BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Definisi Film Film

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Film
2.1.1 Definisi Film
Film merupakan karya sinematografi yang dapat berfungsi sebagai alat
cultural education atau pendidikan budaya. Meski pada awalnya film diperlakukan
sebagai komoditi yang diperjual-belikan sebagai media hiburan, namun pada
perkembangannya film juga kerap digunakan sebagai media propaganda, alat
penerangan bahkan pendidikan. Dengan demikian film juga efektif untuk
menyampaikan nilai-nilai budaya.
Film sebagai karya seni budaya dan sinematografi dapat dipertunjukkan
dengan atau tanpa suara. Ini bermakna bahwa film merupakan media komunikasi
massa yang membawa pesan yang berisi gagasan-gagasan penting yang
disampaikan kepada masyarakat dalam bentuk tontonan.
Meski berupa tontonan, namun film memiliki pengaruh yang besar. Itulah
sebabnya film mempunyai fungsi pendidikan, hiburan, informasi, dan pendorong
tumbuhnya industry kreatif lainnya. Dengan demikian film menyentuh berbagai
segi kehidupan manusia dalam bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara. Film
menjadi sangat efektif sebagai media pembelajaran dalam rangka menanamkan
nilai-nilai luhur, pesan moral, unsure edukatif, dan lain-lain.
7
8
Namun seperti halnya karya sastra, film adalah karya seni budaya yang
terbentuk dari berbagai unsur. Secara umum struktur film sama dengan struktur
karya sastraya itu berbentuk oleh unsur-unsur intrinsic dan unsure ekstrensik.
Film memiliki pengertian yang beragam, tergantung sudut pandang orang
yang membuat definisi. Berikut adalah beberapa definisi film. Menurut kamus
bahasa Indonesia yang di terbitkan oleh pusat bahasa pada tahun 2008, film adalah
selaput tipis yang dibuat dari seluloit untuk tempat gambar negatif (yang akan
dibuat potret).3
Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural
atau semiotika. Seperti dikemukakan oleh fan zoest (fan zoest, 1993:109), film
dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem
tanda yang berkerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.
Berebeda dengan fotografi statis, rangkayan gambar dalam film menciptakan
imajinasi dan sistem penandaan. Karna itu, memurut fan zoest, bersamaan dengan
tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tandatanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu (fan zoest,
1993:109). Memang ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan
realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis
bagi realitas dan dinotasikannya4.
3
4
TeguhTrianton. Film Sebagai Media Belaja. Jakarta: Graha Ilmu. 2011. Hal 1-2
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Cetakan Keempat 2009. hal 127
9
2.1.2 Fungsi Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi
informatif maupun edukatif bahkan persuasif. Hal inipun sejalan dengan misi
perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film
nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda
dalam rangka nation and character building yang artinya nasional dan
pembentukan karakter (Effendi, 1981:212).
Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi filmfilm sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari
kehidupan sehari-hari secara berimbang5.
Sebagai media massa film merupakan bagian dari respons terhadap
penemuan waktu luang, waktu libur dari kerja, dan sebuah jawaban atas tuntutan
untuk cara menghabiskan waktu luang keluarga yang sifatnya terjangkau dan
(biasanya) terhormat. Film memberikan keuntungan budaya bagi kelas pekerja
yang telah dinikmati oleh kehidupan social mereka yang cukup baik.
Pencirian film sebagai ‘bisnis pertunjukan’ dalam bentuk baru bagi pasar
yang meluas bukanlah keseluruhan ceritanya. Terdapat tiga elemen penting dalam
sejarah film. Pertama, penggunaan film untuk propaganda sangatlah signifikan.
Dua elemen lain dalam sejarah film adalah munculnya beberapa sekolah seni film
(Huaco,1963) dan munculnya gerakan film documenter.
5
Op.cit, Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, hal 145
10
Film semacam ini berbeda dari yang umum karena memiliki daya tarik
bagi minoritas atau memiliki elemen realism yang kuat (atau keduanya).
Keduanya meiliki hubungan, sebagian tidak disengaja dengan film sebagai
propaganda karena keduanya cenderung muncul pada saat adanya krisis social
(social crisis).
Masih ditemukan adanya elemen propaganda ideologis yang terlihat samar
di banyak film hiburan popular, bahkan dalam masyarakat yang cenderung
‘bebas’ dari politik. Hal ini mencerminkan percampuran dari berbagai kekuatan,
percobaan yang hati-hati atas control sosial, penerapan nilai konservatif atau
populis yang sembrono, beragam cara pemasaran dan iklan menerobos masuk ke
ranah hiburan, dan pengejaran bagi daya tarik massa. Walaupun adanya dominasi
fungsi hiburan dalam sejarah film, film sering kali menampilkan kecenderungan
pembelajaran atau propagandis. Film yang cenderung lebih rentan dari pada media
lain terhadap gangguan dari luar dan sering kali tunduk pada tekanan untuk
seragam karena terlalu banyak modal yang terlibat.
Walaupun film seni diuntungkan dengan adanya ‘demasifikasi’ dan
pengkhususan dari media film. Pada dua generasi pertama para penonton film,
pengalaman menonton film tidak dapat dipisahkan dengan jalan-jalan yang
biasanya dilakukan dengan teman dan biasanya di tempat yang lebih besar dari
rumah. Sebagai tambahan, bioskop yang gelap menawarkan gabungan antara
menonton privasi dengan kenyamanan yang memberikan dimensi lain terhadap
pengalaman menonton ini. Sebagaimana dengan televisi di kemudia hari, ‘pergi
ke bioskop’ sama pentingnya dengan kegiatan menonton film.
11
Pemisahan antara film dengan bioskop merujuk kepada bagaimana film
dapat ditonton, setelah pertunjukan di awal bioskop. Hal ini termasuk penyiaran
televisi, penyiaran kabel, rekaman video, dan penjualan atau penyewaaan DVD,
televisi satelit dan saat ini internet digital jaringan pita lebar, serta penerimaan
telepon genggam. Perkembangan-perkembangan ini memiliki potensi dampak
tertentu, yaitu membuat film tidak lagi sebagai pengalaman public bersama dan
lebih kepada pengalaman pribadi. Mereka mengurangi ‘dampak’ awal dari ekspos
terhadap massa atas film tertentu. Mereka mengubah pemilihan kepada khalayak
dan memungkinkan adanya pola baru untuk mengulang tontonan dan
menyimpannya.
Teknologi baru ini juga memungkinkan untuk melayani banyak pasar
khusus dan memudahkan untuk menyediakan permintaan atas konten kekerasan,
horror, atau pornografi. Teknologi ini juga memperpanjang waktu hidupnya film.
Meskipun kebebasan memiliki dampak yang membuat film sebagai ‘media
massa’, film tidak dapat secara penuh mengklaim hak atas politik dan ekspresi diri
secara artistic, dan sebagian besar Negara membatasi system untuk melisensi,
menyensor dan menguasai.
Oleh karna itu, film adalah sebuah pencipta budaya massa. Bahkan,
menurun nya penonton film kemudian dikompensasikan oleh para penonton film
domestik yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel dan saluran satelit.6
6
Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Edisi 6, Salemba Humanika, Jakarta,2011, hal 35-37
12
2.1.3 Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukan karakteristik film adalah layar lebar,
pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis. Berikut
adalah penjelasan mengenai karakteritik film:
1. Layar yang Luas/Lebar
Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan terhadap penontonnya
untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apa lagi dengan
adanya kemajuan teknologi, layar film diboskop-bioskop pada umumnya
sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata
dan tidak berjarak.
2. Pengambilan Gambar
Pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari
jarak jauh atau extreme long shot, dan panaromic shot, yaitu pengambilan
pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan
artistic dan suasana sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik.
3. Konsentrasi Penuh
Disaat menonton film dibioskop kita semua terbebas dari gangguan hiruk
pikuknya suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata
hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur
cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa suasana, kita
akan tertawa terbahak-bahak manakala kita melihat adegan lucu, atau
sedikit senyum dikulum apabila adegan yang menggelitik. Namun dapat
13
juga kita menjerit ketakutan bila adegan menyeramkan dan bahkan
menangis melihat adegan menyedihkan.
4. Identifikasi Psikologis
Kita semua dapat merasakan bahwa Susana digedung bioskop telah
membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan.
Karna penghayatan kita yang amat mendalam, sering kali secara tidak
sadar kita menyamakan (mengidentifikasi) pribadi kita dengan salah
seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang sedang
berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa social disebut sebagai identifikasi
psikologis (Effendy, 1981: 192).7
2.1.4 Jenis-Jenis Film
Film dapat dikelompokan pada jenis sepeti film cerita, film berita, film
documenter dan film kartun. Bagi kita amatlah penting mengetahui jenis-jenis
film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya,
berikut adalah penjelasan sedikit mengenai jenis-jenis film.
1. Film Cerita
Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim
dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan
film ini didistribusikan sebagai barang dagang. Cerita yang diangkat
menjadi topic film bisa berupa cerita fiktif atau berdasar kepada kisah
7
Op.cit, Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Hal 145-146
14
nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dalam jalan
cerita maupun dari segi gambarnya.
2. Film Berita
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang
benar-benar terjadi. Karena bersifatnya berita, maka film yang disajikan
kepada public harus mengandung nilai berita (news value).
3. Film Dokumenter
Film documenter merupakan film hasil interpretasi pribadi (pembuatnya)
mengenai kenyataan tersebut.8
Film dokumenter menurut Sumarno adalah film yang kerap menyajikan
realita melalui berbagai cara yang dibuat untuk berbagai macam tujuan.
Intinya jenis film ini berpijak pada realitas yang hal-hal senyata mungkin.
Karena bentuknya dokumenter, maka film ini diproduksi dengan tujuan
utama untuk penyebaran informasi, pendidikan dan propaganda bagi orang
atau kelompok tertentu.9
4. Film Kartun
Film kartun dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Sebagian besar film
kartun, sepanjang film itu diputar akan membuat kita tertawa karena
kelucuan para tokohnya. Sekalipun tujuan utamanya menghibur, film
kartun juga bisa mengandung unsur pendidikan. Minimal akan terekam
8
Ibid, Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Hal 148
Heru Effendy, Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser edisi kedua, Erlangga, Jakarta,
Hal 4
9
15
apabila ada tokoh jahat dan tokoh baik, maka pada akkhirnya tokoh
baiklah yang akan selalu menang.10
2.1.5 Genre-genre Film
Pada dasarnya genre film terbagi menjadi beberapa jenis, tergantung
karakter da nisi yang ditampilkan dalam film. Beberapa jenis film yang lain di
antaranya :
1. Action : istilah ini selalu dikaitkan dengan adegan berkelahi, kebutkebutan, dan tembak-menembak, film ini secara sederhana disebut sebagai
film action yang berisi pertarungan fisik antara tokoh protagonis dan
antagonis.
2. Drama : Film ini menyuguhkan adegan-adegan yang menonjolkan sisi
human interest atau rasa kemanusiaan. Tujuannya adalah menyentuh
perasaan simpati dan empati penonton sehingga meresapi kejadian yang
menimpa tokohnya.
3. Komedi : tema ini selalu menawarkan sesuatu yang membuat penontonnya
tersenyum bahkan tertawa. Biasanya adegan dalam film merupakan
sindiran dari suatu kejadian atau fenomena yang sedang terjadi. Film
komedi berbeda dengan tayangan program komedi atau lawakan. Film
komedi tidak harus dilakonkan oleh pelawak, tetapi pemain film bisa.
4. Tragedi : Tema yang diangkat dalam film ini menitikberatkan pada nasib
manusia.
10
Biasanya
konflik
yang
muncul
Op.cit, Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Hal 149
kerap
sekali
berakhir
16
menyedihkan. Salah satu tokoh akan mengalami sebuah penderitaan yang
tragis. Ada kalanya akhir cerita pada film ini, sang tokoh selamat dari
kekerasan, perampokan, bencana alam atau tragedi kemanusiaan lainnya.
Film-film tragedi biasanya disisipi dengan adegan laga atau aksi yang
menegangkan, adegan romantis dan lucu hanya sebagai selingan saja.
5. Horror : Film yang menyuguhkan suasana yang menakutkan atau
menyeramkan sehingga membuat penontonnya merinding. Artinya tidak
harus hantu yang muncul.
6. Science fiction/fiksi ilmiah : Cerita yang dimunculkan adalah fiksi belaka,
disebut ilmiah karena cerita fiksi tersebut dibuat dengan sedekat mungkin
dapat diterima dengan logika ilmiah. Penulis cerita fiksi ilmiah biasanya
berusaha menggabungkan realitas yang fiksional dengan logika ilmu
pengetahuan. Dengan demikian adegan-adegan dan cerita dalam film ini
seolah-olah benar-benar dapat terjadi secara nyata..11
2.2
Konstruksi Sosial Media Massa
Konsep
mengenai
konstruktivisme
diperkenalkan
oleh
sosiolog
interpretative, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman, ia banyak menulis
karya dan menghasilkan tesis mengenai konstruksi sosial atas realitas. Menurut
Berger, realitas tidak terbentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan
oleh tuhan. Tetapi sebaliknyaia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman
semacam ini, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang mempunyai
11
Teguh Trianton, Film Sebagai Media Belajar, Graha Ilmu, Jakarta, 2011, Hal 30-35
17
konstruksi yang berbeda- beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai
pengalaman, prefensi, pendidikan tertentu akan menafsirkan realitas sosial itu
dengan konstruksinya masing- masing.12
Realitas sosial terdiri dari realitas objektif, realitas simbolis dan realitas
subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di
dunia objektif yang berada diluar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai
kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif
dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang
terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis
kedalam individu melalui proses interealitas.13
Media adalah agen konstruksi, pandangan konstruksionis mempunyai
posisi yang berbeda dibandingkan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media
adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke khalayak. Media
bukan sebagai agen, melainkan hanya sebagai saluran. Media dilihat sebagai
sarana yang netral. Sedangkan dalam pandangan konstruksionis, media dilihat
sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang
mengonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, biasm dan pemihaknya.
Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan
realitas. Apa yang tersaji dalam media, adalah produk dari pembentukan realitas
12
Eriyanto. Analisis Framing Konstruksi Ideologi dan Politik Media .Yogyakarta: LKis. 2002 hal
15
13
Burhan Bungin. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan,
Televisi dan Kepuasan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckman.
Jakarta: Kencana. 2008 hal 24
18
oleh media. Media adalah agen yang sec3ara aktif menafsirkan realita untuk
disajikan kepada khalayak.14
Tabel 2.2
Konstruksi Sosial Media Massa
POSITIVIS
Media Sebagai Saluran Pesan
Konstruksionis
Media Sebagai Agen Konstruksi Pesan
Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama,
pendekatan kosntruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah
sesuatu yang absolut, konspe static yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna
adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua,
pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang
dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan
dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana
konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan
sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam
menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan
tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator
dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan,
14
Ibid. hal 31
19
memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks
pengalaman, pengetahuannya sendiri.15
2.2.1 Proses Konstruksi Sosial Media Massa
Proses konstruksi sosial media massa melaui tahapan sebagai berikut:
1.
Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adlah tugas redaksi
media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada disetiap
media massa. Masing- masing media memiliki desk yang berbeda- beda
sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu- isu penting setiap hari
menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal, yaitu
kedudukan, harta dan perempuan. Ada tiga hal penting dalam penyiapan
materi konstruksi sosial, yaitu:
a.
Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana
diketahui, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak
dimiliki oleh kapitalis. Dalam arti kekuatan- kekuatan kapital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipat
gandaan.
b.
Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada
masyarakat, namun ujung- ujungnya adalah juga untuk menjual berita
demi kepentingan kapitalis.
15
Op.cit, Eriyanto. Analisis Framing Konstruksi Ideologi dan Politik Media. Hal 47-48
20
c.
Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan
kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya
adalah visi setiap media massa, namun akhir- akhir ini visi tersebut
tak pernah menunjukan jati dirinya, namun slogan- sloga tentang visi
ini tetap terdengar. Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media
massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut diatas, namun pada
umumnya keberpihakan pada kepentingan kapitalis menjadi sangat
dominan mengingat media massa adalah mesin produksi kapitalis
yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan.
2. Tahap Sebaran Konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa.
Konsep konkret strategi sebaran media massa masing- masing media
berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time terdiri dari beberapa
konsep hari, minggu, atau bulan, seperti terbitan harian, terbitan
mingguan, atau bulanan. Walaupun media cetak memiliki konsep real time
yang sifatnya tertunda, namun konsep aktualitas menjadi pertimbangan
utama sehingga pembaca merasa tepat waktu memperoleh berita tersebut.
Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan
model satu arah, dimana media menyodorkan informasi sementara
konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengkonsumsi
informasi itu. Prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa
adlah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan
21
setepatnya berdasarkan pada agenda media. Apa yang dipandang penting
ileh media menjadi penting pula bagi pembaca.
3. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas
Tahap pembentukan konstruksi realitas melalui tahapan sebagai berikut:
a. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah
sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di
masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik.
Pertama,
konstruksi
realitas
pembenaran:
kedua,
kesediaan
dikonstruksi oleh media massa: ketiga, sebagai pilihan konsumtif.
Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk
konstruksi media massa yang terbangun dimasyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai
sebuah realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa
sebagai otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.
Tahap kedua adalah kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu
sikap generik dari tahap pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk
menjadi pembaca media massa adalah karena pilihannya untuk
bersedia pikiran- pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Tahap
ketiga adalah menjadikan konsumsi media sebagai pilihan konsumtif,
dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa. Media
massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan. Pada
22
tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila ia
belum membaca koran.
b. Pembentukan Konstruksi Citra
Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap
konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citre yang dibangun oleh
media massa ini terbentuk dalam dua model: 1) model good news dan
2) model bad news.
4. Tahap Konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi
argumentas dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam
tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai
bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam
proses konstruksi sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan
dalam konfirmasi ini yaitu: a) kehidupan modern menghendaki pribadi
yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa, b)
kedekatan dednga media massa adalah life style orang modern, dimana
orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media
massa
itu sendiri,
dan
c)
media
massa memiliki kemampuan
mengkonstruksi realitas media berdasarkan subjektifitas media, namun
kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber
pengetahuan tanpa batas yang sewaktu- waktu dapat di akses.
23
2.2.2 Film Sebagai Media Konstruksi Realitas
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Berger menulis risalat teoritis utamanya, The Social
Construction of Reality (1996) bersama- sama dengan seorang sosiolog Jerman,
Thomas Luckman.16
Teori ini berakar pada paradigma konstruktivitis yang melihat bagaimana
suatu realitas sosial dikonstruksikan. Fenomena sosial dipahami sebagai suatu
realitas yang telah dikonstruksikan. Karenanya, konsentrasi analisis pada
paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas
tersebut dikonstuksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk.
Realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup
dan berkembang dimasyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana politik
sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksi melalui tiga
proses stimulan (moment), yakni pertama, Eksternalisasi yaitu usaha pencurahan
atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun
fisik yang ditandai oleh hungungan antar manusia dengan lingkungan dan dengan
dirinya sendiri. Melalui Eksternalisasi manusia menemukan dirinya dengan cara
membangun dan membentuk dunia sekelilingnya; kedua, Objektivasi yaitu suatu
proses dimanaobjek yang memiliki makna umum sebelum seorang individu lahir
di dunia. Hasil Objektivasi ini kemudian dikenal dengan nama pengetahuan.
Sebagian dari pengetahuan ini dianggap sesuai dengan realitas tertentu saja.
16
Margaret M. Polona. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Hal 300
24
Melalui proses Objektivasi, masyarakat menjadi sebuah realitas yang alami dan
diterima apa adanya. Objektivasi merupakan hasil yang telah dicapai, baik mental
maupun fisik dari kegiatan Eksternalisasi manusia; ketiga, Internalisasi yaitu
proses yang mana individu terlahir tidak langsung menjadi anggota masyarakat.
Hanya saja ia dilahirkan dengan kecenderungan ke arah kemasyarakatan. Melalui,
Internalisasi itulah manusia menjadi produk masyarakat.17
Eksternalisasi dalam sebuah film dilakukan melalui proses kreatifitas atau
ide seorang sutradara dalam mengkonstruksikan sebuah cerita yang dibangun
melalui media film terhadap dunia sosial disekitarnya. Kemudian proses
objektivasi dilakukan oleh seorang sutradara dengan memunculkan nilai- nilai
pengetahuan atau pesan kepada penonton. Proses internalisasi dilakukan dengan
menyuguhkan film secara keseluruhan kepada penonton sebagai bagian dari
realitas yang terjadi di masyarakat.
Film merupakan salah satu media yang mempunyai kekuatan dan peran
besar dalam membentuk realitas. Realitas sendiri merupakan hasil dari konstruksi
sosial yang diciptakan melalui kreativitas sutradara terhadap dunia sosial
disekitarnya. Pemahaman tentang sebuah realitas yang dikonstruksikan melalui
media film melalui tiga proses, yakni eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Ketiga proses tersebut merupakan proses komunikasi. Komunikasi dilihat pada
bagaimana komunikasi membentuk konstruksi tentang apa yang dipercaya
manusia tersebut sebagai realitas sosial. Komunikasi yang terjadi dalam tataran
komunikasi simbolik. Bahasa sebagai alat komunikasimanusia pada hakikatnya
17
Burhan Bungin. Imaji Media Massa: Komunikasi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi
Dalam Masyarakat. Jakarta: Jendela. 2011. Hal 15
25
tercipta berkat proses konstruksi sosial. Manusia menciptakan bahasa dan bahasa
pula yang menciptakan manusia. Keduanya melakukan proses dialektis.
Menurut Onong Uchyana Effendi, film merupakan medium komunikasi
yang ampuh, bukan saja untuk hiburan, tetapi untuk penerangan dan pendidikan.
Sedangkan menurut Jacob Sumardjo, dari pusat pendidikan film dan televisi,
menyatakan bahwa film berperan sebagai pengalaman dan nilai.18
Sebagai pengalaman film hadir dalam bentuk pengelihatan dan
pendengaran. Melalui pengelihatan dan pendengaran inilah, dilm memberikan
pengalaman- pengalaman baru kepada penonton. Pengalaman itu menyampaikan
berbagai nuansa perasaan dan pemikiran kepada penonton. Film merupakan media
yang efektif menyampaikan pesan, dimana pesan- pesannya dapat disampaikan
kepada penonton secara halus dan menyentuh relung hati tanpa mereka merasa
digurui.
Hal
ini
senada
dengan
ajaran
Allah
bSWT
bahwa
untuk
mengkomunikasikan pesan, hendaknya dilakukan secara qawlan syadidan, yaitu
pesan yang dikomunikasikan dengan benar, menyentuh, dan membekas dalam
hati.19
Berkaitan dengan film yang dapat menyampaikan pesan dengan cara
qawlan syadidan, menurut Graeme Turner, makna dilm sebagai representasi dan
realitas. Sebagai refleksi dari realitas film sekedar “memindah” realitas ke layar
tanpa mengubah realitas itu. Film merekam realitas yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, kemudian memproyeksikannya ke atas layar. Sementara itu,
sebagai representasi dari realitas film membentuk dan “menghadirkan kembali”
18
Aep Kusnawan, dkk. Komunikasi dan Penyiaran Islam. Bandung: Benang Merah Press. 2004.
Hal 94
19
Ibid. hal 94-95
26
realitas berdasarkan kode- kode, konvensi- konvensi, dan ideologi dari
kebudayaannya.20
2.3
Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani “semeion”
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvensi sosisal terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek- objek, peristiwa- peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.21
Semiotika adalah ilmu tentang tanda- tanda dam segala yang berhubungan
dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda- tanda lain, pengirimannya
dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya.22
Tanda berasal dari bahasa latin yang berarti “pengindentifikasian” atau
“penama”. Tanda adalah sesuatu yang mewakili dirinya dan tidak mewakili
sesuatu yang lain. Keunikan kualitas dari tanda terletak pada hubungan satu
persatu. Hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberi makna yang sama
bagi semua orang yang menggunakannya. Pada umunya, tanda mengandung dua
bentuk. Pertama, tanda dapat menjelaskan, (baik seara langsung maupun tidak)
tentang
sesuatu dengan makna tertentu. Kedua, tanda mengkomunikasikan
maksud suatu makna. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya,
20
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006. Hal 127- 128
Alex Sobur. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana Analisis Semiotika
dan Analisis Framing. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2001 hal 95
22
Rachmat Kriyantono. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Kencana Pradana Media Group. Jakarta.
2006. Hal 265
21
27
apalagi semua orang memberikan makna yang sama atas benda tersebut sebagai
hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili realitas (Liliweri, 2002: 178).
Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan social, memahami
dunia sebagai suatu system hubungan yang memiliki unit dasar dengan ‘tanda’.
Maka dari itu, semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda.23
Dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah yaitu :24
S ( s,i,e,r,c )
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotika); s untuk sign
(tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya,
suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi
tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks)
atau condisitions (kondisi).
2.3.1 Semiotika Charles Sanders Pierce
Sementara, Istilah semiotika atau semiotik, yang dimunculkan pada akhir
abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk
kepada "doktrin formal tentang tanda tanda". Yang menjadi dasar dari semiotika
adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang
tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun sejauh terkait dengan
23
Indiwan Setyo Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Dan
Skripsi Komunikasi, Edisi Kedua, Jakarta, 2013, hal 9
24
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.2006 hal 15
28
pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu,
manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri
merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tandatanda non verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka
praktik sosial konvensional lainnya, dapat di pandang sebagai sejenis bahasa yang
tersusun dari tanda-tanda bermakna yang di komunikasikan berdasarkan relasirelasi.25
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon), index
(indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda
dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon
adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan;
misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Simbol adalah
tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya.
Tipologi tanda versi Charles Sanders Pierce membedakan tipe tanda
menjadi: 26
1. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa sehingga tanda itu
mudah dikenali oleh para pemakainya. Didalam ikon hubungan antara
representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa
kualitas.
25
Ibid. Hlm. 13
Indiwan Setyo Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Dan
Skripsi Komunikasi, Edisi Kedua, Jakarta, 2013, hal 18
26
29
2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau
eksistensial diantara representamen dan objeknya. Didalam indeks,
hubungan tanda dengan objeknya bersifat kongkret, actual dan biasanya
melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal.
3. Symbol merupakan bentuk tanda yang bersifat arbiter dan konvensional
sesuai kesepakatantan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat.
Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah symbol-simbol.
Table 2.3.1
Jenis Tanda dan cara kerjanya
Jenis Tanda
Ikon
Indeks
Simbol
Ditandai dengan
Contoh
Proses Kerja
-Persamaan (kesamaan)
Gambar,
foto -dilihat
-Kemiripan
dan patung
-Hubungan sebab akibat
-asap---api
-Keterkaitan
-gejala--penyakit
-Konvensi atau
-kata-kata
-Kesepakatan social
-isyarat
-diperkirakan
Dipelajari
Dari sudut pandang Charles Sanders Pierce ini, proses signifikasi bisa saja
menghasilkan rangkaian hubungan yang tidak berkesudahan, sehingga pada
gilirannya sebuah interpretan akan menjadi representamen, menjadi interpretan
lagi, jadi representamen lagi dan seterusnya.27
27
Ibid. Indiwan Setyo Wahyu Wibowo. Hal 19
30
Menurut Pierce, semiotika itu dari tiga elemen utama. Teori dari Pierce
disebut teori segitiga makna atau Triangle of Meaning, diantaranya:28
1. Tanda
Adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh
panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal
lain diluar tanda itu sendiri.
2. Objek (acuan tanda)
Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda.
3. Interpretant (pengguna tanda)
Adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada
dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.
Gambar 2.1 Triangle of Meaning
Sign
Object
28
Interpretant
Rachmat Kriyantono. Teknis Praktis Riset Komunikasi. Kencana Pradana Media Group. Jakarta.
2006. Hal 265
31
Menurut Charles Sanders Peirce, tanda "is something which stands to
somebody for something respect or capacity". Artinya tanda adalah sesuatu yang
bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas.29
Pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak bisa ditiadakan bagi
penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah
yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang
dipahaminya.
Hubungan penalaran dengan jenis penandanya :
a. Qualisigns : Penanda yang bertalian dengan kualitas,
b. Sinsigns
: Penanda yang bertalian dengan kenyataan,
c. Legisigns
: Penanda yang bertalian dengan kaidah.
Awalan Quali-, sin-, dan Legi-, disalurkan dari 'quality', 'Singular', dan
'lex' (Undang-undang, Hukum, dan peraturan ).
Qualisign adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu
sifat.Contohnya ialah sifat "merah', maka merah digunakan sebagai tanda,
misalnya, bagi sosialisme, untuk cinta (memberi mawar merah pada seseorang).
Sinsign adalah tanda yang merupakan tanda dasar tampilnya dalam
kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilembagakan dapat
merupakan sinsign. Sebuah jeritan bisa berarti kesakitan, keheranan, langkah
kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya. Semua itu merupakan sinsign,
metafora yang digunakan satu kali adalah sisign.
29
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.2006 hal 4
32
Legisign adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu
peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Tanda-tanda lalu
lintas merupakan legisign. Hal itu juga dikatakan dari gerakan isyarat tradisional,
seperti mengangguk 'ya', mengerutkan alis, berjabat tangan, dan sebagainya.30
2.4
Teknik Pengambilan Gambar
Kamera merupakan salah satu aspek penting dalam suatu pembuatan
video/film, karena fungsi kamera adalah mengambil/ merekam momen atau
adegan-adegan tertentu.
Teknik-teknik yang terdapat dalam pengambilan gambar sangat bervariasi,
sehingga saat anda menonton video/film tampak macam-macam sudut pandang
pengambilan gambar yang merupakan hal penting dalam video/film. Berikut ini
teknik-teknik yang ada dalam pengambilan gambar :
2.4.1 Sudut Pengambilan Gambar (Camera Angel)
Berikut jenis- jenis sudut pengambilan gambar:
1. Bird Eye View
Pengambilan gambar dilakukan dari atas dari ketinggian tertentu
sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan
benda-benda lain dibawah terlihat kecil. Pengambilan gambar biasanya
menggunakan helicopter maupun dari gedung-gedung tinggi.
30
Alex Sobur, Ibid. hal.98
33
2. High Angle
Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar
seperti ini memilki arti dramatic, yaitu kecil atau kerdil.
3. Low Angle
Pengambilan gambar diambil dari bawah objek dengan sudut
pengambilan gambar merupakan kebalikan dari high angle.
4. Eye Level
Pengambilan gambar mengambil sudut sejajar dengan mata objek yang
memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
5. Frog Level
Sudut pengambilan gambar diambil sejajar dengan permukaan tempat
objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.
2.4.2 Ukuran Gambar (Frame Size)
Berikut adalah jenis – jenis ukuran gambar dalam film:
1. Extreme Close-up
Pengambilan gambar sangat dekat, hanya menampilkan bagian tertentu
pada tubuh objek. Fungsinya untuk kedetailan suatu objek.
2. Big Close-up
Pengambilan gambar sebatas kepala hingga dagu objek. Berfungsi
menonjolkan ekspresi yang dikeluarkan oleh objek
34
3. Close-up
Ukuran gambar hanya dari ujung kepala hingga leher. Fungsinya untuk
memberi gambaran jelas terhadap objek.
4. Medium Close-up
Gambar yang diambil sebatas dari ujung kepala hingga dada.
Fungsinya untuk mempertegas profil seseorang.
5. Mid Shoot
Pengambilan gambar sebatas kepala hingga pinggang. Fungsinya
memperlihatkan sosok objek secara jelas.
6. Knee Shoot
Pengambilan gambar sebatas kepala hingga lutut. Fungsinya hampir
sama dengan mid shoot.
7. Full Shoot
Pengambilan gambar penuh dari kepala hingga kaki. Fungsinya
memperlihatkan objek beserta lingkungannya.
8. Long Shoot
Pengambilan gambar ebih luas dari pada full shoot. Fungsinya
memperlihatkan objek dengan latar belakangnya.
9. Extreme Long Shoot
Pengmbilan gambar melebihi long shoot, yang menampilkan
lingkungan objek secara utuh. Fungsinya untuk menunjukan bahwa
objek tersebut bagian dari lingkungannya.
35
10. 1 shoot
Pengambilan
gambar
satu
objek.
Fungsinya
memperlihatkan
seseorang/benda dalam frame.
11. 2 shoot
Pengambilan gambar 2 objek. Fungsinya memperlihatkan adegan dua
orang yang sedang berkomunikasi.
12. 3 shoot
Pengambilan gambar tiga objek. Fungsinya memperlihatkan adegan
tiga orang sedang mengobrol.
13. Group shoot
Pengambilan gambar sekumpulan objek. Fungsinya memperlihatkan
adegan sekelompok orang dalam melakukan suatu aktivitas.
2.4.3 Gerakan Kamera (Moving Camera)
Berikut adalah jenis- jenis gerakan kamera dalam film:
1. Zooming (In/Out)
Gerakan yang dilakukan oleh lensa kamera mendekat maupun menjauhkan
objek. Gerakan ini merupakan fasilitas yang disediakan oleh kamera video,
sehingga pengguna hanya mengoprasikannya.
2. Panning (Left/Right)
Yang dimaksud dengan gerakan paning yaitu kamera bergerak dari tengah
kekanan atau dari tengah kekiri. Bukan kameranya yang bergerak tapi
tripodnya yang bergerak sesuai arah yang diinginkan.
36
3. Tilting (Up/Down)
Gerakan tilting yaitu gerakan keatas dan kebawah. Masih meggunakan
tripod sebagai alat bantu agar hasil gambar yang didapat memuaskan dan
stabil.
4. Dolly (In/Out)
Gerakan yang dilakukan yaitu gerakan maju mundur. Hampir sama degnan
gerakan zooming, tetapi pada dolly yang bergerak adalah tripod yang telah
diberi roda dengan cara mendorong tripod maju ataupun menariknya
mundur.
5. Follow
Pengambilan gambar dilakukan dengan cara mengikuti objek dalam
bergerak searah.
6. Framing (In/Out)
Gerakan yang dilakukan oleh objek untuk memasuki (In) atau keluar (Out)
framing shoot.
7. Fading (In/Out)
Merupakan pergantian gambar secara perlahan-lahan. Apabila gambar
baru masuk menggantikan gambar yang ada disebut fade in. sedangkan
gambar yang ada perlahan-lahan menghilang dan digantikan gambar baru
disebut fade out.
37
8. Rane shoot
Merupakan gerakan kamera yang dipasang pada alat bantu mesin beroda
dan bergerak sendiri bersama cameramen, baik mendekati ataupun
menjauhi objek.
2.4.4 Gerakan Objek (Moving Objek)
Gerakan objek dalam sebuah film:
1. Kamera sejajar objek, kamera sejajar mengikuti pergerakan objek, baik
kekiri maupun kekanan.
2. Walking (In/Out)
(Ispantoro, 2011)Objek bergerak mendekati (In) maupun menjauhi (out)
Kamera.31
2.5
Komunikasi Antar Kelompok
Sebelum mengulas teori- teori yang berhubungan dengan konflik
kekerasan komunal, ada baiknya memahami terlebih dahulu komunikasi antar
kelompok karena pada dasarnya konflik adalah produk dari kominikasi. Pada sub
bab ini dipaparkan mengenai komunikasi antar kelompok yang dapat menjadi
cikal bakal terjadinya konflik kekerasan komunal.
Masyarakat indonesia dapat dikategorikan sebagaimasyarakat majemuk.
Parsudi Suparlan mendefinisikan masyarakat majemuk sebagai sebuah masyarakat
yang terdiri atas kumpulan orang- orang atau kelompok- kelompok yang berbaur,
tetapi tidak menjadi satu. Setiap kelompok mempunyai agama, kebudayaan, dan
31
Abdul Rajaq & Ispantoro, The Magic OF Video Editing, Jakarta: Mediakita, 2011 hal 3-7
38
bahasa juga tujuan serta cara hidup yang berbeda.32 Ini artinya masyarakat
indonesia terdiri dari kelompok- kelompok yang memiliki perbedaan satu dengan
yang lainnya. Kelompok yang ada di masyarakat atau dapat dikatakan kelompok
sosial terbentuk daru kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi.
Berbicara mengenai kelompok sosial tidak akan lepas dari pembahasan
mengenai kriteria- kriteria yang menjadi ciri khas satu kelompok. Kriteria setiap
kelompok menurut Kinloch adalah : (1) ciri fisiologi, pengelompokan berdasarkan
persamaan jenis kelamin, usia, dan ras, (2) kebudayaan, kelompok yang diikat
oleh persamaan budaya seperti kelompok etnis, (3) ekonomi, kriteria ini
membedakan kelompok antara mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi
dengan mereka yang tidak mempunyainya, (4) perilaku, kriteria ini akan menjadi
dasar pengelompokan untuk membedakan orang yang memiliki cacat fisik, cacat
mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat.33
Menurut Denis McQuail komunikasi antar kelompok adalah kegiatan
komunikasi yang berlangsung antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya,
jumlah pelaku yang terlibat boleh jadi hanya dua atau beberapa orang, tetapi
masing- masing membawa peran dan kedudukan sebagai wakil dari kelompok
atau asosiasinya masing- masing.34 Namun terkadang komunikasi antar kelompok
tidak
berjalan
efektif
sehingga
dapat
menimbulkan
kesalahan
dalam
mengkomunikasikan sehingga kemungkinan dapat menyebabkan kesalahan dalam
32
Tedi Sutardi, Antropoligi: Mengungkap Keragaman Budaya, Bandung: PT. Setia Purna Inves,
2007, hal 19
33
Kamanto Sunanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004, hal 141
34
Riswandi, Ilmu Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, hal 10
39
pemahaman. Sumber utama kesalahpahaman dalam komunikasi adalah cara
penerima menangkap makna suatu pesan berbeda dari yang dimaksud oleh
pengirim karena penerima gagal mengkomunikasikan maksudnya dengan tepat.
Komunikasi antar kelompok yang tidak berlangsung efektif menimbulkan
hambatan dalam hubungan antar kelompok seperti terciptanya stereotip,
prasangka negatif, bahkan diskriminasi kelompok satu dengan lainnya. Berikut
penjelasan dari ketiga hambatan yang ditimbulkan dari komunikasi antar
kelompok yang tidak efektif :
1. Stereotip
Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap kelompok lain atau
anggota dari kelompok tertentu berdasarkan kategori yang bersifat
subjektif, hanya karena dia berasal dari kelompok tertentu. Stereotip
merupakan hasil dari kategorisasi yang dilakukan, misalnya dalam
menggambarkan jenis karakteristik ras atau etnik tertentu. Stereotip
merupakan hasil yang kadang- kadang alamiah dalam proses komunikasi
antar kelompok. Sering kali orang mengemukakan bahwa kita tidak
mungkin melakukan stereotip.35
2. Prasangka
Menurut Johnson (1989) prasangka adalah sikap positif atau negatif
berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang anggota kelompok tertentu.
Sedangkan menurut Allport, prasangka negatif terhadap kelompok lain
merupakan sikap antipati yang dilandasi oleh kekeliruan atau generalisasi
35
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural,
Yogyakarta: Lkis, 2005, hal 207
40
yang tidak fleksibel, hanya karena perasaan tertentu dan pengalaman yang
salah. Prasangka pada dasarnya mengandung sikap, pikiran, dan keyakina,
kepercayaan, dan bukan tindakan. Kalau prasangka berubah jadi tindakan
nyata, ia berubah menjadi diskriminasi.36
3. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang dihasilkan oleh stereotip dan prasangka,
lalu ditunjukan dalam tindakan yang terbuka atau rencana tertutup untuk
menyingkirkan, menjauhi, atau membuka jarak, baik bersifat fisik maupun
sosial dengan kelompok tertentu.37
Ketiga hambatan dalam berhubungan dan berinteraksi antar kelompok
masyarakat pada gilirannya akan menimbulkan pertentangan sosial atau
konflik antar kelompok. Komunikasi dasarnya adalah proses penciptaan
makna antara dua orang atau lebih lewat penggunaan simbol- simbol atau
tanda. Keefektifan komunikasi ini berbanding lurus dengan derajat
kesamaan atau kesesuaian makna yang tercipta diantara pesertanya. Inti
dari proses komunikasi adalah persepsi. Jika persepsi tidak akurat, tak
mungkin komunikasi berjalan dengan efektif. Perbedaan dalam persepsi
pada akhirnya melahirkan stereotip dan prasangka. Jika tidak dekelola
dengan baik menimbulkan kerusuhan.38 Hal ini juga timbul bersamaan
dengan sikap- sikap lain yang pada umumnya bdiperoleh dari penanaman
nilai- nilai tertentu. Seperti, didalam kelompok dikenal adanya perasaan
36
Ibid, 201-203
Ibid, 223
38
Farid Hamid, Konflik Sosial di Ambon Maluku: Suatu Tinjauan Komunikasi Antar Budaya
Dalam Buku Komunikasi Dan Konflik di Indonesia, Jakarta: Showcase Indonesia Dotcom, 2012,
hal 31
37
41
solidaritas antar masing- masing anggota. Perasaan solidaritas itu yang
dapat menyebabkan masalah pribadi anggotanya menjadi masalah
bersama, yang nantinya bukan lagi menjadi masalah antar individu
melainkan masalah antar kelompok.
2.6
Konflik Dan Solusi Konflik
Konflik berasal dari bahas latin configere yang berarti saling memkul.
Konflik merupakan proses sosial dimana individu ataupun kelompok menyadari
memiliki perbedaan- perbedaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsurunsur kebudayaan, pola- pola perilaku, prinsip, politik,, ideologi, maupun
kepentingan dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan yang
ada hingga suatu pertentangan atau pertikaian.39
Manusia adalah makhluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makhluk yang
selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela
maupun terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun
Poerwadarminta
(1976),
konflik
berarti
pertentangan
atau
percekcokan.
Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik
anatara
dua
belah
pihak
bersebrangan.
Francis
menambahkan
unsur
persinggungan dan pergerakan sebagai aspek tindakan sosialnya (Francis, 2006:
7). Sehingga secara sederhana konflik adalah pertentangan yang ditandai oleh
pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan.40
39
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologin
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 72
40
Novri Susan, M.A., Sosiologi Konflik dan Is- Isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2009,
hal 4
42
Dalam perspektif sosiologi, konflik termasuk proses sosial disasosiatif di
mana proses ini merupakan perlawanan individu- individu dan kelompok terhadap
suatu norma dan nilai yang dianggap tidak menghasilkan perubahan untuk
mencapai tujuan tertentu. Suatu konflik dapat menimbulkan ancaman hingga
kekerasan fisik yang tentu saja merugikan masyarakat. Sebaliknya, konflik juga
daoat muncul dalam bentuk kedamaian jika diselesaikan dengan menggunakan
cara- cara damai.
Konflik adalah fenomena sosial yang tercipta dalam kehidupan bersama.
Tidak ada namanya kehidupan bersama tanpa adanya konflik. Masyarakat pada
dasarnya terdiri dari sekumpulan individu dan kelompok, maka keberadaan
konflik dalam masyarakat merupakan sebuah hal yang bersifat potensial. Artinya,
konflik dapat muncul kapan saja jika terjadi ketidakselarasan dalam kehidupan
masyarakat.
Jenis konflik sangat beraneka ragam tergantung dari sudut mana
memandangnya. Menurut Rahlp Dahrendrof, konflik secara umum dapat
dibedakan menjadi empat kategori : (1) konflik peran sosial di dalam lingkungan
unit sosial, misal konflik antar pemegang peranan dalam keluarga, kelompok,
organisasi, dan partai politik, (2) konflik antar unit atau kelompok- kelompok
sosial, konflik antar etnis, (3) konflik antar kelompok teroganisir dengan
kelompok tidak teroganisisr, misal konflik antara kelompok polisi dan amuk
massa, (4) konflik yang terjadi antara satuan sosial yang bersifat nasional, misal
konflik antar partai politik, perang saudara tingkat nasional. Para pakar sosial lain
43
membuat klasifikasi jenis konflik hanya dalam dua kategori, yakni konflik vertikal
dan konflik horizontal.41
Menurut Soejono Soekanto, konflik mempunya empat sumber sebagai
penyebabnya : (1) perbedaan antara individu- individu, perbedaan pendirian dan
perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antar mereka, (2) perbedaan
kebudayaan, perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pila dari
pola- pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta
perkembangan kepribadian, (3) perbedaan kepentingan, perbedaan kepentingan
antar individu maupun kelompok merupakan sumber lain dari konflik, (4)
perubahan sosial, perubahan sosial yang berlangsung denga cepat untuk sementara
waktu akan mengubah nilai- nilai yang ada dalam masyarakat dan ini
menyebabkan terjadinya golongan- golongan yang berbeda pendirinya.42
Perdamaian menjadi kajian spesifik yang mencoba menanggulangi
permasalahan kekerasan. Kekerasan struktural mendapat respons dari konsep
perdamaian positif. Kekerasan langsung mendapat respons dari konsep
perdamaian negatif. Dua konsep berbeda dari perdamaian melahirkan konsep
perdamaian menyeluruh. Subbab ini akan membahas bagaimana konsep
perdamaian dalam studi konflik.
1. Perdamaian Positif
Perdamaian tidak hanya berkaitan dengan usaha mereduksi kekerasan
langsung tetapi juga pada pengembangan- pengembangan vertikal sosial
yang bertanggung jawab terhadap hubungan- hubungan hieraris di antara
41
A. Malik MTT, Pura dan Masjid: Konflik dan Intergrasi Pada Suku Tengger, Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007, hal xxxvi
42
Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal 91- 92
44
orang- orang, konsep perdamaian positif (positive peace), berdasarkan
pada pemahaman dasar dari kondisi- kondisi sosial, cara menghapus
kekrasan struktural melampaui tiadanya kekerasan langsung (Jeong, 2003:
25).
2. Perdamaian Negatif
Perdamaian negatif (negative peace) berfokus pada tidak adanya
kekerasan langsung, seperti perang. Pencegahan dan eliminasi penggunaan
kekerasan membutuhkan pemecahan perbedaan melalui negoisasi atau
mediasi daripada memilih paksaan fisik. Nir kekerasan berarti membantu
menghindari kekerasan fisik. Total Disarmament (pelucutan total senjata)
mereduksi potensi perjuangan bersenjata dimasa mendatang. Saling
ketergantungan secara sosial dan ekonomi mengecilkan penggunaan
paksaan dalam situasii konflik (Jeong, 2003: 24).
Konsep perdamaian negatif ini kemudian berkembang dalam konsep
pembangunan perdamaian negatif (negative peace builoding) seperti
diplomasi, negosiasi, dan resolusi konflik (Barrash & Webel, 2001: 267).
Walaupun pada beberapa kalangan perdamaian negatif perlu juga
diupayakan, dalam kasus tertentu, dengan menggunakan kekuatan militer
(strength). Seperti peace making dan peace keeping adalah bagian dari
menciptakan perdamaian negatif. Pertahanan negara dan regional dalam
pengertian hadirnya tentara dan persenjataan yang kuat juga termasuk
dalam bidang perdamaian negatif.
45
3. Perdamaian Menyeluruh
Perdamaian menyeluruh adalah upaya melakukan penggabungan konsep
perdamaian positif dan negatif. Pandangan perdamaian menyeluruh adalah
usahha mengontrol dan mengelola kehidupan secara kontinu daripada
yang sesaat (parsial), dengan mereduksi seluruhnya pada bentuk- bentuk
yang sederhana. Mencari untuk inner atau perdamaian komunal berarti
lebih dari ketidakhadiran kekerasan terorganisasi.43
43
Op.cit, Novri Susan, M.A., Sosiologi Konflik dan Is- Isu Konflik Kontemporer, hal 119- 123
Download