Kepedulian GKS terhadap Lingkungan Hidup: suatu tinjauan teoritis

advertisement
Bab 4
KEPEDULIAN GKS TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP DI SUMBA
4.1 Pendahuluan
Pada bab ini, penulis akan menyampaikan analisa berdasarkan temuan-temuan
penulis selama melakukan penelitian didialogkan dengan teori yang ada.
4.2 Latar Belakang Munculnya Kepedulian GKS terhadap Lingkungan Hidup
Pembahasan mengenai masalah lingkungan pada aras sinode GKS merupakan hal
yang sudah lama dibicarakan sesuai pernyataan dari bapak Rory selaku koordinator bidang
Kesaksian dan Pelayanan.1 Pernyataan ini dilengkapi juga oleh pendapat bapak ketua umum
sinode GKS yang mengatakan bahwa GKS secara serius membahas masalah lingkungan
hidup sejak tahun 2010 pada sidang sinode ke-40 di Parewatana.2 Melalui pembahasan dalam
sidang sinode ini menunjukkan GKS menyadari bahwa masalah lingkungan merupakan salah
satu masalah sosial yang perlu diperhatikan. Hal ini merupakan pokok penting dalam
mewujudkan kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup. Mengingat masalah lingkungan
hidup di Sumba dari waktu ke waktu semakin meningkat. Setiap tahun terjadi pembakaran
hutan dan padang yang dilakukan oleh anggota masyarakat atau pun oknum tertentu. Selain
itu, ada masalah lain yang cukup serius, yakni tambang emas di gunung Wanggameti.
Namun, sangat disayangkan meskipun GKS sudah lama membahas masalah
lingkungan hidup di sidang sinode, tetapi pembahasan yang lebih serius baru terjadi sejak
tahun 2010 terkait masalah tambang. Ini berarti pembahasan GKS sebelumnya belum
1
Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor
Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
2
Wawancara dengan pak Alfred Djama Samani, ketua umum sinode GKS, kantor sinode, 29 Oktober 2015,
pukul 09.30 Wita.
81
mendalam dan kurang memperhatikan masalah lingkungan hidup yang lain. Karena itu,
menurut penulis jika masalah lingkungan hidup belum memberikan dampak yang besar
terhadap kenyamanan hidup warga masyarakat, mungkin GKS belum membahasnya secara
serius hingga saat ini. Padahal lingkungan hidup merupakan salah satu hal mendasar dan
memerlukan perhatian serius dari semua pihak termasuk gereja. Mengingat dampak yang
dihasilkan berpengaruh kepada banyak orang. Karena itu, seharusnya tidak menunggu sampai
masalahnya muncul baru mengkaji masalah lingkungan hidup, namun sebaiknya itu harus
selalu diberikan perhatian yang serius dalam merancang program yang baik, terarah dan
spesifik supaya lingkungan hidup tetap terjaga karena hal ini berpengaruh pada kehidupan
semua makhluk.
4.3 Masalah Lingkungan Hidup di GKS ditinjau dari berbagai perspektif
Bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup tidak saja ditinjau dari satu
segi seperti pendidikan lingkungan namun masalah lingkungan hidup ini bersumber dari
aspek-aspek yang lain juga mendukung. Karena itu, dalam pembahasan berikut, penulis
menganalisis masalah lingkungan hidup yang terjadi di GKS dari berbagai perspektif.
4.3.1 Perspektif Teologi Sosial
Masalah lingkungan hidup memang merupakan salah satu masalah sosial
yang belum pernah selesai sampai saat ini. Apalagi masalah ini merupakan masalah
yang dialami oleh seluruh masyarakat dunia. Karena itu, muncul teologi sosial sebagai
bentuk keprihatinan gereja terhadap berbagai masalah-masalah sosial yang muncul.
Teologi sosial tentunya berakar dari teologi itu sendiri yang berfungsi kritis
82
mengarahkan seluruh perhatian dan pengalaman orang beriman kepada yang mutlak
sekaligus juga pengalaman itu dibagikan melalui kesaksian mengenai kasih Yesus
Kristus yang dirasakan. Untuk itulah, setiap teologi apapun pasti memiliki segi
sosialnya3 yang dapat dikembangkan sesuai dengan konteks sosialnya.
Di GKS, pemahaman mengenai teologi sosial masih merupakan sesuatu
yang abstrak. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman GKS tentang dasar teologisnya
sendiri terhadap lingkungan hidup yang masih kabur. Meskipun demikian, praktekpraktek dari teologi sosial itu sendiri sudah ada. Di mana gereja juga ikut ambil bagian
dalam memikirkan masalah-masalah sosial melalui kerja sama dengan pemerintah
untuk memperhatikan orang-orang yang kurang mampu. Menurut koordinator bidang
kesaksian dan pelayanan, bentuk keprihatian GKS terhadap masalah sosial dilakukan
melalui pembagian beras padat karya ataupun pembagian anakan-anakan pohon umur
panjang kepada warga jemaatnya.4
Berdasarkan pemahaman dan aktivitas GKS dalam menyikapi masalahmasalah sosial yang ada, masalah penting yang perlu diperhatikan GKS yakni dasar
teologi sosial dan pemahaman yang baik dan benar terhadap teologi sosial itu sendiri.
Jika kedua hal ini masih kabur maka pemaknaan GKS terhadap semua tindakan
konkret yang dilakukan juga kurang tepat sasaran. Karena GKS akan terjerat dalam
kegiatan rutinitas yang dilakukan tanpa harus memahami dengan jelas alasan dibalik
kegiatan tersebut. Hal ini secara berkelanjutan akan terbawa hingga pada generasi
yang akan datang di mana pemahaman mereka juga tentunya akan semakin kabur
3
Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan
Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 130.
4
Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor
Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
83
tentang makna dari teologi sosial, jika saat ini tidak ada pemahaman yang jelas terkait
lingkungan. Karena itu teologi sosial dipahami sebagai sebuah pemahaman teologis
ajaran prinsip-prinsip yang dapat membentuk makna dalam aktivitas sosial gereja bagi
sesama. Screy juga menambahkan bahwa teologi sosial harus dilihat sebagai sebuah
usaha untuk mengembangkan lebih jauh etika sosial teologis yang berangkat dari
ajaran sosial gereja.5 Penekanannya yakni pada dasar teologis dan ajarannya yang
terkait dengan pokok teologi dan ajaran.
Oleh karena itu, dalam menanganinya, dibutuhkan dasar yang kuat dan
jelas sebagai penuntun dalam mengambil sikap dan tindakan. Salah satu dasar yang
harus diperhatikan dalam konteks GKS adalah dasar teologi. Dasar teologi ini
berperan sentral karena sebagian besar manusia mengakui adanya kuasa yang berada
di luar dirinya yang mengatur seluruh kehidupan di alam semesta ini yakni, Tuhan
dalam kehidupannya.
Jika dilihat dalam teologi Kristen, teologi tidak saja dipandang sebagai
refleksi iman dalam praksis gereja, namun juga mendorong praksis gereja itu sendiri
dalam konteks konkret.6 Pada pemahaman ini, teologi bukanlah sekedar teori belaka
melainkan ia merupakan suatu tindakan nyata yang berdampak bagi banyak orang dan
lingkungan hidup. Di GKS, fokus perhatian terhadap masalah sosial terutama
ditujukan kepada sesama manusia, seperti pelayanan diakonia, sedangkan perhatian
terhadap alam masih sangat terbatas. Keadaan ini tentunya merupakan kenyataan yang
kurang seimbang. Karena yang ada di dunia ini bukan hanya manusia tetapi juga
5
Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor
Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
6
Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan
Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 130.
84
lingkungan hidup. Namun di sisi yang lain diakui bahwa terdapat perhatian dan
kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup tetapi bentuk kepedulian itu jika dikaitkan
dengan teologi sosial masih sangat terbatas. Jika diperhatikan lebih jauh, kebanyakan
program yang dilakukan GKS mengikuti program pemerintah. GKS sendiri belum
mempunyai pemahaman yang mendalam tentang kepedulian terhadap lingkungan
hidup. Pada prakteknya fokus dari kebanyakan program diarahkan untuk kepentingan
manusia. Dengan demikian, penulis dapat mengatakan bahwa teologi sosial yang ada
di GKS masih bersifat antroposentris atau berpusat pada manusia. Sehingga GKS
perlu melihat kembali dan memperbaharui teologi sosial yang dibangun supaya
diseimbangkan antara perhatian terhadap manusia dan juga lingkungan hidup.
Lebih lanjut hal tersebut tentunya dijalankan oleh GKS sebagai salah satu
lembaga sosial yang berbasis pada iman Kristen.
4.3.2 Perspektif Fungsi Sosial Gereja
Fungsi sosial gereja dalam pengertian lembaga menuntun gereja untuk
bisa menjalankan perannya dengan baik di lingkungan yang lebih luas yakni
masyarakat. Gereja tidak hidup sendiri sebagai organisasi ataupun komunitas sosial
tetapi ia berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada posisi tersebut, terdapat
5 model gereja yang ditawarkan oleh Avery Dulles dalam menjalan fungsi sosialnya
dalam masyarakat, 2 diantaranya adalah gereja sebagai institusi dan gereja sebagai
pewarta. Gereja sebagai institusi menekankan bahwa gereja dipandang sebagai suatu
85
masyarakat yang cenderung untuk mengutamakan struktur kepemimpinan sebagai
elemen formal dalam masyarakat.7
Pada dasarnya, pandangan ini mau menekankan aspek gereja sebagai
sebuah lembaga yang di dalamnya ada struktur organisasi yang jelas dalam pembagian
tugas dan kewajiban. Tugas dan tanggung jawab itu adalah untuk mengajar,
menguduskan dan memimpin.8 Tanggung jawab seperti ini berguna untuk menolong
gereja dalam menjalankan tugasnya dengan baik secara menyeluruh. Bukan hanya
mengajar hal-hal yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia atau
manusia dengan Tuhan, namun pengajaran itu juga sebenarnya harus mengajarkan
bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya. Namun kenyataannya
dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa meskipun bentuk kepedulian
GKS terhadap lingkungan hidup sudah dilakukan melalui beberapa program seperti
hutan keluarga namun bentuk kepedulian itu masih sangat terbatas. Hal ini terjadi,
karena GKS belum memahami secara baik fungsi sosialnya sebagai salah satu
lembaga sosial yang harus berperan aktif dalam melihat dan memikirkan masalahmasalah sosial yang terjadi termasuk di dalamnya masalah lingkungan hidup.
Berdasarkan hal tersebut, GKS perlu menyadari tanggung jawabnya
sebagai institusi. Bahwa GKS memiliki kewenangan untuk mengatur struktur
organisasi dengan jelas dan baik guna mengatur dengan lebih strategis dan sistematis
baik sturktur (orang-orang yang terlibat) maupun program yang juga mencakup
masalah lingkungan hidup secara utuh. Tetapi kenyataannya, yang menangani setiap
bidang pelayanan hanya satu orang yakni koordinator itu sendiri. Oleh karenanya
7
8
Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. (1990:Yogyakarta), 35.
Ibid., 35.
86
terdapat keterbatasan tenaga di sinode, sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab
terjadinya ketidak efektifan program yang dilakukan.9 Selain itu, dalam rangka
berpikir jangka panjang terkait lingkungan hidup, gereja seharusnya mengadakan
kerja sama dengan lembaga-lembaga atau orang-orang yang memiliki kompetensi di
bidang lingkungan hidup. Demikian halnya dengan tugas menguduskan dan
memimpin, bahwa gereja perlu melakukan tugas pemulihan kembali hubungan yang
rusak di antara manusia dan lingkungan hidupnya dan menguduskan. Sekaligus gereja
juga harus memimpin warganya untuk memahami tugas panggilannya di tengah dunia
untuk menghadirkan damai sejahtera baik di antara sesama manusia maupun dengan
lingkungan hidupnya.
Selanjutnya, jika dihubungkan dengan model gereja sebagai pewarta yang
menekankan pada Sabda/Firman Tuhan yakni bahwa gereja dikumpulkan dan
dibentuk oleh Sabda Allah. Misi gereja adalah mewartakan apa yang sudah didengar,
diimani dan yang sudah diserahkan kepadanya untuk diwartakan.10
Model ini juga dapat menjadi dasar bagi GKS untuk mengembangkan
dasar teologinya. Di mana GKS juga terbentuk karena pewartaan Firman Tuhan. Oleh
sebab itu, dasar pengajaran kepada umat juga adalah Firman Tuhan. Selain itu,
penekanan dari model gereja ini adalah bahwa apa yang sudah di didengar, diimani
dan diserahkan harus diwartakan. Artinya bahwa GKS harus mewartakan apa yang
sudah didengar, diimani dan diserahkan kepadanya. Pewartaan itu tentunya bukan
hanya mengatur hubungan manusia dengan sesamanya manusia tetapi juga manusia
diberikan tanggung jawab untuk mengelola lingkungan hidupnya. Karena lingkungan
9
Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor
Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
10
Avery Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. (1990:Yogyakarta), 73.
87
hidup sebenarnya merupakan rumah bagi semua makhluk. Pewartaan itu harus
dilakukan terus menerus supaya warga GKS menyadari tanggung jawabnya dan
mengerjakan tanggung jawab itu dengan baik.
Lebih lanjut, semua tanggung jawab gereja ini dapat terealisasi dengan
baik tergantung pada pemimpin-pemimpin gereja dalam hal ini para pendeta yang
melayani di setiap jemaat. Karena merekalah yang memegang peranan penting dalam
mengambil kebijakan atau pun dalam memutuskan segala sesuatu yang terkait dengan
pelayanan. Jika para pelayan kurang memahami tanggung jawab gereja seperti ini,
maka gereja juga akan mengalami kesulitan untuk melaksanakan fungsi sosialnya
dalam masyarakat.
Di GKS, sampai saat ini jumlah pendeta yang melayani di jemaat ada 191
orang. Para pendeta ini tersebar di seluruh wilayah Sumba yang terdiri dari 4
kabupaten yakni Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
Pendeta yang melayani di GKS berasal dari berbagai sekolah Teologi yang ada di
Indonesia, seperti UKAW (Kupang), UKSW (Salatiga), UKDW (Yogyakarta), INTIM
Makassar, STT Jakarta, atau pun dari STT Lewa milik GKS sendiri.11
Latar belakang pendidikan para pendeta yang melayani di GKS ini sangat
mempengaruhi gaya kepemimpinan dari masing-masing. Menurut tanggapan dari
beberapa anggota jemaat mengenai para pelayan di GKS ada perbedaan yang cukup
signifikan antara lulusan dari Jawa dibandingkan yang lain. Hal itu nampak dari cara
bersosialisasi, berkhotbah ataupun isi khotbah dan juga dalam menyikapi masalahmasalah sosial. Mereka merasa bahwa lulusan dari Jawa lebih terbuka dan tidak kaku
11
Badan Pelaksana Majelis Sinode GKS. Laporan Sidang Sinode ke-41. Ramuk. 12-15 Juli 2014.
88
dalam menjalin hubungan dengan orang lain.12 Sikap-sikap seperti ini yang pada
akhirnya memudahkan para pelayan untuk mempengaruhi warganya dalam hal
mengubah kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik. Karena para pelayan lebih leluasa
menyampaikan hal-hal apa yang perlu diperhatikan dan dilakukan demi kebaikkan
bersama. Termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup.
Jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan keputusan sinode tahun 2010
yang sudah termuat dalam GBKU GKS, maka dapat dilihat bahwa pelaksanaan
keputusan khususnya yang terkait dengan lingkungan hidup masih sangat kurang.
Bahkan ada banyak jemaat yang tidak melaksanakannya sehingga belum ada
perubahan signifikan yang terjadi. Hanya beberapa jemaat yang benar-benar
melaksanakan keputusan itu. Hal ini tentunya memiliki kaitan dengan pola
kepemimpinan pendeta jemaat yang bertugas untuk memberikan arahan dan
bimbingan kepada warga jemaatnya, seperti salah satu model gereja yakni sebagai
institusi. Jika pendeta jemaat tersebut melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik
dan menaruh perhatian yang serius pada masalah lingkungan hidup maka usaha itu
akan ada hasilnya. Seperti misalnya pengalaman seorang pendeta yang sudah
melaksanakan salah satu bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup melalui
penghijauan di sekitar kompleks gereja dan sekitar rumah jemaat. Usaha ini
membuahkan hasil yang cukup besar, karena dari hasil penanam pohon-pohon umur
panjang tersebut sudah mendirikan satu pastori di salah satu cabang dan 50 rumah
warga jemaat.13
12
Ibu Yohana Dada Gole dan bapak Nengi Paranggih, warga jemaat Kambajawa dan Jemaat Nggongi, 2
November 2015.
13
Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00
Wita.
89
Menurut pengakuan beliau, hasil yang dicapai ini tidak diperoleh dalam
waktu yang singkat, karena untuk melakukan penyadaran kepada warga jemaat itu
sangat sulit karena membutuhkan proses yang cukup panjang, sehingga sampai saat
ini, khususnya di jemaat Tangga Madita ini menjadi percontohan bagi jemaat-jemaat
lain mengenai pentingnya menanam pohon demi menjaga kelestarian lingkungan
hidup.14
Tindakan konkrit yang demikian seharusnya baik bagi pendeta-pendeta
jemaat di GKS untuk dicontohi dalam membina warganya agar melakukan penanam
pohon umur panjang. Meski pun, tantangannya adalah harus menghadapi berbagai
sikap dari warga yang tidak menyambut baik program itu dan juga membutuhkan
waktu yang lama. Namun usaha dan ketekunannya selama ini, membuktikan bahwa
kesadaran pribadi itu bisa terjadi. Sehingga ini juga memungkinkan warga jemaat
GKS secara keseluruhan untuk melakukannya. Kegiatan ini tentunya memerlukan
dukungan dengan cara menciptakan kerja sama yang baik antara sinode, klasis dan
jemaat. Apabila jemaat-jemaat belum melakukan tanggung jawab itu, maka pihak
klasis atau sinode bertugas untuk mengingatkan atau pun menolong jemaat yang
mengalami kesulitan melakukan penyadaran melalui sosialisasi atau cara praktis
seperti langkah-langkah dan pemahaman etis yang dapat secara universal diterima dan
dilakukan.
14
Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00
Wita.
90
4.3.3 Etika Lingkungan
Salah satu tokoh yang membahas etika lingkungan adalah Paul W. Taylor
dengan menyebut lingkungan hidup sebagai “natural world” atau dunia alami yang
mengacu pada seluruh rangkaian dari ekosistem alami di planet ini.15 Penekananan
teori yang ia kemukakan dari pemahamannya adalah mengenai human-centerd dan
life-centered.
Berdasarkan hasil penelitian, salah satu bentuk kepedulian GKS terhadap
lingkungan hidup dilakukan dengan cara melakukan penghijauan melalui menanam
pohon umur panjang di lokasi lahan gereja atau pun di kompleks ruman-rumah jemaat
dengan istilah hutan gereja dan hutan keluarga. Penanaman pohon-pohon umur
panjang ini cukup berhasil, khususnya di jemaat Tanggamadita karena disamping
warga jemaat dapat menikmati udara yang sejuk juga sangat membantu warga jemaat
dalam penyediaan bahan bangunan dan sebagai penopang ekonomi keluarga ketika
hasil dari pohon itu dapat dijual. Berdasarkan kenyataan ini, jika dilihat dari teori etika
lingkungan ini, program GKS ini termasuk dalam human-centered, di mana tujuan
program ini masih berfokus kepada manusia.
Human-centered adalah etika lingkungan hidup yang berpusat pada
manusia dengan menekankan pada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia
dalam menghayati keberadaannya di alam sebagai upaya untuk menciptakan
kehidupan yang lebih baik dari segi lingkungan maupun kesehatan sebagai tugas dan
15
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. (New Jersey:Princeton University
Press, 1986), 3.
91
tanggung jawab moral manusia saat ini dan bagi generasi di masa depan.16 Ketika
menyadari bahwa etika lingkungan ini yang dipakai oleh GKS dalam mengatur
hubungannya dengan lingkungan, maka hal ini perlu ditinjau kembali. Karena yang
hidup di pulau Sumba bukan hanya manusia saja tetapi juga makhluk-makhluk yang
lain. Jika ditinjau dari akar permasalahan yang terjadi di Sumba, kerusakan
lingkungan hidup diakibatkan oleh manusia. Terutama karena ladang berpindah,
penebangan liar, pembakaran padang dan hutan atau pun masalah sampah. Dari semua
hasil percakapan dengan beberapa perangkat sinode, penulis menemukan bahwa baik
pemahaman maupun semua program yang mereka jalankan bermuara pada humancentered.
Salah satu buktinya adalah dengan program penanaman pohon umur
panjang melalui kerja sama dengan pemerintah dalam pengadaan anakan. Program ini
memang pada awalnya dari pemerintah dengan mencanangkan hutan rakyat, di mana
seluruh masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon-pohon umur panjang pada
lokasi yang disediakan. Lalu kemudian gereja juga mengikuti program ini namun
dengan membuat istilah baru yakni hutan gereja dan hutan keluarga. Sejauh ini
memang banyak hasil yang diperoleh dari program ini. Hanya saja, pemahaman warga
jemaat terutama tentang hutan keluarga pada akhirnya menyimpang. Di mana mereka
menanam pohon bukan karena menyadari bahwa lingkungan hidup perlu dilestarikan
tetapi hal itu dilakukan supaya pohon itu bisa dijual dan juga sebagai bahan untuk
pembangunan rumah. Dari peristiwa ini, maka kesan yang terlihat adalah
tanggungjawab untuk melindungi lingkungan, bukanlah suatu bentuk kesadaran untuk
16
Ibid., 11.
92
menunjukkan kepedulian terhadap masalah lingkungan hdiup yang terjadi. Warga
jemaat GKS mau menanam pohon karena hal itu membawa keuntungan secara
ekonomi dan papan bagi mereka. Karena jika tidak, maka mereka tidak akan bersedia
menanam pohon.
Jika hal ini, dilihat dari jenis etika lingkungan sebagai life-centered maka
ini merupakan aktivitas yang keliru. Karena menurut jenis etika lingkungan ini,
penekanannya terletak pada kewajiban dan tanggungjawab dalam menghargai
lingkungan dan komunitasnya di alam secara natural. Etika ini lebih lanjut
menekankan pentingnya memiliki respek terhadap hewan liar dan tumbuh-tumbuhan
di bumi sebagai alasan dari moral yang menentukan relasi antara diri manusia dan
dunia yang natural itu sendiri.17 Karena alam bukan hanya semata-mata sebagai objek
yang di eksploitasi dan menjadi bahan konsumsi manusia semata. Tetapi setiap
mahkluk hidup di alam memiliki kekayaan dan kebajikan/virtue dari keberadan
mereka sebagai anggota dari komunitas kehidupan. Pemahaman yang seperti ini masih
sangat terbatas di GKS, karena dalam memahami lingkungan hidup masih terbatas
pada penghijauan. Hal ini disebabkan karena jenis etika lingkungan yang dianut di
GKS masih human-centered. Selain itu, budaya masyarakat Sumba juga sangat
mendukung jenis etika lingkungan ini. Salah satu contoh, tindakan membakar padang
atau hutan sudah menjadi budaya di Sumba. Pernyataan ini juga diakui oleh sebagian
besar perangkat sinode. Di mana ketika membakar padang atau hutan menjadi
kenikmatan tersendiri bagi masyarakat Sumba.18Alasannya karena masyarakat harus
17
Ibid., 12.
Wawancara dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor
Sinode, 26 Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
18
93
mempersiapkan lahan untuk menanam dan atau pun memperluaskan lahan tanpa
memikirkan secara lebih kritis tindakan yang memperhatikan lingkungan hidup.
Lebih lanjut, pandangan GKS terhadap lingkungan hidup jika dilihat dari
pengakuan dari koordinator bidang kesaksian dan pelayanan yang membawahi
penanganan masalah lingkungan pada aras sinode, bertentangan dengan prakteknya.
Karena penekanannya, alam jangan hanya diperlakukan sebagai objek, sedangkan
prakteknya GKS melalui program penghijauan yang dilakukan memperlakukan
lingkungan hidup sebagai objek. Karena segala upaya yang dilakukan tersebut,
hasilnya bermuara demi pemenuhan kebutuhan manusia. Baik untuk kebutuhan
pembangunan maupun ekonomi, sehingga bentuk kepedulian GKS semacam ini
belum menjawab permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di Sumba, karena
segala usaha yang dilakukan itu kembali berfokus untuk memenuhi kebutuhan
manusia bukan sebagai life-centered.
Hal penting yang ditekankan oleh Taylor dalam memahami dua jenis etika
lingkungan adalah supaya kita perlu berhati-hati dalam mengklaim kebenaran dari
keduanya. Ketika ada banyak kritik terhadap etika lingkungan yang berpusat pada
manusia maka penting juga agar tidak salah mengartikan makna dari etika lingkungan
yang berpusat pada kehidupan/alam. Karena itu, sebagai dasar pertimbangannya,
dikenallah agen moral dan moral sebagai subjek. Manusia memang memiliki
kewajiban moral sebagai tugas untuk hidup berdasarkan kemanusiaan kita, sekaligus
mempunyai tugas untuk membangun relasi hidup bersama sebagai mahkluk hidup
94
dengan alam liar secara benar pada posisi yang sebenarnya.19 Penulis melihat bahwa
pemahaman seperti ini juga yang harus dikembangkan oleh GKS dalam memahami
kembali hubungan manusia dan lingkungan hidup. Tugas kita terhadap bentuk-bentuk
kehidupan di bumi selain manusia di dasarkan pada status entitas mereka yang
memiliki nilai dan yang melekat pada dirinya. Pemaknaan nilai tersebut bukan hanya
berdasarkan pada apa yang manusia pikirkan dan pahami tetapi juga pada nilai yang
mereka miliki yang bermanfaat secara keseluruhan bagi kepentingan seluruh alam
ciptaan. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan secara teologis guna memahami
lingkungan secara lebih mendalam.
4.3.4 Teologi Lingkungan
Dasar teologi yang kuat merupakan salah satu hal terpenting dalam gereja.
Dasar teologi dapat diibaratkan seperti kompas yang akan mengarahkan segala
perhatian dan kegitan gereja pada teologi yang dibangun. Tetapi di GKS, pendasaran
teologi mengenai kepedulian terhadap lingkungan hidup masih menjadi perdebatan.
Karena berdasarkan apa yang tertuang dalam Garis-garis Besar Keputusan Umum
(GBKU) GKS, dasar teologi GKS dalam memperhatikan lingkungan masih belum
jelas.20 Hal ini tentunya menjadi masalah yang sangat serius, karena GKS secara
konkrit mengalami kesulitan saat memberikan pengarahan kepada jemaat.
Secara sederhana GKS mungkin dapat menyuarakan dan mengingatkan
kepada jemaat bagaimana pentingnya memperhatikan lingkungan, namun jika hal itu
19
20
Ibid., 13.
Majelis Sinode GKS. Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Tahun 2014-2018. BPMS GKS. (Waingapu:
2014), 18.
95
tidak ditunjang dengan dasar teologi yang komprehensif, maka hal itu pasti hanya
akan menjadi himbauan atau bahkan menjadi pilihan bagi warga jemaat dalam
melakukannya. Namun, jika ada dasar teologis yang relevan dan cukup kuat maka,
tentu akan lebih menolong GKS dalam menentukan sikap, pengajaran dan pengarahan
terhadap jemaat untuk memandang lingkungan hidup sebagai sesama yang harus
dihargai dan dipelihara bukan sebagai objek yang diperlakukan secara bebas oleh
manusia. Karena itu, berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Ketua Umum
Sinode, beliau mengatakan bahwa dasar teologi GKS mengenai lingkungan hidup
sudah termuat dalam Visi dan Misi GKS.21
Visi GKS adalah Sumba yang damai sejahtera, adil dan bermartabat serta
terpeliharanya keutuhan ciptaan Tuhan. Sedangkan misi GKS adalah membina,
memperlengkapi dan memberdayakan pelayan dan warganya sebagai Tubuh Kristus
agar mampu mewujudkan Sumba yang damai sejahtera, adil, bermartabat dan hidup
sehati sepikir dan memelihara keutuhan ciptaan Tuhan.22 Berdasarkan visi misi ini
penekanannya ada pada tiga kata, yakni keutuhan ciptaan Tuhan, di mana keutuhan
ciptaan itu bukan hanya terbatas pada manusia melainkan kepada seluruh ciptaan
termasuk di dalamnya lingkungan hidup. Pada pemahaman ini, GKS sudah berusaha
melakukan pendasaran teologis mengenai lingkungan hidup. Namun demikian, dalam
pemaknaan dan penjabaran visi misi GKS ke dalam program dan tindakan konkret
belum terealisasi dengan baik.
21
Wawancara dengan pak Alfred Djama Samani, ketua umum sinode GKS, kantor sinode, 29 Oktober 2015,
pukul 09.30 Wita.
22
Majelis Sinode GKS. Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Tahun 2014-2018. BPMS GKS. (Waingapu:
2014), 20.
96
Jika hal ini dilihat dari teologi penciptaan, penjabaran visi misi GKS juga
belum ada dasar Alkitabiahnya. Ketika penekanannya pada keutuhan ciptaan, maka
apa yang menjadi dasarnya? Karena dalam teologi penciptaan sendiri ada perdebatan
mengenai dasar teologi dari hubungan manusia dan lingkungan hidup. Beberapa
teolog memakai Kejadian 1:26-28 karena dalam bagian kitab ini ada perintah untuk
menguasai dan menaklukkan. Menurut para teolog ini kedua kata ini tidak boleh
diartikan secara negatif atau tindakan yang sewenang-wenang, melainkan harus dilihat
sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Di mana manusia sebagai wakil Allah
di dunia harus melaksanakan tanggung jawab itu.
Namun demikian, pendapat dari beberapa teolog ini dikritisi oleh Jurgen
Moltman. Menurutnya, Kejadian 1 perlu ditafsirkan ulang oleh karena masih ada
unsur antroposentris. Di mana manusia yang masih memegang kendali. Padahal
menurut Moltman, dalam peristiwa penciptaan yang menjadi mahkota karya
penciptaan bukan manusia melainkan Sabat yaitu kegembiraan Allah atas segala karya
ciptaan-Nya sendiri yang baik. Penulis sendiri lebih setuju dengan pendapat Jurgen
Moltman yakni penting penafsiran kembali Kejadian 1. Karena terjadinya berbagai
masalah lingkungan akibat kesalahan menafsirkan Kitab Suci.
Dua kata yang
diungkapkan sebelumnya yakni menguasai dan menaklukkan sering diartikan salah
oleh gereja dan warga jemaat. Akibatnya, manusia sering menganggap diri lebih
utama dari pada makhluk ataupun alam itu sendiri. Kehadiran lingkungan hidup dan
makhluk lain hanya untuk memenuhi dan melayani kebutuhan manusia.
Jika kembali melihat dengan apa yang telah dilakukan GKS, harus diakui
bahwa ada kepedulian mengenai lingkungan. Namun makna menjaga keutuhan
97
ciptaan masih abstrak bagi warga jemaat dan gereja. Buktinya, masalah lingkungan
hidup baru menjadi pembahasan penting setelah ada masalah lingkungan hidup yang
terjadi seperti masalah tambang emas. Karena itu, menurut Soegeng Hardiyanto,
teologi tidak boleh dipandang sebagai refleksi iman saja dalam praksis gereja, tetapi
juga mendorong praksis gereja itu sendiri dalam konteks konkret. 23 Ini berarti bahwa
dasar teologi GKS yang telah tertuang dalam visi misinya harus lebih di dalami dan
disederhanakan supaya lebih dipahami dengan baik, lalu kemudian dirancang dalam
program secara jelas sehingga bisa dilakukan dengan mudah dan berkelanjutan.
Berbeda dengan dua pandangan sebelumnya, Fred Van Dyke lebih melihat
kepada nilai intrinsik yang berasal dari dalam di mana dasarnya tetap sama dari Kitab
Kejadian 1. Tetapi Dyke menekankan secara umum bahwa dalam peristiwa penciptaan
segala sesuatu yang Allah ciptakan itu adalah baik. Hal ini kemudian, menjadi dasar
etis untuk membangun nilai-nilai kesadaran dari dalam diri setiap orang percaya
sebagai salah satu pemahaman etika terkait dengan lingkungan, 24 dalam posisi
penciptaan oleh Allah sebagai nilai intrinsiknya atau intrinsic value. Pendapat Dyke
mau menekankan pada kesadaran individu yang pada akhirnya kesadaran itu
menghasilkan tindakan etis.25
Jika pandangan Dyke ini dikaitkan dengan apa yang terjadi di GKS, maka
hal ini dapat menjadi pertimbangan penting. Karena salah satu kendala yang dihadapi
GKS dalam mewujudkan kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah kurangnya
kesadaran individu terhadap pentingnya memperhatikan lingkungan hidup. Keadaan
23
Eka Darmaputera via Soegeng Hardiyanto, Pergumulan dalam pengharapan: Teologi Sosial dan Gerakan
Keesaan. BPK Gunung Mulia. (1999:Jakarta), 131.
24
Ibid., 50-53.
25
Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara
California: Praeger, 2010), 2.
98
ini juga terkait dengan dasar teologi yang masih samar dan abstrak. Terkait dengan
kesadaran individu, salah seorang pendeta juga mengakui hal itu dalam
memberdayakan warga jemaatnya untuk menanam pohon umur panjang,26 sehingga
menurut penulis, kesadaran individu juga belum menjadi perhatian bagi GKS. Karena
sudah cukup banyak upaya juga yang dilakukan GKS dalam rangka menyadarkan
warga jemaat untuk tidak membakar padang, melakukan penebangan liar, ataupun
memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan tetapi belum membawa
perubahan yang signifikan.
Kemudian, berdasarkan penjelasan diatas, penulis setuju dengan pendapat
Moltman yang mengusulkan untuk menafsirakan kembali Kejadian 1 sebagai dasar
biblis yang baik untuk menolong kita menyadari bahwa manusia bukan fokus dari
peristiwa penciptaan itu tetapi yang menjadi pusatnya adalah Sabat dan kesenangan
Allah saat melihat bahwa semua yang diciptakan itu baik, sehingga dasar ini paling
tidak dapat membantu GKS dalam melihat kembali dasar biblisnya. Karena dari
semua bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan masih berfokus pada kepentingan
manusia, seperti menanam pohon untuk membangun rumah dan bisa menghasilkan
uang. Pemahaman seperti ini juga yang perlu diperbaharui, agar kesadaran warga
jemaat dalam menanam pohon bukan karena mau membangun rumah atau untuk
dijual tetapi supaya lingkungan hidup yang semakin gersang di Sumba bisa berubah
menjadi lebih baik. Dengan demikian, dasar teologi ini secara lebih konkrit dapat
menolong GKS dalam menjawab masalah-masalah sosial yang terjadi, termasuk di
dalamnya masalah lingkungan hidup sebagai tugas dan tanggungjawabnya.
26
Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00
Wita.
99
Selain itu, dalam rangka mendukung visi misi tersebut, GKS juga memang
sudah menggelar bulan Agustus sebagai bulan kepedulian lingkungan hidup seperti
yang dicetuskan oleh pemerintah Sumba Timur.27 Pada bulan ini, sesuai hasil
percakapan dengan bapak Rory dan juga setelah penulis konfirmasi kepada beberapa
jemaat, dibuat liturgi khusus yang bertemakan lingkungan hidup. Cara ini sebenarnya
memang sudah baik dan GKS sudah menunjukkan bentuk kepeduliannya terhadap
lingkungan hidup. Namun dilihat dari penetapan bulan Agustus sebagai bulan peduli
lingkungan hidup hal ini kurang tepat, karena pada bulan ini musim kemarau sedang
mencapai puncaknya di pulau Sumba. Lebih lanjut menurut ibu sekum, lebih tepat
apabila bulan lingkungan hidup diperingati pada bulan November yakni ketika
masyarakat sedang mempersiapkan lahannya untuk tanam.28 Penulis juga lebih setuju
dengan penilaian ibu sekum jika dilihat dari segi penghijauannya, mengingat salah
satu masalah pokok utama masyarakat Sumba adalah kekeringan, sehingga saat
diingatkan mengenai penghijauan di musim seperti itu maka hal itu hanya akan
menjadi beban yang membuat warga jemaat enggan melakukannya.
Secara teologis, lingkungan hidup dipahami sebagai ciptaan Allah di mana
semuanya bersumber dari Alkitab. Berdasarkan pemahaman ini, hubungan antara
manusia dan lingkungan hidup sangatlah dekat bahkan saling membutuhkan. Karena
itulah, manusia yang diberikan tugas khusus untuk membelihara dan mengusahakan
bumi. Pemahaman ini sudah ada di GKS seperti yang termuat dalam Visi misi GKS
yakni menjaga keutuhan ciptaan. Hanya saja, ketika hal itu dijabarkan dalam program
27
Wawancara dengan pak Alfred Djama Samani, ketua umum sinode GKS, kantor sinode, 29 Oktober 2015,
pukul 09.30 Wita.
28
Wawancara dengan ibu Marlin Lomi, sekretaris umum GKS, kantor sinode 26 Oktober 2015, pukul 11.00
Wita.
100
kerja, seringkali porsi perhatian terhadap lingkungan hidup masih sangat terbatas. Jika
ada, jenisnya masih terbatas pada upaya penghijauan.
Karena itu, dengan kenyataan seperti ini, pendasaran teologis yang lebih
kuat dan dengan cara praktis dalam prakteknya masih harus dikembangkan. Terutama
perhatian terhadap lingkungan sebagai satu komunitas ciptaan oleh GKS baik dari aras
sinode, klasis dan juga jemaat. Faktor keadaan cuaca dan kondisi di Sumba saat ini
yang semakin panas dengan curah hujan yang semakin terbatas sebenarnya merupakan
suatu tanda bahwa masalah lingkungan hidup yang terjadi di Sumba semakin
meningkat dan memerlukan penanganan yang cepat dan serius. Inilah langkah GKS
yang relevan dan tepat yang menunjukkan apa makna dari visi misi GKS dalam hal
menjaga keutuhan ciptaan.
Segala bentuk usaha GKS sejauh ini memang sudah sangat baik, hanya
saja untuk mengubah perilaku manusia yang memiliki kebiasaan yang tidak
menghargai lingkungan tentunya membutuhkan usaha yang terus menerus untuk
dijalankan. Karena penyebab utama dari kerusakan alam sebenarnya adalah dari
perilaku manusia, sehingga perilaku manusianya yang perlu diubah. Untuk
mengubahnya, GKS memiliki potensi untuk itu yakni dengan menguatkan dasar
teologis yang jelas. Sehingga dari sini, sangat terlihat peran penting dasar teologi yang
kuat dan jelas untuk ditetapkan oleh GKS.
Jika warga GKS peduli dengan lingkungan hidup dan menginginkan
lingkungan hidup yang lebih nyaman dan baik maka harus kembali mengingat tugas
dan tanggung jawabnya
dan berusaha melakukan itu mulai dari hal-hal kecil.
Meskipun sebenarnya yang bertugas menjaga lingkungan hidup bukan hanya warga
101
GKS tetapi semua masyarakat yang ada di Sumba dari berbagai golongan atau pun
lapisan. Tetapi paling tidak, melalui apa yang dilakukan GKS, masyarakat umum
dapat belajar dan juga menyadari bahwa penting untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup. Karena jika lingkungan hidup terancam maka dengan sendirinya
kehidupan manusia dan makhluk lain juga ikut terancam.
Karena itu, dalam rangka mewujudkan dasar teologi ini, maka dibutuhkan
sarana yang efektif untuk mewujudkan itu ditengah-tengah warga GKS. Salah satu
sarana yang dipakai adalah mengembangkan pendidikan lingkungan hidup di dalam
gereja.
4.3.5 Perspektif Pendidikan Lingkungan Hidup
Pembahasan mengenai masalah lingkungan hidup di GKS muncul karena
adanya masalah-masalah lingkungan yang terjadi. Masalah lingkungan hidup yang
terjadi di Sumba cukup banyak. Mulai dari masalah membuang sampah, MCK,
penebangan liar, pembakaran hutan hingga pada masalah pertambangan yang
berkaitan dengan masalah politik. Sejauh ini, GKS sudah berusaha untuk melakukan
penanganan terkait masalah-masalah yang terjadi. Menurut bapak Rory selaku
koordinator KESPEL untuk masalah kebersihan, GKS telah mengadakan kerja sama
dengan pemerintah melalui program STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
tentang kebersihan, yakni jangan BAB sembarangan.29 Hal ini dilakukan karena masih
banyak warga jemaat khususnya yang berada di pedalaman yang belum memiliki WC.
Namun demikian usaha ini pun ada hambatannya yakni keadaan mereka yang sulit
29
dengan bapak Yulius Rory Teofilus, koordinator bidang kesaksian dan pelayanan, kantor Sinode, 26
Oktober 2015, pukul 10:20 Wita.
102
mendapatkan air dan juga pemikiran mereka yang menganggap bahwa kotoran adalah
makanan hewan. Pada konteks kasus semacam ini tentunya terkait dengan sumber
daya manusia yang masih tertinggal.
Bentuk kesadaran GKS ini sejalan dengan apa yang disampaikan Palmer
tentang munculnya kepedulian lingkungan yang terjadi di dunia. Di mana kepedulian
terhadap lingkungan itu lahir karena adanya berbagai macam masalah yang dihadapi
oleh sebagian besar masyarakat dunia. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada
umumnya, masyarakat kurang memperhatikan lingkungan selama tidak ada masalah
yang timbul terkait lingkungan hidup. Kalau pun ada masalah yang terjadi, namun
belum menjadi perhatian utama dari masyarakat dunia sehingga perhatian terhadap
lingkungan hidup itu barulah disadari sejak tahun 1970-an.30 Kecenderungan ini pula
yang terjadi di GKS. Pembahasan mengenai masalah lingkungan barulah dibahas
secara serius pada persidangan sinode ke-40 di Parewatana tahun 2010.31
Hasil dari pembasan itu, melahirkan keputusan-keputusan yang kemudian
dimasukkan dalam program-program kegiatan yang tertuang di GBKU. Semua
program kerja yang ada di GKS termuat dalam GBKU. Berdasarkan program-program
kerja tersebut, jika dilihat dari defenisi lingkungan hidup pemahaman GKS masih
sangat sempit. Hal itu terbukti dari fokus program lingkungan hidup yang hanya
menekankan pada penghijauan atau penanaman pohon-pohon umur panjang. Padahal
dari defenisi lingkungan hidup, ia tidak hanya terbatas pada hutan atau padang yang
hijau tetapi lingkungan hidup mencakup semua hal di sekitar manusia yang
30
Joy A. Palmer, Environmental Education in the 21st Century. The Taylor & Francis e-Library. (2003:New
York), 7.
31
Badan Pelaksana Majelis Sinode GKS. Laporan Sidang Sinode ke-41. Ramuk. 12-15 Juli 2014.
103
mempengaruhi kehidupannya.32 Hal-hal yang mempengaruhi kehidupan adalah suhu,
udara, air dan sebagainya.33 Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa GKS
masih memahami makna lingkungan hidup secara terbatas. Di mana lingkungan hidup
hanya terbatas pada pohon-pohon, GKS lupa bahwa ada masalah lain yang hingga kini
masih terus menajdi masalah yakni masalah sampah.
Berdasarkan data yang penulis dapatkan, masalah sampah masih terus
menjadi keluhan dari masyarakat umum. Tanggung jawab ini biasanya hanya
ditanggungkan kepada pemerintah, tanpa gereja juga melihat bahwa hal itu merupakan
salah satu tanggung penting yang harus diperhatikan. Hal ini juga dipengaruhi oleh
karakter dan tingkat kesadaran masyarakat mengenai masalah ini. Karena itu,
pentingnya pendidikan atau pengajaran yang berulang-ulang terhadap warga jemaat.
Kemudian, ketika melihat lebih jauh yakni mengenai pendidikan
lingkungan hidup, terdapat hal penting yang ditekankan yakni bahwa pendidikan
lingkungan merupakan proses mengenali nilai-nilai dan mengklarifikasi konsepkonsep untuk mengembangkan keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk
memahami dan menghargai keterkaitan antara budaya manusia dan lingkungan
fisiknya. Pemahaman ini menunjukkan bahwa ada nilai-nilai atau pun konsep-konsep
yang perlu diperhatikan sebelum mengembangkan sikap dan ketrampilan untuk
memahami bahkan menghargai hubungan budaya manusia dan dunia fisiknya.
Nilai-nilai itu biasanya ditemukan dalam nilai-nilai agama yang dianut,
seperti GKS berarti nilai-nilai dasarnya bersumber dari Alkitab. Sebagaimana salah
satu model gereja adalah sebagai pewarta. Apa yang sudah didengar, diimani dan yang
32
Anil Kumar De and Arnab Kumar de, Environmental Education. New Age International (P) Limited.
(2004:New Delhi), 1.
33
Wiryono, Pengantar Ilmu Lingkungan. PERTELON. (2013:Bengkulu), 1.
104
sudah diserahkan kepadanya harus diwartakan.34 Alkitab berbicara apa ketika
membahas hubungan antara manusia dan dunia fisiknya. Hal inilah yang
direkonstruksi sedemikian rupa menjadi patokan dalam mengembangkan kepeduliaan
GKS terhadap lingkungan hidup. Hal ini menjadi pokok penting dalam merancang dan
mengembangkan sikap kepedulian terhadap lingkungan hidup. Tentunya dengan cara
demikian hal ini dapat menghasilkan suatu dasar yang jelas untuk menghormati
lingkungan hidup. Karena sebelum ada dasar yang kuat dan jelas pasti segala usaha
yang dilakukan sebelumnya hanya akan menjadi usaha yang sia-sia, karena tidak akan
ada keberlanjutannya yang tersistematis dengan baik secara formal dan informal.
Pemahaman tentang pendidikan lingkungan hidup secara baik merupakan
salah satu hal mendasar yang menentukan bentuk kepedulian GKS terhadap
lingkungannya.
Menurut Joy Palmer, ada tiga tujuan utama dari pendidikan lingkungan,
antara lain:35
1. Membantu menyelesaikan dan mengembangkan kepedulian dan fokus tentang
masalah ekonomi, sosial, politik dan ekologi secara inter-dependence di daerah
perkotaan dan pedesaan;
2. Menyediakan kesempatan kepada setiap orang untuk memperoleh pengetahuan,
value, sikap, komitmen dan kemampuan untuk menjaga dan mengembangkan
lingkungan;
34
35
Avary Dulles, Model-model Gereja. Nusa Indah. (1990:Yogyakarta), 73
Joy A. Palmer, Environmental Education in the 21st Century. The Taylor & Francis e-Library. (2003:New
York), 7.
105
3. Menciptakan pola perilaku yang baru pada setiap individu, kelompok, dan
masyarakat sebagai satu kesatuan dengan lingkungan.
Berdasarkan tiga hal penting ini jika dikaitkan dengan apa yang sudah
dilakukan GKS, tentunya belum mencapai target ini. Pembahasan yang dilakukan oleh
GKS baik dalam persidangan sinode maupun perencanaan program hanya
berlandaskan kenyataan-kenyataan rill di lapangan tanpa melihat masalah sosial itu
lebih menyeluruh dan kaitannya dengan masalah sosial yang lain. Karena masalah
lingkungan hidup yang terjadi di Sumba sebenarnya berhubungan juga dengan
masalah politik dan ekonomi. Seperti masalah tambang yang terjadi gunung
Wanggameti. Di mana pemerintah Sumba Timur melihat potensi keuntungan melalui
pertambangan emas ini. Namun, pertambangan ini kemudian mendapat perlawanan
dari masyarakat dan juga gereja. Mengingat gunung Wanggameti merupakan sumber
mata air bagi semua masyarakat Sumba Timur.
Selain itu, ada rekomendasi juga yang ditawarkan oleh Palmer supaya
pendidikan lingkungan harus dilakukan baik secara formal maupun informal. Artinya,
pendidikan lingkungan bukan hanya sekedar tanggung jawab gereja atau pun
pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab dari setiap orang dalam kehidupan
sehari-hari terutama dalam keluarga.
Jika dikaitkan dengan poin yang kedua, hal ini juga belum sepenuhnya
dilakukan. Karena dari program kegiatan yang dilakukan GKS melalui sosialisasi dan
pemberdayaan kepada warga jemaat masih sangat terbatas. Apalagi program GKS
banyak meniru program pemerintah. Di mana pemerintah sendiri juga mungkin
106
malakukan program tersebut karena ada dana. Hal ini juga yang menjadi salah satu
pokok masalah yang masih dialami oleh GKS dalam proses penyadaran individu.
Karena sesungguhnya GKS belum sepenuhnya menyediakan kesempatan-kesempatan
kepada individu untuk memperoleh pengetahuan nilai-nilai, sikap dan komitmen
untuk menjaga dan mengembangkan lingkungan hidupnya. Mengingat bentuk
kepedulian GKS masih terbatas pada proses penyadaran melalui bahan khotbah setiap
bulan Agustus dan aksi penghijauan. Biasanya tidak ada penyadaran yang
berkelanjutan. Sehingga, proses penyadaran ini juga menjadi terputus dan terlupakan.
Demikian halnya dengan poin ketiga, proses menciptakan pola perilaku
yang baru dari setiap orang itu tidaklah mudah. Apalagi dengan melihat kebiasaankebiasaan masyarakat Sumba yang membakar padang atau pun hutan sebagai kegiatan
rutin yang membudaya. Karena itu, GKS sedang mengusahakan penanganannya
melalui sosialisasi yang berkelanjutan dan melibatkan warga dan juga keluargakeluarga dalam aksi nyata seperti kegiatan hutan keluarga. Pola perilaku yang baru
pada setiap individu, kelompok, dan masyarakat sebagai satu kesatuan dengan
lingkungan hanya akan dapat tercipta ketika adanya proses pengajaran yang
berkelanjutan disertai aksi nyata yang ditunjukkan. Poin ini merupakan hal terpenting
yang harus diusahakan oleh GKS, karena ketika kesadaran untuk peduli pada
lingkungan hidup sudah mulai ada maka itu juga pasti akan menuntun pada praksis
yang berkelanjutan.
Tujuan-tujuan ini pastinya akan bermuara pada program kerja GKS. Di
GKS, setiap bidang mempunyai programnya masing-masing dengan cakupan
pembahasannya. Seperti bidang Kesaksian dan Pelayanan (KESPEL), cakupan
107
pembahasannya adalah meliputi pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan kesehatan
masyarakat, pemberdayaan bidang pendidikan, pemeliharaan dan pelestarian
lingkungan, penyadaran bahaya narkoba dan HIV/ID, penanggulangan bencana,
KDRT, dan kesetaraan gender.36
Adapun rencana kerja GKS selama tahun 5 tahun yang berjalan ini
mengenai masalah pemeliharaan dan pelestarian lingkungan yakni, 1) Pemanfaatan
lahan gereja. Program ini hanya dilakukan di jemaat dan klasis. Karena jemaat dan
klasis yang memiliki lahan untuk dikelola entah untuk menanam pohon atau pun
untuk berkebun. 2) Sosialisasi hutan keluarga. Program ini dilakukan di semua aras,
baik jemaat, klasis atau pun sinode. Alasannya karena bisa dilakukan oleh semua
keluarga dengan menanam pohon-pohon di kompleks rumah pribadi. Apalagi di
Sumba, setiap keluarga pasti memiliki lahan pribadi, sehingga itu bisa dimanfaatkan
untuk pengembangan lingkungan hidup melalui penanam pohon-pohon umur panjang.
3) pemeliharaan dan pelestarian sumber air. Bagian ini juga dilakukan di semua aras
baik jemaat, klasis maupun sinode. Ini merupakan hal penting, mengingat air
merupakan salah kebutuhan dasar manusia dan makhluk hidup lain. Sehingga penting
sekali untuk tetap menjaga dan melestarikan sumber air di Sumba. 4) Pelatihan
pembibitan anakan bagi warga jemaat. Kegiatan ini juga dilakukan pada semua aras
seperti diatas. Hal ini dikarenakan masih banyak warga jemaat belum mengerti akan
hal ini.37
Program-program kerja ini memang merupakan hasil perdebatan bersama
dalam persidangan-persidangan, baik sidang sinode, majelis sinode atau staf sinode,
36
Majelis Sinode GKS. Garis-Garis Besar Kebijakan Umum Tahun 2014-2018. BPMS GKS. (Waingapu:
2014), 27-28.
37
Ibid., 28.
108
tetapi program ini masih sangat sederhana dan sangat terbatas. Jika hal ini dilihat dari
rekomendasi dalam pembahasan mengenai pendidikan lingkungan, maka program
mengenai lingkungan hidup seharusnya bersifat holistik. Artinya, bukan hanya
membahas penghijauan, tetapi melihat masalah-masalah yang lain juga hingga sampai
pada masalah kesadaran. Program ini bukan hanya sekedar wacana atau rencana tetapi
program ini harus mendorong partisipasi aktif dan menekankan tanggung jawab.
Masalah keberlanjutan program masih terus bermasalah hingga saat ini.
Karena dari data yang didapat, terlihat bahwa yang melakukan program sesuai GBKU
atau pun yang sudah mengembangkannya, hanya beberapa jemaat saja. Yang paling
aktif dan berkelanjutan khususnya di jemaat Tanggamadita. Di mana hutan keluarga
yang dikembangkan GKS sangat berkembang di sana. Hal ini juga menjadi salah satu
kemajuan yang berarti yang sudah dilakukan GKS. Meski pun ide ini pertama-tama
dari pemerintah yang memperkenalkan hutan rakyat tetapi kemudian, GKS
mengembangkan ide tersebut dengan cara yang lebih spesisfik yakni hutan gereja dan
hutan keluarga.
Melalui program ini, secara tidak langsung GKS sedang menguatkan basis
keluarga. Hal ini merupakan awal yang baik untuk lebih mengembangkan kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Karena basis keluargalah yang menjadi dasar untuk
menyadarkan warga jemaat secara keseluruhan.
Untuk mendasari usaha-usaha ini, maka GKS tentunya perlu untuk
memahami dengan baik tujuan pendidikan lingkungan dan hal-hal itu harus berjalan
bersama-sama karena ketiganya saling melengkapi dan menguatkan. Mengingat
pendidikan lingkungan merupakan proses seumur hidup, artinya selama manusia
109
menikmati kehidupan maka sangat penting juga untuk terus mengembangkan dan
mempelajari
pendidikan
lingkungan
hidup
dengan
baik.
Supaya
dalam
mengembangkan sikap dan tindakan, manusia selalu sadar bahwa lingkungan hidup
merupakan salah satu bagian terpenting dalam hidupnya yang harus dijaga dan
dilindungi. Karena jika lingkungan hidup terancam maka kehidupan manusia sendiri
bersama makhluk yang lain juga terancam.
Lebih lanjut, pendidikan lingkungan hidup dilihat juga sebagai bidang
interdisipliner yang holistik secara alami dan sebagai sebuah aplikasi. Di mana
fokusnya terletak pada hubungan antara manusia dan alam.38 Pemahaman seperti ini
juga sebenarnya yang harus menjadi dasar dari pemahaman GKS dalam mewujudkan
kepeduliannya terhadap lingkungan hidup. Hubungan ini seharusnya dilihat sebagai
sesama subjek yang sama-sama dihargai keberadaannya, bukan subjek-objek yakni
yang satu menguasai yang lain. Selain itu, lingkungan hidup juga harus dipandang
secara keseluruhan yang mencakup aspek sosial, politik, ekonomi, teknologi, moral,
aesthetic dan spiritual.39 Karena aspek-aspek ini memiliki hubungan yang erat dengan
lingkungan. Contoh: Ketika meningkatkan teknologi tepat guna, aspek lingkungan
hidup harus menjadi pertimbangan yang utama, agar teknologi yang digunakan tidak
merusak lingkungan hidup. Karena apa yang ditemukan pada masa sekarang ini
banyak teknologi yang merugikan dan merusak lingkungan hidup oleh karena semua
orang menginginkan yang serba cepat atau instan.
Kemudian, jika dilihat dari sejarah perkembangan pendidikan lingkungan,
bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan berada pada tahap pemberdayaan yakni
38
Joy A. Palmer, Environmental Education in the 21st Century. The Taylor & Francis e-Library. (2003:New York),
10
39
Ibid., 11
110
yang terjadi pada tahun 1990an.40 Di mana pada beberapa tahun terakhir ini GKS
sedang melakukan pembahasan secara serius mengenai masalah lingkungan hidup.
Hal ini dilakukan lewat sosialisasi dan penetapan bulan Agustus sebagai bulan peduli
lingkungan hidup. Melalui kegiatan-kegiatan ini GKS sedang mengupayakan
penyadaran yang bertujuan untuk mengubah perilaku-perilaku warga jemaat yang
kurang memperhatikan lingkungan hidup agar belajar dan mengaplikasikannya.
Usaha ini memang belum memberikan hasil yang memuaskan karena masih
banyak jemaat yang belum melakukan program-program seperti yang sudah
ditetapkan dalam GBKU. Keadaan ini memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang
menyebabkan sehingga masih banyak warga jemaat yang belum menyadari
pentingnya menjaga lingkungan hidup. Salah satunya bentuk sosialisasi dan
komunikasi yang dibangun. Bagaimana GKS memperkenalkan dan mengajarkan
tentang arti lingkungan hidup serta apa yang sedang terjadi sekarang ini.
4.4 Kesimpulan
Kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup memang sudah ada, hanya saja ketika
persoalan dihubungkan dengan beberapa teori yang penulis sudah uraikan, ditemukan
bahwa:
Bentuk kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup masih sangat terbatas yaitu
hanya berpusat pada kegiatan penghijauan.
Hal ini disebabkan karena fungsi sosial gereja yang tidak berjalan dengan baik
karena terkait dengan tanggung jawab pendeta jemaat yang kurang melaksanakan
tugasnya dengan baik.
40
Ibid., 240
111
Sikap etis yang dikembangkan masih sebatas pada human-centered yaitu
pemahaman yang berpusat pada manusia padahal seharusnya juga life-centered.
Kurangnya dasar teologi yang kuat, sehingga ini menjadi salah satu sumber
masalah kurangnya kepedulian GKS terhadap lingkungan hidup.
Model pendidikan lingkungan yang dikembangkan masih bersifat umum dan
terbatas hanya pada masalah penghijauan.
Pokok penting yang dipelajari, GKS memakai keluarga sebagai basis utama untuk
mengembangkan kepeduliannya terhadap lingkungan hidup melalui hutan
keluarga, disamping ada unsur human-centerd di dalamnya.
112
Download