BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, kedudukan hukuman mati sebagai sebuah praktek hukum
legal terus menjadi perbincangan tidak hanya pada level nasional namun juga
internasional. Kedudukan hukuman mati terus dibincang di dalam organisasiorganisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, parlemen nasional,
pers, bahkan, terus bermunculannya para intelektual organik 1 sebagai aktor-aktor
yang concern di bidang ini, menambah riuh perbincangan yang ada.
Perbincangan mengenai kedudukan hukuman mati bukanlah sesuatu yang
baru, dapat dikatakan, perbincangan semacam ini sudah terjadi sejak awal
manusia membangun peradabannya. 2 Perbedaannya adalah bahwa perbincangan
yang terjadi dewasa ini terdapat ukuran baru untuk menilainya, yaitu “pelanggaran
terhadap hak-hak asasi manusia/pelanggaran HAM”.3 Fenomena ini tentunya
1
Antonio Gramsci mendefinisikan intelektual organik sebagai aktor intelektual yang
kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat, yakni dengan kelompok
atau kelas yang mereka wakili. Lihat Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap
Pembangunan Dunia Ketiga (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 43.
2
Jimly Assiddiqy,”Kata Pengantar” dalam Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan
Pendapat Hakim Konstitusi (ed.) Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay (Jakarta: Kompas,
2009), hlm. x.
3
Setelah Perang Dunia II, terdapat tiga gagasan utama yang bersama disepakti harus
dijaga masyarakat internasional, yaitu: gagasan mengenai hak menentukan nasib sendiri, mengenai
hak asasi manusia, dan gagasan mengenai perdamaian. Tiga hal ini, kini menjadi ukuran di dalam
masyarakat internasional melakukan hubungan satu sama lain. Lihat Antonio Cassese, Human
Rights in a Changing World (Philadelphia: Temple University Press, 1990).
1
2
merupakan implikasi, di tengah masyarakat internasional yang kini semakin
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai ilustrasi, setelah berakhirnya perang dunia II pada tahun 1945,
masyarakat internasional sejak saat itu telah memiliki aturan baku dalam
melakukan hubungan internasional satu sama lain. Setelah melalui perdebatan
panjang di antara anggota-anggotanya, masyarakat internasional pada akhirnya
sepakat membentuk kesepakatan-kesepakatan yang mereka tuang dalam bentuk
sebuah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui perserikatan inilah,
di dalam piagamnya disebutkan, bahwa terdapat tiga gagasan utama yang harus
dipatuhi bersama warga internasional, yaitu, gagasan mengenai hak menentukan
nasib sendiri, gagasan tentang hak asasi manusia, dan gagasan tentang
perdamaian. Sebuah lampu hijau bagi perkembangan dan penjagaan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan yang selama berabad-abad kurang diperhatikan dunia
internasional.
Perkembangan dan penjagaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan semakin
meyakinkan setelah dianutnya sumber-sumber hukum internasional4 khususnya
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau lebih populer dengan
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia pada tahun 1948 dan diperkuat dua
buah Kovenan tahun 1966. Masyarakat internasional hampir tanpa terkecuali telah
4
Mengenai sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual
yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi
suatu peristiwa atau situasi tertentu. Secara garis besarnya bahan-bahan tersebut dapat
dikategorikan dalam lima bentuk, yaitu: kebiasaan; traktat; keputusan pengadilan dan badan-badan
arbitrasi; karya-karya hukum; keputusan atau ketetapan organ-organ/lembaga internasional.
Selengkapnya lihat J.G. Starke, Introduction to International Law (Butterworth & Co. Publisher,
1989), hlm. 429.
3
memiliki sebuah standar internasional (international norm standart) untuk
menentukan bagaimana akan bertindak dan bagaimana menilai satu sama lain.
Standarisasi ini tidak hanya memiliki sifat dilaksanakan secara universal, akan
tetapi juga mencakup prinsip-prinsip yang bernilai di bidang-bidang yang tadinya
tidak diperhatikan dalam konstitusi-konstitusi warga internasional. Jika dulunya
sebuah negara dapat dengan entengnya menyiksa warga negaranya sendiri, kini di
samping penyiksaan, standarisasi internasional ini melarang setiap perlakuan atau
hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan tersebut. Jika dulunya apa yang
dapat dilakukan sebatas mentaati pemerintahan, saat ini pemerintahan tersebut
dapat dituduh melakukan pelanggaran-pelanggaran peraturan internasional seperti
menyatakan hak untuk mengajukan petisi, protes, pengajuan laporan dan
seterusnya.
Apabila diperhatikan dengan lebih seksama, hal ini tentunya tidak hanya
berarti terdapatnya definisi baru dan suatu penamaan yang baru, akan tetapi
merupakan sesuatu yang jauh lebih penting dari sekedar penamaan tersebut.
Masyarakat internasional telah memiliki parameter untuk bertindak. Masyarakat
internasional kini telah mendapatkan kode internasional penting untuk mengukur
tindakan-tindakan yang dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Singkatnya,
bahwa hak asasi ini telah mendapatkan posisinya yang penting di mata masyarakat
internasional, sehingga segala bentuk kerancuan yang berhubungan dengan
gagasan-gagasan yang telah disepakati bersama dalam piagam PBB ini dianggap
menodai kesepakatan yang telah ditanda-tangani bersama.
4
Dalam kaitannya dengan kedudukan hukuman mati yang kini terus
dibincangkan, satu isu sentral yang terus dikaitkan dengan legalitas hukuman ini,
bahwa hukuman mati merupakan praktek pelanggaran hak hidup yang telah diatur
dalam instrumen hukum internasional berupa hak yang tidak dapat dikurangi
(non-derogable-rights).5 Seperti diketahui hak asasi manusia telah mendapatkan
posisinya yang sangat penting dalam masyarakat internasional. Sehingga jika hak
asasi manusia ini dikaitkan dengan hukuman mati tentu hukuman ini seharusnya
sudah tidak dianut lagi. Namun tidak seperti yang diperkirakan, hukuman mati
justru masih menjadi bagian dari kebijakan nasional beberapa warga internasional,
bahkan Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara kampiunnya hak asasi
manusia6 adalah salah satu dari beberapa warga internasional yang masih
menganut hukuman ini. Kenyataan ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar
apakah benar prinsip hak asasi manusia kini telah menjadi international norm
standart bagi masyarakat internasional? Jika iya, bagaimana isu standarisasi
internasional (HAM) ini memberikan pengaruh terhadap kedudukan hukuman
mati? apakah hukuman ini nantinya hanya akan menjadi bagian dari sejarah
dunia?
5
Hak-hak yang sama sekali tidak bisa dikurangi tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat (2)
UU No 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik, yang merupakan ketentuan ratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966. Hak-hak yang tidak bisa dikurangi meliputi
hak yang diatur pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18, yakni hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak untuk bebas dari perbudakan dan perdagangan budak, hak untuk tidak dipenjara
hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari perjanjian, hak
untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut, persamaan di muka hukum, dan
berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Knut D.Asplund & Suparman Marzuki,
Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Pusham-UII 2008), hlm. 69.
6
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechstaat) (Bandung: Refika Aditama,
2011), hlm, 36.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat dua hal yang ingin dibahas dan
dianalisis dalam tesis ini yaitu tentang hukuman mati yang terdapat dalam
kebijakan nasional negara-negara dan prinsip hak asasi yang kini telah menjadi
norm international standart dalam masyarakat internasional. Untuk menganalisis
dua hal ini, maka pembahasan tesis ini akan difokuskan pada pertanyaan pokok
mengenai apa pengaruh dari prinsip hak asasi manusia dalam kebijakan hukuman
mati?
1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk menguraikan, menjelaskan, dan menganalisis bagaimana
prinsip hak asasi manusia berkembang kemudian diadopsi oleh
masyarakat internasional.
2.
Untuk mengetahui apa pengaruh dari dianutnya prinsip hak asasi
manusia ini terhadap kebijakan hukuman mati yang masih
dipraktekkan beberapa negara yang terus menjadi kontroversi hingga
saat ini.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih dalam wacana
pemikiran untuk mewujudkan semangat akademik, khususnya:
1.
Pada
Ilmu
Pengetahuan,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan kontribusi dalam menginterpretasi hukuman mati yang
terus diperdebatkan eksistensinya.
6
2.
Pada bidang Sosial Politik, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan cara pandang baru khususnya pada bidang Hubungan
Internasional.
3.
Bagi Bangsa dan Negara, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam menawarkan solusi yang mampu
membantu kesalahpahaman tentang penetapan suatu kebijakan,
khususnya kebijakan hukuman mati suatu negara.
4.
Bagi Penulis, penelitian ini diharapkan mampu membuka cakrawala
penulis mengenai problematika hukuman mati, baik itu pada tataran
nasional dan internasional.
1.4. Tinjauan Pustaka
Diskursus hukuman mati dewasa ini semakin problematis karena
pembahasannya melulu dirujuk ke persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang
terus menguat dalam dunia internaasional saat ini. Hukuman mati sebagaimana
artinya, memberi pemahaman, bahwa tindakan ini merupakan praktik nyata
penghilangan hak hidup yang telah dijamin dalam berbagai undang-undang
nasional suatu negara maupun dunia internasional. Indriyanto Seno Adji dalam
bukunya yang berjudul “Humanisme dan Pembaruan Penegakan HAM.” 7 Dalam
penjelasan deskriptifnya
berupaya
menjawab satu pertanyaan mendasar
bagaimana ketika prinsip hak asasi manusia ternyata berbenturan dengan
kepentingan nasional suatu negara. Dalam hal ini, Indriyanto menjelaskan bahwa
7
Indriyanto Seno Adji, Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum (Jakarta: Buku
Kompas 2009), hlm. 264.
7
polemik berlakunya hukuman mati sebagai bagian dalam hukum pidana suatu
negara hanya merupakan pelaksanaan kebijakan, yang harus diakui bahwa
kebijakan tersebut sifatnya hanya temporer, sehingga sering mengalami perubahan
konsep. Belanda misalnya, sistem hukuman matinya berubah sejalan perubahan
kebijakan negara yang kini tidak dikenal lagi dalam sistem hukum pidananya.
Dalam bukunya tersebut, Indriyanto menggunakan teori rehabilitasi
(rehabilitation theory) yang pada intinya berfokus bagaimana clinic treatment
lebih diutamakan dibanding sekedar memberikan efek jera (deterrence effect)
kepada terpidana mati. Sehingga dengan demikian menurut Indriyanto hukuman
mati sebagai kebijakan suatu negara dapat dikatakan eksepsional dalam
pelaksanaanya. Hal ini sebagaimana yang dicontohkannya dalam amandemen
pertama konstitusi Amerika Serikat yang secara tegas dan jelas menjamin
kebebasan berbicara dan kebebasan pers dengan kalimat congress shall make no
law respecting an.. or abridging the freedom of speech or of the press,…”, tetapi
secara tegas dikatakan juga, “…that the right of freedom must security in cases
of clear and present danger, sehingga meski hak hidup dan kebebasan seseorang
maupun pers tidak boleh dibatasi (abridging), tetapi kebebasan sebagai hak asasi
manusia harus mengalah (must yield) dalam masalah bahaya yang ada dan nyata
untuk kepentingan nasional. 8
Pembahasan hukuman mati dalam perkembangan kekinian, sebagaimana
selalu disinggung, juga tidak dapat dilepaskan dengan diskursus terhadap
pembentukan undang-undang yang seringkali dianggap tidak demokratis dan
8
Ibid.
8
melanggar hak asasi manusia. Kenyataan ini dapat dilihat terhadap berbagai
komentar dan tanggapan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut harus
segera dilakukan judicial reiew, atau bersifat diskriminatif, atau bertentangan
dengan konstitusi, tidak demokratis serta hanya untuk target kelompok tertentu
dan lain sebagainya. Padahal patut dicatat bahwa undang-undang itu telah dibahas
dengan memakan waktu lama dan melibatkan berbagai kelompok kepentingan
ataupun komponen masyarakat lainnya. Sepintas, terlihat fenomena ini akan dapat
dijawab kalau telah digunakan atau melalui mekanisme yang ditetapkan dalam
pembentukan
undang-undang.
Mekanisme
dimaksud
adalah
sebgaimana
tercantum dalam UUD, maupun dalam UU serta yang diatur dalam Peraturan Tata
Tertib semisal DPR di Indonesia sendiri. Tetapi, dalam kenyataannya dalam hal
semua mekanisme dan tata cara telah diikuti ternyata tetap mendapat respon
negatif dari masyarakat, setelah suatu undang-undang ditetapkan.
Setidaknya hal di atas dapat dilihat ketika Todung Mulya Lubis dan
Aleander Lay dalam buku mereka “Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan
Pendapat Hakim Konstitusi”9 mengetengahkan bahwa pemaknaan undang-undang
utamanya menyangkut pasal pidana hak hidup tidak demokratis dan melanggar
hak asasi manusia. Pengetengahan buku Todung dan Alex ini dapat ditelususri
ketika Todung didatangi oleh tiga advokat asal Austalia (Lex Lasry, Julian
McMahon, dan Joel Backwell) yang memintanya mewakili kepentingan hukum
sejumlah warga negara Australia yang sudah dijatuhi hukuman mati karena
memperdagangkan narkotika. Menurut tiga advokat ini, hukuman mati tidak
9
Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati Perbedaan
Pendapat Hakim Konstitusi (Jakarta: Buku Kompas, 2009).
9
pantas untuk ditimpakan kepada warga-warga Australia yang sesungguhnya
adalah “orang-orang miskin” dan terpaksa oleh kemiskinannya untuk ikut
memperdagangkan narkoba (narkotika dan obat terlarang).
Selanjutnya permintaan tiga advokat tersebut ditindak lanjuti Todung dkk
untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi Indonesia. Secara
gamblang Todung dkk memaparkan berbagai macam alasan yang pada intinya
menegaskan bahwa praktek hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia
dan itu terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 45 tepatnya pada pasal 28A
ayat (1) yang berbunyi: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan pasal 28I ayat (4) yang
menegaskan: “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.”
Dalam konteks lain (instrumen hak asasi manusia internasional) 10 juga
dijelaskan bentuk penghormatan hak asasi manusia ini, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
10
Instrumen hukum internasional yang dimaksud antara lain: 1) Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), atau sebagian
kalangan menyebutnya sebagai cornerstoneof contemporary human rights. 2) International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 3) Second Optional Protocol to The International
Covenant on Civil and Political Rights (Second Optional Protocol). 4) Protocol No. 6 to The
Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the
Abolition of Death Penalty (Protocol 6). 5) Protocol No. 13 to The Convention or the Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of Death Penalty (Protocol
13). 6) Protocol to The American Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty
(Protocol to ACHR). Lihat Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman
Mati..2009.
10
Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan
dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 6 ayat (1)
dan Pasal 7 Kovenan11 internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights) dan dikuatkan dengan Protokol Opsional
Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun
1989 tentang penghapusan hukuman mati.
Menyikapi hal ini, maka menurut Todung dkk sudah seyogyanya
Indonesia
sebagai
menghormati,
bagian
dari
masyarakat
menghargai,
dan
menjunjung
internasional,
tinggi
wajib
prinsip-prinsip
untuk
yang
terkandung dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional tersebut,
serta bagaimana kemudian menafsirkan UUD 45 dapat mengacu kepada
instrumen-instrumen tersebut. Di samping itu, selain memaparkan alasan-alasan
konstitusional yang menurut Todung terdapat kontradiksi, juga terdapat alasan
lain yang menurutnya secara filosofis dan kausalis tidak cocok dengan penetapan
hukuman mati. 12 Dari alasan-alasan yang dipaparkan Todung ini tentunya cukup
berasalan, dan lagi-lagi yang ingin diketengahkan adalah adanya pelanggaran hak
asasi manusia.
11
Pasal 6 (1) ICCPR menyatakan: “every human being has the inherent right to life. This
right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life” bahwa setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh
hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
12
Menurut Todung ada dua argumen utama yang selalu dikemukakan pihak-pihak yang
hendak mempertahankan penerapan hukuman mati, yang pertama adalah pembalasan dendam
(retributive justice) yang dibungkus dengan eufemisme balancing justice, sedang yang kedua
adalah efek jera hukuman mati. Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman
Mati.., hlm. 331.
11
Menarik untuk melihat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), karena
dari buku yang awalnya berupa judicial review tersebut, MK menolak
permohonan Todung dkk. Di antara pertimbangan hukum MK bahwa terpidana
mati adalah Warga Negara Asing (WNA) yang tidak mempunyai hak
konstitusional, dan bahwa hak hidup dapat dibatasi dengan undang-undang. Dari
sini muncul beberapa pertanyaan yang dapat diajukan lagi, antara lain: (1) Jika
seorang WNA mutlak dinyatakan tidak memiliki hak konstitusional, lantas
bagaimana seorang WNA membela hak konstitusionalnya yang dilanggar atau
dirugikan oleh ketentuan UU Indonesia? (2) Sejauh mana Hakim Konstitusi
terikat dengan pendapat hukumnya yang mendasari putusan-putusan sebelumnya
untuk pokok perkara yang sama? (3) Apakah pandangan yang diikuti MK saat ini
bahwa hak hidup dapat dibatasi ada kemungkinan untuk berubah di masa yang
akan datang?
Melihat pertimbangan MK sepertinya lembaga ini mengenyampingkan hak
hidup selain warga negara Inonesia sendiri. Apakah memang hak asasi
diterjemahkan sempit oleh MK, sehingga yang bisa mendapatkan perlindungan
hukum di Indonesia hanya warga negara Indonesia sendiri, ataukah keputusan MK
tersebut mengandung unsur politk karena menyangkut kebijakan negara yang
telah diatur dalam sistem hukum demokrasi Indonesia. Lalu bagaimana pula
ketika dikaitkan dengan persoalan demokrasi Indonesia.
Tentunya, dalam memaknai demokrasi dan hak asasi manusia, sebagai
suatu sistem pokok dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa suatu negara
bangsa termasuk Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari kajian esensi dan prinsip-
12
prinsip dasar serta perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia itu sendiri.
Salah satu faktor yang melatarbelakanginya, adalah karena sifat universal yang
dikandung oleh konsep demokrasi dan hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam analisis konvergensi terhadap “Perwujudan Prinsip-prinsip
Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Pembentukan Undang-undang di
Indonesia” yang ditulis Yuliandri13 menjelaskan bahwa, salah satu aspek pokok
yang dapat menjadi barometer utama dalam melihat fenomena pembentukan
undang-undang di Indonesia, adalah berkaitan dengan sejauh mana suatu undangundang dibentuk dapat mengakomodir/menampung prinsip-prinsip demokrasi dan
hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia merupakan dua prinsip
utama yang tidak dapat diabaikan, manakala suatu negara telah menyatakan
bahwa negaranya adalah negara demokrasi. Lebih lanjut, bahwa dalam mengkaji
demokrasi dan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena
hak asasi manusia dikatakan sebagai roh demokrasi itu sendiri. Dalam perspektif
kajian, antara demokrasi dan hak asasi manusia dapat saja dikaji secara terpisah
(divergensi), dan dapat juga dilakukan analisis secara bersamaan/menyatu
(konvergensi).
Dari sini, Yuliandri ingin mengetengahkan, bahwa seperti apa yang
dialami Todung dalam memperjuangkan hak hukum yang tidak diakui MK
terhadap WNA Australia di atas, dapat dijelaskan melalui empat hal: (1) analsisis
13
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang,
menulis tulisan analisis konvergensi terhadap “Perwujudan Prinsip-prinsip Demokrasi dan Hak
Asasi Manusia dalam Pembentukan Undang-undang di Indonesia” dan disumbangkan dalam
rangka 65 tahun Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja (Guru Besar Tata Negara) Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
13
terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia pada dasarnya dapat
dilakukan secara konvergensi ataupun divergensi. (2) perkembangan dan
perwujudan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia juga dapat dikaji
dari dimensi internasional yang akan melahirkaan prinsip-prinsip universal,
maupun dalam konteks nasional yang berdimensi sosial budaya dan kontekstual.
(3) perwujudan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dalam
pembentukan undang-undang di Indonesia, dapat dianalisis baik dari mekanisme
pembentukan undang-undang, maupun dari penyusunan materi muatan (isi) dari
suatu undang-undang. (4) disadari sepenuhnya, bahwa beberapa undang-undang
yang berlaku di Indonesia, belum sepenuhnya menampung prinsip-prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia, karena proses pembentukan yang belum
transparan dan tidak membuka peluang untuk partisipasi publik, serta cendrung
mengebiri hak-hak asasi manusia yang bersifat universal.
Sebagaiman juga dijelaskan oleh Masyhur Efendi dan Taufani Sukmana
Evandri melalui buku mereka yang berjudul “HAM dalam Dimensi/dinamika
Yuridis, Sosial, Politik” dalam pembahasan mengenai aplikasi hukum hak asasi
manusia dalam negara Republik Indonesia, menjelaskan bahwa fakta hukum
Indonesia nyatanya belum semua memenuhi aspek hak asasi, sehingga jika
mengacu pada fakta tersebut dirasa wajar jika terdapat kontradiksi dengan
tuntutan masyarakat internasional. 14
14
Lihat Masyhur Effendi dan T.S. Evandri, HAM dalam DInamika Yuridis, Sosial, Politik
dan Proses Penyususnan Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010).
14
Pembahasan yang lebih spesifik menjurus ke persoalan hukuman mati
sebenarnya telah pernah dilakukan oleh J.E. Sahetapy dalam skripsi, tesis, dan
berlanjut ke desertasi doktroalnya yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul
“Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan
Berencana” namun ditengah pembahasan Sahetapy yang sepertinya mendukung
penghapusan hukuman mati, lebih ingin menekankan bagaimana hukuman mati
ini bisa dijelaskan dengan berbagai alat analisis. Menurut Sahetapy, jika selama
ini alasan filosofis terus digunakan dalam membahas hukuman mati, alasan ini
sudah tidak dapat digunakan lagi sebagai satu-satunya alat analisis. Hukuman mati
saat ini lebih sering dijelaskan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih
konfliktual semisal pendekatan kriminologi, sosiologi dan lain-lain.
Melihat beberapa tinjauan pustaka yang dipaparkan, maka dalam tesis ini,
penulis hendak menganalisis secara khusus pengaruh hak asasi manusia dalam hal
sejauh mana kemampuannya mengubah kebijakan suatu negara. Dalam hal ini
penulis mencoba mengeksplorasi hukuman mati sebagai kebijakan negara-negara
yang hingga kini telah ramai ditinggalkan warga internasional karena dianggap
oleh sebagian besar kalangan sebagai bentuk hukuman yang mempertontonkan
praktek pelanggaran hak asasi manusia. Semakin banyaknya lahir aktor-aktor
abolisi yang terus berkembang untuk menjaga hak asasi ini, juga merupakan
pengaruh yang penulis anggap fenomenal. Tidak jarang aktor-aktor abolisi ini
mempengaruhi kebijakan sebuah negara. Apakah demikian adanya? Tentunya
diperlukan analisis mendalam akan hal ini.
15
1.5. Kerangka Teoritik
Membincang hukuman mati selamanya akan mengarah ke pro-kontra
mengenai eksistensi keberadaan hukuman ini. Berkembangnya bermacam
interpretasi, utamanya yang merujuk pada pelanggaran nilai-nilai hak asasi
manusia internasional tentunya patut dikaji lebih mendalam. Hal ini dianggap
penting, karena tidak hanya sebatas menetralisir terus tumbuhnya cara pandang
yang tidak sehat dalam menyikapi hukuman mati, namun sebagai upaya, juga
sumbangsih dalam mencari solusi untuk mengatasi debat klasik yang telah
berlarut-larut mengenai eksistensi hukuman ini.
Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dalam pertanyaan penelitian,
maka dalam tesis ini ditawarkan sebuah teori yang akan mencoba memberi cara
pandang mengenai hukuman mati ini, yaitu teori pembentukan norma atau norm
life cycle theory yang dicetuskan Martha Finnemore.15
Teori pembentukan norma (norm life cycle theory) menjelaskan, bahwa
proses universalisasi norma berlangsung dalam proses yang disebut norm lifecycle
meliputi tiga tahap, yaitu: 1) munculnya norma (norm emergence), 2) reaksi
penerimaan (norm cascade), dan 3) pengakuan secara utuh (internalization).
Sebuah norma untuk dapat diterima dan berlaku di suatu tempat tertentu, maka
melewati tiga tahap pembentukan norma ini. Sosialisasi norma menjadi konsep
kuncinya, mulai dari norma itu muncul dan diinterpretasikan oleh kelompokkelompok aktor (norm enterpreneurs), kemudian muncul critical mass, sampai
15
Lihat Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “International Norm Dynamics and
Political Change” dalam International Organization, vol. 52 no. 4 (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998).
16
kepada norma tersebut disetujui oleh sebagian besar negara menjadikannya
sebagai suatu hal yang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, sehingga jadilah ia
menjadi suatu norma yang mempengaruhi struktur.
Dalam tulisannya “International Norm Dynamics and Political Change”
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menyebutkan tiga tahap proses
berkembangnya suatu norma.16 Tahap pertama adalah muncul atau lahirnya suatu
norma (norm emergence). Proses lahir atau munculnya norma sangat ditentukan
oleh peran aktor (norm enterpreneurs) dan (organizational platforms). Peran aktor
sangat penting karena mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
isu-isu bahkan menciptakan isu-isu dengan menggunakan bahasa untuk menamai,
menginterpretasi, dan mendramatisasi isu-isu tersebut. Dalam istilah para theorist
social movement proses ini disebut sebagai “framing”. Selanjutnya penciptaan
frame sangat esensial bagi strategi politik para aktor, karena keberhasilan
mempopulerkan suatu frame akan menentukan sejauh mana frame tersebut
dikenal dan diterima oleh masyarakat luas. Semakin banyak orang yang mengerti
suatu frame maka akan muncul pemahaman yang semakin baik dan akhirnya akan
berujung pada pengadopsian frame tersebut.
Dalam proses membangun suatu frame, timbul persaingan (contestation)
antara “new frame” yang dikonstruksi oleh para aktor dengan norma-norma yang
sudah digunakan oleh banyak orang (embedded norms). Kontestasi ini misalnya
dapat dilihat ketika Henry Dunant memperjuangkan agar para tenaga medis dan
resources yang mereka tangkap sebagai rampasan perang, diperlakukan dengan
16
Ibid, hlm. 877.
17
baik. Pada waktu itu Dunant harus berhadapan dengan norma-norma yang telah
umum diakui di mana para tenaga medis dianggap seperti pasukan militer.
Implikasinya adalah para tenaga medis juga diserang atau ditembaki seperti
tentara. Dunant harus menghadapi tentangan dari para pempinan militer ketika
memperjuangkan frame-nya.17 Contoh lain ketika Thomas Aquinas pada masa
abad pertengahan (masa skolastik) memperjuangkan agar ajaran Aristoteles
kembali digandrungi oleh masyarakat. Pada waktu itu Aquinas harus berhadapan
dengan norma yang telah lazim dianut berupa kepentingan-kepentingan gereja.18
Dalam mempromosikan norma pada level internasional, para aktor
memerlukan platform organisasi (organizational platforms). Terdapat dua
platform dalam hal ini. Ada platform yang secara sengaja dibentuk memang untuk
tujuan mempromosikan norma seperti NGO semisal Greenpeace, Red Cross,
Trans-Africa, dan jaringan-jaringan advokasi internasional yang mempromosikan
hak asasi manusia, norma lingkungan, larangan-larangan terhadap kegiatan
penambangan di tempat tertentu, dan penentangan terhadap apartheid di Afrika
Selatan. 19
Ada juga organisasi yang tidak memiliki platform yang ditujukan untuk
mempromosikan norma seperti World Bank dan IMF. Dalam hal ini para aktor
berusaha memasukkan norma-norma mereka ke dalam program-program World
bank dan IMF, sehingga secara tidak langsung platform World Bank dan IMF
17
Ibid.
18
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 108.
19
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “International Norm.., hlm. 899.
18
juga menjadi alat untuk mempromosikan norma-norma yang diperjuangkan oleh
para aktor.20 Dari proses ini kemudian muncul isu-isu lingkungan dan hak asasi
manusia dalam program yang ditawarkan World Bank dan IMF terhadap negaranegara yang ingin mendapatkan pinjaman dari dua institusi keuangan tersebut.
Prosedurnya adalah negara yang ingin mendapatkan pinjaman harus memenuhi
ketentuan yang diajukan oleh kedua institusi tersebut seperti pelestarian
lingkungan, rezim pemerintahan yang demokratis, penjaminan hak-hak buruh, dan
lain sebagainya.
Tahap kedua adalah tahap yang disebut penerimaan/pengakuan sebuah
norma (norm cascade) yaitu suatu proses di mana negara-negara mulai mengakui
keberadaan suatu norma dan mengadopsinya. Proses ini disebut juga dengan
tipping or treshold points. Pada tahap ini norma yang dikampanyekan oleh para
aktor mendapat reaksi yang beragam dari negara-negara, ada yang menerimanya
dan ada yang menolaknya. Untuk mengetahui apakah suatu norma telah
mengalami tahap pengakuan (norm cascade) ukuran yang dipakai adalah tingkat
presentase negara-negara yang telah mengadopsi norma tersebut. Jika jumlah
presentase negara-negara yang mengadopsi norma kurang dari 1/3 maka
pengakuan belum terjadi. Sebagai contoh terjadinya pengakuan dapat dilihat pada
kasus norma tentang hak pilih perempuan (women’s suffrage). Pada tahun 1930
norma ini telah mengalami proses pengakuan, ketika dua puluh negara telah
menganut norma itu. Jumlah tersebut setara dengan 1/3 jumlah seluruh negara
yang berada di dalam sistem pada waktu itu. Pada tahap ini penerimaan terhadap
20
Ibid.
19
norma oleh negara sifatnya masih setengah-setengah. Masih terjadi penolakanpenolakan terhadap hal-hal tertentu atas norma tersebut dengan alasan-alasan
tertentu, dengan kata lain norma yang berusaha di universalisasikan masih bersifat
kontroversial. 21
Tahap
ketiga
atau
tahap
terakhir
adalah
tahap
internalisasi
(internalization). Pada tahap terakhir ini norma telah diterima secara luas oleh
hampir seluruh negara. Norma telah terinternalisasi kepada para aktor dan
diterima sebagai sesuatu yang taken for granted. Tahap ini ditandai dengan proses
internalisasi yang sangat tajam (extremely powerful) karena penerimaan terhadap
norma dilakukan secara langsung tanpa mempertanyakan norma tersebut. Hal ini
menandakan bahwa sudah tidak terdapat kontroversi lagi pada norma tersebut,
yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdebatan-perdebatan politis diantara para
aktor tentang norma itu.22
Gambaran teoretis di atas mencoba menjelaskan keterkaitan antara aktor
(norm enterpreneurs) dan platform organisasi dengan terbentuknya sebuah norma
yang telah terinternalisasi. Dalam kaitannya dengan hukuman mati, maka dapat
dikatakan bahwa hukuman mati sebagai bentuk hukuman yang tidak melanggar
hak asasi merupakan frame lama yang harus ditinggalkan. Hukuman mati
merupakan pelanggaran hak asasi, hukuman ini harus ditinggalkan. 23 Para aktor24
21
Ibid, hlm. 901.
22
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, “International Norm.., hlm. 904.
23
Keterkaitan antara aktor dengan terbentuknya norma ini dimaksudkan memberi
gambaran bahwa hukuman mati tidak melanggar hak asasi merupakan norma lama yang kini telah
usang dan harus ditinggalkan negara-negara di dunia.
20
yang berusaha menghapus hukuman ini, mencetuskan isu bahwa hukuman ini
merupakan hukuman yang secara nyata melanggar hak-hak hidup manusia yang
dijamin kemerdekaannya dalam berbagai instrument hak asasi internasional dan
nasional.
Melihat
persoalan
hukuman
mati,
bahwa
para
aktor
yang
mengkampanyekan norma (hukuman mati melanggar hak asasi manusia)
menggunakan isu hak asasi manusia untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan
sebuah negara, juga dengan cara lain melalui sanksi-sanksi yang diberikan sebuah
network society. Hingga saat ini, isu hukuman mati sebagai sebuah bentuk
pelanggaran hak asasi manusia telah mencapai norm cascade dan telah
menghasilkan beberapa negara telah menghapus hukuman mati dari kebijakan
hukumnya. Walaupun belum semua negara melakukan penghapusan namun arah
penghapusan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan.
Melalui cara pandang ini, maka dalam tesis ini lebih jauh akan
diketengahkan pengaruh hak asasi sebagai sebuah frame yang diketngahkan para
24
Aktor dalam hal ini, seperti epistemic society tidak selalu berasal dari kelompok yang
netral atau tidak terkait dengan pembuat kebijakan, namun bisa juga berasal dari kelompok
intelektual organik. Epistemic society menentukan norma apa yang berlaku, kemudian
merekomendasikannya kepada pembuat keputusan. Sedangkan network society, berusaha
mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengadopsi norma-norma yang mereka anggap sebagai
norma yang harus berlaku dengan cara membangun akses ke para pembuat kebijakan. Beberapa
cara yang ditempuh untuk membangun akses adalah dengan melakukan lobi kepada pembuat
kebijakan. Proses lobi menekankan arti penting sesuatu untuk diadopsi oleh pembuat kebijakan
untuk alasan-alasan kesejahteraan bersama. Langkah lain yang biasa dilakukan oleh network
society adalah dengan melakukan pressure terhadap pemerintah. Pressure dapat berbentuk sanksisanksi militer dan ekonomi. Mempermalukan suatu pemerintah juga langkah yang sering
dilakukan oleh network society untuk menekan pemerintah tersebut agar mengadopsi norma yang
dikembangkan oleh network society-nya. Tindakan-tindakan “mempermalukan” biasanya
dilakukan dengan pembuatan simbol-simbol tertentu atau melalui kata-kata yang terus-menerus
dipopulerkan dalam aksi-aksi demonstrasi. Selain itu tindakan isolasi juga merupakan langkah
yang efektif untuk memberikan tekanan moral terhadap suatu pemerintahan yang tidak mau
mengadopsi norma-norma yang dikampanyekan oleh kelompok trans network society.
21
aktor untuk memberikan kontradiksi kepada sebuah frame yang telah diimani
sebuah negara selama ini, yaitu legalnya hukuman mati sebagai sebuah kebijakan
hukum. Dalam hal ini, terdapat beberapa negara yang secara normatif telah
menyetujui norma yang ditetapkan, namun secara empirik tidak mempengaruhi
secara signifikan praktek operasionalisasi norma di negaranya.
Dalam permasalahan ini, penulis utamanya akan memaparkan bagaimana
kemudian terdapat negara yang berada dalam dua posisi seperti Indonesia. Di satu
sisi negara ini menerima universalisasi norma, namun di sisi lain negara ini juga
secara tidak langsung tidak begitu total menerima universalisasi tersebut karena
adanya kebutuhan akan norma yang telah lama berlaku.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam tesis ini adalah penelitian
kepustakaan (library research) yang termasuk pada jenis penelitian kualitatif. 25
Dengan menjadikan hukuman mati Indonesia sebagai studi kasus, memungkinkan
peneliti untuk lebih spesifik dalam menghimpun lalu kemudian menganalisis data
serta melakukan generalisasi ataupun kesimpulan secara terbatas.26 Lebih jauh,
karena model penelitian ini berkaitan dengan masalah aktual (objek material)
25
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang
berlaku bagi pengetahuan humanistik atau interpretatif yang secara teknis, penekanannya lebih
pada teks. Lihat Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif:
Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Ilmu Sosial, terj. Arief Furchan (Surabaya: Usaha
Nasional, 1992), hlm. 12.
26
P. Burnham, K. Gilland, W. Grant, dan Z. Layton Henry, Research Methods in Politics
(Palgrave Macmillan, New York, 2004), hlm. 33-55. Lihat juga penjelasan R.K. Yin, Case Study
Research: Design and Methods, 3rd edn (London: Sage Publications, 2003), hlm. 9-15.
22
yang dihadapi manusia dewasa ini (death penalty), maka metode yang digunakan
dalam penelitian baik tatkala pelaksanaan pengumpulan data, maupun pada waktu
analisis data bergantung kepada objek formal dan material penelitian. 27
Selanjutnya, sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, dan
dengan metode kualitatif yang deskriptif-analitis dalam tesis ini, maka sumber
data pada penelitian ini adalah literatur-literatur, karya-karya tulis ilmiah berupa
dokumen-dokumen Negara, buku-buku, majalah-majalah, ensiklopedi keilmuan,
artikel dan lain-lain yang berkaitan dengan objek material (hukuman mati). Secara
lebih spesifik, data dari penelitian ini mencakup (1) upaya aktor-aktor yang
mencoba mengeneralisasi usangnya hukuman mati yang masih dijadikan
kebijakan beberapa negara, (2) mekanisme-mekanisme (forum-forum) apa saja
yang digunakan para aktor tersebut, (3) dampak-dampak dari generalisasi satu isu
terhadap kebijakan sebuah negara. Di samping itu, data juga diambil melalui
wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber. Adapun data sekunder terkait
dengan posisi Negara-negara yang masih menganut hukuman mati seperti
Indonesia serta hasil wawancara mendalam ini akan dianalisis sebagai bagian dari
text and document analysis.
1.6.2. Langkah-langkah Penelitian
Untuk tahap awal dari penelitian ini adalah mengumpulkan data dari
sumber referensi yang tersedia untuk mengeksplorasi data yang dapat memberikan
informasi dalam penulisan ini. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah
27
hlm. 296.
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma, 2005),
23
mereduksi data yang dianggap tidak relevan dengan penelitian ini, untuk
memudahkan analisis terhadap tema penelitian ini. Langkah terakhir adalah
pengolahan data dengan melakukan analisis untuk memperoleh deskripsi yang
akurat terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Laporan dari hasil
penelitian yang dilaksanakan akan berupa tesis yang akan dipertanggungjawabkan
pada sidang selanjutnya.
1.6.3. Teknik Analisis Data
Proses menganalisa data adalah proses mengatur serta memilah data sesuai
dengan kategori-kategori dan deskripsi-deskripsi yang telah disusun. Proses
analisa akan menggiring data menjawab hipotesa penelitian. 28 Teknik analisis data
dalam tesis ini meliputi:
a.
Reduksi data. Data yang telah dikumpulkan akan direduksi dan
disimpulkan sesuai dengan peta penelitian. 29
b.
Analisis taksonomik. Analisis ini akan fokus pada tema spesifik yang
mengilustrasikan masalah yang menjadi target penelitian, lalu
menjelaskannya secara mendalam. 30
c.
Interpretasi, yang dilakukan untuk memahami dan menyimpulkan
data-data hasil penelitian.
28
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002), hlm. 103.
29
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma,
2010), hlm. 160-163.
30
Arif Furchan and Agus Maimun, Studi Tokoh, Metode Penelitian Mengenai Tokoh
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65-67.
24
d.
Hermeneutika. Digunakan untuk menangkap makna esensial, sesuai
dengan konteksnya. Tingkat penangkapan makna esensial dilakukan
pada waktu proses pengumpulan data. Setelah data terkumpul peneliti
melakukan analisis penafsiran terhadap data, sehingga esensi makna
dapat ditangkap dan dipahami sesuai konteks kekinian.
e.
Heuristik. Digunakan untuk menemukan suatu jalan baru, setelah
peneti melakukan proses penyimpulan. Jalan baru atau pemikiran baru
ini dapat berupa suatu pemikiran baru setelah menemukan satu
konstruksi teoritis, yaitu kritik terhadap teori atau sebuah masalah
aktual (hukuman mati).31
1.7. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan dibagi ke dalam empat bab. Bab pertama berisi
pendahuluan, yang mencakup latar belakang, rumusan masalah, kerangka teoritik,
tujuan serta metode penelitian. Bab kedua akan membahas bagaimana proses
berlangsungnya adopsi hak asasi manusia dalam masyarakat internasional?
Bagaimana tahapan dan resistensinya? Bab ini ditujukan untuk memberi korelasi,
ihwal pengaruh hak asasi terhadap hukuman mati dalam bahasan berikutnya.
Proses pengambilan hak asasi manusia oleh masyarakat internasional serta alasan
dasarnya seperti apa, sehingga dijadikan international norm standart yang harus
dipatuhi warga masyarakat internasional adalah salah satu point utama dalam bab
ini. Bagaimana tanggapan masyarakat internasional terhadap proses adopsi hak
31
Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat, hlm. 297.
25
asasi ini? Adakah terjadi kompromi sebagai akibat dari tarik menarik antara nilainilai hak asasi dengan tradisi masyarakat internasional. Secara umum, bab ini
membahas arti penting hak asasi manusia dalam hubungan internasional, sehingga
jika dikaitkan dengan masih dianutnya kebijakan hukuman mati, maka kebijakan
ini dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia yang
merupakan norma standar masyarakat internasional.
Bab ketiga sebagai inti dari tesis ini, akan membahas sebuah judul besar
“hak asasi manusia dan hukuman mati”. Bab ini merupakan konsekuensi dari
ulasan dan jawaban-jawaban pertanyaan bab kedua.
Apa
yang
ingin
diketenghakan dalam bab ini adalah analisis mengenai hak asasi manusia yang
setelah memperoleh kedudukannya yang sangat penting apakah memberi
pengaruh terhadap kebijakan hukuman mati. Bab ini akan mengetengahkan
implikasi atau pengaruh apa saja yang telah ditimbulkan hak asasi yang telah
menjadi norm international standart dalam masyarakat internasional. Terakhir,
bab keempat akan berisi kesimplulan.
Download