Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 3, Januari 2003 AGRO EKOSISTEM TANAMAN OBAT Mono Rahardjo dan Rosita SMD Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Abstract Agro-ecosystem is one of the environment growth factors, and it has a great effect on productivity and quality of medicinal crops. The tolerances of plant species on the environment growth are different. Medicinal crops should be cultivated in suitable agro-ecosystem condition depend on each plant species. Among the environment factors, growth, altitude, rainfall, light intensity, soil fertility, and microorganism having the strongest effect on productivity and quality of medicinal crops. Indonesia has numerous variation of ecosystem, from 0 up to 4,000 m above sea level, so that Indonesia is also called a mega-biodiversity country. There are numerous of medicinal plant species in each ecosystem in Indonesia. Keywords: Agro-ecosystem, medicinal plants PENDAHULUAN Departemen Pertanian melalui paradigma baru menetapkan pembangunan pertanian yang sebelumnya dilakukan melalui orientasi produksi sekarang telah berubah menjadi orientasi agribisnis. Berbagai jenis tanaman obat sangat potensial untuk dikembangkan di dalam system agribisnis. Indonesia merupakan negara yang memiliki keajaiban dunia dalam hal keanekaragaman hayati, menempati urutan ketiga setelah Brazil dan Zaire yang merupakan negara terkaya di dunia mengenai keanekaragaman hayati (1). Hal tersebut mudah difahami sehubungan dengan keanekaragaman ekosistemnya. Di hutan tropika Indonesia terdapat sekitar 30.000 spesies tumbuhan berbunga di antaranya ditemukan 1.260 spesies tumbuhan obat (1). Berdasarkan formasi hutannya, diketahui bahwa sekitar 42% spesies tumbuhan obat terdapat di hutan tropika dataran rendah, 18% terdapat di hutan hujan tropika pegunungan, 18% di hutan musim, 4% di hutan pantai, dan 3% di hutan mangrove. PT Eisai Indonesia (2) telah menghimpun data indeks tumbuhan obat Indonesia sebanyak 3.689 spesies. Selanjutnya menurut Ditjen POM (3) terdapat 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar untuk digunakan oleh Industri Obat Tradisional di Indonesia, di antaranya 180 spesies tumbuhan obat yang berasal dari hutan tropika, sebanyak 49,4% dari total spesies tersebut pada tipe hutan hujan dataran rendah, 21,1% terdapat pada tipe hutan hujan pegunungan, 13,9% pada tipe hutan musim, 6,1% pada tipe hutan savanna, 5,6% pada tipe hutan pantai, san 3,9% pada tipe hutan mangrove. Era globalisasi di abad ke-21, mengubah kecenderungan masyarakat maju kembali ke alam, (back to nature) yang berdampak terhadap peningkatan penggunaan tumbuhan obat di dalam dunia pengobatan. Perkembangan tersebut juga terlihat dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional di Indonesia. Perusahaan obat tradisional pada tahun 2000 telah mencapai 985 buah, padahal pada tahun 1981 hanya terdapat 165 buah dan pada tahun 1991 427 buah. Jumlah perusahaan industri obat tradisional terbesar (76 buah) pada tahun 1992 terdapat di Jawa Timur (4) Untuk memenuhi kebutuhan industri jamu, obat tradisional dan fitofarmaka sebagian besar (sekitar 80%) bahan bakunya diperoleh dari habitat asli di hutan, semak belukar dan di pekarangan tanpa upaya budidaya, sehingga terjadi proses pelangkaan terhadap beberapa spesies tumbuhan obat. Oleh karena itu perlu diantisipasi dengan upaya-upaya pelestarian melalui kegiatan budidaya dengan system agribisnis tanaman obat yang menjamin kelestarian dan kestabilan mutu. Budidaya tanaman obat di samping berorientasi pada produktivitas, tidak kalah penting juga harus berorientasi pada pencapaian mutu yang memenuhi standar. Pengetahuan agro ekosistem tanaman obat diperlukan sebagai petunjuk untuk pengembangan agribisnis yang mempunyai tingkat produktivitas dan mutu tinggi. Pertumbuhan tanaman secara umum termasuk tanaman obat sangat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuhnya, kondisi lingkungan tumbuh yang satu saling terkait dengan factor-faktor lingkungan tumbuh lainnya, yang akhirnya berdampak terhadap tingkat produktivitas dan mutu. Sifat (karakter) tanaman berinteraksi dengan jenis tanah, kesuburan tanah, ketersediaan air, ketinggian tempat, curah hujan, suhu udara, mikroorganisme pengganggu dan intensitas cahaya. Interaksi ini akan berdampak terhadap tingkat produktivitas dan mutu tanaman. INTERAKSI AGRO EKOSISTEM DENGAN PRODUKTIVITAS TANAMAN OBAT Produktivitas tanaman obat tidak tertumpu pada kuantitas hasil panen saja, akan tetapi juga terhadap mutu bahan baku yang dihasilkan. Mutu atau kualitas hasil panen tanaman obat ditentukan oleh kadar bahan aktif (bahan kimia) atau zat yang berkhasiat obat yang dikandungnya, serta terhindarnya dari zat ikutan logam 89 Agro Ekosistem … (Mono Rahardjo dan Rosita SMD) berat yang bersifat racun. Hal ini dapat dimengerti, karena fungsi akhir dari penggunaan bahan baku tanaman obat tersebut adalah sebagai bahan baku obat, sehingga tujuan akhirnya adalah untuk penyembuhan penyakit. Agro ekosistem atau faktor lingkungan tumbuh tanaman sangat berpengaruh terhadap bahan baku yang dihasilkan, baik dilihat dari kuantitas maupun kualitas. Setiap jenis tanaman mempunyai tingkat toleransi yang berbeda terhadap kondisi lingkungan tumbuhnya. Faktor lingkungan tumbuh yang optimal pada setiap jenis tanaman akan mempunyai dampak optimal terhadap tingkat produktivitas dan mutu yang dihasilkan, sehingga upaya pengembangan tanaman obat hendaknya disesuaikan dengan agro ekosistem masing-masing jenis tanaman obat. Faktor lingkungan tumbuh yang banyak berpengaruh dan saling berkaitan terhadap produktivitas dan mutu tanaman obat antara lain adalah ketinggian tempat, curah hujan, tingkat naungan (intensitas cahaya), jenis/tingkat kesuburan tanah, dan keberadaan mikroorganisme pengganggu. KETINGGIAN TEMPAT Penyebaran tanaman obat dimulai dari daerah pantai dengan kondisi tanah kering berpasir, berbatu dan tanah regosol berpasir (1). Contoh tanaman obat yang tumbuh di daerah ini adalah jenis cemara dan waru laut. Di daerah pantai dan tepian sungai berlumpur terdapat hutan mangrove (payau), tanaman obat yang tumbuh di daerah ini antara lain tanaman nipah. Di samping daerah tersebut juga terdapat hutan rawa, di sekitar sungai yang terus menerus atau sering tergenang air, dengan contoh tanaman obat yang tumbuh di lokasi ini adalah pule. Daerah rawa gambut termasuk daerah miskin hara, dengan contoh sukun dan suket katelan. Indonesia mempunyai sebaran kondisi ekosistem yang luas, mulai dari pantai hingga ketinggian 4.000 m dpl, kondisi yang mendukung dalam melimpahnya kekayaan dan keragaman hayati kita. Banyak ditemukan jenis-jenis tanaman obat pada tiap ekosistem tersebut. Untuk menjaga kelestarian dan kestabilan baik jumlah maupun mutu tanaman obat, maka untuk pasokan ke industri, tidak seharusnya perolehan bahan baku tanaman obat menggantungkan dari cara menambang. Karena itu pengembangan tanaman obat perlu diangkat ke tingkat agribisnis tanaman obat. Untuk mengangkat tanaman obat ke tingkat usaha agribisnis diperlukan pengetahuan mengenai kesesuain lingkungan tumbuh termasuk ketinggian tempat tumbuh. Ketinggian tempat berkaitan erat dengan suhu udara dan suhu tanah dan aktivitas fotosintesis. Setiap jenis tanaman mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kondisi tersebut, dan tidak dapat dipaksakan penanaman pada daerah yang 90 bukan habitatnya (kondisinya), sehingga pilihan perlu ditentukan pada tanaman obat yang dikehendaki untuk dibudidayakan pada lokasi budidaya yang sesuai habitatnya. Sebagai contoh kayu angin hanya dapat tumbuh di ketinggian tempat 1.000-3.000 m dpl, jangan dipaksakan untuk ditumbuhkan di bawah 500 m dpl. Ketinggian tersebut berkaitan erat dengan suhu udara. Tanaman jahe tumbuh optimum pada suhu 25-30 C, pada suhu di atas 35 C daun akan hangus dan mongering. Jahe tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 300-900 m dpl (5), sedangkan kencur dan lidah buaya tumbuh baik di dataran rendah. Tanaman merupakan mesin biologis, kemampuan produksinya diatur dan disesuaikan dengan struktur sel, jaringan dan organ yang telah terbentuk sesuai dengan lingkungan tumbuhnya, termasuk kesesuaian terhadap suhu lingkungan yang dipengaruhi oleh ketinggian tempat. CURAH HUJAN Jumlah curah hujan menggambarkan keberadaan air sebagai penopang kehidupan tanaman. Tanaman tidak dapat tumbuh tanpa air, karena jaringan tanaman sebagian besar adalah air yakni lebih kurang 95%. Kekurangan air pada tanaman dapat menghambat pertumbuhan dan menurunkan produktivitas tanaman (6). Tanaman obat yang sebagian besar tumbuh liar di hutan, semak-semak, padang rumput, pematang sebagai gulma memiliki daya adaptasi lebih besar terhadap kekurangan air. Beberapa tanaman obat mati pada musim kering dan tumbuh kembali pada musim penghujan. Tanaman obat yang dibudidayakan seperti jahe, kencur, kumis kucing, tempuyung, katuk, hampir semuanya ditanam pada lahan tegalan, dan tadah hujan, kecuali katuk yang ditanam pada lahan tegalan yang dapat diairi. Tanaman jahe dan sejenisnya (suku Zingiberaceae) memerlukan bulan basah 7-9 bulan, sehingga dapat dikembangkan pada tipe iklim A, B1 dan B2 menurut Oldeman (7), sedangkan untuk tanaman katuk lebih sesuai dibudidayakan pada tipe iklim A walaupun dapat juga ditanam hingga tipe iklim B1 dan B2, dengan syarat sewaktu-waktu apabila kekurangan air, perlu disiram. Tanaman penghasil herba seperti kumis kucing, tapak dara dan tempuyung tumbuh baik pada tipe iklim B2 dan C. Cabe dan kemukus termasuk tanaman yang dapat tumbuh di daerah kering dengan tipe iklim C. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada tanaman penghasil herba, kalau diberikan cekaman kekeringan, kandungan zat aktifnya meningkat, walaupun terjadi penurunan produktivitas herbanya, misalnya sebagai contoh tanaman pegagan (8) dan tanaman tempuyung (9, 10). Untuk itu disarankan upaya peningkatan mutu kandungan zat berkhasiat pada tanaman obat penghasil herba, budidayanya diarahkan ke daerah tipe iklim C bahkan sampai ke daerah tipe iklim D. Dapat juga tanaman obat dikembangkan pada tipe Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 3, Januari 2003 iklim A dan B akan tetapi waktu panennya dilakukan pada musim kemarau, atau pada saat tanaman menjelang berbunga. TINGKAT NAUNGAN Semua tanaman obat memerlukan sinar matahari untuk aktivitas fotosintesisnya, walaupun setiap jenis tanaman mempunyai toleransi yang berbeda. Apabila jumlah sinar yang diterima berkurang sampai pada tingkat tertentu maka produktivitas dan mutunya menurun. Budidaya tanaman obat juga sering dilakukan dengan cara tumpang sari. Contohnya tempuyung ditanam bersamaan dengan jagung, bawang merah bahkan dapat ditanam di bawah tegakan pisang, yang tingkat naungannya mencapai 50%. Walaupun mutu bahan aktifnya menurun pada tingkat naungan hingga 50%, akan tetapi mutunya masih memenuhi standar yang telah ditentukan oleh Materia Medika Indonesia, sehingga untuk tanaman tertentu masih layak ditanam di bawah tegakan dengan naungan 50%. Jahe dan kencur juga dapat ditanam secara tumpang sari dengan tanaman jagung, cabai, dan di bawah tegakan tanaman keras. Jahe besar masih toleran mendapat naungan sampai 25%, sedangkan untuk jahe emprit dan jahe merah mampu tumbuh pada naungan hingga 40% (4), sedangkan tanaman pegagan masih mampu tumbuh pada naungan hingga 55% dan mutunya akan menurun setelah mendapat naungan 75% (11) JENIS DAN TINGKAT KESUBURAN TANAH Jenis dan tingkat kesuburan tanah merupakan 2 faktor penentu terhadap tingkat produktivitas dan mutu tanaman obat. Tanaman obat penghasil rimpang dari suku Zingiberaceae (jahe, kencur, temu putih, dll.) dan penghasil umbi dari suku Umbeliferae (purwoceng) memerlukan tanah yang gembur di samping subur. Budidaya tanaman obat suku ini memerlukan bahan organik tanah yang relatif tinggi. Untuk pembentukan rimpang dan umbi diperlukan tanah yang gembur, fraksi pasirnya cenderung lebih tinggi atau seimbang dibandingkan fraksi liatnya, sehingga tanaman obat yang termasuk pada suku tersebut pada umumnya dibudidayakan pada tanah latosol, andosol, dan regosol. Kebutuhan bahan organik yang relatif tinggi selain untuk mempertahankan iklim mikro tanah yaitu menjaga kelembaban, suhu, aerasi, juga diperlukan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Untuk perkembangan rimpang dan umbi perlu kelembaban dan suhu yang stabil dan aerasi tanah yang baik. Selain penghasil rimpang dan umbi, terdapat tanaman obat penghasil daun (jambu biji dan daun ungu), herba (batang, ranting dan daun) seperti kumis kucing dan tempuyung, kulit kayu (kina), biji (adas), buah (mengkudu). Kebutuhan adaptasi tanaman obat jenis tersebut terhadap media tumbuh (jenis tanah) relatif lebih luas, dari kondisi tanah yang gembur hingga tanah yang relatif agak berlempung, dapat tumbuh pada jenis tanah yang kandungan liatnya relatif lebih tinggi dibandingkan kandungan pasirnya. Kesuburan tanah (kandungan hara tersedia) merupakan faktor penentu terhadap produktivitas dan mutu bahan baku obat. Semua tanaman, termasuk tanaman obat, diperlukan hara yang seimbang untuk menopang pertumbuhannya secara optimal sehingga produktivitasnya tinggi, Kekurangan salah satu hara atau tidak seimbangnya kebutuhan hara dapat menyebabkan penurunan hasil dan mutu zat berkhasiat obat. Sehingga tidak jarang bahan baku tanaman obat yang sampai ke industri mutunya masih di bawah standar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh perolehan bahan baku obat tersebut dengan cara menambang di semak-semak, hutan dan atau hasil budidaya yang seadanya, adalah tidak terpenuhinya kebutuhan hara yang seimbang. Untuk mencukupi kebutuhan hara yang seimbang dan optimal, perlu upaya pemupukan. Pada akhir-akhir ini muncul pertanian organik untuk memperoleh produk yang higienis dan menghindari pencemaran lingkungan. Budidaya tanaman obat jarang menggunakan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Pertanian organik bukan berarti budidaya yang hanya menggunakan pupuk organik saja, atau tidak boleh sama sekali menggunakan pupuk an organik dengan jumlah yang secukupnya atau sedikit mungkin. Sebagai contoh, Produksi rimpang jahe sebesar 24 ton/ha mengangkut sebanyak 60 kg unsur N, 47,2 kg P2O5 dan 78 kg K2O. Jumlah ini belum termasuk yang terbawa di dalam batang dan daun. Cukup besar hara yang terangkut oleh tanaman, sehingga hara tersebut harus disediakan Melalui pemupukan. Menurut Sumarmata (12) kondisi agroekologis sangat erat dengan efisiensi pemupukan yang diberikan kepada tanaman. Efisiensi pupuk yang terserap tanaman di daerah tropis relatif rendah, pupuk urea hanya sekitar 20-30%, pupuk KCl sekitar 30-50%, dan SP-36 lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi pupuk urea dan KCl. Tanah sebagai media tumbuh, penyedia hara tanaman, kadang-kadang di lain pihak juga penyedia zatzat yang tidak diinginkan. Pada beberapa daerah tertentu kandungan logam beratnya cukup tinggi, misalnya pada lokasi penambangan timah dan emas. Tanaman obat yang ditanam pada lokasi tersebut kandungan logam beratnya akan tinggi, sehingga sebagai bahan baku obat tidak boleh dipergunakan. Lokasi penanaman tanaman obat yang mempunyai potensi tercemar logam berat juga terjadi pada area yang dekat dengan Jalan raya yang padat kendaraan. Sisa pembakaran dari kendaraan dapat mencemari tanaman obat sekitarnya, terutama yang terkandung di dalam daun, sehingga budidaya tanaman obat pada lokasi tersebut dihindari. 91 Agro Ekosistem … (Mono Rahardjo dan Rosita SMD) MIKRO ORGANISME PENGGANGGU Serangan hama dan penyakit tanaman terhadap tanaman obat relatif lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pangan. Walaupun Demikian terdapat beberapa kasus penyakit pada tanaman obat yang sulit diatasi seperti layu bakteri (Pseudomonas solanacearum) pada jahe (11), sampai sekarang belum dapat diatasi. Untuk pencegahan terhadap penyakit ini dalam budidaya tanaman obat diupayakan dengan melakukan pergiliran tanaman, penggunaan lahan bebas patogen, penggunaan benih yang sehat, melakukan tumpang sari dengan tanaman yang dapat menekan pertumbuhan layu bakteri seperti jagung dan tanaman bawang daun. Pemberantasan hama dan penyakit pada budidaya tanaman obat diupayakan tidak menggunakan pestisida sintesis, dan dianjurkan menggunakan bahan alami yaitu pestisida nabati yang telah banyak dipasarkan. CONTOH TANAMAN OBAT YANG TELAH DIBUDIDAYAKAN BESERTA AGROEKOLOGINYA Beberapa jenis tanaman obat beserta adaptasi terhadap lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, curah hujan, jenis tanah), juga kandungan zat kimia yang berkhasiat, dan kegunaan (khasiatnya) untuk pengobatan tradisional tercantum dalam Tabel 1. Jumlah tanaman obat di Indonesia sangat banyak tetapi hanya beberapa jenis yang dapat disajikan. Dari sekian jenis yang disajikan, beberapa jenis tanaman obat lainnya, maka potensial untuk dikembangkan ke tingkat agribisnis. Jahe merupakan komoditas ekspor unggulan dibandingkan jenis tanaman obat lainnya, maka potensial untuk dikembangkan. Kencur dan adas untuk mencukupi kebutuhan dalam Negeri masih kurang, yaitu untuk memasok kebutuhan industri obat tradisional. Beberapa industri obat tradisional kita melakukan impor untuk memenuhi kebutuhannya. Masih banyak lagi komoditas yang potensial untuk diekspor atau memenuhi kebutuhan sendiri contohnya lidah buaya, cabe jawa, kemukus, kunyit, temu putih dan masih banyak lagi. DAFTAR PUSTAKA 1. Zuhud, E.A.M, Ekarelawan dan S.Riswan. 1994. Hutan Tropika Indonesia sebagai sumber keanekaragaman plasma nuftah tumbuhan obat. 92 Pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia. Jur. Konservasi Sumberdaya Hutan Fak. Kehutanan IPB dan LATIN, Bogor, h.1-15 2. Eisai Indonesia PT. 1986. Medicinal Herb Index in Indonesia (Indeks Tumbuhan Obat di Indonesia), Bilanguages. 3. Ditjen POM.1991. Laporan Tahunan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional 1990/1991. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta 4. Suporahardjo dan D. Hargono. 1994. Industri Obat Tradisional di Indonesia. Pelestarian pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia. Jur. Konservasi Sumberdaya Hutan Fak. Kehutanan IPB dan LATIN, Bogor, h.51-70. 5. Januwati, N.M. dan M.Yusron.2002. Mengenal Jahe dan Perkembangan Teknologi Budidaya. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari “Peluang Ekspor Jahe Asal Indonesia Melalui Sistem Agribisnis Bagi Hasil Yang Aman” Jakarta 20 Juli 2002,23 h 6. Mejaya, M.J. 2000. Respon of sorghum genotype for tolerance to drought. Agra vita, Jour. On Agri. Sci.21(2):1-4 7. Oldeman, L.R.1975. An agro-climatic map of java. Contribution, Central Research Institute for Agriculture, No.7,22p 8. Rahardjo, M., Rosita SMD dan Sudiarto. 2000a. Produktivitas dan kadar flavonoid simplisia tempuyung (Sonchus arvensis L) yang diperoleh pada berbagai tingkat kondisi stress. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, 6 (2): 13-15. 9. Rahardja, M dan I. Darwati. 2000b. Pengaruh cekaman air terhadap Produksi dan mutu simplisia tempuyung (Sonchus arvensis L.). Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 6(3): 73-79. 10. Rahardjo, M dan Rosita SMD, R. Fatahan dan Sudiarto. 1999. Jurnal Penelitian Tanaman Industri, 56(3): 92-97 11. Sudiarto, M.U. Kuswara, Dediwan, Hernani, M.Januwati, M. Rahardjo, M. Yusron, Rosita SMD, E.R Pribadi, H.Moko, K. Mulya, L. Dachlia, E. Tresnawati, C. Syukur, Nurmaslahah, D. Sitepu, dan C. Winarti. 1998. Peningkatan produktivitas dan mutu tanaman obat untuk bahan baku industri fitofarmaka. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 58 h. Zingiber cassumunar Roxb. Bangle Curcuma xanthorriza Roxb. Temu lawak Kaemferia galanga L. Kencur Curcuma domestica Val. Kunyit Curcuma mangga Temu mangga Curcuma zedoaria (B) Rosc. Temu putih Amomum cardamomum Wild Kapulaga 3. 4. 5. 6. 7. 8. Suku Zingiberaceae Zingiber officinale Rosc. Jahe 1. 2. Nama Jenis No. 20 – 1.000 400 – 1.000 200 – 1.000 240 – 1.200 80 – 300 100 – 1.500 100 – 1.500 300 – 900 Ketinggian tempat (m dpl) 2.500 – 4.000 900 – 1.250 1.000 – 2.000 2.000 – 4.000 2.100 – 4.000 1.500 – 4.000 2.000 – 3.500 2.500 – 4.000 Curah hujan (mm/th) Tanah berkapur, dan lempung berpasir Latosol, alluvial, dan regosol Latosol, alluvial, dan regosol Latosol, andosol, podzolik, dan regosol Latosol, andosol, dan regosol Latosol, alluvial, dan regosol Latosol, andosol, dan regosol Latosol dan andosol Jenis tanah Biji Rimpang Rimpang Rimpang Rimpang Rimpang Rimpang Rimpang Bagian digunakan Minyak atsiri, αborneol, dan βchampor Minyak atsiri, sineol, a-champor, d-borneol, seskuiterpen, seskuiterpenol, dan seskuiterpen alkohol Saponin, dan flavonoid Minyak atsiri, champor, sineol, dan borneol Minyak atsiri, kurkumin, resin, dan oleoresin Minyak atsiri dan xanthorisin Minyak atsiri, sineol, pinen, seskuiterpen Minyak atsiri dan oleoresin Kandungan kimia Tabel 1. Contoh Tanaman Obat yang Telah Dibudidayakan dan Agro-Ekologi Serta Khasiatnya 93 Rematik, sakit perut, antidiare, peluruh empedu (kolagoga), karminatif, dan hepatoprotektor Obat gangguan pencernaan, sakit perut, dan kanker payu dara Obat lemah syahwat, pelancar peredaran darah dan pernafasan, penambah nafsu makan, pelancar haid, sakit perut, dan penawar racun Mengencerkan dahak, karminatif, menghangatkan badan, menghilangkan rasa sakit Obat batuk, sakit perut, obat gosok, dan sakit kulit Karmiatif, mengeluarkan gas dari saluran pencernaan, kosmetika Obat gangguan pencernaan getah empedu, jerawat, dan hepatoprotektor Obat batuk, rematik, sakit perut dan obat gosok Khasiat Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 3, Januari 2003 Dataran rendah – 700 200 – 1.300 1 – 800 100 – 1.200 Suku Euphorbiaceae Sauropus androginus (L.) Merr. Katuk Suku Sercuiaceae Guazuma ulmifolia Lamk. Jati belanda Suku Lamiaceae Orthosiphon aristatus Bl. Miq. Kumis kucing 13. 14. 15. 94 12. 11. Piper cubeba L.F. Kemukus 1.800 – 3.000 1.600 – 2.400 Ketinggian tempat (m dpl) 1 – 600 Pimpinella pruatjan Purwoceng Suku Umbeliferae Foeniculum vulgare Mill. Adas Nama Jenis Suku Piperaceae Piper retrofractum Vahl. Cabe jawa 10. 9. No. Tabel 1. Lanjutan … Agro Ekosistem … (Mono Rahardjo dan Rosita SMD) 3.000 1.250 – 2.500 2.000 – 3.000 1.250 – 2.500 1.250 – 2.500 255 – 3.000 2.500 Curah hujan (mm/th) Latosol, alluvial, dan podzolik Andosol, grumosol, latosol, podzolik, dan regosol Latosol dan alluvial Andosol, grumosol, latosol, podzolik, regosol Tanah berlempung Andosol Latosol Jenis tanah Daun Daun Daun Buah Buah dan akar Umbi/akar, daun & bunga Buah Bagian digunakan Minyak atsiri, sinesitin, glikosida orthosiphonin, dan saponin Tannin, lendir, dan damar Asam amino Piperin, diknamid, kuinesin Pipernonalina, pipersida, piridin, tannin, dan gliserida Minyak atsiri, asam kubebat, damar, kubebin, Piperin, minyak lemak Alkaloid, polifenol, flavonoid Minyak atsiri, flavonoid, dan lemak Kandungan kimia Obat ginjal, pelancar urine, encok, pengapuran pembuluh darah dan radang kemih Pelangsing tubuh, obat batuk rejan, perut nyeri, perut kembung dan sesak nafas Obat bisul, borok, darah kotor, pelancar ASI, dan zat pewarna Antidiare Obat demam, mulas, lemah syahwat dan obat sakit gigi Karminatif, radang, batuk, sakit perut, demam dan ambeien Obat kuat dan peluruh air seni Khasiat Pegagan 200 – 2.500 100 – 1.000 Suku Liliaceae Aloe vera L. Lidah buaya 18. Suku Apiaceae Centella asiatica (L.) Urban. 200 – 700 Suku Acanthaceae Andrographis paniculata Ness. Sambiloto 17. 19. 200 – 1.500 Ketinggian tempat (m dpl) Suku Rubiaceae Morinda citrifolia Linn. Mengkudu Nama Jenis 16. No. Tabel 1. Lanjutan … 1.500 – 2.500 50 – 300 1.500 – 3.000 1.500 – 3.000 Curah hujan (mm/th) Latosol dan andosol Latosol, alluvial, andosol, dan grumosol Latosol., alluvial, andosol, dan mediteran Latosol, alluvial, andosol, podzolik dan regosol Jenis tanah Herba Daun pelepah Herba Buah dan daun Bagian digunakan Asam asiatikosid, asiatik dan madekasik Asam amino, poliskarida, sterol, enzim dan vitamin Asam kersik, damar dan logam alkali Xeronin, prozeronin, proxeronase, serotonin, damnacathal (zat antikanker) dan scopoletin Kandungan kimia 95 Obat awet muda, diuretik, asma, luka, radang, bronchitis, disentri lepra, dan penambah nafsu makan. Antibiotik, mag, tukak lambung, rematik, diabetes, antistres, kecanduan obat, kanker dan hepatitis Diuretik, antipiretik, radang, borok, radang tonsil, kena racun, eksim, disentri, masuk angin Obat hipertensi, sakit Kuning, sakit perut, influenza, batuk, masuk angin, menghilangkan sisik pada kaki Khasiat Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN 1412-2855 Vol. 2, No. 3, Januari 2003