PERMUKIMAN – PERUMAHAN UU NO. 1 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN ABSTRAK : Bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti. Dasar hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini mengatur tentang : Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut: 1. Ketentuan Umum; 2. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup; 3. Pembinaan; 4. Tugas dan Wewenang; 5. Penyelenggaraan Perumahan; 6. Penyelenggaraan Kawasan Permukiman; 7. Pemeliharaan dan Perbaikan; 8. Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh; 9. Penyediaan Tanah; 10. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan; 11. Hak dan Kewajiban; 12. Peran Masyarakat; 13. Larangan; 14. Penyelesaian Sengketa; 15. Sanksi Administratif; 16. Ketentuan Pidana; 17. Ketentuan Peralihan; 18. Ketentuan Penutup. STATUS : - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Diundangkan pada tanggal 12 Januari 2011. PARTAI POLITIK – PERUBAHAN UU NO. 2 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK ABSTRAK : Bahwa dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik; bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik perlu diubah sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan masyarakat. Dasar hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22E ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28J UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini mengatur tentang : Perubahan beberapa ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yaitu sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah; 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (5) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) serta pada ayat (4) ditambahkan 4 (empat) huruf yakni huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf m; 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e diubah; 4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah; 5. Ketentuan Pasal 5 diubah; 6. Ketentuan Pasal 16 ayat (2) diubah; 7. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 19 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a); 8. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) diubah; 9. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta ayat (2) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a); 10. Ketentuan Pasal 32 diubah; 11. Ketentuan Pasal 33 ayat (1) diubah; 12. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 34 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b) serta ayat (4) diubah; 13. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A; 14. Ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf c diubah; 15. Ketentuan Pasal 39 diubah; 16. Ketentuan Pasal 45 diubah; 17. Ketentuan Pasal 47 ayat (1) diubah; dan 18. Ketentuan Pasal 51 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat (1c). STATUS : - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Diundangkan pada tanggal 15 Januari 2011. TRANSFER DANA UU NO. 3 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG TRANSFER DANA ABSTRAK : - bahwa kegiatan transfer dana di Indonesia telah menunjukkan peningkatan, baik dari jumlah transaksi, jumlah nilai nominal transaksi, maupun jenis media transfer dana yang digunakan, seiring dengan peningkatan transaksi transfer tersebut timbul permasalahan yang terjadi, sehingga diperlukan pengaturan yang menjamin keamanan dan kelancaran transaksi transfer dana serta memberikan kepastian bagi pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan transfer dana agar penyelenggaraan transfer dana yang aman, lancar, dan memberikan kepastian bagi pihak terkait diharapkan dapat mewujudkan kelancaran sistem pembayaran nasional; ‐ Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 7 Tahun 1992; UU No. 23 Tahun 1999; UU No. 11 Tahun 2008; UU No. 8 Tahun 2010. ‐ Undang-Undang ini mengatur tentang: Transfer Dana, dengan sistematika sebagai berikut: 1. Ketentuan Umum 2. Pelaksanaan Transfer Dana 3. Pembatalan Dan Perubahan Transfer Dana 4. Pengembalian Dana 5. Keterlambatan Dan Kekeliruan Transfer Dana Serta Tanggung Jawab Penyelenggara Penerima 6. Pelaksanaan Transfer Debit 7. Biaya Transfer Dana 8. Perizinan Penyelenggara Transfer Dana 9. Pengaturan Kompensasi Berdasarkan Prinsip Syariah 10. Pemantauan 11. Alat Bukti dan Beban Pembuktian 12. Ketentuan Pidana 13. Ketentuan Peralihan 14. Ketentuan Penutup Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; Ditetapkan pada tanggal 23 Maret 2011. STATUS : ‐ CATATAN : Meningkatnya arus transaksi perpindahan Dana yang terus menunjukkan peningkatan tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya merupakan cerminan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian nasional dan iklim usaha di Indonesia. Faktor utama dalam Transfer Dana yaitu faktor kelancaran dan kenyamanan dalam pelaksanaan Transfer Dana, dan faktor kepastian dan pelindungan hukum bagi para pihak terkait. Untuk mewujudkan upaya tersebut dan dalam rangka mencapai tujuan akhir untuk menjaga keamanan dan kelancaran sistem pembayaran, perlu adanya peraturan yang komprehensif tentang kegiatan Transfer Dana. INFORMASI GEOSPASIAL UU NO. 4 TAHUN 2011 2011 UNDANG – UNDANG TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL ABSTRAK : Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan segala kekayaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dikelola dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab untuk menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, baik di masa kini maupun di masa mendatang. Dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya diperlukan informasi geospasial. Agar informasi geospasial dapat terselenggara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipandang perlu untuk membentuk Undang-Undang tentang Informasi Geospasial. Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 25A, Pasal 28F, dan Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Undang-Undang ini mengatur tentang : Informasi Geospasial. STATUS : CATATAN : Mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Diundangkan pada tanggal 21 April 2011. • Hadirnya UU Informasi Geospasial merupakan satu jaminan yang melengkapi hak dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas lingkungan sosial. • Lahirnya Undang-Undang Geospasial juga turut mendukung pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya di negeri ini bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, di masa kini dan masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. • Dalam undang-undang ini diatur mengenai apa itu data geospasial, distribusi, bagaimana perlindungan dari penyalah gunaan data ini, serta jaminan bagi Masyarakat untuk mendapatkan data ini secara terbuka dan validitas yang teruji. KEIMIGRASIAN UU NO. 6 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN ABSTRAK : Bahwa Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas Wilayah Indonesia. Seiring meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang dapat menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan bangsa maka diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi berbagai perkembangan kebutuhan pengaturan, pelayanan, dan pengawasan di bidang Keimigrasian sehingga perlu dicabut dan diganti dengan undang-undang baru yang lebih komprehensif serta mampu menjawab tantangan yang ada. Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini mengatur tentang : 1. Ketentuan Umum 2. Pelaksanaan Fungsi Keimigrasian 3. Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia 4. Dokumen Perjalanan Republik Indonesia 5. Visa, Tanda Masuk, dan Izin Tinggal 6. Pengawasan Keimigrasian 7. Tindakan Administratif Keimigrasian 8. Rumah Detensi Imigrasi dan Ruang Detensi Imigrasi Pencegahan dan Penangkalan 9. Penyidikan 10. Ketentuan Pidana 11. Biaya 12. Ketentuan Lain-lain 13. Ketentuan Peralihan 14. Ketentuan Penutup STATUS : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 9 Tahun 1992 Mulai berlaku pada tanggal diundangkan Diundangkan pada tanggal 5 Mei 2011 APBN 2011 - PEMBENTUKAN UU NO. 11 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANGUNDANG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011 ABSTRAK : Bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2011 disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara, dan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011, telah terjadi berbagai perkembangan dan perubahan yang berdampak pada berbagai indikator ekonomi yang berpengaruh pada pokok-pokok kebijakan fiskal dan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2011. Untuk mengatasi hal tersebut dan dalam rangka mengamankan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2011, dipandang perlu dilakukan penyesuaian atas berbagai sasaran pendapatan negara, belanja negara, defisit anggaran, serta kebutuhan dan sumber-sumber pembiayaan anggaran. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPD Nomor 52/DPDRI/IV/2010-2011 tanggal 15 Juli 2011. Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), dan ayat (4), Pasal 31 ayat (4) dan Pasal 33 ayat (1),ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Nomor 17 Tahun 2003; UU Nomor 27 Tahun 2009; dan UU Nomor 10 Tahun 2010 Undang-Undang ini mengatur tentang : 1. Pasal 1 angka 18, angka 21, angka 28, angka 31 dan angka 41 diubah, di antara angka 29 dan angka 30 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 29a. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah 3. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) diubah, ayat (2) huruf a angka 3 dihapus, dan ayat (2) huruf b diubah, ayat (4) tetap, dan penjelasan ayat (4) diubah 4. Ketentuan Pasal 4 ayat (2), ayat (4), ayat (8), dan ayat (9) diubah, ayat (10) tetap, dan penjelasan ayat (10) diubah 5. Ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah 6. Ketentuan Pasal 6 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diubah 7. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), ayat (2) tetap, dan penjelasan ayat (2) diubah 8. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), ayat (2) tetap, dan penjelasan ayat (2) diubah 9. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) 10. Ketentuan Pasal 12 diubah 11. Ketentuan Pasal 13 diubah 12. Ketentuan Pasal 14 diubah 13. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah 14. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah 15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b), dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6) 16. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dan ayat (3) diubah 17. Ketentuan Pasal 26 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) diubah, ayat (5) dihapus, penjelasan ayat (4), dan ayat (6) diubah, ayat (13) tetap, dan penjelasan ayat (13) diubah 18. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) huruf b ditambah 1 (satu) angka yakni angka 7, dan ayat (3) diubah, setelah ayat (10) ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat 11 dan ayat 12 19. Ketentuan Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah 20. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) diubah, ayat (3) tetap, dan penjelasan ayat (3) diubah 21. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 29A 22. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) diubah 23. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 36A STATUS : Mulai berlaku pada tanggal diundangkan Diundangkan pada tanggal 10 Agustus 2011 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN – PEMBENTUKAN UU NO. 12 TAHUN 2010 2010 UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ABSTRAK : Bahwa sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional berdasarkan UUD Tahun 1945, dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan sendiri sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang dipandang masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti, sehingga dipandang perlu untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan yang baru. Dasar Hukum : Pasal 20, pasal 21 dan pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini mengatur tentang : 1. Ketentuan Umum 2. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 3. Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan 4. Perencanaan Peraturan Perundang-undangan 5. Penyusunan Peraturan Perundang-undangan 6. Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan 7. Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-undang 8. Pembahasan dan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Daerah Peraturan Kabupaten/Kota 9. Pengundangan 10. Penyebarluasan 11. Partisipasi Masyarakat 12. Ketentuan Lain-lain 13. Ketentuan Penutup STATUS : Mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 10 Tahun 2004 Mulai berlaku pada tanggal diundangkan Diundangkan pada tanggal 12 Agustus 2011 PENANGANAN FAKIR MISKIN UU NO. 13 TAHUN 2010 2010 UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN ABSTRAK : Bahwa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Sehingga diperlukan kebijakan pembangunan nasional yang berpihak pada fakir miskin secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Dimana pengaturan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar bagi fakir miskin masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga diperlukan suatu pengaturan penanganan fakir miskin yang terintegrasi dan terkoordinasi Dasar Hukum : Pasal 20, pasal 21, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) dan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta UU No. 11 Tahun 2009 Undang-Undang ini mengatur tentang : 1. Ketentuan Umum 2. Hak dan Tanggung Jawab 3. Penanganan Fakir Miskin 4. Tugas dan Wewenang 5. Sumber Daya 6. Koordinasi dan Pengawasan 7. Peran Serta Masyarakat 8. Ketentuan pidana 9. Ketentuan Penutup STATUS : Mulai berlaku pada tanggal diundangkan Diundangkan pada tanggal 18 Agustus 2011 PEMILU – PENYELENGGARA UU NO. 15 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM ABSTRAK STATUS : : - Bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum yang dapat menjamin pelaksanaan hak politik masyarakat dibutuhkan penyelenggara pemilihan umum yang profesional serta mempunyai integritas, kapabilitas, dan akuntabilitas; bahwa dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada huruf b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, perlu diganti. – Dasar hukum : Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. – Undang-Undang ini mengatur tentang : Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut: 1. Ketentuan Umum; 2. Asas Penyelenggara Pemilu; 3. KPU; 4. Pengawas Pemilu; 5. DKPP; 6. Keuangan; 7. Peraturan dan Keputusan Penyelenggara Pemilu; 8. Ketentuan Lain-lain; 9. Ketentuan Peralihan; 10. Ketentuan Penutup. - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; - Diundangkan pada tanggal 16 Oktober 2011. BANTUAN HUKUM – BANTUAN HUKUM UU NO. 16 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG BANTUAN HUKUM ABSTRAK : - bahwa negara menjamin hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia, untuk memperoleh hal tersebut negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan, dan pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan. ‐ Dasar hukum: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) Undang‐ Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ‐ Undang‐undang ini mengatur tentang: Bantuan Hukum STATUS : ‐ Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan Ditetapkan pada tanggal 2 November 2011 CATATAN : Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum yang menghadapi masalah hukum. Penerima bantuan hukum merupakan orang atau kelompok orang miskin, dan pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum. Penyelenggaraan Bantuan Hukum bertujuan untuk: a. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; b. mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; c. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan d. mewujudkan peradilan dipertanggungjawabkan. yang efektif, efisien, dan dapat INTELIJEN – INTELIJEN NEGARA UU NO. 17 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG INTELIJEN NEGARA ABSTRAK : - bahwa sejalan dengan perubahan, perkembangan situasi, dan kondisi lingkungan strategis, perlu melakukan deteksi dini dan peringatan dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang bersifat kompleks serta memiliki spektrum yang sangat luas, demi terwujudnya tujuan nasional negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia, sehingga penting untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini yang mampu mendukung upaya menangkal segala bentuk ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan untuk melakukan deteksi dini dan peringatan dini untuk mencegah terjadinya pendadakan dari berbagai ancaman, diperlukan Intelijen Negara yang tangguh dan profesional, serta penguatan kerja sama dan koordinasi Intelijen Negara dengan menghormati hukum, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia. Dalam penyelenggaraan Intelijen Negara sebagai lini pertama dari sistem keamanan nasional perlu adanya suatu kepastian hukum dan sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu dibentuk Undang-Undang tentang Intelijen Negara; ‐ Dasar hukum: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; ‐ Undang‐undang ini mengatur tentang: Intelijen Negara STATUS : ‐ Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan Ditetapkan pada tanggal 7 November 2011 CATATAN : Keamanan nasional merupakan kondisi dinamis bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menjamin keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan warga negara, masyarakat, dan bangsa, terlindunginya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional dari segala ancaman. Identifikasi dan analisis terhadap ancaman harus dilakukan secara komprehensif, baik dari aspek sumber, sifat dan bentuk, kecenderungan, maupun yang sesuai dengan dinamika kondisi lingkungan strategis. Upaya untuk melakukan penilaian terhadap ancaman tersebut dapat terwujud dengan baik apabila Intelijen Negara sebagai bagian dari sistem keamanan nasional yang merupakan lini pertama mampu melakukan deteksi dini dan peringatan dini terhadap berbagai bentuk dan sifat ancaman, baik yang potensial maupun aktual. Intelijen Negara bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi dan melakukan aktivitas Intelijen berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan fungsi dan kegiatan Intelijen meliputi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan menggunakan metode kerja, seperti pengintaian, penjejakan, pengawasan, penyurupan (surreptitious entry), penyadapan, pencegahan dan penangkalan dini, serta propaganda dan perang urat syaraf. Penyelenggara Intelijen Negara terdiri atas penyelenggara Intelijen Negara yang bersifat nasional (Badan Intelijen Negara), penyelenggara Intelijen alat negara, serta penyelenggara Intelijen kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. Untuk mewujudkan sinergi terhadap seluruh penyelenggara Intelijen Negara dan menyajikan Intelijen yang integral dan komprehensif, penyelenggaraan Intelijen Negara dikoordinasikan oleh Badan Intelijen Negara. Keberadaan dan aktivitas Intelijen Negara tidak terlepas dari persoalan kerahasiaan. Dalam Undang-Undang ini, Rahasia Intelijen merupakan bagian dari rahasia negara yang memiliki Masa Retensi. Guna menunjang aktivitas Intelijen bertindak cepat, tepat, dan akurat, Badan Intelijen Negara diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap Setiap Orang yang berkaitan dengan kegiatan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase yang mengancam keamanan, kedaulatan, dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. KOMISI YUDISIAL – PERUBAHAN UU NO. 18 TAHUN 2011 2011 UNDANG – UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL. ABSTRAK : Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pengusulan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim demi tegaknya hukum dan keadilan sesuai dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagian sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Berdasarkan pertimbangan tersebut dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dasar Hukum : Pasal 20, Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B Undang-UUD Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Undang-Undang ini mengatur tentang : Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dengan sistimatika sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 diubah; 2. Ketentuan Pasal 3 diubah; 3. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah; 4. Ketentuan Pasal 11 ditambah 1 (satu) ayat, yakni ayat (3); 5. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) diubah; 6. Ketentuan Pasal 13 diubah; 7. Ketentuan Pasal 18 diubah; 8. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A; 9. Ketentuan Pasal 20 diubah; 10. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A; 11. Pasal 21 dihapus; 12. Ketentuan Pasal 22 diubah; 13. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 7 (tujuh) pasal, yakni Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 22F, dan Pasal 22G; 14. Pasal 23 dihapus; 15. Pasal 24 dihapus; 16. Ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) diubah; 17. Ketentuan Bagian Pertama Pengangkatan diubah; 18. Ketentuan Pasal 26 diubah; 19. Ketentuan Pasal 28 diubah; 20. Ketentuan Pasal 29 diubah; 21. Ketentuan Pasal 37 diubah; 22. Ketentuan Pasal 38 ayat (3) diubah; 23. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 40A dan Pasal 40B; STATUS : Mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Diundangkan pada tanggal 9 November 2011. KONVENSI – PENGESAHAN UU NO. 19 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS) ABSTRAK : - bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York, dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hakhak penyandang disabilitas, sebagai upaya menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan; ‐ Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 37 Tahun 1999; UU No. 24 Tahun 2000; UU No. 17 Tahun 2003. ‐ Undang‐undang ini mengatur tentang: Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak‐hak Penyandang Disabilitas) STATUS : - Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan ‐ Ditetapkan pada tanggal 10 November 2011 CATATAN : Pada tanggal 13 Desember 2006 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas). Resolusi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas), penandatanganan tersebut menunjukan kesungguhan Negara Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak penyandang disabilitas, yang pada akhirnya diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan para penyandang disabilitas. Tujuan konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak terpisahkan (inherent dignity). RUMAH SUSUN UU NO. 20 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG RUMAH SUSUN ABSTRAK STATUS : : - Bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan perumahan melalui rumah susun yang layak bagi kehidupan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia; serta negara berkewajiban memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah; bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam penyelenggaraan rumah susun sehingga perlu diganti; – Dasar hukum :Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU No. 1 Tahun 2011. – Undang-Undang ini mengatur tentang : Perumahan dan Kawasan Permukiman, dengan sistematika sebagai berikut: 1. Ketentuan Umum; 2. Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup; 3. Pembinaan; 4. Perencanaan; 5. Pembangunan; 6. Penguasaan, Pemilikan, dan Pemanfaatan; 7. Pengelolaan; 8. Peningkatan Kualitas; 9. Pengendalian; 10. Kelembagaan; 11. Tugas dan Wewenang; 12. Hak dan Kewajiban; 13. Pendanaan dan Sistem Pembiayaan; 14. Peran Masyarakat; 15. Larangan; 16. Penyelesaian Sengketa; 17. Sanksi Administratif; 18. Ketentuan Pidana; 19. Ketentuan Penutup. - Mulai berlaku pada tanggal diundangkan; - Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3318) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; - Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; - Diundangkan pada tanggal 10 November 2011. OTORITAS JASA KEUANGAN – UNDANG-UNDANG UU NO. 21 TAHUN 2011 2011 UNDANG-UNDANG TENTANG OTORITAS JASA KEUANGAN ABSTRAK : - Bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sector jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. - Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel. - Dasar hukum: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33UUD 1945; UU No. 23 Tahun 1999. - Undang-undang ini mengatur: 1. Ketentuan Umum; 2. Pembentukan, Status , dan Tempat Kedudukan; 3. Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang; 4. Dewan Komisioner; 5. Organisasi Kepegawaian; 6. Perlindungan Konsumen dan Masyarakat; 7. Kode Etik dan Kerahasiaan Informasi; 8. Rencana Kerja dan Anggaran; 9. Pelaporan dan Akuntabilitas; 10. Hubungan Kelembagaan; 11. Penyidikan; 12. Ketentuan Pidana; 13. Ketentuan Peralihan; 14. Ketentuan Penutup; STATUS : - Mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. - Ditetapkan pada tanggal 22 November 2011. KETERANGAN : - - - - - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU OJK; Pimpinan tertinggi OJK adalah Dewan Komisioner yang bersifat kolektif dan kolegial; Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; Pasar Modal; dan Peransuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian , Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri keuangan dan Badan Badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK; Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL UU NO. 24 TAHUN 2011 2011 UNDANG – UNDANG TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL ABSTRAK : Bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional yang merupakan program Negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum dengan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan dana jaminan sosial seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-Undang yang merupakan transformasi keempat Badan Usaha Milik Negara untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dasar Hukum : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945; UU Nomor 40 Tahun 2004. Undang-Undang ini mengatur tentang : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dengan sistimatika sebagai berikut : 1. Ketentuan Umum; 2. Pembentukan dan Ruang Lingkup; 3. Status Dan Tempat Kedudukan; 4. Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak, Dan Kewajiban; 5. Pendaftaran Peserta dan Pembayaran Iuran; 6. Organ BPJS; 7. Persyaratan, Tata Cara Pemilihan Dan Penetapan, Dan Pemberhentian Anggota Dewan Pengawas Dan Anggota Direksi; 8. Pertanggungjawaban; 9. Pengawasan; 10. Aset; 11. Pembubaran BPJS; 12. Penyelesaian Sengketa; 13. Hubungan Dengan Lembaga Lain; 14. Larangan; 15. Ketentuan Pidana; 16. Ketentuan Lain-Lain; 17. Ketentuan Peralihan; dan 18. Ketentuan Penutup. STATUS : Mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Diundangkan pada tanggal 25 November 2011. CATATAN : Pada Bab VIII tentang Pertanggungjawaban Pasal 37 ayat (1) diatur bahwa BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahuan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik, kepada Presiden dengan tmbusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Pada Bab IX tentang Pengawasan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur bahwa Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara ekternal dan internal. Pengawasan Internal BPJS dilakukan oleh organ pengawas BPJS, yang terdiri atas : 1. Dewan Pengawas; dan 2. Satuan pengawas internal. Pengawasan Eksternal BPJS , dilakukan oleh : 1. DJSN; dan 2. Lembaga pengawas independen. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (3) dijelaskan bahwa Yang dimaksud dengan Lembaga Pengawas Independen adalah Otoritas Jasa Keuangan, dan dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan. Pada Bab X tentang Aset Pasal 41 ayat (1) disebutkan bahwa Aset BPJS bersumber dari : 1. Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; 2. Hasil pengalihan asset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial; 3. Hasil pengembangan asset BPJS; 4. Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau 5. Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Aset BPJS dapat digunakan untuk : 1. Biaya operasional penyelenggaraan Program Jaminan Sosial; 2. Biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan Jaminan Sosial; 3. Biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan; dan 4. Investasi dalam instrument investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 diatur bahwa modal awal untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing dua triliun yang bersumber dari APBN.