KONSEPSI FILOSOFIS DI BALIK MUSIK SHOLAWAT

advertisement
KONSEPSI FILOSOFIS DI BALIK MUSIK SHOLAWAT
CAMPURNGAJI
Oleh Bambang Sunarto
Abstrak
Penelitian ini membahas musikalitas dan konsepsi filosofis di balik fenomena musik
Sholawat Campurngaji. Maksud dari penelitian adalah mengungkap ide-ide yang
mendasari eksistensi suatu musik dan semangat silaturahmi budaya dari suatu komunitas
muslim pinggiran yang memanfaatkan musik sebagai simbol eksistensinya. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik disertai metode interpretif
untuk mengungkap dan mengurai pemikiran-pemikiran konseptual yang tersembunyi.
Musikalitas dalam musik ini meliputi repertoar, instrumentasi, syair, dan sistem modal
yang digunakan sebagai elemen sistemik dalam bermusik. Konsepsi filosofis di balik musik
ini dapat dipilah ke dalam dua ketegori, yaitu asumsi praktis, dan gagasan konseptual,
yang keduanya bermanfaat sebagai acuan kinerja kreativitas bermusik. Pemahaman
mengenai wujud musikalitas beserta konsepsi filosofis yang menjadi dasarnya dapat
menjadi acuan untuk memahami budaya musik masyarakat muslim pinggiran. Pemahaman
demikian dapat berguna untuk membantu berbagai pihak untuk lebih memahami intensitas
kemanusiaan suatu komunitas muslim melalui ekspresi budaya musiknya.
A. Pengantar
Di kampung Debegan, Kalurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Surakarta ada
satu grup musik, yang oleh masyarakat disebut musik Sholawat Campurngaji. Penyebutan
ini menunjukkan bahwa musik ini mengacu pada musik Campursari sebagai referensi
artistiknya, sehingga musik ini pun dapat dikatakan sebagai musik hibrida berkarakter poprakyat. Selain bersifat hibrida, musik ini juga merupakan ekstensi dialektis dari musik
Campursari, karena terbentuk oleh dialektika antara (1) musikalitas pop-rakyat, (2) kondisi
sosial dan (3) semangat keberagamaan Islam.
Wujud musik ini ibarat tumbuhan hasil kawin silang. Di dalamnya terdapat
persenyawaan beberapa elemen yang menjadi satu. Sebagian unsurnya dipetik dan
dirumuskan dari entitas musik-musik populer yang pernah ada, dan sebagian yang lain dari
musik-musik tradisi etnik yang bersifat kerakyatan dan ke-Islam-an. Musik ini adalah
manifestasi konsepsi filosofis bagi eksistensi musik dan pertunjukannya. Penelitian ini
penting, karena mengungkap ide-ide yang mendasari eksistensi musik dan semangat
keberagamaan sebagai pesan nilainya.
Harus diakui bahwa tulisan yang secara langsung membahas fenomena Sholawat
Campurngaji belum pernah ada. Tetapi tulisan mengenai genre musik yang musikalitasnya
menjadi cikal bakal lahirnya sub-genre musik Sholawat Campurngaji sudah pernah ada;
yaitu tulisan tentang musik Campursari. Tulisan itu bermanfaat untuk menegaskan format
sub-genre musik yang sekarang menjadi kajian ini. Sebab, ada benang merah yang sangat
jelas yang dapat dipertautkan antara musik Campursari dan musik Sholawat Campurngaji.
Tulisan Supanggah (2000-a) menegaskan bahwa musik Campursari adalah
manifestasi kekuatan budaya adaptive. Campursari adalah musik baru yang mengandung
kemodernan semu. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dapat dikatakan bahwa musik
Sholawat Campurngaji juga merupakan musik baru yang mengandung kemodernan semu.
Sebab, musik itu tidak didasari keseimbangan pemahaman inti dan hakekat estetika dua
genre musik yang dicampurkan. Bagi Supanggah, musik jenis ini tidak menunjukkan sound
ideal, yang secara musiko-epistemologis bisa dipertanggungjawabkan (2000: 5-19).
Waridi (2001) memiliki pandangan searah dengan Supanggah. Ia berkeberatan
bahwa gêndhing digarap dengan pendekatan seperti Campursari dan Sholawat
Campurngaji. Terutama garap yang mengadaptasi laras slendro-pelog yang dipaksa
dimainkan dengan laras diatonis. Ia khawatir naturalitas karakter laras slendro-pelog dan
makna-maknanya yang established akan hilang. Sementara itu, Setiono (2003) seperti
membela eksistensi musik Sholawat Campurngaji. Penolakan terhadap eksistensi Sholawat
Campurngaji dan Campursari sebagai cikal bakalnya ia anggap sebagai pemikiran yang
terjebak narasi normative expectation. Menurutnya, rezim estetik pemeluk normative
expectation memandang campursari dan segala bentuk turunannya sebagai rezim lain yang
harus diperhalus, dibina, dimatangkan, diberi bobot dan seterusnya agar pada akhirnya
kelak dapat berposisi layak untuk disebut "kesenian". Setiono juga melihat bahwa Sholawat
Campurngaji dan juga Campursari sebagai musik hibrida bukan merupakan gejala musikal
semata-mata. Ia melihatnya sebagai wacana budaya, manifestasi proses global yang
mendera ideologi seni di Jawa dan atau “ke-Jawa-an”.
Tentu penelitian ini bukan dimaksud untuk mengabsahkan rezim tertentu yang
hendak
“mengangkat
derajat”
rezim
lain
yang
dipandang
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan. Penelitian ini dilakukan semata untuk coba mengelaborasi
kenyataan musikologis secara deskriptif sambil selanjutnya menunjukkan bukti-bukti
adanya konsepsi filosofis yang hidup dan berkembang di balik realitas musikal dan
performance musik Sholawat Campurngaji. Tentu, di balik kenyataan musikologis ada
banyak persoalan yang cukup pentig untuk diungkap. Namun dalam kesempatan ini,
penelitian difokuskan pada sesuatu yang tersemai dalam gagasan, sebagai pijakan bagi
eksistensi musik Sholawat Campurngaji. Artinya, ada berbagai konsep yang mendasari
eksistensi musikal pada musik Sholawat Campurngaji. Konsep-konsep itu adalah prinsip
yang dipilih para kreator, yang dijadikan dasar argumen bagi maksud dan wujud kreativitas
2
dengan segala hasilnya. Prinsip itu berkenaan dengan kepemilikan karya yang telah ada,
dan penempatan setiap karya dan capaian-capaian nilainya untuk kepentingan
pengembangan nilai-nilai.
Agar dapat mengungkap sesuatu yang tersemai dalam gagasan sebagai basis
eksistensi musik Sholawat Campurngaji, perlu diungkap deskripsi musikalitas sinkretik
pada musik ini. Setelah musikalitas tergambarkan, kemudian dipaparkan hal-hal yang
tersemai dalam gagasan itu. Pemaparan musikalitas sinkretik dilakukan dengan metode
deskriptif analitik. Pemaparan mengenai hal-hal yang tersemai dalam gagasan akan
diungkap beberapa konsepsi filosofis dengan menggunakan metode interpretif untuk
mengungkap dan mengurai pemikiran-pemikiran konseptual yang tersembunyi.
Pemaparan mengenai musikalitas diawali dengan memaparkan masalah repertoar,
yang disusul dengan uraian tentang instrumentasi, syair dan sistem modal. Pemaparan
mengenai konsepsi filosofis dipilah ke dalam dua ketegori, yaitu asumsi praktis, dan
gagasan konseptual, yang keduanya bermanfaat sebagai acuan kinerja kreativitas bermusik.
Repertoar yang ada mencakup musik pambagiharjo, musik untuk sambutan, musik untuk
ritual, lagu-lagu pengajian, dan terakhir adalah musik penutup. Lagu-lagu pengajian juga
dapat dipilah dalam beberapa tipologi, diantaranya adalah tipe gendhing, tipe lagu populer,
tipe lagu rakyat, dan tipe lagu pesantren. Asumsi praktis yang menjadi dasar kreativitas
adalah konsepsi mèlu payu, dan konsepsi ngêmban amanat. Adapun gagasan konseptual
yang juga menjadi acuan utama dalam kreativitas bermusik adalah gujêngan fikih, adaptasi
dan sinkretisasi, serta estetika dakwah.
B. Musikalitas Sinkretis
Musik ini memiliki elemen-elemen yang meliputi (1) repertoar, (2) instrumentasi,
(3) syair, dan (4) system modal. Repertoar berkenaan dengan tipe-tipe musik terkait dengan
fungsi dan konteksnya. Instrumentasi adalah alat-alat musik untuk mewadahi persepsi dan
orientasi selera estetik. Syair adalah bunyi-bunyi verbal yang menjadi aksidensi musik,
yang tidak dapat dilepaskan dari konotasi sastra. Adapun sistem modal adalah pola artistik
berupa kaidah, norma dan patokan untuk menentukan tingkah laku berpola dalam ekspresi
musik.
1. Repertoar
Repertoar musik Sholawat Campurngaji dapat dibedakan dalam lima kategori,
yaitu (1) musik pambagiharjã, (2) musik sambutan, (3) musik ritual, (4) lagu-lagu
3
pengajian, (5) musik penutup. Masing-masing repertoar memiliki tipikalitas makna, fungsi
dan karakter. Makna, fungsi dan karakter itu tidak dapat dilepas dengan nilai intrinksik
yang dikandung.
a. Musik Pambagiharjã
Musik pambagiharjã adalah musik untuk penghormatan. Fungsinya untuk
menyatakan ungkapan terima kasih dan selamat datang kepada tamu undangan. Dalam
budaya Jawa, pambagiharjã adalah pernyataan atau ungkapan rasa hormat yang mendalam.
Pernyataan itu dapat dilakukan secara (1) verbal dan lisan, dan dapat juga dalam bentuk (2)
non-verbal. Wujud ungkapan verbal biasanya dalam bentuk pidato, wujud ungkapan nonverbal berupa ungkapan yang bersifat (2a) visual dan (2b) auditif.
Ungkapan non-verbal yang bersifat visual diekspresikan lewat penataan dengan
1
memperindah tempat dan lingkungan sekitar penyelenggaraan hajat . Ungkapan non-verbal
auditif adalah menggunakan bunyi-bunyian musik. Dalam budaya Jawa, pambagiharjã
biasanya menggunakan gendhing-gendhing karawitan Jawa. Gendhing-gendhing yang
digunakan biasanya disebut gêndhing-gêndhing pambagiharjã atau manguyu-uyu. Namanama gêndhing pambagiharjã atau manguyu-uyu dalam karawitan Jawa mencerminkan
maksud-maksud
yang
secara
ketakziman, dan seterusnya.
simbolik
bermakna
kerendahhatian,
penghormatan,
Namun dalam musik Sholawat Campurngaji nama-nama
gêndhing kurang mendapat perhatian dan pemaknaan secara simbolik. Sebab, yang
dipentingkan adalah ekspresi kegembiraan
dan kemeriahan sebagai manifestasi
penghormatan.
b. Musik Untuk Sambutan
Musik ini digunakan sebagai pengantar pidato sambutan. Seperti kebiasaan dalam
setiap hajat di Jawa, biasanya, sambutan terdiri atas beberapa pidato, sesuai kehendak
shohibbul hajat atau yang punya kerja (gawe). Namun, jika tidak ada pidato-pidato dari
1
Untuk hajat perkawinan misalnya, ungkapan non-verbal visual biasanya berupa pembuatan dan penataan
kêrun atau gapura tradisional menuju rumah yang digunakan untuk hajatan, pemasangan tarup yang dihiasi
berbagai tuwuhan, hingga pemasangan umbul-umbul yang masing-masing memiliki makna simbolis. Tarup
adalah penambahan pelampang atap, sengkuap atau tenda sementara yang biasanya digunakan untuk
keperluan berpesta merayakan suatu hajat. Tuwuhan adalah Tuwuhan adalah tanaman. Biasanya, di tempat
berlangsungnya hajat selalu dihiasi dua pohon pisang dengan buahnya yang telah matang. Dua pohon pisang
itu adalah gambaran secara simbolik bahwa suami akan menjadi pemimpin keluarga di tengah kehidupan
bermasyarakat. Sebagaimana pohon pisang, suami istri kelak dapat tumbuh dengan baik di manapun pasangan
itu berada. Umbul-umbul adalah bendera atau panji-panji panjang, dipasang memanjang ke atas, dan bagian
atasnya tidak selebar bagian bawahnya.
4
pihak-pihak yang dianggap perlu, setidaknya ada satu sambutan yang tidak pernah
ditinggalkan, yaitu pidato pambagiharjã. Untuk mengekspresikan kegembiraan dan
penghormatan terhadap yang berpidato, sebelum yang bersangkutan berjalan dan saat
berjalan menuju ke tempat pidato dilaksanakan, diberikan penghormatan berupa musik
pengiring. Repertoar ini menggunakan gendhing yang diadopsi dari gendhing-gendhing
pakurmatan dalam karawitan Jawa, yaitu gendhing Udan Mas.
c. Musik Untuk Ritual
Musik untuk ritual adalah musik yang digunakan untuk menyertai penyelenggaraan
aktivitas tradisional yang berhubungan dengan ritus dan upacara tertentu. Ritual adalah
aktivitas yang bersifat spesifik, religius, merupakan cara untuk mengekspresikan sikap
hidup yang dibimbing oleh keyakinan spiritual, terkait dengan asas-asas “religi” tertentu.
Jadi, musik untuk ritual adalah manifestasi sikap hidup dan keyakinan spiritual seseorang
terkait dengan asas-asas religi yang dipeluknya.
Di dalam tradisi Jawa, banyak ritual yang hidup dan diyakini untuk dilaksanakan.
Di antaranya adalah ritual yang terkait dengan siklus hidup seperti tingkêban, sêlapanan,
têtakan (untuk laki-laki) atau têtêsan (untuk perempuan), dan perkawinan. Ada juga ritual
yang tidak termasuk siklus hidup melainkan ritual karena sebab-sebab khusus, yaitu
ruwatan. Ritual-ritual itu semua adalah jenis-jenis ritual yang bersifat pribadi atau
individual. Namun, ada juga ritual yang bersifat kemasyarakatan, seperti misalnya bêrsih
désa. Di sisi lain, di masyarakat Jawa muslim juga berkembang tradisi ritual yang
mencerminkan ekspresi kebudayaan Islam-Jawa, yaitu tasyakuran, walimatul aqiqoh,
têtakan atau têtêsan, dan perkawinan.
Kebanyakan, musik Sholawat Campurngaji terlibat ritual dalam rangka
menggenapkan acara hajatan terkait dengan ritual-ritual ke-Islam-an itu. Namun, tidak
semua hajat terdapat upacara ritual yang harus dilaksanakan secara eksplisit, dengan
performance of actions yang khusus, memiliki prosedur urut dan teratur sebagai tata cara
adat. Hanya ada dua hajat yang memiliki performance of actions khusus itu, yaitu
walimatul aqiqoh dan perkawinan.
Untuk ritual walimatul aqiqoh, menggunakan musik tertentu. Ritual itu tercermin
pada prosesi pemotongan rambut si anak yang diupacarai dengan ritual aqiqoh itu. Musik
yang digunakan untuk menyertai dan mengantarkan suasana khidmad pemotongan rambut
itu adalah sholawat dengan syair Asyoqol.
5
2
Untuk perkawinan di Jawa sesungguhnya terdapat banyak jenis ritual . Namun,
ritual yang sering dilaksanakan dengan kemeriahan musik Sholawat Campurngaji
hanyhalah ritual panggih dan sungkeman. Ritual ini terdiri dari tiga macam prosesi. Prosesi
pertama adalah jalannya pengantin wanita menuju pelaminan. Prosesi kedua adalah
jalannya atau datangnya pengantin pria menuju rumah keluarga pengantin wanita. Prosesi
ketiga adalah pelaksanaan têmu pêngantin atau panggih. Tugas musik Sholawat
Campurngaji adalah membangun suasana khidmad dalam tiga prosesi itu. Untuk
menciptakan suasana khidmad diperlukan tiga jenis karakter komposisi musik yang
berbeda. Prosesi pertama diiringi musik dengan syair sholawat, Tola’al Badru. Prosesi
kedua diiringi musik dengan syair, Sholawat Badar.
Prosesi ketiga adalah pelaksanaan têmu pêngantin atau panggih, yaitu bertemunya
rombongan kedua mempelai saling berhadapan, seorang wanita pengiring pengantin pria
maju, memberikan sanggan kepada ibu pengantin wanita, sebagai tanda penghormatan.
Setelah penyerahan usai, ayah pengantin wanita berjalan di depan kedua pêngantin yang
telah diberdiri bersebelahan (jèjèr), dan ibu pêngantin wanita berdiri di belakang kedua
mempelai. Mereka berempat berjalan menuju kursi pelaminan, atau krobongan. Pada saat
berjalan menuju ke pelaminan itu ibu pêngantèn wanita menutupi pundak pasangan
pengantin dengan kain sindur. Dalam prosesi ini, mulai dari penyerahan sanggan hingga
berjalannya kedua mempelai beserta ayah dan ibu pêngantèn wanita, diiringi musik dengan
syair sholawat, Asyroqol seperti yang digunakan untuk mengiringi prosesi potong rambut
dalam ritual aqiqoh.
d. Lagu-lagu Pengajian
Lagu-lagu pengajian adalah repertoar yang digunakan mubaligh sebagai ilustrasi
dalam ceramah. Lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu yang sudah dikenal di
masyarakat, baik (1) lagu-lagu pop, (2) lagu-lagu dalam karawitan, maupun (3) lagu-lagu
yang berkembang di masyarakat muslim Jawa. Lagu-lagu itu adalah bagian penting dari isi
ceramahnya.
2
Ritual perkawinan di sebenarnya cukup banyak, diantaranya adalah têmu pengantin atau panggih, balangan
suruh, wiji dadi, sindur binayang, kacar-kucur, sungkêman, timbang, bubak kawah, tumpak punjèn dan
seterusnya. Namun, tidak semua ritual dilaksanakan pada setiap hajat perkawinan. Namun ada jenis ritual
yang tidak pernah tertinggal dari setiap hajat perkawinan di Jawa, yaitu ritual panggih atau têmu pengantin
dan sungkêman. Kedua ritual itu diselenggarakan di rumah dan atas tanggungjawab keluarga mempelai
wanita.
6
Pada saat mubaligh menyajikan lagu sebagai ilustrasi ceramahnya, para musisi
musik Sholawat Campurngaji mengiringi penyajian itu, sesuai kehendak mubaligh.
Spontanitas mubaligh ditanggapi secara spontan pula oleh para musisi, sesuai
perbendaharaan lagu yang dikuasai oleh mubaligh. Repertoar ini dapat dikelompokkan
dalam beberapa tipe, yaitu (1) tipe gêndhing, (2) tipe lagu populer, (3) tipe lagu rakyat, dan
(4) tipe lagu pesantren.
1) Tipe Gêndhing
Gêndhing adalah komposisi musik perwujudan budaya musik karawitan. Wujudnya
adalah “real-time” susunan relatif bermacam-macam melodi instrumen dan vokal yang satu
sama lain saling mengisi secara poliponik. Dalam musik Sholawat Campurngaji, berbagai
repertoar yang memiliki karakter seperti itu dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori,
yaitu (1) kategori gêndhing klasik atau tradisional dan (2) kategori gêndhing-gêndhing
langgam.
Pengertian klasik dalam seni adalah karya atau garap yang “dipahami sebagai top
quality”, dianggap paling bermutu atau memiliki nilai kekal, dan bahkan dianggap
sempurna sebagai standard dari jenisnya. Sedangkan pengertian tradisional biasanya terkait
dengan cara, metoda, atau gaya yang bersifat khas sebagai warisan masa lalu yang hidup di
dalam masa kini, yang eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan pola berfikir, pola
bertindak, pola berperilaku atau pola bersikap sebagai kebiasaan kultural.
Di dalam
karawitan, wujud standard berupa arrangement karya-karya musikal yang memiliki ciri-ciri
khusus yang ditransmisikan melalui cara-cara tradisi lisan, yang kreator atau penciptanya
sering bersifat anonim. Maka, gêndhing klasik atau tradisional adalah gêndhing yang cara,
metoda, atau gayanya bersifat khas, warisan masa lalu yang hidup di dalam masa kini, yang
eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan pola berfikir, bertindak, berperilaku atau
bersikap sebagai kebiasaan kultural masyarakatnya.
Adapun gêndhing-gêndhing langgam adalah konstruksi musikal yang berbentuk
3
gêndhing yang dilekati ciri-ciri langgam dalam musik keroncong. Gêndhing jenis ini
3
Harmunah (1987: 17) menerangkan langgam sebagai suatu konsep yang berkaitan dengan bentuk lagu. Lagu
berbentuk langgam selalu menunjuk ciri-ciri konstruksi yang (1) jumlah biramanya terdiri dari 32 bar, (2)
tidak memiliki bagian intro 3 dan coda3 secara khusus, (3) sukat atau time signature biramanya berbentuk 4/4,
(4) susunan bentuk bait-bait kalimatnya tersusun dalam urutan A-A-B-A, (5) dalam penyajiannya, biasanya
lagu dibawakan dua kali, ulangan kedua bait A-A dibawakan secara instrumenal, kemudian disusul vokal
pada bait B, dan dilanjutkan ke A, (6) jika diperlukan adanya intro biasanya diambilkan dari melodi yang
terdapat pada empat birama terakhir dari lagu itu, (7) jika diperlukan coda, diambil dari seluruh melodic
sequence dari lagu itu.
7
bersifat kreasi pop yang masih mempertimbangkan struktur dan elemen-elemen garap
konvensional, namun mengutamakan kebaruan ekspresi dengan menggunakan bentuk
langgam dalam musik keroncong. Jadi, gêndhing langgam adalah perpaduan karakter antara
konstruksi musikal gêndhing dan lagu langgam dalam musik keroncong. Di dalam musik
Sholawat Campurngaji, gêndhing-gêndhing langgam diambil dari gêndhing yang telah
terkenal pada musik Campursari.
2) Tipe Lagu Populer
Orang memahami lagu populer adalah lagu yang terkenal di masyarakat karena
menjadi bagian dari kebudayaan massa (Sunarto, 1987: 18-22; Mack, 1995: 33). Namun,
dalam konteks ini lagu poluler bukan semata-mata lagu yang mengesankan bagi masyarakat
karena kaitannya dengan kebudayaan massa. Namun, lagu-lagu yang disukai masyarakat
karena sering ditirukan kebanyakan orang, karena memiliki struktur gramatik yang mudah.
Lagu populer adalah lagu yang dibuat berdasarkan tangga nada diatonis.
Penggarapan dan penyajiannya menggunakan sistem musik Barat. Sistem harmoni selalu
digunakan dalam membentuk komposisi musikalnya. Ciri yang mudah dikenali adalah
penggarapan lagu secara homoponi, yaitu penggarapan yang didasarkan pada sistem akord
dengan menempatkan secara simultan nada-nada harmoni sesuai ketentuan sejajar dengan
melodi lagu pokok atau lagu dasar.
3) Tipe Lagu Rakyat
Karakteristik lagu rakyat dan lagu populer, dan bahkan dengan lagu klasiktradisional (terutama lagu-lagu klasik-tradisional Jawa) sering kali tumpang-tindih. Batasbatas antar kategori ini dapat dikatakan kabur. Boleh jadi, untuk lagu rakyat pada budaya
musik rakyat tertentu mengadaptasi lagunya dari lagu klasik-tradisional, dan kadang juga
dari lagu-lagu populer. Di sisi lain, musik populer, betapapun berkembang di dalam budaya
urban dan ditransmisikan lewat media massa, tidak jarang juga mengambil elemen-elemen
yang menjadi ciri-ciri lagu rakyat dari budaya musik rakyat tertentu.
Kebanyakan musik yang berkarakter kerakyatan, termasuk lagu-lagu rakyat, selalu
dibuat tanpa menggunakan notasi. Di dalam bagian-bagian lagunya, terdapat tangga nada,
ritme maupun kontur melodi yang mirip dengan karakter musik lain yang dekat dengan
budaya musik sumbernya. Cukup jelas bahwa lagu rakyat yang dimaksudkan di sini adalah
lagu rakyat Jawa, yang tentu saja ritme, tangga nada maupun kontur melodinya sering mirip
dengan karakteristik lagu-lagu vokal pada gêndhing-gêndhing Jawa. Namun, ada pula lagu
8
rakyat yang tangga nada, ritme maupun kontur melodinya mirip dengan lagu-lagu pop yang
pernah tumbuh dan berkembang di Jawa.
4) Tipe Lagu Pesantren
Lagu pesantren adalah lagu yang tumbuh dan berkembang di kalangan para santri.
Biasanya, syair-syairnya menggunakan bahasa Arab, dan karakteristik melodi lagunya juga
memiliki kekhasan tersendiri. Berbeda dari lagu-lagu rakyat Jawa dan lagu-lagu populer
pada umumnya. Kekhasan ini diduga karena modalitasnya berpijak pada tradisi musik
Arab. Melodi lagu-lagu Arab memiliki sifat khas karena tercipta berdasarkan keteraturan
tatanan mode yang di Arab disebut maqamat dengan interval-interval yang lebih kecil
4
(microtones) dibanding semitone musik Barat.
Lagu-lagu pesantren berasal dari qasidah dan diba’. Syair-syairnya berisi pujipujian atas Nabi Muhammad SAW, sholawat, do’a munajat, tawassul dan lain-lain. Karena
menggunakan basis maqamat, maka tangga nada yang digunakan pun dekat dengan tangga
nada diatonis, karena tatanan nada-nada dalam maqamat hampir dekat dengan sistem mode
yang digunakan pada musik Barat. Bedanya, maqamat tidak menggunakan akord,
sedangkan musik Barat sangat mempertimbangkan akord.
e. Musik Penutup
Repertoar ini disebut musik penutup karena digunakan untuk menandai
berakhirnya semua acara yang tersusun di dalam hajat atau performance itu. Setelah
berakhirnya seluruh acara, seperti acara-acara pambagiharjã, sambutan-sambutan, acaraacara
ritual,
kemudian
ceramah
pengajian
disertai
penyajian
lagu-lagu
yang
mengilustrasikan isi pengajian, maka disajikan musik tertentu yang difungsikan sebagai
penanda yang menegaskan berakhirnya seluruh acara yang telah dilangsungkan.
Ada dua tipe musik penutup yang sering disajikan untuk mengakhiri hajat atau
performance musik sholawat campurngaji. Pertama adalah musik yang bertipe lagu
pesantren, kedua adalah musik yang bertipe gêndhing. Musik penutup yang bertipe lagu
pesantren biasanya adalah lagu sholawat dengan syair Asyoqol. Seperti dijelaskan di atas
bahwa lagu ini biasa digunakan sebagai musik ritual pada tahalul di saat walimatul aqiqoh
maupun musik ritual upacara panggih dalam upacara pengantin. Penggunaan sholawat
dengan syair Asyoqol sebagai musik penutup itu dilakukan manakala hajat dan pertunjukan
4
Interval terkecil pada laras atau tangga nada diatonis, atau separuh nada dari nada utuh.
9
yang terselenggara tidak terdapat ritual yang menggunakan lagu sholawat dengan syair
Asyoqol itu. Pada saat mengakhiri semua acara, digunakanlah kesempatan itu untuk
menyajikan sholawat dengan syair Asyoqol sebagai penutup semua acara. Namun, jika hajat
penyelenggaraan musik Sholawat Campurngaji terdapat ritual yang menyajikan lagu itu,
maka pantang untuk melakukan pengulangan. Agar tidak terjadi pengulangan, maka
disajikan musik penutup bertipe gêndhing. Musik penutup yang bertipe gêndhing biasanya
mengacu pada kebiasaan penutup pada budaya musik klenengan. Artinya, repertoar yang
digunakan adalah gêndhing-gêndhing yang dalam budaya musik klenengan sering
difungsikan sebagai gêndhing penutup, yaitu gêndhing Ladrang Gléyong, laras pélog
pathêt nem.
2. Instrumentasi
Musik Sholawat Campurngaji memiliki karakter pop-tradisi kerakyatan, karena
persepsi dan selera estetik yang tampak dalam wujudnya adalah selera yang kuat melekat
seperti pada kecenderungan selera massa. Lebih khusus pada massa muslim periferal.
Selera itu adalah kecenderungan pendengar untuk memiliki kesan mendalam terhadap
musik-musik yang sedang hidup dan berkembang di masyarakat melalui berbagai media
massa. Sebagai manifestasi dari persepsi dan selera estetik yang cenderung kepada selera
massa, musik Sholawat Campurngaji mengacu musik-musik atau lagu-lagu populer. Oleh
karena itu, instrumen-instrumen dan cara menggarapnya pun diupayakan dapat mewadahi
selera estetika seperti itu. Lagu-lagu populer biasanya lahir, tumbuh dan berkembang dalam
berbagai kelompok dan jenis band-music (baca: group musik) yang tumbuh dalam motivasi
entertaintmen atau komersial, atau gabungan dari keduanya. Kecenderungan band yang
berkembang sekarang adalah band yang menggunakan instrumen campuran, yaitu (1)
keyboard elektronik, (2) drum bass, (3) simbal, dan (4) bass gitar elektrik.
Di dalam komposisi musik Sholawat Campurngaji, fungsi bass-gitar elektrik tidak
semata-mata untuk memberi aksen, tetapi seringkali berfungsi sebagai pembuat ornamen
ritmik. Hal ini terjadi manakala komposisi yang dimainkan mengacu pada jenis musik nonkarawitan. Namun, pada saat komposisi mengacu pada struktur musik karawitan maka
bass-gitar elektrik pun mengadaptasikan fungsinya menjadi instrumen balungan dan
instrumen colotomic atau instrumen struktural. Pengertian instrumen colotomic adalah
istilah yang lazim digunakan oleh para sarjana Barat untuk menyebut instrumen struktural.
Sementara itu, istilah instrumen struktural adalah istilah yang diajukan oleh Rahayu
Supanggah ketika ia membuat klasifikasi fungsional berbagai instrumen gamêlan. Ada
10
kelompok instrumen yang digolongkan ke dalam instrumen balungan, ada kelompok
instrumen garap, dan terakhir adalah instrumen struktural. Instrumen balungan adalah
instrumen-instrumen yang permainannya sangat dekat dengan lagu balungan gêndhing,
seperti instrumen saron barung, dêmung, saron pênêrus, slênthêm, dan bonang pênêmbung.
Sedangkan instrumen struktural adalah instrumen yang fungsinya membangun jalinan
permainan dengan membentuk struktur berdasarkan dan menentukan bentuk gêndhing.
Yang termasuk kategori instrumen ini adalah kêthuk, kêmpyang, êngkuk, kêmong, kênong,
kêmpul, gong, kêcèr, kêmanak, dan kêndhang.
Di dalam ensambel musik Sholawat Campurngaji, instrument garap dan instrument
struktural tidak pernah dihadirkan. Dalam rangka untuk menyajikan komposisi musik atau
lagu-lagu yang mengacu pada struktur musik karawitan hanya dihadirkan instrument musik
jenis balungan. Itupun tidak lengkap, karena hanya instrument sarong barung, dêmung, dan
saron pênêrus semata. Untuk semakin menegaskan sifat komposisi musikal yang bersifat
karawitan juga dihadirkan instrument kendhang, yang berupa kendhang Jawa dan kendhang
Sunda.
3. Syair
Syair adalah teks verbal berkonotasi sastra. Menurut Sadi Hutomo, sastra adalah
dunia dalam kata, ekspresi pikiran dan perasaan manusia dengan menggunakan bahasa
yang konteks dengan zaman dan tempatnya (1993: 317). Bagi para kreator syair atau sastra
pada umumnya, bahasa adalah materi dasar bagi ciptaannya. Di dalam bahasa terkandung
tidak saja beban sosial tetapi juga beban kultural masyarakat di mana para penciptanya
tinggal. Artinya, para pencipta di dalam berkarya selalu terikat oleh warisan sosial-budaya
masyarakat pemakai bahasa.
Sastra adalah sumber informasi nilai-nilai dan cita-cita khas para anggota di tiap
lapisan komunitas dan generasi pemilik sastra (Ras, 1985: 1). Terutama jika dikaji dari sisi
wacana syairnya, nilai-nilai dan cita-cita itu tampak sebagai muatan yang sangat penting.
Sedangkan teks adalah essensi wujud bahasa. Teks terealisasi dalam bentuk wacana dan
syair pun mewujud menjadi bentuk wacana. Sementara itu, hakekat wacana adalah wadah
seperangkat gagasan yang berada dalam bingkai ekspresi lewat bahasa.
Di dalam masyarakat Jawa, wacana sebagai warisan sosial-budaya tercermin pada
(1) dialek yang dianggap baku dan tidak baku, (2) ragam bahasa formal, informal, dan
sastra, dan (3) tingkatan tutur (undha-usuk), cermin ekspresi terkait dengan tata-krama
budaya Jawa. Tingkatan tutur adalah indikasi tutur yang sopan dan yang tidak sopan.
11
Dilihat dari tingkatan tutur dalam budaya Jawa, hampir setiap kata dalam bahasa Jawa
memiliki sinonim yang mencerminkan strata sosial penutur dalam wacana. Penggunaan
sinonim sebagai cermin strata sosial penutur diikat oleh asas-asas kebahasaan. Sebuah kata,
dengan makna tertentu selalu memiliki padanan sesuai tingkatannya yaitu; ngoko dan
krãmã. Ciri pokok pembagian itu terletak pada bentuk dan jenis katanya yang satu sama
lain berbeda (Sudaryanto, 1989: 99).
Ngoko digunakan oleh pemilik status sosial lebih tinggi kepada pemilik status sosial
lebih rendah. Atau, digunakan pemilik status sosial rendah ditujukan kepada pihak lain
rendah pula status sosialnya. Krãmã digunakan orang dengan status sosial rendah, ditujukan
kepada yang lebih tinggi, dan digunakan oleh orang yang statusnya sama, namun masingmasing hendak menghormati satu sama lain. Dari penggunaan bahasanya, menunjukkan
bahwa musik Sholawat Campurngaji dikreasi dan dicipta oleh para mubaligh dan seniman
yang hidup di tengah masyarakat kelas bawah. Wacana musikal yang dibangun lewat
repertoar-repertoarnya juga ditujukan untuk komunitas atau masyarakat kelas bawah,
masyarakat kebanyakan.
4. Sistem Modal
Sistem modal adalah sistem pengaturan yang menentukan format laras atau tangga
nada dalam suatu genre musik. Jadi, sistem modal adalah tatanada dalam suatu penyusunan
dan penyajian karya musik. Pendekatan, acuan musikal, atau kerangka teoretis untuk
membangun musik Sholawat Campurngaji, sebagaimana terjadi pada musik Campursari
menggunakan teori musik Barat dan karawitan secara simultan. Kedua pendekatan itu
dipadukan dengan pelarasan instrumen-instrumen jenis perkusi yaitu saron, dêmung dan
saron pênêrus secara permanen dengan menggunakan salah satu tangga nada musik Barat.
Pelarasan dilakukan berdasar ambitus kemampuan suara vokal para vokalis yang tergabung
dalam kelompok musik itu, yaitu berada dalam tangga nada D minor, sehingga nada-nada
yang digunakan adalah sebagai berikut.
D
E
F
G
A
B
C
y
u
1
2
3
4
5
La
si
do
re
mi
fa
sol
12
Dalam perspektif musik Barat, tangga nada minor telah memenuhi kebutuhan untuk
permainan tangga nada major, jika nada F atau do (1) dijadikan nada dasar. Berarti, semua
instrumen musik Barat dapat menggunakan nada dasar F major, bersama instrumen perkusi
yang dilaras dengan tangga nada D minor. Pada sistem modal dalam karawitan, semua
nada dalam tangga nada minor dapat secara langsung berfungsi untuk laras sléndro dan
pélog yang menjadi sistem baku musik karawitan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
susunan nada berikut ini.
Status dalam
Diatonis
y
u
1
2
3
4
5
La
si
do
re
mi
fa
sol
3
4
5
6
7
pat
mo
nêm
pi
Status dalam
Pélog
1
2
Ji
ro
lu
Status dalam
Sléndro
1
Ji
2
3
5
6
ro
lu
mo
nêm
Di dalam musik Sholawat Campurngaji ada usaha-usaha untuk dapat bermain
musik secara luwes. Artinya, agar dapat memainkan lagu-lagu yang berbasis non karawitan
dan berbasis karawitan ke dalam satu perangkat instrumen tanpa perlu ada pergantian salah
satu instrumennya dilakukan modifikasi laras, terutama untuk instrumen saron, dêmung
dan saron pênêrus. Dengan repertoar, instrumentasi, syair, dan sistem modal seperti itu,
secara musikologis dapat dibayangkan kemungkinan-kemungkinan musikalitas macam apa
yang dapat dimainkan, dan dengan cara bagaimana musikalitas itu dapat diwujudkan.
Kemungkinan-kemungkinan itu mengikat têba kreativitas, terutama berkenaan dengan
pilihan garap dan melodik.
13
C. Konsepsi Filosofis
Konsepsi filosofis pada dasarnya adalah makna yang menjadi acuan bagi eksistensi
musik ini. Makna selalu memiliki “sifat intrinsik” (Leech, 2003: 7). Makna filosofis adalah
nilai-nilai yang ada di balik benda atau peristiwa. Nilai-nilai yang terkandung dalam suatu
benda atau peristiwa tersimpul hubungan antara benda atau peristiwa dengan subyek yang
berhubungan dengannya (Gazalba, 1978: 483).
Jadi, makna filosofis adalah dimensi
aksiologis suatu benda atau peristiwa.
Di
balik
musik
ini
juga
terkandung nilai-nilai,
berupa
gagasan
yang
termanifestasikan ke dalam bentuk musikalitas, serta tujuan-tujuan yang menjadi harapan.
Ini berarti, di balik musikalitas Sholawat Campurngaji terdapat keyakinan terkait dengan
maksud untuk membangun “image” tertentu di dalam pikiran audiensnya. Di balik musik
ini terdapat pemikiran yang terumuskan dalam bentuk blue print musikalitas.
Di dalam blue print terkandung substansi yang memberi dasar pengembangan
format kreasi musik. Sebelum nilai-nilai itu mewujud dalam berbagai konsep, sebelum
konsep-konsep terumuskan dengan baik dalam suatu gagasan, sesungguhnya ada suatu hal
yang sangat penting yang menjadi dasar terumuskannya konsep-konsep yang berisi nilainilai. Hal penting itu tidak lain adalah asumsi dasar, yaitu nilai-nilai yang taken for granted
yang mewarnai pemikiran dan gagasan atas wujud musikalitas. Artinya, sebelum ada nilainilai etik dan estetik maupun ide garap yang mewujud menjadi konsep-konsep, telah ada
substansi yang berperan memberikan arah kreativitas dalam membentuk musikalitas dan
penyajiannya. Substansi itu adalah asumsi praktis. Substansi ini menghasilkan rumusan
konsep-konsep dan pengertian serta nilai-nilai yang mewarnai pemikiran dan gagasan atas
wujud musikalitasnya. Jadi, di balik musikalitas terapat pemikiran yang bersifat filosofis
berupa (1) asumsi praktis, dan (2) konsep-konsep.
1. Asumsi Praktis
Asumsi yang berkembang di balik musik ini tidak dapat dilepaskan dari ungkapan
yang sering muncul di kalangan kreator dan penggagas lahirnya musik ini. Ungkapan itu
pada hakekatnya adalah keterangan atau patokan pikir5 yang digunakan sebagai kerangka
untuk terlibat, memikirkan, dan menciptakan format musik dengan penuh kesadaran.
Ungkapan sebagai keterangan, wujudnya dapat berupa penjelasan berkenaan dengan suatu
5
Asas-asas dasar yang dianggap benar tanpa diperlukan adanya pembuktian dan digunakan sebagai acuan
dalam pengambilan keputusan.
14
hal yang dianggap sebagai sesuatu yang benar6. Sedangkan ungkapan sebagai patokan pikir
dapat berujud istilah-istilah yang berisi suatu pengertian tertentu. Pengertian yang ada di
balik istilah itu digunakan sebagai acuan untuk berkarya. Sebagaimana pengertian asumsi,
pengertian yang ada di balik istilah itu juga diyakini sebagai sesuatu yang benar. Dua
ungkapan penting yang menjadi asumsi praktis dan prinsip berkarya ini adalah ungkapan
mèlu payu dan ngêmban amanat.
a. Mèlu Payu
Istilah ini merupakan representasi keyakinan yang berkembang di dalam pikiran
para kreator yang berkenaan dengan konsep etika. Di masyarakat Jawa peripheral, istilah
mèlu payu sudah sangat umum dikenal. Arti harafiahnya adalah “ikut laku”. Di dalamnya
berisi pengertian yang tidak sejalan atau bertentangan dengan kecenderungan nilai-nilai
yang sekarang “mengglobal”, yaitu nilai-nilai yang diwadahi dalam konsep intellectual
property right. Sebab, konsep mèlu payu adalah suatu prinsip bahwa capaian karya bukan
semata-mata milik orang yang mencapai dan yang berkarya. Capaian karya adalah milik
“semesta” yang harus dimanfaatkan sebagai sarana untuk memakmurkan, merubah, dan
membentuk kualitas kehidupan dan kepribadian manusia. Jadi, setiap orang memiliki hak
untuk ikut serta memetik manfaat atas capaian dan karya siapapun yang dapat diambil
manfaatnya.
Di balik konsep itu tersirat keyakinan bahwa prestasi bukan semata-mata milik
orang yang berprestasi. Karya bukan semata-mata milik orang yang berkarya. Oleh karena
itu, setiap capaian dan karya wajib untuk dimanfaatkan, terutama untuk meningkatkan
kualitas kemaslahatan hidup bersama. Setiap capaian dan karya yang telah diterima
masyarakat karena sifat dan jasa hakikinya harus dijadikan sumber rujukan. Tujuannya
adalah terbentuknya masyarakat sipil berperilaku sosial yang penuh kemaslahatan, baik di
tingkat individu ataupun ditingkat kolektif. Setiap capaian dan karya yang berkembang di
masyarakat dapat dipetik sebagai “sumber inspirasi” dan rujukan atau acuan bagi karya
yang lahir di belakangnya.
Seperti sempat di singgung di atas, konsep ini berseberangan dengan kecenderungan
nilai-nilai yang sedang diupayakan berbagai pihak menjadi nilai yang mendunia. Hal ini
dapat dilihat dengan jelas dari sisi HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual) atau IPR
6
Meskipun sesungguhnya keterangan itu boleh jadi dapat dipercaya, dapat diragukan, atau mungkin juga
dapat ditolak. Artinya, pernyataan-pernyataan atau keterangan yang dianggap benar itu boleh jadi dapat benar
dan boleh jadi dapat juga salah.
15
(Intellectual Property Right). Mengapa harus dilihat dari sisi ini, karena HKI atau IPR
adalah satu-satunya konsep yang mencerminkan adanya penegasan hukum berkenaan
dengan kepemilikan hak atas karya-karya intelektual tanpa melihat batas-batas geografis7.
Secara substantif pengertian HaKI dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan
intelektual yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Adapun yang
disebut kekayaan intelektual adalah setiap capaian dan karya di bidang ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni8. Dalam kecenderungan global, setiap capaian atau karya diasumsikan
berisi hak atas kekayaan intelektual yang secara alamiah terkandung di dalamnya.
Pemanfaatannya diatur sedemikian rupa, dan hakekat pengaturannya adalah untuk
melindungi pribadi pemilik capaian dan karya untuk sebesar-besarnya menikmati manfaat
ekonomi atas capaian dan karya itu. Jadi, HKI atau IPR memberi privilege khusus kepada
pihak-pihak tertentu untuk mengambil manfaat. Di dalam Undang-undang Hak Cipta
dengan tegas dikatakan bahwa setiap ciptaan ada penciptanya, dan pencipta adalah
pemegang hak cipta9.
Secara implisit, prinsip mèlu payu adalah suatu prinsip yang menisbikan pengaturan
hak dan kepemilikan sebagaimana terumuskan dalam hukum positif di berbagai Negara di
dunia maupun di Indonesia. Hakekat yang terkandung di dalam prinsip itu adalah kesadaran
sepenuhnya untuk memanfaatkan capaian dan karya yang berjasa atau diperhitungkan akan
berjasa kepada masyarakat. Mèlu payu dapat diartikan sebagai ikut arus berlakunya atau
payu-nya suatu capaian dan karya-karya tertentu yang telah diterima masyarakat. Namun,
di balik itu tidak ada keinginan dari para pemeluk “ideologi” melu payu itu untuk memetik
keuntungan material. Hal ini tampak dari ungkapan ustadz Dasuki, salah seorang kreator
dari kelompok musik Sholawat Campurngaji seperti berikut;
“Nèk ajêng mêndêt kêuntungan matèri napa nggih murwat to Mas? Wong
tiyang-tiyang niku nèk nanggap kula sak konca sêjatiné nggih koyo déné
mung pitulungan kok…Pitulungan kanggo sanak kadang sing pingin
7
Upaya itu tercermin dengan jelas dalam berbagai undang-undang yang berkenaan dengan HaKI. Undangindang semacam itu tidak saja dibuat di Indonesia tetapi juga hampir di seluruh dunia, terutama di Negaranegara yang terikat dengan TRIPS, GAT, dan WTO. Secara factual, sejak dasawarsa delapan puluhan HaKI
telah menjadi wacan dan diaplikasikan sebagaiu hukum positif di Indonesia.
8
Di dalam dunia internasional yang juga diterima di Indonesia, pengertian kekayaan intelektual disebut juga
sebagai intellectual property. Artinya adalah hak milik intelektual yang terdapat pada karya-karya kreatif, asli,
dan yang memiliki nilai ekonomi dan mendapat perlindungan hukum, meliputi hak cipta, hak paten, merek
dagang, desain produk dan seterusnya.
9
Sedangkan pengertian pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta atau orang yang
menerima hak tersebut dari pencipta atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut di
atas. Hak yang dimaksudkan adalah hak khusus untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya
maupun hak untuk memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16
khajatané niku rêgêng. Mpun,…mboten nganggo napa-napa, mboten
dibayar”
(Kalau mau mengambil keuntungan materi apa ya layak to Mas? Orangorang itu kalau meminta kami pentas sesungguhnya seperti pertolongan
kok. Pertolongan untuk sanak saudara yang ingin hajatnya meriah.
Sudah,…tidak memakai apa-apa, tidak dibayar).
Satu hal yang mereka inginkan adalah memanfaatkan capaian dan karya tertentu
yang telah diterima masyarakat dalam rangka memetik keuntungan sosial. Jadi orientasi
mereka bukan keuntungan material melainkan penempatan posisi signifikan dalam
mengambil peran-peran sosial. Untuk itu ustadz Darminto yang merupakan salah seorang
koordinator kelompok musik Sholawat Campurngaji juga menjelaskan seperti berikut;
“Tumrap kula sak konca, tanggapan niku mung dingo njêmbarké
pasêduluran. Mbotên èntên napa-napané. Napa malih nganggo kontrak
barang. Wah,…mbotên naté. Tur nggih mbotên mungkin to Mas nèk
nganggo kontrak-kontrakan barang. Ngotên niku malah isa mbingungké
sing ajêng nanggap. Napa malih isiné mêngênai pêrjanjian bab bayaran.
Tumrapé kula sak konca, ngotên niku rasané kok kados ngurangi
kêikhlasan”
(Bagi kami, permintaan pentas itu hanya untuk memperluas persaudaraan.
Tidak ada apa-apanya. Apalagi pakai kontrak segala. Wah,…tidak pernah.
Lagi pula ya tidak mungkin to Mas kalau pakai kontrak-kontrakan segala.
Hal seperti itu malah dapat membingungkan orang yang mau meminta
pentas. Apalagi isinya mengenai perjanjian yang berkaitan dengan
pembayaran. Bagi kami, hal seperti itu rasanya kok seperti mengurangi
keikhlasan).
Hakekat prinsip mèlu payu secara sengaja dipertimbangkan untuk memanfaatkan
dan mengambil keuntungan sosial dari kekayaan intelektual yang ada pada pihak lain.
Karena tidak ada keuntungan material yang didapatkan, maka mereka merasa tidak perlu
memohon ijin dari pemilik dan atau pemegang hak. Ketika ditanya mengenai izin
menggunakan lagu-lagu karya orang lain yang telah populer di masyarakat, ustadz Dasuki
mengatakan:
“Wong niyat kula sak konca niku rak mbotên bisnis. Ning, kados sing tak
aturké têng ngajêng wau, nggo nulung sanak kadang sing mbutuhké, bèn
khajatané rêgêng, tur rêgêngé niku mbotên cêngkah kalih anggêr-anggêré
syariat. Dadi nggih mbotên pêrlu ijin. Lha nèk ajêng kula nggé bisnis, niku
béda mêlih. Sing pênting niku sanès matèri kok mas. Sing pênting niku
bebrayan, kalih nggawé tuwuhé rasa kamanungsan niku lho,…”
(Niyat kami itu kan tidak bisnis. Tetapi, seperti saya sampaikan di depan
tadi, untuk menolong sanak saudara yang membutuhkan, biar hajatnya
meriah, dan kemeriahannya itu tidak bertentangan dengan batasan-batasan
syariat. Jadi ya tidak perlu ijin. Lha kalau akan saya gunakan untuk bisnis,
itu beda lagi. Yang penting itu bukan materi kok mas. Yang penting itu
kesejahteraan bersama, dan membuat tumbuhnya rasa kemanusiaan itu
lho,...).
17
Jadi, hakekat dari prinsip mèlu payu adalah kesadaran untuk menawarkan
kesempatan berinteraksi tanpa memikirkan keuntungan material dari intellectual property
yang ada pada pemilik dan pemegang hak. Aspek utama dari pengembangan prinsip mèlu
payu adalah berkembangnya relasi kemanusiaan yang mengarah kepada kesejahteraan
bersama dalam konstelasi immaterial. Jadi, di balik itu dapat dipahami bahwa prinsip mèlu
payu adalah semangat memanfaatkan potensi-potensi yang telah berjasa, untuk digunakan
dalam konteks sosial services.
b. Ngêmban Amanat
Dalam prakteknya, musik ini memanfaatkan potensi-potensi musik yang dikreasi,
dibuat, dan disebarluaskan dengan pertimbangan-pertimbangan sekuler sebagai sarana
pengemban misi agama Islam. Sebab, bagi para kreator, bermain musik, mengkreasi musik,
dan/atau melakukan aktivitas musik adalah tugas untuk mengemban misi keagamaan.
Tujuannya adalah mengkomunikasikan kepada kelompok-kelompok masyarakat yang akan
menjadi sasaran pesan-pesan keagamaan. Agar komunikasi pesan-pesan keagamaan itu
dapat terkomunikasikan secara efektif, maka dipungutlah potensi-potensi tertentu untuk
mendukungnya. Kemudian, potensi-potensi itu dijadikan sumber penciptaan. Walaupun
sejak dini musik ini sengaja dibuat dengan motivasi dan tendensi keagamaan, potensi yang
berupa entitas-entitas, kualitas-kualitas dan substansi-substansi yang bersifat sekuler
dijadikan bahan, yang dapat digunakan sebagai elemen pembentuk genre musik. Jadi, di
dalam tubuh musik Sholawat Campurngaji terkandung tendensi yang secara terangterangan menempatkan posisi musik Sholawat Campurngaji sebagai sarana pengemban
amanat agama. Walaupun potensi-potensi artistik yang digunakan adalah potensi-potensi
yang pada mulanya dibuat dan dikreasi sama sekali tidak berdasarkan pertimbangan agama.
Dengan tendensi demikian, musik Sholawat Campurngaji secara terang-terangan
dibuat sebagai sarana untuk melaksanakan tugas menyampaikan ajaran-ajaran agama.
Kedudukan seperti itu sesungguhnya memang merupakan penempatan secara sengaja
bahwa musik hanyalah eksistensi yang boleh jadi hanya tersubordinasi. Asumsi demikian
sesungguhnya tidak saja memandang musik bukan saja terpisah dengan agama, melainkan
menjadikan musik semata-mata instrument bagi agama. Dalam pernyataan awam, sering
muncul dari dan dalam berbagai kesempatan ungkapan atau semboyan yang menyatakan
“musik sebagai sarana dakwah”, yang artinya musik hanyalah sekedar alat belaka.
18
Kecenderungan seperti itu sebenarnya rentan terhadap kritik. Sebab, hakekat musik
yang benar-benar diorientasikan sebagai seni dalam perspektif yang murni, dalam kaitannya
dengan agama tidak harus demikian. Seni tumbuh secara begitu saja, dan dalam konteks
dan suasana yang otonom. Namun, karya seni atau karya musik yang dibuat oleh orang
Islam yang cita rasanya muncul dan hadir atas asuhan agamanya selalu dapat dikatakan
sebagai seni atau musik yang berdimensi agama. Apalagi bila penciptaannya disertai
kesadaran untuk beribadah. Dalam hal musik secara umum, sesungguhnya dapat ditemukan
suatu pencirian yang bersifat umum yang secara substansial membedakan seni atau musik
Islami dari musik yang lain, tanpa perlu menempatkan seni atau musik sebagai instrument
agama.
2. Gagasan Konseptual
a. Gujêngan Fikih
Sebelum ditemukan konsep yang tepat di balik asumsi di atas, para kreator tidak
serta merta dapat mewujudkan prinsip dan keyakinannya itu. Mereka tidak serta merta
dapat membuktikan asumsi praktisnya yang masih bersifat etik-idealistik, menjadi sosok
wujud musik yang bersifat empirik-artistik. Ketidaksertamertaan itu membuat para kreator
harus berusaha mempelajari, mencari, dan mengembangkan pemahaman yang dapat
membantu mewujudkan prinsip dan keyakinannya itu. Ketidaksertamertaan itu menuntut
mereka berfikir keras untuk mendapatkan pemahaman sebagai pegangan berkarya.
Pegangan dalam bahasa para kreator musik Sholawat Campurngaji disebut
gujêngan. Kurang lebih adalah asas-asas yang dapat digunakan sebagai kaidah berfikir
dalam membuat putusan artistik. Asas-asas itu adalah prinsip dasar, prasyarat atau basis
argumen yang tidak dapat ditinggalkan, sehingga merupakan kebutuhan yang sangat
penting. Maka, pemenuhannya berarti adalah kaidah yang melengkapi alasan lahirnya
sosok musik Sholawat Campurngaji.
Hal penting yang harus ada, yang menjadi gujêngan, atau menjadi asas-asas untuk
menentukan keputusan artistik adalah pertimbangan fikih10. Fikih tidak lain adalah kaidah
10
Harun Nasution dalam Ensiklopedi Islam Indonesia menyatakan bahwa pengertian fikih adalah
pemahaman. Dalam Al Qur’an kata tersebut digunakan sebagai pernyataan yang berhubungan dengan otak
seseorang dalam memahami aspek-aspek agama. Sesuai pengertian itu, pada mulanya fikih tidak hanya
terbatas membahas aspek hukum semata, melainkan hampir seluruh aspek dalam agama. Kemudian,
mengertian fikih jadi menyempit, dan didefinisikan oleh para ahli ushul-fiqih sebagai pengetahuan tentang
hukum yang menyangkut perbuatan yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Jadi, fikih adalah hukum yang
dihasilkan oleh pikiran atau hasil ijtihad manusia, yang dasarnya adalah dalil-dalil agama, yaitu Qur’an dan
19
yang terkait dengan pemahaman atas dalil-dalil yang ada dan telah terumuskan di dalam
agama. Dalil adalah keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu pandangan,
pemahaman atau keyakinan mengenai kebenaran. Dalam Islam terdapat dua macam dalil
yang biasa digunakan untuk membuktikan kebenarannya. Pertama adalah dalil naqli yaitu
dalil yang diperoleh dari Al Qur’an dan Sunnah Rosulullah. Sedangkan yang kedua adalah
dalil aqli, yaitu dalil yang diperoleh, diturunkan, atau diputuskan berdasarkan akal atau
logika, terutama melalui analisa akal sebagaimana terjadi dalam pembahasan pada dunia
ilmu pengetahuan. Kata dalil, di sisi lain juga dapat diartikan sebagai kaidah, patokan
dalam suatu pembahasan, dan sebagai kaidah yang harus diaplikasikan kebenarannya.
Membicarakan fikih bagi musik berarti membicarakan status hukum musik dalam
konstelasi agama11. Membicarakan status hukum bagi musik pada hakekatnya juga
membicarakan dalil-dalil yang dijadikan dasar bagi penciptaan, kegiatan mendengarkan,
dan dasar bagi aneka macam aktivitas yang berhubungan dengan karya musik.
Membicarakan dalil-dalil bagi dasar terciptanya karya musik berarti juga membicarakan
pro-kontra yang ada sebagai akibat dari perbedaan atas banyaknya dalil yang membahas
masalah musik dan atau seni pada umumnya. Membicarakan pro-kontra berarti
membicarakan dalil-dalil yang mengharamkan dan membolehkannya.
Gambaran mengenai pro-kontra antar dalil dalam fikih musik, lagu/nyanyi, dan tari
telah digambarkan dengan sangat jelas oleh Yahya Omar (1983: 3) seperti berikut;
“Di dalam kitab-kitab tafsir dan hadist ditunjukan kepada kita bahwa musik,
lagu/nyanyi, dan tari sudah menjadi persoalan semenjak Nabi masih hidup.
Tetapi berhubung dengan banyaknya hadist-hadist yang diriwayatkan dari
Nabi dalam soal ini, sehingga hadist-hadist itu sendiri menjadi persoalan
pula, baik tentang sanadnya maupun maksudnya, maka hukumnya pun
menjadi persoalan pula semenjak dari masa sahabat-sahabat sampai kepada
masa para mujtahidin. Sebahagian mengharamkan sedangkan sebahagian
yang lain membolehkan. Pendapat-pendapat yang berlainan ini disalurkan
ke dalam kitab-kitab tafsir, fiqih, syarah-syarah hadist, tasawuf, dan lainlainnya menurut paham dan mahzab masing-masing. Oleh karena itu, kita
sebagai pembaca-pembacanya banyak sedikitnya akan terpengaruh dari
salah satu pembacaan kita itu”.
Berdasarkan penjelasan itu dan fakta-fakta di lapangan memang menunjukan bahwa
banyak ulama yang mengharamkan musik secara mutlak. Namun, sebagian dari ulama yang
sunnah-sunnah. Fikih juga berbeda dengan syariat, sebab syariat adalah sesuatu yang secara tegas diturunkan
dari Allah, sedang fikih adalah suatu pemahaman manusia atas dalil-dalil yang untuk melaksanakannya sangat
diperlukan pemahaman manusia. Syariat bersifat mutlak dan tidak dapat dirubah. Sedangkan fikih memiliki
kandungan kebenaran yang bersifat relative.
11
Termasuk di dalamnya adalah juga seni suara lain yang berupa nyanyian dan/atau lagu.
20
lain justru membolehkannya, terutama asal tidak disertai dengan hal-hal yang diharamkan
oleh agama. Mengenai pro-kontra antar dalil, Yahya Omar (1983) berhasil menghimpun
tiga belas buah dalil yang mengharamkan, dan sepuluh dalil yang membolehkan.
Kemudian, dari dalil-dalil itu dipertemukan, dianalisis dan lahirlah sikap pendiriannya.
Akhirnya, di balik situasi pro-kontra seperti itu Yahya Omar menentukan sikapnya bahwa
status hukum musik adalah sunnat, apabila membawa kebaikan yang diridhai Allah. Namun
berposisi makhruh jika bersifat tidak menimbulkan manfaat yang diridhai Allah, tetapi
tidak pula menimbulkan mudharat.
Abdurahman (1992: 21-55) juga melakukan hal serupa dengan Yahya Omar. Ia
kumpulkan dan kutip pandangan-pandangan Imam Ibnu Jauzi, Imam Qurthubi, dan Imam
Asy Syaukani yang mengharamkan musik. Ada kurang lebih sepuluh dalil yang merupakan
pandangan para fuqaha itu, dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab seperti Talbis Iblis,
Tafsir Qurthubi, Nailul Authar serta Tafsir Ibnu Katsir. Dalil-dalil itu ada yang merupakan
ayat suci Al Qur’an, ada pula yang merupakan hadist. Di balik yang mengharamkan, ia juga
mengumpulkan dan mengutip pandangan-pandangan Imam Malik, Imam Ja’far, Imam Al
Ghazali, dan Imam Abu Daud Azh Zhahiri yang membolehkan musik. Pandanganpandangan itu tersebar di berbagai sumber seperti kitab Ihya Ulumuddin, Sejarah Al
Karmani, Sunan At Tirmidzi, Sunan Al Musthofa, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Nailul
Authar, dan Sunan An Nasa’i. Dari pandangan para fuqaha itu tampak yang dijadikan dalil
untuk membolehkan musik juga dari ayat-ayat suci Al Qur’an dan juga hadist. Setidaknya,
ada delapan buah dalil yang dikutip oleh Abdurahman (1992: 21-38) berkenaan dengan
diperbolehkannya melakukan aktivitas mendengar, memainkan, dan menyajikan musik.
Al-Qurdlawy (2002) pun melakukan hal seperti dilakukan Abdurahman (1992) dan
Yahya Omar (1983). Ia menghimpun banyak dalil baik yang megharamkan maupun yang
membolehkan. Dalam hal dalil yang mengharamkan, ia menjelaskan seperti berikut:
“Orang-orang yang mengharamkan nyanyian, khususnya jika disertai
dengan alat musik, berargumentasi dengan dalil-dalil yang dibantah oleh
orang-orang yang membolehkannya. A. Mereka berargumentasi dengan
ayat Al Qur’an. B. Argumentasi dengan beberapa hadist marfu’ maupun
mauquf. C. Argumentasi dengan ijma’ (kesepakatan). D. Argumentasi
dengan kaidah saddu dzarai’. E. Argumentasi dengan kaidah ihtiyath
(kehati-hatian) dan menghindari syubhat (Al-Qardlawy, 2002:27).
Kemudian, ia pun menghimpun lima buah ayat Al Qur’an, dua belas hadist, dan
sekian banyak ijma’ berikut perdebatan ulama salaf yang biasa digunakan orang sebagai
dalil untuk mengharamkan musik. Setelah itu ia pun menguraikan argumentasi orang-
21
orang yang membolehkan lagu atau musik. Katanya, “tentu sudah cukup bagi orang-orang
yang membolehkan lagu untuk menggugurkan dalil-dalil pengharaman, sehingga tidak
tersisa satupun dalil yang mengisyaratkan haram” (2002: 68). Sebagaimana argumentasi
orang-orang yang mengharamkan, ia juga menghimpun dan menguraikan argumentasi
dibolehkannya musik. Selanjutnya, dengan gamblang ia mengatakan bahwa;
“orang-orang yang membolehkan mempunyai banyak dalil yang
memperkuat landasan pendapatnya, meliputi dalil yang bersumber pada
ayat-ayat Al Qur’an, dalil yang bersumber pada hadist-hadist yang shahih,
dalil yang bersumber pada petunjuk para sahabat, dalil yang bersumber dari
kaidah maqashid asy-syari’ah dan jiwa Islam” (2002: 68).
Lantas, Al-Qardlawy pun meguraikan keempat jenis dalil itu satu persatu. Pertama
ia beberkan empat ayat suci Al Qur’an yang ia sebut sebagai membolehkan lagu dan musik.
Kemudian tujuh buah hadist yang dijadikan argumentasi, dan tinjauan maqashid syari’ah
yang ia uraikan dari sikap para sahabat dan para tabi’in mengenai musik, seperti sikap
Umar bin Khatab, sikap Utsman bin Afan, Abdurahman bin Auf, dan sikap Al Asyrah Al
Mubasyiriina fi Al Jannah atau para ahli surga yang sepuluh12.
Para kreator musik Sholawat Campurngaji tidak membaca semua tulisan dari ketiga
orang yang telah disebut di atas. Namun, umumnya mereka menyadari ada dalil-dalil yang
satu sama lain tidak sejalan. Oleh karena itu, di tengah-tengah persoalan pemahaman fikih
yang saling tarik menarik itu, para kreator musik Sholawat Campurngaji pun menentukan
sikap. Sikapnya cukup jelas bahwa musik atau bermain dan menyajikannya jelas-jelas tidak
haram, sebab yang haram adalah hal-hal yang melekat pada permainan dan penyajian musik
yang bertentangan dengan syariat. Sejauh tidak bertentangan dengan syariat, bermain dan
menyajikan musik mereka yakini boleh dilakukan. Bahkan, jika diniatkan untuk beribadah,
mereka yakin jika musik dapat digunakan untuk melakukan syiar Islam. Mereka juga
meyakini bahwa berdakwah lewat musik adalah jalan atau metode yang patut, tidak salah,
tidak pula tercela. Dari keyakinan itu lantas berkembang di dalam diri para kreator untuk
melakukannya, sebab mereka juga meyakini bahwa usaha itu akan mendapat pahala.
Pemahaman seperti itu dapat dibaca dan dipetik dari pernyataan Tresno subagyo
yang meyakini dan mengatakan seperti berikut:
“Pokoké,…sing klêbêt mbotên dosa niku nèk ndamêl utawa berbuat napa
mawon sing disênêngi tiyang sanès, sing nuju prana, ning mbotên nêrak
anggêr-anggêr syar’i. Ngotên niku, nèk manut wawasan kula malah kêpara
éntuk ganjaran thik. Wong gawé sênêngé uwong. Ngotên niku kan
12
Yang dimaksud dengan ahli surga yang sepuluh adalah Abu Mas’ud, Qardhah dan Tsabit bin Zaid,
Abdullah bin Jafar, Abdullah bin Zubair, Al Mughirah, Muawiyah dan Ibnu al Ash, Usamah binZaid,
Abdullah bin Arqam, Imran bin Hushain, Bilal bin Rabah dan Hasan bin Tsabit.
22
perbuatan sing saé…saé tur ora mêrga préntah, nanging dorongan saka
batin atiné dhéwé. Ngotên niku jelas apik”
(Pokoknya,…yang termasuk tidak dosa itu kalau membuat atau berbuat apa
saja yang disenangi orang lain, yang menyentuh hati tapi tidak melanggar
aturan-aturan syar’i. hal yang seperti itu menurut saya malah mendapat
ganjaran, orang bikin senang orang lain. Itu kan perbuatan yang baik,…baik
dan bukan karena perintah, tetapi dorongan dari dalam hati sendiri,…itu
baik).
Setelah memiliki pegangan atau gujêngan seperti itu, mereka menemukan konsepkonsep berdasarkan asumsi praktis yang diyakininya. Setelah menemukan konsep
berdasarkan pegangan itu, mereka baru dapat mewujudkan format kekaryaan musiknya.
Tresno Subagyo menegaskan bahwa keberaniannya membuat terobosan garapan musik
seperti itu karena didasari oleh pemahamannya tentang fikih. Katanya,
“Anané kula wani ndamêl garapan sing kados ngotên niku rak mêrga èntên
gujênganné. Gujêngan kula nggih fikih niku. Nèk mbotên duwé pangertosan
bab fikih,…kados kula…Pak Darminto napa Pak Dasuki niku napa wani
thik,…”
(Adanya keberanian membuat garapan yang seperti itu kan karena ada
pegangannya. Pegangannya ya fikih itu. Kalau tidak punya pemahaman
mengenai fikih,…seperti saya,…Pak Darminto atau Pak Dasuki apa berani
sih).
Uraian di atas menunjukkan bahwa di balik asumsi praktis terdapat kesadaran di
kalangan para kreator musik ini untuk mengembangkan konsep-konsep tertentu. Konsepkonsep secara sadar mereka pikirkan, lantas diwujudkan hingga mempengaruhi sosok karya
musik yang mereka rumuskan. Konsep-konsep itu adalah konsep adaptasi, sinkretisasi dan
dakwah.
b. Adaptasi dan Sinkretisasi
Adaptasi adalah aktivitas atau proses mengubah wujud, kondisi-kondisi dan fungsi
yang sudah ada disesuaikan dengan wujud, kondisi-kondisi dan fungsi yang lain.
Prinsipnya, adaptasi adalah mengubah sesuatu yang di dalamnya memiliki kandungan
prinsip, pandangan, dan keyakinannya tidak benar-benar tepat serasi dengan prinsip,
pandangan, dan keyakinan lain itu. Keduanya kemudian dicocokan dan dipertemukan
dimensi-dimensi yang kompatibel. Keduanya diformat kembali dan digunakan menjadi
sesuatu yang baru dengan fungsi yang baru pula. Format baru itu mengakomodir elemenelemen yang bersumber dari kedua hal yang di dalamnya terdapat pandangan yang satu
sama lain berbeda. Cara mencocokannya adalah dengan cara mencari elemen-elemen yang
matching, dapat digunakan bersama untuk menghasilkan perubahan yang memunculkan
23
adanya wujud, kondisi dan fungsi baru. Jadi, adaptasi adalah aktivitas menyesuaikan
sesuatu agar cocok dengan kebutuhan dengan cara melakukan modifikasi baru dalam
rangka mencapai tujuan.
Sinkretisasi adalah usaha untuk mengkombinasikan elemen-elemen dari sistem yang
berbeda. Sinkretisasi adalah kombinasi dari entitas-entitas sistemik yang bagian-bagiannya
juga merupakan kombinasi dari unsur-unsur terkait, terorganisir ke dalam dan menjadi
suatu yang utuh kompleks. Kombinasi itu merupakan perpaduan antara kepercayaan
filosofis yang berbeda ataupun juga perpaduan keyakinan reliogius di tataran ideologis
maupun praktis. Kombinasi itu juga dapat berupa perpaduan keyakinan-keyakinan yang
bersifat sekuler dan duniawi di tataran ideologis maupun praktis. Jadi di balik sinkretisasi
terkandung upaya rekonsiliasi. Terkandung pula upaya membuat dua atau lebih sesuatu
yang kelihatannya berlawanan atau tidak cocok satu sama lain menjadi tidak lagi
berlawanan satu sama lain. Akibatnya, elemen-elemen di masing-masing pihak dapat
dipertukarkan dengan masing-masing entitas dan sistem yang satu sama lain berbeda.
Di tingkat filosofis, rekonsiliasi itu mempertemukan elemen-elemen yang saling
berseberangan. Elemen pertama adalah elemen sekuler. Perwujudan dari elemen ini
menampakkan diri sebagai elemen-elemen yang eksistensinya lahir bukan karena consern
terhadap ajaran ataupun prinsip-prinsip keyakinan yang terkait dengan agama. Elemen yang
lain adalah elemen-elemen religius atau elemen spiritual. Elemen ini berkenaan dengan
kepercayaan, dengan ajaran agama, ataupun praktek-praktek yang ada dalam konsepsi
sistemik dalam doktrin agama. Perwujudannya sangat tegas menampakan diri sebagai
entitas yang sejak awal dibuat memiliki concern terhadap kepercayaan, ajaran, ataupun
praktek-praktek keagamaan.
Dalam kasus musik ini, adaptasi dilakukan ketika format musik yang telah diterima
dan diminati masyarakat “dilirik” atau dimaksudkan oleh para kreator musik ini sebagai
sumber referensi atau rujukan karya. Persoalannya, meskipun telah diterima masyarakat,
ada sebagian elemen yang dirasakan kurang tepat. Dengan kata lain, di balik karya-karya
yang hendak dijadikan acuan itu terdapat hal-hal yang dipandang kurang memenuhi nilainilai Islami. Hal-hal yang dipandang kurang tepat itu antara lain karena bertentangan
dengan ajaran aqidah, syariah, dan akhlak. Terutama pada syair dan cara penampilan dalam
pertunjukan. Oleh karena itu, dilakukan koreksi terhadap syair dan penampilan karya-karya
sumber untuk kemudian dibuat syair dan cara penampilan baru. Syair dan cara penampilan
baru itu dilaksanakan dalam pertunjukan dan dijadikan “ikon” bagi eksistensi musik
Sholawat Campurngaji. Di dalam membuat syair dan penampilan baru itu dipikirkan
24
adanya penyesuaian beberapa hal. Terutama syair-syair yang semula mengandung keraguan
terhadap dasar-dasar keimanan dan akhlak diupayakan diberi “sentuhan” baru atau
dimodifikasi. Sebagai contoh adalah lagu Nonong pada musik Campursari yang syairnya
seperti berikut.
Nonong sing nonong sapa sing nduwé
Nonong sing nonong dudu bathuké
Nonongé nambahi ayu, ayu, ayu dhéwé
Nonongé yèn mèsam-mèsêm, aduh, aduh sayang
Nonong sing nonong sing ayu dhéwé
Nonong sing nonong larang rêgané
Nonongé nambahi manis, manis, manis dhéwé
Nonongé yèn ngguyu mêrêm, aduh, aduh sayang
Reff: Dasar manis têtêp manis
Nadyan nonong tambah manis
Dasar ayu têtêp ayu
Nadyan nonong tambah ayu
Nonong sing nonong ngêndi omahé
Nonong sing nonong angel tandingé
Sing nonong dudu bathuké, aduh, aduh, sayang
Sing nonong nyêdhaka mréné, aduh, aduh, sayang
Jika diperhatikan isi syair di atas dari sisi aqidah, keimanan dan akhlak, dapat
dikatakan menyampaikan pesan-pesan yang kurang memberi manfaat. Bahkan ada bagianbagian yang dapat diindikasikan mengandung implikatur yang mengarah pada
penyimpangan akhlak. Namun, meski syairnya kurang dapat diterima dari sisi aqidah,
keimanan dan akhlak, untaian melodi yang digunakan sebagai wadah syairnya dapat
diterima. Sebab, melodi yang digunakan memiliki sifat sederhana, mudah dicerna dan
mudah ditiru, sehingga melodi lagu itu sangat disukai oleh masyarakat kelas bawah
termasuk masyarakat muslim pinggiran. Oleh karena itu, melodi dasar dalam lagu itu
dimanfaatkan untuk medium ekspresi, dibuatkan syair baru yang mereka anggap sejalan
dengan tuntunan fikih. Adapun syair baru yang diwadahi dalam melodi lagu di atas adalah
sebagai berikut.
Yaa Robbi sholli ala Muhammad
Yaa Robbi sholli ala Muhammad
Yaa Robbi Yaa Robbi sholli ‘alaihi was sholim
Yaa Robbi Yaa Robbi sholli ‘alaihi was sholim
Qur’an lan hadist dadi tuntunan
Qur’an lan hadist dadi pedoman
Senadyan ènthèng, syaraté kudu ditindakké
Senadyan abot, syaraté kudu ditindakké
25
Reff:
Amung Qur’an uga hadist
Kanggo tuntunané urip
Amung Qur’an uga hadist
Kanggo pedhomané urip
Yaa Robbi sholli ala Muhammad
Yaa Robbi sholli ala Muhammad
Yaa Robbi Yaa Robbi sholli ‘alaihi was sholim
Yaa Robbi Yaa Robbi sholli ‘alaihi was sholim
Dengan melihat contoh pada syair lagu Nonong yang ditolak, kemudian melodi
lagunya diterima dan diganti syairnya dengan syair yang baru mengindikasikan bahwa ada
penyesuaian hal-hal tertentu berdasarkan prinsip-prinsip estetik. Penyesuaian itu diperlukan
karena prinsip-prinsip estetik yang ada pada format musik itu sebagian elemennya tidak
sejalan dengan asumsi praktis yang hendak menekankan dan menempatkan potensi-potensi
di dalamnya sebagai pengemban misi agama Islam. Perbedaan inilah pada akhirnya
membuat para kreator harus menimbang-nimbang hal-hal yang pernah ada dan menjadi
wacana dalam fikih musik. Dalam menentukan sikap atas adanya elemen yang tidak
seirama itu, Tresno Subagyo memberi gambaran pemahamannya dalam membuat
pertimbangan yang digunakan sebagai acuan.
“Nyanyian napa déné lagu niku mbotên éntuk campur kaliyan bab-bab sing
kurang patut. Misalé, lagu sing syairé menyanjung-nyanjung kecantikan
wanita, ngajak main cinta, pacaran, lan liya-liyané. Pokoké,…nèk èntên lagu
sing syairé isiné ngotên niku,…ning laguné kêpénak, laguné kula
nggo,…syairé kula ganti”.
(Nyanyian atau lagu itu tidak boleh bercampur dengan hal-hal yang kurang
patut. Misalnya, lagu yang menyanjung-nyanjung kecantikan wanita,
mengajak bermain cinta, pacaran, dan lain-lain. Pokoknya, jika ada lagu
yang isi syairnya seperti itu, tetapi lagunya enak, lagunya saya pakai dan
syairnya saya ganti).
Berdasarkan pertimbangan semacam itu para kreator menyadari bahwa tidak setiap
entitas artistik yang diterima masyarakat dapat begitu saja dijadikan sumber rujukan.
Kecuali, entitas artistik yang seluruh elemennya memiliki sifat yang diterima oleh
masyarakat dan tidak bertentangan dengan perspektif agama Islam. Ini berarti, ada entitas
artistik yang prinsip-prinsip musikalitasnya diterima masyarakat luas namun nilai-nilai
verbal yang terkandung pada entitas itu tidak sejalan dengan syariat. Jika demikian yang
terjadi, maka diperlukan modifikasi pesan verbal agar tidak bertentangan dengan kaidahkaidah yang digariskan dalam syariat dan fikih.
Dalam perspektif syariat, tidak semua lagu boleh untuk dinyanyikan. Sebab, lagu
yang diperbolehkan adalah lagu-lagu yang tidak bertentangan dengan ajaran aqidah,
26
syariah, dan akhlak (Al-Qardlawy, 2002: 153). Intinya, nilai-nilai verbal yang tidak dapat
diterima dan dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam karena mengandung
keraguan terhadap dasar-dasar keimanan harus ditolak13. Penolakan itu tentu tidak
dilakukan secara frontal, melainkan dilakukan dengan cara kompromi. Penolakan
kompromistis itu dilakukan dengan memanfaatkan melodi lagunya, dan dengan merubah
total atau sebagian isi syairnya. Perubahan syair itu terutama diarahkan menjadi syair-syair
yang memberikan seruan ke jalan Allah.
Di sisi lain, para kreator juga mengakui bahwa karya-karya yang dimaksudkan
sebagai rujukan itu adalah karya yang telah populer di masyarakat. Disebut populer karena
secara umum menarik dan mendapatkan simpati dan apresiasi masyarakat luas. Bahkan
dapat dikatakan telah dipeluk dan dimanfaatkan oleh banyak orang. Artinya, karya-karya
yang hendak dijadikan rujukan itu adalah karya-karya yang telah diupayakan banyak orang
untuk tetap selalu ada dalam kenangan pribadinya, terutama oleh “orang-orang
kebanyakan”. Ini terjadi karena di balik penyebaran format estetik yang mengantarkannya
hingga populer itu karena kuatnya “berkah” teknologi yang masuk hingga kawasankawasan peripheral. Sebaran itu sedikit banyak juga membentuk dan membawa pengaruh
massa, yang termasuk di dalamnya adalah massa kaum muslim pinggiran.
Ketertarikan, simpati dan apresiasi masyarakat itu terutama terfokus pada gaya
artistik. Oleh karena itu, memanfaatkan gaya artistik yang telah menarik dan mendapat
simpati serta apresiasi masyarakat luas pada dasarnya adalah suatu hal yang diyakini
bermakna positif. Dengan memanfaatkan gaya artistik seperti itu diharapkan dapat
mendorong terwujudnya orientasi masyarakat ke arah orientasi baru yang menuju kepada
seruan menuju ke jalan Allah. Seruan menuju ke jalan Allah itu pada hakekatnya adalah
dakwah. Oleh karena itu, konsep yang hendak diwujudkan dalam garapan baru dari genre
musik Sholawat Campurngaji adalah terumuskannya format artistik yang memiliki nilai
estetika dakwah.
c. Estetika Dakwah
Konsep berikutnya adalah pemikiran dan perenungan para kreator tentang format
estetika yang berorientasi dakwah. Pengertian yang terkandung dalam kata dakwah adalah
ajakan menuju Islam, sebab kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan,
seruan, panggilan atau undangan (Omar, 2004: 67; Abdul Azis, 2003: 24). Jadi, estetika
13
Hal lain yang tidak dapat diterima adalah jika syair-syair lag tertentu membimbing orang pada keraguan
terhadap hari kiamat, terhadap penciptaan bumi langit seisinya, dan keraguan terhadap nubuwah.
27
dakwah adalah konsep artistik yang menyeru menuju Islam. Konsep ini bagi para kreator
sangat dipikirkan karena salah satu tugas seorang muslim adalah melaksanakan dakwah14.
Maka, mereka berpandangan bahwa musik yang dicipta dan dikreasi oleh orang muslim
idealnya bermisi dakwah. Berarti, aktivitas artistik yang diupayakan dalam musik Sholawat
Campurngaji sebagai manifestasi karya seorang muslim pun sedapat mungkin memiliki
karakter dakwah.
Karya musik, apapun bentuk dan namanya hanya dapat diidentifikasi dan dipahami
sebagai musik Islam manakala bentuk dan format artistiknya memiliki ciri-ciri ke-Islam-an.
Karena ia memiliki bentuk atau format yang menyiratkan wajah ke-Islam-an, maka musik
itu dapat dikatakan sebagai musik yang berkarakter Islami. Musik Islami adalah musik
yang menyeru kepada ketaatan dan kebajikan. Musik Islami adalah musik yang memberi
seruan kepada ketulusan untuk mengerjakan atau berkeinginan untuk mengerjakan segala
hal yang dituntut, diperintah, atau dilarang oleh ketentuan syariat. Dalam Islam, seruan
kepada ketaatan dan kebajikan disebut dakwah Islamiyah. Jadi, musik yang berkarakter
dakwah Islam dapat dipahami substansinya sebagai musik Islam atau musik yang
menggunakan acuan estetika dakwah.
Musik Islam atau musik yang berestetika dakwah adalah musik yang memiliki
watak dan orientasi ke arah “rohani”15. Bahkan dapat juga dikatakan sebagai musik yang
14
Sesungguhnya, bagi seorang muslim dakwah adalah kewajiban syar’i, terutama dilihat ari dalil-dalil sebagai
berikut. (1) Firman Allah; “Dan hendaklah di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”
(Q.S. Ali Imran: 140). Ayat itu secara jelas menunjukkan wajibnya dakwah. Berdasarkan ayat ini dapat
dipahami bahwa seluruh umat Islam diperintahkan agar sebagian melaksanakan kewajiban ini. Artinya, ketika
ada sekelompok orang yang melaksanakankewajiban itu, maka kewajiban yang lain menjadi gugur. Namun
jika tidak ada seorangpun yang melaksanakan, maka mereka semua akan mendapatkan dosa. (2) Hadist Nabi,
ketika seorang muslim melihat kemungkaran yang dilakukan secara terang-terangan, maka Rosulullah
mewajibkan setiap muslim untuk mengubah kemungkaran tersebut, sebagaimana sabdanya “Barang siapa di
anatara kamu melihat suatu kemungkaran, ubahlah ia dengan tanganmu. Jika tidak mampu ubahlah dengan
lisanmu. Jika tidak mampu, maka dengan hatimu. Itulah selemah-lemah iman”. (HR. Muslim). (3) Allah pun
bersumpah dengan waktu, dalam firman-Nya “Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
keadaan yang merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran. (Q.S. Al‘Ashr: 1-3).
15
Konsep rohani tidak dapat dipisahkan dari konsep profetik sebagaimana hidup dan berkembang di dunia
sastra. Kecenderungan pada konsep ini di dunia sastra semakin menguat, terlihat dari banyaknya ulasan yang
ditulis tentang karya-karya Jallaludin Rumo, Iqbal, TS. Eliot dan lain-lain. Konsep profetik bukan saja muncul
dan hadir di bidang sastra semata tetapi juga di bidang-bidang filsafat, ilmu-ilmu sosial, dan wawasan budaya
yang mengarah pada pencarian alternatif pada bidanbg-bidang itu. Di Indonesia konsep ini dikenalkan
pertama kali oleh Kuntowijoyo yang membicarakan “perlunya menegakkan kembali etika profetik” dalam
sebuah Temu Budaya pada tahun 1986 di Taman Ismail Marzuki. Kemudian, ketika jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur’an terbit pertama kalinya, konsep itu dibahas lebih lanjut oleh Abdul Hadi W.M.
Akhirnya konsep profetik menjadi wacana di dunia sastra. Bahkan di majalah sastra Horison tersiar kabar
bahwa Kuntowijoyo adalah penganjur sastra profetik. Menyadari hal itu, Kuntowijoyo pada 1 Februari 2005
menulis artikel “Maklumat Sastra Profetik” dan dikirimkankan di Horison. Tulisan itu akhirnya dimuat pada
28
memiliki perspektif dan pengertian mendalam mengenai persoalan sikap dan perilaku
moral. Lebih jelasnya, musik Islam dengan estetika dakwah adalah musik yang motivasi
penciptaan dan wujudnya tidak lepas dari kesadaran akan tugas untuk menyeru kepada
sikap dan perilaku moral. Betapapun tidak mencapai bentuknya di tingkat ideal, musik yang
motivasi penciptaan dan wujudnya didorong oleh kesadaran menyeru kepada moral dapat
dikatakan sebagai musik yang menggunakan estetika dakwah. Jadi, musik Sholawat
Campurngaji betapapun lemah cara-cara mewujudkan visinya tetap merupakan format
musik yang mengingatkan tugas hidup seorang muslim untuk menyeru kepada ketaatan dan
kebajikan16.
Pada mulanya, musik yang menjadi acuan garap dari musik Sholawat Campurngaji
adalah musik yang orientasi artistiknya berpusat dan mengutamakan artikulasi keindahan
yang bersifat material semata. Kemudian musik dengan orientasi itu dikreasi melalui tahap
adaptasi dan sinkretisasi sehingga membentuk “citra” baru. Padahal, artikulasi artistik tiap
karya musik yang menekankan diri pada urusan keindahan semata di dalamnya selalu
terkandung teba perspektif dan subyektivitas yang sangat luas. Teba perspektif dan
subyektivitas itulah yang membuat eksistensi karya itu terbebani oleh ketiadaan tujuan yang
berdiri di atas pandangan hidup para kreatornya. Meski tidak secara tegas terungkap dengan
jelas dapat dikatakan bahwa musik-musik yang orientasi artistiknya mengarah kepada
keindahan material, diakui atau tidak, ada penolakan terhadap entitas-entitas artistik yang
berdimensi agama. Penolakan itu bersifat niscaya, karena satu-satunya tujuan yang melekat
pada penciptaannya adalah keyakinan bahwa persoalan phisik hanyalah realitas. Sedangkan
kondisi psikologis seperti emosi, pemikiran, pertimbangan-pertimbangan, alasan, keinginan
dan hasrat nafsiah pada akhirnya pun hanya dipahami sebagai fungsi phisik semata.
Meski tidak eksplisit, di balik ketiadaan tujuan pandangan hidup para kreatornya,
secara implisit karya itu mengandung penolakan perspektif tentang persoalan sikap dan
perilaku moral. Karena ada penolakan, maka format nilai-nilai estetika yang dikandungnya
adalah estetika yang menolak bertemunya dimensi sosial dengan dimensi transendental.
Penolakan bertemunya dua dimensi itu berarti juga menolak hadirnya fenomena
pengalaman independent manusia yang tidak terikat, tetapi ada dalam cakupan
edisi bulan Mei 2005. tahun XXXIX, No. 5/2005, setelah penulisnya almarhum, meninggal dunia pada 22
Februari 2005. isi dari sastra proetik menurut Kuntowijoyo memiliki kaidah-kaidah tertentu, di antaranya
adalah menggunakan epistemology strukturalisme transcendental, sastra sebagai ibadah, ada keterkaitan antar
kesadaran, dan memiliki etika.
16
Secara prinsip tugas hidup orang muslim adalah melaksanakan amr ma’ruf nhi munkar dan iman billah
(Q.S. Ali Imran: 110). Walaupun secara praktis akan ditemukan banyak cara dan metode yang dalilnya
bertebaran di berbagai ayat dan sunnah Rosul.
29
pengetahuan. Sebaliknya, yang dimaui adalah bertemunya dimensi sosial dan dimensi
hasrat awam yang bersifat naluriah (ordinary desire), yang tidak lagi independen, tetapi
didikte oleh kebutuhan-kebutuhan phisik material yang termasuk dalam kategori selera atau
nafsu-nafsu alamiah (natural appetite).
Estetika dakwah adalah suatu format estetik yang di dalamnya terkandung nilai-nilai
yang mengatasi hasrat awam yang bersifat naluriah dan selera atau nafsu-nafsu alamiah.
Estetika dakwah adalah format artistik yang di dalamnya berisi nilai-nilai yang bersifat
tidak hanya berdimensi satu, melainkan berdimensi gabungan. Di dalamnya terdapat
kandungan nilai-nilai yang menunjukkan ke arah tujuan kehidupan di pihak lain.
Perspektifnya tidak lagi mengarah kepada hal-hal yang bersifat phisik dan material semata.
Namun mengarahkan atau memberi seruan kepada nilai-nilai yang cenderung berorientasi
eksoterik, nilai-nilai yang dapat diketahui atau dipahami oleh kebanyakan orang dan tidak
hanya diterima atau dipahami oleh sebagian orang. Sedangkan di pihak lain terkandung
nilai-nilai lain yang mengarahkan orientasinya kepada dimensi esoterik, dimensi kedalaman
batin yang biasanya hanya dapat dipahami atau diharapkan oleh bukan “orang kebanyakan”
yang memiliki keaktifan batiniah.
Dimensi esoterik pada dasarnya adalah dimensi yang memberikan kedalaman
makna suatu karya. Karya musik atau karya seni pada umumnya yang sama sekali tidak
memberikan perspektif dan orientasinya pada dimensi ini adalah karya dangkal yang tidak
ada kekuatan atau potensi rohaniah yang menopangnya.tetapi, betapapun jauh
kekurangannya dari sifat ideal, jika karya itu ditopang dengan kekuatan-kekuatan atau
potensi-potensi rohaniah, karya itu akan menjadi lebih bersifat “vertikal” dari pada bersifat
“horisontal”. Vertikalitas karya itulah sesungguhnya yang dapat diharapkan untuk dapat
ditemukan kedalaman isi dari karyanya.
D. Kesimpulan
Di balik wujud musikalitas, dapat diketahui ada makna filosofis yang diikat dalam
(1) asumsi praktis, dan (2) konsep-konsep. Keduanya menjadi dasar bagi eksistensi
musikalnya. Ada dua asumsi praktis, yaitu (1a) mèlu payu dan (1b) ngêmban amanat.
Sedangkan konsep-konsep filosofis yang dikembangkan meliputi konsep (2a) gujengan
fikih, (2b) adaptasi dan sinkretisasi, serta (2c) estetika dakwah.
Asumsi dasar adalah pikir yang mengandung keyakinan sebagai pegangan bagi para
kreator musik Sholawat Campurngaji, dan konsep adalah sesuatu yang terkandung di dalam
pemikiran. Wujudnya berupa organized around a main idea. Asumsi dasar dan konsep30
konsep itulah yang mendasari dan mengantarkan terbentuknya musik Sholawat
Campurngaji untuk memberikan seruan-seruan keagamaan melalui musik. Caranya adalah
dengan merujuk dan menggunakan karya-karya yang telah populer diolah dengan
memasukkan ide-ide nilai yang sesuai dengan prinsip-prinsip syar'i.
Konsep dapat dipahami sebagai pilihan prinsip yang digunakan untuk mendasari
kreativitas penciptaan musik Sholawat Campurngaji. Prinsip pertama menekankan diri
pada diabaikannya prinsip-prinsip pengaturan hak dan kepemilikan setiap capaian dan
karya yang telah ada. Prinsip kedua terkait dengan prinsip pertama, yaitu menempatkan
setiap karya dan capaian untuk dimanfaatkan sebagai sarana yang mengemban amanat
agama. Prinsip pertama mengindikasikan adanya upaya untuk mengembangkan relasi
kemanusiaan, sedangkan prinsip kedua menempatkan musik sebagai media untuk
melaksanakan konsep amar makruf nahi munkar.
BIBLIOGRAFI
Abdul-Mujieb, M.A.S. n.d. Shalawat dan Hasiat-hasiatnya. Surabaya: Penerbit Bintang
Terang 99.
Abdurahman, B.A. 1992. Seni Dalam Pandangan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Qardlawy, Y. 2002. Fiqh Musik dan Lagu: Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah. Judul
Asli “Fiqh Al-Ghina wa al Musiqy fi Dhau-I Al-Qur’an wa AsSunnah”. Diterjemahkan oleh H. Achmad Fulex Bisyri, H. Awan
Sumarna, H. Anwar Mushafa. Bandung: Mujahid Press.
Anonim. n.d. Maj’mu Attulmawalid.
Atmodjo, S.P. 1987. Bausastra Jawa. Surabaya: Yayasan Djojo Bojo.
Bahreisj, H. n.d. Hadits Shahih Al-Jamius Shahih: Bukhari-Muslim. Surabaya: Penerbit CV
Karya Utama.
Becker, J. 1980. Traditonal Music in Modern Java: Gamelan in a Changing Society.
Honolulu: The University Press of Hawaii.
Becker, J.M.O. 1972. “Traditional Music in Modern Java”. Disertasi Ph. D., Michigan:
University of Michigan.
Bratawidjaja, T.W. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Brinner, B. 1995. Knowing Musik Making Music: Javanese Gamelan and the Theory of
Musical Competence and Interaction. Chicago & London: The
University of Chicago Press.
Bu-Rahmadi, n.d. Catetan Sholawatan. Manuscript.
Dalil, F.M. 1997. Aneka Bacaan Sholawat: Guna dan Manfaatnya. Surabaya: Penerbit
Apollo.
Departemen Agama R.I. 1989. Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: CV. Toha Putra.
Encarta Encyclopedia. 1999. “Arab Music,” Microsoft® Encarta® 99 Encyclopedia. ©
1993-1998 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Gazalba, S. 1978. Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Teori
Pengetahuan, Metafisika, Teori Nilai. Cetakan Kedua. (Cetakan
Pertama Tahun 1973). Jakarta: Bulan Bintang.
31
Ghazali, A. 1998. Rahasia Zikir dan Doa. Diterjemahkan dari Asrar Al-Adzkar Wa AdDa’awat oleh Muhammad Al-Baqir. Cetakan ke VII. Bandung:
Penerbit Karisma.
Gupta, K.C. 1996. Aesthetics and Motivations in Arts and Science. New Delhi: Indira
Gandhi National Centre for The Arts.
Harmunah. 1987. Musik Keroncong: Sejarah, Gaya dan Perkembangan. Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi.
Harris, M. 1979. Cultural Materialism: The Struggle for a Science of Culture. New York:
Random House.
Hidayat, K. 1996. Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina.
Hidayat, S. 1995. “Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam”. Shabran. Jurnal
Media Pengkajian dan Dakwah Islam. IX/03. 5-7.
Kafadi, N.M. 2002. Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat. Tanpa Tempat:
Pustaka Media.
Karti, n.d. Cathetan Lagu-lagu Sholawatan Campursari. Manuscript.
Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat, Ed. 1993. Ritus Peralihan Di Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Leech, G. 2003. Semantik. Terjemahan dari Semantics. Terbitan Penguin, 1974.
Diterjemahkan oleh Paina Partana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maryati, S. n.d. Lagu-lagu Sholawat Diba’. Manuscript.
Muhammad-Naufal, A.A. 1996. Berdo’a Bersholawat Ala Al-Ghazali. Al Mahalli Press
bekerja sama dengan Mitra Pustaka. Yogyakarta.
Mulder, N. 1996. Pribadi dan Masyarakat Di Jawa. Sinar Harapan. Jakarta.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Munir, M.M. 1995. Pedoman Lagu-lagu Tilawatil Qur’an dilengkapi Tajwid dan Qasidah.
Cetakan Pertama. Surabaya: Penerbit Apollo.
Nababan, PWJ. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.
Nadjib, E.A. 1989. “Persoalan-persoalan Rutin Antara Kesenian dan Masyarakat”. Makalah
Diskusi Antar Bidang, 18 Maret. Di STSI Surakarta.
Najieh, A.A. 1987. AlMaulid Diba’ (Diba’ Arab & Latin Beserta Terjemahannya).
Negoro, S.S. 2001. Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakarta: CV. Buana Raya.
Omar, T.Y. 1983. Hukum Seni Musik Seni Suara dan Seni Tari dalam Islam. Jakarta:
Penerbit Widjaya.
Padmosoekotjo, S. 1960. Ngéngréngan Kasusatran Jawa. Jilid II. Yogyakarta: Hien Hoo
Sing.
Panuntun, S.R. 2002. Sekar Sumawut. Edisi V. Sukoharjo-Surakarta: CV. Cendrawasih.
Poedjosoedarmo, S. 1979. “Keadaan Bahasa-bahasa Daerah”. Yogyakarta: Seminar Bahasa
Daerah.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J.B. Wolters’
Uitgevers-Maatschappij.
Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Judul Asli: “Javanese Literature since
Independence”. Seri Terjemahan Javanologi. Hasil Kerjasama Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara dengan Perwakilan
Koninklijk Instituut voor Tal-, Land- en Volkenkunde. Jakarta:
Grafitipers.
32
Sadi-Hutomo, S. 1993. “Dialek Bahasa Jawa Sebagai Pengungkap Kesusasteraan Jawa”
dalam Konggres Bahasa Jawa (1991: Semarang). Proseding. Edisi
Pertama. Surakarta: Harapan Massa.
Salim, B. 1986. Tarjamah Riadhus Salihin. Dua Jilid. Bandung: PT. Al Ma’arif.
Setyono, B. 2003. “Campursari: Nyanyian Hibrida dari Jawa Postkolonial”, dalam Identitas
dan Postkolonialitas di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudjoko. 1977. “Kebudayaan Massa” dalam Prisma. No. 6. Jakarta: LP3ES.
Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Penerbit ITB. Bandung.
Sunarsih, S. n.d. Lagu-lagu Sholawat Campurngaji. Manuscript.
Syamsuri, B. n.d. Diba’ Arab dan Latin Beserta Terjemahannya. Surabaya: Penerbit
Apollo.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Wahyudi, M. 1997. Mauid Diba’ dan Terjemahnya. Surabaya: Penerbit Indah.
Woolf, H. Ed. 1964. Science as a Cultural Force. Baltimore: John Hopkins Press.
Yahya Omar, T.H.M., 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara dan Seni Tari dalam Islam.
Cetakan ke-2 (Cetakan Pertama Th. 1964). Jakarta: Fa. Widjaya.
BIODATA
Bambang Sunarto, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, dan menerima gelar
doktor dalam bidang ilmu filsafat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Ia adalah
kompnis musik kontemporer, yang karya-karyanya telah dipentaskan di berbagai venue di
dalam dan diluar negeri, seperti di India, Thailand, Philippines, dan Jerman. Ia juga menulis
artikel-artkel ilmiah, yang dimuat di beberapa jurnal, antara lain jurnal Asian Musicology,
Seni, Panggung, Dewa Ruci, Keteg, dan Terob.
Indira Gandhi National Centre for the Arts (IGNCA) telah mempublikasikan buku karyanya
berjudul Between Sangeet and Karawitan: Comparative Study on India and Indonesian
Music. IGNCA juga telah memberinya grant untuk melakukan penelitian yang berlangsung
selama satu tahun di New Delhi, India mengenai hubungan konsep estetik antara musik
Indonesia (karawitan) dengan musik India. Ia juga telah mempersiapkan satu buku untuk
segera diterbitkan, berjudul Metodologi Penciptaan Seni. Di tahun 2012, DAAD
(Deutscher Akademischer Austausch Dienst) yaitu lembaga pertukaran akademik Jerman
(German academic exchange service) telah memberinya grant untuk melaksanakan
penelitian tentang epistemologi penciptaan musik di Lubeck Musikhochscule (University
Music of Lubeck) di Jerman. Sebelumnya, ia diundang oleh National Gugak Center di
Seoul Korea untuk aktif dalam workshop musik. Sekarang, ia adalah Lektor Kepala di
Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indnesia (ISI) Surakarta.
33
Download