BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Sistem Waralaba
1. Pengertian Waralaba (Franchise)
Kata franchise berasal dari bahasa prancis affranchir yang artinya
to free (membebaskan). Dengan istilah franchise di dalamnya terkandung
seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi kepada
orang lain untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu1.
Sedangkan menurut pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997
tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran waralaba, pengertian waralaba
(franchise) adalah:
“Perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan/atau mengggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak
lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan
pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan
barang atau jasa”2
Waralaba (Franchise) adalah kontrak perjanjian pemakaian nama,
merk dagang, dan logo perusahaan tertentu dari pemberi waralaba
(franchisor)
yang
didalamnya
dicantumkan
ikhtisar
peraturan
pengoperasiannya oleh perusahaan yang menggunakan (franchise), jasa
1
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 3.
2
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2009), hal.
241.
12
13
yang disediakan oleh pemberi waralaba (franchisor), dan persyaratan
keuangan3.
Waralaba adalah suatu cara melakukan kegiatan usaha yang
didasarkan pada hubungan yang berkesinambungan antara pemberi
waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee). Hubungan
ini meliputi sistem distribusi, dimana seorang penerima waralaba
diperkenankan mengelola usahanya sendiri supaya dapat memanfaatkan
sistem distribusi milik pemberi waralaba4.
Pada intinya waralaba itu adalah sebuah sistem pendistribusian
barang ataupun jasa konsumen untuk menggunakan merek dagang, dan
sistem yang harus diterapkan oleh pemberi waralaba. Pada dasarnya
Franchise adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian
barang dan jasa kepada konsumen5”.
2. Kebebasan dalam Waralaba
Kebebasan merupakan sebuah tindakan atau perbuatan yang muncul atau
bermula dari kehendak untuk melakukan. Sementara menurut Prof.Dr
Driyarkara, seorang filsuf Indonesia kontemporer, menulis dalam bukunya
bahwa kemerdekaaan atau kebebasan merupakan kekuasaan untuk menentukan
diri sendiri untuk berbuat atau tidak berbuat. Kebebasan merupakan hak individu
untuk menggunakannya atau tidak, tidak ada seorang pun yang mampu untuk
memaksa seseorang terkait kebebasan yang dimilikinya. Manusia memiliki
3
Lantip Susilowati, Bisnis Kewirausahaan, (Yogyakarta: Teras, 2013), hal. 49.
Sutrisno Iwantono, Kiat Sukses Berwirausaha, (Jakarta: PT Grasindo, 2006), hal. 197.
5
Jurnal Akuntansi & Manajemen Vol 7 No.2 Desember 2012 ISSN 1858-3687 hal 113120, diakses pada pada Kamis, 22 Mei 2014, pukul 10.47 WIB
4
14
sebuah kemauan serta dorongan untuk melakukan, sehingga kebebasan muncul
dari kedua hal itu.
Dari sudut pandang ilmu hukum, kehendak bebas adalah sesuatu yang amat
penting, karena itu berarti, orang bisa bertanggungjawab sepenuhnya atas
kesalahan mereka, dan, dari sisi pendidikan, orang layak menerima pujian, jika
mencapai prestasi tertentu. Kebebasan menurut hukum memungkinkan :
1) Setiap individu menikmati kebebasan yang sama besarnya dengan
kebebasan orang lain.
2) Setiap individu menikmati kebebasan yang utuh dalam hal-hal khusus.
Secara singkat kebebasan dapat dipahami dalam tiga hal berikut, yakni
pertama, kemampuan untuk mempertimbangkan situasi secara sadar (rational
deliberation). Kedua, mampu berpikir rasional (masuk akal) (rational
reasoning). Ketiga, mampu mengontrol diri sendiri (self control).
Menurut Barker, bentuk-bentuk kebebasan mencakup :
1) Civil liberty. Kebebasan ini merupakan hak untuk hidup sebagai
anggota masyarakat dengan mengharap perlindungan yang sama dari
negara. Setiap anggota berhak hidup secara aman.
2) Political liberty. Ini merupakan tingkat kebebasan yang lebih jauh
dari civil liberty. Kebebasan ini mencakup hak anggota untuk ikut
menentukan corak dan arah pemerintahan. Dalam dunia demokrasi,
eksekutif tidak dianggap sebagai lawan dari legislatif melainkan
dianggap sebagai bagian dari organisasi negara. Dengan demikian,
demokrasi modern tidak lagi menentang pemerintahnya, melainkan
mengawasinya. Artinya, demokrasi bersifat mengawasi kebebasan
15
bagian satu dengan yang lain. Demikian pula, rakyat mengawasi agar
dapat menikmati kebebasan dan haknya. Negara memberikan
perlindungan kepada rakyatnya.
3) Economic liberty. Ini adalah kebebasan mencari dan memperoleh
pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kemampuan masing-masing.
Dalam praktik tidak banyak perbedaan political liberty dan economic
liberty. Akan tetapi, kebebasan mendapat pekerjaan baru dapat
dijamin bila keadaan politik mengizinkan.
Meskipun begitu, yang jelas seluruh pakar sepakat bahwa manusia
memiliki kebebasan dalam hidupnya. Jadi dalam waralaba (franchise)
memiliki kebebasan dalam mengatur sistem ataupun usahanya. Sedangkan
kebebasan itu dijamin negara biasanya adalah kebebasan yang ditertibkan dan
kebebasan yang bersifat relatif. Yangmana Negara menjamin kebebasan individu
secara rata-rata6.
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus
manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menuntukan sendiri apa yang
mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas
berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya7 termasuk
usahanya. Menurut Hobbes, arti kebebasan bagi setiap orang harus
berdasarkan prinsip kebaikan bersama diatas oleh hak setiap orang pada
6
Sayyid Abdullah Ahmad al-Kahfi, (Student at Philosophy Faculty, Gadjah Mada
University), Yogyakarta, diakses pada Minggu, 20 Juli 2014 pukul 12.44 WIB
7
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002), hal. 133 - 135.
16
umumnya, bahwa dalam melindungi hak masyarakat pemerintah
menjaminnya8.
3. Landasan Hukum Waralaba (Franchise) di Dunia
1) Amerika Serikat
The US Federal Trade Commission (FTC) memberlakukan the
trade regulations rule relating disclosure Requirements and
Prohibitions, concercing franchising franchising and business
opportunity ventures. Peraturan FTC tidak mensyaratkan pendaftaran
atau pengarsipan dokumen pengungkapan semacam propektus).
Peraturan ini tidak mengandung sanksi apabila ternyata didapati
bahwa suatu informasi terbukti berisiskan informsi yang tidak benar.
Peraturan ini berisikan 8 pasal yang terdiri dari introductions,
business covered by the rule, the disclosure document, earnings
claims, acts or practices which violate the rule, state franchise laws,
the uniforms franchise offering circular, relevant legal citations.
2) Inggris
Inggris merupakan Negara yang termasuk menganut asas common
law. Di Inggris suatu hubungan yang diatur berdasarkan kebiasaan.
Sejak Inggris bergabung dengan common market maka franchisor di
Inggris yang ingin mengadakan perjanjian tunduk pada pengaturan
hukum yang berbeda yakni antara hukum Inggris sendiri dan hukum
dari European Community (Masyarakat Eropa- yang selanjutnya
8
http://lucyagustina94.blogspot.com/2013/04/kebebasan-tanggung-jawab-dan
hatinurani_1136.html. Diakses pada Minggu 20 Juli 2014, pukul 12.34 WIB
17
disebut EC). Berdasarkan Government‟s white paper Cmnd 727 ( Juli
1989) dinyatakan bahwa yang berlaku adalah hukum EC. Hukum EC
khusus untuk franchise regulation 4087/ 88 OJ L35, p 46, 28
December 1988.
Selain itu Negara-negara di Eropa diantaranya inggris mengadopsi
pula European Code of Ethics for franchising sebagai kode etik yang
berlaku untuk hubungan antara franchisor dan franchisee di Inggris.
Kode ini memang bukan merupakan aturan hukum yang mengikat
akan tetapi dalam praktek sehari-hari, etik ini secara efektif ditaati
oleh masyarakat Negara yang tergabung dalam masyarakat Eropa
sebagai suatu tata susila yang mengikat mereka dalam hubungan
antara franchisor dan franchisee. European Code of Ethics for
franchising terdiri dari definisi franchise, pedoman umum yang
berisikan mengenai kewajiban bagi franchisor, kewajiban bagi
franchisee, kewajiban kedua belah pihak, cara rekuitmen franchisee,
iklan dan dokumen pengungkapan, seleksi individual franchisee, serta
perjanjian franchise dan diakhiri dengan pengaturan kode etik dan
sistem master franchise.
3) Austria
Sampai saat ini Austria tidak memiliki ketentuan hukum dasar
mengenai
franchise,
akan
tetapi
pada
tahun
1990
AFA
memberlakukan the European Rules of Conduct sebagai pola
pengaturan yang wajib diterapkan bagi seluruh anggotanya.
18
4) Australia
Trade practices (Industry Codes-Franchising) Regulations 1998Statutory Rules 1998 Nomor 162 as amended made under the Trade
Practices Act 1974. Peraturan ini pada dasarnya merupakan
franchising code of conduct (kode etik franchise).
5) Brazil
Brazilian franchising Association (ABF) menyatakan bahwa di
brazil terdapat pengaturan hukum khusus mengenai franchise.
Pengaturan tersebut diatur dalam law 8955. Pengaturan hukum
tersebut terdapat dari 11 pasal dimana didalamnya mengatur definisi
franchise dan sebagian besar mengatur mengenai isi serta pelaksanaan
dari circular letter of offer.
6) Argentina
Asociacion Argentina De Franchising memberikan informasi
bahwa sampai saat ini di Argentina belum terdapat pengaturan hukum
mengenai franchising secara khusus. Hubungan antara franchisor dan
franchisee yang ada hanya diatur berdasarkan perjanjian franchise
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jadi pengaturannya masih
terletak dalam pengaturan umum dibidang hukum yang mengatur
mengenai hukum perdata.
7) Hongkong
Hingga saat ini di hongkong belum terdapat pengaturan hukum
yang mengatur mengenai franchise. Pengaturan hukum yang relevan
19
dengan franchise adalah pengaturan hukum mengenai pendaftaran dan
lisensi dari merek dagang serta hukum kontrak. Sejak 1 juli 1987
hukum yang berlaku di Hongkong adalah basic law. Hukum lain yang
mengatur franchise
di Hongkong dikaitkan dengan pengaturan
dibidang lisensi dan proteksi hak milik Intelektual yakni the trade
marks (Caps. 43), Trade Discriptions Ordinance (Cap. 362),
Copyrighta Ordinance (1997), Registered Designs Ordinance and
Patents Ordinance (1997)9
8) Peraturan Undang-undang Waralaba di Indonesia
a) Tonggak kepastian hukum akan format waralaba di Indonesia
dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut
dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan
Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
b) Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/MDAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
c) Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
d) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
e) Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.
9
http://home.unpar.ac.id/~pasca/linked/abstrak/doktor/2004822007, Diakses pada Minggu
20 Juli 2014 pukul 15.47 WIB
20
4. Jenis-jenis Waralaba (Franchise)
Stephen Fox membedakan waralaba (franchise) atas:
a) Franchise produk diidentifikasikan dengan produk atau nama
dagang franchisor. Dalam franchise jenis ini franchisor adalah
pembuat produk. Pada franchise produk, franchisor disamping
menerima pembayaran biaya franchise dari franchisee juga akan
menerima pembayaran produk yang dijual kepada franchisee.
Pada franchise produk atau distributorship, yang didalamnya
franchisee sama sekali tidak terlibat dalam produk dan hanya
menjual produk franchisor sehingga peranan franchisee hampir
sama dengan distributor dan manufacturing franchise atau
processing plant, yang didalamnya franchisee disamping
menjual produk juga terlibat dalam proses pembuatan produk
franchisor.
b) Franchise format bisnis, franchisee menjalankan penjualan
barang atau jasa berdasarkan sistem penjualan yang dirancang
oleh franchisor. Pada umumnya, pada franchise jenis ini
franchisor bukanlah pembuat produk walaupun mungkin
franchisor membuat satu atau beberapa komponen dari produk
yang dijual franchisee. Pada franchise format bisnis, franchisor
disamping menerima biaya franchise, akan menerima uang
melalui royalti berlanjut atas penggunaan nama atau merek
dagang beserta sistem bisnisnya, yang dijalankan oleh
franchisee.
Sekarang franchise jenis ini banyak dijadikan pilihan para
franchisor. Pada franchise jenis ini franchisor memberikan
lisensi kepada franchisee untuk membuat toko eceran, store,
atau jaringan penjualan atas berbagai produk dan pelayanan
dibawah nama franchise. Disini franchisor memberikan lisensi
atas metode-metode yang telah ditetapkan dan diidentifikasi
dengan merek dagangnya. Metode-metode yang dioperasikan
oleh franchisee harus sesuai dan dibawah pengawasan
franchisor. Sering juga franchisor melengkapi dengan bantuan
bagi pengoperasian bisnis franchisee10.
Dalam bentuknya sebagai jenis, waralaba memiliki 2 jenis kegiatan:
1.
Waralaba produk dan merek dagang
Adalah bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba
produk dan merek dagang, pemberi waralaba memberikan hak kepada
10
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, hal. 49-50.
21
penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh
pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin untuk
menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin
penggunaan merek dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin
penggunaan merek dagang tersebut diberikan dalam rangka penjualan
produk
yang
diwaralabakan
tersebut.
Atas
pemberian
izin
penggunaan merek dagang tersebut biasanya pemberi waralaba
memperoleh suatu bentuk pembayaran royalti dimuka dan selanjutnya
pemberian waralaba memperoleh keuntungan (yang sering juga
disebut dengan royalti berjalan) melalui penjualan produk yang
diwaralabakan kepada penerima waralaba. Dalam bentuknya yang
sangat sederhana ini, waralaba produk dan merek dagang seringkali
mengambil bentuk keagenan, distributor atau lisensi penjualan.
2.
Waralaba format bisnis
Selanjutnya Martin Madelsohn menyatakan bahwa waralaba format
bisnis ini terdiri atas:
a. Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba
b. Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek
pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba
c. Proses bantuan dan bimbingan yang terus- menerus dari pihak
pemberi waralaba11
11
Gunawan Widjaja, Lisensi atau Waralaba Suatu Panduan Praktis, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004), hal. 43
22
Jenis waralaba ada 3, yaitu:
a) Tradename franchising, yaitu sistem waralaba dimana pembeli
waralaba memberi hak untuk menggunakan nama dagang penjual
waralaba tanpa mendistribusikan produk tertentu dengan nama
penjual waralaba.
b) Product distribution franchising yaitu sistem waralaba dimana
penjual waralaba memberikan hak ke pembeli waralaba untuk
menjual produknya dengan nama dagang penjual waralaba melalui
jaringan distribusi yang selektif dan terbatas12.
c) Pure franchising (business format franchising) yaitu waralaba murni,
pemberi waralaba menyediakan format waralaba yang lengkap, mulai
dari pemanfaatan merek dagang barang dan jasa untuk dijual,
perangkat manajemen, pengawasan mutu, jalur distribusi, dan
berbagai pelayanan lain. Tipe ini banyak berkembang misalnya pada
industri restoran cepat saji (fast food), usaha jasa pendidikan,
penyewaan mobil, penjualan rumah, dan jasa pelayanan lain13.
5.
Pengaturan Pelaksanaan dalam Sistem Waralaba (Franchise)
Adapun dalam pengaturan waralaba sebagai berikut:
1) Nama dagang atau merek dagang menjadi obyek perjanjian waralaba
(franchise) oleh karena nama dagang atau merek dagang yang semula
menjadi hak monopoli franchisor untuk menggunakan pada barangbarang atau jasa-jasa yang dijualnya kemudian disebabkan perjanjian
12
R. Heru Kristanto, Kewirausahaan (Entrepreneurship) Pendekatan Manajemen dan
Praktik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal. 55.
13
Sutrisno Iwantono, hal. 197-198.
23
franchise, franchisee diberi izin untuk menggunakan pada produk
yang dijualnya14.
2) Rahasia dagang
Rahasia dagang pada dasarnya masuk dalam lingkup hukum
perdata yang mengatur hubungan antar individu mengenai rahasia
dagang dengan pihak ketiga yang berhubungan dengan informasi.
Begitu halnya dengan perjanjian kerja, yang sebenarnya termasuk
dalam hukum perdata karena adanya unsur perjanjian yang diatur
dalam keperdataan15.
3) Jasa Pelatihan
Jasa pelatihan merupakan obyek franchise yang sangat penting,
baik bagi franchisor (Pemberi waralaba) maupun franchisee
(penerima
waralaba).
Untuk
mengawali
usahanya,
franchisee
(penerima waralaba) sangat membutuhkan jasa pelatihan ini dan
merupakaan kewajiban franchisorlah untuk memenuhinya. Jasa
pelatihaan dapat diberikan kepada franchisee sendiri ataupun semua
jajaran manajemennya. Dalam kaitannya dengan jasa pelatihan, di
dalam kontrak franchise akan disebutkan materi pelatihan, baik materi
yang sudah ada pada franchisor maupun pengembangannya, jangka
waktu atau periodesasi pelatihan, lokasi pelatihan, biaya-biaya
pelatihan, dan kemungkinan pencatuman sanksi bagi franchisee jika
franchisee gagal dalam evaluasi terhadap hasil pelatihan.
14
15
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, hal. 54.
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 128
24
4) Bantuan-bantuan Teknik Operasional
Bantuan-bantuan teknik operasional yang menjadi kewajiban
franchisor ini dapat dikelompokkan pada dua hal, yaitu:
a) Bantuan pada saat persiapan pelaksanaan usaha franchisee
diantaranya: Bantuan dalam menentukan pemilihan lokasi usaha,
bantuan dalam menentukan arsitektur bangunan dan tata letak
ruangan serta pemilihan bahan-bahan dan peralatannya, yang akan
menentukan
standard
spesifikasinya,
penentuan
standar
administrasi dan pembukuan, penentuan standar penerimaan
karyawan, pedoman operasi bisnis franchise, pedoman pelaksanaan
grand opening
b) Bantuan selama hubungan hukum berlangsung antara lain:
pengawasan dan evaluasi pelaksanaan usaha, pelaksanaan kegiatan
pemasaran, memilihkan kegiatan pemasaran yang dilakukan
franchise, pemberian konsultasi selama perusahaan franchisee
beroperasi.
5) Pembelian Bahan-bahan dan Peralatan
Franchisor mewajibkan franchisee untuk membeli peralatanperalatan
yang
tidak
substansial
bagi
produk-produk
yang
franchisenya diberikan kepada franchisee, franchisor memaksakan
franchisee untuk menyewa lokasi outlet dari franchisor, franchisor
25
menunjuk pemasok tertentu yang akan memasok kebutuhankebutuhan franchisee16.
6) Pengawasan Kualitas Produk
Didalam melaksanakan hak pengawasan ini franchisor akan
menentukan juga upaya-upaya yang harus dilaksanakan oleh
franchisee. Dengan kata lain, pengawasan atas kualitas produk juga
ditentukan oleh partisipasi franchisee dan sanksi-sanksi apakah yang
akan diberlakukan kepada franchisee sekitarnya franchisee tidak
menjaga kualitas produk17.
6.
Peran HAKI dalam Keterkaitan dengan Sistem Waralaba
Adapun kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil
produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni,
sastra, lagu, karya tulis, karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk
manusia. Objek yang diatur dalam HAKI adalah karya-karya yang timbul
atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Pengaturan hukum HAKI di Indonesia mencakup seluruh ruang
lingkup HAKI, yang ditemukan dalam:
1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Pendaftaran Hak Cipta
Menurut pengertian pasal 1 UU No. 19 tahun 2002, hak cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan
16
17
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, hal 57- 60
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, hal. 60-61
26
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama
yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian
yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan
keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra18.
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak
cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan. Hak paten dan hak merek baru timbul hak
setelah pengumuman dari Dirjen HAKI, sedangkan hak cipta
diperoleh secara otomatis.
Hak ekonomis adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi
atas ciptaan serta produk hak terkait. dan hak moral adalah hak yang
melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan
atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak
terkait telah dialihkan19.
Hak Kekayaan Intelektual, dilihat dari sudut hukum Islam
menyangkut masalah hak cipta yang meliputi merek dagang atau
18
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang Edisi Revisi Cetakan Ketiga, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2008, hal. 208
19
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005, hal. 174-177
27
jasa, logo, sistem operasional bisnis yang terpadu yang menjadi ciri
khas usaha pemberi waralaba.20
2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
a) Pengertian Merek
Merek, Mark (dalam bahasa Belanda), atau Brand (dalam
bahasa Inggris), yang pengertian merek menurut UU no 15 tahun
2001 adalah yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegitan perdagangan barang dan jasa. Pemegang/pemilik hak
merek yaitu orang (persero), beberapa orang (pemilik bersama)
dan Badan Hukum yang telah medapatkan Hak atas Merek.
Merek Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara
bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya21.
b) Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar
Hak atas merek terdaftar dapat beralih/dialihkan karena
Pewarisan, Wasiat, Hibah, Perjanjian, dan sebab-sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Pengalihan hak
atas merek wajib di mohonkan pencatatnnya kepada Direktorat
Jenderal untuk di catat dalam Daftar Umum Merek, dan
20
Harun, Jurnal Waralaba di Indonesia perspektif hukum Islam, Diakses pada 20 Mei
2014, pukul 21.47 WIB
21
Abdul R. Saliman, hal. 178
28
dokumen sertifikat Merek serta buku lainnya yang mendukung
pemilikan hak tersebut. Pentingnya pendaftaran terhadap
pengalihan merek terdaftar tersebut karena pengalihan hak atas
merek terdaftar yang tidak dicatat dalam Daftar Umum Merek
tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
Penentuan bahwa akibat hukum tersebut baru berlaku
terhadap pihak ketiga setelah pengalihan hak atas merek dicatat
dalam Daftar Umum Merek dimaksudkan untuk memudahkan
pengawasan dan mewujudkan kepastian hukum. Disamping
pengalihan hak atas merek itu sendiri, pengalihan hak atas merek
terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi,
yang terkait dengan merek22.
3) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang23
a) Pengertian Rahasia Dagang
Menurut pasal 1 UU No.30 Tahun 2000 rahasia dagang
adalah: informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang
teknologi dan/ atau bisnis, memiliki nilai ekonomi karena
berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh
pemilik
rahasia
dagang24.
Sifat
non-disclosure
(ketidakterbukaan) dari informasi yang terkandung dalam
rahasia dagang merupakan dan menjadi unsur pokok yang
22
23
Ibid., hal 59-61
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hal.
227-228.
24
Abdul Rasyid Saliman, hal. 194
29
membedakannya dari Hak atas Kekayaan Intelektual. Sebagai
konsekuensi dari non-disclosure maka perlindungan atas rahasia
dagang tidak dibatasi jangka waktunya, selama dan sepanjang
unsur kerahasiaan25.
Menurut Pasal 2 UU No. 30 Tahun 2000, lingkup
perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode
pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain dibidang
teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak
diketahui oleh masyarakat umum. Dengan demikian, “bersifat
rahasia” disini maksudnya apabila tersebut hanya diketahui oleh
pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh
masyarakat, sedangkan memiliki “nilai ekonomi” apabila sifat
kerahasiaan
informasi
tersebut
dapat
digunakan
untuk
menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau
dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi.
Menurut bunyi pasal 4 UU No. 30 Tahun 2000 pemilik
rahasia dagang memiliki hak:
a.
Menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya.
b.
Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk
menggunakan rahasia dagang atau mengungkapkan rahasia
25
Gunawan Widjaja, hal.100.
30
dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang
bersifat komersial26.
b) Dasar Hukum Rahasia Dagang
Mengingat dunia bisnis dewasa ini, banyak dilakukan
lewat waralaba (franchise), pemilik HAKI dalam hal ini
pemegang
rahasia
dagang
berharap
rahasia
dagangnya
mendapatkan perlindungan hukum. Untuk itu, pemerintah
Republik
Indonesia
pada
tanggal
20
Desember
2000
menerbitkan undang-undang Nomor 30 tahun 2000, Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 242 tahun 2000 (selanjutnya
disingkat (UURD)
c) Unsur-unsur Rahasia Dagang
Adapun unsur-unsur dagang yang harus ada dalam rahasia
dagang adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Informasi ialah sifat kerahasiaan yang diwajibkan dan
diembankan oleh UU Rahasia Dagang ini dianggap
dan diberlakukan sebagai informaasi yag harus
dirahasiakan.
Tidak diketahui oleh umum
Dalam lapangan teknologi atau bisnis
Memiliki nilai ekonomi
Kewajiban untuk menjaga kerahasiaan oleh
pemiliknya27
d) Ruang Lingkup Rahasia Dagang
Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 UU Rahasia Dagang yang
mengemukakan sebagai berikut:
26
27
Abdul Rasyid Saliman, hal. 194-195
Gunawan Widjaya, Lisensi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 100-106
31
“Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode
produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau
informasi lain dibidang teknologi dan/ bisnis yang memiliki
nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum28”
Informasi dalam rahasia dagang dikelompokkan dalam
informasi dibidang teknologi dan informasi dibidang bisnis.
Adapun yang dimasukkan dalam informasi teknologi adalah:
a) Informasi tentang penelitian dan pengembangan
suatu teknologi
b) Informasi tentang produksi/ proses
c) Informasi mengenai kontrol mutu
Sedangkan yang dimaksud dalam informasi bisnis
adalah:
a)
b)
c)
d)
Informasi yang berkaitan dengan penjualan dan
pemasaran suatu produk
Informasi yang berkaitan dengan para langganan
Informasi tentang keuangan
Informasi tentang administrasi29
Dalam hal perlindungan rahasia dagang, tidak ada
ketentuan yang membatasi tentang jangka waktu berlakunya
perlindungan rahasia dagang yaitu selama pemiliknya tetap
merahasiakan dan melakukan usaha-usaha untuk melindungi
kerahasiannya maka selama itu pula berlaku perlindungan
hukum. Misalnya formula coca cola tetap dijaga kerahasiaannya,
yaitu dengan cara membatasi 2 orang saja dalam perusahaan
yang mengetahui formula tersebut30.
28
Sentosa Sembiring, hal. 189-190
Adrian Sutedi, hal. 122
30
Ibid., hal. 126
29
32
Dalam rumusan perjanjian akan ditentukan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang menyangkut kewajiban franchisee
untuk tidak menyingkap rahasia tersebut kepada pihak ketiga dan
menentukan lebih lanjut unsur manajemen franchisee yang boleh
dan tidak boleh mengetahui rahasia tersebut, pembatasan kepada
franchisee didalam menggunakan rahasia tersebut, dan sanksisanksi yang dapat dituntutkan kepadaa franchisee apabila
kewajiban-kewajiban tersebut dilanggar31.
7.
Kekurangan dan Kelebihan Waralaba (Franchise)
Kelebihan dari franchise:
1) Bantuan dan pelatihan manajemen
Pengusaha waralaba (franchise) dengan pengalaman pribadi yang
kurang memadai dapat memperoleh pelatihan dari induk perusahaan
(franchisor).
2) Konsep perusahaan, produk dan nama yang telah dikenal
Pengusaha waralaba mendapatkan perusahaan telah dikenal dan
kualitas produknya telah dipercaya pasar. Konsumen telah
mengetahui keunggulan produk yang ditawarkan. Pewaralaba
mendapat perusahaan yang telah terbukti memiliki catatan prestasi,
prosedur, operasi baku, dan periklanan yang tersebar diseluruh
pelosok negeri. Dengan demikian resiko dapat ditekan, dan
kesempatan mendapat keuntungan menjadi lebih besar.
31
Moch. Basarah dan M. Faiz Mufidin, hal. 56
33
3) Bantuan dan keuangan
Memulai usaha diperlukan uang yang besar dan sering kali
wirausahawan hanya mempunyai sumber dana yang terbatas.
Perusahaan waralaba memberikan bantuan keuangan dengan
beberapa cara, antara lain:
a.
Bergabung dengan perusahaan yang telah dikenal luas secara
nasional, biasanya pewaralaba mendapat kesempatan lebih baik
untuk memperoleh dana pinjaman.
b.
Perusahaan induk waralaba (franchisor) memberikan petunjuk
tentang manajemen keuangan, penyerahan kepada pihak yang
memberi pinjaman, dan bantuan dalam persiapan pengajuan
pinjaman.
c.
Banyak juga perusahaan induk waralaba yang menawarkan
rencana pembayaran, kredit jangka pendek untuk pembelian
perlengkapan dari perusahaan waralaba.
4) Kepemilikan
Pengelolaan waralaba memiliki perusahaan secara pribadi.
Pemilik dapat menikmati kemandirian, insentif, dan laba usaha
mandiri.
Kekurangan dari franchise:
1) Biaya awal yang tinggi
Biaya pada awal usaha waralaba bervariasi, bergantung pada
jenis perusahaan. Biaya itu meliputi biaya pembukaan usaha
dan biaya pengoperasian perusahaan. Disamping itu,
pewaralaba masih harus membayar biaya periklanan nasional
berdasarkan presentase penjualan dan juga membayar royalti
34
yang dibebankan atas penjualan (biasanya sebesar 2% sampai
dengan 20% dari penjualan). Biaya lainnya adalah biaya
untuk pembimbingan dan pengarahan manajemen.
2) Pembatasan kebebasan beroperasi
Pewaralaba harus mengikuti berbagai ketentuan dan
peraturan yang ditetapkan oleh perusahaan induk
(franchisor). Selain itu pemasaran pewaralaba dibatasi pada
wilayah tertentu yang membatasi pertumbuhan perusahaan32.
B. Sistem Kebebasan Waralaba Dalam Hukum Ekonomi Islam
1. Kebebasan Waralaba dalam Prinsip Hukum Ekonomi Islam
Prinsip kebebasan usaha dalam Islam dilandasai oleh Yang pertama,
Prinsip aqidah, atau prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan fondasi hukum
Islam, yang menekankan bahwa: Harta benda yang kita kuasai hanyalah
amanah dari Allah sebagai pemilik hakiki. Kita harus memperolehnya dan
mengelolanya dengan baik (al-thayyibât) dalam rangka dan mencari
kemanfaatan karunia Allah (ibtighâ min fadhillah).
Manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah. Ekonomi Islam
adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari
Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak
lepas dari syari‟at Allah
Yang kedua, Prinsip Keadilan, Mencakup seluruh aspek kehidupan,
merupakan prinsip yang penting. Sebagaimana Allah memerintahkan adil
di antara sesama manusia dalam banyak ayat antara lain: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
32
Lantip Susilowati, hal. 49-51
35
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran” (QS. an-Nahl: 90)
Yang ketiga, Prinsip al-Ihsân (berbuat kebaikan), pemberian manfaat
kepada orang lain lebih dari pada hak orang lain itu. Yang keempat, Prinsip
al-Mas‟ûliyah
(accountabillty),
pertanggungjawaban
yang
meliputi
beragam aspek, yakni: pertanggungjawaban antara individu dengan
individu (mas‟ûliyah al-afrâd), pertanggungjawaban dalam masyarakat
(mas‟ûliyah
almujtama‟).
Manusia
dalam
masyarakat
diwajibkan
melaksanakan kewajibannya demi terciptanya kesejahteraan anggota
masyarakat secara keseluruhan serta tanggung jawab pemerintah
(mas‟ûliyah al-daulah) tanggung jawab ini berkaitan dengan baitul mal.
Yang kelima, Prinsip keseimbangan. Prinsip al-Wasathiyah (al-„itidal,
moderat, keseimbangan), syariat Islam mengakui hak pribadi dengan
batas-batas tertentu. Syari‟at menentukan keseimbangan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat.
Yang keenam, Prinsip kejujuran dan kebenaran. Prinsip ini merupakan
sendi akhlakul karimah. Yakni meliputi: Prinsip transaksi yang meragukan
dilarang, akad transaksi harus tegas, jelas dan pasti. Baik benda yang
menjadi objek akad, maupun harga barang yang diakadkan itu. Prinsip
transaksi yang merugikan dilarang. Setiap transaksi yang merugikan diri
sendiri maupun pihak kedua dan pihak ketiga dilarang. Prinsip
mengutamakan kepentingan sosial. Prinsip ini menekankan pentingnya
kepentingan bersama yang harus didahulukan tanpa menyebabkan
36
kerugian individu. Sebagaimana kaidah fiqhiyah: “bila bertentangan antara
kemaslahatan sosial dan kemaslahatan individu, maka diutamakan
kepentingan kemaslahatan sosial”. Prinsip manfaat. Objek transaksi harus
memiliki manfaat, transaksi terhadap objek yang tidak bermanfaat menurut
syariat dilarang. Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang. Prinsip
suka sama suka (saling rela, „an taradhin). Prinsip ini berlandaskan pada
firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka di antara
kamu..” (QS. an-Nisâ‟: 29). Prinsip Milkiah, kepemilikan yang jelas.
Prinsip Tiada Paksaan. Setiap orang memiliki kehendak yang bebas dalam
menetapkan akad, tanpa tunduk kepada paksaan transaksi apapun, kecuali
hal yang diharuskan oleh norma keadilan dan kemaslahatan masyarakat33.
2. Kebebasan Waralaba dalam Asas-Asas Hukum Ekonomi Islam
Asas-asas hukum kegiatan ekonomi ada empat, yaitu:
1) Kebebasan berusaha
2) Pengharaman riba
3) Pengharamaan jual beli samar/ mengandung sifat penipuan
4) Pengharaman penyalagunaan kekuasaan/pengaruh untuk mencari
harta34
33
Agus Arwani, Jurnal Epistimologi Hukum Ekonomi Islam RELIGIA Vol. 15 No. 1, April
2012. Hlm. 125-146. Diakses pada 20 Mei 2014, pukul 21.49 WIB.
34
Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics Ekonomi Syariah Bukan Opsi
Tetapi Solusi!, (Jakarta: PT Bumi Aksara, t.t), Hal. 341
37
Dalam Fiqh muamalah, ukuran kebolehan menjadikan sesuatu sebagai
obyek perjanjian ialah selama tidak mengandung unsur keharaman, baik
ditinjau dari segi zatnya (haram li dzatihi) maupun haram selain zatnya
(haram li ghairihi), serta selama tidak bertentangan dengan ketentuan
akad-akad syariah itu sendiri.
Berlakunya masing-masing akad mungkin saja terjadi dalam
perjanjian waralaba, namun dengan ketentuan selama tidak menggugurkan
rukun dan syarat masing-masing akad itu sendiri. Misalnya melalui akad
ijarah, pemberi waralaba akan mendapatkan imbalan berupa uang.
Sedangkan dari hasil penyertaan modal melalui akad mudharabah, pemberi
waralaba berhak mendapatkan nisbah bagi hasil atau menanggung resiko
financial terhadap modal yang disertakan35.
Kontrak franchising ini disebut pula licence agreement atau franchise
contract. Merek dagang merupakan aset yang paling berharga bagi
franchiser oleh sebab itu faktor-faktor bentuk bangunan dan desain yang
spesifik, desain perabot dan perlengkapan serta formula dan resep-resep
makanan yang dirahasiakan merupakan bagian terpenting tetap menjadi
milik franchisor. Aset tersebut hak paten bagi franchisor36.
Adapun penafsiran tentang istilah 'ekonomi Islam'. Pertama, ekonomi
Islam adalah ilmu ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam.
Maka akan timbul pengertian ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang
tersendiri mengenai apa itu ekonomi. Kedua, yang dimaksud ekonomi Islam
35
36
Burhanuddin S, hal. 249
Buchari Alma, Kewirausahaan, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 160
38
adalah sistem ekonomi Islam. Sistem menyangkut pengaturan, yaitu
pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau Negara berdasar
cara atau metode tertentu. Ketiga, Maksud dari penafsiran ini adalah sebagai
perekonomian Islam, atau lebih tepatnya perekonomian dunia Islam.
Pengertian ini muncul dari sifat pragmatis sebagaimana dilakukan oleh
Negara Islam (OKI). Sambil mengembangkan teori-teori tentang ekonomi
Islam, maka OKI mengambil prakarsa untuk memajukan masyarakat yang
beragama Islam, baik mayoritas ataupun minoritas di Negara masingmasing37.
Kebebasan dilihat dari sifatnya sebagai mana dikemukakan Abuddin
Nata terbagi menjadi tiga; Pertama, kebebasan jasmaniah kebebasan
dalam menggerakkan dan menggunakan anggota badan yang kita miliki.
Kedua,
kebebasan
kehendak
(rohaniah),
yaitu
kebebasan
untuk
menghendaki sesuatu. Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas
berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan, desakan
yang tidak sampai berupa larangan fisik38.
Kebebasan individu, didalam batas Islam yang etis hanya bisa
dikorbankan sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan
sosial yang lebih besar atau sepanjang individu tidak melewati hak-hak
orang lain39.
37
M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hlm. 3-4.
38
Dr. H. Abuddin Nata, Ahlaq Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 129130.
39
Veithzal Rivai dan Andi Buchari, hal. 135
39
3. Landasan Hukum Waralaba dalam Islam
1) Al-Qur‟an
ِ ‫يا أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ََل تَأْ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم بِالْب‬
‫اط ِل إََِّل أَ ْن تَ ُكو َن ِِتَ َارًة َع ْن‬
َ َ
َ ْ َْ ْ َ ْ
َ َ
ِ ِ
ِ ٍ ‫تَر‬
ِ ۚ
ۚ
‫يما‬
ً ‫اض مْن ُك ْم َوََل تَ ْقتُلُوا أَنْ ُف َس ُك ْم إ َّن اللَّهَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬
َ
“Hai orang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.
Dan janglah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu” (QS. An-Nisa‟:29)40.
ِ
ِ ‫َولََق ْد َم َّكنَّا ُك ْم ِِف ْاْل َْر‬
‫ش ۗ َلِ ًيي َما تَ ْ ُك ُرو َن‬
َ ِ‫ض َو َج َع ْلنَا لَ ُك ْم ف َيها َم َعاي‬
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)
penghidupan. amat sedikitlah kamu bersyukur” (Al-A‟raf:10)41
2) Hadits
Adapun hadits yang berkenaan dengan harta kekayaan, antara lain:
“Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka (harta itu)
untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin),
serahkan kepadaku” (H.R. Bukhari).
“Sesungguhnya darah (jiwa) dan hartamu adalah haram (mulia,
dilindungi)…”(H.R. al-Tirmizi).
40
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2004), hal. 65
41
Ibid., hal 120
40
“Rasulullah
saw.
Menyampaikan
khutbah
kepada
kami;
sabdanya: `Ketahuilah: tidak halal bagi seseorang sedikit pun dari harta
saudaranya kecuali dengan kerelaan hatinya…`” (H.R. Ahmad).
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari „Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu „Abbas, dan Malik dari Yahya: “Tidak boleh
membahayakan (merugikan) diri sendiri dan tidak boleh pula
membahayakan (kerugikan) orang lain42.”
3) Qawa‟id fiqh :
‫اللََّرُر يَُ ُاا‬
Artinya :
“Bahaya (kerugian) harus dihilangkan.”
ِ ‫ْاْلَصل ِِف الْمعام َي‬
ِْ ‫ت‬
.‫احةُ إَِلَّ أَ ْن يَ ُد َّا َدلِْي ٌل َعلَى ََْت ِرْْيِ َها‬
َ َ‫اْلب‬
َ َُ ْ ُ ْ
Artinya :
"Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalat boleh dilakukan kecuali ada
dalil yang mengharamkannya."43
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.”
“Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas (menggunakan) hak
milik orang lain tanpa seizinnya.”
42
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 1/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
43
Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta :Logung Pustaka, 2009), hal.47
41
4) Fatwa DSN
“Mayoritas ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi`i dan
Hambali berpendapat bahwa hak cipta atas ciptaan yang orsinil dan
manfaat tergolong harta berharga sebagaimana benda jika boleh
dimanfaatkan secara syara` (hukum Islam)”
Berkenaan dengan hak kepengarangan (haqq alta`lif), salah satu
hak cipta, Wahbah al Zuhaili menegaskan :
“Berdasarkan hal (bahwa hak kepengarangan adalah hak yang
dilindungi oleh syara` (hukum Islam atas dasar qaidah istishlah)
tersebut, mencetak ulang atau mencopy buku (tanpa seizin yang sah)
dipandang sebagai pelanggaran atau kejahatan terhadap hak pengarang;
dalam arti bahwa perbuatan tersebut adalah kemaksiatan yang
menimbulkan dosa dalam pandangan Syara` dan merupakan pencurian
yang mengharuskan ganti rugi terhadap hak pengarang atas naskah
yang dicetak secara melanggar dan zalim, serta menimbulkan kerugian
moril yang menimpanya”
Pengakuan ulama terhadap hak sebagai peninggalan yang
diwarisi: “Tirkah (harta peninggalan, harta pusaka) adalah harta atau
hak.44”
Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adatistiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut
44
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 1/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
42
tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipil dalam al-Qur‟an dan
hadis45.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah dan mengikat apabila kontrak itu telah
memenuhi semua syarat yang ditetapkan oleh pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksudnya timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya
unsur paksaan (pasal 1324 KUH Perdata) unsur penipuan (pasal 1328
KUH Perdata) dan unsur kekeliruan pasal 1322 KUH Perdata).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Jika salah satu pihak belum dewasa, ia dapat diwakili oleh walinya.
Dalam praktik, kadangkala umur yang menjadi tolak ukur apakah seorang
itu sudah dewasa tidak dicantumkan dalam komparasi naskah kontrak.
Akan tetapi, usia para pihak jika tidak disebutkan, maka dapat diasumsikan
bahwa para pihak sudah dewasa46.
3. Mengenai suatu hal tertentu (obyek kontrak)
Bahwa obyek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi
adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
kreditur. Prestasi ini terdiri dari:
1) Memberikan sesuatu
2) Berbuat sesuatu
45
Harun, Jurnal Waralaba di Indonesia perspektif hukum Islam, Diakses pada 20 Mei
2014, pukul 21.47 WIB
46
Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006),
hal. 14-15
43
3) Tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata)
4) Suatu sebab yang halal
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Didalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan
causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum47.
D. Pengertian, landasan dan Bentuk akad Waralaba dalam Hukum
Ekonomi Islam
1. Pengertian Akad
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau
kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang
terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah fiqih, secara umum
akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan,
baik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah,
maupun yang muncul dari dua pihak seperti jual beli, sewa, wakalah dan
gadai. Secara khusus akad berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan
penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan penerimaan
kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh pada
sesuatu48.
Dalam hukum perjanjian Islam, sebagaimana tergambar dalam
hasyiyah ibn „abidin, dikenal adanya apa yang disebut hukum akad. Yang
47
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), Hal. 34
48
Ascarya, Akad & Produk bank syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal.
35
44
dimaksud dengan hukum akad tidak lain adalah akibat akibat hukum yang
timbul dari akad, hukum akad yakni akibat hukum yang timbul dari akad,
dibedakan menjadi 2 macam yaitu:
a.
Hukum pokok akad adalah akibat hukum yang pokok yang menjadi
tujuan bersama yang kehendak diwujudkan oleh para pihak dimana
akad merupakan sarana untuk merealisasikannya.
b.
Hukum tambahan akad adalah hak-hak dan kewajiban yang timbul
dari akad seperti kewajiban penjual menyerahkan barang dalam akad
jual beli. Akibat hukum tambahan ini dibedakan menjadi 2, yaitu:
yang ditetapkan oleh hukum sendiri, seperti kewajiban penyerahan
barang dan harga dalam akad jual beli dan yang ditetapkan oleh para
pihak sendiri dalam perjanjian sesuai dengan kepentingan masingmasing dan inilah yang disebut dengan syarat-syarat (klausul-klausul)
penyerta akad (asy-syuruth al-muqtarinah bi al-„aqd). Dengan kata
lain tujuan akad adalah maksud para pihak ketika membuat akad,
sedangkan akibat hukum pokok adalah hasil yang dicapai bila akad
direalisasikan49.
2. Landasan Akad
Firman Allah dalam Al Qur‟an Surat Al Maidah ayat 1 yakni :
    
49
Dr. Syamsul Anwar, (Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam Fiqh
Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 218
45
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.”50
3. Syarat Sah Akad dalam Islam
Syarat sah akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan syara‟ untuk
menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi, akad tersebut
rusak. Ada kekhususan syarat sah akad pada setiap akad. Menurut ahliahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad ada empat
yakni: Para pihak yang membuat akad, pernyataan kehendak dari para
pihak, obyek akad dan tujuan akad51.
Ulama hanafiyah mensyaratkan terhindarnya seseorang dari enam
kecacatan dalam jual beli yaitu kebodohan, paksaan, pembatasan waktu,
perkiraan, ada unsur kemadharatan, dan syarat jual beli rusak52.
Sedangkan dalam waralaba adanya transaksi sebagai berikut:
1. Syirkah
1) Pengertian Syirkah
Syirkah secara bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya adalah
campur atau pencampuran. Istilah pencampuran disini mengandung
pengertian pada seseorang yang mencampurkan hartanya dengan harta
orang lain, sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.
Al-Qur‟an menggunakan akar kata istilah musyarakah, yaitu sy-rk, sebanyak 170 Kali, walau tak satupun dari ayat ini yang
50
Departemen Agama RI., Al Qur‟an dan Terjemahan, (Semarang : CV Tohaputra
Semarang, 1989), hal. 156
51
Syamsul Anwar, hal. 15
52
H. Rachmat Syafe‟i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001) hal. 65
46
menggunakan istilah musyarakah persis dengan arti kemitraan dalam
suatu kongsi bisnis. Namun demikian, berdasarkan sejumlah ayat AlQur‟an, khususnya surat 4:12 dan 38:24, maupun berdasarkan
sejumlah riwayat yang dinisbatkan kepada Nabi dan para Sahabatnya,
para fuqaha membenarkan keabsahan musyarakah dalam kongsi
bisnis. Beberapa pernyataan yang dinisbatkan kepada para sahabat
menunjukkan bahwa beberapa bentuk kemitraan pernah dipraktikkan
oleh generasi Muslim awal. Pernyataan- pernyataan itu menunjukkan
keberadaan suatu bentuk kemitraan, tanpa menunjukkan istilah-istilah,
syarat-syarat, konsep-konsep apapun yang mungkin dapat dikaitkan
dengan kemitraan ini. Berangkat dari kenyataan bahwa riwayatriwayat itu tidak memberikan sedikitpun keterangan mengenai definisi
dan syarat-syarat yang shahih dari kontrak kemitraan semisal yang
kemudian dikenal dalam fiqih adalah produk ijtihad para fuqaha53.
Musyarakah adalah suatu pengkongsian antara dua pihak atau
lebih dalam suatu proyek dimana masing-masing pihak berhak atas
segala keuntungan dan bertanggungjawab akan segala kerugian yang
terjadi sesuai dengan pernyataan masing-masing54. Formalnya
musyarakah (dari kata Arab syirkah atau syirkah) berarti kemitraan
dalam suatu usaha55.
53
Abdullah Saeed , Menyoal Bank Syariah : Kritik atas Interprestasi Bunga Bank Kaum
Neo-Revivalis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 89
54
Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press,
2000), hal. 9
55
Mervvyn Lewis dan Latifa Alground diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata, Islamic
Banking, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), hal. 69
47
Definisi syirkah menurut Idris Ahmad sebagaimana yang dikutip
oleh Hendi Suhendi, ialah:
“Dua orang lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam
dagang,
dengan
menyerahkan
modal
masing-masing,
dimana
keuntungan dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya
modal masing-masing”56.
Syirkah berarti “perserikatan dagang” secara etimologis, syirkah
berarti “percampuran antara satu harta dengan harta yang lain
sehingga sulit dibedakan”. Dalam fikih syirkah termasuk salah satu
bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. Syirkah
dimaksudkan untuk menunjukkan sikap tolong-menolong yang saling
menguntungkan. Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli
fikih tentang syirkah.
Ulama mahzab Maliki berpendapat syirkah adalah izin untuk
bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap
harta mereka. Bagi ulama mahzab Syafi‟i, syirkah adalah adanya hak
bertindak secara hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang
mereka sepakati. Menurut mahzab Hanafi syirkah adalah akad yang
dilakukan
oleh
keuntungan.57
orang
Yang
yang bekerjasama
inti
dari
kesemua
dalam
modal
dan
definisi
yang
telah
dikemukakan adalah ikatan kerjasama yang dilakukan antara dua
orang atau lebih dalam perdagangan.
56
Qomarul Huda, Fiqh Mu‟amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 101
Nina M. Armando dan Starlita dkk, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Icthiar Baru Van
Hoeve , tt), hal. 323
57
48
Untuk menjalankan persekutuan (syirkah) tidak diharuskan
adanya kesamaan modal dan pengelolaannya. Boleh saja modal antara
yang satu dengan yang lain berbeda sesuai kemampuan, sebagaaimana
perbedaan dalam hal tanggungjawab ketika mengelola usahanya.
Kemudian dari hasil usaha keuntungan dibagikan berdasarkan pada
persyaratan masing-masing pihak ketika memulai akad. “Keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan risiko kerugian ditentukan
berdasarkan modal yang disertakan kedua belah pihak58
Prinsip dasar yang dikembangkan dalam syirkah adalah kemitraan
dan kerjasama antara pihak-pihak yang terkait untuk meraih kemajuan
bersama. Prinsip ini dapat ditemukan dalam ajaran Islam tentang
ta‟awun (gotong royong) dan ukhuwwah (persaudaraan). Kalau
diperhatikan, seluruh sistem syirkah dalam Islam didasarkan pada
sistem keadilan. Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik modal
adalah keuntungan riil, bukan harga dari fasilitas modal itu sendiri,
yang lazim disebut sebagai bunga (interest)59.
2) Dasar Hukum Syirkah
1. Landasan hukum syirkah dari Al-Qur‟an:
An-Nisa‟ ayat 12:
...          ...

“…...maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…..”
58
Burhanuddin S, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta: BPEF-Yogyakarta, 2009), hal.
104-105
59
Drs. Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), Hal. 197-199
49
QS. Shad 24/ QS. An-Najm :
            
            
         
”Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat dhalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, dan amat sedikitlah mereka itu”
2. Teks Hadits
Allah berfirman: “Saya adalah pihak ketiga diantara dua
orang yang berserikat selama salah satu diantara mereka berdua
tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila salah satu diantara
mereka berkhianat, maka saya keluar darinya60”.
Dalam hadits lain dinyatakan bahwa: “Pertolongan Allah
tercurah atas dua pihak yang berserikat, sepanjang keduanya tidak
saling berkhianat” (HR. Bukhari dan Muslim)61.
3. Ijma‟
Mayoritas ulama sepakat tentang keberadaan syirkah ini,
meskipun dalam wilayah yang lebih rinci, mereka berbeda
pendapat tentang keabsahan (boleh) hukum syirkah tertentu62.
Dalam Pasal 2618 KUH Perdata dinyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan persekutuan (syirkah) adalah persetujuan
60
Qomarul Huda, Fiqh Mu‟amalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 101
Burhanuddin S, hal. 103
62
Qomarul Huda, hal. 102
61
50
dengan nama dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk
memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk
membagi sesuatu karenanya63.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni telah berkata
“Kaum
muslimin
telah
berkonsesus
terhadap
legitimasi
musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat
dalam beberapa elemen darinya64”
3) Rukun dan Syarat Syirkah
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun syirkah ada dua,
yaitu ijab dan qabul. Ulama Hanafiyah membagi persyaratan syirkah
ini menjadi empat, yaitu:
1) Syarat yang berkaitan dengan semua bentuk syirkah. Persyaratan
dalam wilayah ini terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Syarat yang berkaitan dengan benda yang diakadkan harus
dapat diterima sebagai perwakilan (wakalah).
b.
Hendaknya pembagian keuntungan ditetapkan secara jelas dan
diketahui oleh diketahui oleh semua pihak, seperti setengah,
sepertiga, dan lain-lain.
2) Syarat yang berkaitan dengan syirkah al-maal, seperti syirkah
mufawwadhah atau „inan. Untuk kategori syirkah tersebut, ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
63
Burhanuddin, hal. 103
Syafi‟i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hal. 91
64
51
a.
Modal yang dijadikan obyek akad syirkah berupa mataa uang
(alat bayar)
b.
Modal harus ada ketika akaad syirkah dilangsungkan baik
jumlah sama atau berbeda
3) Syarat yang khusus berkaitan dengan syirkah mufawwadhah, yaitu:
a.
Modal dalam syirkah mufawwadhah ini harus sama
b.
Modal harus tunai ketika akad syirkah berlangsung, bukan
berupa modal yang masih dalam simpanan
c.
Pihak yang bersyirkah termasuk yang ahli kafalah (mampu
memikul tanggungjawab)
d.
Obyek dalam akad yang disyirkahkan harus bersifat umum,
yaitu pada semua jenis jual beli atau perdagangan.
4) Syarat-syarat yang berkaitan dengan syirkah „inan sama dengan
syarat dalam syirkah mufawwadhah65
Norhasyimah Mohd Yasin (1997) telah menyimpulkan beberapa
ketentuan musyarakah sebagai berikut:
a) Musyarakah dapat dilakukan untuk transaksi umum atau
khusus dalam jangka waktu tertentu, yang bisa diperpanjang
jika para mitra setuju
b) Semua mitra harus menerima informasi berkala mengenai
operasi bisnis dan pembiayaannya.
c) Para mitra harus melakukan kesepakatan terlebih dahulu
sebelum memasuki suatu perjanjian musyarakah baru
dengan yang lain.
d) Proporsi keuntungan yang akan dibagikan harus disepakati
pada saat membuat perjanjian
e) Idealnya modal harus berupa uang bukannya barang, jika
dalam bentuk barang, maka nilai moneternya harus
dihitung.
f) Perjanjian musyarakah berakhir apabila meninggal atau ada
pemberitahuan.66
65
66
Qomarul Huda, hal. 102-104
Mervvyn Lewis dan Latifa Alground diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata, hal. 78-79
52
4) Jenis-Jenis Syirkah
Syirkah mempunyai dua jenis: musyarakah pemilikan dan
musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan kepemilikan
suatu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan
berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan dari aset tersebut67.
Musyarakah bisa berbentuk sebuah mufawadhah artinya suatu
kemitraan yang tidak terbatas, tidak tertutup dan sama dimana dimana
setiap mitra menikmati kesamaan yang utuh dalam hal modal,
manajemen dan hak pengaturan. Masing-masing mitra menjadi wakil
dan penjamin dari mitra lainnya. Kemitraan yang lebih terbatas
dikenal sebagai dikenal sebagai „inan (syirkah al-i‟nan). Jenis
kemitraan ini terjadi bila dua pihak atau lebih turut memberikan
modal, apakah dengan uang, pikiran atau kerja (tenaga). Musyarakah
„inan cukup terbatas pada usaha tertentu. Karena kedua mitra berbagi
keuntungan dengan cara yang disepakati dan menanggung kerugian
sesuai dengan proporsi kontribusi modal mereka68.
Bentuk-bentuk kerjasama bidang perdagangan dalam hukum
perdata Islam diklasifikasikan menjadi 4 bentuk yaitu sebagai berikut:
a.
67
Syirkah al‟inan adalah kontrak antara dua pihak atau orang
atau lebih untuk mendayagunakan harta kekayaanya dalam
berusaha guna mendapatkan penghasilan berdasarkan
Muhammad, Etika Bisnis Islami, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN,
tt), hal. 78
68
Mervvyn Lewis dan Latifa Alground diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata, hal. 69
53
b.
c.
d.
hukum perdata Islam. Pihak-pihak yang melakukan
kerjasama mempunyai kesepakatan baik dalam bentuk
modal saham maupun persentase keuntungan dan
kerugiannya sesuai dengan modal atau sahamnya
pengumpulan modal atau saham dapat dilakukan atas nama
diri sendiri secara langsung atau mewakilkannya kepada
orang lain. para pihak yang melakukan kerjasama dapat
menjual, memberi, menerima ataupun membayar, menagih
utang dan berperkara ringkasnya para pihak dapat
melakukan segala sesuatu untuk kemaslahatan bagi
perseroan atau usahanya.
Syirkah mufawadhah adalah kontrak kerjasama antara dua
orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Oleh
karena itu, syarat utama dari bentuk musyarakah ini adalah
kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggungjawab, dan
beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
Syirkah amal adalah dua orang atau lebih mengadakan
perseroan dalam bentuk usaha tetapi hanya mengandalkan
fisik dan tenaganya, seperti dalam suatu industri, konveksi,
dan sebagainya. Oleh karena itu, apa saja yang dapat
dilakukan dua orang perseroan dimaksud yang hasilnya
dibagi dua/ atau dibagi berdasarkan ketentuan kesepakatan
berdua.
Syirkah wujuh/ musyarakah piutang adalah kontrak dua
pihak atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise untuk
membeli barang secara kredit yang kemudian barang itu
dijualnya. Hasil atau keuntungan dari penjualan barang
dibagi dua, begitu juga kerugiannya ditanggung oleh kedua
pihak secara bersama-sama69.
2. Ijarah
1) Pengertian Ijarah
Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya
iaalh al-iwadh yang arti dari bahasa Indonesianya ialah ganti dan
upah70. Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa, jasa atau
69
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
153-155
70
115
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 114-
54
imbalan. Transaksi ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan
muamalah yang banyak dilakukan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup71 . Sedang menurut istilah, para ulama berbedabeda mendefinisikan ijarah antara lain sebagai berikut:
a.
Menurut
hanafiyah
bahwa
ijarah
adalah
akad
untuk
membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja
dari suatu dzat yang disewakan dengan imbalan.
b.
Menurut malikiyah bahwa ijarah adalah nama bagi akad-akad
untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagai
yang dapat dipindahkan
c.
Menurut syaikh syilhad ad din dan syaikh umairah bahwa
ijarah adalah akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja
untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang
diketahui ketika itu.
2) Dasar Hukum Ijarah
Dasar hukum ijarah dalam al-Qur‟an adalah:
...     ...

“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”
(Al-Thalaq:6)
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering”
(Riwayat Ibnu Majah)
“Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tamanan
yang tumbuh. Lalu rasullullah melarang kami cara itu, dan
71
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqh Muaumalah Konstektual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), hal. 181
55
memerintahkan kami agar membayarkan dengan uang emas atau
perak”72
3) Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun ijarah sebagai berikut: penyewa, pemilik obyek sewa, aset
atau obyek sewa, harga sewa/ atau manfaat sewa, ijab qabul. Adapun
syarat-syarat Ijarah adalah sebagai berikut: pihak yang terlibat harus
saling ridha, aset/ obyek sewa ada manfaatnya (manfaat tersebut
dibenarkan agama/halal, manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur/
diperhitungkan, manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang
menyewa, aset atau obyek sewa wajib dibeli pemilik obyek sewa
(lessor)73.
4) Jenis-jenis Ijarah
Ulama fiqih membagi ijarah menjadi dua. Pertama, ijarah atas ain
(benda) yang kelihatan, seperti menyewa sebidang tanah untuk
ditanami atau sebuah rumah untuk ditempati. Disyaratkan bahwa ainnya dapat dilihat dan diketahui tempat atau letaknya. Kedua, ijarah
diatas pengakuan akan tenaga, yaitu mengupahkan benda untuk
dikerjakan74. Tidak semua harta benda boleh diakadkan ijarah atasnya,
kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:
1.
72
Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas. Hal ini
dapat dilakukan misalnya dengan memeriksa, atau pemilik
memberikan informasi secara transparan tentang kualitas
manfaat barang
Hendi Suhendi, hal. 116-117
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, Jakarta: LPFE Usakti, 2009, hal. 266
74
H. Ibnu Mas‟ud dan H. Zainal Abidin S, Fiqh Mahzab Syafi‟i (Edisi Lengkap) Buku 2,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2007, hal. 139
73
56
2.
3.
4.
5.
Obyek ijarah dapat diserah-terimakan dan dimanfaatkan
secara langsung dan tidak mengandung cacat yang
menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah
atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
Obyek ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak
bertentangan dengan hukum syara‟. Menyewakan VCD
porno dan menyewakan rumah untuk kegiatan maksiat,
merupakan contoh kasus transaksi persewaan yang tidak
memenuhi persyaratan ketiga ini.
Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah
benda. Misalnya sewa-menyewa rumah untuk ditempati,
mobil untuk dikendarai, buku untuk dibaca, tanah atau kebun
untuk ditanami, dan lain sebagainya. Tidak dibenarkan sewamenyewa manfaat suatu benda yang bersifat tidak langsung.
Seperti sewa-menyewa pohon untuk diambil buahnya, atau
sewa-menyewa hewan ternak untuk diambil buahnya, atau
sewa-menyewa hewan ternak untuk diambil keturunannya,
telor, bulu atau susunya.
Harta benda yang menjadi obyek ijarah haruslah harta benda
yang bersifat isti‟maliy, yakni harta benda yang dapat
dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakaan
dzat dan pengurangan sifatnya. Seperti tanah, rumah, mobil.
Sedang harta benda yang bersifat istihlaki, harta benda yang
rusak atau berkurang sifatnya karena pemakaian seperti
makanan, buku tulis, tidak sah, ijarah atasnya.75
Musta‟jir diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada
orang lain dengan syarat penggunaan
barang itu sesuai dengan
penggunaan yang dijanjikan ketika akad, seperti penyewaan seekor
kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk
membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul
musta‟jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk
membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini bebas-bebas saja,
dalam arti boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.
75
Ghufron A. Mas‟adi, hal.183-185
57
Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang
bertanggungjawab adalah pemilik barang (mu‟jir) dengan syarat
kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta‟jir. Bila kecelakaan
atau kerusakaan benda yang disewa akibat kelalaian musta‟jir maka
yang bertanggungjawab adalah musta‟jir itu sendiri, misalnya
menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan
bukan pada tempat yang layak76.
3. Bai’ (Jual Beli)
1) Pengertian Bai’ (Jual Beli)
Bai‟ (jual beli) adalah alat tukar menukar harta dengan harta lain melalui
tata cara yang telah ditentukan oleh syariat. Yakni memenuhi syarat-syarat
jual beli. Akad ba‟i ini dapat dibuat sebagai sarana untuk memiliki barang atau
manfaat dari suatu barang untuk selama-lamanya. Sedang yang dimaksud kata
harta mencakup: barang, manfaat dari suatu barang.
2) Dasar Hukum Jual Beli
Al-baqarah ayat 275
            
             
Artinya:
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”.
76
Hendi Suhendi, hal. 121-122
58
3) Rukun dan Syarat Ba’i
a. Aqid (pihak yang bertransaksi) yakni penjual dan pembeli. Adapun
syarat Aqid adalah: Muthlaq at-tasharruf (baligh, berakal, rusydu/
memiliki potensi untuk bisa melaksanakan urusan agama dan mengatur
keuangan dengan baik. Tidak ada paksaan tanpa alasan yang benar dari
pihak manapun. Jika paksaannya atas dasar yang benar seperti untuk
melunasi hutangnya, maka bagi pihak berwenang diperbolehkan menjual
barang orang yang berhutang di sekalipun dengan secara paksa.
b. Ma‟qud „Alaih (obyek jual beli) mencakup barang yang dijual dan
harga barang yang dijual. Adapun syarat Ma‟qud „Alaih adalah:
Syarat-syarat Ma‟qud „Alaih baik yang menjadi tsaman (barang yang
dibuat membeli) atau mutsman (barang yang dibeli) ada 5: suci/ bisa
disucikan, bermanfaat, dibawah kuasa „Aqid, bisa diserahterimakan,
barang, kadar, serta sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak.
c. Shighat „Ijab qabul (ucapan serah terima dari kedua belah pihak)
Tidak ada perkataan lain yang memisah antara ijab dan qabul. Kecocokan
antara ijab dan qabul dengan perjanjian yang telah disepakati. Tidak ada
ketergantungan
4) Jenis-jenis Bai’
Ada 2 macam Bai‟: Pertama, Bai‟ Shahihah yaitu akad bai‟ yang telah
memenuhi syarat serta rukun jual beli. Kedua, Bai‟ fasidah yaitu akad bai‟
yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat rukun jual beli.
Macam-macam bai‟ Shahihah:
a. Jual beli barang yang terlihat tampak secara jelas dan ada ditempat
terjadinya transaksi
59
b. Jual beli barang pesanan yang lazim atau lebih dikenal dengan istilah
akad salam
c. Bai‟ sharf (jual beli emas atau perak, baik sejenis atau tidak). Jika jual
belinya dalam kategori satu jenis emas, perak dengan perak maka
disyaratkan: kontan, serah terima barang dilakukan ditempat akad,
barang yang dibeli, ukuran harga harus sama. jika tidak satu jenis maka
disyaratkan: kontan, serah terima barang dilakukan ditempat akad.
d. Bai‟ murabahah (jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan
ditambah keuntungan)
e. Bai‟ isyrak (jual beli barang secara serikat)
f.
Bai‟ muthahah (jual beli barang dengan cara penjual member diskon
kepada pembeli)
g. Bai‟ tauliyah (jual barang dengan harga perolehan, tanpa ada
keuntungan)
h. Bai‟ muqabadhah (jual beli hewan dengan hewan)
i.
Bai‟ dengan syarat khiyar (perjanjian yang telah disepakati antara penjual
dan pembeli untuk mengembalikan barang yang diperjualbelikan jika ada
ketidakcocokan didalam masa yang telah disepakatioleh keduanya.
j.
Bai‟ bi-syarti al-bara‟ah min al-„aib (jual beli barang dengan syarat tidak
ada cacat/ kekurangan pada barang tersebut.77
77
25-34
HM. Dumairi dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, tt), Hal.
60
E. Penelitian Terdahulu
1. P. Lindawaty S. Sewu, Aspek Hukum Perjanjian Baku dan posisi
berimbang para pihak dalam perjanjian waralaba, Universitas Katolik
Parayangan Bandung, 2007
Hasil dari penelitian ini penulis berkesimpulan berdasarkan yang
dimaksud perjanjian baku dalam bidang waralaba adalah perjanjian yang
dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi pihak pemberi waralaba dan
telah disusun terlebih dahulu oleh salah satu pihak serta dibentuk oleh
syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak lainnya untuk disetujui
dengan
tidak ada kebebasan bagi pihak penerima untuk melakukan
negosiasi atas apa yang ditawarkan. Pihak penyusun perjanjian yaitu pihak
pemberi waralaba dari suatu barang atau jasa dimana pada umumnya
seringkali memiliki posisi tawar lebih kuat dikarenakan memiliki kekuatan
secara financial, memiliki merek dagang terkenal, memiliki know how,
memiliki pengalaman bisnis yang teruji, memiliki metode bisnis yang
baik.
Posisi para pihak seringkali berada dalam keadaan tidak berimbang,
bahwa yang dimaksudkan dengan posisi berimbang dalam suatu perjanjian
adalah suatu keadaan yang berimbang. Jadi dapat dikatakan berimbang
apabila salah satu pihak mendapatkan banyak hak dikarenakan pihak
tersebut telah memberikan sesuatu yang lebih pula untuk memberikan
keuntungan bagi para pihak dalam suatu perjanjian. Posisi berimbang ini
dibentuk berdasarkan asas persamaan hak, dimana tercermin dalam asas
61
keseimbangan. Akan tetapi, dalam perjanjian baku dapat terjadi bila salah
satu pihak yang menyusun perjanjian mengambil manfaat dari situasi yang
lebih menguntungkan karena perumusan klausa tidak wajar yang hanya
menguntungkan salah satu pihak.
Bahwa asas keseimbangan ini pada prinsipnya merupakan prinsip
yang dikonstruksikan dari itikad baik, kewajaran dan kepatutan
penyalagunaan keadaan dimana kesemuanya itu menuntut adanya
keseimbangan. Hukum dapat dikatakan adil walaupun terdapat beberapa
ketidaksamaan, namun ketidaksamaan haruslah dapat meningkatkan
kedudukan yang paling sedikit diuntungkan, dan adil itu tidak harus
merata namun para pihak yang kedudukannya lebih lemah harus
dilindungi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode hukum
normatif, sifat penelitian deskriptif analitis yaitu menggambarkan fakta
dan permasalahan yang berhubungan dengan masalah aspek hukum
perjanjian baku dan posisi berimbang para pihak dalam perjanjian
waralaba secara menyeluruh dan sistematis, selanjutnya terhadap
permasalahan dilakukan analisis. Penelitian lebih diorientasikan pada data
sekunder dan pendekatan penelitian konseptual yaitu dengan mengkaji dan
menguji secara logis masalah aspek hukum dari perjanjian baku dan posisi
berimbang para pihak dalam perjanjian waralaba.
62
2. Nurin Dewi Arifiah, pelaksanaan perjanjian bisnis waralaba serta
perlindungan hukum bagi para pihak (Studi di Apotek K-24 Semarang),
Universitas Diponegoro Semarang, 2008
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian bisnis
waralaba di Apotek K – 24 Semarang adalah perjanjian yang tidak
bertentangan dengan undang – undang, agama, ketertiban umum, dan
kesusilaan. Artinya perjanjian waralaba tersebut sah dan oleh karena itu
perjanjian itu menjadi undang – undang bagi mereka yang membuatnya,
dan mengikat kedua belah pihak dan perjanjian tersebut merupakan
perjanjian baku timbal balik karena masing – masing pihak mempunyai
hak dan kewajiban yang seimbang mengedepankan prinsip win – win
solution yang saling menguntungkan. Dapat disimpulkan, sebagai suatu
transaksi yang melahirkan perjanjian, waralaba selalu melibatkan dua pihak
yang memiliki kepentingan yang berdiri sendiri dan kadangkala bertolak
belakang. Prinsip mencari keuntungan sebesar-besarnya ini jugalah yang
pada pokoknya menjadi sumber perbedaan kepentingan dan perselisihan
yang dapat terjadi di antara kedua belah pihak tersebut. Keuntungan yang
besar ini hanya dapat dicapai oleh kedua belah pihak jika antar kedua belah
pihak dapat menjalin sinergisme yang saling menguntungkan.
Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis empiris,
dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang kemudian
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif.
63
3. Getty Amanda Irawan, Tinjauan Yuridis terhadap kemitraan dengan pola
waralaba dan aspek perlindungan hukum terhadap penerima waralaba,
Universitas Indonesia, 2011
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewajiban pemberi waralaba
antara lain adalah memberikan informasi yang berhubungan hak kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha serta memberikan bantuan
pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada penerima waralaba.
Disamping itu, pemberi waralaba memiliki hak untuk melakukan
pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba, memperoleh laporan-laporan
secara berkala atas jalannya kegiatan usaha penerima waralaba,
mewajibkan penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan kekayaan
intelektual serta penemuan atau ciri khas usaha, mewajibkan agar penerima
waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa ataupun yang
secara langsung ataupun tidak langsung dapat menimbulkan persaiangan
dengan kegiatan yang diwaralabakan, menerima pembayaran royalti dalam
bentuk, jenis, dan jumlah yang dianggap layak olehnya, meminta kepada
penerima waralaba untuk mengembalikan seluruh data, informasi maupun
keterangan yang diperoleh penerima waralaba selama maka pelaksanaan
waralaba pada pengakiran waralaba. Sedangkan dalam PP No. 42 Tahun
2007 tentang waralaba pada dasarnya telah memberikan perlindungan
hukum bagi penerima waralaba yang juga merupakan usaha mikro, kecil
dan menengah namun PP No. 42 tahun 2007 tidak lengkap dan tidak rinci
dalam mengatur klausa minimal dan pelaksanaan prospektus penawaran
64
waralaba sehingga perlindungan hukum bagi penerima waralaba tidak
tercipta secara sempurna.
Dalam penelitian ini digunakan metode pendekatan yuridis normatif
yaitu penelitian hukum yang menggunakan data sekunder dimulai dengan
analisis terhadap permasalahan yang berasal dari literatur maupun
peraturan perundang-undangan.
4. Dathiessa Claudia Horax, Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Keberadaan
Waralaba minimarket di Kota Makassar, Universitas Hasanuddin
Makassar, 2013
Hasil penelitian menunjukkan penelitian ini antara lain adalah: (1)
Dampak negatif yang ditimbulkan oleh waralaba minimarket bagi
pedagang kelontong yakni mengurangi pendapatan pedagang kelontong.
Dan alasan mengapa masyarakat Kota Makassar memilih berbelanja di
minimarket dibanding toko kelontong karena barang-barang yang dimiliki
minimarket lebih lengkap dengan harga yang relatif lebih murah dibanding
toko kelontong. (2) Perlindungan terhadap pedagang kelontong atas
keberadaan waralaba minimarket di Kota Makassar belum ada upaya
konkret karena adanya perdagangan bebas sehingga diberikan kesempatan
bagi semua pihak dalam berusaha. Akan tetapi dalam rencana peraturan
daerah baru akan ada pengaturan mengenai zonasi/jarak antara pelaku
usaha waralaba minimarket. Dalam penelitian ini digunakan metode
analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif.
65
5. Dewi Irma Fitriani, Strategi pengembangan bisnis waralaba lembaga
pendidikan primagama, Universitas Islam Negeri Syarif Hidatullah Jakarta,
2009
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan kelembagaan
waralaba primagama secara umum disusun berdasarkan konsep strategi 7P
yang terfokus pada point-point sebagai berikut: Product, People, Physical,
Process, Place, Price dan Promotion. Adapun alternatif rencana dan strategi
baru yang dapat diaplikasikan, diantaranya:
a. Memaksimalkan strategi yang telah dijalankan agar lebih optimal
b. Mengoptimalkan dan mengembangkan link dengan rekanan bisnis yang
telah ada ataupun yang baru
c. Memaksimalkan setiap kekuatan dan peluang yang ada di tengah
beragam kelemahan dan tantangan yang dihadapi melalui strategi SO,
WO, ST dan WT
Analisis kesyariahan terhadap strategi pengembangan bisnis waralaba
primagama ditinjau dari aspek-aspek berikut ini adalah:
a. Aspek pemanfaatan hak cipta, dimana pengenaan franchisee fee oleh
primagama kepada investor (franchisee) serupa dengan bentuk ijarah
(sewa-menyewa), dengan obyek akad adalah hak cipta, merk, logo,
system bisnis, SOP, dsb. Dan atas dasar persewaan itulah maka
priagama berhak atas franchisee fee sebesar 75 juta- 175 juta rupiah
untuk waktu 5 tahun
66
b. Aspek kemitraan usaha yang dijalankan, bentuk operasionalnya serupa
dengan bentuk syirkah. Dalam hal ini primagama memberikan
kontribusi berupa keahlian yang dimiliki dan hal lain sesuai
kesepakatan. Disisi lain, kontribusi investor berupa kucuran dana dan
keaktifan (langsung ataupun tidak) untuk menjalankan usaha bersamasama dengan primagama.
Dalam hal ini bagi hasil diberlakukan sebagai kompensasi atas
kontribusi yang telah disumbangkan masing-masing pihak. Bentuk bagi
hasil yang diterima primagama berupa royalty fee sebesar 10,7 % dari
total pendapatan outlite franchise setiap bulannya.
c. Aspek tentang tata cara penyelesaian masalah
Dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan mitra bisnis
secara damai dan jauh dari perselisihan dengan mengutamakan
musyawarah untuk mufakat diatas kepentingan pribadi masing-masing
pihak.
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif dimana data
dinyatakan dalam bentuk tertulis berupa kata, kalimat atau gambar dan
bagan yang tersusun secara sistematis dan tidak dinyatakan dalam bentuk
angka.
6. Annisa Dyah Utami, Konsep Franchise Fee dan royalty fee pada waralaba
bakmi tebet menurut prinsip syariah, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010
67
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Franchise fee yang ditetapkan
bakmi tebet sepanjang tahun 2003-2007 belum memenuhi prinsip syariah.
Namun sejak tahun 2008 hingga kini dalam waralaba bakmi tebet tidak
terdapat unsur eksploitasi antara franchisor terhadap franchisee. Besar
franchise fee disesuaikan dengan kemampuan franchisor namun
disesuaikan pula dengan standar yang dibutuhkan.
Hal ini juga sejalan dengan prinsip keadilan dan kerelaan dalam
bertransaksi secara islami. Prinsip keadilan disini maksudnya adalah
bahwa manajemen waralaba bakmi tebet tidak menetapkan royalty fee
yang besar agar tidak membebani franchisee, besar royalty fee pun hanya
sebesar 3,5 % dari omset kotor franchisee. Bahkan franchisee kurang dari
Rp. 30 juta sebulan, franchisee tidak harus membayar royalty fee kepada
franchisor. Besarnya franchise fee yang ditetapkan manajemen bakmi tebet
pada setiap pada setiap cabangnya tidak sama satu sama lain bergantung
pada biaya yang dibutuhkan untuk membuka suatu cabang. Dan dalam
penetapan franchise fee ini 75 % responden yang merupakan franchisee
waralaba bakmi tebet mengaku puas dengan besar franchise fee yang
dibayarkan karena bersifat fleksibel. Mengenai royalty fee yang
dibebankan yaitu sebesar 3,5 % dari omset kotor, 75 % responden
mengaku puas dan tidak berkeberatan dengan penetapan royalty fee adalah
hak franchisor dan itu merupakan kewajiban mereka untuk membayarnya.
Mengenai kinerja manajemen bakmi tebet 100 % responden mengaku puas
dengan kinerja manajemen bakmi tebet karena secara berkala selalu
68
memberikan pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan franchisee dalam
mengelola cabang bakmi tebet.
Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian bersifat deskriptif yang
terdiri dari kualitatif dan kuantitatif guna memperoleh data-data tersebut,
penulis mempergunakan penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan.
Persamaan dari keseluruhan penelitian terdahulu adalah jenis
penelitian yang menggunakan metode kualitatif. Sedangkan perbedaan
dari penelitian ini adalah mengkaji sistem operasional yang terdapat pada
waralaba es krim 99. Yang mana sistem operasionalnya relatif lebih
mudah dan tidak membutuhkan banyak biaya. Sedangkan untuk hukum
ekonomi Islam terdapat pada analisis akad yang diterapkan pada
operasional es krim 99.
Download