BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Representasi
Representasi yaitu bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi,
keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
Representasi juga menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok,
gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto,
2005:113). Stuart Hall mengatakan bahwa representation is the production
of meaning through language (Hall, 1997: 28). Representasi adalah
produksi dari makna bahasa, yang mana representasi membentuk argumen,
menggunakan tanda-tanda yang diorganisasikan ke dalam bahasa-bahasa
dari berbagai jenis untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan makna
tersebut kepada khalayak.
Media sebagai alat komunikasi massa yang sangat efektif
melakukan perubahan yang signifikan pada sebuah ruang lingkup publik.
Maka dengan itu para pelaku media sangat dituntut untuk memberikan
penyajian suatu pesan yang jelas kepada publik, meski tidak menutup
kemungkinan
ada
kesalahpahaman
atau
ketidaktepatan
dalam
penyampaiannya pada kelompok-kelompok tertentu. Dengan realitas media
inilah yang sering disebut representasi. Representasi bukan penjiplakan atas
kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estetis,
rekonstruksi dari situasi sesungguhnya (Barker, 2005: 104).
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa dalam suatu media
dapat mengungkapkan suatu peristiwa yang pada dasarnya adalah
merekonstruksi realitas. Oleh karena itu dalam menciptakan suatu peristiwa
bisa dikatakan bahwa isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan.
Seperti yang disebutkan oleh Barker bahwa representasi adalah bagaimana
dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita
(Barker, 2005: 9).
9
2.2 Identitas
Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang
berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu
keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu
yang sama diantara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang
menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau
dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis, pengertian epistimologi
diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk
memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakan bahwa
“sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain (Liliweri, 2007:69).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas adalah
simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra
sesuatu. Identitas sendiri dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu : identitas
budaya, identitas sosial, dan identitas diri atau pribadi (Liliweri, 2007:95).
1) Identitas Budaya
Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu
merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi
pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa,
agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan.
2) Identitas Sosial
Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan
manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan
perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara
bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu
dengan orang lain. Menurut Sherman dalam Baron dan Byne (2003),
setiap orang berusaha membangun sebuah identitas social (social
identity),
sebuah
representasi
diri
yang
membantu
kita
mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan
mengetahui siapa diri kita, kita akan dapat mengetahui siapa diri (Self)
dan siapa yang lain (Others).
10
3) Identitas Pribadi
Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan
kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang
memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri
sendiri
dan
orang
lain;
kesatuan
dan
kesinambungan
yang
mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang
lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya
serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan
orang lain. Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai
keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya serta
daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan
kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus
merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui
sebelumnya. Identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik
pribadi seseorang. Perilaku budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh,
warna pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri khas seseorang
yang tidak dimiliki orang lain.
Sedangkan dalam pembentukan identitas menurut paradigma
modernitas yang digagas oleh Stuart Hall dalam Hariyadi (2010:9),
identitas merupakan sebuah proses konstruksi yang selalu berkelanjutan
dan tidak akan pernah selesai. Hall menyebut konsep identitas sebagai
suatu hal yang menjadi (becoming) ketimbang proses terjadi (being).
Identitas melibatkan cara kerja representasi dalam mengkonstruksi
identitas itu sendiri, maka identitas bukanlah sebuah tanda identikkan,
melainkan tidak lebih merupakan suatu produk penandaan. Sedangkan
feminisme poststrukturalis, meyakini bahwa identitas dan kategori yang
ajeg bersifat problematik dan bahwa perempuan adalah penanda makna
yang terus menerus berubah. Dengan memahami bahwa “subjek”
dikonstruksi berdasarkan ide-ide atau wacana tertentu, feminisme
poststruktural menganggap bahwa identitas perempuan bersifat cair
(Prabasmoro, 2007:41). Oleh karena itu, definisi perempuan akan terus
11
berubah seiring berkembangnya wacana sosial dan budaya di dalam
masyarakat.
2.3 Jilbab Sebagai Identitas Perempuan Muslim
Seorang perempuan muslim atau muslimah adalah seorang
perempuan yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan keimanannya
itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan
perbuatan sehari-hari. Dan pengalaman dari keimanan ini adalah dengan
menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Salah satu perintah yang wajib dijalani bagi perempuan muslim adalah
menutup aurat, yaitu dengan cara mengenakan jilbab.
ِ
ِ ‫ات ي ْغضضن ِمن أَب‬
ِ ِ ِ
‫ين‬
َ ْ ْ َ ْ ُ َ َ‫ََقُ ْل ل ْل ُم ْؤمن‬
َ ‫صا ِره َّن َوََْي َفظْ َن فُ ُر‬
َ ‫وج ُه َّن َوََل يُْبد‬
‫ِزينَتَ ُه َّن إََِّل َما ظَ َهَر ِمْن َها‬
"“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nuur: 31).
Pengertian jilbab berbeda dengan pengertian kerudung. Kerudung
merupakan sebuah kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher,
hingga dada saja. Sedangkan pemakaian jilbab meliputi keseluruhan
pakaian yang menutupi kepala hingga kaki, kecuali wajah dan telapak
tangan hingga pergelangan tangan. Maka dari itu, seorang perempuan yang
mengenakan jilbab pasti berkerudung tetapi perempuan berkerudung belum
tentu berjilbab.
Ketaatan perempuan muslim menjalankan perintah Allah dengan
memakai jilbab, kini jilbab diidentikkan dengan Islam dan perempuan
muslim. Hal ini juga dikarenakan firman Allah yang menyatakan bahwa
jilbab memang digunakan agar muslim mudah dikenal dan terlindungi.
Sehingga menjadikannya sebagai identitas muslim.
12
ِ ِ
ِ
ِ ِ ِ ِ َ ِ‫ك وب نَات‬
‫ني َعلَْي ِه َّن‬
ُّ ِ‫ََا أَيُّ َها الن‬
َ ‫ني يُ ْدن‬
َ ‫ك َون َساء الْ ُم ْؤمن‬
َ َ َ ‫َِّب قُ ْل ِل َْزَواج‬
ِ ِِ ِ
ِ ‫ك أ َْدَن أَ ْن ي عرفْن فَ ََل ي ْؤ َذين وَكا َن اللَّه َغ ُف‬
ِ
‫يما‬
ً ‫ورا َرح‬
ً ُ
َ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ ‫م ْن َج ََلبيبه َّن َذل‬
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah
mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al
Ahzab: 59).
Selain itu, menurut Yuyun W.I Surya menjelaskan bahwa
perempuan berjilbab adalah image yang mengacu pada tipifikasi Islam.
Jilbab bagi perempuan Islam bukan hanya sekedar image of fashion, namun
lebih dari itu juga merujuk pada fungsi penanda sosio-kultural dan
memiliki signifikansi politik. Miriam Cooke (dalam Arimbi, 2002)
menegaskan melalui tulisannya:
“All of these [veiled] women represent something other than
themselves. On the one hand, the domestic prisoners stand
for the local patriarchy with its accoutrements of privilege
dependent on the control of women…”
Kehadiran dan penggunaan jilbab dalam cara berpakaian di antara
perempuan Islam merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Brenner
(dalam Washburn, 2001: 111) berpendapat bahwa jilbab di Indonesia
adalah fenomena yang kompleks dan merupakan peristiwa yang tidak
hanya sekedar membangkitkan kembali norma tradisi lokal namun juga
lambang identifikasi perempuan Islam di Indonesia dengan umat islam di
negara lain, termasuk di dalamnya penolakan terhadap hegemoni barat
paling tidak dalam hal berpakaian. Bagi perempuan Indonesia sendiri,
memakai jilbab berarti tidak boleh bergaul bebas, harus taat kepada agama,
tidak boleh tertawa keras, tidak boleh bergosip, harus sopan atau menata
13
tingkah lakunya, atau dengan kata lain memiliki peran perempuan yang
benar. Dengan demikian, identitas jilbab dan interpretasinya yang sangat
beragam mampu membantu perempuan untuk menegosiasikan peran
gendernya.
2.4 Fashion Hijab dalam Modernitas
Secara etimologi fashion berasal dari bahasa Latin, factio, yang
berarti membuat atau melakukan (dan dari kata inilah diperoleh kata faksi,
yang memiliki arti politis), facere yang artinya membuat atau melakukan.
Karena itu, arti asli fashion mengacu pada kegiatan; fashion merupakan
sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini yang memaknai
fashion sebagai sesuatu yang melulu dikenakan seseorang (Barnard,
2011:11).
Fashion merupakan isu penting yang mencirikan pengalaman hidup
sosial. Oleh karena itu, fashion memiliki beberapa fungsi. Salah satunya
adalah sebagai sarana komunikasi, fashion bisa menyampaikan pesan
artifaktual
yang bersifat
non-verbal.
Fashion
bisa merefleksikan,
meneguhkan, mengekpresikan suasana hati seseorang. Fashion memiliki
suatu fungsi kesopanan (modesty function) dan daya tarik. Sebagai
fenomena budaya, fashion sesungguhnya bisa berucap banyak tentang
identitas pemakainya. Fashion juga dapat digunakan untuk menunjukkan
nilai sosial dan status, karena orang bisa membuat kesimpulan tentang siapa
anda, kelompok sosial mana anda, melalui medium fashion (Barnard, 2011:
100).
Fashion mampu menawarkan model-model dan bahan untuk
membangun identitas. Masyarakat tradisional memiliki peran sosial dan
kode-kode aturan yang relatif baku, sehingga pakaian dan penampilan
seseorang secara langsung menunjukkan kelas sosial, profesi, dan
statusnya. Identitas dalam masyarakat tradisional biasanya ditentukan oleh
kelahiran, pernikahan, serta keahlian, dan daftar peran yang ada dibatasi
seketat mungkin.
14
Lain halnya di dalam modernitas, fashion adalah konstituen penting
identitas seseorang, yang membantu menentukan bagaimana ia dikenali dan
diterima (Wilson 1985; Ewen 1988). Fashion memiliki menawarkan
pilihan pakaian, gaya, dan citra yang dengannya seseorang dapat
menciptakan identitas pribadi. Di satu sisi, fashion adalah fitur konstituen
modernitas, yang ditafsirkan sebagai era sejarah yang ditandai oleh inovasi
terus menerus, penghancuran yang tanda penciptaan yang baru (Berman:
1982). Fashion sendiri dianggap sebagai sumber penciptaan citarasa, gaya,
pakaian, dan perilaku baru. Tentu saja, Fashion dalam masyarakat modern
dibatasi oleh kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan
konformitas sosial yang terus mendikte apa yang boleh dan tidak boleh
dipakai, apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Begitu pula yang terjadi pada jilbab di Indonesia. Dalam
perkembangannya, jilbab perempuan muslim Indonesia mengalami
perubahan beriringan dengan modernitas dan munculnya komunitas jilbab
yang membawa identitas Islam. Jilbab menjadi pakaian yang dapat
disesuaikan dengan perkembangan fashion yang terkadang dalam
penciptaannya lepas dari aspek syari’at. Barnard menyatakan bahwa
fashion merupakan fenomena kultural yang digunakan kelompok untuk
mengkontruksi dan mengkomunikasikan identitasnya. Dengan demikian
dalam fashion, jilbab selalu berubah dan akan ditinggalkan bila tidak lagi
up to date.
Perubahan pemakaian jilbab ini dinamakan dengan hijab. Pada
dasarnya pengertian jilbab dengan hijab adalah sama yaitu penutup aurat.
Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain alHijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Namun perbedaannya adalah
hijab menutup aurat dengan sedikit luput dari syarat syariah karena lebih
mengutamakan perkembangan jaman dan fashion. Fashion hijab sekarang
ini memang sedang menjadi tren di kalangan muslim. Hal ini karena hijab
mampu menawarkan fashion dengan tidak mengesampingkan nilai
keagamaan di tengah modernitas.
15
2.5 Islam dan Gender
Dalam Islam, tidak sebagaimana pemahaman yang selama ini
diwacanakan dalam masyarakat, perempuan dilindungi hak-haknya dan
mendapatkan perlakuan yang adil. Bano (2003: 12) lebih lanjut menyatakan
bahwa Islam menciptakan lingkungan dimana apapun posisi perempuan,
mereka akan mendapatkan harga diri dan kehormatannya.
Masyarakat telah sekian lama terekspos oleh pencitraan Islam yang
sangat tidak bersahabat terhadap perempuan. Wacana yang sangat bias
gender dan stereotip, seperti perempuan yang tidak memiliki hak yang
setara dengan laki -laki, perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin
dan sebagainya, menjadikan Islam sebagai agama yang diskriminatif
terhadap perempuan. Sementara tak satupun teks dalam Al Qur’an yang
menyebutkan perempuan harus mendapatkan perlakuan yang berbeda
dengan laki -laki, sebagaimana tersebut dalam QS Al Hujurat ayat 13.
Islam semestinya dipahami sebagai sebuah ajaran moral dan ritual yang
diturunkan sebagai rahmat pada semesta (dan termasuk di dalamnya adalah
perempuan).
Stowasser (1998) menyatakan bahwa saat ini terdapat interpretasi
kontemporer terhadap teks Al Qur’an, dengan menggunakan pendekatan
metodologis yang belum pernah digunakan sebelumnya - hermeneutics
yang memperhatikan tiga aspek untuk memahami teks yakni konteks,
komposisi gramatikal serta keseluruhan teks (Rahman, 1982; Wadud 1999;
Barlas 2002 dalam Munir), berkaitan dengan paradigma Islam kontemporer
dalam isu gender. Tidak sebagaimana paradigma Islam klasik, paradigma
modernis dan reformis ditandai dengan keterlibatan modernis Quranic
scholars seperti feminists, linguists, cultural anthropologists, philosophers
dan juga sociologists dalam membedah otentisitas teks Qur’an dalam
membahas isu gender (Stowasser, 1998: 44). Hal ini berdampak positif bagi
image perempuan muslim terutama berkaitan dengan permasalahan status,
posisi dalam masyarakat serta relasinya dengan laki -laki.
16
2.6 Semiotika Umberto Eco
Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti
tanda. Semiotika adalah cabang yang berkaitan dengan pengkajian tanda
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda
dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Semiotika
adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara
berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan
penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Zoest, 1996:5).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
(Sobur, 2004:15). Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan
secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda
verbal maupun non verbal (Ratna, 2004:105)
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa semiotika
merupakan pendekatan yang membicarakan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan sistem tanda. Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri
pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada
sesuatu, dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk
mengartikan sesuatu hal lainnya (Berger, 2005:1). Tanda adalah perangkat
yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengahtengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify)
dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya
membawa
informasi,
dalam
hal
mana
objek-objek
itu
hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur tanda.
(Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53 dalam Sobur, 2004:15).
Umberto Eco merupakan salah satu tokoh semiotika yang juga
merupakan seorang filsof dan novelis berkebangsaan Italia. Semiotika
Umberto Eco merupakan bidang kajian semiotika secara umum (general
semiotic theory) yang mampu menjelaskan semua permasalahan fungsi
17
tanda (sign-fuction) berdasarkan sistem hubungan antar unsur yang terdiri
atas satu kode atau lebih. Fungsi tanda memiliki isi yang beragam. Selain
itu, fungsi tanda merupakan interaksi dengan berbagai norma budaya yang
berbeda-beda dapat memberikan macam-macam konotasi terhadap norma
tertentu. Hal ini merupakan suatu bentuk semiosis yang tak terbatas,
dimana setiap proses sangat berkaitan dengan kedudukan pembaca dalam
menafsirkan suatu tanda.
Umberto Eco berpendapat bahwa semiotika berurusan dengan
segala sesuatu yang bisa dipandang sebagai tanda. Sebuah tanda adalah
segala sesuatu yang dapat dipakai pengganti sesuatu yang lain secara
signifikan. Sesuatu yang lain tidak perlu benar-benar eksis atau berada di
suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya. Oleh karena itu, semiotika
secara prinsipil adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk
mengekspresikan kebohongan, maka dia juga tidak bisa dipakai untuk
mengatakan apa-apa (kebenaran) (Eco, 2009:7).
Selain
itu, Umberto Eco didalam buku
Tamasya Dalam
Hiperrealitas (2004) juga menjelaskan tentang hiperrealitas dalam
semiotika. Ia menggunakan istilah-istilah copy, replica, replication,
imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang
disebutnya hiperrealitas. Bagi Eco, hiperrealitas adalah segala sesuatu yang
merupakan replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang
dihadirkan didalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Jadi, Eco
lebih melihat hiperrialitas sebagai persoalan penjarakan (distinction), yaitu
obsesi mengahadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, kabur dalam
rangka melestarikan bukti-buktinya, dengan menghadirkan replika, tiruan,
salinan, dan imitasinya. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah
ketika masa lalu tersebut dihadirkan kedalam konteks masa kini, maka ia
kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak
“(seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan” yang disalinnya., lebih sejati
18
dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi
“meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original).
Dalam bukunya, Theories of Human Communication, Stephen W.
Littlejohn
menyebut
Umberto
Eco
sebagai
ahli
semiotika
yang
menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif
dan kontemporer (Littlejohn, 1996:71). Menurutnya, teori Eco penting
karena ia mengintergrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan
membawa pemikiran semiotika yang lebih mendalam.
2.7 Kerangka Pikir
Agama Islam
(Trend Hijab)
Televisi
Grand Final Sunsilk Hijab
Hunt 2015 di Trans7
Analisis Semiotika
Representasi Identitas
Perempuan Muslim
Kategori :
- Cantik
- Pintar
- Berbakat
Hijab merupakan salah satu perangkat keagamaan didalam Islam.
Perkembangan hijab yang cukup pesat menjadikannya sebuah trend
dikalangan muslimah. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh media,
19
terutama televisi untuk membuat program yang berhubungan dengan hijab.
Hal tersebut juga dilakukan oleh Trans7 dengan membuat program acara
bertajuk Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015. Program tersebut telah
melalui serangkaian tahap hingga akhirnya malam grandfinal ditayangkan
secara live.
Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015 merupakan tahap akhir
pencarian icon muslimah. Program acara tersebut selanjutnya dianalisis
menggunakan semiotika, khususnya semiotika Umberto Eco. Representasi
identitas perempuan muslimah tersebut dianalisis dengan semiotika
Umberto Eco yang berdasarkan pada kategori dalam Grand Final Sunsilk
Hijab Hunt 2015 yaitu, cantik, berbakat, dan cerdas. Metode semiotika
dipilih untuk mendapat pemahaman makna sehingga dapat melihat
representasi perempuan muslimah. Semiotika Umberto Eco merupakan
kajian semiotika yang komprehensif dan kontemporer serta mampu
menghasilkan kajian analisis yang lebih mendalam dari teori semiotika
sebelumnya.
20
Download