Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO (The Effects of Spermatozoa Concentration of Postcapacity on In Vitro Fertilization Level) SUMARTANTO EKO C.1, EKAYANTI M. KAIIN1, KUNDRAT HIDAJAT2 dan SUTARMAN MIHARDJA2 1 Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 16911 2 Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran, Jl.Raya Sumedang, Sumedang ABSTRACT The purpose of this study is to investigate the effects of post capacitation-spermatozoa concentration on in vitro fertilization level. The study used oocytes of Brahman cross (BX) cattle and sperm of Onggole bulls. Oocytes were maturised in TCM-199 media for 24 hours. Diluents for spermatozoa and fertilization were Brackett and oliphant (BO). In vitro fertilization was conducted in 6 hours, zygot culture was using CR1aa media for 48-72 hours to obtain embryo of two cells. Maturation, fertilization and culture was undertaken in incubator oxoid 5% CO2 in 38.5oC. Fertilization was applying four spermatozoa concentrations (K1 = 1 x 106 cells/100 µl; K2 = 3 x 106 cells/µl; K3 = 5 x 106 cell/µl; K4 = 7 x 106 cells/µl). Results showed that oocyte fertilization levels of all treatments was significantly affected (P<0.05); K1 (10%), K2 (16%), K3 (20%) and K4 (24%). Spermatozoa concentration of 5 x 106 cells/100 µl (K3) produced significant fertiilization level (P <0.05) than other concentrations. Key words: Spermatozoa concentrations, level of fertilization, in vitro fertilization ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi spermatozoa pascakapasitasi terhadap tingkat fertilisasi in vitro. Penelitian ini menggunakan oosit dari sapi Brahman Cross (BX) dan sperma berasal dari sapi Peranakan Onggole (PO). Oosit dimaturasi dalam media TCM-199 selama 24 jam. Adapun media pengencer spermatozoa dan fertilisasi adalah Brackett and Oliphant (BO). Fertilisasi in vitro dilakukan selama 6 jam, kultur zigot menggunakan media CR1aa selama 48–72 jam sehingga didapatkan embrio dua sel. Maturasi, fertilisasi dan kultur dilakukan dalam inkubator Oxoid 5% CO2 dengan temperatur 38,5oC. Perlakuan fertilisasi menggunakan empat konsentrasi spermatozoa (K1 = 1 x 106 sel/100µl, K2 = 3 x 106 sel/100µl, K3 = 5 x 106 sel/100µl, K4 = 7 x 106 sel/100µl). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat fertilisasi oosit untuk semua perlakuan berpengaruh secara nyata (P<0,05), K1 (10%), K2 (16%), K3 (20%), K4 (24%). Perlakuan konsentrasi spermatozoa 5 x 106 sel/100µl (K3) menghasilkan tingkat fertilisasi yang nyata lebih baik (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi lainnya. Kata kunci: Konsentrasi spermatozoa, tingkat fertilisasi, fertilisasi in vitro PENDAHULUAN Pertambahan penduduk Indonesia pada saat ini, menuntut peningkatan populasi hewan ternak untuk mencukupi kebutuhan protein hewani. Pada saat ini, populasi sapi menunjukkan penurunan. Berbagai upaya yang telah dilakukan di lapangan antara lain Inseminasi Buatan dan Transfer Embrio. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam transfer embrio diantaranya adalah produksi 44 embrio yang transferable. Produksi embrio dapat dilakukan dengan cara in vitro dan in vivo. Embrio yang diperoleh dengan cara in vitro lebih banyak dan relatif lebih murah dibandingkan dengan cara in vivo. Keberhasilan fertilisasi in vitro tergantung pada kualitas sel telur, kualitas dan konsentrasi spermatozoa, media kultur, waktu dan temperatur inkubasi. Spermatozoa yang diperlukan untuk proses fertilisasi secara normal adalah spermatozoa yang telah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 mengalami kapasitasi (PARTODIHARJO, 1992). Menurut BEDFORD dalam TOELIHERE (1981), kapasitasi adalah suatu proses persiapan atau perubahan fisiologik yang dialami spermatozoa di dalam saluran kelamin betina untuk mempertinggi daya fertilitasnya. Pada beberapa penelitian sebelumnya konsentrasi spermatozoa yang digunakan dalam fertilisasi in vitro adalah: 1 x 106 sel/ml menghasilkan persentase oosit yang difertilisasi sebesar 43,6% (KANAGAWA et al., 1989), sedangkan peneliti lainnya menggunakan konsentrasi 104,105,106, dan 107 sel/ml menghasilkan persentase oosit yang difertilisasi masing-masing sebesar 14%, 60%, 90%, dan 89% (SAEKI et al., 1994). Adapun TAPPA et al. (1995) telah menggunakan konsentrasi 2–4 x 106 sel/ml dan menghasilkan persentase oosit yang difertilisasi sebesar 86,4%. Penggunaan konsentrasi 5 dan 106 sel/ml menghasilkan persentase oosit yang difertilisasi sebesar 78,2% dan 73% (TAKAHASHI et al., 1992) dan konsentrasi 1; 2,5; 5; dan 10 x 106 sel/ ml menghasilkan persentase oosit yang difertilisasi sebesar 36%, 47%, 76% dan 82% (TAKAHASHI et al., 1993). Adapun konsentrasi 1,87; 5,01; dan 9,87 x 106 sel/ml memperoleh persentase oosit yang difertilisasi sebesar 30,34%; 52,94%; dan 55,47% (PALOMO et al., 1993). Inseminasi dengan dosis 20 x 106 sel/ml, memberikan peluang terjadinya proses fertilisasi yang menghasilkan embrio berkriteria embrio polyspermi. Embrio polyspermi umumnya tidak mampu berkembang dan tidak transferable. Penggunaan konsentrasi spermatozoa yang tepat perlu menjadi perhatian untuk memperoleh tingkat fertilisasi terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi spermatozoa pasca kapasitasi yang lebih efisien dalam memperoleh tingkat fertilisasi secara in vitro. MATERI DAN METODE Bahan dan alat penelitian Bahan yang digunakan adalah ovarium sapi BX, yang diambil adalah oosit immature, semen sapi Peranakan Onggole (PO), NaCl fisiologis, antibiotik, Dulbecco’s Phospat Buffer Saline (DPBS), Tissue Culture Medium (TCM)–199, medium Brackett–Oliphant (BO), dan lain-lain. Alat yang digunakan adalah laminar air flow (Clean Bench), Inkubator CO2 yang dilengkapi tabung Oxoid, water bath, sentrifus, mikroskop, termos, termometer, gunting bedah, filter syringe 0,2 µm, disposible syringe, cawan petri besar (φ = 85 mm, t = 15 mm) dan cawan petri kecil (φ = 35 mm ,t = 10 mm), gelas ukur, botol media, haemocytometer, dan lain-lain. Metode penelitian Pengumpulan ovarium dan koleksi oosit Ovarium dikumpulkan setelah pemotongan, kemudian dibersihkan dari jaringan lemak, lalu dicuci dengan larutan NaCl fisiologis yang mengandung antibiotik. Kemudian dimasukkan ke dalam termos berisi NaCl fisiologis hangat yang mengandung antibiotik dan segera dibawa ke laboratorium untuk diproses. Koleksi oosit immature dari folikel ovarium dilakukan setelah media aspirasi oosit, (DPBS + 3% CS) tersedia. Ovarium dikeringkan dengan kertas tissu steril, lalu diaspirasi menggunakan syringe 5 ml dengan jarum 18 G. Oosit immature diaspirasi dari folikel primer/ sekunder dengan diameter 2–5 mm, kemudian ditempatkan di dalam cawan petri besar dan diamati di bawah mikroskop untuk menyeleksi oosit yang akan dimaturasi. Maturasi oosit in vitro Media maturasi yang digunakan adalah TCM-199 + 10% calf serum. Oosit immature berkualitas A diambil dan dicuci dalam petri yang terpisah berisi media cuci. Kemudian, 10 buah oosit dipindahkan ke dalam satu spot maturasi yang berukuran 50 µl dalam petri yang lainnya. Setelah itu diinkubasi dalam inkubator Oxoid 5% CO2, bertemperatur 38oC selama 24 jam. Prosesing spermatozoa Penampungan semen dilakukan di kandang milik Puslit Bioteknologi LIPI. Sapi yang digunakan adalah sapi PO, penampungan semen dilakukan dengan metode vagina 45 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 buatan. Semen yang diperoleh dievaluasi secara makroskopis dan mikroskopis di laboratorium. Pengenceran semen menggunakan larutan tris dan kuning telur, dengan komposisi 80% Tris dan 20% kuning telur. Pengenceran dilakukan untuk mencapai konsentrasi 40 x 106 sel/ml. Spermatozoa harus dikapasitasi secara in vitro terlebih dahulu, agar spermatozoa mengalami proses persiapan dan perubahan fisiologis, sehingga mempertinggi daya fertilitasnya. Proses kapasitasi spermatozoa menggunakan media BO dengan metode sentrifugasi. Pengenceran spermatozoa Penelitian ini menggunakan empat macam perlakuan konsentrasi spermatozoa. Adapun perlakuan adalah sebagai berikut: K1 = 1 x 106 sel/0,1ml, K2 = 3 x 106 sel/0,1 ml, K3 = 5 x 106 sel/0,1 ml dan K4 = 7 x 106 sel/ml. Fertilisasi in vitro Spermatozoa hasil kapasitasi dan pengenceran disiapkan dalam petri dan diinkubasi di tabung Oxoid dalam inkubator 5% CO2 dengan temperatur 38,5oC selama 1 jam. Pada saat prainkubasi spermatozoa, dilakukan pencucian oosit yang telah dimaturasi menggunakan media OWS. Setelah pra inkubasi spot fertilisasi berakhir, sebanyak 10 oosit tadi dimasukkan ke dalam 100 µl larutan spermatozoa (satu spot). Kemudian dilakukan proses fertilisasi dan disimpan dalam inkubator selama 6 jam. Perkembangan embrio Setelah 6 jam fertilisasi, oosit yang dibuahi dicuci dalam petri cuci, kemudian dipindahkan ke spot kultur berisi media CR1aa dan kembali disimpan dalam inkubator Oxoid. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam untuk melihat perkembangan embrio dan penggantian media dilakukan setiap 48 jam. Metode analisis Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Langkap dengan analisis statistik sidik ragam. Untuk melihat perbedaan pengaruh antar perlakuan dilakukan dengan menggunakan uji Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh konsentrasi spermatozoa pasca kapasitasi terhadap tingkat fertilisasi in vitro Data mengenai pengaruh konsentrasi spermatozoa pascakapasitasi terhadap tingkat fertilisasi in vitro, yang diperoleh selama penelitian, disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan data tersebut di atas, menunjukkan bahwa rataan persentase tingkat fertilisasi in vitro yang dihasilkan berkisar antara 10% sampai dengan 24%. Oosit yang difertilisasi dengan konsentrasi spermatozoa 7 x 106 sel (K4) ternyata memberikan tingkat fertilisasi paling tinggi (24%), sedangkan tingkat fertilisasi terendah didapat dari konsentrasi spermatozoa 1 x 106 sel (K1). Tabel 1. Pengaruh konsentrasi spermatozoa pascakapasitasi terhadap tingkat fertilisasi in vitro Jumlah oosit yang difertilisasi Jumlah embrio dua sel (%) Tingkat fertilisasi (K1) 1 x 106 50 5 10a (K2) 3 x 106 50 8 16ab 6 50 10 20b 6 50 12 24b Perlakuan (Sel/0,1ml) (K3 ) 5 x 10 (K4) 7 x 10 - Nilai (%) tingkat fertilisasi didapat dari jumlah embrio tahap dua sel yang terbentuk dibagi dengan jumlah oosit yang difertilisasi dan dikalikan 100% - Huruf yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata 46 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,05) dari pengaruh konsentrasi spermatozoa pasca kapasitasi terhadap tingkat fertilisasi in vitro. Berdasarkan hasil Uji Jarak Berganda Duncan pada Tabel di atas, terlihat bahwa oosit yang difertilisasi dengan konsentrasi spermatozoa 5 dan 7 x 106 sel menghasilkan tingkat fertilisasi secara nyata lebih baik (p<0,05) dari pada konsentrasi 1 x 106 sel, tetapi tidak lebih baik dari pada konsentrasi 3 x 106 sel. Konsentrasi 3 x 106 sel juga tidak berbeda nyata dengan 1 x 106 sel. Konsentrasi spermatozoa merupakan salah satu faktor yang penting untuk menunjang keberhasilan dari tingkat fertilisasi (BRACKETT dan OLIPHANT, 1975). Penggunaan konsentrasi spermatozoa yang efisien sangat diperlukan, karena jika konsentrasinya terlalu tinggi, maka kemungkinan terjadinya polyspermi akan semakin besar, dan menyebabkan perkembangan embrio yang tidak sempurna. Konsentrasi spermatozoa yang lebih baik adalah 5 x 106 sel (K3) dan 7 x 106 sel (K4), terlihat dari hasil tabel di atas. Kedua konsentrasi tersebut mempunyai peluang lebih besar untuk proses bertemunya dengan sel telur, sehingga menghasilkan tingkat fertilisasi sebesar 20% dan 24%. Konsentrasi yang lebih efisien adalah konsentrasi 5 x 106. Pada tabel di atas menunjukkan konsentrasi tersebut berbeda nyata dengan konsentrasi 1 x 106 sel tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 3 x 106 sel dan 7 x 106 sel. Konsentrasi 3 x 106 sel bukan merupakan konsentrasi yang efisien, karena konsentrasi tersebut tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 1 x 106 sel. Konsentrasi 7 x 106 sel merupakan konsentrasi dengan tingkat fertilisasi tertinggi yaitu 24%. Konsentrasi ini mempunyai peluang kejadian polyspermi yang lebih tinggi karena jumlah sperma yang lebih banyak. Sehingga konsentrasi yang lebih efisien untuk digunakan pada fertilisasi in vitro berdasarkan penelitian ini adalah 5 x 106 sel. Adapun hasil penelitian fertilisasi in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya menggunakan konsentrasi spermatozoa, masing-masing sebesar 1, 2, 5 dan 10 x 106 sel/ ml, dan tingkat fertilisasi yang dihasilkan masing-masing sebesar 36%; 47%; 76% dan 82% (TAKAHASI et al., 1993), 4–6 x 106 spermatozoa/ml (CHIAN et al., 1992). KESIMPULAN DAN SARAN Konsentrasi spermatozoa sapi pasca kapasitasi K1 = 1 x 106 sel/0,1 ml; K2 = 3 x 106 sel/0,1 ml; K3 = 5 x 106 sel/0,1 ml; K4 = 7 x 106 sel/0,1 ml berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap tingkat fertilisasi oosit masing-masing sebesar 10%(K1), 16%(K2), 20%(K3) dan 24% (K4). Konsentrasi spermatozoa 5 x 106 sel/0,1 ml (K3) menghasilkan tingkat fertilisasi yang lebih baik dan efisien dari pada konsentrasi lainnya. Untuk melihat konsentrasi spermatozoa yang paling tepat perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan konsentrasi spermatozoa antara 3 x 106 sel/0,1 ml dan 5 x 106 sel/0,1 ml. DAFTAR PUSTAKA BRACKETT, B.G. dan G. OLIPHANT. 1975. Capatitation of rabbit spermatozoa in vitro. J. Biol. Reprod.12: 260–274. CHIAN, R.C., H.NAKAHARA, K. NIWA dan H. FUNAHASHI. 1992. Fertilization and Early Cleavage In Vitro of Ageing Bovine Oocytes After Maturation In Culture. Theriogenology 37: 665–672. KANAGAWA, H., MAZNI–ABAS. O. and CONRADO A. VALDEZ. 1989. Oocyte Maturation and in vitro fertilization in farm animals. Biotechnology for livestock production. FAO. Japan. 1989. 79–93. PARTODIHARDJO. S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Cetakan ke-tiga. Penerbit Mutiara Sumber Widya, Jakarta. 203–206. PALOMO,.M.J, T. MOGAS, M.D. IZQUIERDO and M.T. PARAMIO. 1993. Effect of Heparin and Sperm Concentration on IVF of Prepubertal Goat Oocyte. Theriogenology. 1993: 43 (1): 292. (Abstract). TOELIHERE, M.R. 1981, Fisioligi Reproduksi pada Ternak. Cetakan ke-dua. Penerbit Angkasa. Bandung. TAPPA, B., E.M. KAIIN dan S. SAID. 1995. Maturasi dan fertilisasi in vitro oosit sapi perah; hubungan kondisi sapi, ovari dan kualitas oosit folikel. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. 35–37. 47 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 TAKAHASHI, Y. and N.L. FIRST. 1992. In vitro culture of bovine one-cell embryos fertilized in vitro using synthetic oviduct fluid medium with and without glucose and supplemented with fetal calf serum. Anim. Reprod. Sci. 31: 34–47. 48 TAKAHASHI, Y. and N.L. FIRST. 1993. In vitro fertilization of bovine oocyte in presence of theophylline. Anim. Reprod. Sci.. 34: 1–18.