BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pandangan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pandangan-pandangan menyangkut manusia, telah muncul sejak dahulu,
namun masih dalam bentuk yang sederhana. Manusia merupakan makhluk unik yang
menjadi kajian filsafat sejak awal. Lahir banyak cabang ilmu pengetahuan yang
bersumber dari manusia. Misalnya, biologi, antropologi, psikologi, sosiologi, etika
dan lain sebagainya. Pembahasan manusia dalam (Ronidin, 2012: 6), filsafat
membagi menjadi dua macam pandangan, yaitu esensi dan eksistensi. Begitu pula
manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan
eksistensi. Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada di muka
bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam
perjalanannya dalam diri manusia, ada yang mendahulukan esensi dan ada juga yang
mendahulukan eksistensi. Manusia menjalankan esensi menjadi bersifat tidak
bergerak dan meninjau lebih dalam tanpa melakukan aktualisasi. Manusia yang
menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi, ia hanya ada, tetapi tidak dapat
mengada.
Manusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk
menyatakan pikiran dan perasaan, makhluk yang mampu membuat alat-alat, makhluk
yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk
kepentingan manusia, makhluk yang suka bermain, dan makhluk yang beragama.
2
Manusia di dalam Al-Quran dijelaskan berulang-ulang akan diangkat derajatnya
karena aktualisasi jiwanya secara positif dan menyebut manusia salah satunya dengan
sebutan hanief, dengan arti condong pada kebenaran, mentauhidkan Tuhan dan nilainilai luhur lainnya. Hal yang paling banyak dibicarakan Al-Quran tentang manusia
adalah sifat dan potensinya. Al-Quran banyak terdapat ayat yang memuji dan
memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya. Di sisi lain, manusia juga mendapat celaan Tuhan karena berbuat
kesalahan dan mengingkari nikmat Tuhan (Kamaludin, 2012: 233).
Manusia adalah tokoh sentral yang banyak disebut dalam Al-Quran.
Kedudukan manusia digambarkan sangat mulia. Manusia sebagai makhluk yang
mulia, diciptakan untuk menjadi khalifah Allah SWT. di muka bumi. Hal ini
menandakan bahwa manusia adalah makhluk Allah SWT. yang paling tinggi
derajatnya melebihi makhluk lain. Melalui tugas kekhalifahan itu, maka Allah SWT.
memberi amanat dan tanggung jawab kepada manusia untuk menjaga dan
memakmurkan bumi. Bumi merupakan tempat terbaik bagi manusia untuk
mengembangkan segala potensi dirinya menjadi makhluk yang mulia. Akan tetapi,
meskipun manusia adalah makhluk yang dimuliakan, Allah SWT. dapat pula
menjatuhkannya ke dalam derajat asfala saafiliin, yaitu derajat yang serendahrendahnya. Hal ini terjadi apabila manusia melakukan kesalahan dan mendatangkan
kerusakan di bumi yang merugikan umat manusia dan kemanusiaan (Ronidin, 2012:
51).
3
Manusia berkualitas antara lain dinamakan sebagai integrated personality,
healthy personality, normal personality dan productive personality. Manusia
berkualitas disebut juga sebagai insan kamil, manusia seutuhnya, manusia sempurna,
manusia kaffah, manusia yang hanief (Kamaluddin, 2012: 235).
Al-Jilli dalam Rusli (2013: 162) memandang manusia sempurna sebagai
insan kamil. Menurut Al-Jilli manusia sempurna adalah Nabi Muhammad saw.
karena mempunyai sifat-sifat al-haqq (Allah SWT.) dan sifat al-Khalq (manusia).
Insan kamil adalah roh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari
Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw., para wali, serta orang-orang saleh.
Insan kamil merupakan cermin Allah SWT. yang diciptakan atas nama-Nya,
merupakan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya
Manusia yang baik menurut Ary Ginanjar dalam al-Afghani (2008: 54) harus
mampu menyeimbangkan dimensi fisik (Intelligence Quotient), dimensi emosi
(Emotional
Quotient)
menyeimbangkannya
dan
dimensi
spiritual
(Spiritual
yang pertama adalah dengan
jalan
Quotient).
Cara
menyucikan dan
menjernihkan hati, atau dalam bahasa Ary Ginanjar adalah Zero Mind Proces, yaitu
proses penyucian dan penjernihan titik Allah SWT. atau God Spot dari segala yang
menutup dan membutakan hati, sehingga hati menjadi terbelenggu olehnya. Cara
untuk menyucikan dan menjernihkan hati adalah dengan jalan mengaktifkan suara
hati yang menurut Ary Ginanjar adalah suara Ilahi. Hati yang jernih dan suci, maka
akan muncul kecerdasan untuk selalu mengikuti suara hati yang sejatinya selalu
4
berlandaskan semangat memahami dan meresapi makna 99 nama Allah (Asma’ul
Husna), dan mampu menjalankan perintah suara hatinya.
Konsep tersebut juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dipahami oleh
Abdul Qodir Al-Jailani (selanjutnya tertulis Al-Jailani). Berjudul Sirr al Asrar fi ma
Yahtaj Ilayh al-Abrar dijelaskan bahwa peningkatan dan pembersihan diri untuk
mencapai derajat insan kamil atau manusia sempurna atau manusia yang utama, yaitu
orang yang telah memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal keduniaan. Tujuan
pembersihan tersebut ada dua, pertama untuk mencapai sifat-sifat Allah SWT., yakni
bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang mulia. Kedua, untuk mencapai zat Allah SWT.,
yakni mengenal Allah SWT. melalui makrifat dan hakikat (Al-Jailani, 2010: 175).
Manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Allah
SWT. yang beriman dan memberikan manfaat bagi sesamanya. Kedua ciri tersebut,
didapatkan pada manusia yang bertakwa. Manusia berkualitas dapat pula diartikan
sebagai manusia yang beriman dan bertakwa (Kamaluddin, 2012: 236).
Konsekuensi dari kedudukan istimewa yang diberikan Allah SWT. kepada
manusia adalah bahwa manusia harus dapat membedakan mana yang benar dan yang
salah. Allah SWT. juga memberikan kebebasan bagi manusia sebagai pribadi untuk
mengembangkan akal dan menguji pikirannya untuk dapat membedakan antara yang
benar dan salah, sehingga mencapai derajat manusia yang berkualitas. Manusia
dengan demikian harus mampu menjaga kualitas dirinya dengan selalu berusaha
menjadi manusia yang baik dengan kebebasan yang diberikan kepadanya.
5
Manusia dikatakan baik apabila mengutamakan masalah moral, karena
dengan moral seorang manusia dapat dibedakan dengan yang bukan manusia. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa seorang manusia dikatakan bermoral apabila
hidupnya diwarnai dengan sikap amal dan perbuatan yang baik yang ditujukan
kepada siapa saja tanpa memandang golongan dan status sosialnya, orang berpangkat
atau tidak, kaya atau miskin dan lain sebagainya (Widyastini, 2000: 3).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka konsep manusia utama yang
dikemukakan oleh Abdul Qodir Al-Jailani dapat diwujudkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia baru. Masyarakat Indonesia baru yang memperhatikan masalah
kemajuan dan perkembangan zaman tanpa meninggalkan identitas dirinya sebagai
makhluk yang bermoral dan bermartabat. Al-Jailani hidup di zaman dan di negara
yang sangat jauh berbeda, tetapi konsep manusia utama yang dirumuskannya masih
relevan untuk pengembangan karakter bangsa Indonesia. Dengan mengingat hal-hal
tersebut, maka peneliti menganggap perlu mengadakan penelitian dengan judul
“Konsep Manusia Utama Abdul Qodir Al-Jailani (1077-1166 M) dalam Perspektif
Etika: Relevansinya dengan Perkembangan Karakter Bangsa Indonesia”.
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
a. Apa konsep manusia utama dalam pemikiran Al-Jailani?
b. Bagaimana tinjauan etis konsep manusia utama menurut Al-Jailani?
6
c. Apa relevansi konsep manusia utama Al-Jailani bagi perkembangan
karakter bangsa Indonesia?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian terhadap pemikiran Al-Jailani ini bukanlah yang pertama, Sebab
sudah ada penelitian yang berhubungan dengan objek material tentang pemikiran AlJailani, di antaranya yang paling signifikan adalah judul penelitian yang berhasil
ditemukan sebagaimana berikut:
a.
Anshori L, Mustofa, 1990, “Membentuk Insan Kamil Melalui Amaliah Tauhid
dalam Konsep Etika Muhammad Iqbal”, Skripsi, Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
b.
M. Rohidin, 1999, “Konsep Insan Kamil Menurut Ibnu Arabi”, Tesis, Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
c.
Widyastini, 2000, “Konsep Manusia Ideal Menurut Confusius dan Al-Ghazali”,
Tesis, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
d.
Fuad, Anisul, 2008, “Konsep Ma’rifah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani”, Skripsi,
Fakultas Ushuluddin Universitas Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
e.
Ma’ruf, Mukhamad, 2009, “Konsep Dzikir Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani
(Telaah atas Kitab Sirr al-Asrar)”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Sunan Kali Jaga, Yogyakarta.
f.
Mustaghfiroh, Siti, 2011, “Ajaran Tarekat Abdul Qodir Al-Jailani Perspektif
7
Filsafat Mistik”, Skripsi,
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Berdasarkan data penelitian tersebut di atas, penelitian yang akan dilakukan
dengan judul sebagaimana telah disebutkan sebelumnya berbeda dengan hasil
penelitian tersebut. Fokus kajian dalam penelitian ini adalah mencari konsep manusia
utama menurut pandangan Al-Jailani. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana
manusia seharusnya dalam menyikapi hidup, sehingga manusia dapat memahami
hakikatnya sebagai manusia seutuhnya.
3. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian atau studi seharusnya memiliki manfaat secara teoritisnormatif dan praktis-pragmatis (Kaelan, 2005: 235). Manfaat dari penelitian ini
diharapkan dapat menjadi kontribusi wacana untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia baik secara individu maupun secara umum yang dijabarkan sebagai
berikut:
a. Bagi Filsafat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pemikiran tentang
konsep manusia seutuhnya menurut Al-Jailani dan memberi kontribusi dasar bagi
perkembangan pemikiran studi tentang etika.
8
b. Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara
Penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan bagi masyarakat dalam
memahami manusia yang lebih berkualitas, sekaligus dapat menjadi pendorong bagi
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup dalam mencapai hakikat kehidupan
sesungguhnya. Dengan meningkatkan kualitas hidup satu individu, maka akan
tercipta masyarakat atau kelompok yang terarah, dan akhirnya tercipta bangsa
Indonesia yang mempunyai karakter yang baik.
c. Bagi Penulis
Penelitian ini secara umum diharapkan dapat mengantarkan penulis untuk
lebih memahami tentang hakikat kehidupan sebagai manusia yang bermoral melalui
salah satu sudut pandang, yaitu dalam ajaran Al-Jailani tentang konsep manusia
utama.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab persoalan dalam rumusan masalah,
yaitu:
1. Memberikan penjelasan tentang konsep manusia utama menurut AlJailani.
2. Memaparkan tinjauan etis dalam melihat konsep manusia utama AlJailani.
9
3. Memberikan penjelasan tentang relevansinya konsep manusia utama bagi
perkembangan karakter bangsa Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka
Konsepsi filosofis tentang insan kamil pertama kali muncul dari gagasan
tokoh sufi Ibnu Arabi. Manusia sempurna menurut Ibnu Arabi dalam Rohidin (1996:
10) adalah alam seluruhnya. Pandangan tersebut menyatakan bahwa Allah SWT.
adalah wujud Yang mutlak, daripada-Nya terjadi semua alam dalam setiap tingkatan,
seperti alam jabarut, alam malakut, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam
insan kamil.
Al-Jili (1365-1428) pengikut Ibnu Arabi, mengembangkan gagasan insan
kamil ini
menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Menurut Al-Jili dalam buku yang berjudul Insan Kamil, ketika seorang manusia telah
menggapai Maqam (pencapaian spiritual) Haqiqah al Haqaiq (hakikat segala
hakikat), yakni hakikat wujud universal, maka ia akan paham bahwasanya al Haq
(Allah SWT.) adalah Ahadiyah al Jam’ah (kesatuan dari yang banyak) juga al
Wahdah al Mutlak (Ketunggalan Mutlak) yang termanifestasikan dalam diri insan
kamil. Menurut al-Jili, insan kamil adalah citra Diri-Nya. Manusia sempurna itu
merupakan cerminan daripada wujud teragung di alam realitas ini (Firdaus, 2012: 24).
Insan kamil menurut Al-Jailani (2010: 175) adalah orang yang telah
memisahkan dan melepaskan dirinya dari hal-hal keduniaan. Untuk mencapai derajat
10
insan kamil, perlu pembersihan diri. Tujuan pembersihan diri tersebut ada dua, yaitu
untuk mencapai sifat-sifat Allah SWT. dan untuk mencapai zat Allah SWT., melalui
makrifat dan hakikat. Al-Jailani dalam Ma’ruf (2009: 35) menjelaskan bahwa
manusia yang mampu mengatur dan menjaga hubungan dengan berperilaku baik
antar sesama manusia dan beribadah secara sungguh-sungguh dapat dikatakan telah
bertasawuf. Seperti dalam perkataannya bahwa tasawuf adalah percaya kepada yang
haq dan berperilaku baik kepada makhluk.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang sempurna dari segi
penciptaan maupun kedudukannya jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah
SWT. lainnya. Derajat manusia menjadi turun di hadapan Allah SWT.. Hal ini
disebabkan oleh kerusakan moral dan penumpukan dosa akibat perbuatannya (Fuad,
2008: 10).
Al-Jailani dalam Solikhin (2009: 2) menjelaskan bahwa manusia hidup tanpa
aturan akan saling bermusuhan dan berpecah-belah. Manusia semakin cinta akan
dunia dan saling berebut kehormatan dan kekuasaan. Al-Jailani sangat menekankan
adanya perbaikan jiwa dan pembersihan, dengan cara menanamkan jiwa agama,
akhlak yang baik dan menghindar dari tipu daya dunia.
Sebagaimana Al-Jailani menjelaskan bahwa orang yang percaya kepada
Allah SWT. dan berperilaku baik kepada makhluk, dapat dikatakan bertasawuf.
Maksudnya bahwa mengatur dua hubungan utama antara manusia dan manusia,
dengan perilaku yang baik dan akhlak yang lurus. Seperti dalam perkataannya:
11
“Yaitu bertakwa kepada Allah, mentaati-Nya, menerapkan syariat secara
lahir, menyelamatkan hati, mengayakan hati, membaguskan wajah,
melakukan dakwah, mencegah penganiayaan, sabar menerima penganiayaan
dan kefakiran, menjaga kehormatan para guru, bersikap baik dengan
saudara, menasihati orang kecil dan orang besar, meninggalkan permusuhan,
bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari menyimpan
harta benda, menghindari persahabatan dengan orang yang tidak setingkat,
dan tolong-menolong dengan urusan agama dan dunia.” (al-Qahthani, 2012:
418).
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh al-Kailani (2009: 152), Al-Jailani
menjelaskan bahwa untuk menjadi pribadi yang baik harus dimulai dengan penyucian
diri. Penyucian diri tersebut dinamakan tazkiyyatun nafs, yaitu seseorang menjaga
akhlak yang mulia, tidak dikuasai oleh dunia, menjauhkan diri dari penyakit hati
sehingga mata hati akan terbuka. Seperti halnya dijelaskan Al-Jailani dalam
penelitian yang dilakukan oleh Fuad (2008: 19) menggambarkan seseorang yang
telah bebas dari sifat yang tercela, maka hatinya akan selalu dirakhmati Allah SWT.
dan perbuatannya juga diperindah-Nya dengan selalu menampakkan karakter, moral,
dan sikap yang terpuji. Ini semua merupakan sebuah karunia Ilahi yang berharga,
yang didapatkan setelah mereka melakukannya. Nabi Muhammad saw bersabda
“Patuhiah moral Ilahi dan bertingkah lakulah sesuai dengan-Nya”. Penyucian diri ini
sebagai fondasi bagi perkembangan sikap moral (akhlak) seseorang selanjutnya.
Menurut Al-Jailani, inti dari perjalanan spiritual serta makrifat kepada Allah
SWT. adalah terletak pada sopan santun (akhlak). sedangkan aplikasi sopan santun
serta adab makrifat kepada Allah SWT. tersebut melalui beberapa tahap sikap dan
perilaku ruhani (Solikhin, 2009: 43). Tahapan yang dapat membuka bashirah (mata
12
hati) melalui penyucian diri tersebut di dalam penelitian yang dilakukan oleh alQahthani (2012: 482) yaitu, tobat, zuhud, tawakal, sabar, jujur, syukur, dan ridha.
Penelitian yang dilakukan oleh Mufid (2006: 195) Al-Jailani membagi
manusia atas 10 unsur halus. Lima unsur halus yang pertama, yang dinamakan alamul
amri terdiri atas halusnya hati (Qalb), halusnya ruh (ruh), halusnya rasa (sirr),
halusnya yang samar (khafi) dan halusnya yang sangat samar (akhfa). Adapun lima
unsur yang kedua, dinamakan alamul khalqi, terdiri atas halusnya nafsu dan unsurunsur empat, yaitu air, udara dan debu. Alamul amri terletak di atas singgasana (arsy)
dan alamul khalqi terletak dibawah arsy sampai ke bumi. Allah SWT. telah
menciptakan berbagai macam bentuk sebangsa tubuh manusia sehingga manusia
sangat tergantung pada hati (qalb) dan mencintainya.
Pengetahuan tentang macam-macam nafsu memiliki arti penting bagi
manusia, sebab apabila manusia sudah mengetahuinya maka akan dapat
mengendalikannya. Menurut Al-Jailani dalam Mufid (2006: 195) nafsu dibagi
menjadi empat. Pertama, nafsu lawwamah. Tempat nafsu lawwamah berada di hati.
Sembilan bentuk nafsu tersebut, yakni mencela, dorongan nafsu, menipu, melihat
perbuatan sendiri yang baik sedang perbuatan orang lain jelek, mengumpat,
menunjukkan amalnya karena manusia, menganiaya, dusta, dan lupa mengingat Allah
SWT.. Kedua, nafsu al-mulhamah yang bertempat di latifaturruh (halusnya ruh).
Nafsu ini berjumlah tujuh macam, yaitu pemurah, menerima apa yang ada,
penyantun, berbudi luhur, tobat, sabar dan tahan menderita. Ketiga, nafsu mutmainah
13
yang bertempat di halusnya rasa. Ciri-cirinya ada enam, yaitu dermawan, tawakal,
bersyukur, ridha terhadap hukum Allah SWT. dan takut melaksanakan maksiat.
Keempat, nafsu mardiyah yang bertempat di halusnya yang samar (latifatul khafi).
Tandanya ada enam macam, yaitu berbudi baik, meninggalkan apa saja selain Allah
SWT., kasih sayang kepada makhluk, mengajak makhluk supaya berbuat baik, maafmemaafkan terhadap sesama makhluk Allah SWT., dan cenderung cinta kepada
sesama guna mengeluarkan dari tabiatnya yang buruk, seperti menuruti nafsu dan
sifat-sifat tercela lainnya dan mengajaknya untuk memasuki sifat malaikat, sifat
terpuji dan budi luhur. Kelima, nafsu al-kamilah yang bertempat di latifatul ahfa
(halusnya yang lebih samar). Tandanya ada tiga, yaitu ilmu yaqin, ‘ainul yaqin dan
haqqul yaqin. Keenam, nafsu al-amarah bissu’ yang bertempat di latifatun nafsi,
yaitu halusnya otak yang untuk berpikir. Nafsu ini memiliki tanda-tanda yang
berjumlah enam, yaitu bakhil, cinta dunia, hasud, bodoh, sombong, dan tidak
menepati janji.
Unsur-unsur yang ada di dalam diri manusia tersebut yang paling dominan
dalam menentukan tingkah laku manusia adalah hati. Menurut Al-Jailani (2010: 127)
apabila hati telah terhalang oleh perbuatan-perbuatan dan nafsu buruk hati akan buta
sehingga ia tidak mengenal hakikat yang perlu diketahuinya. Pintu hati telah terbuka,
maka akan muncul dari dalamnya pikiran-pikiran yang arif. Mata hati yang telah
terbuka, akan tampak sifat-sifat Allah SWT..
14
D. Landasan Teori
Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan
masalah-masalah predikat-predikat nilai ‘betul’ (right) dan ‘salah’ (wrong) dalam arti
‘susila’ (moral) dan ‘tidak susila’ (immoral). Etika sebagai pokok bahasan yang
khusus, membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau
bijak. Kualitas-kualitas dan kebijakan-kebijakan (virtues), yang dilawankan dengan
kejahatan-kejahatan (vices), yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang
yang mempunyainya dikatakan sebagai orang yang tidak susila (Kattsoff, 2004: 341).
Etika secara terminologi dapat diartikan sebagai, pertama, ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika
bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua,
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak. Kata etika berarti juga
kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud adalah kode etik. Ketiga,
nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika
mempunyai arti sebagai ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu,
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat, seringkali tanpa
disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di
sini sama artinya dengan filsafat moral (Bertens, 2007: 5).
Kata moral, dari penjelasan di atas, maka ada hubungan di antara keduanya.
15
Hubungan etika dan moral disamakan dengan hubungan teori dan praktik. Etika
mengacu pada teori tingkah laku yang baik, benar (right conduct) dan kehidupan
yang baik (the good life), sedangkan moral mengacu pada praktik yang sesungguhnya
dari tingkah laku yang baik dan kehidupan yang baik (Bertens, 2007: 4).
Adapun akhlak, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, khuluqun yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung
segi-segi persesuaian dengan kata khalkun, yang berarti kejadian, serta erat
hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti
diciptakan. Adapun menurut pendekatan secara terminologi, al-Ghazali berpendapat
bahwa akhlak adalah sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu
lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara’, maka disebut
akhlak yang baik (akhlak karimah). Jika lahir dari perbuatan tercela, maka disebut
akhlak yang buruk (akhlak mazmummah) (Kamaluddin, 2012: 254). Dengan akhlak,
maka akan tergambar keadaan yang melekat di dalam jiwa atau hati seseorang.
Perbuatan atau sikap disebut akhlak apabila perbuatan tersebut dilakukan secara
berulang-ulang dan mudah dilakukan tanpa dipikirkan secara mendalam atau diteliti
terlebih dahulu sehingga dinilai benar dan merupakan kebiasaan. Berdasarkan
penjelasan tentang akhlak tersebut, maka dapat dikatakan bahwa akhlak lebih
mengacu pada moral, bukan pada etika.
Ada berbagai cara untuk mempelajari moralitas atau berbagai pendekatan
16
ilmiah tentang tingkah laku moral, yaitu etika deskriptif, etika normatif, dan
metaetika.
Etika deskriptif memberikan keterangan (deskripsi) tentang kesusilaankesusilaan dan moral-moral dalam bermacam-macam kebudayaan dan pada segala
abad. Ilmu itu terutama digunakan oleh ahli-ahli antropologi dan sosiologi, yang
menyelidiki kelakuan manusia dari segi yang berbeda (Douma, 2007: 8).
Etika normatif, etika yang mendasarkan pendiriannya pada norma-norma.
Etika
semacam
ini
bersifat
preskriptif.
Prescribe
artinya
menyarankan,
memerintahkan, mewajibkan. Etika ini tidak menggambarkan, tetapi menentukan
baik buruknya atau bermoral dan tidak bermoralnya suatu perbuatan. Etika normatif
mengajukan argumentasi, alasan mengapa perbuatan disebut baik atau buruk. Etika
normatif ini justru adalah bagian terpenting dari etika karena di sini berlangsung
diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral (Bertens, 2007:
18). Etika normatif berdasarkan pada nilai kebaikan, dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
teleologi, deontologi dan keutamaan.
Teleological ethical theory (teori etika teleologis) atau consequentialism
mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya.
Jika akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib melakukan. Akan tetapi jika akibatnya
buruk maka tidak boleh melakukan (Zubair, 1990: 107).
Adapun deontological ethical theory (teori etika deontologi/ kewajiban)
mengatakan bahwa betul atau salahnya sebuah tindakan tidak dapat ditentukan dari
17
akibat-akibat tindakan itu, melainkan dari cara bertindak yang begitu saja terlarang,
atau begitu saja wajib (Zubair, 1990: 107). Kata deontologi, diambil dari kata Yunani
yang berarti pengetahuan tentang keharusan atau kewajiban (deon, artinya wajib;
logos, artinya pengetahuan). Dasar perbuatan manusia adalah hidup menurut hukumhukum dan peraturan-peraturan (Brownlee, 2006: 34).
Virtue-ethics theory (teori etika keutamaan) mempunyai orientasi yang lain.
Etika ini mempelajari keutamaan, artinya sifat watak yang dimiliki manusia. Etika
keutamaan tidak menyelidiki apakah sebuah perbuatan atau tindakan baik atau buruk,
melainkan menyelidiki pada diri sendiri apakah sebagai orang yang baik atau buruk.
Etika keutamaan mengarahkan fokus perhatiannya pada being
manusia. Etika
keutamaan ingin menjawab pertanyaan what kind of person should I be? (Bertens,
2007: 212).
Adapun metaetika, lebih bersifat sebagai filsafat analitis, suatu aliran yang
penting dalam filsafat abad ke-20, yang antara lain dipelopori oleh filsuf Inggris
bernama George Moore (1873-1958). Metaetika, misalnya dianalisis pengertian
istilah atau konsep keadilan. Apakah keadilan yang dipergunakan dalam konteks
tertentu mengandung makna yang sama dengan keadilan dalam konteks yang lain.
Jika berbeda, maka bagaimana hal tersebut harus dijelaskan (Darmodiharjo, 2006:
260).
Di dalam sejarah filsafat terdapat banyak sistem etika, artinya banyak uraian
sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas dan peranannya dalam hidup
18
manusia. Beberapa pandangan tentang etika yang dijelaskan Ya’qub (1983: 43).
Pertama, Naturalisme, ukuran (kriteria) baik dan buruknya perbuatan manusia
menurut aliran etika naturalisme ialah perbuatan yang sesuai dengan naluri manusia
itu sendiri, baik mengenai naluri lahir maupun batin. Aliran ini menganggap bahwa
kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap manusia didapat dengan jalan memenuhi
panggilan natur atau kejadian manusia itu sendiri. Itulah sebabnya, aliran tersebut
dinamakan naturalisme.
Kedua, Hedonisme. Ukuran baiknya suatu perbuatan menurut aliran
hedonisme ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’ (kenikmatan atau kelezatan).
Hedonisme tidak hanya sekedar menetapkan kenikmatan jasmani sebagai tujuan yang
hendak dicapai, melainkan memandang kenikmatan rohani sebagai tujuan yang lebih
dapat diwujudkan. De Vos (2002: 163) di dalamnya termasuk persahabatan,
penghormatan terhadap manusia, tetapi juga penghayatan keindahan. Ada juga
hedonisme estetik yang memandang nikmat keindahan sebagai kebaikan tertinggi.
Bahkan ada juga hedonisme keagamaan, dalam hal ini terdapat agama berfungsi
untuk membangkitkan perasaan-perasaan tertentu yang dapat memberikan keinsyafan
akan kenikmatan. Seseorang dapat juga pergi ke tempat-tempat peribadatan untuk
dapat memperoleh kenikmatan dalam arti yang sebenarnya.Hedonisme dapat
mengambil banyak bentuk dan hampir tidak dikenal, namun senantiasa menetapkan
satu tujuan, yaitu memiliki sesuatu.
Ketiga, Utilitarisme. Utilitarisme berasal dari kata utility, artinya
19
kemanfaatan, kegunaan, dan kefaedahan. Menurut aliran ini sesuatu dikatakan baik
ketika tindakan itu bermanfaat, berfaedah atau berguna. Setiap tindakan manusia
harus selalu dipikirkan, apa akibat dari tindakannya tersebut bagi dirinya maupun
orang lain dan masyarakat. Utilitarisme mempunyai suatu tanggung jawab kepada
orang yang melakukan suatu tindakan, apakah tindakan tersebut baik atau buruk
(Anshori, 2008: 37).
Sesuai dengan nama aliran ini, maka yang menjadi prinsip ialah kegunaan
(utilitty) dari perbuatan tersebut. Aliran ini menilai baik buruknya suatu perbuatan
atas dasar besar kecilnya manfaat yang ditimbulkannya bagi manusia. Tujuan
utilitarisme ialah mencari kesempurnaan hidup sebanyak mungkin, baik dari segi
quality maupun dari segi quantity. Jadi tujuannya adalah kebahagiaan (happiness)
orang banyak. Pengorbanan misalnya, dipandang baik jika mendatangkan manfaat
(Ya’qub, 1983: 44).
Keempat, Vitalisme. Aliran etika vitalisme berpendirian bahwa yang
menjadi baik buruknya perbuatan manusia harus diukur ada tidaknya daya hidup
(vitalitas) yang maksimum, mengendalikan perbuatan tersebut. Menurut aliran ini
yang dianggap baik ialah orang kuat yang dapat memaksakan kehendaknya dan
sanggup menjadikan dirinya selalu ditaati (Ya’qub, 1983: 45).
Kelima, Theologis. Aliran ini berpendapat bahwa suatu tindakan disebut
bermoral jika tindakan tersebut sesuai dengan perintah Allah SWT., tindakan buruk
adalah tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.. Tuntutan moral
20
yang baik dalam hal ini telah digariskan oleh agama dan tertulis di dalam kitab suci
masing-masing agama (Anshori, 2008: 49).
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Berdasarkan data yang dipilih dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian,
yaitu data primer, sekunder, dan tersier.
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari buku-buku
yang berhubungan dengan pandangan Al-Jailani, antara lain yakni:
1) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2009, Perisai Gaib: Shalawat, Zikir, Doa-doa, Hizib,
dan Amalan,
(diterjemahkan oleh Abdullah Hasan), Pustaka Hidayah,
Bandung.
2) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2009, Raihlah Hakikat, Jangan Abaikan Syariat:
Adab-Adab Perjalanan Spiritual, (diterjemahkan oleh U. Tatang Wahyudin),
Pustaka Hidayah, Bandung.
3) Al-Jailani, Abdul Qodir 2010, Adab as-Suluk wa at-Tawassul ila Manazil alMuluk
(Pedoman
Suluk
dan
Tawasul
Menggapai
Wajah
Ilahi),
(diterjemahkan oleh Muhammad Ghassan Nashuh ‘Azqul), Diva Press,
Yogyakarta.
4) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2010, al-Fathu ar-Rabbani wa al-Faidhu arRahmani (Jalan Hidup Sang kekasih Allah) Lautan Hikmah Kekasih Allah.
21
(diterjemahkan oleh Kamran As’adi Irsyadi), Diva Press, Yogyakarta.
5) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2010, al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq ‘Azza wa
Jalla (Menggapai Puncak Kelezatan Ibadah kepada Allah), (diterjemahkan
oleh Fifah dan Abdul Wahid Hasan), Diva Press, Yogyakarta.
6) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2010, Rahasia Sufi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani,
(diterjemahkan oleh Abdul Majid Hj. Khatib) Cetakan Keduapuluh Empat,
Beranda, Yogyakarta.
7) Al-Jailani, 2012, Lautan Hikmah Kekasih Allah, (diterjemahkan oleh Kamran
As’ad Irsyadi), Yogyakarta, Diva Press.
8) Al-Jailani, Abdul Qodir, 2013, Jala’ al-Khathir: Untaian Hikmah dan Wirid
Sehari-Hari, (diterjemahkan oleh Denis Afriandi), Diva Press, Yogyakarta.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam peneitian ini berasal dari buku-buku dan hasil
penelitian yang sudah pernah dilakukan yang dipandang mendukung penelitian ini
yakni:
1) al-Kailani, Abdul Razaq, 2009, Syaikh Abdul Qodir Jailani Guru Para
Pencari Allah SWT., (diterjemahkan oleh Aedhi Rahman Saleh). cetakan I,
Mizan, Bandung.
2) Al-Syami, Shalih Ahmad, 2002, The Wisdom of Abdul Qodir Al-Jailani:
Bekal Menjadi Kekasih Allah, (Diterjemahkan oleh Syafir Hade Masyah dan
22
M. Tatam Wijaya), Serambi, Jakarta.
3) Al-Qahthani, Said bin Musafir, 2012, Buku Putih Syaikh Abdul Qodir AlJailani, (Cetakan ke-IX, diterjemahkan oleh Munirul Abidin dari judul buku
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani wa Arauhu al-I’tiqadiyah wa ashShufiyah), Darul Falah, Jakarta.
4) Bertens, K, 2007, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
5) De Vos, 2002, Pengantar Etika, (diterjemahkan oleh Soejono Soemargono),
Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
6) Solikhin, Muhammad, 2009, 17 Jalan Menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul
Qodir Al-Jailani, Mutiara Media, Yogyakarta.
7) Ya’qub, 1983, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar),
Diponegoro, Bandung.
8) Zubair, Achmad Charris, 1990, Kuliah Etika, Rajawali, Jakarta.
c. Data Tersier
Data tersier dalam penelitian ini berasal dari buku, jurnal, surat kabar, atau
artikel bebas yang membahas persoalan yang sesuai dengan tema bahasan. Baik
informasi pendukung terkait pemikiran Al-Jailani maupun yang berhubungan dengan
objek formal penulisan, yaitu etika.
2. Jalan Penelitian
23
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini yaitu :
a. Inventarisasi data dan bahan penelitian
b. Klasifikasi bahan untuk dikelompokkan dan disusun berdasarkan kategori
primer, sekunder dan tertier.
c. Analisis data dan bahan penelitian menggunakan metode yang dipilih.
d. Menyusun laporan tertulis dalam bentuk karya ilmiah
3. Analisis Hasil
Sebagai penelitian pustaka, data yang berhasil dikumpulkan dan diolah
dalam pemahaman yang diteliti akhirnya harus dirangkai dalam sebuah analisis.
Lebih jelasnya penelitian ini menggunakan metode penelitian:
1. Interpretasi
Interpretasi
merupakan
upaya
penting
untuk
menyingkap
kebenaran.
Interpretasi berarti bahwa tercapai pemahaman benar mengenai ekspresi
manusiawi yang dipelajari. Interpretasi memuat lingkaran-lingkaran yang
beraneka ragam, yang merupakan satuan unsur-unsur metodis. Unsur-unsur itu
menunjukkan dan menjamin, bahwa interpretasi bukan semata-mata merupakan
kegiatan manasuka, menurut selera orang yang mengadakan interpretasi,
melainkan bertumpu pada evidensi objektif, dan mencapai kebenaran otentik.
Unsur-unsur tersebut yakni, induksi, deduksi, hermeneutik dan identifikasi
(Bakker, 1992: 42).
2. Koherensi Intern
24
Hakikat manusia yang transendental itu ditemukan banyak unsur-unsur.
Hakikat manusia itu tidak cukup hanya menyebut suatu deretan sifat-sifat yang
tidak berhubungan satu sama lain. Pemahaman benar, jikalau unsur-unsur
struktural dilihat dalam struktur yang konsisten, sehingga benar-benar
merupakan internal structures
atau internal relations. Oposisi di antara
keduanya, akan tetapi unsur-unsur itu tidak boleh bertentangan satu sama lain.
Terjadi suatu lingkaran pemahaman antara hakikat menurut keseluruhannya
dari satu pihak dan unsur-unsurnya (bagian-bagiannya) dari lain pihak. Hakikat
universal itu baru menjadi jelas dalam unsur-unsur struktural itu, tetapi
sebaliknya juga unsur-unsur itu baru menjadi jelas dalam kesinambungannya
satu sama lain (Bakker, 1992: 45).
3. Holistika
Metode ini merupakan corak khas dan suatu kelebihan dalam konsepsi filosofis,
sebab, justru filsafat berupaya mencapai kebenran yang utuh. Subjek dalam
penelitian ini yang menjadi objek studi, tidak hanya dilihat secara atomistis,
yaitu secara terisolasi dari lingkungannya melainkan ditinjau dalam interaksi
dengan seluruh kenyataannya. Manusia baru mencapai identitas diri dalam
korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. maka manusia harus dapat
dipahami dengan memahami seluruh kenyataan dalam hubungan dengan dia,
dan diri sendiri dalam hubungan dengan segalanya (Bakker, 1992: 46)
25
F. Hasil yang akan Dicapai
Analisis hasil yang akan dicapai dalam konsep manusia utama menurut AlJailani ini menggunakan teori etika normatif, dispesifikkan pada etika kewajiban,
etika keutamaan, dan etika teleologi.
Etika kewajiban mempelajari prinsip-prinsipdan aturan-aturan moral yang
berlaku untuk perbuatan seseorang. Etika ini menunjukkan norma-norma dan prinsipprinsip mana yang perlu diterapkan dalam hidup. Etika kewajiban menilai benar
salahnya kelakuan seseorang dengan berpegang pada norma dan prinsip moral saja.
Menjadi manusia yang sempurna menurut Al-Jailani adalah manusia yang selalu
bertakwa dan taat akan semua perintah Allah SWT.. Dasar dari seluruh aturan hidup
manusia menurut Al-Jailani adalah berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Hadist.
Manusia dapat dikatakan baik apabila tidak melanggar apa yang sudah menjadi
ketentuan di dalamnya.
Etika keutamaan mempunyai orientasi yang lain. Etika ini tidak begitu
menyoroti perbuatan satu demi satu, apakah sesuai atau tidak dengan norma moral,
tetapi lebih memfokuskan manusia itu sendiri. Etika ini mempelajari keutamaan,
artinya sifat dan watak yang dimiliki manusia. Etika keutamaan tidak menyelidiki
apakah perbuatan seseorang baik atau buruk, tetapi lebih mengarah pada being
manusia. Manusia yang lebih utama, menurut Al-Jailani tidak hanya berhenti pada
bagaimana manusia bersikap dan bertindak. Pribadi seseorang menjadi lebih baik,
sehingga manusia mempunyai kedudukan yang tinggi di hadapan Allah SWT. di
26
antara sesama makhluk Allah SWT.. Menurut Al-Jailani, untuk menjadi pribadi yang
lebih baik ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan, di antaranya tobat, zuhud,
tawakal, sabar, jujur, syukur, dan ridha. Apabila seseorang benar-benar
mengamalkan tahapan-tahapan tersebut, maka pribadinya akan selalu baik. Hal ini
dikarenakan kondisi hati, yang mengatur segala perilaku manusia sudah bersih dari
sifat-sifat yang tercela.
Etika Al-Jailani bercorak teleologis sebab ia menilai amal dengan mengacu
kepada akibatnya. Etika ini mengajarkan bahwa manusia punya tujuan yang agung,
yaitu kebahagiaan akhirat dan bahwa amal itu baik apabila menghasilkan pengaruh
pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu
buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan tersebut.
Al-Jailani mengikuti aliran etika theologis, bahwa yang menjadi ukuran baik
dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Allah SWT.. Apakah
perbuatan itu diperintahkan atau dilarang oleh-Nya. Segala perbuatan yang
diperintahkan oleh Allah SWT. itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang
oleh Allah SWT., adalah perbuatan yang buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab
suci. Wujud yang paling dalam dari kenyataan adalah kerohanian. Seseorang berbuat
baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain, melainkan atas dasar
kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain,
perbuatan baik itu dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam
nurani manusia. Faktor yang mempengaruhi manusia ialah kemauan yang melahirkan
27
tindakan yang konkrit, yaitu kemauan baik yang dihubungkan dengan suatu hal yang
menyempurnakannya, yaitu rasa kewajiban.
G. Sistematika Penelitian
Hasil penelitian akan dijelaskan dalam lima bab sebagai berikut;
Bab I berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan
masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjuan pustaka,
landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang akan dicapai dan
sistematika penelitian.
Bab II berisi penjelasan tentang etika sebagai salah satu cabang filsafat,
meliputi Pengertian Etika, persoalan-persoalan dalam etika yang berisi tentang hati
nurani, tanggung jawab dan kebebasan, dan hak dan kewajiban. Pembahasan tentang
macam-macam ilmu etika, diantaranya adalah etika deskriptif, etika normatif yang
dibagi menjadi deontologi, teleologi dan keutamaan, dan metaetika. Menjelaskan
tentang beberapa aliran dalam etika, yaitu Naturalisme, Hedonisme, Utilitarisme,
Vitalisme, dan theologis.
Bab III merupakan uraian tentang tokoh Abdul Qodir Al-Jailani. Uraian ini
meliputi latar belakang kehidupan Al-Jailani yang menjelaskan latar belakang sosial,
politik, dan kondisi keilmuan pada masa itu, Intelektualitas dan Karya-karya Abdul
Qodir Al-Jailani, serta pengaruh pemikiran Al-Jailani dewasa ini. Pembahasan pokok
pemikiran tasawuf Al-Jailani, konsep manusia utama menurut Al-Jailani, dan
28
pengetahuan tentang pembersihan jiwa, kesucian hati dan penyingkapan hijab melalui
beberapa tahap, diantaranya: tobat, zuhud, tawakal, sabar, jujur, syukur, dan ridha.
Bab IV merupakan uraian konsep insan kamil menurut Al-Jailani dalam
tinjauan etika, meliputi hati nurani dalam konsep manusia utama Al-Jailani, tanggung
jawab dan kebebasan dalam konsep manusia utama Al-Jailani, dan hak dan kewajiban
dalam konsep manusia utama Al-Jailani.
Bab V berisi tentang relevansi konsep insan kamil Al-Jailani dalam tinjauan
etika terhadap perkembangan karakter bangsa, meliputi pengertian karakter bangsa,
dan relevansi konsep insan kamil Al-Jailani dengan perkembangan karakter bangsa
terhadap berbagai permasalahan modernitas.
Bab VI berisi kesimpulan dan saran
Download