BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Representasi Representasi yaitu bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apa pun ditampilkan dan digambarkan dalam teks. Representasi juga menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2005:113). Stuart Hall mengatakan bahwa representation is the production of meaning through language (Hall, 1997: 28). Representasi adalah produksi dari makna bahasa, yang mana representasi membentuk argumen, menggunakan tanda-tanda yang diorganisasikan ke dalam bahasa-bahasa dari berbagai jenis untuk mengkomunikasikan atau menyampaikan makna tersebut kepada khalayak. Media sebagai alat komunikasi massa yang sangat efektif melakukan perubahan yang signifikan pada sebuah ruang lingkup publik. Maka dengan itu para pelaku media sangat dituntut untuk memberikan penyajian suatu pesan yang jelas kepada publik, meski tidak menutup kemungkinan ada kesalahpahaman atau ketidaktepatan dalam penyampaiannya pada kelompok-kelompok tertentu. Dengan realitas media inilah yang sering disebut representasi. Representasi bukan penjiplakan atas kenyataan yang sesungguhnya, representasi adalah ekspresi estetis, rekonstruksi dari situasi sesungguhnya (Barker, 2005: 104). Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa dalam suatu media dapat mengungkapkan suatu peristiwa yang pada dasarnya adalah merekonstruksi realitas. Oleh karena itu dalam menciptakan suatu peristiwa bisa dikatakan bahwa isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Seperti yang disebutkan oleh Barker bahwa representasi adalah bagaimana dunia dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita (Barker, 2005: 9). 9 2.2 Identitas Secara epistimologi, kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang atau dua benda; (3) kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda; (4) Pada tataran teknis, pengertian epistimologi diatas hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk memahami identitas dengan kata “identik”, misalnya menyatakan bahwa “sesuatu” itu mirip satu dengan yang lain (Liliweri, 2007:69). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra sesuatu. Identitas sendiri dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu : identitas budaya, identitas sosial, dan identitas diri atau pribadi (Liliweri, 2007:95). 1) Identitas Budaya Identitas budaya merupakan ciri yang muncul karena seseorang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu, itu meliputi pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, dan keturunan dari suatu kebudayaan. 2) Identitas Sosial Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial, soal apa yang kamu miliki secara bersama-sama dengan beberapa orang dan apa yang membedakanmu dengan orang lain. Menurut Sherman dalam Baron dan Byne (2003), setiap orang berusaha membangun sebuah identitas social (social identity), sebuah representasi diri yang membantu kita mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengetahui siapa diri kita, kita akan dapat mengetahui siapa diri (Self) dan siapa yang lain (Others). 10 3) Identitas Pribadi Identitas umumnya dimengerti sebagai suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesatuan unik yang memelihara kesinambungan arti masa lampaunya sendiri bagi diri sendiri dan orang lain; kesatuan dan kesinambungan yang mengintegrasikan semua gambaran diri, baik yang diterima dari orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya serta apa yang dapat dibuatnya dalam hubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Identitas diri seseorang juga dapat dipahami sebagai keseluruhan ciri-ciri fisik, disposisi yang dianut dan diyakininya serta daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Kesemuanya merupakan kekhasan yang membedakan orang tersebut dari orang lain dan sekaligus merupakan integrasi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui sebelumnya. Identitas personal didasarkan pada keunikan karakteristik pribadi seseorang. Perilaku budaya, suara, gerak-gerik anggota tubuh, warna pakaian, dan guntingan rambut menunjukkan ciri khas seseorang yang tidak dimiliki orang lain. Sedangkan dalam pembentukan identitas menurut paradigma modernitas yang digagas oleh Stuart Hall dalam Hariyadi (2010:9), identitas merupakan sebuah proses konstruksi yang selalu berkelanjutan dan tidak akan pernah selesai. Hall menyebut konsep identitas sebagai suatu hal yang menjadi (becoming) ketimbang proses terjadi (being). Identitas melibatkan cara kerja representasi dalam mengkonstruksi identitas itu sendiri, maka identitas bukanlah sebuah tanda identikkan, melainkan tidak lebih merupakan suatu produk penandaan. Sedangkan feminisme poststrukturalis, meyakini bahwa identitas dan kategori yang ajeg bersifat problematik dan bahwa perempuan adalah penanda makna yang terus menerus berubah. Dengan memahami bahwa “subjek” dikonstruksi berdasarkan ide-ide atau wacana tertentu, feminisme poststruktural menganggap bahwa identitas perempuan bersifat cair (Prabasmoro, 2007:41). Oleh karena itu, definisi perempuan akan terus 11 berubah seiring berkembangnya wacana sosial dan budaya di dalam masyarakat. 2.3 Jilbab Sebagai Identitas Perempuan Muslim Seorang perempuan muslim atau muslimah adalah seorang perempuan yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan keimanannya itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Dan pengalaman dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Salah satu perintah yang wajib dijalani bagi perempuan muslim adalah menutup aurat, yaitu dengan cara mengenakan jilbab. ِ ِ ات ي ْغضضن ِمن أَب ِ ِ ِ ين َ ْ ْ َ ْ ُ َ َََقُ ْل ل ْل ُم ْؤمن َ صا ِره َّن َوََْي َفظْ َن فُ ُر َ وج ُه َّن َوََل يُْبد ِزينَتَ ُه َّن إََِّل َما ظَ َهَر ِمْن َها "“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (QS. An Nuur: 31). Pengertian jilbab berbeda dengan pengertian kerudung. Kerudung merupakan sebuah kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher, hingga dada saja. Sedangkan pemakaian jilbab meliputi keseluruhan pakaian yang menutupi kepala hingga kaki, kecuali wajah dan telapak tangan hingga pergelangan tangan. Maka dari itu, seorang perempuan yang mengenakan jilbab pasti berkerudung tetapi perempuan berkerudung belum tentu berjilbab. Ketaatan perempuan muslim menjalankan perintah Allah dengan memakai jilbab, kini jilbab diidentikkan dengan Islam dan perempuan muslim. Hal ini juga dikarenakan firman Allah yang menyatakan bahwa jilbab memang digunakan agar muslim mudah dikenal dan terlindungi. Sehingga menjadikannya sebagai identitas muslim. 12 ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ِك وب نَات ني َعلَْي ِه َّن ُّ ََِا أَيُّ َها الن َ ني يُ ْدن َ ك َون َساء الْ ُم ْؤمن َ َ َ َِّب قُ ْل ِل َْزَواج ِ ِِ ِ ِ ك أ َْدَن أَ ْن ي عرفْن فَ ََل ي ْؤ َذين وَكا َن اللَّه َغ ُف ِ يما ً ورا َرح ً ُ َ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َ َ م ْن َج ََلبيبه َّن َذل “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al Ahzab: 59). Selain itu, menurut Yuyun W.I Surya menjelaskan bahwa perempuan berjilbab adalah image yang mengacu pada tipifikasi Islam. Jilbab bagi perempuan Islam bukan hanya sekedar image of fashion, namun lebih dari itu juga merujuk pada fungsi penanda sosio-kultural dan memiliki signifikansi politik. Miriam Cooke (dalam Arimbi, 2002) menegaskan melalui tulisannya: “All of these [veiled] women represent something other than themselves. On the one hand, the domestic prisoners stand for the local patriarchy with its accoutrements of privilege dependent on the control of women…” Kehadiran dan penggunaan jilbab dalam cara berpakaian di antara perempuan Islam merupakan hal yang relatif baru di Indonesia. Brenner (dalam Washburn, 2001: 111) berpendapat bahwa jilbab di Indonesia adalah fenomena yang kompleks dan merupakan peristiwa yang tidak hanya sekedar membangkitkan kembali norma tradisi lokal namun juga lambang identifikasi perempuan Islam di Indonesia dengan umat islam di negara lain, termasuk di dalamnya penolakan terhadap hegemoni barat paling tidak dalam hal berpakaian. Bagi perempuan Indonesia sendiri, memakai jilbab berarti tidak boleh bergaul bebas, harus taat kepada agama, tidak boleh tertawa keras, tidak boleh bergosip, harus sopan atau menata 13 tingkah lakunya, atau dengan kata lain memiliki peran perempuan yang benar. Dengan demikian, identitas jilbab dan interpretasinya yang sangat beragam mampu membantu perempuan untuk menegosiasikan peran gendernya. 2.4 Fashion Hijab dalam Modernitas Secara etimologi fashion berasal dari bahasa Latin, factio, yang berarti membuat atau melakukan (dan dari kata inilah diperoleh kata faksi, yang memiliki arti politis), facere yang artinya membuat atau melakukan. Karena itu, arti asli fashion mengacu pada kegiatan; fashion merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang, tak seperti dewasa ini yang memaknai fashion sebagai sesuatu yang melulu dikenakan seseorang (Barnard, 2011:11). Fashion merupakan isu penting yang mencirikan pengalaman hidup sosial. Oleh karena itu, fashion memiliki beberapa fungsi. Salah satunya adalah sebagai sarana komunikasi, fashion bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non-verbal. Fashion bisa merefleksikan, meneguhkan, mengekpresikan suasana hati seseorang. Fashion memiliki suatu fungsi kesopanan (modesty function) dan daya tarik. Sebagai fenomena budaya, fashion sesungguhnya bisa berucap banyak tentang identitas pemakainya. Fashion juga dapat digunakan untuk menunjukkan nilai sosial dan status, karena orang bisa membuat kesimpulan tentang siapa anda, kelompok sosial mana anda, melalui medium fashion (Barnard, 2011: 100). Fashion mampu menawarkan model-model dan bahan untuk membangun identitas. Masyarakat tradisional memiliki peran sosial dan kode-kode aturan yang relatif baku, sehingga pakaian dan penampilan seseorang secara langsung menunjukkan kelas sosial, profesi, dan statusnya. Identitas dalam masyarakat tradisional biasanya ditentukan oleh kelahiran, pernikahan, serta keahlian, dan daftar peran yang ada dibatasi seketat mungkin. 14 Lain halnya di dalam modernitas, fashion adalah konstituen penting identitas seseorang, yang membantu menentukan bagaimana ia dikenali dan diterima (Wilson 1985; Ewen 1988). Fashion memiliki menawarkan pilihan pakaian, gaya, dan citra yang dengannya seseorang dapat menciptakan identitas pribadi. Di satu sisi, fashion adalah fitur konstituen modernitas, yang ditafsirkan sebagai era sejarah yang ditandai oleh inovasi terus menerus, penghancuran yang tanda penciptaan yang baru (Berman: 1982). Fashion sendiri dianggap sebagai sumber penciptaan citarasa, gaya, pakaian, dan perilaku baru. Tentu saja, Fashion dalam masyarakat modern dibatasi oleh kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan konformitas sosial yang terus mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dipakai, apa yang mungkin dan tidak mungkin. Begitu pula yang terjadi pada jilbab di Indonesia. Dalam perkembangannya, jilbab perempuan muslim Indonesia mengalami perubahan beriringan dengan modernitas dan munculnya komunitas jilbab yang membawa identitas Islam. Jilbab menjadi pakaian yang dapat disesuaikan dengan perkembangan fashion yang terkadang dalam penciptaannya lepas dari aspek syari’at. Barnard menyatakan bahwa fashion merupakan fenomena kultural yang digunakan kelompok untuk mengkontruksi dan mengkomunikasikan identitasnya. Dengan demikian dalam fashion, jilbab selalu berubah dan akan ditinggalkan bila tidak lagi up to date. Perubahan pemakaian jilbab ini dinamakan dengan hijab. Pada dasarnya pengertian jilbab dengan hijab adalah sama yaitu penutup aurat. Hijab berasal dari kata hajaban yang artinya menutupi, dengan kata lain alHijab adalah benda yang menutupi sesuatu. Namun perbedaannya adalah hijab menutup aurat dengan sedikit luput dari syarat syariah karena lebih mengutamakan perkembangan jaman dan fashion. Fashion hijab sekarang ini memang sedang menjadi tren di kalangan muslim. Hal ini karena hijab mampu menawarkan fashion dengan tidak mengesampingkan nilai keagamaan di tengah modernitas. 15 2.5 Islam dan Gender Dalam Islam, tidak sebagaimana pemahaman yang selama ini diwacanakan dalam masyarakat, perempuan dilindungi hak-haknya dan mendapatkan perlakuan yang adil. Bano (2003: 12) lebih lanjut menyatakan bahwa Islam menciptakan lingkungan dimana apapun posisi perempuan, mereka akan mendapatkan harga diri dan kehormatannya. Masyarakat telah sekian lama terekspos oleh pencitraan Islam yang sangat tidak bersahabat terhadap perempuan. Wacana yang sangat bias gender dan stereotip, seperti perempuan yang tidak memiliki hak yang setara dengan laki -laki, perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin dan sebagainya, menjadikan Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap perempuan. Sementara tak satupun teks dalam Al Qur’an yang menyebutkan perempuan harus mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan laki -laki, sebagaimana tersebut dalam QS Al Hujurat ayat 13. Islam semestinya dipahami sebagai sebuah ajaran moral dan ritual yang diturunkan sebagai rahmat pada semesta (dan termasuk di dalamnya adalah perempuan). Stowasser (1998) menyatakan bahwa saat ini terdapat interpretasi kontemporer terhadap teks Al Qur’an, dengan menggunakan pendekatan metodologis yang belum pernah digunakan sebelumnya - hermeneutics yang memperhatikan tiga aspek untuk memahami teks yakni konteks, komposisi gramatikal serta keseluruhan teks (Rahman, 1982; Wadud 1999; Barlas 2002 dalam Munir), berkaitan dengan paradigma Islam kontemporer dalam isu gender. Tidak sebagaimana paradigma Islam klasik, paradigma modernis dan reformis ditandai dengan keterlibatan modernis Quranic scholars seperti feminists, linguists, cultural anthropologists, philosophers dan juga sociologists dalam membedah otentisitas teks Qur’an dalam membahas isu gender (Stowasser, 1998: 44). Hal ini berdampak positif bagi image perempuan muslim terutama berkaitan dengan permasalahan status, posisi dalam masyarakat serta relasinya dengan laki -laki. 16 2.6 Semiotika Umberto Eco Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah cabang yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Zoest, 1996:5). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non verbal (Ratna, 2004:105) Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa semiotika merupakan pendekatan yang membicarakan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda. Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu hal lainnya (Berger, 2005:1). Tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengahtengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur tanda. (Barthes, 1988:179; Kurniawan, 2001:53 dalam Sobur, 2004:15). Umberto Eco merupakan salah satu tokoh semiotika yang juga merupakan seorang filsof dan novelis berkebangsaan Italia. Semiotika Umberto Eco merupakan bidang kajian semiotika secara umum (general semiotic theory) yang mampu menjelaskan semua permasalahan fungsi 17 tanda (sign-fuction) berdasarkan sistem hubungan antar unsur yang terdiri atas satu kode atau lebih. Fungsi tanda memiliki isi yang beragam. Selain itu, fungsi tanda merupakan interaksi dengan berbagai norma budaya yang berbeda-beda dapat memberikan macam-macam konotasi terhadap norma tertentu. Hal ini merupakan suatu bentuk semiosis yang tak terbatas, dimana setiap proses sangat berkaitan dengan kedudukan pembaca dalam menafsirkan suatu tanda. Umberto Eco berpendapat bahwa semiotika berurusan dengan segala sesuatu yang bisa dipandang sebagai tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat dipakai pengganti sesuatu yang lain secara signifikan. Sesuatu yang lain tidak perlu benar-benar eksis atau berada di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya. Oleh karena itu, semiotika secara prinsipil adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengekspresikan kebohongan, maka dia juga tidak bisa dipakai untuk mengatakan apa-apa (kebenaran) (Eco, 2009:7). Selain itu, Umberto Eco didalam buku Tamasya Dalam Hiperrealitas (2004) juga menjelaskan tentang hiperrealitas dalam semiotika. Ia menggunakan istilah-istilah copy, replica, replication, imitation, likeness, dan reproduction untuk menjelaskan apa yang disebutnya hiperrealitas. Bagi Eco, hiperrealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi, salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan didalam konteks masa kini sebagai sebuah nostalgia. Jadi, Eco lebih melihat hiperrialitas sebagai persoalan penjarakan (distinction), yaitu obsesi mengahadirkan masa lalu yang telah musnah, hilang, kabur dalam rangka melestarikan bukti-buktinya, dengan menghadirkan replika, tiruan, salinan, dan imitasinya. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah ketika masa lalu tersebut dihadirkan kedalam konteks masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan realitas, dengan pengertian ia bisa tampak “(seakan-akan) lebih nyata dari kenyataan” yang disalinnya., lebih sejati 18 dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah kondisi “meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original). Dalam bukunya, Theories of Human Communication, Stephen W. Littlejohn menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer (Littlejohn, 1996:71). Menurutnya, teori Eco penting karena ia mengintergrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa pemikiran semiotika yang lebih mendalam. 2.7 Kerangka Pikir Agama Islam (Trend Hijab) Televisi Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015 di Trans7 Analisis Semiotika Representasi Identitas Perempuan Muslim Kategori : - Cantik - Pintar - Berbakat Hijab merupakan salah satu perangkat keagamaan didalam Islam. Perkembangan hijab yang cukup pesat menjadikannya sebuah trend dikalangan muslimah. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh media, 19 terutama televisi untuk membuat program yang berhubungan dengan hijab. Hal tersebut juga dilakukan oleh Trans7 dengan membuat program acara bertajuk Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015. Program tersebut telah melalui serangkaian tahap hingga akhirnya malam grandfinal ditayangkan secara live. Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015 merupakan tahap akhir pencarian icon muslimah. Program acara tersebut selanjutnya dianalisis menggunakan semiotika, khususnya semiotika Umberto Eco. Representasi identitas perempuan muslimah tersebut dianalisis dengan semiotika Umberto Eco yang berdasarkan pada kategori dalam Grand Final Sunsilk Hijab Hunt 2015 yaitu, cantik, berbakat, dan cerdas. Metode semiotika dipilih untuk mendapat pemahaman makna sehingga dapat melihat representasi perempuan muslimah. Semiotika Umberto Eco merupakan kajian semiotika yang komprehensif dan kontemporer serta mampu menghasilkan kajian analisis yang lebih mendalam dari teori semiotika sebelumnya. 20