1 BAHASA HUMOR DALAM KUMPULAN CERPEN KARYA BOIM LEBON “KEJARLAH DAKU KAU KUANGKOT” (SEBUAH TINJAUAN STILISTIKA) INTISARI Humor berdasarkan sejarahnya berarti cairan. Sejak tahun 400 SM, orang Yunani beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan yang dapat menentukan suasana hati seseorang. Jika kelebihan dari salah satu cairan tersebut, maka akan membawa pada suasana tertentu. Humor berkaitan dengan sesuatu yang lucu, menggelikan hati, kejenakaan, kelucuan yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tertawa gembira, karena ada rangsangan yang spontan memancing tawa. Humor merupakan cara untuk melahirkan pikiran, yang merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap sesuatu yang lucu. Boim Lebon merupakan penulis cerpen lucu yang tidak membosankan. Yang membuat buku ini lebih menarik, yaitu disisipkan gambar lucu sebagai penunjang cerita, dan bonus berupa dialog humor singkat yang menyelingi cerita. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gaya bahasa dan bahasa humor dalam Kumpulan Cerpen “Kejarlah Daku Kau Kuangkot” Karya Boim Lebon. Tahap pengumpulan data menggunakan metode simak dan catat. Populasinya adalah tuturan dari cerpen yang tergolong lucu dalam “Kumpulan Cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot”, dan sampelnya adalah tuturan yang dianggap lucu dari cerpen tersebut sebanyak 70 data.. Tahap analisis data menggunakan metode struktural. Tahap pemaparan hasil analisis menggunakan metode deskriptif, dan hasil analisis dipaparkan dengan menggunakan kata- kata biasa. Hasil penelitian yang dicapai bahwa gaya bahasa humor yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini adalah gaya bahasa kias dan nonkias. Pada gaya bahasa kias ditemukan: metafora, personifikasi, eponim,epitet, sinekdoke, metonimia, sarkasme, pun paranamasia. Gaya bahasa kias ditemukan: repetisi dan retoris. Aspek kebahasaannya, terdiri dari: Ortografis, fonologis, ketaksaan, antonimi, pertalian antarklausa, pertalian antarproposisi; aspek pungutan terdiri atas pungutan yang berasal dari bahasa Inggris, bahasa Jawa, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta. Aspek permainan bahasa, terdiri atas: permainan antarbahasa Indonesia atau daerah dengan bahasa asing. Kata Kunci: humor, stilistika, permainan bahasa. 1 2 1. Pendahuluan Secara umum dapat dikatakan bahwa humor adalah apa saja yang menyebabkan orang geli lalu tertawa, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ozkafaci (melalui Hidayati, 2009:2). Humor berfungsi sebagai hiburan karena mampu membuat orang tertawa, sehingga setiap orang akan terlihat sangat bahagia. Selain dapat berfungsi sebagai hiburan, humor juga dapat digunakan sebagai pengobatan, seperti yang diungkapkan Danandjaja (melalui Wijana, 2004:4) bahwa “humor sebenarnya dapat dijadikan alat psikoterapi, terutama bagi masyarakat yang sedang berada dalam proses perubahan kebudayaan secara cepat dan hidup yang penuh dengan tekanan, seperti Indonesia”. Oleh karena itu, humor dapat digunakan sebagai alat psikoterapi bagi orang-orang yang tertekan atau yang mengalami gangguan psikis. Humor dapat membuat orang bahagia, sehingga orang akan lupa terhadap permasalahan atau tekanan yang sedang dihadapi. Wilson (melalui Sakti, 2008:16) membagi teori humor menjadi tiga bagian, yaitu: (1) teori pembebasan, (2) teori konflik, dan (3) teori ketidakselarasan. Hermintoyo (2011:15) juga menyatakan bahwa, “humor dapat mengendurkan ketegangan dalam diri dan berfungsi sebagai alat kritik yang ampuh karena subjek yang dikritik tidak merasakan kritikan itu sebagai konfrontasi”. Pradopo (melalui Wijana 2004:12) membedakan humor menjadi tiga jenis, yakni humor sebagai kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya. Ada berbagai macam teknik penciptaan humor. Arthur Asa Berger membaginya menjadi tiga (melalui blog: http://nitastory.blogspot.com/2008/12/humor-arthur-asaberger.html), bahwa teknik dasar penciptaan humor terdiri dari aspek bahasa, logika, bentuk, dan gerakan. Claire (melalui Hermintoyo, 2011:16) menambahkan bahwa humor dapat membuat kelucuan apabila mengandung unsur-unsur: ada kejutan, mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan, dan membesar- besarkan masalah. Humor adalah salah satu bentuk permainan. Permainan bahasa merupakan salah satu cara untuk menimbulkan efek penciptaan humor, pada teknik ini Wijana (2006:58-68) membaginya dalam dua jenis, yaitu: permainan intrabahasa dan permainan antarbahasa. Wijana menambahkan penjelasan dalam bukunya yang berjudul Wacana Kartun bahwa aspek lain untuk memberikan efek lucu adalah aspek kebahasaan, yang meliputi: aspek ortografis, aspek fonologis, ketaksaan, metonimi, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufimisme, nama, deiksis, kata ulang, pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intraklausa, konstruksi aktif pasif, pertalian antarklausa, pertalian pengandaian, pertalian antarproposisi. Untuk dapat memahami humor menurut Rohmadi (melalui Wijana, 2006:137-146) pembaca terlebih dahulu harus memahami berbagai konvensi, yakni: bahasa, humor, dan budaya yang melatar belakangi humor tersebut. 3 “Humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka- teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, julukan, karikatur, kartun, bahkan nama makanan lucu” (Wijana, 2004:4). Selain itu, dapat juga disajikan melalui media elektronik seperti televisi maupun radio. Selain melalui media elektronik, humor juga didapatkan dari media cetak seperti majalah, koran, bahkan buku. Banyak dijumpai buku- buku yang berjenis humor, salah satunya adalah kumpulan cerpen yang berjudul Kejarlah Daku Kau Kuangkot karya Boim Lebon. Kejarlah Daku Kau Kuangkot adalah salah satu judul cerita pendek dari koleksi terbaik dan terlucu karya Boim Lebon yang terdapat dalam buku yang berjudul sama. Boim Lebon juga dikenal dengan serial Lupus ABG dan Lupus Kecil yang ditulisnya bersama Hilman Hariwijaya dan puluhan judul buku lainnya. Aspek humor yang terdapat dalam cerpen- cerpen dari kumpulan cerpen di atas di antaranya adalah berupa: Aspek kebahasaan, yang berupa aspek ortografis, yaitu penyimpangan lambang bunyi, dan cara penulisan lambang bunyi itu. Misalnya pada kutipan berikut: (1) “Halo Anah...?” “Anah? Aiiiii... sYapa tHuuuch?” “Eh, maaf, maksud saya Ainaiii...udah berangkat belum?Boleh numpang motor kamu, soalnya...soalnya...” “Soalnya kenapha? Pake nanyach-nanyach soAl?” “Bukan...Cuma anu, anu eh, udah sampai mana?” “BharenX methen-methen dach xamphe school, man9nya naPha?” “Oooh, enggak deh, ya, enggak apa- pa, Cuma mau nelepon aja...,” kata Imah jadi enggak enak ati. “Uuch, nelPhon gax puNyah motiPasi, daSar alay luCh!” sembur si Anah. (Lebon, 2010:166) Pada cerita di atas, dikisahkan bahwa Imah menelepon Anah untuk menanyakan apakah Anah sudah berangkat apa belum, karena Imah mau bareng untuk berangkat ke sekolah. Pada awal percakapan, Imah lupa menyebut nama Anah tidak dengan nama kotanya, yaitu Ainai. Anah lalu memancingnya hingga akhirnya si Imah ingat akan nama baru saudaranya itu. Imah saking takutnya berbicara kepada Anah, dia berbicara terbata- bata sampai si Anah menafsirkan dengan hal lain. Lalu setelah Imah berhasil menanyakan sesuatu kepada Anah, ternyata dia sudah berangkat dengan teman- temannya. Akhirnya, si Imah langsung menutup teleponnya karena tidak enak kepada saudaranya itu. Sang kreator memanfaatkan aspek ortografis dalam memberikan efek lucu pada data di atas, yakni dengan menuliskan bahasa gaul dengan huruf besar kecil, pelanggaran EyD (Ejaan yang Disempurnakan), dan kesalahan penulisan. 4 a. Rumusan Masalah Dapat dirumuskan bahwa masalah dalam penelitian ini adalah gaya bahasa dan aspek humor yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Karya Boim Lebon yang berjudul Kejarlah Daku Kau Kuangkot?. b. Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gaya bahasa dan bahasa yang diujarkan dalam BKC Karya Boim Lebon yang berjudul KDKK, sehubungan dengan humor yang ada. c. Ruang Lingkup Penelitian Penulis memberikan batas penelitian hanya pada aspek gaya bahasa dan aspek humor yang digunakan Boim Lebon dalam sebagian Kumpulan Cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot pada cerpen- cerpen: “Badman Bidin”, “Suparman Pulang Kampung”, “Persaingan Tidak Sakit”, “Antara Bolos, Acin, dan Tukang Cimol”, “Kejarlah Daku Kau Kuangkot”. d. Tahapan Penelitian Dalam upaya memecahkan masalah, tahapan yang dilakukan dalam upaya penelusuran adalah: penyediaan data, penganalisiisan data, dan penyajian hasil analisis (Sudaryanto, 2001:5). Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu dilakukan dengan menganalisis data secara objektif, kemudian ditemukan fakta lalu dipaparkan tanpa menggunakan angka dan tabel. 1. Tahap Pengumpulan Data Tahap pertama adalah pengumpulan data, pada tahap ini peneliti mengupayakan data secukupnya. Penelitian ini menggunakan metode pustaka. Data bersumber dari Kumpulan Cerpen yang disingkat KC karya Boim Lebon yang berjudul “Kejarlah Daku Kau Kuangkot” (KDKK). Teknik pengumpulan data menggunakan metode simak dan catat. Sudaryanto (1988:21) menjelaskan bahwa populasi adalah tuturan yang sudah ada atau diadakan, baik yang terpilih maupun tidak sebagai sampel, sebagai satu kesatuan . Di sini populasinya adalah keseluruhan tuturan cerpen lucu yang terdapat dalam KC KDKK, yaitu “Badman Bidin”, “Suparman Pulang Kampung”, “Antara Bolos, Acin, dan Tukang Cimol”, “Persaingan Tidak Sakit”, “ Kejarlah Daku Kau Kuangkot”, “Kado Lebaran”, ‘Empat Kado dari Empat Cewek”, “Donworibihepii”, “Waktu Potong Rambut di Pasar” Sampel adalah sebagian tuturan yang diambil oleh peneliti menurut Sudaryanto (1988:21). Pada bagian ini, 5 sampelnya adalah tuturan yang dianggap lucu dari cerpen- cerpen tersebut di atas sebanyak 70 data. 2. Tahap Analisis Data Analisis menggunakan metode struktural dengan melihat gaya bahasa dan aspek kehumorannya. Data diklasifikasi sesuai gaya bahasanya dengan melihat penanda kata yang mendukungnya dengan metode parafrasa. Aspek humor dilihat berdasarkan cara penyampaian humor sebagai gaya pengarangnya. 3. Tahap Pemaparan Hasil Analisis Pemaparan hasil analisis ini dengan metode deskriptif, berdasarkan pada data yang ada. Hasil analisis penelitian ini berdasarkan dipaparkan dengan metode informal, yaitu pemaparan dengan menggunakan perumusan dengan kata-kata biasa. 2. Kajian Pustaka dan Kerangka Teoretis a. Kajian Pustaka Humor selalu berkembang dari masa ke masa. Berbagai macam pendekatan telah digunakan beberapa peneliti untuk mengetahui seluk beluk jenis humor. Khusus pada pendekatan gaya bahasa telah beberapa kali dilakukan. Sebagai bahan acuan, peneliti menggunakan bebrapa penelitian yang dipakai untuk panduan penulisan. Penelitian tersebut seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Diponegoro, antara lain sebagai berikut. Lestari (2012) dalam skripsi yang berjudul “Gaya Bahasa dan Tema Humor yang terdapat dalam ‘Sentoloyo’ Harian Meteor”, mengungkapkan gaya bahasa dan tema yang digunakan dalam “Sentoloyo” Harian Meteor. Sebagai landasan teori, gaya bahasa dan humor digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan gaya bahasanya ditemukan lima jenis, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa perulangan, (3) gaya bahasa sindiran, (4) gaya bahasa pertentangan, (5) gaya bahasa penegasan. Gaya bahasa perbandingan meliputi: hiperbola, metonimia, personifikasi, metafora, similasi, dan asonansi. Gaya bahasa perulangan meliputi: anaphora, mesodiplosis, epituiksis. Gaya bahasa sindiran terdiri dari: ironi dan sarkasme. Gaya bahasa pertentangan terdiri dari antitesis dan paradoks. Untuk gaya bahasa penegasan terdiri dari: klimaks, antiklimaks, anafora, epistrofa, dan polisidenton. Jika dilihat dari sasaran humornya terdiri atas: (1) humor etnis, yaitu humor yang mengangkat segi yang mencolok dan dianggap sebagai kekurangan 6 suatu kelompok etnis. (2) humorseksual, yaitu humor tentang alat kelamin, hubungan seks atau hal- hal yang menyeret hubungan seks sebagai target humor. (3) politik, yaitu humor yang menjadikan pemimpin politik, politikus, lembaga, kelompok, partai dan gagasan- gagasan politik sebagai sasaran. b. Kerangka Teoritis Adapun sebagai langkah kerja, penulis memakai kerangka teori tentang teori, jenis, fungsi, dan aspek humor. 1. Pengertian Humor Humor berdasarkan sejarahnya berarti cairan. Sejak tahun 400 SM, orang Yunani kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yaitu: darah, lendir, empedu kuning, dan empedu hitam. Penimbangan jumlah cairan tersebut dapat menentukan suasana hati seseorang, namun kelebihan salah satu dari keempat cairan tersebut akan membawa pada suasana tertentu. Darah dapat menciptakan suasana gembira, lendir dapat menciptakan suasana tenang atau dingin, empedu kuning dapat menyebabkan perasaan marah, dan empedu hitam menyebabkan rasa sedih. Namun, tiap cairan tersebut memiliki karakteristik sendiri dalam mempengaruhi perasaan seseorang. Jika kekurangan darah dapat menyebabkan orang menjadi tidak pemarah, kelebihan empedu kuning bisa menyebabkan rasa angkuh atau pendiam atau ambisius (Rahmanadji, 2009). Dalam artikel itu juga menurut Setiawan humor dapat menyebabkan seseorang menjadi tertawa gembira, karena seperti yang diungkapkan dalam Rahmandji bahwa dewasa ini humor adalah sesuatu yang lucu dan menimbulkan kegelian, identik sebagai penyebab orang tertawa. Dalam KBBI (2008:512) juga diungkapkan bahwa humor adalah : (1) sesuatu yang lucu; (2) kejadian yang menggelikan hati; kejenakaan; kelucuan; (3) ciaran atau zat setengah cair dalam tubuh. Humor adalah segala bentuk rangsangan yang cenderung secara spontan memancing tawa/ senyum para pembaca/ pendengar, karena secara umum humor adalah rangsangan verbal dan atau visual yang secara spontan memancing senyum dan tawa pendengar atau yang melihatnya, seperti yang diungkapkan Hasan (melalui Nita, 2008). Begitupun juga Mendatu (2008:11) mengungkapkan bahwa humor merupkan cara untuk melahirkan pikiran, dalam humor merupakan kemampuan seseorang untuk menangkap sesuatu yang lucu dari sebuah peristiwa, yang prosesnya berawal dari menangkap adanya sesuatu yang lucu. Lucu itu sesuatu yang menggelitik dalam suatu peristiwa dan ada perasaan merespon dengan riang dan tertawa. 7 2. Teori Humor Teori humor dibicarakan oleh Wilson (melalui Hermintoyo, 2011:16) seperti di bawah ini. a. Teori pembebasan, merupakan penjelasan dari sudut dampak emosional. Humor merupakan tipu daya emosional yang seolah mengancam, namun pada akhirnya terbukti tidak ada apa- apanya; b. Teori konflik, yang merupakan pemberian tekanan pada implokasi penutur humor, yaitu konflik antara dua dorongan yang saling bertentangan. Pertentangan yang terjadi dapat berupa pertentangan antara keramahan dan kebengisan, antara main- main dan keseriusan, atau antara antusiasme dan depresi; c. Teori ketidakselarasan, teori ini menyangkut penggabungan dua makna tuturan atau dua interprestasi yang tidak sama, digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks yang kemudian masuk ke dalam satu peta kognitif. Wijana (2004:21) menambahkan bahwa humor bertumpu pada teori ketidaksejajaran, yaitu humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks yang dipersepsikan secara tiba- tiba oleh penikmatnya. 3. Jenis Humor Danandjadja (1997:117-118) membagi humor dibedakan melalui sasarannya. Jika lelucon sasarannya orang/ kolektif lain, sedangkan humor sasarannya adalah si pembawa cerita. Lelucon berbeda dengan anekdot, jika anekdot menyangkut kisah lucu tokoh atau beberapa tokoh yang benar- benar ada, merupakan bagian dari riwayat hidup. Sedangkan lelucon adalah berisi kisah fiktif lucu yang memaparkan tabiat/ sifat tokoh. Persamaannya adalah keduanya fiktif karena berdasarkan prasangka pencipta humor. Selain itu, keduanya sama- sama menimbulkan rasa menggelitik bagi pendengar/ penikmat sehingga menimbulkan tertawa baik pendengar/ peneikmat maupun pencerita/ penulis. Namun, bagi tokoh tertentu sebagai sasarannya dapat menimbulkan rasa sakit hati. Mendatu (2008:20-25) membagi humor menjadi 4 tipe., yaitu meliputi: (1) humor menyerang, adalah humor yang menyerang, mengkritik, dan menghina orang lain, baik secara fisik maupun mental orang lain; (2) humor mengikat adalah humor yang ditujukan agar tercipta suasana lucu; (3) humor menghina diri, adalah humor yang dilakukan dengan cara membiarkan diri menjadi korban lelucon agar orang lain senang; (4) humor menertawakan hidup, adalah humor yang terjadi ketika menganggap seseorang atau diri terlalu serius dalam menjalani hidup dan akhirnya itu menjadi lelucon. 8 4. Fungsi Humor Sujoko (melalui Rahmanadji, 2009) membagi fungsi humor terdiri atas: (1) melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gangguan/ pesan, (2) menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar, (3) mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut, (4) menghibur, (5) Melancarkan pikiran, (6) Membuat orang mentoleransi sesuatu, (7) Membuat orang memahami persoalan pelik. Rahmanadji menambahkan Karikatur, yaitu gambar sindiran/ kritikan yang bernuansa humor, dan fungsi lainnya adalah pembijaksanaan orang dan penyegaran, (8) Berupa karikatur yang bertujuan menyindir/ mengkritik dan fungsinya berwujud gambar. 5. Aspek Penciptaan Humor a. Pendapat Arthur Asa Berger Teknik dasar penciptaan humor terdiri dari aspek bahasa, logika,bentuk, dan gerakan. Dari aspek bahasa terdiri dari: sindiran, omong kosong/ bualan, definisi, melebih- lebihkan, kelucuan, ejekan, kepolosan seks, ironi, kesalahpahaman, kesalahan gaya bahasa, permainan kata, jawaban pasti, sarkaasme, satire. Aspek logika terdiri dari: kemustahilan, kecelakaan, kiasan, susunan,ketaksengajaan, pembandingan, kekecewaan, ketidakpedulian, kesalahan, pengulangan, pemutarbalikan, kekakuan, tema, variasi. Aspek bentuk terdiri dari: sebelum/ sesudah, drama berupa ejekan, karikatur, menimbulkan rasa malu, keunikan, pengungkapan rahasia, keanehan, imitasi/ peniruan, tiruan, parodi, status sosial, klise, pengungkapan identitas, rahasia. Dan aspek gerakan terdiri dari: adegan pengejaran, adegan lawak, adegan dalam kecepatan tinggi (Nita, 2008). b. Pendapat Claire Claire (dalam Hermintoyo, 2011:16) menambahkan bahwa humor dapat membuat kelucuan apabila mengandung unsur- unsur: ada kejutan, mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan, dan membesar- besarkan masalah. c. Pendapat Wijana 1) Aspek Kebahasaan Dalam buku yang berjudul “Wacana Kartun” ,Wijana (2004:121-162) memberikan pendapat bahwa aspek kebahasaan merupakan salah satu sumber kreativitas humor oleh para kreator. Aspek kebahasaan itu antara lain adalah sebagai berikut: 9 a) Aspek Ortografis Hal ini berkaitan dengan penyimpangan lambang bunyi (berupa huruf), dan cara menuliskan lambang bunyi itu. Contoh: (4) sYapa tHuuuch?, kenapha, dan lain sebagainya. (Lebon, 2010:166). b) Aspek Fonologis Pada aspek ini berkaitan dengan bunyi bahasa. Secara garis besar bunyi bahasa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : fon (phone) dan fonem (phone- me). Semua bunyi bahasa dengan tidak mempertimbangkan kapasitasnya sebagai pembeda makna disebut fon. Sedangkan sejumlah fona memiliki potensi untuk membedakan makna, ini yang disebut fonem. Fonem tidak memiiki makna. Penyimpangan bunyi sebagai salah satu penciptaan humor (Pradopo dalam Wijana: 2004,130) “ penyimpangan bunyi dalam rangka berhumor bukanlah sekadar penyimpangan biasa, melainkan penyimpangan yang menunjukkan penerobosan sesuatu yang dominan dalam pikiran ke dalam arus tuturan yang wajar”. Setelah dilakukannya pengamatan terhadap data yang ada, ditemukan beberapa teknik pemanfaatan aspek fonologis, yaitu: (1) Penambahan bunyi Proses penambahan bunyi di sini dilakukan di awal atau akhir kata. Contoh: perubahan kata edan menjadi sedan pada wacana berikut ini. (2) + Aku ini pegawai negeri golongan 4, kau mintain kalung berlian, edan! - Apa? Sedan? Boleh, ngga usah kalung, sedan juga mau. Twin Cm, ya? (Wijana, 2004:139) (2) Pelesapan Bunyi Kreativitas humor dapat pula berupa penghilangan atau pelepasan bunyi. Sebuah kata akan menjadi lain jika beberapa bunyi yang merupakan elemen pembentuk suatu kata dilesapkan. Contohnya adalah pada kata mas, yang secara ortografis adalah sebutan kakak laki- laki pada Bahasa Jawa, yang secara fonologis berhomonim denagan kata emas yang bermakna logam mulia. Seperti pada wacana berikut. (3) + Di mana kau simpan emas permatamu. - Mas saya mas Sastro lagi ke Solo mata saya lha ini. (Wijana, 2004:139). 10 (3) Ketaksaan Dalam berhumor sering dijumpai penggunaan bentuk kebahsaan lain berdasarkan pada kesamaan bunyi. Ketaksaan dalam humor berpotensi mengacaukan pembaca, menurut konsepsi Bergson (melalui Wijana,2004:140). Pengacauan ini dapat terjadi karena beberapa hal,menurut Nelson (melalui Wijana, 2004:140-141) satu diantaranya adalah berupa pengacauan dua kata atau kalimat yang bentuknya sama dengan makna yang jauh berbeda, sehingga secara fonemis atau ortografis menimbulkan kebingungan. Ketaksaan yang ditemukan dalam data penulis adalah: (a) Ketaksaan Leksikal Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang terbentuk karena bentuk-bentuk yang memiliki dua makna atau lebih yang berbeda. Perbedaan itu bisa bertalian dan bisa juga tidak. Sifat hubungan makna pertama disebut polisemi, dan yang kedua adalah homonimi. ((1)) Polisemi Kata-kata yang memiliki perbedaan makna yang disebabkan oleh konteks pemakai disebut polisemi. Allan (melalui Wijana, 2004:142) mendefinisikan polisemi sebagai unsur emik yang memiliki dua makna atau lebih. Ullman (melalui Wijana, 2004:143) mengemukakan bahwa polisemi terbentuk diantaranya dari pemaduan makna pergeseran pemakaian, yang merupakan sumber utama dalam pembentukan polisemi seperti data yang telah penulis temukan. ((a)) Pemaduan Makna Pergeseran Pemakaian Pemaduan makna pergeseran pemakaian di sini berarti bahwa sebuah kata dapat bergeser maknanya dengan dipadukan dengan kata lain yang memiliki makna primer yang sama. Contoh pada kata sarung dan sarung tinju. (4) + Sarung apa yang hanya dipakai kalau untuk berkelahi? - Sarung tinju (Wijana, 2004:144) Kata sarung memiliki makna primer kain panjang yang tepi pada pangkal dan ujungnya dijahit berhubungan, biasa digunakan untuk sholat. Karena pergeseran pemakaian, kata sarung dapat menjadi bermakna selongsong tempat memasukkan benda apapun atau pembalut, pembungkus. Wacana di atas merupakan pemaduan makna primer sarung dengan makna sekundernya pembungkus. 11 ((2)) Homonimi Homonimi adalah relasi makna dua buah kata/ antarkata atau lebih yang memiliki ucapan sama, ditulis sama, tetapi memiliki makna yang berbeda atau tidak berhubungan sama sekali. Contoh: (8) bisa ular dan bisa yang bermakna dapat. (4) Antonimi Antonimi adalah relasi antarkata yang berlawanan maknanya. Dalam perlawanan makna ini secara teoritis terdiri dari beberapa konsep, yaitu: bergradasi dan tak bergradasi. Konsep perlawanan makna bergradasi, seperti perlawanana makna panas dan dingin. Sedangkan konsep tak bergradasi, seperti perlawanan makna hidup dan mati. (5) Pertalian Antarklausa Pemanfaatan pertalian antarklausa sebagai sarana kreativitas humor, dengan mengacaukan makna klausa pertama dan klausa kedua. Kehadiran klausa kedua dalam dialog memberikan perubahan persepsi kepada pembaca secara tiba- tiba. (Wijana, 2004:249). Contohnya adalah pada wacana berikut: (5) + Mobilku ringsek ketabrak kereta. Kau bisa ngetok sampai kelihatan baru lagi? - Bisa, Tuan, cuma waktunya kira- kira 16 tahun. (Wijana, 2004: 250). Pertalian tersebut diantaranya adalah: (a) Pertalian Syarat Terwujudnya sebuah peristiwa biasanya harus memenuhi syarat- syarat tertentu. Contoh: (6) + Apakah aku bisa diterima di UGM? Bisa, asal sekaramg kamu rajin belajar. (Wijana, 2004:253). (6) Pertalian Antarproposisi Pertalian antarposisi berhubungan dengan perbedaan kesimpulan atau suatu pernyataan dianalogikan dengan pernyataan lain di luar kerangka pikir yang dapat diterima oleh akal (Wijana, 2004:255). Cara yang ditempuh kreator dalam hal ini di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Analogi Analogi adalah proses perluasan penggunaan kaidah tata bahasa yang melampaui penggunaan yang telah umum dipakai oleh penutur bahasa yang bersangkutan, 12 yang pada umumnya dibentuk dengan mengikuti pola yang dipandang lebih umum. Richard (dalam Wijana, 2004: 256). Contoh: (7) + Kalau kita mengangkat anak namanya anak angkat. - Kalau kita mengangkat presiden, presiden kita namanya presiden angkat. (Wacana Kartun, 2004:256). 2) Permainan Bahasa Permainan bahasa merupakan salah satu cara untuk menimbulkan efek penciptaan humor, pada teknik ini Wijana (2006:58-68) membaginya dalam dua jenis, yaitu: a) Permainan intrabahasa, yaitu permainan bahasa yang terjadi dalam satu bahasa, misalnya dialek, ragam, dan lain sebagainya. b) Permainan antarbahasa, yaitu permainan bahasa yang terjadi antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. Contohnya: antara bahasa daerah, antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia/ dengan bahasa asing. 6. Stilistika Stilistika merupakan cabang linguistik yang fokus pada analisis gaya bahasa wacana tulis yang mencoba memahami mengapa penulis memakai ungkapan tertentu dan bertujuan menandai gaya bahasa berdasarkan variasi bahasa regional dan sosial, menurut Richard (melalui Kushartanti dkk. (ed.), 2007:232). Stilistika berasal dari kata style yang berarti gaya. Yunus (1989: 4) memberikan pandangan tentang gaya terbagi atas dari segi penulis, teks, penerimaan langsung dari khalayak, dan yang dapat dibuktikan dengan konkret/ kesan subjektif bagaimana melihat gaya. Wellek (melalui Jabrohim, 2003:25) mengatakan bahwa ada dua jalan menuju analisis stilistika: 1. Analisis Sistem bahasa serta menafsirkan keistimewaannya dari sudut tujuan artistik karya sastra itu sebagai makna keseluruhan. 2. Menyelidiki sejumlah keistimewaan penyair lain dengan keistimewaan orang lain dengan menitikberatkan pada penyimpangan pemakaian umum dan menangkap tujuan estetisnya. Stilistik bertujuan untuk mewujudkan paparan yang terasa hidup dan menyimpang berbagai kemungkinan baru, menampilkan kekhasan, pemberontakan yang objeknya adalah pada pemilihan kata, penguntaiannya sebagai kalimat yang dapat memberikan efek keindahan bentuk, kejelasan isi, dan kekhasan ciri. 7. Gaya Bahasa Keraf (2008:112) mendefinisikan gaya bahasa sebagai keahlian untuk menulis atau menggunakan suatu kata dengan indah. Gaya bahasa seseorang dan seseorang yang lainnya pasti berbeda berdasarkan pilihan kata (diksi) yang mereka 13 ungkapkan. Gaya bahasa merupakan bentuk retorik yaitu penggunaan kata- kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan pembaca. Gaya bahasa yang baik mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan santun, dan menarik. Gaya bahasa berhubungan dengan kosakata, semakain kosakata seseorang maka semakin beragam gaya bahasanya Tarigan (2009:5). Gaya bahasa dibagi menjadi dua jenis, yaitu: gaya bahasa nonkias dan kias. a. Gaya Bahasa Nonkias Gaya bahasa non kias menurut Keraf (2008:124-136), terdiri dari: 1) Klimaks Gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan sebelumnya. Contoh: (8) Kami mendoakan agar pada suatu waktu- kapan saja waktunyamereka dapat berdiri sendiri, bukan supaya mereka tidak bisa tunduk di bawah pengaruh kita, mengabdi dan berbakti kepada kita, tetapi karena justru inilah keadilan sosial yang selama ini kita perjuangkan (Keraf, 2008:124) 2) Antiklimaks Gaya bahasa antiklimaks merupakan gaya bahasa yang acuan gagasannya diurutkan dari gagasan yang penting ke gagasan yang kurang penting (Keraf, 2008:125). Contoh: (9) Ketua pengadilan negeri itu adalah seorang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya. 3) Paralelisme Paralelisme adalah gaya bahasa yang mencapai kesejajaran pemakaian kata/ frasa yang menduduki fungsi sama dalam bentuk gramatikal. Contoh: (10) Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas (Keraf, 2008:126) 4) Antitesis Gaya bahasa antitesis adalah gaya bahasa yang mengandung gagasan yang bertentangan dengan menggunakan kata atau kelompok kata yang berlawanan. Contoh: (11) Kaya- miskin, tua- muda, besar- kecil, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara (Keraf, 2008:126). 14 5) Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atu bagian kalimat yang dianggap penting. Contoh: (12) Atau maukah kau pergi bersama serangga- serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama merejka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? Repetisi terbagi menjadi: a) Epizeuksis Repetisi ini bersifat langsung, yaitu kata yang diulang berturut- turut untuk menunjukkan bahwa kata tersebut dipentingkan (Keraf, 2008:127). Contoh: (13) Kita harus bekerja, bekerja, dan bekerja. b) Tautotes Repetisi ini perulangannya dalam sebuah konstruksi. Contoh: (14) Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. c) Anafora Repetisi ini berupa perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2008:127). Contoh: (15) Bahasa yang baku pertama- tama berperan sebagai pemersatu dalam pembentukan suatu masyarakat bahasa- bahasa yang bermacam- macam dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah-sadar pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara/ Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil- kecilnya. d) Epistifora Repetisi ini perulangannya beruapa kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat yang berurutan. Contoh: (16) Bumi yang kudiami, laut yang kaulayari adalah puisi Udara yang kauhirupi, air yang kauteguki adalah puisi Kebun yang kau tanami, bukit yang kaugunduli adalah puisi Gubuk yang kau ratapi, gedung yang kau tinggali adalah puisi. e) Simploke Repetisi ini adalah terletak pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat yang berturut- turut. Contoh: (17) Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin Kamu bilang hidup ini enggak punya arti. Aku bilang biarin Kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin Kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin. . 15 f) Epanalepsis Repetisi ini adalah terletak pada kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama. g) Anadiplosis Repetisi ini berupa kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya (Keraf, 2008:128). Contoh: (18) dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara dalam mutiara: ah tak ada apa dalam baju ada aku, dalam aku ada hati dalam hati: ah tak apa jua yang ada dalam syair ada kata, dalam kata ada makna dalam makna: Mudah- mudahan ada Kau. 6) Gaya Bahasa Retoris Gaya bahasa retoris adalah penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu (Keraf, 2008:129). Gaya bahasa ini terdiri dari:. a) Aliterasi Aliterasi adalah gaya bahas ayang berwujud perulangan konsonan yang sama. Contoh: (19) Takut titik lalu tumpah. b) Asonansi Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Contoh: (20) Ini muka penuh luka siapa punya. c) Anastrof Anastrof adalah gaya bahasa berupa pembalikan susunan kata dalam sebuah kalimat. Contoh: (21) Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya (Keraf, 2008:130). d) Apofasis Apofasis adalah gaya bahasa yang menegaskan namun menyangkal. Contoh: (22) Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara. e) Apostrof Apostrof adalah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat untuk yang tidak hadir. Contoh: (23) Hai kamu dewa- dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini. f) Ansidenton Gaya bahasa ini adalah berupa acuan padat di mana beberapa kata, frasa, klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. 16 Contoh: (24) Dan kesesakan, kepedihan, keskitan, seribu derita detik- detik penghabisan orang melepaskan nyawa. g) Polisindeton Gaya bahasa ini berupa kata, frasa, klausa dihubungkan dengan kata sambung. Contoh: (25) Dan kemanakah burung- burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu- bulunya? (Keraf, 2008:131). h) Kiasmus Gaya bahasa ini adalah berupa acuan gaya bahasa yang trediri atas dua bagian, baik frasa atau klausa, tetapi susunannya terbalik. Contoh: (26) Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. i) Elipsis Gaya bahasa ini berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh penikmat. Contoh: (27) Masihkan kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tidak apaapa, badanmu sehat; tetapi psikis. . .(Keraf, 2008:132). j) Eufimismus Gaya bahasa ini berupa ungkapan halus yang tidak menyinggung perasaan. Contoh: (28) Ayahnya sudah tidak ada. k) Litotes Gaya bahasa ini menggunakan sesuatu yang menyatakan merendahkan diri. Contoh: (29) Kedudukan saya tidak ada artinya sama sekali. l) Histeron Proteron Gaya bahasa ini adalah kebalikan dari sesuatu yang logis. Contoh: (30) Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. m) Pleonasme dan Tautologi Pleonasme adalah bila kata yang berlebihan itu dihilangkan artinya tetap utuh, dan jika kata yang berlebihan itu mengandung perulangan dari kata yang lain disebut dengan tautologi. Contoh pleonasme: (31) Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri. Contoh taulologi: (32) ia tiba jam 20.00 mlaam waktu setempat. (Keraf, 2008:133). 17 n) Perifrasis Gaya bahasa ini adalah menggunakan kata yang berlebihan, kata yang berlebihan itu dapat diganti dengan satu kata saja. Contoh: (33) ia telah beristirahat dengan damai o) Erotesis atau Pertanyaan Retoris Gaya bahasa ini adalah menggunakan sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan suatu jawaban. Contoh: (34) Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini? (Keraf, 2008:134). p) Silepsis dan Zeugma Gaya bahasa ini menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Jika pada silepsis, konstruksi secara gramatikal benar, namun secara semantik tidak benar. Contoh: (35) Fungsi dan sikap bahasa. Pada zeugma, menggunakan kata yang sebenarnya cocok salah satunya untuk membawahi kedua kata sesudahnya. Contoh: (36) Dengan membelalakkan mata dan telinganya, ia mengusir orang itu. q) Koreksio atau Epanortosis Gaya bahasa ini pada awalnya menegaskan dan akhirnya memperbaiki sesuatu. Contoh: (37) Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, eh bukan suda lima kali. r) Hiperbol Gaya bahasa ini mengandung pernyataan yang bersifat berlebihan. Contoh: (38) Kemarahanku sudah menjadi- jadi hingga hampir meledak (Keraf, 2008:135). s) Paradoks Gaya bahasa ini berupa pertentangan dengan fakta yang ada. Contoh: (39) Musuh sering merupakan kawan akrab. t) Oksimoron Gaya bahasa ini menggabungkan kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Contoh: (40) Keramah- tamahan yang bengis. b. Gaya Bahasa Kias Gaya bahasa kias merupakan gaya bahasa yang membandingkan sesutu dengan yang lain, dibentuk berdasarkan perbandingan dan persamaan (Keraf, 2008:136). Jenis gaya bahasa kias adalah sebagai berikut: 18 1. Persamaan atau Simile Perbandingan secara eksplisit dengan menggunakan kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Contoh: (41) Kikirnya seperti kepiting batu (Keraf, 2008:138) 2. Metafora Sebuah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. Contoh: (42) Orang itu buaya darat (Keraf, 2008:139). 3. Alegori, Parabel, Fabel Ketiga gaya bahasa ini merupakan perluasan dari metafora. Pada gaya bahasa alegori, merupakan cerita yang mengandung kiasan. Parabel, merupakan kisah singkat dengan tokoh manusia yang bertema moral. Untuk fabel, merupakan cerita mengenai kisah binatang. 4. Personifikasi Menggambarkan benda mati yang digambarkan memiliki karakteristik seperti manusia (Keraf, 2008:140). Contoh: (43) Angin mengamuk. 5. Alusi Acuan yang mensugestikan persamaan antara orang, tempat, dan peristiwa. Hal yang harus diperhatikan adalah: hal yang dijadikan alusi harus dikenal oleh penikmat, penulis harus yakin jika menggunakan alusi tersebut membuat tulisannya menjadi jelas, jangan menggunakan alusi yang bersifat umum. 6. Eponim Menggunakan nama seseorang yang berkaitan dengan sifat tertentu. Contoh: (44) Hercules dipakai untuk menyatakan kekuatan. 7. Epitet Menyatakan ciri khusus pada sesuatu atau seseorang. Contoh: (45) Lonceng pagi untuk ayam jantan (Keraf, 2008:141). 8. Sinekdoke Gaya bahasa ini menyatakan sebagian dari keseluruhan. Contoh: (46) Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp 1000,- 9. Metonimia Gaya bahasa yang mengunakan sebauh kata untuk menyatakan hal lain karena sangat berhubungan. Contoh: (47) Ia membeli sebuah chevrolet. 19 10. Antonomasia Gaya bahasa ini menggunakan gelar/ jabatan untuk menggantikan nama diri. Contoh: (48) Yang Mulia tak dapat menghadiri pertemuan ini. 11. Hipalase Gaya bahasa ini adalah kebalikan dari suatu relasi alamiah dari dua komponen. Contoh: (49) Ia berbaring di atas sebuah bantal gelisah (Keraf, 2008:142). 12. Ironi, sinisme, sarkasme. Gaya bahasa ini adalah sindiran halus dan sindiran yang kasar. Contoh Ironi: (50) Lihat sang Rakasasa (yang dimaksud adalah cebol). Contoh Sarkasme: (51) Kelakuanmu memuakkan saya. 13. Satire Gaya bahasa yang berupa mengolok sesuatu yang mengandung kritik, bertujuan untuk diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. 14. Inuendo Gaya bahasa berupa kritik yang secara tidak langsung. Contoh: (52) Setiap kali pesta, dia pasti akan sedikit mabuk (Keraf, 2008:144). 15. Antifrasis Gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata yang merupakan kebalikan. Contoh: (53) Engkau memang orang yang mulia dan terhormat (yang dimaksud adalah koruptor). Antifrasis bisa diketahui dengan jelas, jika pembaca mengetahui dengan benar hal yang dikatakan. 16. Pun Paronomasia Gaya bahasa ini merupakan permasinan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi. Contoh: (54) Tanggal dua gigi saya tanggal dua (Keraf, 2008:145). 3. Analisis Aspek Humor dalam Tinjauan Stilistika a. Gaya Bahasa dalam Kumpulan Cerpen “Kejarlah Daku Kau Ku Angkot” Humor tidak dapat dipisahkan dari gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (Keraf, 2010:113). Peneliti membagi gaya bahasa menjadi dua, yaitu : nonkias dan kias. 20 1. Gaya Bahasa Nonkias Gaya bahasa nonkias adalah gaya bahasa yang menggunakan kalimat denotatif. Menurut Keraf (2008:124-136) gaya bahasa ini terdiri atas: a. Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Repetisi bermacam- macam, dalam penelitian ini, ditemukan: 1) Epistrofa Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Misalnya dalam data di bawah ini: (55) “Wah, Zul saya dapat sms,nih. Seru, lho. Mau baca?” Zul mengangguk dan mengambil HP milik Imron. “Manusia jth cinta itu biasa, ikan berenang di air itu biasa, sapi makan rumput itu biasa,monyet baca sms ini...masih mau baca lagi...LUAR BIASA!” (Lebon, 2010:196) Dalam petikan dialog cerpen yang berjudul “Waktu Potong Rambut di Pasar” di atas, diceritakan tentang Zul yang sedang dikerjai oleh salah satu temannya yang mendapatkan sms iseng. Sms/ pesan singkat via handphone tersebut berbunyi “manusia jatuh cinta itu biasa, ikan berenang di air itu biasa, sapi makan rumput itu biasa, monyet baca sms ini...masih mau membaca lagi luar biasa”. Sms itu berisi ejekan yang berbentuk pantun yang awalnya biasa dengan menggunakan diksi hewan yang pada akhirnya menggunakan monyet, yang berhubungan dengan sesuatu yang jelek. Padahal sebenarnya sms itu bukanlah ditujukan untuk Zul, tetapi temannya. Berhubung Zul ada di situ, maka ia menjadi sasaran empuk temannya untuk menimpalkan ledekan tersebut kepada Zul. Dalam data di atas terdapat kata biasa yang ditulis berulang-ulang, oleh karena itu dapat dikategorikan ke dalam gaya bahasa repetisi. Oleh karena repetisi tersebut berada di akhir kalimat, maka tergolong dalam epistrofa. b. Retoris Gaya bahasa ini merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu. Peneliti menemukan dalam Kumpulan Cerpen KDKK yang termasuk dalam gaya bahasa retoris adalah sebagai berikut. 1) Koreksio atau Epanortosis Gaya bahasa ini merupakan suatu gaya bahasa yang awalnya menegaskan sesuatu, namun pada akhirnya membenarkan. Seperti pada data berikut. (56) Tapi Imah sadar, dia harus sekolah, harus menjadi anak yang pintar, syukur-syukur bisa dibanggakan sampai ke luar kampung, eh luar negeri! (Lebon, 2010:164). 21 Pada cerita di atas diceritakan tentang Imah yang sedang berfikir bahwa dia harus sekolah yang rajin, biar menjadi pintar dan bisa dibanggakan sampai ke luar negeri, namun dia salah ucap sebelumnya dengan mengatakan dapat dibanggakan sampai keluar kampung. Data di atas termasuk dalam gaya bahasa koreksio, karena pada awalnya kreator menggunakan kata keluar kampung, namun pada akhirnya mengoreksi menjadi keluar negeri, sehingga dapat menimbulkan efek lucu. Jika saja kreator tidak menggunakan kata keluar kampung, maka tidak dapat menimbulkan efek lucu atau terasa biasa saja. 2) Hiperbol Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dan membesar- besarkan suatu hal. Misalnya pada data berikut yang diambil dari cerpen yang berjudul “Kejarlah Daku Kau Kuangkot”. (57) Imah mengeluarkan HP jadulnya. Keypadnya juga udah enggak jelas. Layarnya juga udah burem. Sebelum menghubungi si Anah, dia ngecek pulsanya dulu, tapi dari operator bilang, “Pulsa Anda sudah kadaluarsa, cepet dipake sekarang juga,kalo enggak dipake, kami sumbangkan ke korban bencanaaa!” (Lebon,2010:165) Pada cerita di atas diceritakan bahwa Imah mengeluarkan handphone miliknya untuk menghubungi Anah, saudaranya. Sebelum menghubungi saudaranya tersebut, Anah mengecek sisa pulsa yang dimiliki. Namun, ketika dia mengecek pulsanya ternyata sudah kadaluarsa atau habis masa aktifnya. Dalam data di atas, digunakan gaya bahasa hiperbola atau melebihlebihkan oleh sang kreator untuk menciptakan efek humornya. Dibuktikan dengan adanya kalimat: “Pulsa Anda sudah kadaluarsa, cepet dipake sekarang juga,kalo enggak dipake, kami sumbangkan ke korban bencanaaa!”. Padahal sebenarnya di dunia nyata tidak pernah ada operator yang mengatakan demikian, cukup dengan kadaluarsa saja. Namun, jika kreator tidak mencantumkan kalimat kami sumbangkan ke korban bencana maka tidak akan menjadi lucu. 2. Gaya Bahasa Kias. Gaya bahasa ini membandingkan dan menyamakan yang satu dengan yang lain yang memiliki ciri sama. Gaya bahasa kias yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen”KDKK” adalah: a. Metafora Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang singkat. Seperti pada data berikut: Dalam cerpen yang berjudul “Donworibihepiii....”, penulis menemukan gaya bahasa metafora, seperti kutipan di bawah ini. 22 (58) Wati pedenya enggak cuma ngalahin selebriti, tapi juga bisa ngalahin Persija, Persib, dan Sriwijaya FC .Siti Rahma gelenggeleng kepala. (Lebon, 2010:100) Pada cerita di atas, dikisahkan bahwa Wati memiliki tingkat kepercayaan diri yang melampaui batas. Karena terlalu percaya dirinya, maka sahabat karibnya yang bernama Siti Rahma pun mengungkapkan kepercayadiriannya dengan menuturkan bahwa ia sampai mengalahkan club sepakbola Indonesia, yaitu: Persija( Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta); Persib(Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung); dan Sriwijaya FC(Klub Sepakbola Indonesia Palembang). Sambil menggelengkan kepala, karena saking herannya melihat sahabatnya tersebut. Pada data di atas, gaya bahasa matafora ditegaskan dengan penggunaan kata tingkat percaya dirinya sampai mengalahkan club sepakbola, bagaikan sebuah pertandingan. Tingkat kepercayaan diri Wati disamakan dengan semangat Tim Sepakbola Indonesia. b. Personifikasi Gaya bahasa personifikasi atau prosopopoeia adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati seolah- olah bertindak seperti manusia. Contohnya adalah sebagai berikut: (59) Zul melihat ke jam dinding yang tertawa. Zul kaget “Wow sudah siang!” (Lebon, 2010:112) Pada cerita di atas diambil dari cerpen yang berjudul “Waktu Potong Rambut di Pasar”, yang menceritakan anak pesantren yang bernama Zul. Sehabis sholat Shubuh, Zul terbiasa untuk tidur lagi. Namun dia kaget, ternyata bangunbangun dia melihat jam, waktu ternyata sudah siang. Pada data di atas menggunakan gaya bahasa personifikasi, dibuktikan dengan ungkapan jam dinding tertawa. Jam dinding merupakan sebuah benda yang tidak mungkin tertawa, karena itu merupakan sifat manusia. c. Epitet Epitet atau biasa disebut epita adalah acuan yang menyatakan sifat khusus dari seseorang atau suatu hal. Pernyataan itu bersifat deskriptif yang menggambarkan nama seseorang atau suatu hal. Contohnya pada cerita di bawah ini yang diambil dari cerpen yang berjudul “Waktu Potong Rambut di Pasar”. (60) Zul masih ngulet di atas kasur. Gaya nguletnya lain daripada yang lain! Kayak penari balet lagi show, tangannya melesat ke atas, kakinya megar, terus pose, pokoknya ganti gaya beberapa kali! (Lebon, 2010:111) Pada cerita di atas, menceritakan bahwa Zul habis menggerakkan tubuhnya di atas kasur. Gayanya lain, yaitu seperti penari balet yang sedang 23 melakukan pertunjukkan di atas panggung. Melasat ke atas, kakinya mekar, berpose, berganti gaya berkali- kali. Data di atas sang kreator memanfaatkan gaya bahasa epitet, dengan menyebutkan istilah penari balet. Penari balet memiliki karakterisitik menari indah di atas panggung. Gerakan di atas kasur yang dilakukan oleh Zul, disamakan dengan gaya penari balet. d. Sinekdoke Suatu istilah yang berasal dari bahasa Yunani synekdechesthai yang berarti menerima bersama- sama. Sinekdoke adalah suatu gaya bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan secara keseluruhan (pars prototo), atau menggunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagaian(totem pro parte). Contohnya pada cerita dibawah ini, yang diambil dari cerpen yang berjudul “Waktu Potong Rambut di Pasar”. (61) Di dekat pertokoan ada sebuah barbershop. Zul berjalan ke sana. Tapi penuh. “ Berapa orang lagi, Kang?” tanya Zul ke tukang potong rambut. “Yang nagntri?” “ Ya, ada empat setengah kepala lagi, deh!” “Lho, kok pake setengah, sih?” “Yang satu anak kecil!” (Lebon, 2010:118) Pada cerita di atas, dikisahkan bahwa Zul akan melakukan potong rambut di sebuah Barbershop di dekat pertokoan, namun penuh. Lalu dia menanyakan pada tukang cukurnya. Si tukang cukur lalu menjawab bahwa yang mengantri masih empat setengah kepala, karena yang satunya ada anak kecil, maka dihitung setengah. Pada data di atas dimanfaatkan gaya bahasa sinekdoke, karena sang kreator menyebutkan kepala untuk menyatakan keseluruhan manusia. e. Metonimia Kata metonomia berasal dari bahasa Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Maka, gaya bahasa metonimia adalah suatu gaya bahasa yang menggunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai hubungan. Perhatikan data di bawah ini yang diambil dari cerpen “Waktu Potong Rambut di Pasar”. (62) Setelah sadar bahwa barusan bermimpi terjun payung dari pesawat Hercules, cowok kelas satu aliyah itu berusaha bangun untuk langsung mandi.Tidak lupa menggosok gigi, habis mandi kutolong. . . iiih...! Kok jadi nyanyi? (Lebon, 2010:111) 24 Pada kisah di atas diceritakan bahwa Zul tersadar dari mimpinya yang telah terjun payung dari pesawat Hercules. Lalu dia segera mandi, dan malah menyanyikan lagu anak- anak yang berjudul “Bangun Tidur”. Pada data di atas digunakan gaya bahasa metonimia dengan menggunakan nama Hercules untuk menyatakan nama pesawat yang ada di dalam mimpi objek humor. f. Sarkasme Sarkasme merupakan sindiran yang kasar dan menyakitkan. Sarkasme berasal dari bahasa Yunani sarkasmos yang diturunkan dari kata kerja sakasein, berarti “merobek daging seperti anjing”, “menggigit bibir karena marah”, “atau berbicara dengan kepahitan” (Keraf,2010:143-144). Contohnya adalah pada penggalan cerpen dibawah ini yang berjudul “Badman Bidin”. (63) Perasaan dari Bidin kecil bapak- bapak di sini udah pada main gaple, deh, kok sampai sekarang masih terus main gaple, sih? Apa enggak capek? “Pak, apa enggak capek, Pak?” tanya Bidin kepada bapak- bapak itu. “Cape’an mikirin lo, Din!” jawab mereka sambil ketawa meledek. (Lebon, 2010:14) Pada cerita di atas, dikisahkan bahwa Bidin anak yang memiliki keterbelakangan mental sedang menegur bapak- bapak di kampungnya karena bermain gaple atau judi. Bidin menanyakan kepada mereka apa tidak lelah, karena dari Bidin kecil mereka sudah suka bermain judi. Namun, para penjudi itu malah menimpali dengan kata kasar, bahwa lebih lelah memikirkan Bidin yang selalu me,buat ribut di kampung karena kebodohannya. Sambil mereka tertawa meledek. Pada data di atas sang kreator menggunakan gaya bahasa bahasa sarkasme untuk memberikan efek lucu untuk pembaca. Sang objek humor diberikan sindiran kasar agar tahu diri atas kebodohannya selama ini. g. Pun Paranomasia Gaya bahasa ini merupakan suatu gaya bahasa kiasan yang menggunakan kemiripan bunyi. Sebuah permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, namun maknanya berbeda jauh. Contohnya adalah pada data berikut, yang diambil dari cerpen yang berjudul “Donworibihepiii...”. (64) “ Gila, elo nekat banget!” ujar Siti Rahma begitu Wati masuk kelas. “ Yang penting dapat cowok keren!” “ Tapi kan enggak harus kayak gitu. . . . Malu- maluin!” “ Kalo gue enggak proaktif ntar hati ini bisa sensitif, begitu ngelihat doski digandeng cewek lain yang lebih sportif!” (Lebon, 2010:98) Diceritakan bahwa Siti Rahma menegur Wati yang melampaui batas saat jatuh cinta pada teman satu sekolahnya. Namun Wati tidak perduli, karena dia berfikiran bahwa yang penting dia mendapatkan cowok tampan. Siti Rahma 25 kembali menegur, bahwa jatuh cinta tidak akan melakukan hal yang mempermalukan diri sendiri apalagi bagi cewek. Wati kembali menimpali dengan mengatakan bahwa kalo dia tidak proaktif, nanti hati ini bisa sensitif, begitu melihat cowok idamannya digandeng cewek lain yang lebih sportif. Pada data di atas sang kreator memanfaatkan gaya bahasa pun, terbukti pada penggunaan akhiran if untuk menimbulkan kemiripan bunyi. Pada kata proaktif, sensitif, dan sportif. b. Aspek Humor Dalam Kumpulan Cerpen “Kejarlah Daku Kau Kuangkot” Untuk mencapai wacana yang menyimpang dari tuturan wajar, para kreator humor memanfaatkan: 1. Aspek kebahasaan Aspek kebahasaan dari tataran terendah sampai tertinggi. Adapun aspek- aspek tersebut adalah sebagai berikut. a. Ortografis Secara konvensional sistem ejaan/ ortografis memuat hal- hal yang berkaitan dengan lambang bunyi, dan cara penulisan lambang bunyi itu yang berupa huruf (Wijana,2004:127). Seperti pada data sebagai berikut. (65) “Halo Anah...?” “Anah? Aiiiii... sYapa tHuuuch?” “Eh, maaf, maksud saya Ainaiii...udah berangkat belum?Boleh numpang motor kamu, soalnya...soalnya...” “Soalnya kenapha? Pake nanyach-nanyach soAl?” “Bukan...Cuma anu, anu eh, udah sampai mana?” “BharenX methen-methen dach xamphe school, man9nya naPha?” “Oooh, enggak deh, ya, enggak apa- pa, Cuma mau nelepon aja...,” kata Imah jadi enggak enak ati. “Uuch, nelPhon gax puNyah motiPasi, daSar alay luCh!” sembur si Anah. (Lebon, 2010:166) Pada cerita di atas, dikisahkan bahwa Imah menelepon Anah untuk menanyakan apakah Anah sudah berangkat apa belum, karena Imah mau bareng untuk berangkat ke sekolah. Pada awal percakapan, Imah lupa menyebut nama Anah tidak dengan nama kotanya, yaitu Ainai. Anah lalu memancingnya hingga akhirnya si Imah ingat akan nama baru saudaranya itu. Karena terlalu takutnya Imah berbicara kepada Anah, dia berbicara terbata- bata sampai si Anah menafsirkan dengan hal lain. Lalu setelah Imah berhasil menanyakan sesuatu kepada Anah, ternyata dia sudah berangkat dengan teman- temannya. Akhirnya, si Imah langsung menutup teleponnya karena tidak enak kepada saudaranya itu. Data di atas sang kreator memanfaatkan aspek ortografis dalam memberikan efek lucu, yakni dengan menuliskan bahasa gaul dengan huruf besar kecil, pelanggaran EyD(Ejaan yang Disempurnakan), dan kesalahan penulisan. 26 b. Fonologis Aspek ini berkaitan dengan bunyi bahasa. Pada teknik ini diantaranya terbagi menjadi: 1) Penambahan Bunyi Penambahan bunyi merupakan salah satu aspek humor yang digunakan kreator untuk mencapai efek lucu, seperti pada data berikut. (66) Bulan lalu, pas naik kelas 2 SMA, Imah terpaksa pindah sekolah ke Jakarta, karena ortunya enggak nyanggup biayain sekolah lagi, dan Imah terpaksa dititipkan ke rumah sodaranya yang sebetulnya lumayan berada, artinya rumahnya gede, punya mobil dan berada di perumahan ‘cluster’ alias kelas teri! Hehe (Lebon, 2010:160) Dikisahkan bahwa Imah terpaksa pindah sekolah karena orang tuanya tidak sanggup membiayai sekolahnya lagi, dan Imah ditipkan ke rumah saudaranya yang lumayan berada. Rumahnya besar, mempunyai mobil dan ada di perumahan ‘cluster’ atau kelas teri. Pada data di atas sang kreator mengacaukan istilah cluster dengan kelas teri yang memiliki arti jauh berbeda. Cluster adalah istilah untuk perumahan mewah, sedangkan kelas teri adalah istilah untuk orang kecil. Penambahan vokal i pada kata cluster menjadi kelas teri menimbulkan efek menggelitik bagi pembaca. 2) Pelesapan Bunyi Pengacauan persepsi pembaca dapat pula dilakukan dengan penghilangan atau pelepasan bunyi. Sebuah kata akan memiliki makna sangat berbeda bila salah satu atau beberapa bunyi yang merupakan elemen pembentuknya dilesapkan. Contohnya adalah pada cerpen di bawah ini yang berjudul “Suparman Pulang Kampung”. (67) “Terus kenapa Superman bisa terbang?” tanya Mas Sudiyanto lagi yang sekarang lagi doyan bikin sinetron penyegaran rohani. Sofyan waktu itu menggeleng dan Sofyan yakin kali ini jawabannya enggak asal seperti tebakan si Bidin. Jawabannya adalah, “Kalo bisa nyopir namanya sopir. . . man!” (Lebon, 2010:3) Pada cerita di atas dikisahkan bahwa Sudiyanto, tetangga Sofyan memberikan tebakan kepadanya. Tebakan itu adalah kenapa Superman bisa terbang? Dan jawabannya, jika bisa mengendarai mobil namanya sopirman. Pada data dia atas efek pelesapan bunyi o menjadi u dari superman menjadi sopirman merupakan salah satu kreativitas humor yang dapat menyebabkan tertawa. Superman adalah superhero laki- laki, dan sopirman adalah pengemudi lelaki. Kedua hal tersebut memiliki kesamaan, yaitu pada jenis kelamin subjeknya. 27 3) Ketaksaan Bentuk kebahasaan, kata, frase, atau kalimat bila dihilangkan dari konteks pemakai, ada diantaranya memiliki potensi taksa (ambiguous) dengan bentuk kebahasaan lainnya. Di dalam humor sering ditemukan pemerlakuan bagian bentuk kebahasaan lain dengan berdasarkan kesamaan bunyi. Ketaksaan memiliki kedudukan sentral dalam mengacaukan penikmat. Ketaksaan dibagi menjadi dua, yaitu: a) Ketaksaan leksikal Ketaksaan leksikal adalah ketaksaan yang terbentuk karena memiliki dua makna atau lebih. Perbedaan makna itu ada kemungkinan masih berhubungan, ada kemungkinan juga tidak berkait sama sekali. Sifat ketaksaan ini terbagi menjadi: (1) polisemi Polisemi adalah sebuah kata yang memliki makna lebih dari satu. Perhatikan contoh di bawah ini. (68) “ Ntar aja pulang sekolah kalau mau nengok. Eh, kamu kok jadi care begitu, sih? Padahal kan dia sebel banget.” “ Sama siapa?” “ Sama kamu.” “Justru itu. Aku merasa aneh dengan dia. Sudah hampir tiga bulan di sini dia yang belum pernah menyapa. Apa gara- gara pertemuan di pagi itu?” Ima mengangkat bahu. “ Emang menurut Dita, kamu adalah saingan utamanya. Sekarang dia merasa enggak berharga karena kalah pintar sama kamu.” “ Aku enggak bermaksud begitu?” “Menurut Dita, dia seumur- umur enggak pernah dikalahin. Kayaknya dia syok!” “ Nah, justru itu.” “Justru itu?” “Justru itu aku harus bertemu dia.” “ Mana dia mau.” “ Aku akan usaha. Aku minta kamu bantu aku.” “ Belum tentu aku mau.” “ Justru itu.” “Justru itu?” “ Ya, justru itu!”(Lebon ,2010:59) Pada penggalan cerita di atas, dikisahkan tentang rencana Ima dan temantemannya untuk menjenguk Dita yang tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Namun, Lutfi siswa baru yang sangat dibenci oleh Dita malah ingin ikut menjenguk. Maka dari itu Ima kaget. Lutfi juga kaget dengan pernyataan Ima, oleh karena itu Lutfi berniat menemui Dita yang selama ini tidak pernah menyapanya semenjak Lutfi menjadi siswa baru di sekolah Dita. Dita sangat 28 membenci Lutfi karena dia merasa kalah pintar, padahal Lutfi sama sekali tidak berniat untuk mengalahkan siapa- siapa. Lutfi bermaksud meminta tolong kepada Ima untuk mempertemukan mereka berdua, namun Ima kurang menyetujui rencana Lutfi. Pada data di atas kreator menggunakan ketaksaan polisemi pada kata justru. Justru yang pertama mengacu kepada kebencian Dita, justru berikutnya mengacu kepada kebingungan Ima, justru selanjutnya mengacu kepada alasan Lutfi ingin bertemu Dita, justru yang keempat mengacu kepada pemaksaan Lutfi agar Ima mau membantu dia, dan justru yang terakhir mengacu kepada penegasan justru yang sebelumnya. Ulman (dalam Wijana, 2004:142) mengemukakan bahwa polisemi terbentuk diantaranya dari pemaduan makna pergeseran pemakaian. (1) pemaduan makna pergeseran pemakaian Pergeseran pemakaian biasanya digunakan para kreator humor untuk mencapai efek lucu. Seperti pada data di bawah ini yang diambil dari cerpen yang berjudul “Empat Kado Dari Empat Cewek”. (69) Mereka suka aku undang ke acara rohis, enggak selalu datang, sih, tapi lumayanlah responnya. Enaknya, kalau yang satu mau, yang lainnya pasti ikutan. Jadi lumayan, ngundang satu dapat empat. Hehe kayak sale aja. . . . (Lebon, 2010:177) Dikisahkan bahwa aku adalah anak organisasi yang biasa mengadakan acara- acara di luar jam sekolah, salah satunya adalah rohis. Rohis adalah acara yang bernafaskan Islam yang biasanya diselenggarakan oleh muslim atau muslimah. Tokoh aku sedang membicarakan tentang empat anggota cewek yang selalu datang bersamaan di setiap acara apapun di sekolah. Jadi, setiap satu anak datang pasti semuanya ikut datang, namun kreator memberikan istilah seperti sale. Data di atas digunakan kreativitas humor ketaksaan pergeseran pemakaian pada kata sale. Sale adalah potongan yang biasa dilakukan oleh pusat perbelanjaan untuk menarik konsumen yang biasanya mendapatkan gratis paling sedikit satu produk. Sedangkan pada data di atas mengacu pada cewek yang apabila salah satu datang pasti datang semua. (2) homonimi Homonimi adalah dua buah kata atau lebih yang memiliki ucapan dan tulisan yang sama, tetapi memiliki makna berbeda. (70) Jangan tersenyum manis saat meneyetop bajaj, nanti ditaksir sama abangnya. Pasang wajah asem, kalo perlu ngumpet di balik pohon asem! (Lebon,2010:175) Pada cerita di atas dikisahkan bahwa ketika memberhentikan bajaj janganlah tersenyum manis, karena dapat membuat tukang bajaj tertarik. Pasanglah wajah asam, kalau perlu bersembunyi di pohon asam. 29 Data di atas digunakan ketaksaan homonimi untuk membuat efek lucu pada kata asam. Asam yang pertama berarti muka masam, yaitu muka yang tidak menyenangkan. Untuk asam yang kedua adalah mengacu pada buah asam, yang secara bahasa Jawa biasa dibilang asem. 4) Antonimi Antonimi adalah perlawanan makna. Contohnya adalah pada kutipan berikut. (71) “ Yap amploph, gile lho ye, hari geneeee. . . lon pernah naex angkiooot?” kata si Anah, sang sodara jauh tapi deket itu, sambil memonyongkan mulutnya ke arah Imah. (Lebon, 2010:161) Pada cerita di atas dikisahkan bahwa Anah heran terhadap saudaranya Imah yang baru datang dari kampung, yang belum pernah sama sekali naik angkot. Imah adalah saudara jauh Anah tetapi dekat, mungkin daerah rumah mereka berdua berdekatan. Pada data di atas digunakannya ketaksaan antonimi sebagai efek lucu pada kata jauh dan dekat. Kedua kata tersebut merupakan dua hal yang saling berlawanan maknanya. a) Pertalian Antarklausa Pertalian antarklausa sebagai sarana kreativitas humor adalah dengan melakukan pembatasan ruang lingkup makna klausa pertama dan kedua. Pertalian kedua akan menimbulkan persepsi pembaca atau lawan tutur. Pertalian antarklausa dalam kumpulan cerpen KDKK adalah sebagai berikut: (1) pertalian syarat. Pertalian syarat adalah terjadi atau terwujudnya suatu peristiwa atau hal harus dipenuhi oleh syarat tertentu. Contohnya adalah pada data berikut ini yang diambil dari bonus lampiran setelah cerpen “Persaingan Tidak Sakit”. (72) “Eh, satu lagi, Ma, mengapa kalo orang ketakutan bulu kuduknya berdiri?” Ima langsung menggeleng, enggak bisa jawab. “ Karena di kuduknya enggak ada kursi! Hihi.” (Lebon, 2010:66) Pada dialog di atas diceritakan bahwa Dita sedang memberikan tebakan pada sahabatnya Ima. Pertanyaannya adalah mengapa jika orang yang sedang ketakutan bulu kuduknya berdiri, dan jawabannya adalah karena bulu kuduknya tidak memiliki kursi maka berdiri. Pada data di atas dapat disimpulkan bahwa kreator menggunakan pertalian syarat sebagai kreativitas humornya yang terbukti ada kata berdiri dan kursi. Karena jika tidak ada kursi maka tidak bisa duduk sehingga berdirilah jadinya. (2) Pertalian Antarproposisi Pertalian antarproposisi adalah keterkaitan yang bersifat logis antara pernyataan yang satu dengan yang lain. Pernyataan satu dianalogikan dengan pernyataan lain 30 di luar pikiran. Cara yang ditempuh Boim dalam kumpulan cerpennya KDKK untuk mengacaukan hubungan ini adalh sebagai berikut. (a) analogi Analogi adalah proses perluasan dengan penggunaan kaidah- kaidah tata bahasa yang melampaui penggunaan bahasa secara umum. Analogi dibentuk mengikuti pola yang dipandang lebih umum (Wijana,2004:256). Contohnya adalah: (73) “Tergantung tiang gantungan tau enggak sih! Kalo cowok yang kita taksir pendiam ya kita yang kudu aktif! “Emang dia pendiam? Bukannya sering main basket?”kejar Siti Rahma. “Lha apa hubungannya?” “Ya kalo pendiam enggak mungkin dong jadi pemain basket, kan harus banyak gerak ngejar- ngejar bola? Kalo pendiam enggak kebagian bola, dong! (Lebon, 2010:96-97) Pada cerita di atas dikisahkan tentang Sultan, lelaki yang disukai oleh Wati adalah anak yang pendiam. Oleh karena itu Wati harus aktif kalau ingin mendapatkannya. Namun Siti Rahma berpendapat lain, karena tidak mungkin Sultan itu pendiam, karena dia adalah seorang pemain basket yang dituntut harus aktif bergerak dalam mengejar bola. Data di atas analogi digunakan kreator untuk mencapai efek lucu, yaitu pada kata pendiam. Pendiam adalah secara mental tidak banyak bergerak dan tidak banyak berbicara. Sedangkan objek humor di atas adalah seorang pemain basket yang dianalogikan harus banyak bergerak, jadi tidak mungkin berdiam diri. c. Pungutan Atau Serapan Bahasa adalah alat dari kebudayaan tertentu. Dalam kumpulan cerpen KDKK pungutan dilakukan untuk menambah efek lucu. Kata- kata pungutan dalam humor tidak semuanya merupakan kata baru dalam bahasa Indonesia. Berikut contoh pungutan yang diambil dari bahasa Inggris, Arab, Jawa, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta. 1. Bahasa Inggris Pungutan bahasa Inggris termasuk ke dalam kategori pungutan kultural yakni, semua pungutan dari bahasa lain yang tidak dipakai dalam daerah kebahasaan bahasa penerima (Samsuri, 1978:52). Penggunaan pungutan dalam bahasa Inggris bertujuan untuk menambah efek lucu dan memberi kesan kepada pembaca. Seperti pada data berikut. (74) Tapi sudah berkali- kali gadis hitam manis berambut sebahu itu melap peluhnya yang meluncur dari balik jilbab hitamnya dengan tisu. Kenapa enggak ada satu pun angkot yang mau berhenti? Padahal Imah sudah berusaha menyetopnya dengan sopan santun, dan tentu saja dengan tips nyetopin angkot made in Anah eh, si Ainai Lebay! (Lebon, 2010:162) 31 Pada cerita di atas diceritakan bahwa Imah berkali- kali membersihkan keringat yang mengucur di kepalanya, dia lelah karena tidak ada satupun angkot yang mau ditumpanginya. Padahal dia sudah melakukan semua tips yang dibuat Anah. Data tersebut di atas menggunakan pungutan yang berasal dari bahasa Inggris pada kata made yang berarti buatan. 2. Bahasa Jawa Bahasa Jawa, dewasa ini banyak digunakan kreator humor untuk menciptakan efek lucu. Di Indonesia penduduk terpadat adalah di Jawa, dan kebanyakan pelawak ibu kota berasal dari provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, kreator mencoba memasukkan pungutan bahasa Jawa sebagai kreativitas humornya. Penggunaan pungutan bahasa Jawa dalam kumpulan cerpen KDKK adalah sebagai berikut: Data pertama diambil dari cerpen yang berjudul “Kejarlah Daku Kau Kuangkot”. (75) Dia mengacung- acungkan jari telunjuknya serta senyum manis dengan bibir yang dibasah- basahin, tapi masih juga enggak ada angkot yang mau berhenti di hadapannya? (Lebon, 2010:162) Pada cerita di atas diceritakan bahwa Imah mengangkat jarinya ke atas untuk memberhentikan angkot yang lewat sambil tersenyum manis dengan bibir yang dibasahi, namun angkot tidak ada yang mau berhenti. Pada data di atas pemanfaatan pungutan bahasa Jawa sebgai kreativitas humor yaitu pada kata mengacung- acungkan. Mengacung- acungkan berarti menunjuk jari ke atas, berasal dari bahasa Jawa ngacung. Cerita tersebut lucu karena ketika memberhentikan angkot cukup melambaikan kedepan tanpa perlu menunjuk jari ke atas, namun kreator menggunakan kata mengacung agar memberi efek lucu pada cerita tersebut. 3. Bahasa Arab Bahasa Arab juga digunakan untuk menciptakan efek lucu pada kumpulan cerpen ini. Bahasa Arab masih langka digunakan kreator humor untuk menciptakan efek lucu, namun kali ini Boim Lebon mencoba menggunakannya pada data berikut. (76) Di ujung sana nampak seorang cewek cantik berdiri memandang ke arahnya. Zul terus ngucap sambil berusaha menundukkan pandangan, dia nggak mau tergoda untuk melihat sosok itu. Biarpun baru beberapa bulan jadi anak sekolah agama, Zul sudah ingin kelihatan sebagai anak santri yang sejati. Sambil melihat- lihat ke deretan kemeja dia terus saja menundukkan pandangan. Ketika kian dekat ke arah cewek cantik itu, Zul tanpa sengaja melihat ke arah kakinya, lho kok . . . menggantung? Zul kaget. “Setan? Masak, sih siang- siang ada setan?” 32 Buru- buru Zul merapal doa- doa yang dihapalnya lagi, “Allahumma barik lana,iih, kok doa mau makan lagi? Bismillah...Bismillah...” Zul mengucek- ngucek matanya yang belo dan punya bulu mata lentik itu. Again, ngucek- ngucek mata lagi? Abis, mau ngucekngucek apa lagi! Akhirnya Zul memastikan sosok cewek cantik tadi. . . ops, ternyata sebuah manekin! (Lebon, 2010:117-118) (77) Dia melihat ada seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah yang jelek banget! Muka gembil dan rambut panjang awut- awutan. Zul kembali mengulang adegan, mengucek- ucek matanya yang belo dan berbulu mata lentik itu. Zul menajamkan pandangan ke arah sosok misterius. Tentu saja sambil membaca doa- doa yang dihapalnya. “Allahumma barik lana fima rajak tana wa kina aja bannar, eh itu sih doa mau makan, ya?” Zul mulai panas dingin. ‘S-siapa ya? Makhluk halus dari mana? Hii syerem!” Zul kembali mengucek- ucek matanya (iih, apa enggak ada adegan lain? Dari tadi ngucek- ngucek mata melulu!), sambil menahan napas dan mengamati sosok aneh bin ajaib di hadapannya itu, dan ternyata...olala, cowok yang punya pipi temben itu pun tersadar sambil nyengir, rupanya dia sedang berdiri di depan cermin! Hihihi.... (Lebon, 2010:112) Pada dua cerita di atas diceritakan tentang Zul yang sama- sama diperhatikan oleh sesosok makhluk, pada data pertama ternyata sesosok makhluk itu adalah manekin, boneka peraga busana di pertokoan. Sedangkan pada data berikutnya sesosok makhluk tersebut adalh dirinya sendiri. Karena ketakutan sebelum mengetahui itu makhluk apa, Zul membaca do’a, namun do’a yang dibacanya ternyata do’a mau makan. Data- data di atas memanfaatkan bahasa Arab untuk menciptakan efek lucu dengan mengaplikasikan do’a, namun yang digunakan diplesetkan menjadi do’a hendak makan sehingga dapat membuat pembaca tertawa. 4. Bahasa Indonesia Dialek Jakarta Masyarakat bahasa Indonesia adalah bahasa yang diglosik, yaitu masyarakat yang memiliki dua varietas bahasa, rendah(low(L)) dan tinggi(high(H)). Kedua hal tersebut digunakan dalam situasi dan fungsi yang berbeda. Varietas tinggi(H) digunakan dalam situasi formal, sementara varietas rendah (L) ditemukan dalam situasi nonformal. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang bilingual, karena setiap penutur menguasai minimal dua bahasa. Bahasa tersebut adalah bahasa Indonesia dan bahasa ibu/ bahasa daerah yang pertama kali dikuasai. Kenyataan ini membawa konsekuensi bahwa dalam berhumor dengan bahasa Indonesia, bahasa nonstandarlah yang digunakan Pengaruh bahasa daerah dan dialek bahasa 33 Indonesia berpengaruh kuat. Bahasa yang biasa digunakan dalam berhumor biasanya adalah bahasa Jakarta ngoko. Dalam kumpulan cerpen KDKK ditemukan penggunaan varietas bahasa informal sebagai kreativitas humor sang kreator. Pernyataan ini dibuktikan pada data berikut ini: Data pertama diambil dari cerpen yang berjudul “Antara Bolos, Acin, dan Tukang Cimol”. (78) Apakah jejak Acin yang ini akan ditirunya juga? Apa risikonya enggak lebih syerem? (Lebon, 2010:41) Pada cerita di atas dikisahkan bahwa Acin akan mengajak Bahtiar membolos, namun Bahtiar ragu- ragu karena dia sama sekali tidak pernah membolos. Dia juga takut akan resiko jika ketahuan oleh guru atau Kepala Sekolah. Pada data di atas dimanfaatkan bahasa nonformal/ varietas rendah (L) dipakai untuk menciptakan efek lucu. Terbukti pada penggunaan kata syerem yang berarti seram/ menakutkan. Kata syerem merupakan bahasa dialek Jakarta yang semula adalah seram. d. Permaianan Bahasa Permainan bahasa adalah pemanfaatan elemen bahasa, seperti: bunyi, suku kata, bagian kata, kata, frase, kalimat, dan wacana sebagai pembawa makna atau pesan yang secara gramatik, semantik, maupun pragmatis hadir tidak seperti semestinya. Jenis permainan bahasa dalam kumpulan cerpen KDKK adalah sebagai berikut. 1. Permainan Antarbahasa Permainan antarbahasa adalah permainan bahasa yang terjadi hanya pada satu bahasa. Di Indonesia dapat ditemui permainan bahasa yang memanfaatkan unsur bahasa asing seperti Inggris, Cina, Jepang, Arab, dan sebagainya. Masalah humor intralingual yang terdapat dalam kumpulan cerpen KDKK adalah sebagai berikut. a. Permainan antarbahasa Indonesia atau bahasa daerah dengan bahasa asing. Pengaruh bahasa asing di Indonesia tampak begitu menonjol dalam sistematika bahasa. Situasi tersebut ternyata memberikan inspirasi oleh para kreator humor. Berbagai fenomena sosial yang tampak dalam permainan bahasa menarik untuk diperhatikan.Bahasa asing yang terdapat dalam kumpulan cerpen KDKK sebagai kreasi humor adalah bahasa Belanda, Cina, dan India. Seperti pada contoh berikut ini: (79) “ Pak, diundur aja? Sekarang kan pada puasa, mendingan kita main games aja biar enggak bete!” usul Agung waktu seorang guru berniat mengajukan ulangan harian. 34 “ Iya, Pak atau kita main tebakan aja?” usul Samsuri, kawan Agung. “Ayo, Pak, tau enggak bahasa Belandanya cahaya berbalik arah?” “ Eh, gue tahu!” teriak Agung yang kesenangan temannya berinisiatif main tebakan. “ Apaan?” “Van Tu Land!” “ Hehe, bisa aja luh!” (Lebon, 2010:148) Pada cerita di atas dikisahkan Agung mengusulkan untuk tidak mau ulangan karena sedang berpuasa, mereka mengusulkan untuk bermain games saja. Akhirnya mereka memilih tebakan. Tebakannya adalah apa bahasa Belandanya cahaya berbalik arah, dan jawabannya adalah Van Tu Land. Pada data di atas permainan bahasa Belanda digunakan untuk menciptakan efek lucu, yaitu pada kata Van Tu Land atau pantulan. Di dalam bahasa Belanda, biasanya menggunakan van di awal kata.Tentu saja itu bukan jawaban sebenarnya,hanya diimbuhi dengan ciri khas bahasa Belanda yang sebenarnya adalah bahasa Indonesia. 4. Kesimpulan Aspek gaya bahasa yang digunakan untuk penciptaan humor dalam Kumpulan Cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot adalah sebagai berikut: a. Gaya Bahasa Non Kias 1. Repetisi Repetisi yang ditemukan adalah: epistrofa. 2. Retoris Dalam gaya bahasa ini ditemukan: koreksio dan hiperbol. b. Gaya Bahasa Kias Dalam gaya bahasa ini ditemukan: metafora, personifikasi, eponim, epitet, sinekdoke, metonimia, sarkasme, dan pun. Aspek humor yang digunakan dalam menciptakan efek lucu adalah sebagai berikut: 1. Aspek Kebahasaan a. Ortografis. b. Fonologis, diantaranya: penambahan bunyi dan pelesapan bunyi. 35 c. Ketaksaan, berupa ketaksaan leksikal, yang terbagi menjadi: polisemi, pemaduan makna pergeseran pemakaian, dan homonimi. d. Antonimi. e. Pertalian antarklausa. Pertalian antarklausa yang ditemukan dalam Kumpulan Cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot adalah pertalian syarat. f. Pertalian antarproposisi Cara yang ditempuh Boim dalam kumpulan cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot untuk mengacaukan hubungan ini adalah analogi. Pungutan yang ditemukan dalam KC KDKK adalah: bahasa Inggris, bahasa Jawa, bahasa Arab, dan bahasa Indonesia dialek Jakarta a. Permainan Bahasa Jenis permainan bahasa dalam kumpulan cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot adalah permainan antarbahasa. Permainan antarbahasa yang ditemukan dalam Kumpulan Cerpen Kejarlah Daku Kau Kuangkot adalah permainan antarbahasa Indonesia atau bahasa daerah dengan bahasa asing. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin.1995.Stilistika: Sastra’.Semarang:IKIP Pengantar Memahami dalam Karya Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Danandjadja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Hermintoyo. 2011. “Aspek Bunyi Sebagai Sarana Kreativitas Humor”, dalam Jurnal Bidang Bahasa dan Kesusastraan dalam Kajian Sastra. Volume 35 No.1 hlm 15. Semarang: Fasindo. http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Sejarah-Teori-Jenis-danFungsi-Humor.pdf. Diunduh pada hari Rabu, 21 Maret 2012. http://nitastory.blogspot.com/2008/12/humor-arthur-asa-berger.html. pada hari Sabtu, 5 Mei 2012. Diunduh Jabrohim, Chairul Anwar, dan Suminto A. Sayuti. 2003. Cara Menulis .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 36 Junus, Umar. 1989. Stilistik Pustaka. Satu Pengantar. Malaysia: Dewan Bahasa dan Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Kushartanti (Ed.) dkk. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia. Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Semarang: Bina Putra. ____________2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Lebon, Boim. 2010. Kejarlah Daku Kau Kuangkot. Jakarta: Lingkar Pena. Lestari, Fenti Tri. 2012. “Gaya Bahasa dan tema Humor yang terdapat dalam ‘Sentoloyo’ Harian Meteor”. Skripsi S-1 Jurusan Sasttra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Mendatu. 2008. Mengasah Sense of Humor. Yogyakarta: Medpress. Samsuri. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga. Nababan, Sri Utari Subyakto.1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Gramedia. Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Bagian Kedua Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. __________2001. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Jogjakarta: Duta Wacana University Press Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung:Angkasa. Wijana, I Dewa Putu. 2004. Wacana Kartun. Jogjakarta:Ombak. ________2007. Sosiolinguistik: Kajian-Teori dan Analisis. Jakarta:Pustaka Pelajar.