Romantika Gereja Tua Bergaya Klasik

advertisement
6
H ERITAGE
MINGGU, 16 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA
Romantika
Gereja Tua
Bergaya Klasik
Gaya arsitektur neoromantisisme hingga neogotik masih bisa
ditemukan pada bangunan gereja tua di Ibu Kota.
IWAN KURNIAWAN
K
EINDAHAN suatu
kota ternyata tak
terlepas dari keberadaan sejumlah bangunan-bangunan tua yang
masih lestari. Terserah, percaya atau tidak, nuansa itu yang
membuat sejumlah kota-kota
besar di Eropa, seperti Vatikan,
Lisabon, hingga Stadsholmen,
selalu menjadi perbincangan.
Di Jakarta sendiri, sejumlah
bangunan gereja tua juga telah
menjadi daya tarik tersendiri.
Jika menilik beberapa sudut
Ibu Kota, sejumlah gerejagereja tua masih kokoh berdiri.
Di antaranya Gereja Ayam
(Hantjes Kerk) yang kini bernama Gereja Pniel, Gereja Sion
(Portugeesche Buitenkerk),
Gereja Tugu (Tugu Kerk), Gereja Katedral, Gereja Paulus,
serta Gereja Immanuel.
Bangunan yang dibangun
pada era kolonialisme itu
men jadi saksi sejarah dari
penyebaran agama Kristen di
Ba tavia yang tidak terlepas
dari misionaris Eropa, yakni
Portugal dan Belanda.
Setelah penguasaan Portugis, pada Mei 1619, Jan Pieter
Coen me rebut Kota Batavia.
Sejak itu, VOC (Vereenigde
Oost-Indies che Compagnie)
berkuasa di Batavia hingga
1799.
Tapi dari sejarah kolonialisme itu semua, yang tampak
secara fisik ialah bentuk bangunan gereja yang didirikannya. Gereja Ayam, misalnya,
ada nuansa klasik yang mencolok. Dibangun pada 1856
dengan biaya yang dikumpulkan Pendeta JFG Brumund,
awalnya, hanya berbentuk
kapel (gereja kecil).
Disebut Gereja Ayam karena ayam melambangkan kesaksian. Kesaksian tentang
penyangkalan Simon Petrus,
salah satu murid Yesus Kristus.
Namun, ada juga pendapat
lainnya. Pasalnya, di atas menara terdapat lambang seekor
ayam jago. Semula, itu dimaksudkan untuk menunjukkan
arah mata angin.
Bangunan ini sempat dipugar pada 1914 setelah mengalami pelapukan. Gedung baru
itu merupakan hasil rancangan
dua arsitek kondang, yaitu ED
Cuijpers dan Hulswit.
Tak ayal, gaya arsitekturnya
bercorak neoromantisisme
dengan unsur-unsur neobarok. Namun sayangnya, hingga sekarang gereja tua itu
belum masuk bangunan cagar
budaya.
Menurut Ketua Majelis Gereja Pniel, Pendeta Charles
Polii di Jakarta, pihaknya sudah mengusulkannya kepada
pemerintah. “Menurut mereka
(pemda) butuh lima bangunan
untuk dimasukkan sebagai cagar budaya,” ungkapnya.
Kondisi bangunan Gereja
Pniel ini masih terawat dengan
baik. Terdapat tiga pintu berukuran besar di depan.
Bagian luar belakang juga
terdapat tiga pintu yang sama
ukurannya. Melalui pintu kanan belakang, terdapat tangga
menuju balkon belakang.
Sementara melalui pintu
A
FOTO-FOTO: MI/PANCA SYURKANI
kanan depan, tangga itu juga
menuju ke balkon depan.
Balkon itu tersambung menuju jam mekanik dan sebuah
lonceng kuno berdiameter 70
cm, bertulis AH van Bergen
Azin.
Di pintu kiri depan, terdapat juga tangga dari kayu
ja ti menuju balkon depan.
Pada bagian belakang ruang
gereja, terdapat ruangan konsistori (tempat untuk pastoral,
penggembalaan, sidang, dan
tempat pertemuan).
“Daya penampungan bisa
untuk 2.000 jemaat. Sejak 1953,
namanya diganti menjadi
Gereja Pniel. Diambil dari Kejadian 32:22-32 tentang pergumulan Yakub dengan Allah,”
jelas Pendeta Charles.
Beberapa jendela gereja memiliki kaca pigura berwarnawarni. Seperti rose-window
pada tampak depan, dan louvre yang terdapat pada atap
di atas ruang ibadah utama
gereja.
Kaca pigura itu memiliki
gambar, yaitu ayam jantan,
Alkitab, lilin, perahu, jangkar,
burung merpati, serta kembang lilin. Secara alkitabiah,
ayam jantan melambangkan
kesaksian, Alkitab (firman
Tuhan), lilin (terang), perahu
(kehidupan manusia yang
ti dak stabil), jangkar (iman
yang kuat dan teguh), burung
merpati (roh kudus), dan kembang lilin yang melambangkan
kuasa terang Yesus Kristus.
“Lambang-lambang ini yang
membuat arsitektur gereja
ini berbeda dengan Gereja
Immanuel atau Gereja Sion,”
terang Pendeta Charles.
Dalam ruang ibadah terdapat mimbar, bangku untuk
ouderling (penatua) dan diaken, serta kursi untuk jemaat.
Semuanya berbahan kayu
jati.
Ventilasi waktu itu masih
menggunakan sistem pada
umumnya, buka-tutup.
Multifungsi
Selain sebagai tempat peribadatan, di bagian kiri terdapat beberapa ruangan. Dulunya digunakan untuk menampung orang-orang jompo dan
murid sekolah.
Sayangnya, dengan perkembangan kota yang mulai pesat,
sekolah dan panti jompo pun
dipindahkan dari lokasi tersebut. “Kini hanya difokuskan
B
untuk tempat peribadatan
dan rumah pastoral,” papar
Pendeta Charles.
Ia mengaku, dengan adanya
undang-undang tentang cagar
budaya, seharusnya pemeliharaan bangunan akan lebih
baik lagi. “Lonceng pun sudah
tidak berfungsi, sementara
untuk pengelolaan masih berpatok pada dana jemaat,”
ujarnya.
Berbeda dengan Gereja Katedral yang telah menjadi bangunan cagar budaya.
Ini terlihat dari Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta
No 9 Tahun 1999.
Bangunan itu memiliki nama
resmi De Kerk van Onze Lieve
Vrouwe ten Hemelopneming
(Santa Maria Pelindung Diangkat ke Surga).
Katedral itu diresmikan pada Februari 1810 dan sempat
dipugar pada 1980.
Gedung tersebut sempat ambruk pada April 1980 sehingga
kereta kuda uskup sempat
difungsikan sebagai katedral
selama 10 tahun.
Pada 1890, pembuatan Gereja Katedral kedua dimulai. Perancangan bangunan disiapkan PA Dijkmans.
Arsitektur katedral dibuat
dengan gaya neogotik. Denah
dasar bangunan berbentuk
sa lib dengan panjang 60 m
dan lebar 20 m. Di sisi kiri dan
kanannya ditambah masingmasing 5 m. Di kedua belah
sisi di atas ketinggian 7 m terdapat balkon selebar 5 meter.
Saat berada di dalam kompleks katedral, suasana religius sangat terasa. Apalagi 2
minggu pascaperayaan Natal,
umat kristiani masih sibuk
dengan aktivitas gerejawi, seperti sakramen kudus.
“Bangunan ini sudah sangat
tua. Ini bukti penyebaran umat
Katolik di Tanah Air. Sebagai bangunan cagar budaya,
perlu dijaga bersama-sama,”
pungkas Romo Stephanus Bratakartana.
Pada perayaan malam Natal
2010 dan Tahun Baru 2011
belum lama ini, ribuan umat
memadati tempat suci itu untuk menjalankan misa kudus
secara khidmat. (M-1)
GEREJA: Gereja
Katedral (A), Gereja
Immanuel (B), dan
Gereja Pniel (C), atau
yang dikenal dengan
sebutan Gereja Ayam.
Khususnya Gereja
Pniel, salah satu bukti
sejarah penyebaran
agama Kristen di
Tanah Batavia hingga
saat ini belum masuk
cagar budaya.
miweekend
@mediaindonesia.com
Menanti Pemberian Status Cagar Budaya
SEBAGAI bangunan tua peninggalan sejarah di Ibu Kota,
beberapa gereja telah menjadi
bangunan cagar budaya. Namun, Gereja Ayam (Hantjes
Kerk) belum masuk sebagai
bangunan yang dilindungi
melalui surat peraturan pemerintah.
Hal ini sungguh disayangkan karena gereja yang kini
bernama Gereja Pniel itu merupakan salah satu peninggalan dari perjalanan sejarah
bangsa Indonesia yang masih
ada hingga sekarang ini.
Kepala Subbidang Tata Usaha dan Humas Suku Dinas Kebudayaan Kota Jakarta Pusat
Ahmad Gozali mengaku proses untuk menjadikan Gereja
Ayam sebagai bangunan cagar budaya telah diproses.
Namun, lanjutnya, pihaknya
masih menyelesaikan proses
yang belum diselesaikan pihak
gereja, seperti sertifikat bangunan. “Sebenarnya kami
sudah mengajukan untuk
masuk sebagai bangunan cagar budaya, namun masih
diproses,” ujarnya di Jakarta,
beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan keberadaan
bangunan tua, termasuk gereja, yang masih tersisa di
Jakarta Pusat berjumlah 50-60
unit. Pengelolaan telah dilimpahkan kepada yayasan
yang menaunginya. “Pemerintah hanya memberikan kemudahan kepada pengelolaan
bangunan, seperti kelonggaran pajak,” jelasnya.
Pemda DKI Jakarta mengakui pengelolaan bangunan
cagar budaya memang sangat vital. Apalagi, berdasar-
kan peraturan daerah, tidak
diperbolehkan merombak
ke aslian bangunan. Untuk
itu, pihaknya berjanji dalam
waktu dekat Gereja Pniel dapat masuk sebagai bangunan
yang dilindungi negara.
Sementara itu, Ketua Majelis Gereja Pniel Pendeta
Charles Polii menyayangkan
pemerintah DKI Jakarta yang
lambat merespons surat yang
telah dilayangkan beberapa
bulan silam.
“Kami sudah memberikan
surat 3 bulan lalu kepada pemkot setempat. Mudah-mudahan pemerintah bisa membalas
secepatnya. Saya kira dengan
adanya peraturan akan lebih
baik,” jelasnya.
Kini, pemerintah perlu menjadikan bangunan tersebut
sebagai bangunan cagar bu-
daya. Apalagi, bila tidak diperhatikan, bentuk dan keaslian
bangunan tersebut dapat diubah.
Petugas Gereja Pniel Ingrid
Rajabas Nanlohy berharap
pemerintah dapat terlibat dalam membantu proses dalam
mengeluarkan surat peraturan. Pasalnya, hal itu dapat
menjadi pegangan bagi pengurus gereja untuk ikut andil
melestarikan. “Nilai sejarah
sangat tinggi. Dulunya sebagian tempat ini adalah pantai
jompo yang sangat terkenal di
Jakarta,” pungkasnya.
Tak dapat dimungkiri, campur tangan pemerintah dalam
upaya pelestarian bangunan
bersejarah mutlak dilakukan.
Ini bermanfaat agar Gereja
Pniel dapat bertahan dari gilasan zaman. (Iwa/M-1)
C
Download