BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Café The House of Raminten menghadirkan sebuah sisi yang mencoba mengimplemantasikan budaya Jawa ke dalam sebuah tempat makan dan hiburan yang berada di tengah kota Yogyakarta. Café Raminten adalah salah satu dari sekian banyak café yang menjamur saat ini di Yogykarta dan sekaligus mempunyai konsep yang unik yaitu konsep Jawa Keraton Yogyakarta. Dengan konsep inilah café The House of Raminten dikenal dan diterima oleh masyarakat Yogyakarta khususnya para pelanggan café. Simbol Raminten yang berarti “wanita berkebaya” sangat identik dengan konsep mereka dalam berbisnis, konsep lokal seperti itu ternyata masih laku dan masih diminati oleh masyarakat khususnya masyarakat Yogyakarta. Dalam membuat suatu inovasi yang dapat menarik konsumen menjadi customer loyal tetap harus menggunakan strategi komunikasi yang diciptakan melalui karyawan sebagai media komunikasi, dimana karyawan selain bertugas melayani customer secara langsung juga bertugas menyampaikan pesan konsep Jawa yang diciptakan dengan didukung oleh dekorasi baik interior maupun eksterior yang sangat kental dengan budaya Jawa. Mengenai simbol Raminten ada beberapa simpulan penting yang menyangkut dalam implementasi nilai budaya organisasi yang mana dijadikan suatu strategi besar bagi perusahaan: 1. Image yang muncul dari Café The House of Raminten merupakan kumpulan dari simbol-simbol dan artefak-artefak secara visual yang unik dan istimewa. 2. Kekuatan dari identitas perusahaan dilakukan sebagai strategi dalam membentuk image. 3. Manajemen tidak melakukan riset khusus untuk melihat bagaimana perkembangan dari strategi tetapi pihak manajemen hanya mengandalkan dari segi kuantitas yaitu tingkat kepadatan pengunjung. Konsep Jawa yang hadir secara sengaja dijadikan refleksi dari penampilan budaya organisasi dari café The House of Raminten yaitu secara attitude, ritual, sosialitas, dan enkulturasi yang mempermudah mengukur seberapa besar konsep Jawa yang hadir dalam budaya organisasi di perusahaan ini. Di dalam penampilan budaya organisasi di café The House of Raminten mengalami perubahan budaya secara berlahan, yaitu dengan konsep awal Jawa kuno menjadi Traditional Café with Modern Look. Penampilan budaya mengalami perubahan atas dasar permintaan customer dan hasil dari eksperimen sang pamilik yang ingin berinovasi dalam mengikuti kemajuan jaman. Dalam penampilan budaya kerja yang pertama adalah attitude, dimana dalam level ini membahas tentang akar dari budaya kerja itu sendiri yaitu bagaimana perilaku karyawan yang semestinya sesuai dengan konsep Jawa yaitu perilaku orang Jawa Keraton Yogyakarta yang santun, lemah gemulai, ramah dan menghibur. Lalu level ritual membahas tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan sehingga membentuk budaya kerja, seperti ritual briefing sebelum dan sesudah jam kerja dan ritual duduk bersimpuh. Untuk penampilan budaya kerja yang ketiga adalah sosialitas, ini berkaitan dengan kemampuan karyawan dalam menjalin komunikasi dengan customer. Penampilan budaya yang paling krusial adalah proses enkulturasi karyawan, dimana proses ini merupakan pengenalan dan pemahaman karyawan atas nilai budaya perusahaan yang akan diimplementasikan. Proses enkulturasi di café The House of Raminten berhubungan langsung dengan penetrasi budaya yakni bagaimana budaya lokal atau budaya melankolis atau budaya konvensional di hadirkan kembali dan di ajarkan kembali kepada setiap individu karyawan yang mayoritas karyawan hidup di masa sekarang atau masa modern. Dalam prilaku budaya organisasi yang dimunculkan oleh para karyawan melalui attitude dan tingkah laku dilapangan, hal tersebut berasal dari nilai organisasi yaitu keramahan, santun, apresiasi konsumen dan konsistensi sebagai tuntunan dalam melakukan setiap interaksi memunculkan praktek-praktek organisasi yaitu kebijakan perusahaan, karyawan, customer dan masyarakat, dari 4 indikator tersebut lahirlah bentuk-bentuk implementasi dari nilai budaya organisasi atas dasar konsep Jawa. Didalam keempat indikator tersebut muncul berbagai macam jenis artefak yang sengaja diciptakan oleh pihak perusahaan. Hal ini mengamini pendapat Edgar H Schein yang mengatakan bahwa artefak disini bisa dikategori baik dalam bentuk fisik dan non fisik, yang artinya bahwa artefak muncul untuk mengimplementasikan nilai budaya organisasi ke dalam iklim dilapangan. Tentu saja artefak –artefak tersebut didasarkan pada konsep Jawa yang sengaja dihadirkan sebagai kunci dan limitasi dalam membuat strategi bisnis. Kemudian Schein meneruskan, selanjutnya mengenai system kepercayaan dan nilai yang dianut dalam organisasi. Nilai budaya yang melekat dalam diri Bapak Hamzah selaku pemilik dan pencetus ide konsep Jawa di café The House of Raminten, yang kemudian disosialisasikan kepada para karyawannya, pada akhirnya kembali pada aspek-aspek penting dalam perusahaan yaitu: 1. Visi misi dan tujuan perusahaan, yang mengarah pada pelestarian budaya lokal untuk jangka panjang dan pensejahteraan para karyawan untuk jangka pendek. Visi misi dan tujuan organisasi didasari oleh pandangan dan keyakinan yang bersumber dari nilai yang dianut organisasi. 2. Strategi, yang mengacu pada konsep Jawa yang berorientasi pada human focus, dimana factor manusia menjadi kunci atau factor inti dalam pergerakan organisasi, pencapaian tujuan dan implementasi nilai budaya organisasi. Meskipun pada kenyataannya strategi yang dibuat tidak melalui riset terlebih dahulu tetapi langsung melihat pencapaian pendapatan dari segi profit. 3. Kebijakan organisasi, yang mana membahas tentang aturan-aturan dan kepentingan organisasi sebagai bagian dari pelaksanaan strategi dan penerapan nilai budaya organisasi. Dengan tiga aspek tersebut akan menjadi acuan dasar dalam membangun system kepercayaan dan nilai yang dianut dalam perusahaan khususnya dalam benak individu para karyawan. Kemudian bagian terakhir yang dikemukakan oleh Schein adalah tentang asumsi dasar, berbicara tentang penelitian ini jika dikaitkan dengan asumsi dasar akan melahirkan suatu pernyataan bahwa ditengah zaman yang serba modern dan era westernisasi sedang marak dibicarakan, café The House of Raminten hadir mengusung tema budaya lokal yaitu budaya Jawa Keraton Yogyakarta yang dapat diterima oleh masyarakat dan masih menjadi peluang bisnis khususnya dibidang kuliner yang sangat besar. Dalam praktek organisasi yang berkonsep Jawa telah menimbulkan makna yang spesifik dalam nilai budaya organisasi yang dianut oleh café The House of Raminten, sehingga masyarakat terutama para customer café The House of Raminten menerima kehadiran café ini dan akan terjadi “keinginan untuk membeli kembali”. Ada nilai-nilai pesrawungan yang harus dipegang, baik kita sebagai pekerja sosial maupun politik sekalipun. Tetapi ada juga nilai-nilai lain misalkan ojo nggege mongso, sebenarnya dalam penelitian ini berbicara tentang bisnis yang mana pemilik dan managemen melakukan berbagai hal untuk dapat memajukan usaha disamping juga ingin memajukan tradisi budaya lokal khususnya budaya lokal di Yogyakarta. Nah, inikan ”nggege mongso” dalam arti dimensi derajat, semat (materi), dimensi pamrih, meri misalkan: ”dia bisa, kok saya tidak bisa?”. Jadi ini bisa kita olah secara sistematis dan bisa diimplementasikan dalam perilaku bisnis atau perilaku dunia usaha yang lainnya. Konsep yang tidak sengaja hadir dari dalam tubuh perusahaan Raminten ini yang menjadi kerisauan peneliti yaitu terkait inkonsistensi konsep Jawa yang menjadi sebuah konsep besar bagi perusahaan dan juga dalam perspektif bisnis. Inkonsistensi yang muncul adalah tentang munculnya level glokalisme di tengah konsep lokal yang digadang-gadang sebagai konsep dasar berdirinya café The House of Raminten. bagi pihak managemen maupun pemilik tidak sadar bahwa ketidak sengajaan dengan alasan inovasi yang mengikuti perkembangan jaman akan memudarkan nilai budaya dari konsep Jawa yang ada. Berbicara tentang salah satu nilai perusahan yang dianut yaitu konsistensi, perusahaan dengan secara jelas belum berhasil menerapkan nilai konsistensi terhadap tata cara berbisnis yang berbasis konsep Jawa. Secara tangible jelas mereka menunjukan kekentalan Jawa kuno dengan dekorasi ataupun kostum yang sudah dibahas di bab sebelumnya, tetapi terdapat kejanggalan dengan nama café dan bentuk-bentuk produk yang dihasilkan. Perusahaan mengklaim bahwa konsep yang di sajikan juga sudah sesuai dengan visi misi dan tujuan perusahaan, tetapi pada kenyataannya mereka berinovasi mengikuti perkembangan jaman dan kemauan customer yang kesemuanya tersebut akan menjauh dari konsep awal yang ada. Dari kesimpulan yang didapatkan, secara praktis peneliti menyarankan kepada café The House of Raminten mengevaluasi metode dan strategi dalam implementasi nilai budaya organisasi sesuai dengan praktek-praktek organisasi berbasis konsep Jawa yang telah dikemas dalam sebuah café. Praktek-praktek organisasi memunculkan beberapa saran yaitu: 1. Lebih disiplin dalam melakukan ritual yakni briefing sebelum bekerja, karena ritual tersebut sangat bermanfaat bagi masing-masing karyawan dalam bertukar informasi pada saat bekerja. 2. Manajemen café The House of Raminten masih cenderung traditional untuk ukuran café yang sudah besar dan mempunyai 4 cabang, untuk itu harusnya bisa membentuk struktur organisasi secara baku, karena perkembangan bisnis perlu diiringi dengan manajemen yang semakin tertata dan terstruktur. Dan juga pihak manajemen lebih menigkatkan profesionalisme untuk mengantisipasi perkembangan dan persaingan bisnis kuliner yang semakin ketat. 3. Tetap mempertahankan brand image yakni unik, bernuansa lokal, murah dengan tampilan restorant yang akan menjadikan magnet tersendiri untuk para pengunjung. 4. Tetap mempertahankan ciri khas Jawa dengan berinovasi tetapi tidak terkontaminasi dengan era modern yang semakin merajai pasar hiburan khususnya di Yogyakarta. 5. Membuka jaringan kerjasama dengan pihak manapun, kalau selama ini yang dilakukan café The House of Raminten adalah hanya bekerja sama dengan Departemen Pariwisata dan Kebudayaan saja, supaya menjadi perhatian bahwa tujuan perusahaan adalah untuk melestarikan kebudayaan Keraton Yogyakarta, jadi sangat dianjurkan untuk berkerja sama dengan pihak manapun sehingga tetap terjaga eksistensi dan tercapainya tujuan perusahaan. B. Saran Secara akademis, peneliti dapat memberi saran kepada insan akademis yang lain untuk meneliti lebih mengembangkan penelitian tentang nilai budaya organisasi yang berkonsep budaya lokal. Karena sejauh ini, peneliti melihat belum banyak penelitian tentang nilai budaya organisasi yang berkonsep budaya lokal, penelitian yang banyak berkembang adalah justru penelitian tentang nilai budaya organisasi perusahaan multinasional yang berbasis profit. Sebagai peneliti pemula, harus diakui bahwa nilai budaya organisasi berkonsep budaya lokal lebih rumit karena interpretasi yang dilakukan peneliti harus kuat dan juga harus mampu membatasi penelitian karena nilai budaya organisasi berkonsep budaya lokal ini cenderung akan menarik jika diteliti dari perspektif antropologi yang mana membahas tentang budaya lokal secara mendalam. Tetapi ternyata dari sisi perspektif manajemen komunikasi tidak kalah menariknya, karena banyak hal yang bisa dilihat salah satunya munculnya praktek-praktek organisasi dan berbagai artefak serta simbol-simbol yang muncul dalam perusahaan yang berkonsep Jawa. Studi nilai budaya Jawa ini terutama tentang sebuah perusahaan yang memiliki konsep yang kuat yaitu konsep Jawa akan banyak menghadapi tantangan baik dari segi eksternal maupun internal, dalam level eksternal sudah dijelaskan bahwa inovasi yang berujung modernitas akan melunturkan konsep awal dan anggapan hanya sebagai “simbol” akan sangat kuat, dalam level internal kebijakan-kebijakan untuk karyawan harus mampu mendominasi dan menjadi prinsip dasar karyawan bekerja di perusahaan tersebut, sehingga nilai budaya Jawa di café The House of Raminten dapat berjalan dengan utuh seiring dengan kemajuan jaman yang semakin berkembang.