah
13. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah
14. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah
15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b), dan
ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6)
16. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) diubah
17. Ketentuan Pasal 26 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) diubah,
ayat (5) dihapus, penjelasan ayat (4), dan ayat (6) diubah, ayat (13)
tetap, dan penjelasan ayat (13) diubah
18. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf b ditambah 1 (satu) angka yakni
angka 7, dan ayat (3) diubah, setelah ayat (10) ditambah 2 (dua)
ayat yakni ayat 11 dan ayat 12
19. Ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah
20. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) diubah, ayat (3) tetap, dan
penjelasan ayat (3) diubah
21. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni
Pasal 29A
22. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) diubah
23. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni
Pasal 36A
STATUS
:
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2011
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN – PEMBENTUKAN
UU NO. 12 TAHUN 2010
2010
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
ABSTRAK
:
Bahwa sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan
pembangunan hukum yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan dalam sistem hukum nasional berdasarkan UUD Tahun
1945, dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan
perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan
dengan cara
dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua
lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri sebelumnya diatur
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dipandang masih
terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan
kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti, sehingga
dipandang perlu untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan
yang baru.
Dasar Hukum : Pasal 20, pasal 21 dan pasal 22A Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum
2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
4. Perencanaan Peraturan Perundang-undangan
5. Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
6. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan
7. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang
8. Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
dan Daerah Peraturan Kabupaten/Kota
9. Pengundangan
10. Penyebarluasan
11. Partisipasi Masyarakat
12. Ketentuan Lain-lain
13. Ketentuan Penutup
STATUS
:
Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 10 Tahun 2004
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011
PENANGANAN FAKIR MISKIN
UU NO. 13 TAHUN 2010
2010
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN
ABSTRAK
:
Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk
memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak
bagi kemanusiaan. Sehingga diperlukan kebijakan pembangunan
nasional yang berpihak pada fakir miskin secara terencana, terarah, dan
berkelanjutan. Dimana pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan
dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, sehingga diperlukan suatu pengaturan
penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi
Dasar Hukum : Pasal 20, pasal 21, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
33 ayat (3) dan ayat (4) dan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta UU No. 11 Tahun 2009
Undang-Undang ini mengatur tentang :
1. Ketentuan Umum
2. Hak dan Tanggung Jawab
3. Penanganan Fakir Miskin
4. Tugas dan Wewenang
5. Sumber Daya
6. Koordinasi dan Pengawasan
7. Peran Serta Masyarakat
8. Ketentuan pidana
9. Ketentuan Penutup
STATUS
:
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan
Diundangkan pada tanggal 18 Agustus 2011
PEMILU – PENYELENGGARA
UU NO. 15 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
ABSTRAK
STATUS
:
:
-
Bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat
menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan
umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas;
bahwa dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum
sebagaimana dimaksud pada huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, perlu diganti.
–
Dasar hukum : Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 19
ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
–
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum;
2. Asas Penyelenggara Pemilu;
3. KPU;
4. Pengawas Pemilu;
5. DKPP;
6. Keuangan;
7. Peraturan dan Keputusan Penyelenggara Pemilu;
8. Ketentuan Lain-lain;
9. Ketentuan Peralihan;
10. Ketentuan Penutup.
-
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
-
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4721) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
-
Diundangkan pada tanggal 16 Oktober 2011.
BANTUAN HUKUM – BANTUAN HUKUM
UU NO. 16 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM
ABSTRAK : -
bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana
perlindungan hak asasi manusia, untuk memperoleh hal tersebut negara
bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang
miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan, dan pengaturan
mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus
berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan.
‐
Dasar hukum: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang‐
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ‐
Undang‐undang ini mengatur tentang: Bantuan Hukum STATUS
: ‐
Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan
Ditetapkan pada tanggal 2 November 2011 CATATAN : Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara
merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi
negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi
warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan
kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Bantuan Hukum
adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara
cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah
hukum. Penerima bantuan hukum merupakan orang atau kelompok orang
miskin, dan pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau
organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum.
Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk:
a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d. mewujudkan peradilan dipertanggungjawabkan. yang efektif, efisien, dan dapat INTELIJEN – INTELIJEN NEGARA
UU NO. 17 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG INTELIJEN NEGARA
ABSTRAK : -
bahwa sejalan dengan perubahan, perkembangan situasi, dan
kondisi lingkungan strategis, perlu melakukan deteksi dini dan
peringatan dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman, baik
dari dalam negeri maupun luar negeri yang bersifat kompleks
serta memiliki spektrum yang sangat luas, demi terwujudnya
tujuan nasional negara yang melindungi segenap bangsa
Indonesia, sehingga penting untuk melakukan deteksi dini dan
peringatan dini yang mampu mendukung upaya menangkal
segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan untuk
melakukan deteksi dini dan peringatan dini untuk mencegah
terjadinya pendadakan dari berbagai ancaman, diperlukan
Intelijen Negara yang tangguh dan profesional, serta penguatan
kerja sama dan koordinasi Intelijen Negara dengan menghormati
hukum, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia. Dalam
penyelenggaraan Intelijen Negara sebagai lini pertama dari
sistem keamanan nasional perlu adanya suatu kepastian hukum
dan sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga
perlu dibentuk Undang-Undang tentang Intelijen Negara;
‐
Dasar hukum: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ‐
Undang‐undang ini mengatur tentang: Intelijen Negara STATUS
: ‐
Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan
Ditetapkan pada tanggal 7 November 2011 CATATAN : Keamanan nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk menjamin keselamatan,
kedamaian, dan kesejahteraan warga negara, masyarakat, dan bangsa,
terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta
keberlangsungan pembangunan nasional dari segala ancaman.
Identifikasi dan analisis terhadap ancaman harus dilakukan secara
komprehensif, baik dari aspek sumber, sifat dan bentuk,
kecenderungan, maupun yang sesuai dengan dinamika kondisi
lingkungan strategis. Upaya untuk melakukan penilaian terhadap
ancaman tersebut dapat terwujud dengan baik apabila Intelijen
Negara sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang
merupakan lini pertama mampu melakukan deteksi dini dan
peringatan dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman, baik
yang potensial maupun aktual. Intelijen Negara bagian integral dari
sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk
menyelenggarakan fungsi dan melakukan aktivitas Intelijen
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan fungsi dan kegiatan Intelijen meliputi penyelidikan,
pengamanan, dan penggalangan menggunakan metode kerja, seperti
pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan (surreptitious
entry), penyadapan, pencegahan dan penangkalan dini, serta
propaganda dan perang urat syaraf. Penyelenggara Intelijen Negara
terdiri atas penyelenggara Intelijen Negara yang bersifat nasional
(Badan Intelijen Negara), penyelenggara Intelijen alat negara, serta
penyelenggara
Intelijen
kementerian/lembaga
pemerintah
nonkementerian. Untuk mewujudkan sinergi terhadap seluruh
penyelenggara Intelijen Negara dan menyajikan Intelijen yang
integral dan komprehensif, penyelenggaraan Intelijen Negara
dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara.
Keberadaan dan aktivitas Intelijen Negara tidak terlepas dari
persoalan kerahasiaan. Dalam Undang-Undang ini, Rahasia Intelijen
merupakan bagian dari rahasia negara yang memiliki Masa Retensi.
Guna menunjang aktivitas Intelijen bertindak cepat, tepat, dan akurat,
Badan Intelijen Negara diberikan wewenang untuk melakukan
penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi
terhadap Setiap Orang yang berkaitan dengan kegiatan terorisme,
separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keamanan,
kedaulatan, dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
KOMISI YUDISIAL – PERUBAHAN
UU NO. 18 TAHUN 2011
2011
UNDANG – UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22
TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL.
ABSTRAK
:
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum
yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha
mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan
pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan
mengenai Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagian sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan pertimbangan tersebut
dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Dasar Hukum
: Pasal 20, Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B
Undang-UUD Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, dengan sistimatika sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah;
2. Ketentuan Pasal 3 diubah;
3. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah;
4. Ketentuan Pasal 11 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3);
5. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) diubah;
6. Ketentuan Pasal 13 diubah;
7. Ketentuan Pasal 18 diubah;
8. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 19A;
9. Ketentuan Pasal 20 diubah;
10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni
Pasal 20A;
11. Pasal 21 dihapus;
12. Ketentuan Pasal 22 diubah;
13. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni
Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal
22F, dan Pasal 22G;
14. Pasal 23 dihapus;
15. Pasal 24 dihapus;
16. Ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) diubah;
17. Ketentuan Bagian Pertama Pengangkatan diubah;
18. Ketentuan Pasal 26 diubah;
19. Ketentuan Pasal 28 diubah;
20. Ketentuan Pasal 29 diubah;
21. Ketentuan Pasal 37 diubah;
22. Ketentuan Pasal 38 ayat (3) diubah;
23. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni
Pasal 40A dan Pasal 40B;
STATUS
:
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Diundangkan pada tanggal 9 November 2011.
KONVENSI – PENGESAHAN
UU NO. 19 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF
PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG
DISABILITAS)
ABSTRAK : -
bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York,
dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hakhak penyandang disabilitas, sebagai upaya menghormati dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga perlindungan dan pemajuan
hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang
disabilitas perlu ditingkatkan;
‐
Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 37 Tahun 1999; UU No. 24 Tahun 2000; UU No. 17 Tahun 2003. ‐
Undang‐undang ini mengatur tentang: Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak‐hak Penyandang Disabilitas) STATUS
: -
Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan
‐
Ditetapkan pada tanggal 10 November 2011 CATATAN : Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa
telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang
Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan
menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan
konvensi ini. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak
Penyandang
Disabilitas),
penandatanganan
tersebut
menunjukan
kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi,
dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya
diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin
kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang
disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas
sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity).
RUMAH SUSUN
UU NO. 20 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SUSUN
ABSTRAK
STATUS
:
:
-
Bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dalam
penyelenggaraan perumahan melalui rumah susun yang layak bagi kehidupan yang
sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia; serta negara
berkewajiban memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat
berpenghasilan rendah; bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap
orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam
penyelenggaraan rumah susun sehingga perlu diganti;
–
Dasar hukum :Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 1 Tahun
2011.
–
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum;
2. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup;
3. Pembinaan;
4. Perencanaan;
5. Pembangunan;
6. Penguasaan, Pemilikan, dan Pemanfaatan;
7. Pengelolaan;
8. Peningkatan Kualitas;
9. Pengendalian;
10. Kelembagaan;
11. Tugas dan Wewenang;
12. Hak dan Kewajiban;
13. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan;
14. Peran Masyarakat;
15. Larangan;
16. Penyelesaian Sengketa;
17. Sanksi Administratif;
18. Ketentuan Pidana;
19. Ketentuan Penutup.
-
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan;
-
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku;
-
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan
pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini;
-
Diundangkan pada tanggal 10 November 2011.
OTORITAS JASA KEUANGAN – UNDANG-UNDANG
UU NO. 21 TAHUN 2011
2011
UNDANG-UNDANG TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN
ABSTRAK
:
- Bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sector jasa
keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan
akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen
dan masyarakat.
- Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas, diperlukan
otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel.
- Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33UUD 1945; UU No.
23 Tahun 1999.
- Undang-undang ini mengatur:
1. Ketentuan Umum;
2. Pembentukan, Status , dan Tempat Kedudukan;
3. Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang;
4. Dewan Komisioner;
5. Organisasi Kepegawaian;
6. Perlindungan Konsumen dan Masyarakat;
7. Kode Etik dan Kerahasiaan Informasi;
8. Rencana Kerja dan Anggaran;
9. Pelaporan dan Akuntabilitas;
10. Hubungan Kelembagaan;
11. Penyidikan;
12. Ketentuan Pidana;
13. Ketentuan Peralihan;
14. Ketentuan Penutup;
STATUS
:
- Mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
- Ditetapkan pada tanggal 22 November 2011.
KETERANGAN
:
-
-
-
-
-
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan
bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam UU OJK;
Pimpinan tertinggi OJK adalah Dewan Komisioner yang bersifat
kolektif dan kolegial;
Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di
sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya;
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan
jasa keuangan di sektor Perbankan; Pasar Modal; dan Peransuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan
Lainnya.
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian , Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri keuangan dan
Badan Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK;
Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan
beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
UU NO. 24 TAHUN 2011
2011
UNDANG – UNDANG TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
ABSTRAK
:
Bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional yang merupakan program Negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat. Untuk mewujudkan Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu dibentuk badan
penyelenggara yang berbentuk badan hukum dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana
amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang
yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat
terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan tersebut dipandang perlu membentuk Undang-Undang
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Dasar Hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945; UU Nomor 40 Tahun 2004.
Undang-Undang ini mengatur tentang :
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dengan sistimatika sebagai berikut :
1. Ketentuan Umum;
2. Pembentukan dan Ruang Lingkup;
3. Status Dan Tempat Kedudukan;
4. Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak, Dan Kewajiban;
5. Pendaftaran Peserta dan Pembayaran Iuran;
6. Organ BPJS;
7. Persyaratan, Tata Cara Pemilihan Dan Penetapan, Dan Pemberhentian Anggota
Dewan Pengawas Dan Anggota Direksi;
8. Pertanggungjawaban;
9. Pengawasan;
10. Aset;
11. Pembubaran BPJS;
12. Penyelesaian Sengketa;
13. Hubungan Dengan Lembaga Lain;
14. Larangan;
15. Ketentuan Pidana;
16. Ketentuan Lain-Lain;
17. Ketentuan Peralihan; dan
18. Ketentuan Penutup.
STATUS
:
Mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Diundangkan pada tanggal 25 November 2011.
CATATAN
:
Pada Bab VIII tentang Pertanggungjawaban Pasal 37 ayat (1) diatur bahwa
BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam
bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahuan yang telah diaudit
oleh Akuntan Publik, kepada Presiden dengan tmbusan kepada Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.
Pada Bab IX tentang Pengawasan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur bahwa
Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara ekternal dan internal.
Pengawasan Internal BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS, yang terdiri atas :
1. Dewan Pengawas; dan
2. Satuan pengawas internal.
Pengawasan Eksternal BPJS , dilakukan oleh :
1. DJSN; dan
2. Lembaga pengawas independen.
Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (3) dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan Lembaga
Pengawas Independen adalah Otoritas Jasa Keuangan, dan dalam hal tertentu sesuai
dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan.
Pada Bab X tentang Aset Pasal 41 ayat (1) disebutkan bahwa Aset BPJS bersumber dari
:
1. Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan
tidak terbagi atas saham;
2. Hasil pengalihan asset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program
jaminan sosial;
3. Hasil pengembangan asset BPJS;
4. Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau
5. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Aset BPJS dapat digunakan untuk :
1. Biaya operasional penyelenggaraan Program Jaminan Sosial;
2. Biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional
penyelenggaraan Jaminan Sosial;
3. Biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan
4. Investasi dalam instrument investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42 diatur bahwa modal awal untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
ditetapkan masing-masing dua triliun yang bersumber dari APBN.
Download